file · web viewdan untuk mengetahui korelasi antara kemiskinan dan pembangunan sehingga...

38
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah kemiskinan memang telah ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan , tetapi miskin dalam bentuk kemudahan dan materi. Dari ukuran modern masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan layanan kesehatan, dan kemudahan- kemudahan lainnya yang tersedia pada zaman modern. pada Negara berkembang kemiskinan tentu menjadi masalah mutlak yang harus segera diselesaikan disamping masalah lain yaiut ketimpangan pendapatan, structural pemerintahan, inflasi deficit dan lain-lain. Masalah kemiskinan yang dihadapi setiap Negara akan selalu dibarengi dengan masalah pertumbuhan penduduk yang kemudian menghasilkan pengangguran, ketimpangan dalam distribusi pendapatan nasional maupun pembangunan, dan pendidikan yang menjadi modal utama untuk dapat bersaing didunia kerja. Karena itu pada penjelasan berikut akan banyak dibahas masalah tersebut yang kami rangkum dalam rumusan masalah. B. Rumusan Masalah 1. Apakah definisi dari kemiskinan dan indikatornya ? 2. Bagaimana mengukur ketimpangan dan kemiskinan ? 1

Upload: vunga

Post on 01-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah kemiskinan memang telah ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya

masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan , tetapi miskin dalam bentuk

kemudahan dan materi. Dari ukuran modern masa kini mereka tidak menikmati fasilitas

pendidikan layanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada

zaman modern. pada Negara berkembang kemiskinan tentu menjadi masalah mutlak yang

harus segera diselesaikan disamping masalah lain yaiut ketimpangan pendapatan,

structural pemerintahan, inflasi deficit dan lain-lain. Masalah kemiskinan yang dihadapi

setiap Negara akan selalu dibarengi dengan masalah pertumbuhan penduduk yang

kemudian menghasilkan pengangguran, ketimpangan dalam distribusi pendapatan

nasional maupun pembangunan, dan pendidikan yang menjadi modal utama untuk dapat

bersaing didunia kerja. Karena itu pada penjelasan berikut akan banyak dibahas masalah

tersebut yang kami rangkum dalam rumusan masalah.

B. Rumusan Masalah 1. Apakah definisi dari kemiskinan dan indikatornya ?

2. Bagaimana mengukur ketimpangan dan kemiskinan ?

3. Apakah definisi pembangunan dan indicator-indikator keberhasilan pembangunan ?

C. TujuanBertujuan untuk mengetahui apa saja indicator-indikator kemiskinan sehingga suatu

wilayah dan negara dikatakan miskin, apa saja factor-faktor penyebabnya. Dan untuk

mengetahui korelasi antara kemiskinan dan pembangunan sehingga munculnya masalah

ketimpangan-ketimpangan dan bagaimana mengukur ketimpangan tersebut lalu mencari

solusi sehingga pertumbuhan atau kemajuan suatu Negara sesuai dengan tujuannya dalam

menumbuhkan kesejahteraan rakyat di semua aspek kehidupan.

1

BAB II

KEMISKINAN KETIMPANGAN DAN PEMBANGUNAN

A. KEMISKINAN

1. pengertian kemiskinan

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai

seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berkaitan erat dengan

kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan

pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak

sebagai warga Negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami

istilah ini secara subyektif dan komparatif. Sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral

dan evaluative dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah

“Negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada Negara-negara yang “miskin”

kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup :

a. Gambaran kekurangan materi yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-

hari, sandang, perumahan dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini

dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.

b. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan

dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk

pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan

karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada

bidang ekonomi.

c. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai “ memadai”

disini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi diseluruh

dunia.

Kemiskinan adalah problem sosial. Bagi kebanyakan orang, kemiskinan merupakan masalah

yang cukup merisaukan. Ia di anggap sebagai penyakit sosial yang paling dahsyat dan menjadi

musuh utama Negara (hairi Abdullah 1984:16) kemiskinan bukan saja dilihat sebagai fenomena

2

ekonomi semata-semata, tetapi juga sebagai masalah sosial dan politik (syed othman alhabshi

1996). Karena dirasakan dahsyatnya bahaya kemiskinan, membasmi kemiskinan dianggap

sebagai jihad (anwar Ibrahim 1983/1984:25). Secara umum, kemiskinan mempunyai empat

dimensi pokok, yaitu ; kurangnya kesempatan (lack of capacity or empowerment). Dan

lazimnya kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan (poverty line). Kemiskinan tidak saja

mengakibatkan penyakit busung lapar (gizi buruk) atau pengemis dan lain sebagainya,

kemiskinan juga mengakibatkan turunnya harga diri individu atau kelompok masyarakat. Secara

psikologis orang miskin cenderung lebih sensitive, gampang tersinggung , kurang percaya diri

bahkan gampang emosi, sehingga kondisi ini rawan dengan berbagai upaya pemanfaat pihak

ketiga yang menggunakannya sebagai kendaraan/alat untuk memancing kerusuhan de sebuah

daerah, intinya kemiskinan memiliki keterkaitan cukup erat dengan stabilitas politik dan

ekonomi sebuah daerah. Karena merupakan masalah pembangunan yang multidimensi, maka

pemecahan kemiskinan harus melalui strategis yang komperhensif, terpadu, terarah dan

keseninambungan.

