perbandingan respons tumor primer terhadap … fileperbandingan respons tumor primer terhadap terapi...
TRANSCRIPT
PERBANDINGAN RESPONS TUMOR PRIMER
TERHADAP TERAPI RADIASI
ANTARA KARSINOMA NASOFARING WHO TIPE III
YANG DISERTAI EKSPRESI LMP-1 DAN TANPA
EKSPRESI LMP-1
Oleh:
Agung Dinasti Permana
L2S 060110/MSN 04004
TESIS Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar
Magister Kesehatan Program Pascasarjana Combined Degree
Dan
Dokter Spesialis-1
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok – Bedah Kepala Leher
PROGRAM PASCASARJANA COMBINED DEGREE
DAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BLU RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG2008
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar akademik (sarjana, magister, dan atau doktor), baik di Universitas
Padjajaran maupun perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri tanpa
bantuan pihak lain kecuali arahan tim pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang
telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan
norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Bandung, Juli 2008
Yang membuat pernyataan
Agung Dinasti Permana, dr.
L2S060110 / MSN04004
ABSTRACT
Irradiation is still the treatment of choice in NPC WHO type III, but there is
no accurate predictor on radiation response, since that the similar histo-
morphological pattern, as a well-known prognostic factor can revealed a wide
range of treatment outcomes. LMP-1 seems can be a promising predictor factors
since it has influence in cellular behavior such as proliferation rate and tumor
aggressiveness in NPC. Purpose of the study is to established the correlations of
EBV-LMP 1 as the most important protein oncogenes as a predictor on NPC
radiation response.
The type of this study was observational analytic with prospective design.
This study was performed from July 2007 to June 2008 in the department of ENT-
HNS Hasan Sadikin General Hospital Bandung. We evaluate the response of the
primary tumor to radiotherapy by using nasofaringoscopy and scintygraphy TC-99
MIBI 4 and 8 weeks after radiotherapy. The expression of LMP-1 was investigated
by using an immunohistochemical approach in 45 (30 male, 15 female) patients
whose paraffin embedded tissue samples were available.
The rate of positive expression of the EBV-LMP1 was 66,7%. There were no
correlation between LMP-1 expressions with sex, age and size of the primary
tumor. LMP1 was strongly correlated with cervical lymph node metastasis
(p=0,005), which is a potent predictor of patient survival and stage of NPC
(p=0,005). Based on the results obtained within this study, we conclude that there
were no correlations between LMP-1 expressions with radiation response in NPC.
Key word; Nasopharyngeal carcinoma, LMP-1, radiotherapy, response
ABSTRAK
Radioterapi masih merupakan pilihan utama untuk terapi karsinoma
nasofaring WHO tipe III. Tetapi masih belum ada faktor prediktor yang akurat
untuk memperkirakan respons tumor primer KNF terhadap terapi radiasi. Jenis
histopatologi dan stadium tumor merupakan faktor prediktor utama dalam
menentukan respons tumor primer terhadap terapi radiasi walaupun masih
memberikan hasil yang sangat bervariasi. Ekspresi latent membrane protein-1
(LMP-1) pada sel tumor KNF akan menyebabkan tumor bersifat lebih agresif dan
bermetastasis lebih sering bila dibandingkan dengan KNF yang tidak
mengekspresikan LMP-1 sehingga diharapkan dapat menjadi salah satu faktor
prediktor respons tumor primer terhadap terapi radiasi. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan ekspresi LMP-1 dengan respons tumor primer
terhadap radioterapi.
Penelitian dilakukan secara prospektif analisik dengan disain observasional.
Penelitian dilakukan di Bagian THT-KL/BLU Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung mulai Juli 2007 – Juni 2008. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan
imunohistokimia untuk mengetahui adanya ekspresi LMP-1 pada KNF WHO tipe
III sebelum dilakukan radioterapi. Kemudian dilakukan penilaian respons tumor
primer terhadap terapi radiasi dengan menggunakan nasofaringoskopi dan
skintigrafi TC-99 MIBI.
Penelitian ini diikuti oleh 45 subjek (30 laki-laki dan 15 wanita) yang
kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia dari parafin blok. Didapatkan
hasil ekspresi LMP-1 sebesar 66,7%. Tidak didapatkan adanya hubungan ekspresi
LMP-1 dengan jenis kelamin, umur dan ukuran tumor primer. Ekspresi LMP-1
berhubungan secara bermakna dengan metastasis ke KGB regional (p=0,005) dan
berhubungan juga dengan stadium KNF (p=0,005).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekspresi LMP-1
tidak mempengaruhi respons tumor primer terhadap terapi radiasi.
Kata kunci; Karsinoma nasofaring, LMP-1, radioterapi, respons
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang telah
melimpahkan rahmat, karunia dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat
meyelesaikan penulisan tesis ini sebagai tugas akhir dalam rangka memenuhi salah
satu persyaratan dari Program Pendididikan Dokter Spesialis I di Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok-Bedah Kepala dan Leher serta Program
Pascasarjana Combined Degree Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Bandung.
Judul tesis ini dipilih karena karsinoma nasofaring merupakan penyakit
keganasan kepala leher yang insidensinya cukup tinggi dan radioterapi hingga saat
ini masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan karsinoma nasofaring.
Keterkaitan Epstein-Barr virus dengan karsinoma nasofaring sangat erat dan sudah
dibuktikan dengan ditemukannya DNA EBV didalam sel tumor. Salah satu protein
produk onkogen virus yang dikenal sebagai Latent Membrane protein-1 (LMP-1)
telah diketahui secara in vitro menjadi salah satu faktor yang berperan dalam
mekanisme karsinogenesis KNF, sehingga dengan menganalis hubungan antara
ekspresi LMP-1 dan respons tumor primer terhadap pemberian terapi radiasi
diharapkan dapat digunakan menjadi salah satu faktor prediksi respons terapi.
Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan yang
berguna bagi klinisi, sejawat dokter spesialis Ilmu Kesehatan THT-KL.,dan pihak
lain yang terkait dengan penanganan karsinoma nasofaring.
Penulis menyadari tanpa bantuan, bimbingan , dorongan semangat serta
sumbangan pikiran dari banyak pihak, maka karya tulis ini tidak akan terselesaikan.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankanlah penulis dengan penuh hormat
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada:
- Prof. Dr. Ganjar Kurnia, Ir., DEA, sebagai Rektor Universitas Padjajaran
dan Prof. H.A Himendra Wargahadibrata, dr.,Sp.An., KIC sebagai rektor
Universitas Padjajaran sebelumnya beserta pembantu rektor, yang telah
mengijinkan penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Bidang Ilmu Kesehatan Telingan Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan
Leher dan Program Pascasarjana Combined Degree Universitas Padjajaran.
- Prof. H.A. Djaja Saefullah, Drs., M.A., Ph.D, sebagai Direktur Program
Pascasarjana Universitas Padjajaran, yang telah mengijinkan penulis
mengikuti program Magister Kesehatan di Universitas Padjajaran.
- Prof. H. Imam Supardi, dr., SpMK(K), sebagai Direktur Program
Pascasarjana Combined Degree Fakultas Kdokteran Universitas Padjajaran,
beserta staf atas bimbingan dan telah mengijinkan penulis mengikuti
Program Magister Kesehatan di Universitas Padjajaran.
- Eri Surachman , dr., SpAn, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran , beserta
para pembantu dekan yang telah mengijinkan penulis mengikuti pendidikan
ini.
- Prof. H. Herry Garna, dr., SpAK(K), PhD sebagai Ketua Tim Koordinasi
Pelaksana Pendidikan Dokter Spesialis I yang telah menerima dan
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program
pendidikan spesialis I.
- Prof.Dr. Cissy Kartasasmita, dr., SpA(K), dan seluruh staf RS. Hasan
Sadikin Bandung yang telah berkenan untuk menerima penulis untuk belajar
dan bekerja di lingkungan rumah sakit ini.
- Prof.Dr. Teti H.S. Madiadipoera, dr., SpTHT-KL(K), FAAAAI sebagai
kepala Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran dan pembimbing pertama program Magister Kesehatan yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program
pendidikan spesialis, memberikan bimbingan, dorongan, nasehat, perhatian
serta petunjuk sejak penulis memulai pendidikan hingga saat ini.
- Prof.Dr. HM. Thaufiq S. Boesoirie, dr., MS., SpTHT-KL(K) sebagai kepala
bagian sebelumnya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk mengikuti program pendidikan spesialis, memberikan bimbingan,
dorongan, nasihat, serta petunjuk sejak penulis memulai pendidikan hingga
saat ini.
- Tonny B. Sarbini., MKes., SpTHT-KL(K) sebagai ketua Program Studi
Pendidikan Spesialis I Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher serta pembimbing II program magister Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran yang telah membimbing,
memberikan dukungan , dorongan, nasehat, serta petunjuk sejak penulis
memulai pendidikan hingga saat ini.
- Dindy Samiadi, dr., MD., SpTHT-KL(K),FAAOHNS sebagai ketua
program studi sebelumnya serta pembimbing PPDS I yang telah
membimbing, memberikan dukungan, dorongan, nasihat dengan penuh
kesabaran dan perhatian kepada penulis sejak penulis memulai pendidikan
hingga saat ini. Terima kasih untuk segala keceriaan dan kenangan indah
yang tidak akan pernah terlupakan.
- Nur Akbar Aroeman, dr., SpTHT-KL sebagai pembimbing II PPDS I yang
telah membimbing, memberikan dukungan, dorongan, nasihat, koreksi,
perhatian dan petunjuk kepada penulis sejak awal hingga penyelesaian
naskah tesis ini.
- Seluruh staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher Kaultas Kedokteran Universitas Padjajaran yaitu:
Prof. Surimah Surahman,dr., SpTHT-KL(K), Prof.Dr. Iwin Sumarman,
dr.,,SpTHT-KL(K), Bogi Soeseno,dr., SpTHT-KL(K), Ratna Anggraeni
Agustian, dr., M.Kes, SpTHT-KL(K), Bambang Purwanto,dr., MM.,
SpTHT-KL(K), Ongka Muhamad Saefudin,dr., SpTHT-KL, Lina
Lasminingrum,dr., M.Kes., SpTHT-KL, Wijana,dr., SpTHT-KL, Sinta Sari
Ratunanda, dr., M.Kes., SpTHT-KL, Melati Sudiro,dr., M.Kes., SpTHT-
KL, Yussy A.friani Dewi,dr., M.Kes., SpTHT-KL, Arif Darmawan,dr.,
M.Kes., SpTHT-KL, Denese MS Ruli,dr., M.Kes., SpTHT-KL, dan Shinta
Fitri Boesoirie,dr., M,kes., SpTHT-KL.
- Dr. Drs. Hadyana Sukandar, Msc, yang telah membantu menyelsaikan
perhitungan statistik tesis ini.
- Seluruh sejawat senior selama pendidikan yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja.
- Rekan- rekan seperjuangan Imam Syuhada’ dan Asti Kristianti yang telah
bersama-sama sejak awal hingga akhir pendidikan yang penuh dengan
kesan, keceriaan, kesedihan dan kenangan manis. Semoga persahabatan
sejati dan kekompakan ini abadi selamanya.
- Seluruh sejawat residen yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan
kerjasama selama penulis mengikuti pendidikan ini.
- Seluruh staf dan karyawan di RS. Dustira dan Puskesmas Pasundan yang
telah bekerjasama dengan baik selama penulis mengikuti pendidikan ini.
- Seluruh karyawan dan perawat poliklinik, kamar operasi dan ruang rawat
inap Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan
Leher RS. Hasan Sadikin Bandung yang telah membantu penulis selama
pendidikan.
- Seluruh Pasien yang telah memberikan jasa dan pengorbanan yang tak
terhingga sehingga penulis dapat belajar dan menyelesaikan pendidikan
serta penulisan tesis ini.
- Papa dan Mama tercinta, Komjen. Pol(purn) Drs. H Nana S. Permana dan
Betty Hadiaty Noor, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-
besarnya atas doa, pengorbanan, semangat, dukungan moral, material, serta
kasih sayang yang tiada putus dan tak terhingga kepada penulis. Semoga
Alloh SWT memberikan balasan yang setinggi- tingginya.
- Bapak dan Ibu mertua, H. Tubagus Momon dan Hj. Alis, yang telah
memberikan dorongan semangat dan doa yang selalu mengiringi penulis
untuk menyelesaikan pendidikan ini.
- Kakak dan adikku tersayang, Intan dan Wulan yang telah memberikan
bantuan, pengorbanan dan semangat selama pendidikan sampai selesai.
- Istriku tercinta, Ratu Tri Ayu Meisti, S.IP, yang setia mendampingi dalam
suka dan duka, memberikan semangat, dukungan, pengorbanan dan kasih
sayang yang tak terhingga
- Kepada kedua putriku yang cantik, Najma Dhiyaa Permana dan Cahaya
Danika Permana, keceriaan kalian merupakan anugrah dan semangat
terbesar dalam menyelesaikan pendidikan ini
- Akhir kata terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis
yang namanya tidak bisa penulis sebut satu persatu, semoga kebaikan
saudara mendapat balasan yang setinggi-tingginya dari Alloh SWT
Bandung, Juli 2008
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRACT ………………………………………………… iv
ABSTRAK ………………………………………………………… v
KATA PENGANTAR ……………………………………………… vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………… .xii
DAFTAR TABEL ………………………………………………… xv
DAFTAR GAMBAR ………………………………………… xvi
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………… xvii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………… xix
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang Penelitian ………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………… 4
