tugas gender mainstreaming

22

Click here to load reader

Upload: sulistio-tatak-abimanyu

Post on 11-Jun-2015

1.059 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Gender Mainstreaming

DISUSUN OLEH :

NAMA : SULISTIO TATAK ABIMANYU

NPM : 200710115036

Page 2: Tugas Gender Mainstreaming

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAYA

HAMBATAN SOSIAL BUDAYA DALAM PENGARUSUTAMAAN

GENDER DI INDONESIA

(Socio-Cultural Constraints on Gender Mainstreaming in Indonesia)

PENDAHULUAN

Pada dasarnya, semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki-laki berbeda.

Manakala kita melihat karakteristik dari masing-masing secara fisik, kita akan dengan mudah

membedakannya. Perbedaan alami yang dikenal dengan perbedaan jenis kelamin sebenarnya

hanyalah segala perbedaan biologis yang dibawa sejak lahir antara perempuan dan laki-laki.

Seandainya saja perbedaan itu tidak menjadikan ketidakadilan, tidak menjadikan

pertentangan dan tidak ada penekanan dan penindasan satu diantara yang lain, mungkin

tidaklah menjadi sebuah masalah. Pada kenyataannya, perbedaan itu telah merambat pada

salah satu pihak merasa dan dianggaplebih tinggi derajatnya, lebih berkuasa dan lebih

segalanya dari pihak lain.

Hal inilah yang memunculkan adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan.

Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan atau lebih dikenal dengan istilah kesetaraan

gender telah menjadi pembicaraan yang hangat akhir-akhir ini. Melalui perjalanan panjang

untuk meyakinkan dunia bahwa perempuan telah mengalami diskriminasi hanya karena

perbedaan jenis kelamin dan perbedaan secara sosial, akhirnya pada tahun 1979, Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui konferensi mengenai penghapusan segala bentuk

Page 3: Tugas Gender Mainstreaming

diskriminasi terhadap perempuan. Konferensi ini sebenarnya telah diratifikasi oleh Indonesia

pada tahun 1984 menjadi UU No. 7/1984, tetapi jarang disosialisasikan dengan baik oleh

negara. Konferensi maupun Undang-Undang tersebut pada kenyataannya tidak juga sanggup

menghapus diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Di seluruh dunia masih ada

perempuan yang mengalami segala bentuk kekerasan (kekerasan fisik, mental, sosial dan

ekonomi) baik di rumah, di tempat kerja maupun di masyarakat.

Upaya peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan telah tersirat dalam

lima falsafah dasar bangsa Indonesia yaitu Pancasila, Undang-Undang dasar 1945, dan Garis-

garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pancasila sebagai cara dan falsafah hidup bangsa

Indonesia, tidak membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang dinyatakan bahwa

setiap warga negara mempunyai status, hak, dan kewajiban, serta kesempatan yang sama di

dalam keluarga dan masyarakat. Namun sampai saat ini banyak wanita yang masih terabaikan

karena kurangnya informasi dan kurangnya menyadari hak-hak mereka sebagai warga

negara. Secara umum masih sedikit yang menyadari dan memahami bahwa perempuan

menghadapi persoalan yang gender spesifik, artinya persoalan yang hanya muncul karena

seseorang atau satu kelompok orang menyandang gender perempuan. Masih banyak yang

tidak bisa mengerti mengapa persoalan perempuan harus dibahas dan diperhatikan secara

khusus. Hal ini terjadi karena kentalnya nilai-nilai laki-laki dan perempuan. Nilai-nilai/norma

di dalam masyarakat telah menetapkan bahwa sudah kodratnya perempuan merupakan “ratu

dan pengurus rumah tangga”, sehingga pikiran-pikiran untuk memberi kesepatan kepada

perempuan untuk beraktifitas di luar rumah tangga dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi

kodrat dan mengada-ada (Tjandraningsih,1996). Mereka juga belum menyadari adanya

kepentingan kesetaraan berpartisipasi dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan, yang

disebabkan oleh perpanjangan keisolasian (Hubeis, 1998). Hal ini antara lain disebabkan

karena lingkungan sosial budaya yang tidak mendukung, untuk membiarkan wanita

Page 4: Tugas Gender Mainstreaming

berpatisipasi dalam politik dan penentu keputusan nasional, dan adanya kelembagaan yang

masih terus membatasi wanita pada kekuasaan marginal.