2. Konsep Kemiskinan

Dari berbagai literature yang mengupas tentang konsep kemiskinan, paling tidak ada dua macam

konsep kemiskinan yang dapat kita terima sebagai rujukan, yaitu :

1. Kemiskinan absolute

2. Kemiskinan relative

a. Konsep pertama kemiskinan absolute dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu

yang kongkrit (a fixed yardstick). Ukuran ini lazimnya berorientasi kebutuhan hidup

dasar minimum anggota masyarakat ( sandang pangan dan papan)

Masing-masing Negara terlihat mempunyai batasan kemiskinan absolu yang berbeda-beda, sebab

kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Karena

ukurannya dipastikan, maka konsep kemiskinan semacam itu mengenal garis batas kemiskinan.

Kemiskinan absolute juga dapat dilihat dari sejauh mana tingkat pendapatan penduduk miskin

tersebut mampu mencukupi kebutuhan pokoknya (basic needs ), yaitu pangan, sandang, papan,

kesehatan dan pendidikan. Kemampuan untuk membeli kebutuhan pokok ini diequivalenkan

3

dengan daya belinya (uang uang). Mereka yang tidak mampu membeli kebutuhan pokok tertentu

sesuai standar minimal dianggap berada pada posisi dibawah garis kemiskinan.

b. Konsep yang kedua kemiskinan relative dirumuskan berdasarkan the idea of relative

standart, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya adalah

kemiskinan pada suatu daerah tertentu berbeda dengan pada daerah tetentu lainnya, dan

kemiskinan pada waktu (saat) tertentu berbeda dengan waktu yang lain. Konsep kemiskinan

relative lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan in term of judgement anggota masyarakat

tertentu, dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. Kemiskinan relative dilihat

berdasarkan persentasi pendapatan yang diterima oleh pendapatan lapisan bawah. Mereka yang

berada pada lapisan bawah dalam stratifikasi pendapatan nasional inilah yang dianggap miskin

(edi suandy hamid 2000:14)

3. Stigma Kemiskinan

Setidaknya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah

kemiskinan, yaitu;

a. Kemiskinand cultural (the cultural perspective )

b. Kemiskinan dalam structural atau situasional (the situasional perspective)

Masing-masing perspective tersebut memiliki tekanan, acuan dan metodolgi tersendiri yang

berbeda dalam menganalisa masalah kemiskinan. Perspektif cultural mendekati masalah

kemiskinan pada tiga level analisis; individual, keluarga dan masyarakt. Pada level individual

ditandai sifat yang lazim disebut a strong feeling of marginality, seperti; sikap parochial, sikap

apatisme, fatalism, atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior.

Kemudian perspektif structural/situasional masalah kemiskinan sebagai dampak dari system

ekonomi yang mengutamakan akumulasi capital dan produk-produk teknologi modern. Penetrasi

capital antara lain mengejawantahkan dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih

mengutamakan pertumbuhan (development). Program-program tersebut antara lain berbentuk

intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-

besarnya guna memenuhi kebutuhan nasional dan eksport. Edi suandy hamid (2000;19)

mengatakan bahwa masalah kemiskinan yang terjadi saat ini tidak biasa dilepaskan dari

4

meningkatnya jumlah pengangguran. Pada masa krisis ekonomi ini, bukan saja laju pertambahan

angkatan kerja baru tidak bias diserap oleh pasar kerja, melainkan juga terjadi pemutusan

hubungan kerja disektor formal yang berakibat bertambahnya angkatan kerja yang menganggur,

baik itu yang menganggur penuh atau sama sekali tidak bekerja (open unemployment) maupun

setengah menganggur atau bekerja dibawah jam kerja normal (under un employment)

4. Indikator-Indikator Kemiskinan

Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai inspirasi dasar dan

perjuangan akan kemerdekaan bangsa, dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan

masyarakat adil dan

makmur. Adapun indikator-

indikator kemiskinan antara

lain:

1. Pendidikan yang

terlampau rendah

Dengan adanya tingkat

pendidikan yang rendah

menyebabkan seseorang

kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupanyya. Keterbatasan

pendidikan/ keterampilan yang dimiliki menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk masuk

dalam dunia kerja. Atas dasar kenyataan diatas dia miskin karena tidak bisa berbuat apa-apa

untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

1. Malas bekerja

Sikap malas merupakan suatu masalah yang cukup memprihatinkan, karena masalah ini

menyangkut mentalitas dan kepribadian seseorang. Adanya sikap malas ini seseorang bersikap

acuh tak acuh dan tidak bergairah untuk bekerja. Cenderung untuk menggantungkan hidupnya

pada orang lain, baik dari keluarga, saudara atau famili yang dipandang mempunyai kemampuan

untuk menanggung kebutuhan hidup mereka.

5

1. Keterbatasan sumber alam

Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan

keuntungan bagi kehidupan mereka. Sering dikatakan oleh para ahli, bahwa masyarakat itu

miskin karena memang dasarnya (alamiah miskin).

Alamiah miskin yang dimaksud adalah kekayaan alamnya, misalnya tanahnya berbatu-batu,

tidak menyimpan kekayaan mineral dan sebagainya. Dengan demikian layaklah kalau miskin

sumber daya alam, miskin juga masyarakatnya.

1. Terbatasnya lapangan kerja

Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara

ideal banyak orang mengatakan bahwa seseorang/ masyarakat harus mampu menciptakan

lapangan kerja baru. Tetapi secara faktual hal tersebut kecil kemungkinannya, karena adanya

keterbatasan kemampuan seseorang baik yang berupa skill atau modal.

