bab ii kajian teorirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15560/2/t2... · 2018-07-24 · bab ii...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN TEORI
2. 1 Pelatihan
2.1.1 Pengertian Pelatihan
Pelatihan (training) merupakan proses
pembelajaran yang melibatkan perolehan keahlian,
konsep, peraturan, atau sikap untuk meningkatkan
kinerja tenaga kerja (Simamora, 2006). Menurut
Undang-undang No 13 Tahun 2003 pasal 1 ayat 9
memberikan pengertian tentang pelatihan kerja sebagai
berikut:
“Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta
mengembangkan kompetensi kerja, produktifitas, disipiln,
sikap dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian
tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan
pekerjaan.”
Menurut Soebagio (2002: 35) pelatihan adalah
“pembelajaran yang dipersiapkan agar pelaksanaan
pekerjaan yang sekarang meningkat kinerjanya”.
Sedang Oemar Hamalik (2007) mengemukakan bahwa
pelatihan adalah suatu proses yang meliputi
serangakaian tindakan (upaya) yang dilaksanakan
dengan sengaja dalam bentuk pemberian bantuan
kepada tenaga kerja yang dilakukan oleh tenaga
profesional kepelatihan dalam satuan waktu yang
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kerja
10
peserta dalam bidang pekerjaan tertentu guna
meningkatkan efektivitas dan produktivitas dalam
suatu organisasi.
Sedangkan Rivai (2004) menegaskan bahwa
pelatihan adalah proses sistematis mengubah tingkah
laku pegawai untuk mencapai tujuan organisasi.
Pelatihan berkaitan dengan keahlian dan kemampuan
pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya saat ini.
Pelatihan memiliki orientasi saat ini dan membantu
pegawai untuk mencapai keahlian dan kemampuan
tertentu agar berhasil melaksanakan pekerjaan.
Sikula dalam Sumantri (2000: 2) mengartikan
pelatihan sebagai proses pendidikan jangka pendek
yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis
dan terorganisir. Dalam hal ini para peserta pelatihan
akan mempelajari pengetahuan dan ketrampilan yang
sifatnya praktis untuk tujuan tertentu. Sedangkan
menurut Center for Development Management and
Productivity, pelatihan adalah belajar untuk mengubah
tingkah laku orang dalam melaksanakan pekerjaan
mereka. Pelatihan pada dasarnya adalah suatu proses
memberikan bantuan bagi para karyawan atau pekerja
untuk menguasai ketrampilan khusus atau membantu
untuk memperbaiki kekurangan dalam melaksanakan
pekerjaan mereka.
Dari beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa pelatihan merupakan usaha sadar
dan terencana untuk meningkatkan pengetahuan,
11
ketrampilan dan sikap seseorang sehingga mampu
melaksanakan tugas dengan lebih baik dalam rangka
meningkatkan kinerjanya.
2.1. 2 Tujuan Pelatihan bagi Guru
Diadakannya pelatihan tentunya mempunyai
tujuan-tujuan tertentu, baik bagi peserta itu sendiri
maupun bagi kepentingan organisasi, hal ini perlu
diperhatikan karena tujuan-tujuan tersebut
sesungguhnya merupakan landasan penetapan metode
pelatihan mana yang akan dipakai, materi yang akan
dibahas, pesertanya dan siapa saja tenaga pengajarnya
untuk dapat memberi subjek yang bersangkutan.
Tujuan pelatihan tidak hanya untuk meningkatkan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap saja, akan tetapi
juga untuk mengembangkan bakat seseorang, sehingga
dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan yang
dipersyaratkan.
Menurut Simamora (2006: 276) pelatihan
diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan
kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan. Adapun
tujuan dari pelatihan yaitu memperbaiki kinerja guru,
memutakhirkan keahlian guru, mengurangi waktu
pembelajaran guru agar kompeten dalam pekerjaan,
membantu memecahkan masalah operasional,
mempersiapkan guru untuk promosi, memotivasi guru
dan mengorientasikan guru terhadap
organisasi/sekolah.
12
Sedangkan menurut Moekijat (2003) tujuan
pelatihan adalah: 1) untuk mengembangkan
ketrampilan sehingga pekerjaan dapat diselesaikan
dengan lebih cepat dan lebih efektif; 2) untuk
mengembangkan pengetahuan sehingga pekerjaan
dapat diselesaikan secara rasional; 3) untuk
mengembangkan sikap sehingga menimbulkan
kemauan kerja sama dengan teman-teman pegawai dan
pimpinan.
Hal senada juga dikemukakan oleh Mathis dan
Jackson (2002) bahwa tujuan pelatihan dapat dibuat
untuk wilayah apapun dengan menggunakan salah
satu dimensi berikut: 1) kuantitas pekerjaan yang
dihasilkan dari pelatihan; 2) kuantitas pekerjaan
setelah pelatihan; 3) batasan waktu dari pekerjaan
setelah pelatihan dan; 4) penghematan biaya sebagai
hasil dari pelatihan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa tujuan pelatihan adalah untuk peningkatan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap sehingga dapat
meningkatkan kinerja seseorang dan kemampuan
untuk bekerjasama.
2.1.3 Model-model Pelatihan
Pelatihan sebagai sebuah konsep program yang
bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
seseorang (sasaran didik), berkembang sangat pesat
dan modern. Perkembangan model pelatihan saat ini
13
tidak hanya terjadi pada dunia usaha, akan tetapi pada
lembaga-lembaga profesional tertentu termasuk
lembaga pendidikan.
Model-model pelatihan yang dapat diberikan
kepada seorang guru tergantung dari ketrampilan yang
dibutuhkan dalam pekerjaan, kualifikasi dari para guru
dan permasalahan nyata yang sedang dan akan
dihadapi oleh sekolah tersebut. Menurut Iswari (2009)
model pelatihan ada empat macam yaitu pelatihan
peningkatan, pelatihan penyegaran, pelatihan dalam
pekerjaan (On the Job Training) dan pelatihan di luar
pekerjaan (Off the Job Training).
