pola kebijakan ekonomi orde baruperiode oktober 1965 sampai maret 1966 adalah periode yang penuh...

27

Click here to load reader

Upload: tulus-ikhlas-telaumbanua

Post on 28-Jul-2015

532 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 sampai Maret

1966 adalah periode yang penuh dengan ketidak pastian. Di satu pihak Soekarno

masih enggan menggusur PKI, di lain pihak mahasiswa dan kekuatan politik

lainnya semakin gencar menuntut pembubaran PKI yang kemudian meluas

menjadi penggantian Presiden Soekarno . Dengan berakhirnya Demokrasi

Terpimpin yang begitu cepat pada periode kritis dari akhir akhir tahun 1965

hingga tahun 1967, mulailah Angkatan Bersenjata Indonesia yang di pimpin oleh

Jenderal Soeharto, berkuasa. Elit Angkatan darat dengan cepat mendefenisikan

kembali situasi itu sebagai suatu tindakan politik untuk mencegah berlanjutnya

disintegrasi di bidang-bidang sosial, politik dan ekonomi. Pada bulan Maret 1967

Jenderal soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden oleh MPRS. Pemerintah di

bawah Soeharto mewarisi keadaan ekonomi yang sudah yang sudah hampir

ambruk. Hutang luar negeri berjumlah $ 24.00 juta, laju inflasi mencapai 20-30%

sebulan, infrasrtuktur berantakan, kapasitas produksi sektor-sektor industri dan

ekspor sangat merosot dan pengawasan atas anggaran serta penarikan pajak sudah

tidak berfungsi lagi

Menghadapi kekacauan ekonomi itu, pemerintah baru bertekad untuk

membenahi keuangan negara. Dengan menggunakan pendekatan yang sangat

pragmatis sebagai konsep utamanya, yang berlawanan sepenuhnya dengan

kebijakan Demokrasi Terpimpin, pemerintah Orde Baru pada tanggal 1 Januari

1967 memberlakukan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan

Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tanggal 3 Juli

1968 sebagai UU. No. 6 tahun 1968. Kedua Undang-Undang itu dimaksudkan

untuk membuka perekonomian dan menggiatkan kembali dunia usaha swasta.

Kebijaksanaan itu di rumuskan dengan bantuan dan nasihat ahli-ahli ekonomi dan

tenaga-tenaga profesional selama itu mempunyai hubungan dengan Angkata Darat

.

1

Page 2: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

Orde Baru memutuskan untuk menerapkan tiga langkah pembangunan

ekonomi berikut pada masa awal pemerintahannya. Pertama, menjadwalkan

kembali pelunasan utang luar negeri sebagai langkah awal untuk mengembalikan

kepercayaan pihak luar negeri. Kedua, mengendalikan inflasi yang tak terkontrol

melalui program impor komoditi besar-besaran yang di biayai oleh pinjaman-

pinjaman hasil re-negoisasi. Ketiga, mengundang investasi sebesar-besarnya,

terutama investasi asing, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi . Pemerintah

yakin bahwa pertumbuhan karena suntikan modal dan teknologi akan meluber

secara spontan ke seluruh lapisan masyarakat.

Rencana ini diumumkan pada tanggal 5 Juli 1966 dalam Ketetapan MPRS

No. XXIII tentang “Pembaruan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan

Pembangunan”, yang merinci tiga tahap pembangunan. Pertama, tahap

penyelamatan, yakni mencegah kemerosotan ekonomi agar tidak menjadi lebih

buruk lagi. Kedua, tahap stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, yang mengendalikan

inflasi dan memperbaiki infrastruktur ekonomi. Ketiga, tahap pembangunan

ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi

Suatu pendekatan yang sepenuhnya a-politik atau non politik atau sebagai

suatu versi teknokratis, yang dianggap kunci bagi keberhasilan pelaksanaan upaya

tersebut terletak pada kestabilan politik. Dalam pendekatan itu, yang memandang

masalah-masalah ekonomi dari segi kuantitatif dan kebutuhan-kebutuhan akan

modal dan teknologi tersirat anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang

ditimbulkan oleh suntikan modal dan teknologi akan “meluber” secara spontan ke

seluruh lapisan masyarakat. Salah satu implikasi terpenting dari teori “Trickle

Down Effect” (tetesan ke bawah), yang hampir selama periode pemerintahan Orde

Baru sangat di percaya sebagai suatu model pembangunan ekonomi. Dalam

rangkaian teori ini, sangat erat kaitannya dengan teori yang dikembangkan oleh

Evsey Domar dan Roy Harrod , tentang tabungan dan investasi modal. Lebih jauh

Harrod dan Domar menguraikan teori pembangunan ekonomi yang didasarkan

pada jumlah tabungan dan investasi modal.

