pneumonia lobaris
DESCRIPTION
Presus AnakTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pneumonia adalah suatu radang pada parenkim paru. Proses peradangan
tersebut terbanyak disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, dan jamur),
selain itu dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor lain (inhalasi bahan kimia atau
makanan, radiasi, dll).(1)
Pneumonia lobaris sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada
sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terjadi pada
lobus paru.(2,3)
Pneumonia lobaris lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal ini
dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik.
Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering pneumonia lobaris pada dewasa dan
anak besar adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.(4, 5, 6)
Insidensi pneumonia lobaris di negara-negara yang sedang berkembang
pada anak kurang dari 5 tahun diperkirakan sekitar 30% dengan angka mortalitas
yang tinggi. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok
walaupun ada berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal di atas disebabkan
oleh munculnya organisme nosokomial (didapat dari rumah sakit) yang resisten
terhadap antibiotik. Adanya organisme-organisme baru dan penyakit seperti AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang semakin memperluas spektrum dan
derajat kemungkinan terjadinya pneumonia lobaris.(2)
B. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan memahami tentang pneumonia lobaris mengenai
definisi, etiologi dan epidemiologi, patologi dan patogenesis, manifestasi klinis,
diagnosis dan diagnosis banding, penatalaksanaan, pencegahan dan prognosisnya.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : An. Jonas Alfa Risky Purbajan
Umur : 1 Bulan 9 Hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Dlikosari Blotongan Sidorejo Salatiga
Tanggal Masuk : 13 Mei 2012
Tanggal Keluar : 20 Mei 2012
B. Anamnesa
1. Keluhan Utama : Batuk
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien batuk sejak 4 hari SMRS, dahak (+), darah (-). Dahak tidak bisa
keluar.
Pilek (+), sesak nafas (+) hari saat masuk RS.
Demam (-), kejang (-), menggigil (-), mual (-), muntah (-).
Bab cair (+) hari saat masuk RS 2-3 x, warna kuning, lendir (-), darah (-).
Bak (+) normal, menetek (-), minum susu formula (+).
Sudah berobat, diberi obat batuk tapi tidak membaik.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dengan gejala yang sama (-), riwayat alergi (-), riwayat
mondok (-).
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah riwayat TBC luar paru (+).
5. Riwayat Imunisasi
Polio (+), Hepatitis B (+), BCG (+).
6. Riwayat Lingkungan
Asap rokok dirumah (-), ventilasi terbuka.
2
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum: Sesak
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital Sign : Heart Rate : 146x/menit
Suhu : 37,30C
Respirasi : 54x/menit
4. BB : 4,9 kg TB : cm Status Gizi : Baik
5. Status Umum
a. Kepala : Konjunctiva anemis (-), sklera ikterik (-), sianosis (-),
nafas cuping hidung (+)
b. Leher : Pembesaran limfonodi (-), JVP ≠ meningkat.
c. Thorax : Simetris (+), ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
ronki +/+, wheezing -/-
d. Abdomen : Simetris (+), distensi (-), peristaltik (+) dbn, supel (+),
nyeri tekan (-), timpani (+)
e. Ekstremitas : Deformitas (-), edema (-), sianosis (-), akral hangat (+)
f. Intergumen : Turgor (+) baik, ikterik (-), sianosis (-)
D. Pemeriksaan Penunjang
Leukosit : 8,5 (4,5-10) . 103/µL
Eritrosit : 3,5 (4,5-5,5) . 106 /µL
Hemoglobin : 10,8 (14-18) g/dl
Hematokrit : 32,7 (40-54) %
MCV : 92,6 (85-100) FL
MCH : 30,6 (28-31) Pg
MCHC : 33,0 (30-35) g/dl
Trombosit : 581 (150-450) . 103 /µL
LED : I Jam : 2 (3-8) mm
: II Jam : 5 (5-18) mm
Hitung Jenis
3
Segmen : 54 (36-66)
Limfosit : 38 (22-40)
Monosit : 8 (4-8)
Rontgen Thorax
Cor : Dalam batas normal
Pulmo : Gambaran pneumonia apex dextra, lobaris
E. Diagnosa Sementara
Pneumonia Lobaris Dextra
F. Diagnosis Banding
Bronkopneumonia
ISPA
Bronkitis
Bronkiolitis
G. Terapi
O2 1 L/menit
Inf Kaen 3B µ 12 tpm + drip Aminopilin 24 mg
Inj Dexametason 2x0,2 cc
Inj Cebactam 3x60 mg
Nebul 3x (Ventolin ½ Amp + Flexotid ½ Amp + NaCl 2 cc)
PO : Sanmol mg 50
Epexol mg 2,5 3x1
Colergis tab I
Ketricin mg 0,1
Epexol mg 2,5 3x1
Lasal mg 0,25
4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pneumonia lobaris adalah peradangan pada paru dimana proses
peradangannya ini menyerang lobus paru.(2,6)
Pembagian atau penggolongan pneumonia berdasarkan atas dasar
anatomis kurang relevan dibanding pembagian pneumonia berdasar etiologinya.
