kesetaraan gender (26 feb 2008)

15
PEMENUHAN DAN PENINGKATAN KETERWAKILAN PEREMPUAN/KESETARAAN GENDER DAN KEPEMIMPINAN DALAM KEPENGURUSAN PARTAI POLITIK Dr. R. Siti Zuhro, MA Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI ([email protected] ; [email protected]) Dipresentasikan dalam Seminar ”Optimalisasi Implementasi UU No. 2/2008 tentang Partai Politik untuk Meningkatkan Peran, Fungsi, dan Tanggung Jawab Partai Politik dalam Kehidupan

Upload: smk-nurul-huda

Post on 24-Jan-2015

462 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Kesetaraan gender (26 feb 2008)

PEMENUHAN DAN PENINGKATAN KETERWAKILAN PEREMPUAN/KESETARAAN GENDER DAN KEPEMIMPINAN

DALAM KEPENGURUSAN PARTAI POLITIK

Dr. R. Siti Zuhro, MAPeneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI

([email protected]; [email protected])

Dipresentasikan dalam Seminar ”Optimalisasi Implementasi UU No. 2/2008 tentang Partai Politik untuk Meningkatkan Peran, Fungsi, dan Tanggung Jawab Partai

Politik dalam Kehidupan Demokrasi secara Konstitusional”. Diselenggarakan oleh Pusat Studi Otonomi Daerah, Jakarta, Hotel Golden Boutique, 25-26 Februari 2008

Page 2: Kesetaraan gender (26 feb 2008)

Pemenuhan dan Peningkatan Keterwakilan Perempuan/ Kesetaraan Gender dan Kepemimpinan dalam Kepengurusan Partai Politik

Oleh Dr. R. Siti Zuhro, MA(Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI)

Pengantar

Kesadaran terhadap gender equality dari periode ke periode menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Meskipun gambaran secara umum memperlihatkan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia masih menghadapi kendala (internal dan eksternal), secara kuantitas ada peningkatan jumlah perempuan di lembaga-lembaga politik (MPR, DPR, DPD, DPRD I, DPRD II). Selama periode 1998-2008 atau sepuluh tahun reformasi Indonesia ditandai perubahan cukup signifikan (meskipun belum komplit) partisipasi kaum perempuan dalam kancah politik.

Kaum perempuan tidak hanya duduk di lembaga legislatif pusat, tapi juga daerah. Demikian pula dalam kompetisi pilkada baik di provinsi maupun kabupaten/kota kaum perempuan ikut berlaga dan beberapa dari mereka mampu menunjukkan kualitas dan memenangkan pilkada. Di pemerintahan, baik nasional maupun lokal kaum perempuan juga mampu menampilkan kemampuannya untuk meningkatkan kinerja pemerintahan.

Namun, hanya puas dengan capaian ”terbatas” sebagaimana ditunjukkan dalam angka statistik yang ada tidak akan mendorong lebih lanjut peningkatan peran perempuan dalam politik. Kesetaraan dan keadilan gender antara lain dapat dicapai melalui reformasi dalam partai politik. Dalam kaitan ini, sangat diharapkan perbaikan atas AD/ART partai, sistem pencalonan anggota legislatif dan pemilihan pengurus partai agar menjamin peningkatan keterwakilan perempuan.

Disahkannya UU 2/2008 tentang Partai Politik yang mencantumkan secara jelas pasal tentang penyertaan 30% keterwakilan perempuan dalam pendirian dan pembentukan partai dan dalam kepengurusan partai politik tingkat pusat merupakan langkah maju. Sekarang tergantung bagaimana perempuan merespons UU tersebut. Dan tak kalah pentingnya adalah konsistensi partai untuk memegang amanah kedua pasal penting tersebut.

Pentingnya Peran Perempuan dalam Politik

Setengah dari jumlah penduduk Indonesia adalah perempuan, namun bisa dikatakan berperan maksimal khususnya di lembaga politik. Perbaikan ini diharapkan dapat dilakukan melalui sistem kepartaian Indonesia yang ramah gender atau pro-gender.

