bab i pendahuluan a. latar belakang...

41
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah masalah khas manusia, hanya manusia yang mempunyai persoalan tentang pendidikan, sebagaimana kodratnya sebagai makhluk rasional yang memiliki cipta, rasa, dan karsa. Apabila suatu bangsa dan manusia mengalami krisis multidimensional berarti pendidikan sedang mengalami krisis dan disorientasi tujuan dan pemaknaan. Oleh karena itu, Manusia memiliki kemampuan untuk dididik dan mendidik dengan tujuan untuk dapat mengatasi persoalan atau krisis tersebut (Suhartono,2009: 62-63;78-79). Persoalan yang dihadapi oleh dunia tersebut merupakan manifestasi dari ketidakharmonisan antar alam dan manusia, maka, perlu ada yang dikonstruksikan ulang dalam menata pendidikan yang berkelanjutan. Berbagai permasalahan pendidikan yang terjadi, baik lokal, regional, maupun global telah menunjukkan bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam membuat perubahan untuk mengembangkan hidup dan kehidupan manusia lebih baik. Menurut Novak (1977: 28) isu-isu terkini pendidikan yang sering dibahas orang pada umumnya adalah apakah pendidikan wajib diperlukan hanya sampai umur 12-14 tahun? apakah peserta didik harus memiliki lebih banyak kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka menghabiskan waktunya di sekolah? haruskah sekolah dihapuskan? Chamberlain dan Kindred (1966: 259) dalam bukunya berjudul The Teacher and School Organization, memaparkan temuannya bahwa masalah pendidikan dewasa ini pada dasarnya bertitik tolak

Upload: dotram

Post on 07-Feb-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah masalah khas manusia, hanya manusia yang mempunyai

persoalan tentang pendidikan, sebagaimana kodratnya sebagai makhluk rasional

yang memiliki cipta, rasa, dan karsa. Apabila suatu bangsa dan manusia

mengalami krisis multidimensional berarti pendidikan sedang mengalami krisis

dan disorientasi tujuan dan pemaknaan. Oleh karena itu, Manusia memiliki

kemampuan untuk dididik dan mendidik dengan tujuan untuk dapat mengatasi

persoalan atau krisis tersebut (Suhartono,2009: 62-63;78-79). Persoalan yang

dihadapi oleh dunia tersebut merupakan manifestasi dari ketidakharmonisan antar

alam dan manusia, maka, perlu ada yang dikonstruksikan ulang dalam menata

pendidikan yang berkelanjutan.

Berbagai permasalahan pendidikan yang terjadi, baik lokal, regional,

maupun global telah menunjukkan bahwa pendidikan memiliki peran penting

dalam membuat perubahan untuk mengembangkan hidup dan kehidupan manusia

lebih baik. Menurut Novak (1977: 28) isu-isu terkini pendidikan yang sering

dibahas orang pada umumnya adalah apakah pendidikan wajib diperlukan hanya

sampai umur 12-14 tahun? apakah peserta didik harus memiliki lebih banyak

kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka menghabiskan waktunya di

sekolah? haruskah sekolah dihapuskan? Chamberlain dan Kindred (1966: 259)

dalam bukunya berjudul The Teacher and School Organization, memaparkan

temuannya bahwa masalah pendidikan dewasa ini pada dasarnya bertitik tolak

tentang perdebatan apa sebenarnya tujuan pendidikan itu?, apakah pendidikan

untuk membentuk individu atau membentuk masyarakat? Apakah pendidikan

dimaknai untuk mengembangkan intelektual, melestarikan masyarakat,

merekonstruksi masyarakat atau untuk mempertemukan kebutuhan individu dan

masyarakat. Apakah pendidikan bertujuan semata-mata hanya untuk realisasi diri

atau untuk menjalin hubungan antar manusia. Apakah tujuan pendidikan sekedar

untuk efisiensi ekonomi atau sebagai tanggung jawab warganegara? Pertanyaan

tersebut mencerminkan bagaimana pendidikan harus dikembangkan bagi manusia.

Apabila mencermati perkembangan dunia yang modern sekarang ini

berbagai teori dan konsep tentang pendidikan berkembang pesat seperti konsep

pendidikan yang dikaitkan dengan agama, alam, ilmu, politik, budaya, sosial,

kemanusiaan, lingkungan, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Penelitian ini akan

memfokuskan pendidikan dalam konteks global sebagaimana yang dirumuskan

oleh lembaga internasional seperti UNESCO yaitu seputar Paradigma Pendidikan

untuk pembangunan yang berkelanjutan atau Education for Sustainable

Development (ESD). Bagaimana pendidikan dapat dilihat sebagai suatu entitas

yang dinamis, universal, dan sarat dengan nilai-nilai.

Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan menjadi paradigma

pendidikan global sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations)

memperkenalkan dalam forum internasional yang dikenal sebagai KTT Bumi di

Rio de Janeiro, Brazil pada bulan Desember 2002 yang dikenal dengan deklarasi

Rio. Sejak itu, Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan menjadi

agenda utama dalam lembaga pendidikan dunia di bawah UNESCO. Awal mula

gagasan Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dilatarbelakangi oleh

sejumlah persoalan global yang melanda dunia antara lain perubahan iklim

(climate change), krisis energi (energy crisis), kelangkaan pangan (food scarcity),

krisis kebudayaan, dan hilangnya pengetahuan lokal (Indigenous knowledge),

serta, persoalan kerusakan lingkungan yang sampai sekarang ini belum

menemukan solusi yang konkret.

Berbagai kajian dan penelitian tentang perubahan iklim, energi alternatif

terbaharukan, serta pangan alternatif yang dilakukan oleh para ilmuwan dunia

belum juga mendapatkan hasil yang memuaskan untuk mencapai pada suatu

perubahan dunia yang lebih baik dan berkelanjutan. Dalam Tajuk Rencana pada

Kedaulatan Rakyat (9 November 2013, hal.14) berjudul “Krisis Ekologi Tetap

Menghantui” menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan di dunia dan Indonesia

sudah semakin akut, eksploitasi sumber daya alam di dunia mencapai 7,3 triliun

dollar per tahun. Akibat dari eksploitasi tersebut berdampak pada laju pemanasan

global semakin cepat, lenyapnya kemampuan fungsi hutan dalam menyerap

karbondioksida, serta kerusakan ekologi semakin meluas. Bukti lain bahwa

bencana alam semakin banyak terjadi yaitu iklim tidak menentu, dan perubahan

cuaca semakin ekstrim tanpa disadari oleh manusia. Misalnya, Amerika Serikat

mendapatkan serangan hawa dingin di sejumlah wilayah Washington, Chicago,

Missouri, Wisconsin, New York, dan kota penting lainnya diserang udara dingin

yang berdampak pada 2.855 penerbangan ditunda dan 2.332 penerbangan

dibatalkan (Kompas, 7 Januari 2014, hal.14). Dalam KTT Dunia tentang

Pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) yang

diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tanggal 2-4 September

2002 menegaskan pentingnya Sustainable development. Adapun basis filosofi

Sustainable development sebagaimana tertuang dalam website UNESCO

(http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-international-

agenda/education-for-sustainable-development/three-terms-one-goal/) adalah:

‘seeks to meet the needs of the present without compromising those of future

generations. Sustainable development is a vision of development that

encompasses respect for all life—human and non-human—and natural

resources, as well as integrating concerns such as poverty reduction,

gender equality, human rights, education for all, health, human security and

intercultural dialogue’.

(berusaha untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan

generasi mendatang. Pembangunan yang berkelanjutan adalah visi

pembangunan yang mencakup penghormatan terhadap semua sumber daya

hidup manusia dan non-manusia dan alam, serta memfokuskan pada

pengintegrasian pengurangan kemiskinan, kesetaraan gender, hak asasi

manusia, pendidikan untuk semua, kesehatan, keamanan manusia dan dialog

antarbudaya).

Dasar filosofi tersebut menjadi latar belakang pentingnya solusi atas

persoalan kemanusiaan dan kealaman melalui pendidikan. Selama ini pendidikan

diabaikan dalam mengatasi persoalan global sebagaimana yang terjadi sekarang.

Catatan rubrik berita Kompas (4 November 2013,hal.12) berjudul “Soal

iklim,peran Perguruan Tinggi belum Optimal” juga menunjukkan bahwa peran

perguruan tinggi dalam menyikapi perubahan iklim sebagai akibat dari pemanasan

global belum optimal. Sikap intelektual tidak cukup menanggapi perubahan iklim

sebatas lewat seminar atau menyebarkan selebaran di jalan, hal ini butuh aksi

nyata. Oleh karena itu, dalam KTT Dunia tahun 2002 tentang Pembangunan yang

berkelanjutan mulai disinggung pentingnya peran pendidikan untuk terlibat dalam

mengatasi persoalan dunia yang semakin kompleks. Rumusan yang ditawarkan

dalam deklarasi Johannesburg, kemudian digunakan oleh Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) untuk memformulasikan paradigma sustainable development ke

dalam pendidikan. Akhirnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui badan resmi

UNESCO mendeklarasikan Education for sustainable development (ESD), 2005-

2014 sebagai paradigma pendidikan global untuk memerangi dan merespon isu-

isu global pada abad ke-21 ini.