Pelatihan penyegaran dan peningkatan
dimaksudkan supaya seorang guru selalu dapat
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan maupun
teknologi yang baru sehingga seorang guru selalu up to
date pengetahuan atau ketrampilannya. Pelatihan di
luar pekerjaan (Off the Job Training) adalah pelatihan
yang lebih banyak menekankan dalam mengajarkan
teknik-teknik yang paling baik, sehingga menjadi
terbiasa dalam pekerjaan yang rutin. Sedangkan
latihan dalam pekerjaan (On the Job Training) adalah
pelatihan yang ditujukan dalam hal penguasaan suatu
pekerjaan yang spesifik dalam lingkup kerjanya.
Menurut Allison dan Joseph dalam Mustofa
(2003), pelatihan dalam dunia pendidikan luar sekolah
ada tiga yaitu:
14
1. Training Needs Assessmnet (TNA) artinya adalah
kebutuhan pelatihan sangat berkaitan erat
dengan kebutuhan belajar. Kebutuhan belajar
diartikan dengan kesenjangan di antara
kemampuan yang telah dimiliki dengan
kemampuan yang dituntut, atau dipersyaratkan
dalam kehidupan sasaran didik (peserta
pelatihan). Kemampuan tersebut menyangkut
kemampuan pengetahuan, sikap, nilai dan
tingkah laku sesuai dengan aspek yang menjadi
kebutuhan dalam dunia kerjanya. Ada tiga model
pelatihan TNA yaitu model induktif, deduktif dan
klasik. Pendekatan yang digunakan dalam model
induktif menekankan pada usaha yang dilakukan
dari pihak yang terdekat, langsung dan dari
bagian-bagian ke arah pihak yang luas dan
menyeluruh. Sedangkan pendekatan model
deduktif dilakukan secara umum, dengan
sasaran yang luas. Untuk model klasik
disesuaikan dengan bahan belajar yang telah
ditetapkan dengan kurikulum atau program
belajar dengan kebutuhan belajar yang dirasakan
peserta pelatihan.
2. Subject Matter Analysis (SMA) artinya adalah
pelatihan disesuaikan dengan pendekatan,
strategi dan materi latihan. Model pelatihan ini
proses dan langkah-langkahnya disesuaikan
dengan perkembangan kemampuan peserta
pelatihan, masalah-masalah yang perlu
15
dipecahkan, kebutuhan kurikulum dan
metodologi pelatihannya.
3. Approaches to Training and Development (ATD)
artinya adalah pendekatan untuk pelatihan dan
pengembangan ini menyediakan pengenalan yang
komprehensif dan praktis untuk bidang pelatihan
dan pengembangan organisasi sumber daya
manusia. Dalam hal ini adanya survei tentang
metode, fungsi dan tujuan dari pelatihan; dari
penilaian kebutuhan pelaksanaan serta
menggambarkan setiap langkah dari program
pelatihan yang efektif.
Beberapa model pelatihan yang dilakukan
lembaga pemerintah departemen dan non-departemen
di antaranya adalah pre-service training (pra jabatan),
in-service training (latihan dalam jabatan) dan social
service training (latihan dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat). Pelatihan-pelatihan tersebut di
antaranya berdasar pada konsep kebutuhan jabatan
(Mustofa, 2003).
Salah satu pelatihan yang menggunakan model
in-service training adalah pelaksanaan pemberdayaan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
adalah salah satu wadah atau forum pembinaan
profesional guru mata pelajaran yang berada pada
suatu wilayah kabupaten/kota/kecamatan/sekolah
untuk meningkatkan pengetahuan, penguasaan
16
materi, teknik mengajar, metode mengajar, mengelola
kelas dan proses interaksi antara guru dan murid
dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
Adapun tujuan dari terbentuknya MGMP adalah:
(1) untuk memotivasi guru dalam rangka meningkatkan
keyakinan diri sebagai guru profesional, (2) untuk
menyatakan kemampuan dan kemahiran guru dalam
melaksanakan pembelajaran, (3) untuk mendiskusikan
permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru
dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari
solusi alternatif pemecahannya, (4) untuk membantu
guru memperoleh informasi teknis edukatif, (5) saling
berbagi informasi dan pengalaman, (6) mampu
menjabarkan dan merumuskan agenda reformasi
sekolah (school reform).
MGMP juga mempunyai tujuan untuk mengubah
budaya kerja anggota musyawarah kerja
(meningkatkan pengetahuan, kompetensi dan kinerja)
dan mengembangkan profesionalisme guru melalui
kegiatan-kegiatan pengembangan profesionalisme di
tingkat MGMP, meningkatkan mutu proses pendidikan
dan pembelajaran yang tercermin dari peningkatan
hasil belajar peserta didik dan meningkatkan
kompetensi guru melalui kegiatan-kegiatan di MGMP.
Selain itu MGMP mempunyai peran sebagai: 1)
reformator, dalam classroom reform, terutama dalam
reorientasi pembelajaran efektif, 2) mediator, dalam
pengembangan dan penigkatan kompetensi guru,
17
terutama dalam pengembangan kurikulum dan sistem
pengujian, 3) supporting agency, dalam inovasi
manajemen kelas dan manajemen sekolah, 4)
collaborator, terhadap unit terkait dan organisasi
profesi yang relevan, 5) evaluator dan developer school
reform dalam konteks MPMBS, dan 6) clinical dan
academic supervisor, dengan pendekatan penilaian
appraisal.
2.1.4 Tahap-tahap Pelatihan
Pelatihan dirasa penting manfaatnya karena
tuntutan pekerjaan dan jabatan sebagai akibat dari
perubahan situasi dan kondisi kerja, kemajuan
teknologi dan semakin ketatnya persaingan dalam
organisasi. Menurut Hasibuan (2003) bahwa proses
atau langkah-langkah pelatihan hendaknya dilakukan
dengan memperhatikan sasaran, kurikulum, sarana,
peserta, pelatihan dan pelaksanaan.
Setiap pelatihan harus terlebih dahulu
ditetapkan secara jelas sasaran yang ingin dicapai agar
pelaksanaan program pelatihan dapat diarahkan ke
pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan Siagian
(2003) menyatakan berbagai langkah yang perlu
ditempuh dalam pelatihan yaitu penentuan kebutuhan,
sasaran, penetapan isi program, identifikasi prinsip-
prinsip belajar, pelaksanaan program, identifikasi
manfaat dan penilaian pelaksanaan program.