PERMASALAHAN

Mengapa gender dipermasalahkan

Menelusuri garis wewenang dalam pembentukan, artikulasi dan pelaksanaan

peraturan, banyak menyingkap hirarki-hirarki sosial dan bentuk-bentuk kekuasaan dalam

kehidupan. Hirarki-hirarki ini dapat dikepalai oleh seorang lelaki atau perempuan yang kuat,

berbagai koalisi sosial atau sumber-sumber yang lebih besar, lebih abstrak dan lebih luas.

Dalam bentuknya yang paling dasar, otoritas berdasarkan peraturan terkondisi secara

biologis.

Kepala rumah tangga, suami, para sesepuh, kakek kandung dan berbagai jenis

orang-orang kuat lainnya memaksakan dan mempertahankan ketertiban dalam zona pengaruh

mereka. Patriarki dalam masyarakat di seluruh dunia berkembang, tak terkecuali di Jawa.

Perlahan dari peran yang dikembangkan dalam kebudayaan pra modern—di mana ukuran

fisik dan seluruh sistem otot para lelaki yang lebih unggul, bersama dengan peran biologis

wanita yang melahirkan anak—menghasilkan suatu pembagian kerja berdasarkan jenis

kelamin, yang masih berlaku hingga sekarang. Kaum lelaki menjadi penyedia kebutuhan

hidup dan pelindung dalam menghadapi dunia di luar keluarga itu. Tanggung jawab yang

mendalam sedemikian dapat memberikan otonomi dan kesempatan yang relatif besar.

Pembagian kerja ini menyebabkan berkembangnya peran-peran sosial yang terbatas bagi

kedua jenis kelamin, dan terciptanya perbedaan kekuasaan dalam beberapa hal lebih

menguntungkan kaum lelaki.

Page 5: Tugas Gender Mainstreaming

Jenjang wewenang yang berasal dari perbedaan biologis meluas secara mendalam

ke dunia publik. Dewasa ini kaum lelaki mendominasi lembaga-lembaga ekonomi, politik

dan keagamaan di mana-mana. PeraturanTanti peraturan yang diartikulasikan mempengaruhi

lingungan sebagian hanya karena lembaga dan kekuasaan yang mereka wakili tetap ada dan

terus beroperasi.

Di Indonesia, di lingkungan pemerintahan maupun swasta, perempuan yang telah

mempunyai kesempatan menduduki jabatan, belum sebanding dengan laki-laki. Padahal

kalau ditengok dari segi jumlah, penduduk perempuan lebih banyak daripada laki-laki.

Meskipun kita sudah mempunyai menteri wanita, duta besar wanita, jendral wanita bahkan

pernah, presiden wanita, namun itu semua masih kelihatan perbedaan yang sangat jauh

jumlahnya bila dibandingkan dengan laki-laki yang menduduki jabatan tersebut. Dalam

jumlah, perempuan merupakan mayoritas, ironinya, sebagian besar dari makhluk perempuan

ini “tidak terlihat”. Kesempatan yang diberikan di bidang pendidikan dan peluang untuk

menduduki jabatan eksekutif pada umumnya baru dinikmati oleh segelintir perempuan

(Raharjo, 1995).

Sebenarnya, kita telah mempunyai basis legal yang menjamin hak dan kesempatan

bagi laki-laki dan perempuan. Akan tetapi masih banyak kendala budaya dan struktural yang

membuat perempuan masih menghadapi kesulitan, khususnya dalam hal partisipasinya dalam

mengambil keputusan dan kekuasaan. Kita dapat melihat lingkungan dan struktur budaya

tidak banyak mendukung terciptanya partisipasi penuh dari perempuan dalam dunia politik

maupun dalam mengambil keputusan.

