referat dvt rm
DESCRIPTION
kesehatanTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
DVT atau deep venous thrombosis adalah salah satu masalah kesehatan
yang paling umum saat ini. Angka kejadian DVT yaitu 80 kasus per 100.000 per
tahun, dan tingkat mortalitasnya cukup tinggi. Di Amerika, diperkirakan ada
900.000 kasus emboli paru dan DVT yang menimbulkan 60.000 sampai 300.000
kematian setiap tahunnya. Menurut HCHS, DVT adalah trombosis vena yang
paling umum, dengan prevalensi 1 kasus per 1000 penduduk. Akibat DVT, dapat
terjadi tromboemboli paru akut yang juga dapat mengancam jiwa, dimana 90%
kasus tromboemboli paru akut adalah DVT (Gersten, 2014; Landaw dan Bauer,
2015).
Menurut Robert Virchow, terjadinya trombosis adalah sebagai akibat
adanya ketidakseimbangan dalam 3 komponen trias Virchow, yaitu dari pembuluh
darah, aliran darah dan komponen pembekuan darah. Pada kasus-kasus yang
mengalami trombosis vena perlu pengawasan dan pengobatan yang tepat terhadap
trombosisnya dan melaksanakan pencegahan terhadap meluasnya trombosis dan
terbentuknya emboli di daerah lain, yang dapat menimbulkan kematian. DVT
merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit koroner
arteri dan stroke (Landaw dan Bauer, 2015).
Pasien-pasien dengan riwayat imobilisasi berkepanjangan, operasi,
obesitas, trauma atau fraktur pada ekstremitas bawah, keganasan, penggunaan
kontrasepsi oral atau terapi sulih hormon, riwayat stroke serta dengan kelainan
darah memiliki factor risiko terjadinya DVT. Untuk meminimalkan resiko fatal
terjadinya emboli paru diagnosis dan panatalaksanaan yang tepat sangat
diperlukan.. Tujuan dari farmakoterapi untuk DVT adalah untuk mengurangi
morbiditas, mencegah sindrom pascatrombosis (PTS), dan mencegah trombo-
emboli paru. Terapi utama VDT adalah dengan antikoagulan dan trombolitik.
Pengenalan gejala dini, ketepatan diagnosis dan pengobatan yang tepat dari DVT
dapat menyelamatkan banyak nyawa dan mencegah komplikasi DVT (Gersten,
2014; Landaw dan Bauer, 2015).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Trombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru akut (PE) adalah dua
manifestasi dari gangguan yang sama, tromboemboli vena (VTE). DVT dari
ekstremitas bawah dibagi menjadi dua kategori, yaitu trombosis vena distal, di
mana trombus tetap terbatas pada vena betis dalam dan trombosis vena
proksimal, dimana trombosis melibatkan vena poplitea, femoralis, atau vena
iliaka. Trombosis vena proksimal lebih penting secara klinis, karena lebih
sering dikaitkan dengan perkembangan emboli paru (Landaw dan Bauer,
2015).
2. Epidemiologi
DVT merupakan masalah kesehatan yang tingkat mortalitas,
morbiditas, dan pengeluaran sumber daya cukup tinggi. DVT biasanya terjadi
pada usia > 40 tahun dengan rasio laki-laki dan perempuan 1,2:1. Ras kulit
hitam 2,5-4 kali lebih berisiko daripada ras lainnya. Di Amerika, 1 % pasien
Rumah Sakit menderita DVT. Telah diperkirakan bahwa ada 900.000 kasus
emboli paru dan DVT menimbulkan 60.000 sampai 300.000 kematian setiap
tahunnya. Sebagian besar kematian tersebut terjadi pada pasien yang tidak
diobati, di mana diagnosis dibuat postmortem atau tidak didiagnosis, dan
dikaitkan dengan etiologi lain (misalnya, infark miokard, aritmia jantung).
