bab ii kajian pustaka - sinta.unud.ac.id 2.pdfpersalinan ekstrim preterm (extremely preterm), yaitu...

38
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Persalinan Preterm 2.1.1 Definisi persalinan preterm Menurut definisi WHO, persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara umur kehamilan 20 minggu sampai dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau 259 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir. Menurut Himpunan Kedokteran Fetomaternal (POGI) di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu (Mochtar, 2009). Berdasarkan The American Academy of Pediatrics and the Americans College of Obstrecians, indikator yang sering dipakai untuk mengetahui awal terjadinya persalinan adalah kontraksi uterus dengan frekuensi paling sedikit 4 kali setiap 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit dan disertai perubahan serviks yang progressif, dilatasi serviks > 1 cm dan penipisan > 80% (Cunningham dkk, 2010). Pada penelitian ini, diagnosis persalinan preterm berdasarkan prosedur tetap (protap) tahun 2003 yang berlaku di Lab / SMF Obstetri Ginekologi Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar.

Upload: phamkhanh

Post on 03-Aug-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Persalinan Preterm

2.1.1 Definisi persalinan preterm

Menurut definisi WHO, persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi

antara umur kehamilan 20 minggu sampai dengan usia kehamilan kurang dari 37

minggu atau 259 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir. Menurut Himpunan

Kedokteran Fetomaternal (POGI) di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa

persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37

minggu (Mochtar, 2009).

Berdasarkan The American Academy of Pediatrics and the Americans

College of Obstrecians, indikator yang sering dipakai untuk mengetahui awal

terjadinya persalinan adalah kontraksi uterus dengan frekuensi paling sedikit 4

kali setiap 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit dan disertai perubahan serviks

yang progressif, dilatasi serviks > 1 cm dan penipisan > 80% (Cunningham dkk,

2010). Pada penelitian ini, diagnosis persalinan preterm berdasarkan prosedur

tetap (protap) tahun 2003 yang berlaku di Lab / SMF Obstetri Ginekologi Rumah

Sakit Umum Sanglah Denpasar.

9

2.1.2 Insiden persalinan preterm

Angka kejadian persalinan preterm berbeda pada setiap Negara. Di negara

berkembang angka kejadiannya masih jauh lebih tinggi dibandingkan negara

maju. Di Eropa,angkanya berkisar 5-11%, USA 11,9%, Australia sekitar 7%. Di

India sekitar 30%, Afrika Selatan sekitar 15%, Malaysia 10%, di Indonesia sendiri

angka kejadian persalinan preterm nasional belum ada, namun angka kejadian

BBLR dapat mencerminkan angka kejadian persalinan preterm secara kasar.

Angka kejadian BBLR nasional rumah sakit adalah 27,9% (Widjayanegara,

2009). Sedangkan angka kejadian persalinan preterm di beberapa Rumah Sakit

pemerintah pada tahun-tahun terakhir menunjukkan persentasi yang bervariasi. Di

RSU Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar periode 1 Juli 2000 sampai 31 Juli 2003

dari 1171 persalinan didapatkan sebanyak 86 kasus persalinan preterm (7,3%)

(Suhartini, 2004). Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2001 tercatat

insiden persalinan preterm sebesar 6,7% (Santoso, 2002). Dan berdasarkan data

persalinan yang tercatat di bagian SMF Obstetri Ginekologi RSU Sanglah

Denpasar terdapat sebanyak 852 kasus persalinan preterm (9,12%) terhitung

sejak tahun 2008 hingga bulan Oktober tahun 2011.

2.1.3 Klasifikasi Persalinan Preterm

Menurut kejadiannya, persalinan preterm digolongkan menjadi :

(Widjayanegara, 2009 ; Moutquin, 2003)

1. Idiopatik/Spontan

10

Sekitar 50% penyebab persalinan preterm tidak diketahui, oleh karena itu

digolongkan pada kelompok idiopatik atau persalinan preterm spontan.

Termasuk kedalam golongan ini antara lain persalinan preterm akibat

persalinan kembar, poli hidramnion atau persalinan preterm yang didasari oleh

faktor psikososial dan gaya hidup. Sekitar 12,5% persalinan preterm spontan

didahului oleh ketuban pecah dini (KPD), yang sebagian besar disebabkan

karena faktor infeksi (korioamnionitis).

Saat ini penggolongan idiopatik dianggap berlebihan, karena ternyata setelah

diketahui banyak faktor yang terlibat dalam persalinan preterm, maka

sebagian besar penyebab persalinan preterm dapat digolongkan kedalamnya.

Apabila faktor-faktor penyebab lain tidak ada sehingga penyebab persalinan

preterm tidak dapat diterangkan, maka penyebab persalinan preterm ini

disebut idiopatik.

2. Iatrogenik/Elektif

Perkembangan teknologi kedokteran dan perkembangan etika kedokteran

menempatkan janin sebagai individu yang mempunyai hak atas kehidupannya

(Fetus as a Patient). Maka apabila kelanjutan kehamilan diduga dapat

membahayakan janin, janin akan dipindahkan kedalam lingkungan luar yang

dianggap lebih baik dari rahim ibunya sebagai tempat kelangsungan hidupnya.

Kondisi tersebut menyebabkan persalinan preterm buatan/iatrogenik yang

disebut juga sebagai elective preterm. Sekitar 25% persalinan preterm

termasuk kedalam golongan ini.

11

a. Keadaan ibu yang sering menyebabkan persalinan preterm adalah :

- Preeklamsi berat dan eklamsi,

- Perdarahan antepartum (plasenta previa dan solution plasenta),

- Korioamnionitis,

- Penyakit jantung yang berat atau penyakit paru atau ginjal yang berat.

b. Keadaan janin yang dapat menyebabkan persalinan preterm adalah :

- Gawat janin,

- Infeksi intrauterin,

- Pertumbuhan janin terhambat (IUGR),

- Isoimunisasi Rhesus.

Menurut usia kehamilannya, maka persalinan preterm digolongkan

menjadi : (Widjayanegara, 2009 ; Moutquin, 2003)

1. Persalinan preterm (preterm), yaitu usia kehamilan 32-36 minggu.

2. Persalinan sangat preterm (very preterm), yaitu usia kehamilan 28-32 minggu.

3. Persalinan ekstrim preterm (extremely preterm), yaitu usia kehamilan 20-27

minggu.

