referat 10700378
DESCRIPTION
referat pediatriTRANSCRIPT
1
BAB I. PENDAHULUAN
Penyakit asma berasal dari kata "asthma" dari bahasa Yunani yang berarti "sukar
bernafas"(Oemiati, 2010). Asma ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak
sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan,
inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan
penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, sebagian bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas
jalan napas terhadap berbagai rangsangan. (Hendra, 2008)
Asma bronkial terus berkembang terutama pada anak-anak baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Angka kejadian asma pada anak berkisar antara 1,4-11,4 %. Di
Amerika Serikat antara 8-13% dengan peningkatan sebesar 50% antara tahun 1964-1980 atau
prevalensi asma pada anak umur antara 6-11 tahun datri 4,5% antara tahun 1971-1974 menjadi
6,8% antara tahun 1976-1980, suatu peningkatan hampir mencapai 60%. Hal ini bisa
disebabkan karena 2 faktor utama yaitu faktor modernisasi dan faktor urbanisasi, misalnya
menurunnya pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan padat lebih awal, pemukiman yang
padat, dan paparan alergen yang baru. (Hendra, 2008)
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood menunjukkan
bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% pada tahun 1995 menjadi
5,4% pada tahun 2003. DKI Jakarta memiliki prevalensi asma yang lebih besar yaitu 7,5%
pada tahun 2007. Penyakit asma berasal dari keturunan sebesar 30 % dan 70 % disebabkan
oleh berbagai faktor lainnya. Departemen kesehatan perkirakan penyakit asma termasuk 10
besar penyebab kesakitan dan kematian di RS dan diperkirakan 10% dari 25 juta penduduk
Indonesia menderita asma.(Oemiati dkk, 2010)
Angka kejadian asma pada anak dan bayi sekitar 10-85% dan lebih tinggi dibandingkan
oleh orang dewasa (10-45%). Pada anak, penyakit asma dapat mempengaruhi masa
pertumbuhan, karena anak yang menderita asma sering mengalami kambuh sehingga dapat
menurunkan prestasi belajar di sekolah. Prevalensi asma di perkotaan umumnya lebih tinggi
dibandingkan dengan di pedesaan, karena pola hidup di kota besar meningkatkan risiko
terjadinya asma.(Oemiati dkk, 2010)
Pada anak kecil dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum
diketahui pasti. Lagipula bayi dan balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran
2
napas akut, banyak yang tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya. (KNAA,2000)
Banyak faktor risiko yang bisa mempengaruhi angka kejadian asma seperti herediter,
lingkungan, usia. Begitu juga faktor pencetus dari asma memiliki beberapa yang berkaitan erat
seperti faktor alergen, kelelahan, infeksi, ketegangan emosi, faktor iritan seperti asap rokok,
refluks gastroesofageal, rinitis alergi, obat dan bahan kimia, endogen, serta faktor anatomi dan
fisiologi. (Widodo, 2009)
Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak
napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. (Hendra, 2008)
Penanganan asma seyogyanya disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak. Tujuan
Penatalaksanaan asma adalah untuk memungkinkan anak dapat tumbuh dan berkembang
serta melakukan aktivitas secara optimal sesuai dengan usianya. Penanganan asma harus
berdasarkan pengetahuan tentang anatomi, fisiologi serta imunopatologi asma. Selanjutnya
harus dipahami juga bagaimana perjalanan penyakit asma, faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi terjadinya asma, serta farmakokinetik obat-obatan asma yang dipergunakan,
sehingga para dokter dapat memberikan petunjuk yang benar kepada penderita asma dan
keluarganya. (Landia dkk)
Pengobatan asma memiliki dua garis besar yaitu golongan obat pereda dan pengendali,
dimana obat-obat pereda bisanya memakai obat beta agonis kerja pendek, golongan xantin,
anti inflamasi non steroid, anti inflamasi steroid. Sedangkan obat pengendali biasanya
menggunakan golongan beta agonis kerja panjang, anti histamin. (KNAA,2000)
A. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi
Organ pernafasan berguna bagi transportasi gas-gas dimana organ-organ pernafasan
tersebut dibedakan menjadi bagian dimana udara mengalir yaitu rongga hidung, pharynx,
larynx, trakhea, dan bagian paru-paru yang berfungsi melakukan pertukaran gas-gas
antara udara dan darah.
a. Saluran nafas bagian atas, terdiri dari:
1) Hidung yang menghubungkan lubang-lubang sinus udara paraanalis yang masuk kedalam
rongga hidung dan juga lubang-lubang naso lakrimal yang menyalurkan air matakedalam
bagian bawah rongga nasalis kedalam hidung
2) Parynx (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar teanggorokan sampai
persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan krikid maka letaknya di
3
belakang hidung (naso farynx), dibelakang mulut(oro larynx), dandibelakang farinx (farinx
laryngeal)
b. Saluran pernafasn bagian bawah terdiri dari :
1) Larynx (Tenggorokan) terletak di depan bagian terendah pharnyx yang memisahkan dari
kolumna vertebra, berjalan dari farine-farine sampai ketinggian vertebra servikalis dan
masukke dalam trakhea di bawahnya.
2) Trachea (Batang tenggorokan ) yang kurang lebih 9 cm panjangnya trachea berjalan dari
larynx sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis ke lima dan ditempat inibercabang
menjadi dua bronchus (bronchi).
3) Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira vertebralis
torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea yang dilapisi oleh jenis sel yang
sama. Cabang utama bronchus kanan dan kiri tidak simetris. Bronchus kanan lebih pendek,
lebih besar dan merupakan lanjutan trachea dengan sudut lancip. Keanehan anatomis ini
mempunyai makna klinis yang penting.Tabung endotrachea terletak sedemikian rupa sehingga
terbentuk saluran udara paten yang mudah masuk kedalam cabang bronchus kanan.Kalau
udara salah jalan, makap tidak dapat masuk kedalam paru-paru akan kolaps (atelektasis).Tapi
arah bronchus kanan yang hampir vertical maka lebih mudah memasukkan kateter untuk
melakukan penghisapan yang dalam. Juga benda asing yang terhirup lebih mudah tersangkut
dalam percabangan bronchus kanan ke arahnya vertikal. Cabang utama bronchus kanan dan
kiri bercabang-cabang lagi menjadi segmen lobus,kemudian menjadi segmen bronchus.
Percabangan ini terus menerus sampai cabang terkecil yang dinamakan bronchioles terminalis
yang merupakan cabang saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveolus. Bronchiolus
terminal kurang lebih bergaris tengah 1 mm.
Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi di kelilingi oleh otot polos
sehingga ukurannya dapat berubah, semua saluran udara dibawah bronchiolus terminalis
disebut saluran pengantar udara karena fungsi utamanya dalah sebagai pengantar udara
ketemapat pertukaran gas paru-paru. Diluar bronchiolus terminalis terdapat asinus yang
merupakan unit fungsional paru-paru, tempat pertukaran gas. Asinus terdiri bronchiolus
respiratorius, yang kadang- kadang memiliki kantung udara kecil atau alveoli yang bersal dari
dinding mereka. Duktus alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan sakus
alveolaristerminalis merupakan struktur akhir paru-paru.
4
4) Paru merupakan organ elastik berbentuk kerucut yang terletak dalam rongga toraks atau
dada. Kedua paru-paru saling terpisah oleh mediastinum central yang mengandung jantungdan
pembuluh-pembuluh darah besar.Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar.
Pembuluh darah paru dan bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuuki tiap paru
pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih daripada kiri,paru kanan dibagi
menjadi tiga lobus dan paru kiri dibagi menjadi dua lobus. Lobus-lobus tersebut dibagi lagi
menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronchusnya. Paru kanan dibagi menjadi 10
segmen sedangkan paru dibagi 10 segmen.Paru kanan mempunyai 3 buah segmenpada lobus
inferior, 2 buah segmen pada lobus medialis, 5 buah pada lobus superior kiri. Paru kiri
mempunyai 5 buah segmen pada lobus inferior dan 5 buah segmen pada lobus superior.Tiap-
tiap segmen masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Di dalam
lobolus, bronkhiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang ini disebut duktus-alveolus.
Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2- 0,3mm.
Letak paru dirongga dada di bungkus oleh selaput tipis yang bernama selaput pleura.
Pleura dibagi menjadi dua :
1.) pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung
membungkusparu.
2.) pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara kedua pleura
ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura
ini vakum (hampa udara)sehingga paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit
cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan
gesekan antara paru dan dinding sewaktu ada gerakan bernafas. Tekanan dalam rongga pleura
lebih rendah dari tekanan atmosfir, sehingga mencegah kolaps paru kalau terserang penyakit,
pleura mengalami peradangan, atau udara atau cairan masuk ke dalam rongga pleura,
menyebabkan paru tertekan atau kolaps.
2. Fisiologi
a. Pernafasan paru (pernafasan pulmoner)
Fungsi paru adalah pertukaran gas oksigen dan karbondioksida pada pernafasan melalui
paru / pernafasan eksternal, oksigen di angkut melalui hidung dan mulut, pada waktu bernafas
oksigen masuk melalui trachea dan pipa bronchial ke alveoli, dan erat hubungan dengan darah
di dalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapisan membran yaitu membran alveoli kapiler,
memisahkan oksigen dari darah, darah menembus dan dipungut oleh hemoglobin sel darah
5
merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa didalam arteri ke semua bagian tubuh. Darah
meninggalkan paru pada tekanan oksigen mmHg dan pada tingkatan Hb 95% jenuh oksigen.
Didalam paru, karbondioksida salah satu buangan metabolisme menembus membran
kapiler dan kapiler darah ke alveoli dan setelah melalui pipa bronchial dan trachea di lepaskan
keluar melalui hidung dan mulut. Empat proses yang berhubungan dengan pernafasan
pulmoner pernafasan eksterna:
1.) Ventilasi pulmoner, gerakan pernafasan yang menukar udara dalam alveoli dengan udara
luar.
2.) Arus darah melaui paru, darah mengandung oksigen masuk keseluruh tubuh,
karbondioksida dari seluruh tubuh masuk paru.
3.) Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga jumlahnya yang bisa dicapai
untuk semua bagian.
4.) Difusi gas yang membrane alveoli dan kapiler, karbondioksida lebih mudah berdifusi
daripada oksigen.
b. Pernafasan jaringan (pernafasn interna)
Darah yang menjenuhkan hemoglobinnya dengan oksigen ( oksihemoglobin) mengitari
seluruh tubuh dan mencapai kapiler,dimana darah bergerak sangat lambat. Sel jaringan
memungut oksigen dari hemoglobin untuk memungkinkan oksigen berlangsung dan darah
menerima sebagai gantinya hasil buangan oksidasi yaitu karbondioksida. Perubahan –
perubahan berikut terjadi dalam komposisi udara dalam alveoli, yang disebabkan pernafasan
eksterna dan pernafasan interna atau pernafasan jaringan. Udara (atmosfer) yang dihirup:
Oksigen : 20%
Karbondioksida : 0-0,4%
Udara yang masuk alveoli mempunyai suhu dan kelembaban atmosfer.
Udara yang dihembuskan:
Nitrogen :79%
Oksigen :16%
Karbondioksida :4-0,4%
Udara yang dihembuskan jenuh dengan uap air dan mempunyai suhunyang sama dengan badan
(20 persen panas badan hilang untuk pemanasan uadra yang dikeluarkan).
c. Daya muat paru
Besarnya daya muat udara dalam paru 4500 ml- 5000 ml (4,5 – 5 liter).Udara diproses
dalam paru (inspirasi dan ekspirasi) hanya 10% kurang lebih 500 ml disebut juga udar a pasang
6
surut (tidal air) yaitu yang dihirup dan yang dihembuskan pada pernafasn biasa. Pada seorang
laki- laki normal (4-5 liter) dan pada seorang perempuan (3-4 liter). Kapasitas (h) berkurang
pada penyakit paruparu) dan pada kelemahan otot pernafasan.
d. Pengendalian pernafasan
Mekanisme pernafasan diatur dan dikendalikan oleh dua faktor utama yaitu kimiawi
dan pengendalian saraf. Adanya faktor tertentu, merangsang pusat pernafasan yang terletak
didalm medulla oblongata, kalau dirangsang mengeluarkan impuls yang disalurkan melalui
saraf spiralis ke otot pernafasan ( otot diafragma atau interkostalis).
1) Pengendalian oleh saraf
Pusat pernafasan adalah suatu pusat otomatik dalam medulla oblongata mengeluarkan
impuls eferen ke otot pernafasan, melalui radik saraf sevikalis diantarkan ke diafragma oleh
saraf frenikus. Impuls ini menimbulkan kontraksi ritmik pada otot diafragma dan interkostalis
yang kecepatannya kira- kira 15 kali setiap menit.
2.) Pengendalian secara kimia
Pengendalian dan pengaturan secara kimia meliputi :
Frekuensi kecepatan dan dalamnya gerakan pernafasan, pusat pernafasan dalam sumsum
sangat peka sehingga kadar alkali harus tetap dipertahankan, karbondioksida adalah produksi
asam metabolisme dan bahan kimia yang asam ini merangsang pusat pernafasan untuk
mengirim keluar impuls saarf yang bekerja atas otot pernafasan.
e. Kecepatan pernafasan
Kecepatan pernafasan secara normal, ekspirasi akan menyusul inspirasi dan kemudian
istirahat, pada bayi ada kalanya terbalik, inspirasi- istirahat–ekspirasi, disebut juga pernafasan
terbalik.
Kecepatan normal setiap menit berdasarkan umur :
Bayi prematur : 40 – 90x/menit
Neonatus : 30 – 80 x/menit
1 Tahun : 20- 40x/ menit
Inspirasi atau menarik nafas adalah proses aktif yang diselenggarakan oleh kerja otot.
Kontraksi diafragma meluaskan rongga dada dari atas sampai bawah, yaitu vertical.Kenaikan
iga-iga dan sternum, yang ditimbulkan oleh kontaksi otot interkostalis, meluaskan romgga
dada kedua sisi dari belakang ke depan. Paru yang bersifat elastis mengembang untuk mengisi
7
ruang yang membesar itu dan udara ditarik masuk kedalam saluran udara, otot interkostalis
eksterna diberi peran sebagai otot tambahan hanya bila inspirasi menjadi gerak sadar. Pada
ekspirasi, udara dipaksa oleh pengendoran otot dan karena paru kempes kembali, disebakan
sifat elastis paru itu gerakan ini adalah proses pasif.
Ketika pernafasan sangat kuat, gerakan dada bertambah, otot leher dan bahu membantu
menarik iga-iga dan sternum ke atas. Otot sebelah belakang dan abdomen juga dibawa
bergerak.
f. Kebutuhan tubuh akan oksigen
Dalam banyak keadaan, termasuk yang telah disebut oksigen dapat diatur menurut
keperluan orang tergantung pada oksigen untuk hidupnya, kalau tidak mendapatkannya selam
kurang lebih 4 menit dapat mengakibatkan kerusakan pada otak yang tidak dapat perbaiki dan
biasanya pasien meninggal. Keadaan genting timbul bila misalnya seorang anak menutupi
kepala dan mukanya dengan kantong plastic menjadi lemas. Tetapi hanya penyadiaan oksigen
berkurang, maka pasien menjadi kacau pikirannya, ia menderita anoxia serebralis. Hal ini
terjadi pada orang yang bekerja dalam ruangan sempit tertutup seperti dalam ruang kapal,
oksigen yang ada mereka habiskan dan kalau mereka tidak diberi oksigen untuk bernafas atau
tidak dipindahkan ke udara yang normal, maka akan meninggal karena anoxemia. Istilah lain
adalah hypoxemia atau hipoksia. Bila oksigen didalam darah tidak mencukupi maka warna
merahnya hilang dan berubah menjadi kebiru- biruan, bibirtelingga, lengan dan kaki pasien
menjadi kebiru- biruan dan keadaan itu disebut sianosis.