Perempuan masih sangat terpinggirkan dalam politik. Meskipun pemerintah telah menunjukkan keinginan baiknya (good will) untuk memerhatikan masalah kesetaraan

Page 3: Kesetaraan gender (26 feb 2008)

gender di dunia publik, dalam kenyataannya keinginan baik tersebut bersifat setengah hati. Masalah kuota keterwakilan 30% perempuan dalam parlemen, misalnya, masih sebatas kertas. Jumlah anggota legislatif perempuan di parlemen pada tahun 2004 tak meningkat secara signifikan dibandingkan dengan tahun 1999. Bila tahun 1999 jumlahnya mencapai 9%, pada tahun 2004 meningkat sedikit menjadi 11,09% (Kompas, 6 Agustus 2004). Kenyataan ini dapat dipahami karena Undang-Undang Pemilu tak secara tegas menyatakan komitmennya atas kuota keterwakilan perempuan dalam parlemen. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata ’dapat’ dan bukan ’wajib’ dalam pasal yang mengatur tentang hal tersebut (bandingkan dengan jumlah anggota DPR dan MPR menurut jenis kelamin (bandingkan dengan periode sebelumnya, lihat tabel 1).1

Tabel 1

Jumlah Anggota DPR dan MPR Menurut Jenis Kelamin

Periode Nama Badan

Perempuan Laki-laki Laki-laki dan Perempuan

Jumlah % Jumlah % Jumlah %1992 – 1997

DPR 80 12,19 434 87,85 494 100.00

MPR 0 0 0 0 0 0

1997 -1999

DPR 56 11,20 444 88,80 500 100,00

MPR 62 12,40 438 87,60 500 100,00

1999 – 2004

DPR 44 8,80 456 91,20 500 100,00

MPR 19 9,74 176 90,26 195 100,00Sumber: Sekjen MPR RI (Indikator Sosial Wanita Indonesia 1999, BPS)

Masalah Politik dan Demokrasi

Konsep-konsep politik seperti demokrasi dan kewarganegaraan sering dipandang sebagai konsep yang netral. Dalam kenyataannya konsep tersebut mengandung bias gender. Hal ini dikarenakan adanya sejumlah ketentuan yang dibuat pemerintah yang mempersulit perempuan untuk memperoleh akses yang sama dengan laki-laki dalam politik. Pada masa Orde Baru, misalnya, kesempatan perempuan untuk berpartisipasi secara lebih aktif dan bermakna di pemerintahan dan politik sering terhambat oleh keberadaan organisasi Dharma Wanita. Keberadaan organisasi tersebut telah mempertegas fungsi utama perempuan sebagai istri yang berkewajiban untuk mendukung karier suami.

1 Dalam pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Pemilu tahun 2003 dikatakan bahwa ”setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calong anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.”

Page 4: Kesetaraan gender (26 feb 2008)

Pada era reformasi sekarang ini potensi perempuan di bidang politik dan pemerintahan sering terhambat oleh praktik kolusi dan nepotisme. Disadari atau tidak, isu kolusi dan nepotisme acapkali menjadi alat legitimasi penyingkiran perempuan dalam pemerintahan dan politik. Dominasi laki-laki dalam struktur kepengurusan partai politik dan pemerintahan telah menyingkirkan perempuan karena kuatnya politik perkoncoan (pertemanan). Sebaliknya, masuknya perempuan dalam parlemen dan dalam jabatan penting pemerintahan sering dipandang sebelah mata karena dianggap sebagai hasil nepotisme (berkat suami atau orang tua) dan bukan hasil kapabilitasnya.

Lepas dari itu, partisipasi perempuan merupakan salah satu prasyarat bagi demokrasi, karena demokrasi tidak eksis bila masih ada pengingkaran terhadap kesetaraan gender: perempuan dan laki-laki. Demokrasi yang sebenarnya adalah yang anggota masyarakat mendapat kesempatan yang sama untuk bersuara dan didengar. Peran politik sangat penting untuk mendorong kebijakan yang berkeadilan sosial, terutama yang berkaitan dengan kehidupan perempuan.

Hak Politik

Hak politik perempuan pada dasarnya adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia merupakan esensi dari kerangka demokrasi. Oleh karena itu, melibatkan perempuan dan laki-laki di dalam proses pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak dalam demokrasi. Dalam teori ini sesungguhnya tidak lagi ada dikotomi perempuan - pria. Tapi pada kenyataannya hak perempuan masih dipolitisasi dan di mobilisasi atas nama demokrasi.

