rasio gini - kominfo.gunungkidulkab.go.idkominfo.gunungkidulkab.go.id/publikasi.php?file=29gini...
TRANSCRIPT
RASIO GINI
KABUPATEN GUNUNGKIDUL
2016
No. ISBN : -
No. Publikasi : 34030.17.028
Penulis :
Yanis Habibie, S.ST., M.Stat.
Penyunting :
Heri Minto Widodo, S.Si.
Paulus Henri Laksono, S.ST
Desain Sampul :
Buhari Muslim, S.ST.
Diterbitkan oleh :
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul
Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya
May be cited with reference to the source
i
SAMBUTAN
Dengan ridho dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, Pemerintah
Kabupaten Gunungkidul dapat menyelesaikan Publikasi “Rasio Gini Kabupaten
Gunungkidul Tahun 2016” yang merupakan kerjasama antara Dinas
Komunikasi dan Informatika Kabupaten Gunungkidul dengan Badan Pusat
Statistik (BPS) Kabupaten Gunungkidul. Publikasi ini merupakan
kesinambungan dari publikasi sejenis beberapa tahun sebelumnya.
Sebagai indikator pembangunan ekonomi makro, publikasi ini
memberikan indikator mengenai beberapa tingkat pemerataan pendapatan
dan bagaimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat sebagai
akibat semakin meningkatnya aktivitas pembangunan di segala bidang
terutama pembangunan di bidang ekonomi. Indikator ini dapat dijadikan
kerangka acuan rencana pembangunan ke depan, sehingga pembangunan
ekonomi akan lebih terarah.
Publikasi Rasio Gini Kabupaten Gunungkidul Tahun 2016 memiliki arti
yang sangat urgen dan strategis bagi semua pihak terutama bagi pemegang
kebijakan pembangunan dalam program pengentasan kemiskinan dan
perencanaan program pembangunan di Kabupaten Gunungkidul. Kami
berharap, para pengguna data dapat memanfaatkannya secara optimal.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
secara aktif membantu dalam penerbitan publikasi ini.
Wonosari, November 2017
Dinas Komunikasi dan Informatika
Kabupaten Gunungkidul
Kepala,
Ir. Purnamajaya, M.UM
NIP. 19620524 199303 1 002
iii
KATA PENGANTAR
Ketimpangan distribusi pendapatan penduduk menjadi hal yang
sangat penting untuk dikaji, selanjutnya dilakukan upaya untuk
menguranginya. Publikasi Rasio Gini Kabupaten Gunungkidul Tahun 2016
merupakan publikasi yang mengkaji tentang ketimpangan distribusi
pendapatan di Kabupaten Gunungkidul.
Secara khusus, pembahasan dalam publikasi ini menyajikan data
distribusi pendapatan yang disertai dengan ukuran tingkat ketimpangan
pendapatan penduduk. Sebagai penunjang juga dipaparkan secara garis besar
data kemiskinan karena umumnya pada daerah-daerah yang sedang giat
membangun terdapat hubungan antara ketimpangan pendapatan dan
kemiskinan.
Dengan terwujudnya publikasi ini kami menyampaikan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada segenap pihak pada Dinas Komunikasi dan
Informatika Kabupaten Gunungkidul atas kerjasama yang telah terjalin baik
selama ini. Ucapan yang sama juga tertuju kepada semua pihak yang turut
berperan dan membantu hingga tersusunnya publikasi ini.
Akhir kata, saran dan kritik untuk perbaikan buku ini di masa
mendatang akan kami terima dengan tangan terbuka. Semoga buku ini
bermanfaat bagi berbagai pihak.
Wonosari, November 2017 Badan Pusat Statistik
Kabupaten Gunungkidul Kepala,
Drs. Sumarwiyanto NIP. 19670713 199303 1 001
v
ABSTRAKSI
Pemerataan distribusi pendapatan penduduk Kabupaten Gunungkidul
pada 2016 menunjukkan ketimpangan yang lebih tinggi dibandingkan pada
2015. Gambaran Kurva Lorenz distribusi pendapatan penduduk Kabupaten
Gunungkidul pada 2016 lebih menjauh dari garis diagonal, artinya lebih tidak
terdistribusi merata dan lebih timpang dibandingkan tahun sebelumnya.
Indikator ketimpangan yang diukur berdasarkan nilai Rasio Gini
memberikan angka sebesar 0,3337 pada 2016 dan menurut Oshima masuk
dalam kategori ketimpangan ‘moderat’. Kondisi ini menunjukkan distribusi
pendapatan yang semakin timpang dibandingkan dengan tahun sebelumnya
dengan Rasio Gini sebesar 0,3190. Perubahan tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan terjadi baik di daerah perkotaan maupun di perdesaan.
Hasil pengukuran ketimpangan berdasarkan Kriteria Bank Dunia juga
memberikan kesimpulan yang sama. Pada kelompok 40 persen penduduk
berpendapatan terendah yang menjadi kelompok referensi hanya menguasai
19,76 persen dari total pendapatan yang dibelanjakan oleh penduduk di
Kabupaten Gunungkidul. Persentase pendapatan yang dinikmati oleh
kelompok 40 persen penduduk berpendapatan terendah ini lebih rendah
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 21,20 persen.
Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2016
mencapai 139,15 ribu orang, atau 19,34 persen dari seluruh penduduk
Kabupaten Gunungkidul. Dengan demikian terjadi penurunan jumlah
penduduk miskin sebesar 15,85 ribu orang dibandingkan tahun 2015.
Demikian halnya garis kemiskinan mengalami kenaikan, yaitu dari Rp 250.630,-
per kapita sebulan pada 2015 menjadi Rp 264.637,- per kapita sebulan pada
2016. Indeks kedalaman kemiskinan (P1) mencapai 4,16 dan indeks keparahan
kemiskinan (P2) tercatat 1,30; lebih rendah dari tahun sebelumnya yang
tercatat 4,55 untuk P1 dan 1,33 untuk P2. Penurunan nilai kedua indeks ini
berindikasi kecenderungan rata-rata pengeluaran penduduk miskin di
Kabupaten Gunungkidul makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan
pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.
vii
DAFTAR ISI
SAMBUTAN .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii
ABSTRAKSI .......................................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xi
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Maksud dan Tujuan ............................................................................ 2
1.2. Manfaat .............................................................................................. 3
1.3. Sumber Data ....................................................................................... 3
1.4. Sistematika Penulisan ......................................................................... 3
BAB II. METODE ANALISIS ................................................................................... 5
Kurva Lorenz ....................................................................................... 7 2.1.
Rasio Gini (Gini Ratio) ......................................................................... 9 2.2.
Ketimpangan Relatif (Relative Inequality) Kriteria Bank Dunia ........ 10 2.3.
Konsep Kemiskinan ........................................................................... 12 2.4.