2

Page 3: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

Menurut kedua peneliti tersebut, kalau tabungan dan investasi rendah,

pertumbuhan ekonomi masyarakat atau negara tersebut juga rendah . Tampaknya

pemerintahan Orde Baru secara tidak langsung memakai rumus tersebut dalam

membangun benteng perekonomiannya, karena itu, berdasarkan pada model ini,

pemerintah Orde Baru mengejar kebangkrutan ekonomi yang di wariskan dengan

mencari tambahan modal, baik dari dalam negeri (dengan mengusahakan

peningkatan tabungan dalam negeri), maupun dari luar negeri (melalui penanaman

modal dan utang luar negeri). Untuk mendukung konstruktif pembangunan

ekonomi pasca pemerintahan Orde Lama yang telah hancur, pemerintahan Orde

Baru meminta dukungan IMF (International Monetary Fund).

Poin-poin penting yang disarankan untuk diterapkan oleh IMF adalah,

pertama, kekuatan pasar adalah kekuatan yang vital dalam stabilisasi ekonomi.

Kedua, untuk itu, maka keberadaan perusahaan negara tidak akan mendistorsi

pasar dengan tidak lagi menikmati fasilitas kredit dan alokasi devisa dari negara,

tidak melakukan monopoli dan menjual dengan harga subsidi. Ketiga, sebagai

insentif bagi sektor swasta maka lisensi impor terhadap bahan baku dan

perlengkapan tidak lagi di batasi. Terakhir adalah fasilitas insentif berupa

keringanan pajak dan lain-lain bagi penanaman modal baru yang di jamin oleh

Undang-Undang .

Hubungan baru antara IMF dengan pemerintahan Orde Baru bisa

dikatakan sebagai momentum awal dari pada ketergantungan (dependen)

pembangunan ekonomi Indonesia terhadap pihak eksternal atau luar negeri.

Selain faktor-faktor eksternal (bantuan/pinjaman luar negeri) yang di jalankan

oleh pemerintahan Orde Baru, berkaitan dengan masalah pembangunan ekonomi,

pemerintah di bawah komando Presiden Soeharto juga mengeluarkan kebijakan

dinamika politik bagi masyarakat Indonesia, dengan tujuan pencapaian stabilitas

politik yang nantinya di percaya dapat mempengaruhi pertumbuhan pembangunan

ekonomi. Dalam pemerintahan Orde Baru, pembangunan ekonomi di pahami

sebagai serangkaian upaya untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat,

3

Page 4: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

melalui langkah pencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi (menggerakan roda

ekonomi), dengan dukungan stabilitas politik yang tinggi (mantap), karena

dinamika politik merupakan hambatan bagi gerak ekonomi.

Asumsi tersebut berdasarkan pengalaman yang menurut pemerintahan

Orde Baru adalah kemacetan ekonomi di masa rezim Soekarno. Maka karena

kepercayaan terhadap stabilitas politik lebih utama di bandingkan dengan

permasalahan lainnya, pemerintahan Orde Baru memasuki wilayah politik baru,

yaitu Negara-Birokrat-Otoriter (NBO) , yang memang tidak dapat dipisahkan

dengan model pembangunan ekonomi “Trickle Down Effect”. Menurut O’

Donnell, Negara-Birokratik-Otoriter (NBO) memiliki karakteristik sebagai

berikut, pertama: posisi-posisi puncak pemerintahan biasanya di jabat oleh orang-

orang yang sebelumnya telah berhasil ketika mereka berada dalam organisasi

birokrat, misalnya, organisasi militer, pemerintah dan perusahaan-perusahaan

swasta besar. Kedua, dalam NBO akan selalu ada pembatasan partisipasi politik

yang ketat (political exclusion).

Ketiga, dalam NBO juga ada pembatasan dalam partisipasi ekonomi

(economic exclusion). Keempat, negara mengembangkan kebijaksanaan

depolitisasi dan demobilisasi massa. Secara ringkas, NBO ini dicirikan oleh

adanya peran dominan para birokrat, khususnya militer yang daripadanya lahir

kebijaksanaan pembatasan partisipasi politik dan ekonomi, serta muncul

kebijaksanaan depolitisasi dan demobilisasi . Dalam kajiannya tentang Indonesia

untuk periode permulaan Orde Baru (1966-1971), Mohtar Mas’oed menggunakan

konsep NBO yang dikembangkan oleh O’Donnell dan menggabungkannya

dengan konsep korporatisme. Menurut Mas’oed, lahirnya kembali bentuk negara

otoriter di Indonesia pada awal Orde Baru disebabkan oleh : pertama, oleh

warisan krisis ekonomi dan politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an.

