kadar iga saliva pada pasien yang terinfeksi hiv

9

Upload: wildan-humairah

Post on 01-Jul-2015

298 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

1

KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

DI RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSOMO JAKARTA

Oleh :

Drg. IRNA SUFIAWATI, Sp.PM

NIP. 132206501

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2008

Page 2: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

2

ABSTRAK

Latar belakang: Infeksi HIV mempunyai efek secara langsung pada sistem imun, selular

dan humoral. Sekresi antibodi, khususnya IgA saliva, merupakan indikator fungsi imun

mukosa mulut. Komponen sistem imun ini telah diketahui sebagai pertahanan utama

terhadap patogen yang berkolonisasi dan menginvasi permukaan mukosa di dalam rongga

mulut. Imunoglobulin A saliva telah diketahui berperan dalam aglutinasi bakteri,

netralisasi toksin, bakteri dan virus.

Tujuan: Untuk mengetahui kadar IgA saliva dan hubungannya dengan jumlah sel T CD4

pada pasien yang terinfeksi HIV di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang.

Saliva keseluruhan dengan stimulasi paraffin-wax dikumpulkan dari 103 pasien

HIV/AIDS dan 30 individu individu sehat. Saliva dikumpulkan dengan menggunakan

metode spitting. Kadar IgA saliva ditentukan dengan metode imunoturbidimetri

menggunakan alat turbitimer produk Behring.

Hasil: Kadar IgA saliva adalah 141,55 ± 83,23 (kelompok HIV) dan 97,24 ± 38,25

(individu sehat). Hasil uji Mann-Whitney U menunjukkan bahwa kadar IgA saliva pada

pasien HIV/AIDS tersebut lebih tinggi daripada nilai rujukan (p<0,1). Sebagian besar

subyek penelitian memiliki status imunosupresi berat dengan jumlah sel T CD4 dibawah

<200 sel/mm3. Uji korelasi Pearson menunjukkan tidak didapatkan korelasi yang

bermakna antara kadar IgA saliva dengan jumlah sel T CD4 (r=0,06, p>0,1).

Kesimpulan: Kadar IgA saliva lebih tinggi secara bermakna pada subyek HIV/AIDS

daripada individu sehat, dan tidak ada hubungan yang bermakna dengan jumlah sel T

CD4.

Kata kunci: IgA saliva, sel T CD4, infeksi HIV.

Page 3: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

3

ABSTRACT

Background: HIV infection appears to have direct effects on oral mucosal immunity,

cellular and humoral. Antibody secretion, especially salivary immunoglobulin A (IgA), is

a useful indicator of mucosal immune function. This immune system component is

recognized as an important first-line of defense against pathogens which colonize and

invade mucosal surfaces in the oral cavity. Salivary IgA has been shown to agglutinate

bacteria, neutralize toxins, enzymes, and viruses.

Objectives: The purpose of this study was to investigate salivary IgA levels and to

determine its correlation with CD4 T-cell counts among HIV-infected Patients in

Pokdisus AIDS Cipto Mangunkusomo Hospital Jakarta.

Methods: The design study was using a cross-sectional study. Whole paraffin-wax-

stimulated saliva was collected from 103 HIV-infected patients and 30 healthy

individuals. Saliva was collected using the spitting method. Salivary IgA levels were

determined by the immunoturbidimetry method using the Behring Turbitimer Analyser.

Results : Salivary IgA levels were 141.55 ± 83.23 (HIV group) and 97.24 ± 38.25

(healthy individuals). The Mann-Whitney U test showed salivary IgA levels were

significantly higher in HIV/AIDS subjects compared with healthy individuals (p<0.1).

Most of the subject have severe immunosuppresion with CD4+ T-cell counts <200

cell/mm3. Pearson's correlation test between CD4+ T-cell counts and salivary IgA levels

showed no significant correlation (r= 0.06, p>0.1).

Conclusion: This study indicates that total salivary IgA levels were significantly higher

in the HIV-infected patients compared to control, and salivary IgA level seem not to be

related significantly to CD4+ T-cell counts.

Key words: Salivary IgA, CD4+ T cell, HIV infection.

Page 4: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

4

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillahirrobbil’alamiin, segala puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah

SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya. Berkat ridha-Nyalah saya dapat

menyelesaikan makalah ini yang merupakan hasil penelitian yang berjudul “Kadar IgA

Saliva pada Pasien yang Terinfeksi HIV di RSUPN Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta”

Penulis banyak mendapat kesulitan dalam melaksanakan penelitian ini, namun

berkat bimbingan dan arahan berbagai pihak maka penulis dapat menyelesaikannya. Oleh

karena itu dengan segenap ketulusan hati perkenankanlah saya menyampaikan rasa

terimakasih yang setulus-tulusnya dan perhargaan kepada:

1. Dr. drg. Harum Sasanti, Sp.PM, atas bimbingan dan arahannya.

2. Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, �������� � atas kesempatan dan bantuan yang

diberikan kepada saya dalam melaksanakan penelitian ini.

3. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unpad

4. Kepala Bagian Ilmu Penyakit Mulut FKG Unpad

5. Staf Akademik Bagian Ilmu Penyakit Mulut FKG Unpad

6. Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan berkat dan rahmatNya. Amin.

Untuk penyempurnaan makalah ini penulis selalu menerima kritik dan saran

dengan tangan terbuka. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi pengembangan

ilmu kedokteran gigi dan bagi para pembaca.

Bandung, September 2007

Penulis

Page 5: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

5

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

Bab 1. PENDAHULUAN 1

Bab 2. TINJAUAN PUSTAKA 3

Bab 3. METODA PENELITIAN 11

Bab 2. HASIL PENELITIAN 15

Bab 3. PEMBAHASAN 19

Bab 4. KESIMPULAN DAN SARAN 24

DAFTAR PUSTAKA 25

Page 6: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

6

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Sejak awal epidemik HIV, berbagai penelitian membuktikan bahwa infeksi HIV

mempunyai efek secara langsung pada sistem imun, baik imunitas selular maupun

humoral.1,2 Imunosupresi yang ditandai dengan penurunan jumlah sel T CD4. Selain sel T

CD4 sebagai komponen imun selular, komponen imun humoral lokal imunoglobulin A

(IgA) saliva juga berperan dalam proteksi terhadap lesi oral.3-6 Imunoglobulin A

mempunyai peran penting sebagai proteksi terhadap mikroorganisme melalui berbagai

mekanisme pada jaringan mukosa mulut, yaitu membunuh secara langsung, aglutinasi,

menghambat perlekatan dan penetrasi mikroorganisme, inaktivasi enzim dan toksin

bakterial, opsonisasi dan cell-mediated killing.7-11

Penelitian-penelitian terdahulu melaporkan adanya abnormalitas kadar IgA saliva

pada pasien HIV/AIDS 1,2,12,13, dan terdapat hubungan antara jumlah sel T CD4 dengan

kadar IgA saliva pada infeksi HIV.14 Hasil penelitian Muller dkk (1991)16, Sweet dkk

(1995)17, dan Sistig dkk (2003)12 menunjukkan bahwa kadar IgA pada pasien HIV/AIDS

lebih rendah dibandingkan dengan kelompok HIV negatif. Challacombe & Sweet (2002)1

melaporkan konsentrasi IgA saliva keseluruhan lebih rendah baik pada pasien HIV

maupun AIDS, dan lebih nyata terlihat pada tahap lanjut dari infeksi HIV.oleh Grimoud

dkk (1998) melaporkan terdapat peningkatan kadar IgA saliva yang signifikan pada

pasien HIV dengan CD4 <200.14

Perubahan kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS yang kontradiktif terlihat

pada hasil berbagai penelitian. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti

perbedaan tehnik pengambilan saliva, variasi waktu saat pengambilan saliva, perbedaan

jenis kelenjar pada pengambilan saliva, laju aliran saliva, tahapan infeksi HIV populasi

penelitian, jumlah subyek penelitian, dan/atau berbagai obat-obatan yang digunakan

subyek. Perubahan kadar IgA saliva juga dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin,

faktor hormonal, latar belakang genetik, faktor psikologis, sosial ekonomi, aktivitas fisik,

status nutrisi, dan gaya hidup.18,19

Page 7: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

7

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, kami ingin mengetahui kadar IgA saliva dan

hubungannya dengan jumlah sel T CD4 serum pada pasien HIV/AIDS di Indonesia

khususnya di Pokdisus AIDS RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, karena sampai saat

ini belum pernah ada laporannya.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan pemahaman

mengenai aspek imunologis pada pasien HIV di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya mencegah berkembangnya

manifestasi oral yang terkait erat dengan infeksi HIV untuk meningkatkan kualitas hidup

pasien HIV/AIDS dengan memperhatikan tingkat imunosupresinya dan peningkatan

kondisi kesehatan gigi dan mulutnya.

