good marriage-good parenting.docx

24
1. Good Marriage Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I Dasar Perkawinan Pasal 1, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan yang Maha Esa. Hal yang paling penting dari semua persiapan perkawinan adalah persiapan mental dari calon pasangan itu sendiri. Persiapan mental ini dimulai dari hal yang paling sederhana, yaitu mengenal dan memahami pasangan serta memahami arti pernikahan bagi diri sendiri. Dalam tahap persiapan pernikahan, membina hubungan sosial yang romantis dan harmonis merupakan hal yang penting dan perlu dijalani. Pasangan yang mantap untuk membina rumah tangga dan memasuki kehidupan perkawinan adalah pasangan yang telah mengenal pasangannya masing-masing, memiliki kesamaan minat dan tujuan hidup, saling terbuka, saling percaya, saling menghormati, dan saling memahami. Hal yang terpenting adalah bagaimana calon pasangan mampu untuk selalu berusaha saling mengenal dan mendalami pasangan masing-masing, tanpa harus memaksakan kehendak pribadi kepada pasangannya, dan dapat menerima pasangan apa adanya. 1

Upload: reganjm

Post on 26-Nov-2015

11 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Psychiatry

TRANSCRIPT

1. Good Marriage Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I Dasar Perkawinan Pasal 1, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan yang Maha Esa.Hal yang paling penting dari semua persiapan perkawinan adalah persiapan mental dari calon pasangan itu sendiri. Persiapan mental ini dimulai dari hal yang paling sederhana, yaitu mengenal dan memahami pasangan serta memahami arti pernikahan bagi diri sendiri. Dalam tahap persiapan pernikahan, membina hubungan sosial yang romantis dan harmonis merupakan hal yang penting dan perlu dijalani.Pasangan yang mantap untuk membina rumah tangga dan memasuki kehidupan perkawinan adalah pasangan yang telah mengenal pasangannya masing-masing, memiliki kesamaan minat dan tujuan hidup, saling terbuka, saling percaya, saling menghormati, dan saling memahami. Hal yang terpenting adalah bagaimana calon pasangan mampu untuk selalu berusaha saling mengenal dan mendalami pasangan masing-masing, tanpa harus memaksakan kehendak pribadi kepada pasangannya, dan dapat menerima pasangan apa adanya.

1.1. Unsur perkawinanKeluarga yang bahagia atau keluarga yang ideal adalah keluarga yang seluruh anggotanya merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekacauan dan merasa puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial. Hal penting lain yang perlu dipersiapkan dan selalu dijalankan oleh pasangan dalam perkawinan adalah komitmen (keterikatan). Komitmen bukanlah berarti keterikatan yang membabi buta tetapi keterikatan yang didasari saling pengertian. Komitmen adalah salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan perkawinan. Komitmen jangka panjang dalam perkawinan memungkinkan pasangan suami-istri melakukan pengorbanan demi masa depan bersama.Komitmen juga terwujud dalam keputusan untuk memiliki anak. Dalam situasi kehidupan sekarang ini, banyak pasangan yang memutuskan untuk menunda mempunyai anak untuk jangka waktu yang lama atau justru memutuskan untuk tidak memiliki anak. Jika pasangan sudah memiliki komitmen untuk bersatu, maka memiliki anak merupakan suatu konsekuensi dari komitmen tersebut. Komitmen untuk memiliki anak ini juga mengandung arti bahwa pasangan suami istri akan memperhatikan perkembangan anak secara fisik dan psikologis secara bersama-sama. Tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak bukan hanya tanggung jawab istri, tetapi juga tanggung jawab suami. Peran sebagai orang tua haruslah dijalani bersama oleh suami dan istri. 1.2. Dinamika hubungan suami-istriMasalah-masalah dalam perkawinan selain dapat timbul karena pengaruh dari luar, juga dapat timbul karena pengaruh dari luar, juga dapat diambil dari dalam hubungan perkawinan itu sendiri. Pada umumnya setiap perkawinan mengalami masa romance, masa kekecewaan, dan masa kebahagiaan atau kegagalan. Karena dinamika hubungan suami-istri ini dapat menjadi sumber masalah dalam suatu perkawinan, maka perlu kita ketahui mengapa masalah-masalah itu bisa timbul.