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ………………………… 5
1.3.1 Maksud Penelitian ……………………………… 5
1.3.2 Tujuan Penelitian ………………………………. 5
1.4 Kegunaan Penelitian …………………………………… 5
1.4.1 Kegunaan Ilmiah ………………………………… 5
1.4.2 Kegunaan Praktis ………………………………… 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN
HIPOTESIS …………………………………………………… 7
2.1 Kajian Pustaka ……………………………………… 7
2.1.1 Karsinoma Nasofaring ……………………….. 7
2.1.2 Patogenesis Karsinoma Nasofaring…. ……………. 7
2.1.3 Aspek Biomolekuler Epstein Barr Virus dan KNF ..
2.1.3.1 Ekspresi Protein Epstein-Barr Virus…… 13
2.1.3.2 LMP-1………………………………… 14
2.1.3.3 LMP-2 ………………………………… 17
2.1.3.4 EBNA-1 ……………………………… 17
2.1.3.5 EBNA 2 ………………………………. 18
2.1.3.6 EBER …………………………………. 18
2.1.4 Diagnosis …………………………………….. 19
2.1.5 Histopatologi ……………………………….... 21
2.1.6 Stadium Klinis ……………………………….. 21
2.1.7 Radioterapi …………………………………… 23
2.1.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi respons Radiasi 25
2.1.8.1 Hipoksia …………………………... 25
2.1.8.2 Proliferasi ………………………… 25
2.1.8.3 Proses Reparasi sel dan DNA ……. 26
2.1.8.4 Proses Apoptosis …………………. 26
2.1.8.5 Proses Angiogenesis ……………… 26
2.2 Kerangka Pemikiran …………………………….... 27
2.3 Hipotesis …………………………………………... 31
BAB III ALAT, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN …... 28
3.1 Bahan, Alat dan Subjek Penelitian ........................... 28
3.1.1 Bahan dan Alat yang Digunakan Dalam Penelitian 28
3.1.2 Subjek Penelitian …………………………….. 29
3.2 Metode Penelitian …………………………………. 30
3.2.1 Desain Penelitian …………………………….. 30
3.2.2 Waktu dan Tempat Penelitian ……………….. 31
3.2.3 Besar Sampel ………………………………… 31
3.2.4 Variabel Penelitian ………………………… 32
3.2.5 Definisi Operasional Variabel ……………….. 32
3.2.6 Tahap-tahap Pelaksanaan ………………… 34
3.2.7 Analisis Data ………………………………… 35
3.2.8 Skema Alur Kerja ……………………………. 36
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………… 37
4.1 Hasil Penelitian ……………………………………… 37
4.2 Pembahasan …………………………………………. 50
4.3 Uji Hipotesis ……………………………………………. 52
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………55
5.1 Kesimpulan …………………………………………….. 55
5.1.1 Kesimpulan Umum …………………………….. 55
5.1.2 Kesimpulan Khusus ……………………………. 55
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 57
LAMPIRAN ……………………………………………………………. 65
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………. 70
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1 Karakteristik Subjek Penelitian ………………………………… 40
4.2 Hasil Pemeriksaan LMP-1 ……………………………………... 42
4.3 Hubungan antara LMP-1 dan Jenis Kelamin …………………… 42
4.4 Hubungan antara LMP-1 dan Usia …………………………….. 43
4.5 Hubungan antara LMP-1 dan Ukuran Tumor Primer (T)………. 44
4.6 Hubungan antara LMP-1 dan Metastasis ke KGB Leher (N) ….. 44
4.7 Hubungan antara LMP-1 dan Stadium Tumor KNF……… …… 45
4.8 Respons Tumor Primer terhadap Terapi Radiasi Eksterna ………. 46
4.9 Respons Metastasis ke KGB Leher (N) Terhadap terapi Radiasi ... 47
4.10 Hubungan antara LMP-1 dan respons Metastasis Ke KGB Leher (N)
Terhadap Terapi Radiasi………………………………………… 48
4.11 Hubungan antara LMP-1 dan respons Metastasis Ke KGB Leher (N)
Terhadap Terapi Radiasi (penggabungan)……………………… 48
4.12 Hubungan antara LMP-1 dan Respons Tumor Primer Terhadap
Terapi Radiasi ………………………………………………….. 49
4.13 Hubungan antara LMP-1 dan Respons Tumor Primer Terhadap
Terapi Radiasi (penggabungan) ……………………………….. 49
4.14 Kesesuaian Hasil Pemeriksaan Nasofaringoskopi dengan Skintigrafi
Tc-99m (MIBI) …………………………………………………. 50
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Siklus Infeksi EBV Pada Penderita Karier ....................................... 12
2.2 Latent Membrane Protein-1 positif .................................................. 14
2.3 Aktivitas dan Jalur Sinyal LMP-1 .................................................... 16
DAFTAR SINGKATAN
bcl-2 B–cell leukemia–2
CD Cluster of differentiation
CT scan computerized tomographic scanning
DNA deoxyribonucleic acid
EBNA Epstein-Barr Encoded DNA
EBER Epatein-Barr Encoded RNA
EBV Epstein-Barr Virus
EGFR Epitelial Growth Factor
EA early antigen
KNF Karsinoma Nasofaring
LFA-1 lymphocyte function antigen-1
mRNA messenger ribonucleic acid
NF-B necrozing factor- B lymphocyte
MRI magnetic resonance imaging
RNA Ribonucleic acid
TGF tumor growth factor
TRAF tumour necrozing factor receptor-associated factor
VCA viral capsid antigen
Tc-99m MIBI Technetium-99m hexakis-2-methoxyisobuthylisonitrile
WHO World Health Oarganization
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Surat Keputusan Komite Etik Penelitian …………………. 67
Lampiran 2 Informasi Penelitian ……………………………………... 68
Lampiran 3 Surat Pernyataan Persetujuan Ikut Penelitian……………. 72
Lampiran 4 Status Penelitian …………………………………………. 74
Lampiran 5 Tabel Data Hasil Penelitian ………………………………. 75
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang berasal dari epitel
nasofaring.1-3
Jenis keganasan ini sangat jarang ditemukan di Eropa dan Amerika
Utara, yaitu dengan angka kejadian kurang dari 1 di antara 100.000 penduduk.
Sebaliknya, di daerah Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka kejadian yang
tinggi. Di Hongkong dan Guangzhou provinsi Guangdong/Kwangtung didapatkan
10-150 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan rata-rata 80 kasus per 100.000
penduduk per tahun. Angka kejadian KNF di Cina Utara, Mediterania (Italia Selatan,
Turki), Afrika Utara, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia, Thailand, Vietnam,
Malaysia, dan Singapura yaitu 5-9 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan
rata-rata 7 kasus per 100.000 penduduk per tahun.2-5
Dari survai Depkes RI tahun
1977-1979 insidensi KNF di Indonesia 4,7 kasus per 100.000 penduduk per tahun.5
Di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 1992-1998 KNF menempati urutan pertama
dengan angka kejadian 59,52% dari seluruh keganasan kepala dan leher.6 Prevalensi
penyakit ini di Bagian THT RS DR. Cipto Mangunkusomo Jakarta selama periode
1995-2000 adalah 49,7% dari keganasan kepala dan leher.7 Di bagian THT-KL RS
Dr. Hasan Sadikin Bandung dari data periode 2001-2005 menunjukkan bahwa KNF
merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak ditemukan dengan
prevalensinya mencapai 25,3%.8
Angka kejadian KNF paling banyak ditemukan pada usia diatas 50 tahun dan lebih
banyak mengenai laki-laki dibanding wanita dengan perbandingan 2-3:1.1-3
Lokasi
tumor primer dan pola penyebarannya menyebabkan tindakan operasi bukan
merupakan pilihan utama pada penanganan KNF.9,10
Tindakan pembedahan hanya
terbatas pada tindakan biopsi tumor primer atau kelenjar getah bening regional pada
kasus baru, residu dan kekambuhan lokal. Dengan demikian terapi radiasi merupakan
metode pengobatan utama dalam penanganan KNF. Pada stadium dini, radiasi
diberikan untuk tujuan kuratif, sedangkan pada stadium lanjut radiasi diberikan untuk
tujuan paliatif.10,11
Kekambuhan lokoregional yang tinggi pada KNF menyebabkan prognosis pasien
menjadi buruk, sehingga keberhasilan untuk mencapai respons lengkap pada saat
pengobatan pertama merupakan potensi utama untuk mencapai kesembuhan.12
Salah
satu metode yang akhir-akhir ini banyak dikembangkan untuk meningkatkan hasil
pengobatan pada KNF adalah penentuan dan penggunaan faktor-faktor prediksi
pengobatan dan prognosis dengan memberikan perhatian khusus pada aspek sifat-
sifat sel tumor.
Terdapat tiga faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring, yaitu
faktor genetik, faktor lingkungan, dan Epstein-Barr virus (EBV). Ketiga faktor ini
saling berinteraksi secara sinergis sehingga menimbulkan terjadinya KNF.13-15
Penelitian mengenai hubungan infeksi EBV dengan kejadian KNF terus
berkembang, dan telah terbukti bahwa EBV dapat ditemukan pada 100% sel KNF
tipe III. Sedangkan pada KNF tipe I EBV hanya ditemukan pada < 5% sel KNF.14,15
Hampir 90% populasi dunia terinfeksi oleh EBV, infeksi primer biasanya terjadi pada
awal kehidupan dan seringkali tidak memberikan gejala. Infeksi primer diikuti
dengan persistensi virus di dalam tubuh penderita.14-16
EBV diduga merupakan salah
satu faktor penting dalam mekanisme karsinogensis KNF. Salah satu protein produk
onkogen virus yang dikenal sebagai latent membrant protein – I (LMP1) telah
dibuktikan secara in vitro menyebabkan transformasi sel epitel maupun sel limfosit B
menjadi bentuk yang imortal.14-16
LMP-1 merupakan onkogen virus potensial dan mempunyai peran biologi
penting pada karsinogenesis KNF.14-17
Ekspresi LMP-1 akan mempengaruhi
pertumbuhan sel epitel serta menghambat diferensiasi dan menginduksi transformasi
morfologi sel. LMP1 akan menginduksi ekspresi epidermal growth factor receptor
(EGFR) pada sel epitel dan EGFR akan diekspresikan dengan level yang tinggi pada
kasus KNF. LMP1 juga kan menginduksi ekspresi dari CD40, CD30 dan sekresi IL-
6 pada sel epitel dan menurunkan ekspresi sitokeratin dan E cadherin. LMP1 juga
terbukti akan menghambat apoptosis limfosit B. Pada sel epitel LMP1 secara spesifik
akan menghambat apoptosis yang diperantarai oleh p-53 dikarenakan adanya mutasi
p-53 pada keganasan yang berhubungan dengan EBV yang mengekspresikan LMP1
seperti pada KNF.9,10
LMP-1 telah terbukti secara in vitro menyebabkan transformasi
sel epitel maupun sel limfosit B menjadi bentuk yang imortal.
Ekspresi LMP-1 pada sel tumor dapat dideteksi dengan pemeriksaan
immunohistokimia. Penelitian yang dilakukan oleh Gondowiarjo (1998) mendapatkan
ekspresi LMP-1 pada sel tumor KNF sebesar 50%, penelitian lain juga mendapatkan
hasil yang hampir sama yaitu Miller et al(1995) sebesar
60%, Lin(2003) 65 % dan
Soehartono(2006) mendapatkan ekspresi LMP-1 sebesar 65%. Karsinoma nasofaring
yang mengekspresikan LMP-1 akan memiliki kecenderungan untuk tumbuh lebih
cepat, lebih agresif dan bermetastasis lebih sering bila dibandingkan dengan KNF
yang tidak disertai dengan ekspresi LMP-1.17
Gambaran histopatologi dianggap sebagai faktor yang dapat merefleksikan derajat
mitosis atau aktivitas proliferasi tumor, bahkan telah diterima sebagai faktor prediksi
sensitivitas tumor terhadap radioterapi.9,10
Anggapan yang telah berlangsung lama
tersebut menjadi kurang berarti lagi setelah adanya beberapa laporan yang
menunjukkan bahwa beberapa jenis keganasan dengan gambaran histopatologi sama
ternyata memberikan respons terhadap radioterapi berbeda.9-13
Untuk itu diperlukan
metode lain yang lebih baik untuk memperkirakan hasil terapi secara lebih akurat.
Dengan diketahuinya pengaruh ekspresi LMP-1 terhadap proses karsinogenesis
KNF telah dilakukan beberapa penelitian yang menghubungakan ekspresi LMP-1
dengan respon terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Gondowiarjo18
mencoba
menghubungkan ekspresi LMP-1 dengan respons tumor terhadap terapi radiasi dan
mendapatkan hasil bahwa LMP-1 tidak mempengaruhi respons tumor terhadap terapi
radiasi. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bambang yang mengatakan
bahwa ekspresi LMP-1 behubungan dengan respons tumor terhadap terapi radiasi.
Dari latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai pengaruh ekspresi LMP1 pada karsinoma nasofaring terhadap respons
terapi radiasi pada KNF WHO tipe III.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat
diidentifikasi masalah sebagai berikut:
Apakah respons terhadap terapi radiasi karsinoma nasofaring WHO tipe III
yang disertai ekspresi LMP1 lebih buruk dibandingkan karsinoma nasofaring WHO
tipe III tanpa ekspresi LMP1?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelititan
Mengukur besar tumor nasofaring sebelum dan sesudah terapi radiasi pada
KNF WHO tipe III yang disertai ekspresi LMP1 dan yang tidak disertai
ekspresi LMP1.
Membandingkan respons terapi antara KNF WHO tipe III yang disertai
ekspresi LMP1 dan tanpa disertai ekspresi LMP1
1.3.2 Tujuan Penelitian
Membuktikan bahwa ekspresi LMP-1 menyebabkan respons tumor primer terhadap
terapi radiasi pada karsinoma nasofaring WHO tipe III menjadi lebih buruk.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Ilmiah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang peran
LMP-1 pada pasien karsinoma nasofaring sebagai faktor prediksi respons
terapi radiasi.
Dapat dipertimbangkan terapi adjuvant di samping terapi radiasi pada
penderita karsinoma nasofaring yang disertai ekspresi LMP1 agar terapi lebih
efektif.
Sebagai pembanding terhadap penelitian yang sudah ada dan sebagai sumber
data untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu prosedur pemeriksaan
rutin pada penderita karsinoma nasofaring sebelum dilakukan terapi sehingga
penderita akan mendapatkan hasil terapi yang maksimal.