BAB III. PEMBAHASAN ...................................................................................... 17
3.1. Pola Konsumsi Rumah Tangga ............................................................... 17
3.2. Kurva Lorenz ......................................................................................... 20
3.3. Rasio Gini (Gini Ratio) ............................................................................ 23
3.4. Ketimpangan Relatif (Relative Inequality) Kriteria Bank Dunia ............. 24
3.5. Kemiskinan ............................................................................................. 26
viii
BAB IV. PENUTUP ............................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 35
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Persentase Penduduk Menurut Kelompok Pengeluaran Per Kapita
Sebulan dan Tipe Daerah di Kabupaten Gunungkidul, 2016 ........... 19
Tabel 3.2. Rasio Gini Menurut Tipe Daerah di Kabupaten Gunungkidul, 2015-
2016 ................................................................................................. 23
Tabel 3.3. Distribusi Pendapatan Berdasarkan Kriteria Bank Dunia Menurut
Tipe Daerah di Kabupaten Gunungkidul, 2015-2016 ....................... 25
Tabel 3.4. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014-2016 ...................... 28
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kurva Lorenz .............................................................................. 8
Gambar 3.1. Persentase Pengeluaran per Kapita per Bulan Menurut Jenis
Komoditi, 2015-2016 ............................................................... 18
Gambar 3.2. Kurva Lorentz Distribusi Pendapatan Penduduk Gunungkidul,
2015-2016 ............................................................................... 21
Gambar 3.3. Kurva Lorentz Distribusi Pendapatan Penduduk Gunungkidul
Menurut Tipe Daerah, 2016 .................................................... 22
Gambar 3.4. Perkembangan Garis Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di
Daerah Istimewa Yogyakarta, 2009-2016 ............................... 29
Gambar 3.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2) Kabupaten Gunungkidul, 2009-2016 ............ 31
1
BAB I. PENDAHULUAN
embangunan merupakan rangkaian proses perubahan struktural yang
dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.
Pembangunan pada dasarnya memiliki dua sasaran utama, yaitu
sasaran untuk mewujudkan kemakmuran regional (wilayah) dan sasaran untuk
mewujudkan kemakmuran masyarakat. Kemakmuran regional berarti bahwa
pembangunan bertujuan menghasilkan terwujudnya kondisi umum yang
dinginkan, yaitu terwujudnya kondisi fisik regional yang maju meliputi sarana
dan prasarana, perumahan dan lingkungan pemukiman, kegiatan ekonomi
masyarakat, fasilitas pelayanan sosial di bidang pendidikan, kualitas hidup dan
lainnya. Sedangkan sasaran pembangunan untuk kemakmuran masyarakat
akan lebih banyak ditekankan pada pembangunan penduduk. Dalam kaitannya
dengan sasaran ini, program dan kegiatan lebih banyak diarahkan pada
peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bentuk pengembangan
pendidikan, peningkatan pelayan kesehatan masyarakat, dan peningkatan
penerapan teknologi tepat guna (Djamester, 2009).
Sejak diundangkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, maka pemerintah daerah diberikan kewenangan
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Setiap daerah berlomba meningkatkan daya saing daerah dalam upaya
menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial. Peningkatan
pendapatan diharapkan akan memacu pertumbuhan ekonomi yang
merupakan salah satu indikator kinerja pembangunan daerah. Permasalahan
P
2
pembangunan daerah bukan hanya bagaimana meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, tetapi juga siapa yang menumbuhkan perekonomian dan yang
menikmati hasil-hasilnya serta bagaimana distribusi pendapatan.
Kemiskinan merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari ketimpangan
distribusi pendapatan penduduk. Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan
penduduk yang semakin tinggi menunjukkan bahwa semakin lebar
kesenjangan pendapatan orang kaya dan orang miskin. Bila kondisi seperti ini
yang terjadi di suatu daerah, berarti pembangunan yang dilaksanakan lebih
berpihak kepada segelintir orang kaya, sedangkan orang miskin tidak
menikmatinya.
1.1. Maksud dan Tujuan
Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang perlu
dicermati karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Banyak
ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi
pendapatan penduduk. Namun pada kajian ini dibatasi pada ukuran
ketimpangan distribusi pendapatan dengan ukuran kuantitatif yang
digambarkan dalam Kurva Lorenz, Rasio Gini, dan Ketimpangan Relatif
(Relative Inequality) Kriteria Bank Dunia. Ukuran-ukuran tersebut merupakan
ukuran besar kecilnya bagian pendapatan yang diterima oleh penduduk.
Kajian ini bertujuan untuk mengamati distribusi dan ketimpangan pendapatan
di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2016, dibandingkan dengan
ketimpangan tahun-tahun sebelumnya, ketimpangan antara daerah perkotaan
dan perdesaan serta antar kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selain itu, dengan analisis ini akan diperoleh gambaran kondisi kemiskinan
penduduk Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2016.
3
1.2. Manfaat
Indikator ketimpangan distribusi pendapatan dapat digunakan sebagai bahan
untuk menelaah berbagai kemungkinan yang dapat ditawarkan dalam analisis
ekonomi untuk memecahkan persoalan ketimpangan dan kemiskinan. Kajian
ini juga dapat digunakan untuk menggali kebijakan alternatif yang akan
diterapkan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam mengurangi
ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di wilayahnya.
1.3. Sumber Data
Data yang digunakan dalam publikasi ini bersumber dari Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS) 2016. Dalam operasionalnya di lapangan untuk
mendapatkan data pendapatan rumah tangga bukanlah hal yang mudah.
Keterbukaan dan kesediaan rumah tangga sendiri untuk memberikan
informasi yang sesungguhnya masih dirasa kurang kooperatif, sehingga
informasi pendapatan rumah tangga akan cenderung under estimate. Maka
dalam penghitungan indikator-indikator ketimpangan dalam kajian ini tingkat
pendapatan rumah tangga didekati dengan pendekatan total pengeluaran
atau konsumsi rumah tangga (consumption approach). Namun, pendekatan
pengeluaran memiliki beberapa kelemahan di antaranya adalah yang
menyangkut tabungan (saving). Bagian pendapatan yang ditabung
menyebabkan jumlah pengeluaran lebih kecil dari pada pendapatan. Hal lain
adalah transfer pendapatan, di mana seseorang memberikan sebagian
pendapatan ke pihak lain.
1.4. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembaca mengikuti alur pembahasan, materi dalam buku
ini dibagi dalam empat bab. Bab I Pendahuluan, meliputi latar belakang yang
4
mendeskripsikan permasalahan ketimpangan distribusi pendapatan penduduk
dan kemiskinan, serta tujuan dan sistematika penulisan. Bab II Metode
Analisis, mengupas secara singkat ukuran yang digunakan dan metode yang
digunakan, serta paparan teoritis tentang ketimpangan distribusi pendapatan
penduduk dan kemiskinan. Bab III Pembahasan, merupakan inti dari publikasi
ini, yang menganalisis hasil penghitungan ketimpangan distribusi pendapatan
penduduk berdasarkan Kurva Lorenz, Rasio Gini, dan Ketimpangan Relatif
(Relative Inequality) Kriteria Bank Dunia, serta membahas mengenai penduduk
miskin dan profil kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul. Bab IV Kesimpulan,
berupa kesimpulan atau ringkasan dari hasil analisis masing-masing metode
pengukuran.