a. Harapan yang tidak realistisDalam masa romance, terjalin hubungan terasa sangat erat dan mesra, perhatian dan pengertian terhadap satu sama lain yang sangat besar. Suasana hubungan semacam ini tidak jarang menimbulkan harapan-harapan yang tidak realistis baik di pihak suami maupun istri. Misalnya, mereka akan bahagia selamanya, dengan perkawinan ini pasangan mereka pasti akan berubah menjadi lebih baik. Harapan-harapan yang tidak realistis ini, bila dihadapkan dengan realitas kehidupan sehari-hari sebagai suami-istri, dapat menimbulkan kekecewaan kedua belah pihak. b. Sumber konflik dalam perkawinanKonflik-konflik dalam perkawinan yang dapat menyebabkan keretakan hubungan suami-istri atau bahkan dapat juga menyebabkan perceraian, biasanya bersumber-sumber pada kepribadian suami-istri dan hal-hal yang erat kaitannya dengan perkawinan. Konflik yang bersumberkan pada kepribadian pada umumnya disebabkan oleh ketidak-matangan kepribadian, adanya sifat-sifat kepribadian yang tidak cocok untuk menjalin hubungan perkawinan, dan adanya kelainan mental. Sedangkan konflik-konflik yang bersumberkan pada hal-hal yang erat kaitannya dengan perkawinan, biasanya disebabkan oleh adanya perbedaan sikap dan pandangan suami-istri dalam hal-hal tertentu. Misalnya menyangkut masalah keuangan, kehidupan sosial, pendidikan anak, masalah agama, hubungan dengan mertua-ipar, serta penyelewengan dalam hubungan seksual.

c. Ketidak-puasan seksualKesulitan-kesulitan atau ketidak-puasan dalam hubungan seksual biasanya merupakan akibat konflik-konflik yang dialami oleh suami-istri. Sebaliknya, ketidak-puasan dalam hubungan seksual ini akan memperburuk hubungan suami-istri yang kurang harmonis tersebut. 1.3. Tolak ukur keluarga bahagia Tahap pembentukan keluarga dimulai dari pernikahan yang dilanjutkan dengan membentuk rumah tangga. Kondisi keluarga yang bahagia merupakan keluarga ideal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap pasangan suami-istri. Kriteria kebahagiaan sebuah rumah tangga/keluarga ditentukan oleh bermacam-macam faktor, namun yang pasti kebahagiaan sebuah rumah tangga itu ditentukan oleh kebahagiaan lahir maupun batin, artinya selama rumah tangga hanya mengalami kebahagiaan secara lahiriah saja maka belum dapat disebut bahagia. Dengan demikian kriteria sebuah keluarga bahagia itu adalah apabila telah terpenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan tetapi sekaligus juga kebutuhan keagamaan, kebutuhan sosial keagamaan maupun kemasyarakatan.