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asma ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini
menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya
pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas
yang luas namun bervariasi, sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap
berbagai rangsangan. (KNAA, 2000).
Batasan di atas memang sangat lengkap, namun dalam penerapan klinis untuk anak
tidak praktis. Agaknya karena itu para perumus Konsensus Internasional dalam pernyataan
ketiganya tetap menggunakan definisi lama yaitu: Mengi berulang dan/ atau batuk persisten
dalam keadaan asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang
telah disingkirkan. Konsensus Nasional juga menggunakan batasan yang praktis ini dalam
batasan operasionalnya. Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil,
dengan ber- tambahnya umur, khususnya di atas umur 3 tahun, diagnosis asma menjadi lebih
definitif. Bahkan untuk anak di atas umur 6 tahun definisi GINA dapat digunakan.
B. Epidemiologi (Rosmarlina dkk, 2010)
World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia
adalah penderita asma dan diperkirakan terus bertambah sekitar 180.000 orang setiap tahun.
Asma dapat menyerang semua tingkat umur terjadi pada laki-laki maupun perempuan dan
paling banyak pada usia anak. Asma tersebar hampir diseluruh pelosok dunia baik di negara
maju maupun negara berkembang. Peningkatan penyakit ini disetiap negara berbeda-beda dan
terjadi peningkatan pada negara berkembang. Prevalens asma bervariasi antara 0 sampai 30
persen pada populasi yang berbeda. Penyebab peningkatan prevalens asma tidak terlepas dari
semakin kompleks dan bervariasinya faktor pencetus dan faktor yang mendasarinya.
Asma terbanyak terjadi pada anak dan berpotensi menjadi beban kesehatan di tahun-
tahun mendatang. Asma menyebabkan kehilangan 16 persen hari sekolah pada anak-anak di
Asia, 34 persen di Eropa, dan 40 persen di Amerika Serikat. Prevalens asma anak Indonesia
cukup tinggi diketahui dari beberapa laporan penelitian anak sekolah di kota besar seperti
9
Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar.
Prevalensi pada anak Sekolah Dasar (SD) berkisar 3,7-16,4 persen dan siswa Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) di Jakarta 5,8 persen (1994). Asma yang tidak ditangani dengan baik
dapat mengganggu kualitas hidup anak berupa hambatan aktivitas sebesar 30 persen
dibandingkan 5 persen pada anak non-asma dan gangguan proses belajar. Gaya hidup sehat
dapat membantu mengurangi gejala asma.
Prevalensi asma anak di daerah perkotaan biasanya lebih tinggi daripada di desa,
terlebih pada golongan sosio-ekonomi rendah dibanding sosio-ekonomi tinggi. Pola hidup di
kota besar, perkembangan industri yang pesat dan banyaknya jumlah kendaraan bermotor
menyebabkan peningkatan polusi udara. Keadaan ini meningkatkan hiperesponsif saluran
napas, rinitis alergi dan atopi akibat zat polutan dan secara tidak langsung meningkatkan risiko
terjadinya asma baik prevalens, morbiditas (perawatan dan kunjungan ke instalasi gawat
darurat) maupun mortalitasnya. Lingkungan di dalam maupun di luar rumah dapat mendukung
pencetusan asma meskipun faktor genetik merupakan faktor penting penyebab asma.
Tabel 1. Prevalensi Asma di Indonesia (Landia Setiawati, Unair)
Di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya kunjungan penderita asma dibawah usia 5 tahun di
Instalasi Rawat Darurat pada tahun 1997 adalah 239 anak dari 8994 anak ( 2,6 %), pada tahun
2002 adalah 472 anak dari 14.926 anak ( 3,1 %) ( Data rekam medik IRD RS Dr. Soetomo
Surabaya).
C. Etiologi
10
Faktor risiko terjadinya asma :
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan
faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) ,
hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu
dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan
terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam
faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/
pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :
pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma, baik
lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma. (KPDI, 2003)
Faktor pejamu
1. Genetik
2. Sex
3. Obesitas
1. Genetik (KPDI, 2003)
Asma memiliki komponen genetik. Data menunjukkan bahwa banyak gen yang terlibat
di dalam patogenesis asma, dan gen yang berbeda bisa terdapat pada grup etnik yang berbeda.
Penelitian terhadap gen yang berhubungan dengan perkembangan asma difokuskan pada 4
mayor area: produksi allergen spesifik IgE antibodi (atopy), airway hyperresponsiveness
expression, produksi mediator inflamasi, dan penentuan rasio antara Th1 dan Th2 immune
response.
Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah
diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22,
IL9R,NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan
asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD,
TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya. Genetik mengontrol respons imun Gen-
gen yang berlokasi pada kompleks HLA (human leucocyte antigen) mempunyai ciri dalam
memberikan respons imun terhadap aeroalergen. Kompleks gen HLA berlokasi pada
kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas I, II dan III dan lainnya seperti gen TNF-α.
Genetik mengontrol sitokin proinflamasi Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai
11
gen yang penting dalam berkembangnya atopi dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan
kromosom 11, kromosom 12 mengandung gen yang mengkode IFN-g, mast cell growth factor,
insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase. Studi berkesinambungan menunjukkan
ada ikatan positif antara petanda-petanda pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula
kromosom 14 dan 19. Mutasi pada kluster-kluster gen sitokin pada kromosom 5 dihipotesiskan
sebagai predisposisi terjadinya asma. Berbagai gen pada kromosom 5q berperan dalam
progresiviti inflamasi baik pada asma maupun atopi, yaitu gen yang mengkode sitokin IL-3,
IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13, dan GMCSF. Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun
atopi, baik dalam menimbulkan diferensiasi sel Th2 maupun merangsang produksi IgE oleh sel
B. Gen IL-4 dan gen-gen lain yang mengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen yang
berpredisposisi untuk terjadi asma dan atopi.
Saat ini pula Telah dikenal 80 jenis gen yang berperan terhadap, salah satunya adalah
ADAM-33 (a disintegrin and metaloprotease 33) dimana dikaitkan dengan hiperreaktivitas
bronkus dan airway remodeling. Gen ini terletak di lengan pendek kromosom 20. (IDAI, 2013)
Obesitas (GINA, 2008)
Obesitas juga dapat dimasukkan sebagai salah satu faktor resiko untuk asma. Mediator
tertentu, seperti leptin, dapat mempengaruhi fungsi respiratorik dan meningkatkan
kemungkinan perkembangan asma.
Orang gemuk dengan asma memiliki fungsi paru-paru lebih rendah dan lebih memiliki
morbiditas dibandingkan dengan orang dengan berat badan normal asma.
Penggunaan glukokortikosteroid sistemik dan gaya hidup dapat meningkatkan obesitas
pada pasien asma berat, tetapi dalam banyak kasus, obesitas mendahului perkembangan asma.
Telah diusulkan bahwa obesitas dapat mempengaruhi fungsi saluran napas karena
efeknya pada mekanisme paru, perkembangan keadaan inflamasi, selain genetik,
perkembangan, hormonal atau neurogenik Dalam hal ini, pasien obesitas memiliki penurunan
Volume cadangan ekspirasi, pola pernapasan yang mungkin dapat mengubah plastisitas otot
polos saluran napas dan fungsinya. Selain itu, rilis oleh adiposit berbagai sitokin pro-inflamasi
dan mediator seperti interleukin-6, tumor necrosis factor (TNF) -α, eotaksin, dan leptin,
dikombinasikan dengan tingkat yang lebih rendah dari adipokines anti-inflamasi pada subyek
obesitas dapat mendukung sebuah keadaan inflamasi sistemik meskipun tidak diketahui
bagaimana hal ini dapat mempengaruhi fungsi saluran napas.
12
2. Sex
Laki-laki merupakan salah satu faktor risiko berkembangnya asma pada anak-anak.