Sekitar dua pertiga pasien kasus DVT berhubungan dengan rumah sakit dalam
sebelum 90 hari karena penyakit medis, operasi besar, atau imobilisasi sebagai
faktor risiko. The Longitudinal Investigasi Tromboemboli Etiologi yang
dikombinasikan informasi dari dua penelitian kohort prospektif, Risiko
Aterosklerosis dalam Komunitas dan Health Study Kardiovaskular menentukan
kejadian DVT gejala dan emboli paru pada usia ≥45 tahun 21.680 pasien yang
diikuti selama 7,6 tahun (Gersten, 2014; Landaw dan Bauer, 2015; Patel dan
Kausal, 2014).
2
3. Faktor Risiko
Faktor risiko DVT harus dicari pada semua pasien diantaranya adalah:
(Gersten, 2014; Landaw dan Bauer, 2015)
a. Riwayat imobilisasi, rawat inap, atau tirah baring berkepanjangan
b. Riwayat operasi
c. Obesitas
d. Riwayat DVT sebelumnya
e. Trauma atau fraktur pada ekstremitas bawah
f. Keganasan
g. Riwayat penggunaan kontrasepsi oral atau terapi sulih hormon
h. Kehamilan atau postpartum 6 bulan sebelumnya
i. Riwayat stroke
j. Riwayat penggunaan pace maker jantung
k. Riwayat naik pesawat terbang dalam jangka waktu yang lama
l. Riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah
4. Etiologi
Sebagian besar deep venous thrombosis (DVT) terjadi di ekstremitas
bawah, lokasi lainnya seperti ekstremitas atas, pelvic veins, bahkan vena-vena
cerebral. DVT merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam
(deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah. DVT
disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan
gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan trias virchow.
Bekuan darah yang bergerak melewati aliran darah disebut dengan
emboli. Emboli tersebut dapat terjebak di dalam pembuluh darah otak, paru-
paru, jantung atau daerah lainnya yang mengakibatkan terjadinya hambatan
aliran darah vena.
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya bekuan
darah, adalah (Alikhan, 2004):
3
a. Pacemaker kateter yang dialirkan melalui pembuluh darah vena
b. Imobilisasi yang terlalu lama, termasuk duduk dalam waktu yang lama
c. Riwayat keluarga memiliki gangguan pembekuan darah
d. Fraktur pelvis atau tungkai
e. Riwayat melahirkan dalam kurun waktu 6 bulan
f. Kehamilan
g. Obesitas
h. Riwayat operasi (terutama di pinggang, lutut, atau operasi pelvis pada
wanita)
i. Jumlah sel darah yang terlalu banyak diproduksi di sumsum tulang yang
akan mengakibatkan kekentalan darah meningkat.
Selain itu, darah akan mudah mengalami pembekuan pada penderita
yang memiliki gangguan, seperti:
a. Kanker
b. Penyakit autoimun, seperti lupus
c. Merokok
d. Pemakaian estrogen atau kontrasepsi hormonal
5. Patofisiologi
Berdasarkan Trias Virchow, terdapat 3 faktor yang berperan dalam
patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan dinding
pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah.
Trombosis vena adalah suatu deposit intravaskuler yang terdiri dari fibrin, sel
darah merah dan beberapa komponen trombosit dan leukosit.
Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut:
1. Stasis vena
2. Kerusakan pembuluh darah
3. Aktivitas faktor pembekuan
Stasis vena terjadi sebagai akibat berubahnya aliran darah atau adanya
obstruksi yang menganggu aliran darah vena. Hal ini menyebabkan viskositas
darah meningkat dan dapat memicu pertumbuhan thrombus di pembuluh darah.
4
Kerusakan endotel pembuluh darah dan terjadi akibat trauma secara intrinsik di
dalam pembuluh darah itu sendiri maupun secara eksternal. Sedangkan
aktivitas faktor pembekuan yang tidak seimbang dapat menyebabkan terjadinya
hiperkoagulitas darah.