Sejak deklarasi Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan tahun

2002, berbagai lembaga pendidikan di dunia mencoba untuk memikirkan kembali

filosofi pendidikan, program pendidikan, dan kurikulum pendidikan di mana dan

pada aspek yang seperti apa pendidikan dapat berperan secara berkelanjutan

dalam mengatasi krisis global. Reorientasi sistem pendidikan dan kurikulum

menjadi topik yang diperdebatkan dalam implementasi paradigma pendidikan

untuk pembangunan yang berkelanjutan. Di satu sisi pendidikan sudah memiliki

model dan kurikulum yang baku untuk para siswa, sedangkan di sisi lain,

pentingnya untuk membuat suatu perubahan kurikulum yang berbasiskan pada

visi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan untuk berkontribusi

dalam mengatasi persoalan global.

Pada tahun 2005, paradigma Pendidikan untuk pembangunan yang

berkelanjutan mulai dikembangkan dan diterapkan di seluruh dunia. Untuk

menyukseskan agenda PBB tersebut berbagai badan pendukung mulai dibentuk

salah satunya adalah Regional Centre of Expertise (RCE) sebagai salah satu badan

pendukung di bawah naungan United Nations University – Institute of Advanced

Studies (UNU-IAS) yang berfungsi untuk menerjemahkan, menyosialisasikan,

mengembangkan, dan mempraktekkan nilai-nilai Sustainable development di

dalam aspek pendidikan yaitu pengetahuan, sikap, dan nilai baik formal maupun

non-formal. RCE merupakan organisasi berjaringan yang diakui UNU-IAS untuk

menggerakkan program dan menyebarkan gagasan pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan di seluruh dunia. Adapun di Indonesia sendiri

memiliki tiga RCE yang berada di Bogor, Yogyakarta, dan Kalimantan Timur. Di

Korea Selatan terdapat empat RCE yang terletak di Tongyeong, Inje, Ulju, dan

Incheon (Wawancara Su Yeon Park, staff RCE Tonyeong, 2 April 2012).

Penelitian ini mengambil obyek material paradigma pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan melalui studi kasus di Kota Tongyeong, Korea

Selatan dan obyek formalnya adalah Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme.

Pengertian Filsafat Pendidikan yang digunakan di sini merujuk pada pemikiran

Noddings (2007:xiii) bahwa “Philosophy of Education is the philosophical study

of education and its problems” (Filsafat pendidikan adalah studi kefilsafatan

tentang pendidikan dan masalahnya). Secara khusus, penelitian ini akan menyoroti

bagaimana implementasi Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di

Kota Tongyeong, Korea Selatan. Selain itu, penelitian ini akan menggali dan

mengeksplorasi bagaimana pemikiran dan konsep yang dibuat, serta aplikasi

paradigma pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan pada sekolah di

Kota Tongyeong, Korea Selatan. Penelitian ini akan membatasi kajian yang

memfokuskan pada konsep dasar, model/sistem pengembangan pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan di sekolah, metode yang dikembangkan, dan

action plannya dalam perspektif pemikiran Filsafat Pendidikan

Rekonstruksionisme.

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka dirumuskan

masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Apa hakikat Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan?

2. Bagaimana filsafat dan konsep Pendidikan untuk pembangunan yang

berkelanjutan yang diterapkan di Kota Tongyeong, Korea Selatan?

3. Bagaimana analisis kritis filsafat pendidikan Rekonstruksionisme dalam

melihat praktek paradigma pendidikan untuk pembangunan yang

berkelanjutan pada sekolah di Kota Tongyeong, Korea Selatan?

4. Bagaimana sumbangsih pemikiran paradigma pendidikan untuk pendidikan

yang berkelanjutan di Kota Tongyeong, Korea Selatan bagi pendidikan di

Indonesia?

2. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis di

Fakultas Filsafat UGM, Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Perpustakaan

Sarjana Wiyata, Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta, ditemukan belum

ada penelitian yang pernah dilakukan sama seperti judul tesis ini. Bahkan, dalam

judul disertasi di Fakultas Filsafat UGM sejak tahun 1982 hingga 2013 juga

belum ditemukan penelitian atau kajian yang memfokuskan pada Filsafat

Pendidikan. Berikut ini ditemukan beberapa judul penelitian yang memiliki topik

yang erat kaitannya dengan obyek formal dalam penelitian ini.

Ahmad Samawi No. 4498/IV-9/2/92, Tesis, Konsep Demokrasi Dalam

Pendidikan Menurut Progressivisme John Dewey. Fakultas Filsafat UGM. 1995.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menginventarisasi dan melakukan evaluasi

secara kritis filsafati tentang konsep demokrasi dalam pendidikan menurut

Progresivisme John Dewey; 2. Relevansi konsep John Dewey dengan pendidikan

nasional di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Hasil dari tesis ini adalah

bahwa konsep demokrasi dalam pendidikan yang dimaksudkan John Dewey

adalah suatu pandangan, sikap, dan aktivitas yang memberikan kesempatan

seluas-seluasnya kepada anak (peserta didik) untuk berpartisipasi dalam

menentukan pendidikannya agar ia tumbuh dan berkembang secara optimal dan

wajar sesuai dengan potensinya.

Eknathon, No. 5623/IV-9/22/93, Tesis, Konsep Filsafat Pendidikan

Hamka Dalam sistem Pendidikan Nasional, Fakultas Filsafat UGM:

Yogyakarta.1999. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengklarifikasi dan

melakukan evaluasi secara kritis filsafati tentang; pertama, konsepsi filsafat

pendidikan dalam pendidikan menurut Hamka. Kedua, relevansi konsep

pendidikan HAMKA dengan sistem pendidikan nasional di Indonesia yang

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kesimpulan dari tesis ini adalah bahwa

konsep dasar Filsafat pendidikan Hamka bercorak esensialitis orientasi ke depan

yang ditandai dengan prinsip tauhid.

Filsafat pendidikan Hamka bertumpu pada sifat dasar manusia berdasarkan

pandangan teosentris yang mengacu pada nilai-nilai ilahiyah dan menjadikan

tauhid sebagai nilai moral dalam segala aktivitas pendidikan(hal.43). Proses

pendidikan dilukiskan sebagai aktivitas interaktif antara pendidik dan subyek

didik untuk mencapai tujuan baik, dengan cara baik dalam konteks positif.

Aktivitas pendidikan hakikatnya merupakan usaha manusia untuk membantu dan

mengarahkan fitrah manusia supaya berkembang sampai pada titik maksimal

sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. Dasar filsafat pendidikan Hamka bahwa

akal mempunyai kedudukan tinggi untuk memahami alquran dan sunnah rosul.

Menurut Hamka bahwa dasar filsafat pendidikan adalah filsafat pendidikan yang

menjadi nara sumbernya adalah Al-quran,Sunnah dan akal sebagai alat untuk

memahaminya(hal.48). Menurut Hamka pendidik merupakan unsur yang memiliki

peran amat besar dan karena otoritasnya yang luas untuk menentukan, merancang,

dan mengarahkan pendidikan( hal.51).

Sudin, No. 6033/IV-9/32/94, Tesis, Konsep Pendidikan Moral Ibn

Miskawaih:Dalam Bukunya:Tahzib Al Akhlaq Wa That-Hir Al- A’Raq, Fakultas

Filsafat,1999. Tujuan tesis ini mengungkap tiga persoalan dalam pemikiran Ibn

Miskawaih menyangkut dasar ontologis dan aksiologis, khususnya nilai moral,

konsep manusia dan rumusan pendidikan moral. Dalam tesis ini ditemukan

bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak mulai dari pendidikan moral

yang terdiri dari 1. syariat agama, 2 akhlak, 3. aritmatika dan geometri. Untuk

proses transfer materi dalam proses pendidikan diperlukan beberapa metode yaitu

1. Tabii (alami), 2 nasehat dan tuntunan, 3. Hukuman, 4. Sanjungan dan pujian, 5.

sesuai dengan asas pendidikan.

Machmoed Hadi, No. 7701/IV-9/64/96, Tesis, Telaah Filsafati Terhadap

Konsep Pendidikan Al-Ghazali, Fakultas Filsafat UGM. 2000. Penelitian ini

merupakan penelitian historis faktual mengenai tokoh. Hal yang ditekankan dalam

penelitian ini adalah konsep pendidikan Al-Ghazali pada aspek metafisika,

epistemologi, dan aksiologis. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan ciri-ciri

kefilsafatan yang ada dalam konsep-konsep pendidikan Al-Ghazali, disamping itu

juga menemukan relevansi antara konsep-konsep dimaksud dengan pendidikan

nasional. Kecenderungan pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan ada dua hal

keagamaan dan kemanfaatan. Bercorak keagamaan menekankan pada pembinaan

akhlak.

Rukiyati, No. 7696/IV-9/59/96, Tesis, Konsep Pendidikan Menurut

Fukuzawa Yukichi (1835-1901), Fakultas Filsafat, 1999. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mendeskripsikan konsep pendidikan Fukuzawa, mengadakan

evaluasi kritis terhadap konsep pendidikan Fukuzawa dan menemukan

relevansinya bagi pengembangan pendidikan di Indonesia berdasarkan Pancasila.