Dengan terpenuhinya quota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen minimal ada dua gejala yang dapat ditimbulkan dari ekses tersebut. Pertama, adanya kesungguhan perempuan untuk berupaya mau terjun ke dunia politik, minimal mewakili partai politik. Selain itu, kesadaran perempuan itu sendiri bahwa politik adalah bidang kebijakan kenegaraan yang mengatur arah dan tujuan negara, sehingga proses pengambilan kebijakan dapat dilakukan secara politis oleh semua komponen bangsa termasuk perempuan.

Kedua, kesadaran masyarakat untuk memberikan kesempatan kepada perempuan untuk tidak saja memilih tetapi juga dipilih. Hal ini tentu akan lebih banyak memberikan peluang kepada perempuan untuk berkiprah di bidang politik. Jadi adanya ketentuan quota 30 persen dalam UU Pemilu menunjukan kemajuan untuk memberi arahan agar benar-benar ada upaya partai politik meningkatkan keterwakilan perempuan di (struktur) partai dan di parlemen. Angka 30 persen dalam pengertian sebagaimana dimaksud dalam UU Pemilu, tidak serta merta bersifat mutlak. Dapat saja keterwakilan perempuan oleh partai tidak mencapai angka 30 persen. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah bahwa tidak adanya rumusan yang mengharuskan pemenuhan quota tersebut, karena MPR/DPR melihat bahwa jika partai politik diharuskan memenugi target angka quota, maka suatu partai politik bisa didiskualifikasi kalau gagal memenuhi ketentuan tersebut.

Page 5: Kesetaraan gender (26 feb 2008)

Dengan disahkannya UU Pemilu yang menyepakati quota 30 persen untuk calon perempuan di legislatif, peluang perempuan untuk berkiprah di dunia politik praktis telah terbuka lebar. Atas dasar inilah maka kemampuan politik Indonesia akan menjadi semakin kompleks dan sempurna. Kompleks karena proses pengambilan kebijakan/ keputusan politis semakin beragam. Masuknya kaum perempuan akan menambah khasanah berpikir bagi pengambilan keputusan. Sempurna, sebagaimana diketahui bahwa penduduk Indonesia 50 persen lebih adalah perempuan, artinya keterwakilan perempuan dalam menyuarakan hak politiknya menyebabkan komposisi dan proporsi telah sempurna karena melibatkan segenap komponen bangsa.

Keberadaan Perempuan dalam Politik

Ke depan dinamika perempuan dalam politik cenderung menjanjikan. Meskipun ada kesan seolah hak untuk mendapatkan peluang itu dipaksanakan, tapi inilah jalan yang harus dilalui. Karena tanpa kebijakan yang tertuang secara jelas dan tiadanya payung hukum yang melindungi hak-hak politik perempuan, agaknya mustahil mereka memainkan peran penting dalam politik. Sejarah politik Indonesia membuktikan dengan sangat jelas bahwa kaum perempuan harus berjuang secara terus menerus untuk mendapatkan hak-haknya, baik di bidang politik, hukum maupun ekonomi dll.

Sudah saatnya kaum perempuan menduduki jabatan publik karena profesionalisme dan kompetensinya, dan bukan karena alasan gender. Kaum perempuan harus berani tampil dalam dunia politik praktis yang selama ini identik dengan dunia laki-laki. Penguasaan terhadap sektor-sektor publik harus dilakukan melalui tahap-tahap demokrasi dengan memandang persaingan yang sehat sebagai sebuah keniscayaan kehidupan. Hanya kaum perempuan sendirilah yang tahu masalah-masalah yang berkaitan dengan mereka, sehingga dalam setiap kebijakan publik seharusnya memperhatikan juga kepentingan kaum perempuan sebagai bagian dari objek kebijakan itu sendiri.

