(overmacht) over the
TRANSCRIPT
TESIS
AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM
KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP
KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN
NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
TESIS
AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM
KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP
KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN
NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI
NIM.1192462015
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM
KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP
KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN
Tesis ini untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
pada Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI
NIM.1192462015
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
iii
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL DESEMBER 2013
PEMBIMBING I
(Prof.Dr.I Made Pasek Diantha,S.H.M.S)
NIP. 19461231 197403 1 025
PEMBIMBING II
(Dr.I.B.Wyasa Putra,S.H,M.H)
NIP.19620731 198803 1 003
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Udayana
Prof.Dr.I Made Arya Utama,S.H,M.Hum
NIP.19650221 199003 1 005
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S. (K)
NIP.19590215 198510 2 001
iv
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal: 12 Desember 2013
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor: 3330/UN 14.4/HK/2013
Tanggal 10 Desember 2013
Ketua: Prof.Dr.I Made Pasek Diantha,S.H., MS
Anggota:
1. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra,S.H., MH
2. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,S.H., MH
3. Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., MH
4. Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan dibawah ini:
Nama : NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI
NIM : 1192462015
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : Akibat Hukum Klausula Pertelaan dalam Keadaan
Memaksa (Overmacht) Terhadap Kepemilikan Satuan
Rumah Susun
Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas
dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka
saya bersedia menerima sankasi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Denpasar, Desember 2013
Yang Menyatakan,
Ni Luh Putu Laksmi Puspitasari
NIM. 1192462015
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang
Hyang Widhi Wasa), yang telah memberikan kekuatan lahir dan bathin kepada
Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini. Adapun judul tesis ini
adalah: “AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM KEADAAN
MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH
SUSUN”. Sesuai dengan inovasi dalam perkembangan bisnis property (Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun) yang semakin kompleks membutuhkan suatu inovasi
baru yang bisa mengakomodir segala permasalahan yang muncul. Begitu pula
dalam hal pengaturan tentang overmacht dan akibat hukumnya, hal ini
memberikan pengaruh yang amat sangat besar terhadap para pihak dalam
perjanjian rumah susun tersebut, karena alasan inilah penulis tertarik untuk
meneliti dan menulis hal tersebut.
Penulis menyadari bahwa Tesis ini, masih banyak terdapat kekurangan
dalam penulisannya, hal ini disebabkan karena masih terbatasnya lingkup
pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat positif dan membangun untuk
penyempurnaan Tesis ini. Besar harapan Penulis semoga Tesis ini memenuhi
kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulisan Tesis inipun tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan
dari para Pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini, Penulis
ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof.Dr.I Made
vii
Pasek Diantha,S.H,M.S, selaku Pembimbing Utama dan terimakasih saya ucapkan
kepada Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, S.H, M.H selaku Pembimbing Kedua yang
telah memberikan dorongan,semangat, bimbingan dan saran selama penulis
menyelesaikan Tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof.Dr.dr.Ketut Suastika
Sp.PD-KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana beserta seluruh jajaran dan
staf atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi
pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih juga ditujukan
kepada Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi,Sp.S.(K), selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H, M.H, selaku
Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti Program Magister dan kepada Prof. Dr. I Made Arya
Utama, S.H,M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Udayana.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Putu Gede Arya
Sumerthayasa, S.H., MH, sebagai Penguji I, kemudian Bapak Dr. I Dewa Gede
Palguna, SH., MH, sebagai Penguji II, dan Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH,
sebagai Penguji III, yang telah meluangkan waktu untuk penulis dan memberikan
saran untuk penyempurnaan tesis iniTak lupa penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar di Program Studi
Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah
memberikan bimbingan dan ilmunya yang sangat berharga kepada para
viii
mahasiswa termasuk penulis, Bapak dan Ibu seluruh staf karyawan di Sekretariat
Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam
proses administrasi, Seluruh Staff Perpustakaan Program Magister Universitas
Udayana dan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan
pinjaman buku-buku yang Penulis perlukan selama proses perkuliahan dan proses
penyusunan tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Keluarga Tercinta, Papa
(Drs. I Wayan Sudana), Mama (Ni Luh Putu Juliastuti, S.H), serta Adikku
Terkasih (Made Hendra Satria Nugraha), karena telah memberikan dukungan
yang amat besar, begitu pengertian dengan keadaan Penulis yang selama ini
belum dapat dan belum memenuhi kewajiban dengan baik, semoga dengan
terselesaikannya Tesis ini membuka peluang bagi Penulis untuk memberikan
sesuatu yang terbaik bagi Keluarga Tercinta. Tidak luput juga kekuatan dan
dukungan yang amat besar, Penulis rasakan melalui setiap doa (harapan dan keluh
kesah) yang Penulis panjatkan kepada Leluhur (Almarhum Kakek dan Nenek),
dan sangat terasa doa itu didengarkan sehingga Penulis merasa lebih kuat untuk
menyelesaikan Tesis ini dan doa restu dari Leluhur itupun sangat berarti dalam
setiap langkah yang penulis lalui. Besar harapan Penulis untuk memberikan segala
sesuatu yang terbaik bagi Kakek dan Nenek (sudah almarhum), semoga dibukakan
jalan agar menjadi Cucu kebanggaan Kakek dan Nenek (sudah almarhum).
Keluarga Besar Mama dan Papa (Wak, Om, Tante, Saudara Sepupu), yang tidak
dapat Penulis sebutkan satu persatu, karena telah memberikan saran dan dukungan
ix
yang amat berarti bagi Penulis, selalu membimbing dan menuntun Penulis akan
arti penting meraih masa depan (kesuksesan).
Seluruh teman-teman Angkatan III Mandiri Magister Kenotariatan
Universitas Udayana yang telah membantu dan memberikan dorongan serta
semangat dalam penulisan Tesis ini kemudian tak lupa Penulis ucapkan
Terimakasih kepada senior-senior di Program Magister Kenotariatan yang dengan
senang hati memberikan saran dan informasi yang bermanfaat bagi Penulis selama
kegiatan perkuliahan berlangsung dan selama penyusunan tesis ini. Tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih kepada para sahabat yang telah menguatkan hati
Penulis sehingga Penulis kembali bersemangat dan tenang dalam menyelesaikan
Tesis ini dan seluruh pihak yang namanya tidak bisa Penulis sebutkan satu per
satu yang telah banyak mendukung dalam proses pembuatan Tesis ini.
Sebagai akhir kata Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa (Ida
Sang Hyang Widhi Wasa) selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan
kepada kita semua dan semoga Tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna
bagi masyarakat
Denpasar,16 Desember 2013
Penulis
x
ABSTRAK
AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN
RUMAH SUSUN
Pertelaan dibuat oleh pelaku pembangunan rumah susun (developer), selanjutnya disebut developer), dengan memuat batas dan rincian yang jelas atas satuan dan bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi berwenang. Pertelaan mempunyai peranan yang amat penting sebagai dasar pengesahan “akta pemisahan rumah susun” dan landasan penerbitan sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (selanjutnya disebut HMSRS). Kepemilikan Satuan Rumah Susun (selanjutnya disebut SRS) bersifat perorangan dan terpisah dengan hak bersama, benda bersama dan tanah bersama, akan menjadi masalah krusial jika terhadap bangunan gedung rumah susun tersebut roboh (keadaan demikian dinamakan keadaan memaksa (overmacht), selanjutnya disebut overmacht). Pengaturan overmacht terhadap HMSRS belum diatur dalam UU Rumah Susun. Urgensi pengaturan overmacht sangat penting, untuk mengetahui sebatas mana lingkup pertanggungjawaban para pihak, sehingga tercipta keadilan berbasis kontrak. Untuk itu, perlu diteliti bagaimanakah akibat hukum klausul pertelaan dalam overmacht terhadap kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun dan apakah kriteria overmacht dalam buku III KUHPerdata berlaku mutatis mutandis terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif karena mengkaji norma kosong dalam UU Rumah Susun mengenai overmacht. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep hukum, pendekatan kasus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum klausul pertelaan dalam overmacht terhadap kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun yaitu terhadap overmacht absolut, perjanjian batal demi hukum sehingga tidak perlu adanya pembayaran ganti rugi sedangkan terhadap overmacht relatif, tidak serta merta demi hukum mengakibatkan perikatan hapus, hanya menunda pelaksanaan perjanjian. Lingkup kriteria overmacht dalam Buku III KUHPerdata hanya bersifat terbatas, oleh karenanya, kriteria overmacht terhadap HMSRS juga berlaku secara mutatis-mutandis terhadap yurisprudensi, peraturan perundang-undangan serta kontrak-kontrak lainnya. Kriteria overmacht tersebut jangan digeneralisir namun diteliti lebih lanjut tergolong overmacht objektif ataukah subjektif. Terhadap overmacht objektif, berhubungn dengan musnahnya obyek perjanjian terjadi di luar kekuasaan pihak namun dari kuasa Tuhan. Terhadap overmacht relatif, berhubungan dengan adanya unsur kelalaian dalam melaksanakan hak dan kewajibannya dari salah satu pihak atau para pihak.
Kata kunci: Akibat Hukum, Klausula Pertelaan, Kepemilikan Rumah Susun, Keadaan Memaksa
xi
ABSTRACT
THE LEGAL RESULT OF HOUSING-COMPLEX DEVELOPMENT
IN THE EVENT OF FORCE MAJEURE (OVERMACHT) OVER THE
OWNERSHIP OF A STRATA TTLE
Housing-complex development made by developer of condominiums
(hereinafter is referred to as developer) is completed with the information of
borders and clear details of units and Joint parts in the form of house plan, which
have been legalized by an authorized institution. This information has a very
important role, which serves as foundations, in legalizing "act of determining the
separation of each unit of the condominiums" and for the issuance of the
certificate of the right of ownership of the unit of a condominium (hereinafter is
referred to as HMSRS). The ownership of a unit of a condominium (hereinafter is
referred to as SRS) is individual in nature and separated from the mutual rights,
objects, and land. It will be a crucial problem if the building structure is collapsed
whose condition is referred to as a forced majeure (overmacht). The regulation of
overmacht over HMSRS is not yet regulated in the Laws of Condominiums. The
urgency of the regulation of overmacht is thus very important in order to know the
scope of the responsibility of the related parties so that justice, based on the
contract, is created. To that end, it is necessary to identify the results of the laws
of housing-complex development related to overmacht by ownership of Strata
Title and the criteria of overmacht contained in Book III of Code of Civil Law are
mutatis mutandis applicable to the Strata Title.
This study is a normative legal research that examining Lacuna of Norm
in the Law of Condominiums. The study used legislation approaches, the legal
concept and case approaches.
The findings show that the outcome of the laws of housing-complex
development in the event of overmacht over HMSRS (absolute overmacht), the
agreement is canceled by law so that it is not necessary for the loss compensation.
For relative overmacht, it is not automatic by law in the cancellation of an
agreement; it only postpones the execution of the agreement. The scope of
overmacht contained in Book III of Code of Civil Law is only limited in nature,
therefore, the criterion of overmacht over HMSRS is mutatis-mutandis only
applicable to the jurisprudence, the legislations, and other contract agreements.
The criteria of overmacht should not be generalized but it must be analyzed
deeply as to whether it is classifiable as subjective or objective overmact. For
objective overmacht, it is related to the loss of the object agreement, which occurs
beyond the capacity of the parties involved but that of God. For relative
overmacht, it is related to carelessness in carrying out the rights and obligation of
one of the parties or the whole parties.
Key word: Legal result, law of housing-complex development, Ownership of
Strata Title, Force Majeure.
xii
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis mengenai Akibat Hukum Klausul Pertelaan dalam
Keadaan Memaksa (Overmacht) terhadap Kepemilikan Atas Satuan Rumah
Susun.
Bab I menguraikan latar belakang permasalahan yaitu pertelaan dibuat
oleh pelaku pembangunan rumah susun (developer) memuat batas dan rincian
yang jelas atas satuan dan bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang
disahkan oleh instansi yang berwenang. Pertelaan ini menjadi dasar perhitungan
Nilai Perbandingan Proporsional serta mempunyai peranan yang amat penting
dalam pemenuhan syarat administrasi pembangunan rumah susun karena
pertelaan merupakan dasar untuk pengesahan “akta pemisahan rumah susun” dan
landasan bagi penerbitan sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Kepemilikan Satuan Rumah Susun adalah bersifat perorangan dan terpisah dengan
hak bersama, benda bersama dan tanah bersama, akan menjadi masalah yang
krusial jika terhadap bangunan gedung rumah susun tersebut roboh dan tidak
dapat dihuni oleh pemilik satuan rumah susun. Berkaitan dengan bangunan
gedung rumah susun yang roboh, keadaan demikian ini dinamakan keadaan
memaksa (overmacht),sedangkan overmacht terhadap HMSRS belum diatur
dalam UU Rumah Susun. Urgensi pengaturan overmacht sangat penting,
mengingat bisnis property kian pesat dan marak sehingga diperlukan pengkajian
terhadap overmacht tersebut, siapa yang akan bertanggungjawab, apa bentuk
pertanggungjawabannya dan sebatas mana lingkup pertanggungjawaban yang
dilakukan para pihak. Pengkajian tersebut dengan melakukan telaah terhadap
kajian yuridis atas HMSRS yang tersusun dalam sistem hukum tanah dan sistem
hukum benda nasional yang menjadi satu kesatuan dalam sistem hukum Nasional.
xiii
Tidak luput dari pengkajian yaitu mencermati perjanjian rumah susun secara
seksama. Dari telaah tersebut akan memperoleh suatu pemahaman yang sistematis
dan utuh sehubungan dengan akibat hukum dari overmacht terhadap klausul
pertelaan atas kepemilikan satuan rumah susun. Selain itu, diuraikan pula
mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan
teoritis dan metode penelitian yang digunakan. Guna membahas permasalahan
pada penulisan tesis ini, penulis menggunakan teori hukum (teori hukum umum
maupun teori hukum khusus), konsep hukum dan asas hukum. Penggunaan Teori
Hukum, pada permasalahan pertama, penulis menggunakan teori keadilan
berbasis kontrak sebagai teori hukum umum, teori risiko tanggung gugat dalam
terjadi overmacht sebagai teori hukum khusus. Selanjutnya untuk permasalahan
kedua, penulis menggunakan Three Elements of Legal System Theory dari
Lawrence M. Friedmann sebagai teori hukum umum, teori tahap perjanjian, teori
korelasi dan teori hak milik sebagai teori hukum khusus. Penulisan ini juga
menggunakan konsep hukum sebagai penyelesaian dari permasalahan yang
dikemukakan. Konsep hukum yang digunakan dalam permasalahan pertama yaitu
konsep tanggung jawab/ganti rugi developer terhadap konsumen dalam hal
terjadinya overmacht. Permasalahan kedua menggunakan, konsep hak dan
kewajiban para pihak, serta untuk konsep overmacht, konsep Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun dan konsep pertelaan sama-sama diterapkan terhadap
permasalahan pertama maupun kedua. Selain itu, penulis juga menggunakan asas
hukum dalam mengkaji permasalahan dalam tesis ini. Asas hukum yang
digunakan dalam permasalahan pertama yaitu asas hukum kebendaan, asas hukum
tanah, dan asas proporsionalitas selanjutnya untuk menyelesaikan permasalahan
kedua penulis menggunakan asas hukum perjanjian, asas hukum perlindungan
konsumen, asas kepatutan serta asas kepastian hukum.
xiv
Bab II, menguraikan Tinjauan Umum tentang Kebendaan, Pertelaan, Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun, Overmacht dan Perjanjian Rumah Susun.
Tinjauan Umum ini dibedakan menjadi 3 (tiga) sub bab, yaitu Tinjauan Umum
tentang Kebendaan, Tinjauan Umum tentang Pertelaan dan Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun serta Tinjauan Umum tentang Overmacht dan Perjanjian Rumah
Susun. Pada sub bab Tinjauan Umum tentang Kebendaan diuraikan mengenai
Ruang lingkup Benda dan Hak Kebendaan serta Jenis-jenis Kebendaan dan Hak
Kebendaan. Pada sub bab Tinjauan Umum tentang Pertelaan dan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun diuraikan mengenai Ruang Lingkup Pertelaan dan Ruang
Lingkup Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pada sub bab Tinjauan Umum
tentang Overmacht dan Hukum Perjanjian Rumah Susun diuraikan mengenai
Pengertian dan Unsur-unsur Overmacht, Jenis-jenis overmacht, Jenis-Jenis
perikatan dan/atau perjanjian serta obyek dan subyek perikatan dan/atau
perjanjian.
Bab III, menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai
Bagaimanakah akibat hukum klausula pertelaan dalam overmacht terhadap
kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun yang diuraikan dalam 4 (empat) sub-bab,
yang masing-masing sub bab, diuraikan lagi menjadi beberapa sub-sub bab,
diantaranya: Sub bab Konsepsi Kepemilikan HMSRS dalam Sistem Hukum
Nasional yang penulis uraikan menjadi 2 (dua) sub-sub bab yaitu mengenai
Sistem Hukum Tanah Nasional dan Sistem Hukum Bangunan serta Sistem
Hukum Kebendaan Nasional. Sub bab Hubungan Hukum antara Obyek
kebendaan HMSRS, Tanah, dan Bangunan penulis uraikan menjadi 2 (dua) sub-
sub bab yaitu mengenai Penerapan Asas Hukum Tanah dan Hukum Bangunan
serta Penerapan Asas Hukum Kebendaan. Pada sub bab Arti penting Klausula
Pertelaan dalam Pengaturan Konsepsi HMSRS, penulis uraikan menjadi 2 (dua)
xv
sub bab yaitu mengenai klausula pertelaan sebagai syarat dalam pemisahan
HMSRS, Bentuk Penjabaran serta Penerapan Asas Proporsionalitas dan Keadilan
Berbasis Kontrak, penulis juga menguraikan Bentuk Pertanggungjawaban Para
Pihak dalam overmacht terhadap HMSRS, serta Pertanggungjawaban Developer
kepada Konsumen dalam tinjauan Aspek Hukum Perlindungan Konsumen.
Berkaitan dengan telaah tersebut, dalam pembahasan ini penulis menganalisis
melalui tiga (3) segi yaitu apakah klausula pertelaan tersebut ditujukan terhadap
klausula pertelaan yang tidak dilaksanakan secara keseluruhan ataukah
dilaksanakan hanya sebagian saja oleh para pihak developer maupun oleh pemilik
unit satuan rumah susun (konsumen), atau klausula pertelaan tersebut
dilaksanakan oleh para pihak namun karena keadaan tertentu diluar
kesalahan/kelalaian para pihak menyebabkan klausula pertelaan tidak dapat
dilaksanakan sepenuhnya. Keadaan tertentu diluar kesalahan/kelalaian para pihak
inilah dinamakan keadaan memaksa (overmacht). Agar mengetahui sebatas mana
tanggung jawab para pihak dalam hal terjadinya overmacht, lebih lanjut diteliti
overmacht apa yang menimpa para pihak, apakah Overmacht Absolute ataukah
Overmacht Relatif, selain itu untuk menunjang hasil penelitian ini agar menjadi
satu bahasan yang utuh maka penulis juga menelaah lebih lanjut dengan
mencemati objek kebendaan HMSRS berdasarkan Sistem Hukum Nasional
diantaranya melalui Sistem Hukum Kebendaan Nasional dengan mencermati,
tergolong jenis kebendaan apakah HMSRS ini, kemudian mencermati Sistem
Hukum Tanah Nasional, yaitu mengkaji secara spesifik apakah HMSRS termasuk
dalam kategori Hak Penguasaan atas Tanah dalam UUPA ataukah tergolong jenis
hak atas tanah yang berdiri sendiri, dengan kata lain HMSRS tidak termasuk
lingkup/cakupan dalam UUPA. Setelah penulis menganalis secara cermat dan
seksama menjadi satu kesatuan utuh maka hasil penelitian dalam Bab ini
xvi
menunjukkan bahwa Akibat Hukum Klausula Pertelaan dalam Overmacht
terhadap HMSRS, yaitu: terhadap overmacht absolute, perjanjian dinyatakan
Batal demi Hukum dari semula dianggap tidak pernah ada perikatan, dengan
beban pembuktian keadaan yang menyebabkan overmacht adalah keadaan yang
menyebabkan kehilangan benda obyek perjanjian karena kuasa Tuhan. Terhadap
overmacht relatif:tidak serta merta demi hukum mengakibatkan perikatan tersebut
hapus, hanya menunda pelaksanaan perjanjian dan bila keadaan overmacht
tersebut telah hilang maka perjanjian dapat dilaksanakan kembali, dengan beban
pembuktian, salah satu pihak dapat membuktikan bahwa pihak lainnya lalai dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya.
Bab IV, Menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai
Kriteria overmacht dalam buku III KUHPerdata berlaku mutatis mutandis
terhadap Kepemilikan Satuan Rumah Susun, yang diuraikan dalam 3 (tiga) sub
bab kemudian sub bab tersebut diuraikan lagi menjadi beberapa sub-sub bab,
diantaranya sub bab Konvergensi Penjabaran dan Penerapan Sistem Hukum
Benda dan Sistem Hukum Perikatan menguraikan tentang Sistem Hukum Benda
dalam kajian Obyek Kebendaan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan Sistem
Hukum Perikatan dalam Kaitan Hak Kepemilikan Satuan Rumah Susun. Pada sub
bab Lingkup Kriteria Overmacht, menguraikan tentang Kriteria Overmacht dalam
Buku III KUHPerdata, Kriteria overmacht berdasarkan Doktrin dan Yurisprudensi
serta Kriteria Overmacht dalam Peraturan Perundang-undangan dan Kontrak-
kontrak lainnya. Pada sub bab Urgensi Pengaturan Overmacht di Masa Datang
menguraikan tentang Penerapan Asas-asas Hukum Perjanjian, Penerapan asas
kepatutan serta Penerapan Asas Hukum Perlindungan Konsumen dan Asas
Kepastian Hukum. Dalam pembahasan ini penulis melakukan telaah secara
seksama terhadap tiga (3) aspek hukum yaitu aspek hukum benda, aspek hukum
xvii
perjanjian dan aspek hukum perlindungan konsumen. Telaah tersebut, disatu sisi
hukum benda menguasai kepemilikan HMSRS, karena HMSRS tersebut
berkenaan dengan jenis penggolongaan kebendaan yang merupakan jenis
kebendaan baru yaitu benda tetap berwujud yang terdaftar sehingga pengaruh
hukum benda sangat krusial dalam penanganan overmacht terhadap HMSRS,
disisi lain Hukum Perikatan juga memegang peran penting dalam kepemilikan
HMSRS karena adanya hubungan hak dan kewajiban terhadap para pihak dalam
mengadakan pengikatan terlebih-lebih dicantumkan dalam klausula pertelaan,
PPJB dan AJB HMSRS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kriteria
Overmacht terhadap HMSRS juga berlaku secara mutatis-mutandis terhadap
kriteria overmacht dalam Yurisprudensi, Peraturan perundang-undangan lainnya
serta Kontrak-kontrak lainnya.
Bab V, sebagai bab penutup dari penulisan ini menguraikan mengenai
simpulan dan saran. Adapun simpulan dari penelitian ini, akibat hukum Klausul
Pertelaan dalam hal terjadinya overmacht terhadap Kepemilikan Satuan Rumah
Susun, yaitu: Terhadap Overmacht Absolut: Perjanjian dinyatakan Batal demi
Hukum dari semula dianggap tidak pernah ada perikatan, sehingga mengakibatkan
debitur tidak perlu membayar ganti rugi, asalkan para pihak dapat membuktikan
bahwa keadaan yang menyebabkan overmacht tersebut adalah keadaan di luar
kekuasaan pihak yaitu kehilangan benda obyek perjanjian yang disebabkan dari
kuasa Tuhan.Terhadap Overmacht Relatif: Tidak serta merta demi hukum
mengakibatkan perikatan tersebut hapus, melainkan hanya menunda pelaksanaan
pemenuhan prestasi dan bila keadaan overmacht tersebut telah hilang maka
kreditur dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi, asalkan para pihak dapat
membuktikan bahwa pihak lainnya lalai dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya. Berdasarkan kriteria-kriteria overmacht dalam Buku III
xviii
KUHPerdata yang hanya bersifat terbatas saja maka selain terhadap kriteria
overmacht dalam buku III KUHPerdata, kriteria Overmacht terhadap Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun juga dapat diterapkan/berlaku secara mutatis-mutandis
terhadap kriteria overmacht dalam Yurisprudensi, Peraturan perundang-undangan
lainnya serta Kontrak-kontrak lainnya, dengan mencermati substansi objek
kebendaan HMSRS dan relevansinya terhadap perjanjian rumah susun.
Saran yang dapat penulis kemukakan terhadap kedua permasalahan pokok
yang dikaji dalam penelitian tesis ini adalah pada prinsipnya, Pertelaan dan Akta
Pemisahan dibuat dan ditetapkan oleh Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun
(Pengembang/ Developer), namun demikian agar tidak menimbulkan sengketa di
kemudian hari, disarankan kepada Kantor Pertanahan terlebih dahulu melakukan
pengecekan secara uji petik terhadap beberapa unit Satuan Rumah Susun untuk
mendapatkan luas lot dan selanjutnya diadakan kesesuaian antara data-data
mengenai bagian bersama, benda bersama sehingga luas unit satuan rumah susun
yang tercantum dalam draft pertelaan dan akta pemisahan sebanding dengan
kondisi fisik di lapangan dalam rangka memperoleh besaran imbangan NPP,
sehingga adanya transparansi dalam menetapkan Rincian Pertelaan. Setelah
mendapat kesesuaian data rincian pertelaan, disarankan pula kepada Kantor
Pertanahan agar memberikan arahan draft pertelaan dan akta pemisahan, sehingga
tidak adanya penetapan bentuk draft pertelaan dan akta pemisahan secara sepihak
oleh Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun (pengembang/Developer)
sekaligus mencegah adanya itikad buruk dari Penyelenggara Pembangunan
Rumah Susun (pengembang/ Developer). Kepada Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah sebelum menetapkan SK Pengesahan Pertelaan sepatutnya
melakukan telaah secara seksama dan cermat terhadap rincian pertelaan, lampiran
persyaratan administratif dan teknis dalam pembangunan rumah susun serta akta
xix
pemisahan dan ada baiknya juga selain diadakan Rapat Koordinasi terhadap
instansi berwenang, Pemerintahan Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dalam
melakukan pengesahan Pertelaan juga mengadakan Rapat dengan Pihak
Pengembang dan Pemilik Unit Satuan Rumah Susun agar tercipta transparansi
didalam proses Pengesahan Pertelaan. Kepada Instansi berwenang dan pejabat
berwenang sebelum mengeluarkan Izin terkait, Izin Laik Huni, sebaiknya
melakukan pengecekan secara cermat terhadap uji kelayakan bangunan,
kesesuaian konstruksi bangunan meliputi Rancang Bangun, Arsitektur Bangunan,
Intensitas Bangunan terhadap kesesuaian perbandingan dengan Koefisien Dasar
Bangunan, Koefisien Lantai Bangunan dan Koefisien Benda Bersama agar tahan
terhadap risiko bencana. Untuk mendukung bisnis properti dalam hal ini
Kepemilikan Satuan Rumah Susun serta dalam hubungannya dengan
perlindungan pemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, disarankan kepada
pembuat kebijakan perihal pengaturan konsepsi Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun sebaiknya dipisahkan dari Undang-undang Rumah Susun dan dibuatkan
Undang-undang tersendiri yaitu Undang-undang Pertelaan yang khusus mengatur
mengenai Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun karena Undang-undang Rumah
Susun menggabungkan konsepsi pengaturan. Disarankan pula dalam
pembentukan Undang-undang Pertelaan dicantumkan pengaturan mengenai
overmacht, meskipun memang dicantumkan atau tidaknya overmacht dalam
perjanjian tergantung atas kesepakatan para pihak namun untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum terhadap kepemilikan Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun dan demi terwujudnya keadilan berbasis kontrak, sepatutnya
overmacht diatur dalam bentuk Undang-undang.
xx
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ....................................................................................... i
PRASYARAT GELAR ................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI …………………………………....... iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ......................................................... v
UCAPAN TERIMAKASIH......................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................... x
ABSTRACT ................................................................................................... xi
RINGKASAN ............................................................................................... xii
DAFTAR ISI ................................................................................................. xx
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................. xxv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xxvii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 11
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 12
1.3.1 Tujuan Umum .......................................................... 12
1.3.2 Tujuan Khusus ......................................................... 12
1.4 Manfaat Penulisan ............................................................... 12
1.4.1 Manfaat Teoritis ...................................................... 12
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................ 13
xxi
1.5 Landasan Teoritis ................................................................ 14
1.5.1 Teori Hukum ........................................................... 14
1.5.1.1 Teori Hukum Umum ................................ 14
1.5.1.1.a. Three Element of Legal System
Theory ....................................... 14
1.5.1.1.b. Teori Keadilan .......................... 14
1.5.1.2 Teori Hukum Khusus ............................... 16
1.5.1.2.a. Teori Korelasi .......................... 16
1.5.1.2.b. Teori Tahap Penyusunan
Kontrak .................................... 17
1.5.1.2.c. Teori Pertanggungjawaban
Risiko Tanggung Gugat dalam
overmacht ............................... 17
1.5.1.2.d. Terjadinya Hak Milik ............... 18
1.5.2 Konsep Hukum ........................................................ 19
1.5.2.1 Konsep Pertelaan dan Konsep Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun ....................... 20
1.5.2.2 Konsep Hak dan Kewajiban Para Pihak .. 23
1.5.2.3 Konsep Overmacht ................................... 27
1.5.2.4 Konsep Tanggungjawab Developer/Ganti
Rugi Terhadap Konsumen Dalam Hal
Terjadinya Overmacht ............................. 31
1.5.3 Asas Hukum ............................................................ 34
1.5.3.1 Asas Hukum Perjanjian ............................ 34
1.5.3.2 Asas Perlindungan Konsumen ................. 36
1.5.3.3 Asas Proporsionalitas ............................... 36
1.5.3.4 Asas Kepatutan ........................................ 37
xxii
1.5.3.5 Asas Hukum Tanah .................................. 38
1.5.3.6 Asas Hukum Kebendaan .......................... 39
1.6 Metode Penelitian ................................................................ 41
1.6.1 Jenis Penelitian ........................................................ 42
1.6.2 Jenis Pendekatan ...................................................... 42
1.6.3 Sumber Bahan Hukum ............................................ 44
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ...................... 45
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ............................... 45
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KEBENDAAN,
PERTELAAN, HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH
SUSUN, OVERMACHT DAN PERJANJIAN RUMAH
SUSUN ......................................................................................... 48
2.1 Tinjauan Umum tentang Hak Kebendaan ........................... 48
2.1.1 Ruang Lingkup Benda dan Hak Kebendaan ........... 48
2.1.2 Jenis-jenis Kebendaan dan Hak Kebendaan ............ 53
2.2. Tinjauan Umum tentang Pertelaan dan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun ........................................................... 70
2.2.1 Ruang Lingkup Pertelaan ........................................ 70
2.2.2 Ruang Lingkup Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun ....................................................................... 74
2.3. Tinjauan tentang Overmacht dan Hukum Perjanjian
Rumah Susun ....................................................................... 76
2.3.1 Pengertian dan Unsur-unsur Overmacht ................. 76
2.3.2 Jenis-jenis Overmacht ............................................. 80
2.3.3 Jenis-Jenis Perikatan dan/atau Perjanjian ............... 82
2.3.4 Obyek dan Subyek Perikatan dan/atau Perjanjian ... 93
xxiii
BAB III AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM
KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP
KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN
3.1 Konsepsi Kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun dalam Sistem Hukum Nasional ................................ 103
3.1.1 Sistem Hukum Tanah Nasional dan Sistem Hukum
Bangunan ................................................................. 109
3.1.2 Sistem Hukum Kebendaan Nasional ....................... 113
3.2 Hubungan Hukum antara Obyek kebendaan Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun, Tanah, dan Bangunan ............ 115
3.2.1 Penerapan Asas Hukum Tanah dan Hukum
Bangunan ................................................................. 116
3.2.2 Penerapan Asas Hukum Kebendaan ........................ 124
3.3 Arti penting Klausula Pertelaan dalam Pengaturan
Konsepsi Hak Milik atas Satuan Rumah Susun .................. 132
3.3.1 Klausula Pertelaan sebagai Syarat dalam
Pemisahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ... 132
3.3.2 Bentuk Penjabaran dan Penerapan Asas
Proporsionalitas dan Keadilan Berbasis Kontrak .... 139
3.4 Bentuk Pertanggungjawaban Para Pihak dalam hal
terjadinya Overmacht terhadap Kepemilikan Satuan
Rumah Susun ....................................................................... 148
3.4.1 Akibat Hukum Overmacht dari Segi Buku III
KUHPerdata dan Doktrin ........................................ 148
3.4.2 Akibat Overmacht Berdasarkan Yurisprudensi ....... 158
3.4.3 Akibat Overmacht Menurut Peraturan Perundang-
undangan dan Kontrak ............................................. 159
3.4.4 Akibat Overmacht dari Segi Pertanggungjawaban
Developer Kepada Konsumen Berdasarkan Aspek
Hukum Perlindungan Konsumen ............................ 162
xxiv
BAB IV KRITERIA OVERMACHT TERHADAP KEPEMILIKAN
SATUAN RUMAH SUSUN ..................................................... 171
4.1. Konvergensi Penjabaran dan Penerapan Sistem Hukum
Benda dan Hukum Perikatan .............................................. 171
4.1.1 Sistem Hukum Benda dalam kajian Obyek
Kebendaan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun .. 171
4.1.2 Sistem Hukum Perikatan dalam Kaitan Hak
Kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun ................. 173
4.2 Lingkup Kriteria Overmacht ............................................... 177
4.2.1 Kriteria Overmacht dalam Buku III KUHPerdata ... 177
4.2.2 Kriteria Overmacht Berdasarkan Doktrin dan
Yurisprudensi .......................................................... 183
4.2.3 Kriteria Overmacht dalam Peraturan Perundang-
undangan dan Kontrak-kontrak lainnya .................. 189
4.3 Urgensi Pengaturan Overmacht di Masa Datang ............... 207
4.3.1 Penerapan Asas-asas Hukum Perjanjian ................. 207
4.3.2 Penerapan Asas Kepatutan ...................................... 220
4.3.3 Penerapan Asas Hukum Perlindungan Konsumen
dan Asas Kepastian Hukum..................................... 222
BAB V PENUTUP ................................................................................... 237
5.1 Simpulan .............................................................................. 237
5.2 Saran-Saran ......................................................................... 238
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. 240
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xxv
DAFTAR SINGKATAN
AJB : Akta Jual Beli
GS : Gambar Situasi
HGB : Hak Guna Bangunan
HGU : Hak Guna Usaha
HMSRS : Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
ILH : Izin Layak Huni
IMB : Izin Mendirikan Bangunam
Ka BPN : Kepala Badan Pertanahan Nasional
KB : Koefisien Bagian Bersama
KDB : Koefisien Dasar Bangunan
Kepmenpera : Keputusan Menteri Perumahan Rakyat
KLB : Koefisien Lantai Bangunan
KP SRS : Kredit Pemilikan Satuan Rumah Susun
KUHD : Kitab Undang-undang Hukum Dagang
KUHPerdata : Kitab Undang-undang Hukum Perdata
NPP : Nilai Perbandingan Proporsional
Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri
PICC : Principles of International Commercial Contracts
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
PPJB : Perjanjian Perikatan Jual Beli
PPRS : Perhimpunan Penghuni Rumah Susun
SHM SRS : Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
xxvi
SIPPT : Surat Izin Penunjukkan dan Penggunaan Tanah
SPP : Survey Pengukuran dan Pemetaan
SRS : Satuan Rumah Susun
SU : Surat Ukur
UU NRI Tahun 1945 : Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945
UU LPM PUTS : Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak sehat
UUPA : Undang-undang Pokok Agraria
UUPK : Undang-undang Perlindungan Konsumen
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Contoh Surat Permohonan Pengesahan Pertelaan
Lampiran 2 : A. Contoh Berita Acara Penelitian Pertelaan Rumah Susun
B. Contoh Berita Acara Pemeriksaan Fisik Rumah Susun
Lampiran 3 : Contoh Surat Pengantar SK Pengesahan kepada
Bupati/Walikota/Gubernur untuk DKI Jakarta
Lampiran 4 : Contoh Draft SK Pengesahan
Lampiran 5 : Contoh Gambar Denah Satuan Rumah Susun
Lampiran 6 : Tata Urutan Penyusunan Halaman Gambar Pertelaan
A. Keterangan Muka Peta dan Bidang Gambar Pertelaan
B. Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunjukkan
Satuan Lingkungan
C. Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunjukkan
Tanah Bersama
D. Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunjukkan
Bagian Perseorangan dan Bagian Bersama
E. Denah Bangunan Lantai
F. Denah Satuan Rumah Susun
Lampiran 7 : Contoh Uraian Pertelaan Rumah Susun
Lampiran 8 : Anggaran Dasar Perhimpunan Penghuni Rumah Susun
Lampiran 9 : Daftar Isian dalam Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah
susun
Lampiran 10 : Bagan Alur Proses Sertipikasi Satuan Rumah Susun
Lampiran 11 : Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010
tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan berkaitan
dengan Pendaftaran, Peralihan dan Balik Nama terhadap
kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Lampiran 12 : Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Pedoman Pengisian Akta Pemisahan Rumah Susun.
Lampiran 13 : Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 tentang
Bentuk dan Tata cara pembuatan Buku Tanah serta penerbitan
Sertifikat Hak Milik Atas Satuan
A. Akta Pemisahan Rumah Susun
B. Gambar Denah
Lampiran 14 : Contoh Draft Akta Jual Beli Satuan Rumah Susun
Lampiran 15 : Contoh Buku Tanah (Sertipikat) Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Klausula Pertelaan merupakan persyaratan administratif dalam
pembangunan rumah susun yang wajib dibuat oleh pelaku pembangunan rumah
susun (developer) dengan memuat batas dan rincian yang jelas atas satuan dan
bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi
berwenang. Pertelaan mempunyai peran penting sebagai dasar pengesahan “akta
pemisahan rumah susun” dan landasan penerbitan sertipikat Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun (selanjutnya disebut HMSRS).
Pembangunan rumah susun merupakan kebutuhan utama atau primer
manusia akan terpenuhinya perumahan atau pemukiman. Secara implisit,
kebutuhan tersebut diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD NRI
Tahun 1945) yang menegaskan bahwa :
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
2
Ditegaskan pula dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1) bahwa
"Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat". Rumusan ini menyiratkan
bahwa salah satu unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya
kebutuhan akan perumahan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap Warga
Negara Indonesia. Bertolak dari uraian tersebut, untuk peningkatan daya guna dan
hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan pemukiman, serta
meningkatkan efektivitas penggunaan tanah terutama pada lingkungan atau daerah
yang padat penduduknya, maka dilakukan penataan atas tanah, dan mulai
terpikirkan untuk melakukan pembangunan suatu bangunan yang digunakan untuk
hunian dengan bangunan tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dengan
masyarakat lainnya, sehingga terbentuklah adanya rumah susun.1
Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif untuk
memecahkan masalah kebutuhan pemukiman dan perumahan pada lokasi yang
padat dan tanah yang tersedia sangat terbatas sehingga perlu dikembangkan
pembangunan perumahan dan pemukiman dalam bentuk rumah susun yang
lengkap, seimbang, dan serasi dengan lingkungannya.2 Rumah susun adalah
bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi
dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal
maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki
dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi
1Adrian Sutedi, 2010, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Cet.I, Sinar
Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I) hal. 162. 2Arie S. Hutagalung, 2007, Condominium dan Permasalahannya, Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.2.
3
dengan bagian bersama, benda-benda bersama dan tanah bersama. Melalui
pembangunan rumah susun, optimalisasi penggunaan tanah secara vertikal sampai
beberapa tingkat akan lebih efektif daripada optimalisasi penggunaan secara
horizontal.3
Landasan Hukum dari Pembangunan Rumah Susun adalah Undang-
undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun bagi penyelenggaraan
pembangunan rumah susun di Indonesia, serta adanya tiga Peraturan Menteri
Dalam Negeri (selanjutnya disebut Permendagri) yaitu Permendagri Nomor 14
Tahun 1975, tentang Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama dan
Pemilikan Bagian-bagian Bangunan Yang Ada Diatasnya Serta Penerbitan
Sertifikatnya, Permendagri Nomor 14 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Tata
Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas Tanah yang Dipunyai Bersama dan
Pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang Ada Diatasnya, serta Permendagri
Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara Permohonan dan Pemberian Izin
Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan
Pemilikan Secara Terpisah Bagian-bagian pada Bangunan Bertingkat. Selain
ketentuan tersebut, ada ketentuan lain yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
1998 tentang Rumah Susun yang telah diundangkan pada tanggal 26 April 1988.
Pada tanggal 31 Desember 1985 diundangkan Undang-undang Nomor 16 Tahun
1985 tentang Rumah Susun. Dalam kepustakaan hukum undang-undang tersebut
disebut Undang-undang Kondominium Indonesia.4
3Ridwan Halim, 2000, Sendi-Sendi Hukum Hak Milik, Kondominium,
Rumah Susun Dan Sari-Sari Hukum Benda, Puncak Karna, Jakarta, hal.299. 4Boedi Harsono, 1990, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-
Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta (selanjutnya disebut Boedi Harsono
I), hal. 340.
4
Dengan berlakunya Undang-undang Rumah Susun, berbagai masalah
hukum yang sebelum itu dipertentangkan dan diragukan pemecahannya mendapat
jawaban yang pasti. Undang-Undang ini mengatur hal- hal yang bersifat pokok
saja, sedangkan ketentuan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan
pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan yang lain. Sampai saat ini
peraturan perundang-undangan yang dimaksud yang telah ada yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut PP
Rumah Susun), Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun
1989 (selanjutnya disebut Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989) tentang
Bentuk dan Tatacara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun
dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989
(selanjutnya disebut Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989) tentang Bentuk dan
Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun.
Proses penerbitan sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, terlebih
dahulu harus memenuhi syarat administratif yaitu melalui pengesahan akta
pemisahan rumah susun dan pertelaan merupakan salah satu syarat untuk
pengesahannya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Peraturan Ka BPN Nomor
2 Tahun 1989. Perihal Klausula pertelaan sebelumnya telah ditegaskan dalam
Pasal 31 PP Rumah Susun, pada intinya menegaskan bahwa Developer sebagai
penyelenggara pembangunan rumah susun wajib meminta pengesahan pertelaan
yang menunjukkan batas yang jelas dari masing-masing satuan rumah susun,
bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama beserta uraian nilai
5
perbandingan proporsionalnya. Pertelaan ini memuat mengenai Gambar dan
Uraian Pertelaan, Nilai Perbandingan Proporsional (selanjutnya disebut NPP)
yang berisi mengenai hak dan kewajiban para pihak serta sistem perhitungan NPP
berdasar Nilai Jual Pertama dan Luas Satuan Rumah Susun.5
Mencermati uraian diatas, maka pembangunan rumah susun harus
memenuhi persyaratan teknis dan administratif karena pembangunan rumah
susun lebih berat dengan spesifikasi rumah susun yang memiliki bentuk dan
keadaan khusus yang berbeda dari perumahan biasa (landed house) serta
merupakan gedung bertingkat yang akan dihuni oleh banyak orang sehingga perlu
dijamin keamanan, keselamatan dan kenikmatan dalam penghuniannya.6
Dalam perkembangannya, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tersebut
sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang dalam
penghunian, kepemilikan, dan pemanfaatan rumah susun. Karena sumirnya
pengaturan tentang rumah susun maka lahirlah Undang-undang baru tentang
Rumah Susun yakni Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011. Setelah disahkannya
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (selanjutnya
disebut UU Rumah Susun) ini ternyata menuai kritik dari praktisi hukum di
bidang properti.
UU Rumah Susun ini seakan mencampuradukkan konsep kondominium
dan strata title dalam kepemilikan rumah susun. Padahal, dua konsep ini berbeda
secara konstruksi yuridis. Kondominium itu menyangkut kepemilikan bersama
termasuk tanah, sedangkan strata title adalah kepemilikan bersama tak termasuk
5Pasal 31 PP 4 Tahun 1988 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1988 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3372. 6 Arie S.Hutagalung, op.cit, hal.33-34.
6
tanah yaitu konsep hunian vertikal maupun horizontal di mana hak kepemilikan
atas suatu ruang dalam gedung bertingkat dibagi-bagi untuk beberapa pihak.
Diterbitkannya UU Rumah Susun ini juga memberikan peluang untuk dibuatnya
klausula pertelaan sebelum bangunan itu selesai, yang pada dasarnya klausula
pertelaan tersebut dibuat setelah bangunan selesai. Dari sisi pengembang
perumahan, ini sangat merugikan karena pengembang perumahan hanya
memenuhi kewajiban mereka.
Persyaratan pembangunan rumah susun ditegaskan dalam Pasal 28-30
mengenai persyaratan administratif dan Pasal 35-36 berkaitan dengan persyaratan
teknis. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam melakukan pembangunan rumah
susun, pelaku pembangunan harus memenuhi ketentuan administratif yaitu
persyaratan izin usaha dari perusahaan pembangunan perumahan, meliputi:
1) Status hak atas tanah dan izin mendirikan bangunan (selanjutnya cukup
ditulis IMB)
2) Izin Layak Huni (selanjutnya cukup ditulis ILH)
Pelaku pembangunan harus membangun rumah susun dan lingkungannya
sesuai dengan rencana fungsi dan pemanfaatannya, harus mendapatkan
izin dari bupati/walikota. Khusus untuk Provinsi DKI Jakarta, rencana
fungsi dan pemanfaatan mendapatkan izin Gubernur
3). Permohonan ILH yang diajukan oleh pelaku pembangunan dengan
melampirkan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU
Rumah Susun yaitu :
a. sertifikat hak atas tanah;
b. surat keterangan rencana kabupaten/kota;
c. gambar rencana tapak;
d. gambar rencana arsitektur yang memuat denah, tampak, dan
potongan rumah susun yang menunjukkan dengan jelas batasan
secara vertikal dan horizontal dari sarusun;
e. gambar rencana struktur beserta perhitungannya;
f. gambar rencana yang menunjukkan dengan jelas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama; dan
g. gambar rencana utilitas umum dan instalasi beserta
perlengkapannya.
7
4). Adanya Klausula Pertelaan dan Akta Pemisahan
Pelaku pembangunan setelah mendapatkan ILH dan IMB wajib meminta
pengesahan dari pemerintah daerah tentang pertelaan yang menunjukkan
batas yang jelas dari setiap sarusun, bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama berserta uraian NPP.7
Mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun8, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 35 UU Rumah Susun, terdiri atas:
a. tata bangunan yang meliputi persyaratan peruntukan lokasi serta
intensitas dan arsitektur bangunan; dan
b. keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
Pemilikan Satuan Rumah Susun (selanjutnya ditulis SRS) adalah bersifat
perorangan dan terpisah dengan hak bersama, benda bersama dan tanah bersama.
Akan menjadi masalah yang krusial jika terhadap bangunan gedung rumah susun
tersebut roboh atau terbakar dan tidak dapat dihuni oleh pemilik atau penghuni
satuan rumah susun. Berkaitan dengan bangunan gedung rumah susun yang roboh
atau terbakar, keadaan demikian ini dinamakan keadaan memaksa (overmacht).
Selanjutnya dalam penulisan ini cukup ditulis overmacht. Overmacht diatur dalam
buku III KUHPerdata, dalam pelaksanaannya, Buku III KUHPerdata ini bersifat
7UU Rumah Susun Pasal 28-30, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5252. 8Persyaratan teknis pembangunan rumah susun yaitu persyaratan yang
berkaitan dengan sruktur bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan,
kesehatan lingkungan, kenyamanan dan lain-lain yang berhubungan dengan
rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan. (Vide
Pasal 24 huruf b UU Rumah Susun).
8
anvullenrecht (pelengkap). Overmacht diatur dalam Buku III bagian VII tentang
Musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata).
Mengacu dan menilik uraian serta substansi dari aturan-aturan hukum
yang telah dijabarkan diatas, dapat diungkapkan bahwa masalah mendasar dari
penelitian ini yaitu adanya norma kosong dalam UU Rumah Susun berkaitan
dengan overmacht. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, secara eksplisit,
pengaturan overmacht telah dirumuskan dalam Buku III KUHPerdata bagian VII
tentang musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata).
Berdasarkan konsepsi dasar pengaturan overmacht ini maka muncullah dasar
pemikiran penulis untuk mengkaji secara mendalam kriteria dari overmacht yang
tercantum dalam Buku III KUHPerdata, yang pada hakikatnya bersifat aanvullend
recht akankah berlaku secara mutatis mutandis dalam penyelesaian overmacht
dalam rumah susun dengan mencermati substansi obyek kebendaan dari rumah
susun itu sendiri. Menjadi permasalahan, di sisi lain kebendaan ini bersifat
dwingend recht sebagaimana diatur dalam Buku II KUHPerdata. Telaah lebih
lanjut terhadap kriteria dari overmacht, tentunya akan memberi akibat hukum
terhadap klausula pertelaan dalam kepemilikan atas satuan rumah susun yang
memiliki peranan yang teramat penting sebagai syarat pemisahan rumah susun.9
Penulis selain mencermati substansi obyek kebendaan rumah susun dalam
sistem hukum benda nasional, hal yang begitu penting pula untuk dicermati lebih
lanjut dalam kepemilikan atas SRS yaitu berkenaan dengan sistem hukum tanah
9 Syarat pemisahan rumah susun tersebut sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 31 PP Rumah Susun jo Pasal 2 Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989 jo
Pasal 25 ayat (1) UU Rumah Susun.
9
nasional dan dari aspek perlindungan terhadap konsumen akibat dari adanya
overmacht tersebut. Hal ini menjadi konstruksi pemikiran dari penulis, oleh sebab
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun itu termasuk klasifikasi kebendaan apa
dalam sistem hukum benda nasional dan dalam sistem hukum tanah nasional,
apakah termasuk jenis tanah yang tergolong dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih
dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Dari
pemikiran tersebut akan memperoleh suatu pemahaman yang sistematis dan utuh
sehubungan dengan akibat hukum dari overmacht terhadap klausul pertelaan atas
kepemilikan satuan rumah susun.
Bertolak pada konstruksi pemikiran diatas, sejalan dengan perkembangan
masyarakat yang semakin kompleks membutuhkan suatu inovasi baru yang bisa
mengakomodir segala permasalahan yang muncul. Begitu pula dalam hal
pengaturan tentang overmacht juga mengalami perkembangan. Masyarakat tentu
saja dapat menerima perkembangan overmacht sesuai dengan proporsinya
masing-masing asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan
dan kesusilaan. Dari latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk
menulis proposal tesis dengan judul: Akibat Hukum Klausula Pertelaan dalam
Keadaan Memaksa (Overmacht) terhadap Kepemilikan Satuan Rumah
Susun. Keaslian Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan karena sebelumnya
tidak ada yang melakukan penelitian terhadap tulisan ini, hanya saja ada beberapa
penelitian yang bersinggungan dengan penelitian ini, yaitu:
10
A) Penelitian tesis atas nama Desy Eka Widyantari, Mahasiswi Pascasarjana
Univeritas Udayana, Magister Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Tahun
Penelitian; 2012, dengan judul penelitian: "Mekanisme Penerbitan Akta
Pemisahan Rumah Susun Sebagai Alas Hak Lahirnya SHM SARUSUN/
SKGB Berikut Peralihan dan Pembebanannya", dan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah akibat hukumnya bila dalam pembangunan rumah susun
pada tahap selanjutnya mengalami perubahan rencana bangun yang
mengakibatkan perubahan terhadap nilai perbandingan proporsional Akta
Pemisahan Rumah Susun?
2. Apakah Satuan Rumah susun (Sarusun) dan Sertifikat Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun)/Sertifikat Kepemilikan Bangunan
Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG Sarusun) dapat dijadikan jaminan
kredit dan bagaimana penerapan roya parsial dalam kredit konstruksi
rumah susun?
B) Penelitian Tesis atas nama Elmaliza (087011041 / MKn), Tahun Penelitian
2010, Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, dengan judul: "Kepemilikan Terhadap Tanah Pertapakan dan
Bangunan Rumah Susun yang dikuasai dengan Sistem Strata Title" dan
rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana dasar hukum (payung hukum) kepemilikan rumah susun
dengan sistem strata title di Indonesia?
11
2. Bagaimana hak kepemilikan tanah dan bangunan atas rumah susun
menurut sistem pertanahan di Indonesia?
3. Bagaimana tanggungjawab para pemilik satuan rumah susun dengan
sistem strata title dalam pemeliharaan hak atas tanah dan bangunan serta
fasilitas rumah susun?
C) Penelitian Tesis yang ditulis oleh Muchairani, mahasiswi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan rumusan
masalah sebagai berikut:
1) Hak-hak atas tanah apa saja yang dapat dipergunakan penyelenggara
pembangunan rumah susun untuk membangun rumah susun?
2) Apakah Undang-Undang Rumah Susun menganut asas pelekatan atau asas
pemisahan horizontal?
Beranjak dari paparan permasalahan yang diteliti oleh peneliti sebelumnya,
dapat dicermati adanya perbedaan yang sangat mendasar dari penelitian ini, maka
dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara
ilmiah.
1.2 Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah, sebagaimana dikemukakan
diatas maka dapat dirumuskan 2 (dua) permasalahan pokok yaitu sebagai berikut:
1) Bagaimanakah akibat hukum klausula pertelaan terhadap kepemilikan
Satuan Rumah Susun dalam keadaan overmacht?
12
2) Apakah kriteria overmacht dalam Buku III KUHPerdata berlaku mutatis
mutandis terhadap keadaan overmacht dalam kepemilikan Satuan Rumah
Susun?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penulisan ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum
terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses) yaitu untuk
pengembangan ilmu hukum dalam bidang pertanahan (Agraria) dan bidang
property terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus pada dasarnya berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Tujuan khusus dalam penulisan ini yaitu:
1) Untuk menganalisis dan mengetahui akibat hukum klausul pertelaan dalam
overmacht terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
2) Untuk menganalisis dan mengetahui kriteria dari overmacht dalam Buku
III KUHPerdata berlaku mutatis mutandis terhadap keadaan overmacht
dalam kepemilikan Satuan Rumah Susun.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penulisan ini, diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan di bidang hukum pertanahan (agraria) dan bidang property (rumah
susun) mengenai akibat hukum klausul pertelaan dalam hal terjadinya overmacht
terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
13
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
kepada pemerintah (pusat dan/atau daerah), developer (pengembang) dan
masyarakat dalam memberikan kepastian hukum siapa yang bertanggung jawab
atas keadaan overmacht, selain itu juga penulisan ini memberikan manfaat bagi
penulis serta bagi pembuat kebijakan, yang diuraikan sebagai berikut:
1. Bagi developer, adanya keterbukaan bagi masyarakat dalam pembuatan
klausul pertelaan terhadap Hak Milik atas Satuan Rumah Susun;
2. Bagi pemilik unit satuan rumah susun, dalam keadaan overmacht terhadap
kepemilikan satuan rumah susun, akan memberikan perlindungan hukum
dan menjamin kepastian hukum dalam kepemilikan satuan rumah susun;
3. Bagi Penulis, untuk menambah wawasan di bidang hukum pertanahan
(agraria) dan bidang property (rumah susun) mengenai klausul pertelaan
serta dapat memahami kriteria overmacht terhadap obyek kebendaan
rumah susun tersebut, sehingga penulis dapat mengkaji secara mendalam
mengenai akibat hukum klausul pertelaan dalam hal terjadi overmacht
terhadap Hak Milik atas satuan Rumah Susun;
4. Bagi pembuat kebijakan, maka diharapkan agar ketentuan UU Rumah
Susun ditinjau kembali dan pengaturannya lebih dipertegas mengenai
kriteria overmacht terhadap Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
14
1.5 Landasan Teoritis
1.5.1 Teori Hukum
1.5.1.1 Teori Hukum Umum
1.5.1.1.a Three Elements of Legal System Theory
Membahas permasalahan pertama, peneliti menggunakan Three Elements
of Legal System Theory dari Lawrence M. Friedmann. Menurut Lawrence M.
Friedmann, dengan teorinya tersebut mengajarkan, hukum itu harus dipersepsikan
sebagai suatu sistem, artinya hukum itu bukan anasir tunggal melainkan
eksistensinya mesti didukung oleh beberapa unsur yang saling mempengaruhi.
Unsur dimaksud, menurutnya, adalah: “legal structure (struktur hukum)”, “legal
substance (substansi hukum)”, dan “legal culture (budaya hukum)”.10
Mencermati Three Elements of Legal System Theory dari Friedmann dalam
membahas permasalahan pertama mengacu pada substansi hukumnya. Friedmann,
menjelaskan substansi hukum adalah "the actual rules, norms, and behavior
pattern of people inside the system"11
(yakni pada aturan-aturan dalam sistem
hukum tersebut, norma-norma termasuk pola perilaku manusia didalam sistem).
1.5.1.1.b Teori Keadilan
Tujuan Negara Indonesia yaitu kesejahteraan (welfare state) dan
kesejahteraan dapat dinikmati jika keadilan sudah diperoleh.12
Berbicara
mengenai keadilan terdapat makna yang beragam dari berbagai kalangan. Suatu
10
Lawrence M. Friedmann, 1985, American Law, W.W.Norton & Company
New York-London, hal.5. 11
Ibid, hal.6. 12
Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan
Memahami Hukum, Laksbang Justitia, Surabaya, hal.70.
15
gejala tertentu disebut keadilan bukan merupakan tugas definisi keadilan
melainkan dengan bantuan teori keadilan.
Salah satu diantara teori keadilan yang dimaksud antara lain teori keadilan
dari Aristoteles yang berdasar pada prinsip persamaan, keadilan terlaksana
terhadap hal-hal yang sama diperlakukan sama dan hal-hal yang tidak sama
diperlakukan secara tidak sama secara proporsionalitas (justice consist in treating
equals equally and unequals unequally in proportion to their inequality).13
Aristoteles membedakan keadilan menjadi:
(1). Keadilan universal (umum) yaitu keadilan yang terbentuk bersamaan
dengan perumusan hukum;
(2). Keadilan partikular diidentikkan dengan kejujuran (fairness atau
equalitas). Keadilan partikular ini dibedakan menjadi:
a. Keadilan distributif adalah keadilan proporsional;
b. Keadilan rektifikatoris disebut juga keadilan remedial,
keadilan korektif ataupun keadilan kompensatoris yaitu
keadilan didalam hubungan hukum antarpersona pada suatu
transaksi bisnis atau kontrak yang didalamnya termuat
pengertian equalitas.14
Sejalan dengan pendapat Aristoteles, Thomas Aquinas mengemukakan
definisi keadilan yaitu "justita est constans et perpetua voluntas jus suum cuique
tribuendi" (keadilan adalah kecendrungan yang tetap dan kekal untuk memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya).15
Aquinas membedakan antara
keadilan dalam arti umum (iustitia generalis) atau keadilan legal (iustitia legalis)
dengan keadilan khusus. Aquinas menyatakan keadilan universal sebagai iustitia
13
Aristoteles dalam E. Sumaryono, 2002, Etika Hukum Relevansi Teori
Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, hal.256. 14
Ibid.
15Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Mandar Maju, Bandung (selanjutnya disebut Bahder Johan Nasution II), hal 104.
16
ad alterum yakni hubungan antara individu dengan masyarakat secara keseluruhan
(ordo partium ad totum).16
Sedangkan keadilan dalam arti khusus berlaku dalam
dua cara yaitu:
(1). Keadilan komutatif (iustitia commutativa)
Hubungan yang mengatur hubungan timbal balik diantara individu
yang satu dengan individu lainnya.
(2). Keadilan distributif (iustitia distributiva)
Mengatur hubungan antara masyarakat secara keseluruhan dengan
setiap individu (ordo totius ad partes) yaitu keadilan dalam
memberikan kepada seseorang secara sebanding atau secara
proporsionalitas dengan apa yang seharusnya ia terima (praeter
proportionem dignitas ipsius).17
Teori lainnya mengenai keadilan yang relevan dalam menganalisis
permasalahan pertama pada penulisan ini yaitu teori yang dikemukakan oleh John
Rawls, dengan membangun teori keadilan berbasis kontrak, dalam artian bahwa
suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak,
dimana asas-asas yang dipilih merupakan kesepakatan bersama secara bebas.
Melalui pendekatan kontrak maka teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan
hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang.18
1.5.1.2 Teori Hukum Khusus
1.5.1.2.a. Teori Korelasi
Teori ini menyatakan selalu ada hubungan timbal-balik antara hak dan
kewajiban. Teori korelasi ini dianut oleh pengikut utilitarianisme. Mereka
berpendapat tentang hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi dan terhadap
16
E.Sumaryono, op.cit, hal.256. 17
E.Sumaryono, op.cit, hal.257. 18
Andre Ata Ujan, 1999, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik
John Rawls), Kanisius, Yogyakarta, hal.21.
17
hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya tidak pantas disebut hak.
Berikut pandangan dari teori korelasi:
1). Dipandang dari segi kewajiban
Terhadap teori korelasi ini, diakui bahwa memang terdapat hubungan
timbal-balik antara hak dan kewajiban, tetapi tidak dapat dikatakan
bahwa hubungan itu mutlak tanpa pengecualian.
John Stuart Mill memberikan pembedaan yang begitu menarik antara
duties of perfect obligation (kewajiban sempurna) dan duties of
imperfect obligation (kewajiban tidak sempurna). Kewajiban sempurna
selalu berkaitan dengan hak orang lain sedangkan kewajiban tidak
sempurna tidak berkaitan dengan hak orang lain.
2). Dipandang dari segi hak.
Hubungan korelasi antara hak dan kewajiban paling jelas terlihat dalam
kasus hak-hak khusus. Dalam hal ini setiap seseorang mempunyai hak
terhadap orang lain, maka orang lain tersebut mempunyai kewajiban
terhadap seseorang.19
1.5.1.2.b Teori Tahap Penyusunan Kontrak
Menurut Van Dunne, tahap-tahap yang harus diperhatikan dalam
penyusunan kontrak, yaitu:
a) Tahap pracontractual merupakan tahapan awal dimana terjadi
penawaran dan penerimaan diantara para pihak;
b) Tahap contractual merupakan keseluruhan hubungan hukum antara
para pihak sesuai dengan kesepakatan;
c) Tahap post contractual yaitu tahap pelaksanaan kontrak yang
mengikat para pihak serta menimbulkan akibat hukum.20
1.5.1.2.c Teori Pertanggungjawaban Risiko Tanggung Gugat dalam
terjadinya Overmacht
Terdapat beberapa teori menurut Agus Yudha Hernoko untuk membahas
risiko tanggung gugat dalam terjadi overmacht yang mencoba memberikan
argumentasi masing-masing, meliputi:
19
K.Bertens, 2004, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.193. 20
Salim H.S, 2009, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak, Cet.6, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut Salim H.S I), hal.4.
18
1. Teori Objektif yang bertitik tolak dari asumsi bahwa prestasi tidak
mungkin bagi setiap orang, artinya ketidakmungkinan mutlak bagi
setiap orang (vide Pasal 1444 KUHPerdata).
2. Teori Subjektif bertitik tolak dari asumsi bahwa prestasi tidak mungkin
bagi debitor yang bersangkutan, terkait dengan ketidakmungkinan
relatif (dengan mengingat keadaan pribadi atau subjek debitor).