Sebelum berumur 14 tahun, prevalensi asma 2 kali lebih besar pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan. Dengan bertambahnya usia anak, perbedaan risiko
antar sex makin sempit, dan di saat usia dewasa risiko terjadinya asma pada wanita lebih besar
daripada pria. Alasan yang pasti untuk perbedaan ini belum pasti, bagaimanapun, ukuran paru-
paru pada pria lebih kecil daripada wanita pada saat lahir, dan lebih besar pada usia dewasa.
(GINA, 2011)
Tabel 2. Faktor Risiko pada asma (GINA, 2008)
3. Faktor Lingkungan
13
Dua faktor lingkungan yang mayor dapat dikatakan sebagai faktor yang sangat penting
dalam perkembangan, persistensi, dan tingkat keparahan asma, yaitu airborne allergen dan
infeksi virus respiratorik. Dibawah ini akan dibahas kedua faktor tersebut dan faktor-faktor lain
yang berperan. (KPDI, 2003)
Gambar 1. Host Factors and Environmental Exposures
Alergen
Paparan indoor dan home alergen pada individu yang tersensitisasi dapat menginisiasi
timbulnya airway inflammation dan hipersensitivitas terhadap paparan iritan yang lain, dan
sangat berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit dan persistensi. Jadi, eliminasi dari
alergen yang menjadi pencetus dapat menghasilkan resolusi dari gejala-gejala asma dan
terkadang dapat “menyembuhkan” asma. Paparan dari alergen yang dapat mencetuskan asma
juga bergantung pada alergennya, jumlah, waktu paparan, umur anak, dan faktor genetik.
(GINA, 2010)
Infeksi (GINA, 2010)
Selama masa infant, beberapa virus diketahui sangat berhubungan dengan munculnya
asmatic phenotype. Respiratory syncytial virus (RSV) dan parainfluenza virus menyebabkan
bronchiolitis yang dapat bersamaan munculnya dengan gejala-gejala asma yang lain pada
anak-anak.
Beberapa penelitian prospective jangka panjang terhadap anak-anak yang masuk ke
rumah sakit dengan infeksi RSV menunjukkan bahwa sekitar 40% anak-anak akan tetap
14
memiliki gejala wheezing atau memiliki asma di akhir masa anak-anaknya. Infeksi rhinovirus
yang simtomatis pada awal kehidupan juga merupakan salah satu faktor risiko terhadap
terjadinya wheezing yang berulang.
“Hygiene Hypothesis” asma menyatakan bahwa paparan terhadap infeksi pada awal
kehidupan sangat mempengaruhi perkembangan system imun pada anak-anak melalui
“nonallergic pathway”, yang menyebabkan menurunnya risiko terjadinya asma dan penyakit
allergic lain. Walaupun teori ini masih dalam penelitian yang lebih lanjut, hubungan tersebut
dapat menjelaskan hubungan antara jumlah keluarga yang besar, later birth order, daycare
attendance dengan menurunnya risiko terjadinya asma.
Interaksi antara atopi dan infeksi virus mempunyai hubungan yang kompleks, dimana keadaan
atopi dapat mempengaruhi lower airway response terhadap infeksi virus, infeksi virus dapat
mempengaruhi perkembangan allergic sensitization, dan interaksinya tersebut dapat terjadi
ketika individu terpapar allergen dan virus secara bersamaan.
Asap rokok
Merokok dapat mempercepat penurunan fungsi paru pada orang dengan asma,
meningkatkan tingkat keparahan, dan dapat berefek tehadap penurunan respon terhadap
pengobatan dengan inhalasi, glukokortikoid sistemik dan mengurangi kemungkinan asma
dapat dikontrol. Paparan terhadap rokok baik selama masa prenatal ataupun setelah lahir, dapt
dihubungkan dengan efek berbahaya yang ditimbulkan, termasuk meningkatkan risiko
berkembangnya asma-like symptoms pada masa early childhood. Penelitian terhadap fungsi
paru segera setelah lahir menunjukkan ibu yang merokok selama masa kehamilan
mempengaruhi perkembangan paru-paru dari bayi. Bayi dengan ibu yang merokok selama
masa kehamilan mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk mendapatkan wheezing illness
pada setahun pertama kehidupannya. (GINA, 2010)
Polusi
Peranan polusi lingkungan luar dalam menyebabkan asma masih menjadi kontroversi.
Anak-anak yang dibesarkan pada lingkungan yang padat memiliki keadaan fungsi paru yang
menurun, tetapi menurunnya fungsi paru dan berkembangnya asma belum diketahui
hubungannya. (GINA, 2010).
Diet
15
Peranan diet, terutama ASI, dalam perkembangan asma masih dalam penelitian. Secara
umum, terdapat data yang menunjukkan bahwa anak yang meminum formula dari susu sapi
atau soy protein mempunyai tingkat insidensi yang tinggi terjadinya wheezing pada anak kecil
dibandingkan dengan anak yang meminum ASI. (GINA, 2010)
Gambar 2. Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma (GINA, 2010)
D. Patofisiologi
Asma persisten secara universal dianggap sebagai penyakit peradangan fungsi saaluran
napas kronis. Peningkatan dari sel mast, eosinofil, limfosit, makrofag, sel dendritik, dan lain-
lain berperan terhadap peradangan saluran napas.
Sel-sel struktural seperti sel-sel epitel dan sel-sel otot polos juga dapat berkontribusi
pada daerah inflamasi. Sel-sel inflamasi dan struktur kolektif memproduksi mediator seperti
sitokin, kemokin, dan leukotrien cysteinyl yang mengintensifkan respon inflamasi dan
meningkatkan paenyempitan fungsi saluran napas dan hiperesponsif, Episode akut
penyempitan fungsi saluran napas diinisiasi oleh kombinasi edema, infiltrasi oleh sel inflamasi,
hipersekresi mucus, kontraksi otot polos, dan epitel deskuamasi. Perubahan ini sebagian besar
reversibel; Namun, dengan perkembangan penyakit, penyempitan saluran napas dapat menjadi
progresif dan konstan. Perubahan struktural yang berhubungan dengan remodeling saluran
napas meliputi peningkatan otot polos, hiperemia dengan peningkatan vaskularisasi jaringan
subepitel, penebalan membran basal dan deposisi subepitel berbagai protein struktural, dan
16
hilangnya distensibility normal jalan napas. Remodeling, awalnya dijelaskan secara rinci
dalam asma dewasa, tampaknya juga hadir dalam setidaknya bagian yang lebih parah dari
spektrum pada asma anak. (Papadopoulos et al, 2012)
Reaksi inflamasi (Arwin, 2002)
Patogenesis asma dapat diterangkan secara sederhana sebagai bronkokonstriksi akibat
proses inflamasi yang terjadi terus-menerus pada saluran napas. Karena itu pemberian anti-
inflamasi memegang peranan penting pada pengobatan dan kontrol asma. Terlihat bahwa
setelah pemberian inhalasi kortikosteroid akan terjadi penurunan bermakna sel inflamasi dan
pertanda permukaan sel pada sediaan bilas dan biopsi bronkoalveolar. Pemberian bronkodilator
saja tidak dapat mengatasi reaksi inflamasi dengan baik.
Pada tingkat sel tampak bahwa setelah terjadi pajanan alergen serta rangsang infeksi
maka sel mast, limfosit, dan makrofag akan melepas faktor kemotaktik yang menimbulkan
migrasi eosinofil dan sel radang lain. Pada tingkat molekul terjadi pelepasan berbagai mediator
serta ekspresi serangkaian reseptor permukaan oleh sel yang saling bekerjasama tersebut yang
akan membentuk jalinan reaksi inflamasi. Pada orkestrasi proses inflamasi ini sangat besar
pengaruh sel Th2 sebagai regulator penghasil sitokin yang dapat memacu pertumbuhan dan
maturasi sel inflamasi alergi. Pada tingkat jaringan akan tampak kerusakan epitel serta sebukan
sel inflamasi sampai submukosa bronkus, dan mungkin terjadi rekonstruksi mukosa oleh
jaringan ikat serta hipertrofi otot polos.