2.1.4 Faktor Risiko Persalinan Preterm

Sangat disayangkan jika hingga kini, sulit untuk menentukan secara dini

dan akurat seorang wanita hamil akan mengalami persalinan preterm. Bahkan

sistim skoring yang meliputi : jumlah kehamilan, status sosial ekonomi, umur

wanita saat hamil dan riwayat persalinan preterm/abortus, pernah dikembangkan

12

untuk menentukan wanita-wanita mana saja yang perlu mendapat pemantauan

lebih intensif. Tapi kenyataanya sistem ini belum dapat menurunkan insiden

persalinan preterm (Arias, 1993). Meskipun demikian ada beberapa faktor risiko

yang diketahui meningkatkan persalinan preterm yang dibagi dalam dua kriteria

(Hole, 2001), yaitu:

1. Kriteria Mayor :

a. Kehamilan ganda

b. Hidramnion

c. Anomali uterus

d. Pembukaan serviks ≥ 2 cm pada usia kehamilan > 32 minggu

e. Panjang serviks < 2,5 cm pada usia kehamilan > 32 minggu (dengan

TVS)

f. Riwayat abortus pada trimester II > 1x

g. Riwayat persalinan preterm sebelumnya

h. Operasi abdominal pada kehamilan preterm

i. Riwayat konisasi

j. Iritabilitas uterus

k. Penggunaan cocaine atau amfetamin

2. Kriteria Minor :

a. Penyakit-penyakit yang disertai demam

b. Riwayat perdarahan pervaginam setelah usia kehamilan 12 minggu

c. Riwayat pielonefritis

13

d. Merokok lebih dari 10 batang per hari

e. Riwayat abortus pada trimester II

f. Riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2x

Wanita hamil tergolong mempunyai risiko tinggi untuk terjadi persalinan

preterm jika dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor atau dua atau lebih

faktor risiko minor, atau ditemukan kedua faktor risiko (mayor dan minor).

2.1.5 Dampak Persalinan Preterm

Persalinan preterm merupakan masalah serius di bidang obstetri. 70%

kasus kematian perinatal/neonatal disebabkan oleh persalinan preterm (Hole dan

Tressler, 2001). Di Amerika Serikat 54% kematian bayi preterm terjadi pada umur

kehamilan kurang dari 32 minggu. Berbagai usaha telah dilakukan dalam

mempertahankan kelangsungan hidup bayi lahir prematur, terutama difokuskan

bagi bayi yang lahir setelah 28 minggu, dimana angka kelangsungan hidup akan

meningkat hingga 95% pada umur kehamilan 28 minggu (perempuan) dan 30

minggu (laki-laki) atau berat badan lahir diatas 1000 g (Cunningham dkk, 2010).

Bayi yang lahir preterm sering mendapat risiko yang berkaitan dengan

imaturitas sistem organnnya. Komplikasi yang sering timbul pada bayi yang lahir

sangat preterm adalah sindroma gawat nafas atau respiratory distress

syndrome(RDS), perdarahan otak atau intraventricular hemorrhage (IVH),

bronchopulmonary dysplasia (BPD), patent ductus arteriosus (PDA), necrotizing

enterocolitis (NEC), sepsis, apnea, dan retinopathy of prematurity (ROP)

14

(Iam,2002). Untuk jangka panjang, bayi yang lahir preterm mempunyai risiko

retardasi mental berat, cerebral palsy, kejang-kejang, kebutaan, dan tuli. Di

samping itu juga sering dijumpai gangguan proses belajar, gangguan adaptasi

terhadap lingkungannya, dan gangguan motoris (Iam, 2003).

Morbiditas dan mortalitas tersebut berhubungan erat dengan umur

kehamilan dan berat badan lahir. Makin besar umur kehamilannya dan berat

bayinya, makin menurun angka morbiditas dan mortalitasnya. Karena adanya

morbiditas jangka pendek dan jangka panjang tersebut di atas, maka akan dapat

menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa yang akan

datang. Selain itu perawatan bayi preterm juga membutuhkan tehnologi

kedokrteran yang canggih dan mahal. Mengingat penyulit - penyulit yang bisa

terjadi, tingginya biaya perawatan intensif bayi baru lahir dan pengelolaan

penyulit jangka panjang pada bayi yang lahir preterm tersebut, tindakan

pencegahan sebelum persalinan terjadi, akan memberikan hasil yang lebih

bermanfaat dan lebih menghemat biaya dibanding dengan apabila telah terjadi

persalinan (Iam, 2003).

2.1.6 Mekanisme Terjadinya Persalinan Preterm

Persalinan pada wanita melibatkan serangkaian peristiwa yang progresif

dimulai dengan aktivasi poros Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA) dan

peningkatan Corticotropin Releasing Hormone (CRH) plasenta. Hal ini

menimbulkan penurunan fungsi progesteron dan aktivasi estrogen yang kemudian

15

akan mengaktivasi Contraction Assosiated Proteins (CAPs) termasuk reseptor

oksitosin, oksitosin dan prostaglandin. Peristiwa biologis ini akan menyebabkan

pematangan serviks, kontraksi uterus, aktivasi desidua dan membrane janin serta

pada kala dua persalinan akan meningkatkan oksitosin ibu. Terdapat suatu

hipotesa tentang persalinan preterm dan aterm yang memiliki persamaan dan pada

persalinan patologis bisa berlangsung bersama – sama dengan proses persiapan

untuk persalinan fisiologis normal, terutama pada kehamilan di atas 32 minggu.

Sebelum usia 32 minggu, dibutuhkan stimulus patologis yang lebih besar untuk

memulai persalinan. Perbedaan mendasar antara persalinan spontan aterm dan

preterm adalah aktivasi fisiologis komponen-komponen pathway tersebut pada

persalinan aterm (physiologic activation), sedangkan pada persalinan preterm

berasal dari proses patologis yang mengaktivasi salah satu atau beberapa

komponen pathway tersebut (pathologic activation) (Romero, 2009).

Hingga saat ini pemicu awal persalinan preterm spontan masih belum bisa

dijelaskan secara pasti. Berdasarkan studi epidemiologi dan patofisiologi, terdapat

4 mekanisme yang mengatur terjadinya persalinan preterm (Handono, 2009 ;

Nesin, 2007 ; Esplin, 2005), yaitu :

1) Aktivasi dari poros hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) fetus maternal yang

dicetuskan oleh stress.

Pada janin dapat sebagai respon dari keadaan intra uterine yang tidak

bersahabat seperti aliran uteroplasenta tergangggu dan hipoksia. Stres pada

fetus dapat meningkatkan sekresi CRH, yang akan merangsang ekspresi

16

ACTH (Adrenocorticotropic hormone) pada organ pituitary janin dan produksi

kortisol serta androgen oleh organ adrenal janin. Senyawa androgen pada

janin kemudian diaromatisasi menjadi estrogen oleh plasenta. Hal ini akan

menyebabkan rangkaian proses biologis yang mengarah pada jalur umum

terjadinya proses persalinan,yang ditandai oleh terjadinya kontraksi uterus,

pematangan serviks dan aktivasi desidua janin (Challis, dkk.,2000).

2) Inflamasi dan infeksi.

