bab iv hasil dan pembahasandigilib.unimus.ac.id/files/disk1/155/jtptunimus-gdl-marlitasri... ·...

12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bagian awal bab ini disajikan pemetaan untuk mendeskripsikan jumlah DBD dan faktor yang mempengaruhi di Kota Semarang. Bagian selanjutnya dilakukan pemodelan untuk mendapatkan model dari faktor yang mempengaruhi jumlah DBD. Pada pemetaan digunakan batas lokasi administrasi stasiun pengamatan curah hujan Kota Semarang. Kota Semarang memiliki 10 unit stasiun pengamatan curah hujan, namun dikarenakan keterbatasan data yang peneliti peroleh, penelitian ini hanya menggunakan 8 unit stasiun pengamatan curah hujan. 4.1 Deskripsi DBD dengan faktor yang mempengaruhi Jumlah demam berdarah dengue dan faktor yang mempengaruhinya dikatekorikan menjadi tiga kelompok yaitu tinggi, sedang, dan renah. Hal ini bertujuan untuk mempermudah menginterpretasi hasil dari pemetaan. Berikut ini hasil pemetaan variabel yang digunakan dalam penelitian dengan menggunakan 8 unit stasiun batas administratif wilayah. 4.1.1 Kasus demam berdarah dengue Tahun 2012, Kota Semarang memiliki jumlah kasus penderita demam berdarah dengue sebesar 1.250 jiwa dengan rata-rata sebesar 78 jiwa disetiap kecamatan. Jumlah kasus DBD tertinggi di Kecamatan Tembalang dengan jumlah kasus 176 jiwa, sedangkan jumlah terkecil sebasar 10 jiwa di Kecamatan Tugu. 24

Upload: donhi

Post on 01-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

24

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bagian awal bab ini disajikan pemetaan untuk mendeskripsikan jumlah

DBD dan faktor yang mempengaruhi di Kota Semarang. Bagian selanjutnya

dilakukan pemodelan untuk mendapatkan model dari faktor yang mempengaruhi

jumlah DBD. Pada pemetaan digunakan batas lokasi administrasi stasiun

pengamatan curah hujan Kota Semarang. Kota Semarang memiliki 10 unit stasiun

pengamatan curah hujan, namun dikarenakan keterbatasan data yang peneliti

peroleh, penelitian ini hanya menggunakan 8 unit stasiun pengamatan curah

hujan.

4.1 Deskripsi DBD dengan faktor yang mempengaruhi

Jumlah demam berdarah dengue dan faktor yang mempengaruhinya

dikatekorikan menjadi tiga kelompok yaitu tinggi, sedang, dan renah. Hal ini

bertujuan untuk mempermudah menginterpretasi hasil dari pemetaan. Berikut ini

hasil pemetaan variabel yang digunakan dalam penelitian dengan menggunakan 8

unit stasiun batas administratif wilayah.

4.1.1 Kasus demam berdarah dengue

Tahun 2012, Kota Semarang memiliki jumlah kasus penderita demam

berdarah dengue sebesar 1.250 jiwa dengan rata-rata sebesar 78 jiwa disetiap

kecamatan. Jumlah kasus DBD tertinggi di Kecamatan Tembalang dengan jumlah

kasus 176 jiwa, sedangkan jumlah terkecil sebasar 10 jiwa di Kecamatan Tugu.

24

25

Jumlah kasus DBD di Kecamatan Tugu sebesar 10 jiwa diduga karena memiliki

tinggat kepadatan penduduk terendah di Kota Semarang. Hasil pemetaan jumlah

kasus DBD dengan batas administrasi wilayah mempunyai pola menyebar di

setiap wilayah administrasi seperti disajikan pada gambar 4.1 dengan keragaman

sebesar 46,34.

Gambar. 4.1 Persebaran Damam Berdarah Dengue Kota Semarang

Berdasarkan gambar 4.1 menunjukkan Kecamatan Ngalian, Semarang

Barat, Semarang Tengah, Semarang Selatan, Semarang Timur, Gajah Mungkur,

Candisari, Banyumanik, Tembalang, Pedurungan, Gayamsari, dan Kecamatan

Gunuk memiliki jumlah DBD tertinggi sebesar 177 – 223,34 jiwa. Jumlah demam

berdarah kategori sedang sebasar 130 – 176,34 jiwa terlihat pada Kecamatan

Semarang Utara. Sedangkan Kecamatan Tugu, Ngalian, dan Kecamatan

Gunungpati terlihat pada kategori rendah dengan jumlah antara 83 – 129,34 jiwa.