5
BAB II. METODE ANALISIS
egiatan ekonomi dalam suatu sistem perekonomian pada dasarnya
ada tiga kegiatan utama yaitu kegiatan produksi barang/jasa,
konsumsi barang/jasa dan investasi. Dalam kegiatan memproduksi
barang/jasa selanjutnya akan menghasilkan pendapatan sebagai nilai produksi
yang dihasilkan dan pendapatan tersebut akan diterima faktor-faktor produksi
yang dimiliki oleh berbagai golongan penduduk. Menurut Simon Kuznets
dalam Aisyah (2003), perkembangan sektor-sektor perekonomian khususnya
Sektor Industri akan menentukan perkembangan perekonomian suatu wilayah
dan akan mempengaruhi pola distribusi dan pemerataan pendapatan.
Ahluwalia dalam Sadono (2006) memberikan dua gambaran mengenai
keadaan distribusi pendapatan, yaitu distribusi pendapatan relatif dan
distribusi pendapatan mutlak. Yang dimaksud dengan distribusi pendapatan
relatif adalah perbandingan jumlah pendapatan yang diterima oleh berbagai
golongan penerima pendapatan. Sedangkan distribusi pendapatan mutlak
adalah presentasi jumlah penduduk yang pendapatannya mencapai suatu
tingkat pendapatan tertentu atau kurang dari padanya.
Menurut Dumairy (1996), pemerataan pembagian pendapatan dapat ditinjau
dari tiga segi yaitu :
a) Pembagian pendapatan antar lapisan pendapatan masyarakat.
b) Pembagian pendapatan antar daerah, dalam hal ini antara daerah
perkotaan dan daerah perdesaan.
K
6
c) Pembagian pendapatan antar wilayah, dalam hal ini antar
kabupaten/kota.
Banyak pendapat dari kalangan ekonomi tentang penyebab ketidakmerataan
distribusi pendapatan. Salah satunya pendapat Estudilo (1997) dalam Aisyah
(2003), berpendapat bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan
dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, meningkatnya proporsi rumah tangga
perkotaan. Distribusi pendapatan penduduk perkotaan biasanya lebih luas dari
pada penduduk perdesaan, karena bermacam-macam kelompok ekonomi ada
di perkotaan. Ketika struktur ekonomi bergeser dari sektor pertanian ke sektor
industri dan sektor jasa, maka jumlah penduduk perkotaan akan bertambah
lebih cepat dibandingkan jumlah penduduk perdesaan, sehingga ketimpangan
antar wilayah tersebut akan meningkat. Kedua, perubahan distribusi umur.
Semakin tinggi Angka Harapan Hidup berarti semakin lama hidupnya
seseorang, notabene jumlah penduduk usia tua akan meningkat. Karena
pendapatan penduduk usia tua biasanya lebih rendah dibandingkan penduduk
usia muda, maka peningkatan jumlah penduduk usia tua akan meningkatkan
jumlah rumah tangga berpendapatan rendah dan distribusi pendapatan akan
semakin tidak merata. Ketiga, meningkatnya jumlah anggota rumah tangga
sangat terdidik. Meningkatnya permintaan tenaga kerja terampil dan
berpendidikan tinggi mengakibatkan kompetisi dalam memperebutkan
peluang kerja di antara tenaga kerja terdidik sendiri atau bahkan tidak terdidik
akan semakin sulit. Jika mereka kalah dalam kompetisi, maka mereka akan
menerima pekerjaan apa saja yang berupah minimum dan mungkin
menganggur. Dengan demikian peningkatan penduduk terdidik menyebabkan
peningkatan ketidakmerataan antara penduduk yang memiliki pendidikan
tinggi dan yang hanya berpendidikan rendah. Keempat, ketidakmerataan
7
tingkat upah. Pada umumnya upah merupakan bagian terbesar dari
penghasilan rumah tangga, sehingga memberikan kontribusi terbesar
terhadap ketidakmerataan pendapatan rumah tangga.
Menurut Oshima dalam Putri (2010) ada tiga faktor yang menyebabkan
perbedaan distribusi pendapatan di daerah perkotaan dan perdesaan, yaitu:
a) Faktor pendapatan, terutama di daerah perdesaan umumnya memiliki
pendapatan rata-rata per kapita yang lebih rendah dibandingkan daerah
perkotaan.
b) Penduduk desa lebih banyak bermata pencaharian di sektor pertanian
dibandingkan penduduk kota bukan pertanian.
c) Distribusi pendapatan yang lebih tinggi di daerah kota.
Daimon dan Thorbecke (1999) dalam BPS (2008) berpendapat bahwa
penurunan ketimpangan (perbaikan distribusi pendapatan) selalu tidak
konsisten dengan bertambahnya insiden kemiskinan kecuali jika terdapat dua
aspek yang mendasari inkonsistensi tersebut. Pertama, variasi distribusi
pendapatan dari kelas terendah meningkat secara drastis sebagai akibat krisis.
Kedua, merupakan persoalan metodologi berkaitan dengan keraguan dalam
pengukuran kemiskinan dan indikator ketimpangan.
Kurva Lorenz 2.1.
Kurva Lorenz diambil dari nama Conrad Lorenz, seorang ahli statistik Amerika
yang pada tahun 1905 menemukan diagram yang sering digunakan untuk
menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan menurut kelompok-
kelompok penduduk yang juga dihitung secara kumulatif. Kurva ini terletak di
dalam sebuah bujursangkar di mana sisi vertikal melambangkan persentase
8
kumulatif pendapatan dan sisi horizontal mewakili persentase kumulatif
penduduk sebagai penerima pendapatan (Dumairy, 1996).
Penentuan tingkat ketimpangan berdasarkan Kurva Lorenz dilihat dari jarak
kurva ini ke garis diagonal. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal
(semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin
merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin
lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi
pendapatan nasional semakin timpang dan tidak merata.
Pembuatan Kurva Lorenz dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1) Mengurutkan data pengeluaran dari nilai terkecil hingga terbesar.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Per
sen
rase
Pen
dap
atan
Persentase Penduduk
Gambar 2.1. Kurva Lorenz
9
2) Menentukan desil pertama hingga ke sepuluh pada distribusi data
pengeluaran.
3) Menghitung besarnya nilai pendapatan pada masing-masing kelompok
desil.
4) Menentukan kumulatif pendapatan pada masing-masing kelompok desil.
5) Menghitung persentase kumulatif pendapatan dari masing-masing desil.
6) Memetakan dalam plot dua dimensi antara masing-masing desil sebagai
sisi horisontal dengan nilai persentase kumulatif pendapatan pada sisi
vertikal.
Rasio Gini (Gini Ratio) 2.2.
