studi pengarusutamaan kebijakan lingkungan hidup dan ... vol 18 no 3.… · pembahasan ekonomi...
TRANSCRIPT
Kaj. Eko. & Keu.
Vol. 18 No. 3 Desember
2014 Halaman : 181 - 254
Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia
Performa Belanja Pemerintah Daerah, Investasi Privat dan Kesempatan Kerja di Indonesia
Efektivitas Kebijakan Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi di Jawa-Bali
Income Inequality : Education as The Panacea
Dampak Bea Keluar terhadap Ekspor CPO Indonesia
No. Akreditasi : 467/AU3/P2MI-LIPI/08/2012
Vol 18 No 3, Desember 2014
[
T
y
p
e
a
q
u
o
t
e
f
r
o
m
t
h
181
STUDI PENGARUSUTAMAAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PERUBAHAN IKLIM DALAM PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DI INDONESIA
Study for Mainstreaming Environmental and Climate Change Policy On The Development Planning Agenda in Indonesia
Joko Tri Haryanto 1, Akhmad Nurkholis 2
1 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Jln. Dr. Wahidin No. 1, Jakarta Pusat 10710, DKI Jakarta, Indonesia
1 Email: [email protected] 2 Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
Kampus UI Depok, Depok 16424, Jawa Barat, Indonesia 2 Email : [email protected]
Naskah diterima: 26 September 2014
Naskah direvisi: 30 Oktober 2014 Disetujui diterbitkan: 19 November 2014
ABSTRACT
Over the past few years, environmental issues have became a major policy agenda in developed and
developing countries. The government has some alternative policies that can be used as a form of the
intervention either to play the role of market-based policies and government regulations as well as other
options. In this context, the Government of Indonesia already issued Presidential Decree No. 61 Year 2011 on
National Action Plan for Reducing Greenhouse Gas Emissions (RAN-GRK). Based on this document, financial
source for climate change (PI) and also protection, preservation of the environment (PPLH) mainly comes
from the state budget, local budget, private sector, and other sources legalized by regulations. Unfortunately,
the capacity for this obligation is still constrained. For this reason, public funding must be able to cooperate
with the private fundingr in order to leverage the capacity. Regarding this matter, the flexibility for the
allocation of state budget/local budget is not easy, due several reasons. One of that reason is the lack of policy
meanstreaming PPLH the PI on the budgeting systems, the nature of the management PI and PPLH and also
lack of awareness from many stakeholders. By using descriptive analysis method, this paper tries to answer
these issues from the variety of scenarios, especially in the sphere of government planning and budgeting
policy.
Keywords: protection and preservation of environment, national action plan for reducing greenhouse gas
emissions, climate change, state budget/local budget
ABSTRAK
Selama beberapa tahun terakhir, isu-isu lingkungan telah menjadi agenda dan kebijakan utama di
negara maju serta negara-negara berkembang. Pemerintah memiliki beberapa alternatif kebijakan yang
dapat digunakan sebagai bentuk intervensi baik melalui opsi memainkan peran pasar dengan berbasis
kebijakan dan peraturan pemerintah maupun opsi-opsi lainnya. Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia
memprioritaskan penanganan isu lingkungan melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Berdasarkan dokumen tersebut,
dijelaskan bahwa sumber pembiayaan perubahan iklim (PI) dan pelestarian dan perlindungan lingkungan
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196
182
hidup (PPLH) utamanya berasal dari APBN, APBD, sektor swasta serta sumber-sumber lainnya yang sah
sesuai peraturan yang berlaku. Sayangnya kewajiban pendanaan tersebut masih terkendala. Untuk itulah,
pemerintah harus dapat bekerjasama dengan pihak swasta dalam menjembatani keterkaitan yang
harmonis, dengan peran APBN/APBD tetap yang utama. Permasalahannya, pengalokasian anggaran
APBN/APBD yang memadai bagi kepentingan PI dan PPLH bukan hal yang mudah. Hal ini tidak terlepas
dari belum adanya meanstreaming kebijakan PI dan PPLH dalam system penganggaran, sifat pengelolaan
PI dan PPLH yang lintas K/L serta belum munculnya kesadaran seutuhnya stakeholders terkait upaya PI
dan PPLH. Dengan menggunakan metode analisis deskriptif, tulisan ini mencoba menjawab persoalan
tersebut dari berbagai skenario yang memungkinkan khususnya dalam lingkup perencanaan kebijakan
pemerintah, sehingga ke depannya penganggaran PI dan PPLH menjadi mudah diimplementasikan.
Kata Kunci : PPLH, RAN-GRK, perubahan iklim, APBN/APBD
JEL Classification: H5, H6, E62, E63
I. PENDAHULUAN
Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu
karena diyakini memainkan peran penting dalam proses pembangunan. Selama beberapa tahun
terakhir, isu-isu lingkungan telah menjadi agenda kebijakan utama di negara maju serta negara-negara
berkembang. Para ekonom berpendapat bahwa masalah lingkungan adalah hasil dari kegagalan pasar di
mana mekanisme pasar gagal dalam mencapai alokasi sumber daya yang efisien (yaitu inefisiensi
alokatif) karena masalah eksternalitas negatif yang disebabkan oleh kelalaian untuk memperhitungkan
dampak negatif dari kegiatan tersebut dalam biaya produksi (Krugman, 2010).
Karena kegagalan pasar, intervensi pemerintah menjadi penting dalam upaya memperbaiki
mekanisme fungsi pasar lingkungan. Pemerintah memiliki beberapa alternatif kebijakan yang dapat
digunakan sebagai bentuk intervensi baik melalui opsi memainkan peran pasar dengan berbasis
kebijakan dan peraturan pemerintah maupun opsi-opsi lainnya. Kebijakan berbasis pasar juga dirancang
untuk memodifikasi mekanisme harga dengan menggunakan instrumen fiskal, seperti pajak dan subsidi.
Demikian juga, regulasi diarahkan untuk menciptakan insentif bagi (perusahaan dan rumah tangga)
swasta untuk mengurangi emisi berbahaya, misalnya izin bagi perusahaan untuk mencemari sampai ke
tingkat tertentu. Regulasi sampai batas tertentu dianggap sebagai instrumen kunci kedua dalam
memitigasi dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan.
Perkembangan yang cepat di Indonesia dianggap telah mempengaruhi perubahan lingkungan. Hal
ini mengarahkan Pemerintah Indonesia (RI) untuk lebih memperhatikan pada masalah lingkungan dan
memasukkannya ke dalam prioritas perkembangan yang lebih serius. Dalam konteks ini, Pemerintah
Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) telah berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 26
persen dan sebesar 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2020.
Berdasarkan dokumen tersebut, dijelaskan bahwa sumber pembiayaan perubahan iklim utamanya
berasal dari APBN, APBD, sektor swasta serta sumber-sumber lainnya yang sah sesuai peraturan yang
berlaku. Pencantuman sumber pendanaan dari APBN dan APBD mengindikasikan perlunya peran
Pemerintah dalam menginisiasi mitigasi perubahan iklim dan perbaikan lingkungan. Namun demikian,
mengingat adanya keterbatasan pendanaan sektor publik serta prioritas anggaran, peran dana swasta
dalam membiayai perubahan iklim dan perbaikan lingkungan ke depannya menjadi sangat penting.
Terkait dengan target RAN/RAD GRK, dalam perhitungan Bappenas, dibutuhkan anggaran
Rp225,5 triliun untuk kegiatan inti serta Rp18,5 triliun untuk kegiatan pendukung upaya mitigasi
perubahan iklim PI. Jumlah tersebut diturunkan ke dalam perhitungan di lima sektor kontributor utama
Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)
183
PI. Sektor kehutanan sebagai sektor dominan membutuhkan alokasi sekitar Rp48,4 triliun untuk
kegiatan inti dan Rp2,3 triliun untuk kegiatan pendukung. Sektor energi transportasi membutuhkan
Rp94,7 triliun kegiatan inti dan Rp7,0 triliun kegiatan pendukung. Sektor pertanian membutuhkan
Rp36,8 triliun sektor utama dan Rp0,8 triliun kegiatan pendukung. Sektor pengelolaan limbah
membutuhkan Rp44,7 triliun kegiatan utama dan Rp4,9 triliun kegiatan pendukung dan sektor industri
membutuhkan Rp32 triliun kegiatan utama, Rp1,2 triliun kegiatan pendukung.
Di sisi lain, perhitungan Mitigation Fiscal Framework (MFF) Fase I mengindikasikan adanya
kebutuhan dana yang lebih besar meskipun MFF fase I ini baru memfokuskan pada aksi mitigasi di
sektor kehutanan, lahan gambut, energi dan transportasi yang mencakup 93 persen target pengurangan
emisi nasional. Disebutkan bahwa anggaran terkait dengan kegiatan mitigasi RAN-GRK di tahun 2012
sekitar Rp15,9 triliun. Jika pembiayaan RAN-GRK dipertahankan di level yang sama tahun 2012,
penurunan emisi yang dicapai hanya 15 persen (116 mtCO2e) dari target 767 mtCO2e. Apabila
pengeluaran pemerintah sebesar pertumbuhan ekonomi, akan menambah 4 persen penurunan emisi.
Jika pemerintah memprioritaskan pada proyek yang paling efektif di sisi biaya dan efisien, akan
menambah 10 persen pengurangan emisi. Namun demikian peran sektor kehutanan tetap signifikan.
Jika deforestasi dapat dibatasi 450,000 ha/tahun, akan menambah 34% penurunan emisi, jika mitigasi
dari pembangkit listrik rendah karbon juga dimasukkan, akan menambah 14% penurunan emisi sisa
target penurunan emisi sebesar 23% di tahun 2020 dicapai melalui kegiatan reforestasi yang dilakukan
swasta dan CSO Total biaya untuk sektor kehutanan, lahan gambut, energi dan transportasi diperkirakan
antara Rp100 dan Rp140 triliun, yang akan ditanggung oleh pemerintah dan swasta meskipun akan ada
berbagai dampak dari sisi anggaran (pemerintah, swasta, dan CSO) dan pertumbuhan ekonomi.
Di level daerah, mereka juga dituntut adanya kepedulian melalui penyusunan dokumen RAD GRK.
RAD-GRK adalah dokumen perencanaan potensi kegiatan mitigasi untuk penurunan GRK di daerah.
Berdasarkan Perpres No. 61 Tahun 2011, penyusunan RAD-GRK dilakukan dengan mengacu pada
dokumen RAN-GRK dan juga dokumen perencanaan daerah. RAD-GRK tentunya berhubungan dengan
aktivitas yang dicantumkan dalam RAN-GRK dan merupakan bagian dokumen perencanaan daerah
jangka menengah (RPJMD) dan jangka panjang (RPJP).
RAD-GRK dikoordinasikan di tingkat provinsi dan terdiri dari aktivitas yang dikelompokkan dalam
lima sektor: 1) energi (sektor energi dan pertambangan; dan transportasi), 2) industri, 3) pertanian, 4)
kehutanan; dan 5) pengelolaan sampah. Berdasarkan prioritas pembangunan daerah dan
mempertimbangkan variasi potensi dan karakteristik potensi kegiatan mitigasi antardaerah, sangat
dimungkinkan terdapat set prioritas kegiatan mitigasi yang berbeda antardaerah. Pemerintah provinsi
atau pemerintah kabupaten dan kota dapat hanya merencanakan kegiatan mitigasi di satu atau sedikit
sektor dan bukan di keseluruhan lima sektor sesuai dengan potensi mitigasi yang ada.
Tujuan dari penurunan GRK adalah target nasional, komitmen Negara Indonesia untuk penurunan
GRK. Oleh karena itu, diperlukan keterkaitan yang jelas antara RAD-GRK dan RAN-GRK, karena pada
akhirnya, keseluruhan kegiatan mitigasi GRK yang dilakukan adalah kegiatan mitigasi yang dilakukan
oleh Negara Indonesia termasuk dalam keberhasilan upaya penurunan GRK.
Selain komitmen Pemerintah melalui Perpres Nomor 61 Tahun 2011 tentang RAN/RAD GRK,
Pemerintah juga telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dimana dalam salah satu Pasal 45 diwajibkan kepada
Pemerintah dan DPR bersama-sama dengan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran yang
memadai untuk perlindungan lingkungan hidup dan pembiayaan manajemen kegiatan dan program
pembangunan berkelanjutan. Dalam pasal lainnya, Pemerintah juga telah menyusun berbagai daftar
sumber-sumber pembiayaan yang memungkinkan dalam mendukung upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan di Indonesia.
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196
184
Mengingat amanat Undang-undang dan Perpres tersebut, APBN dan APBD sudah selayaknya
mengalokasikan anggaran mitigasi (PI) serta perlindungan dan perbaikan lingkungan hidup (PPLH)
hidup secara signifikan. Sayangnya kewajiban APBN dan APBD untuk mengalokasikan anggaran PI dan
PPLH setiap tahunnya masih terkendala. Dalam APBN Tahun 2012 misalnya, alokasi anggaran untuk
fungsi lingkungan hidup sebesar Rp11,5 triliun atau sebesar 1,2 persen terhadap total belanja
Pemerintah Pusat atau sebesar 0,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan dalam R-
APBN Tahun 2013, anggaran tersebut menjadi Rp12,2 triliun atau sebesar 1,1 persen terhadap total
belanja Pemerintah Pusat atau 0,1 persen terhadap PDB.
Kebutuhan penganggaran tersebut tentu wajib segera disiapkan oleh APBN/APBD. Namun
demikian peran APBN/APBD tidak harus membiayai seluruh kebutuhan tersebut. Dalam kalkulasi hasil
kegiatan Mitigation Fiscal Framework (MFF) Fase I, peran pembiayaan sektor publik hanya berkisar
20%. Sisa 80% tentu dijawab oleh swasta dengan berbagai mekanisme pembiayaan yang
memungkinkan. Pendanaan APBN/APBD harus dapat bekerjasama dengan pihak swasta dalam
menjembatani keterkaitan yang harmonis antara sektor publik dan swasta dalam pembiayaan PI dan
PPLH. Pengalokasian anggaran APBN/APBD yang memadai bagi kepentingan PI dan PPLH bukan hal
yang mudah. Hal ini tidak terlepas dari beberapa tantangan PI dan PPLH terkait dengan belum adanya
meanstreaming kebijakan PI dan PPLH dalam sistem penganggaran, sifat pengelolaan PI dan PPLH yang
lintas K/L serta belum munculnya kesadaran seutuhnya stakeholders terkait upaya PI dan PPLH.
Untuk memudahkan analisis dalam penelitian ini, ukuran dan indikator meanstreaming PPLH dan
PI lebih difokuskan kepada persoalan alokasi anggaran APBN untuk fungsi lingkungan hidup serta isu PI.
Selain itu akan diusulkan beberapa indikator perencanaan pembangunan baru yang lebih mencerminkan
dukungan terhadap upaya PPLH dan PI.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Menganalisis berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam mendukung upaya
pengarusutamaan isu PPLH dan PI dalam sistem perencanaan pembangunan nasional;
b. Mengupayakan adanya mekanisme pendanaan APBN/APBD yang memadai bagi kegiatan lingkungan
(PPLH) maupun perubahan iklim (PI);
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Eksternalitas
Dalam kegiatan ekonomi, masyarakat mengkonsumsi dan memproduksi barang dan jasa. Teori
ekonomi menempatkan manusia pada dua peran, yaitu: 1) sebagai aktor atau pelaku kegiatan ekonomi,
yaitu pihak yang melakukan kegiatan konsumsi atau kegiatan produksi, serta 2) sebagai insiden atau
pihak yang terkena pengaruh kegiatan ekonomi. Pengaruh ini dapat bersifat langsung maupun tidak
langsung. Dari sisi lain, kedua pengaruh tadi, baik yang langsung maupun tidak langsung dapat bersifat
positif atau negatif. Positif, jika meningkatkan kesejahteraan manusia yang terkena, dampak negatif, jika
menurunkan kesejahteraan pihak yang terkena (Turner, 1994). Oleh karena ekonomi merupakan sistem
terbuka, maka ketiga proses dasarnya (ekstraksi, proses atau fabrikasi, dan konsumsi) masing-masing
menghasilkan residual atau limbah, yang akhirnya kembali ke lingkungan.
Polutan atau limbah dengan jumlah tertentu di suatu tempat dalam waktu yang lama akan
menyebabkan perubahan biologis dan perubahan lainnya atau kontaminasi, yang selanjutnya dapat
mengganggu atau merusak tanaman atau hewan dan ekosistem di sekitarnya. Jika kerusakan tersebut
selanjutnya berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan manusia, maka hal ini memenuhi batasan
ekonomi pencemaran. Batasan ekonomi pencemaran, mensyaratkan dua hal, yaitu terjadinya pengaruh
fisik terhadap lingkungan dan reaksi manusia terhadap pengaruh fisik yang bersangkutan.
Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)
185
Dalam bahasa ekonomi, telah terjadi kerugian dalam bentuk berkurangnya kesejahteraan yang
tidak dikompensasi, karena adanya biaya eksternal yang berkaitan dengan pembuangan limbah ke
lingkungan alam, akan menimbulkan biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat (Turner, Pearce &
Bateman, 1994). Eksternalitas timbul ketika beberapa kegiatan dari produsen dan konsumen memiliki
pengaruh yang tidak diharapkan atau tidak langsung terhadap produsen dan atau konsumen lain.
Eksternalitas bisa positif atau negatif. Eksternalitas positif terjadi saat kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok memberikan manfaat pada individu atau kelompok lainnya (Sankar, 2008).
Perbaikan pengetahuan di berbagai bidang, misalnya ekonomi, kesehatan, kimia, fisika
memberikan eksternalitas positif bagi masyarakat. Eksternalitas positif terjadi ketika penemuan para
ilmuwan tersebut tidak hanya memberikan manfaat pada mereka, tapi juga terhadap ilmu pengetahuan
dan lingkungan secara keseluruhan. Adapun eksternalitas negatif terjadi saat kegiatan oleh individu atau
kelompok menghasilkan dampak yang membahayakan bagi orang lain. Polusi adalah contoh
eskternalitas negatif. Terjadinya proses pabrikan di sebuah lokasi akan memberikan eksternalitas
negatif pada saat perusahaan tersebut membuang limbahnya ke sungai yang berada di sekitar
perusahaan.
Penduduk sekitar sungai akan menanggung biaya eksternal dari kegiatan ekonomi tersebut
berupa masalah kesehatan dan berkurangnya ketersediaan air bersih. Polusi air tidak saja ditimbulkan
oleh pembuangan limbah pabrik, tapi juga bisa berasal dari penggunaan pestisida, dan pupuk dalam
proses produksi pertanian (Yoesgiantoro, 2012).
2.2. Sumber Eksternalitas
Sumber dari eksternalitas adalah ketiadaan hak milik (property right), yaitu kesepakatan sosial
yang menentukan kepemilikan, penggunaan dan pembagian faktor produksi serta barang dan jasa. Hak
milik tidak ada saat eksternalitas timbul. Tidak ada seorangpun yang memiliki udara, sungai, dan laut.
Pada saat tidak adanya hak milik, maka tidak ada jaminan sebuah perusahaan swasta beroperasi pada
tingkat yang efisien. (Taggart, et al, 2003 dalam Yoesgiantoro, 2012).
Sumber daya lingkungan seperti udara bersih, air di sungai, laut dan atmosfir hak kepemilikannya
tidak terdefinisikan dengan tepat. Di banyak negara sumber daya tersebut berada dalam domain publik.
Penggunaan sumber daya tersebut dianggap sebagai barang bebas dan faktor produksi tanpa harga. Oleh
karena itu mereka menghitung penggunaan sumber daya lingkungan tidak ada harganya ketika nilai
sosial yang positif mengalami kelangkaan. Dua alasan penting ketiadaan pasar adalah a) adanya
kesulitan mendefisikan, mendistribusikan dan menentukan hak milik, b) tingginya biaya dari penciptaan
dan pengoperasian pasar (Sankar, 2008). Pada saat sebuah perusahaan membuang limbahnya di sungai,
maka perusahaan memperoleh manfaat dari sungai tersebut, namun tidak menanggung biaya dari
penggunaan sungai tersebut karena perusahaan tidak merasa memiliki sungai tersebut.
2.3. Jenis Eskternalitas
Eksternalitas lingkungan dapat dikelompokkan berdasarkan pengaruhnya terhadap individu dan
wilayah. Pencemaran lingkungan atau kerusakan lingkungan dapat dikelompokkan sebagai eksternalitas
daerah atau lokal seperti terjadi kerusakan air danau, kerusakan tanah, dan polusi udara. Polusi di
daerah menjadi kesulitan bagi penduduk daerah tersebut jika memiliki dua karakteristik, yaitu non-
rivalry dan non-exclusion. Adapun polusi dari sungai besar dan kerusakan ekosistem gunung mungkin
akan mempengaruhi sejumlah wilayah. Emisi gas rumah kaca merupakan masalah penduduk dunia
tanpa memperhatikan dari mana polusi berasal, emisi menyeluruh berdampak kepada semua orang di
dunia dan ekosistem secara keseluruhan. Pengelompokkan eksternalitas penting berkenaan dengan
masalah otoritas mana yang akan membawahi masalah polusi dan atau kerusakan tersebut (Sankar,
2008 dalam Yoesgiantoro, 2012).
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196
186
2.4. Kebijakan Publik Mengenai Eksternalitas
Dalam mengatur eksternalitas yang berorientasi pasar, pemerintah menggunakan kebijakan yang
berorientasi pada pasar untuk menyamakan insentif swasta dengan efisensi sosial. Pemerintah dapat
menginternalisasikan eksternalitas dengan cara menerapkan pajak atas kegiatan yang menghasilkan
eksternalitas negatif (Pigovian tax) dan mensubsidi kegiatan yang menghasilkan eksternalitas positif.
Beberapa negara lebih memilih menerapkan pemberlakuan pajak Pigovian daripada melakukan
regulasi untuk menangani polusi, karena pajak Pigovian dapat mengurangi polusi dengan biaya
transaksi yang lebih rendah. Regulasi menentukan suatu tingkat polusi, sementara pajak memberikan
kepada pelaku usaha insentif ekonomi lebih baik untuk mengurangi polusi. Sebagai contoh pabrik kertas
akan menghabiskan biaya lebih sedikit daripada pabrik baja dalam mengurangi polusi. Pabrik kertas
akan mengurangi jumlah polusi sebanyak mungkin untuk menghindari pajak, sementara pabrik baja
akan mengurangi polusi dan membayar pajak.
Di Indonesia, penerapan pajak Pigovian masih terkendala, karena pajak Pigovian memperbaiki
insentif di tengah eksternalitas dan menggerakkan kembali alokasi sumber daya mendekati titik optimal
bagi sosial, sementara sebagian besar pajak merusak insentif dan menggerakkan alokasi sumber daya
keluar dari titik optimal bagi sosialnya. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya kesejahteraan
ekonomi, yaitu surplus produsen dan surplus konsumen, melebihi jumlah pendapatan yang diperoleh
pemerintah dan menghasilkan kerugian beban baku. (Mankiw, 2006).
Di dalam pola pengaturan hubungan industrial, pengaturan tentang kode etik moral ini sudah
diatur dalam sebuah penetapan Baku Mutu Lingkungan (BML) yang ditetapkan oleh Kementrian
Lingkungan Hidup Indonesia. Penetapan Baku Mutu Lingkungan tersebut diharapkan dapat menjadi
filter di dalam upaya menjaga kesimbangan hubungan antara pengembangan industri migas yang
menyejahterakan masyarakat dengan pengelolaan dampak terhadap lingkungan. Jadi di dalam
menciptakan pola keseimbangan hubungan antara industri migas dan kelestarian lingkungan,
optimalisasi penetapan BML menjadi hal yang sangat krusial. Karenanya diharapkan BML yang
ditetapkan oleh pemerintah harus benar-benar dapat menjadi sebuah acuan seberapa besar daya
dukung dan daya tampung lingkungan terhadap pencemaran yang dihasilkan oleh sebuah industri.
UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
sebenarnya telah memperkenalkan mekanisme instrumen ekonomi seperti pajak lingkungan. Namun
demikian, implementasi mekanisme ini masih banyak menghadapi kendala. Untuk itulah di dalam
penelitian ini, salah satu rekomendasi yang nantinya dihasilkan adalah bagaimana mekanisme dan
prosedur penetapan pajak lingkungan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
kelestarian lingkungan hidup sebagai dampak dari eksternalitas industri migas. III. METODOLOGI
3.1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapatkan dari
beberapa sumber institusi yang terkait diantaranya:
Tabel 3.1. Jenis-jenis Data
No Jenis Data Instansi Keterangan 1 Dokumen RAN GRK Bappenas Perpres Nomor 61 Tahun 2011 2 Realisasi anggaran DJA, Kemenkeu Realisasi anggaran per K/L 2006-2012 3 Realisasi anggaran DJA, Kemenkeu Realisasi anggaran fungsi lingkungan 4 Beban lingkungan KLH, DNPI Data pendukung
Sumber: Internal peneliti, data diolah
Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)
187
3.2. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis statistika deskriptif
dengan menggunakan instrumen grafik dan tabel dalam membandingkan beberapa alokasi anggaran
yang telah direalisasikan. Berdasarkan analisis grafik dan tabel tersebut, kemudian disusun beberapa
sintesa analisis sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan serta rekomendasi untuk perbaikan
kebijakan kedepannya. IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Upaya Meanstreaming Kebijakan PI dan PPLH dalam Perencanaan Pembangunan
Aspek PI dan PPLH merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan berkelanjutan di
Indonesia. Kekayaan alam dan lingkungan yang ada di Indonesia merupakan kondisi yang secara
ekonomis mempunyai peran yang strategis. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan tidak
terpisahkan dengan kelestarian lingkungan. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Dalam rangka mengawal pembangunan berkelanjutan di Indonesia, Pemerintah telah
mengeluarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan (PPLH). Salah satu dukungan konkrit dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan maka
pemerintah telah menetapkan beberapa instrumen. Beberapa instrumen tersebut antara lain terdapat
pada gambar di bawah ini.
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup
Gambar 4.1. Instrumen Pencegahan Mitigasi PI dan PPLH.
Pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai mekanisme instrumen fiskal mengenai
kebijakan lingkungan dalam rangka mencapai target pengurangan emisi gas sebesar 26 persen pada
tahun 2020 dan sebesar 41 persen jika cukup dukungan internasional (Resosudarmo dan Yusuf, 2009).
Pembahasan berikut akan memberikan review kebijakan fiskal yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan dalam hal pengeluaran dan kebijakan pendapatan. Kebijakan belanja meliputi alokasi
anggaran baik di tingkat pusat maupun daerah atau pemerintah untuk mengatasi masalah lingkungan
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196
188
dan tentu saja dengan penawaran program subsidi terutama untuk energi. Berkenaan dengan kebijakan
pendapatan, kita akan menguraikan penggunaan pajak dan biaya untuk mengatur efek buruk dari
kegiatan memproduksi tercemar.
4.1.1. Kebijakan Belanja
Dua indikator dapat digunakan untuk mengukur kebijakan pengeluaran yang berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan. Pertama adalah rasio biaya perlindungan lingkungan terhadap PDB, dan kedua
adalah rasio perlindungan lingkungan untuk anggaran negara. Pengeluaran lingkungan dalam APBN
2012 telah meningkat hampir enam kali dari biaya pada tahun 2006 atau kira-kira 1,19 persen dari total
pengeluaran pemerintah pada tahun yang sama (atau dua kali dari persentase pada tahun 2006).
Meskipun persentase terhadap PDB sedikit meningkatkan itu membuat sampai dengan 0,14 persen dari
PDB pada tahun 2012 (dibandingkan dengan 0,08 persen pada tahun 2006). Tentu saja, pengeluaran
untuk lingkungan yang lebih besar diperlukan untuk mengatasi masalah lingkungan yang lebih
kompleks.
Tabel 4.1. Beban Lingkungan
Description 2006 2007 2008 2009 2010 2011-P 2012-APBN
Total Belanja Pusat (Rp billions)
440,031.2 504,623.4 693,356.0 628,812.4 697,406.4 908,243.4 964,997.3
Pengeluaran Lingkungan
2,664.5 4,952.6 5,315.1 10,703.0 6,549.6 10,935.9 11,451.5
% Thd Total Belanja
0.61 0.98 0.77 1.70 0.94 1.20 1.19
% Thd PDB 0.08 0.13 0.13 0.19 0.10 0.15 0.14
Sumber: Kementerian Keuangan, 2006-2012
Pemerintah pusat juga telah mengalokasikan dana untuk pengelolaan lingkungan melalui
Kementerian Lingkungan Hidup. Ini dukungan keuangan bertujuan memungkinkan kementerian untuk
program desain dan peraturan untuk mengelola lingkungan negara. Secara umum, uang yang
dialokasikan untuk pelayanan lingkungan bervariasi mulai 0,06-0,11 persen dari total pengeluaran
pemerintah (lihat Tabel 4.2). Dalam APBN 2012, itu adalah sekitar pengeluaran pemerintah 0,09 persen
total yang dibagikan untuk pelayanan lingkungan (dibandingkan dengan pengeluaran hanya 0,07 persen
pada tahun 2006). Selain itu, beberapa alokasi anggaran lingkungan dibuat untuk departemen lain.