2. Good Parenting Setelah menikah dan hidup membentuk keluarga dan memiliki anak, pasangan suami-istri akan mulai berperan sebagai orang tua. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Secara tradisional, keluarga inti terdiri dari ayah, ibu, anak tinggal dalam satu rumah. Adapun pola asuh orang tua sendiri merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan. Pola interaksi tersebut tak lepas dari 4 dimensi yang dikemukan oleh Baumrind sebagai berikut: a. Kendali Orang Tua (Control): tingkah menunjukan pada upaya orang tua dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan laku yang sudah dibuat sebelumnya b. Kejelasan Komunikasi Orang Tua-anak (Clarity Of Parent Child Communication): menunjuk kesadaran orang tua untuk mendengarkan atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan juga kesadaran orang tua dalam memberikan hukuman kepada anak bila diperlukan.c. Tuntutan Kedewasaan (Maturity Demands): menunjuk pada dukungan prestasi, sosial, dan emosi dari orang tua terhadap anak d. Kasih Sayang (Nurturance): menunjuk pada kehangatan dan keterlibatan orang tua dalam memperlihatkan kesejahteraan dan kebahagiaan anak. Kualitas hubungan orang tua anak memiliki hubungan yang erat dengan perkembangan mental anak. Hubungan antara orang tua dan anak (parent-child relationship) yang baik dapat memberikan hasil positif pada keluarga dan memberikan keamanam emosional (emotional security) dan kemampuan sosial (social skills) pada anak, agar dapat menghadapi tantangan saat bermasyarakat. Respon orang tua yang tanggap terhadap kebutuhan anak (sensitive responding) pada saat bayi (infancy) memberikan dasar hubungan keterikatan (attachment) yang terjamin; pada usia anak-anak pertengahan dan seterusnya, contoh panutan (role-modelling) yang baik dan pemberian dukungan aktif (active encouragement) untuk bersosialisasi disertai dengan pengajaran akan batasan yang tegas namun tidak mengekang (firm, calm-limit setting) memberikan dukungan yang positif dan memberikan kesiapan bagi anak dalam menghadapi suatu masalah (adjustment). Sebaliknya, pola asuh yang keras (harsh), tidak terbuka/menolak pada anak (rejecting) dan inkonsisten akan mengakibatkan sikap antisosial dan sulit diatur (deliquency) pada anak. Kualitas hubungan orang tua anak tidak hanya mempengaruhi sikap dan prilaku anak. Kualitas hubungan orang tua anak juga dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan berbahasa anak. Hubungan oranh tua anak tidak hanya merupakan hubungan yang bersifat satu arah (one way affair): factor temperament dan genetik juga berperan pada pembentukan prilaku anak. Namun, hal ini tidak berarti bahwa pola asuh tidak memiliki peran pada pembentukan pribadi anak, terutama pada anak yang memiliki vulnerabilitas genetic, sehingga menjadi lebih mudah terpengaruhi oleh pola asuh yang buruk. Psikologi perkembangan anak menilai peran dan pengaruh orang tua dan pola asuh terhadap anak. Namun, menemukan hubungan sebab-dan-akibat antara tindakan orang tua yang spesifik terhadap pembentukan prilaku dan kepribadian anak pada masa yang akan datang, tidak mudah. Beberapa anak yang dibesarkan pada keadaan lingkungan yang berbeda, dapat memiliki kepribadian yang serupa dengan orang tuanya. Begitu pula sebaliknya, anak-anak yang tinggal dan dibesarkan dalam lingkungan yang sama dengan orang tua dapat memiliki kepribadian yang berbeda.berlawanan dengan orang tuanya. Pada awal tahun 1960, psikologis Diana Baurming melakukan studi pada anak usia prasekolah (preschool-age; 3-5 tahun), menggunakan obsercvasi naturalistic, wawancara dengan orang tua, dan metode lain, ditemukan empat dimensi utama pada pengasuhan anak: Strategi dalam menegakkan disiplin (disciplinary strategies) Kasih saying dan pengasuhan (warmth and nurturance) Cara berkomunikasi (communication styles) Ekspetasi pada kematangan dan control (expectations of maturity and control)Berdasarkan pada dimensi tersebut, Baumrind mengutarakan bahwa mayoritas orang tua menunjukkan salah satu dari tiga metode pengasuhan (parenting style). Penelitian lebih lanjut oleh Maccoby dan Martin kemudian mengajukan tambahan metode pengasuhan yang keempat. Keempat macam pola asuh (parenting style) antara lain adalah: Authoritarian parenting Authoritative parenting Permissive parenting Uninvolved parenting

2.1. Authoritarian parentingPada pola asuh authoritarian, anak diharapkan untuk mengikuti aturan ketat yang diberikan oleh orang tua. Kegagalan atau kelalaian dalam mematuhi aturan akan mendapatkan hukuman. Orang tua yang authoritarian tidak dapat menjelaskan alasan dibalik aturan dan hukuman yang diberikan. Orang tua dengan pola asuh ini memiliki tuntutan yang tinggi terhadap anak, namun tidak responsive terhadap kebutuhan anak. Menurut Baumrind, orang tua pada pola asuh ini bersifat patuh dan berorientasi pada status (obedience- and status-oriented), dan mengharapkan agar perintahnya dipatuhi tanpa terkecuali, namun tidak dengan penjelasan yang memadai dibalik tindakan yang dilakukan. Orang tua dengan pola asuh ini lebih mengutamakan kepatuhan dan pemberian hukuman, dibanding dengan ketaatan dan kedisiplinan.

