ndc_sherlyputri_12.70.0023_d3

15
Acara III FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh: Nama : Sherly Putri Santoso NIM : 12.70.0023 Kelompok : D3 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2015

Upload: reed-jones

Post on 11-Sep-2015

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Nata de coco merupakan salah satu produk hasil fermentasi yang berasal dari air kelapa yang digemari oleh masyarakat. Proses pembuatan nata de coco memerlukan waktu kurang lebih 14 hari dengan bantuan starter A. xylinum.

TRANSCRIPT

  • Acara III

    FERMENTASI SUBSTRAT CAIR

    FERMENTASI NATA DE COCO

    LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

    TEKNOLOGI FERMENTASI

    Disusun oleh:

    Nama : Sherly Putri Santoso

    NIM : 12.70.0023

    Kelompok : D3

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

    SEMARANG

    2015

  • 1

    1. HASIL PENGAMATAN

    1.1. Analisa Lapisan Nata de coco

    Hasil pengamatan analisa lapisan nata de coco dapat dilihat pada tabel 1.

    Tabel 1. Analisa lapisan nata de coco selama fermentasi

    Kel Tinggi Awal

    Media (cm)

    Tinggi Ketebalan Nata (cm) % Lapisan Nata

    0 7 14 0 7 14

    D1 2 - 0.5 0.7 - 25 35

    D2 1.2 - 0.5 0.6 - 41.67 50

    D3 1.3 - 0.4 0.5 - 30.77 38.46

    D4 1 - 0.4 0.5 - 40 50

    D5 2.5 - 0.6 0.6 - 24 24

    Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa pada hari ke-0 belum terbentuk nata di semua media,

    pada hari ke-7 nata mulai terbentuk dengan persentase lapisan nata yang merupakan

    hasil pembagian antara tinggi ketebalan nata dengan tinggi awal media tertinggi ada

    pada kelompok D2 yaitu 41.67% dan yang terendah ada pada kelompok D5 yaitu

    sebesar 24%. Pada hari ke-14 terjadi peningkatan tinggi pada sebagian besar kelompok,

    peningkatan ukuran tinggi lapisan nata terbesar ada pada kelompok D1 dan D4 dengan

    kenaikkan sebesar 10% sedangkan D5 mendapatkan hasil yang terkecil yaitu 0% atau

    dapat dikatakan tidak ada penambahan tinggi lapisan nata setelah hari ke-14.

    1.2. Analisa Uji Sensori Nata de coco

    Hasil pengamatan analisa sensori nata de coco dapat dilihat pada tabel 2.

    Tabel 2. Analisa sensori Nata de coco

    Kelompok Aroma Warna Tekstur

    D1 + + + +

    D2 + + + + + +

    D3 + + + + + + +

    D4 + + + + +

    D5 + + + + Keterangan :

    Aroma Warna Tekstur

    + : sangat asam + : kuning + : tidak kenyal

    ++ : asam ++ : putih bening ++ : agak kenyal

    +++ : agak asam +++ : putih agak bening +++ : kenyal

    ++++ : sangat asam ++++ : putih ++++ :sangat kenyal

  • 2

    Pada tabel 2 dapat dilihat hasil analisa sensori nata de coco yang dihasilkan setelah

    proses fermentasi dimana untuk atribut aroma dan warna yang mendapatkan hasil

    terbaik adalah kelompok D3 yaitu dengan aroma agak asam dan warna putih bening,

    sedangkan pada kelompok lain didapati aroma sangat asam sampai asam dengan warna

    kuning, jika dilihat dari atribut tekstur didapatkan hasil yang berbeda beda dimana

    kelompok D2 dan D4 memiliki nata de coco dengan tekstur yang kenyal sedangkan

    kelompok D3 agak kenyal serta D1 dan D5 tidak kenyal.

  • 3

    2. PEMBAHASAN

    Nata de coco menurut Palungkun (1992) adalah krim yang berasal dari air kelapa yang

    dibentuk oleh Acetobacter xylinum melalui proses fermentasi dimana pada akhir proses

    fermentasi bakteri ini akan membentuk gel di permukaan larutan yang mengandung

    gula. Menurut Santosa (2012), nata de coco merupakan salah satu makanan rendah

    kalori dan kaya serat untuk menjaga kesehatan pencernaan (memperlancar pencernaan

    dan mencegah penyakit kanker kolon), sehingga cocok dikonsumsi sebagai makanan

    dalam diet sehat. Tahir et. al (2008) menambahkan bahwa wujud nata berupa sel

    berwarna putih hingga abu-abu muda, tembus pandang dan teksturnya kenyal. Nata

    agak berserat dalam keadaan dingin dan agak rapuh pada saat panas. Menurut Rahman

    (1992) bakteri Acetobacter xylinum termasuk bakteri asam asetat yang memiliki

    kemampuan dalam hal mengoksidasi gula dan alkohol menjadi asam asetat. Menurut

    Palungkun (1992), pembentukan nata de coco terjadi karena adanya proses

    pengambilan glukosa dari gula dalam air kelapa oleh sel-sel Acetobacter xylinum yang

    kemudian akan digabungkan dengan asam lemak membentuk prekusor yang selanjutnya

    dikeluarkan bersama enzim untuk mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar

    sel. Menurut Czaja et al (2004), selulosa adalah golongan biopolimer yang dihasilkan

    oleh organisme prokariotik, non-fotosintetik. Selulosa mempunyai kekuatan mekanik,

    kristalinitas, dan kapasitas menahan air yang tinggi.

    Pada pembuatan nata de coco pada praktikum ini hal yang pertama dilakukan adalah

    mempersiapkan media pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum yaitu adalah air

    kelapa. Menurut Palungkun (1992), air kelapa mengandung air 91.23%, karbohidrat

    7.27%, protein 0.29%, lemak 0.15%, abu 1.06% dan nutrisi pendukung lainnya seperti

    sukrosa, fruktosa, dekstrase, dan vitamin B kompleks. Air kelapa mengandung sebagian

    sumber nutrisi yang dibutuhkan namun kebutuhan akan C dan N masih harus tetap

    ditambah agar hasil nata optimal. Prades et al (2011) menambahkan bahwa air kelapa

    atau sari kelapa merupakan minuman berasa manis segar yang langsung diambil dari

    kelapa. Air kelapa mengandung mineral (zat besi, klorida, potasium, dan sulfur), gula

    (glukosa, sukrosa, fruktosa, galaktosa, sorbitol, xylosa, dan mannosa), dan asam amino

    (arginin, sistein, serin, dan alanin) sehingga umumnya digunakan sebagai

  • 4

    minuman isotonik alami. Menurut Hakimi & Daddy (2006) kandungan gizi air kelapa

    ditentukan dari umur kelapa itu sendiri. Bahan bahan yang digunakan dalam

    pembuatan nata de coco pada praktikum kali ini adalah 1 Liter air kelapa fresh, gula

    pasir, asam asetat glasial 95%, ammonium sulfat, dan starter nata de coco. Penambahan

    gula pasir dan ammonium sulfat dilakukan karena menurut Hamad & Kristiono (2013),

    di dalam pertumbuhannya, Acetobacter xylinum memerlukan sumber nutrisi C, H, dan

    N, serta mineral.

    Menurut Wowor et al (2007) nata de coco dapat dibuat bukan hanya dari air kelapa,

    namun juga dari berbagai jenis bahan asalkan mengandung gula, protein, dan mineral

    yang cukup tinggi seperti misalnya sari buah buahan, sari kedelai, bahkan air gula.

    Karena hal itu, nama nata bisa bermacam macam tergantung bahan yang digunakan.

    Namun penggunaan air kelapa dinilai yang paling ekonomis dikarenakan air kelapa

    sendiri merupakan limbah dari buah kelapa. Proses pembuatan nata de coco menurut

    Hakimi & Daddy (2006) meliputi tahap penyaringan - perebusan - penempatan dalam

    wadah fermentasi - pendinginan - penambahan starter - fermentasi (pemeraman) -

    pemanenan - pembersihan kulit - pemotongan - perebusan - pengemasan. Namun dalam

    praktikum kali ini tahap yang dilakukan hanya sampai pada proses fermentasi. Hal

    pertama yang dilakukan dalam praktikum ini adalah penyaringan air kelapa dengan kain

    saring untuk memisahkan kotoran yang ada pada air kelapa (Hakimi & Daddy, 2006).

    Setelah dilakukan penyaringan berikutnya adalah proses pemanasan dan penambahan

    bahan bahan lain yang diperlukan dalam proses pembuatan nata de coco. Menurut

    Palungkun (1992), tujuan pemanasan adalah untuk mengurangi kontaminasi dari

    mikroorganisme yang tidak diinginkan.

    Gambar 1. Proses penyaringan I

    (a) Air kelapa yang belum disaring

    (b) Penyaringan dengan kain saring

    (a) (b)

  • 5

    Kemudian ditambahkan gula pasir sebanyak 10% dari volume air kelapa yang

    dihasilkan, lalu diaduk sambil dipanaskan sampai larut. Penambahan gula 10% ini

    sesuai dengan teori Awang (1991), yang menyatakan bahwa konsentrasi optimum gula

    yang ditambahkan adalah sebesar 10% dari substrat. Penambahan gula ini bertujuan

    untuk menyediakan sumber karbon organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri

    sehingga menghasilkan selulosa. Selain itu menurut Hayati (2003) penambahan gula

    dalam proses pembuatan nata berperan dalam memberi tekstur, flavor, dan penampakan,

    serta dapat berfungsi sebagai pengawet. Menurut Purwanto (2012) sumber utama

    karbon adalah karbohidrat meliputi monosakarida, disakarida, trisakarida, dan

    polisakarida. Pembentukan nata oleh bakteri Acetobacter xylinum membutuhkan gula

    sebagai sumber C untuk menunjang pertumbuhan yang optimal.

    Setelah gula pasir larut kemudian dalam air kelapa ditambah dengan ammonium sulfat

    sebanyak 0.5% dari volume air kelapa yang dihasilkan, lalu diaduk sampai larut dan

    ditunggu hingga suhu mencapai 400C. Penambahan ammonium sulfat dilakukan

    menurut teori dari Pambayun (2002) bertujuan untuk menyediakan sumber nitrogen

    untuk mendukung aktivitas bakteri nata. Menurut Iguchi et al (2000) dalam Hamad &

    kristiono (2013) selain ammonium sulfat dapat digunakan sumber nitrogen lain seoerti

    urea, ZA, atau ekstrak yeast. Rahayu (1993) menambahkan bahwa sumber C dan N

    membentuk asam nukleat dan protein yang berperan sebagai sumber energi bagi

    pertumbuhan bakteri.

    Gambar 2. Proses penambahan bahan saat pemanasan

    (a) Penambahan gula pasir

    (b) Penambahan amonnium sulfat

    (a) (b)

  • 6

    Setelah suhu mencapai 400C maka kompor dimatikan dan larutan didiamkan hingga

    suhu agak turun. Setelah turun kemudian larutan diukur pH nya menggunakan pH

    meter. Setelah diukur pH awal kemudian ditambah dengan asam cuka glasial sampai

    memiliki pH mendekati 4 (dilakukan pengecekkan pH setiap penambahan asam cuka

    glasial). Pengkondisian asam terhadap larutan menurut Pambayun (2002), dilakukan

    karena bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada pH 3,5-7,5 dan optimumnya

    pada pH 4,3 (suasana asam). Pengontrolan pH terus dilakukan untuk mengetahui besar

    derajat keasaman air kelapa yang digunakan sebagai media dalam pembuatan nata de

    coco. Penambahan gula, ammonium sulfat, dan asam cuka glasial untuk menurunkan

    pH yang dilakukan dalam pembuatan nata de coco pada praktikum ini sudah sesuai

    dengan teori Jagannath et al (2008) yang menyatakan bahwa untuk menghasilkan nata

    yang optimal dalam proses pembuatan digunakan sukrosa sebesar 10 %, ammonium

    sulfat ebesar 0.5 %, dengan pengaturan pH terbaik yaitu pH 4.

    Gambar 3. Proses pengkondisian asam pada larutan

    (a) Penambahan asam cuka glasial

    (b) Pengukuran pH

    Setelah pH mendekati 4 selanjutnya larutan dipanaskan lagi sampai hampir mendidih.

    Setelah itu didiamkan untuk menurunkan suhunya dan kemudian disaring. Penyaringan

    dilakukan menggunakan kain saring steril untuk menjaga kesterilan larutan. Air kelapa

    yang telah disaring kemudian diambil 200 ml untuk tiap kelompok dan ditempatkan di

    wadah kotak meninggi steril. Setelah air kelapa sebanyak 200 ml dimasukkan ke dalam

    wadah steril, tinggi air kelapa diukur. Sehingga dapat diketahui tinggi awal media

    sebelum proses fermentasi.

    (a) (b)

  • 7

    Gambar 4. Alur Penyaringan dan Penuangan Larutan ke Dalam Wadah Steril

    (a) Penyaringan setelah pemanasan

    (b) Penuangan ke bekker glass

    (c) Penuangan ke gelas ukur

    (d) Penuangan ke wadah steril

    Setelah air kelapa dalam wadah steril tidak panas lagi dilakukan penuangan biang nata

    (starter) sebanyak 10% dari volume air kelapa yang dimasukkan ke wadah secara

    aseptis. Penggunaan Acetobacter xylinum sebagai starter sesuai dengan teori Tahir et. al

    (2008) bahwa dalam proses pembuatan nata starter yang digunakan selama proses

    fermentasi adalah A. xylibum. Penambahan starter ini sesuai dengan pernyataan Pato &

    Dwiloka (1994) bahwa jumlah starter untuk pembuatan nata yaitu berkisar 4 10 %.

    Penambahan starter dilakukan dengan aseptis karena menurut Hadioetomo (1993)

    penambahan biang starter harus dilakukan dalam kondisi aeptis untuk mencegah

    terjadinya kontaminasi ulang. Setelah starter dimasukkan kemudian digojog perlahan

    agar homogen dan kemudian ditutup dengan kertas coklat dan diinkubasi selama 2

    minggu pada suhu ruang dan setiap minggunya diukur tinggi nata yang terbentuk.

    Penutupan dengan kertas cokelat ini dikarenakan menurut Pambayun (2002) bakteri

    Acetobacter xylinum merupakan bakteri aerob yang membutuhkan oksigen dalam

    pertumbuhannya, namun oksigen tidak boleh bersentuhan langsung dengan permukaan

    substrat. Selain itu penutupan juga berfungsi untuk melindungi nata dari kontaminasi

    lingkungan sekitar.

    Gambar 5. Proses penambahan starter dan penutupan wadah

    (a) (b) (c) (d)

    (a) (b) (c) (d)

  • 8

    (a) Penuangan starter

    (b) Penutupan wadah dengan kertas cokelat

    (c) Pengikatan kertas supaya kencang dengan karet

    (d) Wadah yang sudah tertutup

    Proses inkubasi dilakukan pada suhu ruang dikarenakan menurut Pambayun (2002)

    bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada suhu ruang, suhu diatas atau dibawah

    280C menyebabkan pertumbuhan terhambat, sedangkan apabila suhu diatas 40

    0C dapat

    membuat bakteri ini mati. Selain itu menurut Hayati (2003) pengontrolan suhu

    fermentasi wajib dilakukan dimana suhu baik untuk pertumbuhan optimum Acetobacter

    xylinum adalah 300C. Fermentasi kemudian dilakukan selama 14 hari, sesuai dengan

    teori Santosa et al (2012) bahwa fermentasi pada pembuatan nata berlangsung optimal

    pada 10 14 hari. Selama proses fermentasi berlangsung, menurut Tahir et. al (2008)

    tanda awal tumbuhnya bakteri nata dapat dilihat dari keruhnya media cair setelah

    difermentasi 24 jam pada suhu kamar dan setelah 36 sampai 48 jam lapisan tipis akan

    mulai terbentuk di permukaan media dimana cairan bawahnya akan mulai jernih.

    Kemudian akan terbentuk lapisan putih yang terapung apung di atas permukaan media

    cair dimana lapisan putih tersebut merupakan nata. Palungkun (1992) menambahkan

    bahwa lapisan nata akan terbentuk dan semakin terlihat di permukaan medium karena

    terangkat oleh gas CO2 yang memiliki kecenderungan menempel pada lapisan selulosa.

    Menurut Czaja et al (2004), terdapat 2 metode dalam menghasilkan selulosa bakteri

    yaitu kultur stasioner dan kultur teragitasi. Pada kultur stasioner, membran selulosa

    berkumpul di permukaan medium, sementara pada kultur teragitasi selulosa disintesa di

    dalam media dalam bentuk suspensi berserat atau massa yang tidak beraturan.

    Berdasarkan teori tersebut diketahui bahwa Nata de coco yang dibuat dalam praktikum

    kali ini menggunakan sistem kultur stasioner.

    Pada hasil pengamatan dapat dilihat bahwa selama proses fermentasi % lapisan nata

    mengalami peningkatan hampir di semua kelompok, hal ini sesuai dengan teori Rahman

    (1992) bahwa aktivitas Acetobacter xylinum ditunjukkan dengan terbentuknya lapisan

    berwarna putih, yang lama kelamaan semakin memadat dan melebar. Pada hari ke-7

  • 9

    peningkatan tertinggi mencapai 41.67 % dan pada hari ke-14 peningkatan tertinggi

    mencapai 50%. Proses pembentukan lapisan nata menurut Palungkun (1992) terjadi

    karena adanya penambahan gula dimana semakin banyak jumlah gula yang

    ditambahkan maka nata yang terbentuk akan semakin baik. Hal tersebut terjadi karena

    gula digunakan sebagai substrat untuk pertumbuhan Acetovbacter xylinum yang

    merupakan bakteri selulosa murni. Namun pada salah satu kelompok tidak terjadi

    kenaikkan % lapisan nata dari hari ke-7 sampai hari ke-14. Hal tersebut dapat terjadi

    menurut Pambayun (2002) karena terjadinya kontaminasi pada saat proses fermentasi

    berlangsung sehingga bakteri menjadi terhambat pertumbuhannya. Mikroorganisme lain

    yang mungkin mengkontaminasi adalah Acetobacter aceti yang merupakan pesaing

    Acetobacter xylinum. Selain itu menurut Palungkun (1996), hal ini dapat terjadi karena

    adanya gangguan selama proses fermentasi berupa goyangan terhadap wadah selama

    proses fermentasi sehingga nata yang telah terbentuk di permukaan cairan akan turun.

    Selain pengukuran % lapisan nata dilakukan pula uji sensori terhadap nata yang

    terbentuk. Uji sensori yang dilakukan adalah tekstur, aroma, dan warna. Hasil analisa

    sensori untuk atribut aroma dan warna didapatkan hasil yang terbaik didapat oleh

    kelompok D3 yaitu aroma yang agak asam dengan warna putih bening, sedangkan

    kelompok lain mendapatkan aroma sangat asam sampai asam dengan warna kuning.

    Lapisan nata yang berwarna putih bening milik kelompok D3 sesuai dengan teori

    Rahman (1992) bahwa warna nata de coco yang baik dan bagus adalah putih transparan.

    Seumahu et al (2007) menambahkan bahwa warna nata de coco yang baik memiliki

    transparansi yang tinggi. Untuk aroma asam yang dimiliki oleh semua kelompok dapat

    terjadi menurut Tahir et. al (2008) karena apabila bakteri A. xylinum ditumbuhkan pada

    media cair yang mengandung gula akan menghasilkan asam cuka dan asam asetat.

    Rasa asam pada nata de coco setelah fermentasi dapat dihilangkan karena menurut

    Wahyudi (2003) setelah lapisan nata berhasil dibentuk, maka dilanjutkan dengan tahap

    pencucian dan perendaman nata dengan air untuk membuat rasa nata menjadi hambar.

    Selain dicuci dan direndam dalam air, proses pengolahan nata dilakukan dengan

    perebusan nata dengan air dan gula yang menurut Rahman (1992) bertujuan untuk

    menghilangkan asam dan memberi rasa manis. Jika dilihat dari atribut tekstur

  • 10

    didapatkan hasil yang berbeda beda dimana kelompok D2 dan D4 memiliki tekstur

    yang kenyal sedangkan kelompok D3 agak kenyal serta D1 dan D5 tidak kenyal.

    Menurut Herman (1979), tekstur yang kenyal berhubungan dengan kandungan selulosa

    pada nata. Semakin banyak selulosa, maka nata akan semakin kenyal dan begitu pula

    sebaliknya. Selain itu menurut Anastasia & Eddy (2008) kekenyalan juga berhubungan

    dengan ketebalan nata yang dihasilkan. Semakin tebal nata maka serat kasar semakin

    banyak sehingga air yang mengisi rongga antar selulosa semakin banyak dan membuat

    kekenyalan nata menjadi turun.

    Proses pengolahan nata tidak dilakukan dikarenakan dalam praktikum ini tidak ada nata

    yang sepenuhnya sesuai dengan ke 3 parameter yaitu segi aroma, warna, maupun

    tekstur. Selain kemungkinan karena adanya proses kontaminasi, menurut Moheimin

    (1991) dalam Purwanto (2012) umur kultur bakteri Acetobacter xylinum yang digunakan

    juga berpengaruh terhadap produk nata yang dihasilkan. Mikrobia yang digunakan sebagai

    inokulum harus berada dalam kondisi yang sehat, aktif, dalam jumlah yang cukup,

    morfologi bakteri normal, bebas dari kontaminan, dan kemampuannya dalam memproduksi

    nata.

    Gambar 6. Pengamatan nata hari ke-14 (dari kiri ke kanan urut kelompok 1-5)

  • 11

    3. KESIMPULAN

    Nata de coco adalah krim dari air kelapa yang dibentuk oleh Acetobacter xylinum

    melalui proses fermentasi.

    Pembentukan nata de coco terjadi karena adanya proses pengambilan glukosa dari

    gula dalam air kelapa menjadi selulosa di luar sel.

    Kandungan dalam air kelapa yang cukup lengkap membuat air kelapa cocok

    digunakan sebagai media untuk menghasilkan nata de coco.

    Proses pemanasan dilakukan untuk mengurangi kontaminasi dari mikroorganisme

    yang tidak diinginkan.

    Penyaringan dilakukan untuk memisahkan kotoran yang ada pada air kelapa.

    Penambahan gula bertujuan untuk menyediakan sumber karbon organik untuk

    pertumbuhan bakteri sehingga menghasilkan selulosa.

    Penambahan ammonium sulfat dilakukan untuk menyediakan sumber nitrogen.

    Pengkondisian asam terhadap dilakukan karena bakteri Acetobacter xylinum dapat

    tumbuh pada pH 3,5-7,5 dan optimumnya pada pH 4,3 (suasana asam).

    Untuk menghasilkan nata yang optimal ditambahkan sukrosa 10 %, ammonium

    sulfat 0,5 %, dengan pH terbaik adalah pH 4.

    Jumlah starter untuk pembuatan nata yaitu berkisar 4 10 %.

    Penambahan biang starter harus dilakukan dalam kondisi aeptis untuk mencegah

    terjadinya kontaminasi ulang.

    Bakteri Acetobacter xylinum merupakan bakteri aerob yang membutuhkan oksigen,

    namun tidak boleh bersentuhan langsung dengan permukaan substrat.

    Proses inkubasi dilakukan pada suhu ruang dikarenakan Acetobacter xylinum dapat

    tumbuh pada suhu ruang.

    Semarang, 8 Juli 2015

    Praktikan, Asisten praktikum :

    Wulan Apriliana D

    Sherly Putri Santoso Nies Mayangsari

    12.70.0023

  • 12

    4. DAFTAR PUSTAKA

    Anastasia, N. & Eddy, A. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi

    Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas

    Padjajaran. Bandung.

    Awang, S. A. (1991). Kelapa Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Jakarta.

    Czaja, W., D. Romanovicz, and R. M. Brown, Jr. (2004). Structural investigations of

    microbial cellulose produced in stationary and agitated culture. Cellulose 11: 403-

    411.

    Hakimi, Rini & Daddy, B. (2006). Aplikasi Produksi Bersih (Cleaner Production) Pada

    Industri Nata De Coco. Jurnal Teknik Mesin Vol. 3, No.2, Des 2006.

    Hamad, A. & Kristiono. (2013). Pengaruh Penambahan Sumber Nitrogen Terhadap

    Hasil Fermentasi Nata De Coco. Momentum, Vol. 9, No. 1, April 2013, Hal. 62-65

    Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

    Hadioetomo, R.S. (1993). Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur

    Dasar Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta

    Herman, A.H. (1979). Pengolahan Air Kelapa. Buletin Perhimpunan Ahli Teknologi

    Pangan Indonesia 4(1):9 17.

    Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa. (2008). The effect of

    pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial

    cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J Microbiol Biotechnol

    (2008) 24:2593 2599.

    Pato, U. & Dwiloka, B. (1994). Proses & Faktor faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (4) : 70 77.

    Palungkun, Rony. (1992). Aneka Produk Olahan Kelapa. Cetakan ke-VII. PT Penebar

    Swadaya. Jakarta.

    Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de coco. Penerbit Kanisius.

    Yogyakarta.

    Prades, A., M. Dornier, N. Diop, and J. P. Pain. (2011). Coconut Water Uses,

    Composition and Properties: a Review. Fruits Journal vol. 67, p. 87-107.

    Purwanto, Agus. (2012). Produksi Nata Menggunakan Limbah Beberapa Jenis Kulit

    Pisang. Widya Warta No. 02 Tahun XXXV I/ Juli 2012 ISSN 0854-1981.

    Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan

    Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

  • 13

    Rahman, A . (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.

    Santosa, B.; K. Ahmadi & D. Taeque. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy

    Methyl Cellulose in Making of Fiber Rich Instant Beverage from Nata de Coco.

    IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1 No. 1,

    Mar. 2012, 6 -11. ISSN : 2252 5297.

    Seumahu, C. A.; Antonius S.; Debora H.; dan Maggy T. S. (2007). The Dynamics of

    Bacterial Communities During Traditional Nata de Coco Fermentation.

    Microbiology Indonesia August 2007, p 65-68.

    Tahir, I.; Sri S.; and Shinta D. A. (2008). Kajian Penggunaan Limbah Buah Nenas

    Lokal (Ananas Comosus, L) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Nata. Makalah

    Seminar Nasional Kimia XVIII, Jurusan Kimia FMIPA UGM.

    Wahyudi. (2003). Memproduksi Nata.

    http://ww2.pustaka.ictsleman.net/pertanian/agro_industri_pangan/3_memproduksi_

    nata_de_coco.pdf. Diakses 5 Juli 2015.

    Wowor, L.Y ; M. Muis; dan A.R. Arinong. (2007). Analisis Usaha Pembuatan Nata De

    Coco Dengan Menggunakan Sumber dan Kandungan N Yang berbeda. Jurnal

    Agrisistem, Desember 2007, Vol. 3 No. 2.

  • 14

    5. LAMPIRAN

    5.1. Perhitungan

    % Lapisan Nata =

    Hari ke-7

    Kelompok D1

    % Lapisan Nata =

    = 25 %

    Kelompok D2

    % Lapisan Nata =

    = 41.67 %

    Kelompok D3

    % Lapisan Nata =

    = 30.77 %

    Kelompok D4

    % Lapisan Nata =

    = 40 %

    Kelompok D5

    % Lapisan Nata =

    = 24%

    Hari ke-14

    Kelompok D1

    % Lapisan Nata =

    = 35 %

    Kelompok D2

    % Lapisan Nata =

    = 50 %

    Kelompok D3

    % Lapisan Nata =

    = 38.46 %

    Kelompok D4

    % Lapisan Nata =

    = 50 %

    Kelompok D5

    % Lapisan Nata =

    = 24%

    5.2. Abstrak Jurnal dan Bagian Jurnal yang Dipakai

    5.3. Laporan Sementara

    5.4. Viper