Struktur politik yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya memiliki kecendrungan

untuk memberikan kekuasaan yang berlebihan pada pemerintahan. Lebih dari itu,

pada masa tersebut Orde Baru hendak berusaha secara cepat memproleh

4

Page 5: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

legitimasi politiknya, karena menurutnya, Soekarno masih memiliki pengaruh

yang tidak kecil dan pendukung yang tidak sedikit. Kedua, koalisi intern Orde

Baru yang memaksa untuk segera melakukan restrukturisasi ekonomi secara

radikal juga menyebabkan lahirnya NBO di Indonesia.

Orde Baru memilih untuk dengan segera melakukan stabilisasi ekonomi

yang memberikan peluang yang besar kepada modal domestik dan modal

internasional untuk terlibat, sekalipun kebikasanaan ini dibayar dengan harga

mahal. Ketiga, orientasi ekonomi keluar yang dirumuskan oleh Orde baru pada

masa akhir tahun 1960-an dan berlanjut pada tahun 1970-an adalah adalah satu

faktor yang mendesak pemerintah untuk memilih bentuk NBO. Dengan adanya ke

tiga faktor tersebut, Mas’oed menyimpulkan bahwa mengharapkan adanya

bangunan politik demokratis pada awal Orde Baru merupakan harapan yang tidak

realistik, kalau bukan khayalan . Keunikan teori NBO yang dikembangkan oleh

Mas’oed, dalam melihat kasus di Indonesia adalah urgensi faktor krisis politik

lebih bertanggung jawab terhadap lahirnya pemerintahan yang otoriter dari Orde

Baru dibanding variabel ekonomi. Selain keunikan teori NBO yang di

kembangkan oleh Mas’oed,

semua karakteristik struktural NBO yang di kemukakan oleh O’ Donnell

sepenuhnya dapat di jumpai pada sistem Politik Orde Baru . Pertama, pemerintah

Orde Baru hampir dapat dikatakan berada di bawah kendali militer secara

organisatoris yang bekerja sama dengan teknokrat sipil. Kedua, modal domestik

swasta besar yang memiliki hubungan khusus dengan negara, dan modal

internasional memiliki peran ekonomis yang menentukan. Ketiga, hampir seluruh

bentuk kebijaksanaan pembangunan yang dilahirkan, sejak dari proses

perencanaan sampai pada evaluasinya sepenuhnya berada pada tangan birokrat

dan teknokrat. Keempat, ada kecenderungan kuat dalam pemerintahan Orde Baru,

secara terencana, melakukan demobilisasi massa, kususunya yang dilakukan

dengan kebijaksanaan massa mengambang (floating mass). Kelima, dalam

menanggapi kritik dan para penentangnya,

5

Page 6: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

pemerintah Orde Baru tidak segan-segan melakukan tindakan tegas.

Terakhir, dan merupakan ciri khusus untuk Indonesia, dapat dijumpai pada

otonomi dan besarnya peran kantor kepresidenan, yang diwujudkan dengan

demikian luas wewenang yang ada pada Sekretariat Negara . Implikasi kebijakan

stabilisasi politik pada masa Orde Baru dengan munculnya Negara-Borokratik-

Otoriter (NBO), pada mulanya sedikit membawa imbas positif bagi pertumbuhan

ekonomi di Indonesia. Hal ini terbukti dengan perekonomian yang tumbuh rata-

rata 7,9% per-tahun, dan bahkan tahun 1968 tingkat pertumbuhan mencapai 10%.

Laporan resmi pemerintah menyebutkan

Repelita I (1969/1970-1973/1974) pertumbuhan rata-rata 9,9% per-tahun,

jauh di atas target yang telah ditentukan sebesar 5% per-tahun. Booming ekonomi

ini mendapat sokongan besar lagi dari pendapatan minyak Indonesia pada Pelita

Kedua dan Ketiga. Namun, akibat dari munculnya NBO ini, tanpa disadari

pemerintahan Orde Baru mangalami dampak serius mengenai pola pembangunan

ekonomi di Indonesia, karena pemerataan pembangunan melalui proses “menetes

kebawah” (trickle down effect) atau “luberan” (spill over) yang direncanakan

pada awal permulaan tidak dapat terjadi di seluruh lapisan masyarakat Indonesia,

justeru malah sebaliknya, pemerataan pembangunan hanya terjadi pada level elit

penguasa dan elit pengusaha pemilik modal besar.