J.F. Houwing dengan Teori Usahanya (Inspanningsleer theorie)
merupakan pendukung teori subjektif. Teori ini beranjak dari pemikiran
bahwa overmacht mulai di mana kesalahan berhenti artinya debitor
harus dihukum membayar ganti rugi apabila tidak dapat membuktikan
bahwa, ia telah melakukan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya
berdasar pada pendapat dalam lalu lintas masyarakat dan/atau makna
yang wajar dari kontrak tersebut.
3. Teori Risiko dari J.L.L. Wery, beranjak dari pemikiran bahwa
overmacht mulai diterima di mana risiko berhenti, artinya debitor harus
dihukum membayar ganti rugi apabila tidak dapat membuktikan bahwa
terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari keadaan yang selayaknya
ia tidak bertanggung gugat. Dengan kata lain, meskipun debitor tidak
bersalah, debitor memikul risiko tanggung gugat. Teori ini
menimbulkan teori ambil-alih risiko (Gevaarzetting Theorie)
merupakan contoh dari teori risiko, bahwa di sini debitor telah
mengambil risiko untuk pemenuhan prestasi tersebut.21
1.5.1.2.d. Teori Hak Milik
Menurut Rasjidi, hak milik adalah hubungan seseorang dengan suatu
benda yang membentuk hak pemilikan terhadap benda tersebut, sehingga
hubungan antara subyek dan benda yang memberikan wewenang kepada subyek
untuk mempertahankan benda tersebut dari tuntutan pihak lain. 22
Dari pernyataan
tersebut, maka terdapat beberapa teori hak milik untuk mempertahankannya,
yaitu:
(1) Teori Hukum Alam (Natural Law Theories)
Ajaran Hugo Groutius dan Samuel Pufendorf dipandang sebagai teori
hukum alam yang tertua mengenai milik, dikatakan bahwa pada
21
Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian:Asas Proporsionalitas
dalam Kontrak Komersil, Cet.II, Kencana Predana Media Group, Jakarta, hal.245. 22
Rasjidi dalam Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2008, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hal. 186.
19
awalnya semua benda adalah res nullius23
, kemudian atas suatu
persetujuan, perjanjian timbal-balik lahirlah penguasaan individu.
(2) Teori Metafisik (Metaphysical Theories)
Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant, memberikan gagasan
mengenai suatu benda adalah kepunyaannya, dalam artian hak milik
adalah hak mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat. Teori ini
menekankan pada unsur pendakuan dan perjanjian.
(3) Teori Sejarah (Historical Theories)
Teori sejarah didasarkan pada prinsip Von-Savigny bahwa semua hak
milik berdasar atas kepunyaan yang dirugikan oleh daluarsa.
(4) Teori Positif (Positive Theories)
Teori positif mengenai milik ini dikemukakan oleh Spencer bahwa
suatu hukum kebebasan yang dideduksi yang dibenarkan atas dasar
fakta dalam masyarakat primitif, yang nantinya akan berkembang
sesuai dengan perkembangan peradaban.
(5) Teori Psikologis (Psychological Theories)
Mendasarkan pada insting manusia untuk menguasai benda-benda
dalam alam milik pribadi.
(6) Teori Sosiologis (Sociological Theories)
Mendasarkan pada pendapat mengenai adanya interaksi dari
kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Teori sosiologis
dibedakan atas:
a). Teori Sosiologis Psychologis yaitu mencari dasar milik didalam
suatu insting kehendak untuk memperoleh harta benda dan atas
dasar itu memandang hak milik sebagai suatu perkembangan
sosial atau lembaga sosial.
b). Teori Sosiologis Positif, menunjukkan terjadinya sosialisasi
dalam hak milik, tidak berarti bahwa hak milik berubah menjadi
hak kolektif tetapi hak milik sebagai fungsi sosial.
c). Teori Sosiologis Utilitis menjelaskan dan membenarkan milik
sebagai suatu lembaga yang menjamin tercapainya kepentingan
dan sebagai usaha untuk pembangunan masyarakat.24
1.5.2 Konsep Hukum
Konsep hukum yang digunakan dalam permasalahan pertama yaitu
konsep tanggung jawab developer terhadap konsumen dalam hal terjadinya
23
Res nullius yaitu barang yang pemiliknya tidak diketahui (Lihat
L.Sumartini, et.al, 1999, Penyusunan Kamus Hukum Umum Bahasa Belanda-
Bahasa Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
RI, Jakarta, hal.126). 24
Roescou Pound dalam Aslan Noor, 2006, Konsep Hak Milik atas Tanah
Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju,
Bandung , hal.47-57.
20
overmacht. Permasalahan kedua menggunakan, konsep hak dan kewajiban para
pihak, serta untuk konsep overmacht, konsep Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun dan konsep pertelaan sama-sama diterapkan terhadap permasalahan
pertama maupun kedua, berikut uraiannya:
1.5.2.1. Konsep Pertelaan dan Konsep Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
Konsep bangunan rumah susun bangunan bertingkat, yang dapat dihuni
bersama, dimana satu-satuan dari unit dalam bangunan dimaksud dapat dimiliki
secara terpisah yang dibangun baik secara horizontal maupun secara vertikal yang
tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian,
yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.25
HMSRS adalah Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun yang bersifat perseorangan dan terpisah, meliputi hak
atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, yang semuanya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan
yang terdiri atas kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama.
Sistem pemilikan atas suatu gedung bertingkat dapat dibagi menjadi 2
(dua) yaitu :
1. Pemilikan tunggal (single ownership);
Pemilikan tunggal dilihat dari pemilikan tanah tempat gedung
bertingkat itu berdiri sehingga pemegang sertifikat juga merupakan
pemilik gedung.
2. Pemilikan bersama (joint ownership).
Adapun sistem pemilikan bersama dibagi dua dengan melihat adanya
atau tidaknya ikatan hukum yang lebih dulu ada diantara pemilik
gedung bertingkat itu, yaitu sebagai berikut:
a. Pemilik bersama yang terikat, yaitu adanya ikatan hukum lebih
dahulu antara pemilik. Dasar pengaturannya Permendagri No. 14
Tahun 1975.
25
Vide Pasal 1 angka 3 UU Rumah Susun.
21
b. Pemilikan bersama yang bebas, yaitu antara para pemilik tidak ada
hubungan hukum lebih dahulu selain hak bersama menjadi pemilik
untuk dipergunakan bersama. Dasar pengaturannya UURS juncto
PP No. 4 Tahun 1988 tentang rumah susun. Sistem pemilikan
bersama yang bebas inilah yang dikenal sebagai condominium.26
Sesuai dengan konsep diatas, maka UU Rumah Susun telah merumuskan jenis
kepemilikan perorangan dan pemilikan bersama satu kesatuan jenis pemilikan
yang baru yang disebut Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Dengan demikian,
kepemilikan hak atas tanah pada Sarusun di dalam kerangka hukum benda
mengacu kepada sistem kondominium sebagaimana yang diatur dalam buku II
KUHPerdata, dimana terdapat pemilikan individual atas Sarusun yang merupakan
hak penghuni, disamping itu terdapat hak kepemilikan bersama atas tanah dimana
bangunan tersebut terletak (common areas) dan hak milik bersama atas sarana-
sarana bangunan (common elements). 27
Berikut gambaran dari bagian kepemilikan perseorangan dan kepemilikan
bersama atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun:
Gambar 1: Sistem Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sesuai dengan UU
Rumah Susun yang penulis kutip dari Buku Panduan Pendaftaran Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Tahun 2009, Jakarta.
26
Imam Kuswahyono, 2004, Hukum Rumah Susun, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 12.
27Ibid.
22
Pelaku pembangunan wajib memisahkan rumah susun atas satuan rumah
susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, pemisahan ini
memberikan kejelasan atas :
a. Batas satuan rumah susun yang dapat digunakan secara terpisah untuk
setiap pemilik.
b. Batas dan uraian atas bagian bersama dan benda bersama yang menjadi
hak setiap satuan rumah susun, dan
c. Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi hak
setiap satuan rumah susun.28
Pemisahan atas satuan rumah susun wajib dituangkan dalam Gambar dan
Uraian Pertelaan, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Gambar Pertelaan, yaitu gambar yang memperlihatkan batas-batas
kepemilikan perseorangan maupun kebersamaan yang distrukturkan
secara vertikal maupun horizontal yang merupakan satu kesatuan
fungsi dalam kegunaannya, yang mengandung nilai perbandingan
proposional (NPP).
2) Uraian Pertelaan
Uraian Pertelaan adalah penjelasan secara deskriptif dari gambar
pertelaan mengenai kepemilikan perseorangan dan kepemilikan
bersamayang dilengkapi dengan spesifikasi teknis yang mengandung
nilai perbandingan proporsional (NPP) yang perhitungannya
dilakukan oleh penyelenggara pembangunan dan disahkan oleh
Bupati/Walikota dan khusus untuk wilayah DKI Jakarta disahkan oleh
Gubernur.29
Berdasar uraian diatas, maka jelas Pertelaan memiliki peranan yang
penting sebagai salah satu syarat untuk pengesahan Akta Pemisahan Rumah
Susun sebelum diterbitkannya Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
28
Vide Pasal 25 UU Rumah Susun. 29
Vide Pasal 26 UU Rumah Susun.
23
Bagan 1.1. Prosedur Penerbitan Sertipikat HMSRS
Sumber: UU Rumah Susun dan PP Rumah Susun yang diolah dan penulis
kutip Buku Panduan Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Tahun 2009, Jakarta.
1.5.2.2. Konsep hak dan kewajiban para pihak
Hak merupakan terjemahan dari bahasa Latin, digunakan istilah “ius”,
“right” dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Perancis istilah hak merupakan
terjemahan dari “droit” sedang dalam bahasa Belanda, istilah hak sama dengan
istilah hukum yaitu “recht”30
, yaitu apa yang dimiliki atau melekat pada diri
seseorang. Keadilan atau iustitia akan terbentuk jika seseorang menerima apa
yang seharusnya ia miliki atau melekat pada dirinya.31
30
C.S.T Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, hal.120. 31
E.Sumaryono, op.cit, hal.161.
24
Hak merupakan seperangkat kewenangan yang diperoleh seseorang baik
berupa hak yang melekat sejak ia lahir sampai meninggal. Hukum melindungi
kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kewenangan seseorang
dan kekuasaan kepadanya untuk bertindak memenuhi kepentingannya secara
terukur. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak. Jadi, tidak
semua kewenangan masyarakat itu dikatakan sebagai hak, hanya kewenangan
yang diberikan oleh hukum kepada seseorang dikatakan sebagai hak.32
Lili Rasjidi mengatakan bahwa hak sama halnya dengan kesalahan dan
kewajiban, bersifat moral dan hukum. Dari segi moral, hak merupakan suatu
kepentingan yang diakui dan dan diatur oleh ketentuan moral. Dari segi hukum,
hak merupakan kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh suatu peraturan
perundang-undangan.33
Selain itu, pengertian hak dapat dijumpai juga dalam teori
mengenai hakekat hak (teori kehendak dan teori kepentingan) yang telah
diuraikan sebelumnya. Paton dan Meijers berpendapat bahwa esensi hak bukanlah
kekuasaan yang dijamin oleh hukum melainkan kekuasaan yang dijamin hukum
untuk memenuhi suatu kepentingan. Selanjutnya, oleh K.Bertens, hak dikatakan
sebagai klaim yang sah atau klaim yang dapat dibenarkan, dibuat oleh orang atau
kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Hal ini berarti
bahwa orang yang mempunyai hak bisa saja menuntut bahwa orang lain akan
32
Zainuddin Ali, 2008, Filsafat Hukum, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta,
hal.81. Bandingkan pula dengan L.J.Van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie van
het Nederlandse Recht, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Oetarid
Sadino, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 31, Pradnya Paramita, Jakarta,
hal.160. 33
Lili Rasjidi dalam Abdul Rachmad Budiono, 2005, Pengantar Ilmu
Hukum, Cet.I, Banyumedia, Malang, hal.72.
25
memenuhi dan menghormati hak itu.34
Sesuatu menjadi hak, apabila dapat
menuntut agar sesuatu itu diberikan kepada pemilik hak dan apabila orang lain
wajib memberikan apa yang dituntut tersebut.35
Thomas Aquinas menyatakan, hak pada dasarnya merupakan akibat
keberlakuan hukum. Jika hukum berlaku, maka dalam keberlakuannya terkandung
keharusan (necessitas) bagi subyek untuk menaatinya dengan maksud untuk
mewujudkan kebaikan umum yakni hak tidak hanya mengandung unsur
perlindungan dan kepentingan tetapi juga mengandung unsur keharusan yang
diterapkan pada kehendak secara bebas. Jika hukum memaksakan keharusan
moral untuk melakukan secara bebas, maka terdapat kekuatan moral dalam
melakukan hal tersebut. Oleh Thomas Aquinas kekuatan moral inilah disebut
sebagai hak.36
Mencermati uraian diatas mengenai pengertian hak dari para ahli hukum,
ciri-ciri yang melekat pada hak dan unsur-unsur dari hak maka dapat dipahami
bahwa hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum, dan tetap dapat
dipertahankan. Oleh karenanya, setiap hak yang melekat pada seseorang wajib
untuk dihormati/dilindungi, jika merasa kepentingannya dirugikan maka
seseorang yang dirugikan tersebut berhak untuk mengajukan tuntutan. Sehingga
dapat dipahami bahwa hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang sangat erat.
Kewajiban merupakan hal yang mutlak dibutuhkan oleh seseorang yang ingin
haknya terpenuhi. Seseorang dapat menuntut haknya apabila ia telah
34
K.Bertens, loc.cit. 35
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum:Refleksi Kritis terhadap Hukum, 2011,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.241-242. 36
E.Sumaryono, op.cit, hal.237.
26
menyelesaikan kewajibannya. Kewajiban adalah bentuk pasif dari tanggung
jawab. Sesuatu yang dilakukan karena tanggung jawab adalah kewajiban. Hak dan
kewajiban dari para pihak tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hak dan kewajiban Pemilik SRS A. Hak Pemilik SRS
Sudah dengan sendirinya pemilik SRS berhak untuk menghuni SRS yang dimilikinya serta menggunakan bagian-bagian bersama, tanah bersama dan benda-benda bersama, masing-masing sesuai dengan peruntukannya;
Ia juga berhak untuk menyewakan SRS yang dimilikinya kepada pihak lain yang akan menjadi penghuni, asalkan tidak melebihi jangka waktu berlakunya hak atas tanah bersama yang bersangkutan;
Ia juga berhak untuk menunjuk HMSRS yang dimilikinya sebagai jaminan kredit membebaninya dengan Hak Tanggungan;
HMSRS dapat beralih karena pewarisan; Juga dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui jual-beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan atau legaat. B. Kewajiban Pemilik SRS
Para pemilik SRS berkewajiban membentuk Perhimpunan Penghuni yang bertugas mengurus kepentingan bersama para pemilik SRS dan penghuninya yang bersangkutan dengan pemilikan dan penghuniannya agar terselenggara kehidupan bersama yang tertib dan aman dalam lingkungan yang sehat dan serasi
Pembiayaan kegiatan perhimpunan penghuni dan Badan Pengelola ditanggung bersama oleh para pemilik SRS dan para penghuni, masing-masing sebesar imbangan menurut nilai perbandingan proporsionalnya;
Jika jangka waktu hak atas tanah bersama berakhir, para pemilik SRS berkewajiban untuk bersama-sama mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang bersangkutan.
37
2. Hak dan kewajiban developer Hak Developer: Developer dapat memindahkan hak dan kewajiban dalam pengikatan jual-beli tersebut kepada pihak lain melalui pemberitahuan tertulis kepada pembeli. Kewajiban Developer:
a. Melampirkan detail dan spesifikasi bangunan. b. Tanggal selesainya pembangunan dan tanggal penyerahan unit
apartemen yang bersangkutan akan diberitahukan oleh developer kepada pemesan/pembeli.
37
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah
Nasional, Cet. XII, Djambatan, Jakarta (selanjutnya disebut Boedi Harsono II),
hal.362-363.
27
c. Menjadi tanggung jawab developer untuk menyelesaikan pembangunan dan memperbaiki kerusakan yang terjadi dalam jangka 14 hari setelah tanggal ditandatangani Berita Acara Serah Terima, dengan ketentuan bahwa: 1) tanggung jawab developer tersebut dibatasi oleh desain dan
spesifikasi unit apartemen, dan 2) kerusakan-kerusakan yang terjadi bukan disebabkan oleh
kesalahan developer. d. Developer atau pihak yang ditunjuk oleh developer akan menjadi
pengelola sementara Apartement Tower sebelum terbentuk Perhimpunan Penghuni dan menunjuk pengelola setelah perhimpunan penghuni terbentuk.
e. Developer akan mengasuransikan pekerjaan pembangunan tersebut selama berlangsungnya pembangunan.
f. Jika terjadinya force majeur (keadaan kahar) yang di luar kemampuan para pihak selama berlangsungnya pembangunan, developer dan pembeli akan mempertimbangkan penyelesaiannya sebaik-baiknya, dengan dasar pertimbangan utama adalah dapat diselesaikan pekerjaan pembangunan unit apartemen.
g. Developer atas biaya pembeli, akan menyiapkan akta jual-beli Hak Milik Atas Unit Apartemen bersama-sama dengan pembeli. Akta ditandatangani pembeli dihadapan Notaris/PPAT yang berwenang yang kemudian akan mengurus agar pembeli dapat memperoleh Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Satuan Rumah Susun atas namanya sendiri dari Kantor Badan Pertanahan setempat.
h. Jika developer tidak dapat menyelesaikan pembangunan unit apartemen pada tanggal yang telah ditentukan, developer diberi kesempatan menyelesaikan pembangunan tersebut dalam jangka waktu 120 hari. Jika tidak terlaksana dalam jangka waktu tersebut, maka kepada pembeli akan dibayar denda setiap bulannya oleh developer.
38
1.5.2.3. Konsep Overmacht
Konsep overmacht ditemukan dalam KUHPerdata pada pasal-pasal
berikut ini:
Pasal 1244 KUH Perdata Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya,
rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan
atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu,
disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk
tidak ada pada pihaknya.
38
Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995 tentang
Pedoman Perikatan Jual-Beli Satuan Rumah Susun.
28
Pasal 1245 KUH Perdata
Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digan tinya, apabila karena keadaan
memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si
berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan,
atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
Pasal 1444 KUH Perdata
(1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat
diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui
apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang
itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia
lalai menyerahkannya.
(2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang,
sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang
tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga
dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah
diserahkan kepadanya.
(3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga,
yang dimajukannya itu.
(4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah
atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang
yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya.
Pasal 1445 KUH Perdata Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak dapat
lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai
hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut,
diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada
orang yang mengutangkan kepadanya.
Alinea pertama Pasal 1444 ini mencerminkan tunduknya perjanjian kepada
ketentuan tentang overmacht yang diluar kendali para pihak dan tidak
membebaskan pihak yang mempunyai kewajiban untuk tetap memberi
penggantian kepada pihak yang berhak, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1445
KUH Perdata. Overmacht yang diatur dalam Pasal 1244, Pasal 1245, Pasal 1444
dan Pasal 1445 KUH Perdata tersebut, diartikan secara berbeda oleh para ahli
hukum kontrak, antara lain:
29
Munir Fuady mengungkapkan pendapatnya tentang overmacht, yaitu
suatu keadaan yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan prestasinya
karena keadaan yang tidak diduga pada saat dibuatnya perjanjian, keadaan
tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditor karena keadaan
debitur tidak dalam keadaan beritikad buruk.39
R. Subekti menyatakan untuk
dapat dikatakan suatu overmacht, selain keadaan itu di luar kekuasaannya si
debitur dan memaksa, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa keadaan
yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak
dipikul risikonya oleh si debitur.40
Merujuk pasal-pasal dalam KUHPerdata dan pendapat hukum kontrak,
dapat disimpulkan bahwa pengertian overmacht adalah suatu keadaan di mana
salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau
sebagian kewajibannya sesuai apa yang diperjanjikan, disebabkan adanya suatu
peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak
dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, di mana pihak yang
tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus
menanggung risiko. Risiko adalah suatu ajaran tentang siapakah yang harus
menanggung ganti rugi apabila debitur tidak memenuhi prestasi dalam keadaan
overmacht41
. Kewajiban menanggung kerugian tersebut sebagai akibat dari suatu
peristiwa atau kejadian yang menimpa objek perjanjian dan bukan karena
39
Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disebut Munir Fuady I), hal.113.
40R.Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet.29, Intermassa,
Jakarta (selanjutnya disebut Subekti I), hal.l50. 41
Salim H.S, 2009, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet.6, Sinar
Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut Salim H.S II), hal.185.
30
kesalahan dari salah satu pihak/diluar kesalahan para pihak.42
Dalam hal diluar
kesalahan ini, sudah pasti bahwa apabila ingkar janji terjadi karena kesalahan
debitur, maka ganti rugi ditanggung gugat oleh debitur tersebut, tetapi lain halnya
apabila tidak dipenuhinya suatu prestasi adalah diluar kesalahan debitur dalam hal
ini terjadinya overmacht dan karena ini tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada debitur. Dengan ajaran risiko inilah dapat diselesaikannya masalah
bagaimana caranya membayar ganti rugi dalam hal terjadinya overmacht.43
Mariam Darus Badrulzaman juga memberikan beberapa pandangan
mengenai risiko di mana beliau mengacu pada ketentuan-ketentuan di dalam KUH
Perdata, yang membaginya sebagai berikut:
1. Risiko pada Perjanjian Sepihak Risiko dalam perjanjian sepihak diatur dalam Pasal 1237 KUH Perdata diatur siapa yang menanggung. Perikatan sepihak adalah perikatan yang prestasinya hanya ada pada salah satu pihak. Ketentuan Pasal 1237 KUH Perdata diperluas lagi dalam suatu ketentuan lain, yaitu dalam Pasal 1444 KUH Perdata. Dari asas yang terkandung di dalam Pasal 1237 KUH Perdata, dapat diketahui bahwa dalam perikatan sepihak apabila terjadi ingkar janji karena overmacht, risiko ada pada kreditur.
2. Risiko dalam Perjanjian Timbal Balik Dalam bagian umum dari KUH Perdata tidak diatur tentang risiko dalam perjanjian timbal balik. Para pengarang mencari penyelesaian hal ini di dalam asas kepatutan (billijkheid). Asas kepatutan didalam KUH Perdata diatur dalam ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata.
44
Dari kedua ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa didalam
perjanjian timbal-balik, apabila terjadi keadaan memaksa, maka risiko adalah
tanggungan dari pemilik. Bahwa adalah merupakan suatu keadilan dan pantas
42
Rahmat S.S Soemadipradja, 2010, Penjelasan Hukum tentang Keadaan
Memaksa (Syarat-syarat pembatalan perjanjian yang disebabkan keadaan
memaksa/force majeure), Nasional Legal Reform Program, Jakarta, hal.66. 43
Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit, hal.29. 44
Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit, hal.29-31.
31
untuk perjanjian tersebut dimana pihak yang lain dibebaskan dari kewajibannya
menyerahkan barang.
Berdasarkan uraian mengenai akibat dari overmacht berupa risiko terhadap
perjanjian, dewasa ini mengalami perkembangan yang semakin kompleks
meskipun tidak secara menyeluruh. Pada dasarnya, berpedoman pada ketentuan
dalam KUH Perdata, yaitu dalam Pasal 1237 KUH Perdata, Pasal 1460 KUH
Perdata, Pasal 1545 KUH Perdata, dan Pasal 1553 KUH Perdata yang mengatur
tentang risiko.
1.5.2.4.Konsep Tanggung Jawab Developer/Ganti Rugi Terhadap Konsumen
Dalam Overmacht.
Tanggung jawab merupakan hasil yang ditimbulkan dari suatu perbuatan.
Ketika seseorang melakukan suatu perbuatan maka perbuatan itu akan berdampak
pada orang lain, dampak atau akibat itu harus ditanggung oleh orang yang
melakukan perbuatan tersebut. Tanggung jawab merupakan perihal yang sangat
penting dalam hukum perlindungan konsumen, sehingga diperlukan kehati-hatian
dalam menganalisis siapa yang bertanggung jawab dan sebatas mana tanggung
jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Sebelum mengetahui sebatas
mana pertanggungjawaban yang akan dibebankan, perlu dicermati, kedudukan
konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha melalui doktrin berikut
ini:
1). Let the buyer beware (cavet emptor) Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Dengan adanya UUPK, kecendrungan caveat emptor mulai diarahkan kepada caveat venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati).
32
2) The due care theory
Doktrin ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk
berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika
ditafsirkan secara a contario, maka untuk mempersalahkan si pelaku
usaha, seseorang harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha
tersebut melanggar prinsip kehati-hatian.
3) The privity of contract
Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk melindungi konsumen, tetapi hal tersebut dapat dilakukan jika
diantara mereka telah terjalin hubungan kontraktual.
4) Prinsip kontrak bukan syarat
Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip
the privity of contract ini tidak mungkin lagi dipertahankan secara
mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen.
Jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi
suatu hubungan hukum.45
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut:
(1) Prinsip tanggung jawab karena kesalahan (Liability Based on Fault),
menegaskan bahwa seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya.
(2) Prinsip praduga selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability
Principle), menegaskan bahwa tergugat selalu dianggap
bertanggungjawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak
bersalah.
(3) Prinsip praduga selalu tidak bertanggung jawab (Presumption of
Nonliability Principle), menegaskan bahwa tergugat tidak selamanya
bertanggungjawab.
(4) Tanggung jawab mutlak (strict liability), menegaskan bahwa tergugat
harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen tanpa
harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada dirinya.
(5).Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability), menegaskan bahwa
pelaku usaha diuntungkan karena mencantumkan klausul eksonerasi
dalam perjanjian standar yang dibuatnya.46
45
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo,
Jakarta, hal.61-64. 46
N.H.T Siahaan, 2005, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan
Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta,hal.155-158.
33
Secara teoritis dikatakan oleh Gunawan Widjaja, didalam UUPK, diatur
beberapa macam tanggung jawab sebagai berikut:
(1) Contractual Liability (Tanggung Jawab Kontrak), dalam hal ini
terdapat adanya hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan
konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan atas
perjanjian/ kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami
konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan.
(2) Product Liability (Tanggung Jawab Produk), dalam hal ini tidak
terdapat perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen namun
tanggung jawab perdata secara langsung dari pelaku usaha atas
kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang
dihasilkannya.
(3) Professional Liability (Tanggung Jawab Professional), dalam hal ini
terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen
tetapi prestasi pemberi jasa tersebut tidak terukur sehingga tanggung
jawab pelaku usaha didasarkan pada professional liability,
(4) Criminal Liability, yaitu tanggung jawab pidana dari pelaku usaha atas
tergangguna keselamatan dan keamanan konsumen.47
Mengkaji permasalahan kedua pada penulisan ini dapat diselesaikan
melalui strict liability. Berbeda dalam penerapan pada tanggung jawab mutlak
terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi
dibebankan kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya kerugian itu. Namun,
penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar
si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan
kausalitas antara perbuatan pelaku usaha (developer) dan kerugian yang
dideritanya.
47
Gunawan Widjaja, 2000, Hukum tentang Perlindungan Konsumen,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (selanjutnya disebut Gunawan Widjaja I),
hal.45-46.
34
1.5.3 Asas Hukum
1.5.3.1. Asas hukum perjanjian
1). Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata bahwa sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara
kedua belah pihak yaitu adanya persesuaian antara kehendak dan pernyataan
yang dibuat oleh kedua belah pihak dan mengikat para pihak.48
Asas
konsensualisme hanya berlaku untuk perjanjian konsensuiil dan perjanjian ini
bersifat obligatoir yakni melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak untuk
memenuhi perjanjian tersebut.49
2). Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Sutan Remy Sjahdeini, mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak
merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c. Menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya; d. Kebebasan menentukan obyek perjanjian; e. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan; f Menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat
optional (aanvullend, optional).50
48
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja I), hal.34-35.
49Ahmadi Miru, 2008, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.3. 50
Sutan Remy Sjahdeini yang dikutip dari Johannes Gunawan, Kajian Ilmu Hukum tentang Kebebasan Berkontrak dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Butir-butir pemikiran dalam Hukum: Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, 2010, Refika Aditama, Bandung, hal.270.
35
3). Asas Kepastian Hukum/Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta
sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga wajib
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Hal ini disimpulkan
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.51
4). Asas Itikad Baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang
berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Terkait dengan
hasil penelitian oleh Johannes Gunawan, maka ketentuan dalam Pasal 1338
ayat (3) KUHPerdata menunjukkan bahwa para pihak bebas membuat suatu
perjanjian dengan pembatasan, sejauh perjanjian tersebut dibuat (pra-
kontraktual) dan dilaksanakan (pasca kontraktual) dengan dilandasi itikad
baik.52
Jadi, itikad baik harus selalu ada disetiap tahap perjanjian sehingga
kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.
5). Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340
KUHPerdata.53
51
Salim H.S II, op.cit, hal.10. 52
Johannes Gunawan dalam Sri Rahayu Oktaberani dan Niken Savitri,
op.cit, hal.271-272. 53
Salim H.S I, op.cit, hal.12.
36
1.5.3.2. Asas perlindungan konsumen
Asas dalam perlindungan konsumen secara implisit diatur dalam Pasal 2
UUPK dan Penjelasannya, yaitu:
(1) Asas manfaat yaitu perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan;
(2) Asas keadilan yaitu memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil;
(3) Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti
materiil maupun spiritual;
(4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang digunakan;
(5) Asas kepastian hukum yaitu pelaku usaha maupun konsumen menaati
hukumdan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.54
1.5.3.3 Asas proporsionalitas
Menurut Agus Yudha Hernoko, dalam bukunya yang berjudul Hukum
Perjanjian:Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, untuk mencari makna
asas proporsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari makna filosofis keadilan
berkontrak. Landasan pemikiran Agus Yudha Hernoko, mengenai asas
proporsionalitas ini mengacu pada pemikiran P.S.Atiyah yang memberikan
landasan pemikiran bahwa dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran
yang adil transaksi tersebut dilakukan oleh para pihak yang berkontrak sesuai
dengan apa yang diinginkan. Pada dasarnya asas proporsionalitas ini perwujudan
doktrin keadilan berkontrak yang mengoreksi asas kebebasan berkontrak, dalam
beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Asas proporsional ini sangat
54
N.H.T Siahaan, op.cit, hal.83.
37
berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak, jadi disini
adanya pembagian hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan proporsi atau
bagiannya dalam seluruh proses kontraktual.55
Berdasar uraian diatas, maka dapat dirumuskan asas proporsionalitas yang
diterapkan dalam rumah susun ini mengandung makna bahwa untuk dapat
mencapai perhitungan yang seadil-adilnya mengenai porsi hak, porsi kewajiban
dan tentunya juga porsi tanggung jawab pribadi yang bersatu dalam kesatuan
konstruksi dengan hak milik para "mede eigenars" lainnya, sebagaimana
dituangkan dalam NPP yaitu porsi hak/ porsi kewajiban/ porsi tanggung jawab
pribadi tiap-tiap "mede eigenars" dapat dihitung besarnya secara proposional
terhadap porsi nilai dan harga keseluruhan obyek Satuan Rumah Susun yang
menjadi milik mereka.
1.5.3.4 Asas Kepatutan
Asas kepatutan dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuau yang menurut sifat
persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Asas kepatutan berkaitan dengan overmacht dituangkan di dalam ketentuan-
ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata. Dari kedua
ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa di dalam perjanjian timbal balik, apabila
terjadi overmacht maka risiko adalah atas tanggungan dari pemilik dan pihak yang
lain dibebaskan dari kewajibannya untuk menyerahkan barang. Jadi, jika ada
overmacht maka perjanjian batal demi hukum dan risiko ada pada para pihak.
55
Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.85-87.
38
1.5.3.5 Asas hukum tanah
Didalam hukum tanah nasional terdapat dua asas yang harus dicermati,
yakni asas pelekatan dan asas pemisahan:
1. Asas pelekatan ( accessie beginsel); Asas pelekatan diatur dalam Buku II KUHPerdata, yang terdiri atas:
a). Asas Pelekatan secara mendatar/horizontal (Horizontal Accessie
Beginsel) Asas ini diatur dalam Pasal 588 KUHPerdata yang pada intinya
menyatakan melekatkan suatu benda sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari benda pokoknya dan segala apa yang melekat pada
suatu benda menurut ketentuan Undang-undang dianggap sebagai
pemiliknya.
b). Asas Pelekatan secara tegak lurus/Vertikal (Vertikal Accessie
Beginsel)
Asas ini diatur dalam Pasal 571 KUHPerdata dan Pasal 601
KUHPerdata, yang pada intinya menyatakan bahwa maksud dari asas
pelekatan vertikal ini adalah pemilikan atas tanah berarti juga
memiliki bangunan atau rumah dan segala seuatu yang melekat pada
tanah itu beserta segala sesuatu yang ada dalam tanah tersebut.56
2. Asas pemisahan horizontal (Horizontal Scheiding Beginsel) Asas pemisahan horizontal ini dianut oleh hukum adat, sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 5 UUPA. Pengertian asas pemisahan horizontal
dalam hukum adat, tanah yuridis dipandang terlepas dari bangunan-
bangunan atau tanaman-tanaman diatasnya, hal ini mengandung maksud
bahwa bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah yang
bersangkutan sehingga hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi
bangunan dan tanaman yang ada diatasnya begitupun dengan perbuatan
hukum atas tanah tersebut.57
Sehubungan asas hukum tanah yang digunakan dalam Rumah Susun ini.
Ridwan Halim menyatakan pendapatnya yaitu sebagai berikut:
a. Dikatakan bahwa asas pemisahan vertikal dikenal dalam hukum rumah
susun yang membagi-bagi secara terpisah-pisah suatu bangunan rumah
susun itu atas satuan-satuan rumah susun yang saling terpisah, dengan
56
Djuhaendah Hasan, 2011, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan
Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas
Pemisahan Horisontal, Nuansa Madani, Jakarta, hal.52-55. 57
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, (selanjutnya disebut Titik Triwulan Tutik I)
hal.178.
39
tujuan agar tiap-tiap satuan rumah susun itu dapat dimiliki ataupun
dihuni secara tersendiri, terpisah dari satuan-satuan rumah susun lain.
b. Dikatakan bahwa asas pemisahan horizontal dikenal juga dalam hukum
rumah susun yang membagi, memisahkan dan membedakan antara
status satuan-satuan rumah susun yang merupakan hak milik pribadi
masing-masing dari para "mede-eigenars" dengan tanah dimana gedung
rumah susun mereka itu berdiri yang merupakan hak milik bersama dari
para mede-eigenaars tersebut.58
1.5.3.6. Asas Hukum Kebendaan
Hukum benda adalah sub sistem dari Hukum Nasional yaitu keseluruhan
dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara
subyek hukum dengan benda dan hak kebendaan.59
Asas Hukum Benda yang
menjadi dasar penormaan Hukum Kebendaan, yaitu:
1) Hukum kebendaan merupakan hukum memaksa/tidak dapat
disimpangi (dwingend recht), maka ketentuan-ketentuan dalam
Hukum Kebendaan yang telah diatur dalam undang-undang tidak
dapat disimpangi oleh seseorang atau beberapa pihak.60
2) Hak kebendaan dapat dipindahtangankan/dialihkan kepada siapapun
asalkan yang bersangkutan mempunyai kewenangan untuk itu61
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang,kesusilaan dan
ketertiban umum, hak milik atas kebendaan dapat dialihkan oleh
pemiliknya kepada pihak lain.
3) Asas individualitas (individualitet) / asas specialitas
Individualiteit berarti bahwa yang dimiliki sebagai kebendaan adalah
segala sesuatu yang menurut hukum dapat ditentukan (individueel
bepaald)62
harus ditunjukkan dengan jelas wujud, batas, letak dan
luas tanah.63
58
Ridwan Halim, Sendi-sendi Hukum Hak Milik Kondominium, Rumah
Susun dan Sari-sari Hukum Benda (Bagian Hukum Perdata), Puncak Karna,
Jakarta, hal. 181-182. 59
Mariam Darus Badrulzaman, 2010, Mencari Sistem Hukum Benda
Nasional, Cet.3, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus
Badrulzaman I), hal.44. 60
Rachmadi Usman, 2011, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta,
(selanjutnya disebut Rachmadi Usman I), hal.40. 61
Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.41. 62
Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.231. 63
Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.38.
40
4) Asas totalitas/menyeluruh atas benda (totalitet), memberikan kepada
pemiliknya suatu kepemilikan secara menyeluruh atas setiap bagian
dari suatu kebendaan. Atas bagian yang tidak tersendiri itu dapat
diadakan hak kebendaan, sesudah bagian itu menjadi benda yang
berdiri sendiri.64
5) Asas accessie dan asas pemisahan horizontal
Suatu benda lazimnya terdiri atas bagian-bagian yang melekat menjadi
satu dengan benda pokok (asas accesie), KUHPerata mengenal asas
perlekatan vertikal dalam Pasal 571, 600, 601,603 s/d 605. UUPA
tidak menganut asas perlekatan saja akan tetapi menganut pemisahan
horizontal dari Hukum Adat.
6) Asas hak mengikuti benda (zaaksgevlog, droit desuite)
Asas ini menyatakan bahwa hak kebendaan mengikuti bendanya
dimana saja dan dalam tangan siapapun benda itu berada.
7) Asas prioritas (prioritet)
Hak prioriteit adalah hak yang lebih dahulu terjadinya dimenangkan
dengan hak yang terjadi kemudian dan memberikan akibat bahwa
seseorang itu hanya dapat memberikan hak yang tidak melebihi apa
yang dipunyai (asas nemoplus)65
8) Asas percampuran (vermenging)
Asas pencampuran merupakan kelanjutan dari pemberian jura in re
aliena dimana, hak kebendaan terbatas tidak mungkin menjadi
pemegang hak kebendaan terbatas tersebut, jika demikian maka hak
kebendaan tersebut demi hukum menjadi hapus.66
9) Asas publisitas (publiciteit);
Asas publisitas (publiciteit), adanya fungsi dan kewajiban pencatatan
dan publisitas67
terhadap hak atas benda tetap terjadi melalui
pendaftaran dalam buku tanah sedangkan pengumuman benda
bergerak terjadi melalui penguasaan nyata benda itu.68
10) Asas perlindungan, dibedakan dalam dua jenis yaitu perlindungan
untuk golongan ekonomi lemah dan kepada pihak yang beritikad baik
(to goeder trouw).69
11) Sifat Perjanjiannya sebagai perjanjian kebendaan (zakelijke
overeenkomst) menjadi makin penting dalam pemberian hak
kebendaan yang terbatas (jura in re aliena) yang dimungkinkan oleh
undang-undang.70
64
Frieda Husni Hasbulla dan Surini Ahlan Syarif dalam Rachmadi Usman I,
op.cit, hal.43. 65
Rachmadi Usman I, op.cit, hal. 44-45. 66
Herlien Bodiono, op.cit, hal.232. 67
Herlien Boediono, loc.cit. 68
Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.37. 69
Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.42. 70
Herlien Boediono, loc.cit.
41
Bagan 1.2: Bagan Alur Konstruksi Berpikir Terhadap Relevansi Teori Hukum, Konsep Hukum dan Asas Hukum yang digunakan dalam Menganalisis Permasalahan
Teori Hukum Konsep Hukum Asas Hukum
Teori hukum umum
Teori umum khusus Konsep klausul petelaan dan hak milik atas satuan rumah susun
Konsep overmacht Konsep tanggung
jawab developer terhadap konsumen dalam hal terjadinya overmacht.
Konsep hak dan kewajiban para pihak
Asas hukum tanah Asas hukum benda Asas perlindungan
konsumen Asas kepatutan Asas kepastian
hukum Asas
proporsionalitas
- Teori keadilan berbasis kontrak
- Three elements of legal system theory
- Teori risiko
tanggung gugat dalam terjadi overmacht
- Teori tahap perjanjian,
- Teori korelasi - Teori hak milik
1.6. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum
kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Tahapan
pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk
mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan
42
penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif
adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan
kewajiban).
1.6.1. Jenis Penelitian
Mengkaji permasalahan penulisan ini dengan menggunakan penelitian
Yuridis Normatif karena pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini yaitu
hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan (law in books)71
. Berkaitan dengan masalah mendasar dari penulisan ini
adanya Norma Kosong dalam UU Rumah Susun mengenai overmacht. Dalam hal
ini, penulis mengkaji secara mendalam mengenai pengaturan overmacht
mengingat overmacht itu sendiri telah diatur dalam Buku III KUHPerdata ,
sehingga dapatkah overmacht dalam Buku III KUHPerdata berlaku mutatis
mutandis dalam Undang-Undang Rumah Susun. Hal ini, tentunya dengan
mencermati substansi obyek kebendaan dari hak milik atas satuan rumah susun.
1.6.2. Jenis pendekatan
Untuk membahas permasalahan yang penulis kemukakan dalam penulisan
ini, menggunakan pendekatan :
1) Pendekatan perundang-undangan (statute approach)72
, khususnya:
- Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945;
- Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok
Agraria;
71
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 118. 72
Peter Mahmud Marzuki, 2010. Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta
(selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), hal.93.
43
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman;
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2011 tentang
Rumah Susun;
- Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
- Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
- Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun;
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang
Pendaftaran Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama Dan Pemilikan
Bagian-Bagian Bangunan yang Ada di Atasnya Serta Penerbitan
Sertifikatnya;
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 tentang
Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas
Tanah yang Dipunyai Bersama dan pemilikan Bagian-bagian
Bangunan yang Ada di Atasnya.
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata
Cara Permohonan Dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas
Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan secara
Terpisah Bagian Bagian Pada Bangunan Bertingkat;
- Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata
Cara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun;
- Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata
Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun.
44
2) Pendekatan konsep hukum (conseptual approach)
Pendekatan konsep berawal dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum sehingga akan melahirkan
konsep hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.73
Pendekatan konsep
yang dilakukan dengan menelaah dan menganalisis permasalahan hukum
pada penulisan ini yaitu melalui konsep yang berhubungan dengan
klausula pertelaan, overmacht serta konsep tanggung jawab Developer.
3) Pendekatan kasus (case approach)
Pendekatan kasus dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk
mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik
hukum. Pendekatan kasus ini mengkaji decidendi atau reasoning yaitu
pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan, yang nantinya
akan dijadikan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu
hukum.74
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa suatu
penelitian hukum normatif menggunakan:
1. Bahan hukum primer (bahan hukum yang bersifat mengikat), yang
digunakan dalam penulisan ini berkaitan dengan peraturan perundang-
undangan yang relevan untuk menelaah isu hukum terkait. Peraturan
perundang-undangan dimaksud sebagaimana telah dikemukakan pada
bagian pendekatan perundang-undangan.
73
Mukti Fajar N.D dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal.187.
74Peter Mahmud Marzuki II, ibid, hal.94. Lihat juga Mukti Fajar N.D dan
Yulianto Achmad, Ibid, hal.190-191.
45
2. Bahan hukum sekunder (bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer), terdiri atas penjelasan undang-undang,
hasil penelitian literature, jurnal ilmiah, dan berbagai tulisan yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti.
3. Bahan hukum tertier (bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder), seperti Kamus
Hukum, Internet dengan menyebut nama situsnya.75
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum yang
diperlukan dalam penulisan ini yaitu melalui teknik telaah kepustakaan (study
document) dengan sistem kartu (card system) yakni setelah mendapat semua
bahan yang diperlukan kemudian dibuat catatan mengenai hal-hal yang dianggap
penting bagi penelitian yang digunakan.76
Sistem kartu yang digunakan dalam
penulisan ini adalah kartu kutipan untuk mencatat nama pengarang/penulis, judul
buku, halaman dan mengutip hal-hal yang dianggap penting agar bisa menjawab
permasalahan dalam penulisan ini. Dalam penerapan teknik telaahan kepustakaan
ini didukung pula dengan penggunaan teknik bola salju (snow ball) yakni dengan
menemukan bahan hukum sebanyak mungkin melalui referensi dari satu literature
ke literature lainnya.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Penelitian dalam penulisan ini menggunakan Penelitian Yuridis Normatif,
dengan metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian terhadap bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier, maka penelitian ini
75
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.l3.
76Ibid.
46
menggunakan teknik deskriptif analitis, menganalisis peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi obyek penelitian
dan bahan hukum ini bersifat:77
a). Deskripsi
Tahapan pendeskripsian atau penggambaran dengan menguraikan
proposisi-proposisi hukum sesuai dengan pokok permasalahan yang dikaji
yakni dengan adaya akibat hukum dari klausula pertelaan oleh sebab
adanya overmacht pada Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
b). Sitematisasi
Dalam proses sistematisasi ini terbentuk atau dirumuskan sejumlah aturan
umum dan pengertian-pengertian hukum atau konsep hukum (legal
consept) yang digunakan untuk memudahkan pengolahan bahan hukum
dalam proses sistematisasi bahan hukum tersebut.78
c). Evaluasi
Tahapan evaluasi atau analisis dengan memberi penilaian berupa tepat atau
tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah syah atau tidak syah
oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan
norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun
dalam bahan hukum sekunder.
d). Argumentasi.
Teknik argumentasi, teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik
evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang
bersifat penalaran hukum.
77
Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cet.lI, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 105-106.
78Bernard Arief Sidharta, op.cit, hal.154.
47
Mengacu pada paparan diatas,dalam mengkaji permasalahan ini, penulis
melakukan telaah secara cermat dan seksama, dari aspek hukum benda nasional,
aspek hukum tanah nasional, aspek hukum perjanjian rumah susun dan aspek
perlindungan konsumen. Secara ringkas penulis dapat mengemukakan, bahwa
berkenaan dengan akibat hukum klausula pertelaan dalam hal terjadinya
overmacht terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, penulis mencoba
mengupas permasalahan tersebut dengan menganalisis secara mendalam dari
konteks sistem hukum benda dan hukum tanah nasional dan sebagaimana
diketahui sistem hukum kebendaan nasional bersifat tertutup/ memaksa (dwingend
recht) dan telaah lebih lanjut terhadap kriteria overmacht dalam Buku III
KUHPerdata akan berlaku mutatis mutandis dalam UU Rumah Susun ataukah
tidak, penulis mencoba mengupasnya secara cermat dengan melakukan telaah dari
aspek hukum perjanjian rumah susun dan aspek hukum perlindungan konsumen.
Berkenaan dengan kriteria overmacht tersebut, penulis juga melakukan telaah
secara seksama terhadap doktrin-doktrin, yurisprudensi, peraturan perundang-
undangan lainnya dan kontrak-kontrak lainnya agar nantinya secara spesifik dapat
memberikan gambaran yang jelas terhadap kriteria dari overmacht itu sendiri.
Sebagaimana diketahui bahwa overmacht dan perjanjian itu sendiri berkaitan
dengan Buku III KUHPerdata. Jadi dalam hal ini terhadap musnahnya objek
kebendaan HMSRS dan akibat hukumnya terhadap klausula pertelaan, penulis
melakukan analisis secara seksama di satu sisi dari sudut pandang Buku II
KUHPerdata dan di sisi dari sudut pandang Buku III KUHPerdata, sebatas mana
Sistem Hukum tersebut memegang peranan penting dan sebatas mana daya kerja
dari masing-masing sistem hukum tersebut. Setelah melakukan analisis secara
seksama kemudian sampailah pada tahap simpulan.
48
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KEBENDAAN, PERTELAAN, HAK
MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN, OVERMACHT DAN HUKUM
PERJANJIAN RUMAH SUSUN
2.1. Tinjauan Umum tentang Hak Kebendaan
2.1.1.Ruang Lingkup Benda dan Hak Kebendaan
Istilah benda merupakan terjemahan dari kata zaak.79
Benda dalam arti
ilmu pengetahuan adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum karena
berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum
karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subyek hukum.80
Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan dalam bukunya yang berjudul Hukum Perdata: Hukum Benda
menegaskan pengertian benda secara yuridis yaitu segala sesuatu yang dapat
menjadi obyek eigendom (hak milik). Sebagaimana halnya ditegaskan dalam
Pasal 499 KUHPerdata yang menyatakan: “menurut paham undang-undang yang
dinamakan kebendaan adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat
dikuasai oleh hak milik”.81
Lebih lanjut, Subekti memberikan pengertian benda menjadi tiga bentuk
yaitu:
79
S.Wojowasito, 2003, Kamus Umum Belanda Indonesia:Belanda Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal.816.
80Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum
Nasional, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disebut Titik Triwulan Tutik I), hal.142-143.
81Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda,
Cet.IV, Liberty, Yogyakarta, hal.13-14. Lihat pula Gunawan Widjaja, 2006, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Gunawan Widjaja II), hal.16.
49
1) Benda (zaak) dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dapat dihaki
oleh orang lain, disini benda berarti sebagai obyek hukum;
2) Benda dalam arti sempit adalah sebagai barang yang dapat terlihat saja,
dan;
3) Benda yang berarti kekayaan seseorang yang meliputi pula barang-
barang yang tak terlihat yaitu hak-hak.82
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dipahami bahwa dalam perspektif
KUHPerdata, pengertian benda yang dimaksud meliputi segala sesuatu yang dapat
dimiliki atau dikuasai oleh subyek hukum baik itu berupa barang (goed)83
maupun
hak (recht)84
sepanjang obyek dari hak milik itu dikuasai oleh subyek hukum.
Meskipun demikian, lain halnya terhadap penguasaan benda yang bernilai
ekonomis, walaupun benda tersebut dapat dimiliki tetapi pada kenyataannya tidak
memiliki nilai ekonomis maka benda tersebut tidak dapat dikatakan sebagai benda
dalam konteks tersebut. Sebaliknya segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki atau
dikuasai oleh subyek hukum berarti bukanlah termasuk benda dalam perspektif
hukum.
Beranjak pada pembedaan benda dalam KUHPerdata dan pendapat dari Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan yang mengenal adanya benda yang tidak berwujud,
berbeda dalam sistem hukum adat yang tidak mengenal adanya benda yang tidak
berwujud (onlichamelijk zaak). Bukannya tidak ada sama sekali dalam hukum
adat melainkan ada perbedaan yang mendasarinya yaitu dalam perspektif hukum
adat, hak atas suatu benda tidak dibayangkan terlepas dari benda yang berwujud
82
Subekti I, op.cit, hal.60. 83
S.Wojowasito, op.cit, hal.237, Lihat Pula Thermorshuizen, et.al, 1999,
Indonesisch-Nederlands Juridisch Wordenboek: Hukum Benda/Goederenrecht,
Centre for International Legal Cooperation, hal.30. 84
Thermorshuizen et.al, ibid, hal.531.
50
sedangkan dalam perspektif Hukum Perdata Barat, hak atas suatu benda seolah-
olah terlepas dari bendanya (merupakan benda tersendiri).85
Hukum benda dalam sistem KUHPerdata merupakan bagian dari hukum
kekayaan dan hukum kekayaan ini terdiri atas hak benda (ius in re) dan hak dalam
perikatan (ius ad rem).86
Menurut Buku II KUHPerdata (Pasal 499-1232
KUHPerdata) tentang Benda (Van Zaken) meletakkan dasar peraturan-peraturan
hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara seseorang atau badan
hukum dengan benda. Hubungan Hukum dengan orang menimbulkan hak
kebendaan (zakelijkrecht) yaitu hak yang memberikan kekuasaan langsung kepada
seseorang yang berhak menguasai suatu benda dalam tangan siapapun juga benda
itu berada.87
Dari paparan diatas, dinyatakan bahwa hukum benda dalam KUHPerdata
merupakan hak absolute, Mahadi mengemukakan ciri-ciri dari hak absolute (ius in
re) tersebut yaitu dapat dipertahankan terhadap siapapun, orang yang
bersangkutan mempunyai hak dan kewenangan terhadap benda tertentu, orang
lain siapapun dia harus menghormati hak itu sedangkan hak relatif (ius ad rem)
hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu saja yaitu hak perorangan.88
Sementara itu, Titik Triwulan Tutik, mengemukakan pengertian hukum
benda sebagai berikut:
85
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang hak-hak atas Benda dalam
H.Riduan Syahrani, 2006, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung, hal.107-108. 86
Mahadi dalam Djuaendah Hasan, op.cit, hal.70. 87
Titik Triwulan Tutik II, op.cit, hal.152. 88
Mahadi dalam Djuaendah Hasan, op.cit, hal.81.
51
Hukum harta kekayaan mutlak adalah suatu ketentuan yang mengatur
tentang hak-hak kebendaan dan barang-barang tak berwujud (immaterial).
Hukum harta kekayaan mutlak disebut juga dengan hukum kebendaan
yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara seseorang
dengan benda. Hubungan hukum ini melahirkan hak kebendaan (zakelijk
recht) yakni hak yang memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang
yang berhak menguasai sesuatu benda di tangan siapapun benda itu.89
Setiap benda memberikan kepada subyek hukum yang memiliki hubungan
hukum dengan benda tersebut yakni hak-hak kebendaan. Menurut Subekti, suatu
hak kebendaan (zakelijk recht)90
merupakan suatu hak yang memberikan
kekuasaan langsung atas suatu benda, kekuasaan mana dapat dipertahankan
terhadap tiap orang.91
Hak kebendaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Merupakan hak mutlak yang dapat dipertahankan kepada siapapun
juga;
b) Mempunyai zaakgevolg atau droit de suite (hak yang mengikuti), hak
itu terus mengikuti dimanapun bendanya berada
c) Lebih diutamakan (droit de preference) memberikan kedudukan yang
diutamakan, hak mendahului, hak istimewa pada pemegang hak
kebendaannya;
d) Mengenal tingkatan, hak kebendaan yang lebih tua menduduki
peringkat yang lebih tinggi dari Hak kebendaan yang timbul
setelahnya;
89
Titik Triwulan Tutik II, op.cit , hal.141-142. 90
Lihat diantaranya M.Budiarto, et.al, 2004, Kamus Hukum Umum, Badan
Pembinaan Hukum Naisonal, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,
Jakarta, hal.270 dan Thermorshuizen,et.al, op.cit, hal.30. 91
Subekti I, op.cit, hal.62. Lihat juga Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op.cit,
hal.24.
52
e) Dapat dipindahkan atau diasingkan, hak kebendaan dapat dipindahkan
atau diasingkan kepada siapapun juga dibandingkan dengan hak
perseorangan yang terbatas;
f) Setiap pemegang hak kebendaan dapat mengajukan gugatan
kebendaan terhadap siapapun juga yang mengganggu atau
berlawanan dengan hak kebendaan yang dipegangnya.92
Selain itu juga ditemui hak perseorangan yang mempunyai sifat hak
kebendaan, yaitu:
a) Absolut (mutlak);
Dapat dipertahankan atau dilindungi terhadap setiap gangguan dari
pihak ketiga
b) Droit de suite;
Mengikuti bendanya dimanapun bendanya berada
c) Prioritas
Hak yang lebih dulu tejadi dimenangkan dengan hak yang terjadi di
kemudian.93
Mengenai hak kebendaan ini Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja
memberikan penjelasan dengan menarik kesimpulan bahwa:
1. Hak kebendaan adalah hak yang diberikan oleh undang-undang. Orang tidak boleh atau tidak dapat menciptakan hak-hak kebendaan lain selain yang telah ditentukan oleh undang-undang;
2. Hak kebendaan bersifat memaksa dan mengikat semua orang dan tidak dapat dikesampingkan oleh siapapun juga;
3. Hak kebendaan adalah droit de suite yang berarti hak kebendaan mengikuti kemanapun benda tersebut beralih/dialihkan;
4. Hak kebendaan yang paling luas yaitu hak milik; 5. Hak milik yang dimiliki oleh sesorang atas kebendaan tertentu
memberikan kepadanya hak untuk memberikan hak-hak kebendaan lain diatasnya baik yang bersifat umum maupun yang bersifat terbatas (jura in re aliena);
6. Terhadap benda bergerak hak menguasai atau pemegang kedudukan
memiliki hak yang sama dengan seorang pemegang hak milik;
92
Surini Ahlan Sjarif dalam Rachmadi Usman I, op.cit, hal.110. 93
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op.cit, hal.27-28.
53
7. Terhadap kebendaan bergerak, pemberian hak kebendaan baik yang umum maupun terbatas dalam bentuk jura in re aliena harus dilakukan dengan penyerahan kebendaan bergerak tersebut;
8. Terhadap kebendaan tidak bergerak, seorang pemegang kedudukan berkuasa hanya memperoleh hak kebendaan secara terbatas hingga dimungkinkan melalui daluwarsa ia menjadi pemilik dari benda tersebut;
9. Bagi kebendaan tidak bergerak, pemberian hak kebendaan baik yang umum maupun yang terbatas dalam bentuk jura in re aliena harus dilakukan dengan pendaftaran dan pengumuman akan pemberian hak tersebut;
10. Hak-hak kebendaan yang bersifat umum yang merupakan pemberian hak hak lebih lanjut dari hak milik tersebut memungkinkan pemegang hak kebendaannya untuk menikmati, menyerahkan atau mengalihkan dan membebani kembali hak kebendaan tersebut dengan hak kebendaan yang bersifat terbatas;
11. Hak-hak kebendaan yang bersifat terbatas tersebut hanya memberikan hak kepada pemegangnya untuk menikmati atau hanya untuk memperoleh pelunasan sebagai atau dalam rangka jaminan utang;
12. Dalam hal pemegang hak kebendaan lebih lanjut (jura in re aliena) adalah juga pemegang hak kebendaan terhadap mana hak jura in re aliena tersebut diberikan, maka hak jura in re aliena tersebut hapus demi hukum;
13. Pemberian hak kebendaan adalah bersifat menyeluruh untuk seluruh bagian dari benda tersebut yang merupakan satu kesatuan termasuk kebendaan yang berdasar asas pelekatan menjadi satu dengan kebendaan tersebut;
14. Hak kebendaan yang diberikan kemudian dapat dipisahkan , maka hak kebendaan tersebut demi hukum mengikuti semua bagian dari kebendaan yang telah dipisahkan tersebut;
15. Khusus terhadap hak kebendaan tebatas yang diberikan sebagai jaminan utang maka hak kebendaan tersebut memiliki sifat droit de preference.
94
2.1.2. Jenis-jenis kebendaan dan hak kebendaan
Jenis-jenis kebendaan dapat dicermati dari ketentuan yang diatur dalam
KUHPerdata. Kebendaan tersebut dibedakan menjadi:
(1). Benda bergerak (roerende zaken) dan benda tidak bergerak
(onroerende zaken);
(2). Benda berwujud (lichamelijk zaken) dan benda tidak berwujud
(onlichamelijk zaken);
(3). Benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken) dan benda yang
tidak dapat dihabiskan (onverbruikbare zaken);
94
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Harta
Kekayaan: Kebendaan pada Umumnya, Cet.2, Kencana, Jakarta (selanjutnya
disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II), hal.223-226.
54
(4). Benda yang dapat diganti (vervangbare zaken/wisseling zaken) dan kebendaan yang tidak dapat dibagi (onvervangbare zaken/onwisseling zaken);
(5). Kebendaan yang dapat dibagi (deelbare zaken) dan kebendaan yang tidak dapat dibagi (ondeelbare zaken);
(6). Kebendaan yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan kebendaan yang akan ada (toekomstige zaken) ;
(7). Kebendaan dalam perdagangan (zaken in de handel) dan kebendaan di luar perdagangan (zaken buiten de handel);
(8). Kebendaan yang terdaftar (geregistreerde zaken) dan kebendaan yang tidak terdaftar (ongeregistreerde zaken)
(9). Jenis kebendaan berdasarkan totalitas bendanya; (10). Jenis kebendaan berdasarkan kepemilikannya.
95
Telaah seksama terhadap jenis-jenis kebendaan dalam perspektif
KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:
1. Benda bergerak (roerende zaken) dan benda tidak bergerak (onroerende
zaken).
Dalam perspektif hukum perdata, pembedaan benda bergerak dan tidak
bergerak diatur dalam ketentuan Pasal 504 KUH Perdata, kemudian
dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 506-518 KUH Perdata. Berkenaan
dengan benda bergerak diatur dalam Pasal 509-Pasal 518 KUH Perdata.
Berkaitan dengan pasal tersebut, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja
menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan membedakan kebendaan
bergerak kedalam empat golongan, yaitu:
(1). Golongan pertama, yang dinamakan benda bergerak adalah benda yang karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan, dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa mengubah wujud, bentuk dan kegunaan dari benda tersebut sebagai satu kesatuan dalam hal ini yaitu benda bergerak yang berwujud;
(2). Golongan kedua, benda bergerak meliputi kapal-kapal, perahu-perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang diatas perahu atau terlepas. Dalam konteks kapal dan perahu sebagai benda bergerak yang berwujud sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 314 KUHD. Hanya bagi kapal-kapal yang tidak terdaftar dengan ukuran kurang dari duapuluh meter kubik isi kotor dianggap sebagai kebendaan yang bergerak;
95
Rachmadi Usman I, op.cit, hal.62-63.
55
(3). Golongan ketiga, menunjuk pada hak-hak yang mengikuti kebendaan bergerak yang berwujud seperti hak hak pakai hasil dan hak pakai atas kebendaan bergerak, hak-hak atas bunga yang diperjanjikan baik hak yang diabadikan maupun hak atas bunga cagak hidup, Perikatan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih, surat utang yang diterbitkan atas beban atau tanggungan Negara, Surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal.
(4). Golongan keempat merujuk pada benda-benda yang berada dalam rumah dan dipergunakan untuk pelaksanaan jalannya rumah tangga sehari-hari, seperti;perkakas rumah tangga, mebel-mebel atau perabot rumah.
96
Berbeda dengan Kartini Muljadi dan Gunawan Widajaja, Rachmadi
Usman mengkategorisasikan kebendaan bergerak atas dua jenis yaitu:
a) Kebendaan bergerak karena sifatnya bergerak, bahwa kebendaan tersebut dapat berpindah atau dipindahkan tempat (verplaatsbaar), misalnya kendaraan (sepeda, sepeda motor, mobil), alat-alat perkakas (kursi, meja, alat-alat tulis) dikecualikan sebagai benda bergerak yaitu kapal dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya 20m3 atau dinilai sama dengan itu, karena termasuk kebendaan tidak bergerak (kebendaan tetap).
b) Kebendaan bergerak karena ketentuan undang-undang yang telah menetapkannya sebagai kebendaan bergerak yaitu berupa hak-hak atas benda bergerak, yang meliputi:
- Hak pakai hasil (vruchtgebruik) dan hak pakai (gebruik) atas benda bergerak;
- Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan; - Penagihan atas piutang atas benda bergerak; - Saham-saham dalam persekutuan perdagangan atau perusahaan - Surat-surat berharga lainnya; - Tanda-tanda perutangan yang dilakukan dengan Negara-negara
asing.97
Sementara itu berkenaan dengan kebendaan tidak bergerak, diatur lebih
lanjut dalam ketentuan-ketentuan Pasal 506, Pasal 507, dan Pasal 508 KUH
Perdata serta Pasal 314 KUHD, kebendaan tidak bergerak tersebut
dikategorikan ke dalam tiga golongan yaitu:98
96
Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.36-77. Lihat juga Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.129-177.
97Rachmadi Usman I, op.cit, hal.70.
98
Riduan Syahrani, 2006, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal.109, Lihat juga Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Intermasa, Jakarta, hal.152-153 dan Titik Triwulan Tutik, op.cit, hal.146-147.
