jurnal sharia law ed 05

30

Upload: sharia-law-institute

Post on 24-Jul-2016

221 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

www.sharialawinstitute.com

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal sharia law ed 05
Page 2: Jurnal sharia law ed 05

Sharia Law Institute adalah lembaga riset,m

pengkajian dan pendidikan yang berfokus pada

hukum syariah, baik perkara Hukum Tata

Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata dll.

Setiap kajian yang dilakukan selalu berupaya

untuk hati-hati berdasarkan al-Qur‟an, as-

Sunah, Ijma Sahabat, Itjihad Imam Mahzab dan

Ulama hanif, serta qiyas.

Semua itu dilakukan dalam rangka

mempersiapkan dan memahamkan masyarakat

akan bagaimana mekanisme hukum syariah saat

diterapkan di Negara Khilafah.

Dan yang lebih penting adalah menopang

Negara Khilafah, agar Khalifah semakin mudah

dalam menerapkan hukum-hukum syariah.

Alhamdulillah, saat ini karya yang telah kami

luncurkan diantaranya;

1. Hukum Tata Negara Khilafah

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Negara Khilafah

3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Negara Khilafah

4. The Constitutional of the Islamic

Khilafah

5. Nizhamul Wakaala wa Da‟wa ; Sistem

Peraturan Kuasa Hukum dan Gugatan

6. Syariah Legal Drafting

Selamat membaca.

Daftar Isi ;

Aktor Intelektual Pembunuhan

Menurutt Hukum Pidana Islam? - 01

Penyelesaian Kasus Hukun Dalam

Islam – 07

Asas-asas Hukum Pidana Islam - 17

Diterbitkan oleh SHARIA LAW INSTITUTE

Penanggungjawab Chandra Purna Irawan |Redaksi Farhanudin | Manager

Research Muhammad Mithun |Website Official www.sharialawinstitute.com

|E-mail [email protected] | HP/WA 085 2221 9294 7 | BBM 51EDC6C3 |

Page 3: Jurnal sharia law ed 05

Aktor Intelektual Pembunuhan

menurut

HUKUM PIDANA ISLAM?

Penulis Chandra Purna Irawan.MH.

Pendahuluan

Beberapa bulan lalu masyarakat dikejutkan atas penganiayaan dan

pembunuhan sadis terhadap Salim alias Kancil dan pengeroyokan terhadap Tosan

yang diduga dilakukan oleh sekelompok preman atas perintah pengusaha

penambangan pasir illegal. Masyarakat mendesak agar eksekutor dan actor

pembunuhan dihukum.

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 01

Page 4: Jurnal sharia law ed 05

Menyikapi actor intelektual dalam setiap pembunuhan, bagaimana Hukum

Pidana Islam menyelesaikam kasus tersebut?

Defenisi Aktor Intelektual

Pembunuhan dan penganiayaan, terdiri dari beberapa jenis diantaranya.

Pertama Pembunuhan tunggal disengaja atau direncanakan, kedua pembunuhan

tunggal yang tidak sisengaja atau mirip disengaja atau mirip tidak disengaja,

ketiga pembunuhan tunggal atas perintah, keempat pembunuhan secara berserikat

atau berkelompok yang direncanakan, kelima pembunuhan secara berkelompok

tapi tidak ada yang mengorganisir (amukan masa) , keenam pembunuhan secara

berkelompok atas perintah.

Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum Muslim melakukan

pembunuhan tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syariat. Keharaman

pembunuhan telah ditetapkan berdasarkan al-Quran dan sunnah. Allah swt

berfirman;

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash

berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang

merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa

yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan)

mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar

(diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian

itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa

yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. [TQS

Al Baqarah (2):178]

Di ayat lain, al-Quran juga menyatakan dengan sangat jelas;

“Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain),

kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang

mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya

yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si

terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si

terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 02

Page 5: Jurnal sharia law ed 05

pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh)

dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka

(hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si

terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang

tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan

berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.[TQS An Nisaa‟ (6):92]

Ayat-ayat di atas dilalahnya qath‟iy menunjukkan bahwa pembunuhan

adalah perbuatan haram, kecuali pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan

karena alasan-alasan yang dibenarkan oleh syariat.

Adapun sunnah, dituturkan bahwasanya Nabi saw ditanya tentang dosa

besar, kemudian beliau menjawab :

“Menyekutukan Allah, durhaka kepada dua orang tua, membunuh jiwa, serta

kesaksian palsu..”[HR. Imam Bukhari]

“Telah bersabda Rasulullah saw, “Tidaklah halal darah seorang muslim yang

telah bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan Aku [Mohammad] adalah utusan

Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal ini, “Lelaki yang telah beristeri

yang berzina, jiwa dengan jiwa (qishash atas pembunuhan), murtad dari

agamanya sehingga memisahkan diri dari jama’ah.” [HR. Imam Bukhari dan

Muslim].

Dari nash-nash di atas dapatlah disimpulkan bahwasanya al-Quran dan

Sunnah telah mengharamkan tindakan pembunuhan. Keharamannya merupakan

perkara yang telah ma‟lum min al-diin bi al-dlarurah.

