bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah masalah khas manusia, hanya manusia yang mempunyai
persoalan tentang pendidikan, sebagaimana kodratnya sebagai makhluk rasional
yang memiliki cipta, rasa, dan karsa. Apabila suatu bangsa dan manusia
mengalami krisis multidimensional berarti pendidikan sedang mengalami krisis
dan disorientasi tujuan dan pemaknaan. Oleh karena itu, Manusia memiliki
kemampuan untuk dididik dan mendidik dengan tujuan untuk dapat mengatasi
persoalan atau krisis tersebut (Suhartono,2009: 62-63;78-79). Persoalan yang
dihadapi oleh dunia tersebut merupakan manifestasi dari ketidakharmonisan antar
alam dan manusia, maka, perlu ada yang dikonstruksikan ulang dalam menata
pendidikan yang berkelanjutan.
Berbagai permasalahan pendidikan yang terjadi, baik lokal, regional,
maupun global telah menunjukkan bahwa pendidikan memiliki peran penting
dalam membuat perubahan untuk mengembangkan hidup dan kehidupan manusia
lebih baik. Menurut Novak (1977: 28) isu-isu terkini pendidikan yang sering
dibahas orang pada umumnya adalah apakah pendidikan wajib diperlukan hanya
sampai umur 12-14 tahun? apakah peserta didik harus memiliki lebih banyak
kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka menghabiskan waktunya di
sekolah? haruskah sekolah dihapuskan? Chamberlain dan Kindred (1966: 259)
dalam bukunya berjudul The Teacher and School Organization, memaparkan
temuannya bahwa masalah pendidikan dewasa ini pada dasarnya bertitik tolak
tentang perdebatan apa sebenarnya tujuan pendidikan itu?, apakah pendidikan
untuk membentuk individu atau membentuk masyarakat? Apakah pendidikan
dimaknai untuk mengembangkan intelektual, melestarikan masyarakat,
merekonstruksi masyarakat atau untuk mempertemukan kebutuhan individu dan
masyarakat. Apakah pendidikan bertujuan semata-mata hanya untuk realisasi diri
atau untuk menjalin hubungan antar manusia. Apakah tujuan pendidikan sekedar
untuk efisiensi ekonomi atau sebagai tanggung jawab warganegara? Pertanyaan
tersebut mencerminkan bagaimana pendidikan harus dikembangkan bagi manusia.
Apabila mencermati perkembangan dunia yang modern sekarang ini
berbagai teori dan konsep tentang pendidikan berkembang pesat seperti konsep
pendidikan yang dikaitkan dengan agama, alam, ilmu, politik, budaya, sosial,
kemanusiaan, lingkungan, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Penelitian ini akan
memfokuskan pendidikan dalam konteks global sebagaimana yang dirumuskan
oleh lembaga internasional seperti UNESCO yaitu seputar Paradigma Pendidikan
untuk pembangunan yang berkelanjutan atau Education for Sustainable
Development (ESD). Bagaimana pendidikan dapat dilihat sebagai suatu entitas
yang dinamis, universal, dan sarat dengan nilai-nilai.
Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan menjadi paradigma
pendidikan global sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations)
memperkenalkan dalam forum internasional yang dikenal sebagai KTT Bumi di
Rio de Janeiro, Brazil pada bulan Desember 2002 yang dikenal dengan deklarasi
Rio. Sejak itu, Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan menjadi
agenda utama dalam lembaga pendidikan dunia di bawah UNESCO. Awal mula
gagasan Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dilatarbelakangi oleh
sejumlah persoalan global yang melanda dunia antara lain perubahan iklim
(climate change), krisis energi (energy crisis), kelangkaan pangan (food scarcity),
krisis kebudayaan, dan hilangnya pengetahuan lokal (Indigenous knowledge),
serta, persoalan kerusakan lingkungan yang sampai sekarang ini belum
menemukan solusi yang konkret.
Berbagai kajian dan penelitian tentang perubahan iklim, energi alternatif
terbaharukan, serta pangan alternatif yang dilakukan oleh para ilmuwan dunia
belum juga mendapatkan hasil yang memuaskan untuk mencapai pada suatu
perubahan dunia yang lebih baik dan berkelanjutan. Dalam Tajuk Rencana pada
Kedaulatan Rakyat (9 November 2013, hal.14) berjudul “Krisis Ekologi Tetap
Menghantui” menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan di dunia dan Indonesia
sudah semakin akut, eksploitasi sumber daya alam di dunia mencapai 7,3 triliun
dollar per tahun. Akibat dari eksploitasi tersebut berdampak pada laju pemanasan
global semakin cepat, lenyapnya kemampuan fungsi hutan dalam menyerap
karbondioksida, serta kerusakan ekologi semakin meluas. Bukti lain bahwa
bencana alam semakin banyak terjadi yaitu iklim tidak menentu, dan perubahan
cuaca semakin ekstrim tanpa disadari oleh manusia. Misalnya, Amerika Serikat
mendapatkan serangan hawa dingin di sejumlah wilayah Washington, Chicago,
Missouri, Wisconsin, New York, dan kota penting lainnya diserang udara dingin
yang berdampak pada 2.855 penerbangan ditunda dan 2.332 penerbangan
dibatalkan (Kompas, 7 Januari 2014, hal.14). Dalam KTT Dunia tentang
Pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) yang
diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tanggal 2-4 September
2002 menegaskan pentingnya Sustainable development. Adapun basis filosofi
Sustainable development sebagaimana tertuang dalam website UNESCO
(http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-international-
agenda/education-for-sustainable-development/three-terms-one-goal/) adalah:
‘seeks to meet the needs of the present without compromising those of future
generations. Sustainable development is a vision of development that
encompasses respect for all life—human and non-human—and natural
resources, as well as integrating concerns such as poverty reduction,
gender equality, human rights, education for all, health, human security and
intercultural dialogue’.
(berusaha untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan
generasi mendatang. Pembangunan yang berkelanjutan adalah visi
pembangunan yang mencakup penghormatan terhadap semua sumber daya
hidup manusia dan non-manusia dan alam, serta memfokuskan pada
pengintegrasian pengurangan kemiskinan, kesetaraan gender, hak asasi
manusia, pendidikan untuk semua, kesehatan, keamanan manusia dan dialog
antarbudaya).
Dasar filosofi tersebut menjadi latar belakang pentingnya solusi atas
persoalan kemanusiaan dan kealaman melalui pendidikan. Selama ini pendidikan
diabaikan dalam mengatasi persoalan global sebagaimana yang terjadi sekarang.
Catatan rubrik berita Kompas (4 November 2013,hal.12) berjudul “Soal
iklim,peran Perguruan Tinggi belum Optimal” juga menunjukkan bahwa peran
perguruan tinggi dalam menyikapi perubahan iklim sebagai akibat dari pemanasan
global belum optimal. Sikap intelektual tidak cukup menanggapi perubahan iklim
sebatas lewat seminar atau menyebarkan selebaran di jalan, hal ini butuh aksi
nyata. Oleh karena itu, dalam KTT Dunia tahun 2002 tentang Pembangunan yang
berkelanjutan mulai disinggung pentingnya peran pendidikan untuk terlibat dalam
mengatasi persoalan dunia yang semakin kompleks. Rumusan yang ditawarkan
dalam deklarasi Johannesburg, kemudian digunakan oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) untuk memformulasikan paradigma sustainable development ke
dalam pendidikan. Akhirnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui badan resmi
UNESCO mendeklarasikan Education for sustainable development (ESD), 2005-
2014 sebagai paradigma pendidikan global untuk memerangi dan merespon isu-
isu global pada abad ke-21 ini.
Sejak deklarasi Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan tahun
2002, berbagai lembaga pendidikan di dunia mencoba untuk memikirkan kembali
filosofi pendidikan, program pendidikan, dan kurikulum pendidikan di mana dan
pada aspek yang seperti apa pendidikan dapat berperan secara berkelanjutan
dalam mengatasi krisis global. Reorientasi sistem pendidikan dan kurikulum
menjadi topik yang diperdebatkan dalam implementasi paradigma pendidikan
untuk pembangunan yang berkelanjutan. Di satu sisi pendidikan sudah memiliki
model dan kurikulum yang baku untuk para siswa, sedangkan di sisi lain,
pentingnya untuk membuat suatu perubahan kurikulum yang berbasiskan pada
visi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan untuk berkontribusi
dalam mengatasi persoalan global.