Berdasar etiologinya, pneumonia dibagi : (1) bakteri (Diplococcus pneumoniae,
Pneumococcus, S.hemolyticus, S.aureus, H.influenza,dll), (2) virus (RSV,
influenza, adenovirus, CMV), (3) Mycoplasma pneumoniae, (4) Aspirasi
(makanan, kerosen, cairan amnion, benda asing), (5) Pneumonia hipostatik, (6)
Sindrom Loeffler. (3,4,5)
B. Etiologi
Pneumonia lobaris lebih sering ditimbulkan oleh invasi bakteri.
Golongan bakteri yang sering menyebabkan ataupun didapatkan pada kasus
pneumonia lobaris adalah (3,4,5):
1. Bakteri gram positif
a. Pneumococcus
b. Staphylococcus aureus
2. Bakteri gram negatif
a. Haemophilus influenzae
b. Klebsiella pneumoniae
Bakteri gram positif
1. Pneumococcus
Merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada kasus
pneumonia. Pneumokokus dengan serotipe 1 sampai 8 menyebabkan
pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80%, sedangkan pada anak
ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9. angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia
5
kurang dari 4 tahun dan mengurang dengan meningkatnya umur. Pneumonia
lobaris hampir selalu disebabkan oleh pneumokokus, ditemukan pada dewasa
dan anak besar.(3,5)
Pneumokokus jarang yang menyebabkan infeksi primer, biasanya
menimbulkan peradangan pada paru setelah adanya infeksi atau kerusakan oleh
virus atau zat kimia pada saluran pernafasan.(8)
• Patofisiologi
Organisme ini teraspirasi ke bagian tepi paru dari saluran nafas bagian
atas atau nasofaring. Awalnya terjadi edema reaktif yang mendukung
multiplikasi organisme-organisme ini serta penyebarannya ke bagian paru lain
yang berdekatan. Biasanya satu lobus atau lebih, atau bagian-bagian dari lobus,
tidak melibatkan sisa sistem bronkopulmonal. Namun, gambaran pneumonia
lobar ini sering tidak ada pada bayi, yang mungkin menderita penyakit yang
tidak lebih sempurna dan difus yang menyertai distribusi bronkus dan yang
ditandai dengan banyak daerah konsolidasi teratas di sekeliling jalan nafas
yang lebih kecil. Jarang didapatkan jejas yang permanen.(5)
Umumnya bakteri ini mencapai alveoli melalui percikan mukus atau
saliva (droplet) dan tersering mengenai lobus bagian bawah paru karena
adanya efek gravitasi. Organisme ini setelah mencapai alveoli akan
menimbulkan respon yang khas yang terdiri dari 4 tahap yang berurutan, yaitu :
1) Kongesti (4 s/d 12 jam pertama)
Eksudat serosa masuk ke dalam alveoli melalui pembuluh darah yang
berdilatasi dan bocor. Serta didapatkan eksudat yang jernih, bakteri dalam
jumlah yang banyak, neutrofil, dan makrofag dalam alveolus.
2) Hepatisasi merah (48 jam berikutnya)
Paru-paru tampak merah dan bergranula karena sel-sel darah merah,
fibrin dan lekosit polimorfonuklear mengisi alveoli. Lobus dan lobulus yang
terkena menjadi padat dan tidak mengandung udara, warna menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar. Stadium ini berlangsung sangat singkat.
3) Hepatisasi kelabu (3 s/d 8 hari)
6
Lobus paru masih tetap padat dan warna merah menjadi tampak kelabu
karena lekosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli dan
permukaan pleura yang terserang melakukan fagositosis terhadap
pneumococcus. Kapiler tidak lagi mengalami kongesti.