Sebagai contoh, pemerintah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk Direktorat Cipta Karya
bawah Kementerian Pekerjaan Umum dalam rangka meningkatkan kapasitas lokal terhadap
aksesibilitas air bersih. Tabel 4.2. Alokasi Anggaran untuk KLH
Description 2006 2007 2008 2009 2010 2011-P 2012-APBN
Alokasi Anggaran KLH 300.9 414.2 415.3 359.5 404.4 974.3 885.4
% Total Belanja Pemerintah 0.07 0.08 0.06 0.06 0.06 0.11 0.09
Sumber: Kementerian Keuangan, 2006-2012
Pemerintah pusat lingkungan dapat dikategorikan ke dalam program-program berikut untuk
reboisasi, pengelolaan penggunaan air, mitigasi pencemaran, konservasi sumber daya alam dan tanah.
Tabel 4.3 memberikan pengeluaran detail untuk perlindungan lingkungan. Biaya terbesar pada tahun
2006, dari 62 persen dari anggaran lingkungan, adalah digunakan untuk konservasi sumber daya alam.
Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)
189
Persentase tersebut telah menurun menjadi hanya 38,8 persen dari biaya total pada tahun 2012 dan
dalam alokasi waktu yang berarti untuk pengelolaan air telah meningkat. Bencana yang disebabkan oleh
kurangnya manajemen air seperti banjir, tanah longsor, dll telah menyebabkan pemerintah untuk
membayar perhatian lebih pada masalah ini.
Tabel 4.3. Pengeluaran Perlindungan Lingkungan
Environmental Protection
2006 2007 2008 2009 2010 2011-P 2012-APBN
Total Belanja (Rp billions)
2,664.5 4,952.6 5,315.1 10,703.0 6,549.6 10,935.9 11,451.5
- Pengelolaan Air 325.6 348.0 478.4 525.2 764.4 2,874.8 2,884.0
- Pengelolaan Limbah
35.1 - - - - - -
- Penanggulangan Polusi
179.1 189.9 201.6 155.9 151.4 220.3 168.4
- Konservasi SDA Natural
1,669.2 3,176.6 3,150.3 4,518.7 3,897.9 4,500.3 4,445.0
- Tata Guna Lahan 413.6 961.7 1,351.9 1,412.3 1,578.1 2,943.6 3,300.6 - Riset dan
Penelitian 0.6
- Lingkungan lainnya
41.2 276.5 128.4 4,090.9 157.9 396.8 653.6
Sumber: Kementerian Keuangan, 2006-2012
Selain alokasi pada lembaga tingkat pusat, pemerintah telah menyediakan Dana Alokasi Khusus
(DAK) yang bertujuan untuk meningkatkan peran pemerintah daerah dan tanggung jawab dalam
pengelolaan lingkungan terutama dalam meningkatkan kualitas air atau lain masalah lingkungan dalam
kabupaten. DAK juga dimaksudkan untuk mendukung penghijauan. Ada sekitar Rp112,8 miliar dana
DAK didistribusikan di antara lima wilayah (Sumatera, Jawa & Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua) pada tahun 2006. Jumlah DAK kemungkinan peningkatan empat kali lipat
pada tahun 2009 (lihat Tabel 4.4). Pada 2013, pemerintah mengalokasikan sebesar Rp530,56 miliar atau
meningkat 9.8 persen pada alokasi DAK tahun 2012. Dana ini dibagikan kepada 432 kabupaten atau
Rp1,2 miliar untuk setiap kabupaten.
Tabel 4.4. Alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) Lingkungan Hidup Berdasarkan Wilayah (Rp Milyar)
Daerah 2006 2007 2008 2009
Sumatera 29.7 101.9 101.9 96
Java & Bali 30.4 78.5 78.5 70.6
Kalimantan 12.4 40.1 40.1 40.6
Sulawesi 16.5 57.4 57.4 62
Nusa Tenggara, Maluku & Papua 23.8 73.8 73.8 82.3
Total 112.8 351.7 351.7 351.5 Sumber: Kementerian Keuangan RI
Pemerintah pusat juga telah peduli pada upaya untuk mendorong penggunaan energi alternatif
seperti sel surya, biomassa, angin, air dan panas bumi seperti yang ditunjukkan oleh beban subsidi
pengembangan energi alternatif tersebut.
4.1.2. Kebijakan Pendapatan
Peran kegiatan yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi
tetap penting. Hal ini dapat dilihat oleh kontribusi besar mereka terhadap anggaran negara dalam hal
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196
190
pendapatan dari sumber daya alam. Menurut APBN, kontribusi pembayaran sumber daya alam yang
relatif meningkat setelah penurunan yang signifikan pada tahun 2009. Gambar 3.1 menunjukkan bahwa
kontribusi pendapatan dari pembayaran sumber daya alam cenderung meningkat dari 2,5 persen dari
PDB pada tahun 2009 menjadi sekitar 2,67 persen dari PDB pada tahun 2011 (APBN direvisi). Angka ini
menggambarkan bahwa aktivitas yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam cenderung naik,
meskipun faktor kenaikan harga SDA juga berpotensi meningkatkan sumbangan tersebut. Dalam
konteks ini, kondisi tersebut menunjukkan bahwa dampak pada kerusakan lingkungan serta penipisan
sumber daya alam cenderung meningkat.
Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2006-2012
Gambar 4.2. Penerimaan SDA.
Berkenaan dengan kerugian yang berasal dari ekstraksi sumber daya alam, pemerintah Indonesia
telah mengenakan berbagai pajak dan biaya yang berkaitan dengan kegiatan ekstraksi sumber daya alam
dan menggabungkan dengan pengisian dari penggunaan produk hilir seperti bahan bakar. Menurut UU
Nomor 28 Tahun 2009 tentang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah telah
menetapkan besaran pajak bahan bakar sebesar 10 persen. Pajak ini dikumpulkan oleh pemerintah
provinsi dan tingkat ditentukan oleh peraturan daerah (PERDA). Pendapatan 70 persen dari pajak bahan
bakar didistribusikan ke tingkat kabupaten. Selain itu, pemerintah juga membebankan biaya untuk
ekstraksi sumber daya alam. Sebagai contoh, ekspor pajak untuk produk pertambangan yang akan
efektif pada tahun 2014.
Namun, di saat yang bersamaan, pemerintah masih tetap mensubsidi harga BBM dalam negeri
bahkan lebih besar dari penerimaan pajak bahan bakar yang dikenakan. Sebagai contoh, dalam APBN
tahun 2013, pemerintah mengalokasikan sekitar 11,5 persen dari total pengeluaran pemerintah atau
sekitar Rp193.8 triliun untuk subsidi BBM. Namun, mengurangi subsidi BBM akan mendorong
kerusuhan sosial dan ketidakstabilan politik. Oleh karena itu, beberapa pihak berpendapat bahwa pajak
bahan bakar tidak efektif dalam mengendalikan penggunaannya, karena permintaan untuk bahan bakar
adalah inelastis dan produk yang penggantinya belum tersedia dan jika mereka tersedia mereka belum
diproduksi secara besar-besaran.
Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)
191
Berkaitan dengan pengelolaan air, ada biaya lisensi untuk menarik air permukaan. Biaya ini
didasarkan pada volume air yang diambil. Namun, penerimaan ini relatif rendah, terutama untuk
pengguna industri. Selain itu, air permukaan juga telah menjadi obyek untuk mengenakan pajak pada
tingkat lokal berdasarkan pasal 21 UU Nomor 12 Tahun 2009 dimana tingkat maksimum 10 persen telah
dikenakan. Tidak seperti pajak bahan bakar, pajak air permukaan dipungut di tingkat kabupaten
(kota/kota). Demikian pula, Kementerian Pekerjaan Umum telah memutuskan untuk memungut
pembuangan limbah pada tahun 1989. Kerangka kerja ini adalah untuk mengarahkan perusahaan untuk
menyediakan pengelolaan air limbah mereka. 4.2. Penyusunan Indikator Makro Ekonomi Berkelanjutan
4.2.1. Pendapatan Nasional Bersih yang Disesuaikan
Indikator makro konvensional yaitu PDB, dianggap gagal menyediakan hubungan antara kegiatan
ekonomi dan degradasi lingkungan serta penipisan sumber daya. United Nations dan Bank Dunia
kemudian mencoba mengembangkan alternatif makro-indikator melalui pendekatan pendapatan
nasional lingkungan disesuaikan dan berkelanjutan. Lembaga tersebut membangun konsep dasar
produk nasional lingkungan disesuaikan. Salah satunya adalah dengan memperkenalkan pelaksanaan
Sistem Akuntansi Lingkungan dan Ekonomi Terpadu (SEEA) untuk menggambarkan hubungan antara
ekonomi dan lingkungan (lihat PBB, 1993). Kerangka utamanya adalah untuk menyertakan rekening
aset dan lingkungan untuk memperkenalkan dampak dari kegiatan ekonomi (yang disebabkan oleh
rumah tangga, pemerintah dan perusahaan) pada akun aset alam atau lingkungan.
Dalam SEEA versi 2003, disediakan empat aspek yang mengukur hubungan antara lingkungan dan
kegiatan ekonomi di kedua arah: mengukur kegiatan lingkungan termasuk pengeluaran yang berkaitan
dengan perlindungan lingkungan, pengukuran lingkungan akun aset, dan menyesuaikan ukuran
akuntansi yang ada untuk menghitung modal alami yang terdegradasi. Keduanya juga berusaha untuk
mengukur degradasi lingkungan serta berkurangnya sumber daya alam akibat ekstraksi ekonomi.
Namun demikian, tidak ada negara yang sepenuhnya menerapkan semua kriteria, sementara banyak
negara lebih mengadopsi satu atau beberapa akun karena kurangnya informasi.
Dimulai dari ide memperkenalkan produk domestik bersih (NDP) yang meliputi akuntansi untuk
penyusutan modal tetap seperti bangunan dan mesin, ide utamanya adalah: sementara aktivitas
ekonomi yang diwakili oleh PDB konvensional memberikan manfaat bagi masyarakat, nilai aset yang
diproduksi menurun setiap tahun. Dengan demikian, NDP dapat dihitung dengan GDP dikurangi nilai
depresiasi tahunan dari aktiva tetap yang ada. Demikian pula diharapkan bahwa nilai modal alam juga
mungkin akan terdepresiasi sebagai akibat dari ekstraksi sumber daya yang dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan. Dalam banyak kasus, kualitas lingkungan dapat meningkat karena berkaitan
dengan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang dilakukan.
Jadi pendapatan nasional lingkungan disesuaikan dapat dirumuskan sebagai berikut: EDP = GDP -
DFC - DNC, di mana DFC dan DNC menunjukkan penyusutan modal tetap dan alami masing-masing.
Namun, kesulitannya adalah untuk menguangkan penyusutan modal alam dan serta pengukuran
kerusakan lingkungan. Repetto et.al (1989) memelopori upaya untuk memperkirakan akuntansi hijau
EDP untuk Indonesia selama 14 periode tahun, 1.971-1.984. Hasilnya digambarkan bahwa EDP adalah
20 persen lebih rendah dari PDB tradisional. Untuk kata lain, penyusutan alami menyumbang 20 persen
dari produksi total ekonomi.
Selain EDP, EDI memberikan wawasan yang sama seperti EDP untuk memperhitungkan dampak
dari kegiatan ekonomi dan degradasi lingkungan. Gambar 4.3 menggambarkan perbandingan antara
pendapatan nasional bruto dan pendapatan nasional bersih disesuaikan untuk Indonesia. Angka
tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan antara EDI dan GNI menjadi jauh lebih besar 1980-2010. Hal
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196
192
ini dapat menyatakan bahwa aktivitas ekonomi sementara di Indonesia selama periode ini menghasilkan
manfaat sebanyak diwakili oleh GNI, itu juga berpengaruh banyak dalam hal penyusutan modal
alam/degradasi seperti yang ditunjukkan oleh pendapatan nasional bersih.
Sumber: World Bank, 2012
Gambar 4.3. Pendapatan Nasional Bruto dan Pendapatan Nasional Bersih Disesuaikan. 4.2.2. Tabungan (Genuine Saving)
Ukuran lain inklusi sumber daya alam dan kualitas lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan
adalah konsep tabungan asli (disebut GS). Hal ini terkait dengan ukuran tradisional kekayaan tabungan
bruto yang diberikan oleh perbedaan antara GNP dan konsumsi pribadi. Sedangkan tabungan bruto
adalah kurangnya dari menjelaskan apakah proses pembangunan yang berkelanjutan atau tidak, GS
memberikan wawasan inklusi modal manusia yang memberikan informasi tentang bagaimana manusia
juga dianggap berkontribusi untuk keberlanjutan dengan membantu proses pembangunan
berkelanjutan. Selain aspek manusia, keberlanjutan GS juga sesuai dengan dimasukkannya penipisan
sumber daya alam dan kerusakan lingkungan dalam pengembangan.
Secara khusus, GS dirumuskan oleh persamaan yang diberikan: GS = Net Saving1 + Human Capital
Investment – Depletion of Natural Resources – Environmental Damages. Model diperpanjang untuk
memasukkan aspek lain seperti pengeluaran untuk kesehatan dan untuk memotong dengan rumah
tangga dan konsumsi pemerintah. Jika GS <0 hal ini menunjukkan nonkeberlanjutan sementara GS> 0
menggambarkan keberlanjutan.
Dalam estimasi GS, investasi modal manusia dalam periode berjalan diasumsikan untuk
menyediakan sumber daya untuk peningkatan produktivitas dan pendapatan di masa depan. Dalam
menghitung nilai investasi modal manusia, Bank Dunia menggunakan pengeluaran pendidikan saat ini
sebagai variabel proxy meskipun hal ini bukan indikator langsung untuk menunjukkan kontribusi
pendidikan terhadap pembangunan ekonomi. Demikian juga, menipisnya sumber daya alam diukur
sebagai total sewa dan dipanen (misalnya hasil hutan). Untuk sumber daya tak terbarukan, itu dihitung
dengan mengurangi nilai produksi (dengan harga dunia) dengan biaya produksi sedangkan untuk
produk kehutanan diperkirakan sebagai selisih antara nilai panen log dan biaya panen.
Danida (2010) menemukan bahwa tabungan asli (GS) untuk Indonesia selama periode 2000-2010
menunjukkan tren positif GS menunjukkan bahwa pembangunan nasional telah menyumbang aspek
1 Net Saving = Gross Domestic Saving – depreciation of fixed capital, while Gross Saving = gross domestic investment – net
foreign borrowing + net official transfers.
Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)
193
keberlanjutan. Namun, menunjukkan kemajuan yang lambat dalam nilai nominal jika dibandingkan
dengan tren PDB (Danida, 2010). GS diperkirakan untuk memperhitungkan 17,45 persen dari PDB pada
tahun 2000 dan dengan demikian menurun menjadi 13,54 persen pada 20102 (Lihat gambar 4.4). Hasil
ini juga menjelaskan bahwa deplesi (terbarukan dan tidak terbarukan) sumber daya dan degradasi
lingkungan selama periode 2000-2010, memberikan tekanan lebih dari sisi ekonomi terhadap proses
pembangunan. Selanjutnya, mungkin dapat menjelaskan bahwa konsumsi (rumah tangga dan
pemerintah) seharusnya memiliki peran yang lebih besar dalam estimasi GS. Yang penting adalah bahwa
pendidikan dan kesehatan pengeluaran yang terus meningkat selama periode tersebut.
Sumber : Danida, 2010, *preliminary figure
Gambar 4.4. PDB dan Genuine Saving. 4.2.3. PDRB dan PDB Hijau
Green GDP atau kadang disebut Green NDP (atau Produk Domestik Eco (EDP), lihat Alisjahbana
dan Yusuf, 2003) yang sekarang menjadi indikator yang lebih populer di agregat ekonomi makro hijau
didefinisikan sebagai GDP dikurangi penyusutan modal tetap dan biaya lingkungan diperhitungkan
(Alisjahbana dan Yusuf, 2002b). Hal ini digunakan untuk menunjukkan upaya untuk mengintegrasikan
biaya dan manfaat dari sumber daya alam yang digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Pada
dasarnya, green GDP adalah kerangka teoritis di bawah yang berasal dari masalah optimasi yang
meliputi kendala tertentu (Atkinson et.al, 1997). Dengan demikian, green GDP mengukur nilai optimal
atau kesejahteraan ekonomi setelah dibawa ke rekening kendala lingkungan. Namun, pendekatan
tersebut tidak menerangkan tentang keberlanjutan. Untuk itu, dalam hal kesejahteraan dapat menurun
atau tidak berkelanjutan, perlu diperhitungkan untuk tingkat diskonto utilitas positif.
Meskipun kelemahan seperti disebutkan di atas, dalam konteks Indonesia, green GDP bisa menjadi
salah satu alternatif pengukuran untuk menunjukkan proses pembangunan yang telah diperhitungkan
untuk masalah lingkungan akibat kegiatan ekstraksi. Studi Alisjahbana dan Yusuf (2002b) menemukan
bahwa Indonesia Eco-Produk Domestik (EDP) pada tahun 1995 diperkirakan sebesar Rp 411.763 miliar
atau 90,6 persen dari PDB konvensional pada tahun yang sama sementara itu sekitar 89,8 persen dari
PDB tahun 1990 (Alisjahbana dan Yusuf, 2002b). Ini tumbuh sekitar 8,0 persen 1990-1995
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi konvensional dari 7,8 persen selama periode yang sama.
Meskipun hasil ini tidak sesuai dengan keberlanjutan, nilai yang lebih rendah dari PDB hijau setidaknya
2 Estimated value in 2010
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196
194
menyampaikan informasi mengenai kinerja "benar" dari pembangunan ekonomi. Dalam hal ini, green
GDP telah meningkatkan indikator makro-ekonomi standar dalam hal PDB konvensional.
4.3. Alternatif Kebijakan untuk Anggaran Berbasis LH / Anggaran Hijau
4.3.1. Pengalokasian Minimal Sekian Persen dalam APBN/APBD untuk Anggaran Fungsi Lingkungan Hidup (Seperti Halnya Untuk Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan yang Diatur melalui Undang-undang)
Dengan mendasarkan pengalaman sektor pendidikan yang mampu melakukan ear marking
anggaran pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, dialokasikan minimal 20
persen dari APBN/APBD, maka perlu kiranya dilakukan kajian terkait hal yang sama untuk sektor
lingkungan. Berdasarkan hasil analisis KLH tahun 2011, kebutuhan minimal anggaran pengelolaan
lingkungan sekitar 3 persen dari alokasi APBN.
Dengan melakukan ear-marking anggaran lingkungan minimal sekian persen dalam APBN, maka
besaran belanja lingkungan dipastikan akan menjadi lebih signifikan setiap tahunnya. Besaran yang
signifikan tersebut dapat digunakan untuk berbagai kegiatan adaptasi, mitigasi dan konservasi
lingkungan serta berbagai upaya riset dan pengembangan teknologi ramah lingkungan, pengembangan
sistem transportasi massal ramah lingkungan serta penciptaan pasar yang efisien dalam mendukung
kegiatan ramah lingkungan. Namun demikian, skenario ini juga mengandung kelemahan khususnya
terkait dengan prioritas APBN kedepannya untuk mencoba melepaskan diri dari jebakan politik
pengkaplingan anggaran (resource envelope).
4.3.2. Membuat Pos Baru dalam Belanja Pemerintah Pusat (yaitu Semacam Pos "Belanja Lingkungan Hidup")
Belanja ini nantinya ditujukan untuk memberikan kepastian anggaran terhadap upaya mitigasi
dan perbaikan lingkungan yang rusak akibat kegiatan pembangunan. Meskipun demikian, belanja ini
juga memiliki fleksibilitas, khususnya dalam mendukung upaya pengembangan industri ramah
lingkungan, teknologi hemat energi, transportasi publik serta energi efisiensi.
Diupayakan juga adanya alokasi persentase minimal (5 persen, 10 persen) dari besaran Belanja
Pemerintah Pusat, serta ear-marking dari sisi pemanfaatan belanja, dengan konsekuensi punishment bagi
pelanggaran alokasi penggunaan. Skenario ini tentu mengandung beberapa kelemahan diantaranya
potensi tumpang tindih dalam sistem akuntansi negara terkait dengan pengalokasian anggaran
beradasarkan fungsi dan jenis belanja. Selain itu kelemahan utama dari skenario ini adalah adanya
potensi tuntutan yang sama dari masing-masing sektoral untuk mekanisme yang sama dalam APBN.
4.3.3. Memasukkan "Indikator Lingkungan Hidup" sebagai Salah Satu Asumsi Dasar Ekonomi Makro dalam Penyusunan APBN
Asumsi yang sudah ada, dirasakan sangat pro-ekonomi serta kurang mampu menangkap dampak
rusaknya lingkungan hidup. Asumsi PDB Rp8.542.634 triliun dalam APBN-P 2012 misalnya. Pemerintah
tidak dapat menjelaskan berapa dampak kerusakan yang ditimbulkan untuk mencapai nominal PDB
tersebut. Artinya Pemerintah seharusnya memiliki sensitivitas masing-masing asumsi terhadap dampak
kerusakan lingkungan yang dihasilkan.
Tingkat kesulitan utama dari usulan skenario ini adalah pemilihan indikator yang benar-benar
mampu mewakili tingkat kerusakan lingkungan yang sifatnya nasional. Beberapa K/L teknis telah
mengusulkan adanya mekanisme ini diantaranya indikator PDB Hijau (green PDB) yang telah disusun
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan BPS, indikator Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup yang sudah dimanfaatkan dalam penyusunan Deplesi Sumber Daya Alam dan Neraca Akuntansi
Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)
195
Sumber Daya Alam. Namun demikian bagaimana menghubungkan indikator tersebut dengan skenario
defisit APBN menjadi pertimbangan utama skenario ini tidak mudah dijalankan.
4.3.4. Melakukan Reformasi Kebijakan Fiskal agar Anggaran Dapat Lebih Hijau, Baik dari Sisi Penerimaan, Pengeluaran, maupun Pembiayaan.
Perbaikan manajemen pengelolaan APBN khususnya realokasi beban subsidi BBM untuk fosil fuel
menuju pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Pemerintah sejatinya telah memiliki road
map di dalam strategi pengembangan energi baru dan terbarukan. Namun sayangnya besarnya tekanan
politik serta ketidaksiapan infrastruktur menyebabkan rencana tersebut masih berjalan perlahan-lahan.
Untuk itulah kedepannya strategi ini harus terus didorong seiring dengan komitmen pemerintah untuk
terus menciptakan efisiensi dalam pengelolaan subsidi BBM APBN.
4.4. Peran Sektor Swasta
Terkait dengan permasalahan lingkungan, peranan dari sektor pemerintah melalui APBN memang
dirasa menjadi hal yang paling utama khususnya di periode awal ketika persoalan tersebut masih
bersifat eksternalitas yang sifatnya non-market. Namun perlu dipahami bahwa kapasitas pendanaan
publik baik melalui APBN maupun APBD jelas sangat terbatas. Badan Kebijakan Fiskal dalam salah satu
kajiannya di tahun 2009 menyebutkan bahwa kapasitas pendanaan publik tidak lebih dari 20 persen
kebutuhan pendanaan secara umum. Artinya peran swasta menjadi sangat signifikan (80 persen).
Namun permasalahannya, sektor swasta tidak akan bergerak menangani masalah lingkungan jika
belum ada peran dari pemerintah maupun regulasinya. Padahal di sisi lain, dengan kemampuan kapital
yang begitu besar, sektor swasta memiliki potensi kemampuan pendanaan yang besar melalui berbagai
skema, salah satunya mekanisme Corporate Social Responsibility (CSR).
Untuk itulah, hal yang dibutuhkan saat ini untuk menggerakkan pendanaan sektor swasta adalah
pengaturan mengenai ketentuan teknis alokasi CSR serta berbagai regulasi pendukungnya. Jika kesiapan
ini sudah dapat diwujudkan, ke depannya pendanaan swasta pasti dapat dimanfaatlan seoptimal
mungkin.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan kajian ini, dapat disimpulkan bahwa adanya kebutuhan dukungan dari pendanaan
publik (APBN/APBD) dalam upaya mengatasi persoalan perubahan iklim dan perbaikan kualitas
lingkungan hidup di Indonesia. Agar signifikan, maka kebutuhan penganggaran berbasis perubahan
iklim dan lingkungan hidup minimal sekitar 3 – 5 persen dari Total Belanja APBN/APBD. Besaran
tersebut didasarkan kepada studi yang pernah dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup. Untuk
mendukung mekanisme tersebut, dibutuhkan adanya pengarusutamaan kebijakan perubahan iklim dan
lingkungan hidup dalam sistem perencanaan pembangunan nasional serta sistem penganggaran
APBN/APBD.
Dalam membuat anggaran lebih hijau, prioritas kebijakan yang utama adalah reformasi kebijakan
fiskal, baik dari sisi penerimaan, belanja, dan pembiayaan. Dengan demikian biaya yang timbul paling
murah dan manfaat yang diperolehnya paling besar. Mengingat keterbatasan kemampuan pendanaan
publik sekitar 20 persen dari total kebutuhan pembiayaan seluruhnya, maka ke depannya perlu juga
dipikirkan dukungan pendanaan sektor swasta.
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196
196
5.2. Rekomendasi Kebijakan
Adapun rekomendasi terhadap penelitian ini adalah perlunya peningkatan kesadaran masyarakat
akan pentingnya reformasi kebijakan fiskal yang mengakomodir perbaikan Lingkungan Hidup
(Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup atau Anggaran Hijau). Hal tersebut bisa dilakukan dengan adanya
program sosialisasi dan publikasi terhadap pentingnya kebijakan anggaran berbasis lingkungan. Selain
itu perlu dipikirkan juga upaya mendirikan Green Budget Working Group, antara Pemerintah dan DPR,
serta stakeholders terkait.
Reformasi kebijakan fiskal juga dapat dilakukan melalui upaya peningkatan penerimaan negara
dari SDA dan Lingkungan Hidup, peningkatan pengeluaran untuk anggaran Lingkungan Hidup dan
reformasi subsidi energi fosil, dan peningkatan pembiayaan khususnya EBTKE. Dengan demikian akan
berdampak pada anggaran menurut fungsi, menurut jenis, dan menurut organisasi akan berubah. Untuk
penerapan kebijakan anggaran berbasis lingkungan hidup dapat diujicobakan di daerah provinsi atau
kabupaten/kota, yang memiliki komitmen terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Contoh daerah yang
dapat menjadi wilayah uji coba adalah Kota Surabaya dan Provinsi Jawa Timur atau Provinsi DKI Jakarta
untuk di pulau Jawa dan Provinsi Kalimantan Selatan untuk wilayah di luar pulau Jawa. Untuk
mengefektifkan peran pendanaan swasta, pemerintah perlu memberikan petunjuk dan arahan terkait
pedoman umum aloaksi CSR serta regulasi pendukunganya.
DAFTAR PUSTAKA
Panayotou, Theodore. (1994). Economic Instruments for Environmental Management and Sustainable Development. UNEP;
Yusgiantoro.P, (2000). Ekonomi Energi, Teori dan Praktik. Edisi Pertama. LP3ES. Jakarta;
Soemarwoto. O, (2001). Ekologi, Lingkungan dan Pembangunan. Djambatan. Jakarta;
Soemarwoto. O, (2003). Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta;
Fauzy, Dr. Akhmad, Dr.dra. Suzy Ana,MSi.(2005). Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan Untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka. Jakarta;
Mankiw, N. G. (2007). Principles of Economics (4th ed.). USA: Cengage Learning;
Suparmoko M, Suparmoko R., Maria. (2007). Ekonomi Lingkungan. Edisi Pertama,BPFE, Yogyakarta;
Suparmoko. (2008). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Suatu Pendekatan Teoritis. Edisi Keempat, BPFE, Yogyakarta;
Sugandhy, Aca. (2009). Instrumen dan Standarisasi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penerbit Trisakti, Jakarta;
Danida, 2011. Kajian Cepat terhadap kesiapan Indonesia menuju Reformasi Fiskal Lingkungan Hidup untuk Penghijauan Ekonomi. Pahala Tamba. Jakarta;
Yoesgiantoro, Dony, (2012). Kebijakan Internalisasi Biaya Eksternal Lingkungan Optimal Minyak dan Gas Bumi Dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan. Disertasi Paska Sarjana Lingkungan. Universitas Indonesia. Jakarta;
Nurcholis, (2012). Laporan Hasil Kajian Indikator Pembangunan Berkelanjutan. PKPPIM-UKCCU;
Haryanto, Tri Joko. Menggagas APBN yang Lebih Hijau. Opini Koran Jakarta, 22 Mei 2012;
Direktorat Lingkungan Hidup, Bappenas (2012). Indikator Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta;
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Hidup;
PERFORMA BELANJA PEMERINTAH DAERAH, INVESTASI PRIVAT DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA
Regional Governments Spending, Private Investment and Employment Performance in Indonesia
Budiyanto 1, D.S. Priyarsono 2, Bonar M. Sinaga 3, Tahlim Sudaryanto 4
1 2 3 Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Jln. Kamper, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16116, Jawa Barat, Indonesia
1 Email: [email protected] 2 Email : [email protected]
4 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Jln. Ragunan No. 29, Jakarta Selatan 12540, DKI Jakarta, Indonesia
Naskah diterima: 17 Juni 2014
Naskah direvisi: 27 November 2014 Disetujui diterbitkan: 4 Desember 2014
ABSTRACT
The amount and composition of government spending in fiscal operations has a significant impact on
aggregate demand and national output and affects resource allocationin an economy. Therefore, in order to
achieve effective economic development, government spending has to be allocated appropriately according to
the potentials of each area. Indonesia, which consists of areas with a variety of potential resources would
require the determination of the amount and composition of different government spending in order to have
an impact on the growth of private investment and employment opportunities are maximized. The purpose of
this study is to examine the regional government expenditure performance, private investment and
employment opportunities in the area where contribution of the agricultural sector to GRDP is high and low.