Page 8: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency

Syndrome dan Cluster of Differentiation (CD) 4.

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit disebabkan

oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), ditandai dengan penurunan sistim imun

yang dapat mengakibatkan infeksi-infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan

manifestasi neurologik.20-22

Serupa dengan retrovirus, virion HIV-1 berbentuk bola dan mempunyai inti

berbentuk konus, padat dengan elektron, dan dikelilingi selubung lipid yang didapat dari

membran sel host. Inti virus mengandung (1) protein capsid mayor p24, (2) protein

nukleocapsid p7/p9, (3) dua kopi genom RNA, (4) tiga enzim virus (protease, reverse

transcriptase, dan integrase). Protein p24 adalah antigen virus yang paling banyak

dideteksi dan merupakan target dari antibodi yang digunakan untuk menegakkan

diagnosis infeksi HIV pada enzyme-linked immunosorbent assay (ELIZA). Inti virus

dikelilingi oleh protein matriks yang dinamakan p17, yang berada di bawah selubung

virion. Pada selubung terdapat dua glikoprotein, yaitu gp 120 dan gp41, yang penting

untuk infeksi HIV pada sel host (Gambar 2.1).20-22

Gambar 2.1 Virion HIV.20

Terdapat banyak bukti bahwa molekul CD4 adalah reseptor HIV dengan afinitas

tinggi. Ini menjelaskan sifat selektif virus terhadap sel T CD4 dan sel yang mempunyai

Page 9: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

9

reseptor CD4 lainnya, terutama monosit/makrofag dan sel dendritik. Tetapi perlekatan ke

CD4 tidak cukup untuk menyebabkan infeksi. HIV gp120 harus juga menempel ke

molekul permukaan sel (ko-reseptor) lainnya untuk dapat masuk ke dalam sel.21

Walaupun HIV dapat mengenai banyak jaringan, terdapat 2 target utama infeksi

HIV yaitu sistem imun dan sistem syaraf pusat. Tanda khas AIDS adalah terjadinya

imunosupresi, terutama mengenai cell-mediated immunity (CMI). Hal ini akibat infeksi

pada sel T CD4 serta kerusakan fungsi sel T CD4 yang masih ada. Makrofag dan sel

dendritik juga merupakan target infeksi HIV. HIV memasuki tubuh melalui jaringan

mukosa dan darah, dan pertama kali menginfeksi sel T dan sel dendritik serta makrofag

(Gambar 2.2). Infeksi akan terjadi di jaringan limfoid dimana virus akan menjadi laten

untuk jangka waktu panjang. Replikasi virus aktif dikaitkan dengan lebih banyak sel yang

terinfeksi dan perkembangan menjadi AIDS.21

Gambar 2.2 Progresi infeksi HIV-1.21

Keterangan : Awalnya, HIV-1 menginfeksi sel T dan makrofag secara langsung atau dibawa ke sel-sel tersebut oleh sel Langerhans. Replikasi virus di nodus limfatik regional akan menyebabkan viremia dan penyebaran luas ke jaringan limfe. Viremia dikontrol oleh respons imun host dan pasien kemudian memasuki fase klinis laten. Pada fase ini terjadi kontrol terhadap replikasi virus tetapi replikasi virus pada sel T dan makrofag akan terus terjadi. Kemudian terjadi penurunan sel T CD4 secara bertahap karena infeksi produktif. Akhirnya, pasien mengalami gejala-gejala klinis (tahap AIDS).21

Page 10: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

x

Infeksi sel T dan replikasi virus yang produktif pada sel yang terinfeksi adalah

mekanisme utama bagaimana HIV menyebabkan lisis sel T CD4. Hampir 100 juta partikel

virus baru dihasilkan tiap hari, dan 1-2 juta sel T CD4 mati setiap hari. Pada awal perjalanan

infeksi HIV, sistem imun dapat menggantikan sel T yang mati, dengan demikian tingkat

kehilangan sel T CD4 tetap rendah. Hal ini akan menutupi kematian sel besar-besaran yang

terjadi terutama di jaringan limfoid. Pada tahap penyakit selanjutnya, pembentukan sel T CD4

baru tidak dapat mengimbangi kehilangan sel ini. Meskipun terjadi kehilangan sel T CD4 dari

darah perifer, tetapi masih terdapat sedikit sel T terinfeksi yang masih produktif dalam

sirkulasi. Sekarang dipercaya bahwa HIV dapat menyebabkan kehilangan sel T dengan

beberapa cara yang tidak melibatkan efek langsung sitopatik virus (Gambar 2.3).21

Gambar 2.3 Mekanisme hilangnya CD4 pada infeksi HIV.21

Keterangan : • Pada tahap awal perjalanan penyakit, HIV mendiami organ limfoid (limpa, nodus limfatik, tonsil), yang

merupakan reservoir untuk sel yang terinfeksi. Virus menyebabkan kerusakan progresif dalam bentuk dan komposisi selular jaringan limfoid.

• Aktivasi kronis dari sel yang tidak terinfeksi, sebagai respons terhadap HIV atau infeksi yang umum terjadi pada pasien, akan menyebabkan apoptosis sel tersebut dengan proses kematian sel yang dipicu oleh aktivasi. Jumlah sel T CD4 yang mati jauh lebih banyak daripada jumlah sel terinfeksi.

• Maturasi sel T CD4 yang tidak sempurna/cacat di dalam timus. • Fusi dari sel terinfeksi dan tidak terinfeksi, dengan pembentukan syncytia (giant cell). Pada kultur jaringan,

gp120 yang dilepaskan pada sel terinfeksi akan terikat ke molekul CD4 pada sel T yang tidak terinfeksi, dan ini akan diikuti oleh fusi sel. Sel yang berfusi akan membentuk balon (membesar) dan akhirnya mati dalam beberapa jam.

• Apoptosis sel T CD4 yang tidak terinfeksi dengan cara pengikatan gp 120 yang solubel ke molekul CD4. Limfosit T CD8 dapat membunuh sel T CD4 yang tidak terinfeksi dan diselimuti oleh gp120 yang dilepaskan dari sel terinfeksi.