Dengan diketahuinya perkiraan respon terapi radiasi diharapkan dapat
memberikan informasi kepada penderita dan keluarga mengenai
kemungkinan penyembuhan dengan terapi radiasi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang berasal dari epitel
nasofaring. Tumor ini bersifat endemik di daerah Cina bagian Selatan termasuk di
Indonesia.1,4,5
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher
yang paling banyak ditemukan di Indonesia yaitu sekitar 60% dan menduduki urutan
ke-5 dari seluruh keganasan setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, getah
bening, dan kulit.14
Prevalensi KNF di Indonesia 4,7 per 100.000 penduduk per tahun
dengan insidensi tertinggi pada dekade 4-5 dan perbandingan antara laki-laki dan
perempuan yaitu 2-3:1.5
2.1.2 Patogenesis Karsinoma Nasofaring
Angka kejadian KNF pada ras Cina jauh lebih tinggi bila dibandingkan
dengan pada ras kaukasian. Hal ini menunjukan kemungkinan adanya pengaruh
faktor genetik pada perkembangan KNF. Penelitian pertama tentang adanya kelainan
genetik pada ras Cina yang dihubungkan dengan kejadian KNF adalah penelitian
tentang human leucocyte antigen (HLA).22-24
Penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa adanya HLA A2 bersamaan dengan HLA Bsin pada alel yang sama
merupakan faktor risiko terjadinya KNF. Lebih lanjut dilaporkan bahwa HLA Aw19,
Bw46, dan B17 berhubungan dengan peningkatan kejadian KNF.24
Penelitian sitogenetika, genetika molekuler dan penggunaan teknik untuk
menganalisis loss of heterozygosity (LOH) melaporkan adanya defek kromosom yaitu
kromosom 1p,3p, 9p, 11q, 13q, 14q, 16q dan x. Kelainan yang paling sering adalah
adanya delesi pada kromosom 3p. Pada lokasi tersebut teridentifikasi adanya tumor
supressor gene (TSG).25
Disamping adanya delesi homozigot dilaporkan juga adanya
proses metilasi abnormal gen p15 dan 16 yang berlokasi di kromosom 9p21. Protein
p16 merupakan protein inhibitor siklin/cdk kinase yang secara potensial berperan
pada kontrol negatif masuknya sel ke fase S melalui induksi gen p53. Gangguan
fungsi gen p16 akan mempengaruhi ekspresi gen p53 yang berperan dalam proses
apoptosis bila terjadi kerusakan DNA. Pada KNF ternyata ditemukan ekspresi
berlebih gen p53, hal ini menimbulkan asumsi adanya substrat yang menginaktivasi
jaras kerja gen p53 walaupun gen ini diekspresikan berlebihan. Salah satunya adalah
campur tangan produk gen virus yang mengikat protein p53 dan menyebabkannya
inaktif. Semua kejadian ini mendukung pendapat adanya keterlibatan berbagai tumor
supressor gene pada kejadian KNF.13
Hubungan yang konsisten dan kuat antara kejadian KNF dan konsumsi ikan
asin dalam waktu yang panjang serta dimulai sejak usia dini dilaporkan di Hongkong
pada ± 90% kasus KNF, dengan Odds Ratio (OR) mencapai 7,5.22,23
Pengulangan
penelitian tentang masalah ini memberikan hasil yang sama, misalnya penelitian yang
dilakukan di Guangzhou, Guangxi dan kelompok Cina di Malaysia, mendapatkan
hubungan yang konsisten antara KNF dan konsumsi ikan asin, walaupun dengan nilai
OR yang kurang kuat. Penelitian mengenai hubungan KNF dengan berbagai makanan
yang diawetkan lainnya masih memberikan hasil yang bertentangan satu dengan
yang lain.23
Hasil penelitian mengenai bahan aktif dalam makanan yang diawetkan
atau diasinkan sejauh ini mengungkapkan bahwa nitrosamin dan beberapa
prekursornya, misalnya N-nitrosodimetilamin (NDMA) dan beberapa volatile
nitrosamin lainnya adalah bahan yang diduga menjadi penyebab KNF.22,23
Bahan itu
secara konsisten ditemukan dalam makanan yang diasinkan yang berasal dari daerah
dengan risiko tinggi KNF.23
Dibuktikan juga dengan adanya produksi NDMA yang meningkat pada ikan
asin setelah bereaksi dengan asam lambung dan nitrit. Hal itu memperlihatkan bahwa
substrat tersebut dapat diproduksi secara endogen dalam proses pencernaan ikan
asin.23
Selain itu dibuktikan pula adanya substrat pengaktif EBV dalam makanan
tersebut, yang dapat menginduksi EBV early antigen (EA). Efek kombinasi EBV
dengan ikan asin masih merupakan bahan penelitian dalam model eksperimental.22,23
Saat ini terdapat hipotesis bahwa bahan-bahan dalam ikan asin yang secara potensial
merupakan karsinogen akan mengaktifkan EBV yang secara laten pada limfosit B
dalam fase karier kronis.24
2.1.3 Aspek Biomolekuler Epstein-Barr Virus dengan Karsinoma Nasofaring
Hubungan Epstein-Barr virus (EBV) dalam karsinogenesis karsinoma
nasofaring sudah diketahui sejak tahun 197314,15
. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya EBV dalam setiap sel KNF. Penelitian yang dilakukan oleh Raab-
Traub (2002) menjelaskan mengenai hubungan komponen genetik dalam
perkembangan KNF dan hubungannya dengan infeksi Epstein-Barr virus.14
Virus Epstein Barr merupakan virus yang digolongkan dalam human herpes virus.
Jika menginfeksi penderita, akan selalu ada sepanjang hidup penderita dalam bentuk
infeksi asimtomatik. EBV merupakan virus DNA yang onkogenik dan berhubungan
dengan beberapa penyakit antara lain karsinoma nasofaring, limfoma Burkit, penyakit
Hodgkin dan infeksi mononukleosis .14,15
Infeksi EBV pertama dimulai di daerah orofaring. Kemampuan virus
mempertahankan infeksi yang persisten aktif dan litik imenyebabkan infeksi dapat
menetap selama bertahun-tahun pada tingkat tertentu. Infeksi EBV terbanyak terjadi
melalui kontak oral atau penyebaran melalui saliva. Setelah kontak pertama, EBV
melakukan replikasi di epitel kelenjar parotis dan saluran napas bagian atas, sehingga
virus yang infeksius dapat dilepaskan secara intermiten oleh individu yang terinfeksi
oleh EBV. Setelah virus menetap dalam sel epitel, virus tersebut dapat menginfeksi
sel limfosit B yang bersirkulasi dan ditemukan dalam jumlah besar di jaringan epitel
saluran nafas atas. Limfosit B yang baru terbentuk juga akan terinfeksi bila melalui
daerah tersebut. Beberapa fakta memperlihatkan bahwa limfosit B merupakan lokasi
utama infeksi laten dan merupakan sumber penyebaran infeksi ke permukaan epitel
bagian distal, termasuk nasofaring. Masuknya EBV ke dalam limfosit B
dimungkinkan oleh adanya ikatan selektif pada komponen cluster of differentiation
(CD) 21. Glikoprotein (Gp) 350/250 merupakan reseptor membran virus yang dapat
mengenali CD 21.15
Pada penderita carrier EBV, infeksi virus ini menginduksi dua jenis proses
infeksi dalam sel pejamu. Infeksi litik menginduksi siklus lengkap replikasi virus
termasuk produksi partikel-partikel virus yang infeksius dan dilepaskan setelah sel
mengalami lisis. Bentuk ini dapat menginfeksi sel dan orang lain. Bentuk lain yaitu
infeksi laten yang hanya menginduksi aktivasi sejumlah kecil gen virus dan tidak
mengakibatkan lisis sel pejamu. EBV bentuk laten ini dapat menghindar dari respons
imun sel pejamu, sehingga infeksi dapat menetap. Infeksi laten merupakan
karakteristik kelompok virus herpes. Pada keadaan ini genom EBV dalam bentuk
episom, sedangkan limfosit B yang terinfeksi EBV dalam bentuk laten
mengekspresikan gen EBNA-1, LMP-1, dan LMP-2.31
Perubahan status laten ke
bentuk litik dimulai dengan aktivasi protein yang disandi onkogen virus pada
limfosit B dan sel epitel. Genom EBV, double-stranded deoxyribonucleic acid
(dsDNA) linier dibentuk melalui replikasi cetakan episom dan dengan perantaraan
polimerase DNA virus. Selanjutnya DNA linier ini menjadi virion yang infeksius.
Secara skematis karakteristik infeksi EBV pada penderita karier dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Infeksi EBV Pada penderita karier, Sumber; Murray dan
Young, 2001.29
Hubungan EBV dengan KNF telah dipastikan pada tingkat molekuler melalui
penelitian hibridisasi asam nukleat EBV(DNA-EBV). Genom DNA EBV terdapat
pada 100% spesimen biopsi KNF. Pemeriksaan dengan hibridisasi Southern blot
memperlihatkan bahwa DNA-EBV pada biopsi KNF adalah satu klonal, atau
berasal dari satu klon. Observasi ini menunjukan bahwa EBV terdapat dalam sel
yang ditransformasi dan menimbulkan dugaan peran virus itu pada proses
bertahap karsinogenesis KNF.
Proses karsinogenesis pada keganasan yang disebabkan oleh EBV akan
terjadi pada infeksi laten. Infeksi laten EBV dibagi menjadi tiga tipe latensi
berdasarkan ekspresi protein virus. Pada latensi tipe I akan diekspresikan EBV
encoded RNAs (EBER), EBV nuclear antigen 1 (EBNA1) dan latent membrane
protein 2B (LMP2B). Pola ini ditemukan pada limfosit dalam sirkulasi karier
yang sehat, dan juga ditemukan pada penderita limfoma Burkit dan karsinoma
gaster. Latensi tipe II ditandai dengan ekspresi LMP-1 dan LMP-2B, ditemukan
pada kasus limfoma Hodgkin, limfoma sel T, dan karsinoma nasofaring. Latensi
tipe III akan mengekspresikan viral gen laten secara lengkap dan ditemukan pada
kasus mononukleosis infeksiosa, gen viral yang diekspresikan yaitu EBNA (1, 2,
3A, 3B, 3C, LP), LMP (1, 2A, 2B) dan EBER.9-11
Berbeda dengan EBNA1 yang
ditemukan pada semua sel yang terinfeksi oleh virus, LMP-1 hanya diekspresi
oleh 60-70% kasus KNF. Transkripsi LMP-1 pada KNF diatur oleh promotor
yang berbeda dengan yang diidentifikasi pada limfosit B.
2.1.3.1 Virus Epstein-Barr –encoded proteins
EBV menghasilkan beberapa produk yang akan berinteraksi dengan berbagai
molekul antiapoptotik, sitokin dan signal transduser, yang akan mempromote
infeksi EBV, imortalitas dan transformasi.
2.1.3.2 Latent Membrane Protein-1 ( LMP1)
LMP-1 merupakan protein membran dengan berat molekul 60–66 kDa. LMP-
1 mempunyai struktur yang menyatu dengan membran protein yang terdiri dari tiga
domain yaitu domain intracytoplasmic nitrogen terminus, hydrofobik transmembran
dan intracytoplasmic carbon terminus. Domain terminal karbon sitoplasma dapat
diidentifikasi menggunakan antibodi monoklonal S 1 - 2 dan CS 1 - 4 dengan teknik
pewarnaan imunohistokimia. Dari penelitian terdahulu didapatkan ekspresi LMP-1
pada KNF yang bervariasi yaitu sebesar 50% (Gondowiarjo, 199818
), 70% (Miller et
al, 199519
), dan 65% (Lin, 200320
). Ekspresi LMP-1 pada KNF dapat dilihat dengan
teknik pewarnaan imunohistokimia seperti terlihat pada gambar berikut.
LMP-1
Gambar 2.2 Tanda Panah Menunjukkan LMP-1 Positif dengan Teknik
Pewarnaan Imunohistokimia. Sumber: Hu 12
LMP-1 merupakan onkogen virus potensial yang mempunyai beberapa fungsi
dan peran biologi penting pada karsinogenesis KNF. Transkripsi gen LMP-1
membentuk messenger ribonucleic acid (mRNA) yang merupakan transkripsi genom
virus paling dominan pada sel limfosit B dan ditransformasikan oleh EBV.31
LMP-1
menginduksi transformasi sel B dan perkembangan tumor dengan jalan meningkatkan
regulasi marker sel B yaitu CD23, CD39, CD40, dan juga molekul adhesi CD11a
yang disebut juga sebagai lymphocyte function antigen-1 (LFA-1), CD54, CD58 serta
vimentin. LMP-1 dapat mengiduksi siklin D2 dan menghambat efek tumor growth
factor (TGF)-1 pada sel B, mengakibatkan proliferasi sel yang tidak terkontrol.
LMP-1 menginduksi sintesis DNA pada proses proliferasi sel. Disamping itu LMP-1
berfungsi sebagai sinyal tranduksi melalui jalur tumour necrozing factor receptor-
associated factor (TRAF) yang menginduksi EGFR. LMP-1 mengaktifasi necrozing
factor- B lymphocyte (NF-B) dan jalur janus kinase (JAK) oleh aktivasi daerah
terminal karbon 1 dan 2 yang menyebabkan proliferasi sel tidak terkontrol.
Peningkatan EGFR ternyata diikuti oleh meningkatnya ekspresi dan aktivitas tirosin
kinase, baik pada tingkat protein maupun mRNA. Kenyataan tersebut memberikan
pengertian bahwa perubahan pola pertumbuhan sel epitel yang mengekspresikan
LMP-1 berhubungan dengan perubahan aktivitas sinyal proliferasi akibat
meningkatnya ekspresi EGFR tersebut. LMP-1 menginduksi ekspresi proto-onkogen
selular B–cell leukemia–2 (bcl-2) yang akan melindungi sel dari proses apoptosis.
Selain itu LMP-1 menghambat proses diferensiasi sel juga melalui jaras bcl-2. LMP-1
dapat menginduksi aktivasi gen yang mengekspresikan protein A-20 sehingga
menghambat proses apoptosis sel.31.32
Dari beberapa hal di atas diketahui bahwa
ekspresi LMP 1 berperan pada proses imortalisasi dan merupakan salah satu tahap
dalam proses karsinogenesis KNF
Gambar 2.3 Aktifitas dan jalur sinyal LMP-1, Sumber; Hu,1996.12
LMP-1
2.1.3.3 Latent Membrane Protein 2 (LMP2)
LMP2 terdiri dari dua bentuk yaitu LMP2A dan LMP2B. Perbedaan keduanya
hanya pada 119 asam amino N-terminal sitoplasmik domain yang dimiliki LMP2A.
Domain ini berisi sembilan residu tirosin dengan dua tirosin membentuk
immunoreseptor tirosin based activation motif (ITAM ).
LMP2 diekspresikan pada latensi EBV yang normal dan juga pada patogensis
yang berhubungan dengan EBV. Penelitian mengenai fungsi LMP2 menunjukan
bahwa LMP2 menyerupai BCR-mediated signal transduction dan memiliki aktifitas
antiapoptosis dan sinyal survival sel. LMP2 memiliki aktivitas trasformasi sel epitel
yang poten .
2.1.3.4 Epstein Barr Nuclear Antigen 1 ( EBNA-1 )
EBNA -1 merupakan suatu ikatan fosfoprotein DNA yang diperlukan untuk replikasi
dan maintenance genome EBV dan juga memegang peranan penting dalam infeksi
laten EBV.
EBNA-1 berikatan dengan plasmid replikasi yang terdiri dari element EBNA-1 yang
berbeda. Ini merupakan keluarga dari repeat dan dyad simetri. Famili dari repeat
element terdiri dari 20 tempat ikatan, dimana dyad simetri element hanya terdiri dari
4 ikatan EBNA-1.
2.1.3.5 Epstein Barr Nuclear Antigen2 ( EBNA-2 )
EBNA-2 merupakan ko aktivator transkripsi yang mengkoordinasi ekspresi gen viral
pada latensi tipe 3 dan juga mengtransaktivasi gen sel dan memegang peranan
penting dalam proses imortalisasi sel. EBNA-2 merupakan laten protein pertama
yang terdeteksi setelah infeksi EBV. Ada 2 tipe EBNA-2 yang dapat teridentifikasi
secara serologi. Kedua tipe sesrologis ini akan korespon terhadap EBV-1 dan EBV-2.
EBNA-2 akan meng upregulasi viral dan selular gene. Diantaranya CD23( marker
permukaan dari B-sel yang teraktivasi), c-myc ( selular proto-onkogen) dan Viral
EBNA-C promotor. Upregulasi ini tidak dicapai dengan mengikat DNA secara
langsung tetapi dengan mengikat faktor transkripsi yang lain. ( viral Cp binding
factor)
2.1.3.6 EBV encoded nuclear RNAs (EBER)
Diekspresikan secara berlebih pada sel tumor. Adanya EBER dapat dideteksi
secara konsisten pada proeses keganasan yang berhubung dengan EBV, kecuali pada
oral hairy leukoplakia. EBER diekspresikan pada semua tipe latensi dan tidak spesifik
pada karsinoma nasofaring
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis THT
secara menyeluruh dengan mengenal gejala dan tanda klinis yang khas untuk KNF.
Diagnosis definitif didapatkan secara histoptologis melalui biopsi dari nasofaring.