Sumber infeksi yang telah dihubungkan dengan kelahiran preterm termasuk

infeksi intauterin (bertanggung jawab sampai 50% kelahiran preterm pada usia

kehamilan < 28 minggu), infeksi sistemik maternal, bakteriuria asimtomatik,

dan periodontitis maternal. Produk-produk bakteri merangsang produksi

sitokin proinflamasi ( IL-1,TNF, IL-6, dan IL-8) oleh sel- sel desidua. Sitokin-

sitokin ini, kemudian merangsang produksi prostaglandin oleh amnion dan

desidua. Prostaglandin bekerja melalui reseptor spesifik. Prostaglandin E2

(PGE2) menyebabkan kontraksi miometrium melalui pengikatan reseptor EP-

1 dan EP-3,yang menyebabkan kontraksi miometrium melalui mekanisme

peningkatan mobilisasi kalsium dan menurunkan tingkat produksi penghambat

cAMP intraseluler. Prostaglandin F2α (PGF2α) mengikat reseptor FP yang

menyebabkan kontaksi miometrium. Peningkatan prostaglandin pula dapat

disebabkan oleh infeksi intraamniotik maupun defisiensi enzim korio-desidual

yg memetabolisme prostaglandin E2 (hydroxyprostaglanin dehidrogenase).

Sitokin yang diproduksi selama infeksi dapat pula mengaktifkan ekspresi dari

17

matriks metalloproteinase dalam serviks dan desidua yang berperan dalam

degradasi matriks ekstraseluler, pecahnya selaput amnion, dan perubahan

serviks uteri. Keseluruhan proses tersebut menstimulasi terjadinya persalinan

preterm.

3) Trombosis uteroplasental dan perdarahan desidua.

Lesi vascular dari plasenta secara umum dikaitkan dengan kelahiran preterm.

Meskipun patofisiologinya belum jelas namun trombin dicurigai memiliki

peranan besar. Trombin adalah suatu protease multifaktorial yang merangsang

aktivitas kontraksi dari otot polos vaskuler, intestinal dan miometrium.

Trombin mengaktifkan sederetan reseptor yang unik termasuk protease-

activated receptor 1, protease-activated receptor 3 dan protease-activated

receptor 4. Reseptor-reseptor transmembran ini adalah bagian dari superfamili

protein heptahelical-G. Interaksi dengan trombin menghasilkan perubahan

konfirmasi yang menghasilkan pasangan G-protein dan aktivasi fosfolipase C.

Aktivasi Fosfolipase C mengawali reaksi biokimia yang berakhir pada

pelepasan kalsium intraseluler dari reticulum endoplasma. Kombinasi antara

pelepasan kalsium intraseluler dan influx kalsium ekstraseluler menyebabkan

osilasi sitosolik kalsium yang mengaktivasi kalmodulin, Myosin Light Chain

Kinase (MLCK), aktin dan myosin yang menghasilkan kontraksi uterus secara

fasik.

Pada perdarahan desidua, juga diasosiasikan dengan infiltrasi desidua oleh

netrofil dan merupakan sumber yang kaya akan protease dan matrik

18

metalloproteinase. Ini dapat menjadi dasar bagi mekanisme preterm rupture of

membrane yang selanjutnya menyebabkan persalinan preterm.

4) Peregangan uterus berlebihan.

Distensi uterus berlebihan memerankan peran kunci pada onset persalinan

preterm yang berhubungan dengan gestasional ganda, polihidramnion, dan

makrosomia. Peregangan uterus mengakibatkan ekspresi dari celah hubungan

protein, seperti Conexin-43 (CX-43) dan Conexin-26 (CX-26), seperti halnya

kontraksi yang berhubungan dengan protein lain seperti reseptor oksitosin.

Peregangan dari miometrium juga meningkatkan PGHS-2 dan PGE.

Peregangan dari otot segmen bawah rahim telah menunjukan peningkatan dari

IL-8 dan produksi kolagenase yang pada akhirnya akan memfasilitasi

pematangan serviks. Hal ini selanjutnya akan menstimulasi terjadinya

persalinan preterm.

19

Gambar 2.1 Pathway persalinan preterm dan mediator – mediatornya

(Elmer, 2009)

20

Beberapa studi yang lain juga menambahkan faktor kelainan pada uterus

atau serviks dan faktor fetus sebagai penyebab timbulnya persalinan preterm

(Krisnadi, 2009). Walaupun masih jarang, adanya jalur oksidatif pada persalinan

preterm mulai diteliti. Terdapat beberapa penelitian yang mengkaitkan

terbentuknya ROS dengan kejadian persalinan preterm melalui suatu mekanisme

yang mempengaruhi fungsi dari pompa ion kalsium yang dapat memicu terjadinya

kontraksi uterus sehingga pada akhirnya menyebabkan terjadinya persalinan

preterm (Warren dkk, 2005).

2.2 Radikal Bebas, Oksidan, dan Reaktif Oksigen Spesies (ROS)

2.2.1 Radikal bebas dan oksidan

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki sebuah elektron

yang tidak berpasangan di orbit luarnya (unpaired electron). Struktur yang

demikian membuat radikal bebas cenderung “mencuri” atau mengekstraksi satu

elektron dari molekul lain di dekatnya untuk melengkapi dan selanjutnya

mencetuskan reaksi berantai yang dapat mengakibatkan cedera sel. Terdapat 2

radikal bebas yang utama, yaitu ROS (Reaktif Oksigen Spesies) dan RNS (Reaktif

Nitrogen Spesies), dimana target utama dari radikal bebas itu sendiri adalah

protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk

karbohidrat (Agarwal dkk, 2005). Radikal bebas punya 2 sifat penting : 1).

bersifat sangat reaktif dan cenderung untuk bereaksi dengan molekul lain untuk

mencari pasangan elektronnya sehingga bentuk lebih stabil. 2). dapat mengubah

21

molekul menjadi radikal. Radikal bebas mirip dengan oksidan dalam sifatnya

sebagai penerima elektron (menarik elektron). Radikal bebas lebih berbahaya

daripada oksidan oleh karena reaktifitas yang tinggi dan kecenderungannya

membentuk radikal bebas yang baru (Arkhaesi, 2008).

Oksidan adalah senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu

senyawa yang dapat menarik elektron. Sering dibaurkan pengertian antara radikal

bebas dan oksidan, karena keduanya memiliki sifat-sifat yang sama yaitu

kecenderungan untuk menarik elektron (penerima elektron). Aktivitas keduanya

menghasilkan akibat yang sama walaupun prosesnya berbeda, oleh karena itu

radikal bebas digolongkan dalam oksidan, namun tidak setiap oksidan adalah

radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan oksidan yang

bukan radikal bebas, dikarenakan sifat radikal bebas memiliki reaktivitas tinggi

dan kecenderungan membentuk radikal yang baru sehingga terjadi reaksi rantai

(chain reaction) dan akan berhenti apabila dapat diredam (quenched) oleh

antioksidan (Arkhaesi, 2008).

2.2.2 Reaktif oksigen spesies (ROS)

Organisme aerobik memerlukan energi sebagai bahan bakar fungsi

biologis. Proses ini memerlukan ATP, di mana sumber utama ATP adalah melalui

proses oksidasi fosforilasi di dalam mitokondria. Selama proses ini, molekul

oksigen direduksi membentuk H2O, reaksi ini dikatalisasi oleh enzim sitokrome c

oksidase yang mana merupakan bagian dari bentuk reaksi rantai respirasi. 95%

22

dari mekanisme ini tanpa kerusakan, sedangkan 5% dari reaksi molekul oksigen

hanya tereduksi partial, yang memiliki peranan penting pada produksi ROS

(Slavic, dkk., 2006).