Menurut Oemar Hamalik (2007: 78) prosedur
penyelenggaraan pelatihan terdiri dari empat tahap,
18
yaitu tahap pendahuluan, pengembangan, kulminasi,
dan tindak lanjut. Tahap pendahuluan merupakan
tahap persiapan sebelum peserta melaksanakan
keseluruhan kegiatan, yang mana peserta pelatihan
melakukan kegiatan orientasi. Pada tahap
pengembangan, peserta melakukan kegiatan-kegiatan
sesuai dengan rencana yang telah disusun oleh panitia
penyelenggara pelatihan, yaitu kegiatan tatap muka,
kegiatan berstruktur, kegiatan mandiri, seminar,
kunjungan instansional, laporan harian dan
karyawisata. Sedangkan pada tahap kulminasi yang
merupakan tahap puncak kegiatan pelatihan, peserta
mengikuti kegiatan pameran, seminar akhir dan
laporan individual. Dan yang terakhir yaitu pada tahap
tindak lanjut yang merupakan suatu tahap transisi,
dimana berlangsungnya proses penempatan dan
pembinaan terhadap para lulusan pelatihan.
2.2 Kompetensi Guru
2.2.1 Pengertian kompetensi
Sardiman dalam Janawi mengartikan kompetensi
adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki
seseorang berkenaan dengan tugasnya (Janawi 2012:
30). Kedua definisi tersebut menjelaskan bahwa
kompetensi adalah kemampuan dasar yang harus
dimiliki oleh seseorang, dalam hal ini oleh guru.
Menurut Sutadipura dalam Janawi (2012),
kompetensi terbagi menjadi dua yaitu kompetensi
19
umum dan kompetensi khusus. Kompetensi umum
adalah kemampuan dan keahlian yang harus dimiliki
oleh semua guru pada tiap jenjang pendidikan.
Sedangkan kompetensi khusus adalah kemampuan
dan keahlian yang harus dimiliki secara khusus oleh
tenaga pendidik tertentu sesuai dengan jenjang dan
jenis pendidikan yang ditekuni.
Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen pasal 1 ayat (10) mengartikan kompetensi adalah
seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku
yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru
atau dosen dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan. Sedangkan di dalam Undang-Undang
No 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan pasal 1
ayat (10), mengartikan kompetensi adalah kemampuan
kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yang sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
Menurut Finch dan Crunkliton dalam Kunandar
(2007: 52), bahwa yang dimaksud dengan kompetensi
adalah penguasaan pengetahuan terhadap suatu tugas,
ketrampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan
untuk menunjang keberhasilan. Hal itu menunjukkan
bahwa kompetensi mencakup tugas, ketrampilan sikap
dan apresiasi yang harus dimiliki peserta didik untuk
dapat melaksanakan tugas-tugas pembelajaran sesuai
dengan jenis pekerjaan tertentu.
20
Sedangkan Nasrul (2014: 37) berpendapat bahwa
kompetensi adalah penilaian pengetahuan,
ketrampilan, dan kecakapan atau kemampuan sebagai
seorang guru dalam menentukan atau memutuskan
sesuatu berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya agar
proses pembelajaran berjalan dengan baik. Sementara
itu Surya mengartikan kompetensi sebagai suatu hal
yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan
seseorang baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif
(Surya 2005). Pengertian ini mengandung makna
bahwa kompetensi tersebut dapat dipahami dalam dua
konteks, yaitu: pertama, sebagai indikator kemampuan
yang menunjukkan pada perbuatan yang diamati.
Kedua, sebagai konsep yang mencakup aspek-aspek
kognitif, afektif dan perbuatan serta tahap-tahap
pelaksanaannya secara utuh.
Dalam Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2004,
tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)
menjelaskan tentang sertifikasi kompetensi kerja
sebagai suatu proses pemberian sertifikat kompetensi
yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui
uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi
kerja nasional Indonesia dan atau internasional.
Pengertian Competency Based Training (CBT) adalah
sebuah pendekatan pada pelatihan yang menekankan
pada apa yang seorang individu dapat
mendemonstrasikan pengetahuan, ketrampilan serta
sikap profesionalnya di tempat kerja sesuai dengan
standar industri sebagai hasil training.
21
Jadi dapat disimpulkan bahwa kompetensi
adalah sebuah pengetahuan terhadap apa yang
seseorang harus lakukan di tempat kerja untuk
menunjukkan pengetahuannya, ketrampilannya dan
sikapnya sesuai dengan standar yang disyaratkan. Inti
dari definisi kompetensi adalah mencakup penguasaan
terhadap 3 jenis kemampuan yaitu pengetahuan
(knowledge, science), ketrampilan teknis (skill
technology) dan sikap perilaku (attitude). Hal ini sesuai
dengan pendapatnya Majid dalam Janawi (2012) yang
mengemukakan bahwa kompetensi adalah seperangkat
tindakan inteligen penuh tanggung jawab yang harus
dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk dianggap
mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang
pekerjaan tertentu.
2.2.2 Kompetensi guru
Kompetensi guru merupakan seperangkat
pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus
dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh
guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Kompetensi guru adalah kelayakan untuk menjalankan
tugas, kemampuan, sebagai faktor yang penting bagi
guru, oleh karena itu kualitas dan produktivitas kerja
guru harus mampu memperlihatkan perbuatan
profesional yang bermutu. Kemampuan atau
kompetensi guru harus mampu memperlihatkan
perilaku yang memungkinkan mereka dalam
menjalankan tugas profesional dengan cara yang paling
22
diingini, tidak sekedar menjalankan kegiatan
pendidikan bersifat rutinitas (Nasrul, 2014).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18
Tahun 2007 tentang Guru, dinyatakan bahwa
kompetensi yang harus dimiliki guru meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi. Keempat
kompetensi guru tersebut bersifat menyeluruh dan
merupakan satu kesatuan yang satu sama lain saling
berhubungan, saling mendukung, saling
mempengaruhi dan saling mendasari satu sama lain.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mengisyaratkan
bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan
menengah. Kompetensi guru yang dimaksudkan dalam
undang-undang ini adalah berkenaan dengan empat
kompetensi seperti dijelaskan berikut ini:
a. Kompetensi pedagogik yaitu kompetensi yang
berkenaan dengan penguasaan disiplin ilmu
pendidikan dan ilmu lain yang berkaitan dengan
tugasnya sebagai guru.
b. Kompetensi profesional adalah kemampuan dasar
tenaga pendidik. Guru akan disebut profesional
23
jika ia mampu menguasai keahlian dan
ketrampilan teoritik dan praktik dalam proses
pembelajaran.
c. Kompetensi kepribadian yaitu kemampuan
personalitas, jati diri sebagai tenaga pendidik
yang menjadi panutan bagi peserta didik.
d. Kompetensi sosial yaitu kompetensi yang
berkaitan dengan kemampuan guru berinteraksi
dengan peserta didik dan orang yang ada di
sekitar dirinya.