Dalam budaya Jawa, banyak istilah-istilah yang mendudukkan posisi perempuan

lebih rendah daripada laki-laki. Dan istilah-istilah itu sudah tertanam dalam dalam hati

masyarakat, sehingga dimaklumi dan diterima begitu saja. Kita ambilkan saja contohnya,

Page 6: Tugas Gender Mainstreaming

dalam istilah Jawa ada menyebutkan bahwa istri sebagai kanca wingking, artinya teman

belakang, sebagai teman dalam mengelola urusan rumah tangga, khususnya urusan anak,

memasak, mencuci dan lain-lain. Ada lagi istilah lain suwarga nunut neraka katut. Istilah itu

juga diperuntukkan bagi para istri, bahwa suami adalah yang menentukan istri akan masuk

surga atau neraka. Kalau suami masuk surga, berarti istri juga akan masuk surga, tetapi kalau

suami masuk neraka, walaupun istri berhak untuk masuk surga karena amal perbuatan yang

baik, tetapi tidak berhak bagi istri untuk masuk surga karena harus katut atau mengikuti

suami masuk neraka. Ada lagi istilah yang lebih merendahkan lagi bagi para istri, yaitu

bahwa seorang istri harus bisa manak, macak, masak dan berapa kata yang berawal ‘m’ yang

lain lagi. Bahwa seorang istri itu harus bisa memberikan keturunan, harus selalu berdandan

untuk suaminya dan harus bisa memasak untuk suaminya. Istilah lain yang melekat pada diri

seorang perempuan atau istri yakni dapur, pupur, kasur, sumur dan mungkin masih ada

akhiran “ur-ur” yang lain yang bisa diteruskan untuk dilekatkan pada perempuan.

Citra, peran dan status sebagai perempuan, telah diciptakan oleh budaya. Citra bagi

seorang perempuan seperti yang diidealkan oleh budaya, antara lain, lemah lembut, penurut,

tidak membantah, tidak boleh “melebihi” laki-laki. Peran yang diidealkan seperti pengelola

rumah tangga, sebagai pendukung karir suami, istri yang penurut dan ibu yang mrantasi.

Citra yang dibuat untuk laki-laki antara lain, “serba tahu”, sebagai panutan harus “lebih” dari

perempuan, rasional, agresif. Peran laki-laki yang ideal adalah sebagai pencari nafkah

keluarga, pelindung, “mengayomi”, sedangkan status idealnya adalah kepala keluarga

(Raharjo, 1995).

Perempuan masih dianggap the second class yang sering disebut sebagai “warga

kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan. Implikasi dari konsep dan

common sense tentang pemosisian yang tidak seimbang telah menjadi kekuatan di dalam

pemisahan sektor kehidupan ke dalam sektor “domestik” dan sektor “publik”, di mana

Page 7: Tugas Gender Mainstreaming

perempuan dianggap orang yang berkiprah dalam sektor domestik sementara laki-laki

ditempatkan dalam sektor publik. Ideologi semacam ini telah disyahkan oleh berbagai pranata

dan lembaga sosial, yang ini kemudian menjadi fakta sosial tentang status dan peran yang

dimainkan oleh perempuan (Abdullah, 1997).

Di dalam masyarakat agraris paling tidak ditemukan tiga pandangan/ anggapan

mengenai hubungan pria-wanita di dalam masyarakat agraris (White dan Hastuti. 1980), (1)

kedudukan pria-wanita itu “berbeda tetapi setara”. Di dalam pandangan ini peranan pria dan

wanita adalah peran yang saling melengkapi dan untuk “kepentingan bersama”. Menurut

pandangan ini, pemisahan peran dan pengaruh antar jenis kelamin mencerminkan sifat

komplementer dalam upaya mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan rumah tangga dan

masyarakat. Pandangan ini masih banyak dianut oleh ahli-ahli ilmu sosial, anggota

masyarakat, dan dibenarkan dalam program-program pembangunan serta berbagai macam

idiologi ataupun norma-norma masyarakat. Namun implementasinya ternyata jauh berbeda,

karena setiap program pemerintah dianggap bermanfaat bagi keduanya, meskipun seringkali

manfaat sebenarnya hanya bermanfaat bagi salah satu jenis kelamin saja. (2) “Berbeda dan

tidak setara”, dua pandangan yang saling bertentangan, dimana “kekuasaan perempuan nyata

tapi tersembunyi”, dan adanya “penundukan perempuan nyata tapi tersembunyi”. Padahal

dalam era globalisasi yang diiringi dengan daya saing ekonomi yang semakin rumit, kesulitan

mencari pekerjaan, dampak rekayasa dan desiminasi inovasi alat kontrasepsi, bentuk-bentuk

keluarga akan menjadi sangat kecil. Maka prospek dan pengembangan citra peran perempuan

dalam abad XXI (Vitayala, 1995), akan berbentuk menjadi beberapa peran yaitu,

1. Peran tradisi, yang menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi. Hidupnya 100

persen untuk keluarga. Pembagian kerja jelas perempuan di rumah, laki-laki di luar

rumah.