ROS merupakan produk normal yang dihasilkan pada metabolisme seluler

yang terdiri dari superoksida (O2⎯), radikal bebas hidroksil (OH-), hidrogen

peroksida (H2O2), serta radikal peroksil (RCOO-). ROS terus menerus dibentuk

dalam jumlah besar di dalam sel melalui jalur metabolik tubuh yang merupakan

proses biologis normal karena berbagai rangsangan (Kohen, dkk., 2002).

Sumber ROS dapat dibagi dua : 1) sumber endogenous misalnya dari sel

(netrofil), direct-producing ROS enzymes (NO synthase), indirect-producing ROS

enzymes (xanthin oxidase), metabolisme (mitokondria), serta penyakit (kelainan

metal, proses iskemia, infeksi, maupun inflamasi). 2) sumber eksogenous

misalnya iradiasi gamma, iradiasi UV, ultrasound, makanan, obat-obatan,

polutan, xenobiotik dan toksin (Kohen, dkk., 2002).

ROS memiliki efek menguntungkan dan efek merugikan. Dalam jumlah

yang tepat, ROS berperan sebagai tranduser signal fisiologis dan dikenal juga

sebagai secondary messengers dalam proses signaling intraselular. Secara

fisiologis, ROS akan mempengaruhi fungsi selular, menghentikan pertumbuhan,

bahkan memicu kematian sel terprogram (apoptosis) dari sel yang memang

dianggap bermasalah, seperti misalnya sel yang mengandung mikroorganisme

asing. Tetapi pada kadar ROS yang terlalu tinggi dapat menyebabkan proteksi

antioksidan berkurang secara cepat, berkurangnya jumlah ATP, menyebabkan

23

kerusakan membran sel, hilangnya homeostasis ion, perubahan pada reaksi

oksidasi selular, oksidasi DNA, denaturasi protein, lisis sel-sel saraf, dan

menginisiasi reaksi inflamasi, hingga menyebabkan kematian sel yang seharusnya

tidak terjadi (Burton & Jauniaux, 2011).

Secara umum ROS dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu

radikal dan nonradikal. Kelompok radikal yang sering dikenal dengan radikal

bebas mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit atomik

atau molekulernya. Elektron yang tidak berpasangan ini menunjukkan tingkat

reaktivitas tertentu pada radikal bebas. Kelompok nonradikal terdiri dari berbagai

bahan yang beberapa diantaranya sangat reaktif walaupun secara definisi bukan

radikal (Kohen & Nyska, 2002).

Tabel 2.1 Metabolit Radikal dan Nonradikal Oksigen

Radikal oksigen

Nama Simbol

Oksigen (Bi-radikal)

Ion Superoksida

Hidroksil

Peroksil

Alkoksil

Nitrit Oksida

O2-.

O2.

OH.

ROO.

RO.

NO.

24

Turunan nonradikal oksigen

Nama Simbol

Hidrogen Peroksida

Peroksida organik

Asam Hipoklorit

Ozon

Aldehid

Singlet oksigen

Peroksinitrit

H2O2

ROOH

HOCL

O3

HCOR/O2

ONOOH

Sumber : Kohen & Nyska, 2002

Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat singkat, karena setelah

terbentuk, komponen ini segera bereaksi dengan molekul lain. Waktu paruh ROS

dipengaruhi oleh lingkungan fisiologisnya, seperti pH dan adanya spesies lain.

Toksisitasnya tidak selalu sejalan dengan reaktivitas ROS. Pada umumnya, waktu

paruh yang panjang dapat mengakibatkan toksisitas yang lebih besar karena

memiliki waktu yang cukup untuk berdifusi dan mencapai lokasi yang sensitif,

kemudian ROS yang terbentuk akan berinteraksi dan menyebabkan kerusakan di

tempat yang jauh dari tempat produksinya. Sebaliknya, ROS yang sangat reaktif

dengan waktu paruh yang pendek, misalnya OH•, menyebabkan kerusakan

langsung di tempat produksinya. Jika tidak ada target biologis penting di sekitar

tempat produksinya, radikal tidak akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Untuk

mencegah interaksi antara radikal dan target biologisnya, antioksidan harus ada di

25

lokasi produksi untuk bersaing dengan radikal dan berikatan dengan bahan

biologis (Kohen & Nyska, 2002).

Molekul oksigen memiliki konfigurasi elektron yang unik dan molekul ini

sendiri merupakan bi-radikal karena memiliki dua elektron tidak berpasangan

pada dua orbit yang berbeda. (Kohen & Nyska, 2002). Penambahan satu elektron

pada dioksigen akan membentuk radikal superoksid (O2•¯ ). Peningkatan anion

superoksida terjadi melalui proses metabolik atau setelah aktivasi oksigen oleh

radiasi (ROS primer) dan dapat bereaksi dengan molekul lain untuk membentuk

ROS sekunder baik secara langsung maupun melalui proses enzimatik atau

katalisis metal. Radikal superoksid sendiri dihasilkan dari reaksi fosforilasi

oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria (1-5% oksigen keluar dari jalur

ini dan mengalami reduksi univalent membentuk radikal superoksid). Di samping

itu juga, bisa dihasilkan melalui sistem oksidase NADPH-dependen, yang jika

teraktivasi misalnya oleh bakteri, mitogen atau sitokin, akan mengkatalisis reaksi

reduksi mendadak dari oksigen menjadi hidrogen peroksida dan O2- (Valko, dkk.,

2005).

Pada pH fisiologis, superoksid ditemukan dalam bentuk ion superoksid

(O2•¯) sedangkan pada pH rendah ditemukan sebagai hidroperoksil (HO2).

Hidroperoksil lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran biologis. Dalam

keadaan hidrofilik, kedua substrat tersebut dapat berperan sebagai bahan

pereduksi, namun kemampuan reduksi HO2 lebih tinggi. Dalam larutan organik,

kelarutan O2•¯ lebih tinggi dan kemampuannya sebagai pereduksi meningkat.

26

Reaksi terpenting dari radikal superoksid adalah dismutasi, dimana 2 radikal

superoksid akan membentuk Hidrogen peroksida (H2O2) dan O2 dengan bantuan

enzim superoksid dismutase maupun secara spontan (Kohen & Nyska, 2002).

Hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan sel pada konsentrasi

yang rendah (10µM), karena mudah larut dalam air dan mudah melakukan

penetrasi ke dalam membran biologis. Efek buruk kimiawinya dapat dibedakan

menjadi 2, yaitu efek langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak

langsung, akibat bahan lain yang dihasilkan dari H2O2, seperti OH• dan HClO.