Adapun sanksi bagi orang yang melakukan pembunuhan adalah qishash,

atau membayar diyat. Sanksi qishash dijatuhkan pada kasus pembunuhan sengaja,

dan pelaku pembunuhan tidak mendapatkan pemaafan dari pihak keluarga yang

dibunuh. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan dari keluarga korban,

maka pelaku pembunuhan tersebut harus menyerahkan diyat syar‟iy kepada

keluarga korban. Sedangkan untuk kasus-kasus pembunuhan selain pembunuhan

sengaja, maka pelaku hanya diwajibkan membayar diyat.

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 03

Page 6: Jurnal sharia law ed 05

Aktor Intelektual Pembunuhan

Jika pembunuhan dilakukan secara berkelompok, baik yang terlibat

langsung dalam eksekusi pembunuhan atau yang melakukan perencanaan atau

yang memerintah dan mengawasi, maka semua orang-orang yang terlibat dalam

pembunuhan tersebut wajib dikenai sanksi qishash (bunuh balik). Alasannya,

hadits-hadits yang berbicara tentang sanksi pembunuhan, mencakup pelaku

pembunuhan tunggal maupun berkelompok. Misalnya, di dalam hadits yang

diriwayatkan oleh Imam Turmudziy disebutkan;

“Barangsiapa terbunuh, maka walinya memiliki dua hak; memberikan

pengampunan, atau membunuh pelakunya.” Hadits ini mencakup kasus

pembunuhan yang dilakukan secara tunggal atau berkelompok.

Dalil lain yang menunjukkan bahwasanya sekelompok orang harus dikenai

sanksi yang sama jika berserikat dalam sebuah pembunuhan adalah hadits yang

diriwayatkan oleh Imam Turmudziy dari Abu

Sa‟id al-Khudriy dan Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

“Seandainya penduduk langit dan penduduki bumi berserikat dalam

(menumpahkan) darah seorang Mukmin, sungguh Allah swt akan membanting

wajah mereka semua ke dalam neraka”.[HR. Imam Turmudziy]

Topik yang dibahas di dalam hadits ini adalah pembunuhan yang

dilakukan secara berkelompok atauperserikatan dalam sebuah pembunuhan.

Semua pelakunya mendapatkan ganjaran yang sama.

Imam Malik menuturkan sebuah riwayat dari Sa‟id bin Musayyab ra

sebagai berikut:

“Sesungguhnya Umar ra menjatuhkan sanksi bunuh kepada lima atau tujuh

orang yang berserikat dalam membunuh seseorang; yang mana mereka semua

membunuh seorang laki-laki dengan tipu daya”.[HR. Imam Malik]

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 04

Page 7: Jurnal sharia law ed 05

Di dalam riwayat lain dituturkan bahwasanya „Umar pernah bertanya

kepada „Ali ra tentang pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok orang

terhadap seseorang. „Ali bertanya kepada „Umar, apa pendapatmu seandainya

ada sekelompok orang mencuri barang, apakah engkau akan memotong tangan

mereka? „Umar menjawab, “Ya.” Ali menukas, “Demikian pula pembunuhan.”

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan; jika sekelompok orang bersekutu,

dua orang, atau lebih untuk membunuh seseorang, semuanya dikenai

sanksi. Semuanya harus dikenai sanksi pembunuhan meskipun pihak yang

terbunuh hanya satu orang.

Adapun delik dan sanksi yang dijatuhkan kepada orang-orang yang terlibat

dalam pembunuhan berkelompok itu tergantung dari keterlibatannya dalam

pembunuhan tersebut. Jika seseorang terlibat dalam pemukulan terhadap pihak

yang terbunuh, maka ia terkategori sebagai orang yang terlibat dalam

pembunuhan secara pasti.

Adapun, jika seseorang tidak berlibat dalam pemukulan secara langsung,

maka, hal ini perlu dilihat. Jika ia berposisi sebagai orang yang memudahkan

terjadinya pembunuhan, seperti menghentikan pihak yang hendak dibunuh, lalu

orang tersebut dibunuh oleh pelaku pembunuhan, atau menyerahkan korban

kepada pelaku pembunuhan, ataupun yang lain-lain, maka orang tersebut tidak

dianggap sebagai pihak yang turut bersekutu dalam pembunuhan, akan tetapi

hanya disebut sebagai pihak yang turut membantu pembunuhan. Oleh karena itu,

orang semacam ini tidak dibunuh, akan tetapi hanya dipenjara saja. Imam

Daruquthniy mengeluarkan hadits dari Ibnu „Umar dari Nabi saw, beliau

bersabda, “Jika seorang laki-laki menghentikan seorang pria, kemudian pria

tersebut dibunuh oleh laki-laki yang lain, maka orang yang membunuh tadi harus

dibunuh, sedangkan laki-laki yang menghentikannya tadi dipenjara.” Hadits ini

merupakan penjelasan, bahwa orang yang membantu dan menolong [pembunuh]

tidak dibunuh, akan tetapi hanya dipenjara. Namun demikian, ia bisa dipenjara

dalam tempo yang sangat lama, bisa sampai 30 tahun. „Ali bin Thalib

berpendapat, agar orang tersebut dipenjara sampai mati. Diriwayatkan oleh Imam

Syafi‟I dari „Ali bin Thalib, bahwa beliau ra telah menetapkan hukuman bagi

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 05

Page 8: Jurnal sharia law ed 05

seorang laki-laki yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, dan orang yang

menghentikan (mencegat korban). Ali berkata, “Pembunuhnya dibunuh,

sedangkan yang lain dijebloskan di penjara sampai mati.”