56
1). Kebendaan yang karena sifatnya tidak bergerak, artinya kebendaan tersebut tidak dapat berpindah atau dipindahkan tempat yakni tanah dengan segala sesuatu yang melekat dengan tanah. Kebendaan ini meliputi:
a) Tanah; b) Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan
berakar serta bercabang (tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang belum dipetik);
c) Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan diatas tanah yaitu karena tertanam atau terpaku seperti bangunan.
2). Kebendaan yang karena peruntukannya atau benda tidak bergerak menurut tujuannya disebut juga benda pembantu (hulpzaken) yaitu benda yang walaupun sebenarnya bukan benda tetap namun dibuat untuk selalu membantu benda tetap tersebut, meliputi:
a) Pada pabrik: segala macam mesin-mesin, katel-katel dan alat-alat lain yang berada disitu digunakan untuk menjalankan pabrik;
b) Pada suatu perkebunan: segala sesuatu yang digunakan sebagai rabuk bagi tanah, ikan dalam kolam, dan lain-lain;
c) Pada rumah kediaman yaitu cermin-cermin, lukisan-lukisan dan perhiasan lainnya sepanjang barang-barang itu diletakkan pada papan yang merupakan bagian dinding, dan barang-barang itu tidak tertancap atau terpaku;
d) Barang-barang reruntuhan dari suatu bangunan, apabila diperuntukan guna mendirikan lagi bangunan itu.
3). Kebendaan yang karena undang-undang ditetapkan sebagai kebendaan tidak bergerak yaitu berupa:
a) Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak;
99
b) Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas (WvK).
Pengolongan kebendaan tersebut diatas, memperlihatkan kepada kita
semua bahwa yang secara fisik dianggap sebagai benda tidak bergerak adalah
tanah dan segala sesuatu yang karena alam, tindakan manusia dan karena
peruntukan atau tujuannya melekat pada tanah dengan pengertian bahwa
benda-benda tersebut dijadikan dan merupakan satu-kesatuan dengan tanah
sedemikian rupa sehingga benda-benda tersebut tidak mungkin dapat
dipisahkan dari tanah dimana benda tidak bergerak tersebut melekat, dapat
diketahui pula bahwa selain perlekatan dalam KUHPerdata juga mengenal
99Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.55-124.
57
benda tambahan sebagai akibat dari tindakan atau perbuatan manusia yang
disengaja, benda yang semula bukan merupakan benda tidak bergerak akan
menjadi benda bergerak karena peruntukannya semata-mata.100
Pembedaan macam kebendaan tersebut yaitu pembedaan kebendaan
berdasar totalitas bendanya yang diatur dalam ketentuan pasal 500 dan pasal
501 KUHPerdata. Dengan merujuk kepada ketentuan Pasal 500 dan pasal 501
KUHPerdata dapat diketahui bahwa KUHPerdata membedakan antara benda
pokok (utama) dengan benda perlekatan.
Dalam doktrin keilmuan hukum, selain benda perlekatan, dikenal pula
jenis benda:
1). Benda tambahan yang merupakan buah-buah atau hasil-hasil dari
status benda pokok, yang dalam hal ini hasil tersebut dapat terwujud
dalam bentuk hasil alam, hasil pekerjaan manusia dan hasil perdata
yang telah dapat ditagih yang dapat terwujud dalam bentuk hasil
alam, hasil pekerjaan manusia dan hasil perdata. Dalam konteks
benda tambahan tersebut, berbeda dari benda hasil perlekatan yang
tidak dapat dipisahkan dari benda pokoknya, pemilik dari benda
tersebut dapat menjual benda pokoknya tanpa menjual benda
tambahannya, demikian pula sebaliknya.
2). Benda ikutan, yang mengikuti status benda pokok yang tanpa benda
pokok tersebut, benda ikutan tidak mempunyai arti meskipun benda
ikutan itu sendiri tidak melekat pada benda pokoknya;
3). Benda pelengkap yang dapat dipegunakan secara bersama-sama
dengan benda pokoknya, misalnya mebel-mebel dalam suatu hotel
yang melengkapi penggunaan hotel tersebut Benda-benda pelengkap
ini bergantung pada tujuan penggunaannya, kadang kala dapat
menjadi benda ikutan terhadap benda pokok, tetapi pada saat lain
dapat menjadi benda pokok sendiri yang lepas dari benda pokoknya.
4). Di luar benda tersebut di atas, Undang-undang juga memungkinkan
diciptakannya suatu benda baru yang berasal dari benda lain. Dengan
terciptanya benda baru ini, maka demi hukum pula benda lama ini
hilang eksistensinya. Dalam hal ini, maka pemilik benda asal ini
akan menjadi pemilik dari benda baru ini. Sedangkan jika benda baru
100
Gunawan Widjaja II, op.cit, hal. 80 dan 82.
58
ini tercipta karena alam, maka benda baru ini adalah milik bersama
dari pemilik benda asal tersebut, menurut keseimbangan harga dari
benda asal tersebut.101
2. Benda berwujud (lichamelijk zaken) dan benda tidak berwujud
(onlichamelijk zaken).
Pembedaan kebendaan atas benda berwujud dan tidak berwujud
tercantum dalam Pasal 503 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap
kebendaan adalah berwujud (bertubuh) atau tidak berwujud (tidak
bertubuh)”. Benda berwujud (tangible movables) yaitu kebendaan yang dapat
dilihat dengan mata dan diraba dengan tangan.Benda tidak berwujud
(intangible movables) yaitu kebendaan yang berupa hak-hak atau tagihan.
Pembedaan benda berwujud dan tidak berwujud berkaitan dengan
penyerahan dan cara mengadakannya. Penyerahan benda bergerak yang
berwujud dilakukan dengan penyerahan langsung (dari tangan ke tangan)
sedangkan penyerahan benda tidak bergerak yang berwujud dilakukan
dengan balik nama yang diadakan dalam register umum. Hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 612 dan 616 KUHPerdata.102
101
Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.25-26. Lihat Juga Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Seri Hukum Harta Kekayaan: Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik (Dalam Sudut Pandang KUHPerdata), Cet.2, Kencana, Jakarta (selanjutnya Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja III), hal.44-46.
102Pembedaan antara benda berwujud dan benda tidak berwujud, masih
dikenal dibeberapa Negara modern dewasa ini, dalam Hukum Inggris dikenal pembedaan atas benda berwujud (tangible movables) dan benda bergerak tidak berwujud (intangibles movables). Didalam Hukum Amerika juga dikenal perbedaan tangibles dan intangible property (Rachmadi Usman I, op.cit, hal.81-82). Oleh Djuaendah Hasan sebagaimana dikutip dari Pitlo, Hartkamp, Jac Hijma dan M.M Othof, Code Civil On Taiwan, Code Civil of Japan dan Major Laws bahwa Pembedaan benda atas benda bergerak dan tidak bergerak dikenal di Negara-negara lain, Belanda dalam BW Barunya (NBW) membedakan antara roerende dan anroerende, Perancis membedakan antara meuble dan immeuble, di Taiwan dalam Code Civilnya membedakan pula atas movables dan immovables dan begitu pula di Jepang membedakan atas movables dan immovables. (Djuaendah Hasan, op.cit, hal.76)
59
Berkaitan dengan pembagian benda berwujud dan tidak berwujud, dalam
hukum Inggris dikenal pula beberapa benda lainnya, diantaranya:
a. Personal Property and Real Property
Personal Property is defined by process of exclusion. The term
personal property is used in contrast to real property. Real property is
the earth’s crust and all things firmly attached to it. For example, land,
office buildings and houses are considered to be real property . All
others objects and rights that may be owned are personal
property.Clothing, books and stock in a corporation are examples of
personal property. Real property may be turned into personal property
if it is detached from the earth. Personal property if attached to the
earth, becomes real property. For example, marble in the ground is
real property. When the marble is quarried, it becomes personal
property, but if it is used in constructing a building, it becomes real
property again.
b. Tangible and Intangible Personal Property
Personal Property may be either tangible or intangible. Tangible
Property has a physical existence. Cars, animals and computers are
examples. Property that has no physical existence is called intangible
property. For example, rights under a patent, copyright, or trademark
would be intangible property. The distinction between tangible and
intangible property is important primarily for tax and estate planning
purposes. Generally, tangible property is subject to tax in the state in
which it is located, whereas intangible property is usually taxable in the
state where its owner lives.
c. Public and Private Property
Property is also classified as public or private, based on the ownership
of the property. If the property is owned by the government or a
governmental unit, it is public property. If it is owned by an individual
a group of individuals, a corporation or some other business
organization, it is private property.103
Berkaitan dengan pembagian benda berwujud dan tidak berwujud,
dalam hukum Inggris dikenal pula beberapa benda lainnya,
diantaranya
Terjemahan bebasnya berarti : a. Properti Pribadi dan Properti Riil
Properti pribadi didefinisikan oleh proses eksklusi. Istilah properti pribadi digunakan secara kontras dengan properti riil. Properti riil adalah permukaan bumi dan segala sesuatu yang secara tegas melekat
103
Jane P.Mallor,et.al, 2007, Business law:The Ethical, Global and E-
Commerce Environment, Thirteenth Edition, McGrawHill Companies, New York,
hal.561.
60
padanya. Misalnya, tanah, gedung perkantoran dan rumah-rumah dianggap properti riil. Semua benda-benda dan hak-hak lain yang dapat dimiliki merupakan properti. Pakaian, buku dan saham di sebuah perusahaan adalah contoh dari properti pribadi. Properti riil dapat berubah menjadi properti pribadi jika terlepas dari bumi. Properti pribadi jika melekat pada bumi maka menjadi properti riil. Misalnya, marmer di tanah adalah propertir riil. Ketika marmer tersebut digali, maka itu menjadi properti pribadi, tetapi jika digunakan dalam membangun sebuah bangunan, kembali menjadi properti riil lagi.
b. Properti Pribadi Nyata dan Properti Pribadi Tidak Nyata. Properti Pribadi dapat berupa nyata ataupun tidak nyata. Properti nyata memiliki sebuah eksistensi fisik. Mobil, hewan dan komputer adalah contohnya. Properti yang tidak memiliki eksistensi fisik disebut properti tidak nyata. Contohnya, hak paten, hak cipta, atau merek dagang merupakan properti tidak nyata. Perbedaan antara properti nyata dan tidak nyata penting terutama untuk tujuan pajak dan perencanaan harta. Secara umum, properti nyata terkena pajak di negara tempat properti tersebut berada, sementara properti tidak nyata biasanya terkena pajak di negara tempat pemiliknya tinggal.
c. Properti Publik dan Swasta Properti Properti juga diklasifikasikan sebagai publik atau pribadi, berdasarkan kepemilikan properti. Jika properti dimiliki oleh pemerintah atau unit pemerintah, itu adalah properti publik. Jika dimiliki oleh seorang individu atau sekelompok individu, sebuah perusahaan atau organisasi bisnis lainnya, maka itu adalah properti pribadi.
3. Benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken) dan benda yang tidak
dapat dihabiskan (onverbruikbare zaken).
Pembedaan kebendaan atas benda yang dapat dihabiskan dan tidak dapat
dihabiskan diatur dalam ketentuan Pasal 505 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa tiap-tiap kebendaan yang bergerak adalah dapat dihabiskan atau tidak
dapat dihabiskan. Pembedaan ini mempunyai arti penting berkaitan dengan
pembatalan perjanjian. Perjanjian yang obyeknya benda yang dipakai habis
apabila dibatalkan mengalami kesulitan dalam pemulihan keadaan semula.
Penyelesaiannya harus diganti dengan benda lain yang sejenis dan senilai.
Tidak demikian dengan perjanjian yang obyeknya benda yang tidak dipakai
habis, apabila dibatalkan tidak begitu mengalami kesulitan dalam pemulihan
keadaan semula karena bendanya masih ada dan dapat diserahkan kembali.
61
4. Benda yang dapat diganti (vervangbare zaken/wisseling zaken) dan
kebendaan yang tidak dapat diganti (onvervangbare zaken/onwisseling
zaken).
Perbedaan antara benda yang dapat diganti dengan benda yang tidak dapat
diganti tidak disebut secara tegas dalam KUHPerdata. Namun pembedaan ini
dapat ditemukan dalam beberapa literatur. Menurut Riduan Syahrani,
pembedaan tersebut dapat dicermati dalam ketentuan pasal yang mengatur
tentang perjanjian penitipan barang.104
Sedangkan Tan Thong Kie,
memberikan kriteria antara benda yang dapat diganti dengan benda yang
tidak dapat diganti, dikatakan sebagai benda yang dapat diganti, apabila
benda tersebut ditentukan oleh macamnya yang ditetapkan berdasarkan pada
kualitas dan/atau jumlahnya. Selain itu, benda dapat pula ditentukan secara
individual, karena benda tersebut memiliki ciri tersendiri yaitu dapat
dibedakan dari yang lainnya. Lebih lanjut Tan Thong Kie menyatakan bahwa
sebuah benda dikatakan sebagai benda yang dapat diganti ataupun tidak
bukanlah bergantung pada sifatnya melainkan dari maksud dan kehendak
para pihak.105
5. Kebendaan yang dapat dibagi (deelbare zaken) dan kebendaan yang tidak
dapat dibagi (ondeelbare zaken).
Pembedaan kebendaan yang dapat dibagi ataupun tidak dapat dibagi diatur
dalam ketentuan Pasal 1296 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Suatu
perikatan dapat dibagi-bagi ataupun tidak dapat dibagi-bagi sekedar perikatan
104
Riduan Syahrani, op.cit, hal.112-113. Periksa juga Rachmadi Usman,
2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut
Rachmadi Usman II), hal.56. 105
Tan Thong Kie, op.cit, hal.154.
62
tersebut mengenai suatu barang yang penyerahannya atau suatu perbuatan
yang pelaksanaannya dapat dibagi ataupun tidak dapatdibagi baik secara
nyata maupun secara perhitungan”.106
Kemudian dalam Pasal 1297
KUHPerdata dinyatakan “Suatu perikatan adalah tidak dapat dibagi-bagi,
meskipun barang atau perbuatan yang dimaksudkan karena sifatnya dapat
dibagi-bagi, jika barang atau perbuatan tadi menurut maksud perikatan tidak
boleh diserahkan atau dilaksanakan sebagian demi sebagian”.107
6. Kebendaan yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan kebendaan yang
akan ada (toekomstige zaken).
Pembedaan atas benda yang sudah ada maupun yang akan ada penting
bagi pelaksanaan dan pelunasan jaminan hutang, sebagaimana tersirat dalam
Pasal 1334 KUHPerdata.108
Terhadap benda yang baru akan ada di kemudian
hari selanjutnya dibedakan lagi menjadi benda yang sama sekali secara
absolut belum ada pada saat ini dan benda yang secara relatif belum ada saat
ini. Benda yang absolute belum ada saat ini berarti benda tersebut sama sekali
tidak ada, tidak tampak yang masih harus tumbuh atau lahir, misalnya hasil
tanaman atau anak hewan yang belum lahir. Terhadap benda relatif yang
belum ada saat ini, berarti benda itu belum ada bagi seseorang atau belum
dikuasainya. Hal ini berakibat mungkin saja suatu benda belum ada bagi
seseorang tetapi bagi orang lain sudah ada109
106
Lihat diantaranya, Rachmadi Usman I, op.cit, hal.88, Riduan Syahrani, op.cit, hal.113, Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.46.
107Rachmadi Usman I, op.cit, hal,89.
108Rachmadi Usman I, loc.cit.
109Tan Thong Kie, op.cit, hal.154.
63
7. Kebendaan dalam Perdagangan (Zaken In De Handel) dan Kebendaan di
Luar Perdagangan (Zaken Buiten De Handel)
Pembedaan kebendaan dalam perdagangan dan diluar perdagangan diatur
dalam Pasal 1332 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hanya barang-
barang yang dapat diperdagangkan saja yang menjadi pokok perjanjian. Ini
berarti bahwa obyek perjanjian hanyalah kebendaan yang dapat
diperdagangkan. Pada dasarnya, semua kebendaan yang menjadi milik
subyek hukum dapat dijadikan obyek perjanjian sehingga kebendaan tersebut
secara bebas dapat diperdagangkan dan bahkan dihibahkan ataupun
diwariskan. Sebaliknya, suatu kebendaan dikatakan sebagai benda diluar
perdagangan bila benda tersebut dilarang dijadikan sebagai obyek perjanjian
sehingga benda tersebut tidak dapat dihibahkan atau bahkan diwariskan.
Kebendaan tersebut dilarang atau bahkan tidak dapat menjadi obyek
perjanjian karena peruntukannya, dilarang oleh hukum atau undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. 110
8. Kebendaan yang Terdaftar (Geregistreerde Zaken) dan Kebendaan yang
Tidak Terdaftar (Ongeregistreerde Zaken).
Pembedaan kebendaan atas benda terdaftar dan tidak terdaftar tidak diatur
dalam KUHPerdata namun KUHPerdata mewajibkan adanya pendaftaran dan
publikasi atas benda tertentu sebagai bukti pemilikannya, sebagaimana
ditegaskan dalam ketentuan Pasal 584, 616, 617, 618, 621, 622 dan 623
KUHPerdata.111
Dari ketentuan pasal tersebut, jelas bahwa setiap penyerahan
110
Rachmadi Usman I, op.cit, hal.91. Berkenaan dengan kebendaan diluar
perdagangan lihat juga Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.30, Kartini Muljadi dan
Gunawan Widjaja II, op.cit, hal. 54. 111
Rachmadi Usman I, ibid, hal.92-93.
64
dan pembebanan terhadap kebendaan yang tidak bergerak harus didaftarkan
dan dipublikasikan dalam register umum sebagai syarat telah terjadinya
perbuatan hukum atas kebendaan yang bersangkutan.Tidak dilakukannya
pencatatan dan oleh karena publikasi akan mengakibatkan tidak mengikatnya
perbuatan hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak
terhadap pihak ketiga. Dengan adanya publikasi, tentu tidak dapat digunakan
untuk merugikan hak ataupun kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik,
tidak demikian halnya bila tidak diadakan publikasi, hal ini membawa
konsekuensi terhadap para pihak tentunya para pihak tidak dapat mendalilkan
hubungan yang terjadi diantara para pihak terhadap pihak ketiga.112
9. Kebendaan berdasarkan Kepemilikannya
Pembedaan jenis kebendaan berdasarkan kepemilikannya, diatur dalam
ketentuan pasal 519 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: Ada kebendaan
yang bukan milik siapapun juga, kebendaan lainnya milik Negara, milik
badan kesatuan atau milik seseorang. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 519
KUHPerdata, maka suatu kebendaan dapat merupakan:113
1). Kebendaan bergerak yang tidak ada pemiliknya (res nullius)114
;
2). Kebendaan yang tidak bergerak, berupa:
a). Kebendaan milik Negara;
b). Kebendaan milik badan kesatuan yaitu kebendaan milik
bersama dari perkumpulan-perkumpulan;
c). Kebendaan milik seseorang yaitu kebendaan milik satu orang
atau lebih dalam perseorangan.
112
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal 66-67. 113
Rachmadi Usman I, op.cit, hal.98. 114
Res Nullius dalam perspektif KUHPerdata, hanya terdiri atas benda bergerak dapat dimiliki oleh orang perorangan atau badan kesatuan melalui proses pendakuan atau perlekatan. (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.53).
65
Dalam konsepsi UUPA, semua tanah di Negara Republik Indonesia, dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jadi Negara tidak memiliki tanah tetapi hanya menguasainya untuk
kepentingan seluruh rakyat.115
Berbeda dengan hukum adat, pembedaan
kebendaan tidak berdasarkan atas benda bergerak dan tidak bergerak yang
lazim dikenal dalam KUHPerdata, tetapi pembedaan kebendaan didasarkan
atas benda tanah dan benda selain tanah. Pembedaan atas benda tanah dan
benda bukan lain selain tanah disebabkan oleh hukum adat menempatkan
tanah sebagai benda utama dimana tanah memiliki kedudukan istimewa
dalam masyarakat hukum adat.116
Dengan dikeluarkannya UUPA menjadikan hukum adat sebagai dasar dari
hukum agraria nasional, maka terdapat pembedaan kebendaan baru yaitu
benda tanah dan benda bukan tanah. Pembedaan atas dengan benda tanah dan
benda bukan tanah akan diuraikan sebagai berikut:
1. Benda tanah hanya berkaitan dengan tanahnya saja dan tidak
berkaitan dengan lain yang melekat pada tanah tersebut. Benda
tanah ini dibedakan atas:
a. Benda tanah terdaftar adalah benda yang secara yuridis
terdaftar pada instansi tertentu yang diberi wewenang atau
berfungsi sebagai tempat pendaftaran dengan adanya
pendaftaran tersebut benda tanah yang bersangkutan
memenuhi aspek publisitas dan spesialitas, meliputi Hak
Milik, HGU, HGB, Hak Pakai.
b. Benda tanah tidak terdaftar meliputi hak atas tanah berupa
Hak Sewa.
2. Benda bukan tanah adalah semua benda selain tanah. Benda bukan
tanah dibedakan atas:
115
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, loc.cit. 116
Rachmadi Usman I, op.cit, hal.63.
66
a. Benda bukan tanah tetap misalnya bangunan, rumah, satuan
rumah susun, dermaga, tanaman, benda–benda bergerak.
Benda bukan tanah tetap ini, dibedakan lagi atas:
i. Benda bukan tanah tetap terdaftar yaitu benda bukan
tanah tetap yang telah terdaftar secara resmi pada instansi
pendaftaran yang diberi wewenang untuk itu, misalnya
rumah terdaftar dan satuan rumah susun yang harus
dibuktikan dengan sertifikat pemilikan rumah.
ii. Benda bukan tanah tetap tidak terdaftar.
b. Benda bukan tanah tanah bergerak, dibedakan atas:
i. Benda bukan tanah bergerak berwujud (tangible),
misalnya kendaraan bermotor, perahu, mebel, pesawat
udara, dan lain sebagainya. Benda bukan tanah bergerak
berwujud, dibedakan lagi atas:
- Benda bukan tanah bergerak berwujud yang terdaftar
merupakan benda bergerak berwujud yang telah
terdaftar secara resmi pada instansi pendaftaran yang
diberi wewenang untuk melakukan pendaftaran.
- Benda bukan tanah bergerak berwujud yang tidak
terdaftar
ii. Benda bukan tanah bergerak tidak berwujud (intangible),
misalnya surat berharga, hak tagih, saham, surat piutang,
hak tuntut (claims). Benda bukan tanah bergerak tidak
berwujud, dibedakan lagi atas:
a. Benda bukan tanah bergerak tidak berwujud yang
terdaftar adalah benda bergerak tidak berwujud yang
terdaftar secara resmi pada instansi pendaftaran bagi
surat-surat berharga, misalnya saham yang terdaftar
(listed) di bursa efek.
b. Benda bukan tanah bergerak tidak berwujud yang
tidakterdaftar.117
117
Djuaendah Hasan, op.cit, hal.98-99 Bandingkan dengan Rachmadi Usman I, op.cit, hal.65. Dalam keputusan Seminar Hukum Jaminan Nasional yang diselenggrakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dari tanggal 9-11 Oktober 1978 di Yogyakarta, menyepakati untuk membagi benda dalam tiga golongan yaitu: (i). benda tak bergerak (ii), benda bergerak (iii). Benda tak berwujud atau hak-hak. Terhadap benda tetap demikian pula terhadap benda bergerak dibedakan dalam benda terdaftar dan tidak terdaftar. Penggolongan dalam tiga macam benda ini harus dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum jaminan yang akan datang.
Skema 2.1 Jenis-jenis Kebendaan
68
Berkenaan dengan hak kebendaan, diatur dalam ketentuan Pasal 528
KUHPerdata, yang merumuskan bahwa hak kebendaan yang dapat diperoleh
atas suatu benda meliputi:
1. Keadaan berkuasa atau bezit atas benda;
2. Hak milik atas benda;
3. Hak waris atas benda;
4. Hak pakai hasil;
5. Hak pengabdian tanah;
6. Hak Gadai;
7. Hipotek.118
Merujuk pada ketentuan pasal 528 KUHPerdata, maka secara garis besar
dalam perspektif KUHPerdata hak kebendaan dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan (zakelijk
genootsrecht)
Hak yang diberikan kepada pemilik untuk menikmati suatu benda
baik terhadap bendanya sendiri maupun benda milik orang lain. Hak
kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri
misalnya hak menguasai (bezit) dan hak milik (eigondom). Hak
kenikmatan yang memberikan kenikmatan atas benda orang lain
misalnya hak memungut hasil, hak pakai dan hak mendiami.
2. Hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakelijk zekerheidsrecht)
Hak yang diberikan kepada pemegangnya untuk didahulukan
pemenuhan utang atas jaminan benda milik orang lain. Secara garis
besar, hak kebendaan sebagai jaminan, dibedakan atas;
a). Cara terjadinya:
i. Karena Undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal
1131 dan 1132 KUHPerdata
ii. Karena diperjanjikan, sebagai bagian dari asas konsesualitas
dalam hukum perjanjian, undang-undang memungkinkan
para pihak untuk melakukan perjanjian assesoir yaitu
penjaminan yang ditujukan untuk menjamin pelunasan atau
pelaksanaan kewajiban debitor kepada kreditor.
b). Obyeknya:
i. Berobyek benda bergerak;
ii. Berobyek benda tidak bergerak/benda tetap;
iii. Berobyek benda berupa tanah.
118
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.182-212.
69
c. Sifatnya
i. Jaminan umum, jaminan yang diberikan bagi kepentingan
semua kreditor dan menyangkut semua harta debitor
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata.
ii. Jaminan khusus, jaminan dalam bentuk penunjukkan atau
penyerahan barang secara khusus sebagai jaminan atas
pelunasan kewajiban/utang debitor kepada kreditor tertentu
yang hanya berlaku untuk kreditor tertentu tersebut baik
secara kebendaan maupun perorangan.
iii. Bersifat kebendaan, yaitu adanya benda tertentu yang
dijadikan jaminan (zakelijk).
iv. Bersifat perorangan (personlijk), yaitu adanya orang tertentu
yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi jika
debitor cidera janji.
d. Kewenangan menguasai benda jaminannya
i. Menguasai benda jaminannya
ii. Tanpa menguasai benda jaminannya.119
Apabila dikaji lebih lanjut kandungan materi hukum kebendaan yang
diatur dalam Buku II KUHPerdata dan dihubungkan dengan berlakunya
UUPA, maka hak kebendaan dapat dibedakan atas:
a) Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan (zakelijk
genootsrecht) kepada pemilik atau empunya, baik terhadap bendanya
sendiri maupun benda milik orang lain seperti hak bezit, hak milik,
hak memungut hasil, hak pakai dan hak mendiami.
b) Hak kebendaan yang memberi jaminan (zakelijk zekerheidsrecht)
kepada pemegangnya yaitu seperti gadai (pand) untuk jaminan
kebendaan bergerak, hipotik untuk jaminan kebendaan atas kapal
laut dan pesawat terbang, hak tanggungan untuk jaminan kebendaan
bagi tanah atau fidusia untuk jaminan kebendaan bergerak yang tidak
dapat digadaikan atau untuk jaminan kebendaan bagi tanah yang
tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan;
c) Hak yang memberi jaminan tetapi bukan lembaga hak jaminan
kebendaan namun hak yang bersangkutan tersebut mempunyai sifat
kebendaan seperti hak prevelige, hak retensi dan cessie.120
Dengan berlakunya UUPA, pengaturan hukum kebendaan yang berkaitan
dengan tanah tidak lagi tunduk pada Buku II KUHPerdata melainkan tunduk
119
Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.222-224. Lihat pula Rachmadi Usman I,
op.cit, hal.114. 120
Rachmadi Usman II, op.cit, hal.65.
70
pada hukum kebendaan sebagaimana diatur dalam Hukum Agraria Nasional.
Dalam hal ini, UUPA tidak mengatur tentang penataan tanah belaka tetapi
mengatur mengenai agrarian dalam arti luas yaitu mengatur tentang bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya sehingga
memberikan pengaruh yang besar terhadap hukum kebendaan yang diatur
dalam Buku II KUHPerdata.121
2.2. Tinjauan tentang Pertelaan dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
2.2.1. Ruang Lingkup Pertelaan
Penyelenggara pembangunan wajib memisahkan rumah susun atas satuan
dan bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi
yang berwenang. Batas dan rincian yang jelas tersebut dituangkan dalam bentuk
Gambar dan Uraian, sebagai berikut:
1. Gambar Pertelaan, yaitu gambar yang memperlihatkan batas-batas
kepemilikan perseorangan maupun kebersamaan yang distrukturkan secara
vertikal maupun horizontal yang merupakan satu kesatuan fungsi dalam
kegunaannya, yang mengandung nilai perbandingan proposional (NPP).
Gambar pertelaan meliputi :
a. Satuan lingkungan tanah bersama yang mengambarkan benda bersama.
b. Tanah bersama (sesuai GS/SU lampiran sertipikat).
c. Denah masing masing lantai, terdiri dari bagian bersama dan bagian
perseorangan.
d. Tampak bangunan Rusun dari segala arah.
121
Rachmadi Usman II, op.cit, hal.16.
71
e. Potongan dari dua arah vertikal dan horizontal terhadap bangunan
Rusun.
f. Potongan dari 2 (dua) arah antara unit Satuan Rusun dengan unit
lainnya, antara unit Satuan Rusun dengan bagian bersama (kuzen,
dinding, plafon) secara tipikal.
Gambar pertelaan dibuat dan ditetapkan oleh penyelenggara pembangunan
serta ditanda tangani untuk diketahui oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kab/Kota sedangkan untuk wilayah DKI oleh Kepala Bidang Survey
Pengukuran dan Pemetaan (SPP) Kanwil BPN DKI.
Gambar pertelaan dapat diartikan sebagai peta dasar pendaftaran karena
merupakan dasar pembuatan gambar denah dalam penerbitan sertipikat
HMSRS oleh Kantor Pertanahan. Sebelumnya dilakukan pengecekan uji
petik terhadap unit-unit tipikal oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
untuk mengetahui luas pendekatan sesuai ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku.
2. Uraian Pertelaan
Adalah penjelasan secara deskriptif dari gambar pertelaan mengenai
kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama (tanah bersama, bagian
bersama dan benda bersama) yang dilengkapi dengan spesifikasi teknis yang
mengandung nilai perbandingan proporsional (NPP) yang perhitungannya
dilakukan oleh penyelenggara pembangunan dan disahkan oleh Bupati/
Walikota dan khusus untuk wilayah DKI Jakarta disahkan oleh Gubernur.
72
Tanda Bukti pemisahan tersebut di tuangkan dalam bentuk Akta
Pemisahan. Berkenaan dengan akta pemisahan di atur dalam Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang Tata cara
pembuatan dan pengisian akta pemisahan ruman susun. Tatacara pembuatan
dan pengisian akta tersebut adalah sebagai berikut:
a. Akta pemisahan dibuat dan diisi sendiri oleh penyelenggara
pembangunan rumah susun.
b. Akta pemisahan rumah susun berisikan :
1. Hari, tanggal, bulan dan tahun pembuatan akta pemisahan.
2. Nama lengkap pembuat/penandatangan akta pemisahan yang
dilengkapi dengan jabatan dan tempat kerja (kantor) yang
bersangkutan.
3. Nama badan hukum/Instansi penyelenggara pembangunan
rumah susun.
4. Status tanah dimana rumah susun didirikan.
5. Sistem pembangunan rumah susun, apakah dilaksanakan secara
mandiri atau terpadu.
6. Penggunaan/pemanfaatan rumah susun, untuk hunian atau bukan
hunian.
7. Jumlah blok rumah susun dalam kesatuan sistem pembangunan
yang dilaksanakan pada tanah bersama.
8. Uraian tiap blok rumah susun, misalnya blok 1 terdiri dari 10
(sepuluh) lantai. Lantai 1 terdiri dari 15 (lima belas) satuan
rumah susun, lantai 2 (dua) terdiri dari 10 (sepuluh) satuan
rumah susun dan sebagainya.
73
9. Macam-macam bagian dan benda bersama sesuai dengan
pertelaan yang telah disahkan.
10. Status tanah bersama, nomor hak dan nomor surat ukur serta
batas-batas tanah.
11. Perbandingan proporsional antara satuan rumah susun terhadap
hak atas bagian, benda dan tanah bersama.
12. Tempat/kota dimana akta pemisahan tersebut dibuat dan tanggal
penandatanganannya.
13. Jabatan si penandatangan akta pemisahan.
14. Tanda tangan pembuat akta pemisah dan nama terangnya.
15. Tempat, tanggal, bulan dan tahun serta Instansi yang
mengesahkan akta pemisah.
c. Setelah akta tersebut dibuat, penyelenggara pembangunan wajib
meminta pengesahan isi akta tersebut kepada Pemerintah Daerah
Tingkat II Kabupaten/Kotamadya setempat atau kepada Pemerintah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, apabila pembangunan rumah susun
terletak di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
d. Akta pemisahan setelah disahkan harus didaftarkan oleh penyelenggara
pembangunan pada Kantor Pertanahan setempat dengan dilampiri :
Sertifikat hak atas tanah.
Ijin Layak Huni.
Warkah-warkah lainnya yang diperlukan.
74
e. Akta pemisahan beserta berkasnya-berkas lampirannya dipergunakan
sebagai dasar untuk penerbitan sertifikat hak milik atas satuan rumah
susun.
2.2.2. Ruang Lingkup Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (selanjutnya disebut HMSRS) meliputi
hak pemilikan perseorangan yang digunakan secara terpisah, hak bersama atas
bagian-bagian bangunan, hak bersama atas tanah, semuanya merupakan satu
kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan. Hak milik Perseorangan
yang digunakan secara terpisah merupakan ruangan yang mempunyai luas dan
batas tinggi tertentu yang memisahkan hak milik perseorangan terhadap hak milik
orang lain yang tidak selalu dibatasi oleh dinding. Apabila ruangan dibatasi oleh
dinding, maka permukaan dalam diri dinding pemisah, permukaan bagian bawah
dari langit-langit struktur, permukaan bagian atas dari lantai struktur adalah
merupakan batas pemilikannya. Dalam hal sebagian ruangan tidak dibatasi oleh
dinding maka batas bagian atas setinggi permukaan bagian bawah dari langit-
langit struktur merupakan batas pemilikannya, sedangkan apabila keseluruhan
ruangan tidak dibaatsi oleh dinding maka batas pemilikan dapat dilakukan dengan
memberi tanda yang jelas dan tidak dapat dihapus.122
Pemilikan atas SRS dapat dilakukan oleh perseorangan maupun badan
hukum. Apabila pemilikan dilakukan oleh perseorangan maka yang bersangkutan
harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah bersama sesuai dengan
status tanah didirikannya HMSRS baik itu tanah hak milik, hak guna bangunan
122
Andi Hamzah,et.al, 2000, Dasar-dasar Hukum Perumahan, Cet.3, Rineka
Cipta, Jakarta, hal.39-40. (Lihat juga Pasal 41 PP Rumah Susun).
75
atau hak pakai atas tanah Negara maupun hak guna bangunan atau hak pakai
diatas hak pengelolaan. Sedangkan untuk badan hukum yang dapat memiliki
satuan rumah susun yang dibangun diatas tanah milik bersama adalah badan
hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963
diantaranya adalah Bank-Bank yang didirikan oleh Negara, Badan-badan sosial
dan keagamaan koperasi dan lain-lainnya.123
Sebagai tanda bukti kepemilikan HMSRS maka Kantor Pertanahan
menerbitkan Sertifikat HMSRS .Tata cara penerbitan sertifikat dan pembuatan
buku tanah HMSRS diatur dalam Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989.
Menurut Peraturan Ka BPN tersebut, buku tanah terdiri atas 4 halaman yaitu:
a. Halaman muka atau halaman pertama;
b. Halaman kedua, bagian pendaftaran pertama
c. Halaman pertama dan kedua dipergunakan untuk pendaftaran HMSRS
untuk pertama kalinya;
d. Halaman ketiga dan keempat disediakan untuk pendaftaran peralihan
hak, pembebanan dan pencatatan lainnya, tiap halaman terbagi atas 5
(lima) ruang.
Setiap HMSRS didaftar dalam satu buku tanah HMSRS. Untuk pendaftaran
HMSRS, disamping mempergunakan daftar isian yang dipergunakan dalam
penyelenggaraan pendaftaran, diperlukan pula beberapa daftar tambahan yaitu:
a. Daftar Buku Tanah HMSRS yang dibuat per Desa/Kelurahan
b. Daftar Gambar Rumah yang diberi Nomor urut per tahun per
Kabupaten atau persatuan Wilayah Kerja Kantor Pertanahan.
123
Ibid, hal.39.
76
Terhadap HMSRS yang telah dibukukan dapat diterbitkan sertifikat,
kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dijilid dalam
satu sampul dokumen yang merupakan alat bukti HMSRS yang dimilikinya.
Penerbitan SHM SRS dilakukan oleh Kantor Pertanahan Setempat. Sertifikat itu
harus sudah dibuat oleh perusahaan penyelenggara pembangunan rumah susun
sebelum satuan rumah susun tersebut dijual124
HMSRS dapat beralih dengan cara
pewarisan125
ataupun dengan cara pemindahan hak.126
HMSRS dapat pula
berakhir atau hapus, karena: Hak atas tanahnya hapus menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, Tanah dan bangunannya musnah,
Terpenuhinya syarat batal dan Pelepasan hak secara sukarela.127
2.3. Tinjauan tentang Overmacht dan Hukum Perjanjian Rumah Susun
2.3.1. Pengertian dan Unsur-unsur Overmacht
Konsep overmacht dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) ditemukan dalam pasal-pasal berikut ini:
124
Andi Hamzah, op.cit, hal.40-42. Marihot P.Siahaan, 2005, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan: Teori dan Praktik, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.148-149. Periksa juga Pasal 47 ayat (3) dan (4) UU Rumah Susun.
125 Peralihan hak HMSRS dilakukan melalui pewarisan, maka pendaftaran
peralihan haknya dilakukan dengan melampirkan: (a). Sertifikat HMSRS; (b). Surat Keterangan Kematian Pewaris; (c). Surat Wasiat atau Surat Keterangan Waris sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku; (d). Bukti kewarganegaraan ahli waris; (e). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni; (f). Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pewarisan (Vide Pasal 42 ayat 2 PP Rumah Susun).
126Pemindahan HMSRS dan pendaftaran peralihan haknya dilakukan dengan
melampirkan (a). Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Berita Acara Lelang; (b). Sertifikat HMSRS yang bersangkutan; (c). Anggaran Dasar Rumah Tangga perhimpunan penghuni; (d).Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pemindahan hak; dan (e). ahli waris (Vide Pasal 42 ayat 1 PP Rumah Susun ).
127 Vide Pasal 50 PP Rumah Susun.
77
Pasal 1244 KUH Perdata
Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya,
rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan
atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu,
disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk
tidak ada pada pihaknya.
Pasal 1245 KUH Perdata
Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan
memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si
berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan,
atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
Pasal 1444 KUH Perdata
(1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat
diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah
barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu
musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.
(2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang,
sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang
tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga
dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah
diserahkan kepadanya.
(3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga,
yang dimajukannya itu.
(4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah
atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang
yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya.
Pasal 1445 KUH Perdata
Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak
dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia
mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang
tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut
kepada orang yang mengutangkan kepadanya.
Berdasarkan pasal-pasal dalam KUHPerdata sebagaimana disebutkan di
atas, unsur-unsur overmacht meliputi:
78
a. Peristiwa yang tidak terduga;
b. Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;
c. Tidak ada itikad buruk dari debitur;
d. Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur;
e. Keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;
f. Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan;
g. Keadaan di luar kesalahan debitur;
h. Debitur tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang);
i. Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik debitur
maupun pihak lain);
j. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.
Dalam khazanah hukum Indonesia, konsep overmacht lebih banyak
dijelaskan oleh pendapat ahli-ahli hukum Indonesia, antara lain berikut ini.
1. R. Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang
dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat
diduga, dan timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak
terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu,
bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. 128
2. Mariam Darus Badrulzaman memberikan pengertian overmacht yaitu
adanya hal yang tidak terduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan
128
Lebih lanjut Subekti menekankan arti overmacht pada dua pasal yaitu pasal 1244 dan pasal 1245 KUHPerdata. Menurutnya, pengertian kedua pasal tersebut merupakan doublure yaitu mengatur hal yang sama hanya saja kalau ditilik lebih lanjut dari perumusannya, maka penekanannya terletak pada Pasal 1244 KUHPerdata karena dianggap paling tepat menunjukkan keadaan overmacht. Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Cet.19, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disebut Subekti II) hal.55-56.
79
kepada seseorang sedangkan yang bersangkutan dengan segala usahanya
secara patut memenuhi kewajibannya.129
3. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir H.F. A. Vollmar
menyatakan bahwa overmacht adalah keadaan di mana debitur sama
sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau
masih memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi memerlukan
pengorbanan besar yang tidak seimbang (relative overmacht).130
4. Purwahid Patrik mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah
debitur tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka
akan berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya.131
5. Munir Fuady mengemukakan pendapatnya tentang overmacht, dimana
keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang menghalangi seseorang
untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan yang tidak terduga,
keadaan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditor
karena keadaan debitor tidak dalam keadaan beritikad buruk.132
6. R.Setiawan memberikan pengertian keadaan memaksa adalah suatu
keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi
debitur untuk memenuhi prestasinya, dalam hal ini debitor tidak dapat
129
Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.25. 130
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dalam Rahmat S.S Soemadipradja,
op.cit, hal.8. 131
Purwahid Patrik dalam Rahmat S.S. Soemadipradja, ibid. 132
Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari sudut Pandang Hukum
Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Munir Fuady I),
hal.113.
80
dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta hal tersebut tidak
dapat diduga pada waktu persetujuan dibuat.133
Dari uraian doktrin diatas, maka dapat dirumuskan unsur-unsur dari
overmacht sebagai berikut:
1. Suatu keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak
dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa yang
diperjanjikan
2. Disebabkan adanya suatu peristiwa yang menyebabkan obyek yang
diperjanjikan musnah;
3. Peristiwa yang mendasari overmacht tersebut terjadi di luar kendali salah
satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi
pada waktu membuat perikatan.
4. Dimana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat
dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko.
5. Debitur tidak beritikad buruk.
2.3.2. Jenis-jenis overmacht
Dalam perkembangannya, overmacht dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis yaitu:
A). Berdasarkan sifatnya
1).Overmacht tetap yaitu overmacht yang mengakibatkan perjanjian
selamanya tidak mungkin untuk dilaksanakan atau tidak dapat
dipenuhi sama sekali, sehingga dalam keadaan tersebut otomatis
perikatan akan berakhir karena tidak mungkin dapat dipenuhi lagi.
2).Overmacht sementara, mengakibatkan pelaksanaan perjanjian
ditunda dari waktu yang ditentukan semula dari perjanjian tersebut.
133
R.Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet.6, Putra Abardin,
Bandung, hal.27.
81
Dalam hal ini, perikatan itu tidak berhenti/tidak batal, namun
pemenuhan prestasinya tertunda dan jika kesulitan yang dihadapi
oleh debitor tidak ada lagi maka pemenuhan prestasinya dapat
diteruskan.134
B). Berdasarkan obyek
1). Overmacht lengkap artinya mengenai seluruh prestasi itu tidak
dapat dipenuhi oleh debitur.
2). Overmacht sebagian artinya hanya sebagian dari prestasi itu yang
tidak dapat dipenuhi oleh debitur.135
C). Berdasarkan subyek
1). Overmacht obyektif didasarkan pada ajaran ketidakmungkinan
(imposibilitas), dalam hal ini adanya ketidakmungkinan
pemenuhan prestasi oleh siapapun.
2). Overmacht subyektif dalam hal ini menimbulkan kesulitan
pelaksanaan bagi debitor tertentu. Ajaran overmacht subyektif
disini berhadapan dengan difficulties (kesulitan-kesulitan), dalam
hal ini debitor masih mungkin untuk memenuhi prestasi namun
dengan pengorbanan yang besar dan tidak seimbang atau
menimbulkan kerugian yang besar bagi debitur.136
D). Berdasarkan ruang lingkupnya
1) Overmacht umum dapat berupa iklim, kehilangan, dan pencurian.
2) Overmacht khusus, dapat berupa berlakunya suatu peraturan (UU
134
Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.43. 135
Rahmat S.S.Soemadipradja, op.cit, hal.42. 136
Rahmat S.S. Somadipradja, loc.cit.
82
atau Peraturan Pemerintah). Dalam hal ini bukan berarti prestasi
tidak dilakukan tetapi prestasi tidak boleh dilakukan, Sumpah,
Tingkah Laku Pihak Ketiga dan Pemogokan137
2.3.3. Jenis-Jenis Perikatan dan/atau Perjanjian
Jenis-jenis perikatan oleh CST Kansil dibedakan menjadi (enam) jenis,
yaitu:
(1). Perikatan Sipil (Civile Verbentenissen) atau Perikatan Wajar
(Natuurlijke Verbentennissen).
(2). Perikatan yang dapat dibagi (deelbare verbintenissen) dan Perikatan
yang tak dapat dibagi (ondeelbare verbintenissen);
(3). Perikatan Pokok (Principale atau hoofdverbintenissen) dan Perikatan
Tambahan (Accessoire atau Nevenverbintenissen);
(4). Perikatan Spesifik (Spesifieke Verbintenissen) dan Perikatan Generik
(Genericke Verbintenissen);
(5). Perikatan Sederhana (Eenvoudige Verbintenissen) dan Perikatan
Jamak (Meervoudige Verbintenissen) ;
(6). Perikatan Murni (Zuivere Verbintenissen) dan Perikatan Bersyarat
(Voorwaardelijk Verbintenis).138
Yahya Harahap membedakan perjanjian menjadi sembilan (9) jenis,
meliputi:
1. Perjanjian Positif dan Negatif
2. Perjanjian Sepintas lalu (voorbygaande) dan berlangsung terus
(voortdurende)
3. Perjanjian Alternatif (Alternatif Verbintenis )
137
Pembedaan overmacht berdasarkan ruang lingkupnya merupakan
pembedaan yang diberikan oleh Mariam Darus Badrulzaman. (Mariam Darus
Badrulzaman et.al,op.cit,hal.28).Berbeda dengan Mariam Darus Badrulzaman,
Munir Fuady menggunakan istilah force majeure untuk menerjemahkan
overmacht. Oleh Munir Fuady, force majeure terhadap suatu kontrak dapat
dibedakan menjadi: 1). Dilihat dari segi sasaran yang terkena force majeure,
dibedakan menjadi: (a). Force Majeure Objektif disebut juga dengan physical
impossibility dan (b).Force Majeure Subyektif; (2). Dilihat dari segi kemungkinan
pelaksanaan prestasi dalam kontrak, force majeure dibedakan atas: (a). Force
Majeure Absolut atau sering disebut dengan impossibility dan (b). Force Majeure
Relatif atau sering disebut dengan impracticality; dan (3). Dilihat dari segi jangka
waktu berlakunya force majeure dibedakan atas: (a). Force Majeure Permanen
dan (b). Force Majeure Temporer. Munir Fuady I, op.cit, hal. 114-117. 138
C.S.T Kansil, op.cit, hal.247-248
83
4. Perjanjian Kumulatif atau Konjungtif (cumulatieve of conjungtieve)
5. Perjanjian Fakultatif
6. Perjanjian Generik dan Spesifik
7. Perjanjian yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi (deelbare en
ondeelbare verbintenisen)
8. Perjanjian hoofdelijke atau solider
9. Perjanjian bersyarat (voorwaardelijke verbintenis).139
Perikatan-perikatan tersebut oleh Tan Thong Kie dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu:
(1). Jenis Perikatan berdasarkan Prestasi, dibagi menjadi;
a. Perikatan dengan Prestasi Positif dan Prestasi Negatif.
b. Perikatan dengan Prestasi yang memakan waktu tidak lama atau
prestasi terus-menerus.
c. Perikatan dengan prestasi sederhana dan prestasi kompleks.
d. Perikatan dengan prestasi yang dapat dibagi dan prestasi yang tidak
dapat dibagi.
e. Perikatan dengan Prestasi yang ditentukan atau Prestasi yang tidak
ditentukan. Prestasi yang tidak ditentukan dibedakan menjadi
Perikatan Alternatif dan Perikatan Generik.
f. Perikatan dengan Prestasi Prinsipal atau Assesor.
(2). Jenis Perikatan Berdasarkan waktu prestasi
a. Perikatan Bersyarat
Syarat dalam ilmu hukum dibedakan menjadi:
1. Syarat positif dan syarat negatif;
2. Syarat yang bergantung pada salah satu pihak;
3. Syarat menangguhkan dan syarat batal.
b. Perikatan dengan atau tanpa ketentuan waktu140
Berbeda dengan Tan Thong Kie, R.Setiawan membedakan perikatan
menjadi 3 kelompok yaitu:
1). Isi daripada prestasinya
a). Perikatan positif dan negatif.
b). Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan.
c). Perikatan alternatif.
d). Perikatan fakultatif.
e). Perikatan generik dan spesifik.
f). Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi.
2). Subyek-subyeknya
a). Perikatan solider atau tanggung renteng.
139
Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,
hal.34-45. 140
Tan Thong Kie, op.cit, hal.366-382.
84
b). Perikatan principle atau accessoire.
3). Mulai berlakunya dan berakhirnya perikatan
a). Perikatan bersyarat dan
b). Perikatan dengan ketetapan waktu.141
Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman, et.al, membedakan perikatan
dalam empat kelompok, yaitu:
(1). Berdasarkan obyeknya (prestasinya), perikatan dibagi menjadi:
(a). Perikatan untuk memberikan sesuatu;
(b). Perikatan untuk berbuat sesuatu;
(c). Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu;
(d). Perikatan mana suka (alternatif);
(e). Perikatan fakultatif;
(f). Perikatan generik dan spesifik;
(g). Perikatan yang dapat dibagi (deelbaar) dan yang tidak dapat
dibagi (ondeelbaar);
(h). Perikatan yang sepintas lalu (voorbijkgaande) dan terus menerus
(voortdurende).
(2) Berdasarkan subyeknya, perikatan dibedakan menjadi:
(a). Perikatan tanggung-menanggung (hooflijk atau solider); dan
(b). Perikatan pokok (principle) dan perikatan tambahan (accessoir).
(3) Berdasarkan daya kerjanya, perikatan dibedakan menjadi:
(a). Perikatan dengan ketetapan waktu; dan
(b). Perikatan bersyarat.
(4) Berdasarkan Undang-Undang, perikatan dibedakan menjadi:
(a). Perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak
berbuat sesuatu;
(b). Perikatan bersyarat;
(c). Perikatan dengan ketetapan waktu;
(d). Perikatan manasuka (alternatif);
(e). Perikatan tanggung-menanggung;
(f). Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi; dan
(g). Perikatan dengan ancaman hukuman.142
Bertolak dari pembedaan penggolongan perikatan dari para ahli, pada
dasarnya pandangan para ahli terhadap perikatan tersebut tidak jauh berbeda
karena substansi dari perikatan itu diatur dalam KUHPerdata, berikut uraian dari
perikatan-perikatan yang dimaksud, antara lain:
141
R.setiawan, op.cit, hal.34. 142
Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit, hal.10-11.
85
1. Perikatan untuk memberikan sesuatu.
Mengenai perikatan untuk memberikan sesuatu, Undang-Undang tidak
merumuskan gambaran yang sempurna. Pasal 1235 KUH Perdata, menyatakan
bahwa tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub
kewajiban diberi utang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan
untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat
penyerahan. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa perikatan untuk
memberikan sesuatu adalah perikatan untuk menyerahkan (leveren) dan
merawat benda (prestasi), sampai pada saat penyerahan dilakukan.143
2. Perikatan untuk berbuat sesuatu
Debitor bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang diperjanjikan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1239 KUH
Perdata bahwa tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat
sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan
penyelesaiannya dalam kewajiban, memberikan penggantian biaya, rugi dan
bunga. Selanjutnya Pasal 1240 KUHPerdata menyatakan:
Pada saat itu si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan
segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan dan
bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh
menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya
si berutang dengan tidak mengurangi hak menuntut penggantian biaya,
rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.144
143
Titik Triwulan Tutik II, op.cit, hal. 210. 144
Pasal 1240 KUHPerdata mengandung pedoman untuk melakukan
eksekusi riel pada perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Mariam Darus
Badrulzaman, op.cit, hal.15-16. Lihat Pula Titik Triwulan Tutik II, op.cit, hal.211-
212
86
3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
Tidak berbuat sesuatu artinya tidak melakukan perbuatan seperti yang
telah diperjanjikan, sebagaimana disebutkan pada Pasal 1242 KUH Perdata
bahwa jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak
yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena
pelanggaran itu dan karena itupun saja, berwajiblah ia akan penggantian biaya,
rugi dan bunga.145
4. Perikatan Murni (zuivere verbintenis) dan Perikatan Syarat
(Voorwaardelijke Verbintenissen).
Perikatan Murni yaitu Perikatan yang pemenuhan prestasinya tidak
digantungka pada suatu syarat (condition) dan seketika itu juga wajib
dipenuhi,146
sedangkan perikatan syarat147
dalam Hukum Perikatan adalah
suatu peristiwa yang belum terjadi tetapi akan mungkin terjadi, yang
menentukan apakah perikatan itu dapat diterima atau tidak.
Syarat dalam beberapa ilmu hukum harus memenuhi beberapa ketentuan,
yaitu:
a. Harus mengenai suatu peristiwa yang belum terjadi
b. Peristiwa itu harus belum tentu terjadi
c. Harus mungkin tidak bertentangan dengan kesusilaan, tidak
bertentangan dengan undang-undang
d. Tidak boleh semata-mata tergantung pada kemauan seorang yang
terikat148
145
Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal. 18, Lihat pula Titik Triwulan
Tutik, op.cit, hal.212. 146
Titik Triwulan Tutik II, op.cit, hal.208 dan 213. Lihat pula C.S.T Kansil,
op.cit, hal. 248. 147
Yahya Harahap, op.cit, hal.45. Lihat pula diantaranya: Tan Thong Kie,
op.cit, hal.375, C.S.T Kansil, op.cit, hal.248, R.Setiawan, op.cit, hal.44. 148
Tan Thong Kie, op.cit, hal.376. Bandingkan pula dengan Yahya Harahap,
op.cit, hal. 47.
87
Menurut Setiawan, perikatan bersyarat dapat digolongkan kedalam:
1). Perikatan bersyarat yang menangguhkan, perikatan baru berlaku setelah syaratnya dipenuhi, diatur dalam ketentuan Pasal 1268 KUHPerdata.
2). Perikatan bersyarat yang menghapuskan, diatur dalam ketentuan Pasal 1265 KUHPerdata, perikatan hapus jika syaratnya dipenuhi: a). Keadaan akan dikembalikan seperti semula seolah-olah tidak
terjadi perikatan b). Hapusnya perikatan untuk waktu selanjutnya
149
5. Perikatan Sederhana (Eenvoudige verbintenissen) dan Perikatan Jamak
(meervoudige Verbintenissen).
Perikatan sederhana yaitu, perikatan yang hanya ada satu prestasi yang
harus dipenuhi oleh debitor. Adapun perikatan jamak yaitu perikatan yang
pemenuhannya oleh debitor lebih dari satu macam prestasi. Perikatan jamak
dibagi menjadi antara lain:
(a). Perikatan kumulatif atau konjungtif (cumulatieve verbintenissen atau kumulatieve of conjunctieve )yaitu perikatan bersusun atau prestasi yang dibebankan terhadap debitur terdiri dari bermacam-macam jenis.
(b) Perikatan boleh pilih/Manasuka/Perikatan alternative (Alternatieve Verbintenis) Perikatan alternatif adalah suatu perikatan dimana debitur berkewajiban melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih baik menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga dengan pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi mengakhiri perikatan.
150
(c). Perikatan Fakultatif (facultatieve verbintenissen) yaitu perikatan yang telah ditentukan prestasinya, akan tetapi jika karena sesuatu sebab tidak dapat dipenuhi, maka debitor berhak memberi prestasi yang lain.Suatu perikatan fakultatif adalah suatu perikatan yang obyeknya hanya berupa suatu prestasi dimana debitur dapat menggantikan dengan prestasi lain. Perjanjian fakultatif hanya mempunyai satu objek prestasi
151
149
R.Setiawan,op.cit hal.44-45. Lihat pula diantaranya Yahya
Harahap,op.cit, hal.47-48, Titik Triwulan Tutik, op.cit,hal.208-209, Tan Thong
Kie, op.cit, hal.376, Mariam Daruz Badrulzaman, et.al, op.cit, hal.36-42. 150
Lihat diantaranya R.Setiawan, op.cit, hal.35, Yahya Harahap, op.cit,
hal.35. 151
R.Setiawan, op.cit, hal.37.
88
6. Perikatan dengan ketetapan waktu (verbintenis met tijdsbepaling)
Menurut Pasal 1268 KUH Perdata, bahwa suatu ketetapan waktu tidak
menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya.
Perikatan dengan ketetapan waktu, mengakibatkan kreditor tidak berhak untuk
menagih pembayaran sebelum waktu yang diperjanjikan itu tiba, tetapi apa
apa yang telah dibayar sebelum waktunya tiba tidak dapat dimintakan
kembali.152
Perikatan dengan ketetapan waktu, dibedakan menjadi:
a). Ketentuan waktu yang menangguhkan, diatur dalam Pasal 1268
sampai dengan 1271 KUHPerdata .
b).Mengenai ketentuan waktu yang menghapuskan tidak/diatur oleh
masing-masing secara umum. Dengan dipenuhinya ketentuan waktu,
maka perikatan menjadi hapus. Perikatan dengan ketentuan waktu
yang menghapuskan tidak berlaku surut. Jika waktunya telah dipenuhi
maka debitur tidak lagi terikat akan tetapi prestasinya pada waktu
yang lalu tidak perlu dikembalikan.153
7. Perikatan sepintas lalu (Voorbygaande) dan berkelanjutan/ berlangsung
terus (Voortdurende)
Perikatan sepintas lalu yaitu dalam pemenuhan perikatan cukup hanya
dilakukan dengan satuperbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan
perikatan telah tercapai sedangkan perikatan berkelanjutan yaitu prestasinya
bersifat terus menerus dalam jangka waktu tertentu.Disebut perjanjian
sepintas lalu, apabila pemenuhan prestasi berlangsung sekaligus dalam waktu
yang singkat dan dengan demikian perjanjianpun berakhir.Lain halnya pada
152
Lihat diantaranya Titik Triwulan Tutik, op.cit, hal.216 dan Abdulkadir
Muhammad, op.cit, hal.46. 153
Lihat diantaranya R.Setiawan, op.cit, hal.47-48 dan Abdulkadir
Muhammad, op.cit, hal.45.
89
perjanjian yang berlangsung terus. Disini kewajiban pemenuhan dan
pelaksanaan prestasi berlangsung dalam jangka waktu yang lama.154
8. Perikatan Pokok (Principale, atau Hoofdverbintenissen) dan Perikatan
Tambahan (accessoire atau nevenverbintenissen).
Perikatan Pokok, yaitu perikatan yang dapat berdiri sendiri tidak
bergantung pada perikatan-perikatan lainnya; misal, jual beli, sewa menyewa
sedangkan Perikatan Tambahan, yaitu perikatan yang merupakan tambahan
dari perikatan lainnya dan tidak dapat berdiri sendiri.155
9. Perikatan spesifik (spesifieke verbintenissen) dan Perikatan Generik
(genericke verbintenissen).
Perjanjian generik atau soort-verbintenis ialah perjanjian yang hanya
menentukan jenis dan jumlah voorwerp atau benda/barang yang harus
diserahkan debitur seperti yang diatur dalam Pasal 1392 KUHPerdata. Sesuai
dengan ketentuan pasal diatas; pada perjanjian generikdebitur dalam
memenuhi kewajibannya guna membebaskan dirinya atas pemenuhan
prestasi. Lain halnya dengan perikatan spesifik (Pasal 1391KUHPerdata).
Apabila benda yang menjadi objek perjanjian yang ditentukan hanya ciri-ciri
khususnya saja, maka dinamakan perjanjian spesifik. Dengan kata lain
Perikatan spesifik adalah perikatan yang secara khusus ditetapkan macamnya
prestasi. 156
154
Lihat diantaranya R.setiawan, op.cit,hal.34, Yahya Harahap, op.cit,
hal.34-35, Tan Thong Kie,op.cit, hal.369. 155
C.S.T Kansil, op.cit, hal.248. 156
Ibid,Lihat juga diantaranyaYahya Harahap, op.cit, hal.36-37. R.Setiawan,
op.cit,hal.37.
90
10. Perikatan yang dapat dibagi (deelbare verbintenissen) dan Perikatan yang
tidak dapat dibagi (ondeelbare verbintenissen).
Perikatan yang dapat dibagi (deelbabhre verbintenissen), yaitu perikatan
yang menurut sifat dan maksudnya dapat dibagi-bagi dalam memenuhi
prestasinya. Adapun Perikatan yang tidak dapat dibagi (ondeelbare
verbintenissen) yaitu perikatan yang menurut sifat dan maksudnya tak dapat
dibagi-bagi dalam melaksanakan prestasinya.157
Perjanjian dikatakan sebagai perjanjian yang tidak dapat dibagi disebabkan
oleh dua hal :
1. Menurut Pasal 1296 KUH Perdata, bahwa perikatan tidak dapat
dibagi-bagi, jika obyek dari pada perikatan tersebut yang berupa
penyerahan sesuatu barang atau perbuatan dalam pelaksanaannya
tidak dapat dibagi-bagi, baik secara nyata ataupun secara
perhitungan.Oleh karena "sifat" prestasi tidak dapat dibagi-bagi dan
objek prestasi mutlak tidak terbagi, maka sifat ondeelbare yang
demikian dinamakan absolut ondeelbare atau individuitas necessaria
2. Berdasar kekuatan tujuan/maksud penjanjian.
Penjanjian ondeelbare yang didasarkan atas kekuatan tujuan atau
maksud (strekking) disebut ondeelbar relative dan sering juga disebut
individuitas obligatione. Untuk menentukan tujuan/maksud tadi dapat
dilihat dari tiga segi yaitu dari maksud/tujuan para pihak sendiri, dari
penentuan yang jelas dalam perjanjian dan dari hakekat perjanjian itu
benar-benar tidak mungkin dibagi-bagi. Ondeelbare relatif yang
didasarkan pada tujuan ini diatur dalam Pasal 1297 KUHPerdata.158
11. Perikatan Solider atau Tanggung Renteng (perjanjian Hoofdelijke/ solidary
obligation)
Perikatan tanggung renteng dapat terjadi apabila seorang debitur
berhadapan dengan beberapa orang kreditor atau seorang kreditor beberapa
157
C.S.T Kansil, op.cit, hal.247. 158
Yahya Harahap, op.cit, hal.38-40. Bandingkan dengan R.Setiawan,
op.cit, hal.39, Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal.53, Titik Triwulan Turik, op.cit,
hal.219-220, dan Subekti II, op.cit, hal.9.