Cogan dalam Nasrul (2014) mengatakan bahwa
kompetensi guru adalah kemampuan untuk
memandang dan mendekati masalah pendidikan dan
perspektif masyarakat global, bekerjasama dengan
orang lain secara kooperatif dan bertanggung jawab,
berpikir secara kritis dan sistematis serta mampu
meningkatkan kemampuan intelektualnya sesuai
dengan tuntutan perubahan zaman.
2.3 Peran dan Profesionalisme Guru Bahasa
Inggris
Guru memiliki peran sangat penting dalam
merangsang munculnya keterlibatan siswa dalam
situasi pembelajaran. Peranan guru tersebut adalah
fasilitator dari proses komunikasi, partisipan sebagai
teman dan bahkan orang tua, figur otoritas, pemimpin,
direktur, manajer, konselor, guide, controller dan
sebagai sumber (Brown, 2001: 167-168).
24
Secara spesifik, bagi seorang guru bahasa
Inggirs, keempat kompetensi guru seperti yang
dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen harus
dimanifestasikan kedalam sejumlah kompetensi
komunikatif yang bersifat lebih kongkrit (Celcee-Murcia
dalam Helena, 2004). Kompetensi komunikatif itu
meliputi kompetensi wacana (discourse competence),
kompetensi tindak bahasa (actional competence),
kompetensi linguistik (linguistic competence),
kompetensi sosial budaya (sociocultural competence),
dan kompetensi strategis (strategic competence).
Lima kompetensi ini sangat berperan dalam
mendukung guru bahasa Inggris terutama dalam
mengaplikasikan bahasa Inggris sebagai alat
komunikasi sehari-hari (colloquial language) maupun
komunikasi dalam dunia ilmiah (scientific language)
secara wajar sesuai dengan cara native speaker of
English berkomunikasi. Selain itu, kompetensi
komunikatif tersebut berimplikasi pada bagaimana
seorang guru bahasa Inggris harus mengajarkan
bahasa tersebut kepada setiap peserta didik.
Pengetahuan tentang tata bahasa yang benar
dapat membantu guru memonitor dan mengoreksi
dirinya sendiri dan peserta didik dalam proses
komunikasi. Untuk mengembangkan kompetensi
linguistik ini diperlukan pengetahuan dan latihan
penggunaan bahasa Inggris dalam konteks tertentu
agar peserta didik senantiasa memperhatikan contoh-
25
contoh ungkapan yang biasa didengar dari segi tata
bahasanya. Sedangkan kompetensi strategis akan
mengarahkan guru bahasa Inggris untuk mampu
menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan
dan menarik bagi siswa. Di lain sisi, kompetensi
sosiolinguistik dapat membantu guru bahasa melatih
peserta didik untuk berkomunikasi menggunakan tata
bahasa dan pilihan kata sesuai konteks sosial tertentu.
Selanjutnya kompetensi tindak bahasa akan
mengarahkan seorang guru bahasa Inggris mampu
memilih peserta didik untuk berkomunikasi dalam
bahasa Inggris melalui langkah-langkah komunikasi
tertentu (Helena, 2004).
2.4 Evaluasi Program
2.4.1 Pengertian Evaluasi
Worthen & Sanders dalam Suharsimi dan
Safrudin (2014) mengatakan bahwa evaluasi adalah
kegiatan mencari sesuatu yang berharga (worth),
sesuatu yang berharga tersebut dapat berupa informasi
tentang suatu program, produksi serta alternatif
prosedur tertentu. Karenanya evaluasi bukan
merupakan hal baru dalam kehidupan manusia sebab
hal tersebut senantiasa mengiringi kehidupan
seseorang.
Menurut Stufflebeam (1985: 159) definisi evaluasi
adalah :
26
“Evaluation is the process of delineating, obtaining, and providing desvriptive and judgemental information about
the worth and merit of some object‟s goals, design,
implementation, and impacts in order to guide decision
making, serve needs for accountability, and promote
understanding of involved phenomena.”
Yang artinya bahwa evaluasi adalah merupakan
suatu proses menggambarkan, memperoleh dan
menyajikan informasi deskriptif serta bersifat kebijakan
tentang kelayakan dan kebermanfaatan tujuan,
rancangan, implementasi dan dampak suatu program
dalam rangka memberi masukan bagi pembuat
keputusan, melayani kebutuhan-kebutuhan
akuntabilitas dan memperoleh pemahaman terhadap
fenomena yang terjadi.
Selanjutnya Suharsimi dan Safrudin (2014: 2)
mengemukakan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu,
yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk
menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil
keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah
menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi
pihak decision maker untuk menentukan kebijakan
yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah
dilakukan.
Berdasarkan pengertian-pengertian tentang
evaluasi yang telah dikemukankan beberapa ahli
diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi
merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh
seseorang untuk melihat sejauh mana keberhasilan
sebuah program. Keberhasilan program itu sendiri
27
dapat dilihat dari dampak atau hasil yang dicapai oleh
program tersebut. Karenanya, dalam keberhasilan ada
dua konsep yang terdapat di dalamnya yaitu efektifitas
dan efisiensi. Efektifitas merupakan perbandingan
antara output dan inputnya, sedangkan efisiensi adalah
taraf pendayagunaan input untuk menghasilkan output
melalui suatu proses, urutan kerja yang sesuai
prosedur sehingga diperoleh hasil yang memenuhi
syarat kualitas kecepatan dan jumlah.