Kesimpulan dalam tesis tersebut adalah hakikat pendidikan menurut Fukuzawa

adalah usaha mengaktualisasikan potensi terpendam peserta didik sehingga dapat

menjadi kekuatan nyata bagi dirinya. Tujuan pendidikan adalah untuk

mewujudkan masyarakat beradab. Landasan pendidikan untuk mencapai tujuan

tersebut adalah persamaan, kebebasan, dan kemandirian. Dimensi aksiologis

Fukuzawa adalah ada nilai yang bersifat tetap dan ada yang abadi, pandangan

tentang persamaan derajat manusia, kebebasan dan kemerdekaan serta keadilan,

yang berlaku secara universal dan abadi.

Achmad Sumiyadi, No. 9628/IV-9/91/97, Tesis, Konsep Filsafat

Pendidikan Pancasila Notonagoro: Implementasinya dalam pengembangan

Manusia Indonesia seutuhnya, Fakultas Filsafat UGM. 2000. Penelitian ini

bertujuan untuk mendapatkan deskripsi dan melakukan evaluasi secara kritis

filsafati tentang 1. konsep filsafat pendidikan Pancasila Notonagoro, 2

Implementasi filsafat pendidikan Pancasila dalam pengembangan sumber daya

manusia kaitannya dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Kesimpulan filsafat pendidikan Pancasila adalah konsep filsafat pendidikan yang

berdasarkan pada filsafat negara yaitu Pancasila. Filsafat pendidikan pancasila

Notonagoro didasarkan pada landasan ontologis hakikat manusia yang

monopluralis. Dasar moralnya adalah tabiat saleh yaitu kebijaksanaan,

kesederhanaan, keteguhan dan keadilan.

Runi Hariantati No. 9608/IV-9/71/97, Tesis, Konsep Kemerdekaan Diri

Dalam Pendidikan Demokratis Menurut Ki Hadjar Dewantara, Fakultas Filsafat

2002. Makna kemerdekaan diri adalah mencerminkan adanya kebebasan seorang

individu untuk mencari sendiri pengetahuannya serta kebebasan untuk

mengembangkan bakat alamnya tanpa harus menyimpang dari aturan-aturan

kehidupan yang ada. Kemerdekaan diri merupakan kebebasan yang terikat,

sehingga individu tidak dapat berbuat sewenang-wenang. Konsep kemerdekaan

diri merupakan dasar dalam pendidikan formal. Menurut Ki Hajar Dewantara

dalam proses pendidikan dan pengajaran diperlukan pemahaman akan adanya hak

kodrat yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Pusat perhatian bertumpu pada

peserta didik sebagai manusia dengan segala aspeknya (hal.8).

Andri Printianto, No. 18667/IV-9/192/02 Tesis, Filsafat Pendidikan

Alfred North Whitehead dalam The Aims of Education and other Essays.

Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta. 2004. Tujuan penelitian adalah untuk

menyelidiki gagasan filosofis Alfred North Whitehead mengenai pendidikan yang

terdapat dalam karyanya yang berjudul the Aims of education and other essay.

Dalam tesis ini dibatasi pengungkapan masalah yaitu, 1 hakikat peserta didik dan

guru, 2. tujuan pendidikan, 3 kurikulum 4, tahap-tahap ritmis pendidikan dan 5.

kebebasan dan disiplin dalam pendidikan. Pandangan Whitehead bahwa peserta

didik dan guru sebagai sosok dinamis. Guru berfungsi merangsang dan

membimbing pertumbuhan diri anak dalam belajar. Tujuan yang ingin dicapai

dalam pendidikan adalah tercapainya pengetahuan dan kebijaksanaan. Kurikulum

yang disampaikan adalah kurikulum yang mampu mencakup kedua wilayah

tersebut (nilai dan realitas).

Muhhamad Fahmi, No. 21481/IV-9/219/04, Tesis, Konsep Pendidikan

Isma’ail Raji AL-Faruqi, Relevansinya bagi Modernisasi Pendidikan Islam di

Indonesia, Fakultas Filsafat. 2006. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi

konsep pendidikan Al-Faruqi dan relevansinya bagi modernisasi pendidikan Islam

di Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1. Posisi AL-Faruqi di

kalangan para pembaharu Islam, 2 Penyebab dikotomi pendidikan Islam, 3.

Tawaran solusi dari AL Faruqi, konsep pendidikan AL Faruqi, dan Relevansi

pemikiran pendidikan Al-Faruqi bagi modernisasi pendidikan Islam di Indonesia.

Posisi Al Faruqi di dalam pembaharu Islam sebagai reformis-tradisionalis dan

rekonstruksionis. Permasalahan klasik pendidikan Islam adalah dikotomi

keilmuan antara Barat (sekuler) dan agama. Kurikulum pendidikan komprehensif,

proses pendidikan integratif, dengan musyawarah sepanjang hidup, tujuan

pendidikan adalah berorientasi pada dunia dan akhirat.

Dwi Septiwiharti, No. 24641/IV-9/187/06, Tesis, Tinjauan Filsafat Atas

Pemikiran Fuad Hasan tentang Pendidikan, Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta.

2009. Menurut Fuad Hassan, hakikat pendidikan adalah suatu pengejewantahan

yang khas manusiawi; baginya hal ini sesuai dengan fitrah manusia sebagai

animal educandum dan animal educandus; bahwa manusia adalah makhluk yang

dididik serta mendidik sekaligus termasuk mendidik dirinya sendiri (hal. 134).

Menurut Fuad Hassan, (hal. 141) menegaskan bahwa yang paling mendasar dan

perlu dipahami adalah pembelajaran (learning) tidak identik dengan penyekolahan

(schooling).

Penyekolahan merupakan bagian dari ikhtiar pembelajaran, tetapi tidak

setiap modus pembelajaran bersifat penyekolahan. Kurikulum muatan lokal

merupakan salah satu pendekatan yang realistis mengingat kebhinekaan budaya

dalam kehidupan bermasyarakat bangsa ini. Kurikulum muatan lokal

dimaksudkan untuk menyadarkan peserta didik terhadap lingkungannya agar anak

tidak mengalami keterasingan terhadap lingkungan sendiri (hal.142). Anak

menurut kodratnya memiliki dunia yang khas (hal. 157). Anak tidak perlu dipaksa

dan dipacu untuk mempercepat proses pendewasaan.

Basiuddin, No. 08/278258/PFI/00261, Tesis, Filsafat Pendidikan Nicolaus

Driyarkara: Relevansi Bagi Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti, Fakultas

Filsafat UGM. 2010. Hasil penelitian menunjukkan filsafat pendidikan Driyarkara

mempunyai relevansi yang sangat signifikan, dimana antara hakikat pendidikan

Driyarkara dan pendidikan budi pekerti menunjuk kepada proses pemanusiaan

manusia dengan mengedepankan nilai-nilai religius,sosial, gender, keadilan,

demokrasi, kejujuran, kemandirian, daya juang, tanggung jawab, dan penghargaan

terhadap alam.

Berdasarkan hasil inventarisasi dan penjelasan tentang topik penelitian di

atas bahwa penelitian atau kajian tentang Pendidikan untuk Pembangunan yang

berkelanjutan melalui studi kasus di Kota Tongyeong sampai sejauh pengalaman

penulis belum pernah dilakukan kecuali yang dilakukan oleh penulis dalam

penelitian ini.

B. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan dan mengklarifikasikan hakikat pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan.

2. Menemukan dan menganalisis hakikat pendidikan Korea dan

perkembangan pemikiran tentang paradigma pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong, Korea Selatan.

3. Mengungkap persoalan mendasar pendidikan untuk pembangunan yang

berkelanjutan di Kota Tongyeong.

4. Melakukan kajian kritis terhadap paradigma Pendidikan untuk

Pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong dan relevansinya

bagi pendidikan di Indonesia dalam perspektif pemikiran Filsafat

Pendidikan Rekonstruksionisme.

C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti: Penelitian ini memperkaya wawasan keilmuan filsafat

pendidikan terutama tentang konsep filsafat pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan.

2. Bagi pengembangan penelitian Filsafat: penelitian ini diharapkan dapat

memperluas cakrawala filsafat khususnya kajian Filsafat Pendidikan

Korea, dan studi Filsafat Pendidikan Kawasan Asia Pasifik,Asia Timur,

dan Asia Tenggara, serta memperdalam kajian pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan. Khususnya di Fakultas Filsafat UGM,

hasil penelitian ini dapat memperkuat dan mengembangkan kajian dan

pemikiran Filsafat pendidikan kontemporer.

3. Bagi pembangunan bangsa dan negara: Tesis ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi dalam policy input ke pemerintah untuk

merumuskan konsep pendidikan yang berkelanjutan ke depan di

Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Masalah pendidikan menjadi masalah kehidupan manusia sepanjang masa.