Pemeriksaan nasofaring yang dikerjakan dengan teliti merupakan prosedur yang
sangat penting antara lain meliputi rinoskopi posterior (dengan atau tanpa bantuan
kateter nelaton) atau endoskopi menggunakan alat endoskop kaku (rigid
nasopharyngoscope ) maupun lentur ( fiberoptic nasolaryngoscope ). Dengan cara ini
dapat diketahui berbagai kelainan yang dapat dijumpai pada KNF seperti penonjolan
mukosa (creeping tumor), tumor eksofitik, infiltratif dan ulseratif. Disamping untuk
melihat secara langsung (avue), teknik pemeriksaan ini diperlukan untuk melakukan
biopsi untuk menegakkan diagnosis pasti secara histopatologi. Pemeriksaan radiologi
diperlukan untuk mendapatkan informasi adanya tumor nasofaring, perluasan dan
kekambuhan tumor paska terapi. Pemeriksaan foto polos tengkorak proyeksi lateral
dilakukan untuk mengetahui penebalan jaringan lunak di dinding posterior, proyeksi
basis untuk melihat struktur tulang dan foramen, proyeksi antero-posterior dan
Water`s untuk mengetahui adanya ekspansi tumor ke rongga hidung, sinus paranasal
dan rongga orbita. Untuk memperoleh gambaran lesi yang lebih jelas, dapat
dilakukan pemeriksaan tomogram atau computerized tomographic scanning (CT
scan) maupun magnetic resonance imaging (MRI). Melalui CT scan atau MRI dapat
ditentukan besar dan arah perluasan tumor nasofaring dengan lebih akurat (Miura et
al, 1990; Susanto dkk, 1991). Kelebihan lain dari CT scan yaitu dapat menunjukkan
adanya kelainan yang minimal misalnya asimetri fossa Rosenmuller atau
pertumbuhan endofitik, sehingga sangat bermanfaat dalam upaya menemukan
diagnosis dini (Soetjipto, 1993). Tanda patognomonik keganasan nasofaring adalah
bila dijumpai asimetri resesus lateralis, torus tubarius, dinding posterior dan adanya
pembengkakan pada otot-otot tensor dan levator veli palatini (Susanto dkk, 1991).
Bila gambaran massa di nasofaring tidak jelas atau ingin melihat ekstensi tumor dapat
dilakukan pemeriksaan CT scan dengan kontras atau pemeriksaan MRI.25
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran akhir-akhir
ini, diagnosis KNF sangat ditunjang oleh beberapa pemeriksaan tambahan yaitu
pemeriksaan serologi antara lain imunoglobulin A anti viral capsid antigen (Ig anti
VCA), IgG anti-early antigen (EA), imunohistokimia, hibridisasi in situ, poymerase
chain reaction (PCR) dan Southern blotting. Diketemukannya virus Epstein-Barr
yang mengandung antigen virus antara lain EBV-VCA, EA, dan Epstein-Barr
nuclear antigen (EBNA) 1-3 sebagai etiologi KNF telah membuka jalan ke arah
upaya diagnosis dini dan menilai perkembangan tumor (progresivitas) pasca
radioterapi atau kemoterapi. Pemeriksaan antibodi spesifik sebagai tumor marker
yang paling bermanfaat untuk diagnosis KNF adalah IgA anti-VCA dan IgA atau IgG
anti EA.26
Menurut Coates et al, pada penderita KNF yang ditelitinya didapatkan
peningkatan titer Ig A anti VCA sebanyak 93% dan titer IgA anti-EA meningkat
sebanyak 73%.
Selain dengan mendeteksi IgA anti VCA, KNF juga dapat didiagnosis dengan
mendeteksi ekspresi LMP1. Karena dari penelitian yang dilakukan Tsang et al
terbukti bahwa LMP1 spesifik untuk karsinoma nasofaring. Tsang et al
membandingkan ekspresi LMP1 pada karsinoma nasofaring dengan keganasan
didaerah kepala dan leher lainnya, ternyata ditemukan bahwa LMP1 mempunyai nilai
spesivisitas sebesar 95% untuk karsinoma nasofaring.26
2.1.5 Histopatologi
Klasifikasi gambaran histopatologi KNF yang dikemukakan oleh
Shanmugaratnam yang direkomendasikan oleh WHO dibedakan dalam tiga tipe,
yaitu:27
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (WHO tipe I)
2. Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin (WHO tipe II)
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (WHO tipe III)
2.1.6 Stadium Klinis
Secara makroskopik mukosa nasofaring normal merupakan lipatan-lipatan dan
kripta-kripta yang luasnya diperkirakan 3-4 kali luas permukaan yang tampak atau
kurang lebih 50 cm3.
Penentuan stadium terbaru KNF berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union
Internationale Contre Cancer) dan AJCC (American Joint Committee on Cancer)
pada tahun 1997 adalah sebagai berikut: 27
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan
perluasannya.
Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai.
T0 : Tumor primer tidak diketemukan.
Tis : Karsinoma in situ
T1 : Tumor terbatas di nasofaring.
T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak di orofaring atau rongga hidung.
T2a: Tanpa ekstensi ke ruang parafaring
T2b: Dengan ekstensi ke ruang parafaring
T3 : Tumor menginvasi sinus paranasal dan atau invasi ke struktur tulang
T4 : Tumor meluas ke intrakranial atau mengenai saraf pusat, fosa
infratemporal, hiporaring, atau bola mata.
N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional
N0 : Tidak ditemukan metastasis ke kelenjar getah bening.
N1 : Metastasis ke kelenjar getah bening unilateral, berukuran ≤ 6 cm dan
diatas fosa supraklavikula
N2 : Metastasis ke kelenjar getah bening bilateral, berukuran ≤ 6 cm dan di
atas fosa supraklavikula
N3 : Metastasis ke kelenjar getah bening, berukuran > 6 cm di fosa
supraklavikula
M = Metastasis, menggambarkan metastasis jauh
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Terdapat metastasis jauh
Berdasarkan TNM tersebut diatas stadium penyakit dapat ditentukan sebagai berikut:
Stadium I : T1 N0 M0.
Stadium IIA : T2a N0 M0.
Stadium IIB : T1 N1 M0, T2a N1 M0, atau T2b N0-1 M0.
Stadium III : T1-2 N2 M0 atau T3 N0-2 M0.
Stadium IVA : T4 N0-2 MO.
Stadium IVB : Tiap T N3 M0.
Stadium IVC : Tiap T Tiap N M1.
2.1.7 Radioterapi
Tujuan terapi radiasi adalah mengeradikasi tumor in vivo dengan memberikan
sejumlah dosis radiasi yang diperlukan secara tepat pada daerah target radiasi, tanpa
menimbulkan kerusakan berlebihan pada jaringan sehat sekitarnya. Harapan
pemberian terapi radiasi adalah memperpanjang angka kelangsungan hidup dan
memperbaiki kualitas hidup pasien. 4,5,14
Di Subbagian radioterapi RSHS terapi radiasi menggunakan pesawat Tele Cobalt
(sinar gama) dan Linac (sinar x). Terapi radiasi dapat diberikan secara external beam
(radiasi eksterna), implant interstitial (radiasi interna), atau kombinasi keduanya.28
Kontrol tumor secara radioterapi dicapai dengan cara eliminasi semua sel hidup
dalam tumor. Dosis radiasi yang diberikan dapat menyebabkan kematian sel hidup
dalam proporsi tertentu dalam setiap pemberian radiasi. Semakin besar volume tumor
semakin besar total radiasi yang dibutuhkan untuk mengontrol sel-sel tumor. Radiasi
dapat menyebabkan perubahan dan kematian sel. Secara umum diketahui bahwa
terjadinya kematian sel akibat pengaruh radiasi disebabkan oleh ketidakmampuan sel
tersebut memperbaiki kerusakan pada DNA nya. Kerusakan pada sel bisa terjadi
secara langsung bila elektron sekunder yang berasal dari sinar x yang diserap
berinteraksi secara langsung dengan target organ (misalnya sel tumor) atau secara
tidak langsung bila suatu elektron sekunder berinteraksi dengan molekul di sekitar
target yang kemudian menghasilkan radikal-radikal bebas.37,39,40
Radiosensitivitas sel tumor tergantung pada banyak faktor. Diferensiasi sel
mempengaruhi radiosensitivitas. Karsinoma sel skuamosa yang tidak berdiferensiasi
bersifat radiosensitif dan sebaliknya adenokarsinoma bersifat radioresisten. Posisi
tumor dalam siklus sel menunjukkan kondisi radiosensitif atau radioresisten. Fase G2
akhir dan M paling radiosensitif, sedangkan fase S paling radioresisten. Tumor-tumor
tertentu lebih sulit dikontrol dengan radiasi. Radiosensitivitas tumor berbeda pada
beberapa lokasi tumor. Jumlah sel tumor yang hidup dan proporsi sel yang
mengalami hipoksia dalam tumor merupakan kontributor utama terhadap
radiosensitivitas. Tingkat kerusakan awal pada DNA atau kecepatan kerusakan DNA
yang tinggi menunjukkan tendensi sel lebih radiosensitif. Sel stem sumsum tulang
lebih radiosensitif dibandingkan dengan fibroblas atau sel stem dari epitelial,
dikarenakan peranan proses epigenetik yaitu proses yang merubah ekspresi gen tanpa
modifikasi DNA. Juga aktivasi gen oleh paparan radiasi peng-ion dosis rendah. Gen
yang terlibat yaitu growth factor seperti fibroblast growth factor (FGF) dan
sitotoksin natural seperti tumor necrosis factor alpha (TNF-alfa). Gen-gen ini
potensial terlibat pada respons biologi terhadap radiasi. 18,20,21,42
2.1.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi respons Radiasi
2.1.8.1 Hipoksia
Sel yang hipoksik mempunyai kepekaan 2,5 hingga 3 kali lebih rendah
dibandingkan dengan sel yang teroksigenisasi dengan baik. Teori ini mengatakan
bahwa mekanisme sensitisasi dengan keberadaan oksigen terjadi akibat terikatnya
oksigen oleh elektron yang tidak berpasangan di lapisan luar radikal bebas.36
2.1.8.2 Proliferasi
Sel yang sensitif terhadap radiasi adalah sel yang aktif berproliferasi dan
berada pada fase G2 dan M. Target utama untuk mematikan sel pada terapi radiasi
adalah DNA, dan pada fase ini ditemukan DNA dalam jumlah terbanyak. Teori lain
mengatakn bahwa sel-sel dalam fase G1 dan S mempunyai kemampuan melakukan
proses reparasi yang sangat baik terhadap kerusakan sub letal akibat radiasi.36
2.1.8.3 Proses reparasi sel dan DNA
Sel yang mempunyai kemampuan melakukan proses reparasi DNA dengan
baik atas kerusakan yang terjadi, mempunyai sensitivitas yang lebih rendah terhadap
radiasi.
2.1.8.4 Proses Apoptosis
Kematian sel akibat radiasi sebagian besar terjadi melalui proses apoptosis.
Berbagai gen berperan dalam mekanisme kontrol proses apoptosis, baik sebagai
kontrol positif maupun kontrol negatif. Bila terjadi gangguan pada mekanisme
apoptosis maka akan terjadi penurunan respons tumor terhadap radiasi.37
2.1.8.5 Proses angiogenesis
Proses angiogenesis terjadi sebagai respons jaringan terhadap berkurangnya suplai
oksigen, sehingga tumor yang menunjukan proses angiogenesis yang mencolok
mencerminkan keadaan oksigenisasi yang tidak baik. Pada keadaan ini maka akan
terjadi penurunan respons tumor terhadap radiasi.36
2.2 Kerangka Pemikiran
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang berasal dari sel epitel
nasofaring. World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan KNF menjadi
tipe I: Sel karsinoma Skuamous berkeratin. Tipe II: Sel karsinoma skuamous tidak
berkeratin, dan tipe III: karsinoma tidak berdiferinsiasi.1-3
Dari ketiga tipe KNF, hanya KNF tipe III yang mempunyai hubungan paling
kuat dengan virus Epstein-Barr, hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan Ho
yang menyebutkan bahwa hampir 100% sel tumor KNF tipe III mengandung virus
epstein-barr. Pada KNF tipe II virus Epstein-Barr terdapat pada 86% sel tumor.
Sedangkan pada KNF tipe I virus Epstein-Barr hanya didapatkan pada < 5% sel
tumor.1-3,9
Infeksi EBV di dalam sel tumor merupakan infeksi laten tipe II yang
ditandai dengan ekspresi “Gen laten”, yaitu EBV-encoded nuclear antigen (EBNA
1), latent membrane protein (LMP1,2A) dan EBV-encoded nuclear RNAs
(EBER1).9- 11
Bila dibandingkan dengan gen laten lainnya, LMP1 merupakan suatu
onkogen EBV yang memiliki kemampuan untuk menginduksi transformasi fibroblas
pada binatang percobaan. LMP-1 dapat dideteksi dengan menggunakan metode
imunohistokimia pada 50-65% karsinoma nasofaring. Sementara sisanya tidak
terdeteksi. Perbedaan ekspresi ini kemungkinan dipengaruhi oleh status methylasi
dari promotor LMP1 (EBV genome 169,546-170,110, genkbank acces
number:V1555). Pada KNF dengan Ekspresi LMP1, promotor LMP1 nya tidak
mengalami Methylasi, sedangkan KNF tanpa ekspresi LMP1, promotor LMP1 nya
akan mengalami methylasi. Keadaan ini juga tergantung dari interaksi antara genom
EBV dan sel pejamu. Oleh karena itu pada sebagian kasus KNF, LMP1 tidak dapat
terdeteksi. 9-13
LMP1 merupakan protein membran dengan kompleks molekul yang terdiri
dari cytoplasmic amino terminus, enam transmembran domain, dan cytoplasmic
carboxy terminal yang panjang. Ekspresi LMP1 juga terbukti secara signifikan
memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan sel epitel dan mengurangi diferensiasi
serta menginduksi transformasi morfologi beberapa sel.1
LMP1 menginduksi ekspresi
epidermal growth factor receptor (EGFR) pada sel epitel sehingga EGFR
diekspresikan dalam kadar yang tinggi pada KNF. Induksi ekspresi EGFR pada KNF
memberikan kontribusi penting dalam transformasi sel menjadi suatu keganasan.