Sedangkan masyarakat bawah, yang bisa dikatakan sangat minim modal

dan hubungan atau patron dengan negara tidak dapat merasakan pemerataan

pembangunan yang selalu di giat-giatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Dan

khususnya mengenai masalah-masalah non-ekonomi, seperti masalah sosial,

politik dan budaya, masyarakat Indonesia mengalami alienasi struktural karena

keberadaanya yang tidak mudah berkembang berdasarkan tradisi lokal yang telah

di milikinya. Memang telah di sebutkan diatas bahwa pada awalnya pertumbuhan

ekonomi berdampak positif bagi devisa negara, terutama di saat Indonesia

mengalami booming minyak 1974-1982, tetapi di balik itu semua ada kemacetan

dalam pembangunan masyarakat Indonesia, karena dengan munculnya kekuatan

6

Page 7: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

NBO, masyarakat Indonesia selalu di jadikan objek massifikasi bagi

terselenggaranya pembangunan pemerintah Orde Baru. Masyarakat Indonesia

pada masa pemerintahan Orde Baru dijauhkan dari segala macam aktivitas politik

maupun ekonomi. Setiap warga masyarakat yang mencoba mengkritisi

pemerintahan Orde Baru selalu dijawab dengan tindakan “subversif” dan isu-isu

bahaya laten komunisme. Negara pada saat itu merupakan unsur pemaksa yang

paling kuat, seakan-akan tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat melawannya.

Lembaga-lembaga politik yang pro-demokrasi, seperti partai politik dan Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) yang tidak ter-patronase dengan pemerintahan Orde

Baru, diatur dan dikontrol dengan mesin politik yang dikenal sebagai paket 5 UU

politik yang memang telah disusun sedemikian rupa sehingga posisi negara dalam

menjalankan pembangunan ekonomi tidak dapat dihambat dengan dinamika

politik. Pada sekitar tahun 1998, atau kurang lebih semenjak 32 tahun Orde Baru

berkuasa, Indonesia mengalami dampak buruk dari pembangunan ekonomi yang

di jalankan.

Krisis ekonomi terjadi, akibat daripada kebijakan ekonomi yang

dilakukan oleh negara beserta aparaturnya. Dalam teori dependensi baru, krisis

yang dialami oleh negara Indonesia pada saat pemerintahan Orde Baru berkuasa

di karenakan 2 faktor penyebab, faktor pertama adalah faktor eksternal, yaitu

utang luar negeri, yang menyebabkan ketergantungan pemerintah terhadap

negara/lembaga donor. Dan faktor kedua adalah faktor internal, yang antara lain :

pertama, buruknya efesiensi organisasi dan efesiensi perekonomian yang

berdampak pada merosotnya daya saing. Kedua, buruknya distribusi sumberdaya

nasional dalam segala bentuknya yang berakibat pada mencoloknya gejala

kesenjangan sosial. Ketiga, buruknya insentif untuk melakukan pekerjaan-

pekerjaan produktif karena terdorong untuk mencari jalan pintas. Keempat,

buruknya hubungan antara pemerintah dengan masyarakat yang berakibat pada

meningkatnya gejala instabilitas politik . Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun

1998, semakin meluas menjadi krisis politik yang justeru menyebabkan semakin

parahnya kondisi perekonomian Indonesia.

7

Page 8: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

Demonstrasi mahasiswa merebak ke seluruh penjuru nusantara. Rupiah

yang sempat menguat Rp. 7.000 per satu dollar AS, melemah kembali ke tingkat

Rp. 9.000. Lebih-lebih setelah pemerintah memustuskan menaikan harga BBM.

Harga kebutuhan pokok serta merta turut melambung. Bara api kemarahan

mahasiswa yang ketika itu sudah semakin menyala, seperti mendapat siraman

bahan bakar. Kian memburuknya kondisi perekonomian di Indonesia

menyebabkan pecahnya aksi-aksi kerusuhan massal di beberapa tempat di

Indonesia. Rupiah kian terpuruk ke tingkat Rp. 12.000 per satu dollar AS, yang

akhirnya dimulai dengan drama politik baru dengan pendudukan DPR/MPR oleh

ribuan mahasiswa. Setelah gedung DPR/MPR di tumpah-ruahi oleh para

mahasiswa yang menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya sebagai

presiden RI, maka nilai rupiah semakin melorot ke tingkat Rp. 16.000 per satu

dollar AS, dan puncaknya adalah ketika secara monumental Soeharto akhirnya

sepakat turun dari jabatannya dan menyerahkan kursi kepresidenannya kepada

B.J. Habibie. Mengenai kejatuhan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenannya,

serta faktor-faktor yang berdiri di belakang krisis ekonomi yang melanda

Indonesia, Revrisond Baswir mengemukakan lima faktor riil dalam latar belakang

tersebut , pertama, buruknya beberapa indikator ekonomi makro, seperti rasio

tabungan-investasi dan rasio angsuran hutang.