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, semua orang

yang tidak bersekutu dalam pembunuhan hukumnya dipenjara, bukan

dibunuh. Sedangkan orang yang bersekutu dalam pembunuhan maka ia harus

dibunuh, apapun keterlibatannya. Oleh karena itu, orang yang bersekutu secara

langsung, bersekutu sebagai pihak otak pembunuhan, dan eksekutor lapangan,

pengatur taktik pembunuhan, dan lain sebagainya; maka, semuanya dianggap

sebagai pihak yang bersekutu atau terlibat dalam pembunuhan. Alasannya, mereka

semua terlibat dalam pembunuhan secara langsung. Dan semua orang yang

perbuatannya dianggap bersekutu dalam pembunuhan, hukumnya dibunuh,

layaknya pembunuh langsung.

Sedangkan orang yang mempermudah pembunuhan, tidak dianggap

sebagai pihak yang bersekutu dalam pembunuhan, baik dalam secara langsung

maupun tidak langsung. Waallahualam bishawab [ ]

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, semua orang yang tidak

bersekutu dalam pembunuhan hukumnya dipenjara, bukan dibunuh. Sedangkan orang

yang bersekutu dalam pembunuhan maka ia harus dibunuh, apapun

keterlibatannya. Oleh karena itu, orang yang bersekutu secara langsung, bersekutu

sebagai pihak otak pembunuhan, dan eksekutor lapangan, pengatur taktik pembunuhan,

dan lain sebagainya; maka, semuanya dianggap sebagai pihak yang bersekutu atau

terlibat dalam pembunuhan. Alasannya, mereka semua terlibat dalam pembunuhan

secara langsung. Dan semua orang yang perbuatannya dianggap bersekutu dalam

pembunuhan, hukumnya dibunuh, layaknya pembunuh langsung.

Sedangkan orang yang mempermudah pembunuhan, tidak dianggap sebagai pihak yang

bersekutu dalam pembunugan, baik dalam secara langsung maupun tidak langsung

Page 9: Jurnal sharia law ed 05

PENYELESAIAN KASUS HUKUM

MENURUT HUKUM PIDANA

ISLAM

Sejatinya problem peradilan di Indonesia bukan hanya menyangkut

aparatnya saja, namun juga pada sistem peradilan yang berlaku. Jika ditelisik

secara cermat, sistem peradilan di negeri memberikan peluang kemenangan amat

kepada para pemilik modal. Pasalnya, untuk memperoleh keputusan pengadilan

dibutuhkan biaya besar.

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 07

Page 10: Jurnal sharia law ed 05

Pertama, Sumber hukum yang berdasarkan akal ditafsirkan berdasarkan

aspek juridis dan rasa keadilan. Ini karena kadangkala ketentuan UU bertentangan

dengan apa yang disebut dengan rasa keadilan masyarakat. Selain itu banyak

celah hukum pada KUHP sehingga seringkali dimanfaatkan untuk memanipulasi

hukum. Hal ini kemudian mendorong adanya kebutuhan terhadap lawyer

(pengacara atau penasehat hukum) yang membutuhak yang tidak sedikit. Semakin

besar kasus yang dihadapi biaya layer pun semakin mahal. Di tangan para

pengacara handal mereka dapat memutarbalikkan kebenaran, memtahkan berbagai

argumentasi, dan mencari celah hukum yang membuat kliennya bisa lolos dari

jerat hukum.

Kedua, adanya pengadilan yang bertingkat-tingkat. Keputusan pengadilan

di bawahnya bisa dianulir oleh pengadilan di atasnya. Oleh karenanya, seseorang

yang telah diputus bersalah dan harus menjalani hukuman sekian bulan atau

tahun, kemudian mengajukan banding pengadilan ke tingkat atasnya yang lebih

mengikat. Keputusan itu bisa memperberat hukuman, memperingan, atau bahkan

membebaskan sama sekali. Itu berarti, untuk mendapatkan keputusan hukum

tetap, harus menempuh beberapa jenjang pengadilan. Lagi-lagi,

dibutuhkan uang untuk bisa mengikuti alur peradilan yang berbelit-belit ini.

Akibatnya, hanya mereka yang memiliki uanglah yang bisa terus mengajukan

banding. Mereka pula memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan

„pertarungan‟ di babak terakhir.

Model pengadilan berjenjang seperti ini jelas tidak efisien, menghabiskan

banyak waktu, tenaga dan biaya bukan hanya pihak yang berperkara namun juga

para penegak hukum (polisi, hakim, jaksa). Proses yang lama tersebut membuat

kepastian hukum tidak segera didapatkan pihak yang berperkara. Panjangnya

jenjang pengadilan ini menjadi celah yang menguntungkan para mafia peradilan.

Di sisi lain penyelesaian hukum seperti ini membuat para pelaku kejahatan

tidak akan jera atau takut untuk melakukan tindak kriminal. Akibatnya angka

kriminal terus meningkat. Realitas ini tidak hanya di Indonesia, namun juga di

negara-negara yang menganut peradilan sekular. Amerika Serikat, negara yang

sering dianggap sebagai kiblat peradaban sekular, adalah contohnya. Menurut

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 08

Page 11: Jurnal sharia law ed 05

data, di AS aksi pembunuhan terjadi setiap 22 menit, pemerkosaan terjadi setiap 5

menit, perampokan berlangsung setiap 49 detik, dan pencurian terjadi setiap 10

detik. Menurut penelitian terbaru yang dilakukan Prof. Morgan Reynold dari A &

M University Texas, diperoleh data bahwa dari 500.000 pencurian yang terjadi

setiap bulannya, ternyata hanya 6.000 pencuri yang tertangkap (Invansi Politik

dan Budaya, Salim Fredericks, hal. 254).