Page 11: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xi

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) classification terbaru

mengkategorikan jumlah sel T CD4 untuk menandakan tingkat imunosupresi pasien terinfeksi

HIV/AIDS, seperti tampak pada Tabel 2.1 di bawah ini.20

Tabel 2.1 Kategori jumlah sel T CD4.20

Kategori tingkat imunosupresi Total sel T CD4 sell////mm3 Kategori 1 : tidak ada imunosupresi > 500

Kategori 2: imunosupresi sedang 200-499

Kategori 3 : imunosupresi berat < 200

Beberapa penelitian mengkategorikan jumlah sel T CD4 lebih rinci lagi, yaitu dibagi

menjadi jumlah sel T CD4 > 500 sel/mm3, 350-499 sel/mm3, 200-349 sel/mm3, 100-199

sel/mm3, 50-99 sel/mm3, dan 0-49 sel/mm3.23,24

Sel T CD4 berperan penting dalam mengatur respons imun, mereka menghasilkan

sitokin dalam jumlah berlebihan seperti IL-2, IL-4, IL-5, IFN-�, faktor kemotaktik makrofag,

dan faktor pertumbuhan hematopoietik granulocyte-monocyte colony stimulating factor (GM-

CSF). Karena itu, kehilangan ‘pengatur utama’ ini akan berefek pada komponen lain dari

sistem imun.20

Meksipun telah banyak perhatian diberikan pada sel T, makrofag dan sel dendritik

karena mereka dapat diinfeksi oleh HIV, pasien dengan AIDS juga menunjukkan abnormalitas

dalam fungsi sel B. Yang menarik, pasien ini memiliki hiper-gammaglobulinemia dan

kompleks imun sirkulasi karena adanya aktifasi sel B poliklonal. Ini dapat diakibatkan oleh

berbagai faktor yang berinteraksi, yaitu (1) terjadinya reaktivasi atau reinfeksi oleh

sitomegalovirus dan EBV, keduanya adalah aktivator sel B poliklonal, (2) gp41 sendiri dapat

memicu pertumbuhan dan diferensiasi sel B, (3) makrofag yang terinfeksi HIV menghasilkan

peningkatan jumlah IL-6, yang akan memicu proliferasi sel B. Meskipun terdapat sel B yang

teraktivasi secara spontan, pasien HIV tidak mampu membuat respons antibodi terhadap

antigen baru. Hal ini disebabkan oleh kurangnya bantuan sel T, tetapi respons antibodi

terhadap antigen T-independen juga ditekan, dengan demikian akan terdapat juga defek lain

pada sel B. Kerusakan imunitas humoral akan membuat pasien menjadi sangat mudah

mengalami penyebaran infeksi.21

Page 12: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xii

2.2 Imunoglobulin A (IgA)

Seperti kelas imunoglobulin lainnya, IgA terdiri dari 2 rantai berat (H/heavy) dan 2

rantai ringan (L/light), monomer H2L2 ini dapat berpolimerisasi lebih lanjut. Pada IgA dimerik,

dua unit monomer diatur dalam konfigurasi ujung ke ujung dan distabilisasi oleh jembatan

disulfida dan pembentukan rantai penggabung (J/joining), suatu polipeptida 15 kDa.

Polimerisasi diatur oleh pembentukan rantai J, karena keberadaannya menstimulasi

polimerisasi dan diarahkan oleh domain COOH-terminal pada rantai berat. Rantai J dibentuk

bersamaan dengan IgA di sel plasma dan pembentukannya terjadi di awal polimerisasi IgA.

Polimerisasi dua atau lebih molekul IgA dengan rantai J terjadi di akhir jalur sekretorik, tepat

sebelum dilepaskan dari sel plasma.25

Imunoglobulin A pada manusia hanya sekitar 13% (2,1 mg/ml) dari seluruh antibodi di

dalam serum manusia, tetapi dominan pada sekresi ekstravaskular. Imunoglobulin A dalam

bentuk secretory immunoglobulin A (sIgA) adalah isotipe imunoglobulin utama yang

ditemukan di saliva dan sekresi lainnya25-27, (air mata, sekresi nasal, mukus saluran

pencernaan dan bronkial, dan sekresi kelenjar payudara).28 Ia berbentuk molekul polimerik

dan terdiri dari 2 (atau lebih) monomer IgA (300,000 Da), J rantai penghubung (15,600 Da),

dan secretory component [(SC), 70,000 Da]. Tiap monomer IgA dibentuk dari 4 polipeptida, 2

rantai � berat dan 2 rantai ringan (kappa atau lambda) yang terikat secara kovalen oleh 2

ikatan disulfida (Gambar 2.4). Rantai J dan SC adalah disulfida yang terhubung dengan bagian

Fc dari molekul IgA. Rantai J adalah polipeptida yang disintesa di dalam sel plasma dan

terlibat dalam mengawali polimerisasi IgA. Secretory component adalah protein glikosilasi

berat yang dihasilkan oleh sel epitel mukosa. Secretory component menstabilkan struktur

polimerik IgA dan melindungi molekul dari serangan proteolitik pada sekresi.10,28

Gambar 2.4 Human Immunoglobulin A dan secretory Immunoglobulin A.28

Page 13: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xiii

Respons IgA saliva terhadap antigen oral dapat diinduksi oleh 2 mekanisme. Pertama,

antigen oral dapat menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel limfoid secara lokal di kelenjar

saliva. Kelenjar saliva mengandung jaringan limfoid yang terdiri dari makrofag, sel T, dan sel

B, yang dapat berkontak langsung dengan antigen oral. Antigen oral masuk ke duktus kelenjar

melalui flow retrogade alami dan masuk ke sel sistem imun di bawahnya melalui endositosis

pada epitel duktus. Antigen ditangkap oleh makrofag, dibawa ke sel T dan sel B.10

Mekanisme kedua melibatkan migrasi antigen-sensitized IgA prekursor sel B dari

GALT (gut-associated lymphoid tissue) ke kelenjar saliva. GALT, termasuk beberapa nodul

limfoid soliter dan Peyer’s patches, adalah sumber yang kaya akan sel B prekursor IgA yang

memiliki potensi untuk mengumpulkan jaringan limfoid yang berjauhan. Folikula limfoid ini

ditutupi oleh epitel khusus yang dinamai follicle-associated epithelial cell (sel FAE) atau

microfold cell (sel M) yang mengambil dan mentransportasikan antigen dari lumen intestinal

ke dalam jaringan limfoid di bawahnya. Setelah antigen dipresentasikan oleh sel aksesori,

maka sel B prekursor IgA dan sel T meninggalkan GALT melalui limfatik eferen dan

mencapai darah perifer melalui thoracic duct. Sel B dan T yang bersirkulasi kemudian

bermigrasi ke lamina propria intestinal, paru-paru, traktus genital, dan kelenjar sekretorik yang

akan dipertahankan secara selektif. Pada kelenjar mukosa dan glandular tersebut sel B

prekursor IgA akan berkembang dan menjadi IgA plasma di bawah pengaruh sel T. Jalur

distribusi sel dari jaringan induktif seperti GALT ke jaringan mukosa dan glandular yang

berjauhan disebut sebagai sistem imun mukosa umum.10

Sementara sIgA berperan pada mukosa sebagai lini pertahanan pertama melawan

patogen yang mengkolonisasi dan menginvasi permukaan yang dibasahi oleh sekresi, IgA

berfungsi sebagai garis kedua pertahanan dengan cara menghilangkan patogen yang telah

memasuki permukaan mukosa. Imunoglobulin A berperan sebagai proteksi terhadap

mikroorganisme dan benda asing pada jaringan mukosa mulut melalui berbagai mekanisme,

yaitu : 7-10

• Membunuh mikroorganisme secara langsung (direct killing).

• Aglutinasi.

• Inhibisi perlekatan dan penetrasi mikroorganisme. Imunoglobulin A dianggap sebagai

mekanisme pertahanan paling penting melawan invasi bakteri mukosa, karena IgA

Page 14: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xiv

mengganggu perlekatan bakteri ke permukaan host dengan mencegah interaksi nonspesifik

dan stereokimia.

• Inaktivasi enzim bakteri dan toksin. Imunoglobulin gA dapat menetralisir toksin dengan

cara menghalangi perlekatannya ke reseptor sel. Selain itu dapat menghambat serangkaian

enzim, mungkin dengan menghalangi perlekatannya ke substrat atau melakukan

destabilisasi komplek substrat-enzim.

• Netralisasi virus. Imunoglobulin A memegang peranan penting dalam imunitas viral

karena keberadaannya pada tempat kontak awal antara virion dan sel host. Mekanisme

yang terlibat dalam inaktivasi virus adalah kompleks dan tidak sepenuhnya dimengerti.

Diduga sIgA mencegah penetrasi virion ke dalam sel epitel dengan menghalangi

adhesinya.