1. Keterbatasan modal

Keterbatasan modal adalah sebuah kenyataan yang ada di negara-negara yang sedang

berkembang, kenyataan tersebut membawa kemiskinan pada sebagian besar masyarakat tersebut.

Seorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi alat ataupun bahan

dalam menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh

penghasilan. Keterbatasan modal bagi negara-negara yang sedang berkembang dapat diibaratkan

sebagai suatu lingkaran yang tak berujung pangkal baik dari segi permintaaan modal maupuin

dari segi penawaran akan modal.

1. Beban keluarga

Semakin banyak anggota keluarga akan semakin banyak pula tuntutan/ beban untuk hidup yang

harus dipenuhi. Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi

dengan usaha peningkatan pendapatan sudah pasti akan menimbulkan kemiskinan karena mereka

memang berangkat dari kemiskinan. Kenaikan pendapatan yang dibarengi dengan pertambahan

jumlah keluarga, berakibat kemiskinan akan tetap melanda dirinya dan bersifat latent.

6

5. Usaha Mengatasi Kemiskinan

Dari kegagalan kebijaksanaan konvesional mengenai pertumbuhan ekonomi di banyak Negara

berkembang dalam mengurangi kemiskinan, pengangguran dan disparitas (ketimpangan)

pendapatan secara berarti telah memaksa baik para perencana ekonomi dan teknokrat maupun

para peneliti ekonomi untuk kembali mempelajari secara sunguh-sunguh kebijaksanaan

tersebut,serta mendorong mereka untuk mempelajari alternatif-alternatif yang realistis bagi

kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi yang konvensional. Dalam hal ini pendekatan kebutuhan

dasar dalam perencanaan pembangunan merupakan hasil yang logis dari suatu proses reorientasi

yang panjang dalam pemikiran tentang pembangunan.

Dari hasil-hasil penelitian kemudian pusat perhatian para ahli lambat laun mulai bergeser dari

tekanan pada penciptaan lapangan kerja yang memadai ke penghapusan kemiskinan, dan

akhirnya ke penyediaan barang-barang dan jasa-jasa kebutuhan dasar bagi seluruh penduduk,

yang berupa dua perangkat, yaitu:

a)       Perangkap kebutuhan konsumsi perorangan akan pangan ,sandang , dan pemukiman.

b)      Perangkap yang mencakup penyediaan jasa umum dasar ,seperti fasilitas

kesehatan,pendidikan ,saluran air minum ,pengangkutan ,dan kebudayaan.

Di samping kedua perangkat tersebut ,kebutuhan dasar atau kebutuhan dasar manusiawi kadang-

kadang juga digunakan untuk mencakup tiga sasaran lain, yaitu :

1)      Hak atas pekerjaan produktif dan yang memberikan imbalan yang layak, sehingga cukup

untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap rumah tangga atau perorangan .

2)      Prasarana yang mampu menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan untuk

memnuhi kebutuhan dasar penduduk.

3)      Partisipasi seluruh penduduk ,baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam

pelaksanaan proyek-proyek yang berhubungan dengan penyediaan barang-barang dan jasa-jasa

kebutuhan dasar.

7

Gambar ketimpangan

Pengalaman dari negara-negara Asia Timur, yaitu Korea, Taiwan, Jepang menunjukkan bahwa

pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan disertai pemerataan hasil-hasil pembangunan dapat

tercapai. Karena di negara-negara tersebut program pembangunan pedesaan  sangat diutamakan.

B. MENGUKUR KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN

Kalau kita merenungkan kembali krisis ekonomi yang kita alami beberapa tahun lalu,

tampaknya kita mempunyai cukup alasan untuk mengatakan bahwa krisis tersebut telah

menimbulkan dampak sosial-ekonomi-politik yang luar biasa bagi Indonesia. Kendati kinerja

ekonomi pascakrisis cenderung membaik, indikator ketimpangan dan kemiskinan menunjukkan

bukti adanya eksklusi sosial-ekonomi

bagi kebanyakan manusia Indonesia.

Eksklusi tersebut timbul karena

redistribusi pendapatan dan tentunya

juga redistribusi kekuatan ekonomi-

politik yang berlangsung secara tiba-

tiba dalam perekonomian kita, ketika

krisis itu menghantam. Eksklusi bagi

mereka yang sudah miskin dan mereka

yang menjadi miskin karena krisis,

tidaklah teatrikal, tapi amat kasat mata

dan nyata. Hasil akhir dari redistribusi

tersebut masih terasa sangat

menyesakkan bagi mereka yang berada di bagian bawah dari piramida sosial-ekonomi.

Indikator Mengukur Ketimpangan

Berikut ini akan diuraikan beberapa indikator yang sering digunakan oleh para peneliti untuk

mengukur ketimpangan di suatau negara atau daerah.

1. Size distributions (quintiles, deciles)

8

Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap

individu atau rumah tangga. Cara mendapatkan penghasilan itu tidak dipermasalahkan.

Oleh karena itu para ekonom cenderung mengurutkan semua individu berdasarkan

pendapatan yang diterimanya, lantas membagi total populasi kedalam beberapa

nkelompok atau ukuran. Biasanya populasi dibagi menjadi 5 kelompok atau kuantil dan

10 kelompok atau desil.

