lapsus - ket
DESCRIPTION
laporan kasusTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
Oleh :
Bintang Warastuti 01107100
Tomy Nugroho 01107101
Nurrahma W. Fitriyani 0210710103
Taufiq Abdullah 02107101
Pembimbing
dr. Yahya Irwanto, SpOG
KEPANITERAAN KLINIK MADYALABORATORIUM OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
1
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2007BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehamilan ektopik merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih
sering dijumpai pada wanita usia produktif. Definisi kehamilan ektopik adalah
suatu kehamilan abnormal dimana implantasi hasil konsepsi terjadi di luar
endometrium korpus uteri (Sepilian, 2005; Mochtar, 2002). Nama lainnya adalah
ectopic pregnancy, ectopic gestation, dan eccecyesis. Hal ini merupakan salah
satu kelainan pada fisiologi reproduksi manusia.
Kehamilan ektopik masih menjadi penyebab terbanyak kematian ibu pada
trimester pertama, terutama pada kehamilan ektopik yang terganggu. Penyebab
kematian ibu pada trimester pertama lainnya antara lain adalah abortus inkomplit
dan abortus mola. Kehamilan ektopik mulai ditemukan pada abad ke 11, dan
hingga pertengahan abad ke 18, kasus ini berakibat fatal (Sepilian, 2005). Angka
kejadian kehamilan ektopik di negara-negara berkembang mencapai 100-175
kasus per 1.000.000 wanita berusia 15-44 tahun (Bouyer et al, 2003). Angka
kejadian kehamilan ektopik di Indonesia pada tahun 1990an berkisar antara 8 –
40 kasus per 1000 kehamilan. Di negara-negara maju prevalensinya berkisar
antara 3-4 kasus per 1000 kehamilan (Mochtar, 2002). Sedangkan di Amerika
prevalensi kehamilan ektopik pada tahun 1970an adalah 4,5 kasus per 1000
kehamilan dan meningkat menjadi 19,7 kasus per 1000 kehamilan pada tahun
1990an (Tenore, 2002). Dapat dilihat bahwa cenderung terjadi peningkatan
kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun. Hal ini mungkin banyak
disebabkan oleh banyaknya perubahan lingkungan yang dapat mempengaruhi
kesehatan ibu. Setelah satu kehamilan ektopik, resiko pasien untuk mengalami
kehamilan ektopik ulangan meningkat 7-13 kali lipat. Namun pasien masih
2
memiliki peluang untuk kehamilan yang normal sebesar 50-80%, dan 10-25%
peluang untuk terjadinya kehamilan ektopik (Sepilian, 2005).
Penyebab terjadinya kehamilan ektopik sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
kehamilan ektopik antara lain adalah pelvic inflammatory disease (PID), riwayat
kehamilan ektopik sebelumnya, endometriosis, penggunaan alat kontrasepsi
dalam rahim (IUD), riwayat operasi tuba, riwayat operasi pelvis, terapi infertilitas,
anomali uterotubal, riwayat penggunaan obat diethylstilbetrol, dan perokok.
Faktor resiko lainnya yang memilki asosisasi rendah antara lain partner seksual
multipel, coitus pertama pada usia muda, dan pencucian vagina (Tenore, 2002).
Kehamilan ektopik dapat berlanjut menjadi suatu keadaan yang
mengancam jiwa, terutama apabila terjadi kehamilan ektopik yang terganggu.
Angka kematian ibu akibat kehamilan ektopik yang terganggu mencapai 10-15%
dari seluruh kematian ibu (Tenore, 2002). Oleh karena itu, diperlukan diagnosis
dan penanganan sedini mungkin terhadap kehamilan ektopik. Pada makalah ini
akan dibahas suatu kasus kehamilan ektopik yang terjadi di Rumah Sakit dr.
Saiful Anwar Malang.
1.2 Rumusan Masalah
1. Permasalahan apa saja yang dapat muncul pada kehamilan ektopik?
2. Bagaimana cara mendiagnosis kehamilan ektopik?
3. Bagaimana penatalaksanaan kehamilan ektopik?
4. Bagaimana prognosis untuk kehamilan berikutnya?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui permasalahan apa saja yang dapat muncul pada kehamila
ektopik.
2. Untuk mengetahui cara mendiagnosis kehamilan ektopik.
3. Untuk mengetahui cara penatalaksanaan kehamilan ektopik.
4. Untuk mengetahui prognosis untuk kehamilan berikutnya.
3
1.4 Manfaat
1. Memberi informasi pada dokter muda tentang kehamilan ektopik sehingga
dapat mendiagnosis dan memberikan penanganan yang tepat.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kehamilan ektopik berasal dari bahasa Yunani ektopos yang berarti di luar
tempat, dan tertuju pada suatu kehamilan abnormal dimana implantasi hasil
konsepsi terjadi di luar endometrium korpus uteri (Sepilian, 2005; Mochtar,
2002). Nama lainnya adalah ectopic pregnancy, ectopic gestation, dan
eccecyesis. Ada beberapa istilah yang berhubungan dengan kehamilan ektopik,
antara lain :
- Kehamilan ekstrauterin :
Kehamilan dengan implantasi hasil konsepsi diluar uterus. Keadaan ini tidak
identik dengan kehamilan ektopik, contohnya adalah kehamilan pada pars
interstitialis tuba dan kanalis servikalis yang masih terdapat dalam rahim
namun sifatnya abnormal dan ektopik. Keduanya dimasukkan dalam
kehamilan ektopik.
- Kehamilan ektopik terganggu (KET) :
Kehamilan ektopik yang terganggu, dimana terjadi abortus atau pecahnya
lokasi implantasi yang dapat menimbulkan perdarahan dan berbahaya bagi
wanita yang mengalaminya.
- Kehamilan heterotropik :
Kehamilan intrauterine yang terjadi dalam waktu yang berdekatan dengan
kehamilan ektopik.
- Kehamilan ektopik kombinasi (combined ectopic pregnancy) :
Kehamilan intrauterine yang terjadi pada waktu bersamaan dengan
kehamilan ekstrauterin.
- Kehamilan ektopik rangkap (compound ectopic pregnancy):
5
Kehamilan intrauterine dengan kehamilan ekstrauterin yang lebih dulu terjadi,
tapi janin sudah mati yang menjadi litopedion, yaitu janin mati yang
mengalami kalsifikasi. (Mochtar, 2002)
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian kehamilan ektopik di berbagai negara cukup bervariasi dan
cenderung terjadi peningkatan yang dramatis pada beberapa dekade terakhir. Di
Amerika prevalensi kehamilan ektopik pada tahun 1970an adalah 4,5 kasus per
1000 kehamilan dan meningkat menjadi 19,7 kasus per 1000 kehamilan pada
tahun 1990an (Tenore, 2002). Angka kejadian kehamilan ektopik di negara-
negara berkembang mencapai 100-175 kasus per 1.000.000 wanita berusia 15-
44 tahun (Bouyer et al, 2003). Di Indonesia, angka kejadian kehamilan ektopik
berkisar antara 8 – 40 kasus per 1000 kehamilan. Di negara-negara maju
prevalensinya berkisar antara 3-4 kasus per 1000 kehamilan (Mochtar, 2002).
