pbl 24

Upload: redemtus-yudha

Post on 13-Jan-2016

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kedokteran

TRANSCRIPT

PendahuluanLeukemia granulositik kronik (LGK) merupakan leukemia yang pertama ditemukan serta diketahui patogenesisnya. Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22q- atau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph). Selanjutnya, di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis t(9;22)(q34;q11). Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980 diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, ternyata didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22ql 1). Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya kelainan proliferasi pada LGK. Secara klasifikasi, dahulu LGK termasuk golongan penyakit mieloproliferatif, yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), metamielosit, mielosit sampai granulosit.1Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kaitan leukemia granulositik kronis dalam anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, working dan differential diagnosis, etiologi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan, pencegahan dan prognosis untuk konsep pemahaman dalam menegakkan diagnosis penyakit leukemia granulositik kronik.Manifestasi Klinis1,6Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas. Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan, pasien masih dalam fase kronis, bahkan sering kali diagnosis LGK ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan para operasi, dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala- gejala infeksi atau pasien mungkin datang tanpa gejala dan ditemukan secara tidak sengaja karena adanya peningkatan jumlah sel darah putih (>200.000/mm3) atau mungkin mengeluh rasa tidak enak di kuadran kiri atas akibat splenomegali.Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas di perut kanan atas akibat hepatomegali. Keluhan lain sering tidak spesifik, misalnya: rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Apabila dibuat urutan berdasarkan keluhan yang diutarakan oleh pasien, maka seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Urutan Keluhan Pasien Berdasarkan Frekuensi.1KeluhanFrekuensi (%)

Splemomegali95

Lemah badan80

Penurunan berat badan60

Hepatomegali50

Keringat malam45

Cepat kenyang40

Pendarahan/purpura35

Nyeri perut (infark limpa)30

Demam10

Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan, pasien berada pada fase kronis, maka kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas fase akselerasi adalah: leukositosis yang sulit dikontrol oleh obat-obat mielosupresif, rnieloblas di perifer mencapai 15-30%, promielosit >30%, dan trombosit < 100.000/mm3. Secara klinis, fase ini dapat diduga bila limpa yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat, timbul petekie, ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada infeksi.PemeriksaanPemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik leukimia granulositik kronik, dilakukan antara lain pemeriksaan kesadaran, tanda-tanda vital, dan pemeriksaan kelenjar getah bening, hepar, serta limpa.