91
orang debitor dalam hal ini setiap kreditor berhak atas pemenuhan prestasi
seluruh utang dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi debitor dibebaskan
dari utangnya dan perikatan hapus. Berdasarkan hal tersebut, maka perikatan
tanggung renteng dibedakan menjadi:
a).Tanggung renteng aktif, yaitu setiap kreditur dari dua atau lebih
kreditur-kreditur dapat menuntut keseluruhan prestasi dari debitur
dengan pengertian bahwa pemenuhan terhadap seorang kreditur
dapat menuntut keseluruhan prestasi dari debitur dengan pengertian
bahwa pemenuhan terhadap seorang kreditur membebaskan debitur
dari kreditur-kreditur lainnya .
b).Tanggung renteng Pasif, yaitu setiap debitur dari dua atau lebih
debitur, debitur berkewajiban terhadap kreditur atas keseluruhan
prestasi.Dengan dipenuhinya prestasi oleh seorang debitur,
membebaskan debitur debitur lainnya.159
Dari uraian diatas, jika dicermati maka nampaknya terdapat perbedaan
mendasar antara hoofdelijke dan ondeelbare, oleh Yahya Harahap perbedaan
tersebut secara garis besar terbagi atas:
(1). Hoofdelijk bersumber dari persetujuan (overeenkomst) atau oleh
karena ketentuan undang-undang; Ondeelbare bersumber dari sifat
prestasi atau objek perjanjian.
(2). Hoofdelijk terletak pada subjeknya sedang pada ondeelbare terletak
pada objeknya
(3).Sifat perjanjian hoofdelijk/solider adalah perjanjian yang berbentuk
beberapa orang subjek. Setiap kreditur berhak menagih/menuntut
pelaksanaan pemenuhan prestasi secara keseluruhan pada
hoofdelijk aktif, dan pada hoofdelijk pasif setiap debitur
berkewajiban memenuhi tagihan/tuntutan pelaksanaan prestasi
perjanjian.160
12. Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Ancaman hukuman dijelaskan dalam Pasal 1304 KUH Perdata bahwa
ancaman hukuman itu ialah untuk melakukan sesuatu apabila perikatan tidak
159
R.Setiawan, loc.cit. Bandingkan dengan Yahya Harahap, op.cit, hal.43. 160
Yahya Harahap, op.cit, hal.41-42, Bandingkan dengan Tan Thong Kie, op.cit, hal.374.
92
dipenuhi, sedangkan penetapan hukuman menurut Pasal 1307 KUH Perdata
adalah sebagai ganti kerugian karena tidak dipenuhinya prestasi. Pada
dasarnya perikatan dengan ancaman hukuman memuat suatu ancaman
terhadap debitor apabila ia lalai, tidak memenuhi kewajibannya. Syarat
ancaman hukum (penal caluse) memiliki dua maksud, yaitu: (1) untuk
memberikan suatu kepastian atas pekaksanaan isi perjanjian seperti yang telah
ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat para pihak; dan (2) sebagai usaha
untuk menetapkan jumlah ganti kerugian jika betul-betul tejadi
wanprestasi.161
Selain perikatan tersebut diatas terdapat juga pembedaan atas jenis-jenis
persetujuan Obligatoir, diantaranya:
1. Persetujuan sepihak dan timbal-balik Persetujuan merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Persetujuan timbal-balik adalah persetujuan yang menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah pihak. Persetujuan sepihak adalah persetujuan dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
2. Persetujuan dengan Cuma-cuma atau atas beban Persetujuan atas beban adalah persetujuan dimana terhadap prestasi pihak yang satu terhadap prestasi pihak lain, antara kedua prestasi tersebut terdapat hubungan hukum satu dengan lainnya. Persetujuan dengan Cuma-cuma adalah persetujuan dimana salah satu pihak mendapatkan keuntungan dari pihak lain secara Cuma-cuma.
3. Persetujuan konsesuil, Riil dan formil Persetujuan konsesuil adalah persetujuan yang terjadi dengan kata sepakat. Persetujuan riil adalah persetujuan, dimana selain diperlukan kata sepakat juga diperlukan penyerahan barang.
4. Persetujuan bernama, tidak bernama dan campuran Persetujuan bernama adalah persetujuan-persetujuan dimana oleh undang-undang telah diatur secara khusus dalam Bab V s/d XVIII KUHPerdata, sedangkan persetujuan tidak bernama adalah persetujuan tidak diatur secara khusus.
162
161
Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit, hal.60, Titik Triwulan Tutik,
op.cit, hal.220. 162
R.Setiawan, op.cit, hal.50-51.
93
2.3.4. Obyek dan Subyek perikatan dan/atau perjanjian
Obyek perikatan atau prestasi berupa memberikan sesuatu, berbuat dan
tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan untuk mernberikan sesuatu prestasinya
berupa menyerahkan sesuatu barang atau memberikan kenikmatan; berbuat
sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu dan tidak berbuat sesuatu
adalah jika debitur berjanji untuk tidak melakukan perbuatan tertentu misalnya,
tidak akan membangun sebuah rumah. Suatu perjanjian haruslah mempunyai
obyek tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan, obyek perjanjian ialah hal
yang diwajibkan kepada pihak berwajib dan hal terhadap mana pihak berhak
mempunyai hak (Een overeenkomst moet een bepaald of tenminste bepaalbaar
voorwerp hebben, Het object van een verbintenis is datgene waartoe de
schuldenaar verplicht is en waartoe de schuldeiser gerechtigd ).
KUHPerdata memberikan batasan Obyek perikatan harus memenuhi
beberapa syarat tertentu, yaitu:
1. Harus tertentu atau dapat ditentukan. Dalam Pasal 1320 ayat 3
KUHPerdata menyebutkan sebagai unsur terjadinya persetujuan suatu
obyek tertentu, tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai dapat ditentukan.
Karena perikatan dengan obyek yang dapat ditentukan diakui sah.
2. Obyeknya diperkenankan. Menurut Pasal 1335 dan 1337 KUHPerdata
persetujuan tidak akan menimbulkan perikatan jika/obyeknya
bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau jika dilarang
oleh Undang-undang.
94
Berkaitan dengan subjek perikatan, hanya dapat dilakukan oleh subjek
hukum.163
Subjek hukum atau person dalam bahasa Inggris merupakan suatu
bentukan hukum artinya keberadaannya karena diciptakan oleh hukum. Salmond
menyatakan: "So far as legal theory is concerned, a person is being whom the law
regards as capable of rights and ditties. Any being that is so capable is a person,
whether a human being or not, and no being that is not so capable is a person,
even though he be a man". Dari apa yang dikemukakan oleh Salmond tersebut
jelas bahwa baik manusia maupun bukan manusia mempunyai kapasitas sebagai
subjek hukum atau person164
kalau dimungkinkan oleh hukum.165
Selanjutnya menurut Salmond, A legal person is any subject matter other
than human being to which the law attributes personality. Karakteristik badan
hukum adalah didirikan oleh orang, mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah
dari kekayaan pendiri dan pengurusnya, mempunyai hak dan kewajiban terlepas
dari hak dan kewajiban pendiri atau pengurusnya.166
163
Istilah subjek hukum merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda
Rechtssubject. Kata Subject dalam Bahasa Belanda dan Inggris, berasal dari
Bahasa Latin Subjectus yang artinya di bawah kekuasaan orang lain (subordinasi).
Berdasarkan pengertian dalam Bahasa Latin ini Franken menyatakan, bahwa
Subject memberikan gambaran yang pasif dalam arti lebih banyak menerima
kewajiban daripada mempunyai hak. Dalam Bahasa Inggris, dikenal istilah Person
untuk menyebut sesuatu yang mempunyai hak. Menurut Paton, istilah Person
berasal dari Bahasa Latin Persona yang ekuivalen dengan Bahasa Yunani
Prosopon (Franken dan Paton dalam Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal.241). 164
Person dapat dibedakan antara manusia dan bukan manusia. Manusia
dalam literatur Bahasa Inggris biasanya disebut Natural Person atau Bahasa
Belanda Natuurlijke Persoon atau dalam Bahasa Indonesia disebut Orang,
sedangkan yang bukan manusia dalam Bahasa Inggris disebut sebagai Legal
Person atau bahasa Belanda Rechtspersoon dan dalam Bahasa Indonesia disebut
Badan Hukum. (Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal.243). 165
Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal.242. 166
Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal.243.
95
Dari pengertian Subyek Hukum sebagaimana telah diuraikan diatas maka
dapat disimpulkan bahwa Subyek Hukum, yaitu orang yang mempunyai hak,
manusia pribadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan
perbuatan hukum. Badan Hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang
didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum, misalnya dapat memiliki
kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya.167
Berkaitan dengan perjanjian rumah susun maka para pihak yang terlibat
(stakholders) dalam pengelolaan rumah susun meliputi;
1). Penghuni atau pemilik SRS
2). Badan pelaksana
3). Perhimpunan penghuni
4). Badan pengelola
5) Penyelenggara Pembangunan rumah susun atau developer.
1). Pemilik dan Penghuni Rumah Susun
Adapun pengertian antara pemilik dan penghuni rusun mempunyai definisi
yang berbeda. Pemilik adalah perseorangan atau badan hukum yang memiliki
Satuan Rumah Susun yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.
Sedangkan penghuni adalah perseorangan yang bertempat tinggal dalam
Satuan Rumah Susun. Para penghuni dalam suatu lingkungan rumah susun
baik untuk hunian maupun bukan hunian wajib membentuk perhimpunan
penghuni untuk mengatu dan mengurus kepentingan bersama yang
bersangkutan sebagai pemilikan, penghunian dan pengelolaannya.
167
Soedjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, Ed.1, Cet.13,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.128.
96
Setiap penghuni rumah susun memiliki hak yang patut diperolehnya,
diantaranya :
a. Memanfaatkan rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama secara aman dan tertib;
b. Mendapatkan perlindungan sesuai dengan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga;
c. Memilih dan dipilih menjadi Anggota Pengurus Perhimpunan
Penghuni.168
Setiap penghuni rumah susun memiliki kewajiban yang harus dipenuhinya,
yaitu:
a. Mematuhi dan melaksanakan peraturan tata tertib dalam rumah
susun dan lingkungannya sesuai dengan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga;
b. Membayar iuran pengelolaan dan premi asuransi kebakaran;
c. Memelihara rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.169
Setiap penghuni rumah susun dilarang untuk melakukan hal-hal sebagai
berikut:
a. Melakukan perbuatan yang membahayakan keamanan, ketertiban,
dan keselamatan terhadap penghuni lain, bangunan dan
lingkungannya;
b. Mengubah bentuk dan/atau menambah bangunan di luar satuan
rumah susun yang dimiliki tanpa mendapat persetujuan perhimpunan
penghuni.170
2). Perhimpunan Penghuni
Adapun perhimpunan penghuni adalah badan hukum yang beranggotakan
para pemilik atau penghuni sarusun. Perhimpunan-perhimpunan anggotanya
terdiri dari para penghuni yang mempunyai tugas dan wewenang pengelolaan
yang meliputi penggunaan, pemeliharaan, dan perbaikan terhadap bangunan,
168
Vide Pasal 61 ayat 1 PP Rumah Susun. 169
Vide Pasal 61 ayat 2 PP Rumah Susun. 170
Vide Pasal 61 ayat 3 PP Rumah Susun.
97
bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Perhimpunan penghuni
memiliki fungsi yaitu:
a). Membina terciptanya kehidupan lingkungan yang sehat,tertib dan aman;
b). Mengatur dan membina kepentingan penghuni;
c). Mengelola rusun dan lingkungannya.171
Perhimpunan penghuni rumah susun mempunyai tugas pokok, antara lain
sebagai berikut:
a. Mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang
disusun oleh pengurus dalam rapat umum perhimpunan penghuni
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2);
b. Membina para penghuni ke arah kesadaran hidup bersama yang serasi,
selaras, dan seimbang dalam rumah susun dan lingkungannya;
c. Mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
d. Menyelenggarakan tugas-tugas administratif penghunian;
e. Menunjuk atau membentuk dan mengawasi badan pengelola dalam
pengelolaan rumah susun dan lingkungannya;
f. Menyelenggarakan pembukuan dan administratif keuangan secara
terpisah sebagai kekayaan perhimpunan penghuni;
g. Menetapkan sanksi terhadap pelanggaran yang telah ditetapkan dalam
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.172
Kewajiban perhimpunan penghuni, yaitu: mengurus kepentingan bersama
para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan, kepemilikan
benda bersama, bagian bersama, tanah bersama penghunian.173
Pasal 54 ayat
(3) PP Rumah Susun menentukan kewenangan perhimpunan penghuni adalah
dapat mewakili para penghuni dalam melakukan perbuatan hukum baik
kedalam maupun keluar pengadilan. Pengertian dapat mewakili berarti bahwa
171
Vide Pasal 56 PP Rumah Susun. 172
Vide Pasal 59 PP Rumah Susun. 173
Vide Pasal 75 ayat 3 UU Rumah Susun.
98
dalam hal mengurus kepentingan bersama untuk melakukan perbuatan hukum
perhimpunan penghuni harus mendapat persetujuan para penghuni.
3). Badan Pelaksana
Badan pelaksana dibentuk oleh Pemerintah untuk mewujudkan
penyediaan rumah susun yang layak dan terjangkau bagi MBR. Pembentukan
badan pelaksana, bertujuan untuk:
a). Mempercepat penyediaan rumah susun umum dan rumah susun
khusus, terutama di perkotan;
b). Menjamin bahwa rumah susun umum hanya dimiliki dn dihuni oleh
MBR;
c). Menjamin tercapainya asas manfaat rumah susun;
d). Melaksanakan berbagai kebijakan di bidang rumah susun umum dan
rumah susun khusus.174
Badan pelaksana mempunyai fungsi: pelaksanaan pembangunan,
pengalihan kepemilikan dan distribusi rumah susun umum dan rumah susun
khusus secara terkoordinasi dan terintegrasi.175
Badan pelaksana bertugas:
a). Melaksanakan pembangunan rumah susun umum dan rumah susun
khusus;
b). Menyelenggarakan koordinasi operasional lintas sektor, termasuk
dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum;
c). Melaksanakan peningkatan kualitas rumah susun umum dan rumah
susun khusus;
d). Memfasilitasi penyediaan tanah untuk pembangunan rumah susun
umum dan rumah susun khusus;
e). Memfasilitasi penghunian, pengalihan, pemanfaatan serta
pengelolaan rumah susun umum dan rumah susun khusus;
f). Melaksanakan verifikasi pemenuhan persyaratan terhadap calon
pemilik dan/ atau penghuni rumah susun umum dan rumah susun
khusus; dan
g) Melakukan pengembangan hubungan kerjasama dibidang rumah
susun dengan berbagai instansi didalam dan di luar negeri.176
174
Vide Pasal 72 ayat 2 UU Rumah Susun. 175
Vide Pasal 73 ayat 3 UU Rumah Susun. 176
Vide Pasal 72 ayat 4 UU Rumah Susun.
99
4. Badan Pengelola
Adapun mengenai badan pengelola Rusun adalah badan yang bertugas
untuk mengelola rusun. Perhimpunan penghuni dapat membentuk atau
menunjuk badan pengelola yang bertugas untuk menyelenggarakan
pengelolaan yang meliputi pengawasan terhadap penggunaan bagian bersama,
benda bersama dan tanah bersaman. Badan pengelola ini diatur dalam
Peraturan Pemerintah. Badan pengelola mempunyai tugas:
a. Melaksanakan pemeriksaan, pemeliharaan, kebersihan dan perbaikan
rumah susun dan lingkungannya pada bagian bersama, benda bersama,
dan tanah bersama;
b. Mengawasi ketertiban dan keamanan penghuni serta penggunaan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama sesuai dengan
peruntukannya;
c. Secara berkala memberikan laporan kepada perhimpunan penghuni
disertai permasalahan dan usulan pemecahannya.177
Dalam aspek perlindungan konsumen developer dapat dikatakan sebagai
pelaku usaha dan pemilik satuan rumah susun dikatakan sebagai konsumen.
Kata konsumen berasal dari kata dalam bahasa Inggris, yakni consumer, atau
dalam bahasa Belanda "consument", "konsument". Konsumen secara harafiah
adalah orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan, pemakai
atau pembutuh.
Pengertian tentang konsumen secara yuridis telah diletakkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, seperti UU No 8 Tahun 1999
tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut
UUPK) dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
177
Vide Pasal 68 PP Rumah Susun.
100
Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU LPM PUTS).
Kedua UU ini memberikan definisi atau pengertian tentang konsumen. Pasal
1 UUPK merumuskannya sebagai berikut: “Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan”.
Rumusan UUPK di atas berbeda dengan rumusan dalam Pasal 1 UU LPM
PUTS, yang memberikan pengertian konsumen sebagai berikut: “Konsumen
adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang atau jasa, baik untuk
kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain.”178
Batasan Pasal 1 tersebut sudah jelas mengatakan, "...barang dan/atau jasa
yang tersedia... dan tidak untuk diperdagangkan," sehingga setiap
pedagang/pengecer atau pembeli untuk kemudian dijual lagi, tidak dapat
disebut sebagai konsumen. UUPK sendiri dalam penjelasan Pasal 1 butir 2
mengatakan bahwa konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir
dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk
lainnya. Maka jelas kiranya, yang menjadi wilayah pengaturan dari UUPK
adalah konsumen akhir.
178
Perbedaannya yang nampak dari rumusan kedua UU tersebut adalah,
batasan yang diberikan UUPK sedikit lebih rinci dibandingkan dengan batasan
yang dibuat oleh UU LPM PUTS. Rumusan UUPK mengenai definisi konsumen
mengartikannya juga bagi pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, yang bukan
saja bagi kepentingan manusia, tetapi juga makhluk hidup lain. Makhluk hidup
selain manusia adalah hewan atau tumbuh-tumbuhan dan makhluk
mikroorganisme.
101
Istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam
bahasa Inggris, producer yang artinya adalah penghasil. Dalam pengertian
yuridis, istilah produsen disebut dengan pelaku usaha. Batasan mengenai apa
yang dimaksud dengan pelaku usaha dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 3
UUPK dan Pasal 1 butir 5 UU LPM PUTS.
Menurut Pasal 1 butir 3 UUPK, pelaku usaha dimaksudkan sebagai
berikut: “Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi.”
Sementara Pasal 1 butir 5 UU LPM PUTS memberikan batasan yang
hampir tidak ada perbedaan berarti dari pengertian yang dikandung UUPK.
Adapun pengertian tersebut dapat dilihat seperti berikut:"Pelaku Usaha adalah
setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha
dalam bidang ekonomi."
Batasan yang diberikan oleh kedua undang-undang di atas sangat luas
karena pelaku usaha tidak hanya terbatas kepada pemilik perusahaan yang
terdaftar sebagai badan hukum, tetapi pemilik perusahaan yang kecil-kecil.
Kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut.
102
1. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk
membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing,
tengkulak, penyedia dana lainnya, dan sebagainya.
2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang
dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku,
bahan tambahan bahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka
dapat terdiri atas orang/badan usaha berkaitan dengan pangan,
orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan,
orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian,
perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan,
kesehatan, narkotika, dan sebagainya.
3. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat,
seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko,
supermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha angkutan
(darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya. 179
179
N.H.T Siahaan, op.cit, hal.25-27.
103
BAB III
AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM OVERMACHT
TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN
3.1. Konsepsi Kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dalam
Sistem Hukum Nasional
Berbicara mengenai sistem hukum, hendaknya harus diketahui terlebih
dahulu arti dari sistem itu sendiri. Menurut Subekti, sistem adalah suatu
keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang
tersusun secara teratur berdasar suatu rencana untuk mencapai suatu tujuan dan
dalam suatu sistem yang baik, tidak boleh terjadi suatu tumpang tindih
(overlapping) diantara bagian-bagian itu.180
Mariam Darus Badrulzaman memberikan pengertian sistem
Sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan
landasan, di atas mana dibangun tertib hukum. Asas-asas itu diperoleh
melalui konstruksi yuridis (kongkrit), yaitu dengan menganalisis
(mengolah) data-data yang sifatnya nyata untuk kemudian mengambil
sifat-sifatnya yang sama atau umum (kolektif) atau abstrak. Proses ini
dapat juga dikatakan mengabstraksi.181
Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa Esensi dari suatu sistem182
adalah terdapat ciri-ciri tertentu yaitu terdiri dari komponen-komponen yang
saling berhubungan secara teratur serta terintegrasi. Setiap sistem mengandung
180
Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.15. 181
Mariam Darus Badruzaman I, loc.cit. 182
Sistem berasal dari terjemahan Inggris yaitu System: systema
(keseluruhan yang tersusun dari bagian-bagian). Beberapa pengertian sistem:
Kumpulan hal-hal yang disatukan kedalam suatu keseluruhan yang konsisten
karena saling terkait (saling terkait yang teratur dari bagian-bagiannya); kumpulan
hal-hal (objek-objek, ide-ide, kaidah-kaidah) yang tersusun dalam suatu tatanan
yang koheren menurut suatu prinsip rasional atau yang dapat dimengerti. (Lorens
Bagus, 2000, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.1015).
104
beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya, dapat dikatakan
bahwa suatu sistem tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya. Dengan
demikian, sifat sistem itu menyeluruh dan berstruktur yang keseluruhan
komponennya dalam hubungan yang fungsional. Jadi hukum adalah suatu
sistem.183
Hukum sebagai sistem masih dipertanyakan tentang kualifikasi dan isi dari
sistem hukum itu. Apakah sistem hukum itu murni dari unsur yuridis sehingga
bersifat tertutup atau sistem hukum itu terpengaruh dari hal-hal di luar hukum
sehingga sistem hukum dapat disempurnakan dan untuk mengetahui itu semua ada
kiranya mengetahui makna atau arti dari sistem hukum itu sendiri. Menurut J.H.
Merryman dalam bukunya The Civil Law Tradition : An Introduction to the Legal
System of Western Europe and Latin America sebagaimana dikutip oleh Abdul
R.Saliman, menyatakan bahwa Legal system is an operating set oe legal
institution, procedures and rules (Sistem hukum adalah seperangkat lembaga
hukum, prosedur, aturan-aturan hukum yang beroperasi).184
Mengenai pengertian
sistem hukum itu sendiri, Bellefroid menyatakan bahwa Rechts system is een aan
eensluitend geheel vanrechts regels, die naar beginselen geordend zijn (Sistem
hukum adalah suatu susunan keseluruhan aturan-aturan yang disusun sesuai
dengan azas-azasnya). Bruggink menjelaskan bahwa sistem hukum ialah aturan-
aturan hukum dan putusan-putusan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat
tertentu dalam suatu hubungan dan saling berkaitan.185
Meuwissen mengartikan
sistem hukum sebagai konstruksi (teoritis) yang didalamnya pelbagai
norma/kaidah hukum dipikirkan dalam suatu hubungan logis-konsisten menjadi
183
R.Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Hukum Indonesia: Edisi Revisi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.68. 184
Abdul R.Saliman, loc.cit. 185
Bruggink dalam Arief Sidartha, op.cit, hal.139.
105
satu kesatuan tertentu186
Menurut Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, sistem hukum
merupakan satu kesatuan sistem yang besar yang tersusun atas sub-sistem yang
lebih kecil, yang pada hakikatnya merupakan sistem tersendiri dengan proses
tersendiri pula.187
Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa dalam membicarakan Sistem
Hukum Nasional berarti membahas hukum secara sistematik yang berlaku secara
Nasional. Secara sistematik berarti hukum dilihat sebagai suatu kesatuan yang
unsur-unsur, sub-sistem atau elemen-elemennya saling berkaitan, saling
mempengaruhi serta saling memperkuat atau memperlemah antara satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan.188
HMSRS itu sendiri tersusun dalam sistem hukum tanah dan sistem hukum
benda nasional yang menjadi satu kesatuan dalam sistem hukum Nasional,
berkaitan dengan kajian yuridis atas satuan rumah susun oleh karena tanah dan
bangunan adalah benda maka pengaturannya dari aspek keperdataan berada dalam
sistem hukum benda, yang dapat dikhususkan lagi menjadi sub sistem hukum
agraria dan sub sistem bangunan. Hukum Benda adalah sub sistem dari Hukum
Nasional, sebagai sub-sistem, ia mengandung seluruh asas-asas yang terdapat
dalam Hukum Nasional, demikian juga halnya dengan kedudukan agraria dalam
arti sempit (hukum tanah) dalam sistem hukum nasional. Sistem hukum agraria
(hukum tanah) merupakan satu kesatuan dengan sub-sub sistem lainnya yang
bekerja secara sistematis dalam satu tatanan sistem hukum nasional.
186
Meuwissen sebagaimana dikutip oleh Titon Slamet Kurnia dalam
Pengantar Sistem Hukum Indonesia, 2009, Alumni, Bandung, hal.11. 187
Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, 2003, Hukum sebagai Suatu Sistem,
Mandar Maju, Bandung, hal.151. 188
Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip dan Implementasi
Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.6.
106
Membicarakan sistem hukum nasional dalam UU Rumah Susun, maka
berdasarkan ketentuan penutup UU Rumah Susun pada pasal 118 ayat (b),
dinyatakan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
diganti dengan peraturan pelaksana yang baru berdasarkan Undang-Undang
Rumah Susun Nomor 20 Tahun 2011.
Bertolak dari ketentuan tersebut, maka segala peraturan pelaksana terkait
dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 masih tetap diberlakukan
sepanjang peraturan pelaksana dari UU Rumah Susun Nomor 20 Tahun 2011
belum diterbitkan, sehingga segala peraturan pelaksana yang terkait , diantaranya
PP Rumah Susun dan Permendagri yang terkait penulis jadikan acuan dalam
menganalisis permasalahan yang akan dikaji.
Berdasarkan pada Sistem Hukum Nasional, terdapat beberapa aturan dalam
sistem Hukum Benda dan Hukum Tanah Nasional yang berkaitan dengan
pemilikan HMSRS. Menteri Dalam Negeri mengeluarkan 3 Peraturan, yang
memungkinkan diterbitkannya surat tanda bukti pemilikan atas bagian-bagian
yang dimaksudkan itu, yaitu:
a. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama Dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan yang Ada di Atasnya Serta Penerbitan Sertifikatnya.
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas Tanah yang Dipunyai Bersama dan pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang Ada di Atasnya.
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara Permohonan Dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas
107
Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan secara Terpisah Bagian Bagian Pada Bangunan Bertingkat.
189
Peraturan-peraturan di atas berpangkal pada tafsiran bahwa dalam Hukum
Indonesia dimungkinkan pemilikan secara pribadi bagian-bagian tersebut, karena
Hukum Indonesia menggunakan apa yang disebut asas pemisahan horizontal,
yaitu asasnya Hukum Adat, yang merupakan dasar Hukum Tanah Nasional kita.
Dalam rangka asas tersebut, setiap benda yang menurut wujud dan tujuannya
dapat digunakan sebagai satu kesatuan yang mandiri, dapat menjadi obyek
pemilikan secara pribadi. Maka bagian-bagian suatu bangunan gedung bertingkat
yang menurut wujud dan tujuannya masing-masing dapat digunakan secara
mandiri, menurut Hukum kita dapat dimiliki secara pribadi. Sehubungan dengan
itu, dalam Penjelasan Permendagri Nomor 14/1975 tersebut dinyatakan bahwa
peraturan ini bukan menciptakan hukum materiil baru, melainkan hanya
menyempurnakan, melengkapi ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan
pendaftaran tanah, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dewasa ini.
Maka obyek utama yang didaftar adalah tanahnya. Surat tanda bukti hak
yang diterbitkan berupa sertifikat hak tanah yang dipunyai bersama, dengan
penunjukan secara khusus bagian yang dimiliki secara individual oleh pemegang
sertifikat. Ada sertifikat induk yang disimpan di Kantor Pertanahan dan ada
sertifikat pemilikan bersama tanahnya, yang masing-masing menunjuk pada
bagian tertentu yang dimiliki secara pribadi.190
189
Boedi Harsono II, op.cit, hal.352-353, Lihat juga Boedi Harsono I , op.cit,
13 Kode C 19, C 21, dan C.38. 190
Boedi Harsono II, op.cit, hal.353.
108
Peraturan yang mengatur lebih lanjut prihal kepemilikan HMSRS, yaitu
melalui:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988
2. Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara
Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun;
3. Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara
Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun
4. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat selaku Ketua Badan
Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan
Pemukiman Nasional Nomor 6/KPTSBKP4N/1995 tentang Pedoman
Pembuatan Akta Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Perhimpunan Penghuni Rumah Susun.
Berkaitan dengan aturan diatas, pada intinya sistem kepemilikan HMSRS,
meliputi unsur yang secara terpisah dan berdiri sendiri berikut unsur-unsur yang
dimiliki bersama dan kedua jenis unsur kepemilikan tersebut merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Pemilikan HMSRS dikaitkan dengan status tanah
dimana rumah susun tersebut didirikan (Pasal 17 UU Rumah Susun). Ini berarti
yang dapat menjadi subjek HMSRS yaitu mereka yang memenuhi syarat sebagai
subjek hak atas tanah bersama bersangkutan, kemudian sebagai tanda bukti
kepemilikan atas SRS diterbitkan SHM SRS (Pasal 47 ayat 1 UU Rumah Susun).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan diatas, maka yang
perlu dipahami dalam kepemilikan SRS yaitu:
109
1. SRS dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah;
2. HMSRS adalah hak milik atas satuan yang bersifat perorangan dan
terpisah;
3. HMSRS meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama dan
tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan;
4. Hak atas bagian bersama, benda bersama, dan hak atas tanah bersama
didasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan
pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama.
3.1.1. Sistem Hukum Tanah Nasional dan Bangunan
Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum baik tertulis
maupun tidak tertulis yang semuanya mempunyai obyek pengaturan yang sama
yaitu hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai
hubungan hukum yang konkret beraspek publik dan privat yang dapat disusun
secara sistematis hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan
satu sistem.191
Di dalam ruang lingkup Hukum agraria, tanah dalam pengertian
yuridis menurut UUPA yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak.
Jadi dalam hal ini hukum tanah tidak mengatur tanah dari segala aspek namun
hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak
penguasaan tanah. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak
191
Urip Santoso, 2013, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Cet.2,
Kencana, Jakarta, hal.11.
110
penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu
sistem yang disebut dengan hukum tanah.
Selain tanah, bangunan juga sangat penting bagi kehidupan manusia.
Pentingnya bangunan membuat manusia membangun berbagai macam bangunan
untuk memenuhi kebutuhannya. Perkembangan teknologi konstruksi dan rancang
bangun membuat manusia dapat membangun bangunan sesuai dengan
keinginannya baik secara horizontal,vertikal maupun didalam tanah. Berbeda
dengan tanah yang sulit untuk dinyatakan bentuknya, bangunan dapat dikenali
dengan mudah dari bentuk bangunan yang ada. Bangunan merupakan suatu
benda yang terdiri atas ruang dalam pengertian yuridis yang terbatas, memiliki
ukuran tiga dimensi yaitu panjang, lebar dan tinggi. Sedangkan terhadap hak atas
tanah, hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas berdimensi dua
dengan ukuran panjang dan lebar. Selain itu, bangunan juga memiliki berbagai
ruang yang dapat difungsikan sesuai dengan keinginan pemilik atau pengguna
bangunan. Bangunan menjadi benda tidak bergerak karena disatukan dengan
tanah tempat bangunan tersebut didirikan. Karena umunya, bangunan menyatu
dengan tanah, bangunan sebagai benda yang penting bagi kehidupan manusia
selalu dikaitkan dengan tanah.192
Macam-macam hak atas tanah dalam hukum tanah nasional, termuat dalam
rumusan Pasal 16 dan Pasal 53 UUPA, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap
Hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau
belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Jenis-jenis hak atas
192
Marihot P.Siahaan, op.cit, hal.29.
111
tanah ini, diantaranya: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, Hak Membuka Tanah, Hak Sewa untuk
Bangunan dan Hak untuk Memungut Hasil Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang, yaitu hak
atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan ditetapkan dengan
undang-undang.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara, bersifat sementara dalam
waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-
sifat pemerasan, mengandung sifat feudal dan bertentangan dengan jiwa
UUPA. Jenis-jenis hak atas tanah ini, diantaranya Hak Gadai, Hak
Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.193
Dari paparan diatas, maka dapat dicermati melalui pendapat Boedi Harsono
yang menyatakan bahwa HMSRS bukan hak penguasaan atas tanah, melainkan
hak atas satuan rumah susun tertentu, yang menurut UU Rumah Susun meliputi
juga satu bagian tertentu sebesar nilai perbandingan proporsionalnya dari hak atas
tanah bersama diatas mana rusun yang bersangkutan berdiri.194
Berbeda dengan
Urip Santoso, yang menyatakan bahwa secara implisit,HMSRS diatur dalam Pasal
4 ayat (1) UUPA, yaitu hak atas tanah dapat diberikan kepada sekelompok orang
secara bersama-sama dengan orang lain. Pada HMSRS bidang tanah yang
diatasnya berdiri rumah susun, hak atas tanahnya dimiliki atau dikuasai secara
bersama oleh seluruh pemilik satuan rumah susun. Hak atas tanah yang dapat
dimiliki atau dikuasai secara bersama oleh seluruh pemilik satuan rumah susun
berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah Negara.195
193
Urip Santoso, op.cit, hal.90-91. Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam
Pasal 16 jo Pasal 53 UUPA tidak bersifat limitatif, artinya disamping hak-hak atas
tanah yang disebutkan dalam UUPA, nanti dimungkinkan lahirnya hak atas tanah
baru yang diatur secara khusus dengan undang-undang. 194
Boedi Harsono II, op.cit, hal.264. 195
Urip Santoso, op.cit, hal.86.
112
Berkenaan dengan sistem pemilikan atas suatu gedung bertingkat,
membedakannya menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Pemilikan tunggal (single ownership);
Pemilikan tunggal dilihat dari pemilikan tanah tempat gedung bertingkat
itu berdiri sehingga pemegang sertifikat juga merupakan pemilik
gedung.
2. Pemilikan bersama (joint ownership).
Adapun sistem pemilikan bersama dibagi dua dengan melihat adanya
atau tidaknya ikatan hukum yang lebih dulu ada diantara pemilik gedung
bertingkat itu, yaitu sebagai berikut.
a. Pemilik bersama yang terikat, yaitu adanya ikatan hukum lebih
dahulu antara pemilik. Dasar pengaturannya Permendagri No. 14
Tahun 1975.
b. Pemilikan bersama yang bebas, yaitu antara para pemilik tidak ada
hubungan hukum lebih dahulu selain hak bersama menjadi pemilik
untuk dipergunakan bersama. Dasar pengaturannya UURS juncto
PP No. 4 Tahun 1988 tentang rumah susun. Sistem pemilikan
bersama yang bebas inilah yang dikenal sebagai condominium.196
Oleh Ridwan Halim, Kepemilikan bersama dibedakan menjadi Hak Milik
bersama dengan penggunaan fisik secara bersatu atau bersama pula
(samengestelde mede eigendom), berdasarkan definisi yang diberikan oleh
Ridwan Halim, tidak jauh berbeda dengan pemilikan bersama yang bebas. Selain
itu Ridwan Halim membedakan hak bersama kedalam Hak Milik bersama dengan
penguasaan fisik secara terpisah (aparigestelde mede eigendom) yaitu hak milik
bersama (mede eigendom) dari pemilik bersama (mede eigenaars) atas obyek
hukum yang masing-masing obyek hukum tersebut mempunyai bagian-bagian
atau satuan-satuan bagian tertentu yang dikuasai secara terpisah antara para
pemiliknya. Dengan perkataan lain, tiap-tiap pemilik akan menguasai satu atau
196
Imam Kuswahyono, loc.cit. (Perihal kepemilikan bersama, lihat juga
diantaranya Adrian Sutedi I, op.cit, hal.198-199, Arie S.Hutagalung I, op.cit,
hal.20-21, Ridwan Halim, op.cit, hal. 93-95 ).
113
beberapa bagian tertentu yang menjadi hak miliknya sendiri dari obyek
hukum tersebut, dan terpisah dari bagian milik pemilik lainnya secara yuridis
(aparigestelde), meskipun secara fisik bagian-bagian tersebut tetap menimbulkan
hak milik bersama (mede eigendom).197
3.1.2.Sistem Hukum Kebendaan Nasional
Hukum benda nasional telah menyerap sebagai basisnya adalah hukum
adat dan diasimilasikan dengan pembagian benda dalam sistem KUH Perdata
serta pembagian benda dalam sistem hukum anglo saxon. Sistem hukum benda
merupakan sub sistem dari sistem hukum perdata. Demikian pula sistem hukum
perdata merupakan sub sistem hukum nasional.
Adapun HMSRS dalam UU Rumah Susun merupakan suatu lembaga
pemilikan baru sebagai suatu hak kebendaan yaitu sebagai berikut:
(a). HMSRS adalah hak milik yang bersifat perorangan dan terpisah;
(b). HMSRS meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan dan tidak
terpisahkan dengan SRS yang bersangkutan;
(c). Hak atas bagian bersama, benda bersama, dan hak atas tanah
bersama didasarkan atas luas atau nilai SRS yang bersangkutan pada
waktu SRS diperoleh pemiliknya yang pertama. 198
Terkait dengan Sistem Hukum Kebendaan, benda tanah dapat
dikelompokkan atas benda tanah yang terdaftar dan benda tanah yang tidak
terdaftar. Benda bukan tanah yang terdaftar dapat berupa benda tidak bergerak
dan benda bergerak Benda bukan tanah yang terdaftar berupa benda tidak
bergerak. Benda bukan tanah yang terdaftar berupa benda bergerak, selain itu
197
Ridwan Halim, op.cit, hal 89-90. 198
M.Rizal Alif, 2009, Analisis Kepemilikan Hak atas Tanah Satuan Rumah
Susun didalam Kerangka Hukum Benda, CV Nuansa Aulia, Bandung, hal.135.
114
terdapat pembedaan benda baru oleh Subekti yaitu Tanah dan Benda Bergerak
berdasarkan pada pemikiran bahwa tanah telah diatur dalam UUPA.
Berdasarkan uraian diatas,diatas, maka dapat dipahami pembedaan benda
sebagai berikut:
- Dalam KUHPerdata secara mendasar membedakan benda yang dapat
menjadi obyek hak milik menjadi benda bergerak dan benda tidak
bergerak dan juga berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud
- UUPA berdasarkan hukum adat, maka membedakan benda berdasarkan
hak milik atas tanah menjadi benda tanah dan benda bukan tanah.
- Berdasarkan uraian mengenai pembedaan benda dan hak atas tanah
tersebut, dengan demikian dapat dipahami bahwa HMRSS merupakan
benda bukan tanah sekaligus benda tanah, dapat dicermati dari asas hukum
tanah dalam hak milik atas satuan rumah susun yang berdasar pada asas
horizontal dan asas accessie vertikal. Ditinjau dari Buku II KUHPerdata
HMSRS termasuk benda tidak bergerak yang berwujud. Oleh karena
HMSRS didaftarkan pada Kantor Pertanahan sehingga HMSRS termasuk
benda terdaftar. Sehingga dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa
HMSRS termasuk benda bukan tanah tidak bergerak terdaftar.
115
Dari paparan diatas, untuk memahami penggolongan HMSRS dalam
hukum benda, maka penulis sajikan dalam bentuk bagan berikut ini:
Skema 3.1. HMSRS dalam Hukum Benda Sumber: Buku II KUHPerdata dan UUPA yang penulis olah dalam bentuk bagan.
3.2. Hubungan Hukum antara Obyek kebendaan Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun, Tanah, dan Bangunan.
Pembahasan mengenai hubungan antara tanah, bangunan rumah susun
dimulai dengan pembahasan berkaitan dengan tanah karena konsep pemilikan
rumah susun di Indonesia amat bergantung kepada status tanah tempat rumah
susun tersebut dibangun. Kejelasan status tanah tempat rusun yang akan didirikan
merupakan salah satu syarat administratif yang harus dimiliki oleh penyelenggara
pembangunan untuk mendirikan bangunan. Menurut UU Rumah Susun, rumah
susun hanya dapat dibangun diatas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai
atas tanah Negara atau hak pengelolaan. Setelah menyelesaikan pengurusan hak
atas tanah, maka penyelenggara pembangunan memulai aktifitas pembangunan
rumah susun.
Buku II KUHPerdata
Benda Bergerak Benda berwujud
Benda tidak bergerak Benda tidak berwujud
UUPA dan Hukum Adat
Benda Tanah Benda bukan Tanah
Benda Terdaftar Benda Tidak Terdaftar
116
3.2.1. Penerapan Asas Hukum Tanah dan Hukum Bangunan
Hubungan hukum antara tanah dan bangunan merupakan suatu hal yang
penting dipahami karena menyangkut kewenangan pemanfaatan bangunan yang
berada diatas tanah. Perbuatan hukum yang berkaitan dengan satuan rumah susun
selalu dihubungkan dengan tanah dimana rumah susun itu dibangun. Karena
rumah susun tidak terlepas dari tanah maka titik tolak pengaturannya berdasarkan
Sistem Hukum Tanah Nasional.
Menurut Djuhaendah Hasan, salah satu aspek yang penting dalam hukum
tanah adalah tentang hubungan antara tanah dengan benda yang melekat pada
tanah itu sangat penting karena hal ini menyangkut pengaruh yang sangat luas
terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut tanah dan benda yang
melekat padanya. Dengan demikian,kepastian hukum akan kedudukan HMRSRS
sangat penting dalam kerangka hukum tanah.199
Telah dipaparkan sebelumnya
bahwa obyek hukum tanah yakni hak penguasaan atas tanah, terdiri atas Hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum dan Hak Penguasaan atas tanah
sebagai hubungan hukum yang konkret. Dalam kaitannya dengan hubungan
hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, terdapat dua asas yang
berpengaruh dalam hubungan hukum yang berkaitan antara tanah dan benda yang
melekat padanya yaitu:
1. Asas accessie atau asas perlekatan (accessie beginsel)
Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah merupakan satu
kesatuan, bangunan dan tanaman merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan.
199
Djuaendah Hasan, op.cit, hal.65.
117
Dengan demikian, Hak atas tanah dengan sendirinya, karena hukum meliputi juga
pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah yang dihaki, kecuali ada
kesepakatan lain dengan pihak yang membangun atau menanamnya. Hal ini
berarti bahwa perbuatan hukum mengenai tanah dengan sendirinya karena hukum
juga meliputi bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.200
Didalam KUHPerdata, dikenal adanya asas perlekatan yaitu asas yang
melekatkan suatu benda pada benda pokoknya. Asas perlekatan ini terdiri atas:
a). Asas perlekatan vertical (vertical accessie)
Asas accessie vertical ini ditemukan dalam rumusan pasal 571
KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak milik atas sebidang tanah
mengandung arti didalamnya atas segala apa yang ada diatas dan didalam
tanah. Hal ini berarti bahwa asas pelekatan secara vertikal adalah
perlekatan secara tegak lurus yang melekatkan semua benda yang ada
diatas maupun didalam tanah sebagai benda pokoknya. Selain itu pula,
dalam pasal ini mengandung makna asas sifat mengikuti, dalam hal ini,
sifat mengikuti tanah, lebih luas lagi sifat mengikuti kedudukan yuridis
tanah. Dengan lain perkataan, segala barang yang melekat pada tanah,
mengikuti kedudukan yuridis tanah.
b). Asas perlekatan horizontal (horizontal accessie)
Berdasarkan Pasal 507KUHPerdata, asas perlekatan yang dipergunakan
adalah asas perlekatan horizontal. Dengan asas perlekatan horizontal ini,
KUHPerdata memperlakukan semua benda-benda yang dilekatkan pada
benda tidak bergerak (yang bukan tanah) berupa bangunan, sebagai satu
kesatuan yang menyeluruh dengan benda tidak bergerak (bangunan baik
berupa pabrik maupun rumah tinggal) tersebut.201
2. Asas Horizontal Scheiding atau asas pemisahan horizontal
Urip Santoso menyatakan bahwa dalam asas ini, bangunan dan tanaman
yang ada diatas tanah bukan merupakan bagian dari tanah. Hak atas tanah tidak
dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.
200
Urip Santoso, op.cit, hal.12. Bandingkan antara lain Boedi Harsono II, op.cit, hal.17. Bachsan Mustafa, 1985, Hukum Agraria dalam Perspektif, Cet.2,Remadja Karya, Bandung, hal.23. Oleh Bachsan Mustafa dikatakan bahwa asas perlekatan ini berasal dari istilah aslinya yaitu Natrekking Beginsel. Bandingkan pula dengan Djuaendah Hasan,op.cit, hal.53.
201Kartini Muljadi III, op.cit, hal.169-170.
118
Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya, meliputi bangunan dan
tanaman milik yang punya tanah yang ada diatasnya. Jika perbuatan hukumnya
dimaksudkan juga meliputi bangunan dan tanamannya, maka hal ini secara tegas
harus dinyatakan dalam akta yang membutikan dilakukannya perbuatan hukum
yang bersangkutan.202
Bachsan Mustafa menyatakan bahwa asas pemisahan
horizontal yaitu suatu asas yang memisahkan kedudukan benda-benda yang ada
diatasnya dan melekat dengan tanah dari benda itu berada. Disebut benda saja
karena hukum adat tidak mengenal pembagian benda kedalam benda bergerak
dan benda tak bergerak.203
Namun berkenaan dengan pembagian benda dalam
hukum adat oleh Djuaendah Hasan yang dikutip dari Wiryono Prodjodikoro,
membedakannya atas benda tanah dan benda bukan tanah. Yang dimaksud dengan
tanah memang hanya berkaitan tentang tanah saja, lain halnya dengan segala
sesuatu yang melekat pada tanah termasuk dalam benda bukan tanah dan
terhadapnya tidak berlaku ketentuan tentang benda tanah.204
Berkaitan dengan
asas hukum tanah, M.Rizal Alif menyatakan bahwa Hak Milik atas sebidang tanah
mengandung arti didalamnya kepemilikan segala apa yang ada diatas dan didalam
tanah. Dengan kata lain asas perlekatan vertikal diartikan bahwa pemilikan atas
tanah berarti juga memiliki bangunan atau rumah dan segala sesuatu yang melekat
pada tanah itu serta yang ada didalam tanah tersebut. Sedangkan asas pemisahan
horizontal atau horizontal scheiding adalah asas yang dianut dalam hukum adat
202
Urip Santoso, op.cit, hal.12. 203
Bachsan Mustafa, op.cit, hal. 24 -25. 204
Wiryono Prodjodikoro dalam Djuaendah Hasan, op.cit, hal. 56-57.
119
yang merupakan dasar dari UUPA dimana pemilikan atas tanah dan benda atau
segala sesuatu yang ada diatas tanah itu adalah terpisah. 205
PEMISAHAN
Horizontal Vertikal
Gambar 2. Asas Pemisahan Horizontal dan Vertikal
Sumber: Seminar IPPAT-Hotel Sahid, pada tanggal 25 Oktober 2011 oleh
Chairul Basri Achmad dengan judul Pendaftaran Tanah dan Rumah Susun
Sehubungan asas hukum tanah yang digunakan dalam Rumah Susun ini.
Ridwan Halim menyatakan pendapatnya yaitu sebagai berikut:
a. Dikatakan bahwa asas pemisahan vertikal dikenal dalam hukum rumah
susun yang membagi-bagi secara terpisah-pisah suatu bangunan rumah
susun itu atas satuan-satuan rumah susun yang saling terpisah, dengan
tujuan agar tiap-tiap satuan rumah susun itu dapat dimiliki ataupun
dihuni secara tersendiri, terpisah dari satuan-satuan rumah susun
lainnya.
b. Dikatakan bahwa asas pemisahan horizontal dikenal juga dalam hukum
rumah susun yang membagi, memisahkan dan membedakan antara
status satuan-satuan rumah susun yang merupakan hak milik pribadi
masing-masing dari para "mede-eigenars" dengan tanah dimana gedung
rumah susun mereka itu berdiri yang merupakan hak milik bersama dari
para mede-eigenaars tersebut.206
205
M. M.Rizal Alif, op.cit, hal.63. 206
Ridwan Halim, op.cit, hal. 181-182.
120
Pengaturan tentang hak-hak atas tanah bersama, telah diletakkan
kerangkanya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1975 yang
kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun
1977. Dalam Penjelasan Permendagri No. 14/1975, secara eksplisit dinyatakan
bahwa Surat Tanda Bukti Hak atas sertifikat yang penerbitannya diatur dalam
peraturan ini. hanya mengenai tanda bukti hak atas tanah bersama tersebut.
Sedangkan, pemberian/penerbitan tanda bukti hak atas satuan rumah susun atau
bagian dari bangunan bertingkat tersebut, tidak/belum diatur dalam peraturan
ini.207
Ketentuan tersebut menyiratkan hukum tanah kita menganut “asas
pemisahan horizontal," karena memakai dasar hukum adat. Sedangkan asas
perlekatan vertikal dianut dalam hukum pertanahan Indonesia sebelum lahirnya
UUPA 1960, hal ini tercantum dalam Pasal 571 KUHPerdata yang menegaskan:
“Hak milik atas tanah mengandung di dalamnya pemilikan atas segala apa yang di
atasnya dan di dalam tanah (superficies cedit solo)”. Menurut Kartini Muljadi dan
Gunawan Widjaja dari seluruh pasal-pasal yang berkaitan dengan asas perlekatan
sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak milik, diantaranya melalui:
a. Menurut KUHPerdata, untuk dapat berlakunya asas perlekatan sebagai
salah satu dasar untuk memperoleh hak milik,maka harus ada
penyatuan antara kebendaan yang melekat tersebut dengan kebendaan
yang merupakan dasar kebendaan di mana perlekatan terjadi. Untuk
dapat dianggap bahwa telah terjadi penyatuan dan karenanya berlaku
asas perlekatan.
b. Sehubungan dengan asas perlekatan tersebut KUHPerdata memberikan
kedudukan yang lebih tinggi bagi tanah dibandingkan dengan
kebendaan lainnya.
c. Dalam pandangan KUHPerdata, setiap kebendaan yang melekat pada
tanah, baik yang terjadi sebagai akibat kegiatan alam maupun sebagai
207
Yakob Mohsin, Pranata-Pranata Hukum yang Baru dan Tinjauan terhadap
Undang-undang Rumah Susun dalam Hukum dan Pembangunan, Agustus 1986
Vol.XVI No.6, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal.361.
121
akibat perbuatan manusia, akan menjadi milik dari pemilik tanah
tersebut.
d. Terhadap perlekatan dari kebendaan yang sejak semula tidak dimiliki
oleh siapa pun, yang terjadi karena alam, terhadap kebendaan yang
menjadi milik lebih dari satu pemilik, maka undang-undang
menganggap keuntungan tersebut adalah bagi seluruh pemilik
kebendaan tersebut menurut imbangan dari kebendaan asal milik
mereka, di mana perlekatan telah terjadi.
e. Terhadap suatu perlekatan dari kebendaan yang sejak semula
merupakan milik dari beberapa pemilik, yang terjadi karena perbuatan
manusia, yang dilakukan oleh bukan pemilik dari salah satu kebendaan
yang melekat tersebut, maka undang-undang memungkinkan pada
orang ini untuk menjadi pemilik dari kebendaan setelah perlekatan
dilakukan (yang tidak dapat dipisahkan kembali).
f. Setiap perlekatan yang menyebabkan hapusnya atau hilangnya atau
musnahnya kebendaan yang melekat tersebut, yang terjadi karena
perbuatan manusia, untuk mereka yang dirugikan sebagai akibat
hapusnya atau hilangnya atau musnahnya kebendaan yang melekat
tersebut KUHPerdata memberikan hak kepada mereka ini untuk
memperoleh ganti rugi, biaya dan bunga dari orang yang karena
perlekatan tersebut memperoleh keuntungan sebagai pemilik
kebendaan hasil perlekatan tersebut.
g. Selanjutnya dalam hal perlekatan antara dua atau lebih benda, yang
menghapuskan identitas dari benda asal, terjadi karena alam, maka
benda baru ini adalah milik bersama dari pemilik benda asal tersebut,
menurut keseimbangan harga dari benda asal tersebut.208
Asas pemisahan horizontal, pada dasarnya mempunyai ciri-ciri antara lain
sebagai berikut :
1. Pemilik bangunan tidak otomatis sebagai pemilik tanah di mana bangunan
itu didirikan. Atau dengan kata lain adanya hak memiliki bangunan di atas
tanah orang lain.
2. Hak membangun didasarkan atas persetujuan dengan pemilik tanah.
Bangunan dianggap dan diperlakukan sebagai benda bergerak.
3. Tanah dan bangunan merupakan dua benda yang terpisah (zelfstandige zaak)
dan dapat dialihkan.
208
Kartini Muljadi III, op.cit, hal.63-67.
122
Asas pemisahan horizontal dalam kaitannya dengan hubungan antara tanah
dan bangunan di atasnya, apabila kita cermati rumusan UU Rumah Susun,
mempunyai makna, yaitu:
1). Satuan rumah susun dimiliki oleh setiap orang yang memenuhi syarat
sebagai pemegang hak atas tanah
2). HMSRS adalah hak milik atas satuan yang bersifat perorangan dan
terpisah termasuk juga terhadap hak atas bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama yang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan
3). Hak atas bagian bersama, benda bersama dan hak atas tanah bersama
berdasarkan atas NPP yaitu berdasarkan atas luas atau nilai satuan
rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh
pemiliknya yang pertama kalinya untuk memperhitungkan biaya
pembangunannya secara keseluruhan dan untuk menentukan harga
jualnya209
Telaah seksama terhadap asas hukum tanah tersebut maka dapat dijelaskan
pada bagan berikut ini:
Bagan 3.2. Penerapan Asas Hukum Tanah terhadap HMSRS.
Sumber : Urip Santoso, UUPA, KUHPerdata, UU Rumah Susun dan PP
Rumah Susun telah dimodifikasi penulis dalam bentuk bagan. (Cetak tebal
dan garis bawah oleh penulis).
PENERAPAN ASAS HUKUM TANAH TERHADAP HMSRS
UUPA dan Hukum Adat
KUHPerdata UU Rumah Susun dan PP Rumah Susun
Asas Pemisahan Horizontal (Horizontal Scheiding Beginsel) Diatur dalam Pasal 5 UUPA , yang pada dasarnya hukum tanah yang dianut oleh UUPA bertumpu pada hukum adat, yang dimaksud dengan asas pemisahan horizontal, dimana hak atas tanah tidak dengan
Asas Perlekatan (Accesie Scheiding Beginsel ), diatur dalam rumusan pasal 500, 5006 dan 507 KUHPerdata, pada intinya asas perlekatan yaitu asas yang melekatkan suatu benda pada benda pokoknya, maka secara yuridis berdasarkan asas accesi maka benda-
Asas Pemisahan Horizontal(Horizontal Scheiding Beginsel) dan Asas Perlekatan (Accesie Scheiding Beginsel ), diatur dalam rumusan pasal: a) Pasal 1 angka 1 UU
Rumah Susun jo Pasal 46 ayat 1 UU Rumah Susun jo Pasal 41 PP Rumah Susun, yang merumuskan bahwa :
209
Vide Pasal Pasal 46 ayat 1 dan 2 UU Rumah Susun jo Pasal 41 angka 1
PP Rumah jo Pasal 47 ayat 2 UU Rumah Susun.
123
sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.
benda yang melekat pada benda pokok harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya.
a) Asas perlekatan Vertikal (Vertical Accesie Beginsel ) Pasal 571 KUHPerdata
b) Asas Perlekatan Horizontal (Horizontal Accesie Beginsel), diatur dalam perumusan Pasal 588 KUHPerdata dan Pasal 589 KUHPerdata
Rumah Susun tersebut distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal
- HMSRS meliputi hak pemilikan perseorangan yang digunakan secara terpisah, hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang kesemuanya itu merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan.
- Hak kepemilikan perseorangan merupakan ruangan ruangan dalam bentuk geometrik tiga dimensi yang tidak selalu dibatasi oleh dinding
- Dalam hal ruangan dibatasi oleh dinding, permukaan bagian dalam dari dinding pemisah permukaan bagian bawah dari langit-langit struktur, permukaan bagian atas dari lantai struktur merupakan batas pemilikannya
- Dalam hal ruangan sebagian tidak dibatasi dinding, batas permukaan dinding bagian luar yang berhubungan langsung dengan udara luar yang ditarik secara vertikal merupakan pemilikannya
- Dalam hal ruangan, keseluruhannya tidak dibatasi dinding, garis batas yang ditentukan dan ditarik secara vertikal yang penggunaannya sesuai dengan peruntukannya merupakan batas pemilikannya.
124
b) Pasal 25 ayat 3 jo Pasal 26 ayat 1 UU Rumah Susun
Pemisahan rumah susun menjadi satuan rumah susun, terdiri atas pemisahan terhadap: - Batas sarusun yang
dapat digunakan secara terpisah untuk setiap pemilik
- Batas dan uraian atas bagian bersama dan benda bersama yang menjadi hak setiap sarusun
- Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi hak setiap sarusun
c) Pasal 46 ayat 2 UU Rumah Susun jo Pasal 41 angka 1 PP Rumah Susun jo Pasal 1 angka 13 UU Rumah Susun jo Pasal 1 angka 7 PP Rumah Susun Hak atas bagian bersama, benda bersama dan hak atas tanah bersama berdasarkan atas NPP yaitu berdasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama kalinya untuk memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan dan untuk menentukan harga jualnya
3.2.2. Penerapan Asas Hukum Kebendaan
Untuk dapat memahami sistem hukum kebendaan Indonesia maka lebih
dahulu perlu dipahami asas-asas hukum yang menaunginya. Karena sistem hukum
kebendaan nasional diikat oleh asas-asas hukum yang mengandung nilai etis
125
sebagai dasar pembuatan perundang-undangan sampai kepada peraturan-
peraturannya.
Asas hukum berfungsi sebagai pengikat peraturan-peraturan hukum yang
nampaknya berdiri sendiri-sendiri dan berserakan dalam pelbagai jenis dari yang
tertinggi sampai dengan yang terendah tingkatannya. Oleh karena itu, maka
dikenal adanya pertingkatan peraturan-peraturan hukum yang memberikan
keabsahan kepada masing-masing jenis peraturan-peraturan hukum tersebut dan
karena pertingkatan peraturan-peraturan tersebut lahirlah pula pelbagai peraturan-
peraturan hukum, yang dibentuk oleh kelembagaan yang berwenang.
Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa asas hukum atau prinsip hukum
bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang
umum sifanya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang
terdapat dalam atau di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam
peraturan perundangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positip dan
data diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret
tersebut, dengan demikian asas hukum dan cita hukum inilah yang menjadi
perekat bagi pelbagai peraturan–peraturan hukum positip yang ada, yang pada
gilirannya membentuk suatu sistem hukum. Hukum benda adalah sub system dari
Hukum Nasional yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan-hubungan hukum antara subyek hukum dengan benda dan hak
kebendaan.210
Mengacu pada penulisan ini yaitu mengenai obyek kebendaan hak
milik atas satuan rumah susun.
210
Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.44.
126
Asas Hukum Benda yang menjadi dasar penormaan Hukum Kebendaan,
yaitu:
1) Hukum kebendaan merupakan hukum memaksa/tidak dapat disimpangi
(dwingend recht)
2) Hak kebendaan dapat dipindahtangankan/dialihkan
3) Asas individualitas (individualitet) / asas specialitas
4) Asas totalitas/menyeluruh atas benda (totalitet)
5) Asas accessie dan asas pemisahan horizontal
6) Asas hak mengikuti benda (zaaksgevlog, droit desuite)
7) Asas prioritas (prioritet)
8) Asas percampuran (vermenging)
9) Asas publisitas (publiciteit);
10) Asas perlindungan
11) Sifat Perjanjiannya sebagai perjanjian kebendaan (zakelijke recht)
Terkait dengan asas-asas hukum benda yang telah dipaparkan diatas,
diterapkan pula pada Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dapat diuraikan
sebagai berikut:
Objek kebendaan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun karena ditentukan
oleh Undang-Undang Rumah Susun, bukan terjadi karena kesepakatan antara para
pihak, oleh karena Hukum Benda menganut azas Sistem tertutup sehingga
HMSRS memenuhi syarat sebagai Hak Kebendaan.
Rumah Susun sebelum dipisahkan menjadi Satuan Rumah Susun harus
dibuatkan Pertelaan yang memberikan kejelasan atas: (a). Batas sarusun yang
127
dapat digunakan secara terpisah untuk setiap pemilik; (b). Batas dan uraian atas
bagian bersama dan benda bersama yang menjadi hak setiap sarusun dan (c).
Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi hak setiap
sarusun. Di dalam Akta Pemisahan Rumah Susun juga disebutkan masing-masing
Satuan Rumah Susun berikut Nilai Perbandingan Proporsionalnya, kesemuanya
itu untuk memenuhi azas spesialitas.211
Satuan-Satuan Rumah Susun yang dapat
dimiliki secara terpisah dan Bagian Bersama, Benda Bersama serta Tanah
Bersama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan dengan
demikian memenuhi azas Totalitas.212
Pemisahan/Pertelaan yang jelas dituangkan dalam bentuk Gambar dan
Uraian untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk Akta Pemisahan.213
Adapun
Akta Pemisahan harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan dengan maksud untuk
memenuhi azas publisitas dan dengan dialihkannya pemilikan HMSRS kepada
orang lain, maka Penyelenggara Pembangunan dapat melaksanakan jual beli. Jika
Satuan Rumah Susun tersebut dibeli oleh peminatnya, maka dengan akta PPAT214
211
Vide Pasal 39 PP Rumah Susun jo Pasal 25 ayat 1 dan ayat 3 UU Rumah
Susun. 212
Vide Pasal 46 UU Rumah Susun. 213
Vide Pasal 25 dan 26 UU Rumah Susun. 214
Setelah pembangunan rumah susun selesai maka proses jual beli dapat
dilakukan melalui Akta PPAT (Akta Jual Beli), hal ini dapat dilakukan bilamana
telah diterbitkannya Sertifikat Laik Fungsi dan SHM Sarusun (Pasal 44 Rumah
Susun), dan proses jual beli sarusun juga dapat dilakukan sebelum pembangunan
rumah susun itu selesai, dalam hal ini dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat
dihadapan Notaris, hal ini dapat dilakukan bila telah memenuhi persyaratan
kepastian atas (a). status kepemilikan tanah; (b). kepemilikan IMB;
(c). ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum; (d). keterbangunan paling
sedikit 20% (duapuluh persen); dan (e). hal yang diperjanjikan (Pasal 43 UU
Rumah Susun).
128
dilakukan pemindahan haknya, agar perbuatan hukum tersebut mengikat pihak
ketiga serta memenuhi azas publisitas.
Guna menjamin kepastian hak bagi pemilikan Satuan Rumah Susun, maka
diberi alat pembuktian yang kuat berupa sertipikat HMSRS yang diterbitkan oleh
Kantor Pertanahan, Sertipikat HMSRS yang dimaksud terdiri dari:
a. Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur Tanah bersama menurut ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (sekarang Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997).
b. Gambar Denah Lantai pada Tingkat Rumah Susun yang bersangkutan yang
menunjukkan sarusun yang dimiliki
c. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas Bagian Bersama, Benda
Bersama dan Tanah Bersama.215
Disamping memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pemegang
haknya juga sekaligus memberikan perlindungan hukum, dalam hal ini diterapkan
asas perlindungan.216
Semua tahapan-tahapan mulai dari perolehan tanah yang menjadi Tanah
Bersama dan dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang
hingga pendaftaran Hak Milik atas Satuan Rumah Susun harus dipenuhi karena
hak kebendaan bersifat mutlak (azas absolut). Hak Mutlak yang diberikan
terhadap pemilikan SRS tersebut, dengan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Jangka waktu HMSRS sesuai dengan jangka waktu tanah hak bersama
dimana rumah susun didirikan;
215
Vide Pasal 47 ayat 3 UU Rumah Susun. 216
Vide Pasal 47 ayat 4 UU Rumah Susun.