Sensitisasi (Arwin, 2002)
Berbagai penelitian asma pada anak memperlihatkan adanya suatu pola hubungan antara
proses sensitisasi alergi dengan perkembangan dan perjalanan penyakit alergi yang dikenal
sebagai allergic march (perjalanan alamiah penyakit alergi). Secara klinis allergic march
terlihat berawal sebagai alergi saluran cerna (diare alergi susu sapi) yang akan berkembang
menjadi alergi kulit (dermatitis atopi) dan kemudian alergi saluran napas (asma bronkial, rinitis
alergi).
Suatu penelitian memperlihatkan bahwa kelompok anak dengan gejala mengi pada usia
kurang dari 3 tahun, yang menetap sampai usia 6 tahun, mempunyai predisposisi ibu asma,
dermatitis atopi, rinitis alergi, dan peningkatan kadar lgE, dibandingkan dengan kelompok
anak dengan mengi yang tidak menetap. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa anak mengi
yang akan berkembang menjadi asma terbukti mempunyai kemampuan untuk membentuk
17
respons lgE serta respons eosinofil pada uji provokasi berbagai stimuli. Proses sensitisasi
diperkirakan telah terjadi sejak awal masa kehidupan, secara bertahap mulai dari rangsang
alergen makanan dan infeksi virus, sampai kemudian rangsang aeroalergen. Proses tersebut
akan mempengaruhi modul respons imun yang akan lebih cenderung ke arah aktivitas Th 2.
Kecenderungan aktivitas Th2 akan menurunkan produkIL-2danIFN-γ oleh Th2.Terbukti
bahwa anak dengan respons IFN-γ rendah pada masa awal kehidupannya akan lebih
tersensitisasi oleh aeroalergen dan menderita asma pada usia 6 tahun dibandingkan dengan
anak dengan respon IFN-γ normal. (Arwin, 2002)
Sel Inflamasi saluran napas pada asma (GINA, 2008)
a. Sel mast : sel mast mukosa yang aktif melepaskan mediator bronchoconstrictor (histamin,
leukotrien cysteinyl, prostaglandin D2) 93. Sel-sel ini diaktifkan oleh alergen melalui afinitas
tinggi dari reseptor IgE, serta oleh rangsangan osmotik (perhitungan untuk bronkokonstriksi
akibat latihan). Peningkatan jumlah sel mast di otot polos saluran napas dapat dikaitkan dengan
hipersensitifitas saluran napas.
b. Eosinofil : ada peningkatan angka dalam saluran napas, melepaskan protein dasar yang
dapat merusak sel-sel epitel saluran napas. Mereka juga mungkin memiliki peran dalam rilis
faktor pertumbuhan dan remodeling saluran napas.
c. Limfosit T : ada peningkatan angka dalam saluran udara, melepaskan sitokin tertentu,
termasuk IL-4, IL-5, IL-9, dan IL-13, yang mengatur peradangan eosinofilik dan produksi IgE
oleh B lymphocytes. Peningkatan aktivitas sel Th2 mungkin karena sebagian penurunanan
regulasi sel T yang biasanya menghambat sel Th2. Mungkin juga ada peningkatan sel inKT,
yang melepaskan sejumlah besar T helper 1 (Th1) dan sitokin Th2.
d. Sel dendritik : alergen sampel dari saluran napas dan bermigrasi ke kelenjar getah bening
regional, di mana akan berinteraksi dengan sel T regulator dan akhirnya merangsang produksi
sel-sel Th2.
e. Makrofag : meningkat jumlahnya di saluran udara dan dapat diaktifkan dengan alergen
melalui afinitas rendah reseptor IgE untuk melepaskan mediator inflamasi dan sitokin yang
memperkuat respon inflamasi.
18
f. Neutrofil : Meningkat dalam saluran udara dan sputum pasien dengan asma berat dan
penderita asma yang merokok, namun peran patofisiologi sel ini tidak pasti dan
peningkatannya mungkin karena terapi glucocorticosteroid.
Mediator asma (GINA, 2008)
a. Chemokines : Berperan dalam inflamasi saluran pernapasan dan di epitel saluran pernapasan
dimana mengandung derivat dari makrofag.
b. Sistenil leukotrin : Suatu bronkokonstriktor dan mediator inflamasi dimana merupakan
turunan dari eosinofil dan sel mast.
c. Sitokin : Mengatur respon inflamasi pada asma dan derajat keparahan dari asma.
d. Histamin : dilepaskan oleh sel mast, berperan dalam bronkokonstriksi dan respon terhadap
inflamasi.
e. Prostaglandin : Berperan dalam bronkokonstriksi yang merupakan derivat dari sel mast.
Penyempitan saluran nafas adalah hasil akhir dari gejala-gejala dan perubahan-
perubahan yang terjadi pada asma. Beberapa faktor yang berperan terjadinya penyempitan
saluran nafas pada asma adalah:
Airway smooth muscle contraction: merupakan respon akibat banyaknya mediator
bronkokonstriksi.
Airway edema: karena peningkatan kebocoran mikrovaskular akibat respon dari
mediator inflamasi.
Airway thickening: karena adanya perubahan struktural, sering disebut juga
“remodeling”.
Mucus hypersecretion: karena adanya peningkatan sekresi mucus dan inflammatory
exudates yang menyebabkan penyumbatan lumen (“mucus plugging”).
Remodelling Airway (PDPI)
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan
perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru.
Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri
dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan
jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut
19
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan
perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui
dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang
sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit
jaringan penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan
fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti
matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor,
protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
• Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
• Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
• Penebalan membran reticular basal
• Pembuluh darah meningkat
• Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
• Perubahan struktur parenkim
• Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
20
Gambar 3. Perubahan saluran pernapasan pada asma (Papadopoulos et al, 2012)
E. Klasifikasi
Parameter klinis,
kebutuhan obat, dan
faal paru
Asma episodik
jarang (Asma
ringan)
Asma episodik sering
(Asma sedang)
Asma persisten (Asma
berat)
1. Frekuensi serangan
2. Lama serangan
3. Intensitas serangan
4. Di antara serangan
5. Tidur dan aktivitas
6. Pemeriksaan fisis di
luar serangan
7. Obat pengendali (anti
inflamasi)
8. Faal paru di luar
serangan
9. Faal paru pada saat
ada gejala/serangan
<1x / bulan
<1 minggu
biasanya ringan
Tanpa gejala
tidak terganggu
normal
tidak perlu
PEF / FEV1 >80%
variabilitas >15%
>1x / bulan
>1 minggu
tidak ada remisi
biasanya sedang sering
ada gejala
sering terganggu
mungkin terganggu
perlu, non steroid
PEF / FEV1 60-80%
variabilitas >30%
sering
hampir sepanjang tahun,
biasanya berat gejala siang
dan malam
sangat terganggu
tidak pernah
normal
perlu, steroid
PEF / FEV1<60%
variabilitas 20-30%
variabilitas >50%
Tabel 3. Pembagian Derajat Penyakit Asma pada Anak (KNAA, 2000)
Sebagai perbandingan, GINA membagi derajat penyakit asma menjadi 4, yaitu Asma
Intermiten, Asma Persisten Ringan, Asma Persisten Sedang, dan Asma Persisten Berat. Dasar
pembagiannya adalah gambaran klinis, faal paru dan obat yang dibutuhkan untuk
mengendalikan penyakit. Dalam klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEVI
21
untuk penilaiannya.
Konsensus Internasional III juga membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan
keadaan klinis dan kebutuhan obat menjadi 3, yaitu, Asma episodik jarang yang meliputi 75 %
populasi anak asma, Asma episodik sering meliputi 20 % populasi, dan Asma persisten
meliputi 5 % populasi.
Gambar 4. Klasifikasi asma dewasa (GINA, 2011)
Selain klasifikasi derajat penyakit asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat serangan, yang terbagi atas
serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi perlu dibedakan di sini antara derajat penyakit asma
dengan derajat serangan asma. Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat mengalami
serangan ringan saja. Sebaliknya bisa saja seorang pasien yang tergolong asma episodik jarang
(asma ringan) mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang
dapat menyebabkan kematian.
Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Global Initiative
for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda
22
klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Tabel berikut memperlihatkan cara
penilaian beratnya serangan mulai dari derajat ringan hingga berat, dan serangan yang
mengancam nyawa. Penilaian ini diambil dari GINA dengan beberapa perubahan. (GINA,
2008)
Klasifikasi derajat serangan asma
Parameter klinis
faal paru
laboratorium
Ringan Sedang Berat Ancaman henti
nafas
Sesak Berjalan, bisa
tidur
Berbicara lebih
enak duduk
Istirahat
membungkuk ke
depan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka
duduk
Duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran /
kebingungan
Mungkin
irritable
Biasanya
irritable
Biasanya
irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, akhir
ekspirasi
Nyaring,
sepanjang
ekspirasi dan
inspirasi
Sangat nyaring,
tanpa stetoskop
Tidak terdengar
Penggunaan otot
bantu
respiratorik
Biasanya tidak Biasanya ya Ya Paradoks
torakoabdominal
Retraksi Dangkal
interkostal
Sedang
suprasternal
Dalam nafas
cuping hidung
Dangkal/hilang
Frekuensi nafas Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea
Frekuensi nadi Normal Takikardia Takikardia Bradikardia
PEFR/FEV1
Pre bronkodilator >60% 40-60% <40%
Post >80% 60-80% <60%
23
bronkodilator
Sat O2 >95% 91-95% <90%
PaO2 Normal >60mmHg <60mmHg
PaCO2 <45mmHg <45mmHg >45mmHg
Tabel 4. Klasifikasi serangan asma (KNAA, 2010)
F. Manifestasi klinis
Penampilan klinis pasien dengan penyakit asma bisa dilihat dari klasifikasi serangan
yang mencakup keadaan sesak, posisi yang nyaman saat bernapas, kemampuan berbicara,
kesadaran pasien saat serangan, sianosis, wheezing, penggunaan otot bantu napas, adanya
retraksi, frekuensi napas, frekuensi nadi, dan penilaian flow expiratory volume baik sebelum
maupun sesudah pemberian bronkodilator.
Parameter klinis
faal paru
laboratorium
Ringan Sedang Berat Ancaman henti nafas
Aktivitas Berjalan,
bayi:
menangis
keras
Berbicara, bayi:
nangis pendek
Istirahat, bayi
tidak mau makan
Posisi Bisa
berbaring
Lebih suka
duduk
Duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran /
kebingungan
Mungkin
agitasi
Biasanya agitasi Biasanya agitasi
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, akhir
ekspirasi
Nyaring,
sepanjang
ekspirasi dan
inspirasi
Sangat nyaring,
tanpa stetoskop
Tidak terdengar
Penggunaan otot
bantu respiratorik
Biasanya
tidak
Biasanya ya Ya Paradoks
torakoabdominal
24
Retraksi Dangkal
interkostal
Sedang
suprasternal
Dalam nafas
cuping hidung
Dangkal/hilang
Frekuensi nafas Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea
Frekuensi nadi Normal Takikardia Takikardia Bradikardia
PEFR/FEV1
Pre bronkodilator >60% 40-60% <40%
Post bronkodilator >80% 60-80% <60%
Sat O2 >95% 91-95% <90%
PaO2 Normal >60mmHg <60mmHg
PaCO2 <45mmHg <45mmHg >45mmHg
Tabel 5. Serangan asma (Landia, Unair)
G. DIiagnosis (KNAA, 2000)
Konsensus Internasional Penanggulangan Asma Anak disusun suatu alur diagnosis asma
pada anak. Publikasi Konsensus Internasional pertama, kedua, hingga pernyataan ketiga untuk
diagnosis asma anak tetap menggunakan alur yang sama. Mengi berulang dan/atau batuk
kronik berulang merupakan titik awal untuk menuju diagnosis. Termasuk yang perlu
dipertimbangkan kemungkinan asma adalah anak-anak yang hanya menunjukkan batuk
sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat diperiksa tanda-tanda mengi, sesak, dan lain-lain
sedang tidak timbul.
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak-anak yang menunjukkan batuk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal /
morning dip), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada
pasien atau keluarganya.
Pada anamnesa yang bisa digali adalah :
Riwayat penyakit / gejala (PDPI) :
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk
3. sesak napas
4. rasa berat di dada dan berdahak
25
5. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
6. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
7. Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit (PDPI):
1. Riwayat keluarga (atopi)
2. Riwayat alergi / atopi
3. Penyakit lain yang memberatkan
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan
Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji
fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan
spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, gerak badan (exercise), udara
kering dan dingin, atau dengan salin hipertonis, sangat menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini
berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya:
1. Variabilitas pada PFR atau FEV1 >15%.
2. Kenaikan >15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan >15% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
Variabilitas adalah peningkatan dan penurunan hasil PFR dalam satu hari. Penilaian yang
baik dapat dilakukan jika pemeriksaannya berlangsung >2 minggu. Penggunaan peak flow
meter walaupun mahal merupakan hal yang penting dan perlu dibudayakan, karena selain
untuk mendukung diagnosis juga untuk mengetahui keberhasilan tata laksana asma. Berhubung
alat tersebut tidak selalu ada, maka Lembar Catatan Harian dapat digunakan sebagai alternatif
karena mempunyai korelasi yang baik dengan faal paru. Lembar Catatan Harian dapat
digunakan dengan atau tanpa pemeriksaan PFR.
Jika gejala dan tanda asmanya jelas, serta respons terhadap pengobatan baik sekali maka
tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak baik
maka perlu dinilai dahulu apakah dosisnya sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah
benar, serta ketaatan pasien baik, sebelum melanjutkan pengobatan dengan obat yang lebih
poten. Bila semua aspek tersebut sudah baik dan benar maka perlu dipikirkan kemungkinan
bukan asma.
Pasien dengan batuk produktif, infeksi saluran napas berulang, gejala respiratorik sejak
26
masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru, perlu pe-
meriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah foto Rontgen paru, uji fungsi
paru, dan uji provokasi. Selain itu mungkin juga perlu diperiksa foto Rontgen sinus paranaslis,
uji keringat, uji imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan
sampai bronkoskopi.
Di Indonesia, tuberkulosis masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai dan salah
satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu uji tuberkulin perlu dilakukan
baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun yang bukan. Dengan cara itu maka
penyakit tuberkulosis yang mungkin bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan diterapi.
Jika pasien kemudian memerlukan steroid untuk asmanya, tidak akan memperburuk
tuberkulosis yang diderita karena sudah dilindungi dengan obat.Berdasarkan alur di atas, setiap
anak yang menunjukkan gejala batuk dan/atau mengi maka diagnosis akhirnya dapat berupa:
• Asma
• Asma dengan penyakit lain
• Bukan asma
Klasifikasi Klinis (KNAA, 2000)
GINA membagi klasifikasi klinis asma menjadi 4, yaitu Asma intermiten, Asma
persisten ringan, Asma persisten sedang, dan Asma persisten berat. Dasar pembagiannya
adalah gambaran klinis, faal paru, dan obat yang dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit.
Dalam klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEV1 untuk penilaiannya.
Konsensus Internasional III juga membagi asma anak berdasarkan keadaan klinis dan
kebutuhan obat menjadi 3 yaitu , asma episodik jarang (asma ringan) yang meliputi
27
Gambar 5. Alur diagnosis asma
H. Penatalaksanaan
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi
tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak, termasuk bermain dan
berolahraga.
28
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru normal, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan tidak
ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama
yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. (KNAA, 2010)
Penanganan asma harus dikelola secara holistic dimana faktor yang bersangkutan
mencakup edukasi, menghindari pemicu, farmakoterapi, imunoterapi, dan termasuk
monitoring. Dalam hal ini penanganan asma membutuhkan biaya untuk memenuhi pengelolaan
secara menyeluruh agar mendapat hasil yang baik.