Efek langsung H2O2 seperti degradasi protein Haem, pelepasan besi, inaktivasi

enzim, oksidasi DNA, lipid, kelompok -SH dan asam keto (Kohen & Nyska,

2002).

Radikal hidroksil memiliki reaktivitas yang sangat tinggi (107-109 m-1s-1),

waktu paruh yang singkat dan daya ikat yang sangat besar terhadap molekul

organik maupun anorganik, termasuk DNA, protein, lipid, asam amino, gula, dan

logam (Kohen & Nyska, 2002).

Metal transisi juga merupakan radikal. Di dalam tubuh, tembaga dan besi

merupakan metal transisi yang terbanyak dan ditemukan dalam konsentrasi yang

tinggi. Kedua logam ini berperan penting dalam Reaksi Fenton dan Haber-Weiss.

Sebenarnya semua ion logam yang terikat pada permukaan protein, DNA atau

makromolekul lain dapat berpartisipasi dalam reaksi ini. Logam yang tersembunyi

di dalam protein, seperti dalam catalytic sites dan sitokrom atau kompleks

simpanan tidak terpapar oksigen atau tetap berada dalam keadaan oksidasi

27

sehingga tidak berperan dalam reaksi ini. Dalam reaksi Fenton, Ion Ferro (Fe+2)

bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) membentuk ion ferri (Fe+3) dan

radikal hidroksil (OH•). Reaksi Haber-Weiss merupakan reaksi antara radikal

superoksid (O2•¯) dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang kemudian

menghasilkan oksigen (O2) dan radikal hidroksil (OH•). Adanya logam transisi

inilah yang dapat menerangkan mekanisme kerusakan in vivo yang ditimbulkan

oleh radikal hidroksil (Kohen & Nyska, 2002).

Pada persalinan spontan pervaginam sangat erat kaitannya dengan

timbulnya kontraksi uterus yang terkoordinasi untuk membantu pengeluaran fetus

dari jalan lahir. Pada beberapa kasus, kontraksi dapat menyebabkan timbulnya

Gambar 2.2 Kerusakan Akibat Reaktif Oksigen Spesies.

(Kohen & Nyska, 2002)

28

kompresi dari suplai darah ke uterus. Episode alamiah tersebut merupakan proses

awal terbentuknya ROS. Di sisi lain, miometrium manusia tidak hanya

membentuk ROS, namun juga menciptakan sistem pertahanan antioksidan yang

dapat meminimalisir efek destruktif potensial dari ROS tersebut (Jauniaux, 2011).

2.3 Antioksidan

Antioksidan secara kimia adalah semua senyawa yang mampu

memberikan elektron (electron donor). Disebut antioksidan karena zat tersebut

dapat melawan proses oksidasi. Zat-zat ini melindungi bahan kimia lain dari

reaksi oksidasi yang dapat merusak sel. Dalam arti biologis, antioksidan

mempunyai pengertian yang luas yaitu semua senyawa yang dapat meredam

dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein pengikat logam.

Dalam meredam efek negatif dari oksidan dilakukan dengan dua cara yaitu 1)

mencegah terjadinya dan tertimbunnya senyawa oksidan secara berlebihan, 2)

mencegah terjadinya reaksi rantai yang berkelanjutan. Bertitik tolak pada dua cara

kerjanya tersebut, antioksidan digolongkan menjadi antioksidan pencegah dan

antioksidan pemutus reaksi rantai. Pengelompokan antioksidan yang lain adalah

berdasarkan mekanisme proteksi endogen terhadap radikal bebas (Kohen &

Nyska, 2002), yaitu:

1. Mekanisme antioksidan enzimatik

Superoksid dismutase (SOD), merupakan enzim yang mengkatalisis

radikal superoksid (O2ˉ) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan

29

oksigen (O2). Terdapat beberapa jenis SOD, seperti Copper-Zinc-SOD

(Cu-Zn-SOD) yang terdapat di dalam sitosol terutama di lisosom dan

nukleus, mangan-SOD (Mn-SOD) yang terdapat di dalam mitokondria,

ekstraseluler SOD (EC-SOD) dan besi-SOD (Fe-SOD) yang hanya

ditemukan pada tumbuhan. Radikal superoksid dapat mengalami

dismutasi secara spontan maupun dengan bantuan SOD membentuk

H2O2. Dengan adanya SOD, kecepatan dismutasi meningkat lebih dari

1000 kali lipat dibandingkan dismutasi spontan.

Enzim SOD akan merubah superoksid menjadi H2O2 :

2O2ˉ + 2H+ SOD O2 + H2O2

Catalase (CAT), ditemukan pada hampir seluruh organ tubuh, namun

terutama terkonsentrasi di hati. Di dalam sel, catalase ditemukan di

dalam peroksisom. Fungsinya untuk mengkatalisis H2O2 menjadi H2O

dan O2. Kapasitas reduksi catalase tinggi pada suasana H2O2

konsentrasi tinggi, sedangkan pada konsentrasi rendah kapasitasnya

menurun (Miwa dkk, 2008). Hal ini disebabkan karena catalase

memerlukan reaksi dua molekul H2O2 dalam proses reduksinya,

sehingga hal ini lebih jarang ditemukan pada konsentrasi substrat

rendah. Pada konsentrasi H2O2 rendah seperti yang dihasilkan dari

proses metabolisme normal, peroxiredoksin (PRX) yang berfungsi

untuk mengikat H2O2 dan mengubahnya menjadi oksigen dan air.

Katalase akan merubah H2O2 menjadi air dan oksigen :

30

2 H2O2 CAT H2O + O2

Glutathione peroxidase (GPx), merupakan seleno-enzim yang pertama

kali ditemukan pada mamalia. Kadarnya tinggi pada ginjal, liver, dan

darah, sedang pada lensa dan eritrosit, dan rendah pada alveoli dan

plasma darah. Enzim ini memerlukan glutathione sebagai donor

substrat untuk mengikat H2O2 maupun hidroperoksida organik

(ROOH) untuk menghasilkan glutathione disulphide (GSSG), air dan

bentuk hidroksi dari bahan organik tersebut (ROH).

Glutation peroksidase akan merubah H2O2 menjadi air dan glutation

disulfida (GSSG) :

H2O2 + 2 GSH GPx 2 H2O + GSSG

2. Mekanisme antioksidan non enzimatik

Antioksidan nonenzimatik ada yang larut dalam lemak dan yang larut

dalam air. Antioksidan nonenzimatik bekerja langsung berikatan dengan

radikal bebas sehingga mengurangi reaktifitasnya. Beta karoten dan

vitamin E adalah antioksidan yang larut dalam lemak sedangkan asam

askorbat, asam urat dan glutation larut dalam air.

Adanya radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh dan terbentuknya ROS,

sebenarnya merupakan proses fisiologis. Bila terjadi peningkatan radikal bebas,

tubuh akan berusaha untuk mengatasi situasi ini dengan memproduksi sejumlah

antioksidan untuk pertahanan yang lebih dikenal sebagai counteracting

antioxidant defences. Tetapi apabila keseimbangan tersebut terganggu dalam

31

artian oksidan atau radikal bebas diproduksi dalam jumlah yang melebihi

kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan maka akan terjadi suatu

keadaan yang disebut sebagai stres oksidatif yang selanjutnya akan diikuti

perusakan jaringan (Kohen & Nyska, 2002).