Kedua, merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang

berujung pada buruknya inefesiensi dan kesenjangan. Ketiga, meledaknya

kerusuhan massal sebagai akibat kian parahnya kesenjangan. Keempat,

meningkatnya perlawanan dunia terhadap berbagai kebijakan ekonomi Indonesia

yang bersifat diskriminatif. Kelima, meningkatnya ketegangan politik menjelang

terjadinya pergeseran formasi politik dan suksesi. Dengan kelima faktor itu,

Revrisond Baswir ingin mengatakan bahwa krisis ekonomi di Indonesia bukanlah

sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Ia telah di rintis sejak lama melalui

pembentukan rezim kekuasaan yang bersifat monopolis, atau menurut O’ Donnell

dan Mas’oed adalah dengan rezim Negara-Birokratik-Otoriter (NBO). Monopoli

8

Page 9: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

kekuasaan itu pada gilirannya menyebabkan merajalelanya KKN. Dengan

merajalelanya KKN, maka tidak hanya penyimpangan di berbagai sektor

cenderung meluas, kesenjangan ekonomi cenderung melebar. Akhirnya KKN

mendorong terjadinya pelestarian kekuasaan tanpa batas. Dan apa yang pernah di

alami oleh Soekarno, pada akhirnya juga di alami oleh Soeharto, yaitu permintaan

suksesi kursi kepresidenannya oleh rakyat.Pola Kebijakan Ekonomi Pasca Orde

Baru Setelah kekuasaan Orde Baru runtuh bersama pemimpinnya, yaitu Soeharto,

maka secara sepihak B.J. Habibie naik menggantikan Soeharto sebagai Presiden

RI yang ketiga. Pelimpahan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie menjadi

kontroversial. Masalahnya adalah selain kekuasaan Habibie masih mengandung

kontroversi, tantangan dan sifat pemerintahan Habibie belum sepenuhnya dapat di

bedakan dari pemerintahan Soeharto.

Di satu pihak, pemerintahan Habibie di bangun atas struktur kekuasaan

yang monopolis, sehingga membuka peluang di lanjutkannya praktek KKN dalam

berbagai bentuknya. Dari segi pembangunan ekonomi, pemerintahan Habibie

(pada masa itu terkenal dengan Orde Reformasi) mendapati pola yang sama

dengan pemerintahan Orde Baru, yakni ketika pemerintahan Orde Baru mewarisi

pemerintahan Orde Lama dengan hutang luar negeri yang cukup besar. Begitu

juga dengan pemerintahan Habibie yang harus menanggung beban hutang luar

negeri yang di tinggalkan oleh pemerintahan Orde Baru sebesar 150 miliar dollar

AS.

Dari sejarah pembangunan ekonomi yang di kembangkan oleh Orde Baru,

tampaknya Habibie memiliki pengalaman yang jauh tentang problem bagaimana

mangatasi krisis multi dimensi yang melanda Indonesia. Menurut Habibie, salah

satu kegagalan pemerintahan Orde Baru adalah dengan munculnya stabilitas

politik yang dikembangkan sedemikian rupa sehingga memunculkan Negara-

Birokratik-Otoriter (NBO). Untuk itu jalan yang di tempuh oleh Habibie pertama-

tama adalah dengan meminimalisir kegiatan NBO pada pemerintahannya, dan

membuka ruang seluas-luasnya bagi partisipas politik dan ekonomi masyarakat.

9

Page 10: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

Hal tersebut terbukti dengan kebebasan bersuara dan berkumpul pada periode ini.

Partai politik baru muncul, media massa di berikan kebebasan dan buku-buku

ilmiah yang selama Orde Baru dilarang mulai di terbitkan kembali. Sedangkan 6

karakteristik NBO yang di utarakan oleh Mas’oed pada pemerintahan Orde Baru,

hanya satu yang di teruskan oleh pemerintahan Habibie, yaitu, dengan

menggunakan modal domestik swasta besar yang memiliki hubungan khusus

dengan negara, dan modal internasional memiliki peran ekonomis yang

menentukan.

Kesimpulan

Ketergantungan dan pembangunan adalah dua hal yang seakan-akan tidak dapat

dipisahkan dalam sejarah perekonomian Indonesia. Akan tetapi semua itu tidak

dapat lepas dari masalah-masalah politik yang terjadi di Indonesia. Dari semua

periode pemerintahan yang pernah berkuasa di negara ini, masalah politik telah

menjadi dominan dalam memutuskan setiap kebijakan pembangunan. Kalau saat

pemerintahan Orde Lama revolusi menjadi panglima, maka di saat pemerintahan

Orde Baru stabilitas politik menjadi panglima. Padahal semua itu bisa dikatakan

hanya sebagai retorika pemerintah dalam memberikan kebijakan dalam

pembangunan ekonomi. Sedangkan masyarakat sampai saat ini terus berkubang

dengan hasil-hasil pembangunan yang diciptakan oleh semua pemerintahan,

seperti kemiskinan dan pengangguran. Pemerataan pembangunan yang selama ini

di idolakan oleh para teknokrat dan birokrat tidak pernah terwujud menjadi

kenyataan, dikarenakan pembangunan yang tidak merata dan hanya di kuasai oleh

sekelompok penguasa dan pengusaha. Sedangkan masyarakat kecil tetap tidak

mengalami perubahan. Pembangunan di Indonesia, sedikit banyaknya di

pengaruhi oleh dua faktor yang tetap dalam kerangka ketergantungan dan

pembangunan. Kedua faktor tersebut adalah apa yang pernah dikemukakan oleh

Mohtar Mas’oed berdasarkan pengembangan teori yang berasal dari O’ Donnell,

yaitu, faktor eksternal yang meliputi pengaruh ketergantungan dari luar negeri dan