Angka kematian akibat kehamilan ektopik yang terganggu menurun dari 35,5
kematian per 10.000 kasus pada 1970an manjadi 2,6 per 10.000 kasus pada
1992 (Sepilian, 2005). Walaupun begitu, kehamilan ektopik yang terganggu
adalah penyebab utama kematian ibu pada trimester pertama , yaitu 10-15% dari
seluruh kematian ibu (Tenore, 2002).
2.3 Etiologi
Penyebab kehamilan ektopik secara pasti seringkali tidak diketahui, namun
ada beberapa hal yang sudah diketahui. Beberapa faktor penyebab kehamilan
ektopik adalah:
- Faktor uterus
1. Tumor rahim yang menekan tuba.
2. Uterus hipoplastik.
- Faktor tuba
1. Penyempitan lumen tuba karena infeksi endosalping.
2. Tuba sempit, panjang dan berlekuk-lekuk.
6
3. Gangguan fungsi rambut getar (silia) tuba.
4. Operasi dan sterilisasi tuba yang tidak sempurna.
5. endometriosis tuba.
6. striktur tuba.
7. divertikel tuba dan kelainan kongenital lainnya.
8. perlekatan peritubal dan lekukan tuba.
9. tumor lain yang menekan tuba.
10. lumen kembar dan sempit.
- Faktor ovum
1. migrasi eksterna dari ovum.
2. perlekatan membrana granulosa.
3. rapid cell division.
4. migrasi internal ovum. (Mochtar, 2002)
Kelainan-kelainan anatomis alat kandungan yang dapat menyebabkan
kehamilan ektopik dapat terjadi karena faktor internal (anatomis kongenital) dan
faktor eksternal (infeksi, mekanis, gaya hidup). Beberapa faktor yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik antara lain adalah pelvic
inflammatory disease (PID) (18-25%), riwayat abortus provokatus (13-21,43%),
riwayat kehamilan ektopik sebelumnya (6,12%), endometriosis, penggunaan alat
kontrasepsi dalam rahim (IUD) (4,08 -5%), riwayat operasi tuba (18%), riwayat
operasi pelvis, terapi infertilitas (10-18%), anomali uterotubal, riwayat
penggunaan obat diethylstilbetrol, dan perokok (20-25%). Faktor resiko lainnya
yang memilki asosisasi rendah antara lain partner seksual multipel, hubungan
seksual pertama pada usia muda, dan pencucian vagina (Tenore, 2002; Vyas
dan Vidya, 2003; Bouyer et al, 2003).
Infeksi panggul atau pelvic inflammatory disease (PID) merupakan faktor
resiko utama terjadinya kehamilan ektopik. Organisme penyebab yang paling
sering ditemukan adalah Chlamidya trachomatis, dimana pasien dengan infeksi
Chlamidya sering tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatis). Namun
7
infeksi ini dapat juga menimbulkan gejala-gejala seperti cervicitis, salpingitis,
hingga radang panggul yang parah. Lebih dari 50% wanita yang terinfeksi tidak
merasakan apapun. Organisme lain yang dapat menyebabkan radang panggul
adalah Neisseria gonorrhoea, bakteri aerob dan anaerob lainnya. Riwayat
salpingitis meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik hingga 4 kali lipat.
Kerusakan tuba meningkat setelah beberapa episode infeksi (13% setelah 1
episode, 35% setelah 2 episode, 75% setelah 3 episode) (Sepilian, 2005).
Setelah satu kehamilan ektopik, resiko pasien tersebut untuk mengalami
kehamilan ektopik ulangan meningkat 7-13 kali lipat. Namun pasien masih
memiliki peluang untuk kehamilan yang normal sebesar 50-80%, dan 10-25%
peluang untuk terjadinya kehamilan ektopik (Sepilian, 2005).
Riwayat operasi tuba telah terbukti meningkatkan resiko terjadinya kehamilan
ektopik. Peningkatan resiko tergantung pada derajat kerusakan dan perubahan
anatomis pada tuba. Tindakan yang memiliki resiko tinggi untuk terjadi
kehamilan ektopik adalah salpingostomi, neosalpingostomi, fimbrioplasti,
reanastomosis tuba, dan lisis adhesi perituba atau periovarial (Sepilian, 2005).
Konsepsi yang terjadi setelah ligasi tuba juga meningkatkan resiko terjadinya
kehamilan ektopik, dimana 35-50% wanita dengan riwayat ligasi tuba mengalami
kehamilan ektopik. Kegagalan setelah kauterisasi tuba bipolar tampaknya
merupakan penyebab utama kehamilan ektopik, dibandingkan penggunaan
sutura, cincin, atau klip. Konsepsi terjadi karena adanya fistula setelah
kauterisasi yang menyebabkan sperma dapat melewati tuba. Kehamilan ektopik
setelah sterilisasi tuba umumnya terjadi setelah 2 tahun atau lebih. Pada tahun
pertama hanya 6% kegagalan sterilisasi yang berakibat kehamilan ektopik
(Sepilian, 2005).
Induksi ovulasi dengan terapi clomifen sitrat atau injeksi gonadotropin
dihubungkan dengan peningkatan resiko kehamilan ektopik sebesar 4 kali lipat.
Pada penelitian tentang terapi ini, faktor yang diduga menjadi penyebab adalah
adanya multipel ovum dan kadar hormon yang tinggi. Pada suatu penelitian
disebutkan bahwa pasien infertil dengan defek fase luteal lebih beresiko
mengalami kehamilan ektopik dibandingkan pasien infertil karena anovulasi.
8
Resiko kehamilan ektopik dan kehamilan heterotropik meningkat secara
dramatis pada pasien yang pernah menjalani assisted reproductive techniques,
seperti in vitro fertilization (IVF) atau gamete intrafallopian transfer (GIFT). Dari
3000 pasien yang menjalani teknik tersebut, 4,5% mengalami kehamilan ektopik
(Sepilian, 2005).
Penggunaan IUD yang mengandung copper atau progesteron juga diduga
meningkatkan angka kejadian kehamilan ektopik. Namun hanya penggunaan
IUD progesteron saja yang terbukti memiliki angka kejadian kehamilan ektopik
lebih tinggi. IUD copper terbukti tidak meningkatkan resiko terjadinya kehamilan
ektopik. Insiden kehamilan ektopik karena penggunaan IUD adalah 4% (Sepilian,
2005).
Resiko kehamilan ektopik meningkat pada wanita berusia 35-44 tahun
sebesar 3-4 kali lipat dibandingkan dengan wanita usia 15-24 tahun. Penjelasan
tentang hal ini adalah terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik pada tuba
falopii, yang bertanggung jawab untuk motilitas tuba dan transpor ovum. Namun
angka kejadian kehamilan ektopik masih tinggi pada usia 21-30 tahun karena
masih merupakan usia produktif yang memungkinkan lebih banyak terjadinya
konsepsi (Vyas dan Vaidya, 2003; Sepilian, 2005).
Merokok meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik sebesar 1,6 – 3,5
kali lipat dibandingkan tidak merokok. Merokok memiliki efek independen dan
dose-related terhadap kehamilan ektopik. Merokok telah diketahui dapat
mempengaruhi fungsi silia pada nasofaring dan saluran nafas. Efek yang serupa
diperkirakan juga dapat terjadi pada silia dalam tuba falopii (Tenore, 2002). Efek
lain yang diduga dapat menyebabkan kehamilan ektopik adalah penundaan
ovulasi, perubahan motilitas tuba dan uterus, dan perubahan imunitas (Sepilian,
2005).