2.4.2 Pengertian Evaluasi Program
Herman dalam Tayibnapis (2008: 9)
mengemukakan bahwa program adalah segala sesuatu
yang dilakukan dengan harapan akan mendatangkan
hasil atau manfaat. Dari pengertian ini dapat diartikan
bahwa semua perbuatan manusia yang darinya
diharapkan akan memperoleh hasil dan manfaat dapat
disebut program. Menurut Suharsimi (2009: 290)
program memiliki dua pengertian yaitu secara umum
dan khusus. Secara umum, program dapat diartikan
dengan rencana atau rancangan kegiatan yang akan
dilakukan oleh seseorang di kemudian hari. Sedangkan
pengertian khusus dari program biasanya jika
dikaitkan dengan evaluasi yang bermakna suatu unit
atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau
implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam
proses berkesinambunagn dan terjadi dalam satu
organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
28
Selanjutnya Isaac dan Michael (1981: 6)
mengemukakan bahwa sebuah program harus diakhiri
dengan evalusi. Hal ini dilaksanakan untuk melihat
apakah program tersebut berhasil menjalankan fungsi
sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam
hal ini mereka berpendapat bahwa ada tiga tahap
rangkaian evaluasi program yaitu: a) menyatakan
pertanyaan serta menspesifikasikan informasi yang
hendak diperoleh, b) mencari data yang relevan dengan
penelitian, c) menyediakan informasi yang dibutuhkan
pihak pengambil keputusan untuk melanjutkan,
memperbaiki atau menghentikan program tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut maka sebuah
program adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan
secara berkesinambungan dan waktu pelaksanaannya
biasanya panjang. Selain itu sebuah program juga tidak
hanya terdiri dari satu kegiatan melainkan rangkaian
kegiatan yang membentuk satu sistem yang saling
terkait satu dengan lainnya dengan melibatkan lebih
dari satu orang untuk melaksanakannya. Dengan
demikian, evalusai program dapat diartikan sebagai
sebuah proses untuk mengetahui apakah sebuah
program dapat direalisasikan atau tidak dengan cara
mengetahui efektivitas masing-masing komponennya
melalui rangkaian informasi yang diperoleh serta untuk
menentukan apakah program tersebut perlu direvisi,
dilanjutkan atau dijadikan rekomendasi untuk program
berikutnya.
29
2.4.3 Tujuan Evaluasi Program
Worthen dan Sanders dalam Tayibnapis (2008: 2)
menyatakan bahwa evaluasi memegang peranan
penting dalam suatu program, salah satunya adalah
memberikan informasi yang dapat dipakai sebagai
dasar untuk membuat kebijaksanaan, menilai hasil
yang dicapai, menilai kurikulum, memberi
kepercayaan, memonitor dana yang telah diberikan dan
memperbaiki materi atau program.
Suharsimi dan Safrudin (2014) mengemukakan
bahwa ada dua tujuan evaluasi yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan kepada
program secara keseluruhan, sedangkan tujuan
khusus lebih difokuskan pada masing-masing
komponen. Suharsimi juga menyatakan bahwa evaluasi
program merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengukur keberhasilan suatu program. Evaluasi
program biasanya diukur untuk mengetahui seberapa
jauh dan bagaimana dari tujuan sudah dicapai dan
bagian mana yang belum tercapai dan apa
penyebabnya. Tanpa adanya evaluasi keberhasilan dan
kegagalan program tidak akan dapat diketahui.
Sedangkan menurut Weiss dalam Sugiyono
(2014), menyatakan bahwa evaluasi program
merupakan metode yang sistematis untuk
mengumpulkan data, dan menggunakan informasi
untuk menjawab pertanyaan tentang proyek, kebijakan
dan program, khususnya yang terkait dengan
30
efektivitas dan efisiensi. Berdasarkan pernyataan
tersebut bisa diartikan bahwa tujuan dari evaluasi
program adalah untuk meningkatkan efektivitas suatu
kebijakan program berdasarkan umpan balik dari
orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan program
tersebut.
Dari penjelasan di atas, tujuan evaluasi program
adalah untuk mendapatkan informasi yang tepat
mengenai dampak program yang telah dilaksanakan
dan mengetahui fenomena yang terjadi di lapangan,
sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
bagi pengambil keputusan dalam menentukan
kebijakan yang akan diambil, suatu program berhasil
atau tidak dapat dilihat dari produktivitas, efektivitas
dan efisiensi pelaksanaan program.
2.4.4 Manfaat Evaluasi Program
Menurut Soebagio A (2002: 270), manfaat
evaluasi pendidikan dan pelatihan adalah:
a. Memperoleh informasi tentang kualitas dan
kuantitas pelaksanaan program pendidikan dan
pelatihan.
b. Mengetahui relevansi program pendidikan dan
pelatihan dengan kebutuhan instansi yang
bersangkutan.
c. Membuka kemungkinan untuk memperbaiki dan
menyesuaikan program pendidikan dan pelatihan
dengan perkembangan keadaan.
31
d. Menentukan apakah program pendidikan dan
pelatihan itu perlu dilanjutkan atau tidak,
sehingga dapat dijadikan alat untuk
merekomendasi ada tidaknya manfaat dari
program pendidikan dan pelatihan.
Selanjutnya Stufflebeam dalam Tayibnapis (2008:
4) mengemukakan bahwa evaluasi berfungsi sebagai
proactive evaluation yaitu evaluasi program yang
dilakukan untuk melayani pemegang keputusan dan
juga sebagai retroactive evaluation yaitu evaluasi
program yang dilakukan untuk keperluan
pertanggungjawaban.