The study utilizes an econometric model of the system of simultaneous equations using a panel of data of 20
provinces in Indonesia for the period of 2003-2011. The 20 sampled provinces were classified into two groups,
based on contribution of agriculture sector to the respective regional economy. The estimation results
indicate that the determination of the amount of local government spending, both in the areas where the
contribution of the agricultural sector to GRDP is either high or low, based on the activity or program of the
previous year. Meanwhile, the greater the number of regional government spending for the agricultural
sector, the private investment of agricultural sector and employment is increasing.
Keywords: employment, privat investment, regional government spending
ABSTRAK
Besaran dan komposisi belanja pemerintah, dalam operasi fiskal, mempunyai dampak signifikan
pada permintaan agregat dan output nasional, serta mempengaruhi alokasi sumber daya dalam
perekonomian. Oleh karena itu, dalam rangka untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi secara
efektif maka penetapannya perlu dilakukan secara tepat sesuai potensi daerah. Indonesia yang terdiri dari
daerah-daerah dengan beragam potensi sumber daya tentunya memerlukan penetapan besaran dan
komposisi belanja pemerintah yang berbeda agar berdampak pada tumbuhnya investasi privat dan
kesempatan kerja yang maksimal. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui perilaku belanja pemerintah
daerah, investasi privat dan kesempatan kerja di daerah PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah. Studi
Kaj. Eko. & Keu.
Vol. 18 No. 3 Desember
2014 Halaman : 181 - 254
Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia
Performa Belanja Pemerintah Daerah, Investasi Privat dan Kesempatan Kerja di Indonesia
Efektivitas Kebijakan Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi di Jawa-Bali
Income Inequality : Education as The Panacea
Dampak Bea Keluar terhadap Ekspor CPO Indonesia
No. Akreditasi : 467/AU3/P2MI-LIPI/08/2012
Vol 18 No 3, Desember 2014
[
T
y
p
e
a
q
u
o
t
e
f
r
o
m
t
h
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 197 - 208
198
menggunakan model ekonometrika dengan persamaan sistem simultan untuk mengestimasi data panel
pada dua puluh provinsi di Indonesia periode 2003-2011. Sampel dua puluh provinsi dikelompokkan
menjadi dua, yaitu kelompok daerah yang memiliki PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa penetapan besaran belanja pemerintah daerah, baik di daerah PDRB sektor
pertanian tinggi maupun rendah, lebih didasarkan pada kegiatan atau program tahun sebelumnya.
Sementara itu, semakin besar jumlah belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian, maka investasi
privat sektor pertanian dan penyerapan tenaga kerja semakin meningkat.
Kata Kunci: belanja pemerintah daerah, investasi privat, kesempatan kerja
JEL Classification: H5, H3, J2
I. PENDAHULUAN
Investasi, baik sektor publik (belanja pemerintah) maupun sektor privat, mempunyai peran
penting dalam pertumbuhan ekonomi. Bahkan Model Harrod dan Domar memberikan peranan kunci
kepada investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, setiap negara atau daerah
berupaya untuk selalu meningkatkan investasi dari waktu ke waktu.
Pemerintah memiliki sumber keuangan yang lebih besar sehingga peran belanja pemerintah
terhadap perekonomian relatif lebih banyak dibanding investasi privat. Jhingan (2008, hal 388-390)
menyebutkan peranan belanja negara dalam pembangunan ekonomi terletak di dalam peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan standar kehidupan,
penurunan kesenjangan pendapatan dan kemakmuran, dalam mendorong inisiatif dan usaha swasta dan
dalam mewujudkan keseimbangan regional di dalam perekonomian.
Kaitannya dengan peran belanja pemerintah tersebut, maka sejak diberlakukannya desentralisasi
fiskal di Indonesia, pemerintah daerah ditantang untuk mengalokasikan anggaran pada sektor-sektor
yang tepat, dan membelanjakan pada hal-hal yang sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat
sehingga belanja pemerintah mampu memberikan eksternalitas terhadap tumbuhnya investasi privat
dan kegiatan ekonomi masyarakat serta berdampak pada penyerapan tenaga kerja.
Belanja pemerintah memang harus dialokasikan untuk pembangunan seluruh sektor
perekonomian, tetapi mengingat pertimbangan keterbatasan sumber daya dan pencapaian tujuan
pembangunan maka perlu dilakukan skala prioritas untuk suatu sektor tertentu. Kontribusi sektor
pertanian, baik kepada PDB (Produk Domestik Bruto) maupun lapangan kerja memang terus menurun.
Namun sektor pertanian sesuai data BPS (Badan Pusat Statistik) pada Agustus 2013 masih menyerap
tenaga kerja sekitar 34.78 persen dari total tenaga kerja, sehingga sektor pertanian sebenarnya masih
layak untuk mendapatkan perhatian khusus dalam pembangunan nasional.
Pembangunan yang memfokuskan pada sektor pertanian sesuai pendapat para ahli pembangunan,
yang mana sebagian besar negara yang mengadopsi kebijakan pembangunan yang berfokus pada sektor
pertanian justru cenderung lebih berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dibanding strategi
pembangunan yang menekankan pada sektor nonpertanian, seperti yang disampaikan Mellor (1995)
dan Rostow (1960).
Pada tahun 2012 secara administrasi pemerintahan, Indonesia terdiri dari 33 provinsi dengan 497
kabupaten/kota, yang mana memiliki potensi sumber daya alam dan manusia yang beragam. Sektor
pertanian di sebagian daerah masih mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian, baik
dilihat dari kontribusinya terhadap PDRB, pertumbuhan ekonomi, pemenuhan kebutuhan pangan,
maupun penyerapan tenaga kerja. Tetapi sebagian daerah lainnya, sektor pertanian kurang dominan
dalam perekonomian. Dengan demikian, timbul pertanyaan: apakah daerah atau provinsi-provinsi yang
kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB relatif tinggi perlu memfokuskan pembangunannya pada
Performa Belanja Pemerintah ... (Budiyanto., et al.)
199
sektor pertanian dan/atau sektor nonpertanian agar lebih efektif dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan ekonomi, begitu juga daerah atau provinsi-provinsi yang kontribusi sektor pertanian
terhadap PDRB relatif rendah.
Di lain pihak, investasi privat sektor pertanian selama ini dianggap kurang memberikan
keuntungan sehingga investasi privat untuk sektor pertanian setiap tahun relatif kecil dibanding
investasi sektor nonpertanian. Data BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) menunjukkan bahwa
selama tahun 2003-2011 rata-rata investasi privat untuk sektor pertanian hanya sekitar 10.9 persen
dari total investasi. Padahal pembangunan pertanian dengan meningkatkan produktivitasnya dapat
menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan.
Selain hal tersebut, masalah ketenagakerjaan perlu juga mendapatkan perhatian dalam
perencanaan pembangunan. Upaya Indonesia untuk menurunkan jumlah pengangguran terbuka melalui
peningkatan pertumbuhan ekonomi masih belum menampakkan hasil signifikan. Data Badan Pusat
Statistik menunjukkan bahwa pada Agustus 2013 jumlah angkatan kerja yang bekerja sebanyak 110,8
jiwa dan pengangguran terbuka 6,25 persen. Jika dibandingkan dengan setahun sebelumnya, dapat
dikatakan terjadi penurunan atau stagnasi penciptaan lapangan kerja, yang mana pada Agustus 2012
jumlah angkatan kerja yang bekerja sebanyak 110,81 jiwa dan pengangguran terbuka sebesar 6,14
persen. Priyarsono (2011, hal 27) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun
terakhir cenderung didorong oleh peningkatan konsumsi, sementara investasi privat tidak meningkat.
Dengan demikian, meskipun perekonomian telah meningkat namun penciptaan lapangan kerja sangat
lambat.
Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana perilaku belanja daerah,
apakah belanja di daerah yang PDRB sektor pertanian tinggi atau rendah, ditetapkan berdasarkan
potensi daerah atau kebutuhan pembangunan daerah, serta terkait dengan upaya untuk meningkatkan
investasi privat dan meningkatkan kesempatan kerja?. Tujuan studi ini untuk mengetahui perilaku
belanja pemerintah daerah, investasi privat dan kesempatan kerja di daerah PDRB sektor pertanian
tinggi dan rendah. II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fungsi Pengeluaran (Belanja) Pemerintah Daerah
Peran belanja pemerintah di negara maju berbeda dengan di negara terbelakang. Tulsidharan
(2006, hal. 170) menyatakan bahwa peran pengeluaran pemerintah (sektor publik) di negara maju
terutama ditujukan untuk stabilisasi perekonomian, stimulasi aktivitas investasi privat dan sebagainya.
Sedangkan di negara terbelakang pengeluaran pemerintah memainkan peran aktif dalam mengurangi
disparitas regional, pengembangan social overheads, penciptaan infrastruktur pertumbuhan ekonomi
dalam bentuk fasilitas transportasi dan komunikasi, pendidikan dan latihan, pertumbuhan industri
barang-barang modal, pertumbuhan industri dasar dan utama, research and development, stimulasi
tabungan nasional, pembentukan modal dan sebagainya.
Secara teori, kebutuhan fiskal (belanja pemerintah) bukan ditentukan oleh penerimaan daerah
namun justru sebaliknya, yaitu penerimaan daerah yang dipengaruhi oleh kebutuhan daerah, seperti
disampaikan Stiglitz (2000). Musgrave and Peggy (1989). Tetapi pada realisasinya, pengeluaran
pemerintah ditentukan oleh penerimaan daerah. Di lain pihak, salah satu diantara beberapa intepretasi
dari hukum Wagner adalah peningkatan aktivitas ekonomi akan menyebabkan peningkatan pengeluaran
pemerintah, seperti disampaikan Liu, Hsu, dan Younis (2008). Dengan demikian, besaran pengeluaran
pemerintah daerah ditentukan oleh aktivitas ekonomi daerah, atau dalam hal ini adalah PDRB. Selain
aktivitas ekonomi, besaran pengeluaran daerah juga ditentukan oleh luas wilayah dan jumlah penduduk.
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 197 - 208
200
2.2. Fungsi Investasi Privat
Terdapat perbedaan pendapat tentang dampak peningkatan pengeluaran pemerintah terhadap
investasi. Pendapat tradisional menyebutkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah
menyebabkan investasi privat crowding-out. Pendapat nontradisional mengemukakan bahwa
pengeluaran pemerintah dapat menstimulasi investasi, seperti disampaikan Ahmed dan Miller (2000).
Barro (1990, hal 122) menyatakan bahwa pajak (pajak digunakan untuk belanja pemerintah)
menyebabkan berkurangnya laba setelah pajak dari investasi privat, sehingga mengakibatkan investasi
menurun.
Wang (2005, hal 494) menyebutkan bahwa jika belanja pemerintah meningkat, utamanya yang
didanai dari pinjaman, interest rate di pasar uang bergerak naik karena permintaan uang meningkat.
Konsekuensi kenaikan interest rate adalah menurunnya investasi privat. Pendapat lain yang berbeda,
peningkatan belanja pemerintah akan mengakibatkan kenaikan tingkat pendapatan yang selanjutnya
bisa meningkatkan investasi privat, karena peningkatan tabungan sebagai akibat kenaikan pendapatan,
akan mendorong investasi yang lebih besar.
Selain pengeluaran pemerintah, sesuai teori Ekonomi Makro, investasi juga dipengaruhi oleh
interest rate (tingkat suku bunga). Semakin tinggi interest rate, investasi yang layak dilaksanakan
semakin sedikit sehingga investasi privat kecil, dan sebaliknya, jika interest rate rendah, jumlah jenis
investasi yang layak dilaksanakan semakin banyak sehingga investasi privat banyak masuk.
2.3. Fungsi Penyerapan Tenaga Kerja
Dalam perkembangan ekonomi di negara-negara maju tampak bahwa pada tahap awal
pembangunan, kontribusi relatif sektor pertanian sangat dominan, dan selanjutnya akan terus menurun
sampai pada tahap tertentu. Di sisi lain, kemampuan sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja juga
akan menurun yang diimbangi oleh peningkatan peran sektor industri dan jasa. Fenomena seperti ini
oleh Todaro (2000), Hayami dan Ruttan (1981) disebut dengan proses transformasi struktural.
Kurva permintaan tenaga kerja menunjukkan kecondongan garis yang menurun terhadap upah
tenaga kerja. Hal ini sesuai teori produksi perusahaan, yang mana suatu perusahaan akan menggunakan
jumlah tenaga kerja secara optimal untuk mencapai tujuan perusahaan, yaitu memperoleh laba maksimal.
Jumlah optimal penggunaan tenaga kerja dicapai ketika nilai produk fisik marginal (value of marginal
physical product) tenaga kerja sama dengan upah tenaga kerja. Oleh karena itu perusahaan akan
menyesuaikan jumlah tenaga kerja yang digunakan sesuai dengan biaya (upah) tenaga kerja. Apabila
upah meningkat, perusahaan akan mengurangi jumlah tenaga kerja yang digunakan. Di pihak lain, jika
pengeluaran pemerintah untuk belanja modal dan investasi meningkat juga membutuhkan tenaga kerja
yang semakin besar. III. METODOLOGI
3.1. Data
Kajian ini menggunakan data panel yang meliputi: belanja pemerintah daerah, investasi,
penyerapan tenaga kerja pada 20 provinsi di Indonesia selama tahun 2003 sampai 2011. Data provinsi
yang relatif baru terbentuk (provinsi yang terbentuk setelah tahun 1999) digabungkan atau
diakumulasikan dengan data provinsi induknya. Dipilih data pada 20 provinsi di Indonesia karena data
pada provinsi lainnya tidak tersedia secara series. Digunakannya data tahun 2003 sampai 2011 dengan
dasar bahwa format penyusunan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang sesuai dengan
penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia dimulai tahun 2003 setelah adanya Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, dan ketersediaan data ketika dilakukan pengumpulan data, yaitu
data tahun 2011. Sumber data: Badan Pusat Statistik, Direktort Jenderal Perimbangan Keuangan
Performa Belanja Pemerintah ... (Budiyanto., et al.)
201
Kementerian Keuangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal. Data belanja pemerintah daerah
merupakan akumulasi dari realisasi anggaran belanja pemerintah kabupaten, kota serta provinsi. Data
yang terkumpul dari tiap-tiap provinsi dikelompokkan menjadi dua, yaitu data provinsi yang memiliki
proporsi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) sektor pertanian tinggi (lebih besar dari rata-rata)
dan rendah (lebih kecil dari rata-rata).
3.2. Identifikasi dan Estimasi Model
Untuk menjawab permasalahan studi digunakan pendekatan model ekonometrika dengan
persamaan sistem simultan. Digunakannya persamaan sistem simultan karena adanya hubungan dua
arah antara variabel endogen. Uji random atau fixed effect terhadap data tidak dilakukan karena
diasumsikan data yang digunakan termasuk pooled data.
Model ekonometrika dengan persamaan sistem simultan digunakan sebagai pengembangan model
yang digunakan dalam studi sebelumnya. Kim dan Cayer (1997) meneliti tentang perubahan
pengeluaran pemerintah di Korea dengan pendekatan model ekonomterika, persamaan tunggal; Ahmed
dan Miller (2000) meneliti tentang disagregasi pengeluran pemerintah dan investasi privat juga
menggunakan model ekonometrika dengan persamaan tunggal. Sementara itu, Wang (2005)
menggunakan cointegration and error-correction untuk mengestimasi hubungan pengeluaran
pemerintah Kanada dengan investasi privat. Jiranyakul dan Brahmasrene (2007) menggunakan granger
causality test dan OLS untuk mengetahui hubungan pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan
ekonomi di India; Liu, Hsu, dan Younis (2008) mengestimasi hubungan pengeluaran pemerintah dengan
pertumbuhan ekonomi di USA dengan menggunakan granger causality test; dan World Bank (2009)
melakukan studi tentang hubungan pengeluaran publik untuk sektor pertanian dan pertumbuhan PDB
sektor pertanian di Indonesia dengan menggunakan pendekatan model ekonometrika, persamaan
tunggal. Dengan demikian model yang dispesifkasi adalah sebagai berikut:
a. Belanja (Pengeluaran) Pemerintah Daerah
1) Belanja untuk sektor pertanian :
PSAit = a0 + a1 LATSit + a2 JTBit + a3 LATPit + a4 LAHUTit + a5 JNLit +
a6 TREVDit + a7 LPDRBAit + a8 LPSAit + a9 Dit + uit
2) Belanja untuk sektor non pertanian :
PSNAit = b0 + b1 LWit + b2 POPit + b3 LPDRBNAit + b4 TREVDit +
b5 LPSNAit + b6 Dit + uit
b. Investasi
1) Investasi privat sektor pertanian :
INVSAit = c0 + c1 PSAit + c2 PPLit + c3 TSBR it + c4 LWit + c5 POPit +
c6 LINVSAit + c7 Dit + uit
2) Investasi privat sektor non pertanian :
INVSNAit = d0 + d1 PSNAit + d2 TSBRit + d3 POPit + d4 LWit +
d5 LINVSNAit + d6 Dit + uit
c. Kesempatan Kerja
1) Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian :
TKSAit = e0 + e1 PINVSAit + e2 UTKARit + e3 PSAit + e4 LTKSAit +
e5 Dit + uit
2) Penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian :
TKSNAit = f0 + f1 INVSNAit + f2 RUTKRit + f3 PSNAit + f4 LTKSNAit +
f5 Dit + uit
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 197 - 208
202
keterangan :
PSA = belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian riil (Rp miliar), PSNA = belanja pemerintah
daerah untuk sektor non pertanian riil (Rp miliar), LATS = luas areal tanaman semusim (ribu hektar),
JTB = jumlah ternak besar (ribu ekor), LATP = luas areal tanaman perkebunan (ribu hektar), LAHUT =
luas areal hutan (ribu hektar), JNL = jumlah nelayan (ribu orang), TREVD = total penerimaan
pemeritah daerah riil (Rp miliar), LPDRBA = PDRB riil sektor pertanian tahun t-1 (miliar rupiah), LPSA
= belanja untuk sektor pertanian riil tahun t-1 (Rp miliar), LW = luas wilayah (ribu km2), POP = jumlah
penduduk (juta jiwa), LPDRBNA = PDRB riil sektor non pertanian tahun t-1 (Rp miliar), LPLSNA =
belanja untuk sektor non pertanian riil tahun t-1 (Rp miliar), INVSA = investasi privat sektor pertanian
riil (Rp miliar), INVSNA = investasi privat sektor non pertanian riil (Rp miliar), PPL = persentase
belanja langsung terhadap total belanja pemerintah daerah (persen), TSBR = tingkat suku bunga riil
(persen), LINVSA = investasi privat sektor pertanian riil tahun t-1 (Rp miliar), LINVSNA = investasi
privat sektor non pertanian riil tahun t-1 (Rp miliar), TKSA = penyerapan tenaga kerja sektor
pertanian (ribu jiwa), TKSNA = penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian (ribu jiwa), PINVSA =
persentase investasi sektor pertanian terhadap total investasi (persen), UTKAR = upah tenaga kerja
sektor pertanian riil (Rp ribu/bulan), RUTKR = rata-rata upah tenaga kerja riil (Rp ribu/bulan), LTKSA =
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tahun t-1 (ribu jiwa), LTKSNA = penyerapan tenaga kerja
sektor non pertanian tahun t-1 (ribu jiwa), D = dummy variable: nilai 1 untuk daerah yang proporsi
PDRB sektor pertanian tinggi; dan nilai 0 untuk daerah yang proporsi PDRB sektor pertanian rendah,
u = komponen error
Identifikasi model ditentukan atas dasar order condition sebagai syarat keharusan dan rank
condition sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1982, hal 358), hasil identifikasi untuk
setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau over identified untuk dapat menduga
parameter-parameternya. Syarat kecukupan dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang
menyatakan bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk
membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah
yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut.
Model meliputi: 6 persamaan (G), yang terdiri dari: 28 variabel atau peubah (K), serta antara 5
sampai 9 variabel dalam suatu persamaan (M); sehingga K – M = 19 dan G – 1 = 5, maka (K – M) > (G – 1).
Oleh karena itu berdasarkan kriteria order condition maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara
berlebih (over identified) sehingga dapat diduga parameter-parameternya. Selanjutnya, estimasi model
dilakukan dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS). IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Perilaku Belanja Pemerintah Daerah
4.1.1. Persamaan Belanja Pemerintah Daerah untuk Sektor Pertanian
Jumlah ternak besar, luas areal perkebunan dan hutan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian dapat diartikan bahwa penetapan jumlah belanja
pemerintah untuk sektor pertanian telah didasarkan pada potensi sumberdaya daerah. Namun
demikian, jika dilihat pengaruh luas areal tanaman semusim, yang negatif dan signifikan pada α = 0.20,
dan pengaruh jumlah nelayan yang positif dan tidak signifikan serta pengaruh jumlah PDRB pertanian
tahun sebelumnya yang negatif dan signifikan maka hal ini dapat menjadi bukti bahwa penetapan
jumlah atau besaran belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian belum dilakukan dengan dasar
kebutuhan pembangunan sektor tersebut. Pemerintah daerah barangkali berpendapat bahwa semakin
Performa Belanja Pemerintah ... (Budiyanto., et al.)
203
tinggi PDRB suatu sektor maka sektor tersebut telah mengalami kemajuan atau perkembangan yang
berarti sehingga belanja pemerintah daerah untuk pengembangan sektor tersebut perlu dikurangi dan
dialokasikan pada sektor lainnya yang kurang berkembang.
Bukti pendukung lainnya, bahwa belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian tidak
didasarkan pada kebutuhan dan potensi daerah adalah pengaruh total penerimaan pemerintah daerah
yang berpengaruh positif dan signifikan. Belanja untuk sektor pertanian tahun sebelumnya berpengaruh
positif dan signifikan dapat diartikan juga bahwa penetapan jumlah belanja untuk sektor pertanian pada
semua daerah di Indonesia lebih didasarkan pada kebiasaan atau rutinitas penyusunan anggaran
kegiatan dan program, kurang didasarkan pada kebutuhan pembangunan sektor tersebut. Sedangkan
dummy variable yang berpengaruh positif dan signifikan menunjukkan bahwa belanja pemerintah
daerah untuk sektor pertanian di daerah PDRB sektor pertanian tinggi, lebih besar dibanding di daerah
PDRB sektor pertanian rendah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah PDRB sektor pertanian tinggi telah
mengalokasikan belanjanya sesuai dengan kebutuhan daerah.
4.1.2. Persamaan Belanja Pemerintah Daerah untuk Sektor Non-pertanian
Daerah yang memiliki wilayah lebih luas tentunya akan mengalokasikan belanjanya untuk sektor
non pertanian yang lebih besar dibanding daerah yang memiliki wilayah lebih sempit. Hal ini sesuai
dengan hasil estimasi yang menunjukkan bahwa luas wilayah berpengaruh postif dan signifikan
terhadap belanja pemerintah daerah untuk sektor non pertanian. Alokasi belanja pemerintah daerah
untuk sektor non pertanian tersebut diduga lebih banyak digunakan untuk peningkatan ketersediaan
infrastruktur.
Tabel 4.1. Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas Variabel Persamaan Struktural Belanja Pemerintah Daerah Tahun 2003 – 2011
Variabel Parameter t -hit Prob. t Elastisitas
Jgk.Pendek Jgk.Panjang Belanja Pemerintah Daerah untuk Sektor Pertanian 1. Intersep 2. Luas areal tanaman semusim 3. Jumlah ternak besar 4. Luas areal perkebunan 5. Luas areal hutan 6. Jumlah nelayan 7. Total penerimaan daerah 8. PDRB pertanian riil t-1 9. Belanja untuk sektor
pertanian riil t-1 10. Dummy variable
-3.64621 -0.02513 0.032048 0.030060 0.001578 0.005354 0.028087 -0.00341
0.265776 43.89845
-0.25 -1.43 2.57 3.70 1.71 0.05
10.81 -3.85
4.72 3.75
0.8010 0.1533 0.0110 0.0003 0.0884 0.9622 <.0001 0.0002
<.0001 0.0002
-0.1100 0.0817 0.1054 0.0385 0.0023 0.7349
-0.1879
-0.14984 0.111283 0.143556 0.052447 0.003156 1.000938 -0.25585
Durbin-Watson R-Square
1.97161 0.81604
F-Hitung Prob>F
83.30 <0.0001
Belanja Pemerintah Daerah untuk Sektor Non-pertanian 1. Intersep 2. Luas wilayah 3. Jumlah penduduk 4. PDRB sektor non pert. riil t-1 5. Total penerimaan daerah riil 6. Belanja untuk sektor non
pertanian riil t-1 7. Dummy variable
-19.4428 1.796023 -37.8085 -0.00162 0.395468
0.146519 -103.585
-0.17 3.25
-4.18 -1.13
16.64
2.53 -1.14
0.8632 0.0014 <.0001 0.2580 <.0001
0.0124 0.2541
0.059581 -0.15426 -0.04024 1.016741
0.06981
-0.18074 -0.04715 1.191288
Durbin-Watson R-Square
1.581079 0.91635
F-Hitung Prob>F
314.05 <.0001
Sumber: Hasil olah data
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 197 - 208
204
Pengaruh jumlah penduduk terhadap belanja pemerintah daerah untuk sektor nonpertanian,
negatif dan signifikan. Diduga hal ini dikarenakan pemerintah daerah berpendapat bahwa ketika jumlah
penduduk meningkat maka partisipasi masyarakat terhadap pembangunan daerah juga meningkat.
Sedangkan PDRB sektor non-pertanian tahun sebelumnya yang berpengaruh negatif dan tidak
signifikan, serta total penerimaan daerah dan belanja pemerintah daerah untuk sektor nonpertanian
tahun sebelumnya yang berpengaruh positif dan signifikan menunjukkan bahwa penetapan jumlah
belanja pemerintah daerah untuk sektor nonpertanian kurang didasarkan pada kebutuhan
pembangunan sektor tersebut, tetapi lebih ditentukan oleh total penerimaan daerah dan kebiasaan atau
rutinitas penyusunan anggaran kegiatan dan program.
Dummy variable berpengaruh negatif dan tidak signifikan merupakan bukti bahwa pemerintah
daerah PDRB sektor pertanian rendah tidak memberikan alokasi belanja untuk sektor non pertanian
yang berlebih dibanding pemerintah daerah PDRB sektor pertanian tinggi.
4.2. Perilaku Investasi Privat
4.2.1. Persamaan Investasi Privat Sektor Pertanian
Belanja pemerintah yang langsung terkait dengan kegiatan dan program berpengaruh positif dan
signifikan terhadap investasi privat sektor pertanian, yang berarti bahwa semakin besar belanja
pemerintah yang langsung terkait dengan kegiatan dan program maka investasi privat sektor pertanian
semakin meningkat, sesuai hasil studi Barro (1990) yang menyimpulkan bahwa pengeluaran
pemerintah untuk konsumsi berpengaruh negatif, sedang pengeluaran pemerintah untuk productive
service berpengaruh positif terhadap investasi dan pertumbuhan.
Tingkat suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan pada α = 0.15 terhadap investasi privat
sektor pertanian dapat diartikan bahwa investor sektor pertanian bertindak secara rasional, yaitu
dengan mempertimbangkan Net Present Value Discounted dalam berinvestasi. Selain faktor tingkat suku
bunga, faktor teknis, sosial budaya, ekonomi, politik dan kemanan pada suatu daerah juga menjadi
pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya pada sektor pertanian.
Kegiatan pertanian akan membutuhkan media lahan yang relatif lebih luas dibanding dengan
kegiatan sektor non pertanian. Dengan demikian diduga bahwa pada daerah-daerah yang memiliki
wilayah yang lebih luas akan banyak masuk investasi sektor pertanian. Tetapi dari hasil estimasi
parameter menunjukkan bahwa variabel luas wilayah berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap
investasi sektor pertanian. Hal ini diduga disebabkan oleh kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana
di daerah yang memiliki wilayah lebih luas tersebut. Jumlah penduduk berpengaruh negatif dan tidak
signifikan menunjukkan bahwa investasi sektor pertanian yang dilakukan dalam bentuk estate dan tidak
padat karya.
Investasi privat sektor pertanian tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan, berarti
bahwa kegiatan investasi privat sektor pertanian dilakukan terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu
yang sebelumnya terdapat investasi sektor pertanian. Hasil estimasi menunjukkan bahwa dummy
variable berpengaruh positif dan tidak signifikan, yang berarti bahwa nilai investasi privat sektor
pertanian di daerah PDRB sektor pertanian tinggi relatif sama dengan di daerah PDRB sektor pertanian
rendah. Hal ini diduga disebabkan oleh kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana di daerah PDRB
sektor pertanian tinggi.
Performa Belanja Pemerintah ... (Budiyanto., et al.)