• Aktivasi komplemen. Kemampuan IgA untuk mengaktivasi komplemen masih

kontroversial. Dibandingkan dengan IgG dan IgM, IgA adalah aktivator komplemen yang

buruk dan tidak jelas apakah IgA dapat memicu kematian complement-mediated bacterial

melalui opsonisasi atau lisis sel.

• Fungsi IgA-dependent cell-mediated. Reseptor untuk bagian Fc dari IgA (FcαR) terdapat

pada beberapa tipe sel, termasuk polymorphonuclear (PMN), monosit dan makrofag,

eosinofil, dan limfosit. Dikeluarkannya Fc�R sepertinya dipengaruhi oleh jumlah IgA pada

lingkungan di sekeliling sel. Proporsi PMN dan monosit yang mengeluarkan Fc�R lebih

tinggi pada rongga mulut dibandingkan dengan pada darah perifer. Tetapi peran pasti IgA

sebagai modulator fungsi leukosit efektor masih belum jelas. Beberapa penelitian

menemukan IgA mampu memicu fagositosis dan keluarnya monosit, makrofag dan PMN

di respiratori. Sebaliknya, penelitian lain juga menemukan bahwa interaksi antara IgA dan

Fc�R memicu penghambatan fagositosis, kemotaksis dan antibody-dependent cellular

cytotoxicity (ADCC).25,29

Rongga mulut merupakan bagian dari sistem mukosa dan mempunyai epitel, jaringan,

bakteri, dan kelainan yang unik yang berbeda dari mukosa lainnnya. Sistem imun mukosa dan

sistemik mempunyai peran penting dalam pertahanan kesehatan rongga mulut.2 Pertahanan

imunologik spesifik pada permukaan mukosa terutama dimediasi oleh IgA.30 Penelitian-

penelitian terdahulu menyatakan adanya abnormalitas kadar IgA saliva pada pasien

Page 15: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xv

HIV/AIDS.1,2 Transitosis HIV dapat terjadi dari permukaan mukosa ke submukosa,

menghambat imunoglobulin dan menetralisir IgA di dalam sel epitel.1

Berbagai penelitian terdahulu mengenai kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS

menunjukkan hasil penelitian yang kontradiktif. Challacombe dkk (2006)2 menyatakan bahwa

respons antibodi mukosa tampak normal pada awal infeksi HIV tetapi menurun pada tahap

AIDS. Sedangkan Grimoud dkk (1998)14 melaporkan terdapat peningkatan kadar IgA saliva

yang signifikan pada pasien HIV dengan CD4 <200. Lin dkk (2003)31 menyatakan bahwa

konsentrasi antimikroba saliva mungkin dapat menurun, meningkat, atau tidak berubah.

Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan desain penelitian,

tahapan infeksi HIV dari subyek penelitian, jumlah subyek yang dievaluasi, serta metode

pengumpulan dan analisis saliva.

Pemeriksaan kadar Imunoglobulin (Ig) dapat dilakukan dengan cara imunopresipitasi

yang berdasarkan reaksi antara antigen-antibodi. Beberapa metode imunopresipitasi yang

banyak digunakan adalah imunodifusi radial, elektroimunodifusi roket, turbidimetri,

imunonefelometri. Masing-masing cara pemeriksaan tersebut di atas mempunyai kekurangan

dan kelebihan.

Pengukuran kadar Ig telah lama dilakukan dengan cara turbidimetri. Prinsip

pemeriksaan kadar Ig dengan cara turbidimetri adalah mengukur kekeruhan yang terjadi akibat

adanya kompleks antigen-antibodi dalam larutan. Kekeruhan ini diukur dengan

spektrofotometer yang menunjukkan absorbsi cahaya oleh partikel-partikel dalam larutan dan

merupakan parameter untuk kadar antigen di dalam larutan tersebut.32,33

Page 16: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xvi

BAB 3

METODA PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian analitik observasional potong lintang (cross sectional study).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat : Klinik Pokdisus AIDS Fakultas Kedokteran UI RSUPN-CM Jakarta.

Klinik Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi UI Jakarta.

Waktu : 12 Desember – 3 Maret 2007, pukul 08.00 – 14.00

(Pengambilan saliva dilakukan pada kisaran pukul 08.00 – 11.00)

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah pasien HIV/AIDS yang berobat ke Pokdisus AIDS FK UI

RSUPN-CM Jakarta pada saat dilakukan penelitian. Penegakkan diagnosis HIV positif

ditetapkan oleh Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Untuk mengetahui nilai rujukan kadar IgA

saliva pada penelitian ini, dilakukan pemeriksaan saliva pada 30 orang mahasiswa FKG UI

tanpa kelainan gigi-mulut dan kelainan sistemik, dengan kisaran usia mendekati usia subyek

penelitian.

Subyek penelitian adalah pasien HIV/AIDS yang sesuai dengan kriteria inklusi

penelitian yang diperlukan. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling. Setiap pasien

yang memenuhi kriteria inklusi dalam kurun waktu tertentu, hingga jumlah pasien yang

diperlukan memenuhi syarat jumlah minimal sampel.

3.4 Kriteria pemilihan subyek penelitian :

3.3.1 Kriteria inklusi:

Pria dan wanita.

Usia > 14 tahun.

Tidak menderita diabetes mellitus.

Page 17: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xvii

Bersedia berpartisipasi (menjadi subyek) dalam penelitian dengan menandatangani

lembar informed consent.

3.3.2 Kriteria eksklusi :

Data jumlah sel T CD4 serum pasien pada rekam medik yang tersedia telah lebih dari

3 bulan pada saat dilakukan penelitian.

Kesadaran pasien menurun sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan

pemeriksaan klinis.

Pasien tidak komunikatif dan tidak dapat bekerja sama menurut peneliti.

Menolak ikut serta dalam penelitian.

3.4 Definisi Operasional Variabel Penelitian Tabel 3.1 Definisi operasional variabel penelitian, dan skala pengukuran.

Variabel Nama Definisi Operasional Skala Skor/nilai

Variabel bebas: 1. Kadar IgA saliva 2. Jumlah sel T

CD4

IgA CD4

Merupakan kadar IgA (mg) yang terdapat di dalam tiap desiliter (dl) saliva keseluruhan (whole saliva). Merupakan jumlah sel T CD4 per µL darah, yg tercatat di dlm rekam medik Pokdisus AIDS FK UI dgn batas waktu tidak lebih dari 3 bulan pada saat dilakukan penelitian.

Interval Interval

Kriteria IgA saliva : Skor 1 : dibawah nilai rujukan Skor 2 : sesuai nilai rujukan Skor 3 : diatas nilai rujukan Kriteria CD4 : Skor 1: > 500/µL Skor 2: 350 - 499 /µL Skor 3: 200 - 349/µ L Skor 4: < 200/µL

3.5 Cara Kerja

3.5.1 Data riwayat medis

Diperoleh dari data rekam medik poliklinik Pokdisus AIDS FK UI, kemudian

dikonfirmasikan kembali oleh peneliti dengan wawancara langsung kepada subyek

penelitian atau keluarganya. Wawancara dilakukan di ruang periksa pasien poliklinik

Pokdisus AIDS FK UI sebelum pemeriksaan klinis dimulai.

3.5.2 Data jumlah sel T CD4

Page 18: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xviii

Diperoleh dari rekam medik Pokdisus AIDS FK UI bila data yang ada diambil/diukur

tidak lebih dari 3 bulan saat pengambilan data penelitian dilakukan.

3.5.3 Pengambilan sampel saliva dan pengukuran laju aliran saliva

Pengumpulan saliva menggunakan metode spitting (metode standar dari Navazesh

1993).108 Sebelum dan selama pengumpulan saliva, subyek penelitian tidak

diperkenankan makan, minum maupun membersihkan rongga mulutnya, selama kurun

waktu 90 menit sebelum pengumpulan saliva. Selama pengumpulan saliva, subyek tidak

diperkenankan bicara, menggerakan lidah, atau melakukan gerakan penelanan. Subyek

duduk nyaman dengan sandaran tegak, kepala ditundukkan dan tangan kanan memegang

tabung penampung saliva. Saliva yang dikumpulkan adalah saliva keseluruhan dengan

stimulasi. Pengumpulan saliva dilakukan selama 5 menit, didahului dengan stimulasi

paravin wax. Subyek diinstruksikan untuk mengunyah paravin wax, kemudian setiap

interval 1 menit subyek diminta untuk mengeluarkan saliva yang terkumpul dalam mulut

ke dalam tabung pengukur melalui corong gelas. Laju aliran saliva dengan stimulasi

ditentukan. Saliva segera disimpan ke dalam termos es, kemudian disimpan pada lemari

pendingin dengan suhu -700C untuk dilakukan pengukuran kadar IgA.