2. Lorenz curves

Indeks gini seringkali ditampilkan

bersamaan dengan kurva Lorenz, yang

menggambarkan hubungan antara pangsa

kumulatif pendapatan dan penduduk. G

adalah indeks gini yang diturunkan dari

kurva Lorenz dengan cara membagi

daerah yang dibatasi oleh garis diagonal

dan kurva Lorenz dengan total daerah

pada segitiga yang lebih rendah

9

3. Gini coefficients and aggregate measures of inequality

Dari semua pengukur ketimpangan, indeks gini adalah yang paling sering dipakai sebagai

indikator ketimpangan. Salah satu yang menarik dari indeks gini ialah pendekatannya

yang sangat langsung terhadap ukuran ketidakmerataan, memuat perbedaan di antara

setiap pasangan pendapatan, yang sejauh ini merupakan ukuran ketidakmerataan ekonomi

yang paling populer. Pada kenyataannya, pasangan-pasangan yang diobservasi yang

dipakai dalam penghitungan Indeks gini digunakan untuk menghasilkan Kurva Lorenz.

Hal ini dilakukan dengan mem-plot pasangan pangsa (kumulatif) pendapatan dan

penduduk dalam sebuah kotak.

Nilai dari indeks gini berkisar antara 0 sampai 1. Nilai 0 menunjukkan bahwa seluruh

pendapatan terbagi secara merata terhadap seluruh unit masyarakat (perfect equality),

sedang nilai 1 berarti seluruh pendapatan hanya dimiliki oleh satu orang atau satu unit

saja pada keseluruhan distribusi (perfect inequality). Ketimpangan yang rendah

mempunyai nilai indeks gini sebesar 0,4 atau di bawahnya. Ketimpangan yang tinggi

apabila mempunyai indeks gini di atas 0,4 dalam distribusinya.

4. Functional distributions

Ukuran ini berfokus pada bagian dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-

masing faktor produksi. Relevansi teori fungsional kurang tajam, karena tidak

memperhitungkan peranan dan pengaruh kekuatan diluar pasar.

C. TEORI DAN INDIKATOR PEMBANGUNAN

1. Pengertian Pembangunan

Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigm besar

modernisasi dan ketergantungan ( lewwellen 1995 kiely 1995 dalam tikson 2005 ). Paradigm

modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial

dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan paradigma

ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan ( under development ) ketergantungan

( dependent development ) dan system dunia ( world system theory ) sesuai dengan klasifikasi

larrain (1994) sedangkan tikson (2005) membaginya kedalam tiga klasifikasi teori pembangunan

10

yaitu modernisasi keterbelakangan dan ketergantungan. Dari berbagai paradifma tersebut itulah

kemudian muncul berbagai versi tentang pengertian pembangunan.

Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang [paling menarik untuk

diperdebatkan . mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata

pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah berkembang, mulai

dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, weber, dan marx) pandangan marxix, modernisasi

oleh rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pendahuluan

pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelanjutan. Namun ada tema-tema pokok yang

menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya

terkoordinasi untuk menciptakan alternative yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga

Negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (nugroho dan rochim

dahuri 2004). Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan

perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah terciptanya alternative

yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya

berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehidupan. Ada pun mekanismenya

menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya yang mampu berperan

secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang

berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai

moral dan etika umat.

Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-

macam seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan bias saja diartikan berbeda oleh satu

orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan yang lainnya, Negara satu dengan lainnya.

Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk

melakukan perubahan (Riyasdh dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).

Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “suatu usaha atau

rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh

suatu bangsa, Negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa

(nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih

sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan kea rah yang lebih baik melalui upaya yang

dilakukan ssecara terencana”.

11

Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang

mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan

industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran tersebut

didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi

serta industrialisasi, secara keseluruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu,

keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-masing

mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang

berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi

dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).

Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system

sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi,

kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan

sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan

yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan

sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan

strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat

dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa,

sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi

sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan

industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui

pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya

sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan

partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering

dikaitkan,  antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping

adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan

spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada

penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.

Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat,

ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro

12

(commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan

(progress), pertumbuhan dan diversifikasi.

Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas,  pembangunan adalah semua

proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana.

Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak

dari adanya pembangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).

Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat yang

menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup

bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang dapat

mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, modernisasi diartikan sebagai proses

trasformasi dan perubahan dalam masyarakat yang meliputi segala aspeknya, baik ekonomi,

industri, sosial, budaya, dan sebagainya.

Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang

mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu

proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi

modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat modern,

menggantikan alat-alat yang tradisional.

Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu

sosial, para Ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep

pembangunan secara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan sebagai suatu

upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang dimaksud

adalah menuju arah peningkatan dari keadaan semula, tidak jarang pula ada yang

mengasumsikan bahwa pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring dengan

perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat

menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus memisah-

kan secara tegas batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya Administrasi Pembangunan

mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi kehidupan

bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan

sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang,

baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam

pembangunan.”

13

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat

dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya

pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan. Dalam hal ini

pertumbuhan dapat berupa pengembangan/perluasan (expansion) atau peningkatan

(improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat.

1. Indikator Pengukuran Keberhasilan Pembangunan

Penggunaan indicator dan variable pembangunan bisa berbeda untuk setiap Negara. Di

Negara-negara yang masih miskin, ukuran kemajuan dan pembangunan mungkin masih

sekitar kebutuhan-kebutuhan dasar seperti listrik masuk desa, layanan kesehatan pedesaan,

dan harga makanan pokok yang rendah. Sebaliknya, di Negara-negsara yang telah dapat

memenuhi kebutuhan tersebut, indicator pembangunan akan bergeser kepada factor-

faktor   sekunder dan tersier (Tikson, 2005).