205
Tabel 4.2. Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas Variabel Persamaan Struktural Investasi Privat Tahun 2003 – 2011
Variabel Parameter t -hit Prob. t Elastisitas
Jgk.Pendek Jgk.Panjang Investasi Privat Sektor Pertanian 1. Intersep -229.568 -1.41 0.1610 2. Belanja utk sektor pertani
riil 0.147541 0.40 0.6863 0.1804 0.3004
3. Persen belanja langsung 8.949208 2.34 0.0204 2.0255 3.3721 4. Tingkat suku bunga riil -11.1190 -1.48 0.1410 -0.3654 -0.6084 5. Luas wilayah -0.19288 -0.55 0.5860 -0.0797 -0.1326 6. Jumlah penduduk -0.68649 -0.17 0.8613 -0.0349 -0.0580 7. Invest sektor pertani riil
t-1 0.399322 5.75 <.0001
8. Dummy variable 11.63694 0.21 0.8341 Durbin-Watson 1.87633 F-Hitung 9.02 R-Square 0.26962 Prob>F <0.0001
Investasi Privat Sektor Non Pertanian 1. Intersep -918.338 -1.68 0.0940 2. Belanja utk sektor non
pert riil 0.446895 2.31 0.0220 0.6830 1.0982
3. Tingkat suku bunga riil -71.9691 -1.45 0.1482 -0.2904 -0.4669 4. Jumlah penduduk 118.3737 4.44 <.0001 0.7381 1.1866 5. Luas wilayah -1.03208 -0.43 0.6646 -0.0523 -0.0841 6. Invest asi sektor non
pertanian riil t-1
0.378087
6.38
<.0001
7. Dummy variable 356.0635 0.95 0.3446 Durbin-Watson 1.949241 F-Hitung 69.38 R-Square 0.70762 Prob>F <0.0001
Sumber: Hasil olah data
4.2.2. Persamaan Investasi Sektor Non Pertanian
Investasi privat sektor non pertanian memberikan respon positif terhadap belanja pemerintah
daerah untuk sektor non-pertanian. Hal ini sesuai dengan pendapat nontradisional yang mengemukakan
bahwa belanja pemerintah dapat menstimulasi investasi. Investasi privat banyak masuk ketika
sumberdaya ekonomi un-and under employed, yang mana hal itu biasa terjadi di banyak negara
berkembang.
Sebagaimana pada persamaan investasi privat sektor pertanian, tingkat suku bunga juga
berpengaruh negatif dan signifikan pada α = 0.20 terhadap investasi privat sektor non-pertanin. Jumlah
penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap investasi privat sektor non-pertanian
dikarenakan pada daerah yang padat penduduknya tersedia tenaga kerja murah, infrastruktur yang
mencukupi dan pangsa pasar yang besar. Dengan demikian, investor sektor non pertanian akan lebih
tertarik untuk menanamkan modalnya pada daerah-daerah yang memiliki jumlah penduduk besar.
Daerah-daerah dengan PDRB sektor pertanian tinggi memiliki wilayah rata-rata lebih luas dengan
ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai. Dengan demikian, seharusnya variabel luas wilayah
dan dummy variable berpengaruh negatif terhadap investasi sektor non-pertanian, tetapi hasil estimasi
menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut berpengaruh tidak signifikan. Hal ini diduga karena
investasi privat sektor non-pertanian dilakukan dominan di beberapa daerah tertentu, seperti Provinsi
Jawa Barat, Riau dan Jawa Timur. Dugaan tersebut didukung oleh pengaruh Invetasi sektor non
pertanian tahun sebelumnya yang berpengaruh positif dan signifikan, yang mana investasi privat sektor
non pertanian akan semakin meningkat pada suatu daerah tertentu.
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 197 - 208
206
4.3. Perilaku Kesempatan Kerja
4.3.1. Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Diharapkan, dengan meningkatnya investasi privat sektor pertanian maka akan meningkatkan
penggunaan tenaga kerja, tetapi hasil estimasi menunjukkan bahwa investasi sektor pertanian
berpengaruh tidak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Hal ini diduga karena investasi sektor
pertanian merupakan investasi skala besar yang berbentuk estate sehingga tidak labour intensive (sesuai
hasil kajian Priyarsono, 2011).
Ketika upah naik maka permintaan terhadap tenaga kerja akan turun sehingga upah berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian. Belanja pemerintah untuk
sektor pertanian berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, yang berarti
bahwa semakin meningkat belanja pemerintah untuk sektor pertanian maka penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian semakin besar. Hal ini sesuai hasil kajian World Bank (2009) yang menunjukkan
bahwa, kecuali untuk subsidi input privat, belanja pemerintah untuk sektor pertanian berdampak positif
terhadap pertumbuhan output dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Sedang subsidi input pertanian
(misal: pupuk, benih) berdampak negaif.
Dummy variable berpengaruh tidak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian
berarti bahwa jumlah penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di daerah PDRB sektor pertanian tinggi,
tidak lebih besar dibanding dengan di daerah PDRB sektor pertanian rendah. Hal ini diduga karena sub-
sektor pertanian yang berkembang di daerah PDRB sektor pertanian tinggi adalah sub-sektor
perkebunan yang padat modal.
4.3.2. Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Non Pertanian
Penyerapan tenaga kerja sektor non-pertanian memberikan respon positif dan signifikan terhadap
investasi privat sektor non-pertanian, belanja-pemerintah daerah untuk sektor non-pertanian, dan
jumlah tenaga kerja sektor non pertanian tahun sebelumnya, serta memberikan respon negatif dan
signifikan terhadap rerata upah tenaga kerja. Hal tersebut sesuai dengan harapan bahwa jika belanja
pemerintah untuk sektor non-pertanian ditingkatkan maka akan menyebabkan peningkatan penyerapan
tenaga kerja secara langsung, dan secara tidak langsung melalui peningkatan investasi privat.
Dummy variable berpengaruh positif dan tidak signifikan dapat diartikan bahwa penyerapan
tenaga kerja sektor non-pertanian di daerah PDRB sektor pertanian rendah, tidak lebih besar dibanding
dengan di daerah PDRB sektor pertanian tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa perkembangan sektor
non-pertanian di daerah PDRB sektor pertanian rendah tidak signifikan dalam peningkatan penyerapan
tenaga kerja. Atau dengan kata lain, sektor non-pertanian yang berkembang di daerah PDRB sektor
pertanian rendah merupakan sektor non-pertanian yang padat modal.
Tabel 4.3. Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas Variabel Persamaan Struktural Kesempatan Kerja Tahun 2003 – 2011
Variabel Parameter
t –hit Prob. t Elastisitas
Jgk.Pendek Jgk.Panjang
Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian 1. Intersep 459.3270 1.73 0.0846 2. Persen invstasi sektor pert
riil 0.09171 0.04 0.9707 0.0015 0.0046
3. Upah ten kerja pertanian riil -2.45954 -3.79 0.0002 -0.4356 -1.3512 4. Belanja utk sektor pertani riil 3.855386 5.82 <.0001 0.5061 1.5696
5. Tenaga kerja pertanian t-1 0.677601 14.73 <.0001 6. Dummy variable 0.172378 0.00 0.9990
Performa Belanja Pemerintah ... (Budiyanto., et al.)
207
Durbin-Watson 1.553754 F-Hitung 174.34 R-Square 0.83440 Prob>F <.0001
Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Non Pertanian 1. Intersep 1986.900 3.69 0.0003 2. Investasi non pertanian riil 0.387506 8.38 <.0001 0.2386 0.4683 3. Rerata upah tenaga kerja riil -4.26621 -5.11 <.0001 -0.8661 -1.6997 4. Belanja utk sektor non
pertani 0.401557 4.70 <.0001 0.3779 0.7416
5. Ten kerja sektor non pertan t-1
0.490440 11.55 <.0001
6. Dummy variable 23.08581 0.11 0.9153 Durbin-Watson 1.249587 F-Hitung 340.11 R-Square 0.90766 Prob>F <0.0001
Sumber: Hasil olah data
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1. Kesimpulan
Belanja pemerintah mempunyai peran strategis dalam perekonomian. Terbukti dari hasil studi ini
menunjukkan bahwa semakin besar jumlah belanja pemerintah daerah yang langsung terkait dengan
kegiatan dan program, utamanya belanja daerah untuk sektor pertanian, maka investasi privat sektor
pertanian semakin meningkat. Selan itu, Belanja pemerintah daerah berdampak signifikan pada
penyerapan tenaga kerja di semua sektor perekonomian. Belanja pemerintah daerah berdampak
signifikan pada penyerapan tenaga kerja di semua sektor perekonomian. Oleh karena itu, besaran dan
struktur alokasi belanja pemerintah daerah seharusnya ditetapkan secara tepat sesuai kebutuhan
pembangunan dan potensi daerah. Tetapi berdasarkan hasil estimasi parameter dapat disampaikan
bahwa penetapan besaran belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian maupun non-pertanian,
baik di daerah PDRB sektor pertanian tinggi maupun rendah, lebih didasarkan pada kegiatan atau
program tahun sebelumnya.
Selain belanja pemerintah, investasi privat juga diperlukan untuk menunjang pertumbuhan
ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Namun demikian, karena jenis investasi privat sektor
pertanian merupakan investasi skala besar.yang labour intensive maka investasi privat sektor pertanian
kurang menciptakan lapangan kerja baru. Disamping itu, investasi privat di Indonesia terkonsentrasi
pada daerah-daerah yang ketersediaan infrastrukturnya memadai. 5.2. Rekomendasi Kebijakan
Mengingat peran belanja pemerintah daerah, maka pemerintah daerah sebaiknya lebih
meningkatkan belanja daerah yang langsung terkait dengan program dan kegiatan, dengan mengurangi
belanja daerah yang tidak langsung terkait dengan program dan kegiatan. Khususnya pada daerah PDRB
sektor pertanian tinggi, sebaiknya pemerintah daerah mengalokasikan belanja daerah untuk
meningkatkan ketersediaan infrastruktur daerah guna menarik investasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, H. dan S.M. Miller. (2000). Crowding-out and Crowding-in Effects of The Components of Government Expenditure. Contemporary Economic Policy, 18(1): 124-133
Barro, R.J. (1990). Government Spending in a Simple Model of Endogenous Growth. Journal of Political Economy, 98: 103-125
Hayami, Y and V.W. Ruttan. (1981). Agricultural Development: An International Perspective. Baltimore: The John Hopkins Press.
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 197 - 208
208
Kaldor, N. (1966). Causes of the Slow Rate of Economic Growth of the United Kingdom: an Inaugural Lecture. Cambridge: Cambridge University Press.
Koutsoyiannis, A. (1982). Modern Microeconomics. Second Edition. Univercity of Waterloo, Ontario. Hongkong: The Macmillan Press LTD.
Liu, L.C; C.E. Hsu and M.Z. Younis. (2008). The Association Between Government Expenditure and Economic Growth: Granger Causality Test of US Data, 1947-2002. Journal of Public Budgeting Accounting & Financial Management, 20(4): 537-553
Mellor, JW. (1995). Agriculture on the Road to Industrialization. Baltimore and London: The John Hopkins University Press.
Musgrave, R.A. and B.M. Peggy. (1989). Public Finance in Theory and Practice. New York: McGraw-Hill Book Company.
Priyarsono, D.S. (2011). Dari Pertanian ke Indunstri, Analisis Pembangunan dalam Perspektif Ekonomi Regional. Bogor: IPB Press.
Stiglitz. J.E. (2000). Economics of the Public Sector. New York: W.W. Norton and Company.
Todaro, M.P. (2000). Economic Development. Seventh Edition. New York: Addision Wesley Longman. Inc.
Tulsidharan, S. (2006). Government Expendinture and Economic Growth in India (1960 to 2000). Finance India, 20(1): 169-179
Wang, B. (2005). Effects of Government Expendinture on Private Investment: Canadian Empirical Evidence. Empirical Economics. 30: 493-504
World Bank. (2009). Indonesia Agriculture Public Expenditure Review - Indonesia Agriculture Public and Growth. Policy Notes. The World Bank Office Jakarta.
Kaj. Eko. & Keu.
Vol. 18 No. 3 Desember
2014 Halaman : 181 - 254
Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia
Performa Belanja Pemerintah Daerah, Investasi Privat dan Kesempatan Kerja di Indonesia
Efektivitas Kebijakan Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi di Jawa-Bali
Income Inequality : Education as The Panacea
Dampak Bea Keluar terhadap Ekspor CPO Indonesia
No. Akreditasi : 467/AU3/P2MI-LIPI/08/2012
Vol 18 No 3, Desember 2014
[
T
y
p
e
a
q
u
o
t
e
f
r
o
m
t
h
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PEMBATASAN KONSUMSI BBM BERSUBSIDI DI JAWA-BALI
The Effectiveness of Control Policy of Subsidized Fuel Consumption in Java-Bali
Praptono Djunedi Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Jln. Dr. Wahidin No. 1, Jakarta Pusat 10710, DKI Jakarta, Indonesia Email: [email protected]
Naskah diterima: 17 September 2014 Naskah direvisi: 30 November 2014
Disetujui diterbitkan: 3 Desember 2014
ABSTRACT
It has been more than three decades that the government provided subsidized fuel. The cheap fuel price
leads to consumption of the fuel increase. Although the government has implemented some policies, subsidy
on fuel remains hike in the budget. Therefore, by issuing MEMR Regulation on Control of Fuel Consumption,
the government implement control policy of subsidized fuel consumption on official vehicles and others. The
goals of the policy are to control of the subsidy through reducing the use of low-quality fuel (RON 88). Refer to
the above illustration, this paper aims to describe the effectiveness of the policy and to propose policy
recommendations to be effective. To measure effectiveness of the policy, this paper uses paired t test. The tool
to know whether a significant difference on subsidized and non subsidized fuel sales between before and after
the policy implemented. Based on the results, it can be concluded that the policy is not effective. To be
effective, it is proposed as follows (1) there is adequate fuel cost allocation for each official vehicle, (2)
optimization of the vehicle’s benefit, (3) the policy needs strong monitoring system, and (4) there is sanction
for those who violate the policy.
Keywords: control, consumption, subsidized fuel, subsidy on fuel
ABSTRAK
Lebih dari tiga dasawarsa kewajiban penyediaan dan pendistribusian BBM bersubsidi. Rendahnya
harga BBM bersubsidi menyebabkan konsumsi BBM bersubsidi meningkat. Walaupun pemerintah telah
melakukan variasi kebijakan, subsidi BBM dalam APBN tetap meningkat. Oleh karena itu, dengan terbitnya
Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2013, pemerintah memutuskan untuk menerapkan kebijakan
pembatasan konsumsi BBM bersubsidi pada kendaraan dinas dan jenis kendaraan lainnya. Tujuan
kebijakan ini terutama untuk mengendalikan subsidi BBM dan mengurangi penggunaan BBM berkualitas
rendah (RON 88). Berdasarkan paparan di atas, kajian ini bertujuan untuk menjelaskan efektivitas
kebijakan tersebut dan mengajukan beberapa rekomendasi kebijakan. Ada dua indikator untuk mengukur
efektivitas kebijakan yaitu (1) respon kebijakan, dan (2) jumlah penjualan BBM nonsubsidi. Dari
penjelasan dua indikator tersebut disimpulkan bahwa kebijakan pembatasan konsumsi tidak efektif. Agar
kebijakan ini efektif maka diusulkan agar (1) ada alokasi biaya BBM secara memadai bagi setiap kendaraan
dinas, (2) optimalisasi nilai manfaat kendaraan dinas, (3) perlu memperkuat sistem monitoring, dan (4)
sanksi (administratif atau bentuk lainnya) bagi yang melanggar kebijakan pembatasan konsumsi ini.
Kata Kunci: BBM bersubsidi, konsumsi, pembatasan, subsidi BBM
JEL: H200
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228
210
I. PENDAHULUAN
Konsumsi BBM bersubsidi yang disalurkan ke masyarakat semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Naiknya konsumsi tersebut ternyata belum diimbangi dengan terdistribusinya BBM bersubsidi
secara proporsional ke masyarakat. Berdasarkan data kementerian ESDM, pengguna BBM bersubsidi
dikelompokkan menjadi transportasi darat, transportasi air, perikanan, usaha kecil dan rumah tangga.
Dari penggolongan tersebut, transportasi darat sangat mendominasi konsumsi BBM bersubsidi, yakni
97,33 persen. Di sektor transportasi darat, konsumsi BBM bersubsidi terbesar di Jawa Bali (59,64
persen), sedangkan di Sumatera 24,22 persen, Kalimantan 7,19 persen, dan sisanya untuk kawasan
Indonesia timur. Dari sisi pendapatan masyarakat, 25 persen rumah tangga berpenghasilan tinggi
menikmati alokasi subsidi sebesar 77 persen, sedangkan 25 persen rumah tangga berpenghasilan
terendah hanya menerima subsidi sekitar 15 persen (Legowo, 2012). Temuan terkait subsidi BBM yang
tidak tepat sasaran juga dinyatakan oleh Ikhsan et al (2005:16).
Ada dua parameter untuk mengukur tingkat pemborosan energi di suatu negara yaitu elastisitas
energi dan intensitas energi. Angka elastisitas energi di Indonesia tergolong cukup boros, yakni sebesar
2,17. Angka ini berarti bahwa setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen maka
konsumsi energi akan meningkat sebesar 2,17 persen (negara maju sekitar 0,55 s.d. 0,65). Angka
intensitas energi Indonesia juga menunjukkan angka yang relatif tinggi yakni mencapai 482 TOE (tonne
of oil equivalent) per juta USD. Angka ini bermakna bahwa setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi
sebesar USD1 juta, konsumsi energi yang dibutuhkan sebesar 482 TOE (negara OECD 164 TOE/juta
USD).1
Di sisi lain, harga minyak (crude oil) rata-rata dalam beberapa tahun terakhir berada di atas
USD100 per barel. Kombinasi antara tingginya konsumsi BBM bersubsidi dan tingginya harga minyak
menyebabkan alokasi subsidi BBM dalam APBN cenderung terus meningkat. Selama tiga dekade ini,
peningkatan dana subsidi BBM telah mencapai hampir 200 kali (tahun 1984/1985 Rp1,1 triliun dan
tahun 2013 Rp210 triliun).
Berbagai upaya pengendalian subsidi BBM telah dilakukan pemerintah. Cara yang telah dilakukan
diantaranya adalah pengurangan jumlah jenis BBM bersubsidi (tahun 1986 ada delapan jenis dan sejak
tahun 2005 hanya tiga jenis), konversi minyak tanah ke tabung elpiji tiga kilogram, dan kenaikan harga
BBM bersubsidi. Program konversi minyak tanah ke elpiji tiga kilogram, walaupun dinilai cukup berhasil
tetapi hingga kini ada sebagian daerah yang masih menggunakan minyak tanah. Terkait kebijakan
kenaikan harga, terakhir kali pemerintah melakukannya pada tahun 2013 walaupun terkadang muncul
penolakan dari DPR. Menurut Ikhsan et al (2005), walaupun kenaikan harga BBM secara ekonomi teknis
sangat valid, tetapi proses ini tidak mudah dilakukan dari sisi politik. Argumentasi politik yang sering
mengemuka adalah bahwa proses kenaikan harga ini ditumpangi oleh kepentingan politik lain. Kejadian
seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di semua negara berkembang yang menganut
pola intervensi harga.
Selanjutnya, dalam rangka pengendalian subsidi BBM, pemerintah memilih melakukan kebijakan
pembatasan konsumsi BBM bersubsidi (selanjutnya disebut “kebijakan pembatasan konsumsi”). Dalam
Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2012 yang dilanjutkan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun
2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak, kebijakan pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi diterapkan pada kendaraan dinas dan jenis kendaraan lainnya. Terkait dengan hal itu,
muncul beberapa pertanyaan yakni (1) bagaimana efektivitas pelaksanaan kebijakan pembatasan
konsumsi tersebut, dan (2) rekomendasi apa yang diusulkan agar kebijakan pembatasan konsumsi
1 Nilai itu merupakan nila rata-rata elastisitas energi di Indonesia pada periode 1995 – 2008. Lihat Elinur et al, 2010. Menurut
Abdullah (2010), 1 TOE adalah massa suatu sumber energi primer yang kandungan energinya setara dengan kalori dari hasil
pembakaran satu ton minyak mentah.
Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)
211
efektif untuk penghematan subsidi BBM. Kajian ini membatasi pembahasan hanya pada implementasi
kebijakan pembatasan konsumsi terhadap mobil dinas di Jawa dan Bali. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan (1) penerapan kebijakan dilakukan pada mobil dinas agar bisa menjadi teladan bagi
masyarakat dan untuk meningkatkan public trust apabila nantinya kebijakan pembatasan konsumsi
diberlakukan dalam skala yang lebih luas, (2) penerapan pada mobil dinas diasumsikan lebih mudah
dilakukan karena mobil tersebut dalam kontrol pemerintah, (3) Jawa Bali merupakan wilayah yang
mengonsumsi BBM bersubsidi terbesar (sekitar 60 persen, seperti dijelaskan di awal tulisan). Untuk
mengukur efektivitas kebijakan digunakan paired t test. Alat analisis ini untuk mengetahui apakah
terdapat perbedaan signifikan jumlah penjualan BBM bersubsidi dan non subsidi antara sebelum dan
sesudah kebijakan diterapkan. Selanjutnya, sistematika penulisan dalam kajian ini adalah sebagai
berikut: (1) pendahuluan, (2) tinjauan pustaka, (3) metodologi, (4) hasil analisis dan pembahasan, serta
diakhiri dengan (5) kesimpulan dan rekomendasi kebijakan. II. TINJAUAN PUSTAKA
Subsidi dapat didefinisikan sebagai pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan
atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau
mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara
ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran (Handoko dan
Patriadi, 2005). Salah satu jenis subsidi yang dialokasikan dalam APBN yaitu subsidi terhadap BBM.
Tujuan pemberian subsidi BBM adalah untuk menciptakan harga energi yang terjangkau bagi
masyarakat tidak mampu dan usaha mikro, dan menjaga daya beli masyarakat sehingga perekonomian
meningkat (Badan Kebijakan Fiskal, 2012:2).
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran,
Penghitungan, Pembayaran dan Pertanggungjawaban Subsidi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu
menyebutkan bahwa subsidi BBM dihitung berdasarkan perkalian antara subsidi BBM per liter dengan
volume BBM. Subsidi BBM per liter sendiri merupakan selisih kurang antara harga jual eceran BBM per
liter setelah dikurangi PPN dan PBBKB dengan harga patokan per liter.
Perhitungan subsidi BBM dapat diformulasikan sebagai berikut:
SH = SHL x Vol
SHL = ((HJE – PPN – PBBKB)- HP) Keterangan:
SH = subsidi harga
SHL = subsidi harga per liter
HJE = harga jual eceran
PPN = pajak pertambahan nilai
PBBKB = pajak bahan bakar kendaraan bermotor
HP = harga patokan (meliputi MOPS, margin dan biaya distribusi)
Vol = volume BBM bersubsidi
Dari ketiga persamaan di atas, dapat diketahui bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi
besaran subsidi BBM meliputi harga jual eceran, tarif PPN, tarif PBBKB, harga patokan dan volume BBM
bersubsidi. Karena MOPS (dalam harga patokan) berdenominasi USD maka variabel kurs Rp/USD juga
berperan mempengaruhi besaran subsidi BBM. Kecuali MOPS, variabel-variabel yang mempengaruhi
subsidi BBM tersebut besarannya ditetapkan oleh pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR.
Volume permintaan BBM bersubsidi merupakan permintaan turunan (derived demand) dari
permintaan barang/jasa. Hal ini wajar karena energi BBM diperlukan dalam proses produksi
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228
212
barang/jasa (Badan Kebijakan Fiskal, 2012:14). Apabila harga BBM bersubsidi dinaikkan, dampaknya
terhadap perekonomian adalah meningkatkan biaya produksi dan distribusi, yang berujung pada
meningkatnya harga barang dan jasa (Badan Kebijakan Fiskal, 2012:25).
Menurut Ikhsan et al (2005), terdapat dua argumen atas kenaikan harga BBM yaitu alasan jangka
pendek dan alasan jangka panjang. Alasan jangka pendek meliputi (1) tingginya disparitas harga BBM
dalam negeri dan luar negeri, (2) disparitas tersebut menyebabkan subsidi BBM meningkat, (3)
kenaikan harga BBM dilakukan di banyak negara, (4) rendahnya harga domestik mendorong tingginya
tingkat konsumsi, (5) faktor keadilan, serta (6) kenaikan harga BBM memungkinkan alokasi yang lebih
banyak untuk penanggulangan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur. Sedangkan alasan jangka
panjang adalah (1) koreksi terhadap harga BBM agar terjadi efisiensi penggunaan energi, dan (2)
berkurangnya penggunaan BBM akan mendorong penggunaan energi yang ramah lingkungan. Kajian
terkait kenaikan harga BBM bisa juga dibaca pada Oktaviani dan Sahara (2005).
Apabila harga BBM bersubsidi ditetapkan lebih rendah daripada harga keekonomiannya2 maka
dapat mendorong penjualan BBM bersubsidi lebih besar daripada yang diperlukan masyarakat. Hal itu
terjadi karena (1) murahnya harga BBM bersubsidi mendorong masyarakat menggunakan BBM
bersubsidi secara tidak efisien, (2) disparitas harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi dapat meningkatkan
penyelewengan BBM bersubsidi kepada pengguna yang tidak berhak, dan (3) disparitas harga BBM
bersubsidi dengan harga BBM di luar negeri menjadi insentif terjadinya penyelundupan (Badan
Kebijakan Fiskal, 2012:11).
Menurut Nugroho (www.bappenas.go.id), masalah yang mendasar pada subsidi BBM adalah pola
konsumsi energi itu sendiri. Pola konsumsi energi tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) terlalu
tergantung pada BBM, (2) konsumsi tidak mencerminkan kekayaan sumber daya energi yang dimiliki,
dan (3) sangat terlambat mengembangkan sumber energi nonBBM. Oleh karena itu, langkah efisiensi
untuk mengurangi ketergantungan BBM yaitu (1) meningkatkan efisiensi pemakaian BBM sektor
transportasi dengan memaksa berlakunya sistem transportasi yang efisien terhadap konsumsi energi
(yang berarti lebih sehat secara lingkungan), (2) menggantikan pemakaian solar di pembangkit listrik
tenaga diesel (PLTD) dengan pembangkit listrik berbasis energi setempat, (3) mengganti pemakaian
minyak tanah dengan mengembangkan briket batubara, LPG dalam tabung kecil dan lainnya, (4)
menerapkan strategi pendanaan untuk peningkatan efisiensi, rehabilitasi, substitusi BBM dan
diversifikasi energi, serta (5) menerapkan harga BBM yang lebih mahal dibandingkan dengan yang
dipraktekkan sekarang. Karena besaran subsidi BBM telah berkembang melampaui pendapatan ekspor
minyak bumi maka diusulkan untuk dihapus secara bertahap. Wacana penghapusan subsidi BBM ini juga
dikemukakan oleh Ikhsan et al (2005), dan Whitley (2013).
Apabila permintaan BBM bersubsidi dilakukan pembatasan, diduga akan menurunkan
kesejahteraan pengguna dan menimbulkan gejolak sosial (Badan Kebijakan Fiskal, 2012:15). Masih
terkait dengan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, Handajani (2012) melakukan penelitian yang
bertujuan menganalisis hubungan sistem transportasi terhadap konsumsi BBM dengan menggunakan
multivariable analysis. Lokasi penelitian adalah 13 kota sedang di Jawa, meliputi Jawa barat (Sukabumi
dan Cirebon), Jawa tengah (Pekalongan, Tegal, Magelang, Salatiga), Jawa timur (Kediri, Pasuruan,
Probolinggo, Mojokerto, Blitar dan Madiun) serta Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan variabel
sistem transportasi kota yang berpengaruh kuat terhadap konsumsi BBM adalah jumlah penduduk,
mobil penumpang umum, dan mobil penumpang pribadi. Jumlah penduduk memiliki pengaruh sangat
kuat terhadap konsumsi BBM total, sedangkan mobil penumpang pribadi dan mobil penumpang umum
2 Harga keekonomian bisa diasumsikan sama dengan harga patokan yang masuk dalam formula subsidi BBM.
Pengertian harga patokan adalah harga yang dihitung setiap bulan berdasarkan harga indeks pasar BBM dan/atau harga
indeks pasar BBN rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya ditambah biaya distribusi dan margin.
Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)
213
berpengaruh terhadap konsumsi BBM premium. Handajani merekomendasikan perlunya pengendalian
konsumsi BBM dengan cara memperpendek panjang perjalanan orang dan barang. Beberapa langkah
yang perlu ditempuh yaitu penataan land use, peningkatan potensi kota, mengurangi jumlah kendaraan
pribadi dan meningkatkan pelayanan angkutan umum. Kajian lain tentang pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi bisa dilihat pada Layli (2012).
Di India, pemerintah telah mencoba beberapa strategi reformasi atas minyak tanah/kerosene
bersubsidi, diantaranya dengan sistem kupon dan kartu pintar (smart card). Pelaksanaan sistem kupon
ini dilatarbelakangi adanya temuan the Mysore Consumer Council dimana lebih dari 30 persen kerosene
yang dijual di Mysore telah dialihkan ke pasar gelap untuk dicampur dengan produk-produk yang
bernilai tinggi. Terhadap temuan tersebut, lembaga ini merekomendasikan ke pemerintah daerah agar
suplai kerosene bersubsidi dilakukan melalui sistem kupon. Sistem kupon ini dilaksanakan dengan
mekanisme sebagai berikut: (1) pada awal bulan, setiap penerima manfaat diberi kupon untuk membeli
kerosene dengan kuota tertentu; (2) agen/dealer hanya menjual kerosene kepada para pembawa kupon;
(3) pada bulan berikutnya, dealer akan dipasok kerosene berdasarkan jumlah kupon yang terkumpul.