Lalu bagaimana gambaran sistem peradilan dalam Islam? Berikut

beberapa cuplikan sistem tersebut.

Sumber hukum yang jelas dan tegas

Sumber hukum dalam peradilan Islam jelas yakni al-Quran dan as-Sunnah

dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya yaitu Ijma‟ Sahabat dan Qiyas dengan

illat syar‟iy. Allah swt berfirman:

أ احى بثي ضيث الللاأ رزجع اء أ احزس يفزنأ بثعضع ضي إيهللاأ

“Dan hukumilah mereka berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah dan

janganlah mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah dari upaya mereka

untuk memalingkan kamu dari sebagaian apa yang telah diturunkan oleh Allah

kepadamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 49)

Ini jelas berbeda dengan sumber hukum dalam sistem kapitalisme yang

didasarkan pada aturan yang dibuat oleh manusia yang serba lemah dan terbatas

kemampuannya untuk mengetahui hukum yang paling layak; sangat dipengaruhi

oleh latar belakang dan berbagai kepentingan. Oleh karena itu salah satu problem

yang mengemuka dalam hukum sekuler saat ini adalah bagaimana memadukan

antara aturan hukum formal dengan rasa keadilan masyarakat. Artinya aturan

hukum yang berlaku belum tentu sesuai dengan apa yang dianggap adil oleh

masyarakat. Padahal apa yang dianggap adil oleh masyarakat juga sangat relatif.

Allah swt berfirman:

عس شيئبرىشاأ خيش عسى اأ شيئبرحج شش للاى يع ز أ ال رع

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 09

Page 12: Jurnal sharia law ed 05

“…Dan boleh jadi kalian membenci sesuatu sementara ia baik bagi kalian. Dan

boleh jadi kalian menyenangi sesuatu namun ia buruk bagi kalian. Dan Allah

maha mengetahui sementara kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Disamping itu bobot hukuman yang ditetapkan Islam dalam masalah

hudud, jinayat, ta‟zir serta mukhalafat yang ditetapkan oleh khalifah tidak

tanggung-tanggung beratnya. Dengan demikian hukuman tersebut selain menjadi

penghapus dosa pelakunya (jawabir) juga memberikan efek jera bagi

pelaku (zawajir) dan pencegah bagi masyarakat secara umum.

Integritas Penegak Hukum

Adapun pihak yang berwenang menetapkan hukum dalam Islam adalah

khalifah atau orang yang telah diberi wewenang oleh khalifah yaitu qadhi.

Rasulullah saw memutuskan sendiri berbagai perkara hukum yang terjadi di

masanya. Di samping itu beliau juga mengangkat sejumlah sahabat untuk menjadi

qadhi di sejumlah wilayah dan daerah seperti penunjukan Ali sebagi qadhi di

Yaman dan Muadz bin Jabal di Janad.

Qadhi sendiri dibagi menjadi tiga kategori: qadhi yaitu qadhi yang

menangani perkara muamalat dan „uqubat dalam masyarakat; al-muhtasib yakni

qadhi yang menangani pelanggaran yang membahayakan kepentingan umum; dan

qadhi al-madzhalim yakni qadhi yang mengani kasus yang terjadi antara rakyat

dan pejabat negara.

Para qadhi tersebut diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau orang

yang telah diberikan kewenagan untuk mengatur lembaga peradilan yaitu qadhi

qudhat.

Fungsi qadhi adalah menyampaikan hukum suatu terhadap suatu perkara

yang bersifat mengikat pihak yang berperkara. Dengan demikian ia berbeda

dengan fatwa yang kedudukannya tidak mengikat seseorang.

Qadhi yang diangkat oleh khalifah atau qadhi qudhat disyaratkan muslim,

merdeka, baligh, berakal, ahli fiqhi dan mampu menetapkan hukum terhadap

realitas. Selain itu kekuatan ruhiyyah juga menjadi penting bagi seorang hakim

memiliki integritas yang tinggi sehingga tidak menyalahi hukum syara‟ dalam

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 10

Page 13: Jurnal sharia law ed 05

dalam memutuskan perkara. Sebagaimana diketahui keputusan hukum yang

bertentangan dengan syariat Islam merupakan keputusan yang batil dan hakimnya

akan diganjar oleh Allah swt dengan siksa neraka. Rasulullah saw bersabda:

ع ثشيذحاث ع أثي ع مضبح»لبي-سعيللاص-اج احذ ثالثخ ا جخف ا اثب ابسف

ب جخفازفأ ا حكعشففشج فمضا ث سج حكعشف ففجبسا حى ا ابسفف سج

عبطلض ج «.ابسفف

Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya dari Nabi saw beliau bersabda: “Hakim

ada tiga: satu masuk surga dan dua masuk neraka. hakim yang masuk surga adalah

hakim mengetahui kebenaran dan memutuskan dengannya; sementera hakim yang

mengetahui kebenaran lalu ia menyimpang darinya ketika memutuskan perkara

maka ia di neraka; demikian pula hakim yang memutuskan perkara dengan jahil

maka ia pun masuk neraka.” (HR. Abu Daud dan menurutnya shahih).