2.4.5 Model Evaluasi Program
Ada banyak model evaluasi yang dikembangkan
oleh para ahli yang dapat dipakai dalam mengevaluasi
program pelaksanaan pelatihan. Kirkpatrick, salah
seorang ahli evaluasi program pelatihan dalam bidang
pengembangan SDM selain menawarkan model evaluasi
yang diberi nama Kirkpatrick’s training evaluation model
juga menunjuk model-model lain yang dapat dijadikan
sebagai pilihan dalam mengadakan evaluasi terhadap
sebuah program pelatihan. Model-model yang ditunjuk
tersebut diantaranya adalah:
A. Evaluasi model CIPP.
Konsep evaluasi model CIPP (Context, Input,
Process and Product) pertama kali ditawarkan oleh
Stufflebeam pada tahun 1965, dengan konsep
pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah
bukan membuktikan tetapi untuk memperbaiki.
32
Evaluasi model CIPP dapat diterapkan dalam berbagai
bidang, seperti pendidikan, manajemen, perusahaan
dan sebagainya.
Sudjana & Ibrahim (2004: 246) menterjemahkan
CIPP sebagai berikut:
a. Context : situasi atau latar belakang yang
mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi
pendidikan yang akan dikembangkan dalam
sistem yang bersangkutan.
b. Input : sarana/modal/bahan dan rencana strategi
yang ditetapkan untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan.
c. Process : pelaksanaan strategi dan penggunaan
sarana/model/bahan di dalam kegiatan nyata di
lapangan.
d. Product : hasil yang dicapai baik selama maupun
pada akhir pengembangan sistem pendidikan
yang bersangkutan.
Selanjutnya Sugiyono (2014: 749) menjelaskan
tentang fokus dari pendekatan evaluasi model CIPP
sebagai berikut:
Gambar 1 Model CIPP
Context
Evaluasi ini terkait dengan tujuan dari suatu program, mengapa program tersebut diadakan
dan apakah tujuan program sesuai dengan
kebutuhan lapangan.
Input Evaluasi ini terkait dengan berbagai input
yang akan digunakan untuk terpenuhinya
proses yang selanjutnya dapat digunakan
mencapai tujuan.
33
Berdasarkan penjelasan di atas bisa disimpulkan
bahwa model evaluasi CIPP merupakan model evaluasi
yang memiliki keunikan yaitu pada setiap tipe evaluasi
terkait pada perangkat pengambil keputusan (decision)
yang menyangkut perencanaan dan operasional sebuah
program. Keunggulan model evaluasi CIPP memberikan
suatu format evaluasi yang komprehensif pada setiap
tahapan evaluasi yaitu tahap konteks, masukan,
proses, dan produk.
B. Evaluasi Model Brinkerhoff
Setiap desain evaluasi pada umumnya terdiri dari
elemen-elemen yang sama, ada banyak cara untuk
menggabungkan elemen tersebut, masing-masing ahli
evaluasi atau evaluator mempunyai konsep yang
berbeda dalam hal ini. Brinkerhoff & Cs (1983)
mengemukakan tiga golongan evaluasi yaitu:
a. Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi yang tetap (fixed) ditentukan
dan direncanakan secara sistematik sebelum
Process
Evaluasi ini terkait dengan kegiatan
melaksanakan rencana program dengan input
yang telah disediakan, kapan program
dilaksanakan, bagaimana prosedurnya, apakah
input yang digunakan mendukung dan apakah
program terlaksana sesuai jadwal.
Product
Evaluasi ini terkait dengan evaluasi terhadap
hasil yang dicapai dari suatu program; seberapa jauh tujuan program tercapai, apakah
program tercapai tepat waktu, apakah program
perlu dilanjutkan/direvisi.
34
implementasi dikerjakan. Desain dikembangkan
berdasarkan tujuan program disertai
seperangkat pertanyaan yang akan dijawab
dengan informasi yang akan diperoleh dari
sumber-sumber tertentu. Rencana analisis
dibuat sebelumnya dimana si pemakai akan
menerima informasi seperti yang telah
ditentukan dalam tujuan. Walaupun desain
fixed ini lebih terstruktur daripada desain
emergent. Desain fixed juga dapat disesuaikan
dengan kebutuhan yang mungkin berubah.
Kebanyakan evaluasi formal yang dibuat secara
individu disusun berdasarkan desain fixed,
karena tujuan program telah ditentukan dengan
jelas sebelumnya, dibiayai dan melalui usulan
atau proposal evaluasi.
b. Formative vs Sumative Evaluation
Evaluasi formatif digunakan untuk memperoleh
informasi yang dapat membantu memperbaiki
program. Evaluasi formatif dilaksanakan pada
saat implementasi program sedang berjalan.
Fokus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang
dirumuskan oleh karyawan. Evaluasi sumatif
dilaksanakan untuk menilai manfaat suatu
program sehingga dari hasil evaluasi akan dapat
ditentukan suatu program tertentu akan
diteruskan atau dihentikan. Waktu pelaksanaan
evaluasi sumatif terletak pada akhir
implementasi program (Sudjana & Ibrahim,
2004).
35
c. Experimental and Quasi Experimental Design vs
Naural/Unotrusive
Beberapa evaluasi memakai metodologi
penelitian klasik. Dalam hal ini subyek
penelitian diacak, perlakuan diberikan dan
pengukuran dampak dilakukan. Tujuan dari
penelitian untuk menilai manfaat suatu program
yang dicobakan. Apabila siswa atau program
dipilih secara acak, maka generalisasi dibuat
pada populasi yang agak lebih luas. Dalam
beberapa hal intervensi tidak mungkin
dilakukan atau tidak dikehendaki. Apabila
proses sudah diperbaiki, evaluator harus
melihat dokumen-dokumen, seperti mempelajari
nilai tes atau menganalisis penelitian yang
dilakukan. (Sudjana & Ibrahim, 2004).
C. Evaluasi Model Kirkpatrick
Menurut Kirkpatrick dalam Sudjana (2006)
evaluasi terhadap efektivitas program pelatihan
mencakup empat level evaluasi, yaitu Reaction,
Learning, Behaviour dan Result.
a. Evaluating Reaction
Mengevaluasi terhadap reaksi peserta pelatihan
berarti mengukur kepuasan peserta (customer
satisfaction). Program pelatihan dianggap efektif
apabila proses pelatihan dirasa menyenangkan
dan memuaskan bagi peserta pelatihan sehingga
mereka tertarik termotivasi untuk belajar dan
36
berlatih. Dengan kata lain peserta pelatihan akan
termotivasi apabila proses pelatihan berjalan
secara memuaskan bagi peserta yng pada
akhirnya akan memunculkan reaksi dari peserta
yang menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta
tidak merasa puas terhadap proses pelatihan
yang diikuti maka mereka tidak akan termotivasi
untuk mengikuti pelatihan lebih lanjut. Dengan
demikian dapat dimaknai bahwa keberhasilan
proses kegiatan pelatihan tidak terlepas dari
minat, perhatian dan motivasi peserta pelatihan
dalam mengikuti jalannya kegiatan pelatihan.
