remote sensing
DESCRIPTION
Sea Surface Temperature dan ChlorophilTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Suhu Permukaan Laut
Salah satu faktor yang sangat penting dalam proses kehidupan dan penyebaran
organisme di laut adalah suhu. Suhu air laut merupakan parameter yang sering diukur
mengingat kegunaannya dalam mempelajari proses fisika, kimia dan biologi laut. Selain itu
juga suhu dimanfaatkan dalam mempelajari transportasi dan polutan yang masuk ke
lingkungan laut. Suhu juga merupakan faktor pembatas dalam penyebaran hewan dan
tumbuhan laut, sebagai contoh binatang karang yang penyebarannya sangat dibatasi oleh
perairan yang hangat di daerah tropik dan subtropik. Proses metabolisme pada organisme
hanya berfungsi dengan baik pada kisaran suhu yang relatif sempit, yakni antara 0 hingga 40
derajat Celcius. Namun terdapat juga organisme yang mampu mentolerir suhu sedikit di atas
atau di bawah batas-batas tersebut. Ganggang hijau-biru dapat hidup pada suhu 85 derajat
Celcius di sumber air panas. Proses metabolisme organisme akan meningkat dua kali lipat
untuk kenaikan suhu sebesar 10 derajat Celcius.(Astekita,2011).
Suhu air laut berkisar -2 hingga 40 derajat Celcius mulai dari suhu air laut di daerah
kutub sampai air laut di daerah tropis (perairan dangkal). Suhu air permukaan
memperlihatkan kisaran yang amat luas sedangkan air laut dalam lebih stabil. Suhu perairan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : radiasi matahari, posisi matahari, letak
geografis, musim, kondisi awan, proses interaksi air dan udara, penguapan dan hembusan
angin. Secara alamiah atau terbesar faktor yang mepengaruhi besarnya suhu adalah matahari.
Setiap detik matahari memancarkan bahang sebesar 1026 kalori dan setiap tempat di bumi
yang tegak lurus ke matahari akan menerima bahang sebanyak 0,033 kalori/detik. (Meadous
and Campbell,1993).
Pancaran energi matahari ini akan sampai ke batas atas atmosfer bumi rata-rata 2
kalori/cm2/menit. Pancaran energi ini juga sampai ke permukaan laut dan diserap oleh massa
air. Secara keseluruhan sebagian besar air samudera itu dingin. Kurang dari 10% volume air
laut di muka bumi yang suhunya lebih dari 10 derajat Celcius dan 75% suhunya di bawah 4
derajat Celcius. Hal ini disebabkan sinar matahari hanya mampu menembus laut sampai
beberapa ratus meter saja. Sedangkan pengaruh penyinaran matahari musiman hanya
mencapai kedalaman kira-kira 100 meter. Akibatnya di samudera terdapat lapisan atas yang
relatif hangat dihubungkan dengan lapisan transisi mendadak ke air dingin yang merupakan
kolom air samudera sisanya. Daerah atau lapisan dengan penurunan suhu cepat ke bawah
disebut thermocline. Lapisan di atasnya sering dinamakan lapisan campuran (mixed layer)
karena pada lapisan inilah suhu berubah-ubah menurut waktu dan ruang. Di bawah lapisan
termoklin suhu air kembali relatif konstan karena terjadi pencampuran atau konveksi.
Suhu merupakan suatu besaran fisika dimana banyaknya bahang (energi panas)
terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut pada daerah permukaan sangat tergantung dari
jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Menurut Hutabarat dan Evans (1986)
pembagian SPL secara horizontal akan sangat tergantung pada letak lintangnya. Semakin
tinggi letak lintangnya, maka nilai SPL nya akan semakin rendah, karena daerah ekuator
menerima lebih banyak radiasi matahari dari pada di daerah berlintang tinggi. Nilai suhu
mengalami perubahan terhadap kedalaman. Hal ini diakibatkan oleh adanya variasi antara
bahang yang diserap, efek konduksi dari bahang, permukaan air yang selalu bergerak oleh
arus, dan gerak vertikal air laut (Hutabarat dan Evans, 1986).
