penelitian adsorpsi

33
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Zat Warna Tekstil Zat warna adalah senyawa organic bewarna yang digunakan untuk memberi warna pada suatu objek (Fessenden & Fessenden, 1999). Suatu zat warna ialah bahan pewarna yang dapat larut dalam air dan mempunyai daya tarik terhadap serat. Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh dengan Chromofor sebagai pembawa warna dan aukokrom sebagai pengikat warna dengan serat. Zat organik tidak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan zat warna adalah senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan turunannya, fenol dan turunannya serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang mengandung nitrogen (Mulyatna dkk, 2003) Sumber diperolehnya zat warna tekstil digolongkan menjadi 2 yaitu: Pertama, Zat Pewarna Alam yaitu zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam pada umumnya dari hasil ekstrak tumbuhan dan hewan. Kedua, Zat Pewarna Sintetis yaitu zat warna buatan atau sintetis dibuat dengan reaksi kimia dengan bahan dasar terarang batu bara atau minyak bumi yang merupakan hasil senyawa turunan hidrokarbon aromatik seperti benzena, naftalena dan antrasena. 5

Upload: rizky-indah-sari

Post on 20-Feb-2016

42 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Adsorpsi zat warna

TRANSCRIPT

Page 1: Penelitian Adsorpsi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Zat Warna Tekstil

Zat warna adalah senyawa organic bewarna yang digunakan untuk memberi

warna pada suatu objek (Fessenden & Fessenden, 1999). Suatu zat warna ialah

bahan pewarna yang dapat larut dalam air dan mempunyai daya tarik terhadap

serat. Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh

dengan Chromofor sebagai pembawa warna dan aukokrom sebagai pengikat

warna dengan serat. Zat organik tidak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan

zat warna adalah senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan

turunannya, fenol dan turunannya serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang

mengandung nitrogen (Mulyatna dkk, 2003)

Sumber diperolehnya zat warna tekstil digolongkan menjadi 2 yaitu: Pertama,

Zat Pewarna Alam yaitu zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam pada

umumnya dari hasil ekstrak tumbuhan dan hewan. Kedua, Zat Pewarna Sintetis

yaitu zat warna buatan atau sintetis dibuat dengan reaksi kimia dengan bahan

dasar terarang batu bara atau minyak bumi yang merupakan hasil senyawa

turunan hidrokarbon aromatik seperti benzena, naftalena dan antrasena.

Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tak jenuh dengan

kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat warna dengan

serat. Zat organik tak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan zat warna adalah

senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan turunannya,

fenol dan turunannya serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang mengandung

nitrogen. Gugus auksokrom terdiri dari dua golongan, yaitu golongan anion dan

kation. Gugus kromofor adalah gugus yang menyebabkan molekul menjadi

berwarna karena memberi daya ikat terhadap serat yang diwarnainya.

Pada proses pewarnaan tekstil lebih banyak menggunakan zat warna sintetik

dibandingkan dengan zat warna alam karena zat warna sintetik dapat memenuhi

kebutuhan skala besar, warnanya lebih bervariasi dan pemakaiannya lebih praktis

(Montano, 2007). Sekitar 70% dari zat warna sintetik yang digunakan adalah zat

5

Page 2: Penelitian Adsorpsi

6

warna golongan azo yaitu zat warna sintetik yang mengandung paling sedikit satu

ikatan ganda N=N. Keunggulan zat warna azo ini adalah terikat kuat pada kain,

memberikan warna yang baik dan tidak mudah luntur (Blackburn dan

Burkinshaw, 2002).

2.1.2. Methyl Violet

Pada penelitian ini zat pewarna yang digunakan adalah basic methyl

violet. Metil violet adalah keluarga senyawa organik yang terutama digunakan

sebagai pewarna . Tergantung pada jumlah terpasang metil kelompok, warna

pewarna dapat diubah. Kegunaan utamanya adalah sebagai pewarna ungu

untuk tekstil dan memberikan warna ungu tua di cat dan tinta. Metil violet 10B

juga dikenal sebagai violet kristal (dan banyak nama lainnya) dan memiliki

kegunaan medis.  Methyl violet termasuk zat warna golongan trifenilmetana yang

digunakan secara intensif untuk mewarnai nilon, nilon yang dimodifikasi

poliakrilonitril, wol, sutera dan kapas. Beberapa diantaranya dimanfaatkan untuk

kegunaan medis dan biologis. Methyl violet bersifat persisten dan sulit

dibiodegradasi. Berdasarkan studi yang dilakukan Black et al pada 1980,

didapatkan bahwa anilin yang terdapat dalam senyawa ini bersifat toksik,

mutagenik dan karsinogenik. Metil violet mencakup tiga senyawa yang berbeda

dalam jumlah kelompok metil melekat pada amina   gugus fungsional  . Mereka

semua larut dalam air , etanol , dietilen glikol dan dipropilen glikol .