Pemeriksaan Kesadaran4Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya. Orang normal dapat berada dalam keadaan: sadar, mengantuk atau tidur. Bila ia tidur, ia dapat disadarkan oleh rangsang, misalnya rangsang nyeri, bunyi atau gerak. Rangsang ini disampaikan pada sistem aktivitas retikuler, yang berfungsi mempertahankan kesadaran. Sistem aktifitas retikuler terletak di bagian atas batang otak, terutama di mesensefalon dan hipotalamus. Lesi di otak, yang terletak di atas hipotalamus tidak akan menyebabkan penurunan kesadaran, kecuali bila lesinya luas dan bilateral. Lesi fokal di cerebrum, misalnya oleh tumor atau strok, tidak akan menyebabkan koma, kecuali bila letaknya dalam dan mengganggu hipotalamus.Dalam memeriksa tingkat kesadaran, seorang dokter 1) Inspeksi dengan memperhatikan respon pasien secara wajar terhadap stimulus visual, auditoar dan taktil yang ada di sekitarnya. 2) Konversasi dengan menilai reaksi wajar pasien terhadap suara konversasi, atau dapat dibangunkan oleh suruhan atau pertanyaan yang disampaikan dengan suara yang kuat. 3) Nyeri dengan melihat respon pasien terhadap rangsang nyeri.Perubahan Patologis Tingkat KesadaranPenyakit dapat mengubah tingkat kesadaran ke dua arah, yaitu : meningkatkan atau menurunkan tingkat kesadaran. Peningkatan tingkat kesadaran dapat pula mendahului penurunan kesadaran, jadi merupakan suatu siklus. Pada kesadaran yang meningkat atau eksitasi serebral dapat ditemukan tremor, euforia, dan mania. Pada mania, penderitanya dapat merasakan ia hebat (grandios); alur pikiran cepat berubah, hiperaktif, banyak bicara dan insomnia (tak dapat atau sulit tidur).Delirium. Penderita delirium menunjukkan penurunan kesadaran disertai peningkatan yang abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pada keadaan ini pasien tampak gaduh-gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktivitas motoriknya meningkat, meronta-ronta. Penyebab delirium beragam, diantaranya ialah kurang tidur oleh berbagai obat, dan gangguan metabolik toksik. Pada manula, delirium kadang didapatkan waktu malam hari. Penghentian mendadak obat anti-depresan yang telah lama digunakan dapat menyebabkan delirium-tremens. Demikian juga bila pecandu alkohol mendadak menghentikan minum alkohol dapat mengalami keadaan delirium dengan keadaan gaduh-gelisah.Secara sederhana tingkat kesadaran dapat dibagi atas: kesadaran yang normal (kompos mentis), somnolen, sopor, koma-ringan dan koma.Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai: latergi, obtundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oieh mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.Sopor (stupor). Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi, la masih dapat mengikuti suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.Koma-ringan (semi-koma). Pada keadaan ini, tidak ada respons terhadap rangsang verbal. Refleks (kornea, pupil dlsbnya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respons terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan jawaban primitif. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.Pembagian tingkat kesadaran di atas merupakan pembagian dalam pengertian klinis, dan batas antara tingkatan ini tidak tegas. Tidaklah mengherankan bila kita menjumpai penggunaan kata soporo-koma, somnolen-sopor.Tanda-tanda vitalPada pemeriksaan tanda-tanda vital, dilakukan pemeriksaan tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nadi per menit, dan ferkuensi napas per menit.Pemeriksaan KGB5KGB dan daerah sekitarnya harus diperhatikan. Kelenjar getah bening harus diukur untuk perbandingan berikutnya. Harus dicatat ada tidaknya nyeri tekan, kemerahan, hangat pada perabaan, dapat bebas digerakkan atau tidak dapat digerakkan, apakah ada fluktuasi, konsistensi apakah keras atau kenyal. Ukuran : normal bila diameter < 1cm (pada lipat paha >1,5cm dikatakan abnormal). Nyeri tekan : umumnya diakibatkan peradangan atau proses perdarahan. Konsistensi : keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan, padat seperti karet mengarahkan kepada limfoma, lunak mengarahkan kepada proses infeksi, fluktuatif mengarahkan telah terjadinya abses/pernanahan. Penempelan/bergerombol : beberapa KGB yang menempel dan bergerak bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis, sarkoidosis, keganasan.Pemeriksaan Hepar5Palpasi hepar dengan meletakkan tangan kiri di belakang pinggang menyangga kosta ke 11 & 12 dengan posisi sejajar dengan kosta, ajurkan pasien untuk rileks, tangan kanan mendorong hepar ke atas dan kedalam dengan lembut. Anjurkan pasien inspirasi dalam & rasakan sentuhan hepar saat inspirasi, jika teraba sedikit kendorkan jari & raba permukaan anterior hepar. Normal hepar : lunak tegas, tidak berbenjol-benjol.Perkusi hepar, digunakan patokan 2 garis, yaitu: garis yang menghubungkan pusar dengan titik potong garis mid calvicula kanan dengan arcus aorta, dan garis yang menghubungkan pusar dengan processus kifoideus.Pembesaran hati diproyeksikan pada kedua garis ini dinyatakan dengan beberapa bagian dari kedua garis tersebut. Harus pula dicatat: konsistensi, tepi, permukaan dan terdapatnya nyeri tekan.Pemeriksaan Limpa5Pada neonates, normal masih teraba sampai 1 2 cm. Dibedakan dengan hati yaitu Limpa seperti lidah menggantung ke bawah dan ikut bergerak pada pernapasan Mempunyai incisura lienalis, serta dapat didorong kearah medial, lateral dan atas. Besarnya limpa diukur menurut SCHUFFNER, yaitu : garis yang menghubungkan titik pada arkus kosta kiri dengan umbilikus (dibagi 4) dan garis ini diteruskan sampai SIAS kanan yang merupakan titik VIII. Garis ini digunakan untuk menyatakan pembesaran limpa. Garis ini diteruskan kebawah sehingga memotong lipat paha. Garis dari pusat kelipat paha pun dibagi 4 bagian yang sama. Limpa yang membesar sampai pusar dinyatakan sebagai S.IV sampai lipat paha S.VIII.Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk menegakan diagnosis leukemia granulositik kronik antara lain; hematologi rutin, apus darah tepi, apus sumsum tulang, karyotipik.