Menurut Hutabarat dan Evans (1986) ada tiga faktor yang menyebabkan daerah tropik lebih
banyak menerima bahang dari pada daerah kutub, yaitu:
1. Sinar matahari yang merambat melalui atmosfer sebelum sampai di daerah kutub akan
banyak kehilangan bahang dibandingkan dengan daerah ekuator akibat jarak yang
ditempuh sinar matahari ke daerah kutup lebih jauh dibandingkan dengan daerah ekuator.
2. Di daerah kutub, sinar matahari yang sampai di permukaan bumi akan tersebar pada
daerah yang lebih luas daripada daerah ekuator. Hal ini terjadi akibat bentuk bumi yang
bulat sehingga pada daerah ekuator sinar matahari akan terpusat sedangkan pada daerah
kutup sinar matahari akan menyebar.
3. Permukaan bumi di daerah kutub banyak menerima bahang yang dipantulkan kembali ke
atmosfer. Perbedaaan tersebut sebenarnya diakibatkan oleh sudut relatif matahari yang
mencapai permukan bumi.
Secara alami suhu air permukaan memang merupakan lapisan hangat karena
mendapat radiasi matahari pada siang hari. Karena kerja angin, maka di lapisan teratas
sampai kedalaman kira-kira 50-70 m terjadi pengadukan, hingga di lapisan tersebut terdapat
suhu hangat (sekitar 28oC) yang homogen. Oleh sebab itu lapisan teratas ini sering pula
disebut lapisan homogen.
2.2. Klorofil
Fitoplakton adalah tumbuhan berukuran sangat kecil dan hidupnya terapung atau
melayang-layang dalam kolom perairan, sehingga pergerakannya dipengaruhi oleh
pergerakan air (Odum,1971). Fitoplankton sebagai tumbuhan sel tunggal berukuran
mikroskopik yang sangat berperan dalam menunjang kehidupan di dalam perairan dan
berfungsi sebagai sumber makanan organisme perairan dapat digunakan sebagai salah satu
kajian untuk menduga sebaran konsentrasi klorofil-a pada perairan. Menurut Nontji (1984),
berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi besarnya biomassa, produktifitas ataupun
suksesi fitoplankton adalah suhu, salinitas, cahaya, dan hara.
Klorofil-a adalah zat hijau daun yang terkandung dalam fitoplankton yang berperan
sebagai pigmen terpenting karena berfungsi untuk melakukan proses fotosintesis. Sebaran
klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun kedalaman perairan. Variasi ini
disebabkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari dan konsentrasi nutrien di perairan.
Sebaran konsentrasi klorofil-a lebih tinggi pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah
diperairan lepas pantai, namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai
konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh
tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses terangkatnya nutrien dari
lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela,1984 dalam Masrikat et al., 2009).
Kandungan klorofil-a juga digunakan sebagai ukuran jumlah fitoplankton pada suatu
perairan dan dapat digunakan sebagai petunjuk produktifitas perairan. Melimpahnya nutrien
dari runoff dan pendaurulangan di daerah pantai menyebabkan produktifitasnya tinggi.
Tingginya produktifitas (100-160 gC m-2 thn-1) merupakan penyangga populasi zooplankton
dan organisme bentos (Nybakken, 1988).
Dari distribusi vertikal klorofil di laut dapat terlihat secara keseluruhan konsentrasi
klorofil maksimal ditemukan di daerah permukaan atau dekat daerah permukaan dan diwaktu
yang lain dapat ditemukan di daerah kedalaman ephotik atau di bawahnya. Zona eufotik
tebalnya bervariasi dari beberapa puluh sentimeter pada perairan yang keruh hingga lebih dari
150 meter pada perairan yang jernih (Parsons et al., 1984).
