refleksi anestesi
DESCRIPTION
anesTRANSCRIPT
REFLEKSI KASUS
TERAPI CAIRAN PADA PEMBEDAHAN
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anestesiologi dan Reanimasi RSUD Temanggung
Disusun oleh :
LUSIANA PRATIWI SUKMAJAYA
20100310073
Pembimbing :
dr. Uud Saputro, Sp. An
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
RSUD TEMANGGUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
A. RANGKUMAN KASUS
Seorang anak laki-laki berusia 11 bulan dengan diagnosis ileus obstruktif akan
dilakukan operasi oleh dokter spesialis bedah. Sebelumnya, pasien dikonsulkan kepada
dokter spesialis anestesi. Dokter spesialis anestesi menyetujui pasien dilakukan operasi
dengan teknik general anestesi.
B. MASALAH YANG DIKAJI
Bagaimana terapi cairan perioperatif pada pasien ini?
C. ANALISIS
Terapi cairan dan elektrolit adalah tindakan untuk memelihara, mengganti
milieu interior dalam batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau
koloid (plasma ekspander) secara intravena. Defisit cairan perioperatif timbul sebagai
akibat puasa pra bedah yang kadang-kadang dapat memanjang, kehilangan cairan yang
sering menyertai primernya, perdarahan, manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan
yang mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan. Tujuan utama terapi
cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra, selama dan pasca bedah. Terapi
dinilai apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan
hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan.
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam
pemberian cairan perioperatif, yaitu :
a. Kebutuhan Normal Cairan dan Elektrolit Harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit
utama Na+ = 1-2 mmol/kgBB/hari dan K+ = 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut
merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi
gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan
insensible water losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air
lebih banyak dibandingkan elektrolit).
b. Defisit Cairan dan Elektrolit Pra Bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita
bedah elektif (sekitar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai
penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan
pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss
2
akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra
bedah ini harus segera diganti sebelum dilakukan pembedahan.
c. Kehilangan Cairan Saat Pembedahan
Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari: botol penampung darah yang
disambung dengan pipa penghisap darah (suction pump). Dengan cara menimbang
kassa yang digunakan sebelum dan setelah pembedahan. Kassa yang penuh darah
(ukuran 4x4 cm) mengandung 10 ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads)
dapat menyerap darah 10-100 ml. Dalam praktek jumlah perdarahan selama
pembedahan hanya bisa ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman
banyak) dan keadaan klinis penderita yang kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan
kadar hemoglobin dan hematokrit berulang- ulang (serial). Pemeriksaan kadar
hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit daripada
jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada luka operasi
digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai kain penutup,
meja operasi dan lantai kamar bedah.
Kehilangan Cairan Lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol
dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan
internal. Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada
pembedahan dengan luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan
cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara
masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler. Jaringan yang mengalami
trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan
interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau ke lumen usus.
Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang ekstraseluler meningkat.
Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan
dapat merugikan secara fungsional cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan juga
dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.
d. Gangguan Fungsi Ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan:
o Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.
3
o Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh
meningkatnya kadar aldosteron.
o Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya retensi
air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules) meningkat.
o Ginjal tidak mampu mengekskresikan free water atau untuk menghasilkan urin
Penerapan terapi cairan dalam pembedahan
1. Cairan Pra Bedah
Status cairan harus dinilai dan dikoreksi sebelum dilakukannya induksi anestesi
untuk mengurangi perubahan kardiovaskuler dekompensasi akut. Penilaian status
cairan ini didapat dari :
Anamnesa : Apakah ada perdarahan, muntah, diare, rasa haus. Kencing terakhir,
jumlah dan warnanya.
Pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik ini didapat tanda-tanda obyektif dari
status cairan, seperti tekanan darah, nadi, berat badan, kulit, abdomen, mata dan
mukosa.
Laboratorium meliputi pemeriksaan elektrolit, BUN, hematokrit, hemoglobin dan
protein.
Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya dehidrasi yang terjadi,
yaitu:
Pada fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus, nadi biasanya meningkat
sedikit, belum ada gangguan cairan dan komposisinya secara serius. Dehidrasi pada
fase ini terjadi jika kehilangan kira-kira 2% BB (1500 ml air).
Fase moderat, ditandai rasa haus. Mukosa kering otot lemah, nadi cepat dan lemah.
Terjadi pada kehilangan cairan 6% BB.
Fase lanjut/dehidrasi berat, ditandai adanya tanda shock cardiosirkulasi, terjadi pada
kehilangan cairan 7-15 % BB. Kegagalan penggantian cairan dan elektrolit biasanya
menyebabkan kematian jika kehilangan cairan 15 % BB atau lebih.
Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, pada dewasa 2
ml/kgBB/jam, atau 60 ml ditambah 1 ml/kgBB untuk berat badan lebih dari 20 kg. Pada
anak-anak 4 ml/kg pada 10 kg BB I, ditambah 2 ml/kg untuk 10 kgBB II, dan ditambah
4
1 ml/kg untuk berat badan sisanya. Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan
kardiovaskuler, tanda rehidrasi tercapai ialah dengan adanya produksi urine 0,5-1
ml/kgBB.