26

4.1.2 Persentase kepadatan penduduk

Kota Semarang memiliki kepadatan penduduk yang tidak merata,

dikarenakan secara geografis Kota Semarang terbagi menjadi dua yaitu kota

bawah (daerah daratan rendah) dan kota atas (daerah perbukitan). Pada tahun

2012 Kecamatan Semarang Selatan memiliki tingat kepadatan penduduk tertinggi

sebesar 13.990 per Km2, sedangkan kepadatan penduduk terendah dimiliki

Kecamatan Tugu sebesar 972 per Km2.

Gambar. 4.2 Peta Kepadatan Penduduk Kota Semarang

Berdasarkan gambar 4.2 menunjukkan tingkat kepadatan pada kategori

rendah 983.93 – 4344.84 per Km2 meliputi wilayah kecamatan Mijen, Ngaliyan

dan Semarang Barat. Kategori sedang 4345 – 7705.91 per Km2 lebih

mendominasi sebagian besar kecamatan di Kota Semarang. Sedangkan kategori

tinggi 7706 – 11066.91 per Km2 meliputi wilayah kecamatan Semarang Tengah,

27

Semarang Selatan, Semarang Timur, Gayamsari, Candisari, dan kecamatan

Pedurungan.

4.1.3 Persentase curah hujan

Curah hujan Kota Semarang sepanjang tahun 2012 didominasi dengan

instensitas rendah di beberapa wilayah. Dengan rata-rata curah hujan 232 per mm.

Gambar. 4.3 Peta Curah Hujan Kota Semarang

Berdasarkan gambar 4.3 menunjukkan curah hujan didominasi kategori

rendah 166 – 266 per mm hampir seluruh kecamatan di Kota Semarang. Kategori

sedang 267 – 366 per mm hanya pada kecamatan Banyumanik dan sebagian kecil

kecamatan Gunungpati. Pada kategori tinggi 367 – 466 per mm teletak pada

kecamatan Mijen dan sebagian besar kacamatan Gunungpati.

28

4.2 Pemodelan Kasus Demam Berdarah Dengue

4.2.1 Deteksi Multikolinieritas

Sebelum dilakukan pemodelan regresi Poisson perlu dilakukan uji

multikolinieritas terlebih dahulu. Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah

variabel prediktor telah memenuhi asumsi tidak saling berkolinieritas. Sesuai

dengan teori pada Subbab 2.2, ada dua kritaria yang dapat digunakan untuk

mengetahui adanya kondisi kolineritas antar variabel prediktor. Kriteria pertama

adalah dengan menggunakan VIF (Variance Inflation Factors).

Tabel 4.1 Variance Inflation Factors

Prediktor VIFX1 1.3X2 1.3

Pada Tabel 4.1 nilai jVIF X1 dan X2 sebesar 1.3 menunjukkan bahwa variabel-

variabel prediktor tidak saling berkolerasi. jVIF yang bernilai lebih besar dari 10

menunjukkan adanya kolinieritas antara variabel-variabel prediktor. Kriteria

kedua menggunakan koefisien korelasi Pearson (rij), dengan menggunakan

persamaan (2.14) hasil korelasi Pearson didapatkan nilai rij = -0.484 (Lampiran 3).

Nilai korelasi antar variabel prediktor kurang dari 0.95 sehingga tidak terjadi

multikolinieritas dan dapat dilakukan analisis regresi Poisson.

29

4.2.2 Model Regresi Poisson

Pengujian secara serentak model regresi poisson dengan menggunakan

hipotesis sebagai berikut.