Gambar 2.1 Rumus Molekul Methyl Violet

Page 3: Penelitian Adsorpsi

7

Karakteristik Methyl Violet1. Rumus molekul: C 25 H 30 ClN 3

2. Massa molar: 407,979

3. Nomor CAS: 548-62-9

4. Penampilan: Crystal Violet, ACS, 90 +%; Kristal Violet; Kristal Violet, ACS,

90 +%; Kristal Violet; bubuk hijau gelap atau kristal

5. Titik lebur: 205-215 ° C

Methyl violet merupakan salah satu contoh zat pewarna tekstil. Zat warna

methyl violet tergolong dalam zat warna karbon -nitrogen yang terdapat pada

gugus benzena. Gugus benzena sangat sulit didegradasi, kalupun dapat

didegradasi membutuhkan waktu yang lama ( Christina P.M, dkk, 2007).

2.1.2 Karakteristik limbah cair zat pewarna tekstil

Salah satu penghasil limbah cair adalah industri tekstil, terutama pada

proses pewarnaan. Dalam proses pewarnaan tekstil banyak menggunakan air,

maka jumlah air yang hilang tersebut diduga merupakan limbah cair yang pada

akhirnya akan mencemari air sungai/perairan yang menerimanya. Air limbah

tekstil ini bila dibuang ke perairan selain menyebabkan air mempunyai tingkat

warna yang tinggi juga akan menyebabkan kenaikan BOD yang nyata (Gupta dkk,

1988). Limbah cair adalah zat sisa yang berwujud cairan dari suatu lingkungan

masyarakat atau industri, yang mengandung hampir 0,1 % benda-benda padat

yang terdiri dari zat organik dan anorganik. Limbah cair tersebut mengandung

bahan-bahan berbahaya dan beracun yang keberadaanya dalam perairan dapat

mengalangi sinar matahari menembus lingkungan akuatik, sehingga mengganggu

proses-proses biologis yang terjadi didalamnya ( Krim dkk, 2006 ). Berikut adalah

karakteristik limbah cair dari zat pewarna tekstil.

Page 4: Penelitian Adsorpsi

8

Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair dari Beberapa Bahan Tekstil

Parameter Unit

Kadar Pencemaran dari Proses Pencucian

Bahan Kapas dan Sintetik

Kadar pencemaran dari

proses pencelupan

bahan kapas dan sintetik

Bahan mutu limbah cair

industry tekstil kadar maksimum

BOD5TSSCOD

Minyak/LemakKrom, Total

Fenol SulfidaWarna

pH

mg/Lmg/Lmg/Lmg/Lmg/Lmg/Lmg/LADM

-

100-85040-495

425-1440-

0.050.04-0.270.20-2.72325-400

7-11

75-34025-75

200-1010-

0.0130.12

-5007-12

85602505.02.01.0--

6.0-9.0Sumber: Arena Tekstil No.24 tahun 1995 dan Baku Mutu Limbah Cair

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep. 51/MENLU/10/1995.

2.2. Tanaman kakao

Tanaman kakao (Theobroma cacao L) merupakan salah satu tanaman

perkebunan yang dapat tumbuh baik di Indonesia, terutama di dataran rendah atau

di lereng gunung dengan ketinggian tidak lebih dari 500 m dari permukaan laut.

Theobroma cacao L adalah nama biologis yang diberikan pada pohon kakao oleh

Linnaeus pada tahun 1753. Tempat alamiah dari genus Theobroma adalah di

bagian hutan tropis dengan banyak curah hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan

teduh. Dalam kondisi seperti ini Theobroma cacao jarang berbuah dan hanya

sedikit menghasilkan biji (Spillane, 1995).

Menurut Susanto (1994), jenis yang paling banyak ditanam untuk produksi

coklat hanya 3 jenis, yaitu:

1. Jenis Criollo

Jenis Criollo terdiri dari Criollo Amerika Tengah dan Criollo Amerika

Selatan. Jenis ini menghasilkan biji coklat yang mutunya sangat baik dan dikenal

sebagai coklat mulia. Buahnya berwarna merah atau hijau, kulit buahnya tipis dan

Page 5: Penelitian Adsorpsi

9

berbintil–bintil kasar dan lunak. Biji buahnya berbentuk bulat telur dan berukuran

besar dengan kotiledon berwarna putih pada waktu basah.

2. Jenis Forastero

Jenis ini menghasilkan biji coklat yang memiliki mutu sedang atau dikenal

juga sebagai Ordinary cocoa. Buahnya berwarna hijau, kulitnya tebal, biji

buahnya tipis atau gepeng dan kotiledon berwarna ungu pada waktu basah.

3. Jenis Trinitario

Merupakan campuran dari jenis Criollo dengan jenis Forastero. Coklat

Trinitario menghasilkan biji yang termasuk fine flavour cocoa dan ada yang

termasuk bulk cocoa. Buahnya berwarna hijau atau merah dan bentuknya

bermacam–macam. Biji buahnya juga bermacam–macam dengan kotiledon

berwarna ungu muda sampai ungu tua pada waktu basah.

Taksonomi tanaman kakao menurut Poedjiwidodo (1996), adalah sebagai

berikut:

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Malvales

Famili : Sterculiaceae

Genus : Theobroma

Spesies : Theobroma cacao. L

Menurut Wahyudi dkk ,2008, bentuk buah dan warna kulit buah kakao sangat

bervariasi, tergantung pada kultivarnya. Namun, pada dasarnya hanya ada dua

macam warna, yaitu :

1. Buah yang ketika muda berwarna hijau/hijau agak putih, bila sudah masak

berwarna kuning, dan

2. Buah yang ketika masih muda berwarna merah, bila sudah masak berwarna

oranye.

