remote sensing

22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut Salah satu faktor yang sangat penting dalam proses kehidupan dan penyebaran organisme di laut adalah suhu. Suhu air laut merupakan parameter yang sering diukur mengingat kegunaannya dalam mempelajari proses fisika, kimia dan biologi laut. Selain itu juga suhu dimanfaatkan dalam mempelajari transportasi dan polutan yang masuk ke lingkungan laut. Suhu juga merupakan faktor pembatas dalam penyebaran hewan dan tumbuhan laut, sebagai contoh binatang karang yang penyebarannya sangat dibatasi oleh perairan yang hangat di daerah tropik dan subtropik. Proses metabolisme pada organisme hanya berfungsi dengan baik pada kisaran suhu yang relatif sempit, yakni antara 0 hingga 40 derajat Celcius. Namun terdapat juga organisme yang mampu mentolerir suhu sedikit di atas atau di bawah batas-batas tersebut. Ganggang hijau-biru dapat hidup pada suhu 85 derajat Celcius di sumber air panas. Proses metabolisme organisme akan meningkat dua kali lipat untuk kenaikan suhu sebesar 10 derajat Celcius. (Astekita,2011). Suhu air laut berkisar -2 hingga 40 derajat Celcius mulai dari suhu air laut di daerah kutub sampai air laut di daerah tropis (perairan dangkal). Suhu air permukaan memperlihatkan kisaran yang amat luas sedangkan air laut dalam lebih stabil. Suhu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : radiasi matahari, posisi matahari, letak geografis, musim,

Upload: poetra-kresnabyyou

Post on 23-Dec-2015

21 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Sea Surface Temperature dan Chlorophil

TRANSCRIPT

Page 1: remote sensing

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Suhu Permukaan Laut

Salah satu faktor yang sangat penting dalam proses kehidupan dan penyebaran

organisme di laut adalah suhu. Suhu air laut merupakan parameter yang sering diukur

mengingat kegunaannya dalam mempelajari proses fisika, kimia dan biologi laut. Selain itu

juga suhu dimanfaatkan dalam mempelajari transportasi dan polutan yang masuk ke

lingkungan laut. Suhu juga merupakan faktor pembatas dalam penyebaran hewan dan

tumbuhan laut, sebagai contoh binatang karang yang penyebarannya sangat dibatasi oleh

perairan yang hangat di daerah tropik dan subtropik. Proses metabolisme pada organisme

hanya berfungsi dengan baik pada kisaran suhu yang relatif sempit, yakni antara 0 hingga 40

derajat Celcius. Namun terdapat juga organisme yang mampu mentolerir suhu sedikit di atas

atau di bawah batas-batas tersebut. Ganggang hijau-biru dapat hidup pada suhu 85 derajat

Celcius di sumber air panas. Proses metabolisme organisme akan meningkat dua kali lipat

untuk kenaikan suhu sebesar 10 derajat Celcius.(Astekita,2011).

Suhu air laut berkisar -2 hingga 40 derajat Celcius mulai dari suhu air laut di daerah

kutub sampai air laut di daerah tropis (perairan dangkal). Suhu air permukaan

memperlihatkan kisaran yang amat luas sedangkan air laut dalam lebih stabil. Suhu perairan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : radiasi matahari, posisi matahari, letak

geografis, musim, kondisi awan, proses interaksi air dan udara, penguapan dan hembusan

angin. Secara alamiah atau terbesar faktor yang mepengaruhi besarnya suhu adalah matahari.

Setiap detik matahari memancarkan bahang sebesar 1026 kalori dan setiap tempat di bumi

yang tegak lurus ke matahari akan menerima bahang sebanyak 0,033 kalori/detik. (Meadous

and Campbell,1993).