Sejumlah indicator ekonomi yang dapat digunakan oleh lembaga-lembaga internasional

antara lain pendapatan perkapita (GNP atau PDB), struktur perekonomin, urbanisasi, dan

jumlah tabungan. Disamping itu terdapat pula dua indicator lainnya yang menunjukkan

kemajuan pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa atau daerah yaitu Indeks Kualitas

Hidup (IKH atau PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Berikut ini, akan disajikan

ringkasan Deddy T. Tikson (2005) terhadap kelima indicator tersebut :

1.   Pendapatan perkapita

Pendapatan per kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB merupakan salah satu

indikaor makro-ekonomi yang telah lama digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi.

Dalam perspektif makroekonomi, indikator ini merupakan bagian kesejahteraan manusia

yang dapat diukur, sehingga dapat menggambarkan kesejahteraan dan kemakmuran

masyarakat. Tampaknya pendapatan per kapita telah menjadi indikator makroekonomi yang

tidak bisa diabaikan, walaupun memiliki beberapa kelemahan. Sehingga pertumbuhan

pendapatan nasional, selama ini, telah dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia

ketiga. Seolah-olah ada asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara

otomatis ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan ekonomi).

14

Walaupun demikian, beberapa ahli menganggap penggunaan indikator ini mengabaikan pola

distribusi pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur distribusi pendapatan dan

pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan akses terhadap sumber daya ekonomi.

2.   Struktur ekonomi

Telah menjadi asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan mencerminkan

transformasi struktural dalam bidang ekonomi dan kelas-kelas sosial. Dengan adanya

perkembangan ekonomi dan peningkatan per kapita, konstribusi sektor manupaktur/industri

dan jasa terhadap pendapatan nasional akan meningkat terus. Perkembangan sektor industri

dan perbaikan tingkat upah akan meningkatkan permintaan atas barang-barang industri, yang

akan diikuti oleh perkembangan investasi dan perluasan tenaga kerja. Di lain pihak ,

kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional akan semakin menurun.

3.   Urbanisasi

Urbanisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di

wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Urbanisasi dikatakan tidak terjadi

apabila pertumbuhan penduduk di wilayah urban sama dengan nol. Sesuai dengan

pengalaman industrialisasi di negara-negara eropa Barat dan Amerika Utara, proporsi

penduduk di wilayah urban berbanding lurus dengn proporsi industrialisasi. Ini berarti bahwa

kecepatan urbanisasi akan semakin tinggi sesuai dengan cepatnya proses industrialisasi. Di

Negara-negara industri, sebagain besar penduduk tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di

Negara-negara yang sedang berkembang proporsi terbesar tinggal di wilayah pedesaan.

Berdasarkan fenomena ini, urbanisasi digunakan sebagai salah satu indicator pembangunan.

4.  Angka Tabungan

Perkembangan sector manufaktur/industri selama tahap industrialisasi memerlukan

investasi dan modal. Finansial capital merupakan factor utama dalam proses industrialisasi

dalam sebuah masyarakat, sebagaimana terjadi di Inggeris pada umumnya Eropa pada awal

pertumbuhan kapitalisme yang disusul oleh revolusi industri. Dalam masyarakat yang

memiliki produktivitas tinggi, modal usaha ini dapat dihimpun melalui tabungan, baik swasta

maupun pemerintah.

15

5.   Indeks Kualitas Hidup

IKH atau Physical Qualty of life Index (PQLI) digunakan untuk mengukur kesejahteraan

dan kemakmuran masyarakat. Indeks ini dibuat indicator makroekonomi tidak dapat

memberikan gambaran tentang kesejahteraan masyarakat dalam mengukur keberhasilan

ekonomi. Misalnya, pendapatan nasional sebuah bangsa dapat tumbuh terus, tetapi tanpa

diikuti oleh peningkatan kesejahteraan sosial. Indeks ini dihitung berdasarkan kepada (1)

angka rata-rata harapan hidup pada umur satu tahun, (2) angka kematian bayi, dan (3) angka

melek huruf. Dalam indeks ini, angka rata-rata harapan hidup dan kematian b yi akan dapat

menggambarkan status gizi anak dan ibu, derajat kesehatan, dan lingkungan keluarga yang

langsung beasosiasi dengan kesejahteraan keluarga. Pendidikan yang diukur dengan angka

melek huruf, dapat menggambarkan jumlah orang yang memperoleh akses pendidikan

sebagai hasil pembangunan. Variabel ini menggambarkan kesejahteraan masyarakat, karena

tingginya status ekonomi keluarga akan mempengaruhi status pendidikan para anggotanya.

Oleh para pembuatnya, indeks ini dianggap sebagai yang paling baik untuk mengukur

kualitas manusia sebagai hasil dari pembangunan, disamping pendapatan per kapita sebagai

ukuran kuantitas manusia.