1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis
terutama pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu
yang cukup lama. tasis ini mengakibatkan gangguan mekanisme
pembersihan sehingga menimbulkan akumulasi faktor-faktor pembekuan
yang aktif. Trombosis vena biasanya dimulai di tempat yang mengalami
stasis, misalnya pada daerah antara dinding vena dan katup, yang disebut
valve-pocket thrombi.
2. Kerusakan pembuluh darah
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel.
Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel
menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin (PG12),
proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat
mencegah terbentuknya trombin.
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel
akan terpapar. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan
sistem pembekuan darah. Keadaan ini akan menyebabkan sistem
pembekuan darah diaktifkan dan trombosit akan melekat pada jaringan
sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro-fibril.
Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan
tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain yang masih beredar
untuk berubah bentuk dan saling melekat. Perlekatan ini disebut disebut
agregasi. Trombosit yang beragregasi ini akan melepaskan lagi ADP dan
TxA2 yang akan merangsang agregasi lebih lanjut. Kerusakan endotel
juga akan mengaktifkan sitem pembuluh darah. Aktifasi sistem
pembekuan darah baik melalui jalur intrinsik maupun ekstrinsik akan
menghasilkan trombin. Trombin ini akan mengubah fibrinogen menjadi
5
fibrin yang akan menstabilkan massa trombosit sehingga terbentuk
trombus (Wakefield, 2000).
3. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem
pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya
trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas
fibrinolisis menurun.
Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas
pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi
Antitrombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan kelainan
plasminogen.
6. Diagnosis
Pasien dengan DVT (Deep Vein Thrombosis) dapat asimptomatik.
Gejala yang sering timbul, antara lain rasa tidak nyaman pada betis atau paha
terutama saat berdiri dan berjalan; edema, eritem, dan rasa nyeri pada kaki
yang terkena. Selain dari gejala dan tanda yang ada pada pasien, diagnosis
DVT juga dapat dinilai dari faktor risiko kemudian dibagi menjadi rendah,
sedang dan berat (Tamariz et al, 2004).
6
Tabel 1. Probability of Deep Venous Thrombosis Based on Clinical Factors
(Anand et al, 1998)
Pemeriksaaan penunjang yang paling sering digunakan untuk
mendiagnsois DVT adalah pengukuran kadar D-dimer serum, dan venous
compression duplex ultrasonography.
1. D-dimer Testing
D-dimer merupakan hasil degradasi dari cross-linked fibrin, yang
dapat diukur kadarnya dari daraf perifer dan sensitif terhadap adanya DVT
atau emboli paru akut. Meskipun demikian, D-dimer kadarnya dapat juga
meningkat pada beberapa kondisi seperti kanker, trauma, operasi,
inflamasi, infeksi, dan nekrosis sehingga hasil positif tidak bersifat spesifik
terhadap DVT. Selain itu, dari literatur dikatakan bahwa D-dimer tidak
7
begitu sensitif apabila hanya terdapat trombosis vena di betis, dan juga
hasilnya sering tidak bisa digunakan untuk pasien dengan risiko tinggi
mengalami DVT. Jadi, kadar D-dimer normal dapat digunakan untuk
menyingkirkan diagnosis DVT namun kadar yang meningkat tidak bisa
untuk menegakkan diagnosis dan tetap butuh pemeriksaan lanjutan.
2. Venous Compression Duplex Ultrasonography
Venous compression duplex ultrasonographyadalah teknik non-
invasif yang sering digunakan untuk mendiagnosis DVT. Sensitivitas dan
spesifisitas dalam mendiagnosis proksimal DVT yang simptomatik adalah
97% dan 94%, dan untuk trombosis vena betis yang simptomatik hanya
75%. Instrumen ini dapat melihat apakah vena dapat terkompresi atau
tidak, visualisasi trombus secara langsung, dan aliran darah pada vena
(Birdwell et al, 2000).