Untuk melihat ketimpangan pendapatan penduduk, salah satu indikator yang
sering dipakai adalah Rasio Gini. Ide dasar perhitungan Rasio Gini sebenarnya
berasal dari upaya pengukuran luas suatu kurva (yang kemudian dinamakan
Kurva Lorenz) yang menggambarkan distribusi pendapatan untuk seluruh
kelompok pengeluaran. Kelompok pengeluaran dimaksud sejak tahun 2012
dilakukan perubahan dari kelompok pengeluaran tetap menjadi desil
penduduk menurut pengeluaran, karena kurang sensitifnya kelompok
pengeluaran tetap terhadap inflasi yang menyebabkan perubahan nilai
nominal pengeluaran.
Secara ilustrasi, luas Kurva Lorenz merupakan luas daerah di bawah garis
diagonal yang dibatasi dengan kurva pada suatu persegi empat. Perbandingan
atau rasio antara luas daerah Kurva Lorenz dengan luas daerah di bawah garis
diagonal dapat diperoleh nilai Rasio Gini. Secara matematis, untuk
menghitung Rasio Gini dapat menggunakan persamaan sebagai berikut:
10
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐺𝑖𝑛𝑖 = 1 − ∑𝑃𝑖(𝑄𝑖 + 𝑄𝑖−1)
10.000
𝑘
𝑖=1
Keterangan :
Pi = Persentase penduduk pada kelas pengeluaran ke-i
Qi = Persentase kumulatif jumlah pengeluaran kelas pengeluaran ke-i
K = Jumlah kelas pengeluaran yang dibentuk
Nilai Rasio Gini berkisar antara 0 hingga 1. Jika nilai Rasio Gini semakin
mendekati satu maka dikatakan tingkat ketimpangan pendapatan penduduk
makin melebar, atau mendekati ketimpangan sempurna. Sebaliknya, semakin
mendekati 0 distribusi pendapatan semakin merata, atau mendekati
pemerataan sempurna. Menurut Oshima, nilai Rasio Gini dibagi menjadi tiga
tingkatan. Nilai Rasio Gini kurang dari 0,3 masuk dalam kategori ketimpangan
yang rendah, nilai antara 0,3 hingga 0,5 masuk dalam kategori moderat, dan
nilai lebih besar dari 0,5 dikatakan berada dalam ketimpangan yang tinggi.
Ketimpangan Relatif (Relative Inequality) Kriteria Bank Dunia 2.3.
Pola distribusi pendapatan masyarakat yang didasarkan pada hasil
penghitungan Rasio Gini barulah menggambarkan tingkat pemerataan
pendapatan secara global. Sejauh mana atau berapa bagian yang diterima
oleh kelompok berpendapatan terendah/miskin belum nampak jelas.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pusat Penelitian Bank Dunia (World Bank)
dan Lembaga Studi Pembangunan Universitas Sussex mengembangkan suatu
ukuran yang dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai masalah
ketimpangan (Inequality) melalui indikator yang disebut ketimpangan relatif
(relative inequality) Kriteria Bank Dunia. Ketimpangan relatif diartikan sebagai
11
ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang diterima oleh berbagai
golongan masyarakat.
Ketimpangan relatif didasari dengan adanya teori kemiskinan relatif.
Kemiskinan relatif dihitung dengan standar minimum yang disusun
berdasarkan kondisi hidup suatu daerah pada waktu tertentu dan perhatian
terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40
persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut
pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin.
Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi
pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi
ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita” (BPS, 2008).
Bank Dunia mengelompokkan penduduk pada tiga kelompok sesuai dengan
besarnya pendapatan, 40 persen penduduk dengan pendapatan rendah, 40
persen penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20 persen penduduk
dengan pendapatan tinggi. Berdasarkan Kriteria Bank Dunia, indikator
kesenjangan pendapatan diukur dengan menghitung persentase pendapatan
penduduk dari 40 persen penduduk yang berpendapatan terendah
dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Kesenjangan distribusi
pendapatan dikategorikan :
Tingkat ketimpangan tinggi (high inequality), bila proporsi jumlah
pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah
terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12 persen;
Tingkat ketimpangan sedang (moderate inequality), bila proporsi jumlah
pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah
terhadap total pendapatan seluruh penduduk antara 12-17 persen;
12
Tingkat ketimpangan rendah (low inequality), bila proporsi jumlah
pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah
terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih dari 17 persen.
Berdasarkan kriteria Bank Dunia di atas, dapat dilihat bahwa pendapatan yang
diterima oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah (40 persen
penduduk berpenghasilan menengah) dan atas (20 persen penduduk
berpenghasilan tertinggi) tidaklah diperhatikan. Seandainya ada perubahan
penerimaan pendapatan pada masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah
dan atas, tidak akan berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan
berdasarkan kriteria Bank Dunia ini.
Konsep Kemiskinan 2.4.
Secara umum kemiskinan didefinisikan sebagai suatu kondisi kehidupan di
mana sejumlah penduduk tidak mampu mendapatkan sumber daya yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok (basic needs) minimum dan mereka
hidup di bawah tingkat kebutuhan minimum (Todaro dan Smith, 2006).
Kebutuhan hidup pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial
dalam bentuk uang (BPS, 2007). Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar
tersebut digambarkan dengan garis kemiskinan (GK), yaitu batas minimum
pengeluaran per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan minimum
makanan dan non makanan (Zulfachri, 2006 dalam BPS, 2007). Penduduk
dengan pendapatan berada di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai
penduduk miskin.
Ada dua pendekatan utama yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat
kemiskinan, yaitu pendekatan pendapatan/pengeluaran dan pendekatan
dengan memasukkan komponen-komponen sosial. Pendekatan pendapatan/
13
pengeluaran dihitung berdasarkan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
(basic needs approach). Sedangkan pendekatan kedua dilakukan karena
banyaknya faktor yang mempengaruhi sulitnya mendefinisikan kemiskinan
dari sisi pendapatan/pengeluaran. Indikator sosial sering dipakai sebagai tolok
ukur tambahan. Beberapa indikator sosial yang sering dipakai sebagai
indikator atau tolok ukur kemiskinan antara lain: usia harapan hidup (life
expectancy), kematian bayi, asupan gizi, proporsi pendapatan yang dipakai
untuk membeli makanan, tingkat pendidikan, akses kesehatan, dan
ketersediaan serta kebersihan air minum.
Pendekatan pengukuran kemiskinan terus mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu. Ukuran kemiskinan yang sering digunakan Bank Dunia adalah
menggunakan batas kemiskinan Purchasing Power Parity (PPP) US$ per kapita
per hari. Batas kemiskinan menggunakan PPP US$ ini sering disalahartikan
dengan menggunakan nilai tukar biasa (exchange rate) untuk mendapatkan
garis kemiskinan. Sehingga ada anggapan, jika misalkan nilai tukar adalah Rp.
10.000 per satu dolar, maka garis kemiskinan 1 PPP US$ per kapita per hari
menjadi Rp. 300.000 per kapita per bulan, padahal bukan seperti ini
pengertian yang dimaksud. Nilai tukar yang digunakan di dalam penghitungan
garis kemiskinan 1 PPP US$ adalah nilai tukar dolar PPP (Purchasing Power
Parity). Nilai tukar PPP menunjukkan daya beli mata uang di suatu negara,
dalam hal ini US$, untuk membeli barang dan jasa yang “sama” di negara lain.