Pada tahun 2005, paradigma Pendidikan untuk pembangunan yang
berkelanjutan mulai dikembangkan dan diterapkan di seluruh dunia. Untuk
menyukseskan agenda PBB tersebut berbagai badan pendukung mulai dibentuk
salah satunya adalah Regional Centre of Expertise (RCE) sebagai salah satu badan
pendukung di bawah naungan United Nations University – Institute of Advanced
Studies (UNU-IAS) yang berfungsi untuk menerjemahkan, menyosialisasikan,
mengembangkan, dan mempraktekkan nilai-nilai Sustainable development di
dalam aspek pendidikan yaitu pengetahuan, sikap, dan nilai baik formal maupun
non-formal. RCE merupakan organisasi berjaringan yang diakui UNU-IAS untuk
menggerakkan program dan menyebarkan gagasan pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan di seluruh dunia. Adapun di Indonesia sendiri
memiliki tiga RCE yang berada di Bogor, Yogyakarta, dan Kalimantan Timur. Di
Korea Selatan terdapat empat RCE yang terletak di Tongyeong, Inje, Ulju, dan
Incheon (Wawancara Su Yeon Park, staff RCE Tonyeong, 2 April 2012).
Penelitian ini mengambil obyek material paradigma pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan melalui studi kasus di Kota Tongyeong, Korea
Selatan dan obyek formalnya adalah Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme.
Pengertian Filsafat Pendidikan yang digunakan di sini merujuk pada pemikiran
Noddings (2007:xiii) bahwa “Philosophy of Education is the philosophical study
of education and its problems” (Filsafat pendidikan adalah studi kefilsafatan
tentang pendidikan dan masalahnya). Secara khusus, penelitian ini akan menyoroti
bagaimana implementasi Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di
Kota Tongyeong, Korea Selatan. Selain itu, penelitian ini akan menggali dan
mengeksplorasi bagaimana pemikiran dan konsep yang dibuat, serta aplikasi
paradigma pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan pada sekolah di
Kota Tongyeong, Korea Selatan. Penelitian ini akan membatasi kajian yang
memfokuskan pada konsep dasar, model/sistem pengembangan pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan di sekolah, metode yang dikembangkan, dan
action plannya dalam perspektif pemikiran Filsafat Pendidikan
Rekonstruksionisme.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka dirumuskan
masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apa hakikat Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan?
2. Bagaimana filsafat dan konsep Pendidikan untuk pembangunan yang
berkelanjutan yang diterapkan di Kota Tongyeong, Korea Selatan?
3. Bagaimana analisis kritis filsafat pendidikan Rekonstruksionisme dalam
melihat praktek paradigma pendidikan untuk pembangunan yang
berkelanjutan pada sekolah di Kota Tongyeong, Korea Selatan?
4. Bagaimana sumbangsih pemikiran paradigma pendidikan untuk pendidikan
yang berkelanjutan di Kota Tongyeong, Korea Selatan bagi pendidikan di
Indonesia?
2. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis di
Fakultas Filsafat UGM, Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Perpustakaan
Sarjana Wiyata, Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta, ditemukan belum
ada penelitian yang pernah dilakukan sama seperti judul tesis ini. Bahkan, dalam
judul disertasi di Fakultas Filsafat UGM sejak tahun 1982 hingga 2013 juga
belum ditemukan penelitian atau kajian yang memfokuskan pada Filsafat
Pendidikan. Berikut ini ditemukan beberapa judul penelitian yang memiliki topik
yang erat kaitannya dengan obyek formal dalam penelitian ini.
Ahmad Samawi No. 4498/IV-9/2/92, Tesis, Konsep Demokrasi Dalam
Pendidikan Menurut Progressivisme John Dewey. Fakultas Filsafat UGM. 1995.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menginventarisasi dan melakukan evaluasi
secara kritis filsafati tentang konsep demokrasi dalam pendidikan menurut
Progresivisme John Dewey; 2. Relevansi konsep John Dewey dengan pendidikan
nasional di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Hasil dari tesis ini adalah
bahwa konsep demokrasi dalam pendidikan yang dimaksudkan John Dewey
adalah suatu pandangan, sikap, dan aktivitas yang memberikan kesempatan
seluas-seluasnya kepada anak (peserta didik) untuk berpartisipasi dalam
menentukan pendidikannya agar ia tumbuh dan berkembang secara optimal dan
wajar sesuai dengan potensinya.
Eknathon, No. 5623/IV-9/22/93, Tesis, Konsep Filsafat Pendidikan
Hamka Dalam sistem Pendidikan Nasional, Fakultas Filsafat UGM:
Yogyakarta.1999. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengklarifikasi dan
melakukan evaluasi secara kritis filsafati tentang; pertama, konsepsi filsafat
pendidikan dalam pendidikan menurut Hamka. Kedua, relevansi konsep
pendidikan HAMKA dengan sistem pendidikan nasional di Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kesimpulan dari tesis ini adalah bahwa
konsep dasar Filsafat pendidikan Hamka bercorak esensialitis orientasi ke depan
yang ditandai dengan prinsip tauhid.
Filsafat pendidikan Hamka bertumpu pada sifat dasar manusia berdasarkan
pandangan teosentris yang mengacu pada nilai-nilai ilahiyah dan menjadikan
tauhid sebagai nilai moral dalam segala aktivitas pendidikan(hal.43). Proses
pendidikan dilukiskan sebagai aktivitas interaktif antara pendidik dan subyek
didik untuk mencapai tujuan baik, dengan cara baik dalam konteks positif.
Aktivitas pendidikan hakikatnya merupakan usaha manusia untuk membantu dan
mengarahkan fitrah manusia supaya berkembang sampai pada titik maksimal
sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. Dasar filsafat pendidikan Hamka bahwa
akal mempunyai kedudukan tinggi untuk memahami alquran dan sunnah rosul.
Menurut Hamka bahwa dasar filsafat pendidikan adalah filsafat pendidikan yang
menjadi nara sumbernya adalah Al-quran,Sunnah dan akal sebagai alat untuk
memahaminya(hal.48). Menurut Hamka pendidik merupakan unsur yang memiliki
peran amat besar dan karena otoritasnya yang luas untuk menentukan, merancang,
dan mengarahkan pendidikan( hal.51).
Sudin, No. 6033/IV-9/32/94, Tesis, Konsep Pendidikan Moral Ibn
Miskawaih:Dalam Bukunya:Tahzib Al Akhlaq Wa That-Hir Al- A’Raq, Fakultas
Filsafat,1999. Tujuan tesis ini mengungkap tiga persoalan dalam pemikiran Ibn
Miskawaih menyangkut dasar ontologis dan aksiologis, khususnya nilai moral,
konsep manusia dan rumusan pendidikan moral. Dalam tesis ini ditemukan
bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak mulai dari pendidikan moral
yang terdiri dari 1. syariat agama, 2 akhlak, 3. aritmatika dan geometri. Untuk
proses transfer materi dalam proses pendidikan diperlukan beberapa metode yaitu
1. Tabii (alami), 2 nasehat dan tuntunan, 3. Hukuman, 4. Sanjungan dan pujian, 5.
sesuai dengan asas pendidikan.
Machmoed Hadi, No. 7701/IV-9/64/96, Tesis, Telaah Filsafati Terhadap
Konsep Pendidikan Al-Ghazali, Fakultas Filsafat UGM. 2000. Penelitian ini
merupakan penelitian historis faktual mengenai tokoh. Hal yang ditekankan dalam
penelitian ini adalah konsep pendidikan Al-Ghazali pada aspek metafisika,
epistemologi, dan aksiologis. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan ciri-ciri
kefilsafatan yang ada dalam konsep-konsep pendidikan Al-Ghazali, disamping itu
juga menemukan relevansi antara konsep-konsep dimaksud dengan pendidikan
nasional. Kecenderungan pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan ada dua hal
keagamaan dan kemanfaatan. Bercorak keagamaan menekankan pada pembinaan
akhlak.
Rukiyati, No. 7696/IV-9/59/96, Tesis, Konsep Pendidikan Menurut
Fukuzawa Yukichi (1835-1901), Fakultas Filsafat, 1999. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan konsep pendidikan Fukuzawa, mengadakan
evaluasi kritis terhadap konsep pendidikan Fukuzawa dan menemukan
relevansinya bagi pengembangan pendidikan di Indonesia berdasarkan Pancasila.
Kesimpulan dalam tesis tersebut adalah hakikat pendidikan menurut Fukuzawa
adalah usaha mengaktualisasikan potensi terpendam peserta didik sehingga dapat
menjadi kekuatan nyata bagi dirinya. Tujuan pendidikan adalah untuk
mewujudkan masyarakat beradab. Landasan pendidikan untuk mencapai tujuan
tersebut adalah persamaan, kebebasan, dan kemandirian. Dimensi aksiologis
Fukuzawa adalah ada nilai yang bersifat tetap dan ada yang abadi, pandangan
tentang persamaan derajat manusia, kebebasan dan kemerdekaan serta keadilan,
yang berlaku secara universal dan abadi.