Orang akan belajar lebih baik manakala mereka
memberi reaksi positif terhadap lingkungan
belajar. (Sujana, 2006).
b. Evaluating Learning
Menurut Kirkpatrick (1988) ‘learning can be
defined as the extend to which participants change
attitudes,improving knowledge, and/or increase
skill as a result of attending the program.’ Ada tiga
hal yang dapat instruktur ajarkan dalam program
pelatihan, yaitu pengetahuan, sikap maupun
ketrampilan. Peserta pelatihan dikatakan telah
belajar apabila pada dirinya telah mengalami
perubahan sikap, perbaikan pengetahuan
maupun peningkatan ketrampilan. Tanpa adanya
perubahan sikap, peningkatan pengetahuan
maupun perbaikan ketrampilan pada peserta
pelatihan maka program dapat dikatakan gagal.
37
Penilaian evaluating learning ini ada yang
menyebut dengan penilaian hasil (output) belajar.
c. Evaluating Behaviour
Evaluasi tingkah laku ini berbeda dengan
evaluasi terhadap sikap. Dalam evaluasi
penilaian sikap difokuskan pada perubahan
sikap yang terjadi pada saat kegiatan pelatihan
dilakukan sehingga lebih bersifat internal,
sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan
pada perubahan tingkah laku setelah peserta
kembali ke tempat kerja. Apakah perubahan
sikap yang terjadi setelah mengikuti pelatihan
juga akan diimplementasikan setelah peserta
kembali ke tempat kerja, sehingga penilaian
tingkah laku ini lebih bersifat eksternal (Sudjana
2006).
d. Evaluating Result
Evaluasi hasil ini difokuskan pada hasil akhir
(final result) yang terjadi karena peserta telah
mengikuti suatu program. Termasuk dalam
kategori hasil akhir dari suatu program pelatihan
diantaranya adalah kenaikan produksi,
peningkatan kualitas, penurunan biaya,
penurunan kuantitas terjadinya kecelakaan
kerja, penurunan turnover dan kenaikan
keuntungan. Beberapa program mempunyai
tujuan meningkatkan moral kerja maupun
membangun teamwork yang lebih baik. Dengan
38
kata lain adalah evaluasi terhadap impact kerja
(Sudjana, 2014).
D. Evaluasi Model Stake (Model Coutenance)
Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan
dalam evaluasi, yaitu description dan judgement dan
membedakan adanya tiga tahap dalam program
pelatihan, yaitu antecedent (context), transaction
(process) dan outcomes. Stake mengatakan bahwa
apabila kita menilai suatu program pelatihan, kita
melakukan perbandingan yang relatif antara program
dengan program yang lain, atau perbandingan yang
absolut yaitu membandingkan suatu program dengan
standar tertentu. Penekanan yang umum atau hal yang
penting dalam model ini adalah bahwa evaluator yang
membuat penilaian tentang program yang dievaluasi.
Stake mengatakan bahwa description di satu pihak
berbeda dengan judgement di lain pihak. Dalam model
ini antecendent (masukan), transaction (proses) dan
outcomes (hasil) data dibandingkan tidak hanya untuk
menentukan apakah ada perbedaan antara tujuan
dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga
dibandingkan dengan standar yang absolut untuk
menilai manfaat program (Tayibnapis, 2000).
2.4.6 Langkah-langkah Evaluasi Program
Secara umum evaluasi program dilaksanakan
melalui tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap
pelaksanaan dan tahap monitoring pelaksanaan. Pada
tahap persiapan seorang evaluator harus melakukan
penyusunan desain evaluasi, penyusunan instrumen
39
evaluasi, validasi instrumen evaluasi, menentukan
jumlah sampel, dan penyamaan persepsi
antarevaluator sebelum pengambilan data. Pada tahap
pelaksanaan seorang evaluator memilih jenis evaluasi
program apa yang akan dilakukan. Ada empat jenis
evaluasi program yaitu evaluasi reflektif, evaluasi
rencana, evaluasi proses dan evaluasi hasil. Sedangkan
pada tahap pemantauan atau monitoring pelaksanaan
evaluasi, seorang evaluator sebaiknya menentukan
sasaran, teknik dan alat, pelaku yang terlibat dalam
pemantauan serta perencanaan pemantaunnya
(Suharsimi, 2012: 106)..
2.5 Hasil Kajian yang Relevan
Hasil penelitian Adri Margono (2007), Evaluasi
Pelaksanaan Program Pendidikan dan Pelatihan
Peningkatan Kompetensi Guru SMK Mata Pelajaran
Bimbingan Konseling di LPMP DIY, menyatakan bahwa
pelaksanaan diklat tergolong baik, dibuktikan dengan
para pengajar telah membuat persiapan mengajar,
penilaian dari responden untuk pengajarnya baik dan
pengelolaan diklat juga tertangani dengan baik.
Meskipun hasil dari pretest belum ditinjaklanjuti,
namun sekitar 80% responden menyatakan bahwa baik
untuk tingkat efektivitas pengelolaan dan
penyelenggaraan diklat tersebut.
Wasimin (2009), dari hasil studinya tentang
Pemberdayan Guru Bahasa Inggris Pada Sekolah
Menengah Kejuruan Rintisan Sekolah Bertaraf
40
Internasional (SMK-RSBI) Di Indonesia, menerangkan
bahwa: (1) kedua lembaga pelatihan telah memiliki
komitmen yang baik terkait dengan pemberdayaan
tenaga pendidik/guru, termasuk guru bahasa Inggris
SMK-RSBI, baik scara konseptual maupun
operasionalnya, (2) pelatihan dalam rangka
pemberdayaan guru bahasa Inggris masih bersifat
parsial dan temporer, (3) kepemilikan empat
kompetensi yang harus dimiliki guru bahasa Inggris
SMK-RSBI belum terwujud, (4) diperlukan
pengembangan model pemberdayaan guru bahasa
Inggris SMK-RSBI yang lebih baik.