Menurut Robinson (1985) perairan berdasarkan sifat optisnya dibagi menjadi dua tipe
yaitu tipe perairan 1 dan tipe perairan 2. Perairan tipe 1 merupakan perairan dimana
komponen optik didominasi oleh fitoplankton dan produk-produk degradasinya. Perairan tipe
2 didominasi oleh sedimen tersuspensi (suspended sediment) non organik atau yellow
substant.
Klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton sehingga
konsentrasi fitoplankton sering dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a (Parsons et al., 1984).
Konsentrasi klorofil-a di perairan dapat mewakili biomassa dari algae atau fitoplankton.
Jumlah klorofil-a pada setiap individu fitoplankton tergantung pada jenis fitoplankton, oleh
karena itu komposisi jenis fitoplankton sangat berpengaruh terhadap klorofil-a di perairan
(Effendi dan Susilo, 1998).
Gambar 2.1 : Struktur molekul klorofil-a dan klorofil-b (Curtis, 1978)
Menurut Arinardi (1996), tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a fitoplankton dapat
digunakan sebagai petunjuk kelimpahan sel fitoplankton dan juga potensi organik di suatu
perairan. Klorofil-a digunakan sebagai indikator dari kelimpahan fitoplankton, sementara
kelimpahan fitoplankton berhubungan dengan siklus alami dari ketersediaan nutrien dan
dengan input nitrat dan fosfat (omp.gso.uri.edu, 2002). Kandungan klorofil-a fitoplankton di
suatu perairan dapat digunakan sebagai ukuran biomassa fitoplankton dan dijadikan petunjuk
dalam melihat kesuburan perairan. Kualitas perairan yang baik merupakan tempat hidup dan
berkembang yang baik bagi fitoplankton, karena kandungan klorofil-a fitoplankton itu sendiri
dapat dijadikan indikator tinggi rendahnya produktivitas suatu perairan (Ardiwijaya, 2002).
Nilai rata-rata konsentrasi klorofil-a fitoplankton untuk seluruh perairan Indonesia
adalah sebesar 0,19 mg/m3. Nilai rata-rata selama musim timur adalah sebesar 0,24 mg/m3,
sedikit lebih besar daripada kandungan klorofil-a pada musim barat yaitu 0,16 mg/m3
(Nontji, 1974 dalam Arinardi, 1996).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi klorofil-a adalah
a. Faktor Fisika
1. Kecerahan, Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi
Kecerahan, kekeruhan, dan padatan tersuspensi adalah karakteristik kualitas air
yang sangat berkaitan satu sama lain. Nilai pembacaan secchi disc akan rendah
apabila perairan keruh atau kandungan TSS-nya tinggi, sebaliknya akan tinggi bila
kekeruhan atau kandungan TSS-nya rendah. Kecerahan penting karena erat kaitannya
dengan proses fotosintesis yang terjadi di perairan secara alami. Kecerahan
menunjukan sampai sejauh mana cahaya dengan intensitas tertentu dapat menembus
kedalaman perairan. Dari total sinar matahari yang jatuh ke atmosfer dan bumi, hanya
kurang dari 1% yang ditangkap oleh klorofil (di darat dan air), yang dipakai untuk
fotosintesis (Basmi,1995).
Kekeruhan seringkali berperan penting sebagai faktor pembatas di suatu perairan
(Odum, 1971). Adanya kekeruhan dan padatan tersuspensi dapat menghalangi
penetrasi cahaya kedalam badan air sehingga proses fotosintesis akan terganggu
(Odum, 1971). Secara vertikal, distribusi fitoplankton terbesar berada pada beberapa
meter dibawah permukaan air dimana banyak intensitas cahaya matahari optimal
untuk pertumbuhan fitoplankton. Beberapa fitoplankton akan mati atau terhambat
pertumbuhannya jika penyinarannya kurang atau berlebihan.