faktor internal yang meliputi pengaruh dalam negeri. Lebih jauh Mas’oed

mengatakan, bahwa yang mempengaruhi ketidak merataan pembangunan di

10

Page 11: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

Indonesia adalah faktor internal, yaitu, krisis politik. Masalah inilah sebetulnya

yang bertanggung jawab atas munculnya Negara-Birokratik-Militer, dibanding

dengan variabel ekonomi. Jadi Mas’oed banyak memberikan sumbangan atas

teori-teori yang urgen mengenai ketergantungan Indonesia dalam pembangunan,

tidak seperti teoritikus keteregantungan klasik yang belum tentu dapat di

sesuaikan dengan konteks ke Indonesiaan. Perubahan demokrasi yang diawali

dengan perpindahan tongkat estafet pemerintahan dari pemerintahan Orde Lama

ke Orde Baru pada tahun 1966, Perubahan tersebut berlangsung pada sidang

istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967. MPRS menghasilkan ketetapan

nomor XXXIII/MPRS/ 1967 yang memutuskan mencabut kekuasaan

pemerintahan dari Sukarno dan menarik kembali mandat serta segala kekuasaan

Sukarno. Suharto dengan ketetapan yang sama dengan pencabutan mandat ke

Sukarno, Suharto dilantik MPRS pada 12 Mei 1967, dengan ketua MPRS pada

saat itu adalah A. H. Nasution. Pemerintahan baru tersebut telah mewarisi

keadaan ekonomi yang sudah hampir. Hutang luar negeri berjumlah $ 2,400 juta,

laju infalsi mencapai 20-30% satu bulan, infrastruktur berantakan, kapasitas

produksi sektor-sektor industri dan eksport sangat merosot serta penarikan atas

anggaran pajak tidak berjalan sebagaimana semestinya.

Pola perubahan perekonomian di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan

dengan membanjirnya industri manufaktur di dalam negeri yang memberikan

kebebasan pada penanam modal asing untuk melakukan investasi. Perubahan

tersebut disertai kebijakan pintu terbuka yang di awali dengan penerapan Undang-

Undang Penanaman Modal Asing pada 1 Januari 1967 serta beberapa regulasi

pendukung lainnya.

Sementara inflasi mulai dapat dikendalikan dan perekonomian mulai

normal kembali, pemerintah Orde Baru menyusun Rencana Pembangunan Lima

Tahun yang pertama pada tahun 1969/1970-1973/1974 atau Repelita I. Dengan

diberlakukannya bebarapa kebijakan di atas merupakan tonggak perubahan kelas-

kelas sosial pada struktural masyarakat Indonesia.

11

Page 12: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

Hal tersebut, mendorong mengalirnya arus modal asing, baik yang

berupa investasi swasta, grant, maupun loan. Proses industrialisasi dengan subsidi

impor pun mulai dijalankan Awal pemerintahan Orde Baru telah terlihat adanya

perkembangan yang pesat dalam bidang industri substitusi impor dan produksi

ekspor bahan mentah, khususnya minyak mentah, kayu gelondongan, dan mineral.

Dalam sektor industri olahan perusahaan asing berlomba-lomba menanamkan

modal dibalik pagar tarif hasil kebijakan 15 November 1978 alih-alih usaha

mendorong PMA dan juga PMDN kebijakan tersebut telah dijadikan suplemen

bagi peningkatan penanaman modal pada pelita III.

perubahan penting dan beberapa hal yang sangat mendasar telah terjadi

sesudah tahun 1982. Sejak terjadinya kemerosotan harga minyak yang berawal

pada tahun 1982 pemerintah Indonesia harus menghadapi tantangan krisis

finansial dam fiskal yang bertubi-tubi. Sebagai konsekuensi dari perubahan

kondisi dalam negeri, maka pemerintah Orde Baru melakukan perubahan

kebijakan perekonomian yang lebih mengarah pada kebijakan. Pola perubahan

tersebut di atas direalisasikan dengan mengadakan pembaharuan dari pola

kebijakan 15 November 1978 dan diperkuat dengan paket 6 Mei 1986. Paket

kebijakan tersebut telah menarik investor baik dalam negeri maupun luar negeri

untuk menanamkan modal di Indonesia, di sisi lain pangsa pasar dalam negeri

memperlihatkan tumbuh pesat perubahan barang konsumsi sebagai dampak dari

meningkatnya harga minyak dan intensif pajak dan bea masuk yang ditawarkan

oleh pemerintah Orde Baru pada saat itu.