4) Resolusi (7 s/d 11 hari)
Eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali pada strukturnya semula.(2,3,5)
Bercak-bercak infiltrat yang terbentuk pada pneumonia lobaris adalah
bercak-bercak yang tidak teratur, berbeda dengan bronkopneumonia dimana
penyebaran bercaknya mengikuti pembagian dan penyebaran bronkus dan
ditandai dengan adanya daerah-daerah konsolidasi terbatas yang
mengelilingi saluran-saluran nafas yang lebih kecil.(2,3)
• Gambaran Klinis
Biasanya didahului dengan adanya infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Pada bayi bisa disertai dengan hidung tersumbat, rewel
serta nafsu makan yang menurun. Suhu dapat naik secara mendadak sampai
39oC atau lebih. Anak sangat gelisah, dispneu. Kesukaran bernafas yang
disertai adanya sianosis di sekitar mulut dan hidung. Tanda kesukaran bernafas
ini dapat berupa bentuk nafas berbunyi (ronki dan friction rub di atas jaringan
yang terserang), pernafasan cuping hidung, retraksi-retraksi pada daerah
supraklavikuler, interkostal dan subkostal. Pada awalnya batuk jarang
ditemukan, tapi dapat dijumpai pada perjalanan penyakit lebih lanjut serta
sputum yang berwarna seperti karat (dahak berdarah). Lebih lanjut lagi bisa
terjadi efusi pleura dan empiema, dimana keadaan ini dapat menyebabkan
ketinggalan gerak pada sisi yang terkena pada saat respirasi yang dapat dilihat
dengan gerakan berlebihan pada sisi yang berlawanan. Biasanya perkusi redup
pada daerah efusi dengan pengurangan fremitus dan suara pernafasan. Suara
bronkial sering ditemukan tepat di atas batas cairan dan pada sisi yang tidak
terkena.(3,5,8)
Hasil pemeriksaan fisik tergantung dari luas daerah yang terkena. Tanda-
tanda klasik konsolidasi ditemukan pada hari kedua dan ketiga penyakit. Pada
7
perkusi bisa ditemukan adanya suara redup, fremitus yang bertambah. Pada
auskultasi mungkin ditemukan adanya suara bronkial, ronki basah halus.(3,5)
• Diagnosis
Biasanya jumlah lekosit meningkat mencapai 15.000 – 40.000/mmk
dengan jumlah sel polimorfonuklear terbanyak, sedangkan bila didapatkan
jumlah lekosit kurang dari 5.000/mmk sering berhubungan dengan prognosis
penyakit yang buruk. Nilai hemoglobin bisa normal atau sedikit menurun. (3,5,8)
Pemeriksaan sputum harus didapatkan dari sekresi batuk dalam dan
aspirasi trakea yang dilakukan dengan hati-hati. Pada kebanyakan pasien,
pneumokokus dapat diisolasi dari sekresi nasofaring, tapi penemuan ini tidak
dapat dipandang sebagai hubungan sebab-akibat, karena 10-15% populasi
mungkin merupakan pengidap S.pneumoniae yang tidak terinfeksi. Namun,
isolasi bakteri dari darah pada cairan pleura adalah diagnosa infeksi.
Bakteremia ditemukan pada sekitar 30% penderita yang menderita pneumonia
pneumokokus. Jenis pemeriksaan berupa pemeriksaan makroskopik,
mikroskopik dan biakan.(3,5,8)
Gambaran radiologis dapat berupa konsolidasi pada satu atau beberapa
lobus. Konsolidasi dapat diperagakan dengan roentgenografi sebelum
konsolidasi ini dapat diketahui dari pemeriksaan fisik. Konsolidasi lobus pada
anak yang lebih tua tidak sesering pada bayti dan anak muda. Foto Roentgen
dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pneumotoraks, atelektasis,
abses paru, pneumatokel, pneumotoraks, pneumomediastinum, atau
perikarditis.(3,5)
• Diagnosa banding
Pneumonia pnemokokus tidak dapat dibedakan dari pneumonia bakteri
lain atau virus tanpa pemeriksaan mikrobiologi yang tepat. Keadaan-keadaan
yang mungkin merancukan antara lain bronkiolitis, bronkitis alergika, gagal
jantung kongestif, aspirasi benda asing, atelektasis, abses paru dan
tuberkulosis.(3,5)
• Komplikasi
8
Dengan penggunaan antibiotika, komplikasi pneumonia bakteria menjadi
tidak lazim, walaupun infeksinya terjadi bersamaan dengan infeksi oleh
mikroorganisme lain pada temapat yang sama. Komplikasi yang sering terjadi
ialah empiema, yang terjadi sebagai akibat dari perluasan infeksi pada
permukaan flora. Empiema lebih sering terjadi pada bayi dibanding pada anak
yang lebih tua.(3,5,8)
• Penatalaksanaan
Penisilin merupakan terapi yang spesifik karena kebanyakan
pneumococcus sangat peka terhadap obat tersebut. Pada bayi dan anak-anak,
pengobatan awal dimulai dengan pemberian penisilin G dengan dosis 50.000
unit/kgBB/hari secara intramuskular dan ditambah dengan kloramfenikol 50-75
mg/kgBB/hari atau diberikan antibiotika yang mempunyai spektrum luas
seperti ampisilin. Terapi ini dilanjutkan sampai 10 hari atau paling tidak
sampai 2 hari setelah suhu badan pasien normal. Bila didapatkan penderita
alergi penisilin maka diberikan sefalosporin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari. .(3,5,9)
Asupan cairan per oral secara bebas dan pemberian aspirin untuk
mengatasi demam tinggi, merupakan tambahan utama untuk pengobatan
penyakit ini. Jenis cairan yang digunakan ialah campuran glkukose 5% dan
NaCl 0,9% dalam perbandingan 3:1 ditambah dengan larutan KCl 10 mEq/500
ml botol infus. Pemberian oksigen segera untuk penderita dengan kesukaran
bernafas sebelum menjadi sianosis.(3,5,8)
• Prognosis