Pemenuhan aspek material hakim meski bukan faktor utama dalam

terwujudnya keputusan yang benar, juga tetap diperhatikan. Posisi hakim adalah

pegawai (ajir) negara yang berhak mendapatkan gaji dan tunjungan yang layak.

Tidak ada jumlah pasti mengenai batasan gaji pejabat dalam Islam. Catatan Ibnu

Saad setidaknya dapat memberikan kisaran gaji pejabat di masa Rasul

dan Khulafau Rasyidun. Atab bin Usaid misalnya yang ditugaskan menjadi wali di

Mekkah oleh Rasullah, mendapat 40 uqiyyah pertahun (1 uqiyyah = 40 dirham)

atau 133 dirham per bulan. Ibu Saad juga memberitakan bahwa Umar telah

menggaji Iyyadh bin Gunma yang menjadi wali Janad satu dinar perhari (4,25

gram emas), satu kambing dan satu mud gandum. Di samping itu pejabat dalam

daulah Islam juga mendapat beberapa tunjangan seperti rumah dan pembantu.

Rasulullah saw pernah bersabda:

سدع سز ا عذلبيشذاد ث س »يمي-سعيللاص-اج البوب يىزستعب جخف ص

فئ يى يىزستخبد بف خبد فئ يى سى يىزست سىبف أخجشدثىش أثلبيلبي«. أ اج

»لبي-سعيللاص- رهغيشارخز غبي ف «.سبسق أ

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 11

Page 14: Jurnal sharia law ed 05

“Barangsiapa yang kami angkat sebagai maka hendaklah ia mencari istri. Jika ia

tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mengusahaknnya. Jika ia tidak

memiliki rumah maka hendaklah ia membangunnya. Abu Bakar berkata: Saya

mendapatkan berita bahwa Nabi saw bersabda: barangsiapa yang mengambil

selain itu maka ia adalah pencuri.”(HR. Abu Daud. Menurut Albany Shahih).

Seorang hakim tidak diperkenankan untuk mengambil apapun dari

manapun selain dari apa yang diberikan oleh negara padanya sebagaimana yang

disebutkan dalam hadits di atas. Hal ini karena harta tersebut merupakan harta

yang Rasulullah saw juga bersabda.:

ب عاسزع بسصلبفشصلبع رهثعذأخزف ي ف غ

“Barangsiapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan lalu kami

memberikan rezeki kepadanya maka apa yang ia ambil selain itu merupakan

harta yang tidak sah (ghulul). (HR. Ibnu Khuzaimah dan disahihkan Al-A‟dzamy)

Putusan yang tegas

Dalam Islam dikenal istilah tabanni hukum, yakni hukum yang berlaku

bagi seseorang adalah apa yang ia adopsi (tabanny) berdasarkan kriteria

pengadopsian hukum baik dengan ijtihad ataupun melalui taklid. Dengan

demikian hukum yang diadopsi oleh seseorang bersifat tunggal. Artinya meski

dalam satu masalah ada banyak pendapat namun bagi seseorang yang

berhubungan dengan perkara tersebut ia harus memilih salah satu diantaranya.

Mengeraskan basmalah dalam shalat jahriyyah misalnya ada dua pendapat;

mengeraskan atau atau memelankannya. Namun demikian bagi seseorang yang

hendak shalat maka ia harus memilih pendapat yang dianggapnya paling rajih.

Demikian pula halnya dalam penetapan hukum di pengadilan. Meski

banyak pendapat yang berkenaan dengan suatu perkara namun hakim yang telah

diberi kewenangan oleh syara‟ untuk menetapkan perkara harus menetapkan

keputusan berdasarkan apa yang dianggapnya paling kuat. Ini karena hukum yang

ia putuskan adalah berdasarkan apa yang ia adopsi yang sifatnya tunggal.

Meskipun dalam persidangan ia dapat dibantu oleh hakim pendamping namun

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 12

Page 15: Jurnal sharia law ed 05

pandangan mereka hanya sebatas pertimbangan semata yang tidak mengikat

hakim tersebut.

Keputusan yang telah ditetapkan oleh seorang hakim bersifat tetap dan

tidak dapat dibatalkan atau diajukan banding atasnya. Oleh karena itu di dalam

Islam tidak dikenal pengadilan atau mekanisme hukum yang berjenjang seperti

dalam sistem Kapitalisme yaitu: Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,

Mahkamah Agung, Peninjauan Kembali, pemberian Grasi, Amnesti atau Abolisi

oleh Presiden.

Hal Ini telah menjadi ijma di kalangan sahabat r.a. Umar misalnya

menetapkan keputusan yang bertentangan dengan Abu Bakar namun ia tidak

membatalkan apa yang telah ditetapkan oleh Abu Bakar. Hal yang sama juga yang

terjadi Ali yang memiliki sejumlah pendapat yang bertentangan dengan Umar

namun beliau tidak membatalkan pendapat pendahulunya itu.