H0 : ଵߚ ൌ ଶߚ ൌ ڮ ൌ ߚ = 0

H1 : paling sedikit ada satu ߚ ≠ 0

Hasil pengujian serentak dengan model regresi Poisson didapatkan nilai

devians (መߚሺܦ sebesar 36.41495 (Lampiran 4). Dengan Tabel taraf sagnifikan 5%

didapatkan nilai (ଶǢǡହ)ଶ sebasar 5.99. Nilai (መߚሺܦ lebih besar dari (ଶǢǡହ)

ଶ 5.99

sehingga hopitesis H0 ditolak yang berarti bahwa pemodelan dengan

menggunakan regresi Poisson menghasilkan paremeter yang signifikan

berpengaruh terhadap model.

Pengujian parsial model regresi poisson dengan menggunakan hipotesis

sebagai berikut.

H0 : ଵߚ ൌ ଶߚ ൌ ڮ ൌ ߚ = 0

H1 : paling sedikit ada satu ߚ ≠ 0

Hasil pengujian parsial statistik uji yang mengunakan Uji Z, Uji Z adalah

pengujian hipotesis yang didekati dengan distribusi normal. Dengan kriteria, jika

Z hitung < Z tabel, maka terima H0 seperti pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Penaksiran Parameter Regresi PoissonVariabel Estimate Standard Error Z_Hitߚଵߚଶߚ

5.1109110.105863-0.072950

0.0289090.0263180.014284

176.7956544.022480-5.107112

30

Dari Z tabel menunjukkan nilai 1.96 sehingga dengan melihat hasil dari

Tabel 4.2 menunjukkan paremeter berpengaruh signifikan terhadap model adalah

ଶߚଵߚߚ sehingga model regresi poisson terbaik berbantuk adalah sebagai berikut.

Ƹൌߤ ����ሺͷǡͳͳͲͻͳͳ ͲǡͳͲͷ ͵ݔଵ െ ͲǡͲʹ ͻͷͲݔଶ)

Variabel yang berpangaruh signifikan terhadap jumlah kasus DBD di

Kota Semarang pada model regresi poisson adalah presentasi kepadatan penduduk

(X1) dan presentasi curah hujan (X2). Model yang diperoleh menjelaskan bahwa ln

rata-rata kasus DBD di Kota Semarang pada tahun 2013 akan mengalami

kenaikan sebesar 0.105863 jika variabel presentasi kepadatan penduduk (X1)

bertambah sebesar satu persen dengan syarat variabel (X2) bernilai konstan. Hal

ini tidak berlaku untuk variabel presentase curah hujan (X2), karena ln rata-rata

kasus DBD di Kota Semarang pada tahun 2013 akan penurunan sebesar 0.072950

jika variabel presentasi curah hujan (X2) bertambah sebesar satu persen dengan

syarat variabel (X1) bernilai konstan.

4.3 Model GWPR

Langkah pertama sebelum melakukan pemodelan dengan GWPR yang

harus dilakukan adalah menentukan letak geografis tiap wilayah-wilayah

administrasi di Kota Semarang (Lampiran 1). Langkah selanjutnya menentukan

Bandwidth (b) optimum pemilihan bandwidth optimum dengan menggunakan

metode Cross Validation (CV). Bandwidth optimum yang dihasilkan dari ܥ) ൌ

∑ െݕ) ොஷሺݕ ሻ)ଶୀଵ ) sebessar 8,577 digunakan untuk mencari matriks pembobot

di setiap wilayah administrasi, pembobot dalam penelitian ini menggunakan

31

Kernel Gaussian (persamaan 2.20). Matriks pembobot di lokasi (ݒǡݑ) adalah Wij

maka langkah awal sebelum mendapat matriks pembobot adalah dengan mencari

jarak Euclidean (dij) pada lokasi .(ݒǡݑ) Dengan lokasi pusat (i) adalah lokasi

Boja Mijen dan lokasi ke-j adalah lokasi pengamatan yang lainnya. Hasil

perhitungan pembobot di lokasi (i) Boja Mijen terlihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Pembobot Gausskernel Wilayah Boja MijenNo Lokasi Jarak Euclidean

1 Boja mijen 0.00000 1

2 Beringin 3.39794 0.07848

3 Gunung pati 2.35457 0.03768

4 Tanjung mas 2.97457 0.06014

5 Klipang 1.29915 0.01147

6 Candi 1.25085 0.01063

7 Semarang barat 2.90723 0.05745

8 Tlogosari 2.62831 0.04695

Jarak Euclidean diperoleh dari perhitungan menggunakan rumus dengan

letak geografis pada lampiran (1) adalah sebagai berikut:

= ටሺݑെ )ଶݒ ሺݑെ )ଶݒ

Boja mijen → beringin = ඥ(7.05 − 6.994)ଶ + (110.319 − 110.348)ଶ

= √3.136 + 8.41 = 3.39794

Boja mijen → gunung pati = ඥ(7.05 − 7.068)ଶ+ (110.319 − 110.367)ଶ

= √3.24 + 2.304 = 2.35457

Hasil diperoleh dari perhitungan menggunakan persamaan (2.20):

ൌ ���ቆെ1

2(

�)ଶቇ

Beringin = exp ൬െଵ

ଶ�ቀଷǤଷଽଽସ

Ǥହቁଶ൰ൌ ���ቀെ

ଶͲǤͳͷͻͷቁൌ ͲǤͲ Ͷ

32

Gunung pati = exp ൬െଵ

ଶቀଶǤଷହସହ

Ǥହቁଶ൰ൌ ���ቀെ

ଶͲǤͲͷ͵ ቁൌ ͲǤͲ͵

Matrik pembobot yang digunakan untuk menaksirkan model GWPR di

lokasi (i) Boja Mijen adalah matrik diagonal dari pembobot Wij yang teleh

diperoleh pada Tabel 4.3 yaitu W1 adalah Wij Boja Mijen, W2 adalah Wij Beringin,

sampai W8 adalah Wij Tlogosari.

( ) ൌ �[ ଵ(ݑଵǡݒଵ)Ǣ ଶ(ݑଶǡݒଶ)Ǣǥ Ǣ� ݒǡݑ) )]

ൌ ሾͳǢ�ͲǤͳͻͺ Ͳ ǢͲǤͳ͵ ʹ ǢͲǤͳ͵ ͶͲǢͲǤͲͷ͵ Ǣǥ ǢͲǤͳͷ͵ ʹሿ�

Matrik pembobot dihitung di setiap lokasi untuk menaksirkan parameter

model GWPR di setip lokasi .(ଵݒଵǡݑ) Hasil perhitungan matrik pembobot

digunakan untuk menaksir parameter di lokasi W1(ݑଵǡݒଵ) sedangkan untuk

menaksir parameter dilokasi (ଶݒଶǡݑ) hingga lokasi ݒǡݑ) ) perlu dicari matrik

pembobot W2(ݑଶǡݒଶ) hingga matrik pembobot W8(ݑǡݒ ) dengan metode yang

sama. Hasil dari penaksiran parameter di setiap wilayah pengamatan memberikan

hasil yang berbada-beda.

4.3.1 Pengujian parameter GWPR

Pengujian parsial digunakan untuk mengetahui faktor yang berpengaruh

terhadap demam berdarang dengue disetiap wilayah. Berikut ini adalah hipotesis

uji parsial parameter.

H0 : (ݒǡݑ)ߚ = 0

H1 : (ݒǡݑ)ߚ Ͳ�Ǣ ൌ ͳǡʹ ǡڮ

Untuk mendapatkan t-hitung dari masing-masing parameter

menggunakan formula pada persamaan (2.18). Indeks k merupakan parameter

33

yang akan diuji yaitu ଶݔ����ଵݔ sedangkan i adalah unit wilayah. Dengan hasil uji

parsial GWPR dapat dilihat tabel 4.4

Tabel 4.4 Uji Parsial GWPRLokasi Estimasi Standard error t-hitung

ଵݔ ଶݔ ଵݔ ଶݔ ଵݔ ଶݔBoja Mijen 0.109573 -0.064568 0.029765 0.015419 3.681296 -4.187563