4.7.7 Data kadar IgA saliva

Pemeriksaan saliva untuk mengukur kadar IgA dan pengambilan data dilakukan di

laboratorium Multilab Jakarta, cara pengukuran dengan alat turbitimer meliputi :

Gambar 4.1 Tahapan pengukuran kadar IgA saliva.

Saliva di-centrifuge 10’/3000 RPM

Dilakukan analisa dengan alat turbitimer � Ambil 50 mikro supernatant � Tambahkan 500 mikro reagent IgA � Catat hasil yang keluar

Supernatan diambil dan dipisahkan

Page 19: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xix

4.9 Masalah Etika

Sebelum penelitian dilakukan, diajukan permohonan izin (ethical clearence) kepada

Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia dan telah dikeluarkan

surat lolos etik Subyek penelitian dimotivasi untuk ikut bersedia dalam penelitian secara

sukarela, dengan menjelaskan tujuan, manfaat maupun ketidaknyamanan yang mungkin akan

dirasakan dengan memberikan lembar informasi penelitian. Jika subyek bersedia mengikuti

penelitian tanpa paksaan maka selanjutnya diberikan lembar informed consent untuk

ditandatangani dan subyek penelitian berhak menolak dan mengundurkan diri selama

penelitian, dan tidak dibebani biaya apapun.

Page 20: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xx

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2006 sampai bulan Maret 2007 di

Pokdisus AIDS Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan di

Fakultas Kedokteran Gigi UI. Pengambilan data dilakukan hari Senin sampai dengan Jumat

pukul 08.00-14.00 WIB. Subyek penelitian yang diperoleh berjumlah 103 orang yaitu pasien

yang telah didiagnosis HIV positif oleh Divisi Alergi Imunologi Departemen Penyakit Dalam

RSUPN-CM, yang memenuhi kriteria inklusi serta bersedia mengikuti penelitian. Penelitian

ini juga mengikut-sertakan 30 orang mahasiswa FKG UI untuk dilakukan pemeriksaan kadar

IgA saliva sebagai nilai rujukan kadar IgA saliva.

4.1 Karateristik subyek penelitian

Karateristik dari 103 subyek penelitian ini terdiri dari usia, jenis kelamin, latar

belakang pendidikan, risiko penularan HIV, dan terapi anti-retrovirus, seperti terlihat pada

Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 - 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.1 Karaterisitk subyek penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan (N = 103).

Karateristik Jumlah Persentase (%) Usia

20-29 tahun 71 68,93 30-39 tahun 29 28,15 40-49 tahun 3 2,92

Rata-rata usia = 28,19 + 4,89 Rentang usia = 20-46

Jenis Kelamin Laki-laki 89 86,41 Perempuan 14 13,59

Pendidikan SD 1 0,97 SMP/sederajat 7 6,80 SMU/sederajat 70 67,96 Perguruan Tinggi 25 24,27

Hasil penelitian menunjukkan jumlah terbanyak terdapat pada kelompok usia 20-29 tahun

yaitu sebesar 71 (68,93%) subyek. Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 89

(86,41%) subyek. Berdasarkan tingkat pendidikan formal, jumlah terbanyak sebesar 70

(67,96%) subyek berpendidikan SMA atau sederajat.

Page 21: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xxi

4.2 Jumlah sel T CD4

Gambaran status imunologi subyek penelitian dilihat berdasarkan jumlah sel T CD4

serum, yang dapat dilihat pada Tabel 4.2 dibawah ini :

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi jumlah sel T CD4 (N = 103). Jumlah sel T CD4 (sel/mm3) Jumlah Persentase (%)

> 500 9 8,74 350-499 9 8,74 200-349 11 10,68 < 200 74 71,85

� 100-199 29 28,16 � 50-99 16 15,53 � 0-49 29 28,16

Data penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu 74 (71,85%) subyek tercatat

memiliki jumlah sel T CD4 serum < 200 sel/mm3, dan bila dirinci lebih lanjut sebagian besar

berada pada kisaran antara 0-49 sel/mm3 dan 100-199 sel/mm3.

4.3 Kadar IgA saliva

Data penelitian menunjukkan nilai rujukan kadar IgA saliva yang didapatkan dari 30

orang mahasiswa tampak pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Nilai rujukan kadar IgA saliva (N = 30) Jenis Kelamin N Kadar IgA

(mg/dl) Laki-laki 13 96,30 + 38,47 Perempuan 17 97,96 + 39,25 Rata-rata = 97,24 + 38,25

Perbedaan mean dengan uji Mann-Whitney U pada nilai rujukan kadar IgA saliva

menunjukkan p>0,1. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai rujukan

IgA saliva pada laki-laki dan perempuan.

Kadar IgA saliva pada subyek HIV/AIDS dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS (N = 103) Jenis Kelamin N Kadar IgA

(mg/dl) Laki-laki 89 142,08 + 84,09 Perempuan 14 138,23 + 80,42 Rata-rata = 141,55 + 83,23

Page 22: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xxii

Berdasarkan jenis kelamin, hasil uji Mann-Whitney U menunjukkan tidak ada

perbedaan proporsi yang bermakna antara kadar IgA saliva pada subyek HIV/AIDS laki-laki

dan perempuan (p>0,1).

Jika dilihat perbedaan kadar IgA saliva pada subyek HIV/AIDS dengan nilai rujukan

kadar IgA saliva, hasil uji Mann-Whitney U menunjukkan bahwa kadar IgA saliva pada

subyek HIV/AIDS lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan individu sehat (p<0,1).

Distribusi frekuensi IgA saliva pada subyek HIV/AIDS bila dikategorikan dapat dilihat

pada Tabel 4.5 bawah ini.

Tabel 4.5 Kriteria kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS berdasarkan nilai rujukan (N = 103)

Jenis Kelamin Kadar IgA saliva (mg/dl) Total < Nilai rujukan Sesuai nilai rujukan > nilai rujukan

Laki-laki 13 (14,60 %) 35 (39,33 %) 41 (46,07 %) 89 Perempuan 1 (7,14 %) 7 (50,00 %) 6 (42,86 %) 14 Jumlah 14 (13,59 %) 42 (40,78 %) 47 (45,63 %) 103

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu 47 (45,63%) subyek penelitian

memiliki kadar IgA saliva lebih tinggi dari kisaran nilai rujukan.

4.4 Korelasi antara jumlah sel T CD4 dan kadar IgA saliva

Korelasi antara jumlah sel T CD4 dengan kadar IgA saliva dilakukan dengan uji

korelasi Pearson. Hasil analisis dapat dilihat pada diagram pencar di bawah ini.

1200

1000

800

600

400

200

0

4003002001000

IgA (mg/dl)

CD4(sel/mm3)

Gambar 4.1 Korelasi jumlah sel T CD4 dan kadar IgA saliva.

(Uji Korelasi Pearson, r=0,06 dan p>0,1)

Page 23: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xxiii

Gambar 4.1 diatas menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah sel T CD4 akan menyebabkan

peningkatan IgA. Namun hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa kekuatan pengaruh

diantara 2 variabel tersebut sangat lemah (r=0,06) dan tidak ada hubungan yang bermakna

diantaranya ( p>0,1).

Tabulasi silang dibawah ini dapat melihat gambaran jumlah sel T CD4 dengan kadar IgA

saliva (Tabel 5.9).