Apabila pendidikan mengalami krisis dan persoalan maka akan menyebabkan

krisis multidimensi (Suhartono,2009:63). Dalam pengertian luas Suhartono

(2009:79-80) menjelaskan bahwa pendidikan adalah seluruh kegiatan

pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kehidupan

manusia. Oleh karena itu, pendidikan berlangsung di segala jenis, bentuk dan

tingkatan kehidupan manusia. Terkait dengan pendidikan untuk pembangunan

yang berkelanjutan berbagai kajian dan penelitian tentang pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan telah banyak dilakukan oleh para pakar dan

ilmuwan lintas disiplin seperti Mahruf dkk (2011) mencoba untuk membedakan

istilah Pendidikan tentang pembangunan berkelanjutan, Pendidikan untuk

Pembangunan berkelanjutan, dan Pendidikan menuju Pembangunan

berkelanjutan.

Pendidikan tentang pembangunan berkelanjutan menekankan pada

langkah-langkah berikut yaitu transmisi informasi, sikap perubahan, dan

perubahan perilaku. Pendidikan untuk Pembangunan berkelanjutan difokuskan

untuk mengambil tindakan dalam konteks, membangun kesadaran dan

pemahaman praktis, dan sebagai hasilnya adalah komitmen praktis untuk

kehidupan yang berkelanjutan, sementara itu, Pendidikan menuju pembangunan

berkelanjutan menekankan untuk menghasilkan pengetahuan melalui tindakan

kritis dan refleksi, kebijakan perubahan dan praktek, akhirnya, mengembangkan

warga negara yang aktif dan kritis (Mahruf dkk, 2011: 131-132).

Konferensi Dunia UNESCO tentang Pendidikan untuk pembangunan yang

berkelanjutan yang diselenggarakan di kota Bonn, Jerman pada tanggal 31 Maret-

2 April 2009, juga telah menghasilkan deklarasi Bonn yang menjelaskan bahwa

Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan berupaya menetapkan arah baru

pendidikan dan pembelajaran untuk semua. Deklarasi ini merumuskan pertama,

Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan untuk membantu masyarakat

dalam membangun kesadaran untuk mempromosikan pendidikan berkualitas, dan

melibatkan masyarakat. Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip nilai-nilai dan

praktik-praktik yang diperlukan untuk merespon secara efektif terhadap tantangan

saat ini dan masa depan. Kedua, membantu masyarakat untuk mengatasi berbagai

macam isu-isu kritis yang berbeda antar lain air, energi, perubahan iklim, bencana

dan pengurangan risiko, hilangnya keanekaragaman hayati, krisis pangan, risiko

kesehatan, kerentanan sosial dan ketidakamanan. Ketiga, Pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan mengedepankan nilai-nilai keadilan, kesetaraan,

toleransi, ketercukupan, dan tanggung jawab. Keempat, Pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan menekankan pendekatan kreatif dan kritis,

pemikiran jangka panjang, pengembangan inovasi dan pemberdayaan dalam

menghadapi situasi tidak menentu (lihat Deklarasi Bonn,2009).

Rekomendasi Gothenburg (2008) juga menyatakan bahwa tujuan dari

pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan adalah reorientasi pendidikan

dalam rangka memberikan kontribusi untuk masa depan yang berkelanjutan untuk

kebaikan bersama generasi sekarang dan mendatang. Pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan mengakui adanya saling ketergantungan dari

perspektif lingkungan, sosial, dan ekonomi, dan ketergantungan manusia pada

biosfer yang sehat.

Hens, Luc, Torsten Widemann, Schalk Raath, et.al (2011:69-71)

melakukan penelitian di sekolah dasar di Afrika Selatan terkait dengan Sistem

Manajemen Lingkungan (Environmental Manajemen System) penelitian dan

survei yang dilakukan pada tahun 2006 (38 sekolah), tahun 2007 (32 sekolah ) dan

pada tahun 2008 (25 sekolah), itu terdiri dari 7 sekolah di perkotaan yang

berlokasi di kota-kota dan desa-desa, 19 sekolah di pedesaan yang terletak di

dekat (jarak jauh) dan peternakan di daerah pedesaan, 13 sekolah Township

berlokasi di pemukiman bekas rezim Apartheid.

Hens et.al, menjelaskan bahwa penelitian ini sebagai bagian dari

peningkatan kapasitas program pembelajaran lingkungan yang dianjurkan oleh

Rencana Pelaksanaan World Summit on Sustainable Development di

Johannesburg pada tahun 2002, penelitian ini menunjukkan bahwa setelah Sistem

Manajemen Lingkungan diimplementasikan dan lingkungan yang terintegrasi

kurikulum, kegiatan di sekolah dipantau dan diukur berdasarkan hasil kuesioner

menunjukkan bahwa pada proyek awal, 50% dari sekolah melakukan kegiatan

yang baik terkait sanitasi dan penataan lingkungan. Dua tahun kemudian angka ini

naik menjadi 76% untuk yang berhubungan dengan limbah terjadi peningkatan

bahkan lebih kuat/baik: dari 50% menjadi 100% (Hens et.al, 2011: 80-86).

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kinerja lingkungan dari sekolah

juga ditingkatkan untuk tindakan terkait penghijauan dari 50% pada awal proyek

sampai 64% dua tahun kemudian. Berdasarkan hasil penelitian ini

memperlihatkan bahwa hanya energi yang berhubungan kegiatan sehari-hari tidak

berpengaruh secara signifikan, dengan hanya 24% dari semua sekolah berkinerja

baik pada akhir periode survei. Kuesioner ini memfokuskan pada empat aspek

lingkungan: air, limbah, energi, dan penghijauan dan tiga aspek manajerial:

pengelolaan lingkungan, integrasi lingkungan dalam kurikulum, dan sikap peserta

didik, guru, dan anggota staf (Hens et.al, 2011: 93-102).

Penelitian Liu, Yunhua & Constable, Alicia menunjukkan bahwa ada

hubungan antara Piagam Bumi dan Pendidikan untuk Pembangunan

Berkelanjutan dan Filosofi Cina. Liu dan Constable menganalisis hubungan antara

piagam bumi dan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam

kerangka filsafat Cina (Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme), penelitian ini

menunjukkan bahwa visi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan

adalah simetris dengan prinsip-prinsip Piagam bumi dan filosofi Cina. Studi ini

menekankan bahwa filsafat Cina kuno memiliki kerangka kerja untuk penekanan

pada penghormatan terhadap orang lain, harmoni sosial, keterkaitan dengan alam

dan bumi. Filsafat tersebut telah memberikan nilai inti pada paradigma pendidikan

untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam konteks individu, masyarakat, dan

lembaga (Liu, Yunhua & Constable, Alicia, 2010: 193-195).

Akhirnya, penelitian ini menyimpulkan bahwa piagam bumi dan

Pembangunan Berkelanjutan sebagai kerangka global yang dihubungkan dengan

konteks lokal dan nilai-nilai tradisional akan memberikan kontribusi lebih pada

dunia yang berkelanjutan, adil, dan damai (Liu, Yunhua & Constable, Alicia,

2010:201). Hal ini dipercaya bahwa aplikasi dari nilai-nilai global dengan konteks

lokal perlu jembatan dan jembatan tersebut adalah nilai-nilai lokal yang sudah

melekat dalam setiap bangsa seperti di filsafat Cina. Deklarasi Rio tentang

Lingkungan dan Pembangunan dan Agenda 21, di Bab 36 dari Agenda 21 (1992)

menyatakan bahwa pendidikan, termasuk pendidikan formal, kesadaran

masyarakat dan pelatihan harus diakui sebagai sebuah proses di mana manusia

dan masyarakat dapat mencapai potensi mereka sepenuhnya. Selain itu, deklarasi

ini menekankan bahwa pendidikan sangat penting untuk mempromosikan

pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kapasitas lingkungan alam, orang

dan isu-isu pembangunan (lihat Dewan Ekonomi dan Sosial, pertemuan regional

Kedua tentang pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan, Roma, 15-16 Juli

2004, hal. 2).

Pemerintah Kosta Rika menerjemahkan Pendidikan untuk Pembangunan

Berkelanjutan dalam praktek dengan cara yang tidak terpisahkan. Pemerintah ini

memiliki komitmen pada pendidikan lingkungan di bawah kerangka piagam bumi

sejak tahun 2006. Selain itu, pemerintah memiliki komitmen dengan

mengadaptasi beberapa deklarasi internasional tentang pembangunan

berkelanjutan dan menjadi pendidikan seumur hidup pada pendidikan lingkungan

di sekolah. Desain nasional tentang pendidikan lingkungan menjadi strategi

nasional untuk pendidikan lingkungan (Keputusan 32001-MEP), yang

menekankan pada empat tema utama yaitu 1). Konservasi, perlindungan dan

pemulihan lingkungan (sosial, budaya dan alam), 2). Pencegahan dan mitigasi

terhadap dampak dari tindakan manusia terhadap lingkungan, 3). Menghormati

semua bentuk kehidupan, 4). Berkelanjutan untuk pembangunan manusia.

Kegiatan dari pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan melalui

pengembangan kursus pelatihan guru pendidikan lingkungan disebut sebagai

Education for Sustainable Development Regional Course (Elizondo, Alicia

Jimenez, 2010: 228-234).