Kulit buah Kakao terdiri dari 10 alur (5 dalam dan 5 dangkal) berselang

seling. Permukaan buah ada yang halus dan ada yang kasar, warna buah beragam

ada yang merah hijau, merah muda dan merah tua (Poedjiwidodo, 1996).

Page 6: Penelitian Adsorpsi

10

Gambar 2.1 Kulit kakao

Tabel 2.2 Komposisi kulit kakao

Komposisi Persentase (%)Protein kasarLemak kasarGlukosaSukrosaHemiselulosaSelulosaLigninPektinAbu

6,01,420,50,1821,1433,10

255,307,45

Sumber: Siregar, 2009

2.3. Selulosa dan Hemiselulosa

Selulosa merupakan senyawa organik yang terdapat pada dinding sel

bersama lignin berperan dalam mengokohkan struktur tumbuhan. Selulosa pada

kayu umumnya berkisar 40-50%, sedangkan pada kapas hampir mencapai 98%.

Selulosa terdiri atas rantai panjang unit-unit glukosa yang terikat dengan ikatan 1-

4β-glukosida.

Gambar 2.1 Selulosa

Page 7: Penelitian Adsorpsi

11

Hemiselulosa adalah polimer polisakarida heterogen tersusun dari unit D-

glukosa, D-manosa, L-arabiosa dan D-xilosa. Hemiselulosa pada kayu berkisar

antara 20-30%. Dilihat dari strukturnya, selulosa dan hemiselulosa mempunyai

potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai penjerap karena gugus OH yang

terikat dapat berinteraksi dengan komponen adsorbat. Adanya gugus OH, pada

selulosa dan hemiselulosa menyebabkan terjadinya sifat polar pada adsorben

tersebut. Dengan demikian selulosa dan hemiselulosa lebih kuat menjerap zat

yang bersifat polar dari pada zat yang kurang polar. Mekanisme serapan yang

terjadi antara gugus -OH yang terikat pada permukaan dengan ion logam yang

bermuatan positif (kation) merupakan mekanisme pertukaran ion sebagai berikut

(Yantri 1998):

Sumber: Watan, 2014

M+ dan M2+ adalah ion logam, -OH adalah gugus hidroksil dan Y adalah

matriks tempat gugus -OH terikat. Interaksi antara gugus -OH dengan ion logam

juga memungkinkan melalui mekanisme pembentukan kompleks koordinasi

karena atom oksigen (O) pada gugus -OH mempunyai pasangan elektron bebas,

sedangkan ion logam mempunyai orbital d kosong. Pasangan elektron bebas

tersebut akan menempati orbital kosong yang dimiliki oleh ion logam, sehingga

terbentuk suatu senyawa atau ion kompleks.

Menurut Terada et al. (1983) ikatan kimia yang terjadi antara gugus aktif

pada zat organik dengan molekul dapat dijelaskan sebagai perilaku interaksi

asam-basa Lewis yang menghasilkan kompleks pada permukaan padatan. Pada

sistem adsorpsi larutan ion logam, interaksi tersebut dalam bentuk umum ditulis:

[GH] + M z+ [GM (z-1)]+ + H+

2[GH] + Mz+ [G2M(z-2)]+ + 2H+

Page 8: Penelitian Adsorpsi

12

dengan GH adalah gugus fungsional yang terdapat pada zat organik, dan M adalah

ion bervalensi z.

2.4. Adsorpsi

Adsorpsi disebut peristiwa penyerapan dengan menggunakan suatu media

penyerap atau adsorben (Anonim, 2008). Selain itu, adsorpsi adalah suatu proses

pemisahan bahan dari campuran gas atau cair , bahan yang harus dipisahkan

ditarik oleh permukaan adsorben padat dan diikat oleh gaya-gaya yang bekerja

pada permukaan tersebut (Anonim, 2009). Menurut Richardson, etal. Adsorpsi

didefinisikan sebagai suatu proses difusi molekul-molekul dari fluida ke

permukaan adsorben padat. Salah satu metode yang digunakan untuk

menghilangkan zar pencemar dari air limbah adalah adsopsi (Rios,1999)

Operasi dari proses adsorpsi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu, dilakukan

dalam suatu bejana dengan sistem pengadukan, dimana penyerap yang biasanya

berbentuk serbuk dibubuhkan, dicampur dan diaduk dengan air dalam suatu

bejana sehingga terjadi penolakan antara partikel penyerap dengan fluida.

Sedangkan operasi dan proses adsorpsi selanjutnya yaitu dilakukan dalam suatu

bejana dengan sistem filtrasi, dimana bejana yang berisi media penyerap di alirkan

air dengan model pengaliran gravitasi. Jenis media penyerap sering digunakan

dalam bentuk bongkahan atau butiran/granula dan proses adsorpsi biasanya terjadi

selama air berada di dalam media penyerap.

Ada beberapa hal yang dapat membedakan jenis-jenis adsorpsi. Perbedaan

yang sangat penting adalah didasarkan pada sifat ikatan fisika dan kimia yang

menyebabkan adsorbat ditarik ke permukaan adsorben. Para ahli

mengklasifikasikan adsorpsi atau dua tipe berdasarkan fenomena terjadinya

adsorpsi, yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia. Kedua jenis adsorpsi tersebut

mempunyai karakteristik masing-masing.