Jika dealer menjual ke pasar gelap atau pembeli non kupon, pasokan kerosene akan dikurangi dan
dipasok sesuai dengan jumlah kupon yang diterima. Hasil evaluasi menunjukkan konsumen tidak perlu
antri panjang untuk memperoleh kerosene. Sebaliknya, dealer keberatan dengan pelaksanaan sistem ini
karena harus menunggu konsumen untuk mengumpulkan kupon dan menukarkan kupon dengan uang
sebelum pengisian kembali (replenish) pasokan kerosene di bulan berikutnya. Walaupun ide ini diterima
oleh pemerintah dan beberapa politisi yang progresif, tetapi ada resistensi atas implementasi ini.
Bagaimana pun, implementasi ini dinilai sukses di beberapa wilayah di provinsi (state) Karnataka.
Setelah beberapa bulan, dengan adanya suksesi dan lobi kuat dari pedagang kerosene serta para politisi,
sistem kupon ini secara perlahan dihentikan. Kemudian, terkait dengan implementasi smart cards, pada
tahun 2005 the Planning Commission of India merekomendasikan penggunaan smart card karena sistem
ini membantu monitoring distribusi kerosene dengan lebih baik. Tahun 2007, Menteri Perminyakan India
memutuskan pelaksanaan sistem smart cards diujicoba di tiga provinsi yaitu Bihar, Maharastra, dan
Uttaranchal. Namun, ketiga provinsi menolak tawaran itu sehingga rencana tersebut dihentikan. Ini
sebuah contoh bagaimana kelompok politik menentang setiap sistem yang akan mengurangi
penyimpangan penggunaan kerosene (Shenoy, 2010: 11-12).
Di Malaysia, solar dijual dengan harga subsidi dan harga keekonomian. Penerapan sistem harga
dua tingkat (two-tier) ini mendorong pembelian solar secara signifikan pada harga subsidi oleh
konsumen nonkelompok target subsidi. Guna meredam aktivitas ilegal tersebut, pemerintah
meluncurkan skema subsidi e-diesel untuk nelayan dengan menggunakan smart card sehingga
pembelian unqualified solar bersubsidi lebih dipersulit. Skema ini menetapkan kuota bulanan sesuai
ukuran kapal dan memungkinkan nelayan membeli solar seharga MYR1 per liter dari outlet pengguna
sistem smart card. Pada setiap transaksi pembelian solar akan tercetak nama pemilik kapal, nomor
registrasi kapal, dan kuota bulanan. Di sisi lain, sistem fleet cards juga diperkenalkan kepada operator
angkutan umum yang berhak atas subsidi diesel. Para operator yang disahkan oleh Ministry of Domestic
Trade and Domestic Affairs berhak atas diskon 15 sen (USD0.05) per liter ketika membeli menggunakan
fleet cards. Setiap kategori kendaraan punya kuota bulanan, 570 liter untuk bus sekolah, 720 liter untuk
taxi dan 2.280 liter untuk bus (The International Institute for Sustainable Development, 2013: 11). Namun
demikian, keberhasilan penerapan smart cards di Malaysia sangat terbatas (Yemstov, 2011).
Di Iran, pemerintah meluncurkan smart fuel system untuk melakukan penjatahan bensin, solar
(gasoil) dan CNG tidak dilakukan penjatahan. Ada dua alasan dilakukannya penjatahan bensin yaitu (1)
pertumbuhan konsumsi bensin yang meningkat 100 persen per 15 tahun, dan (2) jumlah produksi
bensin yang lebih rendah daripada kebutuhannya sehingga perlu impor. Pelaksanaan smart fuel system
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228
214
diawali ketika pada tahun 1999, terjadi penyelundupan BBM di provinsi Sistan Balouchestan. Akhirnya
diputuskan untuk mencari solusi yang bisa mengakhiri penyelundupan itu. Terkait dengan hal itu, ada
ide untuk uji coba smart fuel system di dua kota (Zahedan dan Mirjaveh) dalam provinsi tersebut. Setelah
sekitar 50 ribu kartu didistribusikan, dilakukan pembatasan yang ketat untuk pengisian bahan bakar.
Salah satu pembatasan itu adalah menetapkan hari tertentu bagi kendaraan yang boleh dijalankan
berdasarkan plat nomor ganjil dan genap. Setelah uji coba terbukti sukses untuk meredam
penyelundupan BBM, dilanjutkan ke level provinsi. Selanjutnya, dilakukan kajian mendetail tentang
penjatahan bensin dan berdasarkan kajian ini, parlemen mengesahkan regulasinya dan pemerintah
memperbaiki smart fuel distribution system. Setelah semua hal dalam kondisi siap, baru pemerintah
melakukan penjatahan bensin secara nasional. Manfaat dari implementasi smart fuel system ini
meliputi transportasi publik yang semakin membaik, pembuatan bank data kendaraan dan sepeda
motor yang selalu ter-update, pengelolaan (termasuk monitoring) konsumsi dan distribusi BBM sehingga
dapat mencegah penyelundupan, konservasi BBM dan lainnya. Selama enam tahun pelaksanaan smart
card (2007–2013), jumlah dana yang bisa dihemat lebih dari USD43 miliar karena tidak ada lagi impor.
Sedangkan nilai investasi proyek IT tersebut sekitar 1,5 triliun rial Iran (sekitar Rp700 miliar, 1 rial =
Rp0,45).3
III. METODOLOGI
3.1. Data dan Sumber Data
Data yang dipakai dalam kajian ini adalah data sekunder selama periode tahun 2008 sampai 2013.
Data yang dikumpulkan meliputi konsumsi BBM bersubsidi, Indonesia Crude Oil Price (ICP), subsidi BBM,
konsumsi BBM per jenis BBM bersubsidi, jumlah kendaraan bermotor, serta disparitas harga bensin
premium dan pertamax.
Tiga data pertama yang disebutkan di atas untuk menggambarkan hubungan konsumsi BBM
bersubsidi dan harga minyak terhadap besaran subsidi BBM. Data harga minyak diproksi dengan data
ICP. Data konsumsi BBM per jenis BBM bersubsidi untuk menggambarkan perkembangan konsumsi
bensin premium dan minyak solar. Data jumlah kendaraan dinas roda empat di Jawa Bali diproksi
dengan jumlah pejabat struktural eselon I sampai III dan jumlah PNS di Jawa Bali untuk mengetahui
jumlah kendaraan dinas di wilayah ini. Data diperoleh dari Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM,
Badan Pusat Statistik dan berbagai sumber lainnya.
3.2. Metode Analisis
Metode analisis yang dipakai adalah analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Efektivitas
kebijakan dilihat dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah kebijakan pembatasan
konsumsi diterapkan apakah jumlah konsumsi BBM subsidi dan nonsubsidi terjadi perbedaan signifikan
atau tidak. Dalam hal ini BBM nonsubsidi merupakan substitusi atas BBM bersubsidi. Alat analisis yang
digunakan adalah paired t test. Beberapa formula yang digunakan4 adalah:
Difference = var sesudah – var sebelum
rata-rata d = εd / n
Standar Deviasi = SQRT ( ε (d – rata-rata d)^2/(n-1))
3 Wawancara Shana, The Petroenergy Information Network, dengan Nasser Sajjadi, penemu smart fuel system di Iran, sebagai
Deputy Chief NIOPDC, 2013. Program pembatasan bensin ini dibarengi dengan konversi bensin ke CNG, tetapi konversi
tersebut tidak dibahas dalam tulisan ini. 4 Lihat Levin, R dan Rubin, D, 1998. Juga http://www.statstutor.ac.uk/resources/uploaded/paired-t-test.pdf
Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)
215
Standar Error = SD / SQRT(n)
T Hitung = rata-rata d / SE
T Tabel = (df, α)
BBM PSO:
H0 = tidak ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM PSO antara kondisi sebelum dan
sesudah kebijakan diterapkan.
H1 = ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM PSO antara kondisi sebelum dan
sesudah kebijakan diterapkan.
BBM Non PSO:
H0 = tidak ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM non PSO antara kondisi sebelum
dan sesudah kebijakan diterapkan
H1 = ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM non PSO antara kondisi sebelum dan
sesudah kebijakan diterapkan
Apabila hasil test menunjukkan bahwa terjadi perbedaan signifikan atas penjualan BBM bersubsidi
dan sebaliknya, tidak terjadi perbedaan signifikan atas penjualan BBM nonsubsidi maka kebijakan
pembatasan dinilai tidak efektif. Hasil analisis kuantitatif didukung dengan analisis kualitatif dari respon
pengguna kendaraan dinas untuk mengkonsumsi BBM nonsubsidi. Indikasi tersebut tampak pada (1)
apakah stiker “Mobil Ini Tidak Menggunakan BBM Bersubsidi” masih tertempel pada mobil dinas atau
tidak, dan (2) apakah terjadi hitamisasi pada plat merah mobil dinas atau tidak. Data dan penjelasan
respon kebijakan diperoleh dari wawancara dengan beberapa pengguna kendaraan dinas (eselon III)
dari instansi yang berbeda di lingkungan Kementerian Keuangan.
IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Profil Konsumsi BBM Bersubsidi dan Subsidi BBM
Dari Gambar 4.1 tampak bahwa besaran subsidi BBM tahun 2008 terealisasi sekitar Rp139,1
triliun, atau meningkat sebesar Rp55,3 triliun jika dibandingkan realisasi subsidi BBM tahun 2007
(Rp83,8 triliun). Tingginya peningkatan dana subsidi BBM ini disebabkan oleh tingginya harga minyak
dunia yang rata-rata USD97 per barel, terjadinya pelemahan kurs Rp/USD5 serta naiknya konsumsi BBM
bersubsidi (bensin premium dan minyak solar) sebesar 2,5 juta kilo liter (KL). Kondisi ini yang
mendasari munculnya wacana kebijakan pembatasan konsumsi.
Pada tahun 2009, realisasi subsidi BBM menurun sangat drastis. Setidaknya terdapat tiga faktor
yang mempengaruhi penurunan ini yaitu: (1) rendahnya harga minyak dunia yang rata-rata USD61,6 per
barel, (2) terjadinya penguatan kurs Rp/USD6, serta (3) menurunnya total konsumsi BBM bersubsidi
sebesar 1,3 juta KL yang disebabkan oleh menurunnya konsumsi minyak tanah bersubsidi terkait
pelaksanaan program konversi minyak tanah ke LPG tiga kilogram. Berkurangnya konsumsi minyak
tanah secara bertahap selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 4.2. Tampak pada Gambar 4.2 terjadi
pengurangan konsumsi minyak tanah bersubsidi yang tajam selama tiga tahun pertama (tahun 2007 s.d.
2010), tetapi pada tiga tahun berikutnya pengurangan konsumsi itu berlangsung agak lambat.
Dari Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 dapat diketahui bahwa sejak tahun 2010 sampai tahun 2012
konsumsi BBM bersubsidi (bensin premium dan minyak solar) secara konsisten mengalami kenaikan
rata-rata 3,5 juta KL per tahun. Naiknya konsumsi BBM bersubsidi tersebut serta meningkatnya harga
minyak menyebabkan alokasi subsidi BBM juga meningkat.
5 Kurs asumsi APBN Rp9.100/USD dan kurs realisasi Rp9.691/USD 6 Kurs asumsi APBN-P Rp10.500 dan kurs realisasi Rp10.408/USD
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228
216
Sumber: Kemenkeu, 2014, diolah
Gambar 4.1. Perkembangan Subsidi BBM (Rp T), Konsumsi BBM (Juta KL) dan ICP (USD/Barel).
Sumber: Kemenkeu, 2014, diolah
Gambar 4.2. Perkembangan Konsumsi Per Jenis BBM Bersubsidi (Juta KL).
Berdasarkan Gambar 4.3, besarnya konsumsi BBM bersubsidi (bensin premium dan minyak solar)
ternyata didominasi oleh sektor transportasi darat (96,7 persen). Sedangkan untuk sektor lainnya
disisakan kurang dari empat persen. Untuk transportasi laut porsinya hanya 2,36 persen, usaha kecil
0,46 persen, pemerintah 0,06 persen dan kereta api 0,38 persen. Khusus sektor kereta api, hanya sebagai
pengguna minyak solar bersubsidi. Konsumsi BBM bersubsidi di sektor transportasi laut merupakan
penjumlahan dari transportasi laut (1,59 persen), nelayan (0,7 persen) serta usaha perikanan (0,07
83.8
139.1
45
82.4
165.2
211.9210
35
40
45
50
20
70
120
170
220
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Juta
KL
Rp
Tri
liu
n /
USD
per
bar
Real Kons BBM Real Subsidi BBM Real ICP
17.9 19.5 21.2 22.925.5
28.1 29.3
9.8 7.9 4.7 2.31.7
1.7 1.1
10.9 11.812.0 13.0
14.5
15.5 16.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Premium Minyak Tanah Solar
Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)
217
persen). Dengan komposisi seperti di atas maka sektor yang perlu dielaborasi lebih lanjut yaitu sektor
transportasi darat.
Pada sektor transportasi darat, sebanyak 53 persen BBM bersubsidi dikonsumsi oleh mobil,
sedangkan konsumsi motor roda dua sebanyak 40 persen, mobil barang sebanyak empat persen dan
mobil umum sebanyak tiga persen.
Sumber: Legowo, 2012, diolah
Gambar 4.3. Komposisi Konsumsi Pengguna BBM Bersubsidi.
Dari Gambar 4.3 tampak bahwa bensin premium dikonsumsi oleh kendaraan mobil sebesar 53
persen. Apabila realisasi bensin premium diketahui sebesar 28,1 juta KL (lihat Gambar 4.2) dan jumlah
mobil di seluruh Indonesia sekitar 10,43 juta unit (BPS, 2013) maka jumlah konsumsi bensin premium
per mobil sekitar 3,9 liter per hari. Dari jumlah 10,43 juta unit tersebut, jumlah mobil di Jawa Bali
mencapai 6,26 juta unit (60 persen) dan sisanya berada di luar Jawa Bali. Sedangkan jumlah konsumsi
bensin premium per motor hanya 0,4 liter per hari yang dihasilkan dari cara perhitungan yang sama
(porsi 40 persen dan jumlah total 76,38 juta unit). Jika mobil merepresentasikan golongan mampu dan
motor mewakili golongan kurang mampu, maka kondisi yang timpang ini mengulangi ketimpangan
seperti sinyalemen Ikhsan et al (2005). Pola konsumsi seperti ini menjadi pendorong bagi pemerintah
untuk melakukan kebijakan pembatasan konsumsi. 4.2. Kebijakan Pembatasan Konsumsi
Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa timpangnya pola konsumsi BBM bersubsidi dan
tingginya harga minyak dunia mendorong munculnya wacana kebijakan pembatasan konsumsi.
Meningkatnya harga minyak dunia tampak tergambar pada semakin melebarnya disparitas harga BBM
bersubsidi dan BBM nonsubsidi (pertamax) pada pertengahan tahun 2008 (lihat Gambar 4.4).
Rendahnya harga BBM bersubsidi dapat mendorong tingginya tingkat konsumsi (Ikhsan et al, 2005),
bahkan mendorong masyarakat menggunakan BBM bersubsidi secara tidak efisien (Badan Kebijakan
Fiskal, 2012).
Pada saat itu, pemerintah mempunyai tiga opsi terkait wacana pembatasan konsumsi ini. Pertama,
pembatasan konsumsi BBM dilakukan dengan kartu pintar (smart card). Opsi kedua, melarang
kendaraan produksi di atas tahun 2000 mengkonsumsi BBM bersubsidi. Opsi ketiga, melarang
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228
218
kendaraan di atas 2.000 cc mengkonsumsi BBM bersubsidi. Terkait ketiga opsi itu, kendala yang
berpotensi muncul adalah faktor besarnya pendanaan pada pembuatan smart card dan sistem
aplikasinya, dan tidak adanya mekanisme pengawasan yang efektif bagi petugas SPBU untuk memeriksa
setiap kendaraan yang antri di SPBU terhadap dua opsi terakhir. Karena berbagai kendala di atas, maka
pemerintah mengusulkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Usulan ini dinilai lebih efektif untuk
mengendalikan subsidi BBM sehingga memperoleh persetujuan DPR. Harga bensin premium naik dari
Rp4.500/liter menjadi Rp6.000/liter (lihat Gambar 4.4) dan minyak solar naik dari Rp4.300/liter
menjadi Rp5.500/liter.
Sumber: Berbagai sumber
Gambar 4.4. Perkembangan Harga Premium dan Pertamax di Jakarta.
Pada tahun 2009, wacana pembatasan konsumsi kurang memperoleh perhatian pemerintah
seiring dengan turunnya harga minyak. Justru, pemerintah memilih kebijakan penurunan harga BBM
bersubsidi sehingga harga bensin premium dan minyak solar masing-masing turun menjadi
Rp4.500/liter. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2009, pemerintah memiliki
kewenangan melakukan evaluasi setiap bulan atas harga jual eceran BBM bersubsidi.
Tahun 2010, rencana pembatasan konsumsi muncul lagi dengan pilihan empat opsi. Opsi tersebut
meliputi (1) membatasi SPBU yang menjual BBM bersubsidi, (2) mobil produksi setelah tahun 2005
dilarang membeli BBM bersubsidi dan ada pemeriksaan STNK saat mengisi BBM di SPBU, (3) mobil
produksi sebelum tahun 2005 ditempel stiker:”Mobil Ini Menggunakan BBM Bersubsidi”, dan (4) mobil
produksi sebelum tahun 2005 menggunakan BBM oktan 84. Kendala atas opsi di atas, misalnya belum
adanya regulasi yang memungkinkan produksi dan penggunaan BBM beroktan 84, atau antrian
pengisian BBM bisa semakin panjang dan munculnya keengganan pihak SPBU memeriksa STNK
terhadap mobil produksi setelah tahun 2005 lantaran dinilai hanya menambah beban kerja petugas
SPBU.
Dalam perkembangannya, rencana pembatasan konsumsi itu fokus pada dua opsi yaitu: (1)
melarang semua mobil pribadi untuk menggunakan BBM bersubsidi, dan (2) melarang mobil pribadi
produksi tahun 2005 ke atas untuk menggunakan BBM bersubsidi. Dari kedua opsi ini, akhirnya
pemerintah memutuskan opsi semua mobil pribadi dilarang menggunakan BBM bersubsidi (opsi 1).
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
01-Jan-08 01-Jan-09 01-Jan-10 01-Jan-11 01-Jan-12 01-Jan-13
Ha
rga
(R
p/
lite
r)
Premium
Pertamax
Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)
219
Tabel 4.1. Jadwal Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi
Waktu Cakupan Daerah
Januari 2011 Jabodetabek I
Juli 2011 Jabodetabek II dan Jawa Bali I
Oktober 2011 Jawa Bali II
Januari 2012 Sumatera Kota Besar
Juli 2012 Seluruh Sumatera; Kalimantan Kota Besar
Januari 2013 Seluruh Kalimantan; Sulawesi Kota Besar
Juli 2013 Seluruh Sulawesi
Sumber: BPH Migas (dalam Bisnis Indonesia, 8 Desember 2010)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 s.d. 2013, diolah
Gambar 4.5. Perkembangan Kendaraan Bermotor di Jawa Bali, 2008 – 2012.
Kebijakan pembatasan konsumsi secara bertahap direncanakan mulai di Jabodetabek pada Januari
2011 (lihat Tabel 4.1). Namun, hingga tahun 2011 berakhir7 pembatasan konsumsi ini belum
diimplementasikan karena belum memperoleh persetujuan DPR. Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 7
ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun 2012, pemerintah dan DPR
bersepakat bahwa pembatasan konsumsi bensin premium untuk kendaraan roda empat pribadi akan
diberlakukan langsung di wilayah Jawa dan Bali mulai 1 April 2012.
Namun, dalam kenyataannya, peraturan teknis yang mengatur kebijakan pembatasan konsumsi
tersebut (lihat Tabel 4.2) diterapkan hanya pada kendaraan dinas milik pemerintah (pusat dan daerah),
BUMN dan BUMD, mobil barang untuk kegiatan pertambangan dan perkebunan di sektor transportasi
darat serta kapal barang nonperintis dan nonpelayaran rakyat di sektor transportasi laut. Di bagian awal
7 Walaupun Tim kajian dari akademisi optimis bahwa program pembatasan bisa dilakukan mulai April 2011, tetapi pemerintah
dengan mempertimbangkan berbagai hal, menunda program ini hingga tahun 2011 berakhir.
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
Mobil Pnp Bus Truk Spd Motor
2008
2009
2010
2011
2012
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228
220
kajian ini, sudah dijelaskan bahwa kajian ini hanya membahas penerapan kebijakan pembatasan
konsumsi pada kendaraan dinas di wilayah Jawa Bali saja.
Pada Gambar 4.5 dapat diketahui bahwa jumlah mobil di Jawa Bali sekitar 6,26 juta unit (60
persen dari total 10,43 juta unit). Untuk mengetahui Jumlah mobil dinas, penulis melakukan proksi dari
jumlah pejabat struktural eselon I sampai eselon III dan jumlah PNS di wilayah Jawa Bali (BPS, 2014).
Diasumsikan setiap pejabat struktural sampai eselon III memperoleh mobil dinas.
Selanjutnya, jumlah kendaraan operasional diasumsikan sekitar 200 persen dari total kendaraan
dinas pejabat struktural di atas, termasuk jumlah kendaraan seluruh BUMN dan BUMD. Jumlah tersebut
lalu dikaitkan dengan porsi PNS di Jawa Bali untuk mendapatkan angka jumlah mobil dinas di wilayah
ini. Dari hasil perhitungan tersebut diperkirakan jumlah mobil dinas di Jawa Bali sekitar 100 ribu unit
(lihat Tabel 4.2). Dengan demikian, porsi kendaraan dinas di Jawa Bali sekitar 1,6 persen dari total mobil
di Jawa-Bali atau satu persen terhadap total mobil di Indonesia.
Tabel 4.2. Perkiraan Jumlah Kendaraan Dinas Di Jawa Bali
Jumlah Jabatan Struktural di Indonesia Eselon I 662
Eselon II 13,194
Eselon III 61,810
Jumlah 75,666
Asumsi: Kendaraan Operasional8 200% 151,332
Total 226,998
Rasio PNS Jawa Bali Terha- dap Total PNS 0.449
Perkiraan Jumlah Mobil 100,104
Dinas Sumber: Hasil perhitungan penulis
Di sisi lain, guna mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut, pemerintah melalui Tim Nasional
Penghematan BBM Bersubsidi menyediakan seratus ribu stiker “Mobil Ini Tidak Menggunakan BBM
Bersubsidi”. Kebijakan yang dilaksanakan mulai 1 Juni 2012 di wilayah Jabodetabek tersebut selanjutnya
diperluas hingga Sulawesi sejak 1 Juli 2013.
Tabel 4.3. Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi
BBM Bersubsidi
Konsumen Pengguna Wilayah Waktu Mulai
Bensin (Gasoline) RON 88
Transportasi Jalan: Semua Kendaraan dinas kecuali ambulance, mobil jenazah, pemadam kebakaran dan pengangkut sampah.
Jabodetabek 1 Juni 2012 Seluruh provinsi di Jawa dan provinsi Bali (non-Jabodetabek)
1 Agustus 2012
Seluruh provinsi di Sumatera dan Kalimantan
1 Februari 2013
8 Termasuk pada BUMN dan BUMD 9 Berdasarkan data BPS, jumlah PNS Jawa Bali sebanyak 1.923.956 orang sedangkan total PNS di Indonesia 4.362.805 orang
Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)
221
Seluruh provinsi di Sulawesi
1 Juli 2013
Minyak Solar (Gas Oil)
Transportasi Jalan: Semua Kendaraan dinas kecuali ambulance, mobil jenazah, pemadam kebakaran dan pengangkut sampah.
Jabodetabek 1 Februari 2013 Seluruh provinsi di Jawa dan provinsi Bali (non-Jabodetabek)
1 Maret 2013
Transportasi Jalan: Mobil barang dengan lebih dari 4 roda untuk kegiatan perkebunan dan pertambangan kecuali perkebunan rakyat skala usaha kurang dari 25 hektar, dan pertambangan rakyat dan komoditas batuan,
1 September 2012
Transportasi Jalan: Mobil barang dengan lebih dari 4 roda untuk kegiatan kehutanan, kecuali hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat
1 Maret 2013
Transportasi Laut: Kapal barang nonperintis dan nonpelayaran rakyat
1 Februari 2013
Sumber: Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2013, diolah
Keterangan: 1. Pengertian pembatasan konsumsi di atas diartikan sebagai pelarangan atas konsumsi BBM bersubsidi 2. Kendaraan Dinas yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah pusat/daerah dan BUMN/BUMD 3. Kegiatan pertambangan adalah kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara serta kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Berdasarkan uraian di atas, penulis akan membahas efektivitas atas implementasi kebijakan
pembatasan konsumsi tersebut terutama pada jumlah konsumsi BBM bersubsidi dan nonsubsidi.
Efektivitas kebijakan dilihat dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah kebijakan
pembatasan konsumsi diterapkan apakah jumlah konsumsi BBM subsidi dan nonsubsidi terjadi
perbedaan signifikan atau tidak. Alat analisis yang digunakan adalah paired t test. Apabila hasil test
menunjukkan bahwa terjadi perbedaan signifikan atas penjualan BBM bersubsidi dan sebaliknya, tidak
terjadi perbedaan signifikan atas penjualan BBM non subsidi maka kebijakan pembatasan dinilai tidak
efektif. Analisis kualitatif digunakan untuk mendukung hasil analisis kuantitatif terutama terkait dengan
respon pengguna kendaraan dinas untuk mengkonsumsi BBM non subsidi. Indikasi tersebut tampak
pada (1) apakah stiker “Mobil Ini Tidak Menggunakan BBM Bersubsidi” masih tertempel pada mobil
dinas atau tidak, dan (2) apakah terjadi hitamisasi pada plat merah mobil dinas atau tidak. Data dan
penjelasan respon kebijakan diperoleh dari wawancara dengan beberapa pengguna kendaraan dinas
(eselon III) dari instansi yang berbeda di lingkungan Kementerian Keuangan.
4.3. Jumlah Konsumsi BBM Bersubsidi dan Non Subsidi
Sebagaimana dijelaskan di atas, kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi mulai
dilaksanakan sejak 1 Juni 2012. Kondisi penjualan BBM bersubsidi dan nonsubsidi (pertamax/pertamax
plus) sebelum dan sesudah kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi (disajikan dalam bentuk
angka indeks)10 adalah sebagai berikut:
10 Penulis tidak memperoleh izin untuk menyajikan data penjualan yang original.
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228
222
Tabel 4.4. Penjualan BBM Non PSO di Jawa Bali, Okt 2010 s.d. Jan 2014
Sumber: Hitungan penulis Keterangan: Nilai penjualan bulan Januari 2010 = 100 (nilai dasar)
Dengan menggunakan paired t test, uji ini membandingkan kondisi sebelum dan sesudah
kebijakan diterapkan apakah ada perbedaan yang signifikan atas penjualan kedua komoditas tersebut.
Formula yang digunakan adalah:
Difference = var sesudah – var sebelum
rata-rata d = εd / n
Standar Deviasi = SQRT ( ε (d – rata-rata d)^2/(n-1))
Standard Error = SD / SQRT(n)
T Hitung = rata-rata d / SE
T Tabel = (df, α)
BBM PSO:
H0 = tidak ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM PSO antara kondisi sebelum dan
sesudah kebijakan diterapkan.
H1 = ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM PSO antara kondisi sebelum dan
sesudah kebijakan diterapkan.
BBM Non PSO:
H0 = tidak ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM non PSO antara kondisi sebelum
dan sesudah kebijakan diterapkan
BBM Non PSO (Kilo Liter)
Oct 10 sd Mei 12 Jun 12 sd Jan 14
Before After d
Bulan ke-1 189,8470 95,6720 (94,1750)
Bulan ke-2 176,3188 110,6523 (65,6665)
Bulan ke-3 189,2731 121,5130 (67,7600)
Bulan ke-4 150,0451 107,4513 (42,5938)
Bulan ke-5 131,1706 105,5995 (25,5711)
Bulan ke-6 124,4170 119,3617 (5,0553)
Bulan ke-7 115,8215 118,8566 3,0352
Bulan ke-8 94,0653 107,0527 12,9873
Bulan ke-9 101,2052 99,7420 (1,4631)
Bulan ke-10 116,5444 107,6716 (8,8728)
Bulan ke-11 110,3354 111,2539 0,9185
Bulan ke-12 105,0375 122,1270 17,0895
Bulan ke-13 108,6619 122,6494 13,9875
Bulan ke-14 104,1958 150,4535 46,2578
Bulan ke-15 108,1073 162,2031 54,0957
Bulan ke-16 106,6615 140,0904 33,4289
Bulan ke-17 106,7160 144,7991 38,0831
Bulan ke-18 99,7767 140,4692 40,6925
Bulan ke-19 75,8865 141,8630 65,9765
Bulan ke-20 90,9658 121,3942 30,4284
rata-rata 120,2526 122,5438 2,2912
SD 43,211
SE 9,662
t hitung 0,237
t tabel 2,093
Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)
223
H1 = ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM non PSO antara kondisi sebelum dan
sesudah kebijakan diterapkan Tabel 4.5. Penjualan BBM PSO di Jawa Bali, Okt 2010 s.d. Jan 2014
Sumber: Hitungan penulis Keterangan: Nilai penjualan bulan Januari 2010 = 100 (nilai dasar)
Dari perhitungan di atas, diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Untuk penjualan BBM PSO (bersubsidi), t hitung > t tabel maka H0 ditolak atau H1 diterima.