Pancaran energi matahari ini akan sampai ke batas atas atmosfer bumi rata-rata 2

kalori/cm2/menit. Pancaran energi ini juga sampai ke permukaan laut dan diserap oleh massa

air. Secara keseluruhan sebagian besar air samudera itu dingin. Kurang dari 10% volume air

laut di muka bumi yang suhunya lebih dari 10 derajat Celcius dan 75% suhunya di bawah 4

derajat Celcius. Hal ini disebabkan sinar matahari hanya mampu menembus laut sampai

beberapa ratus meter saja. Sedangkan pengaruh penyinaran matahari musiman hanya

mencapai kedalaman kira-kira 100 meter. Akibatnya di samudera terdapat lapisan atas yang

relatif hangat dihubungkan dengan lapisan transisi mendadak ke air dingin yang merupakan

Page 2: remote sensing

kolom air samudera sisanya. Daerah atau lapisan dengan penurunan suhu cepat ke bawah

disebut thermocline. Lapisan di atasnya sering dinamakan lapisan campuran (mixed layer)

karena pada lapisan inilah suhu berubah-ubah menurut waktu dan ruang. Di bawah lapisan

termoklin suhu air kembali relatif konstan karena terjadi pencampuran atau konveksi.

Suhu merupakan suatu besaran fisika dimana banyaknya bahang (energi panas)

terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut pada daerah permukaan sangat tergantung dari

jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Menurut Hutabarat dan Evans (1986)

pembagian SPL secara horizontal akan sangat tergantung pada letak lintangnya. Semakin

tinggi letak lintangnya, maka nilai SPL nya akan semakin rendah, karena daerah ekuator

menerima lebih banyak radiasi matahari dari pada di daerah berlintang tinggi. Nilai suhu

mengalami perubahan terhadap kedalaman. Hal ini diakibatkan oleh adanya variasi antara

bahang yang diserap, efek konduksi dari bahang, permukaan air yang selalu bergerak oleh

arus, dan gerak vertikal air laut (Hutabarat dan Evans, 1986).

Menurut Hutabarat dan Evans (1986) ada tiga faktor yang menyebabkan daerah tropik lebih

banyak menerima bahang dari pada daerah kutub, yaitu:

1. Sinar matahari yang merambat melalui atmosfer sebelum sampai di daerah kutub akan

banyak kehilangan bahang dibandingkan dengan daerah ekuator akibat jarak yang

ditempuh sinar matahari ke daerah kutup lebih jauh dibandingkan dengan daerah ekuator.

2. Di daerah kutub, sinar matahari yang sampai di permukaan bumi akan tersebar pada

daerah yang lebih luas daripada daerah ekuator. Hal ini terjadi akibat bentuk bumi yang

bulat sehingga pada daerah ekuator sinar matahari akan terpusat sedangkan pada daerah

kutup sinar matahari akan menyebar.

3. Permukaan bumi di daerah kutub banyak menerima bahang yang dipantulkan kembali ke

atmosfer. Perbedaaan tersebut sebenarnya diakibatkan oleh sudut relatif matahari yang

mencapai permukan bumi.

Secara alami suhu air permukaan memang merupakan lapisan hangat karena

mendapat radiasi matahari pada siang hari. Karena kerja angin, maka di lapisan teratas

sampai kedalaman kira-kira 50-70 m terjadi pengadukan, hingga di lapisan tersebut terdapat

suhu hangat (sekitar 28oC) yang homogen. Oleh sebab itu lapisan teratas ini sering pula

disebut lapisan homogen.

Page 3: remote sensing

2.2. Klorofil

Fitoplakton adalah tumbuhan berukuran sangat kecil dan hidupnya terapung atau

melayang-layang dalam kolom perairan, sehingga pergerakannya dipengaruhi oleh

pergerakan air (Odum,1971). Fitoplankton sebagai tumbuhan sel tunggal berukuran

mikroskopik yang sangat berperan dalam menunjang kehidupan di dalam perairan dan

berfungsi sebagai sumber makanan organisme perairan dapat digunakan sebagai salah satu

kajian untuk menduga sebaran konsentrasi klorofil-a pada perairan. Menurut Nontji (1984),

berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi besarnya biomassa, produktifitas ataupun

suksesi fitoplankton adalah suhu, salinitas, cahaya, dan hara.

Klorofil-a adalah zat hijau daun yang terkandung dalam fitoplankton yang berperan

sebagai pigmen terpenting karena berfungsi untuk melakukan proses fotosintesis. Sebaran

klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun kedalaman perairan. Variasi ini

disebabkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari dan konsentrasi nutrien di perairan.