Elizondo dan Alicia (2010:228) menjelaskan bahwa tujuan utama dari

kursus pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan ini adalah untuk

melaksanakan pelatihan yang berkesinambungan di bidang pendidikan untuk

pembangunan berkelanjutan dalam rangka menghasilkan kepekaan sosial,

kesadaran dan memberdayakan peserta untuk membuat keputusan untuk

memecahkan masalah dan bekerja menuju peningkatan kualitas hidup di

komunitas, lembaga atau wilayah mereka (lihat Ministry of Public Education,

2008:1 dikutip dalam Elizondo, Alicia, 2010:228). Hasil dari program ini adalah

guru di Sekolah Tinggi menjadi orang yang aktif untuk memulai pendidikan

lingkungan di sekolah mereka seperti klub lingkungan dimulai, mengelola proyek

daur ulang, mengembangkan diri mereka sebagai bagian dari lingkungan dan

pemimpin,serta mengundang siswa untuk menjadi peserta aktif dalam lingkungan

pendidikan. Para peserta ingin memiliki sesi lagi untuk setiap topik dan

berdasarkan umpan balik peserta menunjukkan bahwa isi kursus sesuai.

Kesulitannya adalah tentang pendanaan sumber daya dan bagaimana

menempatkan komitmen menjadi aksi. Sementara itu, menurut Elizando bahwa

hasil dari proses daur ulang digunakan untuk beasiswa bagi remaja yang sakit

mental dan yang keluarganya tidak bisa membayar uang sekolah (Elizando,

Alicia, 2010 : 232).

E.Rakhyun dalam telaah buku Klaus Bosselmann dengan judul The

Principle of Sustainability: Transforming law and Governance, 2008 (E.

Rakhyun, 2010:309) menyatakan bahwa prinsip keberlanjutan adalah tentang

keberlanjutan dan implikasi hukumnya (E. Rakhyun, 2010:310). Dia menekankan

bahwa menurut tesis Bosselmann prinsip keberlanjutan harus universal diakui

sebagai prinsip hukum dasar (prinsip lingkungan yang paling mendasar) seperti

keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Selain itu, E. Rakhyun menjelaskan bahwa

buku ini menggambarkan hubungan penting antara ekologi dan yurisprudensi.

Seperti pada teori Bosselmann yang menggarisbawahi bahwa teori hukum

keberlanjutan global didasarkan pada realitas ekologi sederhana, fundamental dan

mapan (tapi satu yang sering dilupakan dan diabaikan) bahwa manusia merupakan

bagian integral dari masyarakat hidup dan bahwa ada batas ekologis yang harus

dihormati pada skala planet (E. Rakhyun, 2010: 310).

Podger dkk (2010) menggarisbawahi bahwa piagam bumi Internasional

dan Organisasi Masyarakat Sipil memiliki pendekatan yang berbeda pada

pembangunan berkelanjutan, yaitu perlu penekanan pada nilai-nilai etika. Nilai-

nilai etika dalam hal ini adalah rasa hormat, kesetaraan, keadilan dan partisipasi

seluruh Piagam dan Earth Charter yang berbasis inisiatif. Podger mencatat bahwa

Earth Charter International (ECI) diselenggarakan oleh organisasi-organisasi

masyarakat sipil menyadari untuk mengakomodasi nilai-nilai berdasarkan

pendekatan etika dan sadar akan pengaruh pendekatan ini pada tujuan

pembangunan berkelanjutan (Podger dkk,2010: 298).

Podger menjelaskan bahwa ada banyak indikator untuk mengevaluasi dan

mengukur efektivitas pembangunan berkelanjutan nasional dan internasional dan

pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan seperti pendekatan tradisional

untuk mengukur efektivitas dan keberhasilan terhadap lingkungan, sosial, dan

fenomena ekonomi bagi pembangunan berkelanjutan. Selain itu juga

menggunakan pendekatan holistik berkelanjutan. Beberapa pengembangan

indikator dan alat penilaian yang telah dikembangkan untuk menilai kemajuan

menuju pembangunan berkelanjutan. Studi Podger menemukan bahwa indeks

pembangunan berkelanjutan dan indikator untuk pendidikan pembangunan yang

berkelanjutan tidak memberikan inspirasi yang signifikan atau bantuan

metodologi untuk pengembangan indikator yang mengukur nilai-nilai etis yang

terkait dengan pembangunan berkelanjutan dan proyek pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan, baik di tingkat individu, proyek, organisasi

atau komunitas (Podger,2010:299).

Kajian Mathar (2010:280) melaporkan bahwa pelaksanaan pembangunan

berkelanjutan di sekolah Jerman terintegrasi dengan prinsip-prinsip Piagam Bumi.

Ada dua wilayah di negara Jerman yang memulai proses ini dengan mengorganisir

in-service training bagi para guru primer dan sekunder. Sejak 2007, kelompok

pendidik yang terlibat dalam pelaksanaan deklarasi pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan sebagai penasehat senior untuk

mengembangkan program pelatihan guru dalam pendidikan untuk pembangunan

berkelanjutan untuk sekolah-sekolah di Jerman. Mereka berusaha untuk

mengintegrasikan nilai-nilai Piagam bumi dan kerangka holistik pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan ke dalam sistem sekolah dari wilayah di Jerman

yaitu: Hessen dan Rheinland-Plaflz.

Mathar (2010: 281) mencatat bahwa ada tiga langkah dalam

mengembangkan program sistematis untuk mengintegrasikan Piagam Bumi yang

berkaitan dengan kegiatan sekolah. Pertama, menyelenggarakan seminar

pelatihan guru untuk menginformasikan tentang teks Piagam Bumi, prinsip,

filosofi dan memperkenalkan kemungkinan metodologis mengintegrasikan

Piagam Bumi dalam mengajar mata pelajaran yang berbeda di sekolah. Kedua,

mengembangkan mitra konsorsium untuk menerjemahkan Piagam Bumi Buku

Panduan untuk pendidikan pembangunan yang berkelanjutan dan adaptasi

terhadap realitas Jerman non-terpusat sistem sekolah. Ketiga, untuk memperluas

integrasi piagam Bumi dalam sistem sekolah dan akhirnya, upaya dalam

pelaksanaan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Jerman adalah

melalui lintas-kurikuler pengembangan kerangka kerja untuk pengembangan

global dalam konteks Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan. Matsuura

(2005:1) pada UNESCO dan Pembangunan Berkelanjutan juga menekankan

bahwa pembangunan berkelanjutan adalah ajaran moral serta konsep ilmiah. Hal

ini terkait erat dengan perdamaian, hak asasi manusia dan keadilan, setara dengan

isu ekologi atau pemanasan global.

Gadotti, Moacir mencatat bahwa dalam praktek reorientasi pendidikan

menuju keberlanjutan khususnya dalam kurikulum memerlukan upaya khusus.

Seperti Jean Piaget menggarisbawahi dalam Gadotti (2010 : 205) bahwa

"kurikulum harus mencakup hal-hal yang bermakna bagi siswa" Gadotti

menambahkan bahwa pernyataan Piaget belum lengkap, apalagi, ia menekankan

bahwa konten yang hadir dalam kurikulum harus bermakna bagi siswa, dan hanya

bisa berarti bagi mereka jika isi ini juga bermakna bagi keselamatan planet.

Penelitiannya menunjukkan bahwa strategi untuk reorientasi pendidikan formal

saat kurikuler yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan berdasarkan

laporan konferensi akhir tentang pendidikan lingkungan, diadakan dari November

24-28, 2007 di Pusat Pendidikan Lingkungan di Ahmedabad, India, perlu

transformasi pendidikan yang mencakup unsur-unsur dari wawasan, refleksi,

belajar di luar ruangan, dan belajar melalui tema keberlanjutan, selanjutnya dalam

mengimplementasikan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di

sekolah melalui serangkaian hubungan regional dengan sekelompok sekolah dan

kemitraan dengan perguruan tinggi yang ada, pemerintah dan organisasi non-

pemerintah (Gadotti, Moacir,2010: 206).

Wals (2007) dalam Gadotti (2010:206) menekankan bahwa untuk

reorientasi pendidikan formal model kurikuler dalam kerangka pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan, maka perlu mempromosikan 'pembelajaran

sosial' pengalaman dan partisipatif, dengan kata lain, itu berarti dalam proses kita

perlu mengambil tindakan yang ada program seperti: eco-school, sekolah hijau,

sekolah lingkungan, sekolah berkelanjutan dan sekolah warga negara. Gadotti

mencatat bahwa tanpa dialog yang berhasil di kalangan masyarakat,

mengembangkan kurikulum teknologi ramah lingkungan tidak dapat berjalan

dengan baik (Gadotti, 2010:207). Seperti O 'Sullivan (2004) dalam Gadotti

(2010:207) menekankan bahwa itu harus mengintegrasikan ekonomi lokal

(konsumsi berkelanjutan), efisiensi energi (green teknology, sumber daya

terbarukan, konsumsi yang bertanggung jawab), interaksi manusia (HAM,

prinsip-prinsip bersama, hubungan kekuasaan), dan keanekaragaman hayati

(interaksi ekologi), Akhirnya, elemen ini dikumpulkan ke dalam pengetahuan

yang sistematis dan menjadi kebiasaan baru bagi kehidupan yang berkelanjutan.