Widigdo (2001) menyebutkan bahwa dalam satu seri pengamatan, perubahan atau
naik turunnya nilai TSS tidaklah selalu diikuti oleh naik turunnya nilai kekeruhan
secara linear. Hal ini dapat dijelaskan karena bahan-bahan yang menyebabkan
kekeruhan perairan dapat terdiri atas berbagai bahan yang sifat dan beratnya berbeda
sehingga tidak terlalu tergambarkan dalam bobot residu TSS yang sebanding. Hal ini
juga berhubungan dengan prinsip pengukuran yang berbeda antara kekeruhan dengan
TSS. Kekeruhan didasarkan atas seberapa besar cahaya yang tersisa setelah diserap
oleh bahan-bahan yang terkandung dalam air (baik yang tersuspensi maupun yang
terlarut), sedangkan TSS didasarkan atas bobot residu (setelah air diuapkan) dari
bahan-bahan yang terkandung dalam air sebagai suspensi. Walaupun demikian, pada
dasarnya masing-masing parameter ini dapat saling mewakili satu sama lainnya.
2. Suhu
Suhu mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung, reaksi enzimatik yang berperan dalam proses fotosintesis
dikendalikan oleh suhu. Tingkat percepatan proses-proses dalam sel akan meningkat
sejalan dengan meningkatnya suhu sampai mencapai batas tertentu antara selang 25 -
40oC (Reynolds, 1990) dan peningkatan suhu sebesar 10oC (misalnya dari 10oC ke
20oC) akan meningkatkan laju fotosintesis maksimal (Pmax) menjadi dua kali lipat
(Steeman-Nielsen, 1975 dalam Nontji, 1984). Secara tidak langsung, suhu
menentukan struktur hidrologis perairan dalam hal kerapatan air (water density).
Semakin dalam perairan, suhu akan semakin rendah dan kerapatan air meningkat
sehingga menyebabkan laju penenggelaman fitoplankton berkurang (Raymont, 1981).
3. Salinitas
Salinitas secara umum dapat disebut sebagai jumlah kandungan garam dari suatu
perairan yang dinyatakan dalam permil (‰). Dalam Widigdo (2001) disebutkan
bahwa pada umumnya salinitas disebabkan oleh tujuh ion utama yaitu natrium (Na),
kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit (Cl), sulfat (SO4), dan bikarbonat
(HCO3).
Salinitas penting di perairan untuk mempertahankan tekanan osmosis antara
tubuh organisme dan perairan. Variasi salinitas dapat menentukan kelimpahan dan
distribusi fitoplankton. Salinitas merupakan salah satu parameter yang menentukan
jenis-jenis fitoplankton yang terdapat dalam suatu perairan, tergantung dari sifat
fitoplankton tersebut apakah eurihalin atau stenohalin. Secara umum, salinitas
permukaan perairan laut di Indonesia rata-rata berkisar antara 32-34 ‰ (Dahuri et al,.
1996).
b. Faktor Kimia
1. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut atau dikenal juga dengan istilah DO (dissolved oxygen)
menggambarkan kandungan oksigen terlarut yang terdapat dalam suatu perairan.
Sumber masukan oksigen terlarut di perairan dapat berasal dari difusi udara dan
fotosintesis.
Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu,
salinitas, turbulensi, air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi
secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan
pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah
(effluent) yang masuk ke badan air. Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan
anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai 0 (nol) atau
anaerob (Effendi, 2003).
Widigdo (2001) menyatakan bahwa kapasitas air dalam menampung oksigen
ditentukan antara lain oleh suhu dan salinitas. Semakin tinggi suhu maka jumlah
oksigen yang dipertahankanuntuk tetap terlarut dalam air semakin berkurang.