Contoh sederhananya adalah sebagai berikut, apabila di Indonesia seseorang
membeli beras seharga Rp. 5.000 per liter, sementara di Amerika satu liter
beras dengan kualitas yang sama harganya adalah 1 (satu) US$, dengan nilai
tukar biasa artinya Rp. 10.000, tetapi dengan pengertian nilai tukar PPP, maka
orang di Indonesia yang membeli beras tadi dianggap telah membelanjakan 1
14
US$, walaupun pada kenyataannya dia hanya mengeluarkan Rp. 5.000. Saat ini
ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia adalah: a) PPP US $ 1,25 per kapita
per hari yang diperkirakan ada sekitar 1,38 miliar penduduk dunia yang hidup
di bawah ukuran tersebut; b) PPP US $ 2 perkapita per hari, yaitu sekitar 2,09
miliar penduduk yang hidup di bawah ukuran tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung garis kemiskinan menggunakan
konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach)
dengan data SUSENAS-nya. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang
digunakan adalah menghitung garis kemiskinan, yang terdiri dari dua
komponen yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non-
makanan, sehingga garis kemiskinan merupakan penjumlahan garis
kemiskinan makanan dengan garis kemiskinan non makanan. Garis kemiskinan
makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang
disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari, sedangkan garis
kemiskinan non-makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Head Count Index merupakan persentase penduduk miskin yang berada di
bawah Garis Kemiskinan (GK). Ukuran ini belum memberikan petunjuk
seberapa miskin kaum miskin atau tingkat keparahan kemiskinan yang
diderita. Jika terjadi perubahan kemiskinan, katakanlah menjadi lebih miskin,
tidak dapat diketahui hanya menggunakan Head Count Index tersebut.
Misalnya pada tahun 2016 penduduk miskin di Gunungkidul mencapai 19,34
persen atau 139,15 ribu jiwa. Apabila ada di antara penduduk miskin ini
menjadi lebih miskin lagi atau sebaliknya kehidupannya membaik namun
15
masih tetap di bawah garis kemiskinan maka dengan hanya memiliki Head
Count Index belum dapat diketahui perubahan yang terjadi.
Berdasarkan pendekatan kebutuhan, ada 3 indikator kemiskinan yang
digunakan, yaitu:
Head Count Index (P0), yaitu persentase penduduk miskin yang berada di
bawah garis kemiskinan.
Indeks kedalaman kemiskinan/poverty gap index (P1) yang merupakan
ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk
miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh
rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
Indeks keparahan kemiskinan/poverty severity index (P2) yang memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin.
Foster-Greer-Thorbecke/FGT (1984) dalam BPS (2016) telah merumuskan
suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan, yaitu :
𝑃𝛼 =1
𝑛∑ [
𝑧 − 𝑦𝑖
𝑧]
𝛼𝑞
𝑖=1
Di mana :
𝑃𝛼 = Indeks kemiskinan, (= 0,1,2)
𝑛 = Jumlah penduduk suatu daerah
𝑧 = Garis kemiskinan suatu daerah
𝑦𝑖 = Pengeluaran per kapita penduduk di bawah garis kemiskinan
(𝑖 = 1,2, … , 𝑞), 𝑦𝑖 < 𝑧
𝑞 = Banyaknya penduduk yang berada di bawah kemiskinan
16
Jika = 0, maka 𝑃0 = 𝑞 𝑛⁄ , merupakan Head Count Index (P0) bila dikalikan
100 persen, atau sama dengan persentase penduduk miskin. Jika = 1 maka
P1 menunjukkan rata-rata agregat kesenjangan kemiskinan penduduk di suatu
daerah. Atau dengan kata lain P1 memberikan petunjuk tentang kedalaman
kemiskinan (poverty gap index). Apabila P1 dibagi dengan P0 maka hasil bagi
P1/P0 merupakan persentase rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk
miskin terhadap garis kemiskinan. Kemudian jika = 2 maka P2 disebut indeks
keparahan kemiskinan (poverty severity index).
Indeks P1 tersebut belum memberikan indikasi tentang gambaran distribusi
pendapatan kaum miskin, karena indeks tersebut tidak sensitif terhadap
distribusi pendapatan. Dengan kata lain, P1 belum dapat menangkap tingkat
keparahan kemiskinan. Untuk mengetahui sensitivitas distribusi pendapatan di
antara kaum miskin digunakan P2. Makin besar nilai P2, makin parah tingkat
kemiskinan suatu daerah.
17
BAB III. PEMBAHASAN
embangunan ekonomi dilakukan tidak hanya mengejar pertumbuhan
ekonomi secara makro, tetapi juga harus memperhatikan pemerataan
pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang cepat tidak
dengan sendirinya diikuti oleh pertumbuhan atau perbaikan distribusi
pendapatan bagi segenap penduduk (Todaro dan Smith, 2006). Pembangunan
yang hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan
menimbulkan dua masalah krusial yakni kesenjangan ekonomi dan tingkat
kemiskinan. Kesenjangan ekonomi yang dimaksud adalah adanya ketimpangan
yang besar dalam distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan mencerminkan
merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu wilayah di
kalangan penduduknya. Oleh karena itu, pembangunan yang dilakukan
diharapkan tidak hanya untuk mencapai target tingkat pertumbuhan, tetapi
juga menghasilkan pemerataan bagi masyarakat.
3.1. Pola Konsumsi Rumah Tangga
Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat
memberikan gambaran mengenai keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin
tinggi pendapatan maka porsi pendapatan untuk pengeluaran akan bergeser
dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan atau dengan
kata lain bahwa semakin tinggi pendapatan suatu rumah tangga, maka
persentase konsumsi untuk makanan akan semakin kecil, sedangkan
persentase konsumsi bukan makanan akan semakin besar.
P
18
Rata-rata pengeluaran per kapita penduduk Kabupaten Gunungkidul pada
2016 mencapai 671.115 rupiah per bulan. Jika dibandingkan dengan rata-rata
pengeluaran per kapita pada 2015 yang hanya mencapai 541.114 rupiah,
terjadi kenaikan sebesar 24,02 persen. Kenaikan rata-rata pengeluaran per
kapita pada 2016 ini menggambarkan adanya peningkatan pendapatan dan
terjadi penurunan porsi pengeluaran makanan serta kenaikan porsi
pengeluaran bukan makanan. Kenyataan ini menunjukkan mulai terjadi
pergeseran pengeluaran makanan ke pengeluaran bukan makanan sehingga
diharapkan peningkatan pendapatan ini dapat meningkatkan kesejahteraan
penduduk.