Dengan pemberian antibiotika yang memadai dan dimulai secara dini
pada perjalanan penyakit tersebut, maka mortalitas pneumonia lobaris akibat
bakteri pneumokokus selama masa bayi dan masa kanak-kanak sekarang
menjadi kurang dari 1% dan selanjutnya morbiditas yang berlangsung lama
juga menjadi rendah.(3,5)
9
2. Staphylococcus aureus
Infeksi yang disebabkan oleh organisme ini merupakan infeksi berat yang
cepat menjadi progresif dan resisten terhadap pengobatan, serta bila tidak
segera diobati dengan semestinya akan berhubungan dengan kesakitan yang
berkepanjangan dan mempunyai angka mortalitas tinggi. Penyakit
bronkopneumonia akibat organisme ini jarang ditemukan.(4,7)
Seperti pada infeksi pneumokokus, infeksi stafilokokus ini sering
didahului dengan infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas. Pada
umumnya terjadi pada setiap umur, 30% dari semua penderita berumur di
bawah 3 bulan dan 70% berumur di bawah 1 tahun. Epidemi penyakit ini
terjadi di dalam ruang perawatan bayi, biasanya berhubungan dengan strain-
strain organisme patologis spesifik, yang biasanya resisten terhadap berbagai
antibiotika. Bayi akan memperlihatkan penyakit dalam beberapa hari setelah
dikolonisasi atau setelah beberapa minggu kemudian. Infeksi virus pada
saluran pernafasan memegang peranan penting dalam memajukan penyebaran
stafilokokus, di antara bayi-bayi dan dalam mengubah kolonisasi menjadi
penyakit.(5)
• Patofisiologi
Stafilokokus menghasilkan bermacam-macam toksin dan enzim misalnya
hemolisin, lekosidin, stafilokinase dan koagulase. Koagulase akan mengadakan
interaksi dengan suatu faktor plasma untuk menghasilkan suatu zat aktif yang
mengubah fibrinogen menjadi fibrin dan selanjutnya menyebabkan
pembentukan koagulan.(8)
Permukaan pleura biasanya diselubungi oleh lapisan eksudat fibropurulen
tebal, sehingga menimbulkan abses yang mengandung koloni stafilokokus,
lekosit, eritrosit dan debris nekrosis. Bila abses ini pecah maka dapat terbentuk
trombus-trombus sepsis pada daerah-daerah yang mengalami kerusakan dan
peradangan luas.(5,8)
• Gambaran Klinis
10
Adanya riwayat lesi-lesi kulit penderita atau anggota keluarga lain yang
disebabkan oleh staphylococcus disertai gejala-gejala infeksi saluran
pernafasan bagian atas atau bawah selama beberapa hari sampai 1 minggu.
Penderita mengalami demam bersuhu tinggi, batuk dan tanda kesukaran
pernafasan seperti takipneu, suara pernafasan yang meningkat, retraksi dada
dan subkostal, nafas cuping hidung, sianosis dan kecemasan. Pada beberapa
penderita dapat mengalami gangguan saluran cerna yang ditandai dengan
muntah-muntah, anoreksia, diare serta distensi abdomen.(3,5,8)
Pemeriksaan fisik pada awal perjalanan penyakit, suara-suara pernafasan
yang menurun, ronkhi yang tersebar dan suara-suara pernafasan bronkhial. Bila
terjadi efusi atau empiema, pada perkusi didapatkan suara redup serta getaran-
getaran suara yang berkurang pada auskultasi.(3,5,7)
• Diagnosis
Didapatkan adanya lekositosis (AL>20.000/mmk) terutama sel-sel
polimorfonuklear, pada bayi muda angka leukosit dapat tetap dalam kisaran
normal. Bila didapatkan lekopeni maka prognosisnya buruk, sering ditemukan
adanya anemia ringan sampi sedang. Biakan didapatkan dari aspirasi trakea
atau pungsi pleura, dengan pewarnaan Gram didapatkan gambaran kokus gram
positif dalam kelompok. Penemuan kuman stafilokokus dalam nasofaring tidak
bernilai diagnostik, tetapi biakan darah mungkin positif. Pada cairan pleura
menunjukkan adanya eksudat dengan jumlah se-sel polimorfonuklear berkisar
dari 300 – 100.000/mmk, protein di atas 2,5 g/dl dan kadar glukosa rendah
yang relatif sama dengan kadar glukosa dalam darah.(5)
Gambaran radiologis berupa infiltrat yang menyatu dan biasanya
terbatas, atau dipadatkan dan homogen dan melibatkan seluruh lobus paru atau
hemitoraks.(5,8)
• Diagnosis banding
Mengenali pneumonia stafilokokus awal pada bayi sering sukar
dilakukan. Mulainya yang mendadak dan penjelekan gejala yang cepat harus
11
dipertimbangkan disebabkan oleh stafilokokus sampai terbukti lain. Riwayat
furunkulosis, baru masuk rumah sakit, abses payudara ibu harus
dipertimbangkan kemungkinan diagnosa ini. Pneumonia bakteri lain yang
menyebabkan empiema atau pneumatokel dapat merancukan diagnosa,
termasuk pneumonia streptokokus, klebsiella, H. influenza, pneumonia
pneumokokus dan tuberkulosis dengan kaverna. Kadang-kadang aspirasi benda
asing yang tidak radioopak dapat memberikan gambaran klinis dan radiologis
yang sama.(5)
• Komplikasi
Karena empiema, piopneumotoraks dan pneumatokel begitu sering
ditemukan bersama pneumonia ini, sehingga mereka dianggap bagian dari
perjalanan alamiah penyakit dan bukan sebagai komplikasi. Lesi septik di luar
saluran pernafasan jarang terjadi, kecuali pada bayi muda, yang padanya dapat
terjadi perikarditis, meningitis, osteomielitis, dan abses metastasis multipel
stafilokokus pada jaringan lunak.(5,8)
• Penatalaksanaan
Terapi terdiri atas pemberian antibiotik yang tepat, drainase kumpulan
nanah, pemberian oksigen, hidrasi dan pemberian nutrisi secara intravena.