Achmad Sumiyadi, No. 9628/IV-9/91/97, Tesis, Konsep Filsafat
Pendidikan Pancasila Notonagoro: Implementasinya dalam pengembangan
Manusia Indonesia seutuhnya, Fakultas Filsafat UGM. 2000. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan deskripsi dan melakukan evaluasi secara kritis
filsafati tentang 1. konsep filsafat pendidikan Pancasila Notonagoro, 2
Implementasi filsafat pendidikan Pancasila dalam pengembangan sumber daya
manusia kaitannya dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Kesimpulan filsafat pendidikan Pancasila adalah konsep filsafat pendidikan yang
berdasarkan pada filsafat negara yaitu Pancasila. Filsafat pendidikan pancasila
Notonagoro didasarkan pada landasan ontologis hakikat manusia yang
monopluralis. Dasar moralnya adalah tabiat saleh yaitu kebijaksanaan,
kesederhanaan, keteguhan dan keadilan.
Runi Hariantati No. 9608/IV-9/71/97, Tesis, Konsep Kemerdekaan Diri
Dalam Pendidikan Demokratis Menurut Ki Hadjar Dewantara, Fakultas Filsafat
2002. Makna kemerdekaan diri adalah mencerminkan adanya kebebasan seorang
individu untuk mencari sendiri pengetahuannya serta kebebasan untuk
mengembangkan bakat alamnya tanpa harus menyimpang dari aturan-aturan
kehidupan yang ada. Kemerdekaan diri merupakan kebebasan yang terikat,
sehingga individu tidak dapat berbuat sewenang-wenang. Konsep kemerdekaan
diri merupakan dasar dalam pendidikan formal. Menurut Ki Hajar Dewantara
dalam proses pendidikan dan pengajaran diperlukan pemahaman akan adanya hak
kodrat yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Pusat perhatian bertumpu pada
peserta didik sebagai manusia dengan segala aspeknya (hal.8).
Andri Printianto, No. 18667/IV-9/192/02 Tesis, Filsafat Pendidikan
Alfred North Whitehead dalam The Aims of Education and other Essays.
Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta. 2004. Tujuan penelitian adalah untuk
menyelidiki gagasan filosofis Alfred North Whitehead mengenai pendidikan yang
terdapat dalam karyanya yang berjudul the Aims of education and other essay.
Dalam tesis ini dibatasi pengungkapan masalah yaitu, 1 hakikat peserta didik dan
guru, 2. tujuan pendidikan, 3 kurikulum 4, tahap-tahap ritmis pendidikan dan 5.
kebebasan dan disiplin dalam pendidikan. Pandangan Whitehead bahwa peserta
didik dan guru sebagai sosok dinamis. Guru berfungsi merangsang dan
membimbing pertumbuhan diri anak dalam belajar. Tujuan yang ingin dicapai
dalam pendidikan adalah tercapainya pengetahuan dan kebijaksanaan. Kurikulum
yang disampaikan adalah kurikulum yang mampu mencakup kedua wilayah
tersebut (nilai dan realitas).
Muhhamad Fahmi, No. 21481/IV-9/219/04, Tesis, Konsep Pendidikan
Isma’ail Raji AL-Faruqi, Relevansinya bagi Modernisasi Pendidikan Islam di
Indonesia, Fakultas Filsafat. 2006. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi
konsep pendidikan Al-Faruqi dan relevansinya bagi modernisasi pendidikan Islam
di Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1. Posisi AL-Faruqi di
kalangan para pembaharu Islam, 2 Penyebab dikotomi pendidikan Islam, 3.
Tawaran solusi dari AL Faruqi, konsep pendidikan AL Faruqi, dan Relevansi
pemikiran pendidikan Al-Faruqi bagi modernisasi pendidikan Islam di Indonesia.
Posisi Al Faruqi di dalam pembaharu Islam sebagai reformis-tradisionalis dan
rekonstruksionis. Permasalahan klasik pendidikan Islam adalah dikotomi
keilmuan antara Barat (sekuler) dan agama. Kurikulum pendidikan komprehensif,
proses pendidikan integratif, dengan musyawarah sepanjang hidup, tujuan
pendidikan adalah berorientasi pada dunia dan akhirat.
Dwi Septiwiharti, No. 24641/IV-9/187/06, Tesis, Tinjauan Filsafat Atas
Pemikiran Fuad Hasan tentang Pendidikan, Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta.
2009. Menurut Fuad Hassan, hakikat pendidikan adalah suatu pengejewantahan
yang khas manusiawi; baginya hal ini sesuai dengan fitrah manusia sebagai
animal educandum dan animal educandus; bahwa manusia adalah makhluk yang
dididik serta mendidik sekaligus termasuk mendidik dirinya sendiri (hal. 134).
Menurut Fuad Hassan, (hal. 141) menegaskan bahwa yang paling mendasar dan
perlu dipahami adalah pembelajaran (learning) tidak identik dengan penyekolahan
(schooling).
Penyekolahan merupakan bagian dari ikhtiar pembelajaran, tetapi tidak
setiap modus pembelajaran bersifat penyekolahan. Kurikulum muatan lokal
merupakan salah satu pendekatan yang realistis mengingat kebhinekaan budaya
dalam kehidupan bermasyarakat bangsa ini. Kurikulum muatan lokal
dimaksudkan untuk menyadarkan peserta didik terhadap lingkungannya agar anak
tidak mengalami keterasingan terhadap lingkungan sendiri (hal.142). Anak
menurut kodratnya memiliki dunia yang khas (hal. 157). Anak tidak perlu dipaksa
dan dipacu untuk mempercepat proses pendewasaan.
Basiuddin, No. 08/278258/PFI/00261, Tesis, Filsafat Pendidikan Nicolaus
Driyarkara: Relevansi Bagi Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti, Fakultas
Filsafat UGM. 2010. Hasil penelitian menunjukkan filsafat pendidikan Driyarkara
mempunyai relevansi yang sangat signifikan, dimana antara hakikat pendidikan
Driyarkara dan pendidikan budi pekerti menunjuk kepada proses pemanusiaan
manusia dengan mengedepankan nilai-nilai religius,sosial, gender, keadilan,
demokrasi, kejujuran, kemandirian, daya juang, tanggung jawab, dan penghargaan
terhadap alam.
Berdasarkan hasil inventarisasi dan penjelasan tentang topik penelitian di
atas bahwa penelitian atau kajian tentang Pendidikan untuk Pembangunan yang
berkelanjutan melalui studi kasus di Kota Tongyeong sampai sejauh pengalaman
penulis belum pernah dilakukan kecuali yang dilakukan oleh penulis dalam
penelitian ini.
B. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan dan mengklarifikasikan hakikat pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan.
2. Menemukan dan menganalisis hakikat pendidikan Korea dan
perkembangan pemikiran tentang paradigma pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong, Korea Selatan.
3. Mengungkap persoalan mendasar pendidikan untuk pembangunan yang
berkelanjutan di Kota Tongyeong.
4. Melakukan kajian kritis terhadap paradigma Pendidikan untuk
Pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong dan relevansinya
bagi pendidikan di Indonesia dalam perspektif pemikiran Filsafat
Pendidikan Rekonstruksionisme.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti: Penelitian ini memperkaya wawasan keilmuan filsafat
pendidikan terutama tentang konsep filsafat pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan.
2. Bagi pengembangan penelitian Filsafat: penelitian ini diharapkan dapat
memperluas cakrawala filsafat khususnya kajian Filsafat Pendidikan
Korea, dan studi Filsafat Pendidikan Kawasan Asia Pasifik,Asia Timur,
dan Asia Tenggara, serta memperdalam kajian pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan. Khususnya di Fakultas Filsafat UGM,
hasil penelitian ini dapat memperkuat dan mengembangkan kajian dan
pemikiran Filsafat pendidikan kontemporer.
3. Bagi pembangunan bangsa dan negara: Tesis ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam policy input ke pemerintah untuk
merumuskan konsep pendidikan yang berkelanjutan ke depan di
Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Masalah pendidikan menjadi masalah kehidupan manusia sepanjang masa.
Apabila pendidikan mengalami krisis dan persoalan maka akan menyebabkan
krisis multidimensi (Suhartono,2009:63). Dalam pengertian luas Suhartono
(2009:79-80) menjelaskan bahwa pendidikan adalah seluruh kegiatan
pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kehidupan
manusia. Oleh karena itu, pendidikan berlangsung di segala jenis, bentuk dan
tingkatan kehidupan manusia. Terkait dengan pendidikan untuk pembangunan
yang berkelanjutan berbagai kajian dan penelitian tentang pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan telah banyak dilakukan oleh para pakar dan
ilmuwan lintas disiplin seperti Mahruf dkk (2011) mencoba untuk membedakan
istilah Pendidikan tentang pembangunan berkelanjutan, Pendidikan untuk
Pembangunan berkelanjutan, dan Pendidikan menuju Pembangunan
berkelanjutan.
Pendidikan tentang pembangunan berkelanjutan menekankan pada
langkah-langkah berikut yaitu transmisi informasi, sikap perubahan, dan
perubahan perilaku. Pendidikan untuk Pembangunan berkelanjutan difokuskan
untuk mengambil tindakan dalam konteks, membangun kesadaran dan
pemahaman praktis, dan sebagai hasilnya adalah komitmen praktis untuk
kehidupan yang berkelanjutan, sementara itu, Pendidikan menuju pembangunan
berkelanjutan menekankan untuk menghasilkan pengetahuan melalui tindakan
kritis dan refleksi, kebijakan perubahan dan praktek, akhirnya, mengembangkan
warga negara yang aktif dan kritis (Mahruf dkk, 2011: 131-132).