2.4 Patofisiologi
Kehamilan ektopik paling sering terjadi pada tuba falopii, terutama pada
pars ampullaris (80%). Selain itu, kehamilan ektopik juga dapat terjadi pada
isthmus tuba (12%), fimbriae (5%), dan pars kornual dan interstitial tuba (2%).
9
Kehamilan ektopik yang berada di luar tuba jarang ditemukan, namun pada
beberapa kasus terjadi kehamilan abdominal (1,4%), kehamilan pada ovarium
(0,2%), dan serviks (0,2%) (Sepilian, 2005; Smith, 2006).
Gambar 2.1 Letak kehamilam ektopik (a) pars ampullaris tuba, (b) pars isthmus tuba, (c) fimbriae, (d) pars interstitialis tuba, (e) abdominal, (f) ovarium, (g) serviks (Smith, 2006)
Pada kehamilan tuba, sebagian besar akan terganggu pada usia 6-10
minggu kehamilan karena tidak dan bukan tempat implantasi normal. Mukosa
tuba bukan medium yang baik untuk pertumbuhan blastokista karena
vaskularisasi kurang baik dan desidua tidak dapat tumbuh sempurna. Hasil
konsepsi pada tuba akan berlanjut menjadi :
1. Mati dan kemudian diresorbsi. Dalam hal ini kehamilan seringkali tidak
diketahui. Perdarahan yang timbul dari uterus setelah meninggalnya janin
dianggap sebagai haid yang terlambat datang.
2. Terjadi abortus tuba (65%), ibu mengalami keguguran dan hasil konsepsi
terlepas dari dinding tuba kemudian terjadi perdarahan, dapat sedikit ataupun
banyak. Hasil konsepsi dan perdarahan bisa keluar ke arah kavum uteri dan
dikeluarkan per vaginam, atau keluar ke arah abdominal sehingga
tertampung di belakang rahim (hematom retrouterina) sehingga dapat teraba
massa (pelvic mass). Perdarahan ini disebabkan karena trofoblas dan vili
khorialis menembus lapisan pseudokapsularis pada lumen tuba. Abortus
tuba biasanya terjadi pada kehamilan tuba pars ampullaris.
10
3. Terjadi ruptur tuba (35%), peristiwa ini sering terjadi pada kehamilan di
isthmus. Trofoblas dan vili khorialis menembus dinding muskularis dan
peritoneum pada dinding tuba sehingga menyebabkan ruptur tuba dan
perdarahan langsung ke rongga peritoneum. Bila robekan kecil maka hasil
konsepsi tetap tinggal dalam tuba, sedangkan dari robekan dapat timbul
perdarahan yang banyak. Bila robekan besar maka hasil konsespsi keluar
dan masuk rongga perut. Hasil konsepsi dapat :
- Mati dan berkumpul bersama darah di retrouterina.
- Bila janin agak besar dan mati, akan menjadi litopedion (kalsifikasi janin
mati) dalam rongga perut.
- Janin keluar dari tuba diselubungi kantong amnion dan plasenta yang
utuh, kemungkinan dapat tumbuh terus dalam rongga perut dan terjadi
kehamilan abdominal sekunder. Plasenta akan melebar mencari tempat
implantasi pada usus, ligamentum latum, dan organ-organ disekitarnya.
Janin dapat terus tumbuh, bahkan sampai aterm. (Mochtar, 2002; Pitkin,
2003)
Gambar 2.2 Perdarahan pada kehamilan ektopik (Smith, 2006)
11
Pada pars ampullaris dan fimbriae kehamilan dapat bertahan sampai usia 8-
12 minggu. Kehamilan pada pars isthmus tuba biasanya hanya bertahan sampai
usia 4-8 minggu, lalu dapat terjadi abortus atau ruptur karena pada bagian ini
dinding tuba lebih tipis. Sedangkan kehamilan pada pars interstitialis dapat
berlanjut sampai usia 16 minggu atau lebih, kadang sampai aterm karena
dinding pada bagian ini lebih tebal (Mochtar, 2002;Sepilian, 2005).
Uterus pada kehamilan ektopik, walaupun tidak terisi hasil konsepsi, juga
tetap membesar dan lembek dibawah pengaruh hormon serta terjadi
pembentukan desidua dalam uterus. Gangguan ringan dan tidak menghentikan
berlangsungnya kehamilan dapat menimbulkan perdarahan endometrium.
Kadang jika buah kehamilan mati, timbul perdarahan lebih banyak dengan
mengikutsertakan pengeluaran desidua utuh dalam bentuk cetakan dari kavum
uteri (Pitkin, 2003).
Perubahan yang dapat pula terjadi pada endometrium adalah reaksi “Arias-
Stella”. Pada reaksi ini terlihat bahwa pada tempat tertentu di endometrium
terdapat sel-sel kelenjar yang membesar dan hiperkromatik, mitosis, terjadi
vakuolisasi sitoplasma, dan batas antar sel menjadi kurang jelas. Perubahan ini
disebabkan oleh stimulasi hormon yang berlebihan dan ditemukan pada
endometrium yang berubah menjadi desidua (Pitkin, 2003).
2.5 Gambaran Klinik
Gambaran klinik kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak khas, dan
penderita maupun dokternya biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam
kehamilan sampai terjadinya abortus tuba atau ruptur tuba. Tanda dan gejala
kehamilan ektopik sangatlah bervariasi tergantung dari pecah tidaknya
kehamilan tersebut. Gejala awal yang harus diperhatikan antara lain: 1.) terdapat
tanda-tanda kehamilan -- seperti mual, muntah, tidak menstruasi, dan
sebagainya, 2) nyeri yang dapat dirasakan pada satu sisi atau kedua sisi perut
bagian atas, bawah, atau seluruh bagian perut, 3) terdapat bercak darah
(spotting) atau perdarahan yang biasanya berwarna hitam. Adanya gambaran
12
yang sama dengan kehamilan normal, maka harus diketahui lebih dahulu tanda-
tanda kehamilan. Tanda-tanda kehamilan dibagi menjadi
o tanda-tanda pasti, yaitu :
- mendengar bunyi jantung anak
- melihat, meraba, dan mendengar pergerakan anak oleh pemeriksa
- melihat rangka janin dedngan sinar RÖ Ö
o tanda-tanda mungkin, yaitu :
1. Pembesaran, perubahan bentuk dan konsistensi rahim
2. Perubahan pada cervix
3. Kontraksi Braxton Hicks
4. Balotemen
5. Meraba bagian anak
6. Pemeriksaan biologis
7. Pembesaran perut
8. Keluarnya kolostrum
9. Hiperpigmentasi kulit
10. Tanda Chadwick
11. Adanya amenorhea
12. Mual dan muntah
13. Ibu merasa pergerakan anak
14. Sering kencing
15. Perasaan dada berisi dan agak nyeri
Tanda 1-10 merupakan tanda obyektif yang diperoleh pemeriksa,
sedangkan tanda 11-15 merupakan tanda subyektif yang dirasakan
penderita. (Universitas Padjadjaran, 1993)
Pada Kehamilan ektopik terganggu, gejala yang lebih lanjut antara lain
penderita pucat, kesadaran menurun atau lemah, bahkan syok akibat kehilangan
banyak darah, nyeri perut yang disertai perut menegang.