2.4.1 Adsorpsi Fisika

Adsorpsi fisika atau adsorpsi Van Der Walls adalah fenomena yang mudah

berbalik (reversibel) yang terjadi akibat adanya gaya tarik menarik (interaksi

Page 9: Penelitian Adsorpsi

13

elektrolisis antar dipol) antara permukaan adsorben dengan molekul-molekul

adsorbat yang disebabkan oleh ikatan Van Der Walls (Treyball, 1981).

Pada adsorpsi fisika gaya tarik molekul-molekul fluida ke permukaan zat

padat merupakan gaya Vander Walls yang relatif lemah dan panas yang

dilepaskan selama proses adsorpsi besarnya adalah 0,5–5 Kkal/gmol.

Kesetimbangan antara zat padat dengan molekul-molekul gas biasanya cepat

tercapai dan bersifat reversibel dan hanya membutuhkan energi tidak lebih dari 1

Kkal/gmol. Hal ini disebabkan gaya-gaya yang terlibat dalam kesetimbangan

tersebut relatif lemah (Smith, 1992).

Jumlah adsorpsi fisika berkurang kecepatannya dengan meningkatnya

temperatur dan biasanya jumlahnya sangat kecil di atas temperatur kritis

komponen yang teradsorpsi. Adsorpsi fisika tidak terlalu tergantung pada

ketidakteraturan sifat permukaan padatan, tetapi biasanya berbanding lurus

dengan luas permukaannya (Saputra, 2008).

Proses adsorpsi dapat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu sebagai berikut :

1. Difusi molekul adsorbat dari larutan ke permukaan adsorben.

2. Perpindahan molekul adsorbat dari permukaan adsorben ke dalam pori-

pori adsorben.

3. Pengikatan molekul adsorbat oleh permukaan adsorben.

2.4.2 Adsorpsi Kimia

Adsorpsi kimia atau adsorpsi aktifasi interaksi kimia antara zat padat dan

zat terlarut. Terdapatnya rantai kimia yang kuat dan jenis senyawa kimia yang

dimiliki, mempunyai suatu gaya untuk mengikat zat lain yang lebih kuat

dibandingkan dengan adsorpsi fisika. Proses yang terjadi merupakan proses

irreversibel dan proses adsorbsi yang terjadi akan memberikan jumlah senyawa

yang lebih rendah dari senyawa sebelum proses adsorpsi (Treyball, 1981).

Adsorpsi kimia mengakibatkan pembentukan suatu lapisan molekul

tunggal (monomolekuler) adsorbat pada permukaan karena adanya gaya-gaya dari

sisa valensi molekul-molekul permukaan. Adsorpsi kimia melibatkan gaya-gaya

yang jauh lebih besar daripada adsorpsi fisik. Menurut langmuir, molekul-molekul

Page 10: Penelitian Adsorpsi

14

yang terserap ditarik ke permukaan oleh gaya-gaya valensi yang terjadi antara

atom-atom di dalam molekul. Adsorpsi ini membentuk molekul baru dan

prosesnya bersifat irreversibel (Smith, 1992).

Adsorpsi yang disertai dengan reaksi kimia di dalam fase zat cair sering

digunakan untuk mengeluarkan zat terlarut secara lebih sempurna dari campuran

gas. Sebagai contoh, larutan asam encer dapat digunakan untuk membasuh NH3

dari gas lain dan larutan basa untuk membuang CO2 dan gas-gas lainnya (Mc.

Cabe, 1982). Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi antara lain, sifat

adsorbat, konsentrasi adsorbat, sifat adsorben, temperatur, waktu kontak dan

pengadukan, dan pH larutan. (Oscik,1991)

1. Sifat Adsorbat

Besarnya adsorpsi zat terlarut tergantung pada kelarutannya pada pelarut.

Kenaikan kelarutan menunjukkan ikatan yang kuat antara zat terlarut dengan

pelarut dan aksi yang sebaliknya terhadap adsorpsi oleh adsorben. Makin besar

kelarutannya, ikatan antara zat terlarut dengan pelarut makin kuat sehingga

adsorpsi akan semakin kecil karena sebelum adsorpsi terjadi diperlukan energi

yang besar untuk memecah ikatan zat terlarut dengan pelarut.

2. Konsentrasi Adsorbat

Pada umumnya adsorpsi akan meningkat dengan kenaikan konsentrasi

adsorbat tetapi tidak berbanding langsung. Adsorpsi akan konstan jika terjadi

kesetimbangan antara konsentrasi adsorbat yang terserap dengan konsentrasi yang

tersisa dalam larutan.

3. Sifat Adsorben

Adsorpsi secara umum terjadi pada semua permukaan, namun besarnya

ditentukan oleh luas permukaan adsorben yang kontak dengan adsorbat. Luas

permukaan adsorben akan sangat berpengaruh terutama untuk tersedianya tempat

adsorpsi. Adsorpsi merupakan suatu kejadian permukaan sehingga besarnya

adsorpsi sebanding dengan luas permukaan spesifik. Makin banyak permukaan

yang kontak dengan adsorbat maka akan makin besar pula adsorpsi yang terjadi.

Page 11: Penelitian Adsorpsi

15

4. Temperatur

Reaksi yang terjadi pada adsorpsi biasanya eksotermis, oleh karena itu

adsorpsi akan besar jika temperatur rendah.