Konferensi Dunia UNESCO tentang Pendidikan untuk pembangunan yang
berkelanjutan yang diselenggarakan di kota Bonn, Jerman pada tanggal 31 Maret-
2 April 2009, juga telah menghasilkan deklarasi Bonn yang menjelaskan bahwa
Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan berupaya menetapkan arah baru
pendidikan dan pembelajaran untuk semua. Deklarasi ini merumuskan pertama,
Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan untuk membantu masyarakat
dalam membangun kesadaran untuk mempromosikan pendidikan berkualitas, dan
melibatkan masyarakat. Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip nilai-nilai dan
praktik-praktik yang diperlukan untuk merespon secara efektif terhadap tantangan
saat ini dan masa depan. Kedua, membantu masyarakat untuk mengatasi berbagai
macam isu-isu kritis yang berbeda antar lain air, energi, perubahan iklim, bencana
dan pengurangan risiko, hilangnya keanekaragaman hayati, krisis pangan, risiko
kesehatan, kerentanan sosial dan ketidakamanan. Ketiga, Pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan mengedepankan nilai-nilai keadilan, kesetaraan,
toleransi, ketercukupan, dan tanggung jawab. Keempat, Pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan menekankan pendekatan kreatif dan kritis,
pemikiran jangka panjang, pengembangan inovasi dan pemberdayaan dalam
menghadapi situasi tidak menentu (lihat Deklarasi Bonn,2009).
Rekomendasi Gothenburg (2008) juga menyatakan bahwa tujuan dari
pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan adalah reorientasi pendidikan
dalam rangka memberikan kontribusi untuk masa depan yang berkelanjutan untuk
kebaikan bersama generasi sekarang dan mendatang. Pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan mengakui adanya saling ketergantungan dari
perspektif lingkungan, sosial, dan ekonomi, dan ketergantungan manusia pada
biosfer yang sehat.
Hens, Luc, Torsten Widemann, Schalk Raath, et.al (2011:69-71)
melakukan penelitian di sekolah dasar di Afrika Selatan terkait dengan Sistem
Manajemen Lingkungan (Environmental Manajemen System) penelitian dan
survei yang dilakukan pada tahun 2006 (38 sekolah), tahun 2007 (32 sekolah ) dan
pada tahun 2008 (25 sekolah), itu terdiri dari 7 sekolah di perkotaan yang
berlokasi di kota-kota dan desa-desa, 19 sekolah di pedesaan yang terletak di
dekat (jarak jauh) dan peternakan di daerah pedesaan, 13 sekolah Township
berlokasi di pemukiman bekas rezim Apartheid.
Hens et.al, menjelaskan bahwa penelitian ini sebagai bagian dari
peningkatan kapasitas program pembelajaran lingkungan yang dianjurkan oleh
Rencana Pelaksanaan World Summit on Sustainable Development di
Johannesburg pada tahun 2002, penelitian ini menunjukkan bahwa setelah Sistem
Manajemen Lingkungan diimplementasikan dan lingkungan yang terintegrasi
kurikulum, kegiatan di sekolah dipantau dan diukur berdasarkan hasil kuesioner
menunjukkan bahwa pada proyek awal, 50% dari sekolah melakukan kegiatan
yang baik terkait sanitasi dan penataan lingkungan. Dua tahun kemudian angka ini
naik menjadi 76% untuk yang berhubungan dengan limbah terjadi peningkatan
bahkan lebih kuat/baik: dari 50% menjadi 100% (Hens et.al, 2011: 80-86).
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kinerja lingkungan dari sekolah
juga ditingkatkan untuk tindakan terkait penghijauan dari 50% pada awal proyek
sampai 64% dua tahun kemudian. Berdasarkan hasil penelitian ini
memperlihatkan bahwa hanya energi yang berhubungan kegiatan sehari-hari tidak
berpengaruh secara signifikan, dengan hanya 24% dari semua sekolah berkinerja
baik pada akhir periode survei. Kuesioner ini memfokuskan pada empat aspek
lingkungan: air, limbah, energi, dan penghijauan dan tiga aspek manajerial:
pengelolaan lingkungan, integrasi lingkungan dalam kurikulum, dan sikap peserta
didik, guru, dan anggota staf (Hens et.al, 2011: 93-102).
Penelitian Liu, Yunhua & Constable, Alicia menunjukkan bahwa ada
hubungan antara Piagam Bumi dan Pendidikan untuk Pembangunan
Berkelanjutan dan Filosofi Cina. Liu dan Constable menganalisis hubungan antara
piagam bumi dan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam
kerangka filsafat Cina (Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme), penelitian ini
menunjukkan bahwa visi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan
adalah simetris dengan prinsip-prinsip Piagam bumi dan filosofi Cina. Studi ini
menekankan bahwa filsafat Cina kuno memiliki kerangka kerja untuk penekanan
pada penghormatan terhadap orang lain, harmoni sosial, keterkaitan dengan alam
dan bumi. Filsafat tersebut telah memberikan nilai inti pada paradigma pendidikan
untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam konteks individu, masyarakat, dan
lembaga (Liu, Yunhua & Constable, Alicia, 2010: 193-195).
Akhirnya, penelitian ini menyimpulkan bahwa piagam bumi dan
Pembangunan Berkelanjutan sebagai kerangka global yang dihubungkan dengan
konteks lokal dan nilai-nilai tradisional akan memberikan kontribusi lebih pada
dunia yang berkelanjutan, adil, dan damai (Liu, Yunhua & Constable, Alicia,
2010:201). Hal ini dipercaya bahwa aplikasi dari nilai-nilai global dengan konteks
lokal perlu jembatan dan jembatan tersebut adalah nilai-nilai lokal yang sudah
melekat dalam setiap bangsa seperti di filsafat Cina. Deklarasi Rio tentang
Lingkungan dan Pembangunan dan Agenda 21, di Bab 36 dari Agenda 21 (1992)
menyatakan bahwa pendidikan, termasuk pendidikan formal, kesadaran
masyarakat dan pelatihan harus diakui sebagai sebuah proses di mana manusia
dan masyarakat dapat mencapai potensi mereka sepenuhnya. Selain itu, deklarasi
ini menekankan bahwa pendidikan sangat penting untuk mempromosikan
pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kapasitas lingkungan alam, orang
dan isu-isu pembangunan (lihat Dewan Ekonomi dan Sosial, pertemuan regional
Kedua tentang pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan, Roma, 15-16 Juli
2004, hal. 2).
Pemerintah Kosta Rika menerjemahkan Pendidikan untuk Pembangunan
Berkelanjutan dalam praktek dengan cara yang tidak terpisahkan. Pemerintah ini
memiliki komitmen pada pendidikan lingkungan di bawah kerangka piagam bumi
sejak tahun 2006. Selain itu, pemerintah memiliki komitmen dengan
mengadaptasi beberapa deklarasi internasional tentang pembangunan
berkelanjutan dan menjadi pendidikan seumur hidup pada pendidikan lingkungan
di sekolah. Desain nasional tentang pendidikan lingkungan menjadi strategi
nasional untuk pendidikan lingkungan (Keputusan 32001-MEP), yang
menekankan pada empat tema utama yaitu 1). Konservasi, perlindungan dan
pemulihan lingkungan (sosial, budaya dan alam), 2). Pencegahan dan mitigasi
terhadap dampak dari tindakan manusia terhadap lingkungan, 3). Menghormati
semua bentuk kehidupan, 4). Berkelanjutan untuk pembangunan manusia.
Kegiatan dari pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan melalui
pengembangan kursus pelatihan guru pendidikan lingkungan disebut sebagai
Education for Sustainable Development Regional Course (Elizondo, Alicia
Jimenez, 2010: 228-234).
Elizondo dan Alicia (2010:228) menjelaskan bahwa tujuan utama dari
kursus pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan ini adalah untuk
melaksanakan pelatihan yang berkesinambungan di bidang pendidikan untuk
pembangunan berkelanjutan dalam rangka menghasilkan kepekaan sosial,
kesadaran dan memberdayakan peserta untuk membuat keputusan untuk
memecahkan masalah dan bekerja menuju peningkatan kualitas hidup di
komunitas, lembaga atau wilayah mereka (lihat Ministry of Public Education,
2008:1 dikutip dalam Elizondo, Alicia, 2010:228). Hasil dari program ini adalah
guru di Sekolah Tinggi menjadi orang yang aktif untuk memulai pendidikan
lingkungan di sekolah mereka seperti klub lingkungan dimulai, mengelola proyek
daur ulang, mengembangkan diri mereka sebagai bagian dari lingkungan dan
pemimpin,serta mengundang siswa untuk menjadi peserta aktif dalam lingkungan
pendidikan. Para peserta ingin memiliki sesi lagi untuk setiap topik dan
berdasarkan umpan balik peserta menunjukkan bahwa isi kursus sesuai.