Sebaran konsentrasi klorofil-a lebih tinggi pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah

diperairan lepas pantai, namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai

konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh

tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses terangkatnya nutrien dari

lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela,1984 dalam Masrikat et al., 2009).

Kandungan klorofil-a juga digunakan sebagai ukuran jumlah fitoplankton pada suatu

perairan dan dapat digunakan sebagai petunjuk produktifitas perairan. Melimpahnya nutrien

dari runoff dan pendaurulangan di daerah pantai menyebabkan produktifitasnya tinggi.

Tingginya produktifitas (100-160 gC m-2 thn-1) merupakan penyangga populasi zooplankton

dan organisme bentos (Nybakken, 1988).

Dari distribusi vertikal klorofil di laut dapat terlihat secara keseluruhan konsentrasi

klorofil maksimal ditemukan di daerah permukaan atau dekat daerah permukaan dan diwaktu

yang lain dapat ditemukan di daerah kedalaman ephotik atau di bawahnya. Zona eufotik

tebalnya bervariasi dari beberapa puluh sentimeter pada perairan yang keruh hingga lebih dari

150 meter pada perairan yang jernih (Parsons et al., 1984).

Menurut Robinson (1985) perairan berdasarkan sifat optisnya dibagi menjadi dua tipe

yaitu tipe perairan 1 dan tipe perairan 2. Perairan tipe 1 merupakan perairan dimana

komponen optik didominasi oleh fitoplankton dan produk-produk degradasinya. Perairan tipe

2 didominasi oleh sedimen tersuspensi (suspended sediment) non organik atau yellow

substant.

Page 4: remote sensing

Klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton sehingga

konsentrasi fitoplankton sering dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a (Parsons et al., 1984).

Konsentrasi klorofil-a di perairan dapat mewakili biomassa dari algae atau fitoplankton.

Jumlah klorofil-a pada setiap individu fitoplankton tergantung pada jenis fitoplankton, oleh

karena itu komposisi jenis fitoplankton sangat berpengaruh terhadap klorofil-a di perairan

(Effendi dan Susilo, 1998).

Gambar 2.1 : Struktur molekul klorofil-a dan klorofil-b (Curtis, 1978)

Menurut Arinardi (1996), tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a fitoplankton dapat

digunakan sebagai petunjuk kelimpahan sel fitoplankton dan juga potensi organik di suatu

perairan. Klorofil-a digunakan sebagai indikator dari kelimpahan fitoplankton, sementara

kelimpahan fitoplankton berhubungan dengan siklus alami dari ketersediaan nutrien dan

dengan input nitrat dan fosfat (omp.gso.uri.edu, 2002). Kandungan klorofil-a fitoplankton di

suatu perairan dapat digunakan sebagai ukuran biomassa fitoplankton dan dijadikan petunjuk

dalam melihat kesuburan perairan. Kualitas perairan yang baik merupakan tempat hidup dan

berkembang yang baik bagi fitoplankton, karena kandungan klorofil-a fitoplankton itu sendiri

dapat dijadikan indikator tinggi rendahnya produktivitas suatu perairan (Ardiwijaya, 2002).

Nilai rata-rata konsentrasi klorofil-a fitoplankton untuk seluruh perairan Indonesia

adalah sebesar 0,19 mg/m3. Nilai rata-rata selama musim timur adalah sebesar 0,24 mg/m3,

sedikit lebih besar daripada kandungan klorofil-a pada musim barat yaitu 0,16 mg/m3

(Nontji, 1974 dalam Arinardi, 1996).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi klorofil-a adalah

Page 5: remote sensing

a. Faktor Fisika

1. Kecerahan, Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi

Kecerahan, kekeruhan, dan padatan tersuspensi adalah karakteristik kualitas air

yang sangat berkaitan satu sama lain. Nilai pembacaan secchi disc akan rendah

apabila perairan keruh atau kandungan TSS-nya tinggi, sebaliknya akan tinggi bila

kekeruhan atau kandungan TSS-nya rendah. Kecerahan penting karena erat kaitannya

dengan proses fotosintesis yang terjadi di perairan secara alami. Kecerahan

menunjukan sampai sejauh mana cahaya dengan intensitas tertentu dapat menembus

kedalaman perairan. Dari total sinar matahari yang jatuh ke atmosfer dan bumi, hanya

kurang dari 1% yang ditangkap oleh klorofil (di darat dan air), yang dipakai untuk

fotosintesis (Basmi,1995).