Demikian juga dengan salinitas, semakin tinggi salinitas air berarti semakin banyak
garam-garam terlarut yang menghalangiruang yang tersisa untuk oksigen terlarut
sehingga jumlahnya akan lebih rendah. Selanjutnya dikatakan bahwa di perairanpayau
atau laut tingkat kesuburan dikatakan baik apabila kadar oksigen pada siang haridapat
mencapai 7-10 ppm. Untuk perairan yang kurang subur (miskin), kadar oksigen pada
siang hari umumnya kurang dari 5 ppm. Kadar oksigen tersebutakan menurun pada
malam hariakibat adanya proses respirasi dari biota air hingga mencapai tingkat
minimum pada pagi hari menjelang fajar.
2. pH
Organisme air memiliki kemampuan yang berbeda dalam mentolelir pH perairan.
Pada umumnya kematian organisme perairan disebabkan oleh nilai pH yang rendah
dibandingkan yang disebabkan oleh nilai pH tinggi. Nilai pH dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain aktivitas biologi, aktivitas fotosintesis, suhu, kandungan
oksigen, kation dan anion, dan batas toleransi organisme akuatik terhadap derajat
keasaman bervariasi tergantung pada suhu air, oksigen terlarut serta stadia organisme
tersebut (Pescod, 1973).
Nilai pH dapat menunjukan kualitas perairan sebagai lingkungan hidup, walaupun
kualitas perairan itu tergantung pula dari berbagai faktor lainnya. Air yang basa dapat
mendorong proses pembongkaran bahan organik yang ada dalam air menjadi mineral-
mineral yang dapat diasimilasi oleh tumbuhan-tumbuhan dan fitoplankton, sehingga
pH ikut berperan dalam menentukkan produktivitas perairan (Soeseno, 1974 dalam
Syam, 2002). pH perairan yang cocok untuk pertumbuhan organisme air berkisar
antara 6 - 9 (Odum, 1971).
3. Unsur Hara
Unsur hara merupakan faktor penting dalam proses pertumbuhan dan reproduksi
fitoplankton. Nutrien dibutuhkan oleh fitoplankton dalam jumlah banyak ada pula
yang sedikit. Nitrogen dan fosfor merupakan nutrien yang paling berpengaruh
terhadap produksi fitoplankton (Valiela, 1984 in Roshisati, 2002). Kedua unsur
tersebut menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton.
Hal ini dikarenakan kedua unsur tersebut dibutuhkan dalam jumlah banyak, tetapi
keberadaannya sedikit di perairan. Odum (1971) membagi nutrien yang dibutuhkan
oleh tumbuhan menjadi makro dan mikro nutrien. Fitoplankton dalam
pertumbuhannya memerlukan unsur hara makro (C, H, O, N, S, P, Mg, Ca, Na, Cl)
dan unsur mikro (Fe, Mn, Cu, Zn, Si, Mo, V dan Co) (Reynolds, 1990). Unsur N dan
P sebagai faktor pembatas pertumbuhan fitoplankton di perairan alami, bila dalam
jumlah yang berlebih maka keduanya bisa menjadi penentu terjadinya pertumbuhan
fitoplankton yang sangat pesat (blooming) (Henderson-Seller dan Markland, 1987).
2.3. Penginderaan Jauh
Penginderaan Jauh merupakan terjemahan dari istilah remote sensing, adalah ilmu,
teknologi dan seni dalam memperoleh informasi mengenai objek atau fenomena di (dekat)
permukaan bumi tanpa kontak langsung dengan objek atau fenomena yang dikaji, melainkan
melalui media perekam objek atau fenomena yang memanfaatkan energi yang berasal dari
gelombang elektromagnetik dan mewujudkan hasil perekaman tersebut dalam bentuk citra.