Kesimpulannya: ada perbedaan signifikan penjualan BBM PSO antara kondisi sebelum dan sesudah
kebijakan diterapkan.
2. Untuk penjualan BBM non PSO, t hitung < t tabel maka H0 diterima atau H1 ditolak. Kesimpulannya:
tidak ada perbedaan signifikan penjualan BBM non PSO antara kondisi sebelum dan sesudah
kebijakan diterapkan.
Dari kedua kondisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi tidak efektif. Hasil kesimpulan tersebut juga didukung dengan beberapa data deskriptif
berikut ini.
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228
224
Sumber: Laporan Tahunan PT Pertamina 2011 dan 2013
Gambar 4.6. Penjualan BBM PSO dan BBM Non PSO (Juta KL).
Berdasarkan Gambar 4.6, penjualan BBM non subsidi tahun 2013 (19,12 juta KL) lebih rendah
daripada tahun 2012 (19,92 juta KL), sedangkan penjualan BBM bersubsidi tampak meningkat.11 Terkait
dengan BBM nonsubsidi, penjualan BBM non subsidi ke sektor ritel menurun karena adanya disparitas
harga yang tinggi sehingga konsumen beralih ke BBM bersubsidi. Dari tren perkembangan konsumsi
BBM bersubsidi yang meningkat dan BBM nonsubsidi yang menurun, dapat disimpulkan bahwa
kebijakan pembatasan konsumsi tidak efektif.
Selain itu, berdasarkan wawancara dengan beberapa pengguna mobil dinas di salah satu
kementerian yang berkantor pusat di Jakarta, tampaknya penerapan atas kebijakan pembatasan
konsumsi BBM bersubsidi ini tidak efektif. Seperti diketahui, semua biaya operasional dan perawatan
kendaraan dinas ditanggung oleh anggaran pemerintah. Pedoman Standar Biaya Masukan Tahun
Anggaran 2013 dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2012 tentang Standar Biaya Tahun
2013 yang diterbitkan Kementerian Keuangan setiap tahun menjelaskan bahwa biaya pemeliharaan dan
operasional kendaraan dinas digunakan untuk mempertahankan kendaraan dinas agar tetap dalam
kondisi normal dan siap pakai sesuai dengan peruntukannya termasuk biaya bahan bakar. Pada Tabel
4.6 diilustrasikan bahwa standar biaya kendaraan dinas untuk masing-masing pejabat per wilayah
relatif berbeda.
Walaupun setiap kendaraan dinas memiliki alokasi anggaran operasional termasuk biaya bahan
bakar, tetapi berdasarkan kaidah let the manager manages, para pengelola keuangan negara mempunyai
fleksibilitas dalam mengelola anggarannya. Dengan demikian, perlakuan pengelola anggaran di setiap
instansi pemerintah pusat kepada pengguna kendaraan dinas untuk memberikan biaya bahan bakar bisa
berbeda-beda. Ada pengguna kendaraan dinas yang memperoleh uang (responden_1) atau voucher
11 Karena ketidaktersediaan data penjualan pertamax atau bahan bakar nonsubsidi untuk ritel selama tahun 2013 maka
perkembangan data penjualan pertamax diproksi dari penjualan BBM nonsubsidi pada tahun yang sama. Berdasarkan
Laporan Tahunan PT Pertamina (Persero) Tahun 2013 hlm 125-126, BBM nonsubsidi meliputi premium, minyak tanah,
minyak solar, minyak diesel, minyak bakar, avgas, avtur, bio pertamax, pertamax, bio solar, pertamax plus, pertamina dex,
dan pertamax racing. Produk premium dan minyak solar dijual untuk industri; minyak tanah dijual untuk industri dan ritel;
minyak disel dan minyak bakar untuk industri dan marine; avtur dan avgas untuk aviasi; pertamax, pertamax plus, pertamax
racing, bio pertamax dan lainnya untuk ritel. Penjualan BBM nonsubsidi untuk sektor industri (termasuk industri
ketenagalistrikan) menurun karena adanya konversi BBM nonsubsidi ke gas atau batubara (dengan adanya proyek kelistrikan
10.000 MW). Untuk penjualan avtur dan avgas cenderung meningkat karena meningkatnya frekuensi penerbangan domestik
dan internasional.
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
30.0
32.5
35.0
37.5
40.0
42.5
45.0
47.5
50.0
2010 2011 2012 2013
BBM PSO BBM Non PSO
Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)
225
pertamax/dex (responden_2) dalam jumlah tertentu setiap bulan tanpa memperhitungkan realisasi
pembelian bahan bakar. Namun, ada pengguna kendaraan dinas yang tidak mendapatkan biaya bahan
bakar dalam bentuk apa pun (responden_3).12 Uang atau voucher yang diterima oleh pengguna
kendaraan dinas pada kenyataannya tidak cukup untuk kebutuhan biaya bahan bakar per bulannya.
Dengan demikian, kekurangan biaya bahan bakar untuk operasional kendaraan dinas menjadi tanggung
jawab para pengguna kendaraan dinas. Tabel 4.6. Standar Biaya Masukan Kendaraan Dinas TA 2013
Sumber: Kementerian Keuangan, 2012, diolah
Kondisi ini memunculkan semacam dilema, di satu sisi masih memerlukan kendaraan dinas,
tetapi di sisi lain biaya bahan bakar yang diterima tidak mencukupi untuk operasional. Ditambah lagi,
pada saat kebijakan pembatasan konsumsi diberlakukan mulai 1 Juni 2012, disparitas harga BBM
bersubsidi dan non subsidi sangat tinggi. Sebagai gambaran, berdasarkan Gambar 4.4 dan Gambar 4.7,
pada tanggal 1 Juni 2012 disparitas harga per liter antara bensin premium (Rp4.500) dan pertamax
(Rp9.250) sekitar Rp4.750 atau disparitas harga rata-rata tahun 2012 berada pada level Rp4.788. Tahun
2013, disparitas harga rata-rata per liter masih relatif tinggi (Rp4.115).
Sumber: Hasil Hitungan Penulis, 2014
Gambar 4.7. Rata-Rata Disparitas Harga Premium dan Pertamax di Jakarta.
12 Hasil wawancara kepada beberapa pengguna kendaraan dinas instansi pemerintah pusat. Dari hasil wawancara juga diperoleh
informasi bahwa ada pejabat eselon III yang tidak memperoleh jatah kendaraan dinas.
2,962.5
1,534.4
2,028.1
3,922.5
4,788.5
4,114.6
-
1,000.0
2,000.0
3,000.0
4,000.0
5,000.0
6,000.0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Jabatan / Wilayah Biaya (Rp/unit/tahun)
Pejabat Negara 38.880.000,- Pejabat Eselon I 36.090.000,- Pejabat Eselon II: DKI 29.190,000,- DIY 29.340.000,- Jawa Timur 29.340.000,- Operasional: DKI 25.300.000,- DIY 25.450.000,- Jawa Timur 25.450.000,-
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228
226
Tambahan biaya pembelian BBM seperti dijelaskan di atas berpotensi menambah beban
pengeluaran bagi pengguna kendaraan dinas. Oleh karena itu, untuk menyiasati tambahan beban
pengeluaran tersebut, cara yang dilakukan oleh responden adalah (1) mobil dinas tidak dioperasikan
atau diparkir di kantor atau di rumah, dan (2) mobil dinas tetap dioperasikan tetapi dengan
membeli/mengkonsumsi BBM bersubsidi. Selanjutnya, agar petugas SPBU memperbolehkan para
pengguna kendaraan dinas mengkonsumsi BBM bersubsidi maka cara yang dilakukan adalah (1)
melepaskan/tidak memasang stiker larangan mengkonsumsi BBM bersubsidi dari/pada kaca mobil
dinas dan (2) membuat/menempelkan plat nomor polisi berwarna hitam pada kendaraan dinasnya.
Para pengguna mobil dinas melakukan hal itu karena lemahnya mekanisme monitoring dari instansi
berwenang. Kemudian, dengan lemahnya mekanisme monitoring terhadap implementasi kebijakan
pembatasan konsumsi menyebabkan pengguna kendaraan dinas tidak mendapatkan sanksi
administratif apa pun apabila mobil dinas yang dipakainya masih diisi dengan BBM bersubsidi.
Pelepasan stiker ini diduga dilakukan secara masif karena untuk mendukung kebijakan pembatasan
konsumsi BBM bersubsidi ini, pemerintah cq Kementerian ESDM (2012) telah menyediakan seratus ribu
stiker untuk Jawa dan Bali. Pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa tidak semua kendaraan
dinas menggunakan plat merah atau jarang ditemui stiker “Mobil Ini Tidak Menggunakan BBM
Bersubsidi” masih tertempel pada kendaraan dinas sehingga kondisi ini dapat mempersulit petugas
SPBU untuk melarang penggunaan BBM bersubsidi pada kendaraan dinas.
Lemahnya mekanisme monitoring terhadap penerapan kebijakan pembatasan konsumsi dan tidak
adanya sanksi (berupa denda atau bentuk lainnya) diduga juga menyebabkan pengguna mobil barang di
daerah perkebunan dan pertambangan serta kapal barang non perintis atau pelayaran rakyat masih
dengan leluasa mengkonsumsi BBM bersubsidi. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kebijakan pembatasan konsumsi dilihat dari indikator respon kebijakan dinilai tidak efektif. V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kebijakan pembatasan
konsumsi BBM bersubsidi selama ini tidak efektif. Ketidakefektifan ini diukur dengan menggunakan
paired t test untuk mengetahui apakah jumlah konsumsi BBM bersubsidi dan nonsubsidi terdapat
perbedaan signifikan atau tidak sebelum dan sesudah diterapkan kebijakan pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi. Dari hasil uji t test ditemukan bahwa penjualan BBM bersubsidi terdapat perbedaan
signifikan antara sebelum dan sesudah kebijakan diterapkan. Sebaliknya, penjualan BBM nonsubsidi
tidak terdapat perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah kebijakan diterapkan. Indikasi di
lapangan juga menunjukkan bahwa pengguna kendaraan dinas di tingkat pusat masih mengkonsumsi
BBM bersubsidi karena (1) sebagian atau seluruh biaya bahan bakar harus ditanggung pengguna
kendaraan dinas walaupun aturan pedoman standar biaya memungkinkan tersedianya alokasi biaya
bahan bakar untuk setiap kendaraan dinas, (2) adanya disparitas harga yang tinggi pada saat kebijakan
pembatasan konsumsi diberlakukan, dan (3) lemahnya mekanisme monitoring atas penerapan
kebijakan pembatasan konsumsi dari instansi berwenang.
Oleh karena itu, apabila pemerintah tetap akan melanjutkan kebijakan pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi, maka diusulkan beberapa perbaikan sebagai berikut: (1) biaya BBM nonsubsidi bagi setiap
kendaraan dinas harus disediakan secara memadai dan terhadap alokasi biaya BBM nonsubsidi ini
dipisahkan dari ruang fleksibilitas pengelola anggaran, (2) dengan adanya pemenuhan alokasi biaya
BBM tersebut secara memadai, maka untuk mengoptimalkan nilai manfaat kendaraan dinas, seluruh
kendaraan dinas operasional (termasuk kendaraan dinas pejabat eselon III) perlu dikonversi menjadi
kendaraan antar/jemput pegawai, (3) perlu memperkuat sistem monitoring atas penerapan kebijakan
Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)
227
pembatasan konsumsi, dan (4) perlu ada sanksi (administrasi atau bentuk lainnya) yang tegas bagi yang
melanggar kebijakan pembatasan konsumsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, G. (2010). Konsumsi Energi Indonesia: Seberapa Boros?. Jurnal Energi, Juli – September 2010.
Badan Kebijakan Fiskal. (2012). Kajian Pengembangan Model Proyeksi Volume BBM Bersubsidi Berdasarkan Konsumen Pengguna dan Wilayah (Kerjasama Riset BKF – LPEM UI).
Badan Pusat Statistik. (2014). Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi 44 Januari 2014.
_________________. (2013). Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi 32 Januari 2013.
_________________. (2014). Statistik Indonesia 2014.
_________________. (2013). Statistik Indonesia 2013.
Badan Pengatur Hilir Migas. (2010). Data Kendaraan dan Konsumsi BBM.
Elinur et al. (2010). Perkembangan Konsumsi dan Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia. Indonesian Journal of Agricultural Economics, Volume 2, Nomor 1, Desember 2010.
Handajani, M. (2012). Nonlinear Model Sistem Transportasi dan Pengendalian Konsumsi BBM Kota Sedang. Prosiding Seminar Nasional Jembatan Bentang Panjang Teknik Sipil Universitas Semarang, 27 Juni 2012.
Handoko, R dan Pandu P. (2005). Evaluasi Kebijakan Subsidi Non BBM. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 9, Nomor 4, Desember 2005.
Ikhsan, M. et al. (2005). Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 Terhadap Kemiskinan. LPEM Working Paper 10. Jakarta: Universitas Indonesia.
Layli, F. (2012). Dampak Kebijakan Pembatasn Konsumsi BBM Premium di Sektor Angkutan Darat Terhadap Perekonomian Indonesia (tesis). Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Jakarta: Universitas Indonesia.
Legowo, E. (2012). Kebijakan Pengaturan BBM Bersubsidi. 15 Maret 2012, Workshop IIEE, GSI dan IISD “Pengendalian BBM Bersubsidi: Persiapan Implementasi dan Mitigasi Dampak Negatifnya. dalam http://www.iisd.org/gsi/sites/default/files/ Evita%20Legowo %20MIGAS.pdf
Levin, R dan Rubin, D. 1998. Statistics for Management. Seventh edition. Part A. Prentice Hall, Inc. upper Saddle River, New Jersey.
Nugroho, H. Apakah Persoalannya Pada Subsidi BBM? Tinjauan Terhadap Masalah Subsidi BBM, Ketergantungan Pada Minyak Bumi, Manajemen Energi Nasional, dan Pembangunan Infrastruktur Energi.
Oktaviani, R. dan Sahara. (2013). Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Kinerja Ekonomi Makro, Keragaan Ekonomi Sektoral dan Rumah Tangga di Indonesia (Suatu Pendekatan Model Ekonomi Keseimbangan Umum Recursive Dynamic). Jurnal Manajemen Agribisnis Vol.1 No.3 April 2005:35-52. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Shana. (2013). The Petroenergy Information Network. Smart Fuel Distribution: The Biggest IT Project in Iran. 23 Juli 2013 dalam http://www.shana.ir/en/newsagency/206107/Smart-Fuel-Distribution-the-biggest-IT-project-in-Iran
Shenoy, B.V. (2010). Lessons Learned from Attempts toReform India’s Kerosene Subsidy. Winnipeg, Manitoba: International Institute for Sustainable Development.
International Institute for Sustainable Development. (2013). A Citizens’ Guide To Energy Subsidies in Malaysia.
Whitley, S. (2013). Time to Change The Game: Fossil Fuel Subsidies and Climate. London: Overseas Development Institute.
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228
228
Yemstov, R. (2010). Developing Effective Reform Strategies: Safety Nets To Protect Poor and Vulnerable Groups from The Negative Impacts of Reform, Joint Conference, Geneva : World Trade Organization
http://www.statstutor.ac.uk/resources/uploaded/paired-t-test.pdf
Kaj. Eko. & Keu.
Vol. 18 No. 3 Desember
2014 Halaman : 181 - 254
Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia
Performa Belanja Pemerintah Daerah, Investasi Privat dan Kesempatan Kerja di Indonesia
Efektivitas Kebijakan Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi di Jawa-Bali
Income Inequality : Education as The Panacea
Dampak Bea Keluar terhadap Ekspor CPO Indonesia
No. Akreditasi : 467/AU3/P2MI-LIPI/08/2012
Vol 18 No 3, Desember 2014
[
T
y
p
e
a
q
u
o
t
e
f
r
o
m
t
h
229
INCOME INEQUALITY: EDUCATION AS THE PANACEA
Kesenjangan Pendapatan: Pendidikan Sebagai Solusi
Nugraheni Kusumaningsih Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Jln. Dr. Wahidin No. 1, Jakarta Pusat 10710, DKI Jakarta, Indonesia Email : [email protected]
Naskah diterima: 7 Oktober 2014 Naskah direvisi: 31 Oktober 2014
Disetujui diterbitkan: 30 November 2014
ABSTRAK
Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan anggaran sebesar 20 persen dari total Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Oleh sebab itu, sangatlah penting untuk
mengetahui apakah anggaran yang dikeluarkan untuk pendidikan memberikan hasil yang besar bagi tiap
individu. Penelitian ini menyelidiki tingkat hasil pendidikan di Indonesia, apakah ada perbedaan antara
tingkat hasil bagi perempuan dan laki-laki, dan apakah pendidikan dapat membantu mngecilkan jurang
perbedaan penghasilan yang makin lebar, sebuah masalah pelik yang dihadapi terutamanya oleh negara-
negara berkembang. Dengan menggunakan data Indonesian Family Life Survey (IFLS), data longitudinal dari
rumah-rumah tangga di Indonesia, penelitian ini menemukan bahwa, tingkat hasil pendidikan di Indonesia
rata-rata adalah 7,5 persen. Penemuan yang menarik bahwa tingkat hasil pendidikan perempuan tidak
berbeda dengan laki-laki, mengingat umumnya tingkat hasil pendidikan perempuan lebih besar dari laki-
laki, walaupun perbedaan ini cenderung mengecil seiring waktu. Selain itu didapatkan bahwa pendidikan
tidak memperlebar kesenjangan pendapatan, walaupun tidak dapat dikatakan bahwa pendidikan dapat
mempersempit kesenjangan pendapatan kecuali untuk perempuan, dalam kasus perempuan, pendidikan
memang mempersempit kesenjangan pendapatan. Penemuan ini menunjukkan bahwa pemerintah harus
memberikan perhatian lebih dalam menyediakan pendidikan bagi perempuan sebagai cara mempersempit
kesenjangan pendapatan.
Kata Kunci: perempuan, kesenjangan pendapatan, tingkat hasil pendidikan
ABSTRACT
The Indonesian government has already allocated 20 percent from its budget every year for
education. Therefore, it’s profound to know whether the budget spent on education is giving significant
return. The paper aims to examine the rate of return to education, whether there’s a disparity between
rate of return to education between females and males, and whether education can help tighten the gap of
income inequality which is a crucial issue these days facing emerging countries. This paper is using Mincer
Equation as the model and Indonesian Family Life Survey (IFLS), a panel data from Indonesian households,
finding the rate of return to education to be 7.5 percent. Interesting finding coming from return to
education for females to be not different from males, given that return to education for females usually
higher than males, though disparity tends to get smaller over time. In addition, it is found that education is
not widening the gap of inequality though we can’t say whether income equalizing process through
education really occurs except for female case, it is income equalizing. This finding is crucial showing that
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 229 - 240
230
the government should pay more focus in educating females as a means to tighten the income inequality
gap.
Keywords: female, income inequality, return to education
JEL Classification: E24, I24
I. INTRODUCTION
According to the OECD (2011), emerging countries have levels of income inequality significantly
higher than the OECD average. As an emerging economy, Indonesia faces income inequality issues, which
is highlighted by a sharp increase in wage inequality between 2001 and 2007. Sakellarious (2009) found
that workers at the bottom 20 percent of the earnings distribution experienced a decline in earnings
while workers at the top of the earnings distribution enjoyed a significant increase in earnings. Those at
the top of earnings distribution are usually highly educated in contrast to the ones at the bottom that are
less educated. Education tends to be seen as the social escalator for achieving increased quality of life.
While Martins and Pereira (2004) said that schooling is also portrayed as the best tool to erode wage
inequality.
This paper aims to examine the rate of return to education in Indonesia and observe whether
education can help tightening the gap of inequality in Indonesia. In addition, this paper will observe
whether there’s a disparity in rate of education between females and males. These studies are important
since many emerging economies devote significant amount of their budget for educational purposes.
Indonesia spends at a minimum twenty percent of its budget on education alone. The Indonesian
government focuses on primary education, which covers elementary and junior high school level, and
has a goal that that every Indonesia citizens should at least graduate from junior high school.
II. LITERATURE REVIEW
Given the importance of education in easing severity of wage inequality, it does not come as a
surprise that there are numerous studies studying returns to education. Blundell et.al (2001) defined
return to education as followed:
“There are at least three distinct ways of defining the ‘returns to education’: (a) the private
return, (b) the social return and (c) the labour productivity return. The first of these is made up of
the costs and benefits to the individual and is clearly net of any transfers from the state and any
taxes paid. The second definition highlights any externalities or spill-over effects and includes
transfers and taxes. The final definition simply relates to the gross increase in labour productivity
(or growth). A key component of each of these measures is the impact of education on earnings.
This is perhaps the aspect of returns to education measurement where statistical methods have
been most developed and most fruitfully deployed ………”
Psacharopoulos (1994) used Mincer-type models in developing countries to estimate returns to
education and found an average return rate of 8% in Asian countries, excluding China, which averaged
11%. Psacharopoulos conducted the first comprehensive study on estimating private rates of return to
education in developing countries. He found that the private returns to education are highest at the
primary level and it will decline by the level of schooling and country’s per capita income. However,
other experts have challenged this notion that primary education offers the highest rates of return.
Duraisamy (2000) uses Indian households to shows that returns to education are positively related to
the level of education until the secondary level and it is negatively related beyond secondary level.
Appleton (2000) uses Uganda Household Data and finds that college graduates receive a much higher
Income Inequality : Education ... (Nugraheni Kusumaningsih)
231
rate of annual rate of return, about 18 percent, compared to non-college education level that yields
around 7 to 8 percent.
Siphambe (2009) using Mincerian Earnings Function found that rates of return in rise by level of
education, the empirical fitness of the human capital model is quite robust, education is not income
equalizing, women are paid less than men despite being on average more highly educated than men.
Chirwa and Matita (2009) found that on average, an additional year of schooling increases life time
earnings by 10 percent. Returns from various levels of education increase as the levels of education
increase from 5 percent from primary level to 65 percent from university education. Farooq (2011)
examined returns to primary and middle standard education of both the male and female workers were
lower as compared to higher levels of education in Pakistan.
There are some studies focusing on returns to education in Indonesia. Newhouse and Suryadarma
(2011) use the Indonesia Family Life Survey (IFLS) data to estimate the effect of senior secondary
education on incomes. Senior secondary is schooling that emphasizes academic performance and
students are expected to continue to college in contrast to vocational secondary schools, which place
more emphasis on technical skills so that the students are ready to enter the labor market upon the
completion of the study. Females get higher rates of return than males from vocational secondary
schooling. They estimate that individuals who complete senior secondary schooling receive about 40
percent higher wages than those who do not graduate from senior secondary school. Another study
conducted by Duflo (2001), analyzes the impact of 61,000 new schools built between 1973 and 1978.
She finds the economic returns to education ranging from 6.8 to 10.6 percent. Carneiro et.al (2009)
found that the return to upper secondary schooling varies widely across individuals: it can be as high as
50 percent per year of schooling for those very likely to enroll in upper secondary schooling, or as low as
10 percent for those very unlikely to do so. Byron and Takahashi (1989) estimate a 15–17% rate of
return per year of schooling from 1981 data for urban Java.
Psacharopoulus (1994) stated that educating female is marginally more profitable than educating
male. Another finding by Chirwa and Matita9 showed that female workers particularly at the higher level
of education tend to have higher rates of return to education than male workers. Dougherty (2003) using
national Longitudinal Survey of Youth (NLSY) observed that return to education for female is greater by
two percentage points compared to males in United States. He reasoned that female samples in NLSY
perform better academically and work in the sectors that relatively value education highly. Farouq10
analyzed return to education for Males and Females worker in Pakistan by province, he found that
female worker earned higher rates of returns in all the provinces indicating better prospects for female
workers. He mentioned that field of study such as medical, engineering, agriculture and computer
science give higher return to females rather than to males. Tansel (2010) found that the returns to
education estimates for women in Turkey are higher than that of men throughout the period considered
by about two to five percentage points. In addition, returns to education declined significantly from 1994
to the 2002. Returns to education for men did not change much throughout the period 2002-2005 while
that for women declined by five percent from 2002 to 2003 and one percent from 2004 to 2005. Beudry
and Lewis (2012) found that over the 1980s and 1990s the US wage differentials between men and
women (with similar observable characteristics) declined significantly at the same time, the returns to
education increased.
III. METHODOLOGY
The data is obtained from two waves of Indonesian Family Life Survey (IFLS). The Indonesian
Family Life Survey (IFLS) is an on-going longitudinal survey in Indonesia. The sample which is collected
from 13 out of 27 provinces is representative of about 83% of the Indonesian population since the 13
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 229 - 240
232
provinces have total population of about 83% of total population in Indonesia. The total individuals
surveyed are about 30,000 individuals. The first wave of the IFLS (IFLS1) was conducted by RAND in
1993/94 in collaboration with Lembaga Demografi, University of Indonesia. IFLS2 and IFLS2+ were
conducted in 1997 and 1998, respectively, by RAND in collaboration with UCLA and Lembaga Demografi,
University of Indonesia. IFLS2+ covered a 25% sub-sample of the IFLS households. IFLS3, which was
fielded in 2000 and covered the full sample, was conducted by RAND in collaboration with the
Population Research center, University of Gadjah Mada. The fourth wave of the IFLS (IFLS4), fielded in
2007/2008 covering the full sample, was conducted by RAND, the center for Population and Policy
Studies (CPPS) of the University of Gadjah Mada and Survey METRE. The data can be accessed publicly at
www.rand.org. In addition, IFLS has been widely used in numerous researches due to its credibility. The
third and fourth waves which are from 2000 and 2007 are used in this paper since they are the most
recent and more complete.
There are 5714 observations of salaried workers are examined in this paper. 1918 of them are
female workers and the remaining 3796 are male workers. In year 2000, 707 observations are working
in public sector while 2150 are working in private sector. There’s an increase in number of observations
who work in public sector becoming 796 people from only 707 in the previous wave. The number of
observations who work in private sector has decreased in the second wave of IFLS. There’s an increase
in number of observations who work in large and medium size over time and the decrease in number of
observations who work in small firms. Between 2000 and 2007, there’s not much different in the
proportion of both male and female who work in either public or private sector.
There are two main methods for estimating private rates of return to education: the elaborate and
the Mincer wage function methods6. The first method requires the usage of cost of education. This is
difficult to calculate and the reasons why the Mincer approach more widely used. Jacob Mincer
introduced the Mincer approach through his book Schooling, Experience, and Earnings in 1974 Mincer
developed a model that use natural logarithm of earnings as a function of years of education and years of
potential labor market experience (age minus year of schooling minus six). The basic Mincer equation is:
lnYᵢ = α + β₁Sᵢ + γ₁Expᵢ+ γ₂ Expᵢ² + δXᵢ + uᵢ
Y is a measure of income, earnings, or wage rates. S is a measure of schooling. Expᵢ is total actual
experience, which is estimated as experience=age-years of schooling-6, and considered to be a measure
of years of potential experience. Xᵢ represents control variables, and I am use gender, location and
marital status.
The model used in this paper is as following:
Logsalaryᵢᵼ = αᵢᵼ + λᵢᵼ + β₁years_of_schooling + β₂exper + β₃exper2 + β₄tenure + β₅public + β₆large +
β₇medium + βᵢXᵢ+ y07 + εᵢᵼ
Fixed effect regression is employed in this paper. Started with OLS regression, further coefficients
are estimated using random effect as a comparison. The Breusch_Pagan Lagrange Multiplier (LM) test
result showed that random effect results are preferred compared to OLS regressions. Haussman test is
later performed to seek whether fixed effect estimations are more efficient compare to random effect
estimation. The test showed that fixed effect regression give more efficient estimation, thus going to be
elaborated in this paper.
According to Wooldridge, fixed effects model contain observation specific variables, αᵢᵼ, that
capture all unobserved, time constant factors that affect Logsalaryᵢᵼ. The error εᵢᵼ is called idiosyncratic
error or time varying error and depicts the unobserved factors that change overtime and affect the
dependent variable. The strength of the fixed effect model is that it allows arbitrary correlation between
αᵢᵼ and explanatory variables in any time periods such that it can avoid the omitted variable bias case.
Income Inequality : Education ... (Nugraheni Kusumaningsih)
233
This paper uses wage equation that’s very risky in relation to endogeneity issue since salary isn’t just a
representation of the level of education but also the representation of the ability and motivation of the
person that can’t be captured just by how long the person is in school. The person who can achieve a
higher educational level might have a higher IQ, more highly motivated and more likely coming from
educated family. Any explanatory variables that are constant overtime will be swept away and in my
fixed effect regression it would be gender (represented by variable “female”).
Further a quantile regression is applied to observe the return to education across the earnings
distribution to seek which quantile of the distributions who gets most of the return to education. If the
lower quantiles whom are characterized by having low salaries and low skill that benefit the most from
education then the notion that education help reducing inequality is valid. But if the returns to education
are mostly enjoyed by those at the top of the earnings distribution whom are characterized by having
high salaries and high skill then it is proven otherwise. Quantile regression is a statistical procedure
intended to estimate conditional quantile functions and a full range of other conditional quantile by
minimizing asymmetrically weighted absolute residuals in analogy with classical linear regression
methods, based on minimizing sums of squared residuals.
In order to seek whether there’s a disparity between the return to education between male and
female, the gender dummy is interacted with the years of schooling variable. If this variable is
statistically significant then the null that there’s a disparity in return to education between male and
female is proven.