Kekeruhan seringkali berperan penting sebagai faktor pembatas di suatu perairan

(Odum, 1971). Adanya kekeruhan dan padatan tersuspensi dapat menghalangi

penetrasi cahaya kedalam badan air sehingga proses fotosintesis akan terganggu

(Odum, 1971). Secara vertikal, distribusi fitoplankton terbesar berada pada beberapa

meter dibawah permukaan air dimana banyak intensitas cahaya matahari optimal

untuk pertumbuhan fitoplankton. Beberapa fitoplankton akan mati atau terhambat

pertumbuhannya jika penyinarannya kurang atau berlebihan.

Widigdo (2001) menyebutkan bahwa dalam satu seri pengamatan, perubahan atau

naik turunnya nilai TSS tidaklah selalu diikuti oleh naik turunnya nilai kekeruhan

secara linear. Hal ini dapat dijelaskan karena bahan-bahan yang menyebabkan

kekeruhan perairan dapat terdiri atas berbagai bahan yang sifat dan beratnya berbeda

sehingga tidak terlalu tergambarkan dalam bobot residu TSS yang sebanding. Hal ini

juga berhubungan dengan prinsip pengukuran yang berbeda antara kekeruhan dengan

TSS. Kekeruhan didasarkan atas seberapa besar cahaya yang tersisa setelah diserap

oleh bahan-bahan yang terkandung dalam air (baik yang tersuspensi maupun yang

terlarut), sedangkan TSS didasarkan atas bobot residu (setelah air diuapkan) dari

bahan-bahan yang terkandung dalam air sebagai suspensi. Walaupun demikian, pada

dasarnya masing-masing parameter ini dapat saling mewakili satu sama lainnya.

2. Suhu

Suhu mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton secara langsung maupun tidak

langsung. Secara langsung, reaksi enzimatik yang berperan dalam proses fotosintesis

dikendalikan oleh suhu. Tingkat percepatan proses-proses dalam sel akan meningkat

sejalan dengan meningkatnya suhu sampai mencapai batas tertentu antara selang 25 -

Page 6: remote sensing

40oC (Reynolds, 1990) dan peningkatan suhu sebesar 10oC (misalnya dari 10oC ke

20oC) akan meningkatkan laju fotosintesis maksimal (Pmax) menjadi dua kali lipat

(Steeman-Nielsen, 1975 dalam Nontji, 1984). Secara tidak langsung, suhu

menentukan struktur hidrologis perairan dalam hal kerapatan air (water density).

Semakin dalam perairan, suhu akan semakin rendah dan kerapatan air meningkat

sehingga menyebabkan laju penenggelaman fitoplankton berkurang (Raymont, 1981).

3. Salinitas

Salinitas secara umum dapat disebut sebagai jumlah kandungan garam dari suatu

perairan yang dinyatakan dalam permil (‰). Dalam Widigdo (2001) disebutkan

bahwa pada umumnya salinitas disebabkan oleh tujuh ion utama yaitu natrium (Na),

kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit (Cl), sulfat (SO4), dan bikarbonat

(HCO3).

Salinitas penting di perairan untuk mempertahankan tekanan osmosis antara

tubuh organisme dan perairan. Variasi salinitas dapat menentukan kelimpahan dan

distribusi fitoplankton. Salinitas merupakan salah satu parameter yang menentukan

jenis-jenis fitoplankton yang terdapat dalam suatu perairan, tergantung dari sifat

fitoplankton tersebut apakah eurihalin atau stenohalin. Secara umum, salinitas

permukaan perairan laut di Indonesia rata-rata berkisar antara 32-34 ‰ (Dahuri et al,.

1996).

b. Faktor Kimia

1. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut atau dikenal juga dengan istilah DO (dissolved oxygen)

menggambarkan kandungan oksigen terlarut yang terdapat dalam suatu perairan.