Rata-rata pengeluaran per kapita merupakan salah satu cara dalam
penghitungan kemiskinan absolut (BPS, 2008). Dengan mempertimbangkan
tingkat konsumsi menurut skala ekonomi (economic scale) dalam konsumsi
akan diketahui distribusi penduduknya. Berdasarkan tabel 3.1 terlihat
kelompok pengeluaran 200.000 sampai 499.999 rupiah merupakan kelompok
terbesar dengan persentase yaitu sebesar 43,10 persen, kemudian diikuti oleh
kelompok pengeluaran 500.000 sampai 749.999 rupiah ke atas sebesar 22,08
persen. Sedangkan kelompok pengeluaran kurang dari 200.000 rupiah menjadi
55,61 52,71
44,39 47,29
2015 2016
Gambar 3.1. Persentase Pengeluaran per Kapita per Bulan Menurut Jenis Komoditi, 2015-2016
Makanan
Non Makanan
19
kelompok pengeluaran paling sedikit yang hanya memiliki bagian 3,28 persen
dari total keseluruhan.
Tabel 3.1. Persentase Penduduk Menurut Kelompok Pengeluaran Per Kapita Sebulan dan Tipe Daerah di Kabupaten Gunungkidul, 2016
Kelompok Pengeluaran Per Kapita Sebulan
Tipe Daerah
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan
Perdesaan
(1) (2) (3) (4)
< 200.000 0,00 3,69 3,28
200.000-499.999 49,65 42,29 43,10
500.000-749.999 22,97 21,97 22,08
750.000-999.999 1,09 18,44 16,55
1.000.000-1.499.999 13,93 9,70 10,16
1.500.000 ke atas 12,36 3,90 4,82
Jumlah 100,00 100,00 100,00
Sumber: Susenas 2016
Menurut status daerah, sesuai dengan premis umum bahwa penduduk
perkotaan relatif lebih sejahtera dibandingkan penduduk perdesaan terlihat
dari distribusi pengeluaran penduduk perkotaan yang cenderung pada nilai
konsumsi yang tinggi. Pada 2016 sebagian besar penduduk perkotaan sudah
berada pada kelompok pengeluaran 200.000 sampai 499.999 rupiah yaitu
sebanyak 49,65 persen, diikuti kelompok pengeluaran 500.000 sampai
749.999 rupiah sebanyak 22,97 persen, bahkan tidak ada yang berada pada
kelompok pengeluaran di bawah 200.000 rupiah. Sedangkan penduduk
perdesaan umumnya masih berada pada kelompok pengeluaran 200.000
sampai 499.999 rupiah, yaitu sebanyak 42,29 persen, kemudian baru diikuti
oleh kelompok pengeluaran 500.000 sampai 749.999 rupiah sebesar 21,97
20
persen. Sedangkan pada kelompok pengeluaran di bawah 200.000 rupiah
sebanyak 3,69 persen lebih besar jika dibandingkan dengan penduduk
perkotaan pada kelompok yang sama. Fakta ini memperlihatkan bahwa
kemiskinan umumnya tersebar di perdesaan. Menurut Todaro dan Smith
(2004) bahwa penduduk miskin umumnya bertempat tinggal di daerah
perdesaan dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian dan kegiatan
lain yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tersebut.
3.2. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz distribusi pendapatan penduduk Kabupaten Gunungkidul pada
2016 bergeser jika dibandingkan dengan distribusi pendapatan pada 2015.
Pergeseran yang terjadi pada Kurva Lorenz relatif tidak signifikan, namun pola
yang tampak pada Gambar 3.1 menunjukkan bahwa pendapatan penduduk
Kabupaten Gunungkidul yang diukur dengan pengeluaran per kapita 2016
terdistribusi tidak merata dan sedikit lebih timpang dibandingkan tahun
sebelumnya. Hal ini berindikasi bahwa pola distribusi pendapatan penduduk
Kabupaten Gunungkidul masih tidak merata dan berakibat pada ketimpangan
pendapatan penduduk Kabupaten Gunungkidul sehingga perlu dilakukan
langkah-langkah guna mengurangi ketimpangan yang masih terjadi.
21
Kemudian jika dibandingkan menurut tipe daerahnya bisa terlihat pada
Gambar 3.2 bahwa Kurva Lorenz distribusi pendapatan penduduk yang tinggal
di daerah perdesaan agak berjauhan dengan distribusi pendapatan penduduk
yang tinggal di daerah perkotaan. Distribusi pendapatan penduduk di daerah
perdesaan lebih dekat dengan garis diagonal pada kelompok pendapatan
rendah. Artinya distribusi pendapatan di perkotaan jauh lebih timpang
dibandingkan dengan perdesaan.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Pe
rse
nta
se P
en
gelu
aran
Persentase Penduduk
Gambar 3.2. Kurva Lorentz Distribusi Pendapatan Penduduk Gunungkidul, 2015-2016
2016
2015
22
Sesuai dengan pendapatnya Profesor Oshima, perbedaan distribusi
pendapatan di Kabupaten Gunungkidul kemungkinan disebabkan karena rata-
rata pendapatan penduduk daerah perkotaan lebih tinggi daripada di daerah
perdesaan, penduduk yang tinggal di perdesaan lebih banyak yang bekerja di
Sektor Pertanian dan penduduk daerah perdesaan terdistribusi pada
kelompok pendapatan lebih rendah dari pada di daerah perkotaan.
Mengingat bahwa Kurva Lorenz tidak menunjukkan suatu nilai kuantitatif,
maka seberapa besar pergeseran kurva tersebut tidak terukur. Ukuran secara
kuantitatif akan dijelaskan pada subbab berikutnya, yaitu dengan Indikator
Rasio Gini.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Pe
rse
nta
se P
en
gelu
aran
Persentase Penduduk
Gambar 3.3. Kurva Lorentz Distribusi Pendapatan Penduduk Gunungkidul Menurut Tipe Daerah, 2016
Perkotaan
Perdesaan
23
3.3. Rasio Gini (Gini Ratio)
Visualisasi dengan Kurva Lorenz menjelaskan distribusi pendapatan penduduk
tanpa memberikan nilai kuantitatif yang dapat dibandingkan. Dengan Rasio
Gini, ukuran tinggi atau rendahnya ketimpangan distribusi pendapatan
penduduk secara kuantitatif akan lebih terbandingkan.
Tabel 3.2. Rasio Gini Menurut Tipe Daerah di Kabupaten Gunungkidul, 2015-2016
Tipe Daerah
2015r 2016
Rasio Gini Kriteria Oshima
Rasio Gini Kriteria Oshima
(1) (2) (3) (4) (5)
Perkotaan 0,3810 Moderat 0,4066 Moderat
Perdesaan 0,3070 Moderat 0,3204 Moderat
Perkotaan dan Perdesaan
0,3190 Moderat 0,3337 Moderat
Sumber: Susenas, 2015r (revisi) - 2016
Pada tahun 2016, Rasio Gini Kabupaten Gunungkidul tercatat 0,3337, lebih
tinggi 0,0147 poin dibandingkan dengan Rasio Gini pada 2015. Hal ini berarti
distribusi pendapatan penduduk Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2016
lebih timpang dibanding tahun 2015. Dengan kata lain, pendapatan penduduk
Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2015 lebih merata dibandingkan pada
2016. Ketimpangan distribusi pendapatan ini terjadi di semua wilayah baik
perkotaan maupun perdesaan, dengan peningkatan derajat ketimpangan yang
berbeda.