Hematologi Rutin1,6Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, lekosit antara 20-60.000/mm3. Persentasi eosinofil dan atau basofil meningkat. Trombosit biasanya meningkat antara 500-600.000/mm3. Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal atau trombositopenia. Jumlah sel darah putih yang lebih dari 100.000 per mikroliter sering ditemukan saat pasien CML datang, tetapi dengan semakin seringnya skrining laboratorium dilakukan, CML mungkin ditemukan pada stadium awal. Apusan darah tepi memperlihatkan peningkatan mencolok granulosit dengan pergeseran diferensiasi ke kiri, termasuk peningkatan promielosit, mielosit, dan metamielosit. Eosinofilia dan basofilia mungkin menonjol. Skor alkali fosfatase neutrofil (leukosit) rendah atau nol, berlainan dengan skor tinggi yang dijumpai pada reaksi leukemoid. Fungsi dan morfologi trombosit biasanya normal pada CML. Ditemukan peningkatan mencolok kadar vitamin B12 serum, serta peningkatan kapasitas serum mengikat vitamin BI2 karena peningkatan pembentukan transkobalamin I oleh granulosit.Konsentrasi hemoglobin yang kurang dari 11 g/dL ditemukan pada sepertiga pasien, dan separuh pasien memiliki jumlah trombosit lebih dari 450.000 per mikroliter. Sumsum tulang hiperseluler dengan peningkatan mencolok rasio mieloid-terhadap-eritroid. Kadang- kadang ditemukan peningkatan fibrosis kolagen atau retikulin. Pada CML, sumsum tulang serta limpa mungkin mengandung fagosit yang berisi glikolipid, yang mirip sel Gaucher atau histiosit laut-bira, akibat meningkatkan pertukaran glukoserebrosida dan sfingolipid. Sering ditemukan hiperurisemia akibat peningkatan pertukaran sel pada CML dan dapat dicetuskan oleh terapi sitotoksik. Granulosit pada CML memiliki aktivitas fagositik dan bakterisidal mendekati normal.Gambaran yang menunjukan perkembangan mnjadi fase blastik adalah lesi tulang, pansitopenia, pembesaran hati dan limpa, dan peningkatan presentase blas di dalam sumsum tulang dan darah. Krisis blas biasanya berasal dari jenis mieloid. Sekitar 30 persen pasien mengalami transformasi limfoblastik, yang perlu dibedakan dengan krisis blas mieloid, karena diobati dengan cara yang berbeda. Karakteristik limfoid mencakup morfologi limfoblas, adanya enzim terminal deoksinukleotidil transferase (TdT), dan ekspresi antigen leukemia limfoblastik akut biasa (CALLA, common acute lymphoblastic leukemia antigen). Transformasi limfoid berkaitan dengan produk translokasi bcr-abl p190 yang berberat molekul lebih rendah. Krisis bias dari jenis eritroid, basofilik, dan megakarioblastik juga ditemukan.