Kesulitannya adalah tentang pendanaan sumber daya dan bagaimana
menempatkan komitmen menjadi aksi. Sementara itu, menurut Elizando bahwa
hasil dari proses daur ulang digunakan untuk beasiswa bagi remaja yang sakit
mental dan yang keluarganya tidak bisa membayar uang sekolah (Elizando,
Alicia, 2010 : 232).
E.Rakhyun dalam telaah buku Klaus Bosselmann dengan judul The
Principle of Sustainability: Transforming law and Governance, 2008 (E.
Rakhyun, 2010:309) menyatakan bahwa prinsip keberlanjutan adalah tentang
keberlanjutan dan implikasi hukumnya (E. Rakhyun, 2010:310). Dia menekankan
bahwa menurut tesis Bosselmann prinsip keberlanjutan harus universal diakui
sebagai prinsip hukum dasar (prinsip lingkungan yang paling mendasar) seperti
keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Selain itu, E. Rakhyun menjelaskan bahwa
buku ini menggambarkan hubungan penting antara ekologi dan yurisprudensi.
Seperti pada teori Bosselmann yang menggarisbawahi bahwa teori hukum
keberlanjutan global didasarkan pada realitas ekologi sederhana, fundamental dan
mapan (tapi satu yang sering dilupakan dan diabaikan) bahwa manusia merupakan
bagian integral dari masyarakat hidup dan bahwa ada batas ekologis yang harus
dihormati pada skala planet (E. Rakhyun, 2010: 310).
Podger dkk (2010) menggarisbawahi bahwa piagam bumi Internasional
dan Organisasi Masyarakat Sipil memiliki pendekatan yang berbeda pada
pembangunan berkelanjutan, yaitu perlu penekanan pada nilai-nilai etika. Nilai-
nilai etika dalam hal ini adalah rasa hormat, kesetaraan, keadilan dan partisipasi
seluruh Piagam dan Earth Charter yang berbasis inisiatif. Podger mencatat bahwa
Earth Charter International (ECI) diselenggarakan oleh organisasi-organisasi
masyarakat sipil menyadari untuk mengakomodasi nilai-nilai berdasarkan
pendekatan etika dan sadar akan pengaruh pendekatan ini pada tujuan
pembangunan berkelanjutan (Podger dkk,2010: 298).
Podger menjelaskan bahwa ada banyak indikator untuk mengevaluasi dan
mengukur efektivitas pembangunan berkelanjutan nasional dan internasional dan
pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan seperti pendekatan tradisional
untuk mengukur efektivitas dan keberhasilan terhadap lingkungan, sosial, dan
fenomena ekonomi bagi pembangunan berkelanjutan. Selain itu juga
menggunakan pendekatan holistik berkelanjutan. Beberapa pengembangan
indikator dan alat penilaian yang telah dikembangkan untuk menilai kemajuan
menuju pembangunan berkelanjutan. Studi Podger menemukan bahwa indeks
pembangunan berkelanjutan dan indikator untuk pendidikan pembangunan yang
berkelanjutan tidak memberikan inspirasi yang signifikan atau bantuan
metodologi untuk pengembangan indikator yang mengukur nilai-nilai etis yang
terkait dengan pembangunan berkelanjutan dan proyek pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan, baik di tingkat individu, proyek, organisasi
atau komunitas (Podger,2010:299).
Kajian Mathar (2010:280) melaporkan bahwa pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan di sekolah Jerman terintegrasi dengan prinsip-prinsip Piagam Bumi.
Ada dua wilayah di negara Jerman yang memulai proses ini dengan mengorganisir
in-service training bagi para guru primer dan sekunder. Sejak 2007, kelompok
pendidik yang terlibat dalam pelaksanaan deklarasi pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan sebagai penasehat senior untuk
mengembangkan program pelatihan guru dalam pendidikan untuk pembangunan
berkelanjutan untuk sekolah-sekolah di Jerman. Mereka berusaha untuk
mengintegrasikan nilai-nilai Piagam bumi dan kerangka holistik pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan ke dalam sistem sekolah dari wilayah di Jerman
yaitu: Hessen dan Rheinland-Plaflz.
Mathar (2010: 281) mencatat bahwa ada tiga langkah dalam
mengembangkan program sistematis untuk mengintegrasikan Piagam Bumi yang
berkaitan dengan kegiatan sekolah. Pertama, menyelenggarakan seminar
pelatihan guru untuk menginformasikan tentang teks Piagam Bumi, prinsip,
filosofi dan memperkenalkan kemungkinan metodologis mengintegrasikan
Piagam Bumi dalam mengajar mata pelajaran yang berbeda di sekolah. Kedua,
mengembangkan mitra konsorsium untuk menerjemahkan Piagam Bumi Buku
Panduan untuk pendidikan pembangunan yang berkelanjutan dan adaptasi
terhadap realitas Jerman non-terpusat sistem sekolah. Ketiga, untuk memperluas
integrasi piagam Bumi dalam sistem sekolah dan akhirnya, upaya dalam
pelaksanaan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Jerman adalah
melalui lintas-kurikuler pengembangan kerangka kerja untuk pengembangan
global dalam konteks Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan. Matsuura
(2005:1) pada UNESCO dan Pembangunan Berkelanjutan juga menekankan
bahwa pembangunan berkelanjutan adalah ajaran moral serta konsep ilmiah. Hal
ini terkait erat dengan perdamaian, hak asasi manusia dan keadilan, setara dengan
isu ekologi atau pemanasan global.
Gadotti, Moacir mencatat bahwa dalam praktek reorientasi pendidikan
menuju keberlanjutan khususnya dalam kurikulum memerlukan upaya khusus.
Seperti Jean Piaget menggarisbawahi dalam Gadotti (2010 : 205) bahwa
"kurikulum harus mencakup hal-hal yang bermakna bagi siswa" Gadotti
menambahkan bahwa pernyataan Piaget belum lengkap, apalagi, ia menekankan
bahwa konten yang hadir dalam kurikulum harus bermakna bagi siswa, dan hanya
bisa berarti bagi mereka jika isi ini juga bermakna bagi keselamatan planet.
Penelitiannya menunjukkan bahwa strategi untuk reorientasi pendidikan formal
saat kurikuler yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan berdasarkan
laporan konferensi akhir tentang pendidikan lingkungan, diadakan dari November
24-28, 2007 di Pusat Pendidikan Lingkungan di Ahmedabad, India, perlu
transformasi pendidikan yang mencakup unsur-unsur dari wawasan, refleksi,
belajar di luar ruangan, dan belajar melalui tema keberlanjutan, selanjutnya dalam
mengimplementasikan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di
sekolah melalui serangkaian hubungan regional dengan sekelompok sekolah dan
kemitraan dengan perguruan tinggi yang ada, pemerintah dan organisasi non-
pemerintah (Gadotti, Moacir,2010: 206).
Wals (2007) dalam Gadotti (2010:206) menekankan bahwa untuk
reorientasi pendidikan formal model kurikuler dalam kerangka pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan, maka perlu mempromosikan 'pembelajaran
sosial' pengalaman dan partisipatif, dengan kata lain, itu berarti dalam proses kita
perlu mengambil tindakan yang ada program seperti: eco-school, sekolah hijau,
sekolah lingkungan, sekolah berkelanjutan dan sekolah warga negara. Gadotti
mencatat bahwa tanpa dialog yang berhasil di kalangan masyarakat,
mengembangkan kurikulum teknologi ramah lingkungan tidak dapat berjalan
dengan baik (Gadotti, 2010:207). Seperti O 'Sullivan (2004) dalam Gadotti
(2010:207) menekankan bahwa itu harus mengintegrasikan ekonomi lokal
(konsumsi berkelanjutan), efisiensi energi (green teknology, sumber daya
terbarukan, konsumsi yang bertanggung jawab), interaksi manusia (HAM,
prinsip-prinsip bersama, hubungan kekuasaan), dan keanekaragaman hayati
(interaksi ekologi), Akhirnya, elemen ini dikumpulkan ke dalam pengetahuan
yang sistematis dan menjadi kebiasaan baru bagi kehidupan yang berkelanjutan.
The Southeast Asian Ministers Education Organization (SEAMEO)
Regional Innotech program pendidikan (2010) telah mengembangkan toolkit
untuk mengintegrasikan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan ke dalam
kurikulum pendidikan Menengah Ilmu Sosial di Asia Tenggara. Toolkit ini dibagi
menjadi enam bab. Bab satu membahas tentang tujuan pembelajaran dan
gambaran singkat tentang ESD, bab dua membahas tentang dimensi kurikulum,
peran guru, pentingnya studi sosial dan status ilmu sosial di negara-negara Asia
Tenggara. Bab tiga membahas tentang status ESD di pendidikan menengah di
Asia Tenggara dan isu-isu dan perhatian, Bab empat membahas tentang
bagaimana mengintegrasikan ESD ke sekolah kurikuler, bab lima membahas
tentang pedagogi dan sistem evaluasi, desain rencana pembelajaran, dan hasilnya.