Sumber masukan oksigen terlarut di perairan dapat berasal dari difusi udara dan

fotosintesis.

Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu,

salinitas, turbulensi, air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi

secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan

pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah

(effluent) yang masuk ke badan air. Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan

anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai 0 (nol) atau

anaerob (Effendi, 2003).

Widigdo (2001) menyatakan bahwa kapasitas air dalam menampung oksigen

ditentukan antara lain oleh suhu dan salinitas. Semakin tinggi suhu maka jumlah

Page 7: remote sensing

oksigen yang dipertahankanuntuk tetap terlarut dalam air semakin berkurang.

Demikian juga dengan salinitas, semakin tinggi salinitas air berarti semakin banyak

garam-garam terlarut yang menghalangiruang yang tersisa untuk oksigen terlarut

sehingga jumlahnya akan lebih rendah. Selanjutnya dikatakan bahwa di perairanpayau

atau laut tingkat kesuburan dikatakan baik apabila kadar oksigen pada siang haridapat

mencapai 7-10 ppm. Untuk perairan yang kurang subur (miskin), kadar oksigen pada

siang hari umumnya kurang dari 5 ppm. Kadar oksigen tersebutakan menurun pada

malam hariakibat adanya proses respirasi dari biota air hingga mencapai tingkat

minimum pada pagi hari menjelang fajar.

2. pH

Organisme air memiliki kemampuan yang berbeda dalam mentolelir pH perairan.

Pada umumnya kematian organisme perairan disebabkan oleh nilai pH yang rendah

dibandingkan yang disebabkan oleh nilai pH tinggi. Nilai pH dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain aktivitas biologi, aktivitas fotosintesis, suhu, kandungan

oksigen, kation dan anion, dan batas toleransi organisme akuatik terhadap derajat

keasaman bervariasi tergantung pada suhu air, oksigen terlarut serta stadia organisme

tersebut (Pescod, 1973).

Nilai pH dapat menunjukan kualitas perairan sebagai lingkungan hidup, walaupun

kualitas perairan itu tergantung pula dari berbagai faktor lainnya. Air yang basa dapat

mendorong proses pembongkaran bahan organik yang ada dalam air menjadi mineral-

mineral yang dapat diasimilasi oleh tumbuhan-tumbuhan dan fitoplankton, sehingga

pH ikut berperan dalam menentukkan produktivitas perairan (Soeseno, 1974 dalam

Syam, 2002). pH perairan yang cocok untuk pertumbuhan organisme air berkisar

antara 6 - 9 (Odum, 1971).

3. Unsur Hara

Unsur hara merupakan faktor penting dalam proses pertumbuhan dan reproduksi

fitoplankton. Nutrien dibutuhkan oleh fitoplankton dalam jumlah banyak ada pula

yang sedikit. Nitrogen dan fosfor merupakan nutrien yang paling berpengaruh

terhadap produksi fitoplankton (Valiela, 1984 in Roshisati, 2002). Kedua unsur

tersebut menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton.

Hal ini dikarenakan kedua unsur tersebut dibutuhkan dalam jumlah banyak, tetapi

keberadaannya sedikit di perairan. Odum (1971) membagi nutrien yang dibutuhkan

oleh tumbuhan menjadi makro dan mikro nutrien. Fitoplankton dalam

pertumbuhannya memerlukan unsur hara makro (C, H, O, N, S, P, Mg, Ca, Na, Cl)

Page 8: remote sensing

dan unsur mikro (Fe, Mn, Cu, Zn, Si, Mo, V dan Co) (Reynolds, 1990). Unsur N dan

P sebagai faktor pembatas pertumbuhan fitoplankton di perairan alami, bila dalam

jumlah yang berlebih maka keduanya bisa menjadi penentu terjadinya pertumbuhan

fitoplankton yang sangat pesat (blooming) (Henderson-Seller dan Markland, 1987).