Apus Darah Tepi1Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga persentasi eosinofil dan atau basofil.Apus Sumsum Tulang1Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid: eritroid meningkat. Megakariosit juga tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis.Karyotipik1Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini sudah mulai ditinggalkan dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi kromosom yang sering ditemukan pada LGK, antara lain: +8, +9,+19, +21, i(17).Pemeriksaan Laboratorium Lain1 Pada pemeriksaan laboratorium lain ering ditemukan adanya hiperurikemia.DiagnosisWorking Diagnosis6Seorang laki-laki 60 tahun datang ke poliklinik RS UKRIDA dengan keluhan utama lemas sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh sering demam dan keringan dingin terutama pada malam hari, adanya batuk atau nyeri berkemih disangkal. Selain itu pasien merasa cepat kenyang dan begah. Pasien mengaku hanya mengkonsumsi makanan alami tanpa adanya pengawet. Adanya riwayat paparan radioaktif disangkal. Di keluarga pasien tak ada yanng sakit seperti ini. Pemeriksaan fisik: conjungtiva anemis, sclera non ikterik, limpa teraba schuftner 3.Diagnosis leukemia granulositik kronik atau chronic myeloid leukemia (CML) bergantung pada hubungan mielopoisis yang meningkat mencolok, splenomegali, dan adanya kromosom Ph. Pemeriksaan apusan darah tepi dan sumsum tulang biasanya dapat menegakkan diagnosis dalam situasi klinis yang sesuai. Kajian sitogenetik dilakukan untuk konfirmasi. Pada beberapa pasien sindroma CML, tidak ditemukan kromosom Ph. Pada 50 persen pasien ini, dapat dideteksi kelainan bcr-abl dengan reaksi rantai polimerase (PCR), sehingga mengkonfirmasi diagnosis CML. Beberapa pasien dengan gambaran penyakit yang khas tidak memperlihatkan translokasi bcr-abl (CML Ph-negatif). Suatu bentuk penyakit mieloproliferatif yang jarang, disebut CML juvenilis, dijumpai pada pasien berusia kurang dari 4 tahun. Penyakit ini dibedakan dari CML tipe dewasa dengan tidak adanya kromosom Ph, peningkatan hemoglobin janin, trombositopenia, dan monositosis yang menonjol. Biasanya dijumpai leukositosis sedang dan kariotipe sitogenetik yang normal. Pasien CML juvenilis jarang mengalami transformasi blastik dan biasanya meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ akibat sebukan monosit dan makrofag. Biasanya CML dapat dibedakan dengan reaksi leukemoid yang berkaitan dengan infeksi atau neoplasma dengan adanya kromosom Ph, eosinoflia, basofilia, dan skor alkali fosfatase neutrofil yang rendah. Metaplasia mieloid agnogenik biasanya muncul dengan mielofibrosis mencolok dan splenomegali tanpa adanya kromosom Ph.Dari anamnesis, dapat diketahui laki-laki 60 tahun datang ke poliklinik RS UKRIDA dengan keluhan utama lemas sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh sering demam dan keringat dingin terutama pada malam hari, adanya batuk atau nyeri berkemih disangkal. Selain itu pasien merasa cepat kenyang dan begah. Pasien mengaku hanya mengkonsumsi makanan alami tanpa adanya pengawet. Adanya riwayat paparan radioaktif disangkal. Di keluarga pasien tak ada yang sakit seperti ini. Pemeriksaan fisik: conjungtiva anemis, sclera non ikterik, limpa teraba schuftner 3. Selain itu, perlu juga dilakukan pemeriksaan fisik lainnya dan penunjang sehingga dapat meyakinkan diagnosis, sehingga dapat ditegakan diagnosis kerjanya, yaitu leukemia granulositik kronik.Differential Diagnosis Reaksi Leukemoid7Leukositosis yang terjadi akibat respons terhadap infeksi atau stimulus lain kadang-kadang dapat menjadi berlebihan, sering disertai jumlah leukosit lebih dari 50.000/mm3. Jika leukosit bukan merupakan blas yang maligna, sindrom ini disebut reaksi leukemoid (Tabel 43.1). Sering, terdapat peningkatan jumlah mieloid imatur atau prekursor limfoid di dalam darah perifer. Pada pemeriksaan sumsum tulang secara khas menunjukkan hiperplasia mieloid dengan maturasi yang normal. Reaksi leukemoid mieloid (terdapat pada dua pertiga dari semua kasus) paling sering terjadi disertai infeksi bakteri. Agen penyebab yang tersering adalah Staphylococcus, Haemophilus, Neisseria meningiidis, Meningococcus, dan Salmonella. Reaksi leukemoid limfoid (yang terdapat pada sepertiga dari semua kasus) terjadi paling sering pada individu yang terinfeksi Bordetella pertusis atau infeksi virus akut biasa. Penyebab lain reaksi leukemoid adalah penyakit granulomatosa, hemolisis berat, vaskulitis, obat-obatan, dan adanya tumor yang bermetastasis ke sumsum tulang. Sulit untuk membedakan reaksi leukemoid dari leukemia mielogenosa kronis pada fase kronis. Leukemia akut dapat juga menunjukkan adanya leukositosis hebat, biasanya terutama terdiri atas sel blas.Tabel 3. Diagnosis Banding Reaksi Leukemoid dan LGK.8Reaksi LeukemoidCML/LGK