ع سب جعذأثث :لبيا وب شعطبعبع ع بللاسض بع ي ش اذ طع عي ي

أرب أ جشا وب ع للاسض ىزبةوزتع ا ثي جشأ ا ثي -سعيللاص-اج

ذففىثشا شع ع للاسض حزع لعابطعخبف ف ااالخزالفثي شفأر ع للاسض ع

جذيفسأ ا لبيفأثذ ث اذ ضعأ ء ثي ش فأثفبسزمبفأر أ بيمي ف ع للاسض

ع يشيبافمبأر أ ي ؤ خطهثسبهشفبعزها يه فمبيثي ع للاسض :ع يحى شإ ع

للاسض ع ش.سشيذوب األ

Dari Salim bin Abu Ja’d berkata: “Andaikan Ali bermaksud mencela

Umar r.a. pada suatu kesempatan maka ia pasti melakukannya di saat penduduk

Najran mendatangi beliau. Sebelumnya beliau telah menulis ketetapan antara

penduduk Najran dengan Rasulullah saw. Namun pada masa Umar jumlah

mereka bertambah banyak hingga Umar mengkhawatirkan mereka berselisih

dengan orang lain. Mereka mendatangi Umar untuk mengganti ketetapan

sebelumnya lalu Umar menggantinya; Meski setelah itu mereka menyesal atas

ketetapan baru tersebut.. Mereka lalu mendatangi beliau untuk meminta

keringanan namun ditolak oleh Umar. Tatkala Ali menjadi pemimpin mereka

mendatangi beliau dan berkata: “Wahai amirul mukmin kami mohon pemaafan

dengan lisanmu dan keputusan dengan sumpahmu. Namun Ali r.a. menjawab:

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman |13

Page 16: Jurnal sharia law ed 05

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya Umar r.a. merupakan pemimpin yang

lurus.” (H.R. al-Baihaqy)

Bahkan dalam kasus yang sama sahabat dapat mengeluarkan keputusan

yang berbeda di waktu yang berbeda berbasarkan perubahan ijtihad mereka.

Meski demikian mereka tidak menganulir pendapat sebelumnya. Umar bin

Khattab misalnya telah melakukan hal tersebut.

سعدع ث حى يعا شلض:لبياثمف ع خطبةث ا للاسض شأح فع جبرشوذا ص

اثزب رب إخ ب ربأل إخ بألثيب أ فششن حثي اإلخ أل ثي ح اإلخ األةأل اثثجع ثي

اء فمبيس يشيب:سج أ ي ؤ إها ن رشش ثي وزاوزاعب شفمبي بعره:ع ئز لضيب ي

ز بع .لضيب ي ا

Dari Ibnu Mas’ud bin Hakam ats-Tsaqafi berkata: “Umar telah

menetapkan warisan dari seorang wanita yang meninggalkan suami, anak

perempuan, saudara seibu dan saudara seibu sebapak. Beliau kemudian

menggabungkan antara saudara seibu dan saudara seibu sebapak untuk

mendapatkan sepertiga secara merata (dari harta warisan). Seorang laki-laki

kemudian mempertanyakan hal itu: Wahai Amirul Mukminin bukankah pada

tahun sebelumnya engkau tidak menggabungkan keduanya? Maka Umar

menjawab itu adalah keputusan yang telah kami tetapkan pada saat itu dan ini

adalah keputusan yang kami tetapkan saat ini.” (HR. al-Baihaqy)

Oleh karena itu para ulama ushul membuat suatu kaedah fiqhi:

“Ijtihad itu tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad.”

Namun demikian bukan berarti keputusan apapun tidak dapat berubah.

Jika terbukti hakim menetapkan hukum tidak berdasarkan syariat Islam,

menyalahi dalil yang qathi atau memutuskan perkara yang bertentangan dengan

realitas maka keputusannya harus dibatalkan. Adapun jika ia menetapkan perkara

dalam kasus yang dalilnya dzanny maki keputusannya tidak direvisi sebagaimana

kaidah fiqhi di atas.

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 14

Page 17: Jurnal sharia law ed 05

Ibnu Qudamah mengatakan: “jika ijtihad seorang hakim berubah namun

tidak menyalahi nash atau ijma’ atau ia ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihad

orang yang mendahuluinya maka ia tidak boleh membatalkannya karena sahabat

telah bersepakat atas hal tersebut.”

Demikian pula dalam kasus yang tidak dapat dibuktikan dengan bukti-

bukti yang absah dalam Islam seperti saksi, pengakuan, sumpah, surat-surat resmi

sehingga menimbulkan syubhat maka qadhi tidak diperkenankan untuk

menjatuhkan sanksi kepada terdakwa. Hal didasarkan pada sebuah kaidah ushul

yang diperoleh dari sejumlah riwayat:

“Sanksi dibatalkan karena adanya kesamaran.”

Hal yang perlu ditambahkan adalah meski khalifah, muawint tafwidh atau

qadhi qudlat memiliki otoritas untuk mengangkat dan memberihentikan seorang

hakum namun dalam proses penyelesaian perkara yang melibatkan

Khalifah, muawint tafwidh atau qadhi qudlat seorang hakim madzalim yang

menangani perkara mereka tidak boleh diberhentikan selama perkara tersebut

berlangsung. Dengan demikian ia dapat menyelesaikan kasus tersebut tanpa

adanya kekahwatiran akan tekanan dan intervensi dari pejabat tersebut.

Wallahu a‟lam bis Shawab

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 15

Page 18: Jurnal sharia law ed 05
Page 19: Jurnal sharia law ed 05

ASAS-ASAS

HUKUM PIDANA ISLAM

A. Asas Legalitas

Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip,

sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang

berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai

dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah "keabsahan

sesuatu menurut undang undang".