5. Waktu kontak dan Pengadukan

Waktu kontak yang cukup diperlukan untuk mencapai kesetimbangan

adsorpsi. Jika fasa cair yang berisi adsorben diam, maka difusi adsorbat melalui

permukaan adsorben akan lambat. Oleh karena itu diperlukan pengadukan untuk

mempercepat proses adsorpsi.

6. pH larutan

Senyawa yang terdisosiasi lebih mudah diserap dari pada senyawa terionisasi.

Pada umumnya adsorpsi bertambah pada kisaran pH dimana suatu senyawa

organik bermuatan netral. pH di mana proses adsorpsi terjadi menunjukkan

pengaruh yang besar terhadap adsorpsi itu sendiri. Hal ini dikarenakan ion

hidrogen sendiri diadsorpsi dengan kuat,sebagian karena pH mempengaruhi

ionisasi dan karenanya juga mempengaruhi adsorpsi dari beberapa

senyawa.nAsam organik lebih mudah diadsorpsi pada pH rendah, sedangkan

adsorpsi basa organik terjadi dengan mudah pada pH tinggi. pH optimum untuk

kebanyakan proses adsorpsi harus ditentukan dengan uji laboratorium.

2.4.3 Adsorben

Adsorben adalah media penyerap yang digunakan pada proses adsorpsi,

pada umumnya adsorben bersifat sangat higroskopi dan berpori. Suatu adsorben

yang baik harus mempunyai daya menyerap senyawa dan kecepatan penyerapan

yang tinggi bila digunakan pada proses pemurnian yang berlangsung secara

kontinu. Bila kapasitas adsorpsi masih sangat besar, sebagian besar akan

teradsorpsi dan terikat di permukaan. Menurut Sasmojo (1994), bahwa suatu zat

dapat digunakan sebagai adsorben untuk tujuan pemisahan adalah mempunyai

daya adsorpsi selektif dan berpori sehingga luas permukaan persatuan massa

mempunyai daya ikat yang kuat terhadap zat yang hendak dipisahkan secara fisika

atau kimia. Akan tetapi, bila permukaan sudah jenuh atau mendekati jenuh dengan

adsorbat, dapat terjadi dua hal:

Page 12: Penelitian Adsorpsi

16

1. Terbentuknya lapisan adsorpsi kedua dan seterusnya di atas adsorbat yang telah

terikat di permukaan, gejala ini disebut adsorpsi multilayer.

2. Tidak dapat terbentuk lapisan kedua dan seterusnya sehingga adsorbat yang

belum teradsorpsi berdifusi keluar pori dan kembali ke arus fluida, gejala ini

disebut adsorpsi monolayer.

Secara umum hal yang mempengaruhi kinerja adsorben adalah struktur

kristalnya (pori) dan sifat dari Molecular Sieve Adsorbent (MSA) tersebut.

Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori

adsorben, mengakibatkan luas permukaan semakin besar dan kecepatan adsorpsi

bertambah (Sembiring & Sinaga, 2003). Menurut mereka luas permukaan

adsorben berpengaruh terhadap tersedianya tempat adsorpsi, luas permukaan

adsorben adalah luas persatuan masa adsorben (m2/g). Karakteristik adsorben

yang baik untuk proses adsorpsi adalah sebagai berikut:

1. Luas permukaan adsorben, semakin besar luas permukaan maka semakin besar

pula daya adsorpsinya, karena proses adsorpsi terjadi pada permukaan

adsorben.

2. Tidak ada perubahan volume selama proses adsorpsi dan desorpsi.

3. Kemurnian adsorben, semakin tinggi tingkat kemurnian adsorben, maka daya

adsorpsinya lebih baik.

4. Jenis atau gugus fungsi atom yang ada pada permukaan adsorben. Sifat-sifat

atom di permukaan berkaitan dengan interaksi molekuler antara adsorbat dan

adsorben yang lebih besar pada adsorbat tertentu.

Ditinjau dari bahan penyusun adsorben dan fungsinya yang telah lama

digunakan untuk berbagai keperluan, adsorben terbagi dua jenis yaitu adsorben

organik dan anorganik. Adsorben organik adalah adsorben yang berasal dari

bahan-bahan yang mengandung pati, beberapa tumbuh-tumbuhan yang dapat

digunakan sebagai adsorben antara lain singkong, jagung dan gandum. Adsorben

ini sudah mulai digunakan sejak tahun 1979, untuk mengeringkan berbagai

macam senyawa. Kelemahan dari adsorben ini adalah sangat bergantung pada

kualitas tumbuhan yang akan dijadikan adsorben. Adsorben anorganik sudah

mulai dipakai pada awal abad ke-20. Dalam perkembangannya pemakaian jenis

Page 13: Penelitian Adsorpsi

17

adsorben ini semakin beragam. Penggunaan adsorben ini dipilih karena berasal

dari bahan non-pangan, sehingga tidak terpengaruh oleh ketersediaan pangan dan

kualitasnya cenderung sama. Untuk proses adsorpsi ada tiga jenis adsorben yang

umum digunakan dalam industri yaitu :

1. Silika gel.

Silika gel cenderung mengikat adsorbat dengan energi yang relatif lebih kecil

tidak membutuhkan temperatur yang tinggi untuk proses desorpsinya,

dibandingkan jika menggunakan adsorben lain seperti karbon atau zeolit.