Disamping itu LMP-1 berfungsi sebagai sinyal tranduksi melalui jalur tumour
necrozing factor receptor-associated factor (TRAF) yang menginduksi EGFR. LMP-
1 mengaktifasi necrozing factor- B lymphocyte (NF-B) dan jalur janus kinase
(JAK) oleh aktivasi daerah terminal karbon 1 dan 2 yang menyebabkan proliferasi sel
tidak terkontrol. LMP1 juga menginduksi ekspresi CD40 dan sekrei IL-6 di dalam sel
epitel dan menurunkan ekspresi sitokeratin dan E cadherin. LMP1 menghambat
proses apoptosis limfosit B, hal ini kemungkinan disebabkan karena induksi ekspresi
onkogen bcl-2. Di dalam sel epitel LMP1 secara spesifik menghambat proses
apoptosis yang diperantari p53. Dari penelitian yang dilakukan oleh Tsang dkk,
terbukti bahwa dengan mendeteksi LMP1 pada kasus KNF post radioterapi kita
dapat mengetahui adanya rekurensi dari KNF, dengan sensitivitas 97% dan spesifitas
98,6%.26
Dengan berbagai pengaruh yang ditimbulkan oleh LMP-1 pada sel, maka
KNF yang disertai dengan ekspresi LMP1 akan tumbuh lebih cepat, bermetastase
lebih sering dan lebih ekspansif dibandingkan dengan KNF yang tidak
mengekspresikan LMP1.15-17
Berbagai faktor dianggap mempengaruhi respons sel terhadap radiasi, antara lain
fungsi reparasi sel (repair), keberadaan oksigen (reoxygenation), siklus sel
(redistribution), aktivitas proliferasi (repopulation), proses kematian sel terprogram
(apoptosis) dan angiogenesis.36
Kematian sel akibat radiasi sebagian besar terjadi
melalui proses apoptosis yang dipicu akibat adanya kerusakan pada DNA sel akibat
pemberian radioterapi. Bila terjadi gangguan pada mekanisme apoptosis maka akan
terjadi penurunan respons terhadap radiasi. Proliferasi merupakan salah satu sifat
biologik sel yang mempunyai peran dalam mempengaruhi efek radiasi pada sel
bersangkutan, karena diketahui bahwa sel yang sensitif terhadap radiasi adalah sel
dalam fase Gap 2 (G2) dan mitosis (M) dalam siklus proliferasi.36,53,54
Pada KNF WHO tipe III yang disertai dengan ekspresi LMP1, seperti telah
disebutkan di atas, akan terjadi gangguan dalam proses apoptosis. Hal ini akan
menyebabkan penurunan respons tumor terhadap radiasi. Telah disebutkan juga
bahwa KNF dengan ekspresi LMP1 akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan
yang tanpa ekspresi LMP1 sehingga sel tumor akan lebih cepat mengalami repopulasi
yang akhirnya akan berpengaruh terhadap respons terapi radiasi.15-17,19
Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi respons terapi, yaitu: lokasi tumor,
kedalaman dan ukuran tumor, tipe histopatologi, stadium tumor, invasi perineural,
dan status imunologis. Jika parameter ini dapat diidentifikasi sebelum terapi, pilihan
terapi dapat dilakukan sehingga memberikan kemungkinan penyembuhan yang lebih
baik.34,35
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dibuatlah premis-premis
sebagai berikut:
Premis 1
Radioterapi menyebabkan kematian sel tumor akibat kerusakan pada DNA yang
kemudian diikuti oleh terjadinya apoptosis.1-3,11
Premis 2
LMP-1 dapat menginduksi aktivasi gen yang mengekspresikan protein A-20 sehingga
menghambat proses apoptosis yang diperantarai oleh p53.31,32
Premis 3
LMP-1 akan menginduksi proses proliferasi sel melalui peningkatan EGFR, sehingga
proliferasi sel tumor menjadi tidak terkontrol dan mengalami repopulasi lebih
cepat.1-3,36
2.3 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran dan premis di atas maka dapat dibuat suatu hipotesis
sebagai berikut:
Karsinoma nasofaring WHO tipe III yang disertai ekspresi LMP1 memiliki
tingkat respons yang lebih buruk terhadap terapi radiasi dibandingkan dengan
yang tidak disertai ekspresi LMP1.(Premis 1-4)
BAB III
BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN
3.1 Bahan, Alat, dan Subjek Penelitian
3.1.1 Bahan dan Alat yang Digunakan pada Penelitian
3.1.1.1 Bahan Penelitian
Bahan dari biopsi pada beberapa tempat pada massa tumor primer nasofaring
yang kemudian difiksasi menjadi blok parafin dan ditegakkan diagnosis
histopatologis, merupakan KNF WHO tipe III/tipe tidak berdiferensiasi/tipe
undifferianted. Kemudian dari parafin blok dilakukan pemotongan setebal 4 mikron
dan dilakukan teknik pewarnaan imunohistokimia menggunakan antibodi “EBV-
LMP clones CS 1-4, DAKO” buatan Denmark. Kemudian dinilai ekspresi LMP1
pada sel tumor oleh dokter Patologi anatomi senior di Bagian Patologi Anatomi RS.
Dr. Hasan Sadikin Bandung.
3.1.1.2 Alat Penelitian
Alat yang digunakan untuk terapi radiasi eksterna pada penelitian ini adalah
pesawat Tele Cobalt merk Xin Hua Co60 FCC 8000 yang mempunyai kemampuan
penetrasi ke jaringan tumor hingga mencapai 20 cm dan kemampuan aktivitas sampai
8.000 Curie.
Alat yang digunakan untuk pengukuran besarnya tumor primer:
1. Rigid nasoendoscope dengan diameter 4 mm sudut 30° dan sudut 0o
2. Sumber cahaya merk Storz
4. Anestesi lokal dengan xylocaine spray 10%
5. Kapas steril
6. Pinset hidung
7. Spekulum hidung
8. Cunam forcep (Takahashi)
9. Skintigrafi Tc-9m MIBI dengan mesin SPEC-CT.
3.1.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian dipilih secara konsekutif sampling terhadap semua penderita
karsinoma nasofaring WHO tipe III yang diagnosisnya telah ditegakan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan klinis dengan menggunakan nasofaringoskopi, hasil
pemeriksaan histopatologis dari biopsi nasofaring dan ditentukan stadium tumor
primer di poliklinik THT-KL RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung dan telah memenuhi
kriteria inklusi. Dari hasil biopsi juga dilakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk
menilai ekspresi LMP1 pada sel tumor. Digunakan pewarnaan dengan ventana
immunostainer, lalu dilakukan dilusi dengan antibodi monoklonal LMP1 (Dako,
Glostrup, Denmark)
Kriteria Inklusi:
1. Penderita karsinoma nasofaring WHO tipe III berdasarkan klinis, dan
histopatologi
2. Belum pernah dilakukan radioterapi maupun kemoterapi sebelumnya.
3. Penderita karsinoma nasofaring yang hanya mendapat radioterapi.
Kriteria Eksklusi:
Penderita karsinoma nasofaring residif dan atau rekurens
Penderita karsinoma nasofaring dengan karsinoma multipel
Penderita karsinoma nasofaring dengan metastasis jauh
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan rancangan studi
prospektif, subjek penelitian dipilih secara konsekutif sampling antara dua
kelompok penderita yakni kelompok karsinoma nasofaring WHO tipe III
dengan positif adanya ekspresi LMP-1 pada jaringan tumor dan negatif yaitu
tanpa adanya ekspresi LMP-1 dengan membandingkan ukuran perubahan
tumor primer sebagai parameter respons terapi radiasi
3.2.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian akan dilakukan dipoliklinik THT-KL RS. Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak usulan penelitian ini disetujui
sampai terpenuhi jumlah sampel.
3.2.3 Besar sampel
Besar sampel ditentukan berdasarkan hubungan antara ekspresi LMP1 pada
jaringan tumor dan respons terapi radiasi. Dengan menetapkan taraf kepercayaan 95%
dan power test 80%, dari rumus besar sampel untuk menguji koefisien korelasi yaitu:
3
μρ
ZZn
2
2
β1α1
dengan
r
rn
1
12
1
n = besar sampel
r = koefisien korelasi = 0,4
Z 1- dan Z 1- = diperoleh dari tabel distribusi normal standar, untuk taraf
kepercayaan 95%. Maka Z 1- = 1,96
Z 1- = power test 80% = 0,84
r
rn
1
12
1 = 0,4236
Maka
3
4236,0
84,096,1n
2
2
n = 47 + Drop out 10% maka n = 52
3.2.4 Variabel Penelitian
Variabel yang diperiksa pada penelitian ini:
Variabel bebas adalah ekspresi LMP-1 pada jaringan tumor primer
Variabel terikat adalah respons terapi radiasi
Variabel lain yang diteliti
o Stadium tumor primer
o Usia: ditentukan berdasarkan dekade
o Jenis kelamin: laki-laki dan perempuan
3.2.5 Definisi Operasional Variabel
Karsinoma nasofaring WHO tipe III adalah Karsinoma tanpa diferensiasi
yang disebut juga undifferentiated carcinoma. Tipe ini mempunyai gambaran
patologi yang sangat heterogen, sel ganas berbentuk synctitial dengan batas
sel yang tidak jelas dan sebagian besar disertai infiltrasi limfosit yang sangat
menonjol.28
Tumor primer (T) adalah tumor asal yang berada di nasofaring yang kemudian
ditentukan ukurannya dengan menggunakan pemeriksaan nasofaringoskopi
kaku (rigid). Standar ukuran tumor primer pada penelitian ini yaitu:
T : menggambarkan tumor primer, besar, dan perluasannya.
T1: tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring.
T2: tumor meluas lebih dari satu lokasi tetapi masih di dalam rongga
nasofaring.
T3: tumor meluas ke kavum nasi atau orofaring.
T4: tumor meluas ke tengkorak dan atau sudah mengenai saraf otak.
Untuk menentukan T4 selain menggunakan nasofaringoskopi juga
digabungkan dengan pemeriksaan fisik saraf kranialis untuk menentukan ada
tidaknya ekstensi ke intrakranial. Adanya ekstensi ke intrakranialis ditentukan
bila terdapat parase / paralisis saraf kranial
Yang dimaksud dengan ekspresi LMP-1 adalah protein membran yang
dihasilkan oleh Epstein-Barr virus dan dideteksi dengan pemeriksaan
imunohistokimia menggunakan antibody monoclonal CS1-4 DAKO. Dengan
pemeriksaan ini LMP-1 akan memberikan warna kecoklatan pada membran
sel yang kemudian akan dilakukan grading sebagai berikut:
Negatif : tidak ditemukan warna kecoklatan pada dinding sel
Lemah : 20-50% sel positif LMP-1
Sedang : 50-80% sel positif LMP-1.
Kuat : > 80% sel positif LMP-1.
Radioterapi adalah suatu modalitas terapi sinar yang berasal dari pesawat
terapi tele bertenaga tinggi. Pada penelitian ini berupa radiasi eksterna dengan
menggunakan pesawat Cobalt 60 merk Xin Hua FCC 8000. Dosis total yang
diberikan untuk eradikasi tumor primer maupun kelenjar adalah 6.000–7.000
cGy dengan dosis per fraksi 200 cGy diberikan lima kali seminggu.
Respons terapi adalah respons dari tumor primer terhadap pemberian
radioterapi yang ditentukan dengan menggunakan nasofaringoskopi sebelum
dan sesudah terapi radiasi, dan dengan pencitraan Tc-99m MIBI setelah
radioterapi.
Derajat respons terapi ditentukan berdasarkan standar WHO yaitu:
1. Lengkap : bila tumor primer hilang 100%
2. Sebagian : bila pengecilan besar tumor ≥50%
3. Tidak respons : bila pengecilan besar tumor <50% atau didapat penambahan
ukuran tumor < 25%.
4. Progresif : bila besar tumor bertambah dibandingkan dengan ukuran
sebelum pemberian radioterapi.
Waktu penilaian respons terapi (evaluasi) dilakukan setelah delapan minggu
pascaradioterapi, dengan dasar setelah delapan minggu tidak ada lagi efek
lanjutan radiasi dan respons keseluruhan dapat dinilai.
Pemeriksaan skintigrafi Technetium-99m hexakis-2-methoxyisobuthylisonitrile
(Tc-99m MIBI) adalah pemeriksaan dengan pemberian radiofarmaka Tc-99m
MIBI intravena kemudiaan dibuat pencitraan dengan mesin SPEC-CT pada 15
menit dan 2 jam setelah pemberian radiofarmaka. Dihitung nisbah
penangkapan radiofarmaka pada massa yang dicurigai residu tumor. Bila
nisbah > 1,6 maka dicurigai sebagai suatu sisa keganasan. Tc-99m MIBI
mempunyai sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi yang analog dengan MRI.52
Pemeriksaan skintigrafi Tc-99m MIBI dipilih sebagai baku emas untuk
menilai tumor primer postradioterapi. Pemeriksaan skintigrafi Tc-99m MIBI
dilakukan di Bagian Kedokteran Nuklir.
3.2.6 Tahap-tahap Pelaksanaan
Sebelumnya peneliti menjelaskan pada penderita KNF yang telah memenuhi
kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi tentang maksud, tujuan, dan
manfaat penelitian serta tata cara yang akan dilakukan. Apabila penderita setuju
untuk ikut dalam penelitian ini selanjutnya penderita diminta untuk menandatangani
pernyataan persetujuan tertulis (informed consent).
Kemudian dilakukan penentuan stadium T sebelum terapi radiasi dan pemeriksaan
ekspresi LMP1 dari bahan biopsi tumor nasofaring dengan metode Imunohistokimia.
Setelah empat minggu pascaradioterapi subjek diminta datang ke poli THT RSHS
untuk dilakukan penilaian perubahan stadium tumor primer dan delapan minggu
pascaradioterapi dilakukan pencitraan skintigrafi Tc-99m MIBI di Bagian Kedokteran
Nuklir RS.Dr. Hasan Sadikin Bandung.
3.2.6 Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah untuk membandingkan
perubahan ukuran tumor primer sebagai respons terapi radiasi antara kedua kelompok
yaitu yang dengan ekspresi LMP-1 dan yang tanpa ekspresi LMP-1 digunakan uji
Pearson Chi-Square.
Untuk mencari hubungan ekspresi LMP-1 pada jaringan tumor dengan ukuran
tumor, metastasis ke KGB leher dan stadium lokoregional digunakan analisis korelasi
rank Spearmann, kemaknaan ditentukan berdasarkan nilai p < 0,05.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai perbandingan respons tumor primer terhadap terapi radiasi
antara karsinoma nasofaring WHO tipe III yang disertai ekspresi LMP-1 dengan
yang tanpa ekspresi LMP-1 telah dilakukan pada periode Juli 2007-Juni 2008
dengan jumlah subjek penelitian 50 penderita. Semua penderita berasal dari
poliklinik THT-KL RSHS Bandung dengan diagnosis karsinoma nasofaring WHO
tipe III/tipe tidak berdiferensiasi/tipe undifferentiated yang akan menjalani terapi
radiasi. Dari 50 penderita yang telah memenuhi kriteria penelitian, sebanyak 5
(10%) penderita dikeluarkan dari penelitian (drop out) karena: 2 (4%) meninggal
dunia, 3 (6%) penderita tidak melanjutkan terapi radiasi. Dengan demikian jumlah
subjek penelitian yang mengikuti penelitian sampai selesai adalah 45 (90%)
penderita.
4.1. Hasil Penelitian
Karakteristik umum penderita karsinoma nasofaring yang menjadi subjek
penelitian meliputi usia, jenis kelamin, stadium tumor primer, metastasis ke KGB
leher, dan stadium tumor.
4.1.1 Karakteristik subjek penelitian
Karakteristik subjek penelitian dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Karakteristik Jumlah %
1. Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
30
15
66,7
33,3
2. Usia (tahun)
< 35
35-39
40-44
45-49
50-54
> 55
13
5
4
7
6
10
28,9
11,1
8,9
15,6
13,3
22,2
X (SB): 43,5(10,6)
Rentang: 22-60
3 Tumor Primer (T)
T1
T2
T3
T4
1
22
14
8
2,2
48,9
31,1
17,8
Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian (n=45)
4. Metastasis ke KGB (N)
N0
N1
N2
N3
6
5
11
23
13,3
11,1
24,4
51,1
5. Stadium (TNM)
I
II
III
IV
1
3
13
28
2,2
6,6
28,8
62,2
Ket: X = nilai rerata, SB = simpangan baku
Dari distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin didapatkan 30
(66,7%) laki-laki dan 15 (33,3%) perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan
perempuan adalah 2:1. Dari tabel di atas didapat rerata usia subjek penelitian adalah
43,5 ± 10,6 tahun. Rentang usia 22-60 tahun. Tiga belas (28,9%) subjek penelitian
berusia kurang dari 35 tahun, 5 (11,1%) berusia 35-39 tahun, 4 (8,9%) berusia 40-
44 tahun, 7 (15,6%) berusia 45-49 tahun, 6 (13,3%) berusia 50-54 tahun, dan 10
(22,2%) berusia lebih dari 50 tahun.