Table 3.1. Variable Descriptions
Source : Author’s calculation using Stata
IV. ANALYSIS AND DISCUSSION
In Table 4.1, OLS, Random Effect and Fixed Effect regression results are compared. Random effect
regression is more preferred than OLS based on Breusch-Pagan Lagrange Multiplier (LM) test. Further
using Hausman test, fixed effect regression is more preferred than random effect. The only variable that
falls out due to the fixed effect regression is the variable female that represents gender since it does not
change overtime. The fixed effects will also capture unobservable characteristics of individuals (e.g.
work ethic) that are correlated with wages.
The return to education is far less compared to OLS regression results. It’s only 7.5 percent
compared to 9.9 percent in the OLS regressions based on year and Random Effect regression. All of these
logsalary Log of hourly wage indexed to inflation years_of_schooling Years spent on school exper Years of experience (Age-years of schooling-6) exper2 Exper square tenure Years spent on the current job married =1 if married, 0 otherwise rural =1 if living in rural area, 0 otherwise female =1 if female, 0 otherwise yosfem Return to education for female compared to male public =1 if working in public sector, 0 otherwise large =1 if working in a large firms (>100 employees), 0 otherwise medium =1 if working in a medium size firms (20-99 employees), 0 otherwise small =1 if working in a small firms (<20 employees), 0 otherwise Industry_n types of industries dummies y00 =1 if 2000, 0 otherwise y07 =1 if 2007, 0 otherwise
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 229 - 240
234
results are statistically significant at 1 percent level. The paper uses the result from the fixed effect
regression which is 7.5 percent, this means that every one additional year spent in education, it will
increase the wage at 7.5 percent. This finding is almost in line with the finding from Psacharapoulus5
that the rate of education in Asian countries is around 8 percent. Experiences as well as tenure are both
very statistically significant at 1 percent level either, that shows how experience and tenure play very
important role in determining someone’s income.
The variable exper shows that every one additional year of experience, it will increase the wage by
5.1 percent. Tenure that’s also statistically very significantly affecting wage shows that every one
additional year of tenure, it will increase the wage at 0.7 percent, the magnitude is not as big as return to
education and experience to affect someone’s wage. A very surprising result from variable yosfem that’s
not statistically significant which means that return to education for females isn’t different from that of
males. This is surprising given that return to education for females higher than males are usually the
norm15. But it’s most likely that the disparity in return to education between females and males gets
smaller in developed countries compared to developing countries. As Tansel17 discovered in Turkey that
return to education in females gets smaller since 2002 till 2005 while for male remain stable.
In the US, the wage differential between males and females gets smaller over 1980’s and 1990’s
(Beaudry and Lewis, 2012). Finding in this paper is in line with Siphambe (2009), in Bostwana, there,
female are paid less than men despite being on average more highly educated than male. Our finding
here, showing that return to education for female is not different from males can probably occur
because:
a. Our females samples are mostly distributed between the very low educated and the very high. Even
for the category of never attending school which means the samples’ year of schooling is zero, our
female samples are exceeding our male samples, there isn’t any other category of number of years
of schooling that females sample exceeding males other than this category. At this category, the
number of female samples is 62 percent.
b. It might be that female samples don’t work in sectors that value high education, therefore although
many of them in the samples are highly educated too, but they are not getting as high salaries as
males given the same educational level.
Another interesting finding from Table 4.1 is the variable public which is statistically significant at
10 percent level affecting the log salary. This means that employment in public sectors is positively
affecting the log salary, workers in public sectors earn 14 percent more compared to workers in private
sectors.
Table 4.2 depicts quantile regressions used to seek the rate of return to education for each
quantile of earnings distributions. The lower tail shows low income workers, usually characterized with
low education and skill, whereas the upper tail shows workers with higher income, education and skill.
The main variable which is years of schooling is very statistically significant at one percent level at all
quantiles, meaning that return to education is statistically significant at all level of earnings distribution.
The rates of return to education are found to be almost similar in all quantiles. This finding shows that in
all level of income and education, workers will be benefitted in the same proportion, though this doesn’t
prove that education will reduce income inequality since the lower tail of the earnings distribution are
not the ones who gets most of the return to education, yet it can be said as well that education will not
widen the income gap since the rate of return to education for higher tail of the distribution which are
dominated by highly educated workers are in the similar rate with the low educated workers at the
lower tail.
Income Inequality : Education ... (Nugraheni Kusumaningsih)
235
Table 4.1. OLS by Year and Fixed Effect Regression
(1) (2) (3) Variables OLS Random Effect Fixed Effect
years_of_schooling 0.099*** 0.100*** 0.075*** (0.004) (0.005) (0.023) Exper 0.029*** 0.030*** 0.051*** (0.004) (0.004) (0.019) exper2 -0.000*** -0.000*** -0.000*** (0.000) (0.000) (0.000) Tenure 0.014*** 0.013*** 0.007** (0.002) (0.002) (0.003) Married 0.123*** 0.113*** 0.032 (0.032) (0.032) (0.052) Rural -0.023 -0.030 -0.084 (0.025) (0.027) (0.058) Female -0.480*** -0.473*** (0.060) (0.066) Public 0.298*** 0.296*** 0.140* (0.034) (0.035) (0.075) Yosfem 0.030*** 0.030*** -0.040 (0.005) (0.006) (0.027) Constant 6.890*** 6.872*** 7.106*** (0.248) (0.243) (0.571) Observations 5,711 5,711 5,711 R-squared 0.399 0.159 Number of pidlink 2,857 2,857
Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Source : Author’s calculation using Stata
In addition, the variable public is positively very significantly affecting the log salary with 1
percent confident level at almost all quantiles of earning distribution except the top tail. These findings
show that employment in public sector benefit those particularly at the lower tail of income
distributions since the lower the tail the larger the coefficients showing the larger the magnitude of the
impact. It can be inferred that employment in public sector help tighten the income inequality gap since
its benefits are mostly enjoyed by workers with lower education and income. Table 4.2. Quantile Regressions
(1) (2) (3) (4) (5) Variables Q_0.10 Q_0.25 Q_0.50 Q_0.75 Q_0.90
years_of_schooling 0.100*** 0.110*** 0.108*** 0.109*** 0.104*** (0.013) (0.007) (0.005) (0.005) (0.011) Exper 0.037*** 0.028*** 0.028*** 0.026*** 0.014 (0.012) (0.007) (0.005) (0.005) (0.010) exper2 -0.001** -0.000*** -0.000*** -0.000*** -0.000 (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) Public 0.459*** 0.431*** 0.357*** 0.176*** 0.053 (0.116) (0.064) (0.045) (0.042) (0.091) Constant 7.336*** 6.151*** 6.704*** 7.200*** 8.552*** (0.201) (0.334) (0.279) (0.237) (0.231) Observations 2,855 2,855 2,855 2,855 2,855
Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Source : Author’s calculation using Stata
236
In order to examine the rate of return to education across quantiles of earnings distribution for
females, the quantile regression for female is run as depicted in Table 4.3. The main variable which is
years of schooling is very statistically significant at one percent level at all quantiles, meaning that
education is statistically significant affecting wage at all level of earnings distribution. The return to
education are higher at the lower tail, around 11 and 12 percent, at the top of the earning distribution is
at 9 percent. This finding shows that education benefit female workers at all level of earnings
distribution especially the ones at the lower tail of earnings distribution. If many female workers at the
lower tails are getting educated and getting higher return to their investment in education, it will help
tightening the wage gap between the poor and the rich and further will tighten the inequality that tends
to get more severe these days. Education helps tightening the inequality is in principal in line with
finding from Psacharapoulus6 saying that returns to schooling decline by the level of schooling. The
bigger the return to schooling at the lower educational level will give bigger implication in tightening
income inequality in the society. Duraisamy7 finding is similar. Return to education will get higher as
reaching the secondary level and then going down. In the opposite, higher return to education at the
higher educational level, tend to create wider income inequality. Some findings supporting the higher
return to education bigger at the higher educational level are made by Siphambe8, Appleton7, Farooq10,
Chirwa and Matita9.
Table 4.3 depicts that employment in public sector also benefit female that are at the lower tail at
earning distribution. It shows that employment in public sector for females can boost income equalizing
process since it benefits more workers at the lower tail rather than the upper ones.
Table 4.3. Quantile Regressions for Female
(1) (2) (3) (4) (5) Variables Q_0.10 Q_0.25 Q_0.50 Q_0.75 Q_0.90
years_of_schooling 0.114*** 0.128*** 0.126*** 0.114*** 0.090*** (0.026) (0.012) (0.009) (0.008) (0.018) exper 0.020 0.013 0.021*** 0.025*** -0.016 (0.021) (0.011) (0.008) (0.007) (0.014) exper2 -0.000 -0.000 -0.000* -0.000*** 0.000 (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) public 0.811*** 0.662*** 0.525*** 0.319*** 0.307** (0.236) (0.108) (0.078) (0.063) (0.133) Constant 5.640*** 5.521*** 6.433*** 7.004*** 7.525*** (0.487) (0.327) (0.394) (0.203) (0.293) Observations 959 959 959 959 959
Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Source : Author’s calculation using Stata
Table 4.4 depicts quantile regressions for male. The returns to education for male are very
statistically significant in all level of earnings distribution. Unlike in females case in which return to
education is higher in the lower tail of the distribution, return to education for males are evenly
distributed in all quantiles of earnings distribution. This finding shows that in all level of income and
education, males will be benefitted in the same proportion. These findings are very unique,
acknowledging that although the rate of return to education for females are not higher than males as
usually the case, but their rate of return to education proven to be helpful in tightening the gap of income
inequality among females since the rates are higher for female workers at the lower level of earnings
distribution.
237
Table 4.4. Quantile Regressions for Male
(1) (2) (3) (4) (5) Variables Q_0.10 Q_0.25 Q_0.50 Q_0.75 Q_0.90
years_of_schooling 0.103*** 0.097*** 0.098*** 0.103*** 0.105*** (0.015) (0.007) (0.005) (0.006) (0.015) exper 0.050*** 0.043*** 0.034*** 0.032*** 0.027* (0.019) (0.009) (0.006) (0.006) (0.015) exper2 -0.001* -0.001*** -0.001*** -0.000*** -0.000 (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) public 0.169 0.313*** 0.316*** 0.108** -0.192 (0.155) (0.069) (0.048) (0.050) (0.126) Constant 6.181*** 6.681*** 7.124*** 7.195*** 8.486*** (0.352) (0.449) (0.297) (0.349) (0.316) Observations 1,896 1,896 1,896 1,896 1,896
Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Source : Author’s calculation using Stata
Interesting finding from Table 4.4, the variable public are statistically significantly affecting the log
salary for males in second, third and fourth quantile but not the first quantile. The first quantile is filled
with workers with lowest salary and education level. This means the income equalizing process through
employment in public sector for male is not as profound for males given as well the lowest tail of income
distribution is not significantly affected by it. The magnitude of the benefit of employment in public
sector for males also lower compared to females.
V. CONCLUSION AND POLICY RECOMMENDATION
Income inequality has been seen as very serious issues for decades, particularly now. OECD has
put emerging countries as the one who face the highest risk in income inequality. The wage gap has risen
sharply throughout 2001 to 2007 as researched by Sakellariou2, and the trend seems to continue to date.
Education has always been seen as a social escalator to help particularly the poor to escape from
poverty. This notion is supported by some studies believe in the opposite directions that rate of return to
educations are the highest at the primary and secondary level rather than at the college level. On the
contrary, some previous studies also said that despite the fact that education giving return to all level of
education, the income inequality can get even wider since the rate of returns are different across the
level of education and the higher the educational level, the rate gets even higher.
This paper uses the longitudinal data set from IFLS, from 5714 observers, working in both private
and public sector coming from two waves of IFLS (2000 and 2007), to estimate the rate of return to
education. The rate is found to be 7.5 percent which is in line with finding from Psacharapoulus5 saying
that the rate of return of education in Asian countries is around 8 percent. Another interesting finding
from this paper is that return to education for females is not different from males since usually the rate
of return to education for females is usually higher than males. Some of the reasons probably because
the female samples are the majority at the level of never attending school or in other word zero year of
schooling which doesn’t happen in another level of year of schooling. Many of female samples also
receive higher education, they’re about 46 percent in the level of receiving more than 12 years of
schooling, this number is big given that female samples is only about 30 percent in total. But it might be
that they don’t work in sectors that don’t value education as much as sectors in which male samples
work.
To examine whether education can help tighten the income inequality gap, the quantile regression
analysis is done, the result shows that education is very statistically significantly affecting wage in the
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 229 - 240
238
similar rates across the earnings distribution. This is also the case when the quantile regression for
males was done. This means that although rate of return doesn’t prove to tighten the gap on income
inequality since the rates are similar for all earnings distribution not showing the bigger rates for
workers at the lower tail, but that education widen the income inequality isn’t proven as well since
workers at the higher tail with higher level of education also get the same rates or return to education. A
different finding is shown for females’ case. Their rates of return to education are higher for workers at
the lower tail of the earnings distribution. This shows that for females, education can help to tighten the
gap in income inequality since workers that are benefitted the most from education are those at the
lower tail.
Another interesting finding is that public sector workers earn more compared to their peers in
private sector. Public sector employment also help income equalizing process since it benefits workers
particularly at the lower tail of earning distributions. The income equalizing process for public sector
employment is more profound for female compared to male workers.
REFERENCES
Appleton, A. (2000). Education and Health at the Household Level in Sub-Saharan Africa. CID Working Paper No. 33
Beaudry, P, and Ethan Lewis. (2012). Do Male-Female Wage Differentials Reflect Differences in the Return to Skill? Cross-City Evidence From 1980-2000. Presented in the Seminars at University of British Columbia, the Federal Reserve Bank of San Francisco, and Dartmouth College
Blundell, R, Dearden L, and Sianesi B. (2001). Estimating the Returns to Education: Models, Methods and Results. London: Center for the Economics Education, London School of Economics Press
Byron, R and Hiroshi Takahashi. (1989). An Analysis of the Effect Earnings in the Government and Private Sectors of Urban Java. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.25, No.10, pp. 105-117
Carneiro, P. et. all. (2009). Average and Marginal Returns to Upper Secondary Schooling in Indonesia. Report for Economic and Social Research Council
Chirwa, E.W. (2009). The Rate of Return on Education in Malawi. Zomba: Working Paper No. 2009/01, University of Malawi Press
Dougherty, C. (2003). Why is the Rate of Return to Schooling Higher for Women than For Men. London: London School of Economics Press
Duflo, E. (2001). Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence From An Unusual Policy Experiment. American Economic Review v91 795-813
Duraisamy, P. (2000). Changes in Returns to Education in India, 1983-94: By Gender, Age-Cohort and Location. Connecticut: Center Discussion paper No.815, Yale University Press
Farooq, M. (2011) The Returns to Education for Male and Female Workers in Pakistan: A New Look at the Evidence. The Dialogue Volume VI Number 2
Martins, Pedro S.and Pedro T. Pereira. (2004). Does Education Reduce Wage Inequality? Quantile Regression Evidence from 16 Countries. Labour Economics 11 (2004) 355 – 371
Newhouse, D and Daniel Suryadarma. (2011). The Value of Vocational Education: High School Type and Labor Market Outcomes in Indonesia. World Bank Economic Review Volume 25, Issue 25 292-322
OECD. (2011). Special Focus: Inequality in Emerging Economies (EEs). (http://www.oecd.org/els/social/inequality, diakses Agustus 2013)
Psacharopoulos, G. (1994). Return to Investment in Education: A Global Update. World Development, Vol. 22, No 9, pp. 132.5-1 343
RAND Indonesia Family Life Survey ( http://www.rand.org/labor/FLS/IFLS.html,) accessed on July 5th, 2013
Income Inequality : Education ... (Nugraheni Kusumaningsih)
239
Sakellarious, C. (2009). Changing Wage Distributions and the Evolution of Wage Inequality in Indonesia: 1994 – 2007. Singapore: Economic Growth Centre Working Paper Series
Siphambe, H.K. (2009). Rates of Return to Education in Bostwana. Economics of Education Review 19 (2000) 291–300
Tansel, A. (2010). Changing Returns to Education for Men and Women in a Developing Country: Turkey, 1994-2005. Presented at ESPE 2008 Conference
Wooldridge, J.M. (2010). Introductory Econometrics: A Modern Approach. CengageLearning
Kaj. Eko. & Keu.
Vol. 18 No. 3 Desember
2014 Halaman : 181 - 254
Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia
Performa Belanja Pemerintah Daerah, Investasi Privat dan Kesempatan Kerja di Indonesia
Efektivitas Kebijakan Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi di Jawa-Bali
Income Inequality : Education as The Panacea
Dampak Bea Keluar terhadap Ekspor CPO Indonesia
No. Akreditasi : 467/AU3/P2MI-LIPI/08/2012
Vol 18 No 3, Desember 2014
[
T
y
p
e
a
q
u
o
t
e
f
r
o
m
t
h
DAMPAK BEA KELUAR TERHADAP EKSPOR CPO INDONESIA
Impact Tax Policy on CPO Exports
Makmun Syadullah Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Jln. Dr. Wahidin No. 1, Jakarta Pusat 10710, DKI Jakarta, Indonesia Email : [email protected]
Naskah diterima: 22 Oktober 2014 Naskah direvisi: 18 November 2014
Disetujui diterbitkan: 3 Desember 2014
ABSTRACT
CPO is a strategic commodity in the global market, so that the condition and CPO prices in the
domestic market is strongly influenced by the global market. This study aims to analyze several factors
that affect CPO export, namely CPO price in the international market, the exchange rate rupiah against the
US dollar and tax policy as stated in the PMK No. 128 / PMK.011 / 2011. Based on this research, in the
period 2005-2013 Indonesia's CPO exports was influenced by the CPO price in the international market,
the exchange rate rupiah against the US dollar and tax policy in 2011. Overall the model is able to explain
that variation changes CPO exports in the period 2005-2013 by 73,73%t are influenced by the three
variables used in this model, while the rest is influenced by other variables that are not included in this
study observations. while the rest is influenced by other variables that are not included in this study
observations.
Keywords : crude palm oil, exchange rate, export, tax policy
ABSTRAK
Produk CPO merupakan komoditas strategis di pasar global, sehingga kondisi dan harga CPO di
pasar domestik sangat dipengaruhi oleh pasar global. Penelitian ini bertujuan untuk mengalisis beberapa
faktor yang mempengaruhi ekspor CPO, yakni harga CPO di pasar internasional, nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika dan kebijakan bea keluar sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor
128/PMK.011/2011. Berdasarkan hasil penelitian, dalam periode 2005-2013 ekspor CPO Indonesia
dipengaruhi oleh harga CPO di pasaran internasional, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan
kebijakan bea keluar tahun 2011. Secara keseluruhan model mampu menjelaskan bahwa variasi
perubahan ekspor CPO dalam periode 2005-2013 sebesar 73,73% dipengaruhi oleh ketiga variable yang
dipakai dalam model ini, sedangkan selebihnya dipengaruhi oleh variable lain yang tidak masuk dalam
pengamatan penelitian ini.
Kata Kunci: bea keluar, ekspor, minyak sawit mentah, nilai tukar
JEL Classification: F4, H3, E4
I. PENDAHULUAN
Produk CPO merupakan komoditas strategis di pasar global, sehingga kondisi dan harga CPO di
pasar domestik sangat dipengaruhi oleh pasar global. Produk CPO merupakan komoditas ekspor
potensial dan memberikan kontribusi cukup besar bagi perolehan devisa. Dalam rangka meningkatkan
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254
242
nilai tambah ekpor, pemerintah memacu industri untuk melakukan hilirisasi industri dengan fokus pada
sektor serta komoditas yang menjadi andalan, yakni industri agro, migas, dan bahan tambang mineral.
Penelitian tentang dampak kebijakan bea keluar terhadap ekspor komoditas tertentu sudah
banyak dilakukan. Secara umum penelitian tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok:
Pertama, mereka menghitung pajak ekspor optimal (Akiyama 1992; Trivedi dan Akiyama 1992; Yilmaz
1999; Burger 2008; Permani, Vanzetti, dan Setyoko 2011). Kedua adalah mereka yang menganalisis
pengaruh pajak ekspor pada kesejahteraan dan ekonomi (Marks, Larson, dan Pomeroy 1998; Hasan,
Reed, dan Marchant 2001; Warr 2002; Susila 2004; Rifin 2010; Nyein et al 2010;. Pradiptyo et al 2011).
Semua studi ini menunjukkan bahwa pajak ekspor akan berdampak negatif terhadap perekonomian dan
mengurangi daya saing.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Amzul Rifin,(2012) menunjukkan bahwa harga petani
ditentukan oleh harga internasional. Sementara itu, harga internasional hampir sempurna
ditransmisikan ke harga petani. Hal ini menyebabkan petani memiliki posisi tawar lebih tinggi dari
eksportir, khususnya setelah pelaksanaan pajak ekspor pada bulan April 2010 Dengan penerapan pajak
ekspor, margin exportir semakin menurun karena persaingan yang semakin sengit dalam mendapatkan
biji kakao dari petani.
Menurut Piermartini (2004) efek dari pajak ekspor tergantung pada kekuatan pasar. Negara-
negara dengan kekuatan pasar yang menerapkan pajak ekspor memiliki lebih banyak berpengaruh pada
harga internasional, volume perdagangan, distribusi pendapatan, dan terms of trade daripada negara
tanpa kekuatan pasar. Sementara itu, dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
nasional lebih parah ketika pajak ekspor diimplementasikan oleh negara tanpa kekuatan pasar
(Devarajan et al. 1996). Jika suatu negara dengan kekuatan pasar menerapkan pajak ekspor, juga akan
menderita kerugian efisiensi karena dampak distorsi dari pajak ekspor, namun terms of trade akan
meningkatkan karena kenaikan harga ekspor (Piermartini 2004).
Hasil penelitian Prahastuti (2000) menunjukkan bahwa ekspor CPO dipengaruhi oleh harga CPO
domestik, produksi CPO, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Sedangkan hasil penelitian
Askadarimi (2007) menunjukkan bahwa harga riil CPO domestik, dan dummy kebijakan perluasan areal
kelapa sawit bersifat responsif pada jangka panjang.
Widyanti (2007) melakukan analisis integrasi pasar CPO dunia dengan minyak goreng dan TBS
domestik serta pengaruh tarif ekspor BBM dunia, bertujuan untuk menganalisis integrasi pasar CPO,
minyak goreng, dan TBS domestik; pengaruh tarif ekspor dan harga BBM dunia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tarif ekspor merupakan bentuk ketidakefektifan kebijaksanaan pemerintah dalam
industri perkelapasawitan karena dengan adanya tarif ekspor, ekspor CPO akan berkurang.
Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Munadi (2007) dalam jangka pendek permintaan
ekpor kelapa sawit oleh India sangat dipengaruhi oleh rasio antara harga minyak kedelai dan harga
minyak kelapa sawit dunia..Penurunan pajak ekspor akan diikuti oleh meningkatnya jumlah minyak
sawit yang diekspor.
Paper ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dampak bea keluar tahun 2011 terhadap ekspor CPO
Indonesia. Disamping itu juga melihat dampak variabel-variabel lainnya yang diduga mempengaruhi
ekspor CPO yakni harga CPO internasional dan nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Selanjutnya dalam
paper ini juga akan dianalisis dampak kebijakan bea keluar terhadap perkembangan hilirisasi CPO di
Indonesia.
Dampak Bea Keluar ... (Makmun)
243
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dampak Pengenaan Bea Keluar terhadap Harga Barang
Dalam rangka mencapai tujuan menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi
kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor
tertentu di pasaran internasional, dan menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri,
Pemerintah mengenakan pungutan atas barang ekspor tertentu. Dengan demikian pengenaan bea keluar
akan berdampak negatif terhadap ekspor.
Menurut Mankiw (2003), kebijakan perdagangan merupakan kebijakan yang dirancang untuk
mempengaruhi secara langsung jumlah barang dan jasa yang diekspor atau diimpor. Biasanya kebijakan
perdagangan berbentuk melindungi industri domestik dari pesaing asing, baik dengan menerapkan
pajak impor (tarif) atau membatasi jumlah barang dan jasa yang diimpor (kuota).
Sumber: Mankiw (2003) Gambar 2.1. Dampak Bea Keluar pada Harga.
Gambar di atas menjelaskan bahwa secara ekstrim, apabila tidak ada bea keluar, maka ekpor akan
mencapai sebesar QFT dengan harga sebesar PFT. Apabila pemerintah mengenakan bea keluar atas
ekspor barang sebesar
maka jumlah yang diperdagangkan akan turun menjadi Qr. Dengan kata lain, bea keluar akan
menghambat perdagangan internasional.
Kenaikan harga barang-barang domestik relatif terhadap barang-barang luar negeri cenderung
mengurangi ekspor karena akan mendorong impor dan menekan ekspor. Jadi, apresiasi menghapus
kenaikan ekspor yang langsung bisa dikaitkan dengan hambatan perdagangan. Kebijakan perdagangan
proteksionis mempengaruhi jumlah perdagangan. Karena kurs riil terapresiasi, maka barang dan jasa
yang diproduksi menjadi relatif lebih mahal terhadap barang dan jasa luar negeri. Pada tingkat yang
sama, jumlah yang diekspor lebih sedikit. Karena ekspor tidak berubah, barang yang akan diimpor juga
sedikit (apresiasi kurs riil akan mendorong impor, tetapi kenaikan impor ini hanya sebagian yang akan
menghilangkan dampak penurunan impor yang disebabkan oleh adanya hambatan perdagangan). Jadi,
kebijakan proteksionis mengurangi jumlah impor dan ekspor.
Penurunan jumlah perdagangan total merupakan alasan yang selalu digunakan para ekonom
untuk menentang kebijakan proteksionis. Perdagangan internasional menguntungkan semua negara
dengan memberikan kebebasan pada setiap negara untuk melakukan spesialisasi dan memberikan
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254
244
setiap negara variasi barang dan jasa yang lebih beragam. Kebijakan proteksionis mengurangi manfaat
perdagangan internasioal. Meskipun kebijakan ini menguntungkan kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat.
Kebijakan menaikkan PE untuk mendorong pertumbuhan industri hilir dilandasai pemikiran
bahwa kenaikan PE akan lebih menjamin ketersediaan bahan baku dengan harga yang lebih rendah.
Kenaikan PE akan menghambat ekspor sehingga ketersediaan bahan baku di dalam negeri akan
meningkat dengan harga yang lebih murah. Meskipun kebijakan ini menguntungkan kelompok-
kelompok tertentu dalam masyarakat.
Kebijakan menaikkan PE untuk mendorong pertumbuhan industri hilir dilandasai pemikiran
bahwa kenaikan PE akan lebih menjamin ketersediaan bahan baku dengan harga yang lebih rendah.
Kenaikan PE akan menghambat ekspor sehingga ketersediaan bahan baku di dalam negeri akan
meningkat dengan harga yang lebih murah.
2.2. Kebijakan Bea Keluar CPO
Harga CPO dalam negeri sangat ditentukan oleh harga CPO internasional dan nilai tukar dollar
terhadap rupiah. Harga CPO dunia yang tinggi merupakan daya tarik yang besar bagi pengusaha dalam
negeri untuk mengekspor CPO dan menghindarkan diri dari kewajibannya memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Begitu halnya dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar, semakin lemah nilai tukar rupiah, maka
pengusaha dalam negeri semakin bergairah untuk melakukan ekspor. Hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya pasokan CPO bagi industri dalam negeri, terutama minyak goreng, yang pada akhirnya
akan mengganggu stabilitas harga minyak goreng.
Dalam rangka menjamin terpenuhinya kebutuhan CPO dalam negeri; melindungi kelestarian
sumber daya alam; mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di
pasaran internasional; atau menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri pemerintah
mengeluarkan kebijakan bea keluar terhadap barang ekspor.
Kebijakan bea keluar sudah dimulai sejak 1974 yang lebih dikenal dengan pajak ekspor, namun
mulai menjadi perhatian dalam perdagangan CPO pada tahun 1994 sebagaimana tertuang dalam
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 439/KMK.017/1994. Pada tahun 1997, melalui Surat
Keputusan Memperindag Nomor 456/MPP/Kep/12/1997 Pemerintah hanya membolehkan 15
perusahaan yang ditunjuk melakukan ekspor dengan kuota 25 persen dari total produksi. Ekspor CPO
dan produk turunannya baru boleh diekspor kembali secara bebas pada tahun 1998 melalui Surat
Keputusan Memperindag Nomor 181/MPP/Kep/4/1998. Perkembangan selengkapnya kebijakan terkait
dengan ekspor CPO dapat dilihat pada lampiran.
Pada tahun 2005 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
92/KMK.02/2005 tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Pungutan Ekspor.
Berdasarkan PMK 92/PMK.02/2005 tarif pungutan ekspor ditetapkan sebesar 3 persen. Pada tahun
2007 pemerintah memberlakukan tarif progresif.
Pada tahun 2006 pemerintah mengubah penggunaan istilah pajak ekspor menjadi bea keluar.
Pemberlakuan bea keluar di Indonesia diawali dengan diaturnya pengenaan bea keluar terhadap ekspor
barang-barang tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang
Kepabeanan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2008 tentang Penetapan Barang
Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar yang efektif mulai berlaku 1 Januari 2009
dengan tarif progresif. Tidak ada perbedaan antara pajak ekspor dengan bea keluar, perbedaan hanya
pada penambahan dengan lebih memerinci beberapa jenis produk turunannya. Sedangkan pokok barang
yang dikenakan bea keluar tidak mengalami perubahan.