24
3.4. Ketimpangan Relatif (Relative Inequality) Kriteria Bank Dunia
Sesuai dengan penjelasan pada Bab sebelumnya, berdasarkan Kriteria Bank
Dunia indikator kesenjangan pendapatan juga dapat diukur dengan
menghitung persentase pendapatan penduduk dari 40 persen penduduk yang
berpendapatan terendah dibandingkan dengan total pendapatan seluruh
penduduk. Pada tahun 2016, 40 persen penduduk berpenghasilan terendah di
Kabupaten Gunungkidul menikmati bagian pendapatan sebesar 19,76 persen
dari total pendapatan masyarakat. Berdasarkan kriteria yang sudah dijelaskan
sebelumnya, pendapatan penduduk pada kelompok ini persentasenya masih
lebih dari 17 persen, sehingga masih dikategorikan pada distribusi pendapatan
dengan ketimpangan rendah (low inequality). Namun jika dibandingkan
dengan keadaan pada 2015 di mana 40 persen penduduk berpenghasilan
terendahnya menikmati bagian pendapatan yang lebih banyak yaitu 21,20
persen, maka dapat dikatakan bahwa distribusi pendapatan penduduk di
Kabupaten Gunungkidul pada 2016 relatif semakin tidak merata.
Berdasarkan Tabel 3.3, dapat kita lihat bahwa distribusi pendapatan penduduk
yang semakin timpang ini terutama disebabkan oleh meningkatnya persentase
distribusi pendapatan 20 persen penduduk berpenghasilan tertinggi yang naik
menjadi 41,07 persen pada 2016. Jika diklasifikasikan berdasarkan wilayah
perkotaan dan perdesaan, terlihat bahwa penyebab ketimpangan paling nyata
adalah meningkatnya porsi 20 persen penduduk berpendapatan tinggi di
perkotaan dalam menikmati pendapatan rumah tangga secara umum.
Peningkatan bagian pendapatan pada kategori 20 persen penduduk
berpenghasilan tertinggi tersebut tentu saja akan mereduksi porsi kelompok
lain terutama kelompok 40 persen pendapatan rendah. Dari ilustrasi di atas
25
dapat dikatakan bahwa peningkatan pendapatan penduduk hanya dirasakan
oleh kalangan atas saja, dengan kata lain kesenjangan antara penduduk miskin
dan kaya semakin lebar.
Di wilayah perdesaan pergeseran porsi pendapatan antara kelompok
penduduk tidaklah setimpang di perkotaan, terlihat dari sedikitnya perubahan
porsi pendapatan 20 persen penduduk penghasilan tinggi yang berkurang
sekitar 0,32 poin. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kategori 40
persen pendapatan menengah mengalami penambahan sebesar 2 persen.
Kenaikan porsi pendapatan pada kelompok ini menggeser porsi pendapatan
40 persen penduduk berpenghasilan rendah sehingga turun sekitar 1,68 poin.
Tabel 3.3. Distribusi Pendapatan Berdasarkan Kriteria Bank Dunia Menurut Tipe Daerah di Kabupaten Gunungkidul, 2015-2016
Tipe Daerah
2015r 2016
Kota Desa Kota+ Desa
Kota Desa Kota+ Desa
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
40% Pendapatan Terendah
18,55 21,70 21,20 17,56 20,02 19,76
40% Pendapatan Menengah
35,12 38,54 37,90 32,94 40,54 39,16
20% Pendapatan Tertinggi
46,32 39,76 40,90 49,51 39,44 41,07
Sumber: Susenas, 2015r (revisi) - 2016
Ketimpangan distribusi pendapatan menjadi topik yang perlu dibahas secara
mendalam karena berkaitan dengan tingkat kemiskinan. Makin timpang
26
distribusi pendapatan secara tidak langsung mencerminkan semakin banyak
penduduk miskin dalam suatu wilayah.
3.5. Kemiskinan
Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Gunungkidul mencapai 139,15 ribu
orang pada tahun 2016. Dibandingkan dengan kondisi 2015, jumlah penduduk
miskin turun sebesar 10,23 persen. Penurunan jumlah penduduk miskin pada
2016 ini, diikuti dengan tingkat ketimpangan maupun pemerataan pendapatan
penduduk yang lebih timpang/tidak merata dibanding 2015 dilihat dari angka
Rasio Gini dan kriteria menurut Bank Dunia. Tingkat ketimpangan/pemerataan
pendapatan penduduk di Kabupaten Gunungkidul yang lebih timpang/tidak
merata pada 2016 ini masih dalam batas wajar.
Persentase penduduk miskin di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2016
bukan merupakan yang terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika di
Gunungkidul persentase jumlah penduduk miskin sebesar 19,34 persen maka
di Kulonprogo sebagai ‘pesaing’ mencapai 20,30 persen. Akan tetapi jika
dilihat secara jumlah, penduduk miskin di Kabupaten Gunungkidul (139,15
ribu orang) masih lebih sedikit bila dibandingkan dengan penduduk miskin di
Kabupaten Bantul yang mencapai 142,76 ribu orang. Pola distribusi penduduk
miskin DIY menunjukkan penduduk miskin di Kabupaten Gunungkidul
dibandingkan dengan kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta pada
2014 - 2016 selalu merupakan yang terbanyak bersama Kabupaten Bantul di
urutan pertama. Sedangkan secara persentase pada 2014 - 2016, penduduk
miskin Gunungkidul juga merupakan yang terbesar bersama Kabupaten
Kulonprogo.
27
28
Tabel 3.4. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014-2016
Kabupaten/ Kota
2014 2015 2016
Jumlah (000)
Persentase
Jumlah (000)
Persentase
Jumlah (000)
Persentase
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Kulonprogo 84,67 20,64 88,13 21,40 84,34 20,30
Bantul 153,49 15,89 160,15 16,33 142,76 14,55
Gunungkidul 148,39 20,83 155,00 21,73 139,15 19,34
Sleman 110,44 9,50 110,96 9,46 96,63 8,21
Yogyakarta 35,60 8,67 35,98 8,75 32,06 7,70
DI Yogyakarta 532,59 14,55 550,22 14,91 494,94 13,34
Sumber: Susenas, 2015r (revisi) - 2016
Garis batas yang membedakan antara penduduk miskin dan tidak miskin
disebut dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul
tahun 2016 masih merupakan yang terendah dibanding kabupaten/kota lain di
Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu hanya sebesar Rp 264.637,- per kapita per
bulan. Garis kemiskinan tertinggi dimiliki oleh Kota Yogyakarta dengan nilai Rp
401.193,- per kapita per bulan. Garis kemiskinan di Kota Yogyakarta ini dari
tahun ke tahun selalu menjadi yang tertinggi, demikian pula garis kemiskinan
di Kabupaten Gunungkidul yang dari tahun ke tahun selalu menjadi yang
terendah. Hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh standar biaya hidup
yang lebih tinggi di Kota Yogyakarta dibandingkan dengan biaya hidup di
29
Kabupaten Gunungkidul. Sedangkan kenaikannya lebih dipengaruhi oleh
kenaikan harga-harga yang biasa terlihat dari angka inflasi, Di sinilah angka
inflasi berperan dalam penentuan jumlah penduduk miskin.