EtiologiInfeksiKeganasan

Organomegali-+

Anemia-+

Trombositopenia-+

Kelainan neutrofil++-/+

Basofilia-+/-

Eosinofilia-+/-

Aktivitas LAPMeningkatMenurun

Sumsum Tulang

Kepadatan selHiperselulerHiperseluler

EritropoesisNormalTertekan

TrombopoesisNormalTertekan

Mielofibrosis9Mielofibrosis merupakan suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya timbunan substansi kolagen berlebihan dalam sumsum tulang. Kelainan ini secara definitif merupakan kelainan sel stem hematopoiesis klonal, dihubungkandengan chronic myeloproliferative disorders (CMPD), dimana adanya hematopoeisis ekstramedular merupakan gambaran menyolok. Penyakit ini termasuk jarang didapatkan dalam praktek sehari-hari, pertama kali dilaporkan oleh Heuck G., pada tahun 1879 (Sit. Clark dan William 2005), dengan nama lebih 30 macam, termasuk: Mielofibrosis primer, osteomielofibrosis, metaplasia mieloid agnogenik, mielofibrosis idiopatik dan lebih sering disebut sebagai Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid (MMM). MMM perlu dibedakan dengan beberapa jenis lainnya, dimana mielofibrosis disini merupakan fenomena sekunder. Terdapat kelainan bersifat familial yang jarang terdapat, misalnya primer hyperthrophic osteoarthropathy, mielofibrosis yang terjadi primer akibat gangguan pertumbuhan fibroblas sumsum tulang.MMM menyerang golongan umur menengah dan tua, rerata umur 60 tahun, pria dan perempuan mempunyai kemungkinan sama. MMM kurang sering mengenai umur muda dan jarang pada anak. Anak lelaki 2 kali daripada perempuan. Pada beberapa kasus dilaporkan adanya faktor familial. Pada 25% kasus MMM berpenampilan asimptomatis, diagnosis disugesti dengan adanya pemeriksaan darah yang abnormal atau secara insidensil terdapat splenomegali.Gejala klinis pada umumnya: kelelahan otot dan penurunan berat badan (7-39%), sindrom hipermetabolik (demam, keringat malam terdapat 5-20% pasien), perdarahan dan memar, kadang terdapat masa dalam perut, Gout dan kolik renal terdapat 4-6%, tophi jarang didapatkan, diare dengan sebab tak jelas dan nyeri substernal kadang diketemukan.Splenomegali yang cukup besar merupakan penemuan fisik yang utama. Hepatomegali diketemukan separuh pasien, 2-6% terdapat hipertensi portal, mungkin diikuti komplikasi: asites, varises esofagus, perdarahan, gastrointestinal dan enselopatia hepatik. Juga ditemukan petekie, ekhimosis dan limpadenopati. Beberapa pasien memperlihatkan adanya dermatosis neutrofilik serupa pada sweet-syndrome dan mengalami hematopoiesis ekstramedular dermal, osteosklerosis yang sebagian diikuti periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila permukaan serosa terlibat dalam hematopoiesis mungkin akan terdapat efusi pleura dan perikard atau asites. Kadang diikuti komplikasi neurologis berupa: tekanan intrakraniai meninggi, delirium, koma, perdarahan subdural, kerusakan motorik, sensorik dan paralasis.Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan sel eritrosit bentuk tear drop yang dihubungkan adanya eritrosit berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur dan platelet besar abnormal. Retikulosit meningkat; eritrosit polikromusi, fragmentasi dan sel target juga sering diketemukan, Abnormalitas morfologi ini diakibatkan adanya perubahan hematopoiesis, bebasnya sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedular. Bagaimana perubahan ini terjadi masih belum jelas. Anemia dengan Hb kurang 10 gr/dl, ditemukan 60% kasus, yang dapat terjadi akibat hemodilusi akibat volume plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum tulang dan hemolisis.Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis: anisopoikilositosis, oval dari eritrosit, reaksi leukomoid (samping granulosit terdapat satu metamielosit, satu promielosit dan satu normoblas). (Sumber: Atlas hematologi, Heckner & Freud, 1999) Hasil, A: Terdapat mikrovaskular lurus, sedikit bercabang dan jarang berkelok. B: Mikrovaskular lurus, sedikit bercabang, tidak berkelok. C: Terdapat mikrovaskular pendek, banyak bercabang dan berkelok. D: Terdapat mikrovaskular banyak bercabang dan sedikit berkelok. (Sumber: Lunberg et al., 2000)Sedangkan penyebab hemolisis diperkirakan: hipersplenisme, autoantibodi eritrosit, hemoglobin H yang didapat dan adanya sensitivitas membran komplemen yang serupa PNH (Paroxysmal noctrunal hemoglobinuria).Morfologi anemia tidak khas pada umumnya normositik normokromik, makrositik bila defisiensi asam folat dan mikrositik hipokromik bila defisiensi Fe atau perdarahan gastrointestinal. Jumlah leukosit meningkat pada 50% kasus, diikuti eosinofilia dan basofilia, sedangkan jumlah limfosit normal. Beberapa mieloblas ditemukan dalam sirkulasi perifer dan mungkin tidak dipikirkan adanya konversi ke arah leukemia akut, tetapi konsentrasi mieloblas >1% memberikan prognosis jelek. Juga ditemukan neutrofil hipersegmen, kenaikan enzim neutrofii, trombosit meningkat pada awal MMM, pada progresifitas penyakit dapat terjadi trombositopenia.Platelet biasanya berukuran besar, dalam sirkulasi ditemukan megakariosit yang utuh ataupun mengalami fragmentasi. Fungsi platelet sering tidak normal, gangguan waktu perdarahan dan retraksi jendalan dan penurunan: kadar platelet factor 3, platelet adhesiveness dan aktivitas iipogenesis. Perubahan pada faktor pembekuan yang terlarut dapat terjadi pada penyakit tersebut. Koagulasi intravaskular diseminata/Disseminated Intravascular Coagulation (KID/ZJ/C) subklinik dapat ditemui pada 15% pasien MMM bentuk lanjut dan defisiensi faktor V yang didapat dapat terjadi pada pasien tersebut di atas. Kadar asam urat dan enzim laktat dehidrogenase hampir selalu meningkat, menggambarkan adanya massa yang berlebihan dari sel hematopoietik atau adanya hematopoiesis yang tidak efektif atau keduanya. Juga dapat terjadi kenaikan kadar enzim alkalinetosfastase serum yang merupakan keterlibatan tulang, terjadi penurunan kadar albumin, kolesterol dan lipoprotein. Dapat terjadi kenaikan kadar vitamin B12 pada pasien dengan leukositosis, yang merupakan refleksi dengan peningkatan masa neutrofil.