129
2. Turun–temurun, apabila pemiliknya meninggal dunia HMSRS beralih
kepada ahli warisnya karena hukum;
3. HMSRS dapat dijadikan jaminan pelunasan utang dengan dibebani hak
tanggungan;
4. HMSRS dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui perbuatan hukum
pemindahan hak;
5. Batas-batas kepemilikan HMSRS ditetapkan secara pasti dalam
sertipikatnya.217
Hak Milik Atas Satuan Rumah susun disamping dapat dialihkan haknya
juga dapat dijadikan jaminan hutang untuk setiap pemberian kredit konstruksi
dengan dibebani Hak Tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.218
Selanjutnya Pasal 27 UU Hak Tanggungan,
menegaskan bahwa HMSRS dapat ditunjuk sebagai jaminan pelunasan utang
dengan dibebani Hak Tanggungan, dimana setiap pembeli HMSRS dapat
memperoleh fasilitas KPR/Kredit Pemilikan Satuan Rumah Susun tersebut dapat
pula dibebani Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan atas KP-SRS yang
bersangkutan apabila luas lantainya 70m2 atau lebih.219
Setelah terjadinya Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dapat
dialihkan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Berita Acara Lelang juga
bisa terjadi peralihan hak karena pewarisan.220
Dengan demikian HMSRS
memenuhi azas kebendaan yaitu azas dapat diserahkan dan azas Hak mengikuti
Benda (Zaaksgevolg, droit de suite).
217
Otom Mustomi dan Mimim Mintarsih dalam Reformasi Hukum, Aspek
Hukum Sewa-Menyewa Rumah Susun di Wilayah DKI Jakarta, Vol.VI No.1
Januari-Juni 2003, Universitas Islam Indonesia,Jakarta, hal.61. 218
Vide Pasal 47 ayat 5 UU Rumah Susun. 219
Otom Mustomi dan Mimim Mintarsih, Op.cit, hal.63. 220
Vide Pasal 54 ayat 2 huruf a UU Rumah Susun jo Pasal 42 PP Rumah
Susun.
130
Telaah seksama penerapan asas hukum benda terhadap HMSRS, penulis
dapat uraikan dalam bagan berikut ini:
Bagan 3.3: Bagan Penerapan Asas Hukum Benda terhadap HMSRS.
Sumber: Mariam Darus Badrulzaman I, UU Rumah Susun dan PP Rumah
Susun yang penulis olah sendiri dalam bentuk bagan (Cetak tebal dan garis
bawah oleh penulis).
PENERAPAN ASAS HUKUM BENDA TERHADAP HMSRS
Asas Hukum Benda
HMSRS dalam UU Rumah Susun dan PP Rumah Susun
1). Asas Totalitas
Pasal 46 UU Rumah Susun, menyatakan bahwa
Satuan Rumah Susun dapat dimiliki secara
terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama,
benda bersama dan tanah bersama yang
kesemuanya itu merupakan satu kesatuan hak
yang tidak dapat dipisahkan.
2). Asas Spesialitas Pasal 25 ayat 1 jo 3 UU Rumah Susun jo Pasal
39 PP Rumah Susun, yang menyatakan bahwa
sebelum satuan rumah susun dipisahkan,
dibuatkan pertelaan yang memuat rincian
kejelasan atas: Batas sarusun yang dapat
digunakan secara terpisah untuk setiap pemilik,
batas dan uraian atas bagian bersama dan benda
bersama yang menjadi hak setiap sarusun serta
Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya
bagian yang menjadi hak setiap sarusun.
3). Asas Publisitas Pasal 25 UU Rumah Susun jo Pasal 26 UU
Rumah Susun jo Pasal 47 ayat 4 UU Rumah
Susun, Setelah diadakan pemisahan terhadap
satuan rumah susun, kemudian dibuatkan Akta
pemisahan dan Akta Pemisahan tersebut
selanjutnya didaftarkan pada kantor pertanahan
dengan maksud agar diketahui siapa pemilik
sarusun yang telah mendaftar pertama kali pada
kantor pertanahan, sehingga nantinya diketahui
oleh pihak ketiga dan oleh karenanya HMSRS
tersebut tidak dapat diganggu gugat oleh pihak
ketiga.
4). Asas Perlindungan Pasal 47 ayat 3 dan 4 UU Rumah Susun jo
Pasal 44 PP Rumah Susun, pada intinya setelah
diadakan peralihan hak kebendaan rumah susun
maka untuk menjamin kepastian hak dan
perlindungan hak dalam pemilikan satuan rumah
131
susun maka diterbitkanlah sertifikat HMSRS yang
terdiri atas:
- Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur Tanah
- Gambar Denah Lantai pada Tingkat Rumah
Susun yang menunjukkan sarusun yang
dimiliki
- Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas
bagian bersama dan tanah bersama
5). Asas hak kebendaan
dapat dialihkan dan droit
de suite (mengikuti
bendanya)
Pasal 47 ayat 5 jo Pasal 54 ayat 2 huruf a UU
Rumah Susun jo 42 ayat 1 PP Rumah Susun, Hak Milik atas Satuan Rumah susun disamping
dapat dialihkan haknya juga dapat dijadikan
jaminan hutang untuk setiap pemberian kredit
konstruksi dengan dibebani Hak Tanggungan.
Setelah terjadinya HMSRS yang dapat dialihkan
dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (Jual
Beli) atau Berita Acara Lelang (peralihan hak
karena pewarisan).
6). Asas kebendaan
bersifat mutlak (asas
absolut)
- Jangka waktu HMSRS sesuai dengan jangka
waktu tanah hak bersama dimana rumah susun
didirikan
- Turun-temurun, apabila pemiliknya
meninggal dunia HMSRS beralih kepada ahli
warisnya karena hukum;
- HMSRS dapat dijadikan jaminan pelunasan
utang dengan dibebani hak tanggungan;
- HMSRS dapat dipindahkan kepada pihak lain
melalui perbuatan hukum pemindahan hak;
- Batas-batas kepemilikan HMSRS ditetapkan
secara pasti dalam sertipikatnya.
7). Asas Sistem Tertutup
Objek kebendaan Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun karena ditentukan oleh Undang-Undang
Rumah Susun, bukan terjadi karena kesepakatan
antara para pihak, oleh karena Hukum Benda
menganut asas Sistem tertutup sehingga HMSRS
memenuhi syarat sebagai Hak Kebendaan.
132
3.3. Arti Penting Klausula Pertelaan dalam Pengaturan Konsepsi Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun
3.3.1. Klausula pertelaan sebagai syarat dalam pemisahan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun
Pembangunan rumah susun dan lingkungannya harus dibangun dan
dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah
setempat sesuai dengan peruntukkannya (persyaratan administratif). Merujuk
kepada Pasal 28 UU Rumah Susun, yang dimaksud dengan persyaratan
administratif pembangunan rumah susun yaitu persyaratan yang mengatur
mengenai :
(i) Perizinan usaha dari perusahaan pembangunan perumahan;
(ii) Izin lokasi dan/atau peruntukkannya; serta
(iii) Perizinan mendirikan bangunan.
Rumah susun dan lingkungannya harus dibangun dan dilaksanakan
berdasarkan perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Perizinan
dimaksud diajukan oleh penyelenggara pembangunan kepada Pemerintah Daerah
terkait dengan melampirkan persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1. Sertifikat hak atas tanah; 2. Fatwa peruntukan tanah (advies planning) yaitu sùatu keterangan yang
memuat lokasi yang dimaksud terhadap lingkungan sekitarnya beserta penjelasan peruntukan tanah dengan perincian mengenai kepadatan dan garis sempadan bangunan.
3. Rencana tapak (site plan) yaitu rencana tata letak bangunan 4. Gambar rencana arsitektur yang memuat denah dan potongan beserta
pertelaannya yang menunjukkan dengan jelas batasan vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun.
5. Gambar rencana struktur beserta perhitungannya; 6. Gambar rencana menunjukkan dengan jelas bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama; 7. Gambar rencana jaringan dan instalasi beserta perlengkapannya.
221
221
Vide Pasal 29 ayat 4 UU Rumah Susun.
133
Ketentuan-ketentuan dalam persyaratan teknis diatur oleh Menteri
Pekerjaan Umum dan semua persyaratan teknis tersebut harus sesuai dengan
rencana tata kota setempat. Persyaratan teknis pembangunan rumah susun antara
lain mengatur mengenai :
(i) Peruntukan lokasi dan struktur bangunan;
(ii) Persyaratan keamanan, keselamatan, kenyamanan;
(iii) Hal-hal yang berhubungan dengan rancang bangunan.
Persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam pembangunan rumah susun,
yaitu sebagai berikut :
a. Harus ada hubungan langsung maupun tidak langsung dari semua
ruangan yang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari (Pasal 11 PP
Rumah Susun).
b. Struktur komponen dan bahan bangunan ditentukan dengan memenuhi
syarat konstruksi sesuai dengan standar yang berlaku (Pasal 12 PP
Rumah Susun).
c. Kelengkapan rumah susun sempurna (Pasal 14 PP Rumah Susun).
d. Syarat-syarat untuk bagian bersama, harus memperhatikan keserasian,
keseimbangan dan keterpaduan (Pasal 20 PP Rumah Susun).
e. Benda bersama harus mempunyai dimensia, lokasi, kualitas, kapasitas
yang memenuhi syarat (Pasal 21 PP Rumah Susun).
f. Rumah susun harus dibangun di lokasi yang sesuai dengan lingkungan
(Pasal 22 PP Rumah Susun).
134
g. Kepadatan bangunan lingkungan harus diperhitungkan agar tercapai
optimasi daya guna dan hasil guna tanah (Pasal 23 PP Rumah Susun).
h. Prasarana lingkungan harus lengkap (Pasal 25 PP Rumah Susun).
i. Fasilitas Lingkungan yang tersedia sesuai dengan standar yang berlaku
(Pasal 27 PP Rumah Susun jo Pasal 40 UU Rumah Susun).
Persyaratan teknis pembangunan rumah susun ini ditujukan untuk
menjamin keselamatan, keamanan, ketenteraman serta ketertiban para penghuni
dan pihak lainnya. Pengaturan atas bagian bangunan yang masing-masing dapat
dimiliki dan digunakan secara terpisah mengandung hak atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama, memberikan landasan bagi sistem
pembangunan yang mewajibkan kepada penyelenggara pembangunan
(“developer”) untuk melakukan pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah
susun dengan pembuatan akta pemisahan dan disahkan oleh Instansi yang
berwenang. Atas dasar pemisahan yang dilakukan dengan akta dengan
melampirkan gambar, uraian dan pertelaan yang disahkan oleh instansi yang
berwenang dan didaftarkan sebagaimana disyaratkan tersebut memberikan
kedudukan sebagai benda tak bergerak yang dapat menjadi obyek pemilikan
(“real property”), sedangkan dalam segi lain, pengaturan tersebut memberikan
landasan bagi sistem pemilikan, ditunjukkan bahwa HMSRS, dalam
kedudukannya sebagai hak kebendaan, meliputi hak milik atas satuan yang
bersifat perseorangan dan terpisah, termasuk juga hak atas bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
135
Penyelenggaraan pembangunan wajib meminta pengesahan pertelaan222
yang menunjukkan batasan yang jelas dari satuan rumah susun, bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama, beserta uraian nilai perbandingan
proporsionalnya setelah memperoleh izin. Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 27
UU Rumah Susun ditegaskan bahwa berkenaan dengan pemisahan rumah susun,
gambar dan uraian pertelaan diatur dengan peraturan pemerintah. Pertelaan
diuraikan dalam bentuk:
1). Gambar Pertelaan, yaitu gambar yang memperlihatkan batas-batas
kepemilikan perseorangan maupun kebersamaan yang distrukturkan secara
vertikal maupun horizontal yang merupakan satu kesatuan fungsi dalam
kegunaannya, yang mengandung nilai perbandingan proposional (NPP), yang
terdiri atas:
a. Satuan lingkungan tanah bersama yang mengambarkan benda bersama.
b. Tanah bersama (sesuai GS/SU lampiran sertipikat).
222
Proses Pengesahan Pertelaan melalui: (a). Untuk daerah yang telah
mempunyai PERDA Rumah Susun, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
atau Kepala Kanwil DKI Jakarta mengundang instansi teknis terkait untuk Rapat
Koordinasi membahas pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun yang dibuat
oleh pengembang, dan dituangkan dalam Berita Acara Penelitian Pertelaan Rumah
Susun dengan melampirkan SK pengesahan pertelaan oleh Kepala Daerah
Kab./Kota, atau Gubernur untuk Provinsi DKI Jakarta dan masing masing instansi
terkait membubuhkan paraf, hasil akhirnya berupa Surat Keputusan Pengesahan
Pertelaan. (b).Terhadap Daerah yang belum mempunyai PERDA Rumah Susun,
tanpa Rapat Koordinasi tetapi Draft SK Pengesahan Pertelaan disiapkan oleh
Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan persyaratan administrasi dan
teknis sesuai ketentuan yang berlaku, dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Fisik
Rumah Susun, kemudian SK Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan, dan
persyaratan lainnya, dengan surat pengantar dari Kepala Kantor Pertanahan
Kab./Kota atau Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta khusus untuk Provinsi DKI
Jakarta diajukan kepada Bupati/Walikota atau Gubenur Provinsi DKI Jakarta
untuk pengesahannya.
136
c. Denah masing masing lantai, terdiri dari bagian bersama dan bagian
perseorangan.
d. Tampak bangunan Rusun dari segala arah.
e. Potongan dari dua arah vertikal dan horizontal terhadap bangunan Rusun.
f. Potongan dari 2 (dua) arah antara unit Satuan Rusun dengan unit lainnya,
antara unit Satuan Rusun dengan bagian bersama (kuzen, dinding, plafon)
secara tipikal
2). Uraian Pertelaan
Uraian Pertelaan berisi penjelasan secara deskriptif dari gambar pertelaan
mengenai satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama
yang dilengkapi dengan spesifikasi teknis yang mengandung NPP. Bagian uraian
pertelaan yang dimaksud, antara lain:
a). Satuan Rumah Susun
Satuan rumah susun, yaitu bagian rumah susun yang tujuan peruntukan
utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian yang mempunyai
sarana penghubung ke jalan umum.223
Satuan rumah susun harus mempunyai
ukuran standar yang dapat dipertanggungjawabkan dan memenuhi persyaratan
sehubungan dengan fungsi dan penggunaannya serta harus disusun, diatur dan
dikoordinasikan untuk dapat mewujudkan suatu keadaan yang dapat menunjang
kesejahteraan dan kelancaran bagi penghuni dalam menjalankan kegiatan sehari-
hari untuk hubungan kedalam maupun keluar.224
223
Vide Pasal 1 angka (3) UU Rumah Susun. 224
Vide Pasal 16 PP Rumah Susun.
137
Satuan rumah susun dapat berada pada permukaan tanah, diatas atau
dibawah permukaan tanah atau sebagian dibawah dan sebagian diatas permukaan
tanah, merupakan dimensi dan volume ruang tertentu sesuai dengan yang telah
direncanakan. Satuan Rumah Susun,yang dimaksud terdiri atas: (i).Permukaan
dinding pemisah bagian dalam didalam Satuan Rumah Susun, (ii).Lantai bagian
dalam didalam satuan rumah susun, (iii). dinding pemisah ruang dalam yang
menjadi bagian dari satuan rumah susun, (iv). kusen pintu dan jendela, daun pintu
dan jendela, (v).plafon bagian dalam didalam satuan rumah susun, (vi).Instalasi
listrik, (vii).telepon, (viii).AC, yang kesemua bagian tersebut berada dalam satuan
rumah susun dan digunakan/dimanfaatkan hanya untuk dan oleh satuan rumah
susun yang bersangkutan.225
b). Bagian bersama
Bagian Bersama yaitu bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak
terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan- satuan
rumah susun, yang berupa fondasi, kolong, balkon, dinding, lantai, atap, talang
air, tangga, lift, saluran pipa, jaringan listrik, gas dan telekomunikasi.226
c). Benda Bersama
Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun,
tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama, yang
terdiri dari ruang pertemuan, tanaman, bangunan pertamanan, bangunan sarana
225
Vide Pasal 17 PP Rumah Susun. 226
Vide Pasal 1 angka (5) UU Rumah Susun jo Penjelasan Pasal 25 ayat (1)
UU Rumah Susun.
138
sosial,tempat ibadah,tempat bermain,tempat parkir yang terpisah atau menyatu
dengan struktur bangunan rumah susun.227
d). Tanah Bersama
Tanah bersama, yaitu sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak
bersama secara tidak terpisahkan yang diatasnya berdiri rumah susun dan
ditetapkan batasnya dalam persyaratan ijin bangunan. Bagian dari tanah bersama
terdiri atas:
(i). Tanah bersama tempat berdirinya rumah susun tesebut, dengan segala
fasilitasnya, dibuktikan dengan sertifikat yang memuat: Jenis hak,
Nomor Hak, Pemegang Hak, Masa Berlakunya, Luas Tanah dan Batas
Tanah;
(ii). Status tanah bersama;
(iii). Letak batas dari luas tanah bersama sesuai dengan daerah
perencanaannya yang menjadi dasar penentuan Koefisien Dasar
Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB);
(iv). Tanah bersama hanya untuk satu satuan lingkungan rumah susun
dengan satu sertipikat tanah seperti dimaksud pada keterangan huruf i
dan huruf ii diatas, dengan dibebani Kredit Konstruksi.228
e). NPP
NPP adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara sarusun terhadap
hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang dihitung
berdasar nilai sarusun yang bersangkutan terhadap jumlah nilai rumah susun
227
Vide Pasal 1 angka 6 UU Rumah Susun jo Penjelasan Pasal 25 ayat (1)
UU Rumah Susun. 228
Vide Pasal 1 angka 4 UU Rumah Susun.
139
secara keseluruhan pada waktu pelaku pembangunan pertama kali
memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan
harga jualnya. 229
Pertelaan yang dibuat Pelaku Pembanguan Rumah Susun menjadi dasar
perhitungan NPP dan merupakan salah satu syarat untuk pengesahan “akta
pemisahan rumah susun”.Pembuatan pertelaan rumah susun “harus” memenuhi
syarat administrasi dan memberikan gambaran yang tegas, jelas, nyata dan benar
serta batasan-batasan dalam arah vertikal dan horisontal atas Satuan Rumah Susun
yang meliputi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Pertelaan
mempunyai peranan yang sangat penting dalam pemenuhan syarat administrasi
pembangunan rumah susun, karena pertelaan merupakan dasar dan landasan bagi
penerbitan sertipikat HMSRS dan pembuatan Akta Pemisahan serta dengan
pertelaan akan tegas, jelas, nyata dan benar batasan-batasan pada bagian mana
dari rumah susun yang menjadi bagian bersama, benda bersama dan tanah
bersama sebagai prasarana dan sarana umum dalam (bangunan) rumah susun yang
diperuntukkan, dipergunakan dan dimanfaatkan bersama-sama oleh pemilik dan
/atau penghuni (bangunan) rumah susun, dan pada bagian mana dari rumah susun
yang menjadi milik pribadi masing-masing pemilik Satuan Rumah Susun.
3.3.2. Bentuk Penjabaran dan Penerapan Asas Proporsionalitas dan
Keadilan Berbasis Kontrak.
Pembahasan tentang hubungan kontraktual para pihak pada hakikatnya
tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya dengan masalah keadilan. Oleh karena
itu. sangat tepat dan mendasar apabila dalam melakukan analisis tentang asas
229
Vide Pasal 1 angka 13 UU Rumah Susun.
140
proporsionalitas dalam kontrak justru dimulai dari aspek filosofis keadilan
berkontrak.
Di dalam kamus Bahasa Indonesia, istilah keadilan berasal dari kata adil,
artinya tidak memihak, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Jadi keadilan
diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang adil. Di dalam literatur Inggris, istilah
keadilan disebut dengan justice kata dasarnya jus. Perkataan jus berarti hukum
atau hak, dengan demikian salah satu pengertian dari justice adalah hukum. Kata
justice sebagai lawfulness yaitu keabsahan menurut hukum. Pengertian lain yang
melekat pada keadilan dalam makna yang lebih luas adalah fairness yang sepadan
dengan makna layak atau suatu kelayakan.230
Pada dasarnya makna dari suatu pengertian atau definisi keadilan berupaya
memberi pemahaman mengenai apa itu keadilan. Dari definisi tersebut akan
diketahui ciri-ciri suatu gejala yang memberi identitas atau tanda tentang keadilan,
sifat dasar dan asal mula keadilan, atau mengapa suatu gejala tertentu disebut
keadilan bukan merupakan tugas definisi keadilan, melainkan hanya dapat
diterangkan dengan bantuan teori keadilan.
Salah satu diantara teori keadilan yang dimaksud antara lain teori keadilan
dari Aristoteles. Filsuf besar seperti Aristoteles, menyatakan bahwa" justice
consists in treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their
inequality" (prinsip bahwa yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak
sama juga diperlakukan tidak sama secara proporsional). Pemikiran Aristoteles
tentang keadilan inilah merupakan salah satu titik tolak pemikiran dari Agus
Yudha Hernoko tentang pentingnya asas proporsionalitas dalam hubungan
230
Bahder Johan Nasution II, op.cit, hal.97-98.
141
kontraktual para pihak.231
Aristoteles menekankan teorinya pada perimbangan
atau proporsi. Penekanan perimbangan atau proporsi pada teori keadilan
Aristoteles, dapat dilihat dari apa yang dikatakannya bahwa kesamaan hak itu
haruslah sama di antara orang-orang yang sama. Maksudnya pada satu sisi
memang benar bila dikatakan bahwa keadilan berarti juga kesamaan hak, namun
pada sisi lain harus dipahami pula bahwa keadilan juga berarti ketidaksamaan
hak.232
Sedangkan tolak ukur hukum yang adil menurut Thomas Aquinas yaitu:
According to Aquinas, human laws are just when they serve the common
good, distribute burdens firly, show no disrespect for God, and do not
exceed the law’s maker authority. When laws framed by human fails to
satisfy these conditions, they are unjust. And then, Aquinas says, they do
not “bind in conscience”233
Terjemahan bebasnya berarti:
Aquinas menyatakan “hukum manusia” atau hukum positif adil apabila
mengabdi kepada kebaikan umum, mendistribusikan kewajiban secara
jujur, tidak melecehkan Tuhan dan pembentuk undang-undang tidak
melampaui batas kekuasaannya. Bila hukum positif lalai memenuhi kondisi
itu, maka hukum tidak adil dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Beranjak dari pemikiran keadilan, sebagaimana telah dikemukakan oleh
Aristoteles dan Thomas Aquinas, dapat disimpulkan dengan pernyataan sebagai
berikut:
Justice forms the substance of the law, but his heterogeneous substance is
composed of three elements: an individual elemen; the suum cuiquire
tribuende (individual justice); a social element; the changing fundation of
prejudgments upon which civilization reposes at any given moment (social
justice), and a political element, which is based upon the reason of the
231
Aristoteles dalam Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.48. 232
Bahder Johan Nasution II, op.cit, hal.101. 233
David Lyons dalam Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum: Dimensi
Tematis dan Historis, 2013, Setara Press, Malang, hal.79.
142
strongest, represented in the particular case by the state (justice of the
state).234
Terjemahan bebasnya berarti:
Keadilan membentuk substansi hukum, tetapi substansi heterogennya
terdiri dari tiga elemen: sebuah elemen individual; (keadilan individual),
sebuah elemen sosial; perubahan dasar pra duga atas mana peradaban
terjadi pada saat tertentu (keadilan sosial), dan elemen politik, yang
didasarkan pada alasan yang terkuat, yang diwakili dalam kasus tertentu
oleh negara (keadilan negara).
Dalam konsep negara-negara modern penekanan terhadap prinsip keadilan
diberikan dengan menyatakan bahwa tujuan hukum yang sebenarnya adalah untuk
menciptakan keadilan dalam masyarakat. Tujuan hukum tersebut, sejalan dengan
pendapat Ulpianus yang menyatakan bahwa iuris pracepta sunt haec:honeste
vivere alterum non-laedere, suum cuique tribuere yang diterjemahkan secara
bebas berarti perintah hukum adalah hidup jujur, tidak merugikan sesama
manusia dan setiap orang mendapat bagiannya. 235
Kajian Theo Huijbers menunjukan ada dua paham filsafat mengenai
keterkaitan Hukum dan Keadilan. Paham aliran Filsafat Hukum Alam
merefleksikan pandangan bahwa keadilan terletak pada hakekat hukum. Dengan
begitu hukum sama dengan keadilan, hukum yang tidak adil bukan hukum. Hal ini
senada dengan pendapat Thomas Aquinas yang menyatakan: "One is morally
bound to obey just laws, but not unjust laws. One should obey unjust law only
when circumstances demand it,"in order to avoid scandal or disturbance”236
234
Radbruch and Dubin, dalam Bahder Johan Nasution II, op.cit, hal.118. 235
Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal.162. 236
David Lyons, Ethics and the rule of law dalam Dewa Gede Atmadja,
op.cit , hal.70-71.
143
(Terjemahan bebasnya berarti setiap orang secara moral hanya terikat untuk
mentaati hukum yang adil, dan bukan kepada hukum yang tidak adil. Hukum yang
tidak adil harus dipatuhi hanya apabila tuntutan keadaan yakni untuk menghindari
skandal atau kekacauan).
Pendapat Thomas Aquinas tersebut didukung oleh O. Notohamidjojo, yang
menyatakan bahwa "Hukum perlu diperdalam (verdiept) oleh keadilan. Kalau
hukum dilepaskan dari keadilan dan moral, maka akan mendekati chaos dan
diktatur, kekacauan dan penindasan. Sehingga bangsa ini perlu dilayani dengan
hukum yang diperdalam oleh keadilan"237
Oleh karena itu "nilai keadilan" bersifat
subyektif, sedangkan eksistensi dari nilai-nilai hukum dikondisikan oleh fakta-
fakta yang dapat diuji secara obyektif. Oleh karena itu, harus dipahami bahwa
keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam
jumlah yang sama, tanpa memerhatikan perbedaan-perbedaan yang secara objektif
ada pada setiap individu.
Sehubungan dengan hakikat keadilan dalam kontrak, beberapa sarjana
mengajukan pemikirannya tentang keadilan yang berbasis kontrak, Teori keadilan
berbasis kontrak ini sebelumnya telah dipelopori oleh John Locke, Rousseau dan
juga Immanuel Kant kemudian dikembangkan oleh John Rawls. Para pemikir
tersebut menyadari bahwa tanpa kontrak serta hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya, maka masyarakat bisnis tidak akan berjalan. Oleh karena itu
tanpa adanya kontrak, orang tidak akan bersedia terikat dan bergantung pada
pernyataan pihak lain. Kontrak memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa
masing-masing individu akan memenuhi janjinya, dan selanjutnya hal ini
237
O. Notohamidjojo dalam Dewa Gede Atmadja, op.cit, hal.71.
144
memungkinkan terjadinya transaksi di antara mereka. Meskipun demikian, John
Rawls mengkritik teori keadilan oleh para pendahulunya tersebut yang cenderung
bersifat utilitarianisme dan institusionisme. Kedua pandangan ini bertolak
belakang dengan teori berbasis kontrak yang ingin dikembangkan oleh Rawls,
yakni konsep keadilan sebagai fairness.238
Dengan mengambil pelajaran dari
kegagalan teori-teori sebelumnya, Rawls mencoba menawarkan suatu bentuk pe-
nyelesaian yang terkait dengan problematika keadilan dengan membangun teori
keadilan berbasis kontrak. Menurutnya suatu teori keadilan yang memadai harus
dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas keadilan yang dipilih
bersama benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person
yang bebas, rasional, dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah
teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan
kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya dengan tegas Rawls
menyatakan, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual,
konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus
dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri.
John Rawls dalam bukunya berjudul: "Theory of Justice", mengekspresikan
keadilan dapat berarti menurut hukum dan kesebandingan atau apa yang
semestinya. Teori Rawl fokus pada struktur dasar dari masyarkat, konstitusi
politik, sistem hukum dan sistem sosial. Atas dasar itu Rawl berusaha menemukan
238
Bagi Rawls, kesamaan harus dipahami dalam arti kesetaraan kedudukan
dan hak sebagai person dan bukan dalam arti kesamaan hasil yang diperoleh
setiap orang. Keadilan sebagai fairness tidak menuntut setiap orang yang terlibat
dan menempuh prosedur yang sama juga harus mendapatkan hasil yang sama,
namun sebaliknyakeadilan sebagai fairness menegaskan bahwa hasil dari prosedur
fair itu harus diterima sebagai sesuatu yang adil meskipun tiap orang tidak
mendapat hasil yang sama (Andre Ata Ujan, op.cit, hal.45).
145
seperangkat asas bagaimana dalam struktur sosial mendistribusikan beban
(burden) dan keuntungan (benefits) untuk mencapai keadilan.239
Apabila menempatkan diri pada posisi asli ,Rawls merumuskan dua
prinsip keadilan yang mendasar yaitu sebagai berikut:
1). Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest
equal liberty). Menurut prinsip ini, setiap orang memberi hak dan
kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas
kebebasan yang sama bagi setiap orang, dalam hal ini mempunyai hak
yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat. Prinsip ini tidak
menghalangi orang untuk mencari keuntungan pribadi asalkan kegiatan
itu menguntungkan semua pihak 2). Prinsip ketidaksamaan, ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur
sedemikian rupa, sehingga diharapkan memberi keuntungan bagi setiap orang dan semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial-ekonomi yang terjadi, sehingga dapat memberikan keuntungan yang bersifat timbal balik. dalam hal ini harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Rumusan prinsip ini, merupakan gabungan dari dua prinsip yaitu prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity )
240
Sehingga secara menyeluruh John Rawls dalam teorinya mengemukakan
bahwa ada tiga hal yang merupakan solusi bagi problema keadilan. Dalam
konteks ini Rawls menyebut justice as fairness, John Rawls lebih menekankan
prinsip-prinsip keadilan yang lebih mengutamakan asas hak daripada asas manfaat
sehingga dalam konteks ini Rawls merumuskan tiga prinsip-prinsip keadilan
distributif, yaitu sebagai berikut:
(1) Prinsip kebebasan yang sama bagi setiap orang (principle of greatest equal liberty), tentang hal ini dirumuskan oleh John Rawls sebagai berikut: Each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty of others. (Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang). Pengertian equal disini
239
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book
Services, Malaysia, hal.279. 240
Huijbers dan Priyono dalam Dardji Darmodihardjo, et.al, op.cit, hal.165
146
yaitu sama atau sederajat diantara sesama manusia. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang, maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak);
(2) Prinsip perbedaan (the difference principle), yang dirumuskannya sebagai berikut: Social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be to everyone's advantage, and (b) attached to positions and office open to all. (Ketidaksamaan dalam pencapaian nilai-nilai sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) diharapkan memberikan keuntungan bagi setiap orang) (b).semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.
(3) Prinsip persamaan yang adil untuk memperoleh kesempatan bagi setiap orang (the principle of fair equality of opportunity), yaitu ketidaksamaan ekonomi harus diatur sedemikian rupa agar memberi kesempatan bagi setiap orang untuk menikmatinya. Asas ketidaksetaraan di bidang soial-ekonomi (principle of social and economic unequel) maknanya secara faktual persamaan kebebasan melahirkan kesenjangan dalam struktur dasar masyarkat, yaitu ketidaksetaraan sosial ekonomi ini seyogyanya dibuat aturan hukum yang paling menguntungkan bagi golongan masyarakat yang kedudukannya paling lemah.
241
Oleh John Rawls dikatakan suatu teori keadilan yang memadai harus
dibentuk dengan pendekatan kontrak dimana prinsip-prinsip keadilan yang dipilih
sebagai pegangan bersama merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua
person yang bebas, rasional dan sederajat dan menjamin kepentingan para pihak
secara fair. Hanya melalui pendekatan kontrak inilah sebuah teori keadilan
mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban
secara adil bagi semua orang. 242
Landasan pemikiran Agus Yudha Hernoko, mengenai asas proporsionalitas
ini mengacu pada pemikiran P.S.Atiyah yang memberikan landasan pemikiran
bahwa dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil bahwa
transaksi tersebut dilakukan oleh para pihak yang berkontrak sesuai dengan apa
241
John Rawls, A Theory of Justice dalam Andre Ata Ujan, op.cit, hal.73,
Lihat juga Hari Chand, op.cit, hal.280. 242
Andre Ata Ujan, op.cit, hal.22.
147
yang diinginkan. P.S. Atijah dalam bukunya "An Introduction to The Law of
Contract", memberikan landasan pemikiran mengenai asas proporsionalitas dalam
kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil di dunia
bisnis. Pada dasarnya asas proporsionalitas ini perwujudan doktrin keadilan
berkontrak yang mengoreksi asas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal
justru menimbulkan ketidakadilan. Asas proporsional ini sangat berorientasi pada
koteks hubungan dan kepentingan para pihak, jadi disini adanya pembagian hak
dan kewajiban para pihak sesuai dengan proporsi atau bagiannya dalam seluruh
proses kontraktual.243
Agus Yudha Hernoko memberikan kriteria yang dapat dijadikan pedoman
dalam menentukan Asas proporsionalitas dalam kontrak, yaitu sebagai berikut:
a. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti "kesamaan hasil" melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan "kesetaraan kedudukan dan hak (equitability)" (prinsip kesamaan hak/kesetaraan hak);
b. Berlandaskan pada kesamaan/kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan);
c. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara proporsional bagi para pihak.
244
Asas proporsionalitas yang diterapkan dalam rumah susun ini
mengandung makna bahwa untuk dapat mencapai perhitungan yang seadil –
adilnya mengenai porsi hak, porsi kewajiban dan tentunya juga porsi tanggung
jawab pribadi yang bersatu dalam kesatuan konstruksi dengan hak milik para
243
Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.85-87. 244
Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.88-89.
148
”mede eigenaars” lainya. Menurut hukum perbandingan ini, porsi hak/ porsi
kewajiban/ porsi tanggung jawab pribadi tiap–tiap ”mede eigenars” dapat dihitung
besarnya secara proposional terhadap porsi nilai dan harga keseluruhan obyek
kebendaan HMSRS yang menjadi milik mereka.
NPP adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara sarusun terhadap
hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang dihitung
berdasar nilai sarusun yang bersangkutan terhadap jumlah nilai rumah susun
secara keseluruhan pada waktu pelaku pembangunan pertama kali
memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan
harga jualnya. NPP yang dimaksud, antara lain terhadap:
1. Hak yaitu hak kepemilikan perseorangan dan hak bersama terhadap hak atas tanah, benda dan bagian bersama;
2. Kewajiban yaitu beban biaya pemeliharan dan perbaikan kepemilikan bersama (tanah, benda dan bagian);
3. Nilai, yaitu dasar penentuan nilai/besarnya beban Hak Tanggungan terhadap Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan Roya Partial terhadap Hak Milik atas satuan Rumah Susun.
245
Selanjutnya besarnya NPP tersebut, dicantumkan dalam Sertipikat Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun dan secara hukum, NPP tersebut mengikat dan
NPP tersebut menentukan besarnya hak dan kewajiban masing-masing pemilik
satuan rumah susun terhadap bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.
3.4. Bentuk Pertanggungjawaban Para Pihak dalam hal Terjadinya
Overmacht terhadap Kepemilikan Satuan Rumah Susun
3.4.1 Akibat Hukum overmacht dari Segi Buku III KUHPerdata dan Doktrin
Peristiwa overmacht menimbulkan suatu akibat baik terhadap perikatan
maupun terhadap risiko yang harus dihadapi oleh para pihak di dalam perjanjian.
245
Vide Pasal 1 angka 13 UU Rumah Susun jo Pasal 1 angka 7 PP Rumah
Susun.
149
Pengaturan akibat terjadinya overmacht dapat ditemukan di dalam Buku III
KUHPerdata dan berbagai doktrin yang dikemukakan oleh para ahli.
A.1. Akibat hukum overmacht ditinjau dari segi akibatnya terhadap
perikatan.
Akibat overmacht ditinjau dari segi akibatnya terhadap perikatan, beberapa
ahli memberikan pandangannya, diantaranya sebagai berikut;
1) R. Setiawan
Menurut R.Setiawan, overmacht menghentikan bekerjanya perikatan dan
menimbulkan beberapa akibat, yaitu:
a. Kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;
b. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai, dan karenanya tidak wajib
membayar ganti rugi;
c. Risiko tidak beralih kepada debitur;
d. Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal
balik.246
2) Mariam Darus Badrulzaman
Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan beberapa akibat overmacht
terhadap perikatan. Overmacht mengakibatkan perikatan tersebut tidak lagi
bekerja (werking) walaupun perikatannya ada, maka:
a. Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi; b. Tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena
itu tidak dapat menuntut;
c. Kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian;
d. Pada perjanjian timbal balik, gugur kewajiban untuk melakukan
kontraprestasi;
e. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan overmacht ini adalah
sebagai berikut:
Debitur tidak dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa itu
dengan jalan penangkisan (eksepsi).
246
R.Setiawan, op.cit, hal. 27-28.
150
Berdasarkan Jabatannya, Hakim tidak dapat menolak gugatan
berdasarkan overmacht, yang berutang memikul beban untuk
membuktikan adanya keadaan overmacht.247
3) Abdulkadir Muhammad
Abdulkadir Muhammad membedakan overmacht menjadi overmacht yang
bersifat objektif dan subjektif.
a). Overmacht yang bersifat objektif/tetap secara otomatis mengakhiri perikatan dalam arti perikatan itu batal (the agreement would be void from the outset) dengan memberikan konsekuensi bahwa: jika perikatan itu sudah dilaksanakan, maka dilakukan pemulihan
kembali dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan.
jika satu pihak sudah mengeluarkan biaya untuk melaksanakan perjanjian itu sebelum waktu pembebasan, pengadilan berdasarkan kebijaksanaannya boleh memperkenankannya memperoleh semua atau sebagian biaya dari pihak lainnya, atau menahan uang yang sudah dibayar.
b). Overmacht yang bersifat subjektif/sementara, memberikan konsekuensi bahwa: Overmacht itu hanya mempunyai daya menangguhkan sehingga
kewajiban berprestasi akan kembali jika keadaan memaksa itu sudah tidak ada lagi.
Jika prestasinya sudah tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur, perikatannya menjadi gugur. Pihak yang satu tidak dapat menuntut kepada pihak lainnya. Dalam keadaan yang demikian ini, perikatan tidak berhenti (tidak batal), melainkan hanya pemenuhan prestasinya saja yang tertunda. Jika kesulitan itu sudah tidak ada lagi, maka pemenuhan prestasi dapat diteruskan kembali.
248
4) M.Yahya Harahap
Overmacht merupakan dasar hukum yang menyampingkan/ menyingkirkan
asas yang terdapat pada Pasal 1239 KUHPerdata “setiap wanprestasi yang
menyebabkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar ganti rugi
(schadevergoeding)”. Pasal-pasal yang menyampingkan ketentuan Pasal 1239
247
Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal.26. 248
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 32
151
KUHPerdata tersebut, diantaranya Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata.249
Kedua ketentuan pasal tersebut, telah ditetapkan bahwa overmacht sebagai dasar
hukum yang memaafkan atau rechtsvaardigings-grond. Adapun alasan pemaaf
yang dimaksud sebagai akibat dari overmacht antara lain sebagai berikut:
1. Pembebasan debitur membayar ganti rugi/schadevergoeding
Pada akibat pembebasan membayar ganti rugi, hak kreditur untuk
menuntut gugur untuk selama-lamanya. Jadi, pembebasan ganti rugi
sebagai akibat overmacht adalah pembebasan mutlak.
2. Membebaskan debitur dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi
(nakoming)
Pembebasan pemenuhan/nakoming bersifat relatif. Pada umumnya
pembebasan ini hanya bersifat menunda, selama keadaan overmacht
masih menghalangi/merintangi debitur melakukan pemenuhan prestasi.
Bila overmacht hilang, kreditur kembali dapat menuntut pemenuhan
prestasi.250
A.2. Akibat overmacht ditinjau dari segi risiko
Sehubungan dengan persoalan risiko ini, dalam teori hukum dikenal suatu
ajaran yang disebut dengan resicoleer (ajaran tentang risiko) yaitu suatu ajaran,
dimana seorang berkewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di
luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek
perjanjian. Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht) dan
diterapkan pada perjanjian sepihak maupun perjanjian timbal-balik.251
249
Menurut Yahya Harahap dari rumusan Pasal 1244 KUHPerdata, tidak mempergunakan istilah overmacht, tetapi mempergunakan rumusan sesuatu sebab luar yang tak dapat diperkirakan, namun makna yang terkandung didalamnya merupakan pengertian “overmacht”. (Yahya Harahap, op.cit, hal.84) Berkenaan dengan pengertian overmacht, Subekti menyatakan bahwa meskipun Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata memiliki makna yang sama, namun penilaian lebih baik diberikan pada pasal 1244 KUHPerdata karena dianggap paling tepat menunjukkan keadaan overmacht (Subekti II, op.cit, hal.55). Jadi dalam hal ini baik Yahya Harahap maupun Subekti sama-sama menekankan makna overmacht lebih tepat didasarkan pada pasal 1244 KUHPerdata.
250Yahya Harahap, op.cit, hal.96.
251 Salim HS II. op cit. hal.185
152
Berkenan dengan resicoleer, para ahli hukum telah memberikan
pandangannya tersendiri baik terhadap perjanjian sepihak maupun perjanjian
timbal-balik, diantaranya:
1. Perjanjian Sepihak
R.Setiawan, Abdulkadir Muhammad, Salim H.S dan Mariam Darus
Badrulzaman memberikan pandangan mereka mengenai peralihan risiko dalam
perjanjian sepihak, pada dasarnya mereka memiliki pandangan yang sama bahwa:
Perikatan sepihak adalah perikatan yang prestasinya hanya ada pada salah satu
pihak. Menurut Pasal 1245 KUHPerdata risiko dalam perjanjian sepihak
ditanggung oleh kreditur atau dengan kata lain, debitur tidak wajib memenuhi
prestasinya. Penerapan ketentuan ini pada perikatan untuk barang tertentu, oleh
Abdulkadir Muhammad dan Salim H.S menyatakan risiko dalam keadaan
memaksa hanya dapat ditemukan dalam satu pasal yaitu Pasal 1237 KUH Perdata,
yang mengatur siapa yang menanggung risiko dari keadaan overmacht. Dikatakan
oleh Abdulkadir Muhammad, menurut Pasal 1237 KUH Perdata, dalam perikatan
untuk memberikan sesuatu tertentu, kebendaan itu sejak perikatan dilahirkan
adalah tanggungan si berpiutang. Jika si berutang lalai akan menyerahkannya,
sejak kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungan si berutang. Jadi, dalam
perjanjian sepihak krediturlah yang harus menanggung segala risiko yang terjadi
karenanya.252
Selanjutnya Salim H.S mengemukakan dengan memberikan contoh untuk
perjanjian sepihak, berdasar pada ketentuan Pasal 1237 KUHPerdata yang
menanggung risiko atas musnahnya tanah yaitu penerima tanah.253
Oleh
252
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal.33. 253
Salim HS II, op.cit, hal.103.
153
R.Setiawan dan Mariam Darus Badrulzman, ketentuan Pasal 1237 KUH Perdata
tersebut diperluas lagi dalam suatu ketentuan lain, yaitu dalam Pasal 1444 KUH
Perdata. Dikatakan oleh R.Setiawan, Menurut Pasal 1237 dan Pasal 1444 KUH
Perdata, debitur diwajibkan membayar ganti rugi jika bendanya musnah setelah
debitur lalai untuk menyerahkan barangnya. Pasal 1444 KUHPerdata tersebut
masih memberikan perlunakan, yaitu debitur sekalipun lalai, masih dapat
dibebaskan dari kewajiban berprestasi jika ia dapat membuktikan bahwa
barangnya tetap akan musnah, sekalipun ia menyerahkan tepat pada waktunya.
Selanjutnya Pasal 1445 KUHPerdata menentukan bahwa apa yang diperoleh
debitur sebagai penggantian daripada barang yang musnah harus diserahkan
kepada kreditur (asuransi), jadi risiko ada pada kreditur.254
Dikatakan pula oleh
Mariam Darus Badrulzaman, dari asas yang terkandung di dalam Pasal 1237 dan
Pasal 1444 KUH Perdata, dapat diketahui bahwa dalam perikatan sepihak apabila
terjadi ingkar janji karena force majeure (di luar kesalahan debitur), risiko ada
pada kreditur.255
2. Perjanjian Timbal-Balik
Subekti, Abdul Kadir Muhammad, Mariam Darus Badrulzaman, Salim H.S,
Yahya Harahap memberikan pandangan ajaran resicoleer terhadap perjanjian
timbal-balik, dikatakan bahwa dalam bagian umum dari KUH Perdata tidak diatur
tentang risiko dalam perjanjian timbal balik, pasal-pasal yang mengatur risiko
harus dicari dalam bagian khusus yaitu Pasal 1460 tentang jual-beli barang
254
R.Setiawan, op.cit, hal.32. 255
Mariam Darus Badrulzaman, et.al, op.cit, hal.29-30.
154
tertentu, Pasal 1545 tentang perjanjian tukar-menukar dan Pasal 1553 tentang
perjanjian sewa-menyewa.256
A. Risiko dalam Jual Beli
Mengenai risiko dalam jual-beli ini, Subekti Salim H.S dan Yahya Harahap
mengemukakan pendapatnya dalam KUHPerdata ada tiga peraturan yang
mengaturnya, yaitu:
a. Mengenai barang tertentu (Pasal 1460);
b. Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (Pasal
1461);
c. Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (Pasal 1462)257
.
B. Risiko dalam Tukar menukar
Mengenai Risiko tentang Tukar Menukar, menurut Yahya Harahap dan
Mariam Darus Badrulzaman bahwa Pasal 1545 KUHPer mengatur persetujuan
tukar-menukar atas barang tertentu. Jika salah satu objek tukar-menukar tadi
terdiri dari barang tertentu, dan sebelum diserahkan kepada pihak lain barang
tertentu tersebut hilang atau musnah maka akibat suatu sebab di luar kesalahan si
pemilik, yaitu dianggap gugur dan pihak yang telah menyerahkan barang dapat
256
Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa risiko dalam perjanjian timbal-balik ditemukan dalam asas kepatutan (billijkheid), yang dituangkan di dalam ketentuan-ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata. Menurut kepatutan dalam perjanjian timbal balik, risiko ditanggung oleh mereka yang tidak melakukan prestasi (Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.30). Oleh R.Setiawan dengan mengutip pendapatnya Pitlo bahwa menurut kepantasan, jika debitur tidak lagi berkewajiban maka pihak lainnya pun bebas dari kewajibannya dan pendapat Pitlo tersebut didukung pula oleh ketentuan pasal 1246, 1545, dan 1563 KUHPedata. (Pitlo dalam R.Setiawan,loc.cit)
257Subekti II, op.cit, hal.26-hal 27 dan Yahya Harahap,op.cit, hal.184-185.
155
menuntut pengembalian barang yang telah sempat diserahkannya. Menurut pasal
ini, dalam hal terjadi keadaan memaksa, risiko ada pada masing-masing pemilik
barang yang dipertukarkan. dalam Pasal 1545 dengan tegas dinyatakan
perjanjiannya gugur, karena itu dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah
tidak ada perjanjian.258
C. Risiko dalam Sewa Menyewa
Mengenai Risiko tentang Sewa Menyewa, Salim H.S dan Yahya Harahap
mengemukakan bahwa risiko dalam sewa-menyewa ditemukan dalam Pasal 1553
KUHPerdata, mengenai kemungkinan musnahnya barang yang disewa, sebagai
akibat suatu kejadian yang tiba-tiba tidak dapat dielakkan dalam perjanjian sewa-
menyewa apabila barang yang menjadi objek sewa itu hancur atau musnah, yang
bukan disebabkan oleh pihak penyewa. Musnah atas barang objek sewa dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a. Musnahnya seluruh barang Menurut Salim H.S Jika barang yang disewakan oleh penyewa itu
musnah secara keseluruhan di luar kesalahannya/disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak disengaja pada masa sewa,dengan sendirinya menurut hukum perjanjian sewa-menyewa gugur (gugur demi hukum). Namun Yahya Harahap menyatakan tidak perlu diminta pernyataan batal (nietig verklaring) dan risiko kerugian dibagi dua antara pihak yang menyewakan dengan pihak si penyewa.
b. Jika barang yang disewakan hanya sebagian yang musnah
Berkenaan dengan barang yang disewakan hanya sebagian yang musnah
Yahya Harahap dan Salim HS, memiliki pemikiran yang sama bahwa si
258
Abdulkadir Muhammad menganggap bahwa Pasal 1545 KUHPerdata dipandang sebagai pasal yang dapat diberlakukan secara umum karena dirasakan lebih adil dan lebih sesuai dengan selera masyarakat yang mempertahankan hak-haknya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari R. Subekti, namun di pihak lain, beliau mempermasalahkan istilah "gugur" dalam Pasal 1545 kurang tepat dilihat dari segi konsekuensi hukumnya, tidak terpenuhinya tujuan perikatan karena keadaan memaksa yang mengakibatkan pihak yang satu tidak dapat menuntut kepada pihak yang lainnya. (Lihat diantaranya Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal.35, Subekti II, op.cit, hal.37).
156
penyewa dapat memilih meminta pengurangan harga sewa sebanding
dengan, bagian yang musnah atau menuntut pembatalan perjanjian sewa.
Pada dasarnya, pihak penyewa dapat menuntut kedua hal itu, namun ia
tidak dapat menuntut pembayaran ganti rugi kepada pihak yang
menyewakan.259
Bertolak dari uraian diatas maka dapat dipahami bahwa mengenai akibat
overmacht, dewasa ini mengalami perkembangan yang semakin kompleks
meskipun tidak secara menyeluruh. Pada dasarnya, dari berbagai doktrin yang
telah dikemukakan, berpedoman pada ketentuan dalam KUH Perdata, sehingga
dapat disimpulkan bahwa akibat-akibat overmacht yaitu:
(1). Ditinjau dari aspek perjanjian: Dari pasal-pasal tersebut secara garis besar
mengenai akibat overmacht terhadap perikatan dapat dibedakan menjadi
overmacht objektif/absolut/tetap yang berakibat pada perikatan gugur,
pemenuhan prestasi tidak mungkin dapat dilakukan lagi dan overmacht
subjektif/relatif/sementara yang berakibat perikatan tidak berhenti hanya
pemenuhan prestasi tertunda. Hal ini berakibat pihak lawan tidak dapat
meminta pemenuhan prestasi dan tidak perlu meminta pemutusan perjanjian,
tetapi jika kesulitan itu tidak ada lagi maka pemenuhan prestasi harus
diteruskan.
(2). Ditinjau dari aspek risiko: debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
untuk membayar biaya, ganti rugi maupun bunga yang timbul dari overmacht.
Akan tetapi jika debitur mempunyai tuntutan hak atau ganti rugi atas barang
tersebut maka hak atau ganti rugi itu beralih kepada si berpiutang.
259
Lihat diantaranya, Salim H.S II, op.cit, hal.62, Yahya Harahap, op.cit, hal.234-235.
157
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas, agar debitur tidak
bersalah terhadap segala kerugian yang ditimbulkan akibat dari overmacht, maka
ia harus mampu membuktikan bahwa dirinya sedang berada dalam
ketidakmungkinan (onmogelijkheid) dan adanya unsur ketidaksalahan (tidak ada
schuld) dan hal tersebut dapat dicermati terhadap beberapa teori untuk membahas
risiko tanggung gugat terjadi overmacht, dan para ahli telah memberikan
argumentasinya masing-masing. Teori Overmacht Objektif, J.F. Houwing dengan
Teori Usahanya (Inspanningsleer) dan Teori Risiko dari J.LL Wery, menimbulkan
bahaya atau teori ambil-alih risiko (Gevaarzetting Theorie), bahwa di sini debitor
telah mengambil risiko untuk pemenuhan prestasi tersebut. Selain risiko tanggung
gugat tersebut, Agus Yudha Hernoko juga mengembangkan teori overmacht yang
disebut dengan keadaan sulit melaksanakan kontrak (selanjutnya disebut
hardship), di mana hardship ini lebih condong ke arah overmacht yang bersifat
relatif/sementara karena renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak
kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak. Dalam
hal terjadinya hardship, Pasal 6.2.3. UPICC260
memperhatikan penyelesaian
sebagai berikut:
a). Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta dilakukannya
renegosiasi kontrak kepada pihak lain. Permintaan tersebut harus
diajukan segera dengan menunjukkan dasar hukum permintaan
renegosiasi tersebut.
b). Permintaan untuk dilakukannya renegosiasi tidak dengan sendirinya
memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan
pelaksanaan kontrak.
260
UNIDROIT (International Institute for the Unification of Private Law)
mengeluarkan prinsip PICC (Principles of International Commercial Contracts)
sehingga dinamakan UPICC Principles.
158
c). Apabila negosiasi gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, maka para pihak dapat mengajukannya ke pengadilan
d). Jika pengadilan dapat membuktikan adanya hardship maka membawa akibat hukum bahwa kontrak tersebut diakhiri pada tanggal dan waktu yang pasti atau mengubah kontrak dengan mengembalikan keseimbangannya.
261
Berdasarkan penjelasan sebagaimana telah diuraikan di atas maka dapat
ditarik suatu simpulan bahwa akibat overmacht, baik terhadap perikatan maupun
menyangkut risiko mengalami perkembangan pemikiran, akibat overmacht tidak
hanya mendasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku seperti pasal-pasal dalam
KUH Perdata, tetapi memunculkan pula teori-teori yang baru seperti halnya
Inspanningsleer Theorie yang dikemukakan oleh J.F. Houwing, dan akibat hukum
dari hardship sebagaimana dapat ditemukan dalam bukunya Agus Yudha
Hernoko, bila overmacht terjadi, perjanjian tidak otomatis hapus tetapi dibuka
adanya renegosiasi diantara para pihak dalam perjanjian. Hal ini merupakan suatu
ajaran baru yang belum pernah secara khusus dibahas oleh doktrin terdahulu.
(garis bawah oleh penulis).
3.4.2.Akibat Overmacht berdasarkan Yurisprudensi
1. Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958
Debitur terbebas dari kewajiban untuk memenuhi perjanjian
2. Putusan MA RI No. Reg.15 K/Sip/1957
Debitur tidak dapat dihukum membayar cicilan apabila dapat
membuktikan bahwa terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari
261
Pasal 6.2.3 UPICC dalam Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.284-285.
Mencermati akibat hukum hardship tersebut, pada dasarnya memberi akibat
bahwa pihak yang dirugikan dapat mengajukan permintaan renegosiasi.Tujuan
dari renegosiasi ini, agar diperoleh pertukaran hak dan kewajiban yang wajar
dalam pelaksanaan kontrak karena terjadi peristiwa yang fundamental
mempengaruhi keseimbangan kontrak.
159
keadaan yang selayaknya ia tidak bertanggung gugat. Hanya saja dalam
putusan ini disebutkan bahwa risiko yang termasuk dalam overmacht
harus dimasukkan dalam klausul perjanjian.
3. Putusan MA RI No. Reg. 558 K/Sip/1957
Debitur dibebaskan dari kewajiban menanggung risiko apabila dapat
membuktikan dalil overmacht terjadi diluar kesalahan baik itu kesengajaan
atau kelalaian.
4. Putusan MA RI No.3389 K/Pdt/1984 dan Putusan MA RI No.409
K/Sip/1983.
Kepada debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban ataupun
penggantian kerugian.262
3.4.3.Akibat Hukum Overmacht Menurut Peraturan Perundang-undangan
dan Kontrak-Kontrak Lainnya
Pengaturan akibat terjadinya overmacht dalam peraturan perundang-
undangan dan kontrak yaitu ,terhadap perjanjian itu sendiri; apakah dihentikan,
dihentikan sementara waktu atau tetap dilanjutkan; dan juga terhadap pihak mana
yang akan menanggung risiko. Berikut akan diuraikan beberapa akibat terjadinya
overmacht yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan dan dalam kontrak,
diantaranya:
1. Ketentuan Pengadaan Barang dan Jasa, terjadinya overmacht
mengakibatkan:
- Keterlambatan pelaksanaan pekerjaan yang diakibatkan terjadinya
keadaan kahar tidak dapat dikenakan sanksi;
- Pihak yang menanggung kerugian akibat terjadinya keadaan kahar
diserahkan kepada kesepakatan para pihak.
262
Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.121-127.
160
2. Ketentuan Pertambangan Mineral dan Batu Bara, terjadinya overmacht mengakibatkan penghentian sementara pada perjanjian.
3. Kontrak-kontrak terkait dengan minyak bumi dan gas (oil and gas contract) a. AIPN Model Production Sharing Contract Terjadinya overmacht, mengakibatkan:
- Penambahan jangka waktu kontak yang lamanya sama dengan jangka waktu berhentinya kontrak yang disebabkan oleh overmacht tersebut;
- Tiap peristiwa yang disebabkan oleh overmacht tidak dapat dianggap sebagai wanprestasi.
b. AIPN Model International Operating Agreement Terjadinya overmacht, antara lain mengakibatkan:
- Kontrak ditunda selama pihak yang terkena overmacht tidak dapat atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya, namun penundaan tersebut tidak boleh melebihi jangka waktu masa berlakunya kontrak.
c. AIPN Model Contract Gas Sales Agreement Terjadinya overmacht mengakibatkan:
- Penambahan jangka waktu kontrak yang lamanya sama dengan jangka waktu berhentinya kontrak yang disebabkan oleh overmacht tersebut.
d. AIPN Model Contract Gas Transportation Agreement Terjadinya overmacht mengakibatkan:
- Penambahan jangka waktu kontrak yang lamanya sama dengan jangka waktu berhentinya kontrak yang disebabkan oleh overmacht tersebut.
4. Ketentuan Perbankan, perjanjian pada hakikatnya tidak dapat dibatalkan kecuali tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan penggunaan ketentuan pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata sebagai alasan untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar kredit haruslah dipertegas, dalam artian keadaan memaksa seperti apa yang memenuhi pasal tersebut.
5. Kontrak karya, terjadinya overmacht antara lain mengakibatkan: - Terjadinya overmacht tidak akan dianggap sebagai pelanggaran
kontrak atau kelalaian; - Penambahan masa berlakunya kontrak sebanyak masa waktu
berlangsungnya overmacht. 6. Perjanjian Sewa-menyewa Rumah
Terjadinya overmacht mengakibatkan: - Segala kerugian yang ditimbulkan menjadi beban dan tanggung
jawab masing-masing pihak; - Tidak disebutkan akibatnya terhadap perjanjian apakah dihentikan
atau dilanjutkan.263
263
Rahmat S.S. Soemadipradja,op.cit, hal 90-93.
161
Dari akibat hukum overmacht diatas, maka penulis dapat uraikan lebih lanjut
kedalam bagan berikut ini:
Bagan 3.4 : Akibat Hukum Overmacht
Sumber : KUHPerdata, Rahmat S.S. Soemadipradja yang penulis
modifikasi dalam bentuk bagan. (Cetak tebal dan garis bawah oleh penulis)
AKIBAT HUKUM OVERMACHT
Buku III KUHPerdata dan Doktrin
Yurisprudensi
Peraturan Perundang-undangan dan Kontrak-
kontrak lainnya 1. Ditinjau dari aspek
perjanjian: Dari pasal-pasal tersebut secara garis besar mengenai akibat overmacht terhadap perikatan dapat dibedakan menjadi overmacht objektif/absolut/ tetap yang berakibat pada perikatan gugur, pemenuhan prestasi tidak mungkin dapat dilakukan lagi dan overmacht subjektif/relatif/ sementara yang berakibat perikatan tidak berhenti hanya pemenuhan prestasi tertunda. Hal ini berakibat pihak lawan tidak dapat meminta pemenuhan prestasi dan tidak perlu meminta pemutusan perjanjian, tetapi jika kesulitan itu tidak ada lagi maka pemenuhan prestasi harus diteruskan. (garis bawah oleh penulis)
2. Ditinjau dari aspek risiko: debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaba
1. Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958 - Debitur terbebas
dari kewajiban untuk memenuhi perjanjian
2. Putusan MA RI No. Reg.15 K/Sip/1957 - Debitur tidak dapat
dihukum memenuhi prestasi apabila dapat membuktikan bahwa terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari keadaan yang selayaknya ia tidak bertanggung gugat. Hanya saja dalam putusan ini disebutkan bahwa risiko yang termasuk dalam overmacht harus dimasukkan dalam klausul perjanjian.
3. Putusan MA RI No. Reg. 558 K/Sip/1957 Debitur dibebaskan dari kewajiban menanggung risiko apabila dapat membuktikan dalil overmacht terjadi diluar kesalahan baik itu kesengajaan atau
1. Terkait dengan adanya kerugian yang disebabkan oleh overmacht, pengaturan siapa yang harus menanggung risiko kerugian tidak sama pada setiap perjanjian, diantaranya: a. kerugian yang
disebabkan oleh overmacht akan ditanggung masing-masing oleh para pihak dan para pihak tidak dapat menuntut ganti rugi apapun terhadap pihak lainnya, misalnya dalam perjanjian sewa-menyewa rumah, Kontrak Pemborongan Jalan Tol dan Kontrak karya.
b. Penyelesaian atas kerugian diserahkan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan diantara para pihak, misalnya dalam Ketentuan Pengadaan barang dan jasa.
2. Terkait dengan keberlanjutan kontrak sehubungan dengan overmacht pengaturannya pun tidak sama pada setiap perjanjian, diantaranya:
162
n untuk membayar biaya, ganti rugi maupun bunga yang timbul dari overmacht. Akan tetapi jika debitur mempunyai tuntutan hak atau ganti rugi atas barang tersebut maka hak atau ganti rugi itu beralih kepada si berpiutang.
kelalaian. 4. Putusan MA RI
No.3389 K/Pdt/1984 dan Putusan MA RI No.409 K/Sip/1983. Kepada debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban ataupun penggantian kerugian
a. diserahkan kepada kesepakatan para pihak, artinya tidak disebutkan secara tegas dalam kontrak apakah dihentikan, dihentikan sementara (ditunda) atau dilanjutkan, misalnya dalam Kontrak Pemborongan Jalan Tol, Kontrak kerjasama berdasarkan sistem kontrak karya terkait Eksploitasi Hutan
b. kontrak tetap dilanjutkan setelah overmacht dengan penambahan masa berlaku kontrak selama waktu kontrak berhenti yang disebabkan oleh overmacht tersebut, misalnya dalam Kontrak Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan kontrak-kontrak terkait dengan minyak bumi dan gas (AIPN Model Production Sharing Contract, AIPN Model International Operating Agreement, AIPN Model Contract Gas Sales Agreement dan AIPN Model Contract Gas Transportation Agreement)
3.4.4 Akibat Overmacht dari Segi Pertanggungjawaban Developer kepada
Konsumen berdasarkan Aspek Hukum Perlindungan Konsumen.
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting
perlu diperhatikan, karena mempersoalkan kepentingan konsumen harus disertai
pula analisis mengenai siapa yang semestinya dibebani tanggungjawab dan
163
sampai batas mana pertanggungjawaban itu dibebankan padanya. Beberapa
sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian
standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-
pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak
konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut:
(1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault).