Kadang-kadang dapat diperlukan bantuan ventilasi.(5)
Terapi pilihan yaitu dengan pemberian penisilin semi sintetik, resisten
penisilase (misal : nafsilin) 200 mg/kgBB/hari secara intra vena atau
seftriakson 100-150 mg/kgBB/hari secara intra vena atau dengan ampicilin 100
mg/kgBB/hari secara intra vena selama 14 hari, pada neonatus. Pada bayi dan
anak-anak antibiotika yang diberikan ialah sefuroksim 80-160 mg/kgBB/hari
secara intra vena dengan lama pemberian selama 10 hari. Uji resistensi pada
pneumonia stafilokokus sangatlah penting karena telah banyak yang resisten
terhadap beberapa antibiotika, namun mengingat cepatnya perjalanan penyakit
maka dianjurkan untuk memberikan antibiotika spektrum luas yang kiranya
12
belum resisten. Untuk infeksi stafilokokus yang membuat penisilinase dapat
diberikan linkomisin 10-20 mg/kgBB/hari secara intra vena.(3,5,9)
Selain itu bisa pula dilakukan drainase pus yang terkumpul, pemberian
oksigen disertai posisi penderita setengah miring untuk mengurangi sianosis
dan kecemasan. Bila paru sudah mulai mengembang, maka pipa-pipa drainase
bisa dilepaskan. Hal ini dikarenakan pipa-pipa tersebut tidak boleh berada di
dalam rongga toraks lebih dari 5 – 7 hari.(5)
• Prognosis
Angka kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan
penatalaksanaan sekarang, angka mortalitas berkisar dari 10 – 30% dan
bervariasi dengan lamanya sakit yang dialami sebelum penderita dirawat, umur
penderita, pengobatan yang memadai serta adanya penyakit yang menyertai.
Semua penderita dengan hasil biakan staphylococcus yang positif sebaiknya
harus diuji terhadap kemungkinan fibrosis kistik dan terhadap penyakit
defisiensi imunologis.(3,5)
Bakteri gram negatif
1. Haemophilus influenzae
Infeksi yang serius akibat bakteri patogen ini lebih banyak ditemukan
pada bayi dan anak-anak, teriutama yang belum mendapatkan vaksinasi
hemofilus, dan sangat berhubungan dengan adanya riwayat meningitis, otitis
media, infeksi traktus respiratorius dan epiglotitis.(5,8)
• Patofisiologi
Pneumonia H. influenza penyebarannya biasanya lobar, tetapi tidak ada
tanda roentgenogram dada yang khas. Terjadi infiltrat segmental, keterlibatan
lobus tunggal atau multipel, efusi pleura dan pneumatokel. Penyebaran dari
infeksi di tempat lain adalah secara hematogen. Daerah yang terinfeksi
memperlihatkan adanya reaksi peradangan dengan sel-sel lekosit
polimorfonuklear ataupun sel-sel limfosit disertai dengan penghancuran sel-sel
13
epitel bronkiolus secara meluas. Peradangan ini selanjutnya menimbulkan
edema yang disertai dengan perdarahan.(5,6,8)
• Gambaran Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan tidak jauh berbeda dengan gambaran
klinis yang diakibatkan oleh pneumokokus, pneumonia H. influenza lebih
sering mulai secara tersembunyi dan biasanya perjalanannya lama selama
beberapa minggu. Batuk hampir selalu dijumpai tapi mungkin tidak produktif.
Pada penderita di sini juga dijumpai adanya demam serta tanda kesukaran
bernafas, takipnea dan pernafasan cuping hidung.(5)
Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan suara redup yang terlokalisasi
saat perkusi serta adanya suara pernafasan bronkial; cairan pleural sering ada
pada roentgen dada pada bayi muda.(5,6,8)
• Diagnosis
Adanya biakan bakteri ini yang memberikan arti positif. Kultur
didapatkan dari darah, cairan pleura maupun dari aspirasi paru yang
memperlihatkan adanya lekositosis sedang disertai dengan limfopenia relatif.
Bila tidak ada biakan positif, uji aglutinasi lateks urin yang positif dapat
dipakai untuk mendukung diagnosis ini. Selain itu bisa pula dengan
pemeriksaan elektroforesis imunologis berlawanan (counter
immunoelectrophoresis) pada sekresi-sekresi trakea, darah, air kemih dan
cairan pleura untuk menegakkan diagnosis lebih dini. Bila ditemukan adanya
atelektasis, bronkoskopi mungkin terindikasi untuk mengesampingkan adanya
benda asing.(5,6,8)
• Komplikasi
Sering dijumpai adanya komplikasi, terutama pada bayi muda, dan
termasuk bakteremia, perikarditis, selulitis, empiema, meningitis dan piartrosis.