Pengertian 'tanpa kontak langsung' di sini dapat diartikan secara sempit dan luas. Secara
sempit berarti bahwa memang tidak ada kontak antara objek dengan analis, misalnya ketika
data citra satelit diproses dan ditransformasi menjadi peta distribusi temperatur permukaan
pada saat perekaman. Secara luas berarti bahwa kontak dimungkinkan dalam bentuk aktivitas
'ground truth', yaitu pengumpulan sampel lapangan untuk dijadikan dasar pemodelan melalui
interpolasi dan ekstrapolasi pada wilayah yang jauh lebih luas dan pada kerincian yang lebih
tinggi.
Pada awalnya penginderaan jauh kurang dipandang sebagai bagian dari geografi,
dibandingkan kartografi. Meskipun demikian, lambat laun disadari bahwa penginderaan jauh
merupakan satu-satunya alat utama dalam geografi yang mampu memberikan synoptic
overview - pandangan secara ringkas namun menyeluruh atas suatu wilayah sebagai titik
tolak kajian lebih lanjut. Penginderaan jauh juga mampu menghasilkan berbagai macam
informasi keruangan dalam konteks ekologis dan kewilayahan yang menjadi ciri kajian
geografis. Di samping itu, dari sisi persentasenya, pendidikan penginderaan jauh di Amerika
Serikat, Australia dan Eropa lebih banyak diberikan oleh bidang ilmu (departemen, 'school'
atau fakultas) geografi.
Dari segi metode yang digunakan, dikenal metode penginderaan jauh manual atau
visual dan metode penginderaan jauh digital. Penginderaan jauh manual memanfaatkan citra
tercetak atau 'hardcopy' (foto udara, citra hasil pemindaian skaner di pesawat udara maupun
satelit) melalui analisis dan interpretasi secara manual/visual. Penginderaan jauh digital
menggunakan citra dalam format digital, misalnya hasil pemotretan kamera digital, hasil
pemindaian foto udara yang sudha tercetak, dan hasil pemindaian oleh sensor satelit, dan
menganalisisnya dengan bantuan komputer. Baik metode manual maupun digital
menghasilkan peta dan laporan. Peta hasil metode manual dapat dikonversi menjadi peta
tematik digital melalui proses digitisasi (sering diistilahkan digitasi). Metode manual
kadangkala juga dilakukan dengan bantuan komputer, yaitu melalui proses interpretasi di
layar monitor (on-screen digitisation), yang langsung menurunkan peta digital. Metode
analisis citra digital menurunkan peta tematik digital secara langsung. Peta-peta digital
tersebutd dapat di-'lay out' dan dicetak untuk menjadi produk kartografis (disebut basis dat
kartografis), namun dapat pula menjaid masukan (input) dalam suatu sistem informasi
geografis sebagai basis data geografis. Peta-peta itu untuk selanjutnya menjaid titik toak para
geografiwan dalam menjalankan kajian geografinya (Ega Putra, 2012).
Satelit memanfaatkan sifat optis air untuk menangkap pantulan gelombang
elektromagnetik dari klorofil-a. Dalam perjalanannya menuju sensor, pantulan tersebut tidak
hanya gelombang dari klorofil-a itu sendiri tetapi juga dari material-material atmosfer serta
konfigurasi permukaan dimana klorofil-a itu berada. Klorofil-a mengabsorbsi cahaya dengan
baik pada kanal biru (430 nm) dan kanal merah (660 nm), sedangkan pantulan maksimum
dari cahaya terdapat fitoplankton terjadi pada kanal hijau karena klorofil-a sangat sedikit
menyerap radiasi gelombang elektromagnetik (Curan, 1985).
Pengukuran suhu permukaan di bumi dapat dilakukan dengan alat pendeteksi yang
peka terhadap spektrum inframerah. Pada spektrum tersebut terjadi hambatan atmosfer oleh
debu. H₂O, CO2, O2, dan O3. Oleh karena itu, pengukuran suhu permukaan dilakukan pada
panjang gelombang dengan jendela 3,5 μm – 5,5μm dan 8 μm – 14 μm. Pada panjang
gelombang tersebut hambatan atmosfer relatif kecil sehingga tenaga termal dapat melalui
atmosfer (Sabins, 1978). Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan
laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada lapisan permukaan saja (Robinson, 1985).