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau
liability based on fault), tanpa adanya unsur kesalahan dalam diri pihak pelaku,
maka gugatan korban atas sejumlah ganti rugi tidak akan dipenuhi. Secara
common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi
orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban.
(2) Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability)
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak
bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Jika diterapkan dalam
kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori
ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak
pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti,
dirinya tidak bersalah.264
(3) Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability),
264
Sidharta, op.cit, hal.75-76.
164
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip presemption of liability. Prinsip
praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability
principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas,
dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.265
(4) Prinsip Tanggung jawab mutlak (strict liability),
Prinsip strict liability diterjemahkan secara bervariasi, seperti tanggungjawab
seketika, tanggungjawab mutlak, tanggungjawab absolut, dan ada juga yang
menyebutnya dengan tanggungjawab ketat, yang kesemuanya menunjuk kepada
pertanggungjawaban segera dari pelaku saat peristiwa terjadi tanpa
mempersoalkan adanya unsur kesalahan.
Strict Liability dalam Pasal 19 UUPK, maka dapat dikatakan bahwa UUPK
menganut prinsip strict liability. Prinsip strict liability ini menguntungkan para
pelaku usaha karena mencantumkan klausul eksonerasi dalam perjanjian standar
yang dibuatnya. Dalam kaitan masalah ini, menarik untuk mengkaji prinsip yang
dikandung dalam Pasal 19 UUPK, khususnya yang disebut pertama hingga ketiga
jika dihubungkan dengan Pasal 28 dari UUPK yang menentukan sistem
pembuktian yang tidak berdasarkan kesalahan. Supaya lebih jelas dipahami,
rumusan Pasal 28 UUPK perlu dibaca secara seksama: “Pembuktian terhadap ada
tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK merupakan beban dan tanggung jawab
pelaku usaha.Dengan prinsip ini, tergugat harus bertanggungjawab atas kerugian
yang diderita konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada
265
Sidharta, op.cit, hal.77.
165
dirinya. Prinsip ini menentukan pula untuk membebaskan tanggungjawab si
pelaku jika ternyata ada force majuore, seperti karena disebabkan bencana alam,
peperangan dan lainnya.
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara
umum digunakan untuk "menjerat" pelaku usaha, khususnya produsen barang,
yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab
itu dikenal dengan nama product liability. Tanggung jawab produk (product
liability) diartikan sebagai tanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh
pemakaian atau penggunaan suatu produk266
atau yang berkaitan dengan barang-
barang konsumsi. Tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau
berdasarkan undang-undang (gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum),
namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada tortious liability.
Pelaku usaha dapat diloloskan dari tanggungjawab sebagaimana disebutkan
Jean-Michel Fobe dalam tulisannya "Aviation Products Liability and Insurance",
dalam hal:
1. Produsen belum atau tidak mengedarkan produknya.
2. Kerusakan yang menimbulkan kerugian konsumen tidak pada saat
produk diedarkan oleh pelaku usaha, atau Cacat tersebut baru timbul
kemudian.
3. Produk tersebut dibuat bukan untuk dijual atau dibiarkan untuk tujuan
ekonomis maupun dalam rangka bisnis.
266
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun, dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen (product liability), produk bukan hanya berupa tangible goods. Termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tetapi juga termasuk komponen suku cadang. (Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Mulia, Bogor, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), hal.64).
166
4. Adanya cacat produk tersebut sebagai akibat memenuhi kewajiban
yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
5. Secara ilmiah dan teknis (state of secientific and technical knowledge,
state of art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin
terjadi cacat.
6. Dalam hal pelaku usaha suatu komponen, cacat tersebut disebabkan
oleh desain produk itu sendiri, dimana komponen telah dicocokkan atau
disebabkan oleh kealahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak
pelaku usaha dari produk tersebut.
7. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut
menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence).
8. Kerugian terjadi sebagai akibat bencana alam atau keadaan memaksa
(Acts of God atau force majored). 267
(5) Prinsip Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle)
sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula
eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.268
Bagan 3.5. Penerapan Overmacht dalam Prinsip Pertanggungjawaban Pelaku
Usaha (Developer) kepada Konsumen (Pemilik Satuan Rumah Susun).
PENERAPAN OVERMACHT DALAM PRINSIP
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA (DEVELOPER)
KEPADA KONSUMEN (PEMILIK SATUAN RUMAH SUSUN)
Jenis Overmacht Prinsip Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Kepada Konsumen dalam UUPK
1). Overmacht absolute/
mutlak/obyektif
Prinsip Strict Liability
Prinsip Limitation of Liability
2). Overmacht relative/
subyektif/Sementara
Prinsip Product Liability
Prinsip Liability Based on Fault
Prinsip Contractual Liability
267
Jean-Michel Fobe dalam Adrian Sutedi II, ibid, hal.69-70. 268
Shidarta, op.cit, hal.79-80, N.H.T Siahaan op.cit, hal.158.
167
Dari paparan diatas maka penulis dapat menyimpulkan akibat hukum klausul pertelaan dalam hal terjadinya overmacht kedalam
bentuk bagan berikut ini:
168
Bagan 3.6 : Akibat Hukum Kalusul Pertelaan dalam hal terjadinya Overmacht terhadap HMSRS
Sumber: Rahmat S.S. Soemadipradja, Yahya Harahap, Munir Fuady II , Shidarta, Adrian Sutedi II, N.H.T Siahaan dan
Munir Fuady III, Andre Ata Ujan dan Agus Yudha Hernoko yang penulis simpulkan dan rangkum menjadi satu dalam
bentuk bagan. (Cetak tebal dan garis bawah oleh penulis
AKIBAT HUKUM KLAUSUL PERTELAAN DALAM HAL TERJADINYA OVERMACHT TERHADAP HMSRS
Jenis-jenis Overmacht Akibat Hukum Unsur-unsur yang harus
dibuktikan Penyelesaiannya dan Penerapannya terhadap
Teori, Konsep dan Asas Hukum yang relevan 1). Overmacht
Absolut/ Mutlak/ Obyektif
Perjanjian dinyatakan Batal demi Hukum (Null and void;Nietig) Dari semula dianggap tidak pernah ada perikatan, sehingga mengakibatkan: Debitur tidak perlu
membayar ganti rugi (schadevergoeding)
Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi tetapi sekaligus demi hukum terbebas dari kewajibannya menyerahkan kontraprestasi.
Kontrak tidak dapat dilaksanakan secara keseluruhan.
1). Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang berprestasi yaitu kehilangan objek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan.
2). Tidak terpenuhinya perjanjian bukan karena kelalaian atau kesalahan debitur
Teori Overmacht Obyektif
Prinsip Strict Liability
Prinsip Product
Liability Prinsip Limitation
of Liability
Untuk mewujudkan keadilan berbasis kontrak bagi para pihak serta mendapatkan imbangan berdasar asas proporsionalitas (teori keadilan berbasis kontrak). Menurut Rawls, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual, konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang.
169
2). Overmacht Relatif/ Sementara/ Subyektif/
Tidak serta merta demi hukum mengakibatkan perikatan tersebut hapus hanya menunda pelaksanaan pemenuhan prestasi dan bila keadaan overmacht tersebut telah hilang maka kreditur dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi.
Adanya Unsur Kesalahan/kelalaian dari pihak developer/pemilik satuan rumah susun 1. Pihak Developer
- Apakah sudah memenuhi persyaratan teknis dalam pembangunan rumah susun, dalam artian apakah ada cacat tersembunyi oleh sebab bahan yang digunakan oleh developer tidak sesuai dengan standar kelayakan yang berlaku. Persyaratan teknis tersebut berlaku terhadap:
- Tata bangunan berupa intentitas, arsitektur dan keandalan bangunan (Pasal 35 huruf a dan b UU Rumah Susun jo Pasal 12-14 PP Rumah Susun),berkenaan dengan struktur, komponen dan bahan bangunan harus memenuhi persyaratan konstruksi dan standar yang berlaku serta harus memperhitungkan kuat dan tahannya bangunan terhadap Gempa, hujan,angin, banjir dan kebakaran. Ketahanan tata bangunan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan standar perbandingan yang
Teori Overmacht Subjektif
Teori Risiko Teori Hardship
Prinsip Liability
Based on Fault Prinsip
Contractual Liability
170
tepat meliputi kepadatan bangunan, Koefisien Dasar Bangunan dan Koefisien Lantai Bangunan.
2.Calon Konsumen ataupun Konsumen (Pemilik Unit Satuan Rumah Susun), apabila terbukti:
- Merusak atau mengubah prasarana, sarana dan utilitas umum yang ada di lingkungan rumah susun.
- Mengalihfungsikan prasarana, sarana dan utilitas umum yang ada serta benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama dalam pembangunan atau pengelolaan rumah susun
- Mengubah peruntukan lokasi rumah susun yang telah ditetapkan.
171
BAB IV
KRITERIA OVERMACHT TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN
RUMAH SUSUN
4.1. Konvergensi Penjabaran dan Penerapan Sistem Hukum Benda dan
Hukum Perikatan
Konvergensi yaitu suatu keadaan terhadap dua hal menuju pada satu titik
pertemuan.269
Mengkaji permasalahan pada penulisan ini yaitu menyatukan
Hukum Benda dan Hukum Perikatan dalam kepemilikan HMSRS, tanpa harus
melepas peran dan daya kerja dari masing-masing sitem hukum tersebut. Dalam
hal ini Hukum Benda berkaitan dengan obyek kepemilikan HMSRS sedangkan
Hukum Perikatan berkaitan dengan perikatan yang terjadi berdasar kesepakatan
diantara para pihak sehingga menimbulkan hak dan kewajiban baik terhadap
pihak developer maupun pihak pemilik unit satuan rumah susun.
4.1.1. Sistem Hukum Benda dalam Kajian Obyek Kebendaan HMSRS
Benda mempunyai suatu sistem tertutup, artinya macam-macam hak atas
benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda
itu bersifat memaksa. Hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht) ialah
hukum yang dalam keadaan konkret harus ditaati yang dalam keadaan
bagaimanapun juga tidak dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh
kedua belah pihak dengan perkataan lain, hukum ini mempunyai kekuasaan
mutlak (absolut).270
269
Hasan Alwi, dkk (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa), 2005, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, Balai
Pustaka, Jakarta, hal.592. 270
Apeldoorn , op.cit, hal 192.
172
Dalam hal ini Utrecht tidak sependapat Hukum memaksa sebagaimana
dikemukakan oleh Apeldoorn diatas. Menurut Utrecht, peraturan hukum
dikatakan bersifat memaksa:
Bilamana dikatakan peraturan hukum yang dimaksud ialah suatu peraturan hukum yang tidak dapat dikesampingkan oleh peraturan apapun juga. Peraturan hukum tersebut mempunyai paksaan mutlak (absolut), dengan perkataan lain hukum yang memaksa ini tidak memperkenankan adanya penyimpangan. Suatu penyimpangan dari hukum memaksa ini menimbulkan adanya akibat bahwa perbuatan itu tidak sah dapat dinyatrakan batal atau malahan batal demi hukum.
271
Hak kebendaan adalah kekuasaan yang absolut oleh hukum diberikan
kepada subyek hukum supaya dengan langsung menguasai benda didalam tangan
siapapun benda itu berada. Hak kebendaan itu adalah absolut karena hukum.
Semua subyek hukum lain wajib menghormati hak milik orang yang memilikinya.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa SRSmerupakan bangunan
gedung bertingkat yang memenuhi persyaratan tertentu bagian dari gedung
tersebut dalam bentuk unit apartement dan HMSRS ini merupakan lembaga
kebendaan baru yang meliputi hak untuk memiliki SRS secara terpisah dan berdiri
sendiri berikut hak atas bagian bersama, tanah dan bagian yang merupakan satu
kesatuan dari SRS yang bersangkutan. Hak Mutlak yang diberikan terhadap
pemilikan SRS tersebut, dengan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Jangka waktu HMSRS sesuai dengan jangka waktu tanah hak bersama
dimana rumah susun didirikan;
2. Turun–temurun, apabila pemiliknya meninggal dunia HMSRS beralih
kepada ahli warisnya karena hukum;
3. HMSRS dapat dijadikan jaminan pelunasan utang dengan dibebani
hak tanggungan;
4. HMSRS dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui perbuatan
hukum pemindahan hak;
271
Utrecht dalam Apeldoorn, op.cit, hal.194.
173
5. Batas-batas kepemilikan HMSRS ditetapkan secara pasti dalam
sertipikatnya.272
4.1.2. Sistem Hukum Perikatan dalam kaitan Kepemilikan Satuan Rumah
Susun
Subekti mengatakan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa
saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari
Hukum Perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional
law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki
oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal Hukum Perjanjian.
Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-
perjanjian yang mereka adakan itu. Kalau mereka tidak mengatur sendiri, maka
akan tunduk kepada undang-undang. Lebih lanjut, dikatakan oleh Subekti bahwa
memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu, karena benar-benar pasal-pasal
dari Hukum Perjanjian itu dapat dikatakan melengkapi perjanjian-perjanjian yang
dibuat secara tidak lengkap dan biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian
tidak mengatur secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan
perjanjian itu, para pihak hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja, dengan tidak
memikirkan soal-soal lainnya. 273
Senada dengan pendapat Subekti, Apeldoorn juga mengenukakan Hukum
yang bersifat mengatur adalah hukum yang dalam keadaan konkret dapat
dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Jadi
272
Otom Mustomi dan Mimim Mintarsih, loc.cit 273
Subekti II, op.cit, hal.13-14.
174
pelaksanaannya oleh yang berkepentingan dapat dijalankan dengan menyimpang
dar isinya melalui tindakan hukum (perjanjian). Dengan lain perkataan, apabila
kedua belah pihak dapat menyelesaikan masalah mereka dengan membuat sendiri
suatu peraturan maka peraturan hukum yang tercantum dalam paal yang
bersangkutan tidak perlu dijalankan.274
Kembali kepada istilah hukum mengatur
yang dikemukakan oleh Apeldoorn, Utrecht mengemukakan bahwa “Bilamana
dikatakan peraturan hukum mengatur maka yang dimaksud disini ialah suatu
peraturan hukum yang tujuannya tidak lain daripada memberikan pedoman saja.
Apabila para pihak lebih suka memilih peraturan laion, maka mereka dapat
menjalankan kehendaknya”.275
Dari paparan sebagaimana diungkap sebelumnya, nampak perbedaan
hukum benda yang memiliki sifat dwingen recht dan hukum perikatan yang
bersifat aanvulendrecht, diantaranya: Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata
ialah bersifat perseorangan (persoonlijk karakter), tidak bersifat perbendaan (geen
zakelijk karakter). Sifat perbedaan ini ditemukan pada hak-hak yang diatur dalam
Buku II KUHPerdata dengan tittle Van Zaken sedang Hukum Perjanjian termuat
sebagian besar dalam Buku III KUHPerdata dengan tittle Van Verbintenissen.
Untuk menegaskan lagi sifat perbendaan (zakelijk karakter) ini berarti bahwa
tetap ada hubungan langsung antara seorang dan benda, bagaimanapun juga ada
campur tangan dari orang lain, sedang sifat perseorangan (persoonlijk karakter)
dari Hukum Perjanjian ialah berarti bahwa tetap ada hubungan antara orang dan
274
Apeldoorn, op.cit, hal.193. 275
Utrecht dalam Apeldoorn, op.cit, hal.195.
175
orang meskipun ada terlihat suatu benda didalam perhubungan hukum itu. Dalam
hal adanya gangguan dari pihak ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan
haknya terhadap siapapun juga adalah sifat lain dari hak benda yaitu bersifat
mutlak (absolut) sedang hukum perjanjian seorang berhak atau dapat dikatakan
mempunyai hak relatif, yaitu hanya dapat melaksanakan haknya terhadap seorang
tertentu yakni pihak lain yang turut membuat perjanjian tersebut.
Pemberlakuan perbedaan tersebut nampak begitu jelas dalam kepemilikan
HMSRS, disatu sisi hukum benda menguasai kepemilikan HMSRS, karena
HMSRS tersebut berkenaan dengan jenis penggolongaan kebendaan yang
merupakan jenis kebendaan baru yaitu benda tetap berwujud yang terdaftar
sehingga pengaruh hukum benda sangat krusial dalam penanganan overmacht
terhadap HMSRS, disisi lain Hukum Perikatan juga berperan penting dalam
kepemilikan HMSRS karena adanya hubungan hak dan kewajiban terhadap para
pihak dalam mengadakan pengikatan terlebih-lebih dalam klausula pertelaan dan
PPJB HMSRS, dicantumkan apa yang menjadi hak dan kewajiban pemilik satuan
rumah susun dan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari developer. Memang
para pihak bebas dalam mengadakan perjanjian tidak terlepas dari kesepakatan
para pihak dan kembali lagi hal tersebut tidak bertentangan dengan Undang-
undang, kepatutan, ketertiban umum dan kesusilaan. Alih-alih inilah yang menjadi
dasar pemikiran penulis untuk mencermati konvergensi aspek hukum benda dan
hukum perikatan dalam hal terjadinya overmacht, sebatas mana aspek hukum
tersebut berperan penting. Alasan dasar kepatutan ini perlu dijadikan acuan
mengingat dalam perkembangan bisnis terutama dalam kepemilikan HMSRS
memiliki risiko yang amat sangat besar jika terjadinya overmacht. Hal ini
terungkap dari Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995
176
tentang Pedoman Perikatan Jual-Beli Satuan Rumah Susun (“Kepmenpera”) Pasal
3 huruf f yang menyatakan bahwa Jika terjadinya force majeur (keadaan kahar)
yang di luar kemampuan para pihak selama berlangsungnya pembangunan,
developer dan pembeli akan mempertimbangkan penyelesaiannya sebaik-baiknya,
dengan dasar pertimbangan utama adalah dapat diselesaikan pekerjaan
pembangunan unit apartemen. (Garis bawah oleh penulis) bagaimana bentuk
penyelesaian sebaik-baiknya yang dilakukan para pihak jika terjadi overmacht, hal
ini sudah dibahas dalam Bab 3 dari penulisan ini dan hal penting yang perlu
dicermati lebih lanjut adalah kriteria overmacht yang dimaksud dalam perjanjian
rumah susun ini, seperti apa dalam PPJB HMSRS tidak menunjukkan adanya
kejelasan tentang hal tersebut. Disinilah perlu adanya pengkajian secara
mendalam kriteria overmacht yang dimaksud seperti apa, agar nantinya tidak
merugikan salah satu pihak atau bahkan para pihak dalam melaksanakan
pertanggungjawaban atas keadaan overmacht, namun akan memberikan solusi
untuk tercapainya keadilan berbasis kontrak. Secara menyeluruh mungkin penulis
tidak dapat sampaikan dalam bahasan sub bab ini karena memerlukan tinjauan
secara mendalam dan ini semua akan dibahas pada sub bab berikutnya, namun inti
yang bisa penulis sampaikan disini, HMSRS adalah hubungan hukum untuk
memiliki rumah susun yang secara terpisah berdiri sendiri hak bersama, bagian
bersama dan tanah bersama yang tidak terpisah dengan satuan bersangkutan.
Pemilikan SRS dengan HMSRS dikaitkan dengan status tanah dimana rumah
susun tersebut didirikan. Ini berarti bahwa untuk dapat menjadi subjek HMSRS
yaitu mereka yang memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah bersama
bersangkutan. Dalam kaitannya dengan hubungan hukum subjek dengan satuan
rumah susun berikut dengan apa yang dimiliki bersama atas HMSRS untuk
177
menguasai satuan-satuan rumah susun. Hal tersebut diatas akan dijawab dalam
bahasan selanjutnya yang secara spesifik dan signifikan menunjukkan dimana
peran penting dan daya kerja dari masing-masing aspek hukum tersebut.
4.2. Lingkup Kriteria Overmacht.
4.2.1. Kriteria Overmacht dalam Buku III KUHPerdata
Tentu saja sebagai suatu kitab undang-undang yang juga mengatur tentang
hukum kontrak, KUHPerdata mengatur juga mengenai overmacht . Sistem
pengaturan overmacht dalam KUHPerdata adalah sebagai berikut:
A. Pengaturan Overmacht dalam Bagian Pengaturan tentang Ganti Rugi
Ketentuan KUH Perdata yang mengatur mengenai overmacht dalam
hubungan dengan ganti rugi adalah Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata.
Overmacht ini juga diakomodir oleh Pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata yang
mengatur mengenai musnahnya barang yang terutang.
Pasal 1244 KUHPerdata menentukan sebagai berikut:
1. Ada suatu hal yang tidak terduga sebelumnya pada saat perikatan
dilahirkan, yang tidak memungkinkan dilaksanakannya perikatan pada saat
yang telah ditentukan atau yang sama sekali tidak memungkinkan
pelaksanaan dari perikatan tersebut. Persyaratan mengenai hal yang tidak
terduga ini berbeda dengan persyaratan yang disebutkan dalam ketentuan
Pasal 1253 KUHPerdata.
2. Hal yang tidak terduga tersebut adalah suatu peristiwa yang berada di luar
tanggung jawab debitor. Hal ini merupakan hal yang wajar mengingat
bahwa suatu perikatan yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan
pada kehendak debitor adalah batal demi hukum. Perikatan tersebut
dianggap tidak pernah ada sejak awal.
178
3. Debitor tidak memiliki iktikad buruk untuk tidak melaksanakan kewajiban
yang telah dibebankan padanya berdasarkan perikatan yang telah ada di
antara debitor-kreditor.
Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan syarat
bahwa tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga bila terjadi: keadaan
memaksa atau kejadian yang tidak disengaja.Kedua hal tersebut, yaitu adanya
keadaan memaksa atau kejadian yang tidak disengaja merupakan dua hal yang
bersifat alternatif, dengan pengertian bahwa jika salah satu peristiwa terjadi,
debitor dihapuskan dan kewajibannya untuk memberikan penggantian biaya,
kerugian dan bunga, meskipun debitor tidak memenuhi perikatan pada waktu yang
telah ditetapkan.276
Berdasarkan ketentuan Pasal 1244, 1245 KUHPerdata, Pasal 1444 serta
1445 KUHPerdata maka dapat diambil kesimpulan bahwa kriteria overmacht
meliputi:
a. Peristiwa yang tidak terduga;
b. Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;
c. Tidak ada itikad buruk dari debitur;
276
Pasal 1245 KUHPerdata tidak memberikan pengertian lebih lanjut dari
hal-hal yang sebgaimana dimaksud kita melihat pernyataan "keadaan memaksa",
yang dikaitkan dengan pernyataan "kejadian yang tidak disengaja", maka jelas
rumusan tersebut menunjuk pada suatu keadaan yang merupakan kejadian yang
berada di luar kekuasaan manusia, dan bukan hanya berada di luar kekuasaan
debitor sendiri. Dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan peristiwa banjir, gempa
bumi, tanah longsor, ataupun pernyataan atau keputusan pemerintah dalam suatu
bidang tertentu yang berlaku umum, dengan pengertian tidak bersifat individual,
yang seharusnya bersifat objektif, yang secara umum dengan terjadinya peristiwa
tersebut orang tidak mungkin diharapkan dapat memenuhi kewajibannya.( Rahmat
S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.101).
179
d. Keadaan yang tidak disengaja oleh debitur;
e. Keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;
f. Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan;
g. Keadaan di luar kesalahan debitur;
h. Debitur tidak melakukan kelalaian untuk berprestasi (menyerahkan
barang);
i. Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (debitur maupun
pihak lain);
j. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.
B. Pengaturan Overmacht dalam Bagian Pengaturan tentang Risiko Akibat
Overmacht terhadap Kontrak Tertentu.
B.1. Kontrak Sepihak.
Sebagaimana diketahui bahwa akibat penting dari adanya overmacht adalah
siapakah yang harus menanggung risiko dari adanya peristiwa yang merupakan
overmacht tersebut. Jika terjadi overmacht atas kontrak sepihak, maka risikonya
(sejak perikatan dilahirkan) ditanggung oleh pihak penerima prestasi (kreditur).
Kecuali jika pihak debitur lalai dalam memberikan prestasi, di mana sejak
kelalaian tersebut menjadi risiko pihak pemberi prestasi (debitur).277
B.2. Kontrak bernama/ kontrak timbal-balik.
Untuk kontrak-kontrak tertentu (kontrak bernama) memang terdapat pasal-
pasal khusus dalam KUHPerdata yang merupakan pengaturan tentang overmacht,
khususnya pengaturan risiko sebagai akibat dari peristiwa overmacht tersebut,
antara lain meliputi:
277
Vide Pasal 1237 KUHPerdata.
180
(a). Overmacht dalam kontrak jual beli
Overmacht untuk kontrak jual beli, khususnya mengenai risiko sebagai
akibat dari overmacht tersebut diatur dalam Pasal 1460 KUHPerdata yang
menyatakan : "Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah
ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si
pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak
menuntut harganya."
Dengan demikian, menurut Pasal 1460 KUHPerdata tersebut, maka
setelah kontrak jual beli ditandatangani, risiko beralih kepada pihak penjual,
walaupun benda tersebut belum diserahkan atau belum masanya diserahkan.
Dalam sistem KUHPerdata suatu kontrak hanya bersifat obligatoir saja,
artinya setelah kontrak tersebut dilakukan, masih memerlukan tindakan
hukum lainnya, yaitu melakukan "penyerahan (levering) setelah kontrak jual
beli tersebut dilakukan. Mestinya risiko baru beralih sejak saat seharusnya
penyerahan benda tersebut dilakukan, bukan pada saat kontrak jual beli
dilakukan. Karena Pasal 1460 KUH Perdata ini berada di luar sistem dan
dirasakan sangat tidak adil bagi pihak penjual, maka Mahkamah Agung
Republik Indonesia melalui Surat Edarannya Nomor 3 Tahun 1963
memintakan agar para hakim tidak memberlakukan Pasal 1460 tersebut.
Karena itu pula, pengaturan risiko sebagai akibat overmacht dari Pasal 1460
tersebut tidak dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengartikan risiko dalam
hukum kontrak secara umum.
181
(b). Overmacht dalam kontrak tukar menukar
Untuk kontrak tukar menukar, berkenaan dengan risiko sebagai akibat
dari peristiwa overmacht diatur dalam Pasal 1545 KUHPerdata, dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam suatu kontrak timbal balik (in casu kontrak tukar
menukar), maka risiko akibat dari overmacht ditanggung bersama oleh para
pihak. Jika ada para pihak telah terlanjur berprestasi dapat memintakan
kembali prestasinya tersebut. Jadi kontrak tersebut dianggap gugur.
(c) . Overmacht dalam kontrak sewa menyewa
Pengaturan overmacht untuk kontrak sewa menyewa terdapat dalam
Pasal 1553 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:
Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah
karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka kontrak sewa
menyewa tersebut gugur demi hukum.
Jika barangnya hanya sebagian musnah, pihak penyewa dapat memilih
menurut keadaan apakah dia akan meminta pengurangan harga sewa,
ataukah dia akan meminta pembatalan sewa menyewa. Dalam kedua hal
tersebut, dia tidak berhak untuk meminta ganti rugi.
Ketentuan risiko dalam kontrak sewa menyewa seperti terlihat dalam
Pasal 1553 KUHPertersebut di atas menempatkan kedua belah pihak untuk
menanggung risiko dari keadaan overmacht, tanpa adanya hak dari pihak
yang merasa dirugikan untuk meminta ganti rugi. Ini juga merupakan
ketentuan yang dapat dijadikan pedoman bagi penafsiran risiko dan
overmacht untuk kontrak timbal balik lain selain dari kontrak sewa
menyewa tersebut.
182
Dari seluruh pasal-pasal dalam KUH Perdata yang mengatur tentang
overmacht, dapat ditarik kesimpulan bahwa kriteria dari suatu overmacht adalah
sebagai berikut:
(1) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut haruslah
tidak terduga oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUH Perdata).
(2) Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang
harus melaksanakan prestasi (pihak debitur) tersebut (vide Pasal 1244
KUH Perdata).
(3) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut di luar
kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUH Perdata).
(4) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut bukan
kejadian yang disengaja oleh debitur (vide Pasal 1553 juncto Pasal 1245
KUH Perdata).
(5) Pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk (vide Pasal 1244 KUH
Perdata).
(6) Jika terjadi overmacht, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat
mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah
dilakukan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).
(7) Jika terjadi overmacht, maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi.
vide Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553 ayat (2) KUH
Perdata.
(8) Risiko (sebagai akibat dari overmacht) beralih dari pihak kreditur kepada
pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide
Pasal 1545 KUH Perdata).
183
4.2.2. Kriteria Overmacht Berdasarkan Doktrin dan Yurisprudensi
A. Kriteria Overmacht Berdasarkan Doktrin
Abdul Kadir Muhammad memberikan pengertian overmacht yaitu suatu
keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu
peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau
tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Berdasarkan
pengertian tersebut, Abdulkadir Muhammad mengemukakan ada tiga kriteria dari
overmacht, yaitu :
1. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan atau
memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat
tetap;
2. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi
perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau
sementara;
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu
membuat perikatan, baik oleh debitur maupun kreditur. Jadi, bukan
karena kesalahan para pihak, khususnya debitur.278
Bertolak pada kriteria overmacht tersebut, Abdul Kadir Muhammad
menyimpulkan ada dua macam keadaan memaksa (overmacht), yaitu sebagai
berikut:
1. Overmacht Objektif/Tetap, secara otomatis mengakhiri perikatan
dalam arti perikatan itu batal, konsekuensinya ialah pemulihan
kembali dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi
perikatan.
2. Overmacht Subjektif, perikatan tidak berhenti, melainkan hanya
pemenuhan prestasinya tertunda, jika kesulitan itu sudah tidak terjadi,
maka pemenuhan prestasi diteruskan.279
Agus Yudha Hernoko juga memberikan pengertian overmacht setelah
menyimpulkan empat pasal dalam KUH Perdata, yaitu Pasal 1244,1245,1444, dan
278
Abdul Kadir Muhammad, op.cit, hal.28.
279
Abdul Kadir Muhammad,op.cit hal.32.
184
1445 KUHPerdata. Overmacht adalah peristiwa yang tak terduga yang terjadi di
luar kesalahan debitor setelah penutupan kontrak yang menghalangi debitor untuk
memenuhi prestasinya, sebelum ia dinyatakan lalai dan karenannya tidak dapat
dipersalahkan serta tidak menanggung risiko atas kejadian tersebut. Untuk itu,
sebagai sarana bagi debitor melepaskan diri dari gugatan kreditor, dalil overmacht
harus memenuhi syarat bahwa:
1. Pemenuhan prestasi terhalang atau tercegah;
2. Terhalangnya pemenuhan prestasi di luar kesalahan debitor;
3. Peristiwa yang menyebabkan terhalangnya prestasi tersebut bukan
merupakan risiko debitor.
Lebih lanjut, Yahya Harahap juga memberikan gambaran yang lebih luas
dan spesifik tentang kriteria overmacht melalui empat poin, antara lain meliputi:
1. Seseorang disebut berada dalam keadaan overmacht, apabila dalam
memenuhi pelaksanaan perjanjian, debitur berada dalam keadaan
impossibilitas yang tak dapat diperhitungkan sebelumnya
(ontoerenkenbare onmogelijkheid), sehingga dalam keadaan demikian,
risiko kerugian tidak patut dibebankan padanya;
2. Kriteria berikutnya yaitu seorang debitur dikatakan berada dalam
keadaan overmacht, jika rintangan dan halangan yang membuat dia
berada dalam keadaan tidak mungkin memenuhi perjanjian, disebabkan
oleh suatu peristiwa/kejadian yang berada diluar kesalahan atau
kelalaian debitur. Hal ini sesuai dengan ajaran ketidakmungkinan280
,
akan tetapi ketidakmungkinan melaksanakan perjanjian harus diteliti
280
KUHPerdata memberikan batasan / cakupan ketidakmungkinan
(impossibilitas) yang dikehendaki oleh undang-undang yaitu berdasarkan
ketentuan pasal 1444 ayat 1 KUHPerdata. Ketidakmungkinan dibedakan menjadi
ketidakmungkinan yang logis dan tidak logis. Secara sederhana, dapat dirumuskan
perbedaan antara ketidakmungkinan yang logis dan tidak logis bahwa
ketidakmungkinan yang logis benar-benar secara praktis tak dimungkinkan
sehingga tak patut membebani debitur atas kewajiban ganti rugi. Sedangkan pada
kemungkinan yang tak logis, praktis masih mungkin untuk dilakukan sehingga
debitur harus bertanggungjawab atas kewajiban ganti rugi.
185
lebih lanjut, sebab tidak semua overmacht dengan sendirinya
menempatkan debitur berada dalam keadaan tidak mungkin, halangan
atau rintangan tersebut untuk dapat memenuhi kriteria sebagai
overmacht, haruslah rintangan yang langsung terhadap prestasi itu
sendiri.
3. Disamping formulasi cakupan intensitas suatu rintangan untuk dapat
dipergunakan sebagai kriteria overmacht, dalam menentukan sesuatu
peristiwa itu merupakan rintangan yang menghalangi debitur
melakukan prestasi haruslah tetap dikaitkan dengan anasir, rintangan
harus berada diluar kesalahan debitur, bukan rintangan yang dibuat-buat
atau oleh karena kelalaian yang merupakan kejadian yang datang dari
tindakan diri pribadi debitur itu sendiri
4. Kriteria selanjutnya, tidak selamanya, rintangan yang terjadi dalam
pelaksanaan perjanjian merupakan rintangan yang langsung terhadap
prestasi, dapat pula rintangan tersebut tentang keadaan diri pribadi
kreditur dalam memenuhi pelaksanaan prestasi, misalnya, keadaan yang
membahayakan keselamatan jiwa, kesehatan, kemerdekaan dan
kehormatan martabat.281
Bertolak pada paparan diatas, bahwa untuk mengetahui intensitas
rintangan/halangan untuk dapat dikatakan telah memenuhi kriteria sebagai
overmacht, dengan mencermati, apakah benar-benar secara logika akal sehat,
pemenuhan prestasinya tak mungkin lagi untuk dilakukan, dengan menelaah
logika ketidakmungkinan itu tidak hanya semata-mata ditinjau dari sudut subjektif
si debitur maupun si kreditur. Kelogisan tersebut haruslah juga ditelaah dari segi
objektif sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang umum dalam
masyarakat. Jadi perisiwa atau kenyataan rintangan itu, kadar intensitasnya
ditentukan oleh ukuran objektif yang benar-benar memadai untuk dapat dikatakan
menghalangi debitur melakukan prestasi berdasarkan pada pengetahuan dan
pengalaman pada umumnya. Selain itu pula, dapat dipahami bahwa berdasarkan
ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, rintangan yang dianggap menjadi
281
Yahya Harahap, op.cit, hal.88-93.
186
dasar overmacht haruslah rintangan atau sebab yang berada diluar diri pribadi
debitur, dengan demikian keadaan atau sebab yang berada pada diri pribadi
debitur tidak dapat dianggap sebagai dasar alasan overmacht.
Kriteria dari overmacht itu sendiri, Subekti menjelaskan dalam bukunya
yang berjudul Hukum Perjanjian, bahwa pada awalnya pengertian dari overmacht
tersebut dipahami oleh para sarjana sebagai suatu halangan yang muncul dari
suatu kejadian kejadian yang hebat dan menimbulkan akibat yang besar dan luas
dan permanen, seperti misalnya bencana alam, wabah penyakit, peperangan
ataupun kekacauan-kekacauan yang begitu hebatnya sehingga debitur tidak
memungkinkan sama sekali untuk memenuhi prestasinya, misalnya karena barang
yang menjadi objek perjanjian musnah. Akan tetapi dalam perkembangannya,
ternyata pemahaman tersebut lebih pada pengertian overmacht secara umum,
karena overmacht termasuk juga pada kejadian-kejadian penghalang yang tidak
bersifat mutlak atau bersifat sementara, yang cakupannya menurut William F. Fox
meliputi bentuk-bentuk halangan yang timbul dari bencana alam (natural
dissasters) hingga pada halangan-halangan yang timbul dari kekacauan politik
suatu negara (political discruptions).282
Oleh Ricardo Simanjuntak dikatakan bahwa yang perlu kiranya mendapat
penegasan adalah, halangan-halangan mana saja yang dapat dikualifisir/
dikategorikan sebagai halangan yang masuk pada pengertian overmacht. Kriteria
yang termasuk halangan dari overmacht tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
282
Ricardo Simanjuntak, 2011, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan
kontrak Bisnis, Kontan Publishing, Jakarta, hal 248.
187
1). Tidak dapat diperhitungkan kehadiran dari peristiwa overmacht
tersebut ketika kontrak telah di sepakati;
2). Terjadinya bukan merupakan akibat kesalahan ataupun diakibatkan
oleh tindakan debitur tersebut; dan
3). Halangan tersebut berada diluar dari kemampuan debitur tersebut
untuk mengatasinya.283
Bila mengikuti ketiga poin yang menjadi ukuran dari kriteria overmacht
tersebut, maka pengertian dari halangan dalam melaksanakan prestasi yang masuk
dalam kategori overmacht tersebut sebenarnya akan sangat luas sekali, artinya
tidak terbatas pada halangan yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa besar yang
menimbulkan akibat kerusakan yang massif dan permanen, misalnya seperti
gempa bumi, gunung meletus, wabah penyakit, akan tetapi juga pada setiap
bentuk halangan selama memenuhi ketiga kriteria utama tersebut.
B. Kriteria overmacht berdasarkan yurisprudensi
Berdasarkan yurisprudensi dapat disimpulkan mengenai ruang lingkup
overmacht meliputi:
1). Putusan MA RI No.Reg.15 K/Sip/1957, tidak sanggup memenuhi
tanggungannya karena rintangan yang tidak dapat diatasi, seperti
misalnya:
Risiko perang (dirampas tentara jepang pada masa perang);
Kehilangan benda obyek perjanjian yang disebabkan dari kuasa
Tuhan (disambar halilintar sehingga menyebabkan kebakaran).
2). Putusan MA RI No.Reg.24 K/Sip/1958
Peraturan-peraturan Pemerintah;
283
Ibid, hal.249.
188
Tidak terlaksananya prestasi akibat kelalaian atau kesalahan
debitur;
Tidak ada lagi kemungkinan-kemungkinan/alternatif lain yang
legal atau tidak melanggar peraturan bagi pihak yang terkena
force majeure dari sebuah kebijakan untuk memenuhi
perjanjian.
3). Putusan MA RI No.Reg.348 K/Sip/1957 dan Putusan MA RI No. Reg.
558 K/ Sip/1971
Risiko tidak terduga sebelumnya;
Kejadian atau peristiwa tidak diketahui sebelumnya,
Tidak disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pihak-pihak
dalam perjanjian.
4). Putusan MA RI No.Reg.1180 K/Sip/1971
Keadaan darurat.
5). Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983
Karena kecelakaan di laut.
Tidak terpenuhinya perjanjian karena overmacht dan bukan
karena kelalaian ataupun kesalahan debitur.
6). Putusan MA RI No. 3389 K/Pdt/1984
Act of God;
Keputusan atau segala tindakan administrasi dari penguasa
yang menentukan atau mengikat;
189
Suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-
pihak dalam perjanjian.
7). Putusan No.21/Pailit/2004/PN.Niaga Jkt.Pst
Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga
dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan
pihak yang harus berprestasi.
4.2.3. Kriteria Overmacht dalam Peraturan Perundang-undangan dan
Kontrak-kontrak lainnya
Ruang lingkup overmacht yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan maupun dalam berbagai kontrak tidaklah sama. Makna overmacht telah
disesuaikan dengan karakteristik setiap peraturan perundang-undangan atau
kontrak.
A. Kriteria Overmacht dalam Peraturan perundang-undangan lainnya
Kriteria overmacht yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-
undangan lainnya, diantaranya sebagai berikut:
A.1. Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa, mengatur kriteria overmacht
sebagai berikut:
Peperangan;
Kerusuhan;
Revolusi;
Bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, badai, gunung
meletus, tanah longsor, wabah penyakit, dan angin topan;
Pemogokan;
Kebakaran, dan
Gangguan industri lainnya.284
284
Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.78.
190
A.2. Peraturan Perbankan, mengatur kriteria overmacht, antara lain sebagai
berikut:
Kebakaran;
Kerusuhan massa;
Perang;
Sabotase, dan
Bencana alam, seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan
oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah
setempat.285
A.3. Peraturan Lalu Lintas dan Jasa Angkutan mengatur kriteria overmacht
antara lain sebagai berikut:
Amukan massa, dan
Keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh
Pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba-tiba.
A.4. Peraturan Pertambangan Mineral dan Batu Bara, kriteria overmacht
antara lain sebagai berikut:
Perang,
Kerusuhan sipil,
Pemberontakan,
Epidemik,
Gempa bumi,
Banjir,
Kebakaran, dan
Bencana alam di luar kemampuan manusia.286
Selain itu, dalam peraturan pertambangan dan mineral dikenal juga
istilah "keadaan yang menghalangi", yang terdiri atas:
Blokade,
Pemogokan,
285
Rahmat S.S. Soemadipradja, loc.cit. 286
Rahmat S.S. Soemadipradja, loc.cit.
191
Perselisihan perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP (Izin
Usaha Pertambangan) atau IUPK (Izin Usaha Pertambangan
Khusus), dan
Peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah
yang menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang
dilaksanakan.287
A.5. Ketentuan Jasa Konstruksi, overmacht dibedakan atas:
Overmacht bersifat mutlak (absolute), yakni para pihak tidak
mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya.
Overmacht bersifat tidak mutlak (relatif), yaitu bahwa para pihak
masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan
kewajibannya.288
B. Kriteria overmacht dalam kontrak-kontrak lainnya.
Kriteria overmacht yang diatur dalam kontrak-kontrak lainnya, antara lain
meliputi:
B.1. Kontrak Karya, kriteria overmacht antara lain meliputi:
Peperangan;
Pemberontakan;
Kerusuhan sipil;
Blokade;
Sabotase;
Embargo;
Pemogokan dan perselisihan perburuhan lainnya;
Keributan;
Epidemik;
Gempa bumi;
Angin ribut, banjir, atau keadaan-keadaan cuaca lainnya yang
merugikan;
Ledakan;
Kebakaran;
Petir;
287
Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.79. 288
Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.89.
192
Perintah atau petunjuk (adverse order atau direction)
pemerintahan "de jure" ataupun "de facto"atau perangkatnya atau
subdivisinya yang merugikan;
Takdir Tuhan;
Perbuatan musuh masyarakat, dan
Kerusakan pada mesin-mesin yang berpengaruh besar terhadap
kegiatan pengusahaan.289
B.2. Kontrak Pengeboran di Darat, kriteria overmacht, antara lain meliputi:
Kerusuhan buruh secara umum;
Huru hara;
Perang (apakah perintah tersebut dikeluarkan secara hukum atau
tidak), dan
Tindakan Tuhan, seperti gempa bumi, angin ribut atau gelombang
pasang.290
B.3. Kontrak Agen Pembayaran Jumlah Bunga dan Pokok Obligasi kepada
Pemegang Obligasi oleh PT KSEI melalui Pemegang Rekening untuk dan
atas nama Perusahaan Terdaftar, kriteria overmacht, antara lain meliputi:
Banjir;
Gempa bumi;
Gunung meletus;
Kebakaran;
Perang;
Pemogokan;
Bencana nuklir atau radio aktif;
Huru-hara;
Perdagangan efek di bursa efek dihentikan untuk sementara atau
dibatasi oleh instansi yang berwenang;
Perubahan di bidang politik, pasar modal, ekonomi, dan moneter;
Perubahan di bidang terkait dengan usaha Perusahaan Terdaftar,
dan
Terjadinya kegagalan sistem orientasi perbankan yang bersifat
nasional (namun tidak termasuk kejadian yang berkaitan dengan
kegagalan sistem KSEI).291
289
Rahmat S.S. Soemadipradja, lo.cit. 290
Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.79-80. 291
Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.80.
193
B.4. Kontrak Sewa-menyewa Kendaraan, kriteria overmacht antara lain
meliputi:
Gempa bumi;
Perang;
Angin topan;
Huru-hara, dan
Moneter.292
B.5. Kontrak Pemborongan (Kontrak) Pekerjaan Rencana Teknik Akhir
(FED) Pembangunan Jalan Tol, ruang lingkup overmacht antara lain:
Gempa bumi;
Tanah longsor;
Banjir;
Guntur;
Kebakaran;
Perang;
Huru-hara;
Pemogokan;
Pemberontakan, dan
Epidemi.293
B.6. Kontrak Kerja Sama Proses Cetak Koran, ruang lingkup overmacht
antara lain:
Bencana alam;
Kebakaran;
Wabah;
Pemogokan;
Banjir;
Perang;
Epidemik;
Blokade;
Pengrusakan massa, dan
292
Rahmat S.S. Soemadipradja, loc.cit. 293
Rahmat S.S Soemadipradja, op.cit, hal.80-81.
194
Jika ada perubahan izin-izin percetakan dan penerbitan dari
Pemerintah yang sah.294
B.7. Kontrak Kerja Sama Berdasarkan Sistem Kontrak Karya Terkait dengan
Eksploitasi Hutan (Logging), ruang lingkup overmacht antara lain:
Perang;
Pemberontakan;
Pemogokan;
Kerusuhan;
Gempa bumi;
Topan;
Banjir;
Keadaan cuaca buruk;
Ledakan kebakaran;
Petir;
Huru-hara;
Blokade;
Epidemik, dan
Bencana-bencana alam lainnya.295
B.8. Kontrak Perjanjian Jual-beli (Air Conditioning dan Peralatan Listrik),
kriteria overmacht antara lain meliputi:
Pemogokan;
Embargo;
Huru-hara;
Peperangan;
Kebakaran;
Peledakan;
Sabotase;
Badai;
Banjir, dan
Gempa bumi.296
B.9.Kontrak Sewa-menyewa Rumah, kriteria overmacht antara lain meliputi:
Bencana alam;
Banjir;
294
Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.81. 295
Rahmat S.S. Soemadipradja, loc.cit. 296
Rahmat S.S Soemadipradja, op.cit, hal.81-82.
195
Gempa bumi, atau
Keadaan darurat lain yang ditetapkan oleh pemerintah.297
B.10. Kontrak-kontrak terkait minyak bumi dan gas (oil and gas contract)
1. AIPN Model Production Sharing Contract, kriteria overmacht
antara lain meliputi:
Fire;
Epidemic;
Unavoidable accident;
Eclared and undeclared war;
Strikes;
Lockout and other disturbances;
Flood;
Stroms;
Earthquakes;
Other natural disturbances;
Insurrection, and
Riot.
2. AIPN Model International Operating Agreement, kriteria
overmacht antara lain sebagai berikut:
Strikes, and
Lockout and other industrial disturbances even if they were
not "beyond the reasonable control" of Party.
3. AIPN Model Contract Gas Sales Agreement, kriteria overmacht,
antara lain sebaga berikut:
Acts of war (wheather declared or uncleared);
Armed conflict;
Civil unrest or insurrection;
Blockade;
Embargo;
Riot;
Sabotage;
Acts of terrorism, or the specific threat of these acts or even
or conditions duo to these acts or events;
Strikes;
Work slow down;
Lockout, or other industrial disturbance, orlabor dispute;
Epidemic or plague;
Fire;
Earthquake;
Cyclone;
297
Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.82.
196
Hurricane;
Flood;
Drought;
Lightning;
Strorms;
Strorms warning;
Navigational and maritime perils; or
Other Acts of God.298
B.11. The Vienna Convention on Contracts for the International Sales of
Goods
Pengertian force majeure diatur pula dalam Pasal 79 ayat 1 dari The
Vienna Convention on Contracts for the International Sales of Goods, yang
dikutip sebagai berikut:
A party is not liable for a failure to perform any of his obligations if he
proves that the failure was due to an impediment beyond his control
and he could not reasonably be expected to have taken the impediment
into account at the time of the conclusion of the contract of to have
avoided or overcome it or its consequences.299
Terjemahan bebasnya berarti:
Satu pihak tidak bertanggung jawab atas kegagalan untuk
melaksanakan salah satu kewajibannya jika ia membuktikan bahwa
kegagalan itu disebabkan hambatan di luar kendalinya dan dia tidak
mungkin bisa diharapkan untuk mempertimbangkan hambatan tersebut
pada saat kesimpulan dari kontrak sehingga dapat menghindari atau
mengatasi hambatan tersebut atau konsekuensinya.
B.12.The Principles of International Commercial Contracts
Pengertian bahwa force majeure juga meliputi bentuk halangan
halangan yang bersifat sementara juga dengan tegas diatur dan dijelaskan
298
AIPN Model Production Sharing Contract AIPN Model International
Operating Agreement, and AIPN Model Contract Gas Sales Agreement dalam
Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.83-86. 299
Vide Pasal 79 ayat 1 The Vienna Convention on Contracts for the
International Sales of Goods dalam Ricardo Simanjuntak, op.cit, hal.246.
197
dalam Pasal 7.1.7 dari The Principles of International Commercial Contracts
yang diterbitkan oleh the International Institute for the Unification of Private
Law (Undroit) 1994 diatur tentang ketentuan force majeure, sebagai berikut:
(1) Non-performance by a party is excused if that party proves that the
non-performance was due to an impediment beyond its control and
that it could not reasonably be expected to have taken the
impediment into account at the time of the conclusion of the
contract or to have avoided or overcome it or its consequences.
(2) When the impediment is only temporary, the excuse shall have
effect for such period as is reasonable having regard to the effect of
the impediment on the performance of the contract.
(3) The party who fails to perform must give notice to the other party
of the impediment and its effect on its ability to perform. If the
notice is not received by the other party within a reasonable time
after the party who fails to perform knew or ought to have known of
the impediment, it is liable for damages resulting from such non-
receipt.
(4) Nothing in this article prevents a party from exercising a right to
terminate the contract or to withhold performance or request
interest on money due."300
Terjemahan bebasnya berarti : (1) Wanprestasi oleh satu pihak dimaafkan jika pihak tersebut
membuktikan bahwa wanprestasi terjadi karena sebuah hambatan di luar kendalinya dan bahwa hal itu tidak bisa diperkirakan sewajarnya untuk dapat mempertimbangkan hambatan tersebut pada saat berakhirnya kontrak atau untuk dapat menghindari atau mengatasi hambatan itu atau konsekuensinya.
(2) Bila hambatan tersebut hanya sementara, pernyataan maaf tersebut akan berlaku untuk periode tertentu secara wajar dengan memperhatikan efek hambatan tersebut terhadap pelaksanaan kontrak.
(3) Pihak yang gagal untuk melaksanakan perjanjian harus memberi pemberitahuan kepada pihak lain atas hambatan dan efeknya pada kemampuannya untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Jika pemberitahuan tidak diterima oleh pihak lain dalam waktu yang sewajarnya setelah pihak yang gagal untuk mengetahui atau seharusnya tahu mengenai hambatan tersebut, adalah bertanggung jawab atas kerusakan yang diakibatkan dari non-penerimaan seperti itu.
300
Pasal 7.1.7 The Principles of International Commercial Contracts dalam
Ricardo Simanjuntak, op.cit, hal.249.
198
(4) Tidak ada dalam pasal ini yang mencegah satu pihak dari
mendapatkan hak untuk mengakhiri kontrak atau untuk menahan
kinerja atau meminta bunga atas uang jatuh tempo. "
Dari sisi perancangan kontrak, penjabaran Pasal 7.1.7 dari The
Principles of International Commercial Contracts tersebut sangat penting
kiranya diperhatikan bahwa selain dari perancangan terhadap ketentuan force
majeure yang bersifat permanen (permanent force majeure) yang
mengakibatkan kontrak tidak dapat dilaksanakan secara keseluruhan
(frustration) ataupun berakibat kontrak tersebut menjadi berakhir, perlu juga
disertakan pengaturan force majeure yang hanya bersifat menunda
pelaksanaan prestasi yang bersifat sementara (temporary force majeure) yang
memberikan konsekuensi memungkinkannya dilakukannya penyesuaian-
penyesuaian (perubahan-perubahan dalam mengatasi akibat dari force
majeure sementara tersebut agar aktivitas berkontrak terseb tetap dapat
dilanjutkan segera setelah peristiwa force majeure tersebut berakhir.301
Mengingat bahwa force majeure tersebut dapat hanya bersifat
sementara, maka perlu juga diatur tentang kewajiban dari debitur tersebut
untuk segera melaporkan kepada kreditur bila peristiwa yang menjadi latar
belakang untuk berprestasi tersebut telah berakhir. Ini karena non permanen
dari force majeure akan berhubungan dengan penundaan sementara dari
pelaksanaan prestasi tersebut. Mengingat pentingnya kewajiban untuk segera
melaporkan peristiwa-peristiwa force majeure beserta dengan bukti-bukti
pendukungnya, maka kegagalan dalam melakukan pelaporan tersebut pada
301
Ricardo Simanjuntak, loc.cit.
199
umumnya disepakati akan memberikan konsekuensi tidak bebasnya debitur
dari pertanggungjawaban walaupun peristiwa tersebut merupakan peristiwa
yang dapat dikualifikasikan sebagai force majeure.
Bertolak pada paparan diatas, dapat dipahami bahwa sebagai dampak dari
perubahan pengertian yang diberikan pada overmacht, peristiwa yang dapat
dikategorikan sebagai penyebab terjadinya overmacht pun terus berkembang.
Awalnya, hanya peristiwa-peristiwa yang dikategorikan sebagai bencana yang
murni disebabkan oleh alam, seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi.
Kemudian, berkembang ke peristiwa-peristiwa yang dikategorikan sebagai
bencana yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti kerusuhan,
pemberontakan, dan bencana nuklir. Selain kedua penyebab itu, peristiwa-
peristiwa lain yang disebabkan oleh keadaan darurat, kebijakan pemerintah, dan
kondisi teknis yang berada di luar kemampuan para pihak pun akhirnya
dimasukkan sebagai peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya overmacht. Hal
ini menunjukkan bahwa peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai penyebab
overmacht tidak hanya disebabkan oleh alam, melainkan berkembang pada
peristiwa-peristiwa yang disebabkan oleh tindakan manusia, yang dahulu tidak
dapat dikategorikan sebagai peristiwa penyebab terjadinya overmacht, bahkan
dalam perkembangan terakhir, tindakan pemerintah, baik melalui peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkannya atau melalui kebijakan, juga
dikategorikan sebagai peristiwa penyebab force majeure.
200
Bagan 4.1. Kriteria overmacht
Sumber: Rahmat S.S. Soemadipradja yang penulis olah dalam bentuk
bagan.
KRITERIA OVERMACHT
Buku III KUHPerdata dan
Doktrin Yurisprudensi
Peraturan Perundang-undangan dan Kontrak-
kontrak lainnya 1) Peristiwa yang
menyebabkan terjadinya overmacht haruslah "tidak terduga" oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUH Perdata).
2) Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi (vide Pasal 1244 KUH Perdata).
3) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut di luar kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUH Perdata).
4) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut bukan kejadian yang disengaja oleh debitur (vide Pasal 1553 juncto Pasal 1245 KUH Perdata).
5) Pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk (vide Pasal 1244 KUH Perdata).
6) Jika terjadi
overmacht , maka kontrak tersebut
1) Putusan MA RI No.Reg.15 K/Sip/1957, tidak sanggup memenuhi tanggungannya karena rintangan yang tidak dapat diatasi, seperti misalnya: - Kehilangan benda
obyek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan (disambar halilintar sehingga menyebabkan kebakaran).
2) Putusan MA RI No.Reg.24 K/Sip/1958 - Peraturan-peraturan
Pemerintah; - Tidak
terlaksananya prestasi bukan akibat kelalaian atau kesalahan debitur;
- Tidak ada lagi kemungkinan-kemungkinan/alternatif lain yang legal atau tidak melanggar peraturan bagi pihak yang terkena force majeure dari sebuah kebijakan untuk memenuhi perjanjian.
3) Putusan MA RI No.Reg.348 K/Sip/1957 dan Putusan MA RI No. Reg. 558 K/ Sip/1971 - Risiko tidak
1. Force majeure karena faktor alam, Termasuk kriteria force majeure ini diantaranya: Banjir; Tanah longsor; Gempa bumi; Badai; Guntur; Gunung meletus; Topan; Petir; Gelombang pasang; Bencana alam di luar
kemampuan manusia, dan
Bencana alam yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
2. Force majeure karena kondisi sosial dan keadaan darurat, yang ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat segera dan berlangsung dengan singkat tanpa dapat diprediksi sebelumnya. Termasuk di dalam force majeure tersebut adalah: Peperangan; Pemberontakan; Operasi militer; Sabotase; Blokade; Pemogokan dan
perselisihan buruh;
201
menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).
7) Jika terjadi overmacht maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi. vide Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553 ayat (2) KUH Perdata.
8) Risiko (sebagai akibat dari overmacht) beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).
terduga sebelumnya;
- Kejadian atau peristiwa tidak diketahui sebelumnya,
- Tidak disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pihak-pihak dalam perjanjian
4) Putusan MA RI No.Reg.1180 K/Sip/1971 - Keadaan darurat
5) Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983 - Karena kecelakaan
di laut Tidak terpenuhinya
perjanjian karena overmacht dan bukan karena kelalaian ataupun kesalahan debitur
6) Putusan MA RI No. 3389 K/Pdt/1984 - Act of God; - Keputusan atau
segala tindakan administrasi dari penguasa yang menentukan atau mengikat;
- Suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-pihak dalam perjanjian.
7) Putusan No.21/Pailit/ 2004/PN. Niaga Jkt.Pst - Situasi atau
keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang harus berprestasi
Kebakaran; Epidemik; Terorisme; Peledakan; Ledakan; Kerusuhan; Keributan; Pengrusakan
massa (amukan massa);
Bencana nuklir; Radio aktif; Huru-hara; Wabah; Kerusuhan buruh
secara umum; Perbuatan musuh
masyarakat; Keadaan-keadaan
lain di luar kekuasaan manusia yang langsung mempengaruhi jalannya pekerjaan, serta
Keadaan darurat lain yang ditetapkan oleh pemerintah.
3. Force majeure karena keadaan ekonomi (moneter), yaitu force majeure yang disebabkan oleh adanya situasi ekonomi yang berubah, ada kebijakan ekonomi tertentu, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sektor ekonomi. Termasuk di dalam force majeure ini adalah: Terjadi perubahan
kondisi perekonomian atau peraturan perundang-undangan sedemikian rupa sehingga
202
mengakibatkan tidak dapat dipenuhinya prestasi;
Timbulnya gejolak moneter yang menyebabkan kenaikan biaya bank;
Embargo; Perubahan di
bidang politik, pasar modal, ekonomi, dan moneter; perubahan di bidang terkait dengan usaha Perusahaan Terdaftar; terjadinya kegagalan sistem orientasi perbankan yang bersifat nasional.
4. Force majeure karena kebijakan atau peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu force majeure yang disebabkan oleh suatu keadaan di mana terjadi perubahan kebijakan pemerintah atau hapus atau dikeluarkannya kebijakan baru, yang berdampak pada kegiatan yang sedang berlangsung. Termasuk di dalam force majeure ini adalah: Perdagangan efek di
bursa efek yang dihentikan sementara oleh instansi yang berwenang;
Terjadinya perubahan-perubahan izin percetakan dan penerbitan dari
203
instansi; Perintah atau
petunjuk (adverse order atau direction) pemerintahan "de jure"atau "de facto"atau perangkatnya atau subdivisinya yang merugikan;
Peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang dilaksanakan.
5. Force majeure keadaan teknis yang tidak terduga,yaitu force majeure yang disebabkan oleh peristiwa rusaknya atauberkurangnya fungsi peralatan teknis atau operasional yang berperan penting bagi kelangsungan proses produksi suatu perusahaan, dan hal tersebut tidak dapat diduga akan terjadi sebelumnya. Termasuk di dalam force majeure tersebut, yaitu:
Terjadinya kegagalan sistem orientasi perbankan yang bersifat nasional;
Keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba-tiba;
Kerusakan pada mesin-mesin yang berpengaruh besar terhadap kegiatan pengusahaan.
204
Dari kriteria overmacht tersebut diatas, maka penulis dapat memberikan
masukan karena lingkup kriteria overmacht dalam buku III KUHPerdata hanya
bersifat terbatas saja maka selain terhadap kriteria overmacht dalam buku III
KUHPerdata juga perlu dijadikan acuan terhadap kriteria overmacht dalam
yurisprudensi, peraturan perundang-undangan lainnya serta kontrak-kontrak
lainnya dapat diterapkan dan/atau berlaku secara mutatis-mutandis terhadap UU
Rumah Susun tentunya relevansi kriteria overmacht itu sendiri dengan
mencermati substansi objek kebendaan dari HMSRS dan perjanjian rumah susun
itu sendiri. Kriteria overmacht itu sendiri jangan digeneralisir untuk semua kriteria
overmacht namun diteliti lebih lanjut apa dia tergolong overmacht objektif
ataukah subjektif agar penyelesaiannya pun menjadi jelas. Kriteria overmacht
tersebut, penulis uraikan dalam bagan berikut ini:
203
Bagan 4.2. Kriteria Overmacht terhadap HMSRS
Sumber: Rahmat S.S. Soemadipradja dan pemikiran penulis yang penulis olah dalam bentuk bagan.
PENERAPAN KRITERIA OVERMACHT TERHADAP HMSRS
Jenis-jenis Overmacht
Buku III KUHPerdata dan Doktrin Yurisprudensi Peraturan Perundang-undangan
dan Kontrak-kontrak lainnya 1). Overmacht
Absolut/ Mutlak/ Obyektif
1) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah "tidak terduga" oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUH Perdata)
2) Jika terjadi force majeure, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).
3) Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi (vide Pasal 1244 KUH Perdata).
4) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut di luar kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUH Perdata).
5) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan kejadian yang disengaja oleh debitur (vide Pasal 1553 juncto Pasal 1245 KUH Perdata).
1) Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang harus berprestasi, yaitu kehilangan benda obyek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan.
2) Tidak terpenuhinya perjanjian bukan karena kelalaian ataupun kesalahan debitur
1) Force majeure karena faktor alam,termasuk kriteria force majeure ini diantaranya: Banjir; Tanah longsor; Gempa bumi; Badai; Guntur; Gunung meletus; Topan; Petir; Gelombang pasang; Bencana alam di luar kemampuan
manusia, dan Bencana alam yang dibenarkan oleh
penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
204
2). Overmacht Relatif/ Sementara/ Subyektif/
1) Pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk (vide Pasal 1244 KUH Perdata).
2) Risiko (sebagai akibat dari force majeure) beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).
1) Tidak terlaksananya prestasi bukan akibat kelalaian atau kesalahan debitur
2) Tidak ada lagi kemungkinan-kemungkinan/alternatif lain yang legal atau tidak melanggar peraturan bagi pihak yang terkena force majeure dari sebuah kebijakan untuk memenuhi perjanjian.
- Force majeure karena kondisi sosial dan keadaan darurat, yaitu force majeure yang ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat segera dan berlangsung dengan singkat tanpa dapat diprediksi sebelumnya. Termasuk di dalam force majeure tersebut adalah:
Kebakaran; Terorisme; Peledakan; Ledakan kebakaran; Bencana nuklir; Radio aktif; Peraturan pemerintah
207
4.3. Urgensi Pengaturan overmacht di masa datang
4.3.1.Penerapan Asas-asas hukum perjanjian
Hukum positif merupakan substansi dari suatu sistem hukum. Menurut
Lawrence M.Friedman, sistem hukum mempunyai tiga unsur, yaitu (1). Struktur
hukum (2).substansi hukum (3). Budaya hukum. Struktur hukum mengacu pada
bentuk dan kedudukan pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum.