Karakteristik orang tua dengan pola asuh authoritarian: Memiliki aturan yang ketat dan ekspektasi terhadap anak yang tinggi Sangat menuntut, namun tidak responsive terhadap kebutuhan anak Tidak menunjukkan rasa kasih sayang dan memberikan pengasuhan yang baik pada anak Memberikan hukuman tanpa memberikan penjelasan Tidak memberikan anak kebebasan dalam memilih

Pola asuh ini memiliki efek yang beragam pada anak, termasuk kemapuan bersosialisasi dan prestasi akademik. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh authoritarian memiliki karakteristik antara lain: Sering mengartikan/mengasosiasikan kepatuhan dan keberhasilan sebagai wujud kasih sayang Beberapa anak menunjukkan prilaku yang lebih agresif diluar lingkungan rumah Beberapa anak dapat menjadi pemalu atau takut saat berinteraksi dengan orang lain Beberapa memiliki rasa percaya diri yang rendah, atau rendah diri Memiliki kesulitan bersosialisasi

Karena orang tua dengan pola asuh authoritarian menuntut kepatuhan absolut, anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini pada umumnya dapat mematuhi aturan dengan baik berdasarkan kepatuhan, namun bukan berdasarkan ketaatan dan disiplin diri. Tidak seperti anak yang dibesarkan dengan pola asuh authoritative, anak yang dibesarkan secara authoritarian tidak diajarkan untuk mengeksplorasi dan bertindak secara independen, sehingga mereka tidak benar-benar memahami batasan dan standard personal mereka sendiri.

2.2. Authoritarian (democratic) parentingOrang tua dengan pola asuh authoritarian (democratic) juga menetapkan aturan yang harus ditaati oleh anak dalam pengasuhannya. Namun pola asuh ini lebih bersifat terbuka dan demokratis. Orang tua denga pola asuh democratic bersifat responsive terhadap kebutuhan anak dan bersedia mendengan pertanyaan dan pendapat dari anak. Ketika anak tidak dapat atau gagal mencapai target/ekspektasi yang diberikan, orang tua dengan poal asuh ini akan lebuh memaafkan dan memberikan perhatian lebih, dan tidak hanya semata-mata menghukum anak karena kegagalannya. Menurut Baumrind, orang tua dengan pola asuh ini akan mengawasi dan memberikan batasan yang jelas pada tindakan yang dilakukan oleh anak. Orang tua dengan pola asuh demokratik lebih memberikan perhatian pada kebutuhan anak, dan tidak bersifat intrusive maupun restriktif. Metode penegakan disiplin berorintasi pada tindakan suportif, tidak berorientasi pada pemberian hukuman. Orang tua dengan pola asuh ini mengharapkan agar anak-anaknya menjadi seseorang yang berprilaku baik (assertive), dapat bertanggung jawab secara social, dan mengatur diri sendiri (mandiri), serta dapat berkooperasi dengan baik.

Karakteristik orang tua dengan pola asuh authoritative: Mendengarkan kebutuhan anak Mendorong anak agar dapat mandiri (independen) Memberikan batasan, ekpekstasi, dan mengajarkan konsekuensi terhadap prilaku anak Menunjukkan rasa kasih sayang dan memberikan pengasuhan pada anak Mengijinkan anak untuk menyampaikan pendapatnya/opini, dan mengajak anak untuk berdiskusi Bersikap adil dan konsisten terhadap aturan yang diberikan.

Orang tua dengan pola asuuh authoritative mengharapakan agar anaknya dapat berpikir dan bekerja dengan mandiri, namun juga memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap anaknya. Ketika anak tersebut melanggar aturan yang diberikan, orang tua akan mendisiplinkan anak secara adil dan konsisten. orang tua denga pola asuh demokratik lebih bersifat fleksibel dan memberikan respon sesuai dengan yang dibutuhkan.

Pola asih authoritative dianggap sebagai pendekatan pola asuh yang terbaik kepada anak. Anak ayng dibesarkan dnegan poal asuh ini cenderung lebih mampu dalam menghadapi suatu masalah, dan mengambil keputusan. Menurut Baumrind, anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini memiliki karakteristik sebagai berikut: Pada umumnya memiliki disposisi yang lebih bahagia Memiliki control dan regulasi emosi yang baik Memiliki perkembangan kemampuan social yang baik Percaya diri akan kemampuannya sendiri dan dapat belajar untuk memperoleh ilmu baru

Orang tua pada pola asuh demokratis berperan sebagai panutan, dan memberi contoh mengenai cara berprilaku kepada anak-anaknya, dan oleh karenanya, anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini lebih cenderung untuk menginternalisasikan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Orang tua yang menunjukka kemampuan pengontrolan emosional dan pemahaman emosional yang baik, anak-anak juga belajar mengontrol emosinya dan belajar memahami sesamanya. Pola asuh ini menegakkan aturan yang konsisten dan berusaha menegakkan displin. Orang tua yang demokratis mengajarkan anak untuk bersikap mandiri dan independen, dan membantu membangun rasa percaya diri dan keyakinan akan kemampuan diri sendiri.