Tabel 4.6 Distribusi frekuensi kadar IgA saliva dan jumlah sel T CD4 (N = 103). Kadar IgA saliva (mg/dl) Jumlah Sel T

CD4 (sel/mm3)

< nilai rujukan Dalam kisaran nilai rujukan > nilai rujukan

> 500 2 (14,29%) 1 (2,38%) 6 (12,77%) 350-499 0 (0%) 5 (11,90%) 4 (8,51%) 200-349 0 (0%) 4 (9,52 %) 7 (14,89%) < 200 12 (85,71%) 32 (76,19%) 30 (63,83%)

Data penelitian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar 30 (63,83%) subyek dengan kadar

IgA saliva yang lebih tinggi dari nilai rujukan mempunyai jumlah sel T CD4 <200 sel/mm3.

Demikian pula, sebagian besar 12 (85,71%) subyek dengan kadar IgA lebih rendah dari nilai

rujukan ditemukan dengan jumlah sel T CD4 <200 sel/mm3.

Page 24: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xxiv

BAB 5

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, subyek penelitian sebagian besar ditemukan pada kelompok usia

20-29 tahun (68,93 %). Data tersebut sesuai dengan data statistik kasus HIV/AIDS di

Indonesia terbaru sampai dengan Maret 2007 menurut laporan Dirjen PPM dan PL Depkes RI,

dimana populasi terbesar kasus AIDS dijumpai pada kisaran usia 20-29 tahun (4884 dari 8988

orang).34 Hal ini mungkin terkait dengan transmisi (mode of transmission) HIV, dimana

intravena drug users (IDU) pada kelompok usia tersebut merupakan faktor risiko terbanyak

dibanding faktor risiko lainnya seperti heteroseksual, homo-biseksual, transfusi darah, dan

faktor lainnya.35 Dahulu, kasus HIV/AIDS banyak terkait dengan perilaku bebas seksual,

tetapi akhir-akhir ini banyak terkait dengan napza suntik yang korbannya kebanyakan anak

muda dengan rentang usia seperti pada penelitian ini.

Hasil penelitian menunjukkan subyek laki-laki (86,41 %) jauh lebih banyak daripada

perempuan (13,59 %). Berdasarkan laporan Dirjen PPM dan PL Depkes RI jika dilihat dari

rasio jenis kelamin, kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai dengan Maret 2007 menunjukkan

bahwa dari 8988 kasus AIDS dijumpai laki-laki (7207 orang) lebih banyak daripada

perempuan (1720 orang). Pada laki-laki, selain penggunaan jarum suntik bergantian di

kalangan IDU, penularan HIV akibat hubungan seks bebas merupakan penyebab utama

kenaikan angka penderita HIV/AIDS.34 Pada tahun 2000 ditemukan prevalensi HIV yang

tinggi pada perempuan penjaja seks, tetapi dari semua data yang telah ada secara umum dapat

dikatakan bahwa laki-laki lebih banyak tertular HIV dibanding perempuan.35 Tetapi

berdasarkan informasi melalui media cetak dan elektronik, diprediksikan banyak perempuan

di masa depan menjadi salah satu agen penular infeksi HIV yang sangat potensial. Sebab

mereka sangat rentan secara biologis dan sosiologis. Kaum perempuan dianugrahi kodrat

untuk melahirkan, yang menjadi satu faktor makin tingginya tingkat potensialitas meluasnya

wabah infeksi ini di dunia.

Berdasarkan tingkat pendidikan formal, data penelitian menunjukkan segmentasi

subyek penelitian sebagian besar adalah berpendidikan cukup tinggi yaitu 67,96 % subyek

berpendidikan Sekolah Menengah Atas dan 24,27 % subyek berpendidikan sampai jenjang

Page 25: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xxv

Perguruan Tinggi. Infeksi HIV dapat menular kepada siapapun melalui cara tertentu, tanpa

perduli kebangsaan, ras, jenis kelamin, agama, orientasi seksual, kelas ekonomi maupun

tingkat pendidikan.35 Data penelitian ini menunjukkan bahwa pasien HIV/AIDS dengan

tingkat pendidikan yang tinggi tidak berarti bahwa mereka mempunyai cukup pengetahuan

tentang cara penularan, pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Walaupun tingkat

pendidikan seharusnya mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam pergaulan atau

melakukan hubungan seksual, tetapi tanpa pengetahuan yang cukup tentang infeksi HIV maka

transmisi HIV tidak dapat dicegah.

Sel T CD4 sangat berperan penting di dalam sistem imun, disfungsi dan/atau deplesi

sel T CD4 mengakibatkan defek imunologik. Oleh karena itu jumlah sel T CD4

menggambarkan status imunologi pasien HIV/AIDS. Hasil penelitian ini menunjukkan yang

terbanyak dijumpai adalah subyek dengan jumlah sel T CD4 <200 sel/mm3, maka dapat

disimpulkan bahwa sebagian besar subyek penelitian ini berada dalam status imunosupresi

yang berat. Tetapi untuk menentukan subyek penelitian sudah berada pada tahap AIDS, perlu

data lain seperti adanya penyakit infeksi oportunistik yang menyertai keadaan subyek

penelitian.

Berdasarkan literatur, untuk menegakkan diagnosis AIDS tergantung pada diagnosis

klinik dan laboratorium yang akurat. Definisi CDC tentang AIDS (1993) yaitu pasien yang

dinyatakan mengidap infeksi HIV dengan jumlah sel T CD4 <200 sel/mm3 atau persentase

CD4 <14% dari jumlah limfosit dan/atau mempunyai satu/lebih infeksi oportunistik seperti

pneumocytis carinii pnemonia, mycobaterial, crytococcal, cytomegalovirus, toxoplasma, dan

tumor seperti Kaposi’s sarcoma dan lymphoma. Untuk negara-negara berkembang, the Worl

Health Organisation (WHO) mengembangkan definisi lainnya yang berlandaskan pada gejala-

gejala klinis dan tidak membutuhkan data laboratorium tentang adanya infeksi, sebab negara-

negara berkembang kekurangan dana untuk pemeriksaan laboratorium.20

Orang dengan sistem imun yang kompeten, imunitas selular dan humoral berjalan

secara simultan dan berkaitan satu dengan yang lain. Sehingga bila terjadi penurunan sel T

CD4, maka imunitas humoral juga akan terganggu. Oleh karena itu diasumsikan bahwa pada

infeksi HIV/AIDS, kadar imunitas humoral yang berperan di lingkungan mulut juga

mengalami perubahan.

Page 26: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xxvi

Kadar IgA saliva merupakan variabel utama pada penelitian ini, untuk melihat kadar

ada/tidaknya perubahan komponen sistem imun tersebut pada pasien HIV/AIDS. Sebelum

menentukan kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS, terlebih dahulu ditentukan nilai rujukan

kadar IgA saliva pada individu sehat. Karena sampai saat ini, tidak ditemukan nilai rujukan

kadar IgA tersebut di Indonesia dengan subyek penelitian yang memadai. Farida (1994)36

mengukur kadar IgA saliva pada 7 orang mahasiswa FKG UI sebagai kelompok kontrol

(individu sehat), hasilnya menunjukkan nilai rerata 60,19 IU/ml. Nilai ini tidak dapat dijadikan

nilai rujukan pada penelitian ini karena jumlah subyek tersebut kurang memadai bila

dibandingkan dengan jumlah subyek HIV/AIDS yang diteliti. Selain itu metode pengukuran

saliva menggunakan tehnik yang berbeda. Sebuah literatur menyebutkan nilai rata-rata kadar

IgA saliva di dalam ludah yang dirangsang secara mekanis adalah 110 mg/ dl (50-170

mg/dl).37 Nilai ini juga tidak dapat menjadi nilai rujukan pada penelitian ini, karena

didapatkan melalui pemeriksaan pada populasi dengan ras/etnis yang berbeda (di luar negeri).

Telah diketahui bahwa ras/latar belakang etnis dan demografi mempengaruhi kadar IgA saliva.