Dalam konteks tersebut, perempuan Indonesia perlu banyak belajar dari kaum perempuan di Swedia, dimana partisipasi mereka di parlemen mencapai 40% sehingga komposisi anggota parlemen antara yang laki-laki dengan perempuan, relatif berimbang. Pengalaman di parlemen Swedia memperlihatkan bahwa, keterlibatan kaum perempuan di sektor-sektor publik secara cukup signifikan telah membawa perubahan yang sangat penting dalam tata kelola pemerintahan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Keterlibatan kaum perempuan di sektor publik ini lebih ditujukan untuk memperbaiki kinerja institusi publik. Data UNDP tahun 2002, memperlihatkan bahwa ketika Peru melakukan re-strukturisasi birokrasi pemerintahannya dengan memasukkan 30% perempuan ke dalam struktur baru, maka tingkat korupsi secara signifikan turun pula sebesar 30% (Eva K. Sundari, 2003).

Apa yang terjadi di Swedia dan Peru, seharusnya menjadi pelajaran bagi kita sehingga bisa mendorong kaum perempuan untuk terlibat aktif dalam dunia politik praktis. Sudah saatnya kaum perempuan mampu dan mau menentukan kebijakannya sendiri sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan kaum perempuan itu sendiri.

Page 6: Kesetaraan gender (26 feb 2008)

Lepas dari itu, menurut sensus yang dilaksanakan Biro Pusat Politik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51% dari seluruh populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun demikian, jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pembuat/pengambil keputusan politik di Indonesia, sebagaimana tampak dalam beberapa tabel berikut: 

Tabel 2: Jumlah Perempuan di Lembaga Politik Indonesia

LembagaJumlah

PerempuanJumlah Laki-laki

Presentase Jumlah 

Perempuan

M P R 18 177 9,2%

D P R 45 455 9%

M A 7 40 14,8%

B P K 0 7 0%

D P A 2 43 4,4%

K P U 2 9 18,1%

GUBERNUR (Dati I)

0 30 0%

BUPATI (Dati I)

5 331 1,5%

Data diolah dari berbagai sumber: 2001

Tabel 3: Perempuan dalam Lembaga-Lembaga Politik FormalTahun 2002

Lembaga Perempuan Laki-Laki

Jenis lembaga Jumlah Prosentase

Jumlah Prosentase

MPR 18 9,2 117 90,8DPR 44 8,8 445 91,2MA 7 14,8 40 85,2BPK 0 0 7 100DPA 2 4,4 43 95,6KPU 2 4,4 9 81,9Gubernur 0 0 30 100Walikota/ 5 1,5 331 38,5

Page 7: Kesetaraan gender (26 feb 2008)

bupatiEselon IV dan III

1.883 7,0 25,110 93,0

Hakim 536 16,2 2,775 83,8PTUN 35 23,4 150 76,6

Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Tabel 4: Anggota Komisi-Komisi DPR menurut Jenis KelaminTahun 2002

Komisi Jumlah Perempuan

% Jumlah Laki-Laki

%

I Hankam 4 7,0 53 93,0

II Hukum dan dalam Negeri

3 4,9 53 95,1

III Pangan dan Pertanian

3 5,7 49 94,3

IV Transportasi dan Prasarana

4 7,2 51 92,8

V Industri dan Perdagangan

6 9,6 50 90,4

VI Agama, Pendidikan dan Kebudayaan

6 12,5

42 87,5

VII Kesehatan dan Pendudukan

11 25,0

33 75,0

VIII Iptek dan Lingkungan Hidup

4 7,2 51 92,8

IX Keuangan dan Pembangunan

3 5,4 52 94,5

Total (100%) 44 8,5 439 91,5

Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Tabel 5: Persentase Perempuan di DPR dari Periode ke Periode

Jenis kelamin

Perempuan Laki-laki

Periode Jumlah % Jumlah %

Page 8: Kesetaraan gender (26 feb 2008)

1950-1955 (DPR

Sementara)

9 3,8 236 96,2

1955 – 1960

17 6,3 272 93,7

Konstituante : 1956-

1959

25 5,1 488 94,9

1971-1977 36 7,8 460 92,21977 – 1982

29 6,3 460 93,7

1982 – 1987

39 8,5 460 91,5

1987 – 1992

65 13,0

500 87,0

1992 – 1997

65 12,5

500 87,5

1997 – 1999

54 10,8

500 89,2

1999 – 2004

45 9,0 500 91,0

2004 – 2009

11 10,7

550 89,3

Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Tabel 6: Jumlah Perempuan yang Duduk di Legislatif Hasil Pemilu 2004