3. Pletismografi Impedansi
Digunakan untuk mengukur perbedaan volume darah dalam vena.
Manset tekanan darah dipasang pada paha pasien dan dikembungkan
secukupnya (sekitar 50 – 60 mmHg) sampai aliran arteri berhenti.
Kemudian gunakan eletroda betis untuk mengukur tahanan elektris yang
terjadi akibat perubahan volume darah dalam vena. Apabila terdapat
trombosis vena dalam, peningkatan volume vena yang normalnya terjadi
akibat terperangkapnya darah dibawah ikatan manset akan lebih rendah
dari yang diharapkan. Hasil false-positif dapat terjadi akibat dari berbagai
factor yang menyebabkan vasokontriksi, peninggian tekanan vena,
penurunan curah jantung atau kompresi eksternal pada vena. False-negatif
dapat terjadi akibat adanya trombosis lama, menimbulkan sirkulasi
kolateral yang adekuat atau dari flebitis superficial.
4. Magnetic Resonance Imaging
Magnetic resonance imaging atau MRI termasuk efektif untuk
mendiagnosa terjadinya DVT terutama di pelvis. Teknik ini tidak invasif
dan memungkinkan untuk melakukan visualisasi yang simultan terhadap
kedua ekstremitas. MRI dapat pula digunakan untuk membedakan DVT
8
akut dan kronik. Namun, MRI termasuk mahal dan tidak bisa digunakan
pada beberapa kondisi seperti pada penggunaan pacemaker.
5. Venography
Teknik diagnostik yang masih menjadi gold standar sampai sekarang
adalah venografi, baik itu magnetic resonance venography ataupun
contrast venography. Meskipun demikian, teknik ini bersifat invasif sering
jarang digunakan sehari-hari. Venografi diindikasikan bila hasil
pemeriksaan ultrasonografi normal namun terdapat sangkaan secara klinik
yang tinggi. Kebanyakan komplikasi dari tindakan venografi diakibatkan
oleh efek samping dari kontras Iodine. Pasien dengan insufisiensi renal
yang telah ada, diabetes atau dehidrasi mempunyai resiko paling tinggi
untuk terjadinya gagal ginjal yang diinduksi kontras.
7. Penatalaksanaan
Falsafah pengobatan trombosis adalah aman dan efektif, aman
bermakna terapi yang diberikan tidak menimbulkan komplikasi misalnya
pemberian antikoagulan harus diupayakan tidak sampai mengakibatkan
perdarahan, efektif berarti tindakan yang diberikan berhasil mencegah
perluasan thrombosis (Jusi, 2004).
Secara umum penatalaksanaan penderita trombosis vena dalam meliputi
upaya pencegahan, pengobatan non invasif dan tindakan pembedahan atau
invasive (Jusi, 2004).
1. Pengobatan medikamentosa
Pada kasus DVT pemberian terapi medikamentosa sangat
bermanfaat untuk mencegah timbulnya komplikasi dan progresifitas
penyakit. Terapi yang diberikan meliputi pemberian antikoagulan,
trombolitik ataupun fibrinolitik dan anti agregasi trombosit (Denekamp,
2012).
Antikoagulan diberikan sebagai terapi utama memiliki dua sasaran,
pertama bertujuan mencegah terjadinya emboli paru, kedua berguna untuk
membatasi area kerusakan dari venanya. Antikoagulan dalam jangka
9
pendek sebaiknya diberikan pada semua penderita dengan trombosis vena
dalam di tungkai. Pemakaian antikoagulan seperti heparin dalam jangka
pendek yang efektif dan aman harus dipantau dengan pemeriksaan waktu
pembekuan dan pemeriksaan waktu protrombin, pemeriksaan ini dilakukan
tiap hari. Komplikasi perdarahan biasanya tidak akan terjadi bila efektif
antikoagulan cepat tercapai dan dosis dapat segera ditentukan dengan
cepat pula (Jusi, 2004)..