Tren garis kemiskinan selalu meningkat seiring dengan laju inflasi yang
menggambarkan tingkat kenaikan harga barang-barang kebutuhan
masyarakat. Peningkatan garis kemiskinan yang terendah di Kabupaten
Gunungkidul terjadi pada 2013. Adapun kabupaten/kota lain di Daerah
Istimewa Yogyakarta peningkatan garis kemiskinannya bervariasi antar
kabupaten/kota sesuai dengan kondisi perekonomian masing-masing.
150 000
175 000
200 000
225 000
250 000
275 000
300 000
325 000
350 000
375 000
400 000
425 000
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Gambar 3.4. Perkembangan Garis Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta, 2009-2016
Kulonprogo Bantul Gunungkidul
Sleman Yogyakarta DI Yogyakarta
30
Persoalan kemiskinan bukan sekedar jumlah dan persentase penduduk miskin,
tetapi juga perlu memperhatikan tingkat kedalaman dan keparahan dari
kemiskinan. Selain harus mampu mengurangi jumlah penduduk miskin,
kebijakan kemiskinan juga sekaligus dapat menurunkan tingkat kedalaman
dan keparahannya. Pada tahun 2016 indeks kedalaman kemiskinan (P1)
Kabupaten Gunungkidul mencapai 4,16 dan indeks keparahannya (P2)
mencapai 1,30. Tingkat kedalaman dan tingkat keparahan tersebut lebih
rendah dibandingkan dengan tahun 2015, yang mencapai tingkat kedalaman
(P1) sebesar 4,55 dan tingkat keparahan (P2) 1,33.
Turunnya nilai kedua indeks ini berindikasi kecenderungan rata-rata
pengeluaran penduduk miskin di Kabupaten Gunungkidul makin mendekati
garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antara sesama penduduk
miskin juga semakin mengecil atau homogen. Pada kurun 2009-2016 tingkat
kedalaman dan tingkat keparahan kemiskinan Kabupaten Gunungkidul
terendah terjadi pada 2010 dan tertinggi terjadi pada 2015.
31
3,77
2,89
4,05 3,68 3,54 3,74
4,55 4,16
1,00 0,57
0,98 0,89 0,86 1,03 1,33 1,30
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Gambar 3.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Kabupaten Gunungkidul, 2009-
2016
P1 P2
33
BAB IV. PENUTUP
1. Gambaran Kurva Lorenz distribusi pendapatan penduduk Kabupaten
Gunungkidul pada 2016 lebih menjauhi garis diagonal jika dibandingkan
dengan distribusi pendapatan pada 2015 atau semakin luas, artinya
distribusi pendapatan penduduk relatif lebih timpang dibandingkan tahun
sebelumnya.
2. Ketimpangan yang diukur berdasarkan nilai Rasio Gini memberikan angka
sebesar 0,3337 (kategori moderat) pada 2016 atau menunjukkan
distribusi pendapatan yang semakin timpang jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya dengan Rasio Gini sebesar 0,3190. Perubahan tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan terjadi baik di daerah perkotaan
maupun di perdesaan; yaitu di perkotaan bergeser dari 0,3810 pada 2015,
menjadi 0,4066, dan di perdesaan bergeser dari 0,3070 pada 2015,
menjadi 0,3204.
3. Pengukuran ketimpangan berdasarkan Kriteria Bank Dunia juga
memberikan kesimpulan yang sama. Pada kelompok 40 persen penduduk
berpendapatan terendah yang menjadi kelompok referensi menguasai
19,76 persen dari total pendapatan yang dibelanjakan oleh penduduk
Kabupaten Gunungkidul. Persentase pendapatan yang dinikmati oleh
kelompok 40 persen penduduk berpendapatan terendah ini lebih rendah
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 21,20 persen.
Kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan terjadi di daerah perkotaan
maupun di perdesaan.
34
4. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2016
mencapai 139,15 ribu orang, atau 19,34 persen dari seluruh penduduk
Kabupaten Gunungkidul.
5. Beberapa pilihan kebijakan penanggulangan ketimpangan distribusi
pendapatan dan kemiskinan yang dikemukakan oleh para ekonom dapat
menjadi alternatif dalam perencanaan program Pemerintah Kabupaten
Gunungkidul, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul diharapkan dapat
memberikan perhatian khusus dalam upaya mengurangi ketimpangan
distribusi pendapatan dan kemiskinan. Bukan hanya Pemerintah
Kabupaten Gunungkidul saja, namun para pelaku bisnis dan masyarakat
juga perlu ikut berperan aktif, agar kaum miskin tidak semakin
terpinggirkan, dan apa yang dicita-citakan dalam pembangunan untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat secara merata dapat tercapai.
35
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Siti, 2003, ”Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan Di Indonesia (Studi Kasus 26
Propinsi di Indonesia)”, Tesis Program Studi Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Badan Pusat Statistik, 1999, “Metodologi Penghitungan Penduduk Miskin
Tingkat Kabupaten/Kotamadya: Pendekatan dengan Susenas Kor”,
Jakarta,
Badan Pusat Statistik, 2007, “Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan
Tahun 2007”, Jakarta,
Badan Pusat Statistik, 2008, “Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan
Tahun 2008”, Jakarta,
Badan Pusat Statistik, 2016, ”Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro
Indonesia Tahun 2016”, Jakarta,
Badan Pusat Statistik, 2017, ”Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota
Tahun 2016”, Jakarta,
BPS Kabupaten Gunungkidul, 2016, “Rasio Gini Kabupaten Gunungkidul 2015”,
Yogyakarta,
BPS Kabupaten Gunungkidul, 2016, “Indikator Kesejahteraan Rakyat
Kabupaten Gunungkidul 2015”, Yogyakarta,
Dumairy, 1996, “Perekonomian Indonesia”, Penerbit Erlangga, Jakarta,
Putri, Hera Pramesti, 2010, ”Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten Kendal
(Studi Kasus : Dataran Rendah Dan Dataran Tinggi)”, Skripsi Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang,
Raj, Debray, 1998, ”Development Economics”, Princeton University Press,
36
Simarmata, Djamester, 2009, “Catatan Kuliah Ekonomi Pembangunan 2009”,
Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia,
Sukirno, Sadono, 2006, “Makroekonomi : Pengantar teori Edisi 3”, Raja
Grafindo Persada,Jakarta
Todaro, Michael P, and Smith, Stephen C, 2006, “Economic Development 9th
Edition”, Addison Wesley, London,