Bringin 0.105466 -0.069553 0.028271 0.014943 3.730554 -4.654696

Gunung Pati 0.101386 -0.072868 0.027441 0.014658 3.694674 -4.971131

Tanjung Mas 0.096275 -0.079037 0.026494 0.014997 3.633844 -5.270309

Klipang 0.092420 -0.080039 0.027671 0.017129 3.339901 -4.672809

Candi 0.095067 -0.080011 0.026521 0.015004 3.584554 -5.332709

Semarang Barat 0.100390 -0.074958 0.026983 0.014546 3,720453 -5.153212

Tlogosari 0.094542 -0.079147 0.027007 0.016169 3.500597 -4.894864

Dengan hasil t-tabel ൫ଵǢఈݐ) ଶൗ ൯) = 2,44691 dengan taraf signifikan

5%=ߙ maka ଶݔ�����ଵݔ berpengaruh secara signifikan terhadap unit stasiun karena

tolak H0 jika หݐ௧௨ห ൫ଵǢఈݐ ଶൗ ൯. Dapat disimpulkan variabel respon

kepadatan penduduk (x1) dan curah hujan (x2) berpengaruh signifikan terhadap

lokasi kejadian kasus demam berdarah dengue.

4.3.2 Pengujian Kesusuaian Model GWPR

Pengujian kesesuaian model GWPR digunakan untuk mengetahui

kebaikan model GWPR dibandingan dengan model regresi Poisson. Hipotesis

yang digunakan adalah:

H (ݒǡݑ)ߚ� ൌ ǡߚ ൌ ͳǡʹ ǡ͵ Ǣ� ൌ ͳǡʹ ǡǥ ͺ (tidak ada pengaruh yang

signifikan antara model regresi Poisson dengan model GWPR)

H1 : paling sedikit ada satu (ݒǡݑ)ߚ ߚ (ada pengaruh yang signifikan

antara model regresi Poisson dengan model GWPR)

34

Pengujian Kesesuaian model Regresi Poisson dan GWPR menggunakan

uji signifikan F dengan level ߙ yang dikendaki dengan syarat distribusi masih

mendekati normal (lampiran 3). Hasil signifikan antara model regresi Poisson

dengan model GWPR dan pengujian kesesuaian model adalah sebagai berikut.

Tabel 4.5 Uji Kesesuaian ModelModel Devians Df Devians/Df F hitungRegresi PoissonGWPR

36.41495032.535698

54

7.2838.133

0.8954875

Hasil pengujian kesesuaian model secara serentak dengan mengunakan

uji F dari tabel (4.5) diperoleh nilai F hitung sebesar 0.8954875 dibandingkan

dengan nilai F(0,05;5;4) tabel sebesar 6,2561. Keputusan yang didapat adalah

menerima H0 sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan

antara model regresi poisson dengan model GWPR.

4.3.3 Pengujian Aspek Spasial

Pengujian aspek spasial digunakan untuk menguji apakah variabel

penelitian terdapat dampak spasial dan heterogenitas spasial. Heterogenitas spasial

diidentifikasi dengan menggunakan statistik uji Breusch-Pagan, dengan hipotesis

yang digunakan adalah :

H0 : ଵߪଶ ൌ ଶߪ

ଶ ൌ ڮ ൌ ߪଶ ൌ ଶߪ

H1 : minimal ada satu ߪଶ ଶߪ

Tabel 4.6 Pengujian Aspek SpasialBreusch-Pagan df P-value

2.6679 2 0.2634

Dari tabel di atas dengan kriteria tolak H0 jika BP > ଶ, hasil pengujian

aspek spasial dengan menggunakan uji Breusch-Pagan diperoleh nilai BP sebesar

35

2.6679 dibandingkan nilai ଶ sebesar 0.2634, maka kriteria tolak H0 terpenuhi.

Dan dapat disimpulkan variabel penelitian antara variabel respon dengan variabel

prediktor terdapat dampak spasial dan heterogenitas spasial.

4.4 Perbandingan Model Regresi Poisson dengan Model GWPR

Perbandingan model regresi poisson dengan model GWPR bertujuan

untuk mendapatkan model terbaik yang dapat diterapkan pada kasus DBD.

Kriteria kebaikan model yang digunakan adalah Akaike’s Information Criterion

(AIC) yang dihasilkan dari (persamaan 2.22) sebagai berikut :

Tabel 4.7 Perbandingan Kesesuaian ModelModel AICRegresi PoissonGWPR

42.4149539.73804

Tabel menunjukkan bahwa nilai AIC model GWPR lebih kecil yaitu

sebesar 39,73804 jika dibandingkan dengan nilai AIC model regresi poisson

sebesar 42,41495. Dengan demikian model GWPR lebih tepat digunakan dalam

analisis kasus DBD di Kota semarang.