2.3. Penginderaan Jauh

Penginderaan Jauh merupakan terjemahan dari istilah remote sensing, adalah ilmu,

teknologi dan seni dalam memperoleh informasi mengenai objek atau fenomena di (dekat)

permukaan bumi tanpa kontak langsung dengan objek atau fenomena yang dikaji, melainkan

melalui media perekam objek atau fenomena yang memanfaatkan energi yang berasal dari

gelombang elektromagnetik dan mewujudkan hasil perekaman tersebut dalam bentuk citra.

Pengertian 'tanpa kontak langsung' di sini dapat diartikan secara sempit dan luas. Secara

sempit berarti bahwa memang tidak ada kontak antara objek dengan analis, misalnya ketika

data citra satelit diproses dan ditransformasi menjadi peta distribusi temperatur permukaan

pada saat perekaman. Secara luas berarti bahwa kontak dimungkinkan dalam bentuk aktivitas

'ground truth', yaitu pengumpulan sampel lapangan untuk dijadikan dasar pemodelan melalui

interpolasi dan ekstrapolasi pada wilayah yang jauh lebih luas dan pada kerincian yang lebih

tinggi.

Pada awalnya penginderaan jauh kurang dipandang sebagai bagian dari geografi,

dibandingkan kartografi. Meskipun demikian, lambat laun disadari bahwa penginderaan jauh

merupakan satu-satunya alat utama dalam geografi yang mampu memberikan synoptic

overview - pandangan secara ringkas namun menyeluruh atas suatu wilayah sebagai titik

tolak kajian lebih lanjut. Penginderaan jauh juga mampu menghasilkan berbagai macam

informasi keruangan dalam konteks ekologis dan kewilayahan yang menjadi ciri kajian

geografis. Di samping itu, dari sisi persentasenya, pendidikan penginderaan jauh di Amerika

Serikat, Australia dan Eropa lebih banyak diberikan oleh bidang ilmu (departemen, 'school'

atau fakultas) geografi.

Dari segi metode yang digunakan, dikenal metode penginderaan jauh manual atau

visual dan metode penginderaan jauh digital. Penginderaan jauh manual memanfaatkan citra

tercetak atau 'hardcopy' (foto udara, citra hasil pemindaian skaner di pesawat udara maupun

satelit) melalui analisis dan interpretasi secara manual/visual. Penginderaan jauh digital

menggunakan citra dalam format digital, misalnya hasil pemotretan kamera digital, hasil

pemindaian foto udara yang sudha tercetak, dan hasil pemindaian oleh sensor satelit, dan

Page 9: remote sensing

menganalisisnya dengan bantuan komputer. Baik metode manual maupun digital

menghasilkan peta dan laporan. Peta hasil metode manual dapat dikonversi menjadi peta

tematik digital melalui proses digitisasi (sering diistilahkan digitasi). Metode manual

kadangkala juga dilakukan dengan bantuan komputer, yaitu melalui proses interpretasi di

layar monitor (on-screen digitisation), yang langsung menurunkan peta digital. Metode

analisis citra digital menurunkan peta tematik digital secara langsung. Peta-peta digital

tersebutd dapat di-'lay out' dan dicetak untuk menjadi produk kartografis (disebut basis dat

kartografis), namun dapat pula menjaid masukan (input) dalam suatu sistem informasi

geografis sebagai basis data geografis. Peta-peta itu untuk selanjutnya menjaid titik toak para

geografiwan dalam menjalankan kajian geografinya (Ega Putra, 2012).

Satelit memanfaatkan sifat optis air untuk menangkap pantulan gelombang

elektromagnetik dari klorofil-a. Dalam perjalanannya menuju sensor, pantulan tersebut tidak

hanya gelombang dari klorofil-a itu sendiri tetapi juga dari material-material atmosfer serta

konfigurasi permukaan dimana klorofil-a itu berada. Klorofil-a mengabsorbsi cahaya dengan

baik pada kanal biru (430 nm) dan kanal merah (660 nm), sedangkan pantulan maksimum

dari cahaya terdapat fitoplankton terjadi pada kanal hijau karena klorofil-a sangat sedikit

menyerap radiasi gelombang elektromagnetik (Curan, 1985).