13
Manifestasi klinis dari kehamilan ektopik terjadi rata-rata 7,2 minggu setelah
periode menstruasi normal yang terakhir, dengan kisaran 5 sampai 8 minggu,
tetapi dapat juga terjadi lebih lama bila kehamilan ektopik tersebut tidak berlokasi
di dalam tuba falopi. (Haratz et all, 2005)
Gejala dan tanda juga tergantung pada lamanya kehamilan ektopik
terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang
terjadi, dan keadaan umum penderita sebelum hamil.
Tanda dan gejala klasik yang sering dijumpai pada kehamilan ektopik
adalah :
1) Nyeri dan rasa tidak nyaman, biasanya ringan. Hal ini merupakan
keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu. Pada ruptur tuba,
nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya
disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan dan
masuk dalam kondisi syok. Mula-mula terdapat pada satu sisi; tetapi
setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke
bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Korpus luteum pada
ovarium dalam kehamilan normal juga dapat memberikan gambaran
gejala yang sama.
2) Perdarahan pervaginam, merupakan tanda penting kedua pada
kehamilan ektopik terganggu, biasanya ringan. Kehamilan ektopik
biasanya kehamilan normal yang gagal dan terjadinya penurunan level
progesteron dari korpus luteum pada ovarium menyebabkan withdrawl
bleeding. Hal ini dapat sulit dibedakan dari permulaan aborsi atau
implantasi kehamilan awal normal. Perdarahan yang terjadi ini bisa per
vaginam dan juga internal, dan memiliki dua mekanisme patofisiologi
yang berbeda. Perdarahan luar disebabkan oleh level progesteron
yang menurun, sedangkan perdarahan dalam disebabkan oleh
perdarahan dari tuba yang terkena. Perdarahan dalam yang parah
juga dapat menyebabkan :
1. Kolaps dan kelelahan.
2. Denyut nadi cepat dan lemah (110 kali per menit atau lebih).
14
3. Hipotensi.
4. Hipovolemia.
5. Abdomen akut dan nyeri pelvis.
6. Distensi abdomen.
Distensi abdomen dengan shifting dullness merupakan petunjuk adanya
darah bebas.
7. Nyeri lepas.
8.Pucat. (Saraswati, 2005)
3) Riwayat Amenorhe, dimana lamanya amenorea tergantung pada
kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian besar penderita
tidak mengalami amenorea karena kematian janin terjadi sebelum haid
berikutnya. (Rachimhadhi, 2002)
2.6 Diagnosis
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak
mengalami kesukaran, tetapi pada jenis menahun atau atipik biasanya sulit
sekali. Diagnosis yang sulit ini, membuat sebagian besar penderita mengalami
abortus tuba atau ruptur tuba sebelum keadaan menjadi jelas. Diagnosis tetap
dimulai dengan anamnesa yang cermat dan pemeriksaan fisik, yang lalu juga
dapat disertai pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium,
kuldosentesis, ultrasonografi, dan laparoskopi.
a. Anamnesa
Haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat
gejala subyektif kehamilan muda. Pasien mengeluhkan nyeri perut bagian
bawah, nyeri bahu dan tenesmus.
15
b. Pemeriksaan fisik
Pada jenis yang tidak mendadak, hanya didapatkan perut bagian bawah
yang sedikit mengembung dan nyeri tekan, sedangkan pada kehamilan
ektopik terganggu dimana sudah terjadi perdarahan, penderita tampak
kesakitan dan pucat, bahkan dapat dijumpai tanda-tanda syok. Pada
pemeriksaan ginekologi, saat pemeriksaan adneksa dengan vaginal touché,
ada nyeri bila porsio digerakkan (nyeri goyang porsio atau slinger pain).
Apabila uterus diraba, akan teraba massa di samping uterus yang tidak dapat
ditentukan batasnya dan uterus yang sedikit membesar.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan haemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam
menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada
tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Untuk membedakan kehamilan
ektopik dengan infeksi pelvik. Dapat diperhatikan jumlah lekosit. Pada infeksi
pelvik, biasanya jumlah lekosit melebihi 20000. Level β-HCG darah juga
digunakan dalam diagnosis kehamilan ektopik. Level β-HCG normalnya
meningkat selama kehamilan. Dimana saat ini dikatakan ambang batas level
β-HCG pada wanita hamil adalah 3000iu/ml Pola abnormal dari peningkatan
hormon ini dapat menjadi petunjuk kemungkinan kehamilan ektopik.
d. Pemeriksaan penunjang
- Kuldosentesis
Merupakan suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam cavun
Douglas ada darah.
16
- Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi transvaginal merupakan pemeriksaan yang paling berguna
dalam memvisualisasikan kehamilan ektopik. Dalam pemeriksaan ini, probe
USG dimasukkan melalui vagina, dan gambaran pelvis dapat dilihat pada
monitor. USG transvaginal dapat memperlihatkan gestational sac merupakan
kehamilan normal (dalam uterus) atau kehamilan ektopik, walau terkadang
penemuannya tidak meyakinkan. Karena dari yang biasanya memperlihatkan
gestational sac yang mengandung embrio yang dapat terlihat, terkadang
pemeriksaan ini hanya menampilkan sebuah masssa di area tuba Falopi
yang dapat mengindikasikan, tetapi belum tentu kehamilan ektopik. USG
tersebut juga dapat memperlihatkan tidak adanya kehamilan dalam uterus.
- Laparoskopi.
Pada beberapa kasus yang jarang, laparoskopi mungkin dibutuhkan untuk
konfirmasi diagnosis dari kehamilan ektopik. Selama laparoskopi, instrument
dimasukkan melalui incisi kecil pada dinding abomen untuk
memvisualisasikan struktur-struktur pada abdomen dan pelvis, sehingga
dapat memperlihatkan tempat dari kehamilan ektopik. (Saraswati, 2005)
2.7 Diagnosis banding
Diagnosis banding kehamilan ektopik yang tersering adalah abortus imminens.
Diagnosa banding lainnya adalah penyakit radang panggul akut & kronik, kista
ovarium (terpuntir atau ruptur) dan appendisitis akut. USG dapat membedakan
antara kehamilan ektopik, abortus imminens dan kista ovarium terpuntir.
(Saraswati, 2005)
17
2.8 Penanganan
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi di luar rongga
uterus. Tuba Fallopii merupakan tempat tersering terjadinya implantasi kehamilan
ektopik (lebih 90%) (Haines, 2005)
Penanganan yang dapat dilakukan pada kehamilan ektopik ada beberapa
langkah, antara lain :
Dapat diberikan Methotrexate, dengan harapan bahwa tubuh akan
mengabsorbsi jaringan yang ada yang dapat menyelamatkan tuba falopi.
Akan tetapi hal ini tergantung pada perkembangan kehamilan tersebut
sendiri.
Jika tuba mulai mengalami tarikan ataupun robekan dan berdarah, semua
bagian dari tuba falopi harus diangkat. Perdarahan harus secepatnya
dihentikan dan dibutuhkan pembedahan yang bersifat emergency.