Pemerintah terus melakukan restrukturisasi struktur tarif bea keluar untuk mendukung hilirisasi
Dampak Bea Keluar ... (Makmun)
245
industri sawit. Sebelumnya produk hulu dan hilir kelapa sawit dikenakan tarif bea keluar sama. Dengan
restrukturisasi produk hulu dikenakan tarif bea keluar lebih tinggi dari produk hilir dengan selisih yang
signifikan. Kebijakan tarif bea keluar untuk hilirisasi sawit dituangkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 128/PMK.011/2011 dan mulai berlaku 14 September 2011. Mengingat PMK
128/2011 mengatur barang ekspor lain yang dikenakan bea keluar sehingga PMK 128/2011 telah
mengalami perubahan dua kali yakni dengan PMK 75/2012 dan PMK 128/2013. Namun susunan tarif
bea keluar minyak sawit dan produk turunannya tidak mengalami perubahan.
III. METODOLOGI
3.1. Metode Analisis
Penelitian ini akan mencoba suatu model untuk menganalisis bagaimana pengaruh harga CPO di
pasar dunia, nilai tukar USD terhadap rupiah dan kebijakan bea keluar terhadap kuantitas ekspor Crude
Palm Oil (CPO). Adapun model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Log (export) = β0 + β1Log (P_ Intern) + β2 Log (Log (ER) + Dummy
Dimana:
Y = jumlah ekpor CPO
P_Intern = harga CPO internasional
ER = nilai tukar rupiah USD terhadap rupiah
Dummy = adalah dummy viabel, untuk mengukur dampak bea
keluar (PMK Nomor 128/PMK.011/2011) terhadap
eskpor CPO
Sebuah model ekonometrik seperti yang ditunjukkan oleh persamaan di atas pada akhirnya akan
digunakan untuk membuktikan hipotesis yang sudah ditentukan dalam penelitian ini. Dalam analisis
ekonometrik modern, jika menggunakan data deret waktu (time series), mensyaratkan data yang
digunakan harus stationer. Sebuah data deret waktu dikatakan stasioner jika nilai rata-rata galat sama
dengan nol dan nilai varians (variance) dari peubah yang bersangkutan konstan sepanjang waktu
(Ramanathan, 2001). Uji stationer data penting dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi pelanggaran
asumís regresi. Masalah utama yang terjadi apabila data yang digunakan di dalam analisis regresi tidak
stasioner, nilai dugaan yang dihasilkan menjadi bias (spurious regression), sehingga menimbulkan
kesalahan dalam interpretasi hasil analisis. Untuk menanggulagi masalah data yang tidak stationer,
beberapa kajian terdahulu telah menyarankan penggunaan konsep deferensial (differencial) data untuk
menghilangkan unit root walaupun penggunaan metode ini masih menimbulkan perdebatan karena
akan menghilangkan informasi jangka panjang yang sangat penting.
Dalam kajian ini untuk menguji kondisi apakah data stationer atau tidak stationer dilakukan uji
Augmented Dickey Fuller (ADF). Jika variabel yang digunakan ternyata tidak stationer, maka dalam
penelitian kita tidak dapat menggunakan OLS. Data yang stationer diketahui setelah dilakukan pengujian
unit root. Adapun yang dimaksud dengan pengujian unit root adalah menguji apakah data yang
digunakan memiliki error yang konstan, dan tidak terpengaruh oleh waktu serta variabel lainnya. Salah
satu metode yang umum digunakan adalah metode Dickey-Fuller.
Selanjutnya untuk menguji bahwa apakah model terbebas dari autocorelasi dan heteroskedasticity,
dalam paper ini akan digunakan uji uji statistik dengan menggunakan metode Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM Test dan uji heteroskedasticity test Glejser.
3.2. Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254
246
Statistik, Bank Indonesia, Kementerian Perdagangan dan Kemeneterian Keuangan. Rentang waktu
pengamatan dalam penelitian ini adalah tahun 2005-2013.
IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Ekpor Sawit
Salah satu andalan ekspor Indonesia adalah minyak sawit (crude palm oil -CPO). Hal ini sejalan
dengan kedudukan Indonesia sebagai salah satu negara produsen CPO terbesar di dunia. Menurut Ditjen
Bina Produksi Perkebunan, Kementerian Pertanian, total produksi CPO pada tahun 2005 mencapai 14,1
juta ton dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 26 juta ton. Dengan demikian dalam periode 2005-
2013 rata-rata produksi CPO meningkat sebesar 10,55 persen.
Sebelum 2005 Indonesia merupakan produsen CPO kedua terbesar di dunia setelah Malaysia.
Namun sejak tahun 2006, jumlah produksi CPO Indonesia telah melebihi Malaysia. Pada tahun 2012
produksi CPO Indonesia jauh di atas Malaysia yang hanya mencapai 18,8 juta ton.
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, diolah
Gambar 4.1. Perkembangan Produksi CPO Indonesia 2005-2013.
Sementara itu dari sisi ekspor, dalam periode 2005-2013 ekspor CPO Indonesia mengalami
peningkatan dari 5,7 juta ton (2005) menjadi 9,57 juta ton (2009), namun sejak 2010 terus mengalami
penurunan hingga akhirnya pada tahun 2013 hanya mencapai 6,62 juta ton. (lihat Gambar 4.1). Namun
apabila dibandingkan dengan prosentase kenaikan produksi, prosentase kanaikan ekspor CPO jauh lebih
kecil. Hal ini disebabkan kebutuhan CPO dalam negeri pada periode yang sama juga mengalami
peningkatan.
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, diolah
Gambar 4.2. Perkembangan Ekspor CPO Indonesia 2005-2013.
Dampak Bea Keluar ... (Makmun)
247
Berdasarkan data produksi dan ekspor CPO di atas, nampak bahwa porsi ekspor CPO dari tahun
ke tahun berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Pada tahun 2005 porsi ekspor CPO mencapai
40,43 persen dan puncaknya pada tahun 2009 yang mencapai 49,53 persen. Sejak 2010 porsi ekspor
CPO terus menurun sehingga pada tahun 2013 diperkirakan hanya mencapai 25,46 persen.
Produk CPO merupakan komoditas strategis di pasar global, sehingga kondisi dan harga CPO di
pasar domestik sangat dipengaruhi oleh pasar global. Produk CPO merupakan komoditas ekspor
potensial dan memberikan kontribusi cukup besar bagi perolehan devisa.
Berdasarkan The United States Departemen of Agricultural total produksi CPO pada tahun 2012 di
seluruh dunia mencapai 62,24 juta ton. Dari total produksi tersebut Indonesia menyumbang 53,73
persen, Malaysia 32,64 persen, Thailand 3,61 persen, Colombia 1,64 persen, dan Nigeria 1,49 persen.
Dari gambaran di atas, Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia dan pada tahun
2012. Dunia berharap Indonesia memberikan kontribusi besar terhadap kebutuhan CPO dunia. Hal ini
disebabkan Malaysia sebagai salah satu pemasok CPO terbesar dunia tidak lagi memiliki lahan
pengembangan yang baru, hanya bertumpu pada peningkatan produktivitas (USDA, 2011).
Sumber: The United States Departemen of Agricultural, diolah
Gambar 4.3. Produksi CPO Seluruh Dunia Tahun 2012 (Juta Ton).
Dalam rangka meningkatkan nilai tambah ekspor, pemerintah memacu industri untuk melakukan
hilirisasi industri dengan fokus pada sektor serta komoditas yang menjadi andalan, yakni industri agro,
migas, dan bahan tambang mineral. Dalam konteks hilirisasi industri agro, khususnya minyak sawit
mentah (crude palm oil/CPO), Indonesia masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan Malaysia.
Indonesia saat ini baru bisa menghasilkan 47 produk turunan CPO, sedangkan Malaysia sudah mencapai
100 produk turunan.
Salah satu jalan yang ditempuh pemerintah untuk mempercepat program hilirisasi CPO adalah
melalui pengenaan bea keluar (BK) CPO. Sejak Januari 2009 pemerintah menerapkan bea keluar ekspor
untuk minyak sawit mentah (CPO). Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri keuangan Nomor
214/PMK.08/2008 tentang Pungutan Bea Keluar yang mulai diberlakukan 1 Januari 2009. Selanjutnya
PMK ini terus diperbaharui sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor 128/PMK.011/2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang
Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Terakhir PMK Nomor 67/PMK.011/2010
diubah kembali dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 128/PMK.011/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254
248
4.2. Perkembangan Hilirisasi Kelapa Sawit
Sejak diberlakukannya bea keluar atas CPO pada Januari 2009, ekspor CPO Indonesia mengalami
penurunan. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa tahun pertama sejak diberlakukannya bea keluar, ekspor
CPO masih belum menunjukkan adanya tanda-tanda penurunan, bahkan mengalami peningkatan.
Penurunan ekspor CPO mulai efektif terutama sejak 2011 dengan dikeluarkannya PMK Nomor
128/PMK.011/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010
tentang Penetapan Barang-Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Sumber: BPS, diolah
Gambar 4.4. Perkembangan Ekspor CPO, Harga CPO dan Nilai Tukar Periode Januari 2005-Desember 2013.
Dalam rangka mempercepat program hilirisasi CPO, pemerintah pada tahun 2013 mengeluarkan
PMK Nomor 128/PMK.011/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
75/KMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dab Tarif Bea Keluar.
PMK ini merupakan salah satu faktor pendukung kesuksesan kebijakan hilirisasi industri kelapa sawit,
karena menjamin pasokan bahan baku minyak sawit mentah bagi industri dalam negeri.
Beberapa dampak positif keberadaan PMK Nomor 128/PMK.011/2013 adalah sebagai berikut: (i)
telah terjadi penambahan ragam produk hilir dari hanya 54 jenis pada tahun 2011 menjadi 149 jenis
pada awal 2014 (oleofood, oleochemical, biofuel), (ii) masuknya investasi lebih dari Rp 30 triliun di
sektor industri pengolahan minyak sawit, (iii) komposisi ekspor produk mentah (CPO/CPKO) dengan
produk hilir berubah dari 60 persen berbanding 40 persen pada tahun 2011 menjadi 40 persen dan 60
persen pada akhir 2013, (iv) utilisasi industri minyak goreng yang semula hanya 45% pada tahun 2011
meningkat menjadi 73 persen pada tahun 2013 dengan kapasitas produksi total mencapai 23 juta ton
CPO, dan (v) pasokan dan harga minyak goring di dalam negeri sebagai salah satu bahan pokok pangan
sangat terjamin dengan stabilitas yang terjaga dengan baik. 4.3. Analisis Regresi
Dalam kajian ini, tahap pertama dalam analisis data adalah untuk memastikan bahwa data yang
digunakan tidak mengandung unit root yang berarti bahwa data harus stationer dengan menggunakan
uji Augmented Dickey Fuller (ADF) dan uji Phillips-Perron (PP). Tabel 4.1 menyajikan hasil uji unit root
dengan menggunakan uji ADF. Berdasarkan hasil uji unit root pada Tabel 4.1 dapat disimpulkan bahwa semua variable harga
internasional (p_intern) dan nilai tukar rupiah terhadap USD stasioner pada first difference, sedangkan variable ekpor (export) stasioner pada level.
Dampak Bea Keluar ... (Makmun)
249
Tabel 4.1. Uji Unit Root untuk Data Stasioner
Variabel Augemented-Dicky Fuller Test Statistic Level 1st Difference
export -3,6906* -1,4191 er -2,5088 -3,1037** p_intern -2,5089 -3,1037** Critical value 1% 5% 10%
-4,8035 -3,4033 -2,8182
Sumber: Data BPS, BI dan Kemendag, diolah Keterangan: * signifikan pada 5% ** signifikan pada 10%
Hasil uji statistik terhadap kondisi autokorelasi dengan menggunakan metode Breusch-Godfrey
Serial Correlation LM Test dan uji heteroskedasticity test: Glejser menunjukkan bahwa Prob. Chi-Square
jauh di atas nilai kritis pada 5 persen. Dengan demikian, berdasarkan semua uji-uji tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa hubungan vector dalam persamaan ekspor tidak ada autokorelasi, struktur yang
stabil namun tidak didistribusikan secara normal.
Tabel 4.2. Uji Autokorelasi dengan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test
F-statistic 0.280774 Prob. F(2,3) 0.7731
Obs*R-squared 1.419026 Prob. Chi-Square(2) 0.4919
Test Equation:
Dependent Variable: RESID Method: Least Squares
Date: 10/17/14 Time: 10:52
Sample: 2005 2013
Included observations: 9 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 3.875307 8.987564 0.431186 0.6954
LOG(P_INTERN) 0.087544 0.218326 0.400980 0.7153
LOG(ER) -0.487933 1.058026 -0.461173 0.6761
D2 0.034680 0.140031 0.247659 0.8204 RESID(-1) -0.556160 0.900499 -0.617613 0.5805
RESID(-2) -0.402382 0.668122 -0.602258 0.5895 R-squared 0.157670 Mean dependent var -2.12E-15
Adjusted R-squared -1.246215 S.D. dependent var 0.100181
S.E. of regression 0.150145 Akaike info criterion -0.719705
Sum squared resid 0.067631 Schwarz criterion -0.588222
Log likelihood 9.238673 Hannan-Quinn criter. -1.003445 F-statistic 0.112310 Durbin-Watson stat 1.807236
Prob(F-statistic) 0.981060
Sumber: Data BPS, BI dan Kemendag, diolah
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254
250
Tabel 4.3. Heteroskedasticity Test: Glejser
F-statistic 1.141092 Prob. F(3,5) 0.4173
Obs*R-squared 3.657661 Prob. Chi-Square(3) 0.3009
Scaled explained SS 1.946379 Prob. Chi-Square(3) 0.5836
Test Equation:
Dependent Variable: ARESID Method: Least Squares
Date: 10/17/14 Time: 10:55
Sample: 2005 2013
Included observations: 9 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -1.983746 2.607911 -0.760665 0.4812
LOG(P_INTERN) 0.095630 0.062032 1.541617 0.1838 LOG(ER) 0.158150 0.286970 0.551103 0.6053
D2 -0.068054 0.047185 -1.442259 0.2088 R-squared 0.406407 Mean dependent var 0.076263
Adjusted R-squared 0.050251 S.D. dependent var 0.059104
S.E. of regression 0.057600 Akaike info criterion -2.569499
Sum squared resid 0.016589 Schwarz criterion -2.481844
Log likelihood 15.56275 Hannan-Quinn criter. -2.758659 F-statistic 1.141092 Durbin-Watson stat 3.650570
Prob(F-statistic) 0.417315
Sumber: Data BPS, BI dan Kemendag, diolah
Berdasarkan hasil analisis dengan merode regresi diperoleh hasil bahwa dalam periode 2005-
2013 ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO di pasaran internasional (harga kontrak
Amseterdam), nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan kebijakan bea keluar CPO tahun 2011.
Tabel 4.4. Hasil Regresi
Dependent Variable: LOG(EXPORT)
Method: Least Squares
Date: 10/09/14 Time: 15:54 Sample: 2005 2013
Included observations: 9 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -6.137581 5.737455 -1.069739 0.3336
LOG(P_INTERN) 0.595254 0.136472 4.361736 0.0073
LOG(ER) 1.219915 0.631339 1.932265 0.1112 Dummy -0.325454 0.103809 -3.135123 0.0258
R-squared 0.835852 Mean dependent var 8.871370
Adjusted R-squared 0.737363 S.D. dependent var 0.247268
S.E. of regression 0.126720 Akaike info criterion -0.992567
Sum squared resid 0.080290 Schwarz criterion -0.904911 Log likelihood 8.466550 Hannan-Quinn criter. -1.181727
F-statistic 8.486772 Durbin-Watson stat 2.229684
Prob(F-statistic) 0.020891
Sumber: Data BPS, BI dan Kemendag, diolah
Dampak Bea Keluar ... (Makmun)
251
Setiap harga CPO di pasaran internasional naik 1 persen, ekspor CPO juga mengalami peningkatan
sebesar 0,5952 persen. Setiap nilai tukar rupiah melemah 1 persen terhadap dollar Amerika, maka
ekspor CPO naik sebesar 1,2199 persen. Sedangkan kebijakan bea keluar CPO tahun 2011 mampu
menahan laju pertumbuhan ekspor CPO sebesar 0,3254 persen.
Pengaruh harga CPO internasional dan kebijakan bea keluar CPO tahun 2011 terhadap ekspor
signifikan pada α sebesar 5 persen, sedangkan pengaruh nilai tukar terhadap ekspor signifikan pada α
sebesar 15 persen. Secara keseluruhan model mampu menjelaskan bahwa variasi perubahan ekspor
CPO dalam periode 2005-2013 sebesar 73,73 persen dipengaruhi oleh ketiga variable yang dipakai
dalam model ini, sedangkan selebihnya dipengaruhi oleh variable lain yang tidak diamati pada penelitian
ini.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Berdasarkan hasil kajian dapat dsimpulkan bahwa ekspor CPO Indonesia dalam periode 2005-
2013 secara signifikan dipengaruhi oleh harga CPO di pasaran internasional, nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika dan kebijakan bea keluar CPO tahun 2011.
Setiap harga CPO di pasaran internasional naik 1 persen, ekspor CPO juga mengalami peningkatan
sebesar 0,5952 persen. Setiap nilai tukar rupiah melemah 1 persen terhadap dollar Amarika, maka
ekspor CPO naik sebesar 1,2199 persen. Sedangkan kebijakan bea keluar CPO tahun 2011 mampu
menahan laju pertumbukan ekspor CPO sebesar 0,3254 persen.
Berdasarkan temuan di atas, kebijakan bea keluar sebaiknya tetap dilanjutkan, mengingat
dampaknya terhadap program hilirisasi cukup berhasil. Sejak dikeluarkannya PMK Nomor
128/PMK.011/2011 komposisi ekspor CPO Indonesia telah mengalami perubahan dari ekspor produk
mentah (CPO/CPKO) dengan produk hilir berubah dari 60 persen berbanding 40 persen pada tahun
2011 menjadi 40 persen dan 60 persen pada akhir 2013. Ke depan, kebijakan bea keluar sebaiknya juga
diperluas untuk diterapkan bukan saja untuk kepentingan hilirisasi, namun juga untuk tujuan konservasi
lingkungan dan pengendalian terkurasnya cadangan sumber daya alam, misalnya batubara.
DAFTAR PUSTAKA
Akiyama, Takamasa. (1992). Is There a Case for an Optimal Export Tax for Perennial Crops. Policy Research Working Paper, World Bank.
Amzul Rifin, (2012)., Impact of Export Tax Policy on Cocoa Farmers and Supply Chain, SEADI Discussion Paper No. 1
Askadarimi, I. (2007). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perdagangan Minyak Sawit (CPO) Indonesia. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Burger, K. (2008). Optimal export taxes: the case of cocoa in Cote d'Ivoire. Paper presented at the 107th EAAE Seminar "Modelling of Agricultural and Rural Development Policies", Sevilla, Spain, European Association of Agricultural Economists.
Ernawati Munadi, (2007), Penurunan Pajak Ekspor dan Dampaknya terhadap Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia Ke India (Pendekatan Error Correction Model), dimuat dalam Informatika Pertanian Volume 16 No. 2.
Hasan, Mohamad F, Michael R. Reed and Mary A. Marchant. (2001). Effects of an Export Tax on Competitiveness: The Case of the Indonesian Palm Oil Industry. Journal of Economic Development, Vol 26(2),pp77 – 90
Intan, Eka K.P, Widyastutik, Amzul Rifin, Sri Hartoyo dan Heny Daryanto, (2008). Kebijakan Pungutan Ekspor Crude Palm Oil Kelapa Sawit: Perkembangan Dan Mekanisme Pemungutannya. Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 – Juni).
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254
252
Mankiw. (2003). Teori Makroekonomi. Edisis ke-5. Erlangga. Jakarta.
Marks, Stephen V, Donald F Larson and Jacqueline Pomeroy. (1998). Economic Effects of Taxes on Exports of Palm Oil Products. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol 42(3), pp7-58.
Nyein, Khin Myo, Prapinwadee Sirisupluxana and Boonjit Titapiwatanakun. (2010). Welfare Effects of Export Tax Implications on Sesame in Myanmar. Journal of Global Business and Economics, Vol 1(1),p162-179.
Permani, Risti, David Vanzetti and Nur Rakhman Setyoko. (2011). Optimum Level and Welfare Effects of Export Taxes for Cocoa Beans in Indonesia: A Partial Equilibrium Approach. Paper presented at the 2011 AARES Annual Conference 8-11 February 2011 in Melbourne.
Pradiptyo, Rimawan, Tri Widodo and Amirullah Setya Hardi. (2011). Evaluasi Kebijakan Bea Keluar Biji Kakao di Indonesia (Cocoa’s Export Tax Policy Evaluation). Penelitian Pelatihan Ekonomika dan Bisnis, Gadjah Mada University.
Prahastuti, I. (2000). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perdagangan CPO, serta Keterkaitan Pasar CPO dan Minyak Goreng Sawit. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rifin, Amzul. (2010). The Effect of Export Tax on Indonesia’s Crude Palm Oil (CPO) Export Competitiveness. ASEAN Economic Bulletin, Vol 27(2), pp173-184.
Susila, Wayan R. (2004b). Impacts of CPO-Export Tax on Several Aspects of Indonesian CPO Industry. Oil Palm Industry Economic Journal, Vol 4(2), pp1-13。
Trivedi, Pravin K and Takamasa Akiyama. (1992). A Framework for Evaluating the Impact of Pricing Policies for Cocoa and Coffee Cote d’Ivoire. The Work Bank Economic Review, Vol 6(2),pp307-330.
Yilmaz, K. (1999). Optimal Export Taxes in a Multi-country Framework. Journal of Development Economics, Vol 60(2), pp439-465.
Warr, Peter G. (2002). Export Taxes and Income Distribution: The Philippines Coconut Levy. Weltwirtschaftliches Archiv, Vol 138(3),pp.437-458.
Widyanti, S. (2007). Analisis Intergrasi Pasar CPO Dunia dengan Pasar CPO, Minyak Goreng dan TBS Domestik serta Pengaruh Tarif Ekspor CPO dan Harga BBM Dunia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
http://www.pecad.fas.usda.gov/highlights/2011/06/Malaysia
Dampak Bea Keluar ... (Makmun)
253
LAMPIRAN Tabel 1. Perkembangan Kebijakan Crude Palm Oil (CPO) di Indonesia
No Periode Dasar Kebijakan
Pemerintah Materi Kebijakan
1 1978-1991 SKB Mendagkop, Mentan dan Menperindag No 275/KPB/XIII/1978 764/Kpts/12/1978 252/U/SK/1978 Tanggal 16 Desember 1978
Digunakan instrumen a. alokasi bagi kebutuhan dalam negeri b. Ditetapkan harga CPO untuk penjualan
dalam negeri c. Diperlukan ijin dari Dept. Perdagangan
untuk ekspor Catatan: Mei 1986 ditambah dengan instrumen PE yang akhirnya mulai Mei 1991 dihapuskan lagi, termasuk alokasi kebutuhan DN
2 1991-1994 SKB Mendag, Mentan, Menperin No. 136/KPB/VI/1991 340/Kpts/KB.320 VI/1991 50/M/SK/6/1991 Mei 1991
SKB 16 Desember 1978 dicabut, berarti perdagangan dan ekspor CPO dibebaskan 3
3 1994-1997 SK Menkeu No. 439/KMK.017/1994 Tanggal 31 Agustus 1994
Ditetapkan PE progresif bagi CPO dan produk olahannya Catatan: Mei 1995 ditugaskan membentuk kesediaan penyanggah. Bekerja sama dengan Bimoli, Bulog melakukan operasi pasar.
4 1997-1998 SK Menkeu No. 300/KMK/1997 Tanggal 4 Juli 1997
Pajak ekspor diturunkan dari 40 s/d 60% menjadi 2 s/d 5% dan tidak progresif.
SK Menperindag No. 456 /MPP/Kep/12/1997 tgl 17-12-97
Kewajiban produsen memasok CPO untuk kebutuhan dalam negeri.
Surat Menkeu No.622 /KMK.01/1997 tgl 17-12- 1997
Produsen ekspor CPO namun belum memenuhi kewajiban memasok kebutuhan DN dikenakan PE tambahan 28% - 30%
Surat Ditjen Dagri No. 420 /DJPDN/XII/1997 tgl 24-12-97
CPO dan produk-produknya produksi bulan Januari s/d Maret 1998 hanya untuk kebutuhan DN
SK Menperindag No. 102/MPP/Kep/2/1998 Tanggal 26 Februari 1998
Mencabut SK tanggal 17 Desember Produksi CPO dan turunannya hanya untuk kebutuhan dalam negeri sampai harga DN stabil.
SK Menperindag No 181/ MPP/Kep/4/1998 tgl 17 April 98
Perdagangan CPO dan produk-produknya dinyatakan bebas
SK Menkeu No. 242 /KMK.01/1998 tgl 22 April 98
Pajak ekspor dinyatakan berkisar antara 15% - 40% 5
5 2001 SK Menkeu 66/KMK.017/2001
Pajak ekspor CPO 3 %
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254
254
No Periode Dasar kebijakan
Pemerintah Materi Kebijakan
6 2005 SK Menkeu 130/KMK. 010/2005
Pajak ekspor CPO 1,5 %
PP No.35 tahun 2005
Penetapan barang ekspor tertentu oleh Menkeu. Tujuan pengenaan PE (pasal 2 ayat 2) yaitu: a. Menjamin kebutuhan DN b. Melindungi kelestarian SDA c. Antisipasi kenaikan harga di pasar International d. Menjaga stabilitas harga DN
7 2006 SK Menperindag No. 17/M-Dag/Per/3/2006 Tanggal 29 maret 2006
a. HPE ditetapkan setiap bulan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan atau Dirjen Perdagangan LN.
b. HPE berlaku 10 April - 9 mei 2006: US $ 362/MT
SK Menperindag No. 21/M-Dag/Per/5/2006 tgl 8-5- 2006
HPE berlaku satu bulan mulai 10 Mei-9Juni 2006, yaitu US $ 358/MT
8 2008 PMK No. 223/PMK.011/2008 Bea Keluar mulai berlaku 1 Januari 2009 dengan tariff progresif
9 2011 PMK No. 128/PMK.011/2011 Pengenaan bea keluar atas campuran dari CPO dan produk turunannya dan mulai berlaku 14 September 2011
10 2012 PMK No. 75/2012 Penyempurnaan uraian dan kelompok barang dan produk turunannya
11 2013 PMK No. 128/2013 Penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan arif bea keluar
Sumber: Intan, dkk (2008) dan Kementerian Keuangan, diolah
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18 No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 254 ISSN 1410-3249
INDEKS SUBJEK
A
Analisis data panel 92, 141 APBN/APBD 182, 184, 194, 195 Asuransi gempa 16, 21, 22
B
Belanja pemerintah daerah 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 207 Bea keluar 241, 242, 243, 244, 245, 247, 248, 250 BBM bersubsidi 209, 210, 211, 212, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 224
D
Data mikro 119, 125, 126, 141 Debt sustainable framework 99
E
Ekonomi internasional 155 Ekstensifikasi 119, 120, 122, 127, 128, 129, 131, 132, 134, 135, 137, 138 139 Ekspor 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250 External debt 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 108, 109, 110, 111, 112 113, 114, 115, 116, 117
F
Fasilitas umum 1, 2, 3, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13 Female 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237 Foreign currency 99, 101, 102, 115, 117
H
Highest and best us 1, 2, 11, 13 Harga minyak mentah (ICP) 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67
I
Income inequality 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237 Insentif pajak 69, 70, 71, 72, 74, 78, 79, 80 Investasi privat 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 207
J
Jarak garis lurus 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12 Jarak jalanan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12
K
Kebijakan fiskal 125, 155, 156, 157, 161, 167 Kepatuhan pajak 120, 123 Kesempatan kerja 197, 198, 199, 201, 207 Konsumsi 209, 210, 211, 212, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 224 Kredit usaha rakyat 38, 39, 44
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18 No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 254 ISSN 1410-3249
INDEKS SUBJEK
M
Model peramalan 155 Minyak sawit mentah
N
Nilai tukar 241, 242, 243, 244, 245, 248, 250, 251
P
Pajak properti 1, 2, 3, 4, 11, 12, 13 Penerimaan pajak 2, 3, 12 Pengeluaran listrik rumah tangga 141, 142, 143, 147, 149, 150, Pengeluaran rumah tangga 15, 20, 25, 26, 27, 28 Perdagangan bilateral 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 94, 95, 96, 97 Pertumbuhan PDB 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80 Pertumbuhan penerimaan pajak 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80 Perubahan iklim 181, 182, 184, 195 Potensi pajak 120 Proyeksi 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67 Premi asuransi bencana 15, 19, 29, 32
R
Ratio 99, 100, 102, 103, 104, 108, 109, 110, 111, 112, 114, 115, 116 117 RAN-GRK 181, 182, 183, Return to education 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237 Risiko fiskal 37, 38, 44, 50, 51, 52
S
Solvency 99, 100, 102, 103, 104, 108, 111, 114, 117 Sosiokultural 86, 87 Subsidi BBM 209, 210, 211, 212, 214, 215, 216, 218
T
Teori gravitasi 85, 88
U
Usaha mikro, kecil, dan menengah 38
W
Wajib pajak orang pribadi 120, 124, 137 Model peramalan 155 Minyak sawit mentah 241, 247, 248
N
Nilai tukar 241, 242, 245, 248, 250, 251
P
Pajak properti 1, 2, 3, 4, 11, 12, 13