Pengukuran suhu permukaan di bumi dapat dilakukan dengan alat pendeteksi yang

peka terhadap spektrum inframerah. Pada spektrum tersebut terjadi hambatan atmosfer oleh

debu. H₂O, CO2, O2, dan O3. Oleh karena itu, pengukuran suhu permukaan dilakukan pada

panjang gelombang dengan jendela 3,5 μm – 5,5μm dan 8 μm – 14 μm. Pada panjang

gelombang tersebut hambatan atmosfer relatif kecil sehingga tenaga termal dapat melalui

atmosfer (Sabins, 1978). Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan

laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada lapisan permukaan saja (Robinson, 1985).

Sensor ocean color merupakan sensor yang memanfaatkan cahaya tampak dari

matahari sebagai sumber energi untuk melakukan penginderaan terhadap objek yang terdapat

di permukaan bumi. Satelit membawa sensor yang dapat menerima pantulan radiasi sinar

matahari dari permukaan dan kolom perairan. Proses yang terjadi dalam sistem penginderaan

jauh ocean color adalah transfer radiasi dalam sistem sinar matahari-perairan-sensor satelit.

Page 10: remote sensing

Perjalanan radiasi sinar matahari pada saat menuju perairan dipengaruhi oleh

atmosfer, dimana sebelum sinar matahari mencapai perairan akan diserap atau dihamburkan

oleh awan, molekul udara dan aerosol. Sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan

akan diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada di perairan seperti fitoplankton,

sedimen tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow substances). Cahaya

matahari yang dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada di perairan dan ditangkap oleh

sensor satelit secara skematik dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2.2 Pemantulan Cahaya Matahari oleh Partikel-Partikel di Perairan

(Sumber : IOCCG Report Number 3, 2000)

Keterangan :

A. = Pantulan cahaya matahari oleh material inorganic tersuspensi.

B. = Pemantulan cahaya matahari oleh molekul air.

C. = Penyerapan cahaya matahari oleh material yellow-substances.

D. = Pemantulan cahaya matahari oleh dasar perairan.

E. = Pemantulan cahaya matahari oleh fitoplankton.

F. = Material inorganic tersuspensi.

G. = Material yellow-substances.

H. = Fitoplankton.

Page 11: remote sensing

Satelit memanfaatkan sifat optis air untuk menangkap pantulan gelombang

elektromagnetik dari klorofil-a. Dalam perjalanannya menuju sensor, pantulan tersebut tidak

hanya gelombang dari klorofil-a itu sendiri tetapi juga dari material-material atmosfer serta

konfigurasi permukaan dimana klorofil-a itu berada. Klorofil-a mengabsorbsi cahaya dengan

baik pada kanal biru (430 nm) dan kanal merah (660 nm), sedangkan pantulan maksimum

dari cahaya terdapat fitoplankton terjadi pada kanal hijau karena klorofil-a sangat sedikit

menyerap radiasi gelombang elektromagnetik (Curan, 1985).

Pengukuran suhu permukaan di bumi dapat dilakukan dengan alat pendeteksi yang

peka terhadap spektrum inframerah. Pada spektrum tersebut terjadi hambatan atmosfer oleh

debu. H₂O, CO2, O2, dan O3. Oleh karena itu, pengukuran suhu permukaan dilakukan pada

panjang gelombang dengan jendela 3,5 μm – 5,5μm dan 8 μm – 14 μm. Pada panjang

gelombang tersebut hambatan atmosfer relatif kecil sehingga tenaga termal dapat melalui

atmosfer (Sabins, 1978). Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan

laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada lapisan permukaan saja (Robinson, 1985).

Page 12: remote sensing

2.4. Karakteristik AQUA MODIS

Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) merupakan sensor utama

pada satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM) yang merupakan bagian dari program

antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Sensor

MODIS pertama kali diluncurkan bersama satelit Terra pada tanggal 18 Desember 1999

dengan spesifikasi lebih fokus untuk daerah daratan. Pada tanggal 4 Mei 2002 diluncurkan

satelit Aqua yang membawa sensor MODIS dengan spesifikasi daerah laut. Satelit Aqua

MODIS dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Ega Putra, 2012).