Kemampuan desorpsi silika gel meningkat dengan meningkatnya temperatur.

Silika gel terbuat dari silika dengan ikatan kimia mengandung air kurang lebih

5%. Pada umumnya temperatur kerja silika gel sampai pada 200°C, jika

dioperasikan lebih dari batas temperatur kerjanya maka kandungan air dalam

silika gel akan hilang dan menyebabkan kemampuan adsorpsinya hilang.

2. Karbon Aktif.

Karbon aktif dapat dibuat dari batu bara, kayu dan tempurung kelapa melalui

proses pirolisis dan karbonisasi pada temperatur 700 sampai 800°C. Hampir

semua adsorbat dapat diserap oleh karbon aktif kecuali air. Karbon aktif dapat

ditemukan dalam bentuk bubuk dan granular. Pada umumnya karbon aktif

dapat mengadsorpsi metanol atau amonia sampai dengan 30%, bahkan karbon

aktif super dapat mengadsorpsi sampai dua kali lipat.

3. Zeolit.

Zeolit mengandung kristal zeolit yaitu mineral aluminosilicate yang disebut

sebagai penyaring molekul. Mineral aluminosilicate ini terbentuk secara

alami. Zeolit buatan dibuat dan dikembangkan untuk tujuan khusus,

diantaranya 4A, 5A, 10X, dan 13X yang memiliki volume rongga antara 0.05

sampai 0.30 cm/gram dan dapat dipanaskan sampai 500°C tanpa harus

kehilangan daya adsorpsi dan regenerasi.

Ditinjau dari bahan penyusun adsorben dan fungsinya yang telah lama

digunakan untuk berbagai keperluan, adsorben terbagi dua jenis yaitu adsorben

organik dan anorganik. Adsorben organik adalah adsorben yang berasal dari

bahan-bahan yang mengandung pati, beberapa tumbuh-tumbuhan yang dapat

Page 14: Penelitian Adsorpsi

18

digunakan sebagai adsorben antara lain singkong, jagung dan gandum. Adsorben

ini sudah mulai digunakan sejak tahun 1979, untuk mengeringkan berbagai

macam senyawa.

Kelemahan dari adsorben ini adalah sangat bergantung pada kualitas

tumbuhan yang akan dijadikan adsorben. Adsorben anorganik sudah mulai

dipakai pada awal abad ke-20. Dalam perkembangannya pemakaian jenis

adsorben ini semakin beragam. Penggunaan adsorben ini dipilih karena berasal

dari bahan non-pangan, sehingga tidak terpengaruh oleh ketersediaan pangan dan

kualitasnya cenderung sama.

2.4.4 Jenis Adsorben

Berbagai jenis arang aktif telah dibuat dengan menggunakan bahan baku

yang berbeda-beda. Bahan baku tersebut menghasilkan beberapa karakteristik

yang beraneka ragam. Menurut SII No.0258 -79, arang aktif yang baik

mempunyai persyaratan seperti yang tercantum pada tabel berikut ini:

Tabel 2.3 Standar Nasional Indonesia Adsorben Tahun 2000

Karakteristik Persyaratan Jenis

Bagian yang hilang saat pemanasan 950 oC Maksimal 15 %

Kadar Air Maksimal 10%

Kadar Abu Maksimal 2,5%

Daya Serap Terhadap Larutan Iod Minimum 20%

Sumber: Sembiring, 2003

2.4.5 Adsorpsi Isothermal

Isotermis adsorpsi merupakan proses adsorpsi zat terlarut oleh padatan

pada suhu dan tekanan konstan. Pada isotermis adsorpsi terlihat bahwa jumlah zat

terserap dipengaruhi oleh konsentrasi kesetimbangannya (Mardiana, 1998).

Isotermis adsorpsi digunakan untuk karakterisasi dari persamaan antara jumlah

adsorbat yang terakumulasi dalam adsorben dan konsentrasi larutan adsorbat. Ada

dua jenis hubungan matematik yang umumnya digunakan untuk menjelaskan

adsorpsi isothermal yaitu Isoterm Langmuir dan Isoterm Freundlich.

Page 15: Penelitian Adsorpsi

19

2.4.5.1 Isotermis Adsorpsi Langmuir

Isotermis Langmuir digunakan untuk memperhitungkan kesetimbangan

gas, dimana terjadi interaksi yang kuat antara adsorbat dan adsorben. Isotermis

Langmuir merupakan adsorpsi kimia dimana molekul melekat pada permukaan

dengan ikatan kovalen yang bersifat irreversible dan adsorpsinya monolayer

(Horsfall and Ayebaemi, 2004). Isoterm ini didasarkan pada beberapa asumsi

diantaranya adalah:

1. Adsorpsi hanya terjadi pada lapisan tunggal.

2. Terbatasnya permukaan untuk berlangsungnya proses adsorpsi.

3. Panas adsorpsi tidak tergantung permukaan.

4. Semua site pada permukaan bersifat homogen.

5. Irreversible sampai titik setimbang.

6. Adsorpsi terlokalisai dan tidak terjadi interaksi antar sorbat.

Menurut Adamson (1990) Isotermis adsorpsi diasumsikan sebagai proses

adsorpsi yang terjadi pada permukaan dengan sisi adsorpsi dan energi yang sama,

dengan 1 molekul yang terserap per sisi adsorpsi sampai menutup satu lapis

permukaan biomassa. Persamaan isotermis Langmuir memperkirakan kapasitas

adsorpsi maksimum pada seluruh permukaan satu lapis (monolayer) permukaan

adsorpsi persamaan isotermis adsorpsi Langmuir adalah:

(2.1)

dimana:

qe : Banyaknya zat yang terserap persatuan berat adsorben (mg/g)

Ce : Konsentrasi adsorbat pada saat kesetimbangan (mg/L)

qm : Kapasitas adsorpsi maksimum (mg/L)

KL : Konstanta Langmuir (L/mg)

Persamaan di atas dapat diubah susunannya menjadi bentuk linear seperti

diperlihatkan pada persamaan (2.2).