Tetapi nilai rujukan kadar IgA saliva yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan

kisaran nilai yang hampir sama yaitu 97,24 + 38,25 mg/dl.

Data penelitian menunjukkan kadar IgA saliva pada sebagian besar subyek didapatkan

lebih tinggi dari nilai rujukan. Tidak ada perbedaan proporsi yang signifikan antara laki-laki

dan perempuan. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu. Lin AL dkk

(2004)38, Coogan dkk (1994)7 menyatakan adanya peningkatan konsentrasi IgA saliva yang

signifikan pada pasien HIV. Mellanen dkk (2001)39 juga melaporkan bahwa kadar IgA saliva

secara signifikan lebih tinggi pada semua fase dari infeksi HIV, kecuali fase asimtomatik.

Literatur menyebutkan bahwa peningkatan kadar IgA pada pasien terinfeksi HIV

menggambarkan adanya aktivasi poliklonal sel B yang terlihat pada tahap awal infeksi HIV.40

Meningkatnya muatan antigenik juga dapat menginduksi peningkatan kadar IgA saliva.8

Antibodi pada saliva dapat diinduksi oleh stimulasi dari jaringan limfoid intestinal oleh

masuknya (ingestion) antigen. Hal ini dapat menyebabkan pelepasan IgA prekursor sel plasma

dari Peyer’s patches yang bermigrasi melalui jaringan vaskular ke jaringan mukosa seperti

kelenjar saliva.7 Dengan demikian, tingginya kadar IgA saliva dapat menggambarkan

perannya dalam mekanisme pertahanan membran mukosa oral.

Page 27: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xxvii

Di samping itu, data penelitian juga menunjukkan 13,59 % subyek yang mempunyai

kadar IgA saliva dibawah nilai rujukan. Hasil penelitian Muller dkk (1991)15, Sweet dkk

(1995)16, dan Sistig dkk (2003)12 menunjukkan bahwa kadar IgA pada pasien HIV/AIDS lebih

rendah dibandingkan dengan kelompok HIV negatif. Challacombe & Sweet (2002)1

melaporkan konsentrasi IgA saliva keseluruhan lebih rendah baik pada pasien HIV maupun

AIDS, dan lebih nyata terlihat pada tahap lanjut dari infeksi HIV. Lu dan Jacobson (2007)41

juga menyebutkan bahwa pada tahap awal infeksi HIV, keseimbangan fungsi imun humoral

dan selular pada mukosa oral dapat dipertahankan, tetapi respons imun tersebut terganggu

akibat dari infeksi HIV yang kronis. Tahapan klinis infeksi HIV dimana imunitas mukosa oral

mengalami kegagalan (menurun) adalah ketika terjadi infeksi oportunistik (progresi klinis

pada tahap IV dari penyakit ini, yang disebut AIDS). Dapat disimpulkan bahwa penurunan

kadar IgA saliva pada pasien HIV menggambarkan terjadinya penurunan sistem imun

(imunosupresi) yang semakin nyata.

Perubahan kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS yang kontradiktif pada hasil

berbagai penelitian ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti perbedaan tehnik

pengambilan saliva, variasi waktu saat pengambilan saliva, perbedaan jenis kelenjar pada

pengambilan saliva, laju aliran saliva, tahapan infeksi HIV populasi penelitian, jumlah subyek

penelitian, dan/atau berbagai obat-obatan yang digunakan subyek. Perubahan kadar IgA saliva

juga dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, faktor hormonal, latar belakang genetik,

faktor psikologis, sosial ekonomi, aktivitas fisik, status nutrisi, dan gaya hidup. Banyak dari

faktor-faktor tersebut yang tidak diteliti pada penelitian ini, sehingga tidak diketahui dengan

jelas apakah ada pengaruhnya terhadap perbedaan kadar IgA pada penelitian ini dengan

penelitian terdahulu.

Pada individu yang terinfeksi HIV, deplesi sel T CD4 berhubungan dengan hilangnya

fungsi imun, termasuk IgA saliva sebagai indikator fungsi imun mukosa mulut. HIV

menginfeksi sel melalui interaksi dengan reseptor CD4 pada sejumlah jenis sel, termasuk

limfosit T herlper/inducer yang berperan utama pada banyak proses imunologi, termasuk

induksi dari respons IgA.7 Sel T helper mempunyai profil sekresi sitokin yang berbeda dalam

perannya pada respons imun humoral, termasuk sekresi IgA.27 Berkurangnya jumlah sel T

CD4 dapat menurunkan sekresi IgA secara sekunder, karena itu sistem IgA dipercaya sangat

tergantung pada regulasi sel T.15

Page 28: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xxviii

Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna

antara kadar IgA saliva dengan jumlah sel T CD4. Temuan ini sesuai dengan penelitian Wu

dan Jackson (2002)42, yang menunjukkan korelasi yang tidak bermakna antara kadar IgA dan

jumlah CD4. Tetapi bila dilihat melalui tabulasi silang tampak 63,83% subyek dengan kadar

IgA saliva yang lebih tinggi dari nilai rujukan mempunyai jumlah sel T CD4 <200 sel/mm3.

Data ini sesuai dengan hasil penelitian Grimoud dkk (1998)14 yang menunjukkan adanya

peningkatan kadar IgA saliva pada pasien HIV positif dengan CD4 <200. Literatur lain

menyebutkan peningkatan kadar IgA signifikan bermakna hanya pada fase AIDS Related

Complex.43

Selain itu, bila dilihat dari semua subyek yang mempunyai kadar IgA lebih rendah dari

nilai rujukan, maka paling banyak (85,71%) dijumpai pada subyek dengan CD4 <200

sel/mm3. Literatur menyebutkan bahwa respons antibodi mukosa tampak normal pada awal

infeksi HIV tetapi menurun pada tahap AIDS, kiranya menggambarkan peningkatan

imunodefisiensi.2 Lu (2007)41 juga menyebutkan bahwa tahapan klinis infeksi HIV dimana

imunitas mukosa oral mengalami penurunan adalah ketika terjadi infeksi oportunistik

(progresi klinis pada tahap IV dari penyakit ini, yang disebut AIDS).

Page 29: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xxix

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Sebagian besar subyek penelitian memiliki kadar IgA saliva lebih tinggi dari kisaran nilai

rujukan. Data ini membuktikan adanya perubahan salah satu komponen sistem imun

humoral di dalam rongga mulut pada sejumlah pasien HIV/AIDS di RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo Jakarta.

2. Sebagian besar subyek penelitian memiliki imunosupresi yang berat dengan jumlah sel T

CD4 dibawah <200 sel/mm3.

3. Tidak dijumpai korelasi yang bermakna antara jumlah sel T CD4 dengan kadar IgA saliva.

Saran

1. Disarankan penelitian lebih lanjut dengan pendekatan desain penelitian yang berbeda

seperti penelitian kasus kontrol ataupun cohort.

2. Perlu melanjutkan penelitian ini dengan memperhatikan peran faktor eksternal dan internal

yang dapat mempengaruhi kadar IgA saliva yang belum diperhatikan karena keterbatasan

waktu dan biaya penelitian.

Page 30: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xxx

DAFTAR PUSTAKA

1. Challacombe SJ, Sweet SP. Oral mucosal immunity and HIV infection:current status.

Oral Disease 2002;8:55. 2. Challacombe SJ, Naglik JR. The Effects of HIV Infection on Oral Mucosal Immunity.

Adv Dent Res 2006;19:29-35. 3. Kinane DF, Lappin DF. Clinical, pathological and immunological aspects of periodontal

disease. Acta Odontol 2001;59:154-160. 4. Sistig S, Vucicevic-Boras V, Lukac J, Kusic Z. Salivary IgA and IgG subclasses in oral

mucosal disease. Oral Disease 2002;8:282-286. 5. Takahashi K, Mooney J, Frandsen EVG, Kinane DF. IgG and IgA subclass mRNA-

bearing plasma cells in periodontitis gingival tissue and immunoglobulin levels in the gingival crevicular fluid. Clin Exp Immunol 1997;107:158-165.