Page 8: Tugas Gender Mainstreaming

2. Peran transisi, mempolakan peran tradisi lebih utama dari yang lain. Pembagian tugas

menuruti aspirasi gender, gender tetap eksis mempertahankan keharmonisan dan urusan

rumah tangga tetap tanggung jawab perempuan.

3. Dwiperan, memposisikan perempuan dalam kehidupan dua dunia; peran domestik-publik

sama penting. Dukungan moral suami pemicu ketegaran atau keresahan.

4. Peran egalitarian, menyita waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di luar.

Dukungan moral dan tingkat kepedulian laki-laki sangat hakiki untuk menghindari

konflik kepentingan

5. Peran kontemporer, adalah dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam kesendirian.

Meskipun jumlahnya belum banyak, tetapi benturan demi benturan dari dominasi pria

yang belum terlalu peduli pada kepentingan perempuan akan meningkatkan populasinya.

Peran transisi dan egalitarian menyongsong abad XXI dan era globalisasi

diperkirakan akan menghasilkan tiga kemungkinan, yaitu :

1. Keajegan penajaman peran laki-laki dan perempuan memudar dan tidak jelas lagi

pembedanya. Indikator penentu adalah potensi dan kemampuan.

2. Perempuan pekerja akan meningkat, sebaliknya jumlah laki-laki menganggur akan

meningkat juga.

3. Mobilitas sosial dan geografis memisahkan tempat tinggal suami-istri, orang tua anak,

sehingga keluarga menjadi tidak utuh.

Meskipun kedudukan dan peran perempuan dan laki-laki yang sama di dalam

hukum dan pemerintahan sudah dijamin di dalam Undang-Undang, namun dalam prakteknya

masih mengalami hambatan. Keberadaannya di dalam kehidupan keluarga tetap dianggap

sebagai “menteri keuangan” sedang laki-laki sebagai “kepala rumah tangga” pengambil

keputusan utama, dan wanita hanyalah sebagai ibu rumah tangga (Harjanti,1991).

Page 9: Tugas Gender Mainstreaming

Walaupun lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah perempuan, namun

kondisi ketertinggalan perempuan dapat menggambarkan adanya ketidak adilan dan ketidak-

setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia (Soemartoyo, 2002). Hal ini dapat

dilihat dari Gender–related Development Index (GDI) yang berada pada peringkat ke 88 pada

tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 pada tahun 1998 dari 174 negara dan

menurun lagi menjadi 92 dari 146 negara pada tahun 1999. Di dalam peringkat dunia indeks

tersebut masih lebih rendah dari negara-negara ASEAN, dan dengan adanya berbagai krisis

di Indonesia indeks-indeks tersebut peringkatnya akan semakin menurun. Oleh karena itu

komitmen pemerintah semakin kuat untuk menjalankan upaya peningkatan status dan

kedudukan perempuan dalam semua aspek pembangunan. Disamping arahan GBHN 1999, di

dalam Undang-Undang No.35/2000 tentang program Pembangunan Nasional, peningkatan

status dan kondisi perempuan dicantumkan sebagai isu lintas bidang pembangunan. Lebih

lanjut pemerintah telah menerbitkan INPRES No. 9/2000, tentang pengarusutamaan gender

dalam pembangunan nasional yang merupakan salah satu upaya dalam rangka meningkatkan

kondisi perempuan Indonesia. Tulisan bertujuan untuk melihat berbagai faktor yang

menghambat wanita untuk berperan baik di dalam rumah tangga maupun di dalam

masyarakat luas dan implikasi kebijakan.

Manifestasi ketidakadilan gender terhadap perempuan

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak

melahirkan ketidakadilan gender. Namun, ternyata perbedaan gender telah melahirkan

berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan.

Ketidakadilan gender termani-festasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yaitu

marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting alam

keputusan politik, pembentukan stereotype atau melalui pelabelan negatif, kekerasan

Page 10: Tugas Gender Mainstreaming

(violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi

peran gender (Fakih, 1999).