(2.2)

Page 16: Penelitian Adsorpsi

20

2.4.5.2 Isotermis Adsorpsi Freundlich

Menurut Adamson (1990), menyatakan bahwa persamaan isotermis

Freundlich dapat digunakan untuk menghitung adsorpsi permukaan yang beragam

(adsorpsi multilayer). Persamaan ini merupakan perbandingan zat yang teradsorpsi per

berat adsorben dalam konsentrasi larutan. Persamaan isotermis Freundlich

memperkirakan intensitas adsorpsi yang terserap dalam biomassa. Persamaan

Freundlich adalah:

(2.3)

Dimana :

qe : Banyaknya zat yang terserap per satuan berat adsorben (mg/g)

Ce : Konsentrasi adsorbat pada saat kesetimbangan (mg/L)

n : Kapasitas adsorpsi maksimum (mg/L)

K : Konstanta Freundlich (L/mg)

Persamaan di atas dapat diubah kedalam bentuk linier dengan mengambil bentuk

logaritmanya:

log qe = log Kf + log Ce (2.4)

Bentuk linear dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian data

percobaan dengan teoritis, yaitu dengan cara membuat kurva linear antara Ce/qe

versus Ce. Konstanta Freundlich Kf dapat diperoleh dari kemiringan garis

lurusnya (intersep), sedangkan 1/n merupakan harga slope.

Kapasitas adsorpsi ion oleh adsorben adalah jumlah gugus yang dapat

dipertukarkan dalam adsorben. Kapasitas penukaran adsorpsi ion dari suatu

adsorben ialah jumlah ion yang dapat ditukar untuk setiap 1 gram adsorben

kering, atau jumlah ion yang dapat ditukar untuk setiap 1 ml adsorben basah.

Kapasitas adsorpsi ion ini biasanya dinyatakan dalam mg ek ion per gram

adsorben kering atau dalam mg ek ion per ml adsorben basah. Besarnya nilai

kapasitas adsorpsi suatu adsorben bergantung dari jumlah gugus-gugus ion yang

dapat ditukarkan yang terkandung dalam setiap gram adsorben tersebut. Semakin

Page 17: Penelitian Adsorpsi

21

besar jumlah gugus-gugus tersebut semakin besar pula nilai kapasitas adsorpsinya

(Underwood, 2002)

2.5 Biosorpsi

Biosorpsi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan

kemampuan biomassa dalam mengikat dan mengakumulasi ion atau senyawa

tertentu dari larutan (Volesky, 2007). Biosorpsi mulai banyak dikembangkan pada

awal tahun 1990. Saat itu sebuah perkembangan baru dicapai dengan diketahuinya

kemampuan biomassa dapat menyerap logam berat yang berbahaya bahkan pada

konsentrasi yang sangat kecil (<10 mg/L). Struktur kompleks mikroorganisme

memungkinkan banyak cara terbiosorpsinya logam berat pada sel

mikroorganisme. Sampai saat ini diketahui terdapat berbagai macam mekanisme

terjadinya biosorpsi walaupun belum dimengerti sepenuhnya. Oleh karena itu

dilakukan pengklasifikasian terhadap beberapa kriteria yang menentukan (Ahalya,

2003). Berdasarkan ketergantungan proses adsorpsi dengan metabolisme sel,

mekanisme biosorpsi dapat dibagi berdasarkan dua kriteria (Ahalya, 2003), yaitu:

1. Tergantung terhadap proses metabolisme

2. Tidak tergantung terhadap proses metabolisme

Sampai saat ini sudah mulai banyak penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan biosorpsi, seperti yang ada pada Tabel 2.4

Page 18: Penelitian Adsorpsi

22

Tabel 2.4 Variasi Judul penelitian dan hasil penelitian terdahulu.Peneliti Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian

Ita Juwita, dkk

2004 Kapasitas Adsorpsi Karbon Aktif Tempurung Kenari Terhadap Zat Warna Merak Raektif- 1

Didapatkan waktu kontak optimum yaitu 3 jam dengan berat adsorben yang tidak divariasikan yaitu hanya 1 gram dengan konsentrasi 50, 100, 150 , 200 dan 150 ppm.

Paulina, dkk 2004 Pengurangan Konsentrasi Merah Reaktif-1 Dari Lingkungan Perairan Melalui Adsorpsi Pada Karbon Mesopori (Cmk-1) Dan Karbon Aktif Kulit Kakao (Theobroma cacao

kapasitas adsorpsi 526,32 mg/g untuk adsorpsi oleh CMK-1 dan 2,33 mg/g untuk adsorpsi oleh ACHC. Dengan waktu optimum yang dihasilkan 4 jam.