2.4 Peran Stres Oksidatif Terhadap Persalinan Preterm

Ketidakseimbangan antara prooksidan dengan antioksidan akan

menimbulkan suatu keadaan yang disebut sebagai stres oksidatif (Eberhardt,

2001). Hal ini terjadi dalam sistem biologis akibat produksi ROS atau RNS yang

berlebihan maupun akibat defisiensi antioksidan enzimatik dan non-enzimatik.

Stres oksidatif akan menimbulkan kerusakan biologis yang dapat merusak lipid

seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel (Kohen &

Nyska, 2002).

Pada kehamilan, stres oksidatif ditenggarai memiliki peran dalam

patofisiologi berbagai komplikasi kehamilan seperti keguguran, preeklamsia, intra

uterine growth restriction (IUGR), dan premature rupture of membrane

(PPROM) (Burton & Jauniaux, 2011). Walaupun masih jarang, adanya jalur

oksidatif pada persalinan preterm mulai diteliti. Disebutkan jika terdapat

keseimbangan antara produksi ROS dengan antioksidan maka tidak akan

terbentuk stress oksidatif, sehingga proses kehamilan dapat berjalan sebagai

mestinya. Namun pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar ROS tanpa

disertai mekanisme pertahanan antioksidan yang adekuat maka akan memicu

32

terjadinya stres oksidatif yang berujung pada kerusakan sel dan penyakit

(Eberhardt, 2001). Dibandingkan dengan keadaan tidak hamil, pada saat

kehamilan terdapat peningkatan produksi radikal bebas, dan pada persalinan

preterm dikatakan produksinya lebih banyak lagi. Sumber radikal bebas dan stres

oksidatif yang terbesar pada kehamilan dipercaya berasal dari stres oksidatif yang

terjadi di plasenta, terutama mitokondria plasenta (Little, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Cherouny,dkk (1989), ditemukan bahwa

pemberian H2O2 sebagai ROS pada tikus dapat memicu kontraksi uterus akibat

meningkatnya pelepasan prostaglandin (PGE2 dan PGF2). Pada penelitian yang

sama, tikus juga di beri butylated hydroxyl anisole (BHA) sebagai antioksidan dan

terbukti dapat menurun kontraksi otot uterus dan kadar prostaglandin

dibandingkan dengan kelompok tanpa pemberian antioksidan.

PGF-2α bertanggung jawab terhadap kontraksi miometrium sedangkan

PGE-2 menurunkan resistensi jaringan servik, merupakan dua proses yang penting

dalam kemajuan persalinan. PGF-2α bersama-sama estrogen bekerja pada

miometrium meningkatkan pembentukan gap junction dan reseptor oksitosin.

Sekali mekanisme tersebut terjadi maka akan terjadi penjalaran depolarisasi antar

sel yang akan menyebabkan peningkatan kadar kalsium di dalam sel. Ion kalsium

di dalam sel akan berperan pada Calmodulin membentuk Ca-Calmodulin

mengaktifkan enzim Myosin Light Chain Kinase (MLCK) yang berperan pada

proses fosforilasi dari myosin yang bila berinteraksi dengan actin akan

33

menyebabkan pemendekan dari serat otot sehingga terjadi kontraksi miometrium

(Cunningham dkk, 2010).

Pada studi lainnya dari Matsumoto, dkk (1990), menemukan kaitan antara

keberadaan SOD dan CAT sebagai sistem pertahanan untuk mencegah

peningkatan produksi dari anion superoksida (O2-) di dalam miometrium manusia.

Anion superoksida dikatakan memiliki peran langsung dalam menyebabkan

terjadinya kontraksi pada uterus manusia melalui peningkatan kalsium (Ca2+)

intraselular. kalsium ini dilepaskan dari retikulum endoplasma serta tempat

penyimpanan lainnya. Konsentrasi kalsium dalam lumen Retikulum Endoplasma

lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya dalam sitosol. Konsentrasi ini

dipertahankan oleh mekanisme pompa kalsium ATPase yang terdapat pada sarko

dan retikulum endoplasma. Pada saat terjadi peningkatan stres oksidatif, ROS

akan memicu pelepasan kalsium dari membran reticulum endoplasma, melalui

reseptor inositol-1,4,5,triphospat (IP3R) dan reseptor ryanodine (Jauniaux, 2011).

Sedangkan hidrogen peroksida (H2O2) yang merupakan salah satu ROS

non radikal yang sangat reaktif, yang dihasilkan pada metabolisme seluler pun

memiliki peran dalam kontraksi miometrium. H2O2 dikatakan memiliki efek

lanjutan pada banyak sel target yang meliputi channels ion membrane. Penelitian

oleh Warren, dkk (2005) menyebutkan bahwa H2O2 memicu peningkatkan influx

Ca2+ sehingga menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler [Ca2+]i yang

kemudian akan mengaktivasi calcium calmodulin (Ca2+ CALM). Calcium

calmodulin akan mengaktivasi myosin light chain kinase (MLCK), yang

34

selanjutnya memodulasi terjadinya reaksi actin-myosin yang menyebabkan

kontraksi otot miometrium (Cunningham dkk, 2010). Mekanisme tersebut diatas

yang menjadi dasar terjadinya kontraksi miometrium pada persalinan preterm

spontan yang berkaitan dengan ROS.

2.5 Peroksidasi lipid

2.5.1 Pembentukan peroksidasi lipid

Peroksidasi lipid merupakan proses yang terjadi ketika radikal bebas

berinteraksi dengan polyunsaturated fatty acids (PUFA) pada membran sel dan

lipoprotein pada plasma. PUFA lebih rentan terhadap reaksi radikal bebas

dibandingkan asam lemak jenuh. Hal ini disebabkan karena PUFA memiliki

Gambar 2.3 Mekanisme relaksasi dan kontraksi pada jaringan miometrium

(Cunningham dkk. 2010)

35

jembatan metilen yang mengandung hidrogen reaktif yang merupakan sasaran

utama bagi radikal bebas. Peningkatan produksi radikal bebas akan menyebabkan

peningkatan peroksidasi lipid (Winarsi, 2007).

Peroksidasi lipid terjadi melalui reaksi enzimatik maupun non enzimatik

melibatkan spesies kimia aktif yang dikenal sebagai reactive oxygen species

(ROS), yang bertanggung jawab terhadap efek toksik pada tubuh melalui berbagai

kerusakan jaringan. Mekanisme yang memicu peroksidasi lipid sangat kompleks.