Adapun istilah legalitas dalam syari'at Islam tidak ditentukan secara jelas

sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati

demikian, bukan berarti syari'at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak

yang menyatakan hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah

mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansional

menunjukkan adanya asas legalitas.

Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin:

Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 17

Page 20: Jurnal sharia law ed 05

hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu

jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang

dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalah gunaan

kekuasaan atau keseweenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu

dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi

peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumanya. Jadi,

berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh

hakim jika belum dinyatakan sejara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama

perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap

orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak

pidana.

1. Sumber Hukum Asas Legalitas

Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan pada akal manusia,

tetapi dari ketentuan Tuhan. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut

dalam hukum Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan

asas legalitas tersebut. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman pada

manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum

adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Demikian juga

kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang

sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang sanggup di

kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:

Al-Qur'an surat Al-Isra‟: 15

Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah

(Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya

sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat

bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat

memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami

mengutus seorang Rasul.”

Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59

Artinya: “Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota,

sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 18

Page 21: Jurnal sharia law ed 05

ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami

membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan

melakukan kezaliman.”

Kaidah Fiqh

داص س دالفعبياعمالءلج الحذ

Artinya : Tidak ada hukum bagi tindakan-tindakan manusia sebelum ada

aturan hukumnya

2. Penerapan Asas Legalitas

Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan

hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip

tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan

diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan

bahwa prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua katagori diatas.

Menurut Nagaty Sanad, professor hukum pidana dari mesir, asas

legalitas dalam Islam yang berlaku bagi kejahatan ta‟zir adalah yang

paling fleksibel, dibandingkan dengan kedua katagori sebelumnya.

Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam

terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi

juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak

individu, keluarga, dan masyarakat melalui katagorisasi kejahatan dan

sanksinya.

Kemudian jika berpegang pada asas legalitas seperti yang

dikemukakan pada bab di atas serta kaidah "tidak ada hukuman bagi

perbuatan mukallaf sebelum adanya ketentuan nas", maka perbuatan

tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung jawaban pidana.

Dengan demikian nas-nas dalam syari'at Islam belum berlaku sebelum di

undangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan ini memberi

pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nas yang

mengundangkan. Hukum pidana Islam tidak mengenal sistem berlaku

surut yang dalam perkembangannya melahirkan kaidah :

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 19

Page 22: Jurnal sharia law ed 05

فيازششيعاجبئي السجعيخ

Tidak berlaku surut pada pidana Islam

Penerapan hukum pidana Islam yang menunjukkan tidak berlaku semisal:

- Berlakunya bekas ibu tiri dalam surat An-Nisa': 22

Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini

oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya

perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang

ditempuh).”

- Hukum riba dalam QS. Al-Baqarah: 275

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat

berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan

lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,

adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli

itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan

dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya

apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan

urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),

Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di

dalamnya.”

Asas legalitas ini mengenal juga asas teritorial dan non teritorial;

a) Asas teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam hanya berlaku di

wilayah di mana hukum Islam diberlakukan, yakni :

Negara-negara Islam;

Negara yang berperang dengan negara Islam;

Negara yang mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam.

b) Asas non teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam berlaku bagi

seorang muslim tanpa terikat di mana ia berada, apakah ada di wilayah di

mana hukum pidana Islam diberlakukan (tiga negara tersebut di atas), maupun

di negara yang secara formal tidak diberlakukan hukum pidana Islam.

B. Asas tidak Berlaku Surut

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 20

Page 23: Jurnal sharia law ed 05

Hukum pidana Islam pada prinsip tidak berlaku surut, hal ini sesuai

dengan kaidah

اجبئي ازششيع tidak berlaku surut pada pidana Islam, artinya السجعيخ في

sebelum adanya nas yang melarang perbuatan maka tindakan mukallaf tidak bisa

dianggap sebagai suatu jarimah. Namun dalam praktiknya ada beberapa jarimah

yang diterapkan berlaku surut artinya perbuatan itu dianggap jarimah walaupun

belum ada nas yang melarangnya.

Alasan diterapakan pengecualiaan berlaku surut, karena pada jarimah-

jarimah yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak diterapkan maka akan

menimbulkan kekacauan dan kehebohan dikalangan umat muslim.

Jarimah-jarimah yang diberlakukan surut yaitu :

a. Jarimah Qadzaf (menuduh Zina) dalam surat An-Nur: 4

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu

nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka

menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,

Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi

baik akibatnya.”

b. Jarimah Hirabah dalm surat Al-Maidah: 33

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang

memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,

hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki

mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat

kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk

mereka didunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.”

Selain itu asas ini melarang berlakunya hukum ke belakang, kepada

perbuatan yang belum ada aturan atau nasnya. Hukumpidana harus berjalan

kedepan. Pelanggaran terhadap asas ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak

asasi manusia. Contoh dari pelaksanaan asas ini adalah pelanggaran praktik yang

berlaku di antara bangsa Arab Pra-Islam.

Sebagai contoh, di zaman pra-Islam, seorang anak diizinkan menikahi

istri dari ayahnya. Islam melarang praktek ini, tetapi ayat Al-Qur‟an secara khusus

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 21

Page 24: Jurnal sharia law ed 05

mengecualikan setiap perkawinan seperti itu yang dilakukan sebelum pernyataan

dilarang: “ Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini

ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.” (an-Nisa: 22). Sebagai

akibatnya, ikatan perkawinan seperti itu menjadi putus, namun dari sisi hukum

pidana pelakunya tidak dipidana.