6.  Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)

The United Nations Development Program (UNDP) telah membuat indicator

pembangunan yang lain, sebagai tambahan untuk beberapa indicator yang telah ada. Ide

dasar yang melandasi dibuatnya indeks ini adalah pentingnya memperhatikan kualitas

sumber daya manusia. Menurut UNDP, pembangunan hendaknya ditujukan kepada

pengembangan sumberdaya manusia. Dalam pemahaman ini, pembangunan dapat diartikan

sebagai sebuah proses yang bertujuan m ngembangkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan

oleh manusia. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia

akan diikuti oleh terbukanya berbagai pilihan dan peluang menentukan jalan hidup manusia

secara bebas.

Pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai factor penting dalam kehidupan manusia, tetapi

tidak secara otomatis akan mempengaruhi peningkatan martabat dan harkat manusia. Dalam

hubungan ini, ada tiga komponen yang dianggap paling menentukan dalam pembangunan,

16

umur panjang dan sehat, perolehan dan pengembangan pengetahuan, dan peningkatan

terhadap akses untuk kehidupan yang lebih baik. Indeks ini dibuat dengagn

mengkombinasikan tiga komponen, (1) rata-rata harapan hidup pada saat lahir, (2) rata-rata

pencapaian pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMU, (3) pendapatan per kapita yang dihitung

berdasarkan Purchasing Power Parity. Pengembangan manusia berkaitan erat dengan

peningkatan kapabilitas manusia yang dapat dirangkum dalam peningkatan knowledge,

attitude danskills, disamping derajat kesehatan seluruh anggota keluarga dan lingkungannya.

2. Evolusi dan Pergeseran Makna Pembangunan

Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus

pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah,

makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatanProduk Domestik

Regional Bruto (PDRB) suatu provinsi, kabupaten, atau kota (Kuncoro, 2004).

Namun, muncul kemudian sebuah alternatif definisi pembangunan ekonomi

menekankan pada peningkatan income per capita (pendapatan per kapita). Definisi ini

menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang dapat melebihi

pertumbuhan penduduk. Definisi pembangunan tradisional sering dikaitkan dengan sebuah

strategi mengubah struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan industrialisasi.

Kontribusi mulai digantikan dengan kontribusi industri. Definisi yang cenderung melihat segi

kuantitatif pembangunan ini dipandang perlu menengok indikator-indikator sosial yang ada

(Kuncoro, 2004).

Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan

pembangunan ekonomi tradisional. Pertanyaan beranjak dari benarkah semua indikator

ekonomi memberikan gambaran kemakmuran. Beberapa ekonom modern mulai

mengedepankan dethronement of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi),

pengentasan garis kemiskinan, pengangguran, distribusi pendapatan yang semakin timpang,

dan penurunan tingkat pengangguran yang ada. Teriakan para ekonom ini membawa

perubahan dalam paradigma pembangunan menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat

sebagai suatu proses yang multidimensional (Kuncoro, 2003). Beberapa ahli menganjurkan

17

bahwa pembangunan suatu daerah haruslah mencakup tiga inti nilai (Kuncoro, 2000;

Todaro, 2000):

1. Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan,

papan, kesehatan, dan proteksi) untuk mempertahankan hidup.

2.  Harga diri (Self Esteem): pembangunan haruslah memanusiakan orang. Dalam arti

luas pembangunan suatu daerah haruslah meningkatkan kebanggaan sebagai

manusia yang berada di daerah itu.

3.  Freedom from servitude: kebebasan bagi setiap individu suatu negara untuk berpikir,

berkembang, berperilaku, dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Selanjutnya, dari evolusi makna pembangunan tersebut mengakibatkan

terjadinya pergeseran makna pembangunan. Menurut Kuncoro (2004), pada akhir

dasawarsa 1960-an, banyak negara berkembang mulai menyadari bahwa “pertumbuhan

ekonomi” (economic growth) tidak identik dengan “pembangunan ekonomi” (economic

development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara

maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi

dengan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi

pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural (Sjahrir, 1986). Ini pula

agaknya yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat

yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses

pembangunan (Esmara, 1986, Meier, 1989 dalam Kuncoro, 2004). Pertumbuhan

ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional,

sedang pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan

ekonomi.

Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangunan.

Myrdal (1968 dalam Kuncoro, 2004), misalnya mengartikan pembangunan sebagai pergerakan

ke atas dari seluruh sistem sosial. Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan

perubahan (growth with change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Dengan kata

lain, pembangunan ekonomi tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan, namun lebih

memusatkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.

18

Dalam praktik pembangunan di banyak negara, setidaknya pada tahap awal

pembangunan umumnya berfokus pada peningkatan produksi. Meskipun banyak varian

pemikiran, pada dasarnya kata kunci dalam pembangunan adalah pembentukan  modal. Oleh

karena itu, strategi pembangunan yang dianggap paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan

ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi.  Peranan sumber

daya manusia (SDM) dalam strategi semacam ini hanyalah sebagai “instrumen” atau salah

satu “faktor produksi” saja.Manusia ditempatkan sebagai posisi instrumen dan bukan

merupakan subyek dari pembangunan. Titik berat pada nilai produksi dan produktivitas telah

mereduksi manusia sebagai penghambat maksimisasi kepuasan maupun maksimisasi

keuntungan.