A. Edukasi (Papadopoulos et al, 2012)
Ada konsensus umum pada unsur-unsur dasar pendidikan asma: itu harus mencakup
informasi penting tentang (kronis / kambuh) sifat penyakit, kebutuhan untuk terapi jangka
panjang, dan berbagai jenis obat ('pengendali' dan 'penghilang' ). Yang penting, pendidikan
harus menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap obat resep bahkan tanpa adanya gejala dan
harus melibatkan penjelasan literal dan demonstrasi fisik penggunaan optimal dari perangkat
inhaler dan peak flow meter. Pendidikan harus disesuaikan sesuai dengan latar belakang sosial
budaya dari keluarga.
Pendidikan untuk manajemen diri merupakan bagian integral dari proses; namun itu tidak
bermaksud untuk menggantikan perawatan medis, tetapi untuk memungkinkan pasien dan /
atau pengasuh untuk membantu mencapai dan mempertahankan kontrol asma, membentuk
kemitraan fungsional dengan kesehatan profesional dalam menangani aspek harian dari
penyakit. Hal ini melibatkan kemampuan untuk menghindari atau mengelola pemicu yang
diidentifikasi, seperti infeksi, alergi, dan faktor lingkungan lainnya (misalnya asap rokok).
B. Menghindari pemicu (Papadopoulos et al, 2012)
Gejala asma dan eksaserbasi dipicu oleh berbagai rangsangan spesifik dan nonspesifik.
Hal ini wajar bahwa menghindari faktor-faktor ini dapat memiliki efek menguntungkan pada
aktivitas penyakit. Patofisiologi napas dimediasi melalui IgE terhadap alergen inhalan secara
luas diakui; Namun, tidak setiap alergen adalah icant sama signif- untuk semua pasien. Dengan
demikian, ada konsensus umum bahwa suara pemeriksaan allergological (termasuk sejarah-
29
hati untuk penilaian relevansi klinis, uji tusuk kulit, dan / atau pengukuran IgE spesifik) harus
mendahului upaya untuk mengurangi paparan alergen yang sesuai. Polusi indoor dan outdoor
dapat memicu utama khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini jelas bahwa berhenti
merokok pada remaja dan pengurangan paparan asap tembakau lingkungan, serta berbagai
polutan indoor dan outdoor dan iritasi, harus dicoba pada anak-anak dengan asma. Langkah-
langkah yang kuat diperlukan untuk mencapai menghindari. Demikian juga, dalam kasus yang
relatif jarang obat yang sensitif (misalnya NSAIDs) atau makanan sensitif anak-anak (misalnya
sulfida) dengan asma, penghindaran lengkap harus dianjurkan, tetapi hanya setelah benar-
benar menilai kausalitas.
C. Farmakoterapi (Papadopoulos et al, 2012)
Asma memiliki 2 macam obat yaitu pereda dan pengendali, dimana keduanya memiliki
masing-masing cara kerja untuk mengontrol serangan asma. Penggunaan inhalasi agonis short
acting beta-2 adrenergik (SABA), sebagian besar yang dipakai adalah salbutamol, sebagai
terapi lini pertama pereda. Selain itu juga bisa menggunakan santin seperti teofilin. Obat
pengendali yang biasa digunakan adalah obat anti inflamasi non steroid, steroid, beta agonis
lepas lambat (LABA), golongan anti leukotrien, dan steroid kombinasi dengan LABA.
D. Imunoterapi (Papadopoulos et al, 2012)
Secara khusus untuk asma yang disebabkan karena alergi terbukti efektif. Namun menurut
GINA, pilihan imunoterapi hanya harus dipertimbangkan ketika semua intervensi lain,seperti
lingkungan dan farmakologi, telah gagal.
E. Monitoring (Papadopoulos et al, 2012)
Spirometri direkomendasikan sebagai ukuran yang baik untuk memantau fungsi paru-
paru pada anak-anak yang dapat menerapkannya (Bukti B). Pemantauan arus puncak ekspirasi
(PEF) direkomendasikan sebagai pilihan untuk menilai kontrol dan monitoring di rumah
beberapa pasien. Pemantauan kepatuhan terhadap terapi asma dan penilaian teknik inhaler juga
sangat penting.
Tatalaksana serangan (KNAA, 2000)
Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini
dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur, dan
mempunyai pendidikan yang cukup. Pada panduan pengobatan di rumah, disebutkan terapi
awal berupa inhalasi beta-agonis kerja pendek hingga 3x dalam satu jam. Kemudian pasien
atau keluarganya diminta melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan yang
30
kemudian ditindak lanjuti sesuai derajatnya. Namun untuk kondisi di negara kita, pemberian
terapi awal di rumah seperti di atas berisiko, dan kemampuan melakukan penilaian juga masih
dipertanyakan. Dengan demikian agaknya tatalaksana di rumah ini belum dapat diterapkan di
Indonesia.
Penanganan Serangan Asma di Klinik atau Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Seorang anak penderita asma jika mengalami serangan akan dibawa mencari pertolongan
ke rumah sakit yang kemungkinan datang ke Klinik Rawat Jalan atau IGD. Pasien asma yang
datang dalam keadaan serangan, langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi di
atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam panduan GINA ditekankan bahwa
pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau peak flow meter) merupakan bagian integral
penilaian penanganan serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun di Indonesia
penggunaan alat tersebut belum memasyarakat.
Penanganan awal terhadap pasien adalah pemberian beta-agonis secara nebulisasi.
Garam fisiologis dan mukolitik dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa
dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat
antikolinergik. Penanganan awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis yaitu untuk
penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan
dengan cepat dan jelas.
Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan berat, langsung berikan
nebulisasi beta-agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pasien dengan serangan berat
yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan mengalami takifilaksis atau
refrakter, yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi beta-agonis. Pasien seperti ini
cukup dinebulisasi sekali saja kemudian secepatnya dirawat untuk mendapatkan obat
intravena, selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.
Serangan ringan
Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete
response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons
tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat beta-agonis (hirupan atau
oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat
ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke
Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika
31
sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga
reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali,
pasien diperlakukan sebagai serangan sedang.
Serangan sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali, pasien hanya menunjukkan respons
parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk itu perlu
dinilai ulang derajatnya sesuai pedoman di depan. Jika serangannya memang termasuk
serangan sedang, pasien perlu diobservasi dan ditangani di Ruang Rawat Sehari (RRS).
Walaupun mungkin tidak diperlukan, namun untuk persiapan keadaan darurat, maka sejak di
IGD pasien yang akan diobservasi di RRS langsung dipasangi jalur parenteral.
Serangan berat
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons (poor
response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), maka
pasien harus dirawat di Ruang Rawat Inap. Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal termasuk
saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks. Jika sejak penilaian awal
pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup diberikan sekali langsung dengan beta-
agonis dan antikolinergik.
Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan ancaman
henti napas, langsung dibuat foto rontgen toraks guna mendeteksi komplikasi pneumotoraks
dan/atau pneumomediastinum.
Penanganan di Ruang Rawat Sehari
Pemberian oksigen sejak dari IGD dilanjutkan. Kemudian berikan steroid sistemik oral
berupa prednisolon, prednison, atau triamsinolon. Setelah di IGD menjalani nebulisasi 3 kali
dalam 1 jam dengan respons parsial, di RRS diteruskan dengan nebulisasi beta-agonis +
antikolinergik tiap 2 jam. Jika dalam 8-12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan
dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari Klinik / IGD. Bila dalam 12
jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap untuk
mendapat steroid dan aminofilin parenteral.
32
Penanganan di Ruang Rawat Inap
1. Pemberian oksigen diteruskan
2. Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan intravena dan
dikoreksi asidosisnya.
3. Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam.
4. Nebulisasi beta-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika
dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat
diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
5. Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis: (inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB
dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30
menit. jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan 1/2nya.
Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml. Selanjutnya
aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.
6. Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan
steroid serta aminofilin diganti peroral.
7. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat
beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu
steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam
untuk reevaluasi tatalaksana.
8.