Berdasarkan stadium tumor primer (T), 22 (48,8%) penderita datang dengan
stadium T2 yaitu tumor meluas lebih dari satu lokasi tapi masih di dalam rongga
nasofaring, 14 (31,2%) stadium T3, 8 (17,8%) stadium T4 dan hanya 1 (2,2%)
penderita datang dengan stadium T1.
Berdasarkan metastasis ke kelenjar getah bening leher (N), 23 (51,1%) penderita
datang dengan stadium N3, 6 (13,3%) penderita dengan stadium N0, 5 (11,1%)
dan 11 (24,4%) penderita dengan stadium N1 dan N2. Sedangkan distribusi subjek
penelitian berdasarkan stadium TNM, 28 (62,2%) penderita datang pada stadium
IV, 13 (28,8%) penderita pada stadium III, 3 (6,6%) penderita stadium II dan 2,2%
(1 penderita) pada stadium I. Bila pembagian menurut stadium awal (stadium I dan
II) dan stadium lanjut (stadium III dan IV) maka penderita yang datang pada
stadium awal adalah 8,8% dan yang datang pada stadium lanjut adalah 90%.
4.1.2 Prevalensi Ekspresi LMP-1
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan LMP-1
LMP-1 Jumlah %
1. LMP-1 negatif
2. LMP-1 positif:
Lemah
Sedang
Kuat
15
6
14
10
33,3
13,3
31,1
22,2
Ket: LMP-1 = latent membrane protein-1
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ekspresi LMP-1 tampak pada 30 (66,7%)
penderita meliputi LMP-1 lemah 6 (13,3%), LMP-1 sedang 14(31,1%), dan LMP-1
kuat 10 (22,2%). Pada penelitian didapatkan 15 (33,3%) subjek penelitian tidak
mengekspresikan LMP-1.
4.1.3 Hubungan Ekspresi LMP-1 dan Jenis Kelamin
Ket: X2 = 1,842; p=0,605
Dari tabel diatas didapatkan 10 (66%) subjek laki-laki tidak mengekspresikan
LMP-1 dan 5 (33,3%) subjek wanita tidak mengekspresikan LMP-1. Sedangkan
subjek laki-laki yang mengekspresikan LMP-1 dengan lemah adalah 3 (50%),
sedang 11(78,6%), dan kuat 6(60%). Subjek perempuan mengekspresikan LMP-1
dengan lemah terdapat 3(50%), sedang 3(21,4%), dan kuat 4(40%). Dengan uji
statistik test Pearson Chi-Square diperoleh nilai p=0,605 atau p>0,05, berarti pada
Jenis Kelamin
LMP-
1(+)
LMP-1 (-)
Lemah Sedang Kuat
Laki-laki
Perempuan
Total pasien (n)
3(50,0)
3(50,0)
6
11(78,6)
3(21,4)
14
6(60,0)
4(40,0)
10
10(66,7)
5(33,3)
15
Tabel 4.3 Hubungan antara Ekspresi LMP-1 dan Jenis Kelamin
Ket:
LMP1 : latent membrane protein-1
X2=1,842 ;p=0.605
penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna antara LMP-1 dan jenis kelamin.
Hal ini sesuai dengan penelitian Gondowiarjo yang menyatakan tidak ada hubungan
antara jenis kelamin dan ekspresi LMP-1. 18
Khabir (2005) melakukan penelitian di
Afrika Utara juga mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara ekspresi LMP-1 dengan jenis kelamin.3
4.1.4 Hubungan LMP-1 dan Usia
Tabel 4.4 Hubungan antara LMP-1 dan Usia
Usia
LMP-1(+)
LMP-1(-)
Lemah Sedang Kuat
< 35
35-39
40-44
45-49
50-55
>55
3(23,1)
1(20,0)
-
-
2(33,3)
-
3(23,1)
1(20,0)
1(25,0)
3(42,9)
1(16,7)
5(50,0)
3(23,1)
1(20,0)
1(25,0)
1(14,3)
2(33,3)
2(33,3)
4(30,8)
2(40,0)
2(50,0)
3(42,9)
1(16,7)
3(30,0)
Ket: X2 = 9,800; p=0,832
LMP-1: latent membrane protein-1
Dengan uji statistik Pearson Chi-Square diperoleh nilai p=0,832 atau p>0,05,
berarti pada penelitian ini tidak didapat hubungan yang bermakna antara ekspresi
LMP-1 dan usia.
4.1.5 Hubungan LMP-1 dan Ukuran Tumor Primer
Tabel 4.5 Hubungan antara LMP-1 dan Ukuran Tumor Primer (T)
Stadium Tumor
Primer
LMP-1(+)
LMP-1(-)
Lemah Sedang Kuat
T1
T2
T3
T4
Total
-
2 (33,3)
1(16,7)
3(50,0)
6(13,3)
-
9(64,4)
5(35,7)
-
14(31,1)
-
5(50,0)
2(20,0)
3(30,0)
10(22,2)
1(6,7)
6(40,0)
6(40,0)
2(13,3)
15(33,3)
Ket: rs = - 0,025; p= 0,890
LMP-1 :Latent membrane protein -1
T : tumor
Dengan uji korelasi rank Spearman diperoleh nilai p= 0,890 atau p>0,05 berarti
pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara ekspresi LMP-1 dan ukuran
tumor primer.
4.1.6 Hubungan LMP-1 dan Metastasis ke KGB leher
Tabel 4.6 Hubungan antara LMP-1 dan Metastasis ke KGB leher (N)
Metastasis ke KGB
leher
LMP-1(+)
LMP-1(-)
Lemah Sedang Kuat
N0
N1
N2
N3
Total
1(16,7)
-
2(33,3)
3(50,0)
6(13,3)
1(7,1)
2(14,3)
2(14,3)
9(50,0)
14(31,3)
-
-
3(30,0)
7(70,0)
10(22,2)
4(26,7)
3(20,0)
4(26,7)
4(26,7)
15(33,3)
Ket: rs= 0,409; p= 0,005
LMP-1 :Latent membrane protein -1
KGB : Kelenjar getah bening
Dengan uji korelasi rank Spearman diperoleh nilai p=0,005 atau p<0,05 berarti
pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara ekspresi LMP-1
pada tumor primer dengan metastasis ke KGB leher. Dari penelitian ini diketahui
bahwa ekspresi LMP-1 mempengaruhi adanya metastasis ke KGB leher.
4.1.7 Hubungan LMP-1 dan Stadium Tumor Lokalregional
Tabel 4.7 Hubungan antara LMP-1 dan Stadium Tumor Lokalregional
Stadium Tumor
Lokalregional
LMP-1(+)
LMP-1(-)
Lemah Sedang Kuat
I
II
III
IV
Total
-
-
6(100,0)
6(13,3)
-
4(28,6)
10(71,4)
14(31,1)
-
-
1(10,0)
9(90,0)
10(22,2)
1(6,7)
2(13,3)
6(40,0)
6(40,0)
15(33,3)
Ket: rs = 0,409; p=0,005
LMP-1:latent membrane protein-1
Pada tabel 4.10 ini dengan uji korelasi rank Spearman diperoleh nilai p=0,005 yang
berarti pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara ekspresi
LMP-1 dan stadium tumor lokalregional (TNM). LMP-1 lebih banyak ditemukan
pada stadium yang lebih lanjut. Sesuai dengan teori bahwa KNF tipe III yang
disertai ekspresi LMP-1 memiliki sifat yang lebih agresif dan tumbuh lebih cepat.
4.1.8 Hasil Penilaian Respons Terapi Radiasi Eksterna
Seluruh penderita pada penelitian ini mendapat terapi radiasi eksterna dengan
total dosis 6.600-7.000 cGy lateral to lateral dan 4.600 cGy anterior
supraclavicula.
Tabel 4.8 Respon Tumor Primer Terhadap Terapi Radiasi Eksterna
Respons Terapi Jumlah %
Respons Lengkap
Respons Sebagian
Tidak Respons
Progresif
30
14
-
1
66,7
31,1
-
2,2
Pada tabel di atas tampak respons terapi radiasi eksterna KNF WHO tipe III yang
menunjukkan respons lengkap 30(66,7%), respons sebagian 14(31,1%) dan menjadi
progresif 1 (2,2%). Dari tabel tersebut diatas dapat kita lihat bahwa respons tumor
primer terhadap terapi radiasi tidak 100%. Hal ini menunjukkan bahwa respons
terapi radiasi pada pasien karsinoma nasofaring WHO tipe III masih belum
memuaskan. Sehingga walaupun memiliki tipe histopatologis yang sama, respons
terapinya masih bervariasi. Perbedaan respons ini juga menunjukan masih ada
faktor lain yang mempengaruhi respons terapi. Kegagalan radioterapi dalam
memberantas seluruh sel kanker di nasofaring ditunjukkan dengan masih tingginya
jumlah kasus KNF yang memberikan respon sebagian yaitu 31,1% dengan masih
didapatkan adanya residu tumor baik berupa residu tumor primer maupun residu
pada metastasis di KGB leher.
Residu tumor primer 75% berada submukosa yang dengan pemeriksaan
nasofaringoskopi tidak tampak masa di nasofaring hanya tampak sebagai penebalan
dan hiperemis dari dinding posterior nasofaring, tetapi dengan pemeriksaan
skintigrafi Tc-99m(MIBI) tampak masa submukosa yang masih mencurigakan
keganasan. Satu (2,2%) penderita menjadi progresif setelah mendapat terapi radiasi
eksterna lengkap (awal radiasi stadium III/T3N2 dan setelah radiasi stadium
IV/T3N3).
Tabel 4.9 Respons Metastasis ke KGB Leher (N) Terhadap Terapi Radiasi
Eksterna
Respons Terapi Jumlah %
Respons Lengkap
Respons Sebagian
Tidak Respons
Progresif
28
16
-
1
62,2
35,6
-
2,2
Dari tabel 4.8 dan tabel 4.9 penelitian ini, tidak didapatkan perbedaan yang
mencolok antara penilaian respons tumor primer dan metastasis regional terhadap
terapi radiasi eksterna dan respons tumor primer saja terhadap terapi radiasi. Angka
keberhasilan terapi radiasi eksterna terhadap metastasis ke KGB leher adalah 62,2%
4.1.9 Hubungan LMP-1 dan Respons Terapi
Tabel 4.10 Hubungan Antara LMP-1 dan Respons Metastasis ke KGB Leher
(N) terhadap Terapi Radiasi
Respons Metastasis
KGB Leher
LMP-1(+)
LMP-1(-)
Lemah Sedang kuat
Respons Lengkap
Respons Sebagian
Tidak Respons
Progresif
2(40,0)
4(60,0)
-
-
11(78,6)
3(21,4)
-
-
5(50,0)
4(40,0)
-
1(10,0)
11(73,3)
4(26,7)
-
-
Ket: X2 = 6,023.; p=0,4205
Tabel 4.11 Hubungan Antara LMP-1 dan Respons Metastasis ke KGB Leher
(N) Regional terhadap Terapi Radiasi
ResponsMetastasis KGB Leher
LMP-1, n(%)
- +
Respons Lengkap
Respons Sebagian
11(73,3)
4(26,7)
18(63,3)
12(43,3)
Ket: X2 = 1,181; p=0,277
Dari tabel 4.10 dengan menggunakan uji statistik Pearson Chi-Square mengenai
hubungan LMP-1 dan respons terapi tumor primer dan metastasis regional
didapatkan p=0,4205. Sedangkan pada tabel 4.11 dilakukan penggabungan ekspresi
LMP-1 yang positif didapatkan p=0,277. Keduanya menunjukan nilai p>0,005 yang
artinya tidak ada hubungan antara ekspresi LMP-1 dan respons metastasis regional
ke KGB leher terhadap terapi radiasi.
Tabel 4.12 Hubungan LMP-1 dan Respons Tumor Primer terhadap Terapi
Radiasi
Respons Tumor
Primer
LMP-1(+)
LMP-1(-)
Lemah Sedang Kuat
Respons Lengkap
Respons Sebagian
Tidak Respons
Progresif
3(50,0)
3(50,0)
-
-
11(78,6)
3(21,4)
-
-
5(50,0)
4(40,0)
-
1(10,0)
11(7,3)
4(26,7)
Ket: X2 = 3,192; p=0,362
Tabel 4.13 Hubungan LMP-1 dan Respons Tumor Primer terhadap Terapi
Radiasi
Respons Tumor Primer
LMP-1
- +
Respon lengkap
Respon sebagian
11(73,3)
4(26,7)
19(63,3)
11(36,7)
Ket: X2 = 0,450.; p=0,502
Dari tabel 4.12 dengan menggunakan uji statistik Pearson Chi-Square mengenai
hubungan LMP-1 dan respons tumor primer didapatkan p=0,362. Sedangkan pada
tabel 4.13 dilakukan penggabungan ekspresi LMP-1 yang positif didapatkan
p=0,502 Keduanya menunjukan nilai p>0,005 yang artinya tidak ada hubungan
antara ekspresi LMP-1 dan repons tumor primer terhadap terapi radiasi
4.1.10 Kesesuaian Hasil Pemeriksaan Nasofaringoskopi dengan Skintigrafi
Tc-99m(MIBI)
Data lain yang didapat dari penelitian ini adalah data antara pemeriksaan
nasofaringoskopi dan skintigrafi Tc-99m(MIBI) yang digunakan untuk
mengevaluasi respons terapi terhadap tumor primer. Hingga saat ini pemeriksaan
nasofaring dengan endoskopi kaku adalah prosedur standar untuk mengevaluasi
pasien KNF pre dan postradioterapi. Pemeriksaan postradioterapi dilakukan secara
berkala untuk melihat residu tumor maupun tumor residif.