Meningitis terjadi pada 15% penderita yang lebih muda pada satu penelitian.(5)
14
• Penatalaksanaan
Terapi simtomatik dan suportif sama dengan terapi pada pneumonia
pneumokokus dan stafilokokus. Obat antibiotika pilihan adalah kloramfenikol
dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dan ampisilin 100 mg/kgBB/hari atau
seftriakson 100 mg/kgBB/hari secara intra vena harus dimasukkan sebagai
terapi antibiotika inisial sampai diketahui apakah organisme penghasil
penisilinase; jika strain tersebut sensitif, cukup diberikan ampisilin 100
mg/kgBB/hari saja. Uji kepekaan dan resistensi sangat penting.(5,9)
Tindakan drainase diindikasikan bila terdapat efusi pleura dan piartrosis.(5)
• Prognosis
Bila respon awal terhadap pengobatan baik maka diharapkan bakteri
penyebab akan melemah dan tidak mampu lagi menyebar terlalu jauh. Namun
apabila terdapat penyakit penyerta seperti bakteremia, empiema maka hal
tersebut akan memperburuk prognosisnya.(8)
2. Klebsiella pneumoniae
Organisme ini termasuk gram negatif yang ditemukan pada traktus
respiratorius dan traktus gastrointestinal pada beberapa anak sehat. Organisme
ini jarang menimbulkan infeksi pada anak-anak. Infeksi akibat Klebsiella
pneumoniae ini bisa timbul sebagai kasus sporadis pada neonatus. Banyak bayi
mengandung organisme ini dalam nasofaring mereka tanpa memperlihatkan
adanya tanda-tanda sakit klinis hanya sesekali saja seorang bayi mengalami
sakit berat. Bahan-bahan yang menyebarkan infeksi sehingga menularkan
adalah peralatan yang dipakai di dalam ruang pemeliharaan bayi dan alat
pelembab udara sebagai sumber-sumber utama infeksi nosokomial dengan
organisme tersebut.(8)
• Patofisiologi
15
Infeksi nosokomial yang timbul dari aspirasi orofaringeal. Bakteri ini
memasuki alveoli melalui peralatan yang dipakai dengan kecenderungan
merusak dinding alveolar. Daerah yang terinfeksi benar-benar mengalami
nekrosis disertai dengan adanya sejumlah pus yang banyak dan bahkan
jaringan setempat sudah fibrosis.(7)
• Gambaran Klinis
Keadaan pasien akibat infeksi Klebsiella pneumoniae ini adalah
kekakuan yang multipel pada onset yang mendadak, demam, batuk yang
produktif, nyeri pleuritis dan kelemahan yang tiba-tiba, serta dapat terjadi
hemoptisis.(7,8)
Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya suara redup saat perkusi
dan adanya ronki basah kasar saat auskultasi akibat banyaknya sekresi pus
pada kavitas paru.(5,7,8)
• Diagnosis
Ditegakkan dengan pemeriksaan radiologis dengan gambaran adanya
infiltrasi pada lobus paru dan pleura-pleura yang menonjol. Kultur bakteri yang
positif didapatkan dari darah, pus di trakea serta hasil aspirasi paru.(7,8)
• Penatalaksanaan
Penggunaan antibiotik baru berupa sefalosporin generasi ketiga sangat
dianjurkan karena obat ini terbukti efektif dalam melawan bakteri ini.
Kanamisin merupakan obat pilihan yang digunakan pada neonatus. Dosis yang
digunakan 15–20 mg/kgBB/hari secara intramuskuler setiap 8 jam selama
minimal 10 – 14 hari atau dengan gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari secara iv/im.
Terapi yang diperpanjang diindikasikan untuk penyebaran infeksi pada kavitas
paru.(3,7,8,9)
Bila sudah terdapat empiema, drainase perlu dilakukan untuk fungsi
pengembangan parunya.(3,7,8)
16
• Prognosis
Adanya penyakit penyerta seperti bakteremia, empiema dan kerusakan
parenkim sisa bisa memperburuk keadaan dan meningkatkan angka kematian.(8)
Pneumonia aspirasi
Aspirasi ini dapat terjadi karena terminumnya minyak tanah atau bensin.
Terdapat 2 teori tentang patogenesisnya, yaitu : (1) kerosene dapat mencapai paru
setelah diabsorpsi di traktus digestivus, (2) aspirasi terjadi sewaktu menelan
kerosen, muntah atau pada saat membilas lambung. Suhu tubuh dapat meninggi
dan kesadaran dapat menurun. Pneumonia aspirasi juga dapat terjadi pada
neonatus, yang sering terjadi ialah adanya aspirasi dari cairan amnion. Pengobatan
simtomatik dan antibiotika sebagai profilaksis, dapat diberikan kombinasi
penisilin atau ampisilin dengan gentamisin. Pada umumnya pembilasan lambung
tidak dilakukan untuk menghindari terjadinya aspirasi.(3,5)
Sindrom Loeffler
Pada sindrom ini terlihat gambaran foto toraks gambaran infiltrat besar
dan kecil yang tersebar, ada yang menyerupai tuberkulosis miliaris dengan batas
tidak tegas. Infiltrat dapat berpindah-pindah dari satu lobus ke lobus lainnya atau
dari paru satu ke paru yang lain. Infiltrat ini merupakan infiltrat eosinofil oleh
karena dijumpai banyak eosinofil pada infiltrat tersebut. Pada umumnya infiltrat
tersebut dianggap sebagai reaksi alergi terhadap protein asing yang di daerah
tropis dihubungkan dengan migrasi larva cacing Ascaris lumbricoides atau
lainnya, dari usus masuk ke peredaran darah dan paru. Darah menunjukkan
eosinofilia yang meningkat sebesar 40-70%. Penyakit ini biasanya tidak memberat
dan dapat sembuh sendiri setelah beberapa hari sampai beberapa bulan.