Kebijakan 6 Mei 1986 telah memberikan berbagai kemudahan bagi

investor dalam mengimpor kemasan dari sumber lain, tanpa bayar bea masuk (.

Modal dalam negeri sendiri, memperoleh donor baru dengan adanya berbagai

regulasi yang ditetapkan pemerintah berupa adanya keharusan bagi perusahaan

asing untuk berpatungan dengan perusahaan dalam negeri dan menyediakan

12

Page 13: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

modal berupa penyertaan modal dalam bentuk saham. Di samping aspek

murahnya tenaga kerja di Indonesia

Bagi sebagian besar perusahaan dalam negeri merupakan sebuah batu

loncatan untuk mendapatkan pencapaian sukses dalam dunia usaha. Pencapaian

sukses terlihat dengan adanya monopoli yang didistribusikan negara, yang

membuka peluang bagi sebagian kelompok perusahaan besar untuk masuk ke

dalam sektor kegiatan perekonomian yang vital dan menampung hajat hidup

orang banyak. Banyaknya Instruksi Presiden, terutama Inpres No. 4/ 1985

semakin meneguhkan posisi dan kewenangan investor, dalam Inpres tersebut

berisi penyederhanan prosedur eksport-Import dengan mengacu pada usaha

penyelamatan pemasukan devisa negara

Menjelang akhir tahun 1980-an, pemilik modal yang semula

mendapatkan kemudahan dengan berbagai fasilitas yang menunjang keberadaan

modal dan keberlangsungan usaha harus menghadapi berbagai kondisi kritis, dari

sudut ekonomi dan dari sudut politik .pertama, mereka dihadapkan dengan

melemahnya tahap pembangunan industri Indonesia yang berorientasi ke dalam

negeri. Kedua, mereka dihadapkan pada ketidakpastian mengenai arah masa

depan dari rezim otoriter”.

Pelita IV (1983-1988) merupakan masa terpenting dalam tahap

perkembangan industrialisasi umumnya dan kondisi perburuhan pada khususnya.

Setelah berakhir masa boom minyak, pemerintah Orde Baru mulai menerapkan

berbagai kebijakan guna menghadapi berbagai tekanan terhadap segi struktural

dari perubahan strategi industri. Pola perubahan tersebut ditandai dengan

perubahan pengembangan strategi pemenuhan ekonomi dalam negeri. Sebelum

terjadi masa boom minyak strategi yang dikembangkan oleh pemerintah Orde

Baru menggariskan penekanan pada substansi dari pengembangan strategi industri

13

Page 14: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

substitusi impor sehingga pasca terjadinya boom minyak secara gradual

pemerintah Orde Baru harus merubah strategi industri dengan orientasi pada

eksport

Berdasar kenyataan dan sebagai implikasi dari pola perubahan strategi

dan kebijakan adalah keharusan dalam mempersiapkan suatu angkatan kerja yang

berdisiplin ilmu tinggi (patuh), Richard Robinson dalam Ruth Mc Vey (1998:

114) memberikan penilaian bahwa adanya indikasi dari pola kebijakan

perekonomian internasional tersebut telah mendorong pemerintah masa Orde Baru

untuk melakukan langkah-langkah dalam mendorong investasi modal baik modal

yang berasal dari dalam negeri maupun modal yang berasal dari investor asing.

Langkah-langkah berupa pengkondisian stabilitas perekonomian dan politik, serta

melakukan penekanan dalam biaya produksi dari berbagai komoditas di bidang

produksi manufaktur agar bisa bersaing pada tingkat pasar internasional.

Perubahan deregulasi perdagangan dan keuangan yang berguna untuk

menciptakan iklim investasi telah menyebabkan membanjirnya investor swasta

yang menanamkan investasi yang semula masuk dalam wilayah lain, yang

sebelumnya telah dimonopoli.