Terapi trombolitik adalah pemberian secara intravena suatu bahan
fibrinolitik dengan tujuan agar terjadi lisis pada trombus vena. Pemberian
kinase akan menyebabkan plasminogen berubah menjadi suatu enzim
proteolitik aktif yaitu plasmin yang dapat menghancurkan fibrin menjadi
polipeptida yang dapat larut. Berbagai obat yang tersedia saat ini seperti
Streptokinase, Reteplase, Tenecteplase, masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Pilihan terapi ini harus hati-hati terhadap
komplikasi perdarahn otak atau gastrointestinal terutama pada usia lanjut
(Denekamp, 2012).
Anti agregasi trombosit merupakan salah satu pilihan terapi yang
memiliki hasil terapi efektif dan aman. Karena adesi dan agregasi
trombosit adalah dasar dari pembentukan trombus hemostatik primer
dalam skema koagulasi, maka obat-obatan antitrombosit seperti aspirin
dipakai oleh beberapa ahli untuk menahan perkembangan thrombosis
(Denekamp, 2012).
2. Tindakan pembedahan
Tindakan bedah dilakukan apabila pada upaya preventif dan
pengobatan medikamentosa tidak berhasil serta adanya bahaya komplikasi.
Ada beberapa pilihan tindakan bedah yang bisa dipertimbangkan antara
lain (Jusi, 2004) :
a. Ligasi vena, dilakukan untuk mencegah emboli paru. Vena
Femoralis dapat diikat tanpa menyebabkan kegagalan vena
menahun, tetapi tidak meniadakan kemungkinan emboli paru. Ligasi
Vena Cava Inferior secara efektif dapat mencegah terjadinya emboli
10
paru, tapi gejala stasis hebat dan resiko operasi lebih besar dibanding
dengan pemberian antikoagulan dan trombolitik.
b. Trombektomi, vena yang mengalami thrombosis dilakukan
trombektomi dapat memberikan hasil yang baik jika dilakukan
segera sebelum lewat 3 hari. Tujuan tindakan ini adalah: mengurangi
gejala pasca flebitik, mempertahankan fungsi katup dan mencegah
terjadinya komplikasi seperti ulkus stasis dan emboli paru.
c. Femorofemoral grafts disebut juga cross-over-method dari Palma,
tindakan ini dipilih untuk bypass vena iliaka serta cabangnya yang
mengalami trombosis. Tekniknya vena safena diletakkan subkutan
suprapubik kemudian disambungkan end-to-side dengan vena
femoralis kontralateral.
d. Saphenopopliteal by pass, dilakukan bila rekanalisasi pada trombosis
vena femoralis tidak terjadi. Metoda ini dengan menyambungkan
vena safena secara end-to-side dengan vena poplitea.
3. Penanganan Rehabilitasi Medik :
a. Fisioterapi
Bed rest merupakan hal terakhir yang dilakukan setelah dilakukan
kompresi kaki dan ambulasi pada pasien yang sudah menderita
DVT. Perkembangan thrombus jarang terjadi dan kurang berat
pada kelompok ambulasi.
Terapi fisik harus diberikan lebih dini untuk pasien DVT.
Pada pasien post-operasi, dapat dilakukan latihan range of motion,
latihan berjalan, dan latihan isometrik, yang dapat dimulai pada
hari pertama setelah operasi.
b. Terapi manual
Terapi yang efektif pada pasien trauma (dengan antikoagulan)
untuk mencegah DVT yakni gerakan pasif yang berkelanjutan.
Misalnya menggerakan sendi kaki secara pasief sebanyak 30 kali
dalam satu menit.
11
c. Protesa-Ortesa
Penggunaan stoking kompresi elastic (ECS) setelah menderita
DVT untuk mengurangi gejala dan tanda selama latihan tidak
memberikan hasil yang konklusif.