Laparoskopi dengan general anaestesi dapat juga dilakukan. Hal ini
dilakukan bersama ahli bedah dengan menggunakan laparoskopi untuk
mengangkat kehamilan ektopik tersebut, memperbaiki ataupun mengangkat
tuba falop. Jika kehamilan ektopik tidak dapat dihilangkan dengan prosedur
laparoskopi maka prosedur bedah yang lainnya dapat dilakukan seperti
dengan laparotomi.
Salpingektomi
Dalam pengangkatan tuba falopii, dianjurkan untuk membuat sayatan
berbentuk baji yang tentu saja tidak lebih dari sepertiga luar pars intertitialis tuba
(tindakan ini dinamakan reseksi kornu), untuk memperkecil kemungkinan terjadinya
kehamilan dalam puntung tuba (walaupun jarang dijumpai) tanpa melemahkan
miometrium di tempat eksisi tersebut. Harus dihindari reseksi yang terlampau luas
agar tidak mengenai kavum uteri, kalau tidak cacat yang ditimbulkan oleh reseksi
akan menimbulkan ruptura uteri pada kehamilan intra uteri berikutnya. Bahkan
dengan reseksi kornu sekalipun kehamilan intertitial selanjutnya tidak dapat dicegah
(Cunningham, 1995).
18
Ooforektomi ipsilateral
Pengangkatan ovarium di sebelahnya pada saat dilakukan salpingektomi.
Hal ini pernah dianjurkan sebagai prosedur yang dapat memperbaiki kesuburan
penderita maupun menurunkan angka terjadinya kehamilan ektopik selanjutnya.
Dengan demikian, ovulasi akan selalu terjadi dari ovarium yang paling dekat pada
tuba falopii yang masih tertinggal. Keadaan ini mempermudah pengambilan ovum
oleh tuba dan menghindari kemungkinan migrasi eksterna ovum serta kehamilan
ektopik yang biasa timbul akibat telur yang peri patetik tersebut. Pengangkatan
ovarium normal kelihatannya sulit untuk dibenarkan, sebagian dokter ahli kandungan
kalau mungkin akan membiarkan ovarium dan memperkecil kemungkinan terjadinya
disfungsi ovarium serta pembentukan kista, mempertahankan pasokan darahnya
dengan mengklem pembuluh darah dalam mesosalping sedekat mungkin dengan
tuba falopii (Cunningham, 1995)
Salpingostomi
Teknik ini digunakan untuk mengangkat kehamilan yang kecil dengan
dengan panjang yang biasanya kurang dari 2cm dan terletak dalam bagian sepertiga
distal tuba falopii. Suatu insisi linier sepanjang 2cm atau kurang dilakukan pada
batas antimesenterik di dekat kehamilan ektopik. Implantasi ektopik ini biasanya
akan menonjol keluar dari lubang insisi sehingga dapat dikeluarkan dengan hati-hati.
Tempat perdarahan dikendalikan dengan elektrokauter atau laser dan luka insisi
dibiarkan tanpa penjahitan sampai sembuh sendiri. Dalam penelitian dilaporkan
bahwa angka kehamilan pada pasien dengan salpingostomi lebih tinggi daripada
salpingektomi (Cunningham, 1995).
Salpingotomi
19
Suatu insisi longitudinal dilakukan pada batas anti mesenteric tuba falopii
langsung di daerah implantasi ektopik. Hasil konsepsi diangkat dengan forseps atau
diisap dengan hati-hati dan tuba yang terbuka lalu diirigasi dengan larutan ringer
laktat (jangan memakai larutan salin isotonic), sehingga tempat perdarahan dapat
dikenali dan dikendalikan. Penutupan luka yang paling dianjurkan dilakukan dengan
jahitan satu lapis memakai benang vicryl 7-0 (Cunningham, 1995).
Pembedahan Kehamilan Abdominal
Operasi untuk kehamilan abdominal dapat menimbulkan perdarahan masif.
Tanpa tranfusi darah yang intensif, harapan untuk tertolong bagi pasien tersebut
sangat kecil. Karena itu di dalam kamar operasi sedikitnya harus sudah tersedia
2.000 mL darah yang cocok dengan golongan darah pasien. Sebelum operasi,
dipasang dua set infus yang masing-masing dapat menyalurkan cairan infus dengan
volume besar dan kecepatan tinggi. Pada saat yang sama harus digunakan teknik
monitoring sirkulasi darah yang memadai (Cunningham, 1995).
Pembedahan masif yang sering terjadi selama pembedahan untuk mengatasi
kehamilan abdominal berhubungan dengan berkurangnya daya konstriksi pembuluh
darah yang hipertrofi dan terbuka setelah pemisahan plasenta. Sebagian dokter
menganjurkan agar pembedahan dihindari sebelum viabilitas janin tercapai. Namun
demikian akibatnya biasa berbahaya dan tidak dikehendaki karena selama
menunggu kadang-kadang secara spontan terjadi pemisahan parsial plasenta dan
perdarahan masif. Lebih lanjut, meskipun janin sudah meninggal selama beberapa
minggu, masih biasa terjadi perdarahan masif. Karena alasan inilah pembedahan
dilakukan segera begitu diagnosis kehamilan abdominal ditegakkan dan langkah-
langkah persiapan pembedahan sudah selesai dilaksanakan (Cunningham, 1995).
Penanganan Bukan Bedah
20
Karena sebagian kehamilan tuba akan mengalami abortus atau resorpsi
spontan tanpa menimbulkan masalah serius pada ibu, sebagian penulis
menganjurkan agar kehamilan awal yang dicurigai diobservasi aja dengan ketat
untuk memungkinkannya berakhir dengan aman, khususnya bila kadar khorionik
gonadotropin serum tampak meninggi. Bahkan pemberian metotrexat dianjurkan
untuk percepatan resorpsi. Cara pendekatan ini pada sebagian besar pasien hanya
sedikit bermanfaat, mengingat metotreksat merupakan preparat yang sangat toksik,
hasil pengukuran khorionik gonadotropin tidak selalu tepat dan kehamilan tuba yang
terus membesar dapat mengakibatkan kerusakan tuba yang parah sehingga tidak
tepat lagi bagi tindakan salpingotomi (Cunningham, 1995).
2.9 Prognosis
Diagnosa dan terapi dari kehamilan ektopik sangat menentukan prognosa
dari penyakit itu sendiri. Semakin cepat kehamilan ektopik itu terdiagnosa maka
semakin cepat pula dilakukan terapi, sehingga komplikasi yang ditimbulkan pun
akan semakin dibatasi (Haines, 2005).
Saat ini, dari hasil penelitian dikatakan bahwa biarpun seseorang telah
kehilangan salah satu tuba-nya, dia akan tetap dapat memiliki kehamilan senjutnya
yang normal dengan syarat bahwa tuba yang lainnya juga dalam kondisi yang
normal (Haines, 2005).
Oleh beberapa peneliti dikatakan, setelah penanganan kehamilan ektopik
terganggu maka untuk kehamilan selanjutnya diharuskan menunggu 3-6 bulan. Jika
oleh suatu sebab sehingga terjadi kerusakan tuba, yang menyebabkan tidak
mungkinnya terjadi konsepsi maka dapat dilakukan suatu metode fertilisasi in vitro
dimana embrio yang telah dikembangkan sebelumnya ditanamkan pada rahim ibu
(Haines, 2005).