6. Kinane DF, Lappin DF, Koulouri O, Buckley A. Humoral immune responsses in periodontal disease may have mucosal and systemic immune features. Clin Exp Immunol 1999;115:534-541.

7. Coogan MM, Simon P, Sweet, Challacombe SJ. Immunoglobulin A (IgA), IgA1, and IgA2 Antibodies to Candida albicans in Whole and Parotid Saliva in Human Immunodeficiency Virus Infection and AIDS. Infect and Immun 1994;62:892-896.

8. Seeman R, Hagewald, Sztankay V, Drews J, Bizhang M, Kage A. Levels of parotid and submandibular/sublingual salivary immunoglobulin A in responsse to experimental gingivitis in humans. Clin Oral Invest 2004;8:233-237.

9. Ogawa T, Kusumoto Y, Hamada S, McGhee JR, Kiyono H. Bacteriodes gingivalis-specific serum IgG and IgA subclass antibodies in periodontal disease. Clin Exp Immunol 1990;82:318-325.

10. Marcotte H, Lavoie MC. Oral Microbial Ecology and the Role of Salivary Immunoglobulin A. Microbiology and Molecular Biology Review 1998:71-109.

11. Ebersole JL, Cappelli D, Steffen MJ. Charateristics and Utilization of Antibody Measurements in Clinical Studies of Periodontal Disease. J Periodontol 1992;63:1110-1116.

12. Sistig S, Vucicevic-Boras V, Lukac J, Kusic Z. Salivary IgA and IgG subclasses in hiv Positive Patients. EurJ Med Res 2003;8:543-548.

13. Challacombe SJ, Greenspan JS, Greenspan D, Dodd C. Salivary IgA Subclass Responsses in HIV-Associated Salivary Gland Disease (in Oral Manifestations of HIV Infection). Chicago: Quistenssence. 1995. p.152-158.

14. Grimoud A-M, Arnaud C, Dellamonica P, Lodter J-P. Salivary defence factor concentrations in relation to oral and general parameters in HIV positive patients. Eur J Oral Sci 1998;106:979-985.

15. Muller F, Froland SS, Hvatum M, Radl J, Brandtzaeg P. Both IgA subclasses are reduced in parotid saliva from patients with AIDS. Clin Exp Immunol 1991;83:203-209.

16. Sweet SP, Rahman D, Challacombe SJ. IgA subclasses in HIV disease:dichotomy between raised levels in serum and decreased secretion rates in saliva. Immunol 1995;86:556-559.

Page 31: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xxxi

17. Stanford TW, Rees TD. Acquired immune suppression and other risk factors/indicators for periodontal disease progression. Periodontol 2000 2003;32:118-135.

18. Individual Wellbeing Diagnostic Laboratories. Secretory sIgA-saliva. Available at: http://www.iwdl.net/Practitioners/Secretory%20IgA%20Sample%20Report.pdf. Acessed September 20, 2006.

19. Bennet KR, Read PC. Salivary immunoglobulin A levels in normal subjects, tobacco smokers, and patients with minor aphtous ulceration. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1982;53:461-465.

20. Hoffmann, Rockstroh, Kamps. HIV Medicine 2006. Paris: Flying Pub. 2006. p.23-94. 21. Kumar VK, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease.

Internal ed. Philadelphia: Elsevier saunders. 2005. p.245-258. 22. Abbas AK, Lichtman AH. Cellular and Molecular Immunology. 5th ed. Philadelphia:

Elsevier saunders. 2005. p.463-475. 23. Liechtenstein KA, et al. Early Uninterrupted Antiretroviral Therapy is Associated with

Improved Outcomes in the HIV Outpatients Study (HOPS) Cohort. Available at:http://www.retroconference.org/2006/ PDFs/769.pdf. Accessed May 20, 2007.

24. Weber R, et al. HIV and non-HIV related deaths and their relationship to immunodeficiency: The D:A:D study. 15th European Congress of Clinical Microbiology and Infectious Diseases Copenhagen/Denmark. April 2-5, 2005. http://www.blackwellpublishing.com/eccmid15/abstract.asp?id=36145. Accessed May 20, 2007.

25. Snoeeck V, Peters IR, Cox E. The IgA system:a comparation of structure and function in different species. Vet Res 2006;37:455-467.

26. Hagewald SJ, Fishel DLW, Christan CEB, Bernimoulin J-P, Kage A. Salivary IgA in responsse to periodontal treatment. Eur J Oral Sci 2003;111:203-208.

27. Walker DM. Oral Mucosal Immunology:An Overview. Ann Acad Med Singapore 2004;33(Suppl):27S-30S.

28. Mayer G. Immunoglobulin - Structure and Function. In: Microbiology Immunology on line. University of South Carolina. Available at: http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/IgStruct2000.htm. Last modified March 9, 2007. Accessed March 27, 2007.

29. Kerr MA. Function of immunoglobulin A in immunity. Gut 2000;47:751-752. 30. Thomas AHL, Reinholdt J. Subclass Distribution of Salivary Secretory Immunoglobulin

A Antibodies to Oral Streptococci. Infect and Immun 1991;59:3619-3625. 31. Lin AL, Johnson DA, Stephan KT, Yeh CK. Alteration in salivary function in early HIV

infection. J Dent Res 2003;82(9):719-724. 32. Encyclopaedia Britannica. Nephelometric & Turbidimetric Assays. Available at:

http://www.britannica.com/ebc/article-80800. Accessed September 17, 2006. 33. Tulip Diagnostics (P) LTD. Turbidimetry in Technical series. Available at:

http://www.tulipgroup.com/Common/html/TurbidTech.pdf. Accessed May 18, 2007. 34. Ditjen PPM & PL Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Dilaporkan

sampai dengan Maret 2007. Didapatkan di: http://www.spiritia.or.id/StatCurr.htm. Edit terakhir 13 Juli 2006. Diakses 17 April 2006.

35. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Komisi penanggulangan AIDS Nasional. Strategi Penanggulangan HIV/AIDS 2003-2007. Didapatkan di: http://spiritia.or.id/Stranas.php. Diakses 13 Mei 2007.

Page 32: KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV

xxxii

36. Farida R, Suryadhana NG, Gultom F, Utami S. Studi awal kadar immunoglobulin A dalam saliva dengan tumpatan amalgam. Kumpulan Makalah KPPIKG X 1994:13-17.

37. Amerongen AVN (Penerjemah: Rafiah Abyono). Ludah dan Kelenjar ludah. Arti bagi kesehatan gigi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1988. Hal.84.

38. Lin AL, Johnson DA, Stephan KT, Yeh CK. Saliva composition and flow rates are impacted by early HIV disease irrespective of xerostomic medications. J Evid base Dent Pract 2004;4:246-8.

39. Mellanen L, Sorsa T, Lähdevirta J, Helenius M, Kari K, Meurman JH. Salivary albumin, total protein, IgA, IgG and IgM concentrations and occurrence of some periodontopathogens in HIV-infected patients: a 2-year follow-up study. J Oral Pathol Med 2001;30(9):553–559.

40. Steinsvoll S, Myint M, Odden K, Berild D, Schenk K. Reduced serum IgG reactivities with bacteria from dental plaque in HIV-infected persons with periodontitis. J Periodontol 1997;24:823-829.

41. Lu FX, Jacobson RS. Oral Mucosal Immunity and HIV/SIV Infection. J Dent Res 2007;86(3):216-226.

42. Wu X, Jackson S. Plasma and salivary IgA sub classes and IgM in HIV-1-infected individuals. J Clin Immunol. 2002;22(2):106-15.

43. Liisa Mellanen, Timo Sorsa, Juhani Lähdevirta, Miia Helenius, Kirsti Kari, Jukka H. Meurman. Salivary albumin, total protein, IgA, IgG and IgM concentrations and occurrence of some periodontopathogens in HIV-infected patients: a 2-year follow-up study. J Oral Pathol Med 2001;30(9):553–559.