Manifestasi ketidakadilan gender ini tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling

berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis.

Manifestasi ketidakadilan gender ini tersosialisasi pada kaum laki-laki dan

perempuan secara mantap, yang lambat laun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya

menganggap peran gender itu seolah-olah merupakan kodrat.

Lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan gender yang

diterima dan sudah tidak dapat lagi dirasakan ada sesuatu yang salah. Persoalan ini

bercampur dengan kepentingan kelas, itulah mengapa justru banyak kaum kelas menengah,

terpelajar yang ingin mempertahankan sistem dan struktur tersebut. Ketidakadilan gender ini

dikonstruksi melalui aturan hukum formal dan norma-norma yang tidak tertulis. Aturan

hukum formal yang membuat ideologi resmi berlaku pada masyarakat dan institusi,

sedangkan norma-norma yang tidak tertulis yang dipahami membentuk sikap dan perilaku

sehari-hari dalam dunia nyata (Kabeer, 2005). Dua cara sosial ini, dianggap merupakan

proses lazim yang umumnya diterima masyarakat meskipun terjadi diluar batas-batas

keadilan hakiki. Sementara harus disadari bahwa aturan hukum formal adalah bentuk praktek

kekuasaan yang umumnya dibuat untuk kepentingan dan tujuan yang menguntungkan si

pembuat hukum tersebut.

Ketidakadilan gender membentuk struktur hubungan produksi dan reproduksi

dalam kelas-kelas yang berbeda. Contohnya: laki-laki mempunyai peran utama sebagai

pencari nafkah rumah tangga sekaligus memainkan peranan yang cukup penting dalam

menciptakan reproduksi pekerjaan yang tidak berbayar dalam ruang domestik yang umumnya

dikaitkan dengan fungsi biologis perempuan sebagai perawat keluarga. Secara

Page 11: Tugas Gender Mainstreaming

kemasyarakatan peran ini diadopsi juga dalam kaitan tanggung jawab peningkatan kualitas

sumber daya manusia. Dalam hal ini terjadi ketidakadilan sumber daya laki-laki dan

perempuan dalam hal menjalankan tanggung jawab, pengupahan dan pengakuan terhadap

kontribusi masing-masing (Kabeer, 2005).

Merasa bahwa perempuan diperlakukan tidak adil di masyarakat karena adanya

konsep gender membuat sebagian feminis ahli psikologi sadar dan menganalisis kesalahan

dari teori gender. Mereka mengajak seluruh masyarakat terutama kaum perempuan untuk

sadar bahwa selama ini mereka diperlakukan tidak adil oleh konsep gender dan

mengembangkan suatu konsep baru yang mengikis perbedaan perlakuan bagi perempuan dan

laki-laki.

Harus disadari bahwa konsep atau ideology gender membuat manusia jadi

terkotak-kotak. Konsep baru ini diharapkan dapat memberi kesempatan dan kedudukan yang

sejajar bagi perempuan maupun laki-laki untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri tanpa

harus berorientasi pada konsep gender (Millar, 1992).

Page 12: Tugas Gender Mainstreaming

ANALISA

Analisis gender adalah sebagai alat analisis konflik yang memusatkan perhatian

pada ketidak adilan struktural yang disebabkan oleh gender. Gender berarti perbedaan jenis

kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan,

melainkan diciptakan baik oleh lakilaki maupun perempuan melalui proses sosial budaya

yang panjang. Caplan (1978) menegaskan bahwa perbedaan perilaku antara pria dan wanita

selain disebabkan faktor biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan

kultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat ke tempat, waktu ke waktu,

bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat. Sementara jenis kelamin (sex) tidak berubah

(Fakih, 1996). Peran gender ternyata menimbulkan masalah yang perlu dipersoalkan, yakni

ketidak adilan yang ditimbulkan oleh pembedaan gender tersebut. Dalam upaya

penyeimbangan hak gender, upaya penyadaran gender meliputi pemahaman perbedaan peran

biologis dan peran gender sekaligus memahami bahwa peran gender yang ditentukan melalui

kontruksi sosial dan historis dapat berubah/diubah (Suradisastra,1998). Kesadaran gender

berarti laki-laki dan perempuan bekerja bersama dalam suatu keharmonisan cara, memiliki

kesamaan dalam hak, tugas, posisi, peran dan kesempatan, dan menaruh perhatian terhadap

kebutuhan-kebutuhan spesifik yang saling memperkuat dan melengkapi (Vitayala, 1995).