21
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Umum
Nama : Ny. Sumarmi
Umur : 32 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Status : Menikah
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : 12 tahun
Alamat : Jln. Kemirahan Gg.II/16 Malang
Jarak rumah – RSSA : 7 km
No register : 106331849
MRS : 5-5-2007
Nama suami : Tn. Joko Sukamto
Umur : 34 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Buruh batu
Pendidikan : 9 tahun
Alamat : Jln. Kemirahan Gg.II/16 Malang
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri perut kiri bawah
Pasien mengeluh nyeri di perut kiri bagian bawah sejak satu hari sebelum
masuk RS. Nyeri timbul apabila perut kiri bagian bawah ditekan. Penderita juga
22
mengeluhkan keluar flek-flek dari jalan lahir sejak tanggal 4 April 2007 sampai
masuk rumah sakit tanggal 5 Mei 2007. Darah berwarna merah kecoklatan. Flek
darah awalnya jarang-jarang, kemudian menjadi sering. Ibu tidak mengamati
apakah darah yang keluar berbentuk gelembung, bergumpal-gumpal atau cair.
Selama keluar flek-flek, penderita tidak berobat kemana-mana karena mengaku
tidak punya biaya. Penderita juga merasa dirinya hamil sejak tanggal 4 April
2007 dan pergi ke Bidan. Dites kencing hasilnya positif. Penderita juga mengaku
keputihan sejak delapan bulan yang lalu.
3.3 Riwayat Pribadi/Sosial
Pasien adalah anak keempat dari lima bersaudara. Orang tuanya sebagai
petani. Setelah menikah, pasien tinggal bersama suaminya. Berdasarkan
pengakuannya, penghasilan mereka berdua cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Dari pola makan, sehari makan 2x, tidak cukup baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Kebanyakan menunya nasi + sayur + tahu tempe.
Buah, susu, daging dan telur jarang terdapat pada menunya.
3.4 Status Obstetri
Lama menikah : 10 tahun
Banyak pernikahan : 1 kali
Paritas : P2002Ab100
Anak terakhir : 6 tahun
KB sekarang : -
3.5 Status Ginekologis
Menarche : 17 tahun
Siklus haid : teratur, 28 hari
Jumlah : sedang
Lama : 7 hari
Warna : merah segar
Nyeri saat haid : +
Fluor : + (sejak 8 bulan yang lalu, berbau)
23
Warna : putih kekuningan
HPHT : 07-02-2007
KB : Pengguna IUD Norplant, tapi dilepas sejak 6 bulan
yang lalu.
3.6 Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Keadaan umum : lemah, compos mentis
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 120x/menit, reguler, pulsus defisit (-)
Respiratory rate : 24x/menit
Tax° : 36,2°C
Kepala : conjungtiva anemis +/+
Sclera ikterik -/-
Exophtalmus -/-
Leher : pembesaran kelj.getah bening leher (-)
pembesaran thyroid (-)
Thorax
Jantung : inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra
perkusi : RHM sternal line dextra
LHM ICS V MCL sinistra
auskultasi : S1 S2 tunggal, murmur (-)
Paru : inspeksi : pergerakan simetris
palpasi : stem fremitus dextra=sinistra
perkusi : s s
s s
s s
auskultasi : v v Rh - - Wh - -
v v - - - -
v v - - - -
24
Mamae : simetris, membesar +/+, areola mamae lebih hitam +/+
jar.parut -/-, retraksi puting -/-, massa -/-, nyeri -/-
Abdomen : Slightly distended, nyeri tekan perut kiri bawah, tanda cairan
bebas (+), meteorismus (-), bising usus ↓, BJA (-), Ballotemen
(-), TFU tidak teraba
Genetalia Eksterna : v/v flek (+), clot (-), fluksus (-), fluor (+)
Ekstremitas : anemis - - tremor - - akral hangat
- -
Pemeriksaan dalam
Inspekulo : flek (+), clot (-), fluksus (-), fluor (+), POMP tertutup, licin
VT : flek (+), clot (-), fluksus (-), fluor (+), POMP tertutup, licin
Cavum Uteri Ante Fleksi sedikit membesar, slinger pain (+)
Adneksa parametrium Dextra : massa (-), nyeri (-)
Sinistra : massa(+), 3X3 cm,
nyeri(+)
Tes hCG : (+)
3.7 Diagnosa Awal
Kehamilan ektopik terganggu
3.8 Diagnosa Banding
1. Abortus imminens
2. Penyakit Inflamasi Panggul
3.9 Planning Diagnosa.
1. Pemeriksaan laboratorium lengkap : DL, kimia darah lengkap, FH, UL.
2. USG Transvagina
3.10 Planning Terapi
25
1. MRS.
2. Laparotomi cito
3. Cek Hb pre dan post operasi
4. Konsul kardiologi
5. Pro transfusi PRC bila Hb ≤ 10 setelah operasi
3.11 KIE
1. Menjelaskan kondisi dan penyakit pasien pada pasien dan keluarga.
2. Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan dan kemungkinan
komplikasinya.
3. Melakukan informed consent dan inform choice.
4. Anjuran untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang dan
proporsi cukup.
5. Menjelaskan jenis kontrasepsi yang terbaik untuk pasien ini dan lamanya
kontrasepsi serta waktu yang tepat untuk hamil lagi.
3.12 Hasil Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium pre operasi tanggal 5 Mei 2007 pukul
12.30
Darah lengkap :
Leukosit :11.500/μl
Hemoglobin : 8,1 gr/dl
Hematokrit : 25,7%
Trombosit : 247.000/μl
Faal Hemostasis :
PPT : 14,0
APTT : 29,0 detik
Kimia darah :
26
GDA : 131 mg/dl
Ureum : 25,7 mg/dl
Kreatinin : 0,93 mg/dl
SGOT :11 U/L
SGPT : 13 U/L
Elektrolit :
Natrium : 137 mmol/L
Kalium : 4,23 mmol/L
Chlor : 103 mmol/L
Hasil USG :
Tidak tampak Gestational Sac intra uteri, uterus sedikit
membesar. Tampak gestational sac diliputi oleh massa di adnexa
kiri.
Hasil VVP : Lekosit (+)
Trichomonas vaginalis (+)
Bakteri batang gram – (+)
3.13 FOLLOW UP PASIEN POST OP
Tgl. S O A P
27
5/05
/’07
Nyeri perut
(+)
KU: baik,
CM
T 110/70, N
88x/’, RR 24x/’,
Tax 36,20C
Kepala: an
+/+, ict -/-
Tho.: dbN.
Abd.: Luka
bekas operasi
(+), TFU tak
teraba, GE: V/V
flek(+), fluk(-)
Ekstremitas
: an -/-, ict -/-, ed
-/-
Hasil Lab Post
Op:
Leuko: 8300/ul
Hb : 7,6 g/dL
PCV : 23,7 %
Trom.: 311.000/ul
Post Laparotomi
(Parsial
Salphingektomi
Sinistra) ec ruptur
kehamilan tuba
pars ampularis
(S)
Recovery
Room
Infus
RL:RD5% =2:2
Pro
transfusi PRC
bila Hb ≤ 8
gr/dl
Observasi
vital sign,
perdarahan,
balance cairan
dan produksi
urin
Injeksi :
-Ceftriaxon 2x1
-Toramin 3x1
-Kalnex 3x1
-Alinamin 3x1
-Ulsikur 3x1
-Extrace 1x1
KIE
6/5/
07
Flek-flek
dari jalan lahir
(+).