Bab enam membahas tentang saran untuk topik pembangunan berkelanjutan untuk
integrasi kurikulum. Bab ini menggunakan toolkit dalam pelajaran ilmu-ilmu
sosial. ESD dapat dimasukkan ke dalam satu atau dua pelajaran dalam sistem
kurikulum sekolah.
Penelitian Wals (2009:195) menunjukkan bahwa ada 10 temuan kunci
hasil dari telaah Decade of Education for Sustainable Development (DESD)
seperti yang ditampilkan pada makalahnya berjudul “A Mid-DESD Review: Key
Findings and Ways Forward”, Wals menjelaskan bahwa pertama, terdapat
berbagai interpretasi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan, itu
tergantung pada kebutuhan regional, nasional, dan lokal. Mereka mungkin
menafsirkan dalam berbagai cara. Sebagai contoh, negara mungkin mengadopsi
orientasi lebih pedagogis terhadap pendidikan untuk pembangunan yang
berkelanjutan yaitu dengan menekankan sistem sosial belajar, partisipasi dan
kapasitas atau yang lebih instrumental menekankan perubahan perilaku
masyarakat.
Kedua, PBB berkontribusi terhadap Deklarasi pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan melalui pembentukan program tematik dan
memfasilitasi lintas sektor. Ketiga, sudah ada banyak badan koordinasi ESD
nasional yang mapan. Menurut Wals, 97 negara yang menanggapi survei tahun
2008, 79 melaporkan pembentukan badan koordinasi nasional ESD. Keempat,
ESD sudah ditunjukkan dalam dokumen kebijakan nasional, mayoritas dokumen
memperluas partisipasi dalam ESD dan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum
terutama di pendidikan dasar dan menengah. Kelima, kerjasama pemerintah antar
departemen terkait program pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan
sudah terjalin tetapi masih minim koordinasi. Wals melaporkan bahwa di sebagian
besar dari negara di dunia, struktur kerjasama pemerintah antar departemen
tentang ESD masih kurang. Keenam, paradigma ESD pada umumnya ditemukan
pada pendidikan formal.
Wals menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah dari negara-negara
menanggapi telah berkomitmen untuk mendukung masuknya ESD dalam
pendidikan formal, terutama di pendidikan dasar dan menengah. Ketujuh, ESD di
pendidikan non-formal dan pembelajaran informal adalah agenda semua orang.
Kedelapan, perlu untuk penelitian lebih lanjut pengembangan dan diseminasi
pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Kesembilan, jaringan ESD
yang luar biasa di tingkat internasional. Kesepuluh, ketersediaan anggaran publik
yang minim atau insentif ekonomi untuk pendidikan pembangunan yang
berkelanjutan(Wals, 2009: 195-204).
Ginkel, Hans Van (2006) pada judul presentasi makalahnya “Global
Efforts on Education for Sustainable Development and UNU Regional Centres of
Expertise on ESD” menggarisbawahi bahwa visi Decade of Education for
Sustainable Development (DESD) adalah untuk menciptakan sebuah dunia di
mana setiap orang memiliki kesempatan untuk manfaat dari pendidikan yang
berkualitas dan mempelajari nilai-nilai, perilaku dan gaya hidup yang diperlukan
untuk masa depan yang berkelanjutan dan untuk transisi sosial yang positif. Dia
menambahkan bahwa pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan bukan
hanya tentang pendidikan lingkungan tetapi meliputi globalisasi, perdagangan dan
pembangunan, pengentasan kemiskinan, konsumsi berkelanjutan dan produksi,
keadilan sosial, perspektif gender, dan pemahaman budaya yang berbeda (Ginkel,
2006:215).
Lee (2011) dalam kajiannya menjelaskan bahwa integrasi pendidikan
untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam kurikulum sekolah menunjukkan
bahwa dalam mengintegrasikan pendidikan untuk pembangunan yang
berkelanjutan itu bisa dimasukkan dan dikembangkan melalui pendekatan
tradisional atau inovatif. Selain itu, dia menambahkan bahwa untuk
mengintegrasikan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan ke dalam
kurikulum sekolah, adalah penting untuk memahami unsur-unsur utama dari
pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan itu seperti; pengetahuan,
masalah, keterampilan, pendekatan dan nilai-nilai. Hal ini juga mungkin
diperlukan untuk membuat evaluasi untuk pemahaman siswa tentang pengertian
Education for sustainable development atau Sustainable development, apakah
sudah jelas. Dia juga mencatat bahwa peran guru sangat penting dan guru perlu
mengerti tentang pentingnya program pendidikan untuk pembangunan yang
berkelanjutan secara efektif. Selain itu, Lee menekankan bahwa untuk
melaksanakan prinsip-prinsip pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan
tidak perlu mengubah kurikulum yang ada, itu hanya perlu menghubungkan
berbagai tema dan isu dengan masyarakat, ekstrakurikuler, pelajaran sekolah. Lee
menunjukkan bahwa pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam
kurikulum sekolah dapat dilakukan dan terintegrasi dengan berbagai cara (Lee,
2010: 130-136).
Menurut Elias, Nakayama dan Hargreaves (2005:13) menunjukkan bahwa
pengembangan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Korea
memberikan pemahaman kepada beberapa orang tentang pentingnya
pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, tantangan pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan di Korea adalah bagaimana menghubungkan
antara pendidikan, secara umum, dan pembangunan berkelanjutan ternyata tidak
mudah dibuat, terutama dalam hal hubungan antara pendidikan nilai dan
pembangunan berkelanjutan. Ransoo (1984) menekankan bahwa isu-isu umum
pada Pendidikan Korea adalah bagaimana siswa dapat beradaptasi dan bertahan
pada konteks sosial dan global. Menurut risetnya pendidikan di Korea perlu
mempertimbangkan perubahan sosial dalam masyarakat dan konteks global.
Kompleksitas administrasi, manajemen, dan hambatan sistem pendidikan menjadi
penting untuk memperhatikan bagaimana pendidikan dapat memberikan
kontribusi pada perubahan sosial untuk masa depan generasi muda dan memiliki
strategi reformasi. Lebih lanjut ia menekankan agar lembaga pendidikan tidak
terisolasi dari masyarakat (Ransoo, 1984: 97-130).
Isu-isu tentang pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan masih
kuat menekankan pada isu-isu lingkungan, khususnya pendidikan lingkungan di
sekolah-sekolah. Zolho (2005) memberikan pendapat kritis tentang pendidikan
lingkungan dalam masyarakat pada makalahnya berjudul “Is there A Global
Environmental Crisis? Environmental Education in Northern Europe and
Africa”, Menurut pandangannya melalui studi kasus tentang pendidikan
lingkungan di Eropa Utara dan Afrika khususnya, dalam interpretasi Barat,
menyebutkan bahwa pengertian awal 'lingkungan' merupakan istilah dari tradisi
pencerahan. Menurutnya ada perdebatan yang serius dan perbedaan interpretasi
tentang pendidikan lingkungan, sebagai contoh orang hanya peduli dengan
pendidikan lingkungan, seperti yang terlihat bahwa setiap hari sekolah membawa
siswa dan guru melakukan kunjungan lapangan, dan studi lapangan, bekerja
sebagai sukarelawan untuk mengambil sampah dari jalan, pantai, dan lingkungan
publik adalah kegiatan rutin pada pendidikan dasar di sekolah.
Zolho memberikan contoh, kasus di Afrika, penyebab masalah lingkungan
adalah simetri dengan mayoritas penduduk lokal, hasil dari situasi jangka panjang
ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan. Selain itu, studi Zolho
menunjukkan bahwa perdebatan tentang pendidikan lingkungan di kurikulum
sekolah adalah bahwa pendidikan lingkungan harus diajarkan untuk siswa. Diikuti
dengan fokus utama pendidikan lingkungan yang diajarkan secara terus-menerus
di Afrika Selatan, seperti di tempat lain. Akhirnya studi ini menyimpulkan bahwa
pendidikan lingkungan adalah materi terbaik dalam menangani masalah-masalah
lingkungan lokal melalui analisis kritis terhadap penyebab masalah lingkungan,
dan mengidentifikasi persoalan mendasar, serta mencari solusi lokal yang layak
berdasarkan konteks yang lebih luas dari kebutuhan yang ada untuk keberlanjutan
global (Zolho, 2005:76).
Konferensi Internasional bertema ‘Lingkungan dan Masyarakat:
Pendidikan dan Kesadaran Publik tentang keberlanjutan’ dari 8-12 Desember
1997 telah menghasilkan Deklarasi Thessaloniki (1997) yang menyatakan bahwa
untuk mencapai keberlanjutan yang lebih besar perlu ada upaya koordinasi dan
integrasi dalam sejumlah sektor penting dan perubahan yang cepat dan radikal
atas perilaku dan gaya hidup, termasuk perubahan konsumsi dan pola produksi.