Hal ini berarti bahwa laki-laki maupun perempuan dapat berperan sebagai pencari

nafkah baik dibidang pertanian maupun non pertanian, pelaku kegiatan rumah tangga,

Page 13: Tugas Gender Mainstreaming

maupun pelaku kegiatan masyarakat. Peran-peran tersebut dipengaruhi oleh berbagai nilai-

nilai/norma masyarakat, lingkungan fisik dan sosial, program-program pembangunan, dan

kondisi sosila ekonomi keluara atau rumah tangga. Kondisi sosial ekonomi rumah tangga

antara lain umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah

tangga, komposisi anggota rumah tangga (Hastuti, et.al., 1998).

KESIMPULAN DAN SARAN

Ditinjau dari jumlah penduduk dan kondisi perempuan di Indonesia

pengarusutamaan gender di dalam program-program pembangunan sangat diperlukan.

Terlebih-lebih bila dilihat dari kondisi kritis yang terus berkepanjangan, dimana perempuan

terkena dampak yang paling berat. Hal ini antara lain masih kuatnya budaya bahwa

perempuan sebagai pengurus dan pengelola keluarga/rumah tangga.

Dilihat dari kondisi perempuan Indonesia saat ini ternyata masih sangat

memerlukan penanganan yang cukup serius terutama dari segi kebijaksanaan. Berbagai hasil

penelitian membuktikan bahwa berbagai program pembangunan masih bias laki-laki.

Akibatnya program-program pembangunan yang dilaksanakan tidak dapat memenuhi

sasarannya dengan tepat. Masyarakat pada umumnya belum banyak dilibatkan baik di dalam

perencanaan maupun pengambilan keputusan, dan hanya berperan sebagai pelaksana

pembangunan. Partisipasi perempuan dalam kegiatan pembangunan relatif rendah dan masih

terbatas pada aspek yang erat hubungannya dengan sektor domestik atau reproduksi. Hal ini

sangat jauh dengan peran gender perempuan yang nyata di dalam masyarakat. Bahkan

perempuan masih dianggap menyalahi kodrat bila memasuki dunia kebijakan atau politik.

Untuk mewujudkan kesetaraan gender perlu dilakukan berbagai tindakan yang

didasari komitmen kuat untuk mengangkat perempuan dari kemiskinan struktural mulai dari

individu atau diri sendiri, masyarakat, negara dan dunia internasional. Tentu saja semuanya

Page 14: Tugas Gender Mainstreaming

harus dimulai dari kemauan diri untuk berubah melakukan gerakan transformasi dan bukan

gerakan balas dendam, di mana gerakan tersebut berupaya menciptakan hubungan antara

sesama manusia yang secara fundamental lebih baik dan baru. Untuk memperjuangkan

kesetaraan gender tidak sama dengan perjuangan perempuan melawan laki-laki. Tidak sama

sekali! Namun persoalan penin-dasan terhadap perempuan bukanlah persoalan kaum laki-

laki, melainkan persoalan sistem dan struktur dalam masyarakat (ketidakadilan gender).

Kesadaran yang diikuti kemauan untuk membongkar pemahaman diri sendiri dari

alam bawah sadar ketidakadilan yang membelenggu akan terus menerus mendorong diri

untuk melakukan perubahan yang lebih luas dalam masyarakat. Lama-kelamaan sesuatu yang

tak tersentuh itu, yakni ‘ketidakadilan gender’, akan dapat diminamilisir bahkan diakhiri

untuk tujuan kemaslahatan dan penghargaan hak asasi yang paling hakiki. Semuanya harus

dimulai dari diri sendiri. Dari lingkungan yang paling kecil, keluarga. Tatanan budaya,

khususnya budaya Jawa yang sebenarnya adi luhung, janganlah malah dijadikan sebagai

kambing hitam dalam menciptakan ketidakadilan gender.

Pranata budaya jangan sampai menghalangi para perempuan untuk berkiprah dan

menunjukkan eksistensinya dalam ranah publik. Sehingga antara budaya dan kesetaraan

gender dapat berjalan seirama tanpa harus dipertentangkan.