Zulfikar Alamsyah

2007 Biosorpsi Biru Metilena Oleh Kulit Buah Kakao

Diperoleh kondisi optimum pada waktu kontak 60 menit dengan bobot biosorben 2 gr dengan konsentrasi 50 ppm

Muhibudin 2014 Biosorpsi Logam Berat Pb (Timbal) Dengan Mengunakan Biomassa Kulit Kakao Pada Limbah Artifisial

Diperoleh kadar penyisihan logam maksimum 99,02 % dan kapasitas adsorpsi maksimum 9,92 mg/g pada berat adsorben 1 gram , konsentrasi limbah 120 ppm dengan waktu 90 menit

2.6. Spektrofotometri Ultraviolet-VisibleIstilah Spektroskopi awalnya digunakan untuk menggambarkan suatu

cabang ilmu yang didasarkan kepada resolusi radiasi sinar tampak pada panjang

gelombang komponennya. Dengan berjalannya waktu, istilah spektroscopi

diperluas yaitu mencakup penelitian yang melibatkan seluruh spektrum

elektromagnetik dan beberapa teknik yang tidak melibatkan radiasi

elektromagnetik, seperti spektroskopi massa, spektroskopi elektron, dan

Page 19: Penelitian Adsorpsi

23

spektroskopi akustik. Instrumen spektroskopi pertama kali dikembangkan pada

daerah sinar tampak yang disebut dengan instrumen optik. Istilah ini sekarang

diperluas pada instrumen yang dirancang untuk sinar ultraviolet dan infra merah

(Skoog, 1982).

Menurut Pecsok (1976), spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran

panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang

diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang

cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang

lebih tinggi. Spektroskopi UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion

anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk

yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari

spektrum ini, tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara

kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan

mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu (Anto, 2010).

Spektrofotometri Ultraviolet-Visible merupakan suatu metode yang

mempelajari interaksi antara radiasi dan benda sebagai fungsi panjang gelombang

pada panjang gelombang 190-700 nm dan analisisnya dilakukan secara kualitatif

maupun kuantitatif. Spektrofotometer UV-Vis berfungsi untuk merekam

banyaknya radiasi cahaya yang diserap dari suatu sampel analitik. Cahaya

ultraviolet terdapat pada panjang gelombang 190 nm sampai 400 nm sedangkan

cahaya tampak (visible)terdapat pada panjang gelombang 400-700 nm. Meskipun

beberapa instrumen sinar tampak terlihat sering terlihat sampai sekitar 1000 nm

dekat dengan daerah infra merah (Hardjono Sastrohamidjojo,2007). Hubungan

antara warna dan warna komplementer pada berbagai panjang dapat dilihat

pada Tabel 2.4

Page 20: Penelitian Adsorpsi

24

Tabel 2.4 Warna dan Warna Komplementer pada Berbagai Panjang Gelombang

Panjang Gelombang warna Warna Komplementer

400-435 Violet Hijau kekuningan

435-480 Biru Kuning

480-490 Biru kehijauan Jingga

490-500 Hijau kebiruan Merah

500-560 Hijau Ungu kemerahan

560-580 Hijau kekuningan Ungu

595-610 Jingga Biru kehijauan

610-680 Merah Hijau kebiruan

680-700 Ungu kemerahan Hijau

(Sumber : Hardjono Sastrohamidjojo,2007)

Absorbansi dari sampel bergantung pada konsentrasi (mol/Liter),

panjang jalan yang dilalui (cm) dan konstanta fisik yang karakteristik dari

sampel (absorptivitas molar / ε). Kebergantungan konsentrasi, panjang jalan yang

dilalui, dan konstanta fisik dinyatakan dalam hukum Lambert Beer (Hardjono

Sastrohamidjojo, 2007).

A = ε x C x l

Keterangan:

A : absorbansi

ε : absorptivitas molar

C : konsentrasi dalam mol / Liter

l : panjang sel dalam satuan cm

Hukum Lambert Beer pada prakteknya tidaklah ideal, tetapi ada

faktor koreksinya berupa intersep sehingga secara umum mengikuti

persamaan linier y = aX + b, dalam hal ini Y adalah A (absorbansi) dan X adalah

C (konsentrasi) serta a sebagai slope (tg α), sedangkan b sebagai intersep, Aspl

adalah absorbansi sampel dan Cspl adalah konsentrasi sampel. Dengan membuat

Page 21: Penelitian Adsorpsi

25

kurva baku seperti pada Gambar 5, Cspl dan harga intersepnya dapat

ditentukan (Marham Sitorus, 2009).

Gambar 2.2 Kurva Baku Larutan Standar

Panjang gelombang maksimum larutan methyl violetpada pH di

sekitar 7 adalah 584 nm (Dogan dan Alkan, 2003). Konsentrasi suatu sampel

dapat ditentukan melalui pengukuran absorbansi. Syarat utama analit harus

larut sempurna dan larutannya berwarna atau dibuat berwarna. Methyl violet

merupakan pewarna karbon nitrogen yang berwarna ungu, sehingga dengan

adanya warna ini dapat diukur absorbansi pewarna tersebut menggunakan

spektrofotometer sinar tampak untuk diketahui konsentrasinya.