Pengobatannya terdiri atas antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder dan
antelmintika.(3,5)
Pneumonia hipostatik
17
Terjadi karena adanya kongesti pada paru yang lama, misalnya pada
penderita penyakit menahun yang berbaring lama. Kongesti paru bagian belakang
bawah mengakibatkan mudahnya kuman yang biasanya terdapat secara komensal
berkembang biak dan kemudian menyebabkan peradangan pada daerah paru.
Pencegahannya ialah dengan mengubah-ubah posisi berbaring.(3,5)
Pneumonia viral
Pneumonia yang disebabkan oleh virus terutama oleh Respiratory
Syncitial Virus (RSV) dan parainfluenza virus. Pada umumnya patogenesis
terjadinya infeksi tersebut belumdiketahui secara pasti, namun pada infeksi RSV
yang menyebabkan bronkiolitis atau pneumonia didapatkan nekrosis pada epitel
bronkioler dan infiltrate limfosit serta sel mononuclear peribronkioler, kadang
dapat dijumpai penebalan interalveoler dan pengisian ruangan antara alveolus
dengan cairan.(5,10)
Gambaran Klinis
Pada infeksi RSV menyebabkan spectrum penyakit saluran nafas yang
luas. Pada bayi 25-40% infeksi melibatkan saluran pernafasan bagian bawah,
meliputi pneumonia, bronkiolitis dan trakeobronkitis. Gejala klinis dimulai
dengan rinore, sedikit demam, dan gejala sistemik ringan, seringkali disertai
adanya mengi dan batuk. Sebagian besar pasien akan sembuh dalam waktu 1
sampa i2 minggu. Pada penyakit yang berat, dapat terjadi takipnea dan dispnea,
akhirnya dapat terjadi hipoksi yang jelas, sianosis dan apnea. Pemeriksaan fisik
dapat ditemukan adanya mengi, ronki dan suara abnormal paru lainnya yang
menyeluruh. Sinar X pada dada menunjukkan hiperekspansi, penebalan
peribronkial dan berbagai infiltrat berkisar dari infiltrat interstitial menyeluruh
sampai konsolidasi segmental atau lobar.(5,10)
Pada infeksi parainfluenza, gejala yang muncul ialah coryza (rabas
hidung yang muncul banyak sekali), sakit tenggorok, serak dan batuk dengan
atau tanpa sesak (croup). Pada batuk yang menyebabkan sesak, demam
menetap, dengan coryza dan sakit tenggorok yang memburuk. Batuk menyalak
18
atau menyerupai suara alat musik tiup dapat diamati dan dapat berkembang
menjadi stridor yang jelas. Penyembuhan terjadi setelah 1 sampai 2 hari,
meskipun kadang dapat terjadi sumbatan pada jalan nafas dan hipoksia yang
progresif. Jika berkembang menjadi bronkiolitis atau pneumonia dapat terjadi
batuk yang progresif disertai mengi, takipnea dan peningkatan produksi
sputum.(5,10)
Diagnosis
Diagnosis infeksi RSV dapat diperkirakan dari keadaan epidemiologik,
misalnya penyakit yang parah pada bayi selama wabah virus RSV dalam
masyarakat. Diagnosis secara pasti ditegakkan dengan isolasi virus dari sekret
saluran pernafasan, meliputi sputum, usapan tenggorok, atau bilasan
nasofaringeal. Virus dideteksi dalam biakan jaringan dan dapat dikebnali
secara spesifik dengan reaksi imunologis menggunakan imunofluoresens,
ELISA, atau teknik lainnya.(10)
Pencegahan dan terapi
Pengobatan infeksi virus pada saluran pernafasan bagian bawah terdiri
atas terapi pernafasan meliputi tirah baring, hidrasi, pengisapan secret dan
pemberian oksigen serta pemberian anti bronkospastik bila diperlukan. Pada
kasus yang berat, dapat dipertimbangkan pemasangan intubasi dan bantuan
pernafasan. Pada penelitian terhadap pemberian ribavirin aerosol pada infeksi
oleh RSV menunjukkan efek penyembuhan dan perbaikan gas darah. Pada
infeksi virus parainfluenza, terutama pada kasus yang berat, dapat diberikan
glukokortikoid sistemik dosis tinggi.(10)
Upaya pencegahan dapat diberikan vaksin, namun hingga sekarang
vaksin yang efektif untuk mengatasi infeksi tersebut belum ditemukan. Pada
RSV, telah dikembangkan imunisasi dengan glikoprotein permukaan F dan G
RSV yang sudah dimurnikan atau berupa virus hidup, stabil dan sudah
dimusnahkan. Sedangkan pada virus parainfluenza belum dikembangkan
vaksin yang efektif.(10)
19
C. Profilaksis
Tindakan profilaksis terhadap pneumonia maupun komplikasi yang