Kurun waktu telah terjadi perubahan yang masif terhadap situasi dalam

negeri. Situasi dalam negeri, khususnya mengenai pola politik perburuhan yang

berkembang pada periode tahun 1978-1982 telah banyak diwarnai dengan

berbagai gerakan pemogokan. Gerakan pemogokan terjadi karena adanya

kepentingan antara buruh dan majikan tersebut tidak bisa terselesaikan secara

damai dan sebagai senjata terakhir adalah pemogokan

Sebagian besar tuntutan yang selalu dilontarkan dalam setiap aksi pemogokan

oleh buruh adalah soal upah serta jaminan sosial (tunjangan transport, tunujangan

makan, premi, tunjangan hari raya serta bonus). Sebagian lagi menuntut

14

Page 15: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

kebebasan membentuk serikat buruh, serta memprotes tindakan majikan

(employer) yang sewenang-wenang

Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Kepala Satuan Komando Pemulihan

Keamanan dan Ketertiban (Kaskopkamptib), Laksamana Sudomo yang mengakui

bahwa “penyebab utama pemogokan buruh yang terjadi adalah masalah

pengupahan (71%), sisanya masalah THR, pembentukan serikat buruh, pemecatan

(pemutusan hubungan kerja atau PHK), dan lain-lain”.

Kondisi upah buruh pada pasca kondisi dari kejatuhan harga minyak dunia

berdampak pada pengupahan yang memprihatinkan. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Union Bank Switzherland (1979) memperlihatkan bahwa dari 45

kota besar diseluruh dunia, tingkat upah dan daya beli di Jakarta yang terendah

bahkan lebih rendah di banding Bangkok dan ManilaRendahnya upah buruh ini

semakin memperlihatkan penurunan yang signifikan dengan kenaikan harga

barang-barang kebutuhan pokok akibat adanya pengurangan subsidi Bahan Bakar

Minyak dan bahan pangan serta terjadinya beberapa kali devaluasi rupiah. Inflasi

sebesar 65,97% yang terjadi pada sekitar tahun 1979-1983 menyebabkan

terjadinya penurunan upah riil buruh sebesar 80% atau rata-rata turun 20%

setahun

Meningkatnya frekuensi tuntutan pembentukan berbagai basis serikat buruh

sampai pada terjadinya pemogokan sebagai suatu wujud dan ungkapan solidaritas

buruh terhadap buruh lain yang dipecat karena dianggap sebagai pelopor

terjadinya pemogokan. Hal ini sesungguhnya menunjukkan adanya kesadaran

dalam hal perlunya organisasi demi memperjuangkan kepentingan buruh, tanpa

melalui organisasi buruh lama yang telah terbagi ke dalam pilar-pilar aliran

politik. Perpecahan kaum buruh terjadi semenjak terbelahnya Barisan Buruh

Indonesia (BBI) pada 7 November 1945, dimana BBI pada saat itu terbelah ke

15

Page 16: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

dalam faksi-faksi yang cenderung kepada politik dan kelompok yang berkeras

mempertahankan serikat buruh sebagai gerakan sosial

Kesadaran dan kebutuhan akan organisasi telah dimulai sejak lahirnya serikat-

serikat buruh kiri dan serikat pekerja kanan. Serikat Sebagai basis dukungan

massa, terlihat perangkat Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan/ Federasi Buruh

Seluruh Indonesia (SBLP/FBSI) masih sangat diperlukan bergerak di tingkatan

grass root (pabrik), karena sebagian akar yang lalu merupakan milik organisasi

buruh yang ada sebelum terbentuknya FBSI. Sehingga FBSI akan sangat

bermanfaat membantu berdirinya berbagai basis serikat buruh pada tingkat pabrik,

tetapi hal tersebut tidak terjadi.

Pembentukan serikat buruh ternyata menunjukkan terjadinya pro dan kontra

pada realitas masyarakat. Sebab utama dari adanya pro dan kontra tersebut adalah

adanya penolakan/ campur tangan majikan dalam. Bagi buruh yang mempelopori

pembentukan organisasi buruh harus menanggung resiko dipecat atau diputus

hubungan kerja. Pemecatan atau putus hubungan kerja ini sangat bertentangan

dengan pasal 2 Undang-undang No.18 tahun 1956 yang secara tegas melarang

terjadinya campur tangan majikan dalam serikat buruh, baik dalam pembentukan,

cara kerja maupun cara mengurus organisasi.

Pembentukan satu-satunya organisasi buruh (FBSI) pada tanggal 11 Maret

1974 memungkinkan terjadinya pembatasan terbentuknya serikat atau organisasi

buruh lain di luar FBSI. Hal ini didukung pula oleh pemerintah dengan

menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja, Transmigrasi dan

Koperasi N0. 01/ 1975 Tetang Pendaftaran Organisasi Buruh, yang sekaligus

mencabut Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No. 90/1955 tentang Pendaftaran

Serikat Buruh. Sehingga Serikat Buruh semenjak tahun 1975 yang dianggap sah

secara administratif dan yuridis adalah FBSI dan 21 SBLP-

16

Page 17: Pola Kebijakan Ekonomi Orde BaruPeriode Oktober 1965 Sampai Maret 1966 Adalah Periode Yang Penuh Dengan Ketidak Pastian

17