Leukemia mielomonositik kronik10,11Leukemia mielomonositik kronik merupakan salah satu dari sindrom mielodisplastik. Sindrom ini adalah sekelompok gangguan heterogen dengan pertumbuhan klonal, tanpa kendali, dan tidak stabil yang ditandai dengan gangguan pematangan, ketidak-responsi van terhadap terapi vitamin dan besi standar, dan kecenderungan untuk mengalami leukemia akut. Karena karakteristik terakhir inilah penyakit Ini dahulu disebut sebagai "sindrom praleukemik", tetapi hanya sekitar 25 sampai 35% yang berkembang menjadi leukemia akut. Beberapa gambaran klinis dan laboratorium tertentu mungkin menandakan adanya transformasi ini. Tanda utama penyakit ini adalah hematopoiesis yang tidak efektif, yang mcncakup perkembangan eritroid, perkembangan granulopoietik, dan pembentukan trombosit. Pertumbuhan yang tidak stabil mungkin memengaruhi setiap kombinasi dari ketiga turunan sel utama Ini. Pertumbuhan yang tidak stabil ditandai dengan hiperselularitas di sumsum tulang, tetapi dengan sitopenia dalam berbagai tingkatan di darah perifer karena kematian sel intramedula. Gambaran klinis utama dari penyakit ini adalah anemia yang tidak responsif terhadap pengobatan hematimk standar (vitamin dan besi), demam, infeksi berulang, atau mudah berdarah. Splenomegali biasanya bukan tanda sindrom mielodisplastik. Namun, pasien mungkin datang dengan gambaran klinis keadaan hipermetabolik berupa demam dan penurunan berat badan, serta gambaran peningkatan pertukaran sel, seperti gout akibat hiperurisemia atau nyeri tulang karena ekspansi sumsum tulang.Penyakit leukemia mielomonositik kronis sendiri ditandai dengan peningkatan hitung absolut monosit di darah perifer tanpa stimulus sekunder seperti tuberkulosis atau peradangan kronis. Terdapat displasia leukosit dan jumlah monosit absolut melebihi 1,0x109/L. Banyak monosit yang tampak atipikal atau imatur dan mungkin memperlihatkan nukleolus. Sumsum tulang juga mungkin memperlihatkan banyak sel terbelah dan bercelah dengan inti sel seperti tapal kuda yang khas untuk prekursor monositik, serta displasia prekursor hematopoietik lain. Pasien juga mungkin mengalami peningkatan lisozim, suatu gambaran yang dijumpai pada leukemia monositik akut. Biasanya tidak terjadi infiltrasi gusi oleh sel-sel abnormal ini. Penyakit ini juga memiliki kemungkinan besar berubah menjadi leukemia mielomonositik akut atau leukemia monositik (M4 atau M5).Kelainan sitogenetik pada pasien dengan sindrom mielodisplastik biasanya menunjukkan prognosis yang lebih buruk disertai peningkatan kemungkinan berubah menjadi leukemia. Transformasi menjadi leukemia akut lebih sering berkailan dengan sindrom-sindrom yang memperlihatkan kelainan kromosom 5q, yaitu hilangnya lengan panjang kromosom 5. Kelainan 5q lebih saring dijumpai pada leukemia yang timbul setelah terapi obat pengalkil (apa yang disebut sebagai mielodisplasia terkait-terapi (t-MDSJ). Kelainan kromosom lain yang ditemukan pada golongan mielodisplasia ini adalah monosomi 7 dan trisomi 8. Temuan-temuan ini umumnya diperkirakan berkaitan dengan prognosis yang lebih buruk atau peningkatan kemungkinan transformasi menjadi leukemia. Kelainan kromosom 5q kadang-kadang berkaitan dengan suatii konstelasi temuan spesifik yang mencakup anemia makrositik dan leukopcnia, tetapi hi- tung trombosit normal atau meningkat. Sindrom 5q ini secara paradoks berkaitan dengan prognosis yang lebih baik serta penurunan kemungkinan transformasi menjadi leukemia.

Epidemiologi1 Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Pada umumnya menyerang usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. Di Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom Chemobil meledak.