Nyeri perut
kiri bawah.
KU: baik,
CM
T 110/70, N
120x/’, RR 24x/’,
Tax 36,20C
Kepala: an
+/+, ict -/-
Tho.: dbN.
Post Laparotomi
(Parsial
Salphingektomi
Sinistra) ec ruptur
kehamilan tuba
pars ampularis
(S)
Pindah
ruang 9
Infus aff
Observasi
vital sign,
perdarahan,
balance cairan
dan produksi
28
Abd.: Luka
bekas operasi
(+), TFU tak
teraba, GE: V/V
flek(+), fluk(-)
Ekstremitas
: an -/-, ict -/-, ed
-/-
Hasil Lab.:
Leuko: 7600/ul
Hb : 9,2 g/dL
PCV : 28,7 %
Trom.: 437.000/ul
urin
Pasien
boleh minum
bila flatus (+)
KIE
7/05
/’07
Nyeri (+) KU: baik,
CM
T 110/70, N
120x/’, RR 24x/’,
Tax 36,20C
Kepala: an
-/-, ict -/-
Tho.: dbN.
Abd.: Luka
bekas operasi
baik, TFU tak
teraba, nyeri
tekan perut kiri
bawah (+).
GE: V/V
flek(-), fluk(-)
Post Laparotomi
(Parsial
Salphingektomi
Sinistra) ec ruptur
kehamilan tuba
pars ampularis (S
Diet TKTP
Observasi
vital sign,
perdarahan,
bekas operasi
Mobilisasi
aktif
KIE
29
Hasil Lab.:
Leuko: 7900/ul
Hb : 9,8 g/dL
PCV : 30,4 %
Trom.: 344.000/ul
8/05
/’07
Nyeri (-) KU: baik,
CM
T 110/70, N
120x/’, RR 24x/’,
Tax 36,20C
Kepala: an
-/-, ict -/-
Tho.: dbN.
Abd.: Luka
bekas operasi
baik, TFU tak
teraba, nyeri
tekan perut kiri
bawah (+).
GE: V/V
flek(-), fluk(-)
Hasil lab :
Leuko: 11.500/ul
Hb : 10,7 g/dL
PCV : 28,2 %
Trom.: 303.000/ul
Post Laparotomi
(Parsial
Salphingektomi
Sinistra) ec ruptur
kehamilan tuba
pars ampularis (S
Diet TKTP
Observasi
vital sign,
perdarahan,
bekas operasi
Mobilisasi
aktif
KIE
9/05
/’07
nyeri luka jahitan (-) KU: baik,
CM
T 110/70, N
Post Laparotomi
(Parsial
Salphingektomi
Boleh
pulang
Obat :
30
120x/’, RR 24x/’
Kepala: an
-/-, ict -/-
Tho.: dbN.
Abd.: flat,
supel, TFU dbN.
GE: V/V
flek(-), fluk(-)
Sinistra) ec ruptur
kehamilan tuba
pars ampularis
(S)
Amox 3x1 tab
As. Mef. 3x1 tab
Rob. 1x1 tab
KIE
HIKZ..... Laporan OP na PHIIIIT?????
Ooopppppiiiiiiikkkk....ditulis yah!
31
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Permasalahan
A. Permasalahan Medik
1. Kehamilan Ektopik
Penyebab pasti terjadinya kehamilan ektopik sampai saat ini masih
belum diketahui, namun diduga berkaitan dengan berbagai faktor
sebagaimana telah dijelaskan pada bab II. Diagnosis kehamilan ektopik
terganggu ditegakkan dengan adanya gejala dan tanda berupa trias KET,
yaitu adanya riwayat amenore selama 3 bulan, perdarahan per vaginam
selama ± 1 bulan, dan adanya rasa nyeri pada perut kiri bawah. Pada
pasien ini , dari anamnesa diketahui bahwa sebelumnya pasien merupakan
pengguna IUD selama ±5 tahun, dan dilepas sejak 6 bulan yang lalu. Telah
diketahui bahwa penggunaan IUD yang mengandung preparat progesteron
dapat meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik, dimana insiden
penggunaan kehamilan ektopik karena penggunaan IUD sebesar 4%.
Pada pasien ini juga didapatkan riwayat keputihan selama ±8 bulan,
dimana dari hasil pemeriksaan VVP didapatkan adanya infeksi oleh
Trichomonas vaginalis. Infeksi tersebut juga dapat meningkatkan resiko
terjadinya kehamilan ektopik pada pasien ini.
2. Infeksi Panggul atau Pelvic Inflamatory Disease (PID)
Riwayat keputihan dan hasil pemeriksaan VVP yang menunjukkan
adanya infeksi oleh Trichomonas vaginalis menunjukkan pasien tersebut
32
menderita infeksi panggul atau pelvic inflammatory disease (PID), dimana
hal ini diketahui merupakan faktor resiko utama terjadinya kehamilan
ektopik. Riwayat salpingitis meningkatkan resiko terjadinya kehamilan
ektopik hingga 4 kali lipat. Kerusakan tuba meningkat setelah beberapa
episode infeksi (13% setelah 1 episode, 35% setelah 2 episode, 75%
setelah 3 episode).
3. Anemia
Anemia pada pasien ini dapat terjadi akibat perdarahan kronis yang
ditunjukkan dengan adanya riwayat perdarahan selama ± 1 bulan. Selain
itu, anemia juga diakibatkan oleh perdarahan spontan karena ruptur pada
tuba. Tuba falopii bukan merupakan tempat implantasi normal sehingga
saat janin makin membesar, tempat implantasi tidak dapat mengikuti
perkembangan tubuh janin sehingga pada akhirnya akan terjadi ruptur
yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah setempat. Perdarahan
juga dapat terjadi karena adanya reaksi desidua.
Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum
gravidarum dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek, dan
endometrium berubah menjadi desidua. Setelah janin mati, desidua uterus
akan mengalami degenerasi dan dikeluarkan melalui jalan lahir.
Faktor utama yang menyebabkan rupturnya dinding tuba adalah
penembusan vili khorialis ke dalam lapisan muskularis tuba dan berlanjut
ke peritoneum. Apabila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula
perdarahan dalam lumen tuba. Perdarahan tersebut bisa keluar ke arah
kavum uteri dan dikeluarkan per vaginam, atau ke kavum abdomen
sehingga terakumulasi di kavum douglasi yang disebut hematom
retrouterina.
B. Permasalahan Non-medik
33
1. Usia Ibu >35 Tahun
Pasien pada kasus ini berumur 38 tahun, hal ini juga dapat
meningkatkan resiko terhadap terjadinya kehamilan ektopik, dimana
diketahui bahwa resiko kehamilan ektopik meningkat pada wanita berusia
35-44 tahun sebesar 3-4 kali lipat dibandingkan dengan wanita usia 15-24
tahun. Penjelasan tentang hal ini adalah terjadinya penurunan aktivitas
mioelektrik pada tuba falopii, yang bertanggung jawab untuk motilitas tuba
dan transpor ovum (Vyas dan Vaidya, 2003; Sepilian, 2005).
2. Gizi yang tidak mencukupi dan higiene sanitasi yang kurang
Dari anamnesa diketahui juga bahwa pasien berasal dari keluarga
yang tidak mampu, dimana pemenuhan gizi dengan konsumsi makanan
sehari-hari tidak cukup, dimana sehari hanya makan 2x, dan kebanyakan
menunya nasi + sayur + tahu tempe. Buah, susu, daging dan telur jarang
terdapat pada menunya. Pasien ini juga tinggal di lingkungan yang kumuh,
yang tidak memperhatikan pentingnya higiene dan sanitasi. Sehingga, gizi
yang tidak mencukupi dan higiene sanitasi yang kurang akan
menyebabkan kurangnya daya tahan tubuh, yang memudahkan terjadinya
penyakit atau infeksi.
4.2 Penegakan Diagnosis
Pada kasus Ny. S, diagnosis ditegakkan atas dasar :
1) Anamnesa
Dari anamnesa diperoleh :
o Pasien mengeluh nyeri di perut kiri bagian bawah sejak satu
hari sebelum masuk RS. Nyeri timbul apabila perut kiri bagian
bawah ditekan.
o Penderita juga mengeluhkan keluar flek-flek dari jalan lahir
sejak tanggal 4 April 2007 sampai masuk rumah sakit tanggal
5 Mei 2007. Darah berwarna merah kecoklatan. Flek darah
awalnya jarang-jarang, kemudian menjadi sering. Ibu tidak
34
mengamati apakah darah yang keluar berbentuk gelembung,
bergumpal-gumpal atau cair. Selama keluar flek-flek,
penderita tidak berobat kemana-mana karena mengaku tidak
punya biaya.
o Penderita merasa dirinya hamil, lalu pergi ke Bidan, dan
setelah dites kencing hasilnya positif. HPHT: 07-02-2007
o Penderita mengaku keputihan sejak delapan bulan yang lalu.
Keputihan berbau, berwarna putih kekuningan.
2) Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan Abdomen didapatkan : Slightly distended, nyeri
tekan perut kiri bawah, meteorismus (-), tanda cairan bebas (+),
bising usus sedikit ↓, BJA (-), Ballotemen (-), TFU tidak teraba
Dari pemeriksaan dalam :
Inspekulo : flek (+),clot (-), fluksus (-), fluor (+), POMP tertutup, licin
VT : flek (+),clot (-), fluksus (-), fluor (+), POMP tertutup, licin
Cavum Uteri Ante Fleksi sedikit membesar, slinger pain (+)
Adneksa parametrium Dextra : teraba massa (-), nyeri (-)
Sinistra : teraba massa(+), nyeri(+)
Tes hCG : (+)
4.3 Penatalaksanaan
Pada pasien ini, penatalaksanaan yang dilakukan di RSSA adalah :
1. MRS.
2. Infus life line RL.
3. Perawatan kebersihan badan, vulvovagina dan pakaian pasien.
4. KIE pasien dan keluarga
5. USG Ginekologi.
6. Antibiotik.
7. Laparotomi sito
35
Adapun yang harus dimonitor pada pasien ini, yaitu:
Pre op : keluhan subyektif, vital sign, flek.
Post op :
a. cek DL serial tiap 6 jam.
b. cek kadar β hCG serum/urine serial :
Pemeriksaan kadar beta HCG dilakukan setiap minggu sampai
ditemukan kadarnya yang normal 3 minggu berturut-turut. Setelah itu
pemeriksaan dilanjutkan setiap bulan sampai ditemukan kadarnya mencapai
normal 6 bulan berturut-turut.
c. Pemeriksaan ginekologis untuk memantau adanya involusi
uterus, dilakukan tiap bulan sampai kadar β hCG negatif.
d. Pemeriksaan X-ray thorak untuk melihat metastase di paru-
paru, dilakukan tiap bulan sampai kadar β hCG negatif.
36
37
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada pasien Ny. Sumarmi ini ditemukan beberapa permasalahan.
Permasalahan medis berupa kehamilan ektopik terganggu (KET), infeksi
panggul (pelvic inflammatory disease), dan anemia karena perdarahan.
Permasalahan non medis berupa usia ibu lebih dari 35 tahun, kebutuhan gizi
yang tidak tercukupi, dan kurangnya higiene sanitasi.
Diagnosis KET pada pasien ini ditegakkan dengan adanya gejala dan
tanda berupa trias KET, yaitu adanya riwayat amenore selama 3 bulan,
perdarahan per vaginam selama ± 1 bulan, dan adanya rasa nyeri pada perut kiri
bawah. Pada kasus ini ditemukan faktor-faktor resiko berupa riwayat
penggunaan IUD, riwayat abortus, dan penyakit radang panggul berupa
Trichomoniasis.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan dilakukan laparotomi sito
dan dilanjutkan dengan salpingektomi sinistra atas indikasi ruptur kehamilan tuba
pars ampularis dengan GA (general anasthesia). Pada saat pulang didapatkan
luka bekas operasi baik.
Prognosis pada pasien ini untuk terjadi kehamilan ektopik ulangan cukup
besar karena adanya faktor-faktor resiko seperti penyakit radang panggul,
riwayat penggunaan IUD, riwayat abortus, dan riwayat kehamilan ektopik.
Peluang untuk terjadinya kehamilan ektopik ulangan sebesar 10-25%.
5.2 Saran
38
Pada pasien ini disarankan untuk melakukan sterilisasi karena usia ibu
sudah lebih dari 35 tahun, memiliki 2 anak hidup, dan dengan riwayat kehamilan
ektopik. Sterilisasi ini dilakukan selain sebagai rencana KB, juga ditujukan
supaya tidak terjadi kehamilan ektopik ulangan. Selain itu ibu juga disarankan
untuk lebih menjaga kebersihan, khususnya pada organ genitalia untuk
menghindari penyakit radang panggul.
DAFTAR PUSTAKA
Bouyer JC, et al. 2003. Risk factors for ectopic pregnancy : A comprehensive
analysis based on a large case-control, population based study in France.
American Journal of Epidemiology vol. 157 no. 3. www.aje.com . diakses
pada 17 Mei 2007
Cunningham…..
Haines………
Haratz-Rubinstein N, Linden A. 2005. Ectopic Pregnancy.
http://en.wikipedia.org/wiki/ ectopic_pregnancy. Diakses tanggal 10 Mei 2007
Mochtar, R. 2002. Sinopsis Obstetri jilid 1 : Obstetri Fisiologi dan Obstetri Patologi.
Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
Pitkin J, et al. 2003. Obstetrics and Gynaecology, an Illustrated Text. Churcill-
Livingstone Publishing Company. Great Britain.
Rachimhadhi, 2002. Kehamilan Ektopik Terganggu dalam Ilmu Kebidanan. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta
Saraswati, Shanti. 2005. Ektopik, ketika Kehamilan Terjadi di Luar Kandungan.
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/9/18/kel2.html,. Diakses tanggal
10 Mei 2007
Sepilian, V. 2005. Ectopic Pregnancy. www.emedicine.com. Diakses pada 13 Mei
2007.
Smith, MN. 2006. Ectopic Prgenancy. Medline plus Medical Encyclopedia.
www.medlineplus.com . diakses pada 17 Mei 2007
Tenore, JL. 2002. Ectopic Pregnancy. www.aafp.org . diakses pada 13 Mei 2007.
Universitas Padjadjaran, 1993.
39
Vyas PS, Vaidya PH. Epidemiology, diagnosis, and management of ectopic
pregnancy. www.bhj.com . diakses pada 17 Mei 2007.
40