2.3. Permissive parentingOrang tua yang permissive, kadang dpat juga disebut indulgent parents, memiliki sangat sedikit tuntutan (demand) pada anak-anaknya. Orang tua denga pola asuh ini sangat jarang mendisiplinkan anak-anaknya karena pada umumnya memiliki tingkat ekspektasi yang rendah terhadap kematangan/kedewasaan dan pengontrolan diri. Menurut Baumrind, orang tua dengan pola asuh permissive jauh lebih responsive dibanding dengan kebutuhan anak-anaknya. Orang tua pada umumbya bersikap nontradisional, dan santai (lenient), tidak menuntuk sikap dewasa/matur, dan memperbolehkan pengaturan diri (self-regulation) yang berlebih, dan menghindari konfrontasi. Orang tua denga pola asuh permissive pada umumnya memberikan asuhan dan berkomuniaksi kepada anak, dan sering mengambil status sebagai teman/sahabat daripada sebagai orang tua.

Orang tua dengan pola asuh permissive memiliki karakteristik sebagai berikut: Memiliki sedikit aturan atau kebiasaan yang harus diikuti Jika ada peraturan, aturan yang ada tidak konsisten Pada umumnya orang tua dengan pola asuh ini sangat menyayangi anaknya Orang tua sering menganggap dirinya sebagai teman/sahabat bukan sebagai orang tua/panutan Pada umumnya menggunakan makanan, hadiah, atau mainan ketika anak rewel

Anak yang dibesarkan dengan pola asuh permissive memiliki karakteristik sebagai berikut Kurang memiliki displin diri Terkadang memiliki kemampuan bersosialisasi yang buruk Dapat merasa tidak tenang (insecure) karena kurang/tidak diajarkan mengenai batasan dan peraturan.Anak dengan pola asuh permissive memiliki kecenderungan melakukan perilaku atau tindakan yang bersiko di suia muda seperti meminum minuman beralkohol, penggunaan obat-obatan terlarang dan tindakan lainnya yang melawan aturan karena kurangnya penegakan disiplin pada pola asuhnya.

Karena pola asuh permissive hanya melibatkan sedikit tuntutan dan ekspektasi dari orang tua, anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini cenderung tidak memiliki sedikit control displin diri saat dewasa. Anak dapat memiliki kekurangan dalam hal bersosialisasi, meskipun anak tersebut memiliki kemampuan komunikasi intepersolan yang baik, anak tersebut kurang memahami konsep berbagi, atau mengenal batasan dalam bertindak.

2.4. Uninvolved parentingPola asuh uninvolved dikarakteristikkan dengan rendahnya, atau tidak adanya keterlibatan dan tuntutan terhadap anak, rendahnya respon orang tua akan kebutuhan anak, dan sedikitnya komunikasi antara orang tua dan anak. Meskipun orang tua tetap memberikan kebutuhan dasar pada anak, secara umum orang tua tidak terlibat dalam masa pertumbuhan anak (detached). Pada kasus yang ekstrim orang tua dapat serta merta menolak (reject) atau tidak peduli (neglect) akan kebutuhan anak.

Karakteristik orang tua dengan pola asuh uninvolved antara lain: Bersikap regang secara emosional terhadap anaknya Hanya memberikan sedikit/tanpa supervisi Hanya menunjukkan sedikit/tanpa rasa kasih sayang kepada anak Memiliki sedikit/tanpa ekspetasi dan tuntutan dalam berprilaku Tidak pernah menghadiri kegiatan yang dilakukan oleh anak Dapat dengan sengaja menghindari kontak dengan anaknya Sering sibuk dengan urusannya sendiri, sehingga tidak dapat meluangkan waktu bagi anak.