Etiologi6Leukemia granulositik kronik adalah penyakit yang didapat. Walaupun belum ada etiologi spesifik yang diketahui, terdapat peningkatan insidensi CML pada individu yang selamat dari serangan bom atom di Jepang. Insidensi puncak CML dijumpai 5 sampai 12 tahun setelah pajanan radiasi dan tampaknya berkaitan dengan dosis. Oleh karena itu radiasi merupakan suatu faktor resiko.

Patofisiologis1Seperti telah disinggung di atas, gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk pluripoten pada sistem hematopoesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis lainnya.Pemahanan mekanisne kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, prognostik, serta implikasi terapeutiknya. Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molekular.

Sitogenetik1Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK. dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan, Sejak tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9, seperti tampak pada Gambar 1.

Gambar 1. Translokasi kromosom 9 dan 22.1

Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis protein 210 kD yang berperan dalam leukemogenesis, sedang peranan gen resiprokal ABL-BCR tidak diketahui (Silver, 1990; Diamond, 1995; Melo, 1996; Verfaillie, 1998).Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph, seperti tampak pada Tabel 1. Varian-varian ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah ql1, akan tetapi dapat juga di daerah q12 atau q13 (Heim dan Mitelman, 1987), dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga berbeda berat molekulnya.

Tabel 1. Variasi Kelainan Sitogenik pada LGK.1KaryotipikGen-gen yang TerlibatIstilah Klinik

T(9;22)(q34;q12)BCR-JAKLGK atipik

T(9;22)(q34;q13)BCR-PDGFRBLGK atipik

T(9;22)(q34;q11)BCR-FGFR1LGK BCR-ABL negatif

T(9;22)(q11;q11)BCR-FGFR1LGK BCR-ABL negatif

T(9;22)(q12;q11)BCR-PDGFRALGK atipik

T(9;12)(q34;q13)ABL-TELLGK atipik

Del(4)(q12)FIP1L1- PDGFRALGK hipereosinofilia

Jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q) selalu terdapat pada semua pasien LGK, tetapi gen BCR- ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien LGK. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis bias ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17 i(17)q. Dengan kata lain selain gen BCR- ABL, ada beberapa gen-gen lain yang berperan dalam patofisiologi LGK atau terjadi abnormalitan dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16 dan gen Rb.

Biologi Molekular pada Patogenesis LGK1Pada kebanyakan pasien LGK, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau di daerah e13-el4 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr), kemudian gen BCR-ABL-nya akan mensintesis protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis p210BCR ABL. Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb atau e1 yang dikenal sebagai minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan mensintesa p190 (Melo, 1996). Saglio dkk pada tahun 1990 menemukan satu lagi variasi patahan ini pada 3 gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai micro bcr (p-bcr) (Melo, 1996). Melo (1997) menemukan bahwa 3 variasi ielak patahan pada gen BCR ini yaitu mayor (M-bcr), minor (m-bcr), dan mikro (-bcr) ternyata berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya. Pasien LGK yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr berhubungan dengan monositosis yang prominen, sedang patahan di -bcr berhubungan dengan netrofilia dan/atau trombositosis.Pada gambar 1 tampak bahwa p210BCR ABL mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara sebagai berikut: gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis.Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik, seperti tampak pada Gambar 2. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses apoptosis.

Gambar 2. Fusi Gen BCR-ABL. Gen ABL (p145A0L) yang normal dikontrol oleh Exon 1a, 1b dan Exon a2. Apabila terjadi fusi dengan gen BCR, maka terjadi otofosforilasi sehingga terjadi aktivasi dari gen ABL pada gugus SH1 dengan tidak terkendali.1Penatalaksanaan1Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan dengan terapi interferon dan/atau cangkok sumsum tulang. Indikasi cangkok sumsum tulang: 1. Usia tidak lebih dari 60 tahun, 2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal.Obat-obat yang digunakan pada LGK adalah:Hydroxyurea (Hydrea)1 Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologik pada LGK. Lebih efektif dibandingkan busuifan, melfalan, dan klorambusil. Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Tidak seperti busuifan yang dapat menyebabkan anemia aplastik dan fibrosis paru. Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2.5 gram/hari. Penggunaannya dihentikan dulu bila lekosit