Tabel 4.14 Kesesuaian Hasil Pemeriksaan Nasofaringoskopi dengan
Skintigrafi Tc-99m(MIBI)
Nasofaringoskopi
Skintigrafi
+ -
+ 2 -
- 14 29
Ket: Sensitivitas = 12,5%; Spesifitas = 100%; Akurasi = 70,4%
Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan nasofaringoskopi adalah pemeriksaan
yang sangat spesifik tetapi tidak sensitif dan mempunyai validitas yang rendah
untuk mengevaluasi residu tumor postradiasi. Basuki (2002) mendapatkan
pemeriksaan nasofaringoskopi mempunyai kekurangan karena tidak dapat
mendeteksi tumor submukosa, sedangkan CT scan mempunyai kekurangan karena
tidak dapat membedakan residual masa suatu fibrosis atau residu masa tumor. Tc-
99m(MIBI) mempunyai sensitivitas 90,9%, spesifitas 82,4%, akurasi 85,7% yang
analog dengan MRI.52
4.4 Pembahasan
Dari tabel 4.1 diketahui hasil penelitian menunjukan penderita KNF tipe III
lebih banyak ditemukan pada laki-laki bila dibandingkan dengan wanita yaitu
sebesar 2:1. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Khabir et al.38
Hal yang sama juga dilaporkan oleh Wite, dan Chan.1-2
Basuki
(2002)22
di RSHS Bandung mendapatkan laki-laki:perempuan=2-3:1 Dari semua
penelitian yang ada menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering menderita KNF
dibanding wanita, hal ini diduga oleh karena laki-laki lebih sering terpapar dengan
zat karsinogen antara lain tembakau, alkohol, terpapar asap rokok. Lin dkk
menyatakan bahwa terdapat efek sinergis yang kuat terutama pada kombinasi
faktor-faktor nonmakanan dengan merokok.1,2,13
Kelompok usia yang paling banyak terkena pada penelitian ini ( tabel 4.1)
adalah <35 tahun dan > 55 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian Gondowiarjo18
dan penelitian oleh Canon et al yang
menyatakan bahwa karsinoma nasofaring terutama diderita oleh penderita berusia
lebih dari 30 tahun. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Lin et al20
dan Chan.1
Distribusi usia pada KNF ternyata tidak jauh berbeda dengan distribusi usia pada
keganasan kepala dan leher sebagaimana dilaporkan Bhuguridkk. Di Pakistan dan
penelitian Lam dkk di Australia.
Sebagian besar penderita pada penelitian ini datang pada stadium lanjut.
Sebanyak 28 (62,2%) datang pada stadium IV dan 13 ( 28,8) datang pada stadium
III (tabel 4.1). Hal ini disebabkan pada stadium dini tidak ada keluhan yang khas
dan dapat pula disebabkan letak tumor yang tersembunyi.28
Hasil ini sesuai dengan
yang didapatkan Armiyanto sebanyak 93,34% dari 30 kasus datang pada stadium
lanjut, Muyassaroh 100% dari 39 kasus, Hadi 95,29% dari 129 kasus datang pada
stadium lanjut. Dari semua penelitian yang ada menunjukkan bahwa penderita KNF
selalu datang pada stadium lanjut.
Untuk mengetahui ekspresi LMP-1 pada penelitian ini digunakan teknik
immunohistokimia dengan menggunakan antibodi monoklonal CS1-4 yang
diproduksi oleh DAKO Denmark, dan didapatkan ekspresi LMP-1 sebesar 66,7%.
Sementara sisanya sebesar 33,3% tidak mengekspresikan LMP-1 (tabel 4.2). Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian-penelitian yang telah ada. Gondowiarjo
(1998)18
mendapatkan 50,6% kasus KNF mengekspresikan LMP-1. Penelitian
yang dilakukan di Yogyakarta oleh Bambang H(2006)23
mendapatkan ekspresi
LMP-1 sebesar 57%. Soehartono dari FK UNIBRAW (2006)21
mendapatkan hasil
ekspresi LMP-1 sebesar 65%. Sedangkan Miller .et al dan Lin20
mendapatkan
ekspresi LMP-1 sebesar 70% dan 65%.19,20
Penelitian tersebut diatas menggunakan
teknik pewarnaan imunohistokimia untuk menentukan ekspresi LMP-1. Dapat
disimpulkan bahwa dengan teknik ini hanya sebagian KNF yang mengekspresikan
LMP-1, sedangkan sebagian lagi tidak didapatkan adanya ekspresi LMP-1.
Perbedaan ekspresi ini kemungkinan dipengaruhi oleh status methylasi dari
promotor LMP1 ( EBV genome 169,546-170,110, genkbank acces number:V1555).
Pada KNF dengan Ekspresi LMP1, promotor LMP1 nya tidak mengalami
Methylasi, sedangkan KNF tanpa ekspresi LMP1, promotor LMP1 nya akan
mengalami methylasi. Keadaan ini tergantung dari interaksi antara genom EBV dan
sel pejamu. Oleh karena itu pada sebagian kasus KNF, LMP1 tidak dapat
terdeteksi. 9-13
Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara
ekspresi LMP-1 dan jenis kelamin maupun usia (tabel 4.3, dan 4.4). Hal ini sesuai
dengan sebagian besar penelitian tentang LMP-1 yang mendapatkan bahwa tidak
ada hubungan antara usia dan ekspresi LMP-1. Berbeda dengan penelitian Khabir et
al (2005) yang melaporkan ekspresi LMP-1 berhubungan dengan usia. Dikatakan
bahwa ekspresi LMP-1 diekspresikan lebih tinggi pada juvenille.38
Perbedaan hasil
penelitian ini dimungkinkan karena pada penelitian ini usia paling muda penderita
adalah 22 tahun, sehingga kemungkinan hal tersebut yang membuat tidak ada
korelasi antara LMP-1 dan usia.
Respons tumor primer terhadap terapi radiasi pada penelitian ini didapatkan
sebesar 66,7% adalah respons lengkap , artinya tidak didapatkan adanya residu
tumor primer ataupun di KGB leher. Sedangkan sisanya sebesar 33,3% repons
sebagian. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa respons terapi pada KNF tipe III
belum memuaskan karena masih banyak yang memberikan respons sebagian. Hai
ini sesuai dengan Sandrine,14
Chan,17
dan Basuki di RSHS Bandung yang
melaporkan bahwa sekitar 15-48% kasus KNF memberikan respon rendah terhadap
radiasi eksterna.52
Didapatkan hubungan yang bermakna antara ekspresi LMP-1 dan Metastasis ke
KGB regional serta stadium lokoregional (tabel 4.6, dan 4.7) hal ini sesuai dengan
teori yang mengatakan bahwa ekspresi LMP-1 akan membuat tumor menjadi lebih
agresif , tumbuh lebih cepat, tidak terkontrol dan bermetastasis lebih sering
dibandingkan dengan KNF yang tidak disertai ekspresi LMP-1.17,19,25
Hal ini
disebabkan karena adanya peningkatan protein A20 yang diinduksi oleh LMP-1.
Protein A20 adalah substrat yang menghambat proses apoptosis melalui
penghambatan efek sel terhadap TNF (tumor nekrosis faktor). Dengan dihambatnya
proses apoptosis maka tumor akan terus berkembang meskipun terdapat kerusakan
pada DNAnya.17,19,24,25
Pada penelitian ini ternyata didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara
ekspresi LMP-1 dan respons tumor primer terhadap terapi radiasi (tabel 4.12).
Penelitian yang dilakukan oleh Gondowiarjo(1998)18
memberikan hasil yang sama
yaitu tidak didapatkan adanya hubungan antara ekspresi LMP-1 dengan respons
terapi. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bambang (2004)23
yang
mengatakan LMP-1 akan mempengaruhi respons terapi. Perbedaan ini
kemungkinan bisa disebabkan karena beberapa hal antara lain jumlah subjek yang
berbeda, teknik pemberian radiasi dan teknik evaluasi respons terapi. Untuk
evaluasi penelitian ini menggunakan pemeriksaan skintigrafi sedangkan penelitian
terdahulu menggunakan CT-scan untuk evaluasi respons terapi. Faktor lain yang
sangat berpengaruh terhadap respons terapi adalah teknik pemberian radiasi.
Penilain respons terapi pada penelitian ini dilakukan setelah radiasi selesai,
sehingga sulit untuk menentukan respons terapi antara KNF yang disertai ekspresi
LMP-1 dan tidak disertai ekspresi LMP-1. Maka diperlukan penelitian lanjutan
untuk menilai respons terapi per fraksi, dengan demikian dapat diketahui respons
tumor primer secara lebih akurat.
4.2 Uji Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
Karsinoma nasofaring dengan ekspresi LMP1 memiliki respons yang lebih buruk
terhadap terapi radiasi dibandingkan dengan karsinoma nasofaring tanpa ekspresi
LMP1.(Premis 2,4)
Dari hipotesis diatas dapat dirumuskan hipotesis statistik sebagai berikut:
Ho : tidak terdapat hubungan antara ekspresi LMP-1 dan respons terapi
H1 : terdapat hubungan antara ekspresi LMP-1 dan respons terapi.
Dari analisis statistik test Pearson Chi-Square (tabel 4.13) didapatkan: X2 =
3,192; p=0,362 atau p>0,005. Berarti tidak didapatkan hubungan antara ekspresi
LMP-1 dengan respons tumor primer terhadap terapi radiasi. Hasil yang didapat,
pada penderita KNF WHO tipe III dengan LMP-1 positif menunjukkan hasil
respons terapi lengkap 63,3% dan respons terapi sebagian sebesar 36,7%.
Sedangkan pada pasien dengan LMP-1 negatif menunjukkan hasil respons terapi
lengkap 73,3% dan respons sebagian 26,7%.
Dari pengujian hipotesis diatas maka dapat disimpulkan bahwa secara
statistik hipotesis penelitian tidak diterima (Ho diterima dan H1ditolak).
Artinya bahwa respons tumor primer terhadap terapi radiasi pada karsinoma
nasofaring WHO tipe III tidak dipengaruhi oleh ekspresi LMP-1.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Umum
Respons terapi radiasi eksterna penderita karsinoma nasofaring WHO tipe III tidak
dipengaruhi oleh ekspresi LMP-1 pada jaringan tumor .
5.2 Kesimpulan Khusus
1. Prevalensi LMP-1 didapatkan 66,7% dari 45 kasus KNF WHO tipe III
meliputi LMP-1 lemah 7(15,5%), LMP-1 sedang 13(28,8%), dan LMP-1
kuat 10 (2,2%). Tidak tampak adanya TATE masif. Sedangkan LMP-1
negatif sebesar 15(33,3%) kasus.
2. Respons terapi radiasi pada pasien karsinoma nasofaring WHO tipe III masih
belum memuaskan yaitu hanya 28(62,2%) penderita memperlihatkan respons
lengkap, sedangkan 16(35,6%) penderita memperlihatkan respons sebagian
dan menjadi progresif 1 (2,2%) penderita.
3. Terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi LMP-1 dengan
metastasis ke KGB regional dan stadium lokoregional dengan angka
kemaknaan p=0,005.
4. Penderita KNF WHO tipe III dengan LMP-1 positif menunjukkan hasil
respons lengkap 63,3%, sedangkan penderita dengan LMP-1 respons 73,3%
terhadap terapi radisi. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada pengaruh
ekspresi LMP-1 terhadap respons terapi radiasi.
5. Tidak didapat hubungan yang bermakna antara adanya LMP-1 pada tumor
primer dan jenis kelamin dan usia.
6. Pemeriksaan nasofaringoskopi memiliki sensitivitas 12,5%, spesifitas 100%,
dan tingkat akurasi 70,4%, yang berarti mempunyai validitas yang rendah
untuk mengevaluasi adanya residu tumor primer postradiasi.
5.3 Saran
1. Untuk mengevaluasi respon terapi pasien KNF disarankan dilakukan
pemeriksaan penunjang lain selain nasofaringoskopi agar dapat menilai
keberhasilan terapi dan menilai adanya residu tumor dengan lebih baik oleh
karena hal ini mempengaruhi penanganan pasien lebih lanjut. Pemeriksaan
penunjang lain yang disarankan adalah skintigrafi Tc-99m(MIBI).
2. Masih tingginya angka kegagalan radiasi dalam memberantas seluruh sel
kanker di nasofaring membutuhkan penelitian lebih lanjut.
3. Penelitian mengenai peran LMP-1 pada keganasan belumlah seragam. Sehingga
masih dibutuhkan penelitian-penelitian lebih lanjut.
Daftar Pustaka
1. Chan ATC, Teo PML, Johnson P.J. Nasopharyngeal carcinoma. Ann
Oncol.2002;13:1007-15
2. Wite MC, Neil HB. Nasopharyngeal cancer. Dalam: Bailey BJ, Healey GB,
Johnson JT, Jackler RK, Calhound KH, Pilsbury HCdkk, penyunting. Head and
neck surgery-otolaryngology, Edisi ke-3. Philadelphia. Lippincot Williams &
Wilkins; 2001. h. 1413-26.
3. Chia KS, Lee HP. Epidemiology. Dalam: Chong VFH, Tsao SY, Editor
Nasopharyngeal carcinoma. Singapore: Armour Publ PTE Ltd; 1997. h. 1-5.
4. Shandra I, Widyaputra SS, Silitonga LR. Studi perbandingan insidensi
karsinoma nasofaring tahun 1996-2000 antara data di Bagian PA FKUP RSHS
Bandung dengan data di Bagian PA FKUI RSUPN CM. Bandung: Bagian
Patologi Anatomi FKUP RSHS; 2001.
5. Research Centre for Non Communicable Disease NIHRD-Department of
Health. Cancer cases as diagnosed by 17 Department of Pathology in Indonesia
(1977-1979). Jakarta; 1980.
6. Nendyo, Wiratno. Karsinoma nasofaring di SMF THT RSUP Dr. Kariadi
Semarang tahun 1990-1994. Semarang: SMF THT RSUP Dr. Kariadi; 1995
7. Data histopatologi. Jakarta: Bagian Patologi Anatomi FKUI; 1995-2001.
8. Buku daftar kunjungan penderita di Bagian THT-KL FKUP Perjan RS Dr.Hasan
Sadikin Bandung; 1999-2005.
9. Itami J, Anzai Y, Nemoto K, Yasuda, Aruga T, Hatano K dkk. Prognostic
factors for local control in nasopharyngeal cancer : Analysis by multivariate
proportional hazard models. Radiother and Oncol. 1991;21:233-39.
10. Sandrine F, Francois J, Jean-Pierre A. Optimal management of nasopharyngeal
carcinoma. Curr Opinion Oncol. 2004. h. 231-5.
11. Standar pelayanan Profesi Radioterapi Kanker Nasofaring. Jakarta:
Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia; 2002.
12. Zhan CW, Lan ZD, Shen LK. Long term observation after radiotherapy for
nasopharyngeal carcinoma. Int.J.Radiation Oncology Biol.Phys 1989;16:311-4
13. Andrew van Hasselt, Alan Gibb, Nasopharyngeal carcinoma, Edisi ke-2,
1999.h:32-38.
14. Erle RS, Raab-Traub N, Epstein Barr virus in the pathogenesis of NPC, Dalam
Epstein Barr Virus, 2005; Cp 7, h 71,
15. Niedobitek G. Epstein Barr virus infection in the pathogenesis of
nasopharyngeal carcinoma,J Clin Pathol: Mol Pathol. 2000;53:248-54.
16. Gulley ML. Molecular diagnosis of Epstein Barr-virus related disease, J of
molecular diagnostic. Februari 2001; 3 (1).
17. Hu L, Boris T, Xiangning Z, Pankai T, Differences in the immunogenicity of
latent membrane protein 1 encoded by Epstein-Barr virus genomes derived from
LMP-1 positive and negative nasopharyngeal carcinoma. Cancer research
October, 2000;60:5589-93.
18. Gondowiarjo S. Faktor prediksi respon radiasi pada karsinoma nasofaring,
Disertasi untuk memperoleh gelar doktor pada program pasca sarjana
Universitas Indonesia, Jakarta. 1998
19. Miller,W.E, Earp H.S, Traub, N.R,. ‘The Epstein-Barr virus latent membrane
protein 1 induces expression of the epidermal growth factor receptor’, J Vir.
1995; 69, (7), 4390–98.