DPR DPD DPRD Tingkat I10,7 21% 9%550 128 1.849

Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Langkah-Langkah Strategis yang Perlu Diambil

Setidak-tidaknya ada dua agenda besar yang harus dilakukan oleh perempuan Indonesia untuk dapat terlibat secara aktif dalam menghadapi Pemilu 2009 mendatang. Pertama, pendidikan politik untuk perempuan. Seperti kita ketahui hak politik perempuan adalah menjadi tujuan perjuangan perempuan Indonesia. Program politik perempuan adalah mendorong perempuan untuk mau berkecimpung dalam dunia politik praktis. Pandangan bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki harus segera didekonstruksi menjadi bahwa

Page 9: Kesetaraan gender (26 feb 2008)

dunia politik adalah strategi perjuangan untuk memajukan dan memakmurkan negeri, jadi setiap komponen bangsa berhak untuk turut serta termasuk perempuan.

Kedua, advokasi kepada partai politik. Advokasi bertujuan agar setidaknya masing-masing partai politik konsisten dengan UU Partai Politik, yaitu memiliki keterwakilan perempuan. Artinya, jangan sampai quota perempuan sebagaimana yang diharapkan dalam undang-undang partai politik gagal. Nilai krusial dari UU Parpol adalah diakomodirnya rumusan quota 30 persen bagi perempuan dalam kepengurusan patai.

Advokasi kepada partai politik juga bertujuan untuk memberikan dukungan kepada partai politik agar tidak lagi ada diskriminasi gender dalam merekrut calon anggota legislatif. Prioritas yang harus dilakukan adalah meningkatkan kapasitas perempuan yang aktif di partai politik, agar mampu dan siap menjadi pengurus partai dan anggota legislatif.

Dalam menyongsong Pemilu 2009 politisi perempuan harus mampu menempatkan diri sebagai garda depan dalam mengaksentuasikan gerakan sadar politik kepada masyarakat. Sebab meskipun proyek tersebut telah menjadi peran strategis partai politik, akan tetapi peran tersebut tidak dijalankan secara optimal oleh partai politik. Oleh karenanya perempuan dalam institusi politik menjadi suatu keharusan untuk membidani lahirnya gerakan perempuan yang sadar politik.

Prospek dan Peluang Kesetaraan Gender

Persoalan gender pada dasarnya bukan persoalan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang bersifat natural. Persoalan gender merupakan persoalan ketidakadilan peran-peran sosial. Sebagai hasil produksi sosial, peran-peran sosial laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat tidak seyogyanya didasarkan atas faktor biologis, tetapi atas dasar kapabilitas tiap-tiap individu. Berbeda dengan faktor biologis, kapabilitas individu bukanlah hasil bawaan (ascribed status), melainkan hasil prestasinya (achieved status).

Persepsi umum masyarakat yang mengaitkan masalah gender dengan faktor biologis telah merugikan partisipasi perempuan di dunia publik, termasuk di pemerintahan dan khususnya di partai. Secara umum, jabatan struktural di pemerintahan (PNS) didominasi laki-laki mulai dari eselon V sampai I. Pada tahun 2005 persentase jabatan struktural yang diduduki laki-laki 10,81%, sedangkan perempuan hanya 3,81%. Demikian pula pada jabatan fungsional umum, yakni 46,96% untuk laki-laki dan 33,31% untuk perempuan. Hanya pada jabatan fungsional tertentu persentase perempuan lebih baik dibandingkan dengan laki-laki. Persentase perempuan mencapai 63,09%, sedangkan laki-laki 42,23% (bandingkan dengan jumlah PNS berdasar gender tahun 2005 (lihat tabel 8 di bawah).