Hasil penelitian dari Sumardi (2009), Efektivitas
Program Revitalisasi MGMP Bahasa Inggris Sebagai
Media Pembinaan Profesionalisme Guru, menyatakan
bahwa (1) adanya reaksi positif setiap peserta terhadap
implementasi program revitalisasi MGMP telah
mempengaruhi tingkat penguasan pengetahuan dan
ketrampilan yang dikuasai peserta, (2) penguasaan
pengetahuan dan ketrampilan tidak serta merta
membawa dampak yang signifikan terhadap kualitas
proses pembelajaran yang dilakukan oleh peserta
program revitalisasi MGMP, (3) secara keseluruhan
implementasi program revitalisasi MGMP telah mampu
meningkatkan wacana pengetahuan dan ketrampilan
peserta tentang landasan filosofis dan teoritis
pembelajaran bahasa Inggris, (3) kurangnya motivasi
sebagian peserta mengakibatkan praktik pembelajaran
yang dilakukan tidak banyak berubah, sehingga hal ini
mengindikasikan bahwa MGMP belum mampu secara
41
efektif dan optimal dalam menjalankan peran dan
fungsinya sebagai media pembinaan dan
pengembangan profesionalisme guru.
Hacer H. Uysal ( 2012), hasil studinya tentang
„Evaluation of an In-service Training Program for Primary-
school Language Teachers in Turkey,‟ menyatakan
bahwa „Findings indicate that although the teachers’
attitudes are positive towards the course in general, the
program has limitations especially in terms of its
planning and evaluation phases, and its impact on
tecahers’ practices.‟ Artinya adalah hasil temuan
mengindikasikan bahwa meskipun secara umum sikap
guru positif terhadap pelatihan, program pelatihan
mempunyai keterbatasan terutama dalam hal
perencanaan dan tahap evaluasi, dan pengaruhnya
pada praktek guru.
Sedangkan hasil studi dari Herlina Wati (2011)
tentang „The Effectiveness Of Indonesian English
Teachers Training Programs In Improving Confidence And
Motivation,‟ menyatakan bahwa „The research findings
revealed that English language training program was
highly effective in terms of overall effectiveness and in
improving teachers’ confidence and motivation as EFL
teachers. But in terms of improving the basic English
knowledge as the most important aspect for being
effective EFL teachers was still not effective yet. This
aspect becomes the essential needs of teachers for
attending the next training program as stated by the
42
majority of teachers that they need basic English
knowledge must be given early in the training program.
Artinya adalah hasil temuan dari penelitian ini
menyatakan bahwa program pelatihan bahasa Inggris
adalah secara keseluruhan sangat efektif dan
meningkatkan motovasi dan kepercayaan guru sebagai
guru bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Tetapi
dalam hal peningkatan pengetahuan dasar bahasa
Inggris sebagai aspek yang paling penting untuk
menjadi guru bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang
efektif ternyata masih belum efektif. Aspek ini menjadi
kebutuhan yang esensiil bagi guru untuk hadir pada
program pelatihan berikutnya seperti ditetapkan oleh
sebagian besar guru bahwa mereka memerlukan
pengetahuan dasar bahasa Inggris yang harus
diberikan pada awal program pelatihan.
2.6 Kerangka Pikir
Penelitian ini adalah penelitian evaluasi yang
ditujukan untuk menilai program pelatihan
peningkatan kompetensi guru bahasa Inggris SMP
melalui pemberdayaan MGMP Kabupaten Kendal tahun
2013. Didasarkan pada pengertian bahwa pelatihan
yang dilaksanakan secara terencana dan terprogram
sesuai dengan kebutuhan peserta pelatihan dapat
meningkatkan kualitas guru dalam mengajarnya, yang
pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa.
43
Perlunya evaluasi program pelatihan adalah
untuk mendapatkan informasi di lapangan mengenai
dampak suatu program pelatihan terhadap
peningkatan kompetensi guru, prsetasi belajar siswa,
dan sejauh mana pelatihan dapat dilaksanakan dan
mengetahui masalah pembelajaran yang dihadapi guru
di sekolah. Selain itu dengan evaluasi dapat diketahui
sejauh mana tujuan pelatihan yang telah ditetapkan
dapat tercapai sesuai dengan rencana dan untuk
meningkatkan kualitas pelaksanaan program pelatihan
berikutnya supaya lebih efektif dan efisien.
Kebutuhan peserta, program pelatihan, tim
pelaksana, proses pelatihan, ketersediaan sarana
prasarana dan biaya yang dibutuhkan merupakan
faktor yang sangat penting untuk merealisasikan hasil
pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuan
guru dalam mengajar sehingga prestasi belajar siswa
meningkat.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka dalam
evaluasi program pelatihan peningkatan kompetensi
guru bahasa Inggris SMP melalui pemberdayaan MGMP
Kabupaten Kendal pada tahun 2013 ini dikembangkan
dengan model context, input, process dan product (CIPP).
Secara garis besar yang layak dicermati dalam evaluasi
implementasi program pelatihan dengan menggunakan
pendekatan CIPP dapat diilustrasikan dengan gambar
sebagai berikut:
44
Gambar 2 Kerangka Pikir Penelitian
Penilaian Context
Manfaat
dan
relevansi program
pelatihan
dengan
kebutuha
n guru
Penilaian Input
Program
pelatihan,
Tim
Pelaksana pelatihan,
Sarana
prasarana,
Pembiayaan
Penialain Process
Persiapan
pelatihan,
Proses
pelatihan
Penialaian Product
Prestasi
hasil
belajar
dan
kinerja guru
peserta pelatihan
PELATIHAN
PENINGKATAN
KOMPETENSI GURU
BAHASA INGGRIS SMP
MELALUI
PEMBERDAYAAN
MGMP REKOMENDA
SI
EVALUASI
PPROGRAM MODEL
CIPP
EFEKTI
F
PERLU REVISI
DILANJUTKAN