C. Asas Praduga tak Bersalah

Suatu konsekuen yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah

asas praduga tak bersalah (principle of lawfulness/presumption of innocence).

Menurut asas ini semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya

oleh suatu nash hukum. Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk

suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa

ada keraguan. Jika di suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh

harus dibebaskan. Konsep tersebut telah dilembagakan dalam hukum Islam jauh

mengenalnya sebelum hukum-hukum pidana positif.

Berkaitan erat dengan asas praduga tak bersalah adalah batalnya hukuman

karena adanya keraguan (doubt). Hadits nabi menyatakan secara jelas

menyatakan: “Hindarkan hudud dalam keadaan ragu lebih baik salah dalam

membebaskan daripada salah menghukum.” Menurut ketentuan ini, putusan

untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya

keraguan.

Dalam kejahatan kejahatan hudud, keraguan membawa pembebasan

terdakwa dan pembatalan hukuman hadd. Akan tetapi, ketika pembatalan

hukuman had ini, hakim (jika diperlukan) masih memiliki otoritas untuk

menjatuhkan hukuman ta'zir kepada terdakwa.

Para sarjana muslim sepakat pada prinsip diatas untuk kejahatan kejahatan

hudud dan qisas, namun mereka berbeda pada penerapannya untuk kejahatan

kejahatan ta'zir. Pandangan mayoritas adalah bahwa aplikasi prinsip ini tidak

meliputi kejahatan kejahatan ta'zir. Akan tetapi, sebagian sarjana memegang

pendapat jenis kejahatan yang terakhir mesti tidak dikecualikan, atas dasar bahwa,

tidak ada sesuatupun dalam jiwa syari'at menghalagi keberlakuannya. Menurut

mereka, ketentuan ini dibuat dengan tujuan untuk menjamin keadilan dan

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 22

Page 25: Jurnal sharia law ed 05

melindungi kepentingan terdakwa, baik dakwaan itu untuk kejahatan had, qisas

dan ta'zir.

D. Asas Material

Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah

segala yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang

maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had

atau ta‟zir).

Berdasarkan atas asas material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal

dua macam: hudud dan ta’zir. Hudud adalah sanksi hukum yang kadarnya telah

ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nash, baik al-Qur‟an maupun hadits.

Sementara ta‟zir adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak ditentukan, atau

tidak jelas ketentuannya, baik dalam al-Qur‟an maupun hadits. Oleh karena itu,

dalam pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang berbunyi :

دثبشجبد ادسءااحذ

Artinya : Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran atau

syubhat.

Asas material pun mengenal asas pemaafan dan asas taubat. Asas

pemaafan dan taubat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak pidana,

baik atas jiwa, anggota badan maupun harta, dapat dimaafkan oleh pihak yang

dirugikan apabila yang bersangkutan bertobat. Bentuk tobat dapat mengambil

bentuk pembayaran denda yang disebut diyat, kafarat, atau bentuk lain, yakni

langsung bertaubat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, lahirlah kaidah yang

menyatakan bahwa: “Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak

berdosa. “

E. Asas Moralitas

Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :

(1) Asas Adamul Uzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak

diterima pernyataannya bahwa ia tidak tahu hukum.

(2) Asas Raful Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu

tindak pidana dapat dihapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 23

Page 26: Jurnal sharia law ed 05

karena pelakunya di bawah umur, orang yang tertidur dan orang

gila.

(3) Asas al-Khath wa Nis-yan yang secara harfiah berarti kesalahan

dan kelupaan. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat

dituntut pertanggungan jawab atas tindakan pidananya jika ia dalam

melakukan tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaan.

Asas ini didasarkan atas surat al-Baqarah: 286.

(4) Asas Suquth al-‘Uqubah yang secara harfiah berarti gugurnya

hukuman. Asas ini menyatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur

karena dua hal : pertama, karena si pelaku dalam melaksanakan

tindakannya melaksanakan tuga; kedua, karena terpaksa.

Pelaksanaan tugas dimaksud adalah seperti : petugas eksekusi

qishash (algojo), dokter yang melakukan operasi atau pembedahan,

dsb. Keadaan terpaksa yang dapat menghapuskan sanksi hukum

seperti : membunuh orang dengan alasan membela diri, dsb.

Wallahualambishawab

Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 24

Page 27: Jurnal sharia law ed 05
Page 28: Jurnal sharia law ed 05
Page 29: Jurnal sharia law ed 05

BBNNII..0033..0011..886666..883311 aa..nn CChhaannddrraa PPuurrnnaa IIrraawwaann

BBRRII 11668899--0011--000000660077--5533--66 aa..nn CChhaannddrraa PPuurrnnaa IIrraawwaann

Page 30: Jurnal sharia law ed 05

GALERY FOTO SHARIA LAW INSTITUTE & MUSLIM ROHINGNYA @Langsa, Aceh Timur

>> CEO Sharia Law Institute foto bersama Imami, muslim rohingnya yang Hafidz 30

Juz Al-Qur’an

>> Kebutuhan air bersih +100.000 liter/hari. Sharia Law Institute turut membantu kebutuhan air tersebut

>>Menghibur anak-anak Rohingny