Konsekuensinya, peningkatan kualitas SDM diarahkan dalam rangka peningkatan

produksi. Inilah yang disebut sebagai pengembangan SDM dalam kerangka production

centered development (Tjokrowinoto, 1996). Bisa dipahami apabila topik pembicaraan

dalam perspektif paradigma pembangunan yang semacam itu terbatas pada masalah

pendidikan, peningkatan ketrampilan, kesehatan, link and match, dan sebagainya. Kualitas

manusia yang meningkat merupakan prasyarat utama dalam proses produksi dan memenuhi

tuntutan masyarakat industrial.Alternatif lain dalam strategi pembangunan manusia adalah

apa yang disebut sebagaipeople-centered development atau panting people first (Korten,

1981 dalam Kuncoro, 2004). Artinya, manusia (rakyat) merupakan tujuan utama dari pem-

bangunan, dan kehendak serta kapasitas manusia merupakan sumber daya yang paling

penting Dimensi pembangunan yang semacam ini jelas lebih luas daripada sekedar

membentuk manusia profesional dan trampil sehingga bermanfaat dalam proses produksi.

Penempatan manusia sebagai subyek pembangunan menekankan pada pentingnya

pemberdayaan (empowerment) manusia, yaitu kemampuan manusia untuk

mengaktualisasikan segala potensinya.

 Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan seperti

pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs) pembangunan mandiri (self-

reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam

(ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut

19

etnis (ethnodevelomment) (Kuncoro, 2003). paradigma ini secara ringkas dapat dirangkum

sebagai berikut:

1.   Para proponen strategi “pertumbuhan dengan distribusi”, atau “redistribusi dari per -

tumbuhan”, pada hakekatnya menganjurkan agar tidak hanya memusatkan perhatian pada

pertumbuhan ekonomi (memperbesar “kue” pembangunan) namun juga

mempertimbangkan bagaimana distribusi “kue” pembangunan tersebut. lni bisa

diwujudkan dengan kombinasi strategi seperti peningkatan kesempatan kerja, investasi

modal manusia, perhatian pada petani kecil, sektor informal dan pengusaha ekonomi

lemah.

2.  Strategi pemenuhan kebutuhan pokok dengan demikian telah mencoba memasukkan

semacam “jaminan” agar setiap kelompok sosial yang paling lemah mendapat manfaat dari

setiap program pembangunan.

3.   Pembangunan “mandiri” telah muncul sebagai kunsep strategis dalam forum internasional

sebelum kunsep “Tata Ekonomi Dunia Baru” (NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerja

sama yang menarik dibanding menarik diri dari percaturan global.

4.  Pentingnya strategi ecodevelopment, yang intinya mengatakan bahwa masyarakat dan

ekosistem di suatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan

pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi; namun yang paling utama adalah, strategi

pembangunan ini harus berkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun sosial.

5.        Sejauh ini baru Malaysia yang secara terbuka memasukkan

konsepecodevelopment dalam formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP

dirancang dan digunakan untuk menjamin agar buah pembangunan dapat dirasakan

kepada semua warga negara secara adil, baik ia dari komunitas Cina, India, dan

masyarakat pribumi Malaysia (Faaland, Parkinson, & Saniman, 1990 dalam Kuncoro,

2004).

20

3. Pembangunan Dan Kemiskinan

Di Indonesia pola perkembangan pembangunan juga mengikuti pendapatan yang dikemukakan

Kuznets, artinya golongan miskin kurang terjamah oleh hasil-hasil pertumbuhan ekonomi.

Mengapa mereka tidak terangkat, padahal pemerintah telah mengambil kebijaksanaan

penyebaran proyek-proyek

ke daerah-daerah ke desa-

desa.

Bila diteliti golongan-

golongan miskin yang tidak

terjamah oleh hasil-hasil

pembangunan karena:

a)      Ketimpangan dalam

peningkatan pendidikan.

Selama belum ada kewajiban

belajar golongan miskin tidak akan mampu berpartisipasi mengenyam peningkatan anggaran

pendidikan.

b)      Ketidakmerataan kemampuan untuk berpartisipasi. Untuk berpartisipasi diperlukan tingkat

pendidikan, keterampilan, relasi, dan sebagainya. Golongan miskin tidak memilikinya .

c)      Ketidakmerataan pemilikan alat-alat produksi.Golongan miskin tidak memiliki alat-alat

produksi, penghasilannya untuk makan saja sudah susah, sehingga tidak mungkin untuk

membentuk modal.

d)     Ketidakmerataan kesempatan terhadap modal dan kredit ada. Modal dan kredit

pemberiannya menghendaki syarat-syarat tertentu dan golongan miskin tidak mungkin

memenuhi persyaratannya.

21

e)      Ketidakmerataan menduduki jabatan-jabatan. Untuk mendapat pekerjaan yang memberi

makan pada keluarga saja susah, apalagi menduduki jabatan-jabatan yang sering memerlukan

relasi tertentu dan persyaratan tertentu.

f)       Ketidakmerataan mempengaruhi pasaran. Karena miskin dan pendidikannya rendah, maka

tidak mungkin golongan miskin dapat mempengaruhi pasaran .

g)      Ketidakmerataan kemampuan menghindari musibah misalnya penyakit, kecelakaan dan

ketidak beruntungan lainnya. Bagi golongan miskin dibutuhkan bantuan untuk dapat mengatasi

musibah tersebut. Mengharapkan diri mereka sendiri dapat mengangakat dirinya tanpa

pertolongan, sukar dipastikan.

h)      Laju pertumbuhan penduduk lebih memberatkan golongan miskin. Dengan jumlah

keluarga besar, mereka sulit dapat menyekolahkan, memberi makan, dan pakaian secukupnya.

Hanya keluarga yang kaya atau berpenghasilan besar sajalah yang mampu.