20. Lin H.S, ‘Malignant nasopharingeal tumors’, eMedicine journal. (Diunduh 25
Desember 2007). Tersedia dari: URL:http://www/emedicine.com/ent/topic
269.html.
21. Soehartono. Hubungan antara ekspresi latent membrane protein-1 dengan
peningkatan ekspresi epidermal growth factor receptor pada karsinoma
nasofaring jenis undifferentiated , Universitas Brawijaya, Malang. 2006.
22. Basuki H, Evaluasi respons terapi menggunakan technetium-99m hexakis-2
methoxyisobuthylisonitrite(MIBI) skintigrafi pasien-pasien karsinoma
nasofaring post radiasi eksterna. Tesis:Bagian Kedokteran Nuklir FKUP RSHS
Bandung;2002.
23. Hariwijanto B, Surono A, Hariyadi, Prasetyowati T, Mubarika S. Expression of
EBNA1 & LMP1-EBV peptide and therapy response of NPC. Bagian THT-KL
FK UGM; 2006.
24. Tsang, N.M. Detection of Epstein-Barr virus derived latent membrane protein-1
gene in various head and neck cancers : Is It Specific for nasopharyngeal
carcinomas ? ,Laryngoscope, 2003; 113 (6), 1050-5.
25. Tsang NM, Hao SP, Chang Kai-Ping. Monitoring tumor Recurrence with
Nasopharyngeal Swab and Latent membrane protein-1 and EBNA-1 Gene
Detection in Treated Patients with Nasopharyngeal Carcinoma. Laryngoscope.
2004; 114:2027-2030
26. Pathmanathan R. EBV virus and NPC. Dalam UICC workshop on
nasopharyngeal cancer : Issues and Challenges 1998. Singapore Cancer Society,
1998: 50-54
27. Lee HP. Endemic NPC in East Asia. Dalam UICC Workshop on
Nasopharyngeal Cancer : Issues and Challenges 1998. Singapore Cancer
Society, 1998: 35-8.
28. Hu Li-Fu. Nasopharyngeal Carcinoma and Epstein-Barr Virus. Buku Disertasi,
Microbiology and Tumor Biology Center (MTC), Karolinska Institutet, 1996,
Sweden.
29. Huang DP, HO, Chan WK, Lau WH, LUI M. Cytogenetics of undifferentiated
nasopharyngeal carcinoma xenografts from southern Chinese. Int.J.
Cancer.1989;43:963-9.
30. Stanley RE, Fong KW. Clinical presentation & diagnosis. Dalam: Chong YFH,
Tsao SY, penyunting. Nasopharyngeal carcinoma. Singapore: Armour
Publ.Pte.Ltd; 1997. H. 206-34.
31. Shanmugaratnam K, Sobin LH. International histological classification of
tumor. Genewa: WHO; 1998.
32. Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia. Standar pelayanan radioterapi
kanker nasofaring di sub Bagian Radioterapi RSHS. Bandung: Bag Radiologi
RSHS; 2002.
33. Murray, PG, Young, LS, Epstein-Barr virus infection: Basis of malignancy and
potential for therapy. Cambridge University Press. 2001;1-18.
34. Xu J. Analysis and significance of anti latent membrane protein-1 antibodies in
the sera of patients with EBV associated diseases. J Immunol. 2000: 2815– 22.
35. Roezin A, Mahfuzh F. The role of Epstein Barr virus in head and neck
malignancies, Indonesian J Oncology.1995; 6 (1), h. 34-42.
36. Jia WH, Shao JY, Feng BJ,dkk. Genetic component involved in nasopharyngeal
carcinoma development. Cancer Reviews Asia Pacific. Singapore: World
Scientific Publishing Co; 2003.
37. Chien YC, Chen CJ. Epidemiology and etiologi of nasopharyngeal carcinoma:
Gene-environment interaction. Cancer Reviews Asia Pacific. Singapore; World
Scientific Publishing Co; 2003.
38. Hill RP. Cellular basis of radiotherapy. Dalam: Tannock IF, Hill RP,
Penyunting. The basic science of oncology. New York: Mc Graw-Hill. Inc.
Health professions division, 1992:259-75,276-304
39. Lawrence TS, Davis MA, Mayboum J, Mukhopadhyay SK, Stetson PL. The
potential superiority of bromodeoxyuridine to iododeoxyridine as a
radiosensitizer in the treatment of colorectal cancer. Cancer
research.1994;52:3698-704.
40. Khabir A, Karray H, Rodriguez S, Rose M, dkk. EBV latent membrane protein I
abundance correlates with patient age but not with metastatic behavior in north
African nasopharyngeal carcinoma, J Vir;2005,2:39.
41. ICMR Bulletin. Epidemiological and etiological factors associated with
nasopharyngeal carcinoma, September,2003,Vol 33 ;No 9
42. Lung ML. Functional approaches to localize and identify tumor suppressive
region required for development of nasopharyngeal carcinoma. Dalam: Cancer
Reviews Asia Pacific. Singapura: World Scientific Publishing Co; 2003.
43. Melamed I, Stein L. Epstein-Barr virus induces actin polymerization in human
B cells. J Immunol, 1994; 22: 1998-2003.
44. Chew CT. Risk factors, symptoms and diagnosis of nasopharyngeal carcinoma.
Cancer Reviews Asia Pacific Singapura, World Scientific Publishing Co; 2003.
45. Bishop J, Huang P, Johnson PJ, Sham JST, Soo KC. Cancer review Asia Pasific:
Nasopharyngeal carcinoma. Singapore: World Scientific Publ Co Pte Ltd;
2003.h.77-93.
46. Rauf S, Surimah S. Beberapa aspek karsinoma nasofaring di RS Dr. Hasan
Sadikin (1973-1976). Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah Konas V PERHATI,
Semarang ;1977. h.553-564.
47. Soedijono. Deteksi dini dan penatalaksanaan kanker nasofaring di bidang THT.
Dalam: Naskah lengkap seminar kanker sehari. Surabaya, Yayasan Kanker
Indonesia Wil. Jatim; 1989.h.59-90.
48. Kentjono WA. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring masa kini.Dalam: Naskah
lengkap simposium kanker nasofaring dan demo biopsi nasofaring dengan
tehnik aspirasi jarum halus. Surabaya ;2003. h.24-41.
49. Miura T, Hirabuki N, Nishiyama K, Hashimoto T, Kawai R. Computed
tomographic findings of nasopharyngeal carcinoma with skull base and
intracranial involvement. Cancer. 1990; 65: h.29-37.
50. Soetjipto D. Karsinoma nasofaring: Mungkinkah melakukan diagnosis dini?.
Dalam: Kumpulan naskah ilmiah PIT PERHATI. Bukit Tinggi.1993: h.284-297.
51. Sheng ZY, Sham JS, Tai QX, Qing GY. Immunoglobulin-A against viral capsid
antigen of Epstein-Barr virus and indirect mirror examination of the
nasopharyng. Dalam: The detection of asymptomatic nasopharyngeal
carcinoma. Cancer. 1991;1(69): h. 3-7.
52. Pathmanathan R. Pathology. Dalam: Chong VFH, Tsao SY, Nasopharyngeal
carcinoma. Singapore: Armour Publ PTE Ltd; 1997. h. 6-13.
53. Peters LJ, Rischin D, Corry J, Harari PM. Cancer of the nasopharynx. Dalam:
Harrison LB, Session RB, Hong WK, penyunting. Head and neck cancer a
multidisiplinary approach. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2004. h. 529-59.
54. Danny F, Dukers, Pauline Meij, Marcel BHJ, Vervoort, dkk. Direct
immunosuppressive effects of EBV-encoded latent membrane protein 1. J
Immunol. 2000;16:663-670.
55. Begg AC. Prediction of tumor response. Dalam: Steel GG, penyunting. Basic
clinical radiobiology for radiation oncologist. Boston: Little, Brown and Co.
Edward Arldold Publ; 1993. h. 201-10.
56. Schantz SP, Harrison LB, Hong WK. Cancer of the head and neck. Dalam: De
Vita VT, penyunting principle and practice of radiation oncology. Edisi ke-5.
Philadelphia USA: Lippincot-Raven Publ; 1997. h. 765-71.
57. Sandrine F, Francois J, Jean-Pierre A. Optimal management of nasopharyngeal
carcinoma. Curr Opinion Oncol. 2004;16:231-5.
58. Hellman S. Principles of cancer management: radiation therapy. Dalam: De
Vita, Hellman S, Rosenberg SA, penyunting. Cancer: principles and practice of
oncology. Philadelphia: JB Lippincot Co; 1997. h. 441-53.
59. Chan ATC, Teo PML, Ngan RK, Leung TW, Lau WH, Zee B, et al. Concurrent
chemotherapy-radiotherapy compared with radiotherapy alone in locoregionally
advanced nasopharyngeal carcinoma: Progression-free survival analysis of a
phase III randomized trial. Am Soc Clin Onco. 2000;10:78-92.
60. Perez CA. Nasopharynx. Dalam: Perez CA, Brady LW, penyunting. Principle
and practice of radiation oncology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincot-Raven
Publ; 1997. h. 897-939.
61. Murray, P.G., Young, L.S., 2001, ‘Epstein-Barr virus infection: Basis of
malignancy and potential for therapy’, Cambridge University Press. 1-18.
INFORMASI PENELITIAN
Penjelasan mengenai penelitian: Perbandingan Respons Tumor Primer
Terhadap Terapi Radiasi Antara Karsinoma Nasofaring WHO Tipe III Yang
Disertai Ekspresi LMP-1 dan Tanpa Ekspresi LMP-1.
Tim peneliti di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL sedang melakukan penelitian
untuk mengetahui apakah respon terapi radiasi pada karsinoma nasofaring WHO tipe
III yang disertai dengan ekspresi LMP1 lebih buruk bila dibandingkan dengan
karsinoma nasofaring yang tidak mengekspresikan LMP1.
Kejadian karsinoma nasofaring dibagian THT-KL RSHS cukup tinggi.
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan tertinggi (47%) dari seluruh keganasan
kepala leher. Secara histopatologi, karsinoma nasofaring dibagi menjadi tiga yaitu
tipe berkeratin, tidak berkeratin dan tidak berdiferensiasi. Insidensi tertinggi adalah
tipe tidak berdiferensiasi (WHO tipe III) yaitu 60%. Karsinoma nasofaring tidak
berdiferensiasi bersifat radiosensitiv sehingga terapi utama adalah radioterapi. Tetapi
dari data yang ada, respons terpi radiasi masih belum memuaskan. Hal ini
ditunjukkan dengan masih tingginya angka karsinoma nasofaring respons rendah
terhadap terapi radiasi yaitu +/- 15-48%. Banyak factor yang mempengaruhi respons
terapi radiasi, antara lain adanya ekspresi LMP1 pada jaringan tumor.
Tujuan penelitian ini:
Membuktikan bahwa respons terapi radiasi dipengaruhi oleh ekspresi LMP-1
pada sel tumor.
Mengapa Anda terpilih:
Anda terpilih untuk ikut dalam penelitian ini karena Anda menderita kanker
nasofaring tipe tidak berdiferensiasi (WHO tipe III), belum bermetastasis
jauh dan diputuskan mendapat terapi radiasi eksterna.
Prosedur:
Bila Anda bersedia, maka Anda diharapkan menandatangani lembar kesediaan
dan dokter akan mencatat identitas, pemeriksaan nasofaringoskopi ulang
untuk menentukan stadium tumor nasofaring. Kemudian akan kami beri surat
pengantar untuk menjalani terapi radiasi di Bagian Radioterapi. Satu bulan
setelah menjalani radioterapi secara lengkap, Anda kami harapkan kontrol
kembali ke Bagian THT-KL untuk melakukan pemeriksaan nasofaringoskopi
dan skintigrafi. Pemeriksaan LMP-1 sendiri akan kami lakukan dari bahan
biopsi nasofaring yang sudah ada di Bag Patologi Anatomi.
Resiko dan ketidaknyamanan
Untuk penelitian ini, Anda mungkin akan merasakan ketidaknyamanan saat
pemeriksaan nasofaringoskopi. Mungkin Anda akan merasakan nyeri, tetapi
dokter akan memberikan obat anestesi berupa semprotan dilubang hidung
sebelum pemeriksaan untuk mencegah timbulnya nyeri. Pada saat
pemeriksaan skintigrafi, Anda akan merasakan nyeri saat penyuntikan obat
kedalam pembuluh darah tetapi nyeri hanya sedikit seperti biasanya bila Anda
disuntik. Selama ini tidak pernah dilaporkan adanya komplikasi yang berat
atau mengkhawatirkan dari tindakan tersebut.
Manfaat :
Manfaaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini ialah dapat mencegah
pemilihan terapi yang tidak tepat sehingga penderita mendapat terapi yang
efektif. Dapat memberikan informasi kepada penderita dan keluarga
mengenai kemungkinan penyembuhan terapi dengan terapi radiasi.
Kesukarelaan
Keikut sertaan Anda dalam penelitian ini bersifat sukarela disertai tanggung
jawab sampai selesainya penelitian ini. Anda bebas menolak ikut dalam
penelitian ini. Ketidak ikut sertaan Anda tidak akan mempengaruhi
penanganan penyakit yang anda alami. Bila anda telah memutuskan untuk
ikut serta, Anda juga bisa mengundurkan diri setiap saat dengan alasan
apapun tanpa menyebabkan perubahan kualitas pelayanan dokter. Namun bila
Anda tidak mengikuti dan memenuhi prosedur yang diberikan oleh peneliti,
Anda tidak akan diikutsertakan dalam penelitian ini.
Kerahasiaan data:
Selama anda ikut dalam penelitian ini, setiap informasi dan data penelitian ini
akan diperlakukan secara rahasia sehingga tidak memungkinkan untuk
diketahui oleh orang lain
Penyulit dan kompensasi
Semua biaya yang terkait dengan penelitian ini akan ditanggung oleh peneliti. Dan
bila terjadi komplikasi dari pemeriksaan yang dilakukan selama penelitian, maka
biaya penenganan komplikasi akan ditanggung oleh peneliti. Dalam keadaan adanya
penyulit atau hal-hal yang belum dimengerti, Anda diberi kesempatan untuk
menanyakan semua hal yang berhubungan dengan penelitian ini kepada dr. Agung
Dinasti di Bag THT-KL Fakultas kedokteran Unpad/Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin
Jl. Pasteur 38 Bandung. Telp 022-2034472. No. HP: 0811222641
RIWAYAT HIDUP
Nama : Agung Dinasti Permana
NPM : L2S 060110/MSN 04004
Tempat/tanggal lahir : Sukabumi, 8 Februari 1976
Alamat : Jl Prof.Ir. Sutami No. 129 Bandung
Nama istri : Ratu Tri Ayu Meisti, SiP
Nama anak : Najma Dhiyaa Permana
Cahaya Danika Permana
Nama orang tua : Komjen Pol (purn). Drs. H. Nana S. Permana
Betty Hadiaty Noor
Pendidikan
1982 : SD Budi Waluyo, Jakarta
1988 : SMPN 56 Melawai, Jakarta
1991 : SMAN 6, Jogjakarta
1994 :Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha,
Bandung
2004 : PPDS-I Ilmu Kesehatan THT-KL, RSHS, Bandung
2006 : Mengikuti Magister Kesehatan, Program Pascasarjan
Combined Degree Unpad, Bandung.