The Southeast Asian Ministers Education Organization (SEAMEO)

Regional Innotech program pendidikan (2010) telah mengembangkan toolkit

untuk mengintegrasikan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan ke dalam

kurikulum pendidikan Menengah Ilmu Sosial di Asia Tenggara. Toolkit ini dibagi

menjadi enam bab. Bab satu membahas tentang tujuan pembelajaran dan

gambaran singkat tentang ESD, bab dua membahas tentang dimensi kurikulum,

peran guru, pentingnya studi sosial dan status ilmu sosial di negara-negara Asia

Tenggara. Bab tiga membahas tentang status ESD di pendidikan menengah di

Asia Tenggara dan isu-isu dan perhatian, Bab empat membahas tentang

bagaimana mengintegrasikan ESD ke sekolah kurikuler, bab lima membahas

tentang pedagogi dan sistem evaluasi, desain rencana pembelajaran, dan hasilnya.

Bab enam membahas tentang saran untuk topik pembangunan berkelanjutan untuk

integrasi kurikulum. Bab ini menggunakan toolkit dalam pelajaran ilmu-ilmu

sosial. ESD dapat dimasukkan ke dalam satu atau dua pelajaran dalam sistem

kurikulum sekolah.

Penelitian Wals (2009:195) menunjukkan bahwa ada 10 temuan kunci

hasil dari telaah Decade of Education for Sustainable Development (DESD)

seperti yang ditampilkan pada makalahnya berjudul “A Mid-DESD Review: Key

Findings and Ways Forward”, Wals menjelaskan bahwa pertama, terdapat

berbagai interpretasi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan, itu

tergantung pada kebutuhan regional, nasional, dan lokal. Mereka mungkin

menafsirkan dalam berbagai cara. Sebagai contoh, negara mungkin mengadopsi

orientasi lebih pedagogis terhadap pendidikan untuk pembangunan yang

berkelanjutan yaitu dengan menekankan sistem sosial belajar, partisipasi dan

kapasitas atau yang lebih instrumental menekankan perubahan perilaku

masyarakat.

Kedua, PBB berkontribusi terhadap Deklarasi pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan melalui pembentukan program tematik dan

memfasilitasi lintas sektor. Ketiga, sudah ada banyak badan koordinasi ESD

nasional yang mapan. Menurut Wals, 97 negara yang menanggapi survei tahun

2008, 79 melaporkan pembentukan badan koordinasi nasional ESD. Keempat,

ESD sudah ditunjukkan dalam dokumen kebijakan nasional, mayoritas dokumen

memperluas partisipasi dalam ESD dan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum

terutama di pendidikan dasar dan menengah. Kelima, kerjasama pemerintah antar

departemen terkait program pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan

sudah terjalin tetapi masih minim koordinasi. Wals melaporkan bahwa di sebagian

besar dari negara di dunia, struktur kerjasama pemerintah antar departemen

tentang ESD masih kurang. Keenam, paradigma ESD pada umumnya ditemukan

pada pendidikan formal.

Wals menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah dari negara-negara

menanggapi telah berkomitmen untuk mendukung masuknya ESD dalam

pendidikan formal, terutama di pendidikan dasar dan menengah. Ketujuh, ESD di

pendidikan non-formal dan pembelajaran informal adalah agenda semua orang.

Kedelapan, perlu untuk penelitian lebih lanjut pengembangan dan diseminasi

pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Kesembilan, jaringan ESD

yang luar biasa di tingkat internasional. Kesepuluh, ketersediaan anggaran publik

yang minim atau insentif ekonomi untuk pendidikan pembangunan yang

berkelanjutan(Wals, 2009: 195-204).

Ginkel, Hans Van (2006) pada judul presentasi makalahnya “Global

Efforts on Education for Sustainable Development and UNU Regional Centres of

Expertise on ESD” menggarisbawahi bahwa visi Decade of Education for

Sustainable Development (DESD) adalah untuk menciptakan sebuah dunia di

mana setiap orang memiliki kesempatan untuk manfaat dari pendidikan yang

berkualitas dan mempelajari nilai-nilai, perilaku dan gaya hidup yang diperlukan

untuk masa depan yang berkelanjutan dan untuk transisi sosial yang positif. Dia

menambahkan bahwa pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan bukan

hanya tentang pendidikan lingkungan tetapi meliputi globalisasi, perdagangan dan

pembangunan, pengentasan kemiskinan, konsumsi berkelanjutan dan produksi,

keadilan sosial, perspektif gender, dan pemahaman budaya yang berbeda (Ginkel,

2006:215).

Lee (2011) dalam kajiannya menjelaskan bahwa integrasi pendidikan

untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam kurikulum sekolah menunjukkan

bahwa dalam mengintegrasikan pendidikan untuk pembangunan yang

berkelanjutan itu bisa dimasukkan dan dikembangkan melalui pendekatan

tradisional atau inovatif. Selain itu, dia menambahkan bahwa untuk

mengintegrasikan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan ke dalam

kurikulum sekolah, adalah penting untuk memahami unsur-unsur utama dari

pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan itu seperti; pengetahuan,

masalah, keterampilan, pendekatan dan nilai-nilai. Hal ini juga mungkin

diperlukan untuk membuat evaluasi untuk pemahaman siswa tentang pengertian

Education for sustainable development atau Sustainable development, apakah

sudah jelas. Dia juga mencatat bahwa peran guru sangat penting dan guru perlu

mengerti tentang pentingnya program pendidikan untuk pembangunan yang

berkelanjutan secara efektif. Selain itu, Lee menekankan bahwa untuk

melaksanakan prinsip-prinsip pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan

tidak perlu mengubah kurikulum yang ada, itu hanya perlu menghubungkan

berbagai tema dan isu dengan masyarakat, ekstrakurikuler, pelajaran sekolah. Lee

menunjukkan bahwa pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam

kurikulum sekolah dapat dilakukan dan terintegrasi dengan berbagai cara (Lee,

2010: 130-136).

Menurut Elias, Nakayama dan Hargreaves (2005:13) menunjukkan bahwa

pengembangan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Korea

memberikan pemahaman kepada beberapa orang tentang pentingnya

pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, tantangan pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan di Korea adalah bagaimana menghubungkan

antara pendidikan, secara umum, dan pembangunan berkelanjutan ternyata tidak

mudah dibuat, terutama dalam hal hubungan antara pendidikan nilai dan

pembangunan berkelanjutan. Ransoo (1984) menekankan bahwa isu-isu umum

pada Pendidikan Korea adalah bagaimana siswa dapat beradaptasi dan bertahan

pada konteks sosial dan global. Menurut risetnya pendidikan di Korea perlu

mempertimbangkan perubahan sosial dalam masyarakat dan konteks global.

Kompleksitas administrasi, manajemen, dan hambatan sistem pendidikan menjadi

penting untuk memperhatikan bagaimana pendidikan dapat memberikan

kontribusi pada perubahan sosial untuk masa depan generasi muda dan memiliki

strategi reformasi. Lebih lanjut ia menekankan agar lembaga pendidikan tidak

terisolasi dari masyarakat (Ransoo, 1984: 97-130).

Isu-isu tentang pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan masih

kuat menekankan pada isu-isu lingkungan, khususnya pendidikan lingkungan di

sekolah-sekolah. Zolho (2005) memberikan pendapat kritis tentang pendidikan

lingkungan dalam masyarakat pada makalahnya berjudul “Is there A Global

Environmental Crisis? Environmental Education in Northern Europe and

Africa”, Menurut pandangannya melalui studi kasus tentang pendidikan

lingkungan di Eropa Utara dan Afrika khususnya, dalam interpretasi Barat,

menyebutkan bahwa pengertian awal 'lingkungan' merupakan istilah dari tradisi

pencerahan. Menurutnya ada perdebatan yang serius dan perbedaan interpretasi

tentang pendidikan lingkungan, sebagai contoh orang hanya peduli dengan

pendidikan lingkungan, seperti yang terlihat bahwa setiap hari sekolah membawa

siswa dan guru melakukan kunjungan lapangan, dan studi lapangan, bekerja

sebagai sukarelawan untuk mengambil sampah dari jalan, pantai, dan lingkungan

publik adalah kegiatan rutin pada pendidikan dasar di sekolah.

Zolho memberikan contoh, kasus di Afrika, penyebab masalah lingkungan

adalah simetri dengan mayoritas penduduk lokal, hasil dari situasi jangka panjang

ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan. Selain itu, studi Zolho

menunjukkan bahwa perdebatan tentang pendidikan lingkungan di kurikulum

sekolah adalah bahwa pendidikan lingkungan harus diajarkan untuk siswa. Diikuti

dengan fokus utama pendidikan lingkungan yang diajarkan secara terus-menerus

di Afrika Selatan, seperti di tempat lain. Akhirnya studi ini menyimpulkan bahwa

pendidikan lingkungan adalah materi terbaik dalam menangani masalah-masalah

lingkungan lokal melalui analisis kritis terhadap penyebab masalah lingkungan,

dan mengidentifikasi persoalan mendasar, serta mencari solusi lokal yang layak

berdasarkan konteks yang lebih luas dari kebutuhan yang ada untuk keberlanjutan

global (Zolho, 2005:76).