Dampak bagi anak yang dibesarkan dengan pola asuh uninvolved: Harus dapat belajar untuk memenuhi kebutuhannya sendiri Memiliki rasa takut untuk bergantung pada orang lain Pada umumnya secara emosional tidak dapat berinteraksi dengan orang lain (emotionally withdrawn) Sering menunjukkan prilaku yang bertentangan/nakal saat usia remaja Cenderung memiliki rasa takut, cemas, dan anxietas karena kurangnya dukungan dari keluarga Memiliki peningkatan resiko penggunaan zat terlarang/alcohol data remaja karena kurangnya bimbingan dan pengarahan saat masa anak

Anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini biasanya memiliki prestasi akademik yang buruk dan memiliki kemapuna berinteraksi social yang rendah. Selain itu, anak juga menunjukkan tanda deficit pada kognitif, keterikatan (attachment), kemampuan bersosialisasi dan mengontrol emosi. Kurangnya/tidak adanya batasan dalam berprilaku dan bertindak di rumah karena tidak adanya pengawasan dan bimbingan dari orang tua akan mengakibatkan anak sulit mengontrol tindakan dan tata karma yang benar.

Pada beberapa kasus, orang tua terlalu terlibat dalam hal lain sehingga secara tidak sadar, tidak melibatkan diri dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak, misalnya: terlalu banyak bekerja, mengalami depresi, dan terlibat pada penggunaan zat terlarang atau alcohol.

2.5. Faktor yang mempengaruhi pola asuhMenurut Hurlock (1993) faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:a. Pendidikan orang tua Orang tua yang mendapat pendidikan yang baik, cenderung menetapkan pola asuh yang lebih demokratis ataupun permisif dibandingkan dengan orang tua yang pendidikannya terbatas. Pendidikan membantu orang tua untuk lebih memahami kebutuhan anak.b. Kelas sosialOrang tua dari kelas sosial menengah cenderung lebih permisif dibanding dengan orang tua dari kelas sosial bawah. c. Konsep tentang peran orang tua Tiap orang tua memiliki konsep yang berbeda-beda tentang bagaimana seharusnya orang tua berperan. Orang tua dengan konsep tradisional cenderung memilih pola asuh yang ketat dibanding orang tua dengan konsep nontradisional. d. Kepribadian orang tua Pemilihan pola asuh dipengaruhi oleh kepribadian orang tua. Orang tua yang berkepribadian tertutup dan konservatif cenderung akan memperlakukan anak dengan ketat dan otoriter.

e. Kepribadian Anak Tidak hanya kepribadian orang tua saja yang mempengaruhi pemilihan pola asuh, tetapi juga kepribadian anak. Anak yang ekstrovert akan bersifat lebih terbuka terhadap rangsangan-rangsangan yang datang pada dirinya dibandingkan dengan anak yang introvert.f. Usia anak Tingkah laku dan sikap orang tua dipengaruhi oleh anak. Orang tua yang memberikan dukungan dan dapat menerima sikap tergantung anak usia pra sekolah dari pada anak. Selain itu juga dipengaruhi oleh pemegang kekuasaan dalam keluarga. Di Indonesia terdapat Patriakal (dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah pihak Ayah), Matriakal (dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah pihak Ibu) serta Equlitarian (memegang dalam keluarga adalah Ayah dan Ibu). Siapa yang nantinya memegang kekuasaan nantinya berpengaruh terhadap pola asuh orang tua.

Daftar PustakaBaumrind, D. (1967). Child-care practices anteceding three patterns of preschool behavior.Genetic Psychology Monographs, 75,43-88.Baumrind, D. (1991). The influence of parenting style on adolescent competence and substance use.Journal of Early Adolescence, 11(1), 56-95.Bernstein, D. A. (2011).Essentials of psychology.Belmont, CA: Wadsworth.Hadisubrata, M.S. 1992. Keluarga dalam dunia modern: tantangan dan pembinaannya. Jakarta: Gunung Mulia.Hockenbury, D. H. & Hockenbury, S. E. (2003).Psychology.New York: Worth Publishers.Maccoby, E. E., & Martin, J. A. (1983). Socialization in the context of the family: Parentchild interaction. In P. H. Mussen & E. M. Hetherington,Handbook of child psychology: Vol. 4. Socialization, personality, and social development (4th ed.). New York: Wiley.Maccoby, E.E. (1992). The role of parents in the socialization of children: An historical overview.Developmental Psychology, 28,1006-1017.Maccoby, E.E. (1992). The role of parents in the socialization of children: An historical overview. Developmental Psychology, 28, 1006-1017.Santrock, J.W. (2007). A topical approach to life-span development, third Ed. New York: McGraw-Hill.Scott, Stephen. (2010). National dissemination of effective parenting programmes to improve child outcome. The British Journal of Pscychology. 196:1-3.15