Sensor ocean color merupakan sensor yang memanfaatkan cahaya tampak dari
matahari sebagai sumber energi untuk melakukan penginderaan terhadap objek yang terdapat
di permukaan bumi. Satelit membawa sensor yang dapat menerima pantulan radiasi sinar
matahari dari permukaan dan kolom perairan. Proses yang terjadi dalam sistem penginderaan
jauh ocean color adalah transfer radiasi dalam sistem sinar matahari-perairan-sensor satelit.
Perjalanan radiasi sinar matahari pada saat menuju perairan dipengaruhi oleh
atmosfer, dimana sebelum sinar matahari mencapai perairan akan diserap atau dihamburkan
oleh awan, molekul udara dan aerosol. Sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan
akan diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada di perairan seperti fitoplankton,
sedimen tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow substances). Cahaya
matahari yang dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada di perairan dan ditangkap oleh
sensor satelit secara skematik dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2.2 Pemantulan Cahaya Matahari oleh Partikel-Partikel di Perairan
(Sumber : IOCCG Report Number 3, 2000)
Keterangan :
A. = Pantulan cahaya matahari oleh material inorganic tersuspensi.
B. = Pemantulan cahaya matahari oleh molekul air.
C. = Penyerapan cahaya matahari oleh material yellow-substances.
D. = Pemantulan cahaya matahari oleh dasar perairan.
E. = Pemantulan cahaya matahari oleh fitoplankton.
F. = Material inorganic tersuspensi.
G. = Material yellow-substances.
H. = Fitoplankton.
Satelit memanfaatkan sifat optis air untuk menangkap pantulan gelombang
elektromagnetik dari klorofil-a. Dalam perjalanannya menuju sensor, pantulan tersebut tidak
hanya gelombang dari klorofil-a itu sendiri tetapi juga dari material-material atmosfer serta
konfigurasi permukaan dimana klorofil-a itu berada. Klorofil-a mengabsorbsi cahaya dengan
baik pada kanal biru (430 nm) dan kanal merah (660 nm), sedangkan pantulan maksimum
dari cahaya terdapat fitoplankton terjadi pada kanal hijau karena klorofil-a sangat sedikit
menyerap radiasi gelombang elektromagnetik (Curan, 1985).
Pengukuran suhu permukaan di bumi dapat dilakukan dengan alat pendeteksi yang
peka terhadap spektrum inframerah. Pada spektrum tersebut terjadi hambatan atmosfer oleh
debu. H₂O, CO2, O2, dan O3. Oleh karena itu, pengukuran suhu permukaan dilakukan pada
panjang gelombang dengan jendela 3,5 μm – 5,5μm dan 8 μm – 14 μm. Pada panjang
gelombang tersebut hambatan atmosfer relatif kecil sehingga tenaga termal dapat melalui
atmosfer (Sabins, 1978). Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan
laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada lapisan permukaan saja (Robinson, 1985).
2.4. Karakteristik AQUA MODIS
Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) merupakan sensor utama
pada satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM) yang merupakan bagian dari program
antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Sensor
MODIS pertama kali diluncurkan bersama satelit Terra pada tanggal 18 Desember 1999
dengan spesifikasi lebih fokus untuk daerah daratan. Pada tanggal 4 Mei 2002 diluncurkan
satelit Aqua yang membawa sensor MODIS dengan spesifikasi daerah laut. Satelit Aqua
MODIS dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Ega Putra, 2012).