Konferensi Internasional bertema ‘Lingkungan dan Masyarakat:

Pendidikan dan Kesadaran Publik tentang keberlanjutan’ dari 8-12 Desember

1997 telah menghasilkan Deklarasi Thessaloniki (1997) yang menyatakan bahwa

untuk mencapai keberlanjutan yang lebih besar perlu ada upaya koordinasi dan

integrasi dalam sejumlah sektor penting dan perubahan yang cepat dan radikal

atas perilaku dan gaya hidup, termasuk perubahan konsumsi dan pola produksi.

Untuk itu, pendidikan yang tepat dan kesadaran publik harus diakui sebagai salah

satu pilar keberlanjutan bersama-sama dengan penyusunan undang-undang,

penguatan ekonomi dan teknologi. Selain itu, dalam deklarasi ini menekankan

bahwa reorientasi pendidikan secara keseluruhan menuju keberlanjutan perlu

melibatkan semua tingkat pendidikan formal, non-formal dan informal di semua

Negara(http://www2.leuphana.de/vcse/uploads/media/Declarations_on_higher_ed

ucation_and_sustainable_development.pdf).

Konsep keberlanjutan bukan hanya meliputi lingkungan tetapi juga

kemiskinan, kependudukan, kesehatan, ketahanan pangan, demokrasi, hak asasi

manusia dan perdamaian. Keberlanjutan dalam analisis akhir, menekankan

keharusan moral dan etika di mana keanekaragaman budaya dan pengetahuan

tradisional perlu dihormati. Deklarasi ini telah diperkuat untuk rekomendasi

sebelumnya dan belajar pada Konferensi Belgrade tentang Pendidikan

Lingkungan (1975), Tbilisi Konferensi Pendidikan Lingkungan (1977),

Konferensi Moskow Pendidikan Lingkungan dan Pelatihan (1987), dan Toronto

World Congress untuk pendidikan dan Komunikasi Lingkungan dan

Pembangunan (1992) dan KTT Rio (1992).

E. Landasan Teoritis

Penelitian ini adalah penelitian filsafat pendidikan yang mengkaji tentang

paradigma pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan melalui studi

kasus di Kota Tongyeong, Gyeongsangnamdo, Korea Selatan. Pendidikan dapat

dimaknai dari berbagai perspektif. Dalam konteks filsafat pendidikan berupaya

untuk mendapatkan gambaran atau garis besar seluruh rangkaian proses

pendidikan (Brubacher,1962:6). Secara terminologi ada perbedaan antara

pedagogis, ilmu pendidikan dan filsafat pendidikan, Pedagogis pada umumnya

mengacu pada seni pendidikan (art of education), yang berarti pendidikan yang

diletakkan pada konteks mengajar dan cara belajar. Ilmu pendidikan merujuk pada

prinsip-prinsip umum yang dapat diterapkan oleh seluruh pembelajar. Jadi Filsafat

pendidikan dapat berguna ketika ada tindakan pada tingkat (art of education)

karena filsafat tidak dapat membawa teori ke dalam realitas hanya sekedar

mendiskusikan teori tersebut (Brubacher,1962:16-17;Rohman,2008:11).

Pendidikan tidak hanya berkembang dalam kerangka politik dan sosial atau

fenomena tetapi pendidikan memiliki esensi dasar yang melandasi mengapa

pendidikan penting dan harus ada. Menurut Basiuddin (2010:xii) menjelaskan

bahwa pendidikan adalah proses untuk meningkatkan, mengubah pengetahuan,

keterampilan dan sikap tata laku seseorang dalam usaha mencerdaskan kehidupan

manusia melalui kegiatan bimbingan dan pelatihan. Sumiyadi (2000:3)

memaparkan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses pendewasaan

manusia dalam usaha untuk membentuk jiwa dan kepribadian, meningkatkan

moral, memperoleh wawasan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang kelak

akan dijadikan dasar dan bekal untuk menempuh kehidupan di masyarakat.

Eknathon (1999:50) memberikan pengertian tentang pendidikan bahwa

pendidikan adalah aktivitas interaksi komunikatif antara pendidik dan peserta

didik untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan dengan cara dan dalam

lingkungan yang positif.

Muslikhin (2002: 35) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan bagian

dari sub sistem kehidupan masyarakat yang ikut menjadi salah satu institusi sosial

yang bergerak guna merealisir terwujudnya nilai-nilai yang sesuai dengan

pandangan hidup (filsafat) masyarakat yang menjadi panutan masyarakat. Dalam

kerangka aliran pemikiran dalam filsafat pendidikan setidaknya ada 4 aliran utama

yang berpengaruh dalam pengembangan teorisasi pendidikan antara lain

Progresivisme, Perenialisme, Esensialisme, dan Rekonstruksionisme.

Pandangan Progresivisme bertitik tolak pada pendidikan harus berpusat

pada anak dan disesuaikan dengan minatnya,guru berperan sebatas sebagai

pembimbing(Sukardjo dan Komarudin, 2009:12). Kredo dalam pemikiran kaum

progresivisme mengatakan bahwa pendidikan adalah untuk kehidupan (education

for life). Pendidikan harus memiliki dampak dalam kehidupan sehari-hari, aliran

ini menekankan pada proses pendidikan dengan bertumpu pada penemuan

(discovery) dan pencarian (inquiry), serta disiplin yang ketat (Barrow dan Woods,

2006:35). Pemikiran Perenialisme dalam pendidikan menjelaskan bahwa manusia

membutuhkan pendidikan yang mengedepankan suatu kondisi dan situasi untuk

kembali pada nilai-nilai keserasian dan kebudayaan masa lalu supaya manusia

yang dididik memahami dan tidak lupa kebudayaan masa lalu tersebut. Kerusakan

kebudayaan dan perilaku manusia yang cenderung agresif dan destruktif sebagai

akibat dari lunturnya nilai-nilai kebudayaan masa lalu yang menjunjung tinggi

adat, moral, dan keadaban manusia. Aliran Perenialisme memberikan jalan untuk

membentuk dunia yang harmonis dengan sekitarnya dengan cara mengembangkan

suatu pendidikan yang menekankan pada pelestarian dan pengembangan nilai-

nilai kebudayaan masa lalu (Sukardjo dan Komarudin, 2009:12). Aliran

Esensialisme berpandangan bahwa pendidikan harus terpusat pada guru jadi

inisiatif pokok dalam pendidikan tidak terletak pada peserta didik tetapi pada guru

(Printianto,2004: 15-17).

Aliran Rekonstruksionisme merupakan aliran yang berpengaruh dalam

pemikiran pendidikan sekarang ini. Aliran ini melihat bahwa keadaan zaman

sekarang ini mengalami krisis sosial dan politik, moral, kebangsaan, dan alam

akibat dari pendidikan yang kurang mengedepankan aspek kesadaran berpikir

kritis, kedewasaan bertindak, dan disorientasi tujuan dan nilai dalam pendidikan.

Untuk itu, aliran Rekonstruksionisme memiliki pemikiran pentingnya menata

kembali pendidikan yang telah jauh dari kehidupan lingkungan yang ada agar

berjalan secara serasi, selaras dan seimbang. Pemikiran kaum Rekonstruksionisme

menolak gagasan terkait sekolah yang netral, tetapi bagaimana hakikat sekolah

selalu dapat melayani kepentingan masyarakat. Bagi Kaum penganut

Rekonstruksionisme berpandangan bahwa figur seorang pendidik harus diubah

dari konsep pembantu atau teknisi menjadi seorang intelektual transformatif

menuju perubahan sosial dan kebaikan umum (Stanley,1992: xiii). Pengertian

tentang Pendidikan menurut Rekonstruksionis adalah untuk menyiapkan

masyarakat menuju tata aturan baru

http://oregonstate.edu/instruct/ed416/PP3.html). Peters dalam the Philosophy of

Education menjelaskan bahwa konsep dasar dalam pendidikan adalah

menekankan pada pengembangan pengetahuan dan pemahaman manusia tentang

realitas kehidupan (Peters,1973:5).

O’Neil (2001:12-14) memberikan penjelasan untuk melakukan kajian

pendidikan setidaknya ada 3 pendekatan untuk menganalisisnya yaitu Pertama,

menggunakan pendekatan analisis. Pendekatan ini bertujuan untuk merumuskan

filosofi pendidikan hubungan dengan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai.

metode yang digunakan adalah dengan melihat dan mengkaji persoalan-persoalan

mendasar di dalam dunia pendidikan baik secara teoritis maupun empirik. Kedua,

pendekatan sistemik, yaitu suatu pendekatan yang mengkaji tentang fenomena

atau realitas pendidikan dalam konteks teori sistem atau aliran yang berkembang

dalam filsafat pendidikan, misalnya realisme, idealisme, liberalisme,

konservatisme. Ketiga, pendekatan filosofi, yaitu melacak dan menganalisis

landasan pendidikan atau keyakinan yang dirumuskan dalam filsafat pendidikan

dengan mempelajari corak pemikiran para filosof pendidikan dalam mencari

solusi terkait permasalahan pendidikan.

Dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa

hakikat pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara. Bandingkan dengan tujuan pendidikan nasional

yang termuat dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1989 yang menyebutkan:

“untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia

Indonesia seutuhnya,yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap

Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan

keterampilan, kesehatan jasmani, dan rohani, kepribadian yang mantap dan

mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.

Sebagaimana Standish (2003:221) menekankan dalam tulisannya yang

berjudul “The Nature and Purposes of Education” bahwa pendidikan adalah

suatu perubahan, kontekstual, dan sangat unik, serta merupakan konstruksi konsep

yang historis dan politis. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan

kerangka konseptual pemikiran filsafat pendidikan rekonstruksionisme untuk

menganalisis konsep pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan yang

dikenal sebagai Education for sustainable development (ESD) dalam aspek

pemaknaan atas realitas, peserta didik, dan tujuan pendidikan yang hendak

dicapai. Dasar pemikiran kaum Rekonstruksionisme diletakkan pada dua aspek

yaitu pertama, kurikulum yang dikembangan berdasarkan situasi dan dinamika

masalah sosial yang ada disekitarnya. Kedua, peserta didik didorong agar terlibat

langsung dalam komunitas sosial dan terjun ke masyarakat (Breithorde dan

Swinjarski,1999: 1).

Penelitian ini akan menggunakan kerangka teoritis umum dari pemikiran

Rekonstruksionisme dalam membaca dan menganalisis paradigma pendidikan

untuk pembangunan yang berkelanjutan. Persoalan yang dibahas dalam aliran

Rekonstruksionisme merujuk pada tiga aspek yaitu pertama, masyarakat yang

seperti apa yang harus dibentuk. Kedua, metode dan kurikulum yang seperti apa

yang disusun untuk membentuk masyarakat tersebut dalam pendidikan. Ketiga,

peran guru dan murid dalam pendidikan.

F.Metode Penelitian

1. Bahan Penelitian

Penelitian ini merupakan kolaborasi antara penelitian lapangan (field

research) dan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini adalah

penelitian yang bersifat kualitatif. Adapun data lapangan terkait dengan topik

penelitian ini diambil di Tongyeong-si, Gyeongsangnam-do, Korea Selatan.

Sedangkan data kepustakaan untuk kajian teoritik tentang pendidikan dan

perkembangannya diperoleh di Yogyakarta antara lain di Fakultas Filsafat UGM,

Universitas Negeri Yogyakarta, Pusat Studi Korea-UGM, Universitas Sanata

Dharma, Universitas Sarjana Wiyata Tamansiswa, dan beberapa di Korea

Selatan. Lokasi penelitian di Tongyeong-si, Gyeongsangnamdo, Korea Selatan

khususnya di Inpyeon elementary school, Tongyeong girl’s Middle school, dan

Dongwon high school dan Yogyakarta.

2. Cara Penelitian

Adapun cara penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah melakukan

pengumpulan data pada sumber-sumber utama untuk penelitian lapangan melalui

observasi partisipatoris dan terbuka, wawancara mendalam terstruktur dengan key

persons seperti guru, mahasiswa, siswa sekolah, RCE Tongyeong, dan Dinas

Pendidikan di kota Tongyeong, Korea Selatan dilakukan pada bulan April-Juni

2012. Sedangkan untuk penelitian kepustakaan melalui kajian teks yaitu berupa

hasil penelitian, jurnal tentang pendidikan, aliran filsafat pendidikan, pemikiran

filsafat pendidikan, berita koran, majalah, buku panduan akademik, Undang-

Undang sisdiknas, dan dokumen pendukung lainnya terkait dengan topik

penelitian yang dibahas.

3. Proses Penelitian

a. Tahap pengumpulan data

Proses pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap untuk mendapatkan

data primer dan data sekunder sebagai berikut: Data primer penelitian lapangan ini

diambil melalui studi lapangan, observasi dan wawancara mendalam terstruktur

kepada para pendidik dan peserta didik di Tongyeong-si, Gyeongsangnamdo,

Korea Selatan. Sekolah yang menjadi tempat observasi dan wawancara adalah

Inpyeon elementary school, Tongyeong girl’s Middle school, dan Dongwon high

school. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data dan menentukan sekolah

adalah melalui pendekatan purposive sampling. Data primer untuk penelitian

kepustakaan diambil dari website UNESCO, jurnal online, dan beberapa hasil

penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian. Data sekunder yaitu data yang

diambil dan diperoleh dari berbagai tulisan ilmiah baik berupa artikel, jurnal, dan

penelitian yang telah diterbitkan maupun unpublished works.

b. Tahap analisis data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Verstehen: dalam tahap ini peneliti mencoba untuk memahami unsur-unsur

filosofis paradigma pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di

Kota Tongyeong. Metode verstehen ini digunakan untuk memahami

pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam konteks filosofis.

2. Interpretasi: Peneliti berusaha menafsirkan, mengungkapkan esensi realitas

dari data lapangan dan kajian kepustakaan untuk ditemukan suatu formula

atau rumusan yang baru.

3. Reduksi data dan Klasifikasi data: Data lapangan yang diambil melalui

wawancara (data verbal) akan diseleksi dan diurai maknanya berdasarkan

kebutuhan peneliti dan mencari relevansinya dengan penelitian melalui

metode reduksi yaitu dengan cara memilah mana yang terkait dengan

filsafat pendidikan, etika, epistemologis, aksiologis,dan ontologis. Setelah

fase reduksi data kemudian dilanjutkan klasifikasi data melalui

pengelompokkan data berdasarkan objek formal dan kebutuhan yang dipilih

oleh peneliti (Lihat Kaelan,2005:69).

4. Heuristik, artinya mencoba menemukan hal-hal baru yang terkait dengan

ESD khususnya tentang materi ESD sehingga dapat ditemukan hal-hal baru

yang dapat memperluas pemahaman terhadap makna pendidikan untuk

pembangunan yang berkelanjutan, dan gagasan baru bagi pengembangan

ilmu di bidang studi filsafat pendidikan.

5. Abstraksi, metode analisis yang digunakan dalam proses ini adalah

berupaya untuk mengungkap hakikat pendidikan untuk pembangunan yang

berkelanjutan dengan memisahkan unsur-unsur yang menyusunnya baik

dasar nilai, dasar epistemologis, dan dasar historis agar dapat menemukan

substansi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan.

G. Hasil yang dicapai

Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pemahaman yang komprehensif tentang evolusi dan sejarah pemikiran

pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan.

2. Pemahaman teori Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme.

3. Telaah teori Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme terhadap pendidikan

untuk pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tongyeong dan

relevansinya bagi pendidikan di Indonesia.

H. Jadwal Penelitian

Kegiatan penelitian untuk tesis ini dilakukan selama 2 tahun. Tahun

pertama, yaitu tahun 2012 adalah kegiatan pra studi dan kajian terkait pendidikan.

Pada bulan April-Juni 2012 dilakukan pengambilan bahan dan materi baik berupa

dokumen, foto, hasil wawancara, dan materi pendukung lainnya di Kota

Tongyeong, Korea Selatan. Pada bulan berikutnya yaitu Juli- Desember 2012

dilakukan proses klarifikasi data, seleksi, dan kategorisasi data yang disesuaikan

dengan kebutuhan untuk penulisan tesis ini. Tahun kedua, yaitu tahun 2013

dilakukan proses penulisan ulang, updating data, dan penyusunan draft rancangan

proposal tulisan tesis S2 untuk program Ilmu Filsafat. Pada bulan Januari-

Agustus, dilakukan proses penulisan, kemudian pada bulan September-Desember

2013 tahap konsultasi, revisi dan evaluasi terakhir hingga pada penulisan final

tesis program Pascasarjana Ilmu Filsafat ini. Pada Januari 2014, proses

pendadaran/ujian tertutup tesis.

I. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini dilaporkan dalam tujuh bab sebagai berikut:

Bab pertama berisi tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini,

rumusan masalah yang hendak di Jawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

terhadap pustaka sebelumnya, landasan teori, dan metode yang digunakan dalam

melakukan penelitian.

Bab kedua berisi tentang pemikiran pendidikan untuk pembangunan yang

berkelanjutan menyangkut pengertian, sejarah pemikiran, dan orientasi dan ruang

lingkup pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan (education for

sustainable development).

Bab ketiga berisi tentang Pendidikan untuk pembangunan yang

berkelanjutan di Kota Tongyeong Korea Selatan; Studi kasus yang mengungkap

tentang Kota Tongyeong, Sekilas pendidikan di Kota Tongyeong dan aplikasi

pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan di kota Tongyeong,serta

dampak implementasi pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Bab keempat merupakan uraian tentang pemikiran Filsafat Pendidikan

Rekonstruksionisme yang menjelaskan ulasan tentang hakikat manusia,pengertian

dan perkembangan filsafat pendidikan, Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme

dan tokoh-tokoh yang berpengaruh didalamnya.

Bab kelima berisi tentang tinjauan Filsafat Pendidikan

Rekonstruksionisme terhadap pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan

di kota Tongyeong, Korea Selatan.

Bab keenam berisi tentang relevansi pendidikan untuk pembangunan yang

berkelanjutan di Kota Tongyeong dan manfaatnya bagi Pendidikan di Indonesia.

Bab ketujuh berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari

permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.