Kriteria rawat di Ruang Rawat Intensif
Pasien yang sejak awal masuk ke IGD sudah memperlihatkan tanda-tanda ancaman henti
napas langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif (ICU). Secara ringkas kriterianya adalah:
a. Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau perburukan
asma yang cepat.
b. Adanya kebingungan, pusing, dan tanda lain ancaman henti napas, atau hilangnya
kesadaran.
c. Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di Ruang Rawat Inap.
d. Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (kadar
PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg, walaupun tentu saja gagal napas dapat
terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah).
33
Tatalaksana Jangka Panjang (Landia dkk)
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi
tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok. 5.
Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang
mempengaruhi tumbuh kembang anak. Apabila tujuan ini belum tercapai maka perlu
reevaluasi tatalaksananya.
Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda ada yang menyebutnya pelega, atau obat serangan. Obat
kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila
serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat ini tidak digunakan lagi.
Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering disebut sebagai obat pencegah, atau obat
profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respitorik
kronik. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu yang relatif
lama, tergantung derajat penyakit asma dan responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan.
Obat-obat pengendali diberikan pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten.
1.Asma Episodik Jarang
Asma Episodik Jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator β-agonis
hirupan kerja pendek (Short Acting β2-Agonist, SABA) atau golongan santin kerja cepat bila
perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan,
maka β- agonis diberikan per oral.
Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator makin kurang perannya dalam tatalaksana
asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat β-agonis oralpun
tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan
timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan β- agonis oral tunggal dengan dosis besar
seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan
mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin.
34
Jika tatalaksana Asma Episodik Jarang sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik
dalam 4-6 minggu, maka tatalaksananya berpindah ke Asma Episodik Sering.
2.Asma Episodik Sering
Jika penggunaan β-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung
penggunaan praaktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam
sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi. Pada awalnya,
anti-inflamasi tahap pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan dosis minimum 10
mg 2-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika
asma sudah terkendali, pemeberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari.
Penelitian terakhir, Tasche dkk mendapatkan hasil bahwa pemberian kromolin kurang
bermanfaat pada terlaksana asma jangka panjang. Dengan dasar tersebut PNAA revisi terakhir
tidak mencantumkan kromolin (kromoglikat dan nedokromil) sebagai tahap pertama melainkan
steroid hirupan dosis rendah sebagai anti-inflamasi.
Tahap pertama obat pengendali adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah yang
biasanya cukup efektif. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah
budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara
dengan 100-200 ug/hari budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari
12 tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di
atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari,
atau setara flutikason 50- 100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka
panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali berupa
anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu penilaian
efek terapi dilakuakn setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan
inflamasinya. Setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah
tidak respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari),
maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan
400 ug/hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu
derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu,
maka derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya
terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila
memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara
35
penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rintis dan
sinusitis. Telah dibuktikan bahwa penatalaksanaan rintis dan sinusitis secara optimal dapat
memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.
3.Asma Persisten
Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama gejala
masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat
dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaaan tertentu, khususnya pada anak
dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral
jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil
yang masih optimal.3
Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara budesonid 400 ug/hari. Di
atas dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800 ug/hari
agaknya mulai berpengaruh terhadap poros HPA (hipotalamus-hipotesis- adrenal) sehingga
dapat berdampak terhadap pertumbuhan. Efek samping steroid hirupan dapat dikurangi dengan
penggunaan alat pemberi jarak berupa perenggang (spacer) yang akan mengurangi deposisi di
daerah orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik dan meningkatkan deposisi obat di
paru.13 Selain itu untuk mengurangi efek samping steroid hirupan, bila sudah mampu pasien
dianjurkan berkumur dan air kumurannya dibuang setelah menghirup obat.
Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang baik,
diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan steroid yang baik, diperlukan terapi
alternatif pengganti yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau terapi steroid
hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau ditambahkan
Theophylline Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriene Receptor (ALTR)(1,3).
Yang dimaksud dosis medium adalah setara dengan 200-400 ug/hari budesonid (100-200
ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid (200-
300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma,
maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid
sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR,
atau ALTR. (Evidence A) yang dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan >400 ug/hari
budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari
budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya yaitu
36
dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas
hidupnya.1,3,4 Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak
mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan
kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan
steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan. Langkah ini diambil hanya bila bahaya
dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat.8 Untuk steroid oral sebagai dosis
awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil
yang diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-
hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat.
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan enzim
hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi. Mengenai pemantauan uji fungsi
hati pada pemberian antileukotrien belum ada rekomendasi.
Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya ketotifen dan setirizin),
penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan asma tipe rinitis, hanya untuk
menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan kototifen sebagai obat pengendali pada
asma anak tidak lagi digunakan karena tidak mempunyai manfaat yang berarti.
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau
perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap
hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara itu
penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.
37
Tabel 6.Obat asma jangka panjang yang beredar di Indonesia (KNAA,2000))
38
Gambar 5. Alur diagnosis asma
Cara Pemberian Obat
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena perbedaan
kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Dmeikian juga kemauan anak perlu
dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (Metered
Dose Inhaler).
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring),
jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik.
39
Sebaliknya deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek terapetik yang baik. Obat
hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)
memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Sebagian alat bantu yaitu spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler,
Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan gelas atau botol minuman bekas, atau
menggunakan botol dengan dot yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.
Tabel 7. Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan umur
Tabel 8. Daftar obat untuk nebulisasi
40
Tabel 9. Daftar obat steroid untuk serangan asma
I. Pencegahan (Rahajoe dkk, 2004)
Pencegahan meliputi :
1. Pencegahan primer
yaitu mencegah tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan asma.
Meliputi pencegahan periode prenatal dan periode postnatal. Pencegahan perinatal seperti :
menghindari makanan yang bersifat allergen pada ibu hamil dengan resiko tinggi tetapi pada
prinsipnya belum ada pencegahan primer yang dapat direkomendasikan untuk dilakukan.
Sedang periode postnatal seperti : diet menghindari allergen pada ibu menyusui resiko tinggi
menurunkan resiko dermatitis atopik pada anak.
2. Pencegahan sekunder
Yaitu mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma.
Contohnya adalah pemberian anti histamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada penderita
anak dermatitis atopik.
3. Pencegahan tersier
Yaitu untuk mencegah agar tidak terjadi serangan atau bermanifestasi klinis pada
penderita yang sudah menderita asma. Contohnya menghindari allergen yang menyebabkan
tercetusnya serangan asma.
4. Prognosis
41
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut
menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45
hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan lamanya pemantauan.
Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak dengan wheezing merupakan
salah satu indikator penting untuk terjadinya asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal
tersebut maka kemungkinan menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai
dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap
pada keadaan bukan flu. (Landia dkk).
42
DAFTAR PUSTAKA
Ariz, Darmawan, Serangan Asma Berat pada Asma Episodik Sering. Sari pediatri volume 5, 2004 : 171-177
Arwin, Asma pada anak. Sari Pediatri volume 4, 2002. 78-82.
Global Initiative for asthma, 2008. Global strategy for asthma management and prevention.
Global Initiative for Asthma. 2011. Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
Hendra, Asma bronchial, Buku Ajar alergi imunologi anak,IDAI, Jakarta 2008Konsensus Nasional Asma Anak, Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta 2000.
Landia Setiawati, Makmuri, Tatalaksana asma jangka panjang pada anak. Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair, RSU Dr. Soetomo Surabaya.
N. G. Papadopoulos et all, International consensus on (ICON) pediatric asthma, Allergy, 2012.
Oemiati R, Sihombing M, Qomariah; Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit asma di Indonesia, Media Litbang Kesehatan Volume XXNomor 1, 2010
Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, Asma, Perhimpunan dokter paru Indonesia, 2003.
Rahajoe. Noenoeng.dkk. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi PP IDAI. Jakarta : 2004
Rosamarlina, Faisal Yunus, Dianiati KS,Prevalens Asma Bronkial Berdasarkan Kuesioner ISAAC dan Perilaku Merokok pada Siswa SLTP di Daerah Industri Jakarta Timur ; Jurnal respirologi Indonesia,Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan Jakarta. 2010
Widodo, Allergic clinic, 2009.