Tabel 7 Jumlah PNS berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan

Keadaan September 2005

Page 10: Kesetaraan gender (26 feb 2008)

TINGKAT PENDIDIKAN

JENIS KELAMIN

JUMLAHLaki-laki Perempuan

JML % JML %SD 108,424 4.96% 5,937 0.39% 114,361SLTP 105,117 4.81% 16,216 1.05% 121,333SLTA 805,667 36.84% 568,212 36.85% 1,373,879DIPLOMA I 26,395 1.21% 34,125 2.21% 60,520DIPLOMA II 256,914 11.75% 353,149 22.90% 610,063

DIPLOMA III 161,282 7.37% 137,828 8.94% 299,110

DIPLOMA IV 6,353 0.29% 2,368 0.15% 8,721

Strata I/S-1 641,519 29.33% 399,009 25.88% 1,040,528

Strata II/S-2 68,010 3.11% 23,451 1.52% 91,461

Strata III/S-3 7,224 0.33% 1,668 0.11% 8,892Jumlah 2,186,905 100.00% 1,541,963 100.00% 3,728,868

Sumber: Badan Kepegawaian Negara

Meskipun data tersebut secara jelas masih menunjukkan tingginya tingkat diskriminasi gender, peluang dan prospek perempuan dalam memperoleh hak-haknya cukup menggembirakan. Sebagai produk sosial, perempuan telah memperlihatkan kemampuannya di dunia publik. Sulit dipungkiri bahwa krisis ekonomi yang menimpa Indonesia di penghujung tahun 1990-an telah memberikan pengakuan bahwa perempuan memiliki daya tahan yang lebih kuat dalam mempertahankan subsistensi ekonomi keluarganya ketimbang laki-laki. Sebagai reserved army mereka merupakan tim SAR keluarga yang sangat tangguh. Ketika banyak laki-laki yang terpuruk dalam krisis ekonomi, banyak perempuan yang tampil sebagai penyelamat. Kenyataan ini seharusnya menjadi modal penting yang perlu dipertimbangkan sebagai bargaining power perempuan dalam politik. Demokrasi tak mungkin bisa mengesampingkan partisipasi perempuan karena ongkos sosial dan politik yang harus ditanggung negara dan masyarakat menjadi sangat mahal.

Penutup

Di era demokrasi dewasa ini peluang perempuan untuk memperoleh kesetaraan gender seharusnya lebih terbuka. Kemajuan ekonomi, teknologi dan politik merupakan isu yang bisa dijadikan argumen bagi perempuan dalam upayanya untuk menghilangkan sekat dikotomi publik dan privat. Dalam sistem ekonomi kapitalis kehadiran perempuan di dunia publik merupakan sebuah kebutuhan agar ekonomi keluarga bisa berlangsung. Oleh sebab itu, sebuah keluarga perlu dibangun atas dasar kemitraan dengan memberikan kesempatan untuk berpartisipasi di dunia publik sesuai dengan kapabilitasnya masing-masing. Dengan demikian dikotomi publik – privat menjadi tidak relevan karena status peran ganda yang selama ini disandang perempuan merupakan sebuah ketidakadilan gender.

Page 11: Kesetaraan gender (26 feb 2008)

Usaha ke arah tersebut jelas tidak semudah membalik telapak tangan. Perjuangan kesetaraan gender di Indonesia masih harus melalui jalan berliku dan penuh tantangan. Dalam hubungan ini peningkatan sumber daya manusia (SDM) perempuan perlu memperoleh perhatian, khususnya pendidikan. Secara umum, keterbukaan politik yang berlangsung sejak 1998 memberikan peluang yang makin besar bagi partisipasi perempuan. Sebuah sistem politik dan pemerintahan yang makin demokratis akan makin menguatkan tingkat kesetaraan gender. Oleh karena itu, partisipasi perempuan dalam partai politik dan perannya dalam kepengurusan serta kepemimpinan merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan, terutama oleh kaum perempuan karena ini menjadi prasyarat penting bagi berlangsungnya demokratisasi di Indonesia.

Melalui UU Partai politik yang baru, diharapkan peluang perempuan untuk berkiprah di partai akan semakin besar. Kaum perempuan mestinya dapat merespons secara serius peluang tersebut. Dua pasal penting dalam UU Parpol menyebutkan bahwa: “Pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan”. “Kepengurusan partai politik tingkat pusat disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan”. Bila dua pasal tersebut konsisten di tataran praksisnya, maka tidak ada alasan untuk tetap meminggirkan kaum perempuan dalam kepengurusan partai dan dalam kepemimpinan partai. Kaum perempuan Indonesia sudah saatnya ikut mewarnai sistem kepartaian di Indonesia.

oo0oo