Dapatlah dipastikan bahwa golongan berpenghasilan rendah, karena kurang terjamah pendidikan,

tidak memiliki sarana-sarana, misalnya kredit, modal, alat-alat produksi, relasi dan sebagainya,

tidak akan mampu berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi dan menikmati pembagian hasil-

hasilnya tanpa adanya kebijaksanaan khusus yang ditujuakan untuk mengangkat mereka.

4. Sebab Ketimpangan Pembangunan

Menurut Sarjono HW (2006) pada kontek mikro, yang menjadi penyebab terjadinya

ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah pada umumnya, penyebabnya antara lain:

1. Keterbatasan informasi pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk unggulan.

2. Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan

di daerah.

3. Belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak kepada petani dan

pelaku swasta.

4. Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan

pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah.

22

5. Belum berkembangnya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama,diantara pelaku-pelaku

pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan petani, serta

antara pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota dalam upaya peningkatan daya saing kawasan

dan produk unggulan.

6. Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha,

input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya pengembangan

peluang usaha dan kerjasama investasi.

7. Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di daerah dalam mendukung

pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah.

8. Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar daerah untuk mendukung

peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan

Sementara pada aspek makro, Dumairy (1996), menyatakan bahwa terdapat ada dua faktor

yang layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa ketimpangan pembangunan dan hasil-

hasilnya dapat terjadi. Faktor pertama ialah karena ketidaksetaraan anugerah awal (initial

endowment) diantara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan faktor kedua karena strategi

pembangunan yang tidak tepat_cenderung berorientasi pada pertumbuhan, (growth).

Ketidaksetaraan anugerah awal yang dimaksud adalah adanya kesenjangan antara bekal

“resources” yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi. Yang meliputi, sumberdaya alam, kapital,

keahlian/keterampilan, bakat/potensi atau sarana dan prasarana. Sedangkan pelaku ekonomi

adalah perorangan, sektor ekonomi, sektor wilayah/daerah/kawasan). Sumberdaya alam yang

dimiliki tidak sama antar daerah, (pra)sarana ekonomi yang tersedia tidak sama antar daerah,

begitu pula yang lain-lainnya seperti kapital, keahlian/keterampilan serta bakan atau potensi.

Kalau kita lihat secara objektif, ketimpangan pembangunan, yang selama ini berlangsung dan

berwujud khsususnya pada Negara berkembang adalah dalam berbagai bentuk, aspek, atau

dimensi. Bukan saja ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan perkapita,

tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata-mata

berupa ketimpangan spasial atau antar daerah, yakni antara daerah pedesaan dan daerah

perkotaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional.

23

Ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional misalnya, dapat dilihat berdasarkan perbedaan

mencolok dalam aspek-aspek seperti penyerapan tenaga kerja; alokasi dana perbankan; investasi

dan pertumbuhan. Secara makro ketimpangan pembangunan yang terjadi di diberbagai daerah,

tentunya karena lebih disebabkan oleh aspek strategi pembangunan yang kurang tepat. Strategi

pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan misalnya, ternyata tidak mampu mengatasi

persoala-persoalan yang terjadi di daerah, malah sebaliknya hanya memperkaya pelaku-pelaku

ekonomi tertentu yang dekat dan mudah mendapatkan akses pembangunan secara gratis.

Oleh karena itu, untuk dapat menghasilkan pembangunan ekonomi yang sebenar-benarnya dapat

dirasakan oleh semua masyarakat, harus ada keberanian dari pemerintah daerah untuk mengubah

cara pandang dan strategi pembangunan ekonominya kearah yang lebih sehat dan kompetitif.

Kue-kue pembangunan harus dapat dinikmati dan dirasakan oleh semua masyarakat yang

menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, jangan sampai kue pembangunan hanya milik

segelintir kelompok atau golongan tertentu saja yang dekat dengan kekuasan dan mudah

mendapatkan akses pembangunan secara gratis.

24

BAB III

KESIMPULAN

Masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial merupakan masalah yang sangat penting

untuk dicermati dalam tatanan masyarakat yang beradab. Secara normatif hal tentang

penghapusan ihwal kemiskinan dan kesenjangan adalah termasuk hal yang harus dicermati

dalam perencanaan pembangunan Ekonomi.

Sebelum mengambil kebijakan, terlebih dahulu pengambil kebijakan harus mengetahui

bagaimana kondisi kemiskinan dan kesenjangan terjadi di dalam wilayahnya. Salah satunya yaitu

dengan cara mengidentifikasi kedua hal tersebut dengan metode statistik pengukur ketimpangan;

yakni menggunakan metode statistik kuantil, desil, kurva lorenz, gini, dan lainnya. Juga dalam

mengukur kemiskinan, terdapat metode berupa penghitungan pendapatan, kemiskinan absolut,

dan yang lain.

Metode penghitungan kemiskinan dalam perkembangannya juga mengalami banyak

penyempurnaan dalam teorinya. Hal ini karena masalah tentang kemiskinan juga ternyata

melibatkan banyak aspek yang multidimensional.

Dalam strategi pembangunan, diperlukan strategi pertumbuhan yang inklusif. Inklusif

berarti bahwa "trickle down effect" dari pertumbuhan juga harus dapat dinikmati oleh mereka

yang berada dalam golongan income rendah. Dengan strategi itu diharapkan kemiskinan dan

kesenjangan bisa dihilangkan.

25