Hubungan antar lembaga tinggi negara. Adapun substansi hukumnya merupakan
kumpulan nilai, asas, dan norma hukum yang ada. Inilah yang dinamakan law in
the books dalam suatu sistem hukum. Tentunya tidak semua aturan hukum itu
berjalan berjalan sesuai dengan harapan di lapangan. Ada aturan yang ditaati dan
ada yang disimpangi. Semua itu merupakan law in action atau living law. Unsur
yang penting dalam mempengaruhi corak hukum yang hidup itu adalah budaya
hukum dari masyarakat yang menjadi subjek hukumnya.
Urgensi Pengaturan overmacht di masa datang, berkenaan dengan
substansi hukum yang perlu diperbaiki agar memberikan keadilan yang berbasis
kontrak bagi para pihak, dan hal ini dapat dikaji secara mendalam melalui asas-
asas perjanjian. Unsur Three Element of Theory dari Lawrence M. Friedmann,
dalam membahas substansi pokok dari permasalahan ini tercermin dalam
gambaran asas-asas hukum perjanjian. Perjanjian ataupun kontrak secara tegas
telah diatur kepastian keberlakuan dan kekuatan daya mengikatnya bagi para
pihak yang menyepakatinya (contracting parties) berdasarkan Pasal 1329, Pasal
1320, Pasal 1338, Pasal 1340 dan Pasal 1243 KUHPerdata.
208
Para pihak mempunyai kewenangan untuk membentuk hukum dalam
bentuk perjanjian yang mengikat dirinya dengan mitra perjanjiannya, yang harus
tunduk terhadap hukum yang diberlakukan oleh para pihak maka produk hukum
perjanjian ataupun kontrak yang disepakati oleh para pihak tersebut haruslah tidak
bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan juga ketertiban umum.
Dengan kata lain, bahwa dasar keabsahan berkontrak dalam upaya membangun
hukum yang mengikat para pihak tidak hanya didasarkan pada pelaksanaan
prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) atau prinsip penghargaan pada
kesepakatan (pacta sunt servanda) semata, akan tetapi harus pula didukung oleh
ketentuan undang-undang sebagai suatu ketentuan yang tidak dapat bertentangan
sehubungan dengann pelaksanaan dari keebbasan berkontrak yang dimiliki oleh
para pihak tersebut.
Hubungan hukum para pihak telah diwujudkan dalam suatu perikatan hak
dan kewajiban yang memberikan konsekuensi adanya pihak yang berkewajiban
untuk melaksanakan kewajibannya dan bagi pihak lain mendapatkannya haknya.
Karena jika perikatan hak dan kewajiban dilaksanakan sesuai dengan kesepaktan,
akan memberikan keuntungan sehubungan dengan sasaran komersil yang
diharapkan oleh masing-masing pihak tersebut. Dengan kata lain, terhadap suatu
perikatan ataupun kontrak, memang harus ada ketentuan yang tegas dan jelas
untuk membangun kepastian hukum bahwa para pihak yang melakukan perikatan
tersebut tunduk untuk melaksanakannya dengan itikad baik.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, asas kepatian hukum agar para pihak
tunduk dan menghargai janji-janji yang telah disepakati bersama berdasar asas
209
kebebasan berkontrak telah diimplementasikan dalam asas pacta sunt servanda
yang dalam hal ini menundukkan kesepakatan tersebut sebagai suatu hukum yang
mengikat para pihak untuk melaksanakannya.
Satuan rumah susun dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Hak milik atas satuan rumah
susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) meliputi juga hak atas
bagian-bersama, benda-bersama, dan tanah-bersama, yang semuanya merupakan
satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. Hak atas
bagian-bersama, benda-bersama, dan hak atas tanahbersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) didasarkan atas luas atau nilai satuan rumah
susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang
pertama.
Dalam Pasal 10 (1) UU RumahSusun menyatakan bahwa : Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 (3) dapat beralih
dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Salah satu cara pemindahan hak tersebut adalah dengan jual
beli yang merupakan salah satu dari bentuk perjanjian/persetujuan.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
membuat perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Adanya kata sepakat, dalam arti bahwaperjanjian tersebut dibuat
secara musyawarah oleh kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan dari
salah satu pihak.
210
2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian dalam arti bahwa
yang membuat perjanjian tersebut sudah dewasa dan tidak dalam sakit
ingatan.
3. Suatu hal yang diperjanjikan harus jelas dalam arti bahwa rumah yang
dijadikan obyek sewa-menyewa tersebut harus jelas: lokasi, bentuk,
luas dan sebagainya.
4. Perjanjian tersebut harus halal dalam arti bahwa isi perjanjian tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan
kesusilaan.
Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 KUHPerdata, maka pihak-pihak dalam perjanjian jual beli apartemen/rumah
susun harus mengacu pada Pasal tersebut. perjanjian Rumah Susun yang diadakan
oleh para pihak merupakan juga hukum bagi hubungan konkret yang
bersangkutan (Pasal 1338 KUHPerdata), Berkenaan dengan kontrak bisnis Rumah
Susun, Perjanjian dasar yang digunakan pada prinsipnya berisi tentang syarat-
syarat dan ketentuan penggunaan tanah yang dalam hal ini tunduk pada ketentuan
dan prinsip-prinsip Hukum Tanah Nasiona, sepanjang perjanjian yang diadakan
itu tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan UUPA.
Adapun tanah kaitannya dengan Rumah Susun menurut kepustakaan asing adalah
sebagai bagian dari Rumah Susun yang tergolong real property dalam hukum
kebendaan menurut sistem hukum yang berlaku di Negara-negara Anglo-Saxon.
211
Perjanjian Perikatan jual beli merupakan perjanjian kesepakatan para
pihak mengenai rencana para pihak yang akan melakukan jual beli dan mengatur
tentang hak dan kewajiban sehingga bisa memberikan kepastian hukum serta
perlindungan hukum bagi para pihak yang membuatnya. Jual beli merupakan
perjanjian konsensuil, artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang
sah saat tercapainya kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai unsur-
unsur pokok yaitu barang dan harga, sekalipun jual beli itu mengenai barang yang
tidak bergerak.
Perjanjian perikatan jual beli yang dibuat oleh pengembang dengan
konsumen harus memenuhi ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata tersebut, sehingga
perjanjian itu dapat berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak, hubungan
hukum yang timbul diantara mereka adalah hubungan Perdata, yaitu hubungan
yang dikuasai oleh hukum perjanjian dimana mereka tunduk pada perjanjian yang
mereka buat. Perikatan jual-beli satuan rumah susun dapat terjadi karena adanya
peningkatan permintaan konsumen/calon konsumen untuk membeli rumah susun
yang belum selesai dibangun oleh pengembang (developer), sehingga
mengharuskan pemerintah untuk mengatur hal tersebut secara khusus dalam
Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995 tentang Pedoman
Perikatan Jual-Beli Satuan Rumah Susun (“Kepmenpera”). Akibat hukum dari
berlakunya Kepmenpera ini adalah setiap adanya perikatan jual – beli satuan
rumah susun wajib mengikuti pedoman dalam Kepmenpera tersebut. Hal ini
sebagaimana tertulis di ketentuan kedua dalam Kepmenpera. Dengan
dikeluarkanya Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat tersebut, maka
212
dimungkinkan pemasaran/penjualan satuan-satuan rumah susun sebelum rumah
susun yang bersangkutan selesai pembangunannya. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan perikatan jual beli yang dilakukan antara penyelenggara pembangunan
rumah susun dengan calon pembeli.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat
No.11/KPTS/1995 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun,
pengembang dan konsumen masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Hak dan
kewajiban menurut hukum bersifat obligatoir dan dalam hukum perdata,
khususnya dalam hukum perjanjian dipostulatkan sebagai suatu pemenuhan
prestasi yang bersifat timbal-balik yaitu hak bagi seseorang merupakan kewajiban
untuk mengakui dan menghormati bagi pihak lain dan kewajiban berkaitan
dengan kewenangan (kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
dalam suatu perbuatan hukum). Dengan demikian, hak menunjukkan kualifikasi
pasif dari penguasaan benda dan kewajiban merupakan keharusan untuk berbuat
dan tidak berbuat sesuatu yang bersifat aktif.302
Hak tidak hanya mengandung
unsur perlindungan dan kepentingan tetapi hak juga mengandung unsure
kehendak. Hakikat suatu hak adalah kapasitas untuk berperan seperti dalam ajaran
hukum murni Hans Kelsen, hak dan kewajiban mengandung makna yang sangat
berbeda apabila hak dan kewajiban dipandang sebagai hak dan kewajiban hukum.
Apabila seseorang berhak atas suatu barang (jus in rem), maka orang lain
menghormati hak itu (jus in personam) sebagai hak yang melekat pada seseorang
302
Aslan Noor, op.cit, hal.70-71.
213
untuk menuntut seseorang yang melanggar hak tersebut.303
Jadi, dalam hal ini
adanya korelasi yang sangat erat antara hak dan kewajiban. Kewajiban merupakan
hal yang sangat mutlak dibutuhkan oleh seseorang yang ingin haknya terpenuhi
dan seseorang dapat menuntut haknya apabila ia telah menyelesaikan
kewajibannya. Hak dan kewajiban para pihak dalam kepemilikan HMSRS dapat
diuraikan sebagai berikut:
1). Hak dan kewajiban Pemesan (Calon Konsumen)
A. Kewajiban Pemesan
Pemesan mempunyai beberapa kewajiban dalam terjadinya perjanjian
pengikatan jual beli antara lain yaitu :
a. Menyatakan bahwa Pemesan (calon pembeli) telah membaca, memahami
dan menerima syarat-syarat dan ketentuan dari surat pesanan dan
pengikatan jual beli serta akan tunduk pada anggaran dasar perhimpunan
penghuni dan dokumen-dokumen tersebut mengikat pembeli;
b. Setiap Pemesan setelah menjadi pembeli satuan rumah susun wajib
membayar:
1. Biaya pembayaran akta-akta yang diperlukan;
2. Biaya jasa PPAT untuk pembuatan akta jual beli satuan rumah susun;
3. Biaya untuk memperoleh hak milik atas satuan rumah susun, biaya
pendaftaran jual beli atas satuan rumah susun(biaya pengalihan hak
milik atas nama) di Kantor Pertanahan setempat;
303
Ibid, hal.70.
214
4. Setiap Pemesan, setelah menjadi pemilik satuan rumah susun juga
wajib membayar biaya pengelolaan (management fee) dan biaya utilitas
(utility charge).
5. Setelah akta jual beli ditandatangani tetapi sebelum mendapat Sertifikat
HMSRS diterbitkan oleh Badan Pertanahan setempat :
a) Jika satuan rumah susun tersebut dialihkan kepada pihak ketiga
dikenakan biaya administrasi yang ditetapkan oleh Perusahaan
Pembangunan Perumahan dan Pemukiman yang jumlahnya tidak
lebih dari 1% dari harga jual.
b) Jika satuan rumah susun tersebut dialihkan kepada pihak anggota
keluarga karena sebab apapun juga termasuk karena pewarisan
menurut hukum dikenakan biaya administrasi untuk Notaris/PPAT
yang besarnya sesuai dengan ketentuan.
c) Sebelum lunasnya pembayaran atas harga jual satuan rumah susun
yang dibelinya, pemesan tidak dapat mengalihkan atau menjadikan
satuan rumah susun tersebut sebagai jaminan utang tanpa
persetujuan tertulis dari Perusahaan Pembangunan Perumahan dan
Pemukiman.
B. Hak Pemesan ( Calon Konsumen )
a. Calon konsumen berhak memiliki tanah bersama, tanah sesuai dengan
daerah perencanaan yang digunakan perhitungan koefisien dasar bangunan
(KDB) dan koefisien luas bangunan (KLB) seperti yang ada di dalam blok
plan.
215
b. Calon konsumen berhak memakai benda bersama misalnya: fasilitas olah
raga, sarana bermain bagi anakanak, dan lain-lain yang terletak di atas tanah
bersama.
c. Calon konsumen berhak menggunakan fasilitas yang terdapat di dalam
bangunan apartemen (tower) misalnya koridor, lift, tangga, dan lain-lain.
d. Calon konsumen berhak menjadi anggota Perhimpunan Penghuni
apartemen.
Setelah beralih dan menjadi pemilik SRS, hak dan kewajiban pemilik SRS,
diantaranya:
2). Hak dan Kewajiban Pemilik Satuan Rumah Susun
A. Kewajiban Pemilik Satuan Rumah Susun
1. Adapun kewajiban SRS atau penghuninya berkewajiban membentuk
apa yang disebut perhimpunan penghuni. Perhimpunan Penghuni
merupakan badan hukum yang bertugas mengurus kepentingan
bersama para pemilik SRS dan penghuninya. Perhimpunan penghuni
tersebut dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pengelola yang
bertugas melaksanakan pemeliharaan dan pengoperasian peralatan
yang merupakan milik bersama;
2. Pembiayaan kegiatan perhimpunan penghuni dan badan pengelola
ditanggung bersama oleh pemilik SRS dan para penghuni, masing-
masing sebesar imbangan menurut nilai perbandingan
proporsionalnya;
216
3. Jika jangka waktu hak atas tanah bersama berakhir, para pemilik SRS
berkewajiban untuk bersama-sama mengajukan permohonan
perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan
atau Hak Pakai atas bangunan yang bersangkutan.
B. Hak Pemilik Satuan Rumah Susun
Pemilik Satuan Rumah Susun mempunyai hak untuk:
1. Menghuni satuan rumah susun yang dimilikinya serta menggunakan
bagian-bagian bersama, benda-benda bersama dan tanah bersama
masing-masing sesuai dengan peruntukannya;
2. Menyewakan satuan rumah susun yang dimilikinya kepada pihak lain
yang akan menjadi penghuni, asal tidak melebihi jangka waktu hak atas
tanah bersamanya;
3. Menunjuk HMSRS yang dimilikinya sebagai jaminan kredit dengan
dibebani Hak Tanggungan atau Fidusia;
4. HMSRS tersebut dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui jual-beli,
tukar-menukar, hibah;
5. Mengalihkan kepada ahli warisnya, karena HMSRS dapat beralih
karena pewarisan.
3). Hak dan Kewajiban Developer
A. Kewajiban Developer:
1). Sebelum melakukan pemasaran perdana, Developer wajib melaporkan
hal terkait pemasaran perdana kepada Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah tingkat II dengan tembusan kepada Menteri Negara Perumahan
217
Rakyat. Laporan terkait dengan pemasaran perdana bahwa pihak
developer harus memiliki kelengkapan perizinan, sesuai dengan
Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995
tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun.
a. Izin Prinsip, yaitu izin yang harus diperoleh oleh setiap orang
atau badan hukum yang akan memanfaatkan ruang untuk tempat
usaha skala besar;
b. Izin Lokasi, dari Kantor Pertanahan Setempat, khusus untuk
wilayah DKI Jakarta dikenal sebagai Surat Izin Penunjukkan
dan Penggunaan Tanah (SIPPT). Izin ini diberikan kepada
perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam
rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin
pemindahan hak;
c. Izin Mendirikan Bangunan, yaitu izin yang diberikan untuk
melakukan kegiatan pembangunan. Pengembang sebagai pihak
yang bertanggungjawab atas kegiatan pendirian bangunan
berkewajiban untuk memperoleh izin pada pemerintah setempat.
Lebih dipertegas lagi dalam UU Rumah Susun, laporan tersebut
harus dilampiri dengan : (i).Salinan surat persetujuan izin prinsip;
(ii).Salinan surat keputusan pemberian izin lokasi; (iii).Bukti pengadaan
dan perluasan tanah; (iv).Salinan surat mendirikan bangunan; (v).
Gambar denah pertelaan yang telah mendapat pengesahan dari
pemerintah daerah setempat.
218
Jika dalam jangka waktu 30 hari kalender terhitung sejak tanggal
yang tercantum dalam tanda terima laporan tersebut belum mendapat
jawaban dari Bupati atau Walikota maka penawaran perdana tersebut
dapat dilaksanakan.
2). Menyediakan dokumen terkait dengan pembangunan perumahan304
3). Menyelesaikan pembangunan sesuai dengan standar yang telah
diperjanjikan.
4). Memperbaiki kerusakan secara terbatas yang terjadi dalam jangka
waktu 100 hari setelah tanggal ditandatanganinya berita acara
penyerahan satuan rumah susun dari pengusaha kepada pemesan.
5). Bertanggung jawab terhadap adanya cacat tersembunyi yang dapat
diketahui di kemudian hari.
6). Menjadi pengelola sementara rumah susun sebelum terbentuk
perhimpunan penghuni dan membantu menunjuk pengelola setelah
perhimpunan penghuni terbentuk.
7). Mengasuransikan pembangunan apartemen selama berlangsungnya
pembangunan.
304
Dokumen yang dimaksud berkenaan dengan permohonan izin atas
rencana fungsi dan pemanfaatan. UU Rumah Susun menegaskan dokumen yang
dimaksud, diantaranya: (i) Sertifikat hak atas tanah; (ii). Surat keterangan rencana
kabupaten/kota; (iii) Gambar Rencana tapak; (iv).Gambar rencana arsitektur yang
menunjukkan dengan jelas batas vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun;
(v).Gambar rencana struktur beserta perhitungannya; (vi).Gambar rencana yang
menunjukan dengan jelas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama;
(vii).Gambar rencana jaringan instalasi beserta perlengkapannya. (Vide Pasal 29
ayat 4 UU Rumah Susun)
219
8). Jika ada Force Majeur (keadaan memaksa) yang diluar kemampuan
para pihak, pengusaha dan pembeli akan mempertimbangkan
penyelesaian sebaik-baiknya dengan dasar pertimbangan utama adalah
dapat diselesaikannya pembangunan satuan rumah susun.
9). Menyiapkan akta jual beli satuan rumah susun kemudian bersama-
sama dengan pembeli menandatangani akta jual belinya dihadapan
Notaris/PPAT, kemudian Perusahaan Pembangunan Perumahan dan
Pemukiman dan/atau Notaris/PPAT yang ditunjuk akan mengurus agar
pembeli dan biayanya ditanggung pembeli.
10). Menyerahkan satuan rumah susun termasuk fasilitas umum dan
fasilitas sosial secara sempurna , dan jika Pengusaha belum dapat
menyelesaikan pada waktu tersebut diberi kesempatan untuk dapat
menyelesaikan pembangunan tersebut dalam jangka waktu 120 hari
kalender terhitung sejak tanggal rencana penyerahan rumah susun
tersebut. Jika masih tidak terlaksana sama sekali maka pengikatan jual
beli batal demi hukum.
Setelah melaksanakan kewajiban, developer berhak untuk:
a). Developer dapat memindahkan Hak dan Kewajiban pengikatan jual-beli
tersebut kepada pihak lain melalui pemberitahuan tertulis kepada pembeli.
b). Developer berhak untuk menempati dan menggunakan sendiri ataupun
menyewakan kepada pihak lain bagianbagian rumah susun yang
dibangunnya.
220
c). Developer berhak untuk memperoleh fasilitas kredit yang diperlukan untuk
pembiayaan pembangunan rumah susun yang bersangkutan.
d). Sebagai jaminan/agunan kredit pembiayaan pembangunan apartemen yang
bersangkutan developer berhak untuk menggunakan tanah beserta
bangunan yang masih akan dibangun.
4.3.2. Penerapan Asas Kepatutan
Dalam praktik peradilan, dapat dilihat adanya 3 sumber penyebab
terjadinya sengketa di bidang hukum perikatan yaitu sebagai berikut:
1) Masalah keabsahan suatu perikatan (validity of contract) yang mengikat
kedua pihak, dapat menjadi sumber sengketa jika perikatan itu didasari
unsure (bedreiging), penipuan (bedrog), keterpaksaan dan/atau
ancaman keadaan (misbruik van omstandigheden/undue influence);
2) Masalah pemenuhan perikatan (performance of contract) karena salah
satu pihak melakuklan wanprestasi atau karena suatu keadaan yang
melawan hukum (onrechmatigheid) atau karena suatu keadaan
memaksa (overmacht/force majouer);
3) Masalah pelaksanaan perjanjian karena salah satu pihak melakukan
perbuatan melawan hukum, ingkar janji ataupun karena keadaan
memaksa.305
(garis bawah oleh penulis)
Berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yaitu dalam hal sengketa
masalah pelaksanaan perjanjian kepemilikan HMSRS karena keadaan memaksa.
Hal ini tentunya akan menjadi masalah yang krusial jika terhadap bangunan
gedung rumah susun tersebut roboh atau hancur atau terbakar ludes dan tidak
dapat dihuni oleh pemilik satuan rumah susun, mengakomodir permasalahan yang
muncul akibat overmacht tersebut, diperlukan pengaturan lebih lanjut. Masyarakat
tentu saja dapat menerima perkembangan overmacht sesuai dengan proporsinya
305
H.P Panggabean, 2012, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-
Putusan Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hal.26
221
masing-masing asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan
dan kesusilaan. Dalam hal ini penulis menekankan pada asas kepatutan.
Munir Fuady menyatakan bahwa suatu kontrak haruslah sesuai dengan asas
"kepatutan" (vide Pasal 1339 KUH Perdata). Untuk ini pemberlakuan asas
kepatutan terhadap suatu kontrak mengandung dua fungsi sebagai berikut:
(a) Fungsi yang melarang
Dalam hal ini, kontrak yang mengandung unsur-unsur yang
bertentangan dengan asas kepatutan adalah tidak dapat dibenarkan.
Misalnya dilarang membuat suatu kontrak pinjaman uang dengan
bunga yang sangat tinggi. Bunga yang sangat tinggi ini bertentangan
dengan asas kepatutan (reasonability).
(b) Fungsi yang menambah
Sebaliknya, suatu kontrak juga dapat ditambah dengan atau
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip kepatutan. Dalam hal ini
kedudukan prinsip kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan
dalam pelaksanaan suatu kontrak, di mana tanpa isian tersebut, tujuan
dibuatnya kontrak tidak mungkin tercapai. 306
Berkenaan dengan asas kepatutan ini Nieuw Burgerlijk Wetboek(NBW)
mengaitkannya dengan asas keadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6.5.3.1
yang menyebutkan asas keadilan itu sebagai tuntutan kepatutan dan keadilan (de
eisen van redelijkheid en bilijkheid). Terhadap asas tersebut Schut menjelaskan:
1) Bahwa kedua asas tersebut mengandung pengertian yang saling
mengisi. Asas kepatutan mengutamakan pikiran yang ditujukan pada
pelaksanaan dengan cara yang tepat sedangkan asas keadilan
mengutamakan perasaan dan hati, menentukan lebih lanjut isi dari
perikatan;
2) Pengertian kepatutan adalah pengertian yuridis yang hasilnya dapat
dibahas secara logis. Pengertian keadilan berkaitan dengan tuntutan
perasaan keadilan (rechtsgevoel) atau kesadaran hukum
(rechtsgeweten) yang hasilnya dirasakan atau dialami sebagai sesuatu
yang adil (rechtvaarding) kalau kebenarannya tidak dapat dibuktikan
sebagai sesuatu yang bersifat memaksakan.
306
Munir Fuady II, loc.cit.
222
3) Keadilan merupakan satu dasar hukum, itikad baik itu meruakan satu
norma perangai (bagaimana bersikap ketika melaksanakan kewajiban-
kewajiban tertentu).307
Berkaitan dengan asas kepatutan, Pitlo mengemukakan bahwa menurut
kepatutan (billijkheid), jika debitur tidak lagi berkewajiban, pihak lainnya pun
bebas dari kewajibannya. Asas kepatutan berkaitan dengan overmacht terhadap
benda yang diperjanjikan di dalam KUH Perdata dituangkan di dalam ketentuan-
ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata. Sesuai dengan
fungsi menambah pada kontrak, ini patut diterapkan dalam hal terjadinya
overmacht pada HMSRS, yakni dengan tujuan untuk mengisi kekosongan
berkaitan dengan overmacht dalam perjanjian rumah susun.
4.3.3. Penerapan Asas Hukum Perlindungan Konsumen dan Asas Kepastian
Hukum
Konsep atau pandangan hidup masyarakat Indonesia tentang hak asasi
manusia, hak milik, perjanjian atau hubungan hukum memberi dampak pada
pandangan mereka tentang hak-hak konsumen. Dalam penulisan ini yang akan
dibahas lebih lanjut berkenaan dengan hak milik dan perjanjian terhadap HMSRS.
Dalam teori hak milik, beberapa ahli hukum memberikan definisi
mengenai hak milik. Curzon mendefinisikan hak milik dengan property yakni:
The following are examples of many definitions of "property": "The
highest right men have to anything"; "a right over a determinate thing
either a tract of land or a chattel"; "an exclusive right to control an
economic good"; "an aggregate of rights guaranteed and protected by
the government"; "everything which is the subject of ownership"; "a
social institution whereby people regulate the acquisition and use of the
resources of our environment according to a system of rules "; "a
307
Adrian Sutedi, 2010. Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya,
Cet.4, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi III), hal.28.
223
concept that refers to the rights, obligations, privilages and restrictions
that govern the relations of men with respect to things of value".308
Terjemahan bebasnya berarti:
Berikut ini adalah contoh dari banyak definisi "properti": "Hak tertinggi
yang dapat dimiliki manusia terhadap apapun"; "suatu hak atas hal
tertentu apakah sebidang tanah atau harta"; "hak eksklusif untuk
menguasai sebuah barang ekonomi "; "sebuah agregat hak yang dijamin
dan dilindungi oleh pemerintah"; "segala sesuatu yang berbentuk
kepemilikan"; "lembaga sosial dimana orang mengatur perolehan dan
penggunaan sumber daya lingkungan kita sesuai dengan sistem aturan";
"sebuah konsep yang mengacu pada hak, kewajiban, hak istimewa dan
pembatasan yang mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang
bernilai".
Berbeda dengan Margaret Jane Radin yang mengemukakan pendapatnya
mengenai "Property Theory":
Property can mean either object-property, what Radin calls "fungible"
property, or it can mean attribute property, what she calls "personal"
or "constitutive" property. Fungible property is that type of property
which we treat as a commodity, is expressed in terms of market
rhetoric. Constitutive property is the type of property we associate with
our personhood and is not, or should not be expressed in terms of
market rhetoric.309
Terjemahan bebasnya berarti:
Properti bisa berarti obyek-properti, apa yang Radin sebut sebagai
properti yang "sepadan", atau bisa berarti properti atribut, apa yang dia
sebut properti "pribadi" atau "konstitutif". Properti sepadan adalah
bahwa jenis properti yang kita perlakukan sebagai sebuah komoditas,
dinyatakan dalam istilah retorika pasar. Properti konstitutif adalah jenis
properti yang kita kaitkan dengan kepribadian kita dan tidak, atau tidak
harus dinyatakan dalam istilah retorika pasar.
Demikian juga dengan David J. Hayton, memberikan pengertian "Real
Property" mengenai tanah, yakni:
The natural division of physical property is into land (or immovables "as it sometimes called") and other objects known as chattels or "movables". This simple distinction is inadequate. In the first place,
308
Curzon dalam Adrian Sutedi III,ibid, hal.6. 309
Margaret Jane Jadin dalam Adrian Sutedi III, ibid.
224
chattles may become attached to land so as to lose their character of chattles and become part of the land itself. Secondly, a sophisticated legal system of property, but also for the ownership of a wide variety.
310
Terjemahan bebasnya berarti:
Pembagian alami dari properti fisik adalah menjadi tanah/lahan (atau
harta yg tak dapat digerakkan "sebagaimana kadang-kadang disebut")
dan benda-benda lainnya yang dikenal sebagai harta benda atau "benda-
benda bergerak". Perbedaan sederhana ini tidak cukup memadai.
Pertama, harta dapat menjadi melekat pada tanah sehingga kehilangan
karakter harta bergeraknya dan menjadi bagian dari tanah itu sendiri.
Kedua, sistem hukum properti yang canggih, tetapi juga untuk
kepemilikan sebuah variasi yang luas.
Hak milik311
dalam pemikiran filosofi teori tentang hak, terbentuk tiga
pengertian, yaitu:
1. Hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum (pandangan
kelompok "Teori kepentingan, dipelopori oleh Rudolf Von Jhering);
2. Hak adalah kehendak bebas individu untuk menggunakan atau tidak
haknya. Artinya pemegang hak dapat berbuat apa saja atas haknya,
sehingga menurut teori kehendak, bahwa "diskresi" (wewenang bebas)
individu sebagi ciri essensial dari konsep hak. (pandangan kelompok
"Teori Kehendak", dipelopori oleh H.L.H. Hart).
3. Hak adalah fungsi sosial dalam arti bahwa kekuasaan yang dimiliki
seseorang dibatasi oleh kepentingan masyarkat. Dipelopori oleh Leon
Duguit.312
Secara definitif kepemilikan Rumah Susun memiliki beberapa pengertian
yaitu: (1). Hak memiliki sesuatu (2). Segala sesuatu yang bisa dimiliki (3). Tanah
dan Bangunan. Bisnis Rumah Susun merujuk pada pengertian yang ketiga
tersebut atau sering disebut dengan Real Rumah Susun.
Di dalam literatur dianalisis pula dasar pembenar filosofis adanya hak
bersama (kolektif) dan hak pemilikan sendiri (individu). Hukum Inggris yang
merupakan keluarga hukum Anglosaxon, berdasarkan prinsip common law,
310
David J.Hayton dalam Adrian Sutedi III, ibid, hal.6-7. 311
Dewa Gede Atmadja, op.cit, hal.88-89. 312
Peter Mahmud Marzuki I, op.cit, hal.175.
225
menengal pemilikan sendiri biasanya atas sebuah benda dimilik oleh seseorang
dalam waktu tertentu. Pemilikan bersama (partner, bila suatu benda di bawah
pemilikan dua orang atau lebih secara bersama-sama). Roscoe Pound memberikan
dasar filosofi terhadap hak milik pribadi (privat) melalui analisisnya alas
pemikiran teoritis dari 6 aliran, yaitu: Teori Hukum Alam (Natural Law
Theories), Teori Metafisik (Metaphysical Theories), Teori Sejarah (Historical
Theories), Teori Positif (Positive Theories), Teori Psikologis (Psychological
Theories), Teori Sosiologis (Sociological Theories). Teori hak milik pribadi
tersebut, diterapkan pula dalam kepemilikan HMSRS, yakni terhadap:Teori
Hukum Alam (Natural Law Theories) yaitu berdasar atas suatu persetujuan,
perjanjian timbal-balik lahirlah penguasaan individu dan berdasarkan sifat
kebendaan, Teori Metafisik (Metaphysical Theories), hak milik adalah hak mutlak
yang tidak dapat diganggu-gugat. Dalam hal ini, tidak ada satu benda pun menjadi
kepunyaannya tanpa suatu perbuatan yuridis. Jadi dalam hal ini ditekankan pada
unsur pendakuan dan perjanjian, Teori Positif (Positive Theories),penemuan
hukum dalam masyarakat primitif akan berkembang sesuai dengan perkembangan
peradaban.Teori Psikologis (Psychological Theories) yang mendasarkan pada
insting manusia untuk menguasai benda-benda dalam alam milik pribadi.Teori
Sosiologis (Sociological Theories)yang mendasarkan pada pendapat mengenai
adanya interaksi dari kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Dari tiga teori
Sosiologis (Teori Sosiologis Psychologis, Teori Sosiologis Positif, Teori
Sosiologis Utilitis), yang relevan terhadap kepemilikan HMSRS yaitu: Teori
Sosiologis Psychologis yang mencari dasar milik didalam suatu insting kehendak
untuk memperoleh harta benda dan Teori Sosiologis Utilitis yang menjelaskan
226
dan membenarkan milik sebagai suatu lembaga yang menjamin tercapainya
kepentingan dan sebagai usaha untuk pembangunan masyarakat.313
Penerapan teori tersebut sangat penting untuk memperoleh kepastian
hukum akan kepemilikan hak atas satuan rumah susun. Hal ini tentunya perlu
ditinjau dalam tahap apa rumah susun tersebut dilakukan, berikut tahapan-tahapan
yang akan dikaji lebih lanjut:
1. Dalam tahap pembangunan, apabila dibangun sendiri oleh pengembang,
baik dalam tahap pembangunan (proyeknya) sampai selesainya bangunan
rumah susun tersebut adalah milik pengembang (developer) yang
membangun sesuai dengan penerapan asas pemisahan horizontal menurut
Hukum Adat.
2. Apabila pembangunan rumah susun dengan sistem turn key project,
bangunan rumah susun adalah milik kontraktor yang membangun karena
ia yang membiayai seluruh proses pembangunannya. Apabila pemilikan
proyek telah membayar lunas tagihan biaya seluruh biaya
pembangunannya barulah dia menjadi pemilik rumah susun tersebut
3. Dalam tahap pemasaran satuan-satuan rumah susun yang rumah
susunnya telah selesai dibangun, pemiliknya adalah pengembang.
Demikian pula setelah satuan-satuannya dipisahkan berdasarkan akta
pemisahan pada saat didaftarkan di Kantor Pertanahan dalam rangka
pembuatan Buku Tanah dan Sertipikat HMSRS. Setelah dilaksanakan
pemindahan hak atau jual beli HMSRS dihadapan PPAT yang berwenang
dan didaftarkan barulah menjadi milik pembeli sebagai pemegang
HMSRS
4. Setelah terjual seluruh satuan-satuannya, rumah susun tersebut menjadi
milik bersama para pemegang HMSRS dan dikelola sehari-hari oleh
Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) khususnya untuk yang
dimiliki bersama (bagian bersama, benda bersama dan tanah hak
bersama).314
Tahapan-tahapan sebagaimana diuraikan diatas, berkaitan dengan tahapan
transaksi konsumen (consumner transaction). Transaksi konsumen adalah
peralihan barang/jasa termasuk didalamnya peralihan kenikmatan dalam
menggunakannya. Transaksi konsumen merupakan suatu perikatan yang terutama
313
Roescou Pound dalam Aslan Noor, loc.cit 314
Otom Mustomi dan Mimin Mintarsih, op.cit, hal.69.
227
berkaitan dengan perikatan keperdataan, dalam perspektif hukum perdata,
perikatan transaksi konsumen tersebut, tidak serta merta terjadi begitu saja.
Perikatan konsumen merupakan pelaksanaan dari perikatan sebelumnya yang
disebut pratransaksi konsumen. Setelah transaksi konsumen dilaksanakan, masih
ada perikatan lain yang harus dipenuhi kedua belah pihak yang disebut dengan
pasca transaksi konsumen
Pada tahapan pratransaksi konsumen ditandai oleh penawaran dari penjual
kepada calon pembelinya. Pada saat ini, penawaran lazimnya dilakukan melalui
media massa yang dikemas secara menarik melalui iklan . proses untuk
menghasilkan iklan itu disebut dengan periklanan yang melibatkan tiga pelaku
dalam pengiklanan yaitu pengiklan, perusahaan periklanan, dan media massa.
Tahapan berikutnya aadalah pelaksanaan dari transaksi konsumen itu sendiri. Isu
yang banyak dipermasalahkan pada tahapan ini adalah eksistensi dari perjanjian
standar atau perjanjian baku. Menjadi pertanyaan, apakah dalam perjanjian baku
tersebut terdapat adanya kebebasan berkontrak. Hal ini terjadi oleh karena
perjanjian standar itu, ditentukan secara sepihak oleh produsen/ penyalur produksi
(penjual), sedangkan konsumen tinggal memutuskan apakah menerima (take it)
atau menolaknya (leave it). Konsumen tidak mempunyai pilihan lain selain
menerima perjanjian. Tahapan ketiga dari proses transaksi konsumen adalah
perikatan setelah peralihan barang/jasa yang pokok dilakukan. Sering terjadi
untuk pembelian barang-barang tertentu, produsen memberikan garansi dalam
jangka waktu terbatas. Selama jangka waktu itu, setiap keluhan kosumen atas
barang tersebut, sepanjang tidak disebabkan oleh kesalahan pemakaian dapat
228
diajukan kepada produsen. Inilah yang disebut dengan layanan purnajual (after
sales service).
Perlindungan konsumen pernah secara prinsipiil menganut asas the privity
of contract, dalam artian bahwa pelaku usaha hanya dapat dimintakan
pertanggungjawaban hukumnya sepanjang ada hubungan kontraktual antara
dirinya dan konsumen. Oleh karena itu, tidak mengeherankan bila ada pandangan
hukum perlindungan konsumen berkorelasi erat dengan hukum perikatan
khusunya perikatan perdata. Secara umum tradisi caveat emptor dalam hukum
perlindungan konsumen belum dapat ditinggalkan sepenuhnya. Kesadaran
produsen untuk bertanggungjawab atas produk atau jasa yang diberikan kepada
masyarakat masih kurang, dan masyarakat masih segan memperjuangkan hak-
haknya. Ketidakberdayaan konsumen ini terlihat dengan munculnya berbagai
format-format perjanjian yang dibakukan (standardized contract). Kepastian hak
masing-masing pemilik Satuan Rumah Susun ditentukan didalam Pertelaan.
Pertelaan berarti suatu penjelasan mengenai batas-batas yang jelas dari setiap
Satuan Rumah Susun yang merupakan bagian tertentu dari rumah susun, baik
batas-batas horizontal maupun vertikal, termasuk Bagian Bersama, Benda
Bersama dan Tanah Bersama beserta uraian Nilai Perbandingan Proporsionalnya
yang dibuat dan disusun oleh Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun sesuai
dengan ketentuan rumah susun. Besarnya hak masing-masing pemilik Satuan
Rumah Susun tertera dalam gambar denah dan ukuran luas Satuan Rumah Susun
dalam scrtipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, sedangkan seberapa besar
229
hak masing-masing atas Bagian Bersama, Benda Bersama dan Tanah Bersama
diukur dari Nilai Perbandingan Proporsional.
Berdasarkan pemikiran penulis, bentuk pertelaan dan PPJB dalam
perjanjian rumah susun dapat dikategorikan berbentuk baku. Karena pada saat
pembuatan dan pengesahan pertelaan tidak mengikutsertakan pihak konsumen,
dalam ha ini konsumen hanya menandatangani dan setuju atas perjanjian tersebut
tanpa mengetahui secara rinci data fisik yang tercantum dalam pertelaan, baik itu
Data Rinci berkaitan dengan telah terlaksananya persyaratan Teknis dan
Administratif dalam pembangunan Rumah Susun, data mengenai bagian bersama
dan benda bersama dalam satuan rumah susun tersebut maupun penghitungan
imbangan NPP, sehingga kedudukan konsumen lemah dan kurang menjamin
kepastian hukum dalam kepemilikan HMSRS.
Asas kepastian hukum ini tercermin dalam Pasal 1338 KUHPedata,
kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yakni sebagai
undang-undang bagi para pihak dan juga dijadikan landasan/tujuan dari
penyelenggaraan rumah susun yang dinyatakan dalam UURS Pasal 3 huruf (h)
yakni memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, penghunian, pengelolaan
dan kepemilikan rumah susun.
Untuk menjamin kepastian hukum, Sebagaimana diamanatkan dalam
ketentuan diatas, maka beberapa aspek yang terkait dengan Perjanjian Rumah
Susun, dan sebaiknya dicantumkan dalam klausul pada perjanjian tersebut secara
230
jelas, lengkap dan rinci agar tidak menimbulkan suatu penafsiran, aspek tersebut
diantaranya:
Aspek Manajemen dan Manajemen Risiko
Manajemen proyek dan konstruksi merupakan sistem yang melibatkan
rangkaian pengelolaan pembangunan rumah susun secara menyeluruh sejak
pertama ingin membangun.Berbagai elemen yang terkait dengan hal tersebut,
diantaranya melalui perencanaan, uji coba, studi kelayakan dan dampak
lingkungan. Elemen-elemen tersebut secara rinci diuraikan dalam perencanaan
pembangunan, syarat teknis dan syarat ekologis dalam pembangunan rumah
susun, berikut uraiannya:
1. Perencanaan Pembangunan Rumah Susun.
Perencanaan pembangunan rumah susun diatur dalam Pasal 13 UU Rumah
Susun, yaitu meliputi:
a. Penetapan penyediaan jumlah dan jenis rumah susun;
b. Penetapan zonasi pembangunan rumah susun; dan
c. Penetapan lokasi pembangunan rumah susun.
A. Penetapan penyediaan jumlah dan jenis rumah susun, diatur dalam Pasal
13 ayat 2 UU Rumah Susun bahwa penetapan penyediaan jumlah dan jenis rumah
susun dilakukan berdasarkan kelompok sasaran, pelaku, dan sumber daya
pembangunan yang meliputi rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah
susun negara, dan rumah susun komersial.
231
B. Penetapan zonasi dan lokasi pembangunan rumah susun
Berkenaan dengan penetapan zonasi dan lokasi pembangunan rumah susun
harus dilakukan sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota dan dalam memilih lokasi untuk pembangunan rumah susun,
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Lokasi rumah susun harus sesuai dengan peruntukan dan keserasian
lingkungan dengan memperhatikan rencana tata ruang dan tata guna
tanah.
Lokasi harus memungkinkan berfungsinya dengan baik saluran-
saluran pembuangan dalam lingkungan ke sistem jaringan
pembuangan air hujan dan jaringan air limbah kota.
Lokasi rumah susun harus mudah dicapai angkutan yang diperlukan
baik langsung maupun tidak langsung pada waktu pembangunan,
penghunian dan perkembangan dimasa mendatang.
Lokasi rumah susun harus dijangkau oleh pelayanan jaringan air
bersih dan listrik. Apabila lokasi rumah susun belum dapat dijangkau
oleh pelayanan air bersih maupun listrik, maka penyelenggara
pembangunan wajib menyediakan secara tersendiri sarana tersebut.315
2. Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun
Persyaratan teknis pembangunan rumah susun, diuraikan dalam Pasal 35
UU Rumah Susun, antara lain meliputi:
a. Tata bangunan yang meliputi persyaratan peruntukan lokasi316
serta
intensitas dan arsitektur bangunan317
; dan
315
Vide Pasal 12 ayat 2 UU Rumah Susun jo Pasal 22 PP Rumah Susun 316
Peruntukan lokasi merupakan ketentuan tentang jenis fungsi atau kombinasi fungsi bangunan rumah susun yang boleh dibangun pada lokasi atau kawasan tertentu. (Vide Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Rumah Susun).
317Intensitas bangunan merupakan ketentuan teknis tentang kepadatan dan
ketinggian bangunan rumah susun yang dipersyaratkan pada lokasi atau kawasan tertentu yang meliputi koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan jumlah lantai bangunan (ibid).
232
b. Keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan318
,
persyaratan kesehatan319
, kenyamanan320
, dan persyaratan
kemudahan321
.
Persyaratan sebagaimana diuraikan diatas, diatur lebih lanjut dalam
peraturan pelaksananya yaitu dalam PP Rumah Susun. Berkenaan dengan
persyaratan tata bangunan yang meliputi intensitas dan arsitektur bangunan serta
persyaratan keandalan bangunan yang meliputi persyaratan kesehatan dan
persyaratan keamanan, diatur dalam ketentuan Pasal 11-13 PP Rumah Susun,
diantaranya sebagai berikut:
A.1. Persyaratan teknis untuk ruangan dan persyaratan kesehatan diatur
dalam Pasal 11 PP Rumah Susun
Dalam hal ini semua ruangan yang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari,
harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan udara luar
dan pencahayaan dalam jumlah yang cukup. Apabila tidak mencukupi, maka
harus diusahakan adanya pertukaran udara dan pencahayaan buatan yang bekerja
terus menerus selama ruangan tersebut digunakan.
318
Persyaratan keselamatan merupakan kemampuan bangunan rumah susun
untuk mendukung beban muatan serta untuk mencegah dan menanggulangi
bahaya kebakaran dan bahaya petir. (Vide penjelasan Pasal 35 huruf b UU Rumah
Susun). 319
Persyaratan kesehatan meliputi sistem penghawaan, pencahayaan,
sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan (ibid). 320
Persyaratan kenyamanan meliputi kenyamanan ruang gerak dan
hubungan antarruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta terhadap
pengaruh tingkat getaran dan tingkat kebisingan.(ibid) 321
Persyaratan kemudahan meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di
dalam bangunan rumah susun serta sarana dan prasarana dalam pemanfaatan
bangunan rumah susun (ibid).
233
Berkenaan dengan persyaratan teknis yang harus dipenuhi untuk satuan-
satuan rumah susun, meliputi:
a. Satuan rumah susun harus mempunyai ukuran standar yang dapat
dipertanggung jawabkan dan memenuhi persyaratan sehubungan
dengan fungsi dan penggunaannya. Serta harus diatur dan dikoor-
dinasikan untuk dapat mewujudkan suatu keadaan yang dapat
menunjang kesejahteraan dan kelancaran bagi penghuni dalam
menjalankan kegiatan sehari-hari, baik untuk hubungan keluar maupun
kedalam.
b. Satuan rumah susun dapat berada pada permukaan tanah, diatas atau
dibawah permukaan tanah, atau sebagian dibawah dan sebagian diatas
permukaan tanah merupakan dimensi dan volume ruang tertentu sesuai
dengan yang telah direncanakan.
c. Bagian bersama dan benda bersama
Bagian bersama yang berupa ruang untuk umum, ruang tunggu, lift atau
selasar, harus mempunyai ukuran yang memenuhi persyaratan dan
diatur serta dikoordinasikan, dengan memperhatikan keserasian,
keseimbangan dan keterpaduan, sehingga dapat memberikan
kemudahan bagi penghuni dalam melakukan kegiatan sehari-hari baik
sesama penghuni maupun dengan pihak-pihak lain. Untuk benda-benda
milik bersama harus mempunyai dimensi, lokasi, kualitas, kapasitas
yang memenuhi persyaratan, diatur dan dikoordinasikan, sehingga
dapat memberikan keserasian lingkungan guna menjamin keamanan
dan kenikmatan bagi para penghuni maupun pihak-pihak lain.322
Selanjutnya, berkenaan dengan kepadatan (intentitas) dan tata letak
bangunan diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 23-25 PP Rumah Susun.
Kepadatan bangunan dalam lingkungan harus dapat mencapai optimasi daya guna
dan hasil guna tanah, dengan memperhatikan keserasian dan keselamatan
lingkungan sekitarnya dan untuk tata letak bangunan harus menunjang kelancaran
kegiatan sehari-hari serta memperhatikan penetapan batas pemilikan tanah
bersama, segi-segi kesehatan, pencahayaan, pertukaran udara serta pencegahan
322
Vide Pasal 16-21 PP Rumah Susun.
234
dan pengamanan terhadap bahaya yang mengancam keselamatan penghuni,
bangunan dan lingkungannya.323
A.2. Persyaratan Arsitektur bangunan dan persyaratan keselamatan yaitu
berkenaan dengan struktur, komponen dan bahan-bahan bangunan. Dalam hal ini
harus memenuhi persyaratan konstruksi dan standar yang berlaku serta harus
memperhitungkan kuat dan tahan terhadap :
Beban mati; Beban bergerak; Gempa, hujan, angin dan banjir; Kebakaran dalam jangka waktu yang diperhitungkan cukup untuk
usaha pengamanan dan penyelamatan; Daya dukung tanah; Kemungkinan adanya beban tambahan, baik dari arah vertikal maupun
horizontal; Gangguan perusak lainnya; Jaringan air bersih yang memenuhi persyaratan mengenai perpipaan
dan perlengkapannya termasuk meter air, pengatur tekanan air dan tangki air bersih di dalam rumah susun, baik untuk hunian maupun bukan hunian, harus aman dan kuat terhadap kemungkinan gangguan benturan dan pada bagian-bagian tertentu dan harus terlindung;
Jaringan listrik yang memenuhi persyaratan mengenai kabel dan perlengkapannya, termasuk meter listrik dan pembatas arus serta pengamanan terhadap kemungkinan timbulnya hal-hal yang membahayakan;
Jaringan gas yang memenuhi persyaratan beserta perlengkapannya termasuk meter gas, pengatur arus serta pengamanan terhadap kemungkinan timbulnya hal-hal yang membahayakan. Penyediaan jaringan gas ini hanya dikhususkan bagi rumah susun untuk hunian;
Saluran pembuangan air hanya yang memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas pemasangan;
Saluran dan/atau tempat pembuangan sampah yang memenuhi persyaratan terhadap kebersihan, kesehatan dan kemudahan;
Tempat untuk kemungkinan pemasangan jaringan telepon dan alat komunikasi lainnya;
323
Dalam mengatur kepadatan (intensitas) bangunan diperlukan
perbandingan yang tepat meliputi: (a). Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah
perbandingan antara luas bangunan dengan luas lahan/persil, tidak melebihi dari
0,4; (b). Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah perbandingan antara luas lantai
bangunan dengan luas tanah tidak kurang dari 1,5 dan (c). Koefisien Bagian
Bersama (KB) adalah perbandingan bagian bersama dengan luas bangunan, tidak
kurang dari 0,2. (Adrian Sutedi I, op.cit, hal.181).
235
Alat transportasi yang berupa tangga, lift atau ekskalator sesuai dengan tingkat keperluan dan persyaratan yang berlaku;
Pintu dan tangga darurat kebakaran. Pintu rumah susun harus tahan terhadap api sampai jangka waktu tertentu untuk memungkinkan usaha penyelamatan sesuai dengan peruntukannya terutama untuk hunian, pertokoan, industri dan sebagainya;
Alat pemadam kebakaran. Di dalam upaya menanggulangi pencegahan kebakaran, untuk rumah susun yang berkualitas menengah keatas diwajibkan untuk memasang alat pencegah kebakaran tingkat awal (sprinklers). Dan untuk semua rumah susun masing-masing harus disediakan alat pemadam kebakaran atau hydrant.
Penangkal petir. Alat/sistem alarm Untuk semua rumah susun harus disediakan alat/sistem alarm dengan
cara manual atau otomatis. Sedangkan untuk rumah susun yang bukan hunian dapat diperlengkapi dengan sistem panggilan dan pembukaan pintu dan peralatan-peralatan lainnya.
Pintu kedap asap pada jarak jauh tertentu. Generator listrik untuk rumah susun yang menggunakan lift. Bagian-bagian dari kelengkapan rumah susun yang merupakan hak
bersama harus ditempatkan dan dilindungi untuk menjamin fungsinya sebagai bagian bersama.
324
B. Berkenaan dengan persyaratan kemudahan diatur lebih lanjut dalam Pasal
26-28 PP Rumah Susun, meliputi kemudahan dalam perolehan dan pemanfaatan
Prasarana dan Fasilitas Lingkungan.
B.1.Prasarana lingkungan
Lingkungan rumah susun harus dilengkapi dengan prasarana sebagai berikut:
Prasarana lingkungan yang berfungsi sebagai penghubung untuk
keperluan kegiatan sehari-hari bagi penghuni seperti jalan setapak, jalan
kendaraan dan tempat parkir; Prasarana lingkungan dan utilitas umum seperti :
Jaringan distribusi air bersih, gas, dan listrik dengan segala kelengkapannya seperti tangki air, pompa air, tangki gas dan gardu-gardu listrik.
Saluran pembuangan air hujan yang menghubungkan air hujan dari rumah susun ke sistem jaringan pembuangan air kota.
Saluran pembuangan air limbah dan/atau septik yang menghubungkan pembuangan air limbah dari rumah susun ke sistem jaringan air limbah kota.
324
Vide Pasal 12-14 PP Rumah Susun.
236
Tempat pembuangan sampah yang fungsinya adalah sebagai tempat
pengumpul sampah dari rumah susun untuk selanjutnya dibuang ke
tempat pembuangan sampah kota, dengan mempertimbangkan faktor
kemudahan pengangkutan, kesehatan, kebersihan dan keindahan.
Kran-kran air untuk mencegah dan pengamanan terhadap bahaya
kebakaran yang dapat menjangkau semua tempat dalam lingkungan
dengan kapasitas air yang cukup untuk pemadam kebakaran.
Tempat parkir kendaraan dan/atau penyimpanan barang.
Jaringan telepon dan alat komunikasi sesuai dengan keperluan.325
B.2. Fasilitas lingkungan (Pasal 27-28 PP Rumah Susun)
Berkenaan dengan Fasilitas Lingkungan dalam rumah susun dan
lingkungannya harus disediakan :
Ruangan atau bangunan untuk tempat berkumpul, melakukan kegiatan
masyarakat, tempat bermain anak-anak dan kontak sosial lainnya.
Ruangan atau bangunan untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk
kesehatan, pendidikan, peribadatan dan lain-lainnya.
3. Persyaratan Ekologis Pembangunan Rumah Susun.
Persyaratan Ekologis pembangunan rumah susun berkenaan dengan dampak
lingkungan dapat dicermati dalam persyaratan Ekologis pembangunan rumah
susun diatur dalam ketentuan Pasal 37 dan Pasal 38 UU Rumah Susun.
Rangkaian pengelolaan bangunan secara menyeluruh, sebagaimana telah
diuraikan diatas, sepatutnya dibasiskan pada pencegahan risiko, dalam hal ini
risiko kebakaran maupun pencegahan terhadap risiko bencana. Sehingga ketika
aspek pencegahan ini dipikirkan dan diperhitungkan secara seksama, proses
perancangan aspek penanggulangan tersebut selalu menjadi prioritas.
325
Vide Pasal 26 PP Rumah Susun
237
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Dari apa yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu maka penulis dapat
memberikan simpulan bahwa:
1. Akibat hukum Klausul Pertelaan dalam hal terjadinya overmacht terhadap
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu:
a. Terhadap Overmacht Absolut:
Perjanjian dinyatakan Batal demi Hukum dari semula dianggap tidak
pernah ada perikatan, sehingga mengakibatkan debitur tidak perlu membayar
ganti rugi, asalkan para pihak dapat membuktikan bahwa keadaan yang
menyebabkan overmacht tersebut adalah keadaan di luar kekuasaan pihak
yaitu kehilangan benda obyek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan.
b. Terhadap Overmacht Relatif
Tidak serta merta demi hukum mengakibatkan perikatan tersebut hapus,
melainkan hanya menunda pelaksanaan pemenuhan prestasi dan bila keadaan
overmacht tersebut telah hilang maka kreditur dapat menuntut kembali
pemenuhan prestasi, asalkan para pihak dapat membuktikan bahwa pihak
lainnya lalai dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
2. Berdasarkan kriteria-kriteria overmacht dalam Buku III KUHPerdata yang
hanya bersifat terbatas saja maka selain terhadap kriteria overmacht dalam
buku III KUHPerdata, kriteria Overmacht terhadap Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun juga dapat diterapkan/berlaku secara mutatis-mutandis
terhadap kriteria overmacht dalam Yurisprudensi, Peraturan perundang-
undangan lainnya serta Kontrak-kontrak lainnya, dengan mencermati
238
substansi objek kebendaan HMSRS dan relevansinya terhadap perjanjian
rumah susun.
5.2. Saran-Saran
Berdasarkan pada permasalahan yang sedang dikaji maka penulis dapat
mengemukakan saran-saran berupa:
1. Pada prinsipnya, Pertelaan dan Akta Pemisahan dibuat oleh Penyelenggara
Pembangunan Rumah Susun (Pengembang/Developer), namun demikian
agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari, disarankan kepada
Kantor Pertanahan terlebih dahulu melakukan pengecekan secara uji petik
terhadap beberapa unit Satuan Rumah Susun untuk mendapatkan luas lot
dan selanjutnya diadakan kesesuaian antara data-data mengenai bagian
bersama, benda bersama sehingga luas unit satuan rumah susun yang
tercantum dalam draft pertelaan dan akta pemisahan sebanding dengan
kondisi fisik di lapangan dalam rangka memperoleh besaran imbangan NPP,
sehingga adanya transparansi dalam menetapkan Rincian Pertelaan. Setelah
mendapat kesesuaian data rincian pertelaan, disarankan pula kepada Kantor
Pertanahan agar memberikan arahan draft pertelaan dan akta pemisahan,
sehingga tidak adanya penetapan bentuk draft pertelaan dan akta pemisahan
secara sepihak oleh Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun
(Pengembang/Developer) sekaligus mencegah itikad buruk dari
Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun (Pengembang/Developer).
2. Kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebelum menetapkan
SK Pengesahan Pertelaan sepatutnya melakukan telaah secara seksama dan
cermat terhadap rincian pertelaan, lampiran persyaratan administratif dan
teknis dalam pembangunan rumah susun serta akta pemisahan dan ada
baiknya juga selain diadakan Rapat Koordinasi terhadap instansi
239
berwenang, Pemerintahan Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dalam
melakukan pengesahan Pertelaan juga mengadakan Rapat dengan Pihak
Pengembang dan Pemilik Unit Satuan Rumah Susun agar tercipta
transparansi didalam proses Pengesahan Pertelaan.
3. Kepada Instansi berwenang dan pejabat berwenang sebelum mengeluarkan
Izin terkait, sebaiknya melakukan pengecekan secara cermat terhadap uji
kelayakan bangunan, kesesuaian konstruksi bangunan meliputi Rancang
Bangun, Arsitektur Bangunan, Intensitas Bangunan terhadap kesesuaian
perbandingan dengan Koefisien Dasar Bangunan, Koefisien Lantai
Bangunan dan Koefisien Benda Bersama agar tahan terhadap risiko
bencana.
4. Untuk mendukung bisnis properti dalam hal ini Kepemilikan Satuan Rumah
Susun serta dalam hubungannya dengan perlindungan pemilikan Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun, disarankan kepada pembuat kebijakan perihal
pengaturan konsepsi Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebaiknya
dipisahkan dari Undang-undang Rumah Susun dan dibuatkan Undang-
undang tersendiri yaitu Undang-undang Pertelaan yang khusus mengatur
mengenai Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
5. Disarankan pula dalam pembentukan Undang-undang Pertelaan
dicantumkan pengaturan mengenai overmacht, meskipun memang
dicantumkan atau tidaknya overmacht dalam perjanjian tergantung atas
kesepakatan para pihak namun untuk memberikan perlindungan dan
kepastian hukum terhadap kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun dan demi terwujudnya keadilan berbasis kontrak, sepatutnya
overmacht diatur dalam bentuk Undang-undang.
240
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU-BUKU
Ali, Zainuddin. 2008. Filsafat Hukum, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta
Alif, M. Rizal. 2009. Analisis Kepemilikan Hak atas Tanah Satuan Rumah Susun
didalam Kerangka Hukum Benda, Nuansa Aulia, Bandung
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2008. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Apeldoorn, L.J.Van. Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht,
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sadino, Oetarid 2005.
Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 31, Pradnya Paramita, Jakarta
Atmadja, Dewa Gede. Filsafat Hukum: Dimensi Tematis dan Historis, 2013.
Setara Press, Malang
Badrulzaman, Mariam Darus,et.al. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung
Badrulzaman, Mariam Darus. 2010. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,
Cet.3, Alumni, Bandung
Bertens, K. 2004. Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Bisri, Ilhami. 2010. Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip dan Implementasi
Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Budiono, Abdul Rachmad. 2005. Pengantar Ilmu Hukum, Cet.I, Banyumedia,
Malang
Budiono, Herlien, 2008. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung
Chand, Hari, 1994. Modern Jurisprudence, International Law Book Services,
Malaysia
Chappelle, Diane. 2004. Land Law, Sixth Edition, Pearson, England
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 2008. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
241
Dirdjosisworo, Soedjono. 2010. Pengantar Ilmu Hukum, Ed.1, Cet.13, Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Djamali, R.Abdoel. 2006. Pengantar Hukum Indonesia: Edisi Revisi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Erwin, Muhamad. 2011. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Friedmann, Lawrence M. 1985. American Law, W.W.Norton & Company New
York-London
Fuady, Munir. 2007. Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta
. 2007. Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Pertama,
Citra Aditya Bakti, Bandung
Goo, S.H.Source. 2002. Sourcebook On Land Law,Third Edition, Cavendish,
London-Sydney
Halim, Ridwan. 2000. Sendi-Sendi Hukum Hak Milik, Kondominium, Rumah
Susun Dan Sari-Sari Hukum Benda, Puncak Karma, Jakarta
Hamzah, Andi, et.al. 2000. Dasar-dasar Hukum Perumahan, Cet.3, Rineka Cipta,
Jakarta
Harahap ,Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung
Harsono, Boedi. 1990.Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan
Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta
. 2008.Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah Nasional,
Cet. XII, Djambatan, Jakarta
Hasan, Djuhaendah. 2011. Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda
Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan
Horisontal, Nuansa Madani, Jakarta
Hernoko, Agus Yudha. 2011. Hukum Perjanjian:Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersil, Cet.II, Kencana Predana Media Group, Jakarta
Salim. H.S. 2009. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet.6,
Sinar Grafika, Jakarta
242
. 2009. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet.6, Sinar Grafika, Jakarta
Hutagalung, Arie S. 2007. Condominium dan Permasalahannya, Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta Hutagalung, Arie S, et.al. 2012. Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia,
Pustaka Larasan, Bali Kansil, C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta Kie, Tan Thong. 2007. Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris,
Intermasa, Jakarta Kurnia, Titon Slamet. 2009. Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Alumni,
Bandung Kuswahyono, Imam. 2004. Hukum Rumah Susun, Bayumedia Publishing, Malang Mallor, Jane P.,et.al. 2007. Business Law: The Ethical, Global and E-Commerce
Environment, Thirteenth Edition, McGrawHill Companies, New York Marzuki, Peter Mahmud. 2009. Pengantar Ilmu Hukum, Cet.II, Kencana, Jakarta . 2010. Penelitian Hukum, Kencana, Predana Media Grup, Jakarta Mertokusumo, Sudikno. 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta Miru, Ahmadi. 2008. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Grafindo
Persada, Jakarta Muljadi Kartini dan Gunawan Widjaja. 2003. Seri Hukum Harta Kekayaan:
Kebendaan pada Umumnya, Cet.2, Kencana, Jakarta . 2005. Seri Hukum Harta Kekayaan: Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik
(Dalam Sudut Pandang KUHPerdata), Cet.2, Kencana, Jakarta . 2010. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Mustafa, Bachsan. 1985. Hukum Agraria dalam Perspektif, Cet.2, Remadja
Karya, Bandung
. 2011. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung
243
Noor, Aslan. 2006. Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau
dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung
Oktoberina, Sri Rahayu dan Niken Savitri. 2010. Butir-butir pemikiran dalam
Hukum: Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, Refika
Aditama, Bandung
Panggabean, H.P. 2012. Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan
Hukum Perikatan, Alumni, Bandung
Rasjidi, Lili dan Wyasa Putra. 2003. Hukum sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju,
Bandung
Rato, Dominikus. 2010. Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami
Hukum, Laksbang Justitia, Surabaya
Santoso, Urip. 2013. Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Cet.2, Kencana,
Jakarta
Setiawan,R. 1999. Pokok-pokok Hukum Perikatan, Cet.6, Putra Abardin, Bandung
Shidarta, 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta
Siahaan, Marihot P. 2005. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan:Teori
dan Praktik, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Siahaan, N.H.T. 2005. Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan
Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta
Sidharta, Arief. 2009. Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung
Simanjuntak, Ricardo. 2011. Hukum Kontrak:Teknik Perancangan kontrak Bisnis,
Kontan Publishing, Jakarta
Soemadipradja, Rahmat S.S. 2010. Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa
(Syarat-syarat Pembatalan Perjanjian yang disebabkan Keadaan Memaksa/
Force Majeure), Nasional Legal Reform Program, Jakarta
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. 1981. Hukum Perdata: Hukum Benda, Cet.IV,
Liberty, Yogyakarta
Subekti, R. 2001. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet.29, PT Intermassa, Jakarta
244
. 2002. Hukum Perjanjian, Cet.19, Intermasa, Jakarta
Sumaryono, E. 2002. Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquinas. Kanisius, Yogyakarta
Sutedi, Adrian, 2008. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, Mulia, Bogor
. 2010. Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta
. 2010. Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet.4, Sinar
Grafika, Jakarta
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi
Pustaka Publisher, Jakarta
. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta
Ujan, Andre Ata. 1999. Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John
Rawls), Kanisius, Yogyakarta
Usman, Rachmadi. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta
. 2011. Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta
Utrecht, E. 1989. Pengantar dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh
Moh.Saleh Djindang, Cet.XI, Ichtiar Baru
Widjaja, Gunawan. 2000. Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
. 2006. Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum
Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Zainuddin, Ali. 2010. Metode Penelitian Hukum, Cet.lI.Sinar Grafika, Jakarta
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Subekti dan R.Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
Burgelijk Wetboek dengan tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan
Undang-undang Perkawinan, Cet.34, Pradnya Paramita, Jakarta
245
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043 Tahun 1960)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Pemukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 7 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5188)
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252).