Terdapat tiga mekanisme berbeda yang dapat memicu peroksidasi itu, yaitu

(Wikipedia, 2012) :

1. Autooksidasi atau oksidasi non enzimatik termediasi radikal bebas.

Terjadi melalui mekanisme berantai, dimana satu radikal bebas dapat

memicu oksidasi banyak molekul lemak. Proses ini melibatkan tiga tahapan

yaitu ; inisiasi, propagasi, dan terminasi.

a. Tahap inisiasi

Pada tahap ini dimulainya produksi asam lemak radikal. Dimana terjadi

reaksi radikal bebas, umumnya ROS (OH dan HO2) terhadap atom

hidrogen partikel lemak dan menghasilkan air (H2O) dan asam lemak

radikal.

b. Tahap propagasi

Asam lemak radikal yang dihasilkan dari proses inisiasi bersifat sangat

tidak stabil dan mudah bereaksi dengan molekul oksigen dan akan

menghasilkan suatu asam lemak radikal peroksil. Bahan ini juga ternyata

36

bersifat tidak stabil dan kemudian bereaksi dengan asam lemak bebas

lainnya untuk menghasilkan asam lemak radikal yang baru dan lipid

peroksida atau peroksida siklik bila bereaksi dengan dirinya sendiri. Siklus

ini berlanjut sedemikian rupa hingga memasuki tahap terminasi.

c. Tahap terminasi

Ketika suatu radikal bereaksi dengan non radikal maka akan menghasilkan

suatu radikal baru. Proses ini dinamakan dengan mekanisme reaksi rantai.

Reaksi radikal akan berhenti bila terdapat dua radikal yang saling bereaksi

dan menghasilkan suatu spesies non radikal. Hal ini hanya dapat terjadi

ketika konsentrasi spesies radikal sudah sedemikian tingginya sehingga

memungkinkan dua spesies radikal untuk saling bereaksi.

Gambar 2.4 Tahapan autooksidasi lipid

(Wikipedia, 2012)

37

2. Foto oksidasi atau oksidasi non enzimatik tidak termediasi radikal bebas

Merupakan proses peroksidasi lipid oleh karena adanya oksigen tunggal

dan ozon yang memfasilitasi pancaran energi seperti ultraviolet, dan

menghasilkan perubahan yang umumnya berupa pemisahan atau pengurangan

berat molekul. Proses foto oksidasi ini berlangsung hampir sama dengan

oksidasi termediasi radikal bebas yang meliputi tiga tahapan; inisiasi,

propagasi dan terminasi, hanya saja pada proses inisiasi didahului oleh adanya

oksigen tunggal dan bukan oleh radikal bebas.

3. Oksidasi enzimatik

Proses peroksidasi lipid yang melibatkan enzym sebagai katalis dan

menghasilkan produk stereo- dan regio-spesifik. Ada tiga enzim utama yang

berperan yaitu lipooksigenase (LOX), siklooksigenase (SOX) dan sitokrom

P450. LOX mengkatalis oksidasi asam arakhidonat dan menghasilkan produk

hidroperoksida. COX mengkatalis asam lemak tak jenuh menjadi

endoperoksida dan prostaglandin. Sedangkan sitokrom p450 mengkatalis

oksidasi asam lemak epoksi menjadi produk epoksid, leukotrin, tromboksan,

dan prostasiklin.

Peroksidasi lipid menghasilkan produk primer seperti lipid hidroperoksida

dan produk sekunder seperti MDA dan lipid peroksida. Produk peroksidasi lipid

ini dibentuk terutama di plasenta lalu terikat pada lipoprotein untuk kemudian

disebarkan melalui aliran darah ke seluruh tubuh, sehingga dapat menyebabkan

kerusakan pada tempat yang jauh (Niki dkk, 2009).

38

Peningkatan produksi peroksidasi lipid yang secara tipikal diinisiasi oleh

spesies radikal bebas yang sangat reaktif, dapat dinilai dengan banyak metoda

termasuk pengukuran baik produk primer maupun sekunder dari hasil peroksidasi

tersebut. Produk primer dari peroksidasi lipid termasuk conjungated dienes dan

lipid hidroperoksida, sementara produk sekundernya diantaranya ialah

Malondialdehyde (MDA), thiobarbituric acid reactive substances (TBARS),

hydroxylnonenal (HNE), gaseous alkanes dan kelompok prostaglandin F2-like

product yang disebut F2-isoprostanes (Niki dkk, 2009).

Gambar 2.5 Produk peroksidasi lipid (Dotan, 2004)

39

2.5.2 Peran Peroksidasi Lipid Terhadap Persalinan Preterm

Peroksidasi lipid merupakan fenomena normal yang terjadi secara

kontinues dengan level rendah pada manusia. Kehamilan sendiri merupakan suatu

kondisi stres di mana banyak fungsi fisiologis dan metabolisme yang berubah

dalam batas waktu tertentu, sehingga didapatkan level peroksidasi lipid yang lebih

tinggi dibandingkan keadaan tidak hamil. Selama kehamilan, level peroksidasi

lipid meningkat sesuai dengan perkembangan normal kehamilan (Patil, 2006).

Namun pada kondisi produksi peroksidasi lipid yang berlebihan maka kehamilan

dikaitkan dengan suatu keadaan patologis (Little, 2003).

Ketika hamil, peroksidasi lipid terutama di induksi di plasenta. Jaringan

plasenta mengandung banyak asam lemak tak jenuh yang merupakan sasaran dari

aktifitas radikal bebas. Jaringan plasenta memiliki enzim antioksidan dalam

konsentrasi rendah sehingga menjadi sangat rentan terhadap kerusakan yang

dimediasi oksidatif. Lipid peroksida yang dihasilkan berasal dari trophoblast dan

kompartemen inti villous. Produk ini kemudian disekresikan ke sirkulasi maternal

yang selanjutnya menginisiasi kaskade peroksidasi lebih lanjut (Little, 2003).

Peroksidasi lipid bersifat sangat reaktif dan dapat menyebabkan kerusakan

membran sel melalui interaksi langsung dengan membran sel maupun secara tidak

langsung melalui aktifasi mediator lain oleh produk peroksidasi lipid (Eberhardt,

2001).

Efek secara langsung yaitu menyebabkan gangguan pada fungsi membran

sel sehingga dapat mempengaruhi perubahan kandungan cairan (fluiditas)

40

membran dan mobilisasi enzim-enzim pada membran. Sebagai tambahan terhadap

rusaknya fungsi membran sebagai barier tersebut, lipid peroksidasi juga

mengakibatkan hilangnya homeostasis ion berupa gangguan kompartemen dan

kekacauan ion utamanya yaitu terjadi influx ion Ca2+ sehingga dapat

mempengaruhi fungsi sel otot seperti halnya yang disebabkan oleh peningkatan

ROS (Warren dkk, 2005 ; Connors, 2004 ; Eberhardt, 2001 ; Aruoma, 2001).

Konsentrasi ion Ca2+ di dalam sel akan berperan pada Calmodulin membentuk

Ca-Calmodulin mengaktifkan enzim Myosin Light Chain Kinase (MLCK) yang

berperan pada proses fosforilasi dari myosin yang bila berinteraksi dengan actin

akan menyebabkan pemendekan dari serat otot sehingga terjadi kontraksi

miometrium (Cunningham dkk, 2010). Disebutkan bahwa calcium channel

blocker dapat digunakan untuk menghambat peroksidasi lipid dan mencegah

pembentukan ROS (Valco, 2006).