Gambar 2.3 Satelit Aqua MODIS
Sumber : http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov)
Satelit Aqua MODIS merupakan satelit ilmu pengetahuan tentang bumi kepunyaan
NASA yang memiliki misi untuk mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi,
termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah,
es yang ada di darat, serta salju yang menutupi daratan. Variabel yang diukur oleh satelit
Aqua antara lain aeserol, tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton dan bahan organik
terlarut di lautan, serta suhu udara, daratan dan air. Satelit Aqua MODIS mempunyai orbit
near-polar sun-synchronus, yaitu: orbit yang melewati daerah kutup dan satelit yang
mengelilingi bumi dari Kutup Utara ke Kutup Selatan atau sebaliknya. Spesifikasi dari satelit
Aqua MODIS dapat dilihat pada Tabel 1:
Tabel 2.1. Spesifikasi Satelit Aqua MODIS
Orbit 705 km, 1:30 p.m, node ascending
(Aqua), sun-synchronous, near-polar,
sirkular
Rataan scan 20,3 rpm
Luas Sapuan 2330 km (jalur yang bersinggungan)
dengan lintang 10 derajat lintasan pada
nadir
Dimensi Teleskop 17,78 cm
Ukuran Satelit 1,0 x 1,6 x 1,0 m
Berat 228,7 kg
Daya 162,5 Watt (rata-rata satu orbit)
Data 10,6 Mbps (per hari); 6,1 Mbps (per
orbit)
Resolusi Radiometrik 12 bit = 4096
Resolusi Spasial 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7),
1000 m (band 8-36)
Umur 6 tahun
Sumber : (http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov)
Sensor MODIS memiliki 36 kanal . Kanal-kanal tersebut bekerja pada kisaran
panjang gelombang sinar tampak dan inframerah dengan selang panjang gelombang pada
masing-masing kanal yang relatif sempit. Kisaran panjang gelombang kanal-kanal sensor
MODIS untuk mendeteksi klorofil adalah kanal 8 – 16 dengan panjang gelombang 405nm –
877nm (Ega Putra, 2012).
2.5. Karakteristik Laut Flores
Potensi kekayaan dasar laut yang tersimpan dalam perairan Indonesia diakui atau
tidak telah mengundang perhatian institusi international, terbukti dengan terlaksananya
Ekspedisi Bandamin I yang merupakan kerjasama riset geologi kelautan terselenggara atas
kerjasama University Free, Berlin dengan beberapa instansi terkait di Indonesia, seperti
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL)
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral serta institusi Perguruan tinggi.
Berdasarkan penelitian diatas di dapatkan bahwa di bawah laut flores terdapat gunung
api aktif yaitu gunung api komba. pertama di bagian baratlaut ditandai dengan adanya puncak
gunungapi bawah laut (selanjutnya disebut Abang Komba) dengan kedalaman air 112 m yang
selain mengandung batu apung (pumice) juga batuan dengan komposisi basa (mafic) hingga
intermediate yang diduga berkaitan erat dengan material pada Gunungapi Komba. Ke arah
lebih ke selatan dengan kedalaman 900 m dari muka laut memperlihatkan proses erosi yang
kuat telah terjadi pada bagian puncaknya (selanjutnya disebut Ibu Komba) yang tersusun
hanya oleh batu apung.
Berdasarkan kenampakan morfologi, punggungan-punggungan ini relatif makin tua
ke arah selatan, ini berhubungan pula apabila dikaitkan dengan proses tektonik yang
mengontrol daerah ini yang merupakan system dari ekstensional propagasi (propagating
extentional system) yang didominasi oleh sesar normal dengan kelurusan berarah baratlaut-
tenggara dengan panjang punggungan berkisar hingga 55 km. Pemetaan batimetri yang
dilakukan di lokasi ke dua pada peneliian (di selatan P. Pantar) dengan luas cakupan meliputi
30 km2 memperlihatkan adanya bentukan tinggian bawah laut (seamount) dengan arah
kelurusan relatif timurlaut-baratdaya dengan bagian puncaknya mencapai hingga 2050 m di
bawah muka laut. Sedimen penyusun pada bagian ini umumnya berupa sediment lunak
berupa Lumpur yang diduga merupakan hasil produk vulkanik (mud volcano).