Untuk itu, pendidikan yang tepat dan kesadaran publik harus diakui sebagai salah
satu pilar keberlanjutan bersama-sama dengan penyusunan undang-undang,
penguatan ekonomi dan teknologi. Selain itu, dalam deklarasi ini menekankan
bahwa reorientasi pendidikan secara keseluruhan menuju keberlanjutan perlu
melibatkan semua tingkat pendidikan formal, non-formal dan informal di semua
Negara(http://www2.leuphana.de/vcse/uploads/media/Declarations_on_higher_ed
ucation_and_sustainable_development.pdf).
Konsep keberlanjutan bukan hanya meliputi lingkungan tetapi juga
kemiskinan, kependudukan, kesehatan, ketahanan pangan, demokrasi, hak asasi
manusia dan perdamaian. Keberlanjutan dalam analisis akhir, menekankan
keharusan moral dan etika di mana keanekaragaman budaya dan pengetahuan
tradisional perlu dihormati. Deklarasi ini telah diperkuat untuk rekomendasi
sebelumnya dan belajar pada Konferensi Belgrade tentang Pendidikan
Lingkungan (1975), Tbilisi Konferensi Pendidikan Lingkungan (1977),
Konferensi Moskow Pendidikan Lingkungan dan Pelatihan (1987), dan Toronto
World Congress untuk pendidikan dan Komunikasi Lingkungan dan
Pembangunan (1992) dan KTT Rio (1992).
E. Landasan Teoritis
Penelitian ini adalah penelitian filsafat pendidikan yang mengkaji tentang
paradigma pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan melalui studi
kasus di Kota Tongyeong, Gyeongsangnamdo, Korea Selatan. Pendidikan dapat
dimaknai dari berbagai perspektif. Dalam konteks filsafat pendidikan berupaya
untuk mendapatkan gambaran atau garis besar seluruh rangkaian proses
pendidikan (Brubacher,1962:6). Secara terminologi ada perbedaan antara
pedagogis, ilmu pendidikan dan filsafat pendidikan, Pedagogis pada umumnya
mengacu pada seni pendidikan (art of education), yang berarti pendidikan yang
diletakkan pada konteks mengajar dan cara belajar. Ilmu pendidikan merujuk pada
prinsip-prinsip umum yang dapat diterapkan oleh seluruh pembelajar. Jadi Filsafat
pendidikan dapat berguna ketika ada tindakan pada tingkat (art of education)
karena filsafat tidak dapat membawa teori ke dalam realitas hanya sekedar
mendiskusikan teori tersebut (Brubacher,1962:16-17;Rohman,2008:11).
Pendidikan tidak hanya berkembang dalam kerangka politik dan sosial atau
fenomena tetapi pendidikan memiliki esensi dasar yang melandasi mengapa
pendidikan penting dan harus ada. Menurut Basiuddin (2010:xii) menjelaskan
bahwa pendidikan adalah proses untuk meningkatkan, mengubah pengetahuan,
keterampilan dan sikap tata laku seseorang dalam usaha mencerdaskan kehidupan
manusia melalui kegiatan bimbingan dan pelatihan. Sumiyadi (2000:3)
memaparkan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses pendewasaan
manusia dalam usaha untuk membentuk jiwa dan kepribadian, meningkatkan
moral, memperoleh wawasan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang kelak
akan dijadikan dasar dan bekal untuk menempuh kehidupan di masyarakat.
Eknathon (1999:50) memberikan pengertian tentang pendidikan bahwa
pendidikan adalah aktivitas interaksi komunikatif antara pendidik dan peserta
didik untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan dengan cara dan dalam
lingkungan yang positif.
Muslikhin (2002: 35) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan bagian
dari sub sistem kehidupan masyarakat yang ikut menjadi salah satu institusi sosial
yang bergerak guna merealisir terwujudnya nilai-nilai yang sesuai dengan
pandangan hidup (filsafat) masyarakat yang menjadi panutan masyarakat. Dalam
kerangka aliran pemikiran dalam filsafat pendidikan setidaknya ada 4 aliran utama
yang berpengaruh dalam pengembangan teorisasi pendidikan antara lain
Progresivisme, Perenialisme, Esensialisme, dan Rekonstruksionisme.
Pandangan Progresivisme bertitik tolak pada pendidikan harus berpusat
pada anak dan disesuaikan dengan minatnya,guru berperan sebatas sebagai
pembimbing(Sukardjo dan Komarudin, 2009:12). Kredo dalam pemikiran kaum
progresivisme mengatakan bahwa pendidikan adalah untuk kehidupan (education
for life). Pendidikan harus memiliki dampak dalam kehidupan sehari-hari, aliran
ini menekankan pada proses pendidikan dengan bertumpu pada penemuan
(discovery) dan pencarian (inquiry), serta disiplin yang ketat (Barrow dan Woods,
2006:35). Pemikiran Perenialisme dalam pendidikan menjelaskan bahwa manusia
membutuhkan pendidikan yang mengedepankan suatu kondisi dan situasi untuk
kembali pada nilai-nilai keserasian dan kebudayaan masa lalu supaya manusia
yang dididik memahami dan tidak lupa kebudayaan masa lalu tersebut. Kerusakan
kebudayaan dan perilaku manusia yang cenderung agresif dan destruktif sebagai
akibat dari lunturnya nilai-nilai kebudayaan masa lalu yang menjunjung tinggi
adat, moral, dan keadaban manusia. Aliran Perenialisme memberikan jalan untuk
membentuk dunia yang harmonis dengan sekitarnya dengan cara mengembangkan
suatu pendidikan yang menekankan pada pelestarian dan pengembangan nilai-
nilai kebudayaan masa lalu (Sukardjo dan Komarudin, 2009:12). Aliran
Esensialisme berpandangan bahwa pendidikan harus terpusat pada guru jadi
inisiatif pokok dalam pendidikan tidak terletak pada peserta didik tetapi pada guru
(Printianto,2004: 15-17).
Aliran Rekonstruksionisme merupakan aliran yang berpengaruh dalam
pemikiran pendidikan sekarang ini. Aliran ini melihat bahwa keadaan zaman
sekarang ini mengalami krisis sosial dan politik, moral, kebangsaan, dan alam
akibat dari pendidikan yang kurang mengedepankan aspek kesadaran berpikir
kritis, kedewasaan bertindak, dan disorientasi tujuan dan nilai dalam pendidikan.
Untuk itu, aliran Rekonstruksionisme memiliki pemikiran pentingnya menata
kembali pendidikan yang telah jauh dari kehidupan lingkungan yang ada agar
berjalan secara serasi, selaras dan seimbang. Pemikiran kaum Rekonstruksionisme
menolak gagasan terkait sekolah yang netral, tetapi bagaimana hakikat sekolah
selalu dapat melayani kepentingan masyarakat. Bagi Kaum penganut
Rekonstruksionisme berpandangan bahwa figur seorang pendidik harus diubah
dari konsep pembantu atau teknisi menjadi seorang intelektual transformatif
menuju perubahan sosial dan kebaikan umum (Stanley,1992: xiii). Pengertian
tentang Pendidikan menurut Rekonstruksionis adalah untuk menyiapkan
masyarakat menuju tata aturan baru
http://oregonstate.edu/instruct/ed416/PP3.html). Peters dalam the Philosophy of
Education menjelaskan bahwa konsep dasar dalam pendidikan adalah
menekankan pada pengembangan pengetahuan dan pemahaman manusia tentang
realitas kehidupan (Peters,1973:5).
O’Neil (2001:12-14) memberikan penjelasan untuk melakukan kajian
pendidikan setidaknya ada 3 pendekatan untuk menganalisisnya yaitu Pertama,
menggunakan pendekatan analisis. Pendekatan ini bertujuan untuk merumuskan
filosofi pendidikan hubungan dengan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai.
metode yang digunakan adalah dengan melihat dan mengkaji persoalan-persoalan
mendasar di dalam dunia pendidikan baik secara teoritis maupun empirik. Kedua,
pendekatan sistemik, yaitu suatu pendekatan yang mengkaji tentang fenomena
atau realitas pendidikan dalam konteks teori sistem atau aliran yang berkembang
dalam filsafat pendidikan, misalnya realisme, idealisme, liberalisme,
konservatisme. Ketiga, pendekatan filosofi, yaitu melacak dan menganalisis
landasan pendidikan atau keyakinan yang dirumuskan dalam filsafat pendidikan
dengan mempelajari corak pemikiran para filosof pendidikan dalam mencari
solusi terkait permasalahan pendidikan.
Dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa
hakikat pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Bandingkan dengan tujuan pendidikan nasional
yang termuat dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1989 yang menyebutkan:
“untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya,yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani, dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Sebagaimana Standish (2003:221) menekankan dalam tulisannya yang
berjudul “The Nature and Purposes of Education” bahwa pendidikan adalah
suatu perubahan, kontekstual, dan sangat unik, serta merupakan konstruksi konsep
yang historis dan politis. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan
kerangka konseptual pemikiran filsafat pendidikan rekonstruksionisme untuk
menganalisis konsep pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan yang
dikenal sebagai Education for sustainable development (ESD) dalam aspek
pemaknaan atas realitas, peserta didik, dan tujuan pendidikan yang hendak
dicapai. Dasar pemikiran kaum Rekonstruksionisme diletakkan pada dua aspek
yaitu pertama, kurikulum yang dikembangan berdasarkan situasi dan dinamika
masalah sosial yang ada disekitarnya. Kedua, peserta didik didorong agar terlibat
langsung dalam komunitas sosial dan terjun ke masyarakat (Breithorde dan
Swinjarski,1999: 1).
Penelitian ini akan menggunakan kerangka teoritis umum dari pemikiran
Rekonstruksionisme dalam membaca dan menganalisis paradigma pendidikan
untuk pembangunan yang berkelanjutan. Persoalan yang dibahas dalam aliran
Rekonstruksionisme merujuk pada tiga aspek yaitu pertama, masyarakat yang
seperti apa yang harus dibentuk. Kedua, metode dan kurikulum yang seperti apa
yang disusun untuk membentuk masyarakat tersebut dalam pendidikan. Ketiga,
peran guru dan murid dalam pendidikan.
F.Metode Penelitian
1. Bahan Penelitian
Penelitian ini merupakan kolaborasi antara penelitian lapangan (field
research) dan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini adalah
penelitian yang bersifat kualitatif. Adapun data lapangan terkait dengan topik
penelitian ini diambil di Tongyeong-si, Gyeongsangnam-do, Korea Selatan.
Sedangkan data kepustakaan untuk kajian teoritik tentang pendidikan dan
perkembangannya diperoleh di Yogyakarta antara lain di Fakultas Filsafat UGM,
Universitas Negeri Yogyakarta, Pusat Studi Korea-UGM, Universitas Sanata
Dharma, Universitas Sarjana Wiyata Tamansiswa, dan beberapa di Korea
Selatan. Lokasi penelitian di Tongyeong-si, Gyeongsangnamdo, Korea Selatan
khususnya di Inpyeon elementary school, Tongyeong girl’s Middle school, dan
Dongwon high school dan Yogyakarta.
2. Cara Penelitian
Adapun cara penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah melakukan
pengumpulan data pada sumber-sumber utama untuk penelitian lapangan melalui
observasi partisipatoris dan terbuka, wawancara mendalam terstruktur dengan key
persons seperti guru, mahasiswa, siswa sekolah, RCE Tongyeong, dan Dinas
Pendidikan di kota Tongyeong, Korea Selatan dilakukan pada bulan April-Juni
2012. Sedangkan untuk penelitian kepustakaan melalui kajian teks yaitu berupa
hasil penelitian, jurnal tentang pendidikan, aliran filsafat pendidikan, pemikiran
filsafat pendidikan, berita koran, majalah, buku panduan akademik, Undang-
Undang sisdiknas, dan dokumen pendukung lainnya terkait dengan topik
penelitian yang dibahas.
3. Proses Penelitian
a. Tahap pengumpulan data
Proses pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap untuk mendapatkan
data primer dan data sekunder sebagai berikut: Data primer penelitian lapangan ini
diambil melalui studi lapangan, observasi dan wawancara mendalam terstruktur
kepada para pendidik dan peserta didik di Tongyeong-si, Gyeongsangnamdo,
Korea Selatan. Sekolah yang menjadi tempat observasi dan wawancara adalah
Inpyeon elementary school, Tongyeong girl’s Middle school, dan Dongwon high
school. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data dan menentukan sekolah
adalah melalui pendekatan purposive sampling. Data primer untuk penelitian
kepustakaan diambil dari website UNESCO, jurnal online, dan beberapa hasil
penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian. Data sekunder yaitu data yang
diambil dan diperoleh dari berbagai tulisan ilmiah baik berupa artikel, jurnal, dan
penelitian yang telah diterbitkan maupun unpublished works.
b. Tahap analisis data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Verstehen: dalam tahap ini peneliti mencoba untuk memahami unsur-unsur
filosofis paradigma pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di
Kota Tongyeong. Metode verstehen ini digunakan untuk memahami
pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam konteks filosofis.
2. Interpretasi: Peneliti berusaha menafsirkan, mengungkapkan esensi realitas
dari data lapangan dan kajian kepustakaan untuk ditemukan suatu formula
atau rumusan yang baru.
3. Reduksi data dan Klasifikasi data: Data lapangan yang diambil melalui
wawancara (data verbal) akan diseleksi dan diurai maknanya berdasarkan
kebutuhan peneliti dan mencari relevansinya dengan penelitian melalui
metode reduksi yaitu dengan cara memilah mana yang terkait dengan
filsafat pendidikan, etika, epistemologis, aksiologis,dan ontologis. Setelah
fase reduksi data kemudian dilanjutkan klasifikasi data melalui
pengelompokkan data berdasarkan objek formal dan kebutuhan yang dipilih
oleh peneliti (Lihat Kaelan,2005:69).
4. Heuristik, artinya mencoba menemukan hal-hal baru yang terkait dengan
ESD khususnya tentang materi ESD sehingga dapat ditemukan hal-hal baru
yang dapat memperluas pemahaman terhadap makna pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan, dan gagasan baru bagi pengembangan
ilmu di bidang studi filsafat pendidikan.
5. Abstraksi, metode analisis yang digunakan dalam proses ini adalah
berupaya untuk mengungkap hakikat pendidikan untuk pembangunan yang
berkelanjutan dengan memisahkan unsur-unsur yang menyusunnya baik
dasar nilai, dasar epistemologis, dan dasar historis agar dapat menemukan
substansi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan.
G. Hasil yang dicapai
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman yang komprehensif tentang evolusi dan sejarah pemikiran
pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan.
2. Pemahaman teori Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme.
3. Telaah teori Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme terhadap pendidikan
untuk pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong dan
relevansinya bagi pendidikan di Indonesia.
H. Jadwal Penelitian
Kegiatan penelitian untuk tesis ini dilakukan selama 2 tahun. Tahun
pertama, yaitu tahun 2012 adalah kegiatan pra studi dan kajian terkait pendidikan.
Pada bulan April-Juni 2012 dilakukan pengambilan bahan dan materi baik berupa
dokumen, foto, hasil wawancara, dan materi pendukung lainnya di Kota
Tongyeong, Korea Selatan. Pada bulan berikutnya yaitu Juli- Desember 2012
dilakukan proses klarifikasi data, seleksi, dan kategorisasi data yang disesuaikan
dengan kebutuhan untuk penulisan tesis ini. Tahun kedua, yaitu tahun 2013
dilakukan proses penulisan ulang, updating data, dan penyusunan draft rancangan
proposal tulisan tesis S2 untuk program Ilmu Filsafat. Pada bulan Januari-
Agustus, dilakukan proses penulisan, kemudian pada bulan September-Desember
2013 tahap konsultasi, revisi dan evaluasi terakhir hingga pada penulisan final
tesis program Pascasarjana Ilmu Filsafat ini. Pada Januari 2014, proses
pendadaran/ujian tertutup tesis.
I. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini dilaporkan dalam tujuh bab sebagai berikut:
Bab pertama berisi tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini,
rumusan masalah yang hendak di Jawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
terhadap pustaka sebelumnya, landasan teori, dan metode yang digunakan dalam
melakukan penelitian.
Bab kedua berisi tentang pemikiran pendidikan untuk pembangunan yang
berkelanjutan menyangkut pengertian, sejarah pemikiran, dan orientasi dan ruang
lingkup pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan (education for
sustainable development).
Bab ketiga berisi tentang Pendidikan untuk pembangunan yang
berkelanjutan di Kota Tongyeong Korea Selatan; Studi kasus yang mengungkap
tentang Kota Tongyeong, Sekilas pendidikan di Kota Tongyeong dan aplikasi
pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di kota Tongyeong,serta
dampak implementasi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Bab keempat merupakan uraian tentang pemikiran Filsafat Pendidikan
Rekonstruksionisme yang menjelaskan ulasan tentang hakikat manusia,pengertian
dan perkembangan filsafat pendidikan, Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme
dan tokoh-tokoh yang berpengaruh didalamnya.
Bab kelima berisi tentang tinjauan Filsafat Pendidikan
Rekonstruksionisme terhadap pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan
di kota Tongyeong, Korea Selatan.
Bab keenam berisi tentang relevansi pendidikan untuk pembangunan yang
berkelanjutan di Kota Tongyeong dan manfaatnya bagi Pendidikan di Indonesia.
Bab ketujuh berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari
permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.