Gambar 2.3 Satelit Aqua MODIS

Sumber : http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov)

Satelit Aqua MODIS merupakan satelit ilmu pengetahuan tentang bumi kepunyaan

NASA yang memiliki misi untuk mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi,

termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah,

es yang ada di darat, serta salju yang menutupi daratan. Variabel yang diukur oleh satelit

Aqua antara lain aeserol, tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton dan bahan organik

terlarut di lautan, serta suhu udara, daratan dan air. Satelit Aqua MODIS mempunyai orbit

near-polar sun-synchronus, yaitu: orbit yang melewati daerah kutup dan satelit yang

mengelilingi bumi dari Kutup Utara ke Kutup Selatan atau sebaliknya. Spesifikasi dari satelit

Aqua MODIS dapat dilihat pada Tabel 1:

Tabel 2.1. Spesifikasi Satelit Aqua MODIS

Page 13: remote sensing

Orbit 705 km, 1:30 p.m, node ascending

(Aqua), sun-synchronous, near-polar,

sirkular

Rataan scan 20,3 rpm

Luas Sapuan 2330 km (jalur yang bersinggungan)

dengan lintang 10 derajat lintasan pada

nadir

Dimensi Teleskop 17,78 cm

Ukuran Satelit 1,0 x 1,6 x 1,0 m

Berat 228,7 kg

Daya 162,5 Watt (rata-rata satu orbit)

Data 10,6 Mbps (per hari); 6,1 Mbps (per

orbit)

Resolusi Radiometrik 12 bit = 4096

Resolusi Spasial 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7),

1000 m (band 8-36)

Umur 6 tahun

Sumber : (http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov)

Sensor MODIS memiliki 36 kanal . Kanal-kanal tersebut bekerja pada kisaran

panjang gelombang sinar tampak dan inframerah dengan selang panjang gelombang pada

masing-masing kanal yang relatif sempit. Kisaran panjang gelombang kanal-kanal sensor

MODIS untuk mendeteksi klorofil adalah kanal 8 – 16 dengan panjang gelombang 405nm –

877nm (Ega Putra, 2012).

2.5. Karakteristik Laut Flores

Potensi kekayaan dasar laut yang tersimpan dalam perairan Indonesia diakui atau

tidak telah mengundang perhatian institusi international, terbukti dengan terlaksananya

Ekspedisi Bandamin I yang merupakan kerjasama riset geologi kelautan terselenggara atas

kerjasama University Free, Berlin dengan beberapa instansi terkait di Indonesia, seperti

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL)

Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral serta institusi Perguruan tinggi.

Berdasarkan penelitian diatas di dapatkan bahwa di bawah laut flores terdapat gunung

api aktif yaitu gunung api komba. pertama di bagian baratlaut ditandai dengan adanya puncak

gunungapi bawah laut (selanjutnya disebut Abang Komba) dengan kedalaman air 112 m yang

Page 14: remote sensing

selain mengandung batu apung (pumice) juga batuan dengan komposisi basa (mafic) hingga

intermediate yang diduga berkaitan erat dengan material pada Gunungapi Komba. Ke arah

lebih ke selatan dengan kedalaman 900 m dari muka laut memperlihatkan proses erosi yang

kuat telah terjadi pada bagian puncaknya (selanjutnya disebut Ibu Komba) yang tersusun

hanya oleh batu apung.

Berdasarkan kenampakan morfologi, punggungan-punggungan ini relatif makin tua

ke arah selatan, ini berhubungan pula apabila dikaitkan dengan proses tektonik yang

mengontrol daerah ini yang merupakan system dari ekstensional propagasi (propagating

extentional system) yang didominasi oleh sesar normal dengan kelurusan berarah baratlaut-

tenggara dengan panjang punggungan berkisar hingga 55 km. Pemetaan batimetri yang

dilakukan di lokasi ke dua pada peneliian (di selatan P. Pantar) dengan luas cakupan meliputi

30 km2 memperlihatkan adanya bentukan tinggian bawah laut (seamount) dengan arah

kelurusan relatif timurlaut-baratdaya dengan bagian puncaknya mencapai hingga 2050 m di

bawah muka laut. Sedimen penyusun pada bagian ini umumnya berupa sediment lunak

berupa Lumpur yang diduga merupakan hasil produk vulkanik (mud volcano).