8. Pencegahan
Pencegahan adalah upaya terapi terbaik pada kasus trombosis vena
dalam, terutama pada penderita yang memiliki resiko tinggi. Peranan ahli
rehabilitasi medik sangat dibutuhkan pada upaya ini agar mereka yang
berpotensi mengalami trombosis vena tidak sampai mengalami DVT (Jusi,
2004).
Ada beberapa program rehabilitasi medik yang berfungsi untuk
mencegah timbulnya trombosis vena pada populasi resiko tinggi. Program-
program tersebut adalah (Andrews, 2010)
a. Mobilisasi dini, program ini diberikan pada penderita beresiko timbul
DVT oleh karena keadaan yang mengakibatkan imobilisasi lama akibat
kelumpuhan seperti penderita stroke, cedera spinal cord, cedera otak,
peradangan otak. Dengan melakukan latihan pada tungkai secara aktif
maupun pasif sedini mungkin aliran balik vena ke jantung bisa membaik.
b. Elevasi, meninggikan bagian ekstremitas bawah di tempat tidur sehingga
lebih tinggi dari jantung berguna untuk mengurangi tekanan hidrostatik
vena dan juga memudahkan pengosongan vena karena pengaruh grafitasi.
c. Kompresi, pemberian tekanan dari luar seperti pemakaian stocking,
pembalut elastik, ataupun kompresi pneumatik eksternal dapat mengurangi
stasis vena. Tetapi pemakaian stocking dan pembalut elastik harus
dikerjakan dengan hati-hati guna menghindari efek torniket oleh karena
pemakaian yang ceroboh.
d. Latihan, program latihan yang melibatkan otot-otot ekstremitas bawah
akan sangat membantu perbaikan arus balik pada sistem vena sehingga
mengurangi tekanan vena, dengan demikian dapat memperbaiki sirkulasi
vena yang bermasalah dan beresiko timbulnya DVT. Berikut beberapa
12
contoh sederhana latihan yang bisa diberikan pada kelompok resiko tinggi
trombosis vena
1. Latihan dalam posisi berbaring (Anonym, 2012) :
1.a. Posisi berbaring miring dengan posisi tungkai satu di atas
dengan yang lain selanjutnya tungkai yang berada di atas diangkat
hingga 45 dipertahankan sesaat kemudian kembali keposisi awal,
latihan dilakukan bergantian antara kanan dan kiri tungkai masing-
masing 6 kali.
1.b. Posisi terlentang kedua tungkai bawah lurus selanjutnya
salah satu tungkai ditekuk dan ditarik kearah dada perlahan, di
dipertahankan 15 detik sebelum kembali ke posisi awal. Latihan
bergantian kanan dan kiri masing-masing 6 kali.
13
1.c. Posisi terlentang dengan pergelangan kaki netral
selanjutnya kaki diekstensikan/plantar fleksi dengan ujung jari
ditekankan ke bawah, pertahankan beberapa detik. Gerakan tersebut
diulangi 6 kali per latihan.
2. Latihan dalam posisi duduk (Anonym, 2012):
2.a. Lutut dipertahankan pada posisi fleksi selanjutnya
diangkat keatas kea rah dada dan kembali diturunkan, demikian
gerakan dilakukan berulang secara bergantian antara sisi kiri dan
kanan.
14
2.b. Posisi sambil duduk kemudian lutut diekstensikan dan
kembali keposisi semula, dilakukan bergantian sisi kanan dan kiri.
2.c. Posisi duduk dengan lengan di samping, selanjutnya
tungkai bawah diangkat lurus ke atas, pertahankan beberapa detik
kemudian diturunkan. Gerakan diulang secsra bergantian masing-
masing 6 kali.
2.d. Tumit diangkat keduanya selanjutnya dilakukan gerakan
melingkar/rotasi pada kedua kaki dengan arah putaran berlawanan
antara kiri dan kanan, gerakan dilakukan selama 15 detik dilanjutkan
dengan arah putaran sebaliknya.