2. Terapi cairan selama pembedahan
Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan penggantian sisa
defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang selama operasi. Berdasarkan beratnya
trauma pembedahan dikenal pemberian cairan pada trauma ringan, sedang dan berat.
Pada pembedahan dengan trauma ringan diberikan cairan 2 ml/kg BB/jam untuk
kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kg BB/jam sebagai pengganti akibat trauma
pembedahan. Cairan pengganti akibat trauma pembedahan sedang 6 ml/kg BB/jam dan
pada trauma pembedahan berat 8 ml/kg BB/jam. Cairan pengganti akibat trauma
pembedahan pada anak, untuk trauma pembedahan ringan 2 ml/kg BB/jam, sedang 4
ml/kgBB/jam dan berat 6 ml/kgBB/jam.
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur pembedahan dan
perkiraan jumlah perdarahan. Perkiraan jumlah perdarahan yang terjadi selama
pembedahan sering mengalami kesulitan., dikarenakan adanya perdarahan yang sulit
diukur/tersembunyi yang terdapat di dalam luka operasi, kain kasa, kain operasi dan lain-
lain. Dalam hal ini cara yang biasa digunakan untuk memperkirakan jumlah perdarahan
dengan mengukur jumlah darah di dalam botol suction ditambah perkiraan jumlah darah
di kain kassa dan kain operasi. Satu lembar duk dapat menampung 100 – 150 ml darah,
sedangkan untuk kain kassa sebaiknya ditimbang sebelum dan setelah dipakai, dimana
selisih 1 gram dianggap sama dengan 1 ml darah. Perkiraan jumlah perdarahan dapat
juga diukur dengan pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin secara serial.
Pada perdarahan untuk mempertahankan volume intravena dapat diberikan
kristaloid atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia. Pada keadaan ini
perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel darah merah untuk mempertahankan
konsentrasi hemoglobin ataupun hematokrit pada level aman, yaitu Hb 7 – 10 g/dl atau
Hct 21 – 30%. 20 – 25% pada individu sehat atau anemia kronis.
Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan nilai
hematokrit dan EBV. EBV pada neonatus prematur 95 ml/kgBB, fullterm 85 ml/kgBB,
bayi 80 ml/kgBB dan pada dewasa laki-laki 75 ml/kgBB, perempuan 85 ml/kgBB.
5
Untuk menentukan jumlah perdarahan yang diperlukan agar Hct menjadi 30%
dapat dihitung sebagai berikut :
o EBV
o Estimasi volume sel darah merah pada Hct prabedah (RBCV preop)
o Estimasi volume sel darah merah pada Hct 30% prabedah (RBCV%)
o Volume sel darah merah yang hilang, RBCV lost = RBCV preop – RBVC
30%)
o Jumlah darah yang boleh hilang = RBCV lost x 3, transfusi dilakukan jika
perdarahan melebihi nilai RBCV lost x 3.
Selain cara tersebut di atas, beberapa pendapat mengenai penggantian cairan
akibat perdarahan adalah sebagai berikut, berdasar berat-ringannya perdarahan :
o Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%, cukup diganti dengan
cairan elektrolit.
o Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%, dapat diganti dengan
cairan kristaloid dan koloid.
o Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus diganti dengan
transfusi darah.
Secara sederhana perencanaan terapi cairan dapat dirumuskan sebagai berikut:
Maintenance (M) : 2 X berat badan (BB)
Pengganti puasa (PP) : jam puasa X M
Stress operasi (SO) : Ringan : 4 X BB
Sedang : 6 X BB
Berat : 8 X BB
1 jam pertama : ½ PP + M + SO
2 - 3 jam setelahnya : ¼ PP +M +SO
Estimated Blood Volume : 65 X BB (Laki-laki)
70 X BB (Perempuan)
Allowed Blood Loss (ABL) : 20 % X EBV
3. Terapi Cairan dan Elektrolit Pasca Bedah
Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
6
a. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air
untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam.
Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya
pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi
darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang
cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca
bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan
trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup
memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein
sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian
cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam
isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
b. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1°C
suhu tubuh
Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.
c. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang
belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan
transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
d. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.
Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi
nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
D. KESIMPULAN
Terapi cairan dan elektrolit adalah tindakan untuk memelihara, mengganti
milieu interior dalam batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau
koloid (plasma ekspander) secara intravena. Defisit cairan perioperatif timbul
sebagai akibat puasa pra bedah yang kadang-kadang dapat memanjang, kehilangan
cairan yang sering menyertai primernya, perdarahan, manipulasi bedah, dan lamanya
pembedahan yang mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan.
7
Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra, selama
dan pasca bedah.
E. DAFTAR PUSTAKA
1. Suntoro, A, Terapi Cairan Perioperatif, dalam Muhiman, M. dkk.,
Anestesiologi, CV. Infomedika, Jakarta.
2. Latief AS, dkk. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada
pembedahan. Ed. Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI. 2002
3. Silbernagl F, Lang F. Color atlas of pathophysiology. Stuttgart: Thieme; 2000:
122-3.
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th
ed. Philadelphia: Lippincot williams and wilkins; 2006: 74-97.
8