Gambar 2.6 Gambaran kerusakan sel karena ROS (Miles B, 2003)

41

Sedangkan efek secara tidak langsung melalui produk-produk metabolit

dari peroksidasi lipid (Eberhardt, 2001). Hidroksinoneal (HNE), yang merupakan

salah satu produk metabolit dari peroksidasi lipid, pada konsentrasi tinggi dapat

menyebabkan hilangnya homeostasis ion Ca2+, hambatan terhadap respirasi

mitokondria dan sintesa protein, serta mampu menarik neutrofil dan menginduksi

respon inflamasi pada sel endotel (Eberhardt, 2001). Pada sebuah penelitian,

pemberian HNE pada kultur jaringan miometrium manusia, dapat menginduksi

ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 dalam jaringan miometrium (Temma, 2011).

COX-2 (cyclooxygenase-2) merupakan enzim yang mengkatalis pembentukan

prostaglandin yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kontraksi miometrium

sedangkan PGE-2 selain dapat memicu kontraksi miometrium, berperan pula

menurunkan resistensi jaringan servik. Kedua hal tersebut berperan penting dalam

kemajuan persalinan sehingga dapat mencetuskan timbulnya persalinan preterm

(Cunningham dkk, 2010).

Peroksidasi lipid bila terus berlanjut akan menyebabkan ketidakstabilan

membran, mengubah viskositas membran dan merangsang aktivasi fosfolipase A2

(Gazali, 2002). Fosfolipase A2 adalah enzim yang menghidrolisis fosfolipid yang

merupakan komponen utama pada membran sel. Fosfolipid oleh fosfolipase A2

akan dihidrolisis membentuk asam arakidonat, selanjutnya oleh enzim

lipoxygenase (LOX) akan membentuk leukotrin dan oleh enzim cyclooxygenase

(COX) 1 dan 2 akan menbentuk prostanoid (Wikipedia, 2012). PGE2 dan PGF2

merupakan salah satu produksi dari metabolisme ini bertanggung jawab terhadap

42

kontraksi miometrium dan pelunakan jaringan servik, sehingga keseluruhan

proses ini dapat mencetuskan timbulnya persalinan preterm (Cunningham dkk,

2010).

2.5.3 Malondialdehid (MDA)

Malondialdehid (MDA) adalah produk peroksidasi lipid yang merupakan

aldehid reaktif. MDA merupakan salah satu dari banyak spesies elektrofil reaktif

yang dapat menyebabkan stress toksik pada sel serta membentuk produk protein

kovalen yang dikenal sebagai sebutan advance lipoxidation end products (ALE).

MDA dapat bereaksi dengan deoksiguanosin dan deoksiadenosin pada DNA dan

membentuk substansi M1G yang bersifat mutagenik (Eberhardt,2001).

Gambar 2.7 Struktur kimia malondialdehid (MDA)

(Wikipedia, 2012)

MDA dibentuk sebagai bahan dikarbonil (C3H4O2) dengan berat molekul

rendah (berat formula = 72,07), rantai pendek, dan bersifat volatil asam lemah

43

(pKa = 4,46), dihasilkan sebagai produk sampingan pembentukan eikosanoid

enzimatik dan produk akhir degradasi oksidatif asam lemak bebas non enzimatik.

MDA telah ditemukan hampir di seluruh cairan biologis, termasuk pada

plasma, urin, cairan persendian, cairan brokoalveolar, cairan empedu, cairan getah

bening, cairan mikrodialisis, cairan amnion, cairan pericardial, dan cairan seminal.

Namun plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan karena

paling mudah didapatkan dan paling tidak invasive. Data yang tersedia hingga

saat ini juga menunjukkan pengukuran kadar MDA baik dari plasma maupun urin

memberikan hasil yang sama akurat dan presisi dari indeks stres oksidatif (Janero,

2001).

Meningkatnya perhatian terhadap keberadaan peroksidasi lipid, potensinya

untuk merusak dan keterlibatannya dalam berbagai patogenesis penyakit,

menyebabkan peroksidasi lipid menjadi suatu marker penting yang dapat diukur

untuk deteksi dini penyakit. Sejumlah Penelitian dalam satu dekade terakhir ini

telah menunjukkan bahwa MDA merupakan komponen pengukuran terhadap lipid

peroksidasi yang bersifat stabil dan akurat, dan telah membantu menjelaskan

peranan stres oksidatif pada sejumlah penyakit (Janero, 2001).

Analisa malondialdehid merupakan analisa radikal bebas secara tidak

langsung dan merupakan analisa yang cukup mudah untuk menentukan jumlah

radikal bebas yang terbentuk. Analisa radikal bebas secara langsung sangat sulit

dilakukan, karena radikal bebas ini sangat tidak stabil dan cenderung untuk

merebut elektron senyawa lain agar lebih stabil. Reaksi ini berlangsung sangat

44

cepat sehingga pengukurannya sangat sulit bila dalam bentuk senyawa radikal

bebas (Winarsi, 2007).

Kadar MDA diukur dengan menggunakan metode TBARS (Thiobarbituric

acid reactive substance), yang menggunakan dasar reaksi MDA terhadap asam

tiobarbiturat dan selanjutnya dinilai menggunakan spektrofotometer (Janero,

2001).

Hingga saat ini MDA merupakan marker yang paling banyak diteliti, dan

dianggap sebagai marker lipid peroksidasi in vivo yang baik, baik pada manusia

maupun pada binatang, lebih murah dengan bahan lebih mudah didapat yang

secara signifikan akurat dan stabil daripada senyawa lainnya (Niki dkk, 2009).

MDA sangat cocok sebagai biomarker untuk stress oksidatif karena

beberapa alasan, yaitu : (1) Pembentukan MDA meningkat sesuai dengan stres

oksidatif, (2) Kadarnya dapat diukur secara akurat dengan pelbagai metode yang

telah tersedia, (3) Bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, (4)

Pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi oleh

kandungan lemak dalam diet, (5) Merupakan produk spesifik dari peroksidasi

lemak, (6) Terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan

jaringan tubuh dan cairan biologis, sehingga memungkinkan untuk menetukan

referensi interval (Llurba dkk, 2004).

Walaupun MDA telah diakui sebagai marker klinis lipid peroksidasi,

namun peranan komponen MDA sendiri dalam patofisiologi kehamilan masih

sedikit yang diketahui. Masih jarang penelitian yang menggunakan MDA untuk

45

meneliti hubungan antara peningkatan peroksidasi lipid dengan terjadinya

persalinan preterm. Sehingga berbagai penelitian masih dikembangkan untuk

mengetahui lebih dalam apakah MDA juga merupakan suatu faktor yang terlibat

dalam patogenesis persalinan preterm spontan.