15
2.e. Melakukan gerakan pumping pada kedua kaki dengan
menekan lantai pada ujung jati kaki sementara tumit diangkat,
dipertahankan 3 detik dan dilanjutkan dengan tumit menekan lantai
sementara ujung jari terangkat juga dipertahankan selama 3 detik,
demikian dilakukan berulang.
9. Komplikasi dari DVT
1. Pulmonary embolism
Pulmonary embolism terjadi ketika sepotong bekuan darah dari DVT
istirahat dan berjalan melalui aliran darah ke paru-paru dan memblok salah
satu pembuluh darah di paru-paru.
2. Post Trombotic syndrom
Terjadi jika terjadi kerusakan dvt katub vena dalam sehingga
menyebabkan darah yang seharusnya mengalir ke atas , berubah menjadi
mengalir ke bawah menyebabkan rasa sakit dalam jangka waktu lama dan
pembengkakan.
3. Limb Iskemia
Hal ini terjadi jika terjadi DVT sangat luas. Karena bekuan darah,
tekanan dalam vena menjadi lebih besar sehingga dpat memblokir aliran
darah melalui arteri. Hal ini menyebabkan lebih sedikit oksigen dibawa ke
kaki dan bisa menjadi bisul kulit, infeksi, hingga gangren (iskemik)
16
10. Prognosis
Tanpa pengobatan DVT pada ekstremitas bawah yang adekuat akan
meningkatan sebesar 3% terjadi pulmonary embolism, kematian dikarenakan
DVT pada ekstremitas atas sangat jarang terjadi. Risiko terjadinya DVT ulang
pada pasien dengan transient risk factor seperti pembedahan, trauma, dan
imobiliasi kecil kemungkinannya, sedangkan pada pasien dengan persistent
risk factor seperti kanker, idiopatic DVT, residual trombus besar
kemungkinannya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Alikhan R, Cohen AT, Combe S, Samama MM, Desjardins L, Eldor A, et al. Risk factors for venous thromboembolism in hospitalized patients with acute medical illness: analysis of the MEDENOX Study. Arch Intern Med. May 10 2004;164(9):963-8.
Anand SS, Wells PS, Hunt D, et al: Does this patient have deep vein thrombosis? Journal of the American Medical Association 279 (14):1094–1099, 1998.
Andrews KL, Gamble GL, et al. Vascular Diseases. In: Delisa JA, editor. Physical Medicine & Rehabilitation Principles and Practice, 4th Edition. Phyladelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p. 787-806.
Anonym. Simple Movements, Awareness and Safety. In: DVT TCtP, editor. www.preventdvt.org2012.
Birdwell BG, Raskob GE, Whitsett TL, et al: Predictive value of compression ultrasonography for deep vein thrombosis in symptomatic outpatients: Clinical implications of the site of vein noncompressibility. Arch Intern Med 2000;160(3):309-313.
Denekamp LJ, Folcarelli PH. Penyakit Pembuluh Darah. In: Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6 ed. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2012. p. 656-83.
Gersten, T. 2014. Deep venous thrombosis. Diakses di http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000156.htm pada 10 Februari 2015.
Jusi D. Dasar-Dasar Bedah Vaskuler. 3 ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2004. p. 228-45.
Landaw SA, Bauer KA. 2015. Approach to the diagnosis and therapy of lower extremity deep vein thrombosis.
Patel, Kausal. 2014. Deep venous thrombosis. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1911303-overview#a0156 pada 10 Februari 2015.
Tamariz LJ, Eng J, Segal JB, et al: Usefulness of clinical prediction rules for the diagnosis of venous thromboembolism: A systematic review. Am J Med 2004;117(9):676-684.
18
Wakefield TW, Strieter RM, Schaub R, Myers DD, Prince MR, Wrobleski SK, et al. Venous thrombosis prophylaxis by inflammatory inhibition without anticoagulation therapy. J Vasc Surg. Feb 2000;31(2):309-2
19