ditimbulkannya dapat dengan pemberian vaksin. Jenis vaksin yang beredar antara
lain : vaksin pneumokokal, vaksin conjugated H. influenza tipe B, vaksin
influenza, dan vaksin varisela.(11)
Dari semua vaksin yang tersedia, sekitar 80-90% adalah vaksin jenis
pneumokokal. Kebanyakan anak-anak di atas 2 tahun dan orang dewasa
mempunyai suatu respon antigen di dalam 2-3 minggu setelah vaksinasi. Sekitar
50% pasien yang divaksinasi timbul keluhan erythema dan/atau rasa sakit di
lokasi suntikan; sekitar 1% timbul demam, mialgia; dan 5 dari 1 juta orang yang
divaksinasi timbul reaksi anafilaksis atau reaksi serius yang lain.(8,11)
Vaksinasi direkomendasikan untuk anak-anak di atas 2 tahun dan pada
orang dewasa dengan resiko tinggi terhadap infeksi pneumokokus atau terhadap
komplikasinya, termasuk juga orang dengan penyakit kardiovaskuler dan paru
yang kronis, gangguan fungsi lien, asplenia, penyakit Hodgkin's, berbagai
myeloma, DM, infeksi HIV, sirosis hepatis, alkolholism, gangguan ginjal,
transplantasi organ, atau kondisi-kondisi lain dihubungkan dengan
immunosuppression dan anak dengan nefrosis.(5,8,11)
Anak dengan penyakit sel bulan sabit atau penyebab lain asplenia perlu
profilaksis dengan penisilin disamping juga dengan vaksin pneumokokal. Infeksi
saluran nafas atas yang rekuren pada anak-anak ( otitis media dan sinusitis) bukan
suatu indikasi untuk vaksinasi. Efek perlindungan vaksin ini masih belum
diketahui. Vaksinasi ulang setelah 5 sampai 10 tahun diindikasikan bagi mereka
dengan resiko tinggi.(11)
20
BAB III
PEMBAHASAN
Pada pasien ini didapatkan hasil anamnesis bahwa pasien menderita
batuk berdahak sejak 4 hari SMRS, darah (-), pilek (+), sesak (+), demam (-), Bab
cair (+) hari saat masuk RS 2-3 x, warna kuning, lendir (-), darah (-).
Pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan keadaan umum sesak,
kesadaran kompos mentis, heart rate 146x/menit, suhu 37,30C respirasi 54x/menit.
Pernapasan cuping hidung (+), ronki (+/+), retraksi (+).
Pemeriksaan laboratorium tidak terdapat peningkatan angka leukosit.
Terdapat sedikit penurunan hemoglobin yaitu 10,8 g/dl. Pada hasil hitung jenis
tidak terdapat peningkatan. Hasil rontgen thorax menunjukkan pneumonia apex
pulmo dextra.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa pasien mengalami pneumonia apex pulmo dextra, dengan
etiologi
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiono E, Hidyam B, Berkala Ilmu Kedokteran, dalam Pola Kuman
Pneumonia pada Penderita di RSUP Dr. Sardjito 1995 – 1998, Vol. 32, No. 3,
Penerbit FK UGM, Yogyakarta, 2000, hal: 161-164.
2. Price SA, Wilson LM, Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease
Processes (Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit), Edisi 4,
Penerbit EGC, Jakarta, 1995, hal: 709-712.
3. Alatas H, Hasan R (ed), Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak, Percetakan
Infomedika, Jakarta, 1986, hal: 1228-1235.
4. Soeparman, Waspadji S (ed), Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, 1995, hal: 695-705.
5. Behrman RE, Vaughan VC, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Bagian II, Edisi
12, Penerbit EGC, Jakarta, 1992, hal: 617-628.
6. Kumala P, dkk (ed), Kamus Saku Kedokteran Dorland, Edisi 25, Penerbit
EGC, Jakarta, 1998, hal: 167.
7. Bordow RA, Moser KM (ed), Manual of Clinical Problems in Pulmonary
Medicine with Annotated Key References, 2nd edition, Little Brown & Co
(Inc.), USA, 1986, pp: 85-105.
8. Rudolph AM, et al, Pediatrics, 14th edition, Appleton & Lange, California,
1987, pp:1427-1428.
9. Shulman TS, et al, Paduan penyakit Infeksi dan Terapi Antimikroba pada
Anak, EGC, Jakarta, 2001, hal 496-522.
10. isselbacher, et al, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 13,
Vol. 2, Penerbit EGC, Jakarta, 1995, hal. 906-909.
11. Shah Ira, Pneumonia in Children, http://
www.pediatriconcall.com/fordoctor/DiseasesandCondition/Faqs/Pneumonia.a
sp, 2001.
22