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 (Lembaran Negara Republik
IndonesiaTahun 1988 Nomor 7 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3372)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak
Atas Tanah Kepunyaan Bersama dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan
yang Ada di Atasnya Serta Penerbitan Sertifikatnya.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan
Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas Tanah yang Dipunyai
Bersama dan Pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang Ada di Atasnya.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara
Permohonan Dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah
Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan secara Terpisah
Bagian Bagian Pada Bangunan Bertingkat
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2010
tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan
Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat selaku Ketua Badan Kebijaksanaan
dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Nasional
Nomor 6/KPTSBKP4N/1995 tentang Pedoman Pembuatan Akta Pendirian,
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni
Rumah Susun.
246
Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995 tentang Pedoman
Perikatan Jual-Beli Satuan Rumah Susun
Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian
serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun
Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara
Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun
III. JURNAL HUKUM
Mohsin, Yakob. 1986. Pranata-Pranata Hukum yang Baru dan Tinjauan terhadap
Undang-undang Rumah Susun, Hukum dan Pembangunan, Agustus,
Vol.XVI No.6, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
Evianto, Hady. 1986. Hukum Perlindungan Konsumen Bukanlah Sekedar
“Keinginan” melainkan suatu “Kebutuhan”, Desember, Vol.XVI No.6,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
Mustomi, Otom dan Mimim Mintarsih. 2003. Aspek Hukum Sewa-Menyewa
Rumah Susun di Wilayah DKI Jakarta, Reformasi Hukum, Vol.VI No.1
Januari-Juni, Universitas Islam Indonesia, Jakarta
IV. KAMUS
Lorens, Bagus, 2000. Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Budiarto, M, et.al. 2004. Kamus Hukum Umum, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta
Wojowasito, S. 2003. Kamus Umum Belanda Indonesia:Belanda Indonesia,
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
Sumartini, et.al, 1999. Penyusunan Kamus Hukum Umum Bahasa Belanda-
Bahasa Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman RI, Jakarta
Thermorshuizen, et.al, 1999, Indonesisch-Nederlands Juridisch Wordenboek:
Hukum Benda/Goederenrecht, Centre for International Legal Cooperation
Lampiran 1
SURAT PERMOHONAN PENGESAHAN PERTELAAN
KOP SURAT PERUSAHAAN
.........................., .............................
Nomor :
Lampiran :
Perihal : Permohonan Pengesahan
Pertelaan/Akta Pemisahan
Rumah Susun atas Satuan-
Satuan Rumah Susun.
Kepada Yth.
Bapak Bupati/Walikota
(Gubernur untuk DKI Jakarta I
.....................................................
Melalui:
Bapak Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota..........................
(Kepala Kanwil BPN untuk DKI
Jakarta)
di –
..................................
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Kewarganegaraan :
Alamat :
Bertindak untuk/atas nama ............................................. (Badan
Hukum) berdasarkan Surat Kuasa Nomor ...............................
tanggal.................., berkedudukan di ........................... Akta Pendirian
Nomor ........................... Tanggal ..................., selaku penyelenggara
pembangunan rumah susun.............................terletak di :
Jalan :
Desa/Kelurahan :
Kecamatan :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Sebagai bahan pertimbangan bersama ini terlampir sebagai berikut:
1. Pertelaan (Gambar dan Uraian Pertelaan);
2. Akta Pemisahan Rumah Susun ;
3. Asli Sertipikat Hak Atas Tanah;
4. Ijin Lokasi / SIPPT untuk DKI Jakarta ;
5. Advice Planning / Keterangan Rencana Kota ;
6. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB);
7. Ijin Layak Huni (ILH) / Ijin Penggunaan Bangunan (IPB) ;
8. dll.
Sehubungan dengan permohonan ini kami menyatakan bersedia dan
tidak keberatan apabila dilakukan pemeriksaan/pengecekan fisik rumah
susun, untuk meneliti kesesuaian data-data dalam pertelaan dan Akta
Pemisahan dengan kondisi fisik di lapangan.
Demikian atas dikabulkannya permohonan ini kami ucapkan terima
kasih.
.....................(badan hukum)
Direktur) Kuasa.
tdtcap.
........................................
Lampiran 2A
BERITA ACARA
PENELITIAN PERTELAAN RUMAH SUSUN....................
Pada hari ini, ............. tanggal ........... bulan .......... Tahun ............yang bertanda
tangan dibawah ini:
1................................................... selaku wakil dari..................................(instansi)
2................................................... selaku wakil dari..................................(instansi)
3................................................... selaku wakil dari..................................(instansi)
4................................................... selaku wakil dari..................................(instansi)
5................................................... selaku wakil dari..................................(instansi)
6................................................... selaku wakil dari..................................(instansi)
dst. (sesuai ketentuan dalam Perda atau Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur ybs).
Sesuai dengan ketentuan Perda / Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur No............
Tahun......, telah melaksanakan penelitian dan pembahasan terhadap Pertelaan dan
Akta Pemisahan Rumah Susun Hunian dan/atau Bukan Hunian.
"......................................................................" (nama Rumah Susun)
Dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap Pertelaan dan Akta Pemisahan
dimaksud dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bangunan Rumah Susun Hunian dan/atau Bukan Hunian ini merupakan satu
lingkungan rumah susun dibangun di atas Tanah Bersama sebagai berikut:
Jenis dan nomor hak :
Luas Tanah : .................M2
Batas-batas diuraikan dalam : Surat Ukur No.
tanggal............
Terletak di :
Bangunan Rumah Susun : Terdiri dari ........ Blok atau Tower Rumah Susun
yang dikelompokan menjadi......type, yaitu type
......... dan type ......... dengan jumlah unit
keseluruhan sebanyak .......... unit satuan Rumah
Susun Hunian dan/atau Bukan Hunian.
2. Gambar dan uraian Pertelaan telah merinci secara jelas mengenai batas pemilikan
perseorangan yang merupakan satuan Rumah Susun dan pemilikan bersama yang
berupa tanah bersama, benda bersama serta bagian bersama, sehingga telah memenuhi
syarat berfungsi satuan Rumah Susun dalam sistem Rumah Susun.
3. Nilai perbandingan Proporsional (NPP) untuk masing - masing Satuan Rumah Susun
telah dihitung berdasarkan.......................................................................... [pilih salah
satu sesusai yang digunakan : (1) perbandingan antara luas satuan Rumah Susun
dengan jumlah luas seluruh satuan Rumah Susun ; atau (2) perbandingan antara
harga/nilai satuan Rumah Susun dengan jumlah harga/nilai seluruh satuan Rumah
Susun).
4. Berdasarkan uraian pada butir ......... di atas Pertelaan dan Akta Pemisahan dimaksud
telah memenuhi syarat untuk disahkan oleh Bupati/Walikota/ Gubernur.............dengan
catatan sebagai berikut:
.........................................................................................................................
.........................................................................................................................
Contohnya: (bila catatan dimaksud)
Gambar Pertelaan pada tanah bersama halaman 2 agar disesuaikan dengan surat
ukur lampiran sertipikat ..................(hak tanah ybs), pada kolom keterangan
dicantumkan nomor dan tanggal Surat Ukur.
Pada buku Akta Pemisahaan dan Uraian Pertelaan, kalimat penutup agar
dipindahkan ke halaman paling akhir.
(Selanjutnya pihak penyelenggara pembangunan harus menyesuaikan/ memperbaiki
Pertelaan Rumah Susun yang bersangkutan sesuai catatan dalam Berita Acara
tersebut).
5. Apabila dalam pelaksanaan pembangunan fisik tidak sesuai dengan gambar dan uraian
Pertelaan yang sudah disah kan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak
penyelenggara pembangunan untuk membuat kembali gambar dan uraian Pertelaan
yang sesuai dengan fisik bangunan (As Built Drawing) serta dimintakan kembali
pengesahaannya
6. Bahwa gambar dan uraian Pertelaan yang disah kan adalah merupakan penetapan
batas - batas hak dan kewajiban terhadap kepemilikan perseorangan dan kepemilikan
bersama.
YANG MELAKSANAKAN PENELITIAN :
1. Nama............................... (instansi ybs).....................(tanda tangan)..................
2. Nama............................... (instansi ybs).....................(tanda tangan)..................
3. Nama............................... (instansi ybs).....................(tanda tangan)..................
4. Nama............................... (instansi ybs).....................(tanda tangan)..................
5. Nama............................... (instansi ybs).....................(tanda tangan)..................
6. Nama............................... (instansi ybs).....................(tanda tangan)..................
dst. (sesuai ketentuan dalam Perda atau Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur ybs).
Catatan :
Berita Acara ini digunakan apabila proses pengesahan pertelaan dan Akta Pemisahan
melalui Rapat Koordinasi dengan instansi terkait.
Lampiran 2B
KOP SURAT BPN
BERITA ACARA
PEMERIKSAAN FISIK RUMAH SUSUN
Pada hari ini..............., tanggal ..........., bulan............, tahun ................ yang
bertanda tangan di bawah ini : nama .........., nip............ pangkat/golongan............,
jabatan........(sekurang-kurangnya 2 (dua) orang petugas), petugas yang ditunjuk oleh
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota...............(atau oleh Kepala Kanwil BPN untuk
DKI Jakarta), berdasarkan Surat Tugas Nomor............ tanggal..............., telah
melaksanakan pemeriksanaan/pengecekan fisik Rumah Susun........... dan fasilitasnya
sesuai permohonan dari :
a. Nama :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Kewarganegaraan :
e. Tempat Tinggal :
f. Bertindak untuk/atas nama/ : (Badan Hukum)
Selaku............../ Kuasa....... : ..........berdasarkan Surat Kuasa Khusus............
g. Berkedudukan di :
h. Akta Pendirian : Nomor..................Tanggal...................
Dalam rangka pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun...............
atas Satuan-Satuan Rumah Susun, yang terletak di :
Jalan :
Desa/Kelurahan :
Kecamatan :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut:
1. Tanah Bersama :
Adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah
yang di atasnya berdiri rumah susun............, yaitu :
Jenis dan Nomor Hak :
Masa Berlaku : .......Tahun.
Tanggal Berakhirnya Hak :
Luas Tanah : ........... m2, Surat Ukur No............, tgl. .
Letak Tanah :
Jalan :
Desa/Kelurahan :
Kecamatan :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Batas-batasnya :
Utara :
Timur :
Selatan :
Barat :
2. Bagian Bersama :
Adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian
bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun. Pada rumah
susun.............................................., terdiri dari :
a. :
b. :
c. :
dst.
3. Benda Bersama :
Adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki
bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Pada rumah
susun..........................................., terdiri dari :
a. :
b. :
c. :
dst.
4. Satuan Rumah Susun : Pada rumah susun...........................
a. Type......, luas.......m2, jumlah
b. Type......, luas.......m2, jumlah
c. Type......, luas.......m2, jumlah
dst.
Total:
Type............., luas...........m2, jumlah..............unit.
5. Jumlah Gedung/Tower/Bangunan Rumah Susun :
Pada rumah susun........................................., terdiri dari :
...........(jumlah) Gedung/Tower, yang masing-masing diberi nama :
a. Gedung/Tower.........., terdiri dari.....lantai dan.......unit satuan rumah susun.
b. Gedung/Tower.........., terdiri dari.....lantai dan.......unit satuan rumah susun.
c. Gedung/Tower.........., terdiri dari.....lantai dan.......unit satuan rumah susun.
dst.
6. Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) adalah angka yang menunjukkan
perbandingan antara satuan rumah susun terhadap hak atas bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama.
Pada Rumah Susun.....................dihitung berdasarkan..........(luas / nilai) yang
rinciannya sebagaimana daftar terlampir.
7. Lain-lain :
a. Ijin Lokasi Nomor...................tanggal.......................
b. Keterangan Rencana Kota Nomor.....................tanggal................
c. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Nomor.........................tanggal..............
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) .....%, Koefisien Lantai Bangunan (KLB) ......%
yang ditetapkan berdasarkan............................. Nomor......... tanggal......................
d. Ijin Layak Huni (ILH) / Ijin Penggunaan Bangunan (IPB) Nomor .... tanggal...
e. dll (sesuai PERDA).
8. Kesimpulan:
a. Gambar dan uraian Pertelaan telah merinci secara jelas mengenai balas pemilikan
perseorangan yang merupakan satuan Rumah Susun dan pemilikan bersama yang
berupa tanah bersama, benda bersama serta bagian bersama, sehingga telah
memenuhi syarat berfungsi satuan Rumah Susun dalam sistem Rumah Susun.
b. Bahwa tanah bersama, bagian bersama, benda bersama dan unit-unit satuan rumah
susun ................... sesuai/tidak sesuai dengan kondisi fisik bangunan dan perijinan
yang ada sehingga Pertelaan dan Akta Pemisahan memenuhi / tidak memenuhi
syarat untuk disahkan.
Catatan : Dalam hal tidak memenuhi syarat untuk disahkan lanjutkan dengan
rekomendasi hal-hal yang harus dilengkapi / diperbaiki.
c. Bahwa gambar dan uraian Pertelaan yang disah kan adalah merupakan penetapan
batas-batas hak dan kewajiban terhadap kepemilikan perseorangan dan
kepemilikan bersama.
d. Apabila dalam pelaksanaan pembangunan fisik tidak sesuai dengan gambar dan
uraian Pertelaan yang sudah disah kan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab
pihak penyelenggara pembangunan untuk membuat kembali gambar dan uraian
Pertelaan yang sesuai dengan fisik bangunan (As Built Drawing) serta dimintakan
kembali pengesahaannya.
9. Rekomendasi:
Dalam rangka pengesahan Pertelaan / Akta Pemisahan Rumah Susun .............. agar
dilengkapi / diperbaiki beberapa hal sebagai berikut:
contoh : berkaitan dengan sistem pengamanan bila terjadi kebakaran (alat
pemadam kebakaran, tangga darurat), jalur lalu lintas umum (selasar, coridor, lift,
dll), kelengkapan dalam interaksi sosial dan kenyamanan para penghuni (lobby,
ruang pertemuan, taman bermain, kolam renang, parkir, pos keamanan, sistem
pencahayaan, jaringan air bersih, saluran pembuangan air kotor, dll)
Demikian Berita Acara Pemeriksaan Fisik Rumah Susun ini dibuat pada hari dan
tanggal tersebut di atas dalam rangkap.........(....................) untuk dipergunakan sebagai
kelengkapan dalam rangka pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah
Susun...............................(nama rumah susun ybs).
PETUGAS PEMERIKSA,
1..............................(unit SPP) 2.............................(unit HTPT)
NIP..................... NIP.....................
MENGETAHUI:
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota
........................................
Tdt & Cap.
NIP.................................
Catatan:
1. Coret yang tidak perlu.
2. Bila pemeriksaan dilakukan oleh unit Kanwil BPN Provinsi agar disesuaikan
penandatangannya.
Lampiran 3
SURAT PENGANTAR SK PENGESAHAN KEPADA BUPATI/ WALIKOTA/
GUBERNUR UNTUK WILAYAH DKI JAKARTA
KOP SURAT BPN
...................,.......................
Nomor :
Lampiran :
Perihal : Permohonan Pengesahan Pertelaan dan
Akta Pemisahan Rumah Susun
..............................................................
Kepada Yth.
Bupati/Walikota/Gubernur (untuk DKI Jakarta)
Di-
...............................
Bersama ini disampaikan Konsep Surat Keputusan dalam rangka pengesahaan
Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun......................................
Sebagai bahan pertimbangan, kami lampirkan kelengkapan permohonan
dimaksud, yang terdiri atas :
a. Surat dari .................. selaku Direktur Utama / Kuasa Direktur Utama ................
tanggal ...................... Nomor ......................... perihal Permohonan Pengesahan
Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun ........................, terletak di
.................;........., atas nama................................................................
b. Berita Acara hasil pemeriksaan fisik Rumah Susun ......................., nomor
.................... tanggal ............................. atau nos/7 Rapat Koordinasi Instansi terkait
tentang penelitian/pemeriksaan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun
..........................., sesuai dengan ketentuan ........................... (bila ada Keputusan
Bupati/Walikota/Gubernur mengenai rapat koordinasi antar instansi terkait).
c. Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun ...................... (sesuai hasil pemeriksaan
fisik atau yang telah disetujui oleh Rapat Koordinasi antar instansi terkait).
Demikian untuk menjadi periksa dan atas kebijaksanaannya, diucapkan terima
kasih.
Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota / Kepala Kanwil BPN
.....................................................
NIP..............................................
Lampiran 4
DRAFT SK PENGESAHAN PERTELAAN
KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA/GUBERNUR
NOMOR:................................
TENTANG
PENGESAHAN PERTELAAN DAN AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN
HUNIAN DAN/ATAU BUKAN HUNIAN.....................................................
YANG TERLETAK...........................................................................
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI / WALIKOTA / GUBERNUR..............(ybs),
Menimbang : a. bahwa .......... (penyelenggara) telah membuat Pertelaan dan Akta
Pemisahan Rumah Susun Hunian dan/atau Bukan
Hunian..............................yang terletak di.......................
b. bahwa Pertelaan dan Akta Pemisahan sebagaimana dimaksud huruf a
telah dimohon pengesahannya sesuai dengan surat permohonan
nomor................tanggal ............ dari Direktur Utama/Kuasa Direktur
Utama .................., berdasarkan Surat Kuasa Khusus
nomor.........tanggal..........(bila dikuasakan);
c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur tentang
Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun Hunian
dan/atau Bukan Hunian ....................sebagaimana dimaksud;
Mengingat : 1. Undang - Undang No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun;
2. Undang - Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan
Perundang-undangan;
3. Undang - Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali di ubah, terakhir dengan Undang-
undang No. 12 tahun 2008;
4. Undang - Undang No........ tahun ....... tentang ............. (pembentukan
Kabupaten/Kota/Provinsi ybs); Peraturan
5. Pemerintah No. 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun ;
6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 60/PRT/1992 tantang
Persyaratan teknis pembangunan Rumah Susun;
7. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 tahun 1989
tentang akta pemisahan Rumah Susun;
8. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 tahun 1989
tentang penerbitan Sertipikat Hak Milik atas satuan Rura-Susun;
9. Peraturan Daerah No....... tahun ...... tentang .............. (mengenai
Rumah Susun) di KabupatenKota/Provinsi ybs
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN BUPATI / WALIIKOTA/GUBERNUR
TENTANG PENGESAHAN PERTELAAN DAN AKTA
PEMISAHAN RUMAH SUSUN HUNIAN DAN/ATAU BUKAN
HUNIAN ................................. YANG TERLETAK
DI...........................................................;
PERTAMA : Mengesahkan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun Hunian
dan/atau Bukan Hunian..........................yang terletak di
................................. dengan batas-batas dari masing-masing Satuan
Rumah Susun, Bagian Bersama, Benda Bersama, Tanah Bersama
yang ditampilkan dalam bentuk gambar dan uraian sebagaimana
tercantum dalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan Keputusan ini, yang aslinya disimpan di Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota.......................
KEDUA : Mengesahakan besarnya angka Nilai Perbandingan Proporsional
(NPP) yang menunjukkan perbandingan antara Satuan Rumah Susun
terhadap hak atas Bagian Bersama, Benda Bersama, Tanah Bersama,
Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada Diktum PERTAMA.
KETIGA : Apabila ternyata pelaksanaan pembangunan fisik tidak sesuai
dengan gambar dan uraian pertelaan yang disahkan maka sepenuhnya
menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara pembangunan untuk
membuat kembali gambar dan uraian perterlaan yang sesuai dengan
Fisik Bangunan (as build drawing) serta dimintakan kembali
pengesahannya kepada Bupati/Walikota/Gubernur.
KEEMPAT : Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan ini diberkan dalam rangka
proses penerbitan sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
Hunian dan/atau Bukan Hunian............................
KELIMA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di..........................
Pada tanggal..........................
BUPATI / WALIKOTA / GUBERNUR
........................................................,
Tdt
.........................................
.........................................
Tembusan :
1. ......................................................................................
2. .......................................................................................
3. .......................................................................................
4. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.............................
5. Direktur Utama / Kuasa Direktur Utama................................(penyelenggara) :
Lampiran 5
CONTOH DENAH SARUSUN
Lampiran : Peraturan KBPN NOMOR HAK :
Nomor 4 Tahun 1989
GAMBAR DENAH
Nomor :
Dari satuan rumah susun, yang merupakan dari rumah susun yang dibangun di atas
sebidang tanah bersama : ...................................................................................
Hak :
Nomor :
Yang terletak di Desa / Kelurahan :
Kecamatan :
Seperti yang diuraikan dalam Surat Ukur tanggal............................ Nomor............. Satuan
Rumah Susun ini terletak pada lantai....................... blok........................... atau yang lebih
dikenal setempat dengan sebutan/nama :
Batas-batas dari satuan rumah susun ini telah ditetapkan dalam pertelaan yang telah
disahkan oleh ....................................................... pada tanggal........................
nomor............................................................ berpedoman pada ketentuan pasal 41
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang : Rumah Susun
Luas/type :
Hal-hal lain :
Tanggal.....................
An. Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya
Kepala Seksi Pendaftaran Tanah
( )
NIP.
DI 302 :
DI 307 :
Lampiran 6
Tata Urutan Penyusunan Halaman Gambar Pertelaan :
6 A. Keterangan Muka Peta Dan Bidang Gambar Pertelaan
6 B. Gambar Pertelaan Rumah Susun Yang Menunjukkan Satuan Lingkungan
6 C. Gambar Pertelaan Rumah Susun Yang Menunjukkan Tanah Bersama
6 D. Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunjukkan bagian perseorangan dan
bagian bersama.
6 E. Denah Bangunan Lantai
6 F. Denah Satuan Rumah Susun
Lampiran 6A
KETERANGAN MUKA PETA DAN BIDANG GAMBAR PERTELAAN
Keterangan Gambar Pertelaan :
Ukuran muka peta dan bidang gambar, lihat penjelasan gambar:
Setiap gambar diberi arah utara ;
Tepi bangunan sejajar dengan tepi muka peta ;
Warna : Kuning : untuk batas satuan rumah susun / tanah bersama
Biru : untuk benda bersama
Merah : untuk bagian bersama
UKURAN MUKA PETA DAN BIDANG GAMBAR
Muka Peta ABCD = 65 cm x 45 cm
Bidang Gambar abgh = 55 cm x 40 cm Disesuaikan.
Ruang Keterangan cdef = 6,5 cm x 40 cm
Ruang 1 = Keterangan Gambar Ruang 7 = Keterangan Penggunaan
Ruang 2 = Nama Rumah Susun Ruang 8 = Tanggal Pembuatan Gambar
Ruang 3 = Pemilik Rumah Susun Ruang 9 = Tanda Tangan Pemilik
Ruang 4 = Judul Gambar Ruang 10 = Diketahui
Ruang 5 = Skala Peta Ruang 11 = Tanda Tangan Kakan/Kabid SPP
Ruang 6 = Nomor Lembar Gambar
Lampiran 6B
Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun Yang Menunjukkan Satuan Lingkungan
Lampiran 6C
Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun Yang Menunjukkan Tanah Bersama
Lampiran 6D Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunnukkan bagian perseorangan dan bagian bersama.
Lampiran 6E
Lampiran 6F
Lampiran 7
URAIAN PERTELAAN
Contoh :
URAIAN PERTELAAN RUMAH SUSUN
URAIAN PERTELAAN
RUMAH SUSUN..........
A. Pendahuluan :
...................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................
Pengertian "Rumah Susun" menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi
dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun
vertikal dan merupakan satuan-satuan yang dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,
terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama
dan tanah bersama. Satuan Rumah Susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan
utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana
penghubung ke jalan umum.
Setiap satuan rumah susun jelas batas-batasnya, ukuran dan luasnya serta dapat
dimiliki dan dihuni secara terpisah terutama untuk hunian dan dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama dan tanah bersama, yang besarannya sesuai dengan Nilai
Perbandingan Proporsional.
Kepemilikan rumah susun terdiri dari dua elemen sistim pemilikan, yaitu :
1. Pemilikan bersama yang tidak dapat dimiliki secara perseorangan tetapi dimiliki,
digunakan dan dinikmati secara bersama. Pemilikan bersama terdiri dari:
a. Tanah Bersama, yaitu berupa sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak
kepemilikan bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun
dan fasilitasnya.
b. Bagian Bersama, yaitu bagian rumah susun yang dimiliki secara terpisah untuk
pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun.
c. Benda Bersama, yaitu benda yang bukan merupakan bagian rumah susun tetapi
yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk r bersama.
2. Pemilikan Perseorangan, merupakan ruang satuan rumah susun yang dapat dimiliki,
digunakan dan dinikmati secara terpisah/perseorangan yang mempunyai sarana
penghubung ke jalan umum.
Elemen tersebut di atas membentuk lembaga pemilikan dalam sistim Rumah
Susun yang disebut HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN yang diartikan
sebagai hak atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan dan terpisah yang
meliputi pula hak atas tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama yang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan rumah susun yang
bersangkutan.
Besarnya nilai kepemilikan pemegang hak milik atas satuan rumah susun
terhadap tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama dinyatakan dengan Nilai
Perbandingan Proporsional yang dihitung berdasarkan perbandingan luas/nilai
kepemilikan satuan rumah susun terhadap jumlah luas/nilai seluruh satuan rumah susun
pada saat diperhitungkan biaya pembangunan keseluruhan untuk menentukan harga jual.
Elemen tersebut di atas ditampilkan dalam bentuk gambar dan uraian yang
disebut Pertelaan yang merupakan pernyataan dari ........................ (Penyelenggara
Pembangunan Rumah Susun/Developer/Perorangan), untuk membangun lingkungan
rumah susun hunian/non hunian/terpadu, yang diberi nama .......................................
(nama Rumah Susun).
B. Kepemilikan Bersama
B.l. Tanah Bersama :
a. Tanah Bersama tempat berdirinya rumah susun rumah susun non hunian Bali
Kuta Residence, dengan segala fasilitasnya, dibuktikan dengan sertipikat:
Jenis Hak : ..............................................................................
Nomor Hak : ..............................................................................
Pemegang Hak : ..............................................................................
Masa Berlaku : .......Tahun, Tanggal berakhirnya hak,.................
Luas Tanah : ..............................................................................
Batas Tanah : Seperti diuraikan dalam Surat Ukur tanggal .......
Nomor....................
b. Tanah Bersama dengan status ........................................ tersebut berasal
dari...............................................................................................................
c. Letak batas dari luas Tanah Bersama sesuai dengan daerah perencanaannya
yang menjadi dasar bagi penentan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan
Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dalam Persetujuan berdasarkan...................
d. Tanah Bersama hanya untuk satu satuan lingkungan Rumah Susun dengan satu
sertipikat tanah seperti dimaksud pada keterangan huruf a dan huruf b di atas,
dengan dibebani Kredit Konstruksi dari ....................................... (jika dibebani
kredit konstruksi, dituliskan hak tanggungan nomor.........)
B.2. Bagian Bersama :
Bagian Bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak
terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan satuan
Rumah Susun. Bagian bersama merupakan bagian rumah susun yang melekat pada
konstruksi rumah susun yang berupa struktur bangunan rumah susun dan atau yang
berupa fasilitas yang ada di atas/di dalam/di bawah rumah susun, yailu berupa :
a. Struktur Konstruksi :
1. Pondasi ;
2. Tiang Pancang ;
3. Pancang bor (bor pile)
4. Kolom ;
5. Balok;
6. Pelat Lantai;
7. Tangga Darurat dan Tangga di Areal Umum ;
8. Dinding Pemisah/Partisi antara Bagian Bersama dengan Bagian
Perseorangan;
9. Talang Air ;
10. Rangka Atap ;
11. Penutup Atap, baik yang berupa pelat beton, genteng, metal deck.
12. lain-lain sesuai kenyataan yang ada.
b. Jaringan Utilitas Rumah Susun, termasuk segala peralatan yang menjadi satu
kesatuan sistim yang bersangkutan, terdiri dari :
1. Sistim Jaringan Listrik ;
2. Sistim Jaringan Distribusi Air Bersih ;
3. Sistim Jaringan Pembuangan Air Kotor, Air Hujan dan Septictank;
4. Sistim Jaringan Pencegahan Kebakaran ;
5. Sistim Jaringan Alarm Kebakaran ;
6. Sistim Jaringan Tata Udara / AC
7. Sistim Jaringan Tata Suara ;
8. Sistim Tata Cahaya ;
9. Sistim Jaringan Telepon ;
10. Sistim Jaringan Internet ;
11. Sistim Jaringan Monitor Gedung (Building Monitoring System) ;
12. Sistim Transportasi Vertikal (Lift) ;
13. Genset dan perlengkapan daya listrik darurat ;
14. Jaringan MATV dan perlengkapannya ;
15. Sistim PABX;
16. Sistim Pengolah Limbah ;
17. Penangkal Petir ;
18. lain-lain sesuai kenyataan yang ada.
c. Fasilitas Rumah Susun :
1. Elemen Lansekap Rumah Susun ;
2. Areal Parkir Basement ;
3. Teras Luar Rumah Susun ;
4. Lobby ;
5. Area Ruang Pamer, Koridor dalam Rumah Susun ;
6. Toilet;
7. Septicktank ;
8. Ruang-ruang keperluan Sistim Utilitas Rumah Susun (ruang lift, ruang
mesin lift, ruang genset, ruang kontrol, ruang bahan bakar, ruang panel
listrik) ;
9. Selasar dan shaft-shaft dalam rumah susun ;
10. Pos Jaga;
11. Tangki Penyimpan Air.
12. Tangki Penyimpan Bahan Bakar (Solar) untuk mesin Genset;
13. Jalan Sekitar Bangunan ;
14. Stop kontak diluar area Satuan Rumah Susun
15. Alat Pemadam Kebakaran (Hidran).
16. lain-lain sesuai kenyataan yang ada.
B.3. Benda Bersama :
Benda Bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun tetapi
dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Benda Bersama
merupakan benda/bangunan yang terletak di atas tanah bersama, berupa :
a. Benda/alat yang menjadi bagian integral dari masing-masing sistim jaringan utilitas
Rumah Susun ;
b. Benda/bangunan yang menjadi kelengkapan fasilitas Rumah Susun, terdiri dari :
1. Pagar Keliling ;
2. Panel Reklame
3. Taman ;
4. Tempat Sampah ;
5. Lampu Taman dan Penerangan Jalan ;
6. Kolam Renang dan Peralatannya ;
7. Areal Parkir;
8. lain-lain sesuai kenyataan yang ada.
C. Kepemilikan Perseorangan
Kepemilikan perseorangan adalah kepemilikan atas ruang satuan Rumah Susun
yang dapat dimiliki atau dapat dinikmati secara individual/perseorangan yang terpisah
dari pemilik-pemilik perseorangan lainnya. Bagian yang merupakan pemilikan
perseorangan adalah :
1. Permukaan dinding pemisah bagian dalam di dalam Satuan Rumah Susun ;
2. Lantai bagian dalam di dalam Satuan Rumah Susun ;
3. Dinding pemisah ruang dalam yang menjadi bagian dari Satuan Rumah Susun.
4. Kusen pintu dan jendela, daun pintu dan jendela ;
5. Plafon bagian dalam, di dalam satuan rumah susun ;
6. Instalasi Listrik, telepon, AC, yang berada dalam satuan rumah susun dan
digunakan/dimanfaatkan hanya untuk dan oleh Satuan Rumah Susun yang
bersangkutan.
D. Nilai Perbandingan Proporsional (NPP)
Nilai Perbandingan Proporsional adalah angka yang menunjukkan perbandingan
antara Satuan Rumah Susun terhadap hak atas Bagian Bersama, Benda Bersama dan
Tanah Bersama, yang khusus pada Rumah Susun................................ (nama Rumah
Susun) ini dihitung berdasarkan luas masing-masing Satuan Rumah Susun yang
bersangkutan Sehingga Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) masing-masing Satuan
Rumah Susun
tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
NPP Sn = T.Ls
L.Sn- x 100%
Keterangan :
Sn : Satuan Rumah Susun (Unit Satuan Rumah Susun)
L.Sn : Luas Unit Satuan Rumah Susun
T.Ls : Total Luas Keseluruhan Unit Satuan Rumah Susun.
Perincian Selengkapnya dari Nilai Perbandingan Proporsional untuk masing-masing
Satuan Rumah Susun ini dapat dilihat pada Daftar Nilai Perbandingan Proporsional
(NPP) terlampir.
E. Penutup
Pertelaan Rumah Susun merupakan uraian pemisahan yang menyatakan
kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama yang menghasilkan besarnya Nilai
Perbandingan Proporsional (NPP).
Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) merupakan besarnya kepemilikan
perseorangan terhadap hak kepemilikan bersama yang besarnya dicantumkan dalam
Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan NPP tersebut secara hukum
mengikat.
Untuk jelasnya Pertelaan ini dilengkapi dengan gambar dalam bentuk potongan
vertikal, horizontal dan denah-denah dari tanah bersama, bagian bersama dan benda
bersama, bagian perseorangan dan gambar sirkulasi.
Dengan demikian penghuni bertanggung jawab terhadap apa yang ada di dalam satuan
rumah susunnya termasuk pula terhadap bagian/benda bersama. Besarnya kewajiban
penghuni rumah susun tergantung pada Nilai Perbandingan Proporsional (NPP).
..................., ...........................
(Penyelenggara Pembangunan),
Ttd & cap (jika badan hukum)
...........................................
DISAHKAN :
Nomor :........................
Tanggal :........................
BUPATI/WALIKOTA/GUBERNUR
........................................
Ttd & cap
.......................................
Lampiran 8
ANGGARAN DASAR PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH SUSUN
Lampiran 9
Daftar Isian
Dalam Rangka Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Sesuai Ketentuan Pasal
140 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997
No. Jenis Daftar Isian Deskripsi
Daftar Isian Data Yuridis :
1. D.I. 203 Daftar Tanah
2. D.I. 204 Daftar Nama
3. D.I. 205 B Buku Tanah Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
4. D.I. 206 B Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
5. D.I. 207 A Gambar Denah Satuan Rumah Susun
6. D.I. 208 Daftar Penyelesaian Pekerjaan Pendaftaran Tanah
Daftar Isian Bidang Tata Usaha :
7. D.I. 301 Daftar Permohonan Pekerjaan Pendaftaran Tanah
8. D.I. 301A Daftar Penyerahan Hasil Pekerjaan
9. D.I. 302 Daftar Permohonan Pekerjaan Pengukuran
10. D.I. 305 Daftar Penerimaan Uang Muka Biaya Pendaftaran
Tanah
11. D.I. 306 Bukti Penerimaan Uang/Kwitansi
12. D.I. 307 Daftar Penghasilan Negara
13. D.I. 312 B Daftar Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
Lampiran 10
Lampiran 11
PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 1 Tahun 2010
TANGGAL : 25 Januari 2010
STANDAR PELAYANAN DAN PENGATURAN PERTANAHAN
Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UU No. 5/1960
2. UU No. 16/1985
3. PPNo. 4/1988
4. PP No. 24/1997
5. PPNo. 13/2010
6. PMNA/Kepala BPN
No. 3/1997
7. SE KBPN-600-1900
tanggal 31 Juli 2003
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan
ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas
materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas pemohon (KTP, KK) dan
kuasa apabila dikuasakan, yang telah
dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
4. Sertipikat Hak Atas Tanah yang merupakan
tanah bersama (asli)
5. Proposal pembangunan rumah susun
6. Ijin layak huni
7. Advis Planning
8. Akta pemisahan yang dibuat oleh
penyelenggara pembangunan rumah susun,
dengan lampiran gambar dan uraian pertelaan
dalam arah vertikal maupun horisontal serta
nilai perbandingan proposionalnya yang
disahkan oleh pejabat yang berwenang
(Gubernur untuk DKI Jakarta atau
Bupati/Walikota)
Sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah
tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan
negara bukan pajak
yang berlaku pada
Badan Pertanahan
Nasional Republik
Indonesia
30 (tiga puluh) hari
untuk jumlah tidak
lebih dari 200 unit
60 (enam puluh) hari
untuk jumlah lebih
dari 200 unit s.d. 500
unit
90 (sembilan puluh)
hari untuk jumlah
lebih dari 500 unit
Formulir permohonan
memuat:
1. Identitas diri
2. Luas dan letak bangunan
yang dimohon
3. Pernyataan tanah tidak
sengketa
Peralihan Hak Atas Tanah dan Satuan Rumah Susun
a. Peralihan Hak Jual-Beli
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UU No. 5/1960
2. UU No.16/1985
3. UU No. 21/1997 jo.
UU No. 20/2000
4. PP No. 48/1994 jo.
PPNo. 79/1996
5. PPNo. 24/1997
6. PPNo. 37/1998
7. PPNo. 13/2010
8. PMNA/KBPN No.
3/1997
9. Peraturan KBPN RI
No. 1/2006
10. SE KBPN No. 600-
1900 tanggal 31 Juli
2003
11. 11. SE KBPN RI No.
1219-340.3.D.II
tanggal 28 April 2009
1. Formulir permohonan yang sudah
diisi dan ditandatangani pemohon
atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas pemohon (KTP,
KK) dan kuasa apabila dikuasakan,
yang telah dicocokkan dengan
aslinya oleh petugas loket
4. Fotocopy Akta Pendirian dan
Pengesahan Badan Hukum yang
telah dicocokkan dengan aslinya
oleh petugas loket, bagi badan
hukum
5. Sertipikat asli
6. Akta Jual Beli dari PPAT
7. Fotocopy KTP dan para pihak
penjual-pembeli dan/atau kuasanya
8. Ijin Pemindahan Hak apabila di
dalam sertipikat/keputusannya
dicantumkan tanda yang
menyatakan bahwa hak tersebut
hanya boleh dipindahtangankan jika
telah diperoleh ijin dari instansi
yang berwenang
9. Foto copy SPPT PBB Tahun
berjalan yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket,
penyerahan bukti SSB (BPHTB)
dan bukti bayar uang pemasukan
(pada saat pendaftaran hak)
Sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah
tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan
negara bukan pajak
yang berlaku pada
Badan Pertanahan
Nasional Republik
Indonesia
5 (lima) hari Formulir permohonan
memuat:
1. Identitas diri
2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang
dimohon
3. Pernyataan tanah tidak
sengketa
4. 4. Pernyataan
tanah/bangunan dikuasai
secara fisik
b. Peralihan Hak- Pewarisan/ Wasiat
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UUNo. 5/1960
2. UUNo. 21/1997jo. UU
No. 20/2000
3. PPNo. 24/1997
4. PPNo. 37/1998
5. PPNo. 13/2010
6. PMNA/KBPN No.
3/1997
7. Peraturan KBPN RI
No. 1/2006
8. SE KBPN No. 600-
1900 tanggal 31 Juli
2003
1. Formulir permohonan yang sudah
diisi dan ditandatangani pemohon
atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas pemohon /para
ahli waris (KTP, KK) dan kuasa
apabila dikuasakan, yang telah
dicocokkan dengan aslinya oleh
petugas loket
4. Sertipikat asli
5. Surat Keterangan Waris sesuai
peraturan perundang-undangan
6. Akte Wasiat Notariel
7. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan
yang telah dicocokkan dengan
aslinya oleh petugas loket
8. Penyerahan bukti SSB (BPHTB),
bukti SSP/PPH untuk perolehan
tanah lebih dari 60 Juta Rupiah
bukti bayar uang pemasukan (pada
saat pendaftaran hak)
Sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah
tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan
negara bukan pajak
yang berlaku pada
Badan Pertanahan
Nasional Republik
Indonesia
WAKTU
5 (lima) hari
Formulir permohonan
memuat:
1. Identitas diri
2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang
dimohon
3. Pernyataan tanah tidak
sengketa
4. Pernyataan tanah
dikuasai secara fisik
c. Peralihan Hak — Tukar Menukar
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UU No. 5/1960
2. UU No. 21/1997 jo.
UU No. 20/2000
3. PPNo. 48/1994jo. PP
No. 79/1996
4. PPNo. 24/1997
5. PPNo. 37/1998
6. PPNo. 13/2010
7. PMNA/KBPN No.
3/1997
8. Peraturan KBPN RI
No. 1/2006
9. 9. SE KBPN No. 600-
1900 tanggal 31 Juli
2003
1. Formulir permohonan yang sudah
diisi dan ditandatangani pemohon
atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas
pemohon/pemegang dan penerima
hak (KTP, KK) serta kuasa apabila
dikuasakan, yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket
4. Fotocopy Akta Pendirian dan
Pengesahan Badan Hukum yang
telah dicocokkan dengan aslinya
oleh petugas loket
5. Sertipikat asli
6. Akta Tukar Menukar dari PPAT
7. Ijin Pemindahan Hak apabila di
dalam sertipikat/keputusannya
dicantumkan tanda yang
menyatakan bahwa hak tersebut
hanya boleh dipindahtangankan jika
telah diperoleh ijin dari instansi
yang berwenang
8. Foto copy SPPT PBB tahun
berjalan yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket
9. Penyerahan bukti SSB (BPHTB)
dan bukti SSP/PPH untuk perolehan
tanah lebih dari 60 Juta Rupiah
Sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah
tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan
negara bukan pajak
yang berlaku pada
Badan Pertanahan
Nasional Republik
Indonesia
5 (lima) hari Formulir permohonan
memuat:
1. Identitas diri
2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang
dimohon
3. Pernyataan tanah tidak
sengketa
4. Pernyataan tanah
dikuasai secara fisik
d. Peralihan Hak- Hibah
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UU No. 5/1960
2. UU No. 21/1997 jo.
UU No. 20/2000
3. PPNo. 48/1994jo. PP
No. 79/1996
4. PPNo. 24/1997
5. PPNo. 37/1998
6. PPNo. 13/2010
7. PMNA/KBPN No.
3/1997
8. Peraturan KBPN RI
No. 1/2006
9. SE KBPN No. 600-
1900 tanggal 31 Juli
2003
1. Formulir permohonan yang sudah
diisi dan ditandatangani pemohon
atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas
pemohon/pemegang dan penerima
hak (KTP, KK) serta kuasa apabila
dikuasakan, yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket
4. Fotocopy Akta Pendirian dan
Pengesahan Badan Hukum yang
telah dicocokkan dengan aslinya
oleh petugas loket
5. Sertipikat asli
6. Akta Tukar Menukar dari PPAT
7. Ijin Pemindahan Hak apabila di
dalam sertipikat/keputusannya
dicantumkan tanda yang
menyatakan bahwa hak tersebut
hanya boleh dipindahtangankan jika
telah diperoleh ijin dari instansi
yang berwenang
8. Foto copy SPPT PBB tahun
berjalan yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket
9. Penyerahan bukti SSB (BPHTB)
dan bukti SSP/PPH untuk perolehan
tanah lebih dari 60 Juta Rupiah
Sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah
tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan
negara bukan pajak
yang berlaku pada
Badan Pertanahan
Nasional Republik
Indonesia
5 (lima) hari Formulir permohonan
memuat:
1. Identitas diri
2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang
dimohon
3. Pernyataan tanah tidak
sengketa
4. 4. Pernyataan tanah
dikuasai secara fisik
e. Hak - Pembagian Hak Bersama
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UU No. 5/1960 2. UU No. 21/1997 jo.
UU No. 20/2000 3. PPNo. 48/1994jo.
PPNo. 79/1996 4. PPNo. 24/1997 5. PPNo. 37/1998 6. PPNo. 13/2010 7. PMNA/KBPN No.
3/1997 8. Peraturan KBPN RI
No. 1/2006 9. SE KBPN No. 600-
1900 tanggal 31 Juli 2003
10. SE KBPN RI No. 1219-340.3.D.II tanggal 28 April 2009
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas
pemohon/pemegang dan penerima hak (KTP, KK) serta kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, bagi badan hukum
5. Sertipikat asli 6. Akta Pembagian Hak Bersama dari
PPAT. 7. Ijin Pemindahan Hak apabila di
dalam sertipikat/keputusannya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan jika telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang
8. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
9. Penyerahan bukti SSB (BPHTB), bukti SSP/PPH untuk perolehan tanah lebih dari 60 Juta Rupiah bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak)
Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
5 (lima) hari Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang dimohon
3. Pernyataan tanah tidak sengketa
4. 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik
f. Peralihan Hak – Lelang
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UUNo. 5/1960
2. UU No. 21/1997 jo.
UU No. 20/2000
3. PPNo. 48/1994jo. PP
No. 79/1996
4. PP No. 24/1997
5. PPNo. 13/2010
6. PMNA/KBPN No.
3/1997
7. SE KBPN No. 600-
1900 tanggal 31 Juli
2003
1. Formulir permohonan yang sudah
diisi dan ditandatangani pemohon
atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas
pemohon/pemegang dan penerima
hak (KTP, KK) serta kuasa apabila
dikuasakan, yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket
4. Fotocopy Akta Pendirian dan
Pengesahan Badan Hukum yang
telah dicocokkan dengan aslinya
oleh petugas loket, bagi badan
hukum
5. Sertipikat asli
6. Risalah Lelang
7. Penyerahan Bukti Pelunasan Lelang
8. Foto copy SPPT PBB tahun
berjalan yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket
dan penyerahan bukti SSB
(BPHTB), bukti SSP/PPH dan bukti
bayar uang pemasukan (pada saat
pendaftaran hak)
9. Putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum yang
tetap (Inkracht)
Sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah
tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan
negara bukan pajak
yang berlaku pada
Badan Pertanahan
Nasional Republik
Indonesia
5 (lima) hari Formulir permohonan
memuat:
1. Identitas diri
2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang
dimohon
3. Pernyataan tanah tidak
sengketa
4. Pernyataan tanah
dikuasai secara fisik
g. Peralihan Hak - Pemasukan Ke Dalam Perusahaan/Inbreng
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UU No. 5/1960
2. UU No. 21/1997 jo.
UU 20/2000
3. UU No. 40/2007
4. PPNo. 24/1997
5. PPNo. 27/1998
6. PPNo. 13/2010
7. PMNA/KBPN No.
3/1997
8. Peraturan KBPN RI
No. 1/2006
9. 9. SEKBPN-600-1900
tanggal 31 Juli 2003
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan
ditandatangani pemohon atau kuasanya di
atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas pemohon/pemegang dan
penerima hak (KTP) serta kuasa apabila
dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan
aslinya oleh petugas loket
4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan
Badan Hukum yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket
5. Sertipikat asli
6. Surat Pengantar dari PPAT
7. Akta Pemasukan ke dalam perusahaan dari
PPAT
8. Ijin Pemindahan Hak, jika:
a. Pemindahan hak atas tanah atau hak
milik atas rumah susun yang di dalam
sertipikatnya dicantumkan tanda yang
menyatakan bahwa hak tersebut hanya
boleh dipindahtangankan apabila telah
diperoleh izin dari instansi yang
berwenang;
b. Pemindahan hak pakai atas tanah
negara
9. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang
telah dicocokkan dengan aslinya oleh
petugas loket, penyerahan bukti SSB
(BPHTB) dan bukti SSP/PPH untuk
perolehan tanah
Sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah
tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan
negara bukan pajak
yang berlaku pada
Badan Pertanahan
Nasional Republik
Indonesia
5 (lima) hari Formulir permohonan
memuat:
1. Identitas diri
2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang
dimohon
3. Pernyataan tanah tidak
sengketa
4. Pernyataan tanah
dikuasai secara fisik
h. Peralihan Hak – Merger
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UU No. 5/1960
2. UU 21/1997 jo. UU
20/2000
3. UUNo. 40/2007
4. PP No. 24/1997
5. PPNo. 37/1998
6. PPNo. 13/2010
7. PMNA/KBPN No.
3/1997
8. Peraturan KBPN RI
No. 1/2006
9. SEKBPN-600-1900
tanggal 31 Juli 2003
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan
ditandatangani pemohon atau kuasanya di
atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas pemohon/pemegang
dan penerima hak (KTP) serta kuasa
apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket
4. Fotocopy Akta Pendirian, Pengesahan
Badan Hukum dan Akta
Penggabungan/Peleburan yang telah
dicocokkan dengan aslinya oleh petugas
loket
5. Sertipikat asli
6. Surat Pengantar dari PPAT
7. Surat pernyataan yang menyatakan bahwa
penggabungan/peleburan tersebut tidak
dalam status likuidasi
8. Ijin Pemindahan Hak, jika diperlukan
9. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang
telah dicocokkan dengan aslinya oleh
petugas loket dan penyerahan bukti SSB
(BPHTB), bukti SSP/PPH untuk perolehan
tanah
Sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah
tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan
negara bukan pajak
yang berlaku pada
Badan Pertanahan
Nasional Republik
Indonesia
5 (lima) hari Formulir permohonan
memuat:
1. Identitas diri
2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang
dimohon
3. Pernyataan tanah tidak
sengketa
4. Pernyataan tanah
dikuasai secara fisik
Sertipikat Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Rumah Susun
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UU No. 5/1960
2. UU 21/1997 jo. UU
20/2000
3. UUNo. 40/2007
4. PP No. 24/1997
5. PP No. 13/2010
6. PMNA/KBPN No.
3/1997
7. SEKBPN-600-1900
tanggal 31 Juli 2003
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan
ditandatangani pemohon atau kuasanya di
atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas pemohon/pemegang dan
penerima hak (KTP, KK) serta kuasa apabila
dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan
aslinya oleh petugas loket
4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan
Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan
aslinya oleh petugas loket
5. Sertipikat asli
6. Untuk perorangan yang keperdataannya
tunduk pada hukum perdata dibuktikan
dengan penetapan Pengadilan atau yang
tunduk pada hukum adat dibuktikan dengan
surat pernyataan perubahan nama dari yang
bersangkutan diketahui Kepala Desa/Lurah
dan Camat setempat.
7. Untuk instansi dibuktikan dengan keputusan
pejabat yang berwenang tentang perubahan
nama Instansi atau untuk Badan Hukum
dibuktikan dengan akta notaris yang memuat
perubahan nama dengan pengesahan dari
pejabat yang berwenang
Sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah
tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan
negara bukan pajak
yang berlaku pada
Badan Pertanahan
Nasional Republik
Indonesia
7 (tujuh) hari Formulir permohonan
memuat:
1. Identitas diri
2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang
dimohon
3. Pernyataan tanah tidak
sengketa
4. Pernyataan
tanah/bangunan dikuasai
secara fisik
Perpanjangan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UUNo. 5/1960
2. UUNo. 16/1985
3. PPNo. 4/1988
4. PPNo. 24/1997
5. PPNo. 13/2010
6. PMNA/Kepala BPN
No. 3/1997
7. SEKBPN-600-1900
tanggal 31 Juli 2003
1. Formulir permohonan kolektif atas
nama anggota PPRS (Persatuan
Penghuni Rumah Susun) yang
sudah diisi dan ditandatangani
pemohon atau kuasanya di atas
materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas para pemohon
(KTP, KK) dan kuasa apabila
dikuasakan, yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket
4. Sertipikat asli HGB (ada di Kantor
Pertanahan yang bersangkutan)
5. 5. Foto copy SPPT PBB tahun
berjalan yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket
Sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah
tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan
negara bukan pajak
yang berlaku pada
Badan Pertanahan
Nasional Republik
Indonesia
Perpanjangan Hak Guna
Bangunan:
30 (tiga puluh) hari
untuk hiasan tidak lebih
dari 2.000 m2
49 (empat puluh
sembilan) hari untuk
hiasan lebih dari 2.000
m= sampai dengan
150.000 m!
89 (delapan puluh
sembilan) hari untuk
jumlah lebih dari
150.000
Pencatatan Perpanjangan
Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun:
20 (dua puluh) hari
untuk jumlah tidak
lebih dari 200 unit
40 (empat puluh) hari
untuk jumlah 201 unit
s.d 500 unit
• 90 (sembilan puluh)
hari untuk jumlah lebih
dari 500 unit
Jangka waktu perpanjangan
Hak Milik Satuan Rumah
Susun meliputi jangka
waktu Perpanjangan Hak
Guna Bangunan sebagai
tanah bersama dan
Pencatatan Perpanjangan
pada buku tanah dan
sertipikat Hak Milik Satuan
Rumah Susun
Catatan:
Jangka waktu tidak
termasuk waktu yang
diperlukan untuk
pengiriman berkas/dokumen
dari Kantah ke Kanwil dan
BPN RI maupun sebaliknya
Sertifikat Pengganti Hak Atas Tanah, Hak Milik Atas Rumah Susun, dan Hak Tanggungan
a. Karena Blanko Lama
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UU No. 5/1960
2. UUNo. 16/1985
3. UUNo. 4/1996
4. PP No. 24/1997
5. PPNo. 13/2010
6. PMNA/
7. KBPN No. 3/1997
8. SEKBPN-600-1900
tanggal 31 Juli 2003
1. Formulir permohonan yang sudah
diisi dan ditandatangani pemohon
atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas pemohon (KTP,
KK) dan kuasa apabila dikuasakan,
yang telah dicocokkan dengan
aslinya oleh petugas loket
4. Fotocopy Akta Pendirian dan
Pengesahan Badan Hukum yang
telah dicocokkan dengan aslinya
oleh petugas loket, bagi badan
hukum
5. Sertipikat asli
Sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah
tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan
negara bukan pajak
yang berlaku pada
Badan Pertanahan
Nasional Republik
Indonesia
19 (sembilan belas) hari Formulir permohonan
memuat:
1. Identitas diri
2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang
dimohon
3. Pernyataan tanah tidak
sengketa
4. Pernyataan tanah
dikuasai secara fisik
b. Karena Hilang
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UU No. 5/1960
2. PPNo. 24/1997
3. PPNo. 13/2010
4. PMNA/KBPN No.
3/1997
5. SE KBPN-600-1900
tanggal 31 Juli 2003
1. Formulir permohonan yang sudah
diisi dan ditandatangani pemohon
atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas pemohon (KTP,
KK) dan kuasa apabila dikuasakan,
yang telah dicocokkan dengan
aslinya oleh petugas loket
4. Fotocopy Akta Pendirian dan
Pengesahan Badan Hukum yang
telah dicocokkan dengan aslinya
oleh petugas loket, bagi badan
hukum
5. Fotocopy sertipikat (jika ada)
6. Surat Pernyataan dibawah sumpah
oleh pemegang hak/yang
menghilangkan
7. Surat tanda lapor kehilangan dari
Kepolisian setempat
Sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah
tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan
negara bukan pajak
yang berlaku pada
Badan Pertanahan
Nasional Republik
Indonesia
40 (empat puluh) hari Formulir permohonan
memuat:
1. Identitas diri
2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang
dimohon
3. Pernyataan tanah tidak
sengketa dan tanpa
perubahan fisik
4. Pernyataan tanah
dikuasai secara fisik
5. Pengumuman di surat
kabar
c. Karena Rusak
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UUNo. 5/1960
2. PPNo. 24/1997
3. PPNo. 13/2010
4. PMNA/KBPN No.
3/1997
5. SEKBPN-600-1900
tanggal 31 Juli 2003
1. Formulir permohonan yang sudah
diisi dan ditandatangani pemohon
atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas pemohon (KTP,
KK) dan kuasa apabila dikuasakan,
yang telah dicocokkan dengan
aslinya oleh petugas loket
4. Fotocopy Akta Pendirian dan
Pengesahan Badan Hukum yang
telah dicocokkan dengan aslinya
oleh petugas loket, bagi badan
hukum
5. Sertipikat asli
Sesuai etentuan
Peraturan Pemerintah
tentang jenis dan tarif
atas jenis penerimaan
negara bukan pajak
yang berlaku pada
Badan Pertanahan
Nasional Republik
Indonesia
19 (sembilan belas) hari Formulir permohonan
memuat
1. Identitas diri
2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang
dimohon
3. Pernyataan tanah tidak
sengketa
4. Pernyataan tanah
dikuasai secara fisik
Lampiran 12
PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 2
TAHUN 1989
PEDOMAN PENGISIAN AKTA PEMISAHAN
RUMAH SUSUN
Nomor Petunjuk:
Diisi hari, tanggal, bulan, dan tahun pembuatan akta pemisahan.
Diisi nama lengkap dari pembuat/penanda tangan akta pemisahan jabatannya dan alamat
tempat kerja (kantor) yang bersangkutan.
Diisi nama badan hokum/instansi penyelenggara pembangunan rumah susun.
Diisi status tanah yang dialasnya berdiri rumah susun sesuai dengan yang tercantum pada
sertipikat hak atas tanahnya.
Diisi dengan sistem pembangunan rumah susun apakah dilaksanakan secara MANDIRI
atau TERPADU sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 4 jo pasal 7 Peraturan
Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun.
Diisi penggunaan/pemanfaatan rumah susun yang bersangkutan untuk hunian atau bukan
hunian.
Diisi sebanyak jumlah Blok rumah susun yang bersangkutan, dalam kesaruan sistem
pembangunan yang dilaksanakan pada tanah bersama (dapat saw dua tiga blok atau
lebih).
Diisi uraian tiap Blok rumah susun, misalnya:
Blok I terdiri dari 10 (sepuluh) lantai.
Lantai 1 terdiri dari 15 (lima belas) satuan rumah susun
Lantai 2 terdiri dari 10 (sepuluh) satuan rumah susun
Begitu seterusnya sesuai dengan jumlah Blok rumah susun yang ada.
Idem dengan nomor 8.
Diisi macam-macam bagian dan benda bersama dengan menunjuk pertelaan yang telah
disahkan yang dilampirkan pada akta pemisahan ini.
Diisi status tanah bersama, nomor hak dan nomor surat ukur serta batas-batas tanah
bersama dari Rumah Susun yang bersangkutan.
Diisi nilai perbandingan proporsional antara Satuan Rumah Susun terhadap hak atas
bagian, benda dan tanah bersama, misalnya 1/100 (saw per seraw), 1/200 (satu per
duaratus), 1/250 (saw per dua raws lima puluh) dan sebagainya. Tiap SaWan Rumah
Susun tidak mesti sama nilai perbandingan proporsionalnya.
Diisi tempat (kota) dimana akta pemisahan tersebut dibuat dan tanggal
penandatangannya.
Diisi jabatan penandatangan akta pemisah.
Diisi tanda tangan pembuat akta pemisahan dan nama terangnya.
Diisi tempat tanggal, bulan dan tahun serta Instansi yang mengesahkan akta pemisahan.
Catatan:
Pada kolom "Catatan lain-lain" dapat "diisi" antara lain:
Nomor dan tanggal pengesahan pertelaan oleh Pemerintah Daerah setempat.
Hal-hal lain yang dipandang perlu untuk dicantumkan.
Akta pemisahan ini harus dilampiri dengan pertelaan yang telah disahkan, yang dibuat
penyelenggara pembangunan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta
ini.
Lampiran 13A
AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN
Pada hari ini:..................................Tanggal................................................ 1)
.....................................Tahun..........................
Yang bertanda tangan di bawah ini: 2)
Untuk dan atas nama.................................................................................... 3)
Selaku Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun di atas tanah 4)
Hak.........................................................................................................
Diuraikan dalam Surat Ukur / Gambar Situasi
Tanggal :..........................................................
Luas :..........................................................
Propinsi Daerah Tingkat I :...............................
Kotamadya Daerah Tingkat II :...............................
Kecamatan :...................................................
Desa/Kelurahan :...................................................
Jalan : ...................................................
Pembanguan Rumah Susun dilaksanakan secara.......................................
.................................................................................................................... 5)
Yang dipergunakan sebagai tempat............................................................
.................................................................................................................... 6)
Bangunan Rumah Susun terdiri dan..................................................................
(..................................) Blok Rumah Susun.
Berdasarkan pasal 7 Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 jo pasal 39 Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, dengan ini berkehendak untuk :
MEMISAHKAN RUMAH SUSUN TERSEBUT
ATAS
SATUAN-SATUAN RUMAH SUSUN
Dengan keterangan sebagai berikut:
Blok.......................................terdiri dari.........................................lantai 8)
Lantai................................terdiri dari...............................satuan rumah susun
Lantai................................terdiri dari...............................satuan rumah susun
Lantai................................terdiri dari...............................satuan rumah susun
dan seterusnya.
Blok.......................................terdiri dari.........................................lantai 9)
Lantai................................terdiri dari...............................satuan rumah susun
Lantai................................terdiri dari...............................satuan rumah susun
Lantai................................terdiri dari...............................satuan rumah susun
dan seterusnya.
PERTELAAN
1. Hak Bersama, terdiri dari:
Bagian Bersama, berupa:
.................................................. 10)
..................................................
..................................................
..................................................
Benda Bersama berupa:
.................................................. 11)
..................................................
..................................................
..................................................
Tanah Bersama: Hak................................................No............................. 12)
Surat Ukur No......................................dengan batas-batas sebagai berikut:
Selatan : ..................................................
Barat : ..................................................
Utara : ..................................................
Timur : ..................................................
2. Nilai Perbandingan Proporsional :
.................................................. 13)
..................................................
..................................................
..................................................
3. Catatan lain-lain : 14)
Demikian akta ini dibuat
..............tanggal........................ 15)
Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun ............... 16)
..................................
(.................................) 17)
DISAHKAN DI : ...............................
PADA TANGGAL : ...............................
Lampiran 13 B
Lampiran : Peraturan KaBPN NOMOR HAK :
Nomor 4 Tahun 1989
GAMBAR DENAH
Nomor :
Dari satuan rumah susun, yang merupakan dari rumah susun yang dibangun di atas
sebidang tanah bersama : ...................................................................................
Hak :
Nomor :
Yang terletak di Desa / Kelurahan :
Kecamatan :
Seperti yang diuraikan dalam Surat Ukur tanggal............................ Nomor............. Satuan
Rumah Susun ini terletak pada lantai....................... blok........................... atau yang lebih
dikenal setempat dengan sebutan/nama :
....................................................................................................................................
Batas-batas dari satuan rumah susun ini telah ditetapkan dalam pertelaan yang telah
disahkan oleh ....................................................................................................
Pada tanggal................................. nomor...................................................................
berpedoman pada ketentuan pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang
: Rumah Susun
Luas/type :
Hal-hal lain :
....................,
Tanggal.....................
An. Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya
Kepala Seksi Pendaftaran Tanah
( )
NIP.
DI 302 :
DI 307 :
Lampiran 14
AKTA JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN
Lampiran 15
BUKU TANAH (SERTIFIKAT) HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN