plagiat merupakan tindakan tidak terpuji · this thesis studied about the domination and hegemony...
TRANSCRIPT
i
DOMINASI DAN HEGEMONI KERAJAAN DEMAK TERHADAP KAUM TIONGHOA
DALAM NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA
(Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Dika Prasetyo Wibisono
NIM: 06 4114 018
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Saya memang seseorang yang berjalan lamban, tetapi saya tidak akan berjalan ke belakang.
(Abraham Lincoln)
Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap
kali kita jatuh.
(Confusius)
Salah satu penemuan terbesar yang pernah ditemukan manusia adalah bahwa mereka akhirnya
menyadari jika mereka bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak mereka sangka bisa
mereka lakukan.
(Henry Ford)
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Sang Maha Kasih, Yesus Kristus
Bapak Ibu yang telah membuat aku ada
Mbak mita yang memotivasiku
Serta semua orang yang kukasihi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
ABSTRAK
Wibisono, Dika Prasetyo. 2013. Dominasi danHegemoni Kerajaan Demak Terhadap Kaum
Tionghoa dalamm novel Putri Cina Karya Sindhunata. Kajian Sosiologi Sastra.
Skripsi. Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata
Dharma. Yogyakarta.
Penelitian ini mengkaji dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum
Tionghoa di dalam novel Putri Cina karya Sindhunata. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis dan mendeskripsikan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit
terhadap kaum Tionghoa.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Metode yang dipakai dalam
penelitian adalah metode deskriptif. Langkah-langkah yang ditempuh adalah menganalisis alur
cerita; kemudian menggunakan hasil analisis alur untuk lebih memahami dominasi dan
hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa.
Hasil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Alur dalam novel Putri Cina adalah
alur campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak berjalan secara kronologis atau progresif.
Ini dikarenakan ada beberapa peristiwa yang mengalami flash back. Konflik utama dalam novel
Puteri Cina sendiri adalah hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Tionghoa.
(2) Dominasi kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa diawali sejak Demak dikuasai oleh
Raden Patah (Jin Bun) dan berakhir ketika kerajaan Demak mengalahkan kerajaan Majapahit.
Hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa yang terlihat dalam empat bidang yaitu
hegemoni agama, hegemoni politik, hegemoni ekonomi dan hegemoni budaya. Ada tiga
tingkatan hegemoni yang dikemukan oleh Gramsci yaitu Ada tiga tingkatan hegemoni yang
dikemukakan Gramsci, yaitu hegemoni total (integral), hegemoni yang merosot (decandent), dan
hegemoni yang minimum.
Dominasi kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa diawali sejak Demak dikuasai oleh
Raden Patah (Jin Bun) dan berakhir ketika kerajaan Demak mengalahkan kerajaan Majapahit.
Hegemoni agama kerajaan Demak digambarkan ketika Raden Patah mendirikan kerajaan
Demak. Hegemoni politik kerajaan Demak dijabarkan ketika kaum Tionghoa dipaksa tunduk
pada aturan yang telah dibuat oleh kerajaan Demak. Hegemoni ekonomi kerajaan Demak
digambarkan pada saat Kaum Tionghoa yang mayoritas bekerja sebagai pedagang menjadi sapi
perahan. Kaum Tionghoa hanya dianjurkan untuk berdagang dan berdagang saja demi
kemakmuran kerajaan. Hegemoni budaya kerajaan Demak terdekripsikan ketika kaum Tionghoa
dilarang untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan budaya mereka
sendiri. Hegemoni total (integral) Gramsci tampak ketika kerajaan Demak telah berhasil
menguasai kerajaan Majapahit sepenuhnya. Hegemoni merosot kerajaan Demak terhadap kaum
Tionghoa ditunjukkan oleh rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh kaum Tionghoa atas
kebijakan yang telah dibuat oleh Raden Patah. Hegemoni minimum dalam kaitannya dengan
analisis novel Putri Cina hegemoni minimum ditunjukkan oleh kediktatoran Raden Patah yang
dirasakan sudah tidak lagi memandang kaun Tionghoa sebagai bagian dari rakyat kerajaan
Demak.
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa dominasi dan hegemoni yang terjadi
pada para tokoh dalam novel Puteri Cina terjadi karena ketamakan kerajaan Demak terhadap
kekuasaan. Kaum Tionghoa menghadapi kekerasan dan pembunuhan bahkan pemerkosaan.
Keadilan terhadap kaum Tionghoa sengaja diabaikan karena pihak penguasa sibuk mengurusi
urusan kekuasaan mereka masing- masing. Pihak yang berkuasa lebih mementingkan tahta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
mereka daripada mengurusi kehidupan rakyatnya. Akibatnya rakyat menjadi kehilangan arah,
dan dengan mudah dapat dihasut oleh pihak yang mengambil keuntungan pribadi dari kekacauan
yang ditimbulkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
ABSTRACT
Wibisono, Dika Prasetyo. 2013. The Domination and Hegemony of Demak Kingdom
toward the Tionghoa. The Sosiology Literature. A Thesis. Indonesian Literature, Faculty of
Literature, Sanata Dharma University. Yogyakarta.
This thesis studied about the domination and hegemony of Demak kingdom toward the
Tionghoa in Putri Cina novel written by Sindhunata. The aim of this study was to analyze and
describe the domination hegemony of Demak kingdom towards the Tionghoa.
This study used sosiology literature approach. Begun with structure of the text analyses
which is focused on plot analyses then continued with the domination and hegemony of Demak
kingdom. The Demak’s kingdom domination begun at Raden Patah controlled Demak Kingdom.
The hegemony consisted of four aspects. Those were religion, politics, culture and economics.
There are three level of Hegemony based on Gramsci’s theory, total hegemony (integral), slump
hegemony (decadent) and third minimum hegemony.
The method used in this study was descriptive method. The steps done in this study was
through the plot story analysis; then used the result of plot of the story to really comprehend the
domination and hegemony of Demak kindoms towards the Tionghoa.
The result of this research were (1) The plot of Putri Cina novel was mixture plot. The
events did not happen chronologically or progresive. This was because some of the events were
flash back. The main conflict in Putri Cina novel itself was the domination and hegemony of
Demak kingdom towards the Tionghoa. (2) The domination of Demak kingdom was begun at
Demak controlled by Raden Patah. Hegemony of Demak kingdom towards the Tionghoa seen in
this novel consisted of four aspects. Those were religion, politics, economics and culture.
The domination of Demak kingdom described when Raden Patah was controlled. The
religion hegemony of Demak kingdom described when Raden Patah built Demak kingdom. The
politics hegemony of Demak kingdom happened when the Tionghoa forced to obey the rules
made by Demak kingdom. The economic hegemony of Demak kingdom was described when the
Tionghoa as the majority worked as traders became the colonized. The Tionghoa was only
suggested to trade and only trade for the sake of the wealth of the country. The culture hegemony
of Demak kingdom described when the Tionghoa banned to hold the activities deal with own
culture.
As the thesis result, it can be concluded that the hegemony of the characters in Putri Cina
novel happened because the arrogancy of Demak and Majapahit towards the hegemony. The
Tionghoa faced the cruelty and killing and also rape. The justice towards the Tionghoa ignored
by the authority because they were busy to mantain their authority. The authority people their
aothority than maintaining life of their population. As a result, their population lost their ways
and easy to be instigated by the people who take the advantages from the chaos happened.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir dalam
menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yaitu:
1. S.E Peni Adji, S.S, M.Hum sebagai dosen pembimbing I, terima kasih
telah meluangkan banyak waktu untuk memberi masukan dan
membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, sebagai dosen pembimbing II, terima kasih
atas segala bimbingan dan masukan kepada saya untuk meyelesaikan
skripsi ini.
3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar
membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia.
4. Bapak dan ibu tercinta yang telah memberikan waktu, tenaga, pikiran
dan biaya sehingga dapat mendidik penulis sampai melangkah sejauh
ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................ ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................ iii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
ABSTRACT ...................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................ ix
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................................ x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 5
1.5 Tinjuan Pustaka ........................................................................... 6
1.6 Landasan Teori ............................................................................ 11
1.6.1 Teori Alur ........................................................................ 10
1.6.2 Teori Sosiologi Sastra ..................................................... 12
1.6.3 Teori Dominasi dan Hegemoni Gramsci ....................... 14
1.6.3.1 Teori Dominasi ………………………………………... 14
1.6.3.2 Teori Hegemoni ……………………………………….. 17
1.7 Metode Penelitian ....................................................................... 17
1.7.1 Pendekatan ...................................................................... 21
1.7.2 Metode Penelitian ........................................................... 21
1.7.2.1 Metode Pengumpulan Data ............................. 22
1.7.2.2 Metode Analisis Data ..................................... 23
1.7.2.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ........... 24
1.7.2.4 Sumber Data .................................................... 25
1.8 Sistematika Penyajian ................................................................. 25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
BAB II ANALISIS ALUR NOVEL PUTRI CINA KARYA ...................
SINDHUNATA ............................................................................... 26
2.1 Alur ............................................................................................. 26
2.1.1 Tahap Situation (Tahap Penyituasian) ............................... 27
2.1.2 Tahap Generating Circumstances (Tahap Pemunculan ....
Konflik .............................................................................. 29
2.1.3 Tahap Rising Action (Tahap Peningkatan Konflik) ........... 32
2.1.4 Tahap Climax (Tahap Klimak) …………………………. 34
2.1.5 Tahap Denouement (Tahap Penyelesaian) ........................ 37
2.2 Rangkuman ................................................................................. 40
BAB III DOMINASI DAN HEGEMONI KERAJAAN DEMAK
TERHADAP KAUM TIONGHOA DALAM NOVEL
PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA ....................................... 43
3.1 Kerajaan Demak .......................................................................... 45
3.1.1 Dominasi Kerajaan Demak Terhadap Kaum Tionghoa ..... 46
3.1.2 Hegemoni Kerajaan Demak Terhadap kaum Tionghoa … 51
3.1.2.1 Hegemoni Agana Kerajaan Demak ……………… 53
3.1.2.2 Hegemoni Politik Kerajaan Demak …………………… 60
3.1.2.3 Hegemoni Ekonomi Kerajaan Demak …………………. 66
3.1.2.4 Hegemoni Budaya Kerajaan Demak …………………... 67
3.2 Rangkuman ................................................................................. 73
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ................................................................................................ 76
4.2 Saran .......................................................................................................... 81
Daftar Pustaka .................................................................................................. 82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra merupakan jalan untuk menyempurnakan hidup manusia. Melalui
sastra seseorang mampu melihat dan merefleksikan apa yang telah dilakukannya
dan merencanakan apa yang akan dia perbuat. Manusia memerlukan kesenian
untuk melengkapi kehidupannya.Kesenian tersebut dapat diperoleh salah satunya
melalui sebuah karya sastra. Dunia sastra merupakan sebuah wadah seni yang
dapat memberikan kepuasan ataupun pengetahuan yang diterima oleh pembaca
melalui refleksinya terhadap karya sastra, realitas, dan imajinasi. Hanya saja,
yang membedakannya dengan seni yang lain adalah sastra memiliki aspek bahasa
(Semi,1984:39).
Karya sastra muncul dari proses kreatif pengarang yang secara tidak sadar
telah meununtunnya ke suatu dunia imajinasi. Inspirasi yang diperoleh pengarang
dapat menggiring daya kreasi pengarang ke dalam suatu dunia yang tak terbatas
ruang dan waktu.Pengarang memiliki sebuah hak otonom untuk menciptakan
sebuah dunianya.Sumber inspirasi juga dapat diperoleh dari hasil observasi
maupun pengalaman empiris oleh pengarang itu sendiri. Hal ini juga dijelaskan
oleh Sumardjo (1979:65) yang mengatakan bahwa karya sastra merupakan hasil
pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Ada banyak kejadian yang
dapat memotivasi seseorang untuk menciptakan karya sastra.Di antaranya adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
peristiwa sejarah, pengalaman pribadi, tragedi kemanusiaan maupun peristiwa
politik dapat menjadi cikal bakal sebuah karya sastra.
Sebuah karya sastra dijadikan alat pengontrol sosial dalam
masyarakat.Karya sastra bagi pembaca dapat menjadi gambaran suatu kehidupan
sosial sebuah masyarakat.Di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai humanisme
yang secara implisit maupun eksplisit terdapat di dalam substansi sebuah karya.
Hal ini juga terdapat dalam novel Putri Cina .
Di dalam novel Putri Cina, Sindhunata mendeskripsikan cerita yang
bersumber pada kenyataan sosial dalam masyarakat.Kenyataan ini tampak dalam
usaha penegasan kekuasaan atau usaha menciptakan suatu hegemoni antarelemen
masyarakat. Novel ini menggambarkan proses hegemoni di tanah Jawa yang
selalu berakhir dengan cara kekerasan dan menggunakan cara-cara yang licik.
Kerajaan Demak dan Majapahit sebagai pihak yang memiliki hegemoni berusaha
untuk dapat melanjutkan kekuasaan yang dimilikinya selama mungkin.Namun,
ketika pihak penguasa tidak mampu mengatasi berbagai persoalan, diperlukan
kambing hitam sebagai pembenaran atas ketidakmampuan penguasa.Di dalam hal
ini identitas menjadi suatu alat politik.Kaum Cina sebagai minoritas dipaksa
menjadi tameng pihak penguasa.
Putri Cina bercerita tentang seorang putri berkebangsaan Cina yang
diangkat menjadi selir Prabu Brawijaya.Dia sangat dibenci oleh permaisuri Prabu
Brawijaya yaitu Putri Cempa.Untuk meredam kebencian ini, Prabu Brawijaya
mengasingkan Putri Cina ke Palembang ke tempat anaknya yaitu Prabu Arya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Damar. Di Palembang Putri Cina melahirkan dua anak sekaligus yaitu Raden
Patah dan Raden Kusen yang kelak akan mendirikan kerajaan Demak di tanah
Jawa.
Dari Palembang Putri Cina melakukan pengembaraan ke Pulau Jawa.Di
pulau Jawa, dia melihat bagaimana kaumnya dianiaya bahkan dibunuh demi
melanggengkan kekuasaan pihak penguasa dalam hal ini kaum Jawa.Dalam novel
ini terlihat jelas konflik antara kaum Jawa dengan kaum Tionghoa. Hal tersebut
diperkuat dengan dialog antara tokoh Sabdopalon-Nayagenggong dengan Putri
Cina:
“Orang yang dianggap bersalah dan ditimpai kesalahan adalah Paduka
(Putri Cina) dan kaum Paduka” (Sindhunata 2007:71).
Dalam kutipan di atas tampak bagaimana kaum Jawa (kerajaan
Majapahit) mencari “kambing hitam” bagi keberlangsungan kekuasaan. Kaum
Tionghoa dijadikan korban bagi pertikaian yang dilakukan oleh kerajaan
Majapahit. Kerajaan Majapahit dengan segala hegemoni dan otoritas yang
dimiliki dapat mencari korban atas rivalitas politik yang terjadi diantara mereka.
Kerajaan Majapahit dengan cerdik mencari kambing hitam atas kesalahan yang
dilakukan oleh pihak penguasa.
Hegemoni yang dimiliki oleh kerajaan Demak dan Majapahit juga telah
mampu mengatur aspek kehidupan dan adat-istiadat kaum Cina. Kejadian tersebut
tampak dalam kutipan berikut ini:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
“Tak ada lagi barongsai, samsi, liong atau leang-leong, serta wayang
potehi yang dulu pernah menghibur banyak orang, dan bahkan disukai
juga oleh orang-orang pribumi.Orang-orang Cina juga tidak mudah
menjalankan ibadat mereka di kelenteng-kelenteng.Bahkan mereka tidak
diperbolehkan merayakan tahun baru Cina. Orang Cina yang nekat
terpaksa merayakan tahun barunya dengan sembunyi-
sembunyi”(Sindhunata 2007:110).
Dari kutipan-kutipan di atas terlihat bahwa ada usaha kerajaan Demak
untuk merepresi kaum Cina.Konflik antara tokoh dikemas dengan nuansa politik
yang cukup kental.Keinginan yang besar kerajaan Demak dan Majapahit untuk
melanggengkan kekuasaan telah mengakibatkan kaum Tionghoa sebagai pihak
yang dipersalahkan.
Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk mengangkat novel Putri
Cina dengan gambaran hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit sebagai objek
penelitian. Penulis akan mengkaji benturan diantara sesama kaum Jawa yang
mengkondisikankaum Cina sebagai korbannya.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi
sastra.Menurut Ratna (2003:2) pendekatan sosiologi sastra mempunyai hubungan
yang dialektik antara karya sastra dan masyarakat.Jadi secara sosiologis karya
sastra tidak bisa terlepas dari sebuah kelompok masyarakat. Dalam hal ini,
analisis struktur yang akan dikaji oleh penulis adalah alur cerita Putri Cina. Hal
ini dikarenakan alur yang terdapat di dalam novel ini dapat mendeskripsikan
hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Tionghoa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Latar sosial yang akan dianalisis dari novel Putri Cina adalah hegemoni
kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Tionghoa. Hegemoni ini
digambarkan melalui konflik-konflik yang terjadi di dalam cerita.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana unsur alur yang ada dalam novel Putri Cina ?
1.2.2 Bagaimana dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap
kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan-rumusan masalah di atas, maka tujuan penulis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mendeskripsikan alur yang terdapat dalam novel Putri Cina ?
1.3.2 Mendeskripsikan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak
terhadap kehidupan kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina ?
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka dapat disimpulkan manfaat
dari penelitian ini yaitu:
1.4.1 Dalam dunia sastra, khususnya sastra Indonesia sapat menambah
khazanah sosiologi sastra.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
1.4.2 Dari segi praktis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan
apresiasi kesusastraan Indonesia yaitu apresiasi terhadap novel
Putri Cina.
1.4.3 Penelitian ini diharapkan dapat memotivasi pembaca sastra untuk
meninjau fenomena kehidupan sosial dalam novel yang ada di
Indonesia.
1.5 Tinjauan Pustaka
Novel ini pernah diresensi oleh Maria Hartiningsih di harian Kompas 23
September 2007.Hartiningsih menceritakan bahwa Putri Cina mengisahkan
adanya pengkambinghitaman etnis Cina oleh etnis Jawa yang disusun secara rapi
dan sistematis.Novel ini menggambarkan peralihan kekuasaan di tanah Jawa yang
selalu berlumur darah dan pengkhianatan. Ketika raja tak mampu menghadapi
beragam persoalan, akan selalu diperlukan kambing hitam. Identitas menjadi
permainan politik. Di situ, memakukan identitas tunggal tak hanya
berbahaya,tetapi juga kejam. Manusia terus mengulang sejarah itu dalam konteks
kekuasaan yang berbeda-beda.Pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina juga
terjadi waktu itu.Sejarah kontemporer mencatat pengkambinghitaman etnis Cina
sejak 1740.
Novel Putri Cina pernah dibahas di dalam Jurnal ilmiah kebudayaan
SintesisVolume 6. Nomor 1, Maret 2008.Di dalam jurnal tersebut, Novita Dewi
menulis makalah berjudul “Putri Pewarta Perdamaian”.Dewi mencoba melihat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
rekonsiliasi masyarakat pasca-konflik lewat imajinasi historis dalam novel karya
Sindhunata Putri Cina.
Rekonsiliasi akan pesan perdamaian dalam novel Putri Cina ditunjukkan
pada bagaian awal dan akhir novel. Bahwa tokoh menerima ketidakjelasan
identitasnya.Pesan ini menjadi mengena karena dikemas secara riuh dengan kisah-
kisah peperangan, balas dendam, dan tentu saja pengkambinghitaman.Kisah-kisah
tadi diangkat dari sejarah, mitos, cerita rakyat dan realitas politik modern yang
menggarisbawahi kengerian dan kesia-siaan perang antarsaudara.Lebih-lebih,
adanya narasi tokoh Putri Cina yang menerima takdirnya dan bersedia
mengampuni musuh yang telah menfitnah dan memporakporandakan
keluarganya.Hal ini merupakan narasi-narasi perdamaian dan rekonsiliasi yang
dibayar oleh cinta dan kematian. Aroma cinta dan kematian juga tersirat dalam
kisah perjalan cinta berujung maut antara dua anak manusia berbeda warna kulit
Gurdo Paksi-Giok Tien yang menjadi titik bidik buku ini berdiri di atas lapisan-
lapisan kisah lain yang secara beragam melibatkan cinta dan kematian sebagai
tema. Karya ini juga menghadirkan ruang untuk berkontemplasi bahwa
“melindungi semua orang, Jawa maupun Cina” tidak hanya dibebankan pada
senapati, tetapi merupakan tugas semua manusia yang (masih) peduli akan
kemanusiaannya. Adanya hibriditas, identitas mengambang, warga dunia dan
istilah muluk lainnya diidealkan tidak hanya cocok untuk budaya, tetapi
diharapkan bisa bersenyawa dengan ekonomi dan atau politik lintas etnis (Dewi,
2008).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Novel Putri Cina pernah dibahas dalam peluncuran dan bedah novel Putri
Cina dengan tema “Narasi dan Identitas Putri Cina” di Bandung pada tanggal 11
Desember 2007 yang dimuat dalam majalah BASIS edisi Januari-Februari 2008
oleh Karlina Supelli dan Bambang Sugiharto. Karlina Supelli, dosen STF
Driyakara Jakarta membahas novel Putri Cina dengan judul Putri Cina: Tragedi
dan Transendensi. Karlina Supelli menyatakan bahwa Putri Cina adalah
perjalanan memasuki problematika eksistensi dengan ketidakpastian hakikat diri
serta kegamangan identitas hanyalah merupakan bagian. Novel ini (Putri Cina)
adalah penelusuran terhadap situasi manusia sekaligus kondisi eksistensinya
dengan pencabangan pokok-pokoknya ke banyak sekali peristiwa, tetapi
semuanya mengerucut ke satu hal: kekerasan bukan perkara yang menyergap
manusia secara gaib (Putri Cina halaman 63). Kekerasan mengakar dalam
kondisinya sebagai manusia (BASIS, 2008: 36). Putri Cina membawa pesan yang lama sudah ada bersama kita, bahkan
sejak mitos kejatuhan Adam.Yang pertama, kondisi asali manusia adalah konflik
yang tak berkesudahan.Kedua, kondisi eksternalnya tidak mungkin berubah,
kecuali manusia mengenali sosok tersembunyi yang paling mencemaskan, yaitu
kerapuhan hatinya.Putri Cina menghasilkan ledakan emosional
pembacanya.Kesedihannya terasa senyap. Mungkin karena kita (pembaca)
terbiasa dengan emosi mentah sebagaimana ditampilkan sinetron, debat para
politisi, tayangan berita, dan peristiwa sehari-hari di jalan raya. Kita hanya terpicu
secara emosional jika pengarang menyuguhkan kepada kita informasi lengkap
mengenai tokoh-tokoh utama, baik karakter, tampilan fisik, masa lalu, maupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
jatuh bangun emosinya.Putri Cina memaksa kita (pembaca) mengimajinasikan itu
semua melalui dialog-dialog batinnya, dalam penafsirannya atas peristiwa, atau
dalam langkah berikut yang ia (Putri Cina) pilih setiap kali ia selesai
mendengarkan dongeng, atau kala dongeng menjelma di dalam dirinya ( BASIS:
2008: 41).
Bambang Sugiharto dalam makalahnya yang berjudul Putri Cina :
Semacam Genealogi Kekerasan menyatakan bahwa novel Putri Cina adalah novel
yang tidak lazim. Ketidaklaziman disebabkan karena tokoh (Putri Cina) adalah
sosok perempuan anonim, representasi simbolik perempuan Tionghoa umumnya,
namun sekaligus juga konkret, sebab ia muncul dalam setiap zaman dalam sosok-
sosok perempuan berbeda, yang terpintal dalam aneka peristiwa. Novel ini (Putri
Cina) tak lazim juga karena pada akhirnya agaknya semua tokoh di sana hanyalah
konfigurasi konseptual untuk membangun wacana tentang hakikat kekerasan dan
mekanisme pengkambinghitaman, sekaligus pula ia (novel Putri Cina) semacam
penulisan ulang sejarah dalam rangka merumuskan kerumitan masalah identitas
(BASIS, 2008: 43).
Novel Putri Cina menggunakan kerangka, bahasa dan gaya bercerita ala
dongeng motologis. Maka, apapun bisa menjadi apapun.Alur cerita bisa menjadi
surealis, peristiwa-peristiwa yang mungkin nyata sengaja dipandu dengan
keyakinan dan metafora yang tak mesti sepenuhnya logis.Kepala bisa tiba-tiba
menjadi mawar hitam, wajah bisa dijinjing di tangan, orang terbang ke Cina hanya
naik layangan, anjing beribu manusia, dan sebagainya.Alhasil, membaca novel
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Putri Cina adalah bagaikan membaca tulisan purba babad Jawa.Di dalamnya fakta
dan fiksi saling berkelit dan dengan amat bebasnya (BASIS, 2008: 45).
Yang menonjol dari novel ini adalah upaya pelacakan identitas, yang
berakhir pada semacam genealogi kekerasan beserta mekanisme kambing
hitamnya.Genealogi kekerasan di sini dalam arti pelacakan akar-akar yang telah
membentuk situasi-situasi penuh dilemma dan kekerasan hingga hari ini.
Kepentingan reflektif-filosofis ini memang membuat gaya dan kerangka mitologis
menjadi siasat yang strategis (BASIS, 2008: 45).
Novel Putri Cina pernah dianalisis dalam bentuk skripsi oleh Christhoper
Woodrich (2011) dengan judul Pengaruh Kerusuhan Mei 1998 dalam Putri Cina.
Woordrich (2011: 106) mengatakan bahwa Kerusuhan Mei 1998 telah sangat
mempengaruhi pikiran warga Cina di Indonesia. Perkosaan, pembunuhan, dan
penjarahan massal itu telah meninggalkan bekas di hati mereka yang tidak mudah
hilang. Penulisan Putri Cina bukanlah sekadar penulisan novel, tetapi
pengabadian suatu pengalaman dalam bentuk tulisan. Hal-hal yang terjadi di
dalam novel mempunyai maksud untuk mencatat pengalaman dan keterjadian
untuk masa depan, supaya orang dapat memahami apa yang dialami. Meskipun
ditulis secara alegoris, kenyataan sangat menonjol. Putri Cina mengemukakan
kenyataan pahit yang harus dipahami. Novel ini juga menyampaikan suatu
pesan,bahwa perlu ada kebhinekatunggalikaan supaya negeri ini (Indonesia).
Berdasarkan berbagai analisis di atas, terlihat bahwa novel Putri Cina
bukanlah sebuah karya satra biasa. Novel ini sengaja ditulis oleh Sindhunata
untuk menggambarkan bagaimana sejarah kelam yang dialami oleh kaum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Tionghoa sejak zaman dahulu. Penguasa pada zaman dulu menggunakan kaum
Tionghoa sebagai pihak yang dikorbankan untuk melanggengkan kekuasaan yang
telah dimiliki oleh pihak penguasa. Putri Cina merupakan gabungan antara tragedi
dengan peristiwa sejarah Jawa. Hal inilah yang menarik penulis untuk
mengangkat novel Putri Cina dengan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak
terhadap kaum Tionghoa.
1.6 Landasan Teori
Untuk dapat memahami hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit
terhadap kaum Cina dalam novel Putri Cina penulis menggunakan teori alur,
sosiologi sastra dan konsep hegemoni.
1.6.1 Teori Alur
Alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu
hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan peristiwa yang lain (Stanton dalam Nurgiyantoro 2010:113).
Sudjiman (1988:30) menambahkan bahwa alur merupakan peristiwa-
peristiwa yang diurutkan untuk membangun tulang punggung cerita.Peristiwa-
peristiwa tidak hanya meliputi yang bersifat fisik seperti cakapan/lakuan, tetapi
termasuk perubahan sikap tokoh yang mengubah jalan nasib.
Semua peristiwa yang terjadi dalam sebuah teks sastra tidak selalu
dimasukkan dalam tahapan alur, hanya peristiwa-peristiwa yang potensial yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
dapat menjalankan sebuah alur cerita saja.Peristiwa-peristiwa ini juga disebut
dengan peristiwa penting.Peristiwa penting adalah kejadian-kejadian yang
mempengaruhi gerak sebuah alur cerita.Dalam sebuah teks sastra, peristiwa
penting ini berkembang dengan sifat yang saling terkait sehingga menciptakan
sebuah alur cerita. Untuk menganalisis sebuah alur cerita, yang harus dirunut dan
dianalisis hanya kejadian-kejadian yang termasuk dalam peristiwa penting saja
(Singgalingging: 2009: 14).
Menurut Nurgiyantoro (2010:149), tahapan alur dapat dibagi menjadi lima
tahapan yaitu, (1) tahap situation atau tahap penyituasian, (2) tahap generating
circumstances atau tahap pemunculan konflik, (3) tahap rising action atau tahap
peningkatan konflik, (4) tahap climax atau tahap klimaks, dan (5) tahap
denouement atau tahap penyelesaian.
Tahap penyituasian adalah tahapan yang berisi pelukisan dan pengenalan
situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka cerita,
pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi
cerita yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2010: 149).
Tahap pemunculan konflik adalah tahap ketika konflik berkembang atau
dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap peningkatan
konflik merupakan tahapan ketika konflik yang telah dimunculkan pada tahap
sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan
menegangkan (Nurgiyantoro, 2010:149).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Tahap klimaks merupakan tahapan ketika konflik yang terjadi mencapai
titik intensitas puncak.Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memilki lebih dari
satu klimaks, namun tetap ada satu klimaks utama.Tahap penyelesaian adalah
tahapan konflik yang telah memasuki babak penyelesaian atau ketegangan
dikendorkan. Dalam tahap ini, konflik-konflik yang lain atau konflik-konflik
tambahan (jika ada) diberi jalan keluar atau ceritanya diakhiri (Nurgiyantoro,
2010:150).
1.6.2 Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra merupakan suatu ilmu interdisipliner antara sosiologi
dengan ilmu sastra (Wiyatmi,2006:30). Sosiologi sastra adalah studi ilmiah dan
objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga
dan proses sosial (Swingewood via Faruk.2005:1). Sosiologi sastra berkembang
dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori
strukturalisme dianggap mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap
sebagai involusi (Ratna, 2010:332).
Pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter
sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau
potret fenomena sosial.Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret,
terjadi di lingkungan sosial dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasikan.
Fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif
(pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya)
dalam bentuk karya sastra.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri
sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial.Dalam pengertian ini, kehidupan
mencakup hubungan antara masyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antara
peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra
sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang
dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran realitas sosial ,
atau yang hendak digambarkan.
1.6.3 Teori Dominasi dan Hegemoni
1.6.3.1 Dominasi
Arti dominasi dalam prespektif teori kritis adalah suatu kekuasaan yang
paling dominan, berasal dari luar diri manusia, sangat mempengaruhi dan turut
mengatur seluruh aktivitas dan kegiatan berpikir serta tingkah laku manusia,
sementara manusia menerimanya tanpa landasan kesadaran yang utuh (Ginting,
2012:42).
Sementara itu, arti dan bentuk dominasi yang berkembang di masyarakat
hadir dalam rupa yang sangat variatif. Dominasi dapat berupa sistem birokrasi,
hukum pasar, bentuk-bentuk kebudayaan yang memaksakan, ilmu pengetahuan,
ideologi, bahkan filsafat. Dominasi itu disadari atau tidak disadari telah
melahirkan disorientasi nilai, penyimpangan eksistensi, alineasi, budaya tunggal
yang mematikan budaya pluralisme, memusnahkan budaya minoritas. Singkatnya
dominasi meletakkan manusia pada titik nadir terrendah dalam nilai-nilai
kemanusian (Ginting, 2012:42).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Secara lebih spesifik (Ginting, 2012:42) membagi dominasi menurut
bidangnya yaitu dominasi birokrasi, dominasi budaya. Dominasi birokrasi
dikemukakan oleh Max Webber sedangkan dominasi budaya dianalisis oleh
Jurgen Habermas.
Birokrasi menurut Max Webber mengacu pada mengacu kepada kasus-
kasus pemaksaan kekuasaan, tatkala seseorang pelaku menuruti perintah spesifik
yang dikeluarkan orang lain. Menawarkan bentuk-bentuk hadiah, penghargaan,
materiil, kehormatan sosial, merupakan bentuk paling meresap dari ikatan yang
mengikat antara pengikut dan pimpinan. Ditambahkan bahwa telah terjadi
dominasi dalam organisasi birokrasi yang berskala besar. Weber memandang
bahwa birokrasi sudah tidak lagi efisien, akan tetapi menghasilkan korban yang
bersifat psikologis atau emosional. Ikatan kesetiaan pribadi yang memberi arti dan
tujuan hidup di masa lampau dirusakkan oleh impersonalitas birokrasi. Kepuasan
dan kesenangan mencetuskan perasaan secara spontan ditekan oleh tuntutan taat
pada spesialisasi sempit, rasional dan sistematis dalam sebuah kantor birokrasi.
Singkatnya, logika efesiensi telah menghancurkan perasaan dan emosi manusia
secara sistematis (Weber via Ginting, 2012:45).
Suatu ciri yang utama dalam birokrasi adalah keteraturan. Setiap birokrasi
harus menghasilkan sebuah sistem kategori yang dapat memberikan tempat pada
segala sesuatu di dalam yuridiksi tertentu, serta dapat menjadi refrens untuk
menangani segala sesuatu. Karena administrasi birokrasi berlangsung kontinyu
dalam jangka waktu tertentu, maka sistem kategori ini berkembang. Ada
superioritas (superiority) birokrasi yang memandang kesemestaan persoalan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
sebagai hal kacau balau, tidak tersistematisasi, bisu menanti untuk diubah menjadi
keadaan tertib, yang menembus berkat adanya administrasi. Akhirnya, birokrasi
menghasilkan suatu gaya taksonomik (sifat tergolong-golong), yang
memungkinkan terbawa atau menjalar secara berhasil ke dalam lingkungan
kehidupan sosial lainnya. Selanjutnya, yang lebih fatal lagi adalah birokrasi
kurang bersifat menstimulus timbulnya fantasi kreatif dan cenderung memfiksasi
daripada menginovasi. Weber mengatakan bahwa kekuasaan yang baik ialah
bersifat tradisionil, kharismatik, legal dan rasional, sebagai kemungkinan bahwa
seorang pelaku akan mampu mewujudkan gagasannya sekalipun ditentang orang
lain, dengan siapa pelaku itu berada dalam hubungan sosial (Webber via Ginting,
2012:47).
Sementara arti dan bentuk dominasi budaya menurut Habermas dapat
dijumpai dalam pandangannya mengenai proses saintifikasi (pengilmiahan).
Habermas menjelaskan bahwa kebudayaan ilmiah masyarakat industri maju, riset,
teknologi, produksi dan administrasi jalin- menjalin menjadi sebuah sistem yang
saling tergantung. Sistem tersebut kemudian menjadi basis kehidupan manusia
modern dalam arti harafiah (Habermas via Ginting, 2012:47-48). Hubungan
manusia dengan sistem tersebut menjadi aneh. Hubungan itu bersifat intim
sekaligus mengasingkan. Habermas melihat bahwa muncul suatu dogmatisme
baru, bukan berasal dari ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi bersumber dari
pemutlakan dimensi teknis pada bidang sosial dan budaya lainnya. Apabila
ditafsirkan, disinilah arti domnasi dalam pandangan Hebermas, agaknya rasio
tidak lagi dipahami sebagai kemampuan kognitif manusia untuk membebaskan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
diri dari dogmatisme, melainkan sebagai kemampuan kognitif memanipulasi alam
secara teknis.
1.6.3.2 Teori Hegemoni
Antonio Gramsci menciptakan suatu teori untuk menganalisis
kekuasaan.Teori ini disebut teori hegemoni.Teori ini lahir sesudah teori
fundamental dari Karl Max.Di dalam teori hegemoni dan dominasi ini Gramsci
menjabarkan mengenai kekuasaan yang bertendensi menjadi sesuatu yang
disebutnya sebagai hegemoni.
Menurut Hendarto via Patria-Arief (2003:125) ada tiga syarat suatu
keadaan disebut hegemoni. Pertama, orang menyesuaikan diri mungkin karena
takut akan konsekuens-konsekuensi bila ia tidak menyesuaikannya. Dalam
keadaan ini konformitas ditempuh melalui penekanan dan sanksi-sanksi yang
menakutkan.Kedua, orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa mengikuti
tujuan-tujuan dengan cara-cara tertentu.Konformitas dalam hal ini merupakan
partisipasi uang tidak terefleksikan dalam hal bentuk aktivitas yang tetap, sebab
orang yang menganut pola-pola tingkah laku tertentu dan jarang dimungkinkan
untuk menolak.Ketiga, konformitas yang muncul dari tingkah laku memiliki
hubungan dengan unsur tertentu dalam masyarakat.
Supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara, sebagai
“dominasi” dan sebagai „kepemimpinan‟ intelektual dan moral. Dan di satu pihak,
sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk
menghancurkan mereka, bahkan mungkin menggunakan kekuatan bersenjata. Di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
lain pihak, kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok kerabat dan sekutu
mereka. Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika kelompok
socsal ini mempraktekkan kekuasaan, tapi bahkan bila pihak penguasa telah
memegang kekuasaan penuh di tangannya,pihak penguasa masih harus terus
“memimpin” juga ( Gramsci via Patria- Arief 2003: 117-118).
Secara literal hegemoni berarti “kepemimpinan”.Lebih sering kata itu
digunakan oleh para komentator politik untuk menunjuk kepada pengertian
dominasi.Akan tetapi, bagi Gramsci, konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih
kompleks.Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk – bentuk
politis, kultural dan ideologis tertentu, yang lewatnya, dalam suatu masyarakat
yang ada, suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai
sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa (Faruk
2005:63).
Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci, yaitu hegemoni
total (integral), hegemoni yang merosot (decandent), dan hegemoni yang
minimum. Hegemoni integral ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati
totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang
kokoh.Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dan yang diperintah.
Hegemoni yang merosot (decandent) adalah suatu keadaan ketika sistem yang ada
telah memenuhi kebutuhan atau sasarannya Suatu kelompok massa tidak selaras
dengan pemikiran yang dominan dari subjek hegemoni. Hegemoni minimum
adalah kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa
dalam hidup bernegara.
Menurut Gramsci, kriteria metodologis yang menjadi dasar studinya (teori
hegemoni) didasarkan pada asumsi, bahwa supremasi suatu kelompok sosial
menyatakan dirinya dalam dua cara, yaitu sebagai “dominasi” dan sebagai
“kepemimpinan moral dan intelektual”. Suatu kelompok sosial mendominasi
kelompok – kelompok anatagonistik yang cenderung “dihancurkan” , atau bahkan
ia taklukkan dengan kekuatan tentara. Atau, kelompok tersebut memimpin
kelompok yang sama dan beraliansi dengannya ( Faruk 2005: 68).
Dalam sistem kekuasaan menurut Gramsci, suatu rezim akan memakai dua
jalan untuk memperoleh kekuasaan. Yang pertama adalah penguasaan kesadaran
melalui jalan pemaksaan dan kekerasan (coercive). Kedua adalah melalui
penguasaan lewat jalan hegemoni, yaitu kepatuhan dan kesadaran elemen
masyarakat (Sutrisno-Putranto, 2013:30).
Untuk menganalisis hegemoni, Gramsci menggunakan dua corak
intelektual guna mengukur tingkat hegemoni dalam sebuah kekuasaan. Yang
pertama adalah intelektual tradisional, yaitu intelektual yang tunduk dan patuh
terhadap kepentingan rezim kekuasaan. Intelektual yang demikian (intelektual
tradisional) sebenarnya secara faktual adalah musuh masyarakat karena dengan
posisi dan integrasinya bekerja sama dengan rezim serta memanipulasi sistem
sosial dan politik yang menindas. Yang kedua adalah intelektual organik, yaitu
para intelektual (kaum filsuf) yang bergabung dengan masyarakat untuk
menjalankan tugasnya yaitu membangkitkan kesadaran masyarakat yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
dimanipulasi oleh kekuatan yang hegemonik dengan memberikan pendidikan
cultural dan politik dalam keseharian (Sutrisno-Putranto, 2013:31).
Secara lebih rinci, Faruk (2005:65) menjelaskan bahwa teori hegemoni
Gramsci digunakan untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan idelogis
tertentu dalam kelashegemonik yang diyakini bertindak bagi kemaslahatan
masyarakat secara keseluruhan. Konsep hegemoni dengan demikian
mengimplikasikan bahwa aplikasinya melibatkan konstelasi kekuatan sosial
politik yang luas yang disebutnya dengan blok historis, yaitu hubungan
resiprokal antara wilayah aktivitas politik, kultural, religi maupun dengan
wilayah ekonomi.
Untuk lebih memformulasikan secara lebih mendalam, Teori hegemoni
Gramsci meliputi empat bidang yaitu:
a. Hegemoni Politik
b. Hegemoni Budaya
c. Hegemoni Agama
d. Hegemoni Ekonomi
Hegemoni budaya berfungsi sebagai alat untuk menciptakan masyarakat
yang tidak dapat menyesuaikan diri, masyarakat yang percaya bahwa mereka
superior di hadapan manusia lainnya karena sudah mengingat fakta- fakta dan
data-data dan yang dengan cepat menyebutkannya dalam setiap kesempatan yang
dengan demikian mengubah meraka menjadi suatu perintang anatara diri mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
sendiri dengan orang lain (Faruk 2005: 65). Hegemoni agama berfungsi untuk
menciptakan common sense terhadap suatu golongan tertentu. Common sense
meliputi sistem-sistem kepercayaan menyeluruh, tahayul,tahayul, dan opini-opini
(Faruk 2005: 70-71).
Hegemoni ekonomi dijadikan alat negara untuk memperoleh legitimasi
negara di mata masyarakat.Bagi Gramsci elemen ekonomi digunakan untuk
mempengaruhi aktifitas negara dan aktifitas sipil (Patria-Arif 2005: 136).
Hegemoni politik merujuk pada pengertian bahwa masyarakat sipil yang
menentukan jalannya suatu negara melalui tangan suatu kelompok yang
mendominasi dengan seperangkat aturan hukum.Hukum dan aturan politik
digunakan untuk menjalankan suatu roda pemerintahan (Patria- Arif 2005: 133).
1.7 Metode Penelitian
Pada bagian ini akan dikemukakan mengenai pendekatan dan metode.
1.7.1 Pendekatan
Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan
sosiologi sastra yang menelaah secara objektif dan ilmiah tentang manusia dan
masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra menganalisis manusia dalam masyarakat
dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu (Ratna, 2004:45).
Dari hal ini, dapat diperoleh gambaran tentang cara manusia menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan yang menempatkan anggota masyarakat di tempat
masing-masing (Damono, 1979:7).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
1.7.2 Metode Penelitian
Metode berasal dari kata Yunani meta, berarti „dari‟ atau „sesudah‟, dan
hodos, yang artinya „perjalanan‟. Kedua istilah tersebut dipahami sebagai
perjalanan atau mengejar suatu tujuan (Basuki, 2006: 92). Metode dapat
didefinisikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai maksud
atau juga cara kerja sistematis untuk memudahkan pelaksanaan sebuah kegiatan
guna mencapai tujuan yang ditentukan (Basuki, 2006:93).
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi metode
pengumpulan data, metode analisis data, metode hasil analisis data. Berikut
diuraikan masing-masing tahap penelitian tersebut.
1.7.2.1.1 Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data didapat melalui studi pustaka. Teknik tersebut
dipakai untuk mendapatkan data yang ada, yaitu sebuah novel berjudulPutri
Cina, buku-buku referensi, dan artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan
objek tersebut.
Dalam penelitian ini, juga digunakan teknik simak dan teknik catat.Teknik
simak digunakan untuk menyimak teks bahasa yang telah dipilih sebagai bahan
penelitian, sedangkan teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang
dianggap sesuai dan mendukung penulis dalam memecahkan rumusan
masalah.Teknik catat merupakan tindak lanjut dari teknik simak (Sudaryanto,
1993: 133-135).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
1.7.2.1.2 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis isi untuk
menganalisis data-data yang telah dikumpulkan.Metode analisis isi adalah metode
yang digunakan untuk mengkaji isi dari suatu hal. Isi tersebut yang menjadi objek
prioritas yang akan dianalisis, misalnya, karya sastra, maka yang akan dianalisis
adalah isi karya tersebut secara utuh dan pesan-pesan yang ada dengan sendirinya
sesuai dengan hakikat sastra.
Isi dalam metode analisis ini terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi
komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen atau naskah,
sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat
komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh
penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam
hubungan naskah dengan konsumen (Ratna, 2004: 48). Analisis isi laten akan
menghadirkan arti, sedangkan analisis isi komunikasi akan melahirkan makna.
Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran.Dasar penafsiran
dalam analisis isi adalah menitikberatkan pada isi dan pesan.Oleh karena itu,
metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi.
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode analisis isi yang
menganalisis isi laten dari sebuah naskah. Dalam upaya ini, penulis akan
memfokuskan penelitian pada isi yang terkadung dalam sebuah novel tanpa
melihat isi komunikasi (pesan yang diterima oleh pembaca) dari novel tersebut.
Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan tujuan untuk memaparkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
secara tepat bagaimana alur cerita, dan hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit
terhadap kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina.
Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan oleh penulis
adalah pertama, menganalisis alur novelPutri Cina yang berupa analisis alur
ceritanya. Kedua, adalah menganalisis hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit
terhadap kaum Cina dalam novel Putri Cina. Hal ini dilakukan agar pemahaman
hegemoni merupakan cermin proses sosial.
1.7.2.1.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Pasca menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif untuk
menyajikan hasil analisis data.Metode deskriptif adalah cara yang teratur dan
berpikir baik-baik untuk menggambarkan sesuatu dengan apa adanya. Metode
deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk memaparkan keseluruhan hasil
penelitian.Metode deskriptif merupakan metode yang berusaha mendeskripsikan
dan menginterpretasikan sesuatu, misalnyakondisi atau hubungan yang ada,
pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat yang terjadi,
atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung (Sudaryanto, 1993: 135-137).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
1.7.2.1.4 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Judul Buku : Putri Cina
Pengarang : Sindhunata
Tahun Terbit : 2007
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 306 halaman
1.8 Sistematika Penyajian
Untuk mempermudah pemahaman terhadap proses dan hasil penelitian ini,
dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini
dapat dirinci menjadi empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang
berisi latar balakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, pendekatan, metode penelitian, teknik
pengumpulan data, sumber data dan sistematika penyajian.Bab kedua merupakan
analisis struktur alur dalam novel Putri Cina karya Sindhunata. Bab tiga
merupakan pembahasan mengenai dominasi dan hegemoni kerajaan terhadap
kehidupan kaum Tionghoa. Bab keempat merupakan penutup yang berisi
kesimpulan dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
BAB II
ANALISIS ALUR NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA
Untuk dapat mengetahui dominasi dan hegemoni kerajaan Demak
terhadap kaum Tionghoa penulis harus menganalis struktur dari novel Putri Cina.
Struktur karya sastra terbagi dalam berbagai macam unsur. Pada bab ini penulis
hanya akan memaparkan analisis unsur alur dalam novel Putri Cina karya
Sindhunata. Analisis alur dilakukan agar dapat menggambarkan dominasi dan
hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa.
Penulis hanya akan menganalisis alur pada saat berdirinya kerajaan Demak
sampai dengan berakhirnya masa transisi kerajaan Majapahit yang dikalahkan
oleh kerajaan Demak di novel Putri Cina karya Sindhunata. Hal tersebut
dilakukan agar pada analisis pada bab ini terfokus dengan hal-hal yang
berhubungan dengan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum
Tionghoa dalam novel Putri Cina karya Sindhunata.
2.1 Alur
Menurut Nurgiyantoro (2007: 149), tahapan alur dapat dibagi menjadi
lima tahapan, yaitu (1) tahap situation atau tahap penyituasian, (2) tahap
generating circumstances atau tahap pemunculan konflik, (3) tahap rising action
atau tahap peningkatan konflik, (4) tahap climax atau tahap klimaks, dan (5) tahap
denouement atau tahap penyelesaian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
2.1.1 Tahap situation (tahap penyituasian)
Pada tahap awal, cerita diawali dengan flash back (kilas balik) mengenai
nasib kehidupan Putri Cina yang sengsara. Kilas balik ini diawali dengan
keheranan Putri Cina terhadap kaumnya (orang cina) yang selalu mencari
kekayaan saja tanpa memikirkan nasib mereka di kemudian hari. Dia merasa
heran mengapa orang Cina tidak mengingat ajaran leluhur mereka seperti yang
tergambar dalam kutipan berikut ini:
(1) “Di hadapan Tao, segala usaha manusia takkan berarti apa-apa. Apapun
usahamu, kau harus menerima, bahwa akhirnya gunung-gunung akan
tetap hijau dan sungai-sungai akan selalu mengalir seperti adanya. Dan
tidaklah Chuang Tzu berkata,”Jika saat berpulang telah tiba, aku hanya
membutuhkan beberapa lembar daun pisang saja.” Untuk apakah
semuanya,bila akhirnya manusia cukup dibaringkan di atas daun ketika
ia untuk selamanya tertidur?” ( Sindhunata, 2006: 13 ).
Selanjutnya, dipaparkan bahwa Putri Cina tidak berasal dari Cina. Dia
mempunyai leluhur Jawa. Menurut dongeng Kim Liyong, Putri Cina ada sebelum
Jaka Prabangkara (anak raja Majapahit Prabu Brawijaya V) menikah dengan dua
orang gadis Cina yang kelak akan melahirkan banyak anak-cucu dan akhirnya
berlayar sampai ke tanah nenek luhurnya, Tanah Jawa. Menurut babad Jaka
Prabangkara, Putri Cina merupakan keturunan dari perkawinan antara Jaka
Prabangkara dengan seorang putri di negeri Cina bernama Kim Liyong. Seperti
dalam kutipan berikut ini:
(2) “Sekarang Putri Cina pun merasa pasti, ia memang ditakdirkan hidup di
Tanah Jawa. Leluhurnya telah mengajarkannya untuk mempelajari tao,
orang harus mengetahui tentang hidup dan mati. Siapa mengalami hidup,
dia harus tahu tentang mati. Di manakah lagi dia hidup dan mati itu
harus ia alami dan pelajari, kalau bukan di Tanah Jawa ini?”
(Sindhunata 2006 : 24 ).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Di dalam novel ini juga diceritakan mengenai sejarah kerajaan Demak dan
runtuhnya kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam
pertama di Pulau Jawa. Kerajaan Demak memiliki seorang raja yaitu Raden Patah.
Raden Patah adalah anak dari Arya Damar (Anak Prabu Brawijaya V) dengan
Putri Cina. Raden Patah memiliki seorang adik yaitu Raden Kusen yang kelak
akan menjadi seorang adipati di Terung.
Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan karena sebuah serangan yang
dilakukan oleh kerajaan Demak. Kerajaan Demak yang dipimpin Raden Patah
mendapat dukungan dari berbagai kekuatan dari Bupati Madura, Arya Teja dari
Tuban, Bupati Sura Pringga dan penguasa kerajaan Giri menyerang kerajaan
Majapahit. Kekalahan Majapahit dapat digambarkan melalui kutipan di bawah ini:
“Pusat Majapahit dikepung. Prabu Brawijaya memerintahkan Patih Gadjahmada
balas menyerang mereka. Namun ternyata, mereka tak mudah ditaklukkan. Malah
dengan mudah pasukan Majapahit menyerah kalah” (Sindhunata 2006:31).
Lalu Putri Cina yang saat itu masih berada di Palembang pergi ke pulau
Jawa. Dia merasa bahagia mendengar runtuh Kerajaan Majapahit. Dia pergi tanpa
arah hingga pada suatu ketika dia sampai di Tuban. Di Tuban dia berhenti sejenak
dan berdoa kepada leluhurnya. Setelah itu dia merasa kematiannya akan segera
datang. Dari Tuban Putri Cina lalu melanjutkan perjalannya menuju Gresik. Di
Gresik dia lalu teringat bahwa dia telah diserahkan kepada Arya Damar oleh
Prabu Brawijaya ke Palembang. Setelah merenung sejenak dia memutuskan untuk
melanjutkan perjalannya ke Majapahit. Dia berpikir bahwa ada orang di Majapahit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
yang dapat meringankan bebannya yaitu Sabdopalon-Nayagenggong,abdi setia
Prabu Brawijaya.
Dalam novel Putri Cina tahap penyituasian diawali dengan kilas balik
mengenai nasib kehidupan Putri Cina yang sengsara. Kilas balik diawali dengan
keheranan Putri Cina terhadap kaumnya ( kaum Tinghoa) yang selalu berusaha
untuk mencari harta benda saja tanpa tanpa memikirkan nasib mereka di
kemudian hari. Pada tahap ini selanjutnya dipaparkan bahwa Putri Cina tidak
berasal dari Cina. Putri Cina memiliki leluhur Jawa. Di dalam tahap penyituasian
ini juga diceritakan mengenai sejarah kerajaan Demak dan Majapahit.
2.1.2 Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik)
Tahap pemunculan konflik dalam novel Putri Cina menceritakan awal dari
kisah kesengsaraan Putri Cina. Dalam perjalanannya di Pulau Jawa Putri Cina
merasa heran dengan keadaan Majapahit sekarang. Sepeninggal Raja Prabu
Brawijaya V, keadaan Majapahit berubah total. Bangunan kerajaan Majapahit
rusak dan keadaan rakyat menjadi tidak terurus. Putri Cina bertanya kepada salah
seorang wanita yang dulu menjadi danyangnya yaitu Loro Cemplon. Dari mulut
Loro Cemplon inilah akhirnya Putri Cina kemudian menjadi mengetahui
keberadaan Sabdopalon-Nayagenggong yang telah mempersiapkan diri untuk
murca,menghilang dari dunia. Putri Cina pun memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan ke Banyuwangi. Di Banyuwangi, Putri Cina bertemu dengan
Sabdopalon-Nayagenggong tepat sebelum mereka murca.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Sabdopalon-Nayagenggong menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di
Majapahit setelah kepemimpinan Prabu Brawijaya V. Sabdopalon-Nayagenggong
kemudian mulai menceritakan keadaan Majapahit dengan kisah perang
Baratayuda di padang Kurusetra. Perang Baratayuda adalah perang antara
Pandawa dan Kurawa. Pihak yang menjadi pemenang dari perang itu adalah
Pandawa. Akan tetapi, kemenangan Pandawa itu diperoleh dengan satu syarat
yaitu semua keturunan Pandawa harus siap menerima kutukan dari Kurawa.
Kutukan itu menyebutkan bahwa di tanah Jawa ini selamanya akan terjadi
pertikaian.
Salah satu yang menjadi korbannya adalah cucu Abimanyu yaitu Prabu
Janamejaya, anak dari Prabu Parikesit. Janamejaya berpikir untuk mengakhiri
dendam Kurawa terhadap Pandawa adalah dengan mencari kurban. Janamejaya
memilih kurban tersebut adalah saudaranya sendiri, Srutasena. Tetapi upacara
kurban tidak jadi dilaksanakan karena para keturunan Pandawa harus menerima
kutukan seperti yang terdapat pada kutipan di bawah ini:
“Ya,terbukti sekali lagi sekarang, bahwa darah dendam di Kurusetra itu tidak
pernah reda. Sekarang akulah yang terkena kutukan itu.Kurban apa pun takkan
bisa menghalangi kutukanku ini, kata Sarama.”( Sindunata, 2006: 50).
Setelah bercerita mengenai perang Baratayuda, Sabdopalon-
Nayagenggong menjelaskan kepada Putri Cina bahwa Putri Cina juga akan
menerima kutukan itu. Putri Cina lalu mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya
konflik yang terjadi antara Prabu Brawijaya dengan Raden Patah merupakan
kelanjutan dari kutukan yang telah menyelimuti Tanah Jawa sejak dulu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Sabdopalon-Nayagenggong memberitahu kepada Putri Cina bahwa pertikaian
yang ada di Tanah Jawa tidak hanya melibatkan manusia, tetapi juga dewa. Hal ini
terdapat dalam kutipan di bawah ini:
“”Ya, Paduka, seperti sudah hamba katakan berulang kali,jauh sebelum
anak-anak momongan hamba bertikai,hamba sudah bertikai,ketika hamba
masih di alam dewa dulu. Karena hamba adalah Semar,Sang Hyang Ismaya
yang menelan Gunung Garbawasa untuk mengalahkan saudara
hamba,Togog,Sang Hyang Antaga”,kata Sabdopalon-Nayagenggong” (
Sindunata, 2006: 66).
Sabdopalon-Nayagenggong lalu berkata bahwa dia akan kembali ke
tempat dia menelan Gunung Garbawasa untuk bertapa. Menurut Sabdopalon-
Nayagenggong Gunung Garbawasa sebetulnya merupakan simbol dari
keduniawiaan. Sabdopalon-Nayagenggong baru akan pergi ke Gunung Garbawasa
setelah menceritakan sebuah ramalan mengenai siapa yang menjadi korban
pertikaian di antara sesama orang Jawa.
“Benar Paduka. Ketika keadaan damai, Paduka adalah manusia seperti mereka
karena sama seperti mereka. Tapi ketika keadaan pecah dalam pertikaian,Paduka
bukanlah manusia karena Paduka tidak sama dengan mereka.”.( Sindhunata 2006:
71).
Sesudah mendengar cerita Sabdopalon-Nayagenggong Putri Cina diam
sejenak. Tanpa diketahui olehnya, Sabdopalon-Nayagenggong akhirnya murca.
Putri Cina tidak peduli dengan murca-nya Sabdopalon-Nayagenggong. Putri Cina
akhirnya sadar tentang nasib kaumnya. Mereka harus melawan tetapi untuk
melawan mereka harus menerimanya terlebih dahulu. Nasib kaum Tionghoa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
mulai menjadi kenyataan setelah munculnya sebuah kerajaan bernama Medang
Kamulan Baru yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Murhardo.
Dalam novel Putri Cina, tahap pemunculan konfilik menceritakan awal
dari kisah kesengsaraan Putri Cina. Dalam perjalanannya di pulau Jawa Putri Cina
bertemu dengan Loro Cemplon, salah seorang danyangnya. Dari pertemuannya
dengan Loro Cemplon inilah kemuadian Putri Cina bertemu dengan Sabdopalon-
Nayagenggong. Sabdopalon-Nayagenggong bercerita tentang apa yang terjadi di
kerajaan Majapahit setelah kepemimpinan Prabu Brawijaya V yang diawali
dengan cerita mengenai perang Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa. Setelah
bercerita mengenani perang BarataYudha, Sabdopalon-Nayagenggong lalu
menjelaskan kepada Putri Cina bahwa kelak dia dan kaumnya (kaum Tionghoa)
juga akan menerima kutukan yang sama seperti dalam perang Baratayudha.
Setelah mendengar cerita dari Sabdopalon-Nayagenggong Putri Cina kemudian
diam sejenak kemudian berpikir bahwa kaum Tionghoa akan menjadi pihak yang
dipersalahkan atas konflik yang terjadi diantara sesama kaum Jawa.
2.1.3 Tahap rising action (tahap peningkatan konflik)
Pada tahap peningkatan konflik dalam novel Putri Cina diawali dengan
keadaan pasca murcanya Prabu Brawijaya v. Setelah Prabu Brawijaya murca,
diangkatlah Prabu Muhardo sebagai raja di Majapahit dan kemudian mengubah
nama menjadi kerajaan Medang Kamulan. Prabu Murhardo awalnya sangat
dicintai oleh rakyatnya. Di bawah kepemimpinannya rakyat Medang Kamulan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Baru hidup damai dan sejahtera. Ia memerintah dengan penuh welas asih. Akan
tetapi, setelah beberapa tahun kemudian keadaan berubah. Keadaan menjadi kacau
balau. Rakyat lalu mengubah namanya menjadi Prabu Amurco Sabdo. Prabu
Amurco Sabdo berarti raja yang mengkhianati kata-katanya sendiri. Rakyat
Pedang Kamulan menduga bahwa rajanya telah dibutakan oleh kekuasaan.
Kekuasaan itu diperoleh dengan cara yang tidak lazim.
“Wahyu dan segala perangkat gaib lainnya membuat ia ora eling lan
waspada. Ia akan menjadi lupa akan ajaran leluhur,bahwa manusai itu harus
selalu ingat akan pesan aja dumeh. Maksudnya,kalau sudah sakti dan
berkuasa, janganlah lupa, bahwa wong sekti ana kalane apes,pangkat bisa
minggat,wong pinter bisa lai,rejeki bisa mati,donya bisa lunga: orang sakti
bisa celaka,pangkat bisa minggat,orang pintar bisa lupa, rezeki bisa
mati,dunia bisa pergi.” (Sindhunata 2006: 101).
Pedang Kamulan telah menjadi negeri yang kacau. Dan Putri Cina berpikir
tinggal menunggu waktunya bagi kaum Cina untuk menjadi korban dari
kekacauan di negeri Pedang Kamulan. Putri Cina melihat sebuah petanda melalui
kupu-kupu kunung yang terbang. Menurut tradisi Cina, kupu-kupu kuning terbang
merupakan simbol dari kematian.
Keadaan negeri Pedang Kamulan semakin tidak terkendali. Rakyat
melakukan aksi kerusuhan dan penjarahan. Rakyat merubah nama kerajaan
Medang Kamulan menjadi Pedang Kamulan. Untuk mengatasi keadaan tersebut
Prabu Amurco Sabdo akhirnya mengangkat seorang senopati bernama Gurdo
Paksi. Senopati Gurdo Paksi merupakan panglima terbaik di negeri Medang
Kamulan. Dia mempunyai seorang isteri keturunan cina.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
2.1.4. Tahap climacx (tahap klimak)
Pada tahap ini konflik meningkat. Dalam novel Putri Cina tahap ini
dimulai dari persekongkolan antara penasihat Raja Amurco Sabdo yaitu Patih
Wrenggono dan Tumenggung Joyo Sumenggah. Mereka berdua sepakat untuk
mencari kambing hitam atas keadaan yang terjadi di kerajaan Pedang Kamulan.
“Dan yang lebih menegerikan lagi adalah peristiwa ini: banyak wanita Cina
diperkosa. Malahan, di banyak tempat, wanita Cina diperkosa ramai-ramai.
Dan kejinya, perkosaan itu dilakukan di hadapan orang tua atau saudara-
saudara wanita Cina yang malang itu.” ( Sindhunata, 2006: 150).
Kekacauan semakin brutal tetapi penguasa terlihat membiarkan semuanya
terjadi. Beberapa orang beanggapan bahwa Prabu Amurco Sabdo harus turun dari
jabatannya dan menunujukkan kebencian yang sangat mendalam kepada kaum
Cina.
Sementara itu di tengah Senopati Gurdo Paksi sedang sibuk mengatasi
huru-hara yang terjadi di kota, istri Gurdo Paksi yaitu Giok Tien berada di dalam
rumah bersama dua saudaranya yaitu Giok Liang dan Giok Hwa. Mereka takut
untuk keluar dari rumah. Tanpa sebab yang jelas Giok Tien mengingatkan
saudara-saudaranya tentang lakon yang dijalani Giok Tien. Sebelum menjadi istri
Gurdo Paksi, Giok Tien adalah seorang penari. Giok Tien pernah memerankan
lakon Sampek Eng Tay.
“Sam Pek Eng Tay adalah lakon yang memberi pelajaran, bahwa cinta tak
pernah berakhir dengan kematian. Sam Pek telah dikuburkan, ia akan mati
selamanya di sana, jika Eng Tay tidak terjun menyusulnya. Dan karena
cinta, Eng Tay rela terjun menjumpainya di dalam kuburan. Akhirnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
mereka berdua hidup dan terbang menjadi sepasang kupu-kupu yang indah.”
( Sindhunata 2006: 200).
Tiba-tiba ada segerombolan prajurit dari istana Majapahit datang ke rumah
Giok Tien. Mereka dipimpin oleh Joyo Sumenggah. Joyo Sumenggah ingin
menyalamatkan Giok Tien beserta saudara-saudaranya. Saat ingin menyelamatkan
Giok Tien beserta saudara-saudaranya, dua kakaknya mati ditusuk oleh orang tak
dikenal. Joyo Sumengah pun datang beserta para prajurit. Giok Tien merasa heran
karena suaminya (Gurdo Paksi) tidak menyelamatkannya. Joyo Sumenggah
berusaha untuk membujuk Giok Tien agar bersedia ikut dengannya. Giok Tien
hanya diam, tetap tidak mau. Akhirnya kesabaran Joyo Sumenggah hilang.
Birahinya memuncak dan dia ingin memperkosa Giok Tien. Ketika Joyo
Sumenggah ingin memperkosa Giok Tien, tiba-tiba datang Prabu Amurco Sabdo
sehingga Joyo Sumenggah tidak jadi memperkosa Giok Tien.
Giok Tien pun dibawa oleh Prabu Amurco Sabdo ke istana. Sementara itu
suaminya, senopati Gurdo Paksi merasa dijebak karena dituduh telah membunuh
dua kakak Giok Tien dengan pusaka kerajaan yaitu keris Pesat Nyawa.
“Cik, kau tahu bukan aku yang membunuhmu. Aku minta keadilan karena pusaka
laknat ini.” (Sindhunata 2006: 238).
Sesampainya Giok Tien di istana Pedang Kamulan, Prabu Amurco Sabdo
kagum terhadapnya. Birahinya meningkat karena tidak tahan melihat kemolekan
tubuh Giok Tien. Dan akhirnya Prabu Amurco Sabdo memperkosanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
“Wis manuta, among sira gawe swarga. Sudahlah,Putri Cina, menurutlah
kepadaku, hanya kaulah yang dapat menyediakan surga bagiku. Dengan buas
ia melucuti busananya. Nafsunya sudah tinggal melompat keluar, ketika ia
mulai melihat badan Giok Tien yang putih dan halus mulus itu. Giok Tien
sudah tidak berdaya lagi ketika Prabu Amurco Sabdo menindihkan badannya
ke tubuhnya. Ia hanya bisa menjerit lirih. Jeritan itu terdengar pedih merintih.”
( Sindhunata 2006: 251).
Tanpa disadari perbuatan Amurco Sabdo dilihat oleh Joyo Sumengah.
Untuk menutupi perbuatannya dia menawari Joyo Sumenggah untuk memperkosa
Giok Tien juga. Tetapi sebelum Joyo Sumengah melaksanakan niatnya, Gurdo
Paksi datang. Dia marah terhadap Prabu Amurco Sabdo dan Joyo Sumengah.
Kedatangan Gurdo Paksi diikuti oleh kedatangan Patih Wrenggono yang
mengabarkan jika rakyat menuntut pertanggungjawaban Gurdo Paksi.
Giok Tien lalu mengancam jika nama baik suaminya tidak dipulihkan, dia
akan membeberkan perbuatan Prabu Amurco Sabdo kepada rakyat. Amurco
Sabdo lalu mengumumkan pengunduran dirinya kepada rakyat dan otomatis
Gurdo Paksi pun harus melepaskan jabatannya sebagai senopati.
Tahap klimak dalam novel Putri Cina dimulai dengan meningkatnya
konflik dalam cerita. Persengkongkolan antara penasihat Raja Amurco Sabdo
yaitu Patih Wrenggono dan Tumenggung Jaya Sumenggah. Mereka berdua
sepakat untuk mencari kambing hitam atas apa yang terjadi di Pedang Kamulan.
Kaum Tionghoa menjadi pihak yang dipersalahkan atas kekacauan yang terjadi,
perempuan-perempuan Tionghoa diperkosa ketika situasi kacau, termasuk pula
Giok Tien yang diperkosa oleh Prabu Amurco Sabdo. Tetapi sebelum
memperkosa Giok Tien, Gurdo Paksi (suami Giok Tien) datang. Gurdo Paksi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
marah kepada Prabu Amurco Sabdo dan Prabu Joyo Sumenggah. Gurdo Paksi
datang ke istana untuk menuntut pertanggung jawaban kepada Prabu Amurco
Sabdo atas kekacauan yang terjadi.
2.1.5. Tahap denouement (tahap penyelesaian)
Tahap ini di dalam novel Putri Cina mengulas tentang kehidupan rakyat
pasca raja Prabu Amurco Sabdo dan akhir kisah cinta antara Giok Tien dengan
Gurdo Paksi. Kehidupan rakyat di kerajaan Pedang Kamulan menjadi damai
kembali setelah Aryo Sabrang menjadi raja baru.
“Di mana-mana,sawah-sawah mulai menghijau dan segar. Petani-petani gembira
karena panenan mereka berhasil. Pedagang-pedagang pun dapat menjalankan
usahanya dengan hati tenang.” (Sindhunata 2006: 280).
Gurdo Paksi dan Giok Tien kembali bersatu. Mereka hidup bersama.
Setelah empat puluh hari kematian kakak-kakak Giok Tien, Gurdo Paksi dan Giok
Tien berziarah ke makam para saudara Giok Tien. Kesedihan Giok Tien tampak
kembali ketika mereka tiba di depan pusara. Dia teringat akan kenangan-kenangan
indah mereka bertiga. Tiba-tiba sebuah anak panah meluncur dari belakang Gurdo
Paksi, Giok Tien mendorong tubuh Gurdo Paksi dan anak panah itu akhirnya
tertancap di dada Giok Tien.
Gurdo Paksi pun ikut lenyap dan menjelma menjadi kupu-kupu pula. Joyo
Sumengah terperangah membelalak tak percaya melihat kedua tubuh yang
tadinya sudah mati dan menjadi mayat kini menjadi sepasang kupu-kupu yang
hidup dan terbang di hadapannya.” (Sindhunata 2006:297).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Giok Tien akhirnya tewas di pangkuan Gurdo Paksi. Ternyata yang
membunuh Giok Tien adalah Joyo Sumengah yang kini menjadi senopati di
Padang Kamulan. Akhirnya apa yang telah diimpikan oleh Giok Tien terjadi juga.
Mereka menjadi Sam Pek Eng Tay.
Untuk lebih memperjelas analisis alur pada novel Putri Cina karya
Sindhunata yang berhubungan dengan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak
terhadap kaum Tionghoa, penulis melampirkan bagan alur sebagai berikut :
BAB Halaman Bagian Alur
1 9-14 Perkenalan; timbulnya konflik 1
2-12 15-87 Timbulnya konflik 2
13-17 88-149 Klimaks
19-20 153-165 Penyelesaian
Pada bab pertama, tokoh Putri Cina diperkenalkan. Konfliknya sebagai
tokoh juga muncul; ternyata dia merasa kehilangan identitas, yang ditandai
dengan kehilangan wajahnya.
Dalam Peningkatan Konflik 1 Putri Cina teringat pada cerita rakyat.
Anak raja Majapahit, Jaka Prabangkara, dihukum karena telah menggambarkan
selir kesayangan raja dengan sangat tepat, termasuk noda hitam dekat vaginanya.
Sebagai hukuman, Jaka Prabangkara ditugaskan untuk menggambarkan semua
yang ada di langit dan tidak turun dari langit sampai dia tiba di negeri Cina.
Setiba di sana, dia menjadi terkenal dan akhirnya menikah dengan dua
perempuan, yaitu seorang warga miskin dan seorang putri kaisar Cina;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
keturunannya bertakdir kembali ke tanah Jawa. Oleh karena itu, Putri Cina merasa
bahwa dia sebenarnya sudah orang Jawa.
Namun, dia (Putri Cina) teringat lagi bahwa pada kerajaan Majapahit
sudah ada seorang selir dari Cina; dengan demikian, Putri Cina merasa bahwa
pencariannya tidak selesai. Dia ingat bahwa selir Cina itu telah dienyahkan saat
hamil ke Sumatra (Sriwijaya) karena kehendak permaisuri kesayangan raja; selir
itu dinikahkan dengan anak raja itu dan akhirnya melahirkan anak dari kedua
bapak-anak itu. Kedua anaknya tumbuh dewasa, lalu pulang ke tanah Jawa dan
akhirnya menjatuhkan raja Majapahit dan mendirikan kerajaan baru, kerajaan
Demak.
Pada konflik 2 Kerajaan Demak di bawah pimpinan Raden Patah berusaha
untuk melakukan kudeta terhadap kerajaan Majapahit. Kudeta terhadap kerajaan
Majapahit mendapatkan dukungan dari Adipati Terung serta pihak-pihak lain
yang sepaham dengan Raden Patah. Kerajaan Majapahit menjadi terjepit. Prabu
Brawijaya beserta pasukannya berlindung di dalam lingkungan istana kerajaan
Majapahit.
Klimaks dari bagian alur ini adalah murcanya Prabu Brawijaya ke langit.
Peristiwa ini adalah puncak dari perang antara kerajaan Demak dan Majapahit.
Raden Patah beserta para pendukungnya berhasil masuk ke dalam kompleks
kerajaan Majapahit. Prabu Brawijaya yang mengetahui bahwa pemimpim
penyerangan kerajaan Majapahit adalah Raden Patah, anak kandungnya sendiri
akhirnya memeilih murca dari singgasananya. Semenjak itu Kerajaan Demak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
menguasai kerajaan Majapahit. Seluruh tatanan Majapahit yang berlatar belakang
agama Hindhu diganti secara perlahan oleh Raden Patah yang membawa idelogi
agama Islam.
2.2. Rangkuman
Pada Bab II analisis struktur dititikberatkan pada analisis alur novel Putri
Cina karya Sindhunata. Di dalam novel ini, alur dibagi menjadi lima tahapan yaitu
tahap situation (penyituasian), tahap circumstances (tahap pemunculan konflik),
tahap rising action (tahap peningkatan konflik), tahap climacx (tahap klimak ) dan
nouement ( tahap penyelesaian).
Bagian awal merupakan tahap penyituasian. Bagian ini dimulai dengan
kilas balik ini diawali dengan keheranan Putri Cina terhadap kaumnya (orang
cina) yang selalu mencari kekayaan saja tanpa memikirkan nasib mereka di
kemudian hari. Dia merasa heran mengapa orang Cina tidak mengingat ajaran
leluhur mereka. Putri Cina merasa mengapa kaumnya hanya berusaha untuk
mencari kekayaan selama masa hidupnya. Dia menyayangkan falsafah-falsafah
nenek moyang kaum Tionghoa sudah dilupakan.
Bagian tengah merupakan tahap pemunculan konflik. Bagian ini
menceritakan awal dari kisah kesengsaraan Putri Cina. Dalam perjalanannya di
Pulau Jawa, dia merasa heran dengan keadaan Majapahit sekarang. Sepeninggal
Raja Prabu Barawijaya V, keadaan Majapahit berubah total. Puing-puing
berserakan dan keadaan rakyat menjadi tidak terurus. Putri Cina bertanya kepada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
salah seorang wanita yang dulu menjadi danyangnya yaitu Loro Cemplon. Dari
mulut Loro Cemplon inilah akhirnya Putri Cina mengetahui keberadaan
Sabdopalon-Nayagenggong.
Bagian ketiga adalah tahap rising action (tahap peningkatan konflik). Pada
tahap ini berkisah tentang Prabu Muhardo yang awalnya sangat dicintai oleh
rakyatnya. Di bawah kepemimpinannya, rakyat Medang Kamulan Baru hidup
damai dan sejahtera. Ia memerintah dengan penuh welas asih seperti yang diidam-
idamkan oleh rakyat. Tetapi setelah beberapa tahun kemudian keadaan berubah.
Suasana menjadi kacau balau. Rakyat lalu mengubah namanya menjadi Prabu
Amurco Sabdo. Perubahan nama ini merupakan reaksi rakyat terhadap
kepemimpinan Prabu Muhardo. Nama Prabu Amurco Sabdo berarti raja yang
mengkhianati kata-katanya sendiri. Rakyat Pedang Kamulan menduga bahwa
rajanya telah dibutakan oleh kekuasaan. Kekuasaan itu diperoleh dengan cara
yang tidak lazim.
Bagian keempat adalah tahap climacx (tahap klimaks). Dalam novel Putri
Cina tahap ini dimulai dari persekongkolan antara penasehat Raja Amuco Sabdo
yaitu Patih Wrenggono dan Tumenggung Joyo Sumenggah. Keduanya sepakat
untuk mencari kambing hitam atas keadaan yang terjadi di kerajaan Pedang
Kamulan. Kambing hitam yang dimaksud adalah pihak yang dipersalahkan atas
apa yang terjadi di Medang Kamulan. Pihak kerajaan mencari cara untuk tidak
bertanggung jawab atas kekacauan dengan cara menjadikan kaum Cina sebagai
pihak yang harus bertanggung jawab atas kedaan di kerajaan yang tidak
terkendali.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Tahap kelima merupakan tahap penyelesaian konflik di dalam novel Putri
Cina. Tahap ini di dalam novel Putri Cina mengulas tentang kehidupan rakyat
pasca Prabu Amurco Sabdo.dan akhir kisah cinta antara Giok Tien dengan Gurdo
Paksi. Kehidupan rakyat di kerajaan Pedang Kamulan menjadi damai kembali
setealah Aryo Sabrang menjadi raja baru. Gurdo Paksi dan Giok Tien kembali
bersatu. Setelah empat puluh hari kematian kakak-kakak Giok Tien, Gurdo Paksi
dan Giok Tien berziarah ke makam para saudara Giok Tien. Kesedihan Giok Tien
tampak kembali ketika mereka tiba di depan pusara. Dia teringat akan kenangan-
kenangan indah mereka bertiga. Tiba-tiba sebuah anak panah meluncur dari
belakang Gurdo Paksi, Giok Tien mendorong tubuh Gurdo Paksi dan anak panah
itu akhirnya tertancap di dada Giok Tien.
Giok Tien akhirnya tewas di pangkuan Gurdo Paksi. Ternyata yang
membunuh Giok Tien adalah Joyo Sumengah yang kini menjadi senopati di
Padang Kamulan. Akhirnya apa yang telah diimpikan oleh Giok Tien terjadi juga.
Mereka menjadi Sam Pek Eng Tay.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
BAB III
DOMINASI DAN HEGEMONI KERAJAAN DEMAK TERHADAP KAUM
TIONGHOA DALAM NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA
Dari analisis Bab II, terlihat adanya permasalahan dominasi dan hegemoni
kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina karya Sindhunata.
Dominasi dan hegemoni tersebut timbul karena adanya peranan kekuasaan dari
kerajaan Demak. Dalam Bab III, permasalahan dominasi dan hegemoni kerajaan
Demak dan terhadap kaum Tionghoa tersebut akan dianalisis lebih dalam lagi.
Analisis dominasi dan hegemoni diurutkan mulai dari yang paling dominan hingga
yang memiliki peranan paling kecil. Analisis dominasi dan hegemoni berikut ini
meliputi analisis dominasi kerajaan Demak dan hegemoni kerajaan Demak yang
terbagi atas hegemoni agama, hegemoni politik, hegemoni ekonomi dan hegemoni
budaya. Dalam analisis ini penulis menggunakan teori dominasi dan hegemoni
Antonio Gramsci.
Arti dominasi dalam prespektif teori kritis adalah suatu kekuasaan yang paling
dominan, berasal dari luar diri manusia, sangat mempengaruhi dan turut mengatur
seluruh aktivitas dan kegiatan berpikir serta tingkah laku manusia, sementara manusia
menerimanya tanpa landasan kesadaran yang utuh (Ginting, 2012:42).
Secara literal hegemoni berarti “kepemimpinan”.Lebih sering kata itu
digunakan oleh para komentator politik untuk menunjuk kepada pengertian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
dominasi.Akan tetapi, bagi Gramsci, konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih
kompleks.Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk – bentuk politis,
kultural dan ideologis tertentu, yang lewatnya, dalam suatu masyarakat yang ada,
suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang
berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa (Faruk 2005:63).
Meskipun Gramsci memulai analisis dari bidang politik, agama, ekonomi dan
budaya penulis terlebih dahulu menganalisis bidang agama,politik, ekonomi dan
terakhir bidang budaya. Hal ini dipilih karena penulis melihat bidang agama yang
paling mayoritas mendominasi dibandingkan ketiga bidang yang lain.
Hegemoni agama berfungsi untuk menciptakan common sense terhadap suatu
golongan tertentu. Common sense meliputi sistem-sistem kepercayaan menyeluruh,
tahayul, dan opini-opini (Faruk 2005: 70-71). Hegemoni politik merujuk pada
pengertian bahwa masyarakat sipil yang menentukan jalannya suatu negara melalui
tangan suatu kelompok yang mendominasi dengan seperangkat aturan hukum.
Hukum dan aturan politik digunakan untuk menjalankan suatu roda pemerintahan
(Patria- Arif 2005: 133).
Hegemoni ekonomi dijadikan alat negara untuk memperoleh legitimasi negara
di mata masyarakat. Bagi Gramsci elemen ekonomi digunakan untuk mempengaruhi
aktivitas negara dan aktivitas sipil (Patria-Arif 2005: 136).
Hegemoni budaya berfungsi sebagai alat untuk menciptakan masyarakat yang
tidak dapat menyesuaikan diri, masyarakat yang percaya bahwa terdapat kelompok
yang superior di hadapan masyarakat lainnya karena sudah mengingat fakta- fakta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dan data-data dan yang dengan cepat menyebutkannya dalam setiap kesempatan yang
dengan demikian mengubah meraka menjadi suatu perintang antara diri mereka
sendiri dengan orang lain (Faruk 2005: 65). Dalam analisis hegemoni ini, akan
diawali dengan deskripsi singkat mengenai kerajaan Demak.
3.1 Kerajaan Demak
Demak terletak di daerah Pegunungan Muria , Jawa Tengah. Pada abad XVI
Demak telah menjadi lumbung padi yang berasal dari daerah-daerah pertanian sekitar
Demak. Sungai yang menjadi penghubung antara Demak dengan daerah dalaman di
Jawa Tengah adalah sungai Serang, yang anak-anak sungainya bersumber di
pegunungan kapur dan bermuara di Laut Jawa antara Demak dan Jepara. Di sebelah
selatan pegunungan Kapur tersebut terletak daerah-daerah tua Jawa Tengah, yaitu
Pengging dan Pajang (De Graff-Pigeaud 1974: 38).
Demak merupakan kerajaaan Islam pertama di Pulau Jawa. Raden Patah
(pendiri Kerajaan Demak) saat itu sedang dalam perjalanan ke Pulau Jawa bersama
dengan adik tirinya yaitu Raden Kusen untuk menghadap Prabu Brawijaya V sebagai
kewajibannya atas telah diberikannya kekuasaan di Palembang. Di dalam perjalanan
menuju Majapahit, mereka bertemu dengan seorang tokoh agama Islam yang
kemudian dikenal dengan Sunan Ampel (Bong Swi Hoo) di daerah Ngampeldenta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
3.1.1 Dominasi kerajaan Demak terhadap Kaum Tionghoa
Dominasi kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa mulai nampak sejak
Demak dikuasai oleh Raden Patah (Jin Bun). Raden Patah merupakan anak dari Prabu
Brawijaya. Demak yang sebelumnya merupakan daerah di bawah kekuasaan kerajaan
Majapahit berubah menjadi daerah yang maju di bawah pimpinan Raden Patah.
Sebelumnya Demak hanya merupakan sebuah daerah kekuasaan Majapahit seperti
daerah-daerah kekuasaan lain yang dimiliki oleh kerajaan Majapahit. Proses dominasi
kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa diawali dengan pendirian Demak menjadi
kerajaan Demak. Raden Patah yang menjadi abdi kerajaan Majapahit mendirikan
kerajaan Demak yang berlatar belakang agama Islam. Hal tersebut terdeskripsikan
dalam kutipan berikut ini:
Kapal singgah di Sura Pringga. Raden Patah dan Raden Kusen turun, terus
berjalan ke Ngampeldenta. Di sana mereka memeluk agama baru, dan
berguru kepada Sunan Ngampeldenta (Sindhunata, 2007: 28).
Berdasarkan kutipan di atas, Raden Patah dan Raden Kusen dalam perjalanan
menuju Majapahit singgah terlebih dahulu di daerah Ngampeldenta. Di
Nagmpeldenta mereka berdua bertemu dengan Sunan Ampel (Bong Swi Hoo), yang
pada saat itu menjadi ulama besar Islam keturunan Tionghoa di pulau Jawa. Hal
inilah yang menandai mulainya Raden Patah memeluk agama Islam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Berpindahnya agama Raden Patah yang pada awalnya memeluk agama
Hindhu menjadi agama Islam. Proses perpindahan agama ini tak lepas dari peran
Sunan Ampel yang menjadi guru bagi Raden Patah. Sunan Ampel (Bong Swi Hoo)
adalah cucu dari Bong Tak Keng, pemimpin komunitas Tionghoa Islam di Jawa yang
ditugaskan oleh Sam Po Bo (Laksamana Ceng Ho) (Mulyana: 2008: 96). Pada tahun
1445 Sunan Ampel dikirim ke Palembang untuk membantu Arya Damar yang saat iru
menjadi raja di Palembang. Arya Damar (Swan Liong) adalah anak dari Prabu
Brawijaya V. Setelah beberapa tahun di Palembang, Arya Damar memerintahkan
Sunan Ampel pergi ke pulau Jawa untuk menghadap kapten Cina di Tuban bernama
Gan Eng Cu (Arya Tedja). Gan Eng Cu (Arya Tedja) adalah mantan Kapten Cina di
Manila yang kemudian ditugaskan ke Jawa oleh Laksamana Ceng Ho (Sam Po Bo)
untuk mengurusi kepentingan orang-orang Islam Tionghoa di Pulau Jawa, terutama
wilayah Majapahit oleh Sam Po Bo (Laksamana Cheng Ho). Setibanya di Pulau
Jawa, Sunan Ampel (Bong Swi Hoo) bertemu dengan Gan Eng Cu. Karena terikat
dengan kecerdasan Sunan Ampel, Gan Eng Cu memungut Sunan Ampel menjadi
menantu. Sunan Ampel kemudian menikah dengan cucu Gan Eng Cu yaitu Ni Gede
Manila. Dari pernikahan Sunan Ampel dengan Ni Gede Manila lahirlah seorang putra
bernama Sunan Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim (Mulyana, 2009: 97-
98). Setelah dibimbing secara intens oleh Sunan Ampel, Raden Patah mantab untuk
memeluk agama Islam. Hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut ini:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Di sana mereka memeluk agama baru, dan berguru kepada Sunan
Ngampeldenta. Setelah beberapa lama, Raden Kusen mengingatkan, mereka
masih harus pergi ke Majapahit. Raden Patah menolak. Ia tak mau lagi ke
sana, karena tak ingin mengabdi kepada raja yang lain agamanya dari dia
(Sindhunata, 2007: 28).
Berdasarkan kutipan di atas, nampak bahwa Raden Patah telah mantap untuk
memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Hindhu. Hal ini tentunya membuat
Sunan Ampel menjadi gembira. Sunan Ampel mendapatkan calon penerus untuk
menyebarkan agama Islam di pulau Jawa yaitu Raden Patah.
Raden Patah yang pada awalnya menganut agama Hindhu berubah menganut
agama Islam setelah lama menetap di Demak. Hal ini tidak terlepas dari adanya peran
Sunan Ampel yang saat itu sedang merintis penyebaran agama Islam di pulau Jawa.
Agama Hindhu yang pada saat itu telah mendominasi pulau Jawa, berusaha
diimbangi oleh Sunan Ampel yang membawa agama Islam. Untuk memperkuat
pengaruhnya di daerah Demak dan sekitarnya Sunan Ampel terus memperdalam ilmu
agama Islam kepada Raden Patah. Ambisi Sunan Ampel untuk mendominasi agama
Islam melalui Kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa tidak hanya dengan
merekrut Raden Patah sebagai “peminpin” pemberontak Majapahit.
Selama dalam masa persinggahan, Raden Patah (Jin Bun) dan Raden Kusen
(Kin San) kemudian mempelajari agama Islam yang diajarkan oleh Sunan Ampel
(Bong Swi Hoo). Raden Patah tertarik untuk mempelajari agama Islam dan singgah
sementara di Demak sedangkan Raden Kusen tetap melanjutkan perjalanan ke
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Majapahit untuk menghadap Prabu Brawijaya V sebagai bukti dharma baktinya
kepada raja Brawijaya V. hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut ini:
Setelah beberapa lama, Raden Kusen mengingatkan, mereka masih harus
pergi ke Majapahit. Raden Patah menolak. Ia tak mau lagi ke sana, karena tak
ingin mengabdi kepada raja yang lain agamanya dari dia (Sindhunata, 2007:
28).
Berdasarkan kutipan di atas, Raden Patah yang telah menganut agama Islam
kemudian mendirikan kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.
Raden Patah telah berhasil didoktrin oleh Sunan Ampel untuk memeluk agama baru
yaitu Islam. Lain halnya dengan Raden Kusen, dia tetap melanjutkan perjalanan ke
Majapahit untuk menghadap Prabu Brawijaya. Berdasarkan kutipan di atas, Raden
Patah telah mendirikan padepokan bernama Bintara. Padepokan tersebut menjadi
pusat untuk memperdalam ilmu agama Islam yang diajarkan oleh Sunan Ampel
kepada Raden Patah. Di bawah pimpinan Raden Patah pedepokan Bintara menjadi
jaya dan terkenal sampai ke seluruh pulau Jawa. Raden Patah yang memilih tetap
tinggal di Ngampeldenta berusaha untuk terus memperdalam agama Islam. Guna
menyebarkan agama Islam sebagai agama baru di pulau Jawa, Raden Patah berencana
mendirikan suatu padepokan di Ngampeldenta. Hal tersebut tergambar dalam kutipan
berikut ini:
Raden Patah berjalan sesuai dengan pesan gurunya. Di sebuah hutan, ia
mencium bau yang amat harum. Bau yang berasal dari gelagah. Inilah tempat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
yang yang dicarinya. Maka di sinilah ia mendirikan padepokannya. Dan
dinamainya tempat itu Bintara (Sindhunata, 2007: 28).
Dengan adanya pendirian padepokan yang akan menjadi cikal bakal
munculnya kerajaan Demak, usaha Raden Patah dan Sunan Ampel untuk
memusatkan penghayatan agama Islam menjadi terfasilitasi. Padepokan ini
diharapkan oleh Raden Patah dan Sunan Ampel mempermudah penyebaran agama
Islam di pulau Jawa yang pada saat itu masih didominasi oleh agama Hindhu.
Raden Patah memiliki pendapat bahwa selain agama Islam tidak boleh ada
agama lain yang ada di pulau Jawa. Kemunculan hal ini tidak terlepas dari perubahan
sikap drastis yang ditunjukkan oleh Raden Patah setelah memeluk agama Islam.
Kaum Tionghoa pun mulai merasakan agama Islam menjadi kekuatan baru di
Majapahit selain agama Hindhu yang telah ada terlebih dahulu. Demak yang berubah
menjadi kerajaan, semakin lama mulai memperbesar pengaruh agama Islam di Pulau
Jawa.
Kerajaan Demak menjadi daerah yang mendominasi kemajuan di segala
bidang dibandingkan daerah-daerah kekuasaan kerajaan Majapahit lainnya. Di tangan
Raden Patah, Demak menjelma menjadi daerah yang disegani di pulau Jawa.
Kerajaan Demak juga menjadi pusat pengembangan agama Islam di pulau Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
3.1.2 Hegemoni kerajaan Demak terhadap Kaum Tionghoa
Hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa dimulai sejak adanya
rencana pemberontakan Demak terhadap kerajaan Majapahit. Sebelum melakukan
pemberontakan ke Majapahit, Sunan Ampel ingin memperkokoh ajaran agama Islam
yang mulai mendominasi di pulau Jawa, Sunan Ampel sengaja menjodohkan Raden
Patah dengan keluarganya sendiri. Hal tersebut seperti yang tergambar dalam kutipan
di bawah ini:
Sementara itu, Raden Patah tetap mendalami ilmunya di Ngampeldenta Sunan
Ngampeldenta kemudian mengambilnya menjadi menantu. Ia mengawinkan
Raden Patah dengan cucunya, Nyai Ageng Mendaka, anak Nyai Ageng
Manyura, putri sulungnya (Sindhunata, 2007: 28).
Berdasarkan kutipan di atas, Raden Patah dijodohkan dengan cucu Sunan
Ampel sendiri. Pernikahan campuran antara Raden Patah yang latar belakang Hindhu
dengan Nyai Ageng Mendaka yang berlatar belakang agama Islam sengaja dilakukan
oleh Sunan Ampel. Raden Patah tidak kuasa untuk menolak perkawinan tersebut
karena mengingat banyak jasa yang telah dilakukan Sunan Ampel kepada dirinya
termasuk merubah paradigma (cara berpikir) Raden Patah terhadap Prabu Brawijaya
V.
Langkah perkawinan campuran ini merupakan usaha untuk semakin
memperkokoh hegemoni Kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa. Kaum Tionghoa
tidak mempunyai kuasa dengan keadaan yang demikian. Prabu Brawijaya yang
mengetahui perkembangan pesat kemajuan Demak di bawah pimpinan Raden Patah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
merasa gembira. Prabu Brawijaya memuji kemajuan yang dialami Demak di bawah
tangan Raden Patah.
Hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa diawali oleh
penyerangan kerajaan Majapahit oleh Raden Patah. Penyerangan kerajaan Majapahit
oleh kerajaan Demak tidak dilakukan oleh Raden Patah sendiri. Dia mendapatkan
dukungan dari berbagai pihak termasuk dari pihak-pihak yang sebelumnya telah
terhegemoni oleh kerajaan Majapahit. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut ini:
“Akhirnya saatnya pun tiba. Di Demak, bergabunglah menjadi satu kekuatan-
kekuatan yang hendak menyerang Majapahit. Kecuali Adipati Terung, meraka adalah
Bupati Madura, Arya Tedja dari Tuban, Bupati Sura Pringga, dan penguasa Giri”
(Sindhunata, 2007: 30-31).
Masa transisi pergantian puncak kekuasaan Majapahit dari tangan Prabu
Brawijaya ke tangan Raden Patah berjalan dengan mulus. Meskipun peralihan
kekuasaan dari Parabu Brawijaya kepada Raden Patah harus diawali dengan
peperangan.
Hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa meliputi hegemoni
agama, hegemoni politik, hegemoni ekonomi, dan hegemoni budaya. Hegemoni
agama kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa ditandai dengan pendirian kerajaan
Demak oleh Raden Patah. Hegemoni politik kerajaan Demak terhadap kaum
Tionghoa ditandai dengan pelarangan kaum Tionghoa untuk menyelenggarakan
aktivitas adat leluhur mereka sendiri. Hegemoni ekonomi kerajaan Demak terhadap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
kaum Tionghoa tergambar dalam pembentukan kaum Tionghoa sebagai kaum yang
eksklusif yang pada ujungnya akan menjadikan kaum Tionghoa sebagai pihak yang
dibenci oleh masyarakat pribumi melalui motif ekonomi. Hegemoni budaya kerajaan
Demak terhadap kaum Tionghoa tergambar pada pelarangan kerajaan Demak
terhadap kegiatan budaya leluhur kaum Tionghoa. Hegemoni-hegemoni tersebut di
atas akan diuraikan lebih lanjut dalam sub-sub bab di bawah ini.
3.1.2.1 Hegemoni Agama Kerajaan Demak
Hegemoni agama berfungsi untuk menciptakan common sense terhadap suatu
golongan tertentu. Common sense meliputi sistem-sistem kepercayaan meneyeluruh,
tahayul, dan opini-opini (Faruk 2005: 70-71).
Menurut Girard (2006:211) agama berfungsi untuk menundukkan kekerasan,
dan menjaga supaya kekerasan itu tidak liar. Akan tetapi agama dijadikan kedok
permainan kekuasaan politik oleh Kaum Jawa untuk membuat suatu tatanan
kehidupan baru di Majapahit. Tatanan yang tentunya sesuai dengan apa yang menjadi
kehendak pihak penguasa. Agama telah menjadi alat bagi kaum Jawa untuk
melanggengkan kekuasaan suatu rezim.
Demak merupakan kerajaaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan Demak
lahir karena Raden Patah yang pada saat itu sedang dalam perjalanan ke Pulau Jawa
bersama dengan adik tirinya yaitu Raden Kusen untuk menghadap Prabu Brawijaya V
sebagai kewajibannya atas telah diberikannya kekuasaan di Palembang. Di dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
perjalanan mereka menuju Majapahit, mereka bertemu dengan seseorang tokoh
agama Islam yang kemudian dikenal dengan Sunan Ampel (Bong Swi Hoo) di daerah
Ngampeldenta. Di sana mereka berdua memeluk agama baru yaitu agama Islam
seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut ini :
Kapal singgah di Sura Pringga. Raden Patah dan Raden Kusen turun, terus
berjalan ke Ngampeldenta. Di sana mereka memeluk agama baru, dan
berguru kepada Sunan Ngampeldenta (Sindhunata, 2007: 28).
Dalam kutipan di atas, terlihat jika Raden Patah dan Raden Kusen telah
memeluk agama baru yaitu Islam dari sebelumnya memeluk agama Hindu. Perubahan
agama yang dianut oleh keduanya membuat perubahan paradigma (mind set)
keduanya berubah mengenai kepercayaan. Di bawah bimbingan dan arahan dari
Sunan Ampel mereka berdua kemudian mempunyai pandangan berbeda mengenai
Kerajaan Majapahit yang bernafaskan dengan nuansa Agama Hindhu. Agama Hindhu
yang kental dengan kegiatan ritus pemujaan dewa dan hal-hal yang mistis tentu
sangat bertolak belakang dengan Agama Islam.
Di Ngampeldenta mereka berdua mendapat doktrin baru yaitu agama Islam.
Seiring pendalaman agama baru selama di Ngampeldenta, Raden Kusen kemudian
berpikir bahwa dia bersama Raden Patah harus kembali menghadap Prabu Brawijaya
V sebagai raja Majapahit. Raden Kusen merasa bahwa ia harus segera menghadap
Prabu Brawijaya di Majapahit sebagai bukti dharma bakti diri seorang hamba kepada
rajanya. Dia takut bahwa raja Brawijaya akan marah apabila mereka tidak kembali
menghadap dirinya lagi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Lain halnya dengan Raden Kusen, Raden Patah tetap ingin berada di sana
untuk lebih memperdalam agama Islam dan meninggalkan agama Hindhu
sepenuhnya. Menurut Mulyana (2008:50) Sunan Ngampel memberi nasihat kepada
Raden Patah untuk menetap di Bintara alias Gelagah wangi. Nasihat itu diindahkan
oleh Raden Patah. Raden Patah lebih memilih tetap tinggal di Ngampeldenta untuk
mendalami agama Islam yang telah diajarkan oleh Sunan Ampel seperti yang
dideskripsikan dalam kutipan berikut :
Setelah beberapa lama, Raden Kusen mengingatkan, mereka masih harus
pergi ke Majapahit. Raden Patah menolak. Ia tak mau lagi ke sana, karena tak
ingin mengabdi kepada raja yang lain agamanya dari dia (Sindhunata, 2007:
28).
Berdasarkan kutipan di atas, Raden Patah telah berubah dan berhasil didoktrin
penuh oleh Sunan Ampel. Raden Patah menganggap semua agama di luar agama
Islam adalah „kafir‟. Oleh karena itu, dia memilih untuk tetap tinggal di
Ngampeldenta guna „memerangi‟ orang „kafir‟ di Majapahit yang tidak lain adalah
ayah kandungnya sendiri yaitu raja Brawijaya kelak. Untuk memuluskan langkahnya
mengkudeta Prabu Brawijaya, ia berusaha untuk mengumpulkan massa melalui diri
Sunan Ampel yang saat itu dikenal sebagai ulama Islam yang disegani di Demak.
Selain mengumpulkan massa dari pengikut Sunan Ampel, Raden Patah juga
memiliki cara untuk merebut hati dari Sunan Ampel. Dia berusaha untuk menjadi
bagian dari keluarga guru agamanya tersebut. Berkat pendekatan yang intens,
akhirnya Raden Patah berhasil meluluhkan hati dari salah seorang cucu Sunan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Ngampel. Di Ngampeldenta Raden Patah menikah dengan cucu Sunan Ampel, yaitu
Nyai Ageng Mendaka. Hal ini dijelaskan dalam kutipan berikut ini :
Sementara itu, Raden Patah tetap mendalami ilmunya di Ngampeldenta Sunan
Ngampeldenta kemudian mengambilnya menjadi menantu. Ia mengawinkan
Raden Patah dengan cucunya, Nyai Ageng Mendaka, anak Nyai Ageng
Manyura, putri sulungnya (Sindhunata, 2007: 28).
Setelah menikah, Raden Patah sebagai murid dari Sunan Ampel menjadi lebih
terlegitimasi dan lebih aktif dalam penyebaran agama Islam. Ia telah mendapat
pengakuan dari Sunan Ampel sendiri. Oleh sebab itu, Sunan Ampel menilai Raden
Patah layak untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Pulau Jawa. Untuk
mengumpulkan pengikut di Ngampeldenta, Sunan Ampel membangun sebuah tempat
(padepokan). Padepokan itu terletak di daerah Bintara yang kelak akan menjadi cikal
bakal kerajaan Demak Bintara. Demak Bintara lahir setelah Raden Patah mendapat
petunjuk dari Sunan Ngampel seperti dituliskan dalam kutipan berikut ini:
Raden Patah berjalan sesuai dengan pesan gurunya. Di sebuah hutan, ia
mencium bau yang amat harum. Bau yang berasal dari gelagah. Inilah tempat
yang yang dicarinya. Maka di sinilah ia mendirikan padepokannya. Dan
dinamainya tempat itu Bintara (Sindhunata, 2007: 28).
Di bawah pimpinan Raden Patah Bintara menjadi jaya dan terkenal sampai ke
seluruh pulau Jawa. Kabar kemasyuran Bintara itu pun sampai juga di telinga Prabu
Brawijaya. Prabu Brawijaya mengetahui bahwa Demak Bintara dipimpin oleh
anaknya sendiri. Maka dia mengutus Raden Kusen yang saat itu telah menjabat
sebagai seorang adipati di Terung untuk mengajak Raden Patah menghadap
kepadanya. Raden Kusen pun bergegas menemui kakaknya tersebut di Bintara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Setibanya di Bintara Raden Kusen membujuk Raden Patah untuk menghadap Prabu
Brawijaya di Majapahit.
Akhirnya setelah bujukan Raden Kusen berhasil, mereka berdua lalu pergi ke
Majapahit. Setibanya di Majapahit Raden Patah disambut dengan baik oleh Prabu
Brawijaya. Prabu Brawijaya bangga atas apa yang ditunjukkan oleh Raden Patah,
anaknya sendiri. Tak henti-hentinya pujian dilontarkan oleh Prabu Brawijaya
terhadap Raden Patah. Akhirnya, kerajaan Demak pun diakui kekuasaan oleh Prabu
Brawijaya setelah anaknya sendiri menghadap kepada dirinya (Prabu Brawijaya). Hal
tersebut terdeskripsikan dalam kutipan berikut ini :
Betapa girang hati Prabu Brawijaya, setelah ia melihat Raden Patah berada di
hadapannya. “Nyata bagus bocah iki, teka memper lawan panjenenganingsun
(Sungguh tampan anak ini, persis mirip dengan diri saya)”, kata sang raja
bangga. Maka Prabu Brawijaya memaklumkan, Raden Patah adalah anaknya.
Diakuinyalah kekuasaannya di Bintara. Malahan ia memujikan, kelak Bintara
akan besar dan menjadi negara bernama Demak. Dengan tulus ikhlas ia
diahadiahi pasukan berjumlah satu laksa (Sindhunata, 2007: 29).
Setelah menghadap dan mendapat pujian dari Prabu Brawijaya, Raden Patah
kembali ke Bintara. Dia tidak mabuk pujian dan tetap setia dengan komitmennya
untuk “mengislamkan” Majapahit. Dia malah menjadi semakin mantab dengan
niatnya tersebut. Kemudian dia menghadap Sunan Ngampel untuk mengutarakan
keinginannya itu. Sunan berusaha untuk menenangkan hati Raden Patah supaya ia
tidak terburu-buru mewujudkan niatnya tersebut.
Sunan Ampel memberikan nasihat bahwa apabila Raden Patah ingin
mewujudkan impiannya tersebut, berarti ia juga harus “mengislamkan” ayahnya juga
yaitu Prabu Brawijaya. Beliau mengingatkan Raden Patah supaya ia berpikir ulang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
dengan niatnya tersebut. Ia mengingatkan bahwa Prabu Brawijaya telah sangat baik
kepada dirinya dengan memberikan pengakuan terhadap berdirinya kerajaan yang
dipimpin oleh Raden Patah di Ngampeldenta. Salah satu nasehat Sunan Ampel
dijabarkan dalam kutipan berikut ini:
Sampai sekarang aku tak halangi untuk menyebarkan agama baru di Tanah
Jawa. Jika ayahmu belum ngrasuk agama kita, itu hanya karena Allah
Pangeran belum memperkenankannya. Janganlah kamu nggege mangsa,
tunggu sampai waktunya tiba, semuanya akan terlaksana dengan sendirinya
(Sindhunata, 2007:30).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa sebetulnya Sunan Ampel sudah merasa
yakin bahwa Raden Patah akan berusaha untuk “mengislamkan” Majapahit. Sunan
Ampel memilih untuk bersikap pragmatis dengan tidak menyetujui terlebih dahulu
keinginan Raden Patah tersebut. Ia mencoba untuk melihat situasi dan memanfaatkan
kondisi harmonis yang terjadi diantara Demak dan Majapahit. Hubungan yang
harmonis tersebut merupakan jalan yang aman tanpa harus mengadakan “perang”
dengan agama Hindu. Kemasyuran Raden Patah dan kerajaan Demak dinilai Sunan
Ampel sebagai credit point (nilai tambah) yang sangat berguna bagi proses
penyebaran agama Islam di tanah Jawa.
Demak yang sudah mendapat pengakuan secara resmi dari Majapahit seakan
mendapat angin segar merasa kian bebas untuk menyebarkan agama Islam di tanah
Jawa. Karena perkembangan kerajaan Demak yang tumbuh menjadi sebuah kerajaan
pusat penyebaran agama Islam, Raden Patah pun lupa dengan kewajibannya rutin
untuk menghadap Prabu Brawijaya. Seiring dengan kemajuan pesat yang dialami oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
keraajaan Demak, Raden Patah menjadi gelap mata dan sudah tidak lagi menganggap
Prabu Brawijaya sebagai rajanya lagi.
Hegemoni agama itu semakin nampak ketika imam pertama dari masjid
Demak adalah Sunan Bonang yang merupakan anak dari Raden Patah / Raden
Rahmat dari Ngampeldenta hasil pernikahannya dengan cucu Sunan Ampel yaitu
Nyai Ageng Mendaka (De Graaf- Pigeaud 1974: 53). Akan tetapi untuk
mengislamkan Majapahit, Demak tidak bisa berjuang sendiri. Demak membutuhkan
dukungan dari berbagai pihak supaya dapat menjadi lebih kuat dalam menghadapi
Majapahit, seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut ini:
Kecuali Adipati Terung, mereka adalah Bupati Madura, Arya Teja dari Tuban,
Bupati Sura Pringga, dan penguasa Giri. Mereka membawa semua pasukan
mereka dan pergi menyerang Majapahit (Sindhunata, 2007: 31).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Demak telah berhasil mendapatkan
dukungan dari berbagai pihak. Adipati Terung yang semula setia kepada raja
Brawijaya pun membelot kepada Demak. Demak yang menjelma menjadi kerajaan
Islam yang besar mulai menunjukkan kekuasannya di tanah Jawa. Raden Patah mulai
mantap untuk menyebarkan agama Islam sebagai agama baru di tanah Jawa.
Kemantapan Raden Patah ini sejalan dengan jangka (ramalan) yang telah ada
sebelumnya seperti kutipan di bawah ini:
Raden Patah tetap menolak untuk datang menghadap sang raja. Katanya
(Raden Patah) sudah menjadi jangka (ramalan) yang pasti terjadi, Demak
akan menjadi kerajaan baru, yang menjadi pusat tanah Jawa, dengan agama
yang baru pula (Sindhunata, 2007: 30).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Berdasarkan kutipan di atas Raden Patah menjadi semakin mantab untuk
menyebarkan agama Islam sebagai agama baru di tanah Jawa. Raden Patah bahkan
sudah tidak takut kepada Prabu Brawijaya yang merupakan raja Majapahit, kerajaan
yang menguasai tanah Jawa. Sesuai kutipan di atas, Raden Patah beranggapan bahwa
menyebarkan agama Islam sebagai agama baru di Jawa merupakan suatu kewajiban
dan untuk menggenapi jangka (ramalan) yang telah ada. Bahkan, Raden Patah berani
menganggap agama selain agama Islam adalah agama yang „kafir‟ (halaman 44).
Kemunculan agama baru (Islam) ini telah mendeskripsikan hegemoni Islam
terhadap Hindu, bahkan hal ini dipertegas oleh serangan Raden Patah terhadap
kekuasaan sang Ayah (Majapahit). Imbas lain dalam pergeseran corak kekuasaan ini
adalah berubahnya sistem sosial di Jawa, termasuk kaum Tionghoa. Hal ini berakibat
kepada kaum Tionghoa yang menjadi hidup dalam ketidaknyamanan. Kaum
Tionghoa merasa menjadi tidak sebebas dulu lagi untuk berinteraksi dengan
masyarakat pribumi seperti pada masa Prabu Brawijaya.
3.1.2.2 Hegemoni Politik Kerajaan Demak
Hegemoni politik merujuk pada pengertian bahwa masyarakat sipil yang
menentukan jalannya suatu negara melalui tangan suatu kelompok yang mendominasi
dengan seperangkat aturan hukum. Hukum dan aturan politik digunakan untuk
menjalankan suatu roda pemerintahan (Patria- Arif 2005: 133).
Kerajaan Demak di tangan Raden Patah berusaha untuk memperluas
kekuasaannya di pulau Jawa. Raden Patah dari Ngampeldenta adalah putera dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Prabu Brawijaya V yang berasal dari salah seorang selirnya yaitu Putri Cina. Kaum
Tionghoa pada masa kerajaan Demak dipaksa tunduk pada aturan yang telah dibuat
oleh kerajaan Demak. Pelarangan tersebut nampak dalam titah/ perintah Raden Patah
kepada kaum Tionghoa seperti dalam kutipan berikut ini:
“Tak ada lagi barongsai, samsi, liong atau leang-leong, serta wayang potehi
yang dulu pernah menghibur banyak orang, dan bahkan disukai juga oleh
orang-orang pribumi. Orang-orang Cina juga tidak mudah menjalankan ibadat
mereka di kelenteng-kelenteng”. (Sindhunata, 2007:110).
Berdasarkan kutipan di atas, titah Raden Patah menyatakan bahwa kaum
Tionghoa dilarang untuk menyelenggarakan akitivitas sosial budaya leluhur mereka
sendiri. Pelarangan ini merupakan bentuk dari kekuasaan politik yang telah diperoleh
Raden Patah setelah berhasil menaklukkan kerajaan Majapahit. Kaum Tionghoa
diarahkan oleh kerajaan Demak menjadi suatu golongan yang ekslusif sehingga dapat
menimbulkan kebencian serta stereotype oleh kalangan rakyat biasa.
Melalui hegemoni politik yang telah diperoleh Raden Patah, pihak penguasa
membuat stereotype terhadap Kaum Tionghoa. Stereotype terbentuk berdasarkan
suatu pendapat yang sudah ada sebelumnya kemudian diperkuat oleh pengamatan
pribadi secara sepintas dan biasanya berkonotasi negatif. Stereotype bisa
menumbuhkan fanatisme dan kecurigaan yang akhirnya akan semakin menutup diri
masing-masing kelompok dan memperkuat stereotype itu sendiri (Hariyono
:1994:57). Stereotipe ini tergambar dalam kutipan berikut ini:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
“Begitu terjadi pertikaian, orang Cina menjadi salah karena gila dagang
sehingga tak memberi kesempatan pada orang lain untuk berdagang”. (Sindhunata,
2007: 80).
Stereotype manusia Cina biasa disebutkan sebagai orang yang memiliki sikap
tertutup, angkuh, egoistis, dan materialistis. Tapi kadang-kadang menunjukkan sikap
ramah, murah hati, rajin, ulet, namun juga dengan mudah menghambur-hamburkan
materi, suka berpesta dan berspekulasi (Hariyono: 1994: 58).
Selain melalui pembuatan aturan pelarangan penyelenggaraan kegiatan sosial
budaya, kerajaan Demak dengan cerdik menggunakan hegemoni politik yang mereka
miliki dengan cara memperalat Raden Patah yang merupakan anak dari seorang kaum
Tionghoa untuk melawan ayahnya sendiri yaitu Prabu Brawijaya.
Raden Patah yang telah berhasil didoktrin oleh Sunan Ampel secara „tidak
sengaja‟ dijodohkan dengan sanak keluarganya sendiri. Dia diusahakan untuk
menjadi bagian dari keluarga guru agamanya tersebut. Di Ngampeldenta Raden Patah
menikah dengan cucu Sunan Ampel yaitu Nyai Ageng Mendaka, seperti yang
dijelaskan dalam kutipan berikut ini :
Sementara itu, Raden Patah tetap mendalami ilmunya di Ngampeldenta Sunan
Ngampeldenta kemudian mengambilnya menjadi menantu. Ia mengawinkan
Raden Patah dengan cucunya, Nyai Ageng Mendaka, anak Nyai Ageng
Manyura, putri sulungnya (Sindhunata, 2007: 28).
Setelah menikah kemudian Raden Patah menjadi lebih terlegitimasi dan lebih
aktif dalam penyebaran agama Islam. Raden Patah telah mendapat pengakuan dari
Sunan Ampel sendiri. Oleh sebab itu, Sunan Ampel menilai Raden Patah layak untuk
menyebarkan agama Islam ke seluruh pulau Jawa. Kerajaan Demak ingin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
melanggengkan hegemoni yang telah mereka miliki untuk selama-lama, meskipun
kekuasaan itu diperoleh dengan cara pertumpahan darah. Keadaan yang demikian
membuat kehidupan kaum Tionghoa menjadi tidak nyaman lagi.
Kerajaan Demak yang menebar konflik di bumi Majapahit berusaha untuk
lepas tangan atas apa yang mereka perbuat. Mereka berusaha untuk mencari pihak
yang layak dipersalahkan atas kekacauan yang terjadi. Kerajaan Demak
menggunakan kekuasaan politik yang mereka miliki. Oleh sebab itu, kerajaan Demak
menjadikan kaum Tionghoa sebagai tameng untuk melegitimasi perbuatannya.
Keadaan ini diperparah dengan sikap dan perilaku kaum Tionghoa yang
dianggap tidak sesuai dengan pandangan hidup Jawa. Kaum Tionghoa dirasa hanya
mau mementingkan dirinya sendiri dan kelompoknya. Hal tersebut ditunjukkan
dengan kutipan berikut ini:
Harta. Kekayaan. Pelit. Gila dagang. Apa salahnya orang Cina dengan itu
semuanya? Tidak, mereka tidak salah karena mereka memiliki harta,
kekayaan, pelit, dan gila dagang. Mereka bersalah, karena mereka lupa dan
tidak peduli, bahwa sewaktu-waktu mereka bisa disalhkan dan dikorbankan,
bila sedang terjadi pertikaian (Sindhunata, 2007: 80).
Perilaku kaum Tionghoa yang mementingkan dirinya sendiri membuat
mereka semakin menjadi terpinggirkan. Rasa toleransi terhadap kaum Tionghoa
menjadi hilang sehingga dengan mudah pihak penguasa menghasut rakyat untuk
membenci kaum Tionghoa. Berbagai propaganda dan hasutan yang diprakasai pihak
penguasa menemui titik temunya. Momentum kebencian kalangan bawah kaum Jawa
terhadap kaum Tionghoa dengan lihai dipergunakan oleh pihak penguasa untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
mengorbankan kaum Tionghoa sebagai kambing hitam atas kekacauan yang terjadi.
Hal tersebut dituliskan dalam kutipan berikut ini:
“Mudah, Sinuwun. Sekali lagi hamba katakan, itu sungguh mudah! Alihklan
saja segala kekerasan yang mau pecah itu kepada orang-orang Cina. Setelah
itu Sinuwun akan mengendalikan keadaan dengan lebih mudah” kata Patih
Wrenggono. Ia tersenyum tanpa perasaan (Sindhunata, 2007: 134).
Berdasarkan kutipan di atas terlihat jelas bahwa pihak penguasa berusaha
untuk menjadikan Kaum Tionghoa sebagai kambing hitam atas kekacauan yang
mereka perbuat. Pihak penguasa menghasut golongan rakyat Jawa untuk
menimbulkan api kebencian terhadap Kaum Tionghoa yang berada di dalam
ketakutan dan berhati- hati dalam beraktivitas.
Selain sebagai diposisikan sebagai kambing hitam Kaum Tionghoa
dideskripsikan memiliki harga diri di mata rakyat pribumi. Kaum Jawa dalam hal ini
direpresentasikan oleh kerajaan Demak menjadikan kaum Tionghoa layaknya sebuah
boneka mainan belaka. Kaum Tionghoa diperlakukan semena-mena oleh pihak
penguasa untuk menjadikan kaum Tionghoa sebagai “sapi perahan” seperti dalam
kutipan berikut ini:
“Mereka memang menjadi luar biasa kaya. Tapi mereka tidak ingat, bahwa
dengan demikian mereka ditaruh di titik rawan yang paling gawat. Ya, mereka
tidak sadar bahwa, mereka dijadikan sandaran yang enak bagi keluarga dan
pengikut Prabu Amurco Sabdo dalam menambah nikmat. Mereka bangga,
karena mau bekerja keras, padahal keringat mereka sedang diperas.
Kelihatannya mereka kaya, dan hidup mewah padahal diam-diam mereka
habis-habisan diperah” (Sindhunata, 2007: 104).
Harga diri kaum Tionghoa yang sudah tidak ada lagi di mata rakyat pribumi.
Eksistensi Kaum Tionghoa dalam kehidupan masyarakat pribumi menjadi tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
terlihat lagi. Strata sosial kaum Tionghoa yang dahulunya menjadi golongan yang
dipandang dalam sistem sosial masyarakat pribumi menjadi tidak dihiraukan. Kaum
Tionghoa menjadi tidak berpengaruh lagi dan hal ini merupakan dampak dari
politisasi yang dilakukan oleh penguasa Medang Kamulan.
Kedudukan kaum Tionghoa yang telah lemah di hadapan rakyat memudahkan
pihak penguasa untuk memperlakukan kaum Tionghoa sesuai dengan kehendak
penguasa. Kaum Tionghoa menjadi “kambing hitam” ketika keadaan politik di
kerajaan tidak stabil seperti kutipan di bawah ini:
“Senapati, kuakui memang aku memberi kesempatan kepada orang-orang
Cina. Kuakui mereka telah banyak membantu aku dengan kekayaan mereka.
Kupuji mereka sebagai orang-orang yang mau bekerja keras. Semata-mata
hanya supaya kekayaan mereka bisa kuperas. Sementara kubiarkan mereka
terus menumpuk harta, dan menjadi semakin kaya, menuruti keserakahan
mereka. Dengan demikian mereka menjadi kelompok yang menimbulkan
kecemburuan dan iri. Kecemburuan dan keirian terhadap mereka itu sudah ada
di dalam diri rakyat negeri ini. Sekarang, negeri ini sedang dilanda kekacauan.
Kalau menyulut api kebencian dan keiirian terhadap orang Cina itu adalah
satu-satunya jalan dan celah untuk menyelamatkan negeri ini dari kekacauan,
mengapa hal itu tidak kita kerjakan?” kata Prabu Amurco Sabdo”
(Sindhunata, 2007:135).
Berdasarkan kutipan di atas, Kaum Tionghoa menjadi “Kambing hitam”
untuk menyelamatkan keadaan kerajaan Medang Kamulan dari kekacauan. Kaum
Tionghoa dimanfaatkan oleh Prabu Amurco Sabdo untuk menstabilkan kembali
keadaan politik di Medang Kamulan. Prabu Amurco Sabdo tidak lagi mempedulikan
kehidupan kaum Tionghoa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
3.1.2.3 Hegemoni Ekonomi Kerajaan Demak
Hegemoni ekonomi digunakan untuk mempengaruhi aktivitas suatu negara
dan masyarakat. Ekonomi dijadikan alat negara untuk memperoleh legitimasi negara
di mata masyarakat (Patria-Arif 2005: 136).
Kaum Tionghoa yang mayoritas bekerja sebagai pedagang menjadi seperti
sapi perahan. Mereka hanya dianjurkan untuk berdagang dan berdagang saja demi
kemakmuran kerajaan. Akibatnya kaum Tionghoa terkesan menjadi kelompok yang
eksklusif di mata rakyat kecil seperti dalam kutipan berikut ini:
“Harta. Kekayaan. Pelit. Gila dagang. Apa salahnya orang Cina dengan itu
semua ? Tidak, mereka tidak salah karena mereka memiliki harta, kekayaan,
pelit dan gila dagang. Mereka bersalah, karena mereka lupa dan tidak peduli,
bahwa sewaktu-waktu mereka bisa disalahkan dan dikorbankan, bila sedang
terjadi pertikaian”. (Sindhunata, 2007: 80).
Ekslusivitas kaum Tionghoa tersebut memang sengaja diciptakan oleh pihak
kerajaan untuk menutupi pertikaian yang terjadi di kalangan elit kerajaan. Hal ini
bertujuan apabila sewaktu-waktu terjadi kekacauan dalam pemerintahan, kaum
Tionghoa akan menjadi pihak yang akan dikorbankan. Pihak kerajaan berusaha untuk
menggiring opini masyarakat agar memandang kaum Tionghoa sebagai golongan
yang mewah dan bergaya hidup tinggi.
Akibat dari keekslusifan kaum Tionghoa dalam struktur sosial masyarakat
Demak, pihak elit kerajaan Demak dengan mudah dapat menggunakan kaum
Tionghoa sebagai perisai atas kekacauan sistem pemerintahan di kerajaan Demak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Kaum Tinghoa yang gila dagang memungkinkan mereka untuk memonopoli
kehidupan ekonomi. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini:
“Begitu pecah pertikaian, orang Cina menjadi salah karena gila dagang, sehingga
tak memberi kesempatan pada orang lain untuk juga berdagang” (Sindhunata, 2007:
80).
Kaum Tionghoa yang telah memonopoli kehidupan ekonomi kerajaan Demak
menjadikan kaum Tionghoa leluasa memegang kendali atas keadaan perekonomian di
kerajaan Demak khususnya dalam lingkungan masyarakatnya. Ini mendeskripsikan
jika Kaum Tionghoa didskripsikan sebagai bangsa yang kaya secara materil. Akan
tetapi, Kaum Tionghoa tidak memiliki hak monopoli yang melawati batas teritorial
ekonomi kerajaan Demak. Hal ini berdampak kepada hak politik Kaum Tionghoa
yang tidak dapat menjaga kekayaan materilnya karena dominasi hak ekonomi yang
dikuasai oleh kerajaan Demak (bangsa jawa).
3.1.2.4 Hegemoni Budaya Kerajaan Demak
Kekuasaan yang dimiliki oleh keraajaan Demak juga telah mampu mengatur
aspek kehidupan dan adat-istiadat kaum Tionghoa. Kerajaan Demak melarang
penyelenggaraan kegiatan budaya leluhur kaum Tionghoa. Kejadian tersebut tampak
dalam kutipan berikut ini:
“Tak ada lagi barongsai, samsi, liong atau leang-leong, serta wayang potehi
yang dulu pernah menghibur banyak orang, dan bahkan disukai juga oleh
orang-orang pribumi. Orang-orang Cina juga tidak mudah menjalankan ibadat
mereka di kelenteng-kelenteng. Bahkan mereka tidak diperbolehkan
merayakan tahun baru Cina. Orang Cina yang nekat terpaksa merayakan tahun
barunya dengan sembunyi-sembunyi”(Sindhunata 2007:110).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa kaum Tionghoa dilarang untuk
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan budaya mereka sendiri.
Kerajaan Demak dengan segala otoritasnya tidak memperbolehkan kaum Tionghoa
untuk tetap melestarikan budaya leluhur mereka sendiri.
Kaum Tionghoa dengan segala keterbatasannya berusaha untuk tetap hidup
rukun berdampingan dengan kaum Jawa sebagai golongan minoritas di tanah Jawa.
Akan tetapi, kaum Jawalah (kerajaan Demak) yang tidak mau bertoleransi kepada
mereka. Kerajaan Demak berusaha untuk merepresi kaum Tionghoa. Kehausan
kerajaan Demak atas kekuasaan telah mengakibatkan kaum Tionghoa sebagai pihak
yang dipersalahkan.
Sikap represif kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa juga disesalkan oleh
Putri Cina. Putri Cina sebagai ibu dari Raden Patah merasa sedih dengan apa yang
dilakukan oleh Raden Patah terhadap Kaum Tionghoa leluhurnya sendiri. Hal
tersebut digambarkan dalam kutipan berikut ini:
“Sungguh sedihlah hati Putri Cina memikirkan itu semua. Ia merasa ikut
bersalah, karena dialah ibunda Raden Patah. Hidup manusia memang harus
berubah. Karena itu sejarah juga senantiasa berubah, seperti yang sekarang
dibuat Raden Patah. Tapi mestikah ini semua membuat adat-istiadat
menghormati orang tua yang diwarisinya dari Cina juga ikut patah? Akankah
perbuatan yang salah ini kelak membuat hidupnya sendiri terkena musibah?
Mana lagi inti dan pokok hidup yang bisa membuatnya bahagia, jika hormat
pada orangtua sudah bubrah?” (Sindhunata, 2007:37).
Berdasarkan kutipan di atas, sikap dan perbuatan Raden Patah terhadap kaum
Tionghoa disayangkan oleh Putri Cina. Raden Patah sudah tidak mempedulikan lagi
adat-istiadat Cina untuk menghormati orang tua. Putri Cina khawatir bila nanti apa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
yang telah dilakukan oleh Raden Patah menjadi efek yang tidak baik bagi kehidupan
kaum Tionghoa di tanah Jawa. Kutipan di atas dapat dianggap sebagai dominasi
budaya Jawa dalam hal ini budaya Islam dalam diri Raden Patah, seorang Tionghoa
yang lebih memilih melanggar budaya Tionghoa, yaitu penghormatan kepada
orangtua.
Kaum tionghoa menjadi terasing di dalam kehidupan masyarakat Demak.
Mereka (kaum Tionghoa) harus tunduk kepada pihak kerajaan Demak yang
mengubah tatanan kehidupan sosial. Salah satu dari perubahan tatanan sosial tersebut
adalah penggantian nama kaum Tionghoa menjadi nama pribumi seperti dalam
kutipan berikut ini:
“Memang sejak Prabu Amurco Sabdo menggulingkan penguasa sebelumnya
seperti Ajisaka menggulingkan Dewata Cengkar, orang-orang Cina dilarang
menjalankan kebudayaannya. Nama merekapun harus diganti dengan nama
pribumi asli. Dihapuslah nama-nama Cina di Tanah Jawa ini. Padahal
tidakkah nama itu adalah warisan yang mereka terima turun-temurun ? Dan
dalam nama itu mereka menyimpan siapa diri mereka sesungguhnya ? Apa
artinya mereka kaya, jika mereka tiada lagi bernama ?” (Sindhunta,
2007:110).
Berdasarkan kutipan di atas, kaum Tionghoa dilarang untuk menggunakan
nama asli mereka dan menggantinya dengan nama pribumi. Hal ini berakibat pada
hilangnya identitas budaya asli kaum Tionghoa. Penyeragaman nama kaum Tionghoa
mengakibatkan kaum pribumi sama dengan kaum Tionghoa sehingga mereka (kaum
Tionghoa) tidak mempunyai identitas budaya asli (Budaya Tionghoa).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci, yaitu hegemoni
total (integral), hegemoni yang merosot (decandent), dan hegemoni yang minimum.
Hegemoni integral ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas.
Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh.Ini
tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dan yang diperintah.
Hegemoni total (integral) Gramsci dalam kaitannya dengan analisis dominasi
dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina
karya Sindhunata tampak ketika kerajaan Demak telah berhasil menguasai kerajaan
Majapahit sepenuhnya. Demak yang telah menjadi penguasa tunggal tanah Jawa
menggantikan Majapahit di bawah pimpinan Prabu Brawijaya V. Seluruh rakyat baik
yang belatar belakang agama Islam maupun tidak (termasuk kaum Tionghoa) tunduk
kepada kerajaan Demak di bawah pimpinan Raden Patah.
Kepatuhan itu ditunjukkan dengan tidak adanya perlawanan oleh kaum
Tionghoa terhadap segala pelarangan aktivitas sosial budaya kaum Tionghoa. Kaum
Tionghoa dilarang untuk melakukan untuk melakukan kegiatan-kegiatan adat-istiadat
mereka seperti pertunjukkan barongsai, liong juga samsi. Kaum tionghoa menjadi
terasing di dalam kehidupan masyarakat Demak. Mereka (kaum Tionghoa) harus
tunduk kepada pihak kerajaan Demak yang mengubah tatanan kehidupan sosial.
Salah satu dari perubahan tatanan sosial tersebut adalah penggantian nama kaum
Tionghoa menjadi nama pribumi seperti dalam kutipan berikut ini:
“Memang sejak Prabu Amurco Sabdo menggulingkan penguasa sebelumnya
seperti Ajisaka menggulingkan Dewata Cengkar, orang-orang Cina dilarang
menjalankan kebudayaannya. Nama merekapun harus diganti dengan nama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
pribumi asli. Dihapuslah nama-nama Cina di Tanah Jawa ini. Padahal
tidakkah nama itu adalah warisan yang mereka terima turun-temurun ? Dan
dalam nama itu mereka menyimpan siapa diri mereka sesungguhnya ? Apa
artinya mereka kaya, jika mereka tiada lagi bernama ?” (Sindhunta,
2007:110).
Berdasarkan kutipan di atas, kaum Tionghoa dilarang untuk menggunakan
nama asli mereka dan menggantinya dengan nama pribumi. Hal ini berakibat pada
hilangnya identitas budaya asli kaum Tionghoa. Penyeragaman nama kaum Tionghoa
mengakibatkan kaum pribumi sama dengan kaum Tionghoa sehingga mereka (kaum
Tionghoa) tidak mempunyai identitas budaya asli (Budaya Tionghoa).
Hegemoni yang merosot (decandent) adalah suatu keadaan ketika sistem yang
ada telah memenuhi kebutuhan atau sasarannya Suatu kelompok massa tidak selaras
dengan pemikiran yang dominan dari subjek hegemoni. Hegemoni merosot kerajaan
Demak terhadap kaum Tionghoa ditunjukkan oleh rasa tidak nyaman yang dirasakan
oleh kaum Tionghoa atas kebijakan yang telah dibuat oleh Raden Patah. Kaum
Tionghoa sudah tidak merasakan kehidupan yang aman dan tentram lagi setelah
Majapahit jatuh ke tangan Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah.
Kaum Tionghoa dengan segala keterbatasannya berusaha untuk tetap hidup
rukun berdampingan dengan kaum Jawa sebagai golongan minoritas di tanah Jawa.
Akan tetapi, kaum Jawalah (kerajaan Demak) yang tidak mau bertoleransi kepada
mereka. Kerajaan Demak berusaha untuk merepresi kaum Tionghoa. Kehausan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
kerajaan Demak atas kekuasaan telah mengakibatkan kaum Tionghoa sebagai pihak
yang dipersalahkan.
Sikap represif kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa juga disesalkan oleh
Putri Cina. Putri Cina sebagai ibu dari Raden Patah merasa sedih dengan apa yang
dilakukan oleh Raden Patah terhadap Kaum Tionghoa leluhurnya sendiri. Hal
tersebut digambarkan dalam kutipan berikut ini:
“Sungguh sedihlah hati Putri Cina memikirkan itu semua. Ia merasa ikut
bersalah, karena dialah ibunda Raden Patah. Hidup manusia memang harus
berubah. Karena itu sejarah juga senantiasa berubah, seperti yang sekarang
dibuat Raden Patah. Tapi mestikah ini semua membuat adat-istiadat
menghormati orang tua yang diwarisinya dari Cina juga ikut patah? Akankah
perbuatan yang salah ini kelak membuat hidupnya sendiri terkena musibah?
Mana lagi inti dan pokok hidup yang bisa membuatnya bahagia, jika hormat
pada orangtua sudah bubrah?” (Sindhunata, 2007:37).
Berdasarkan kutipan di atas, sikap dan perbuatan Raden Patah terhadap kaum
Tionghoa disayangkan oleh Putri Cina. Raden Patah sudah tidak mempedulikan lagi
adat-istiadat Cina untuk menghormati orang tua. Putr
Hegemoni minimum adalah kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis,
dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap
campur tangan massa dalam hidup bernegara. Dalam kaitannya dengan analisis novel
Putri Cina hegemoni minimum ditunjukkan oleh kediktatoran Raden Patah yang
dirasakan sudah tidak lagi memandang kaun Tionghoa sebagai bagian dari rakyat
kerajaan Demak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Kaum Tionghoa merasa terasing dan hanya dijadikan kambing hitam atas
kekacauan yang terjadi menjelang runtuhnya kerajaan Demak. Kekacauan yang
timbul akibat ketamakan Raden Patah mengakibatkan terjadinya chaos di kerajaan
Demak.
3.3 Rangkuman
Berdasarkan analisis di atas, terlihat bahwa kerajaan Demak berperan aktif
dalam dominasi dan hegemoni terhadap kaum Tionghoa. Dominasi kerajaan Demak
terhadap kaum Tionghoa mulai nampak sejak Demak dikuasai oleh Raden Patah (Jin
Bun). Raden Patah merupakan anak dari Prabu Brawijaya. Demak yang sebelumnya
merupakan daerah di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit berubah menjadi daerah
yang maju di bawah pimpinan Raden Patah. Sebelumnya Demak hanya merupakan
sebuah daerah kekuasaan Majapahit seperti daerah-daerah kekuasaan lain yang
dimiliki oleh kerajaan Majapahit. Proses dominasi kerajaan Demak terhadap kaum
Tionghoa diawali dengan pendirian Demak menjadi kerajaan Demak.
Hegemoni agama kerajaan Demak di mulai ketika Raden Patah mendirikan
kerajaan Demak. Kerajaan Demak lahir karena Raden Patah saat itu sedang dalam
perjalanan ke Pulau Jawa bersama dengan adik tirinya yaitu Raden Kusen untuk
menghadap Prabu Brawijaya V sebagai kewajibannya atas telah diberikannya
kekuasaan di Palembang. Di dalam perjalanan mereka menuju Majapahit, mereka
bertemu dengan seseorang tokoh agama Islam yang kemudian dikenal dengan Sunan
Ampel (Bong Swi Hoo) di daerah Ngampeldenta. Di sana mereka berdua memeluk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
agama baru yaitu agama Islam. Demak yang sudah mendapat pengakuan secara resmi
dari Majapahit seakan mendapat angin segar merasa kian bebas untuk menyebarkan
agama Islam di tanah Jawa. Karena perkembangan kerajaan Demak yang tumbuh
menjadi sebuah kerajaan pusat penyebaran agama Islam, Raden Patah pun lupa
dengan kewajibannya rutin untuk menghadap Prabu Brawijaya. Seiring dengan
kemajuan pesat yang dialami oleh kerajaan Demak, Raden Patah menjadi gelap mata
dan sudah tidak lagi menganggap Prabu Brawijaya sebagai rajanya lagi. Hegemoni
itu semakin nampak ketika Imam pertama dari masjid Demak adalah Sunan Bonang
yang merupakan anak dari Raden Patah / Raden Rahmat dari Ngampeldenta hasil
pernikahannya dengan cucu Sunan Ampel yaitu Nyai Ageng Mendaka.
Hegemoni agama Kerajaan Majapahit ditandai dengan proses islamisasi
penduduk Majapahit yang sebelumnya memeluk agama Hindhu. Proses islamisasi
tersebut tidak terlepas dari kekalahan perang Majapahit dari Demak.
Hegemoni politik Kerajaan Demak Kaum Tionghoa pada masa kerajaan
Demak tampak ketika kaum Tionghoa dipaksa tunduk pada aturan yang telah dibuat
oleh kerajaan Demak. Kerajaan Demak membuat aturan mengenai pelarangan
kegiatan sosial budaya Kaum Tionghoa. Hegemoni politik kerajaan Majapahit
tampak pada usaha penguasa yang menjadikan kaum Tionghoa sebagai tameng atas
kekacauan yang terjadi di Majapahit. Kekacauan tersebut disebabkan oleh perubahan
aturan yang mempengaruhi kehidupan kaum Tionghoa. Kaum Tionghoa dipaksa
untuk memeluk agama Islam yang disebarkan di Majapahit setelah kepimpinan pasca
Prabu Brawijaya V.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Hegemoni ekonomi kerajaan Demak terdeskripsikan pada saat kaum
Tionghoa yang mayoritas bekerja sebagai pedagang menjadi sapi perahan. Kaum
Tionghoa hanya dianjurkan untuk berdagang dan berdagang saja demi kemakmuran
kerajaan. Akibatnya, kaum Tionghoa terkesan menjadi kelompok yang eksklusif di
mata rakyat kecil. Hegemoni kerajaan Majapahit di bidang ekonomi terdeskripsikan
ketika kehidupan ekonomi kaum Tionghoa yang dulu makmur dan teratur telah
berubah menjadi tidak teratur. Aktivitas mayoritas kaum Tionghoa yang berprofesi
sebagai pedagang otomatis terhenti. Rakyat melakukan penjarahan dan pengerusakan
terhadap aset yang dimiliki oleh kaum Tionghoa.
Hegemoni budaya kerajaan Demak kaum terdeksripsikan ketika kaum
Tionghoa dilarang untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
budaya mereka sendiri. Kerajaan Demak dengan segala otoritasnya tidak
memperbolehkan kaum Tionghoa untuk tetap melestarikan budaya leluhur mereka
sendiri. Berdasarkan hasil analisis penulis, tidak terdapat hegemoni budaya yang
dilakukan oleh kerajaan Majapahit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis di atas, maka peneliti menarik
kesimpulan bahwa novel Putri Cina karya Sindhunata memiliki penggambaran
mengenai dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa.
Dominasi dan hegemoni tersebut terjadi karena keadaan sosial pada jaman
kerajaan Demak yang penuh dengan intrik politik. Intrik politik di dalam novel
Putri Cina dijabarkan melalui dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap
kaum Tionghoa yang menyebabkan kaum Tionghoa sebagai kambing hitam
(pihak yang dikorbankan) guna memuluskan ambisi elit politik kerajaan Demak
yang haus akan kekuasaan.
Dalam bab II penulis terlebih dahulu melakukan analisis struktural atau
analisis unsur intrinsik sebelum menganalisis dominasi dan hegemoni kerajaan
Demak terhadap kaum Tionghoa. Penulis memfokuskan analisis strukturnya
hanya pada analisis alur dan tokoh yang ada dalam novel Putri Cina. Hal ini
karena alur dan tokoh ceritalah yang sangat potensial menggambarkan peristiwa
kekuasaan politik kaum Jawa terhadap kaum Tionghoa. Struktural Alur cerita
dalam novel Putri Cina adalah alur campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi,
tidak berjalan secara kronologis. Dalam menganalisis alur, peneliti memaparkan
jalan cerita secara berurutan, sehingga mempermudah peneliti untuk menganalisis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
konflik. Konflik utama dalam novel Putri Cina adalah kedatangan pasukan dari
Demak yang dipimpin oleh Raden Patah dan Raden Kusen untuk menyerang
Majapahit. Setelah Demak berhasil menaklukkan Majapahit segala tatanan
kehidupan menjadi berubah. Kaum Tionghoa yang dulunya hidup harmonis
menjadi pihak yang dikambinghitamkan atas ketamakan pihak penguasa yang
berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya tersebut.
Dalam bab III, penulis menganalisis peranan kerajaan Demak dalam
kaitannya dengan dominasi dan hegemoni terhadap kaun Tionghoa di dalam novel
Putri Cina. Dominasi kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa mulai nampak
sejak Demak dikuasai oleh Raden Patah (Jin Bun). Raden Patah merupakan anak
dari Prabu Brawijaya. Demak yang sebelumnya merupakan daerah di bawah
kekuasaan kerajaan Majapahit berubah menjadi daerah yang maju di bawah
pimpinan Raden Patah. Sebelumnya Demak hanya merupakan sebuah daerah
kekuasaan Majapahit seperti daerah-daerah kekuasaan lain yang dimiliki oleh
kerajaan Majapahit. Proses dominasi kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa
diawali dengan pendirian Demak menjadi kerajaan Demak. Raden Patah yang
menjadi abdi kerajaan Majapahit mendirikan kerajaan Demak yang berlatar
belakang agama Islam.
Hegemoni agama kerajaan Demak di mulai ketika Raden Patah
mendirikan kerajaan Demak. Kerajaan Demak lahir karena Raden Patah saat itu
sedang dalam perjalanan ke Pulau Jawa bersama dengan adik tirinya yaitu Raden
Kusen untuk menghadap Prabu Brawijaya V sebagai kewajibannya atas telah
diberikannya kekuasaan di Palembang. Di dalam perjalanan mereka menuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Majapahit, mereka bertemu dengan seseorang tokoh agama Islam yang kemudian
dikenal dengan Sunan Ampel (Bong Swi Hoo) di daerah Ngampeldenta. Di sana
mereka berdua memeluk agama baru yaitu agama Islam. Demak yang sudah
mendapat pengakuan secara resmi dari Majapahit seakan mendapat angin segar
merasa kian bebas untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Hegemoni
agama Kerajaan Majapahit ditandai dengan proses islamisasi penduduk Majapahit
yang sebelumnya memeluk agama Hindhu. Proses islamisasi tersebut tidak
terlepas dari kekalahan perang Majapahit dari Demak.
Hegemoni politik Kerajaan Demak tampak ketika kaum Tionghoa dipaksa
tunduk pada aturan yang telah dibuat oleh kerajaan Demak. Kerajaan Demak
membuat aturan mengenai pelarangan kegiatan sosial budaya Kaum Tionghoa.
Hegemoni politik kerajaan Majapahit tampak pada usaha penguasa yang
menjadikan kaum Tionghoa sebagai tameng atas kekacauan yang terjadi di
Majapahit. Kekacauan tersebut disebabkan oleh perubahan aturan yang
mempengaruhi kehidupan kaum Tionghoa. Kaum Tionghoa dipaksa untuk
memeluk agama Islam yang disebarkan di Majapahit setelah kepimpinan pasca
Prabu Brawijaya V.
Hegemoni ekonomi kerajaan Demak terdeskripsikan pada saat Kaum
Tionghoa yang mayoritas bekerja sebagai pedagang menjadi sapi perahan. Kaum
Tionghoa hanya dianjurkan untuk berdagang dan berdagang saja demi
kemakmuran kerajaan. Akibatnya kaum Tionghoa terkesan menjadi kelompok
yang eksklusif di mata rakyat kecil. Hegemoni kerajaan Majapahit di bidang
ekonomi terdeskripsikan ketika kehidupan ekonomi kaum Tionghoa yang dulu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
makmur dan teratur telah berubah menjadi tidak teratur. Aktivitas mayoritas kaum
Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang otomatis terhenti. Rakyat melakukan
penjarahan dan pengerusakan terhadap aset yang dimiliki oleh kaum Tionghoa.
Hegemoni budaya kerajaan Demak kaum terdekripsikan ketika kaum
Tionghoa dilarang untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan budaya mereka sendiri. Kerajaan Demak dengan segala otoritasnya tidak
memperbolehkan kaum Tionghoa untuk tetap melestarikan budaya leluhur mereka
sendiri. Berdasarkan hasil analisis penulis, tidak terdapat hegemoni budaya yang
dilakukan oleh kerajaan Majapahit.
Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci, yaitu hegemoni
total (integral), hegemoni yang merosot (decandent), dan hegemoni yang
minimum. Hegemoni integral ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati
totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang
kokoh.Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dan yang diperintah.
Hegemoni total (integral) Gramsci dalam kaitannya dengan analisis
dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa dalam novel
Putri Cina karya Sindhunata tampak ketika kerajaan Demak telah berhasil
menguasai kerajaan Majapahit sepenuhnya. Demak yang telah menjadi penguasa
tunggal tanah Jawa menggantikan Majapahit di bawah pimpinan Prabu Brawijaya
V. Seluruh rakyat baik yang belatar belakang agama Islam maupun tidak
(termasuk kaum Tionghoa) tunduk kepada kerajaan Demak di bawah pimpinan
Raden Patah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Hegemoni merosot kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa ditunjukkan
oleh rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh kaum Tionghoa atas kebijakan yang
telah dibuat oleh Raden Patah. Kaum Tionghoa sudah tidak merasakan kehidupan
yang aman dan tentram lagi setelah Majapahit jatuh ke tangan Demak di bawah
kepemimpinan Raden Patah.
Kaum Tionghoa dengan segala keterbatasannya berusaha untuk tetap
hidup rukun berdampingan dengan kaum Jawa sebagai golongan minoritas di
tanah Jawa. Akan tetapi, kaum Jawalah (kerajaan Demak) yang tidak mau
bertoleransi kepada mereka. Kerajaan Demak berusaha untuk merepresi kaum
Tionghoa. Kehausan kerajaan Demak atas kekuasaan telah mengakibatkan kaum
Tionghoa sebagai pihak yang dipersalahkan.
Hegemoni minimum dalam kaitannya dengan analisis novel Putri Cina
hegemoni minimum ditunjukkan oleh kediktatoran Raden Patah yang dirasakan
sudah tidak lagi memandang kaun Tionghoa sebagai bagian dari rakyat kerajaan
Demak. Kaum Tionghoa merasa terasing dan hanya dijadikan kambing hitam atas
kekacauan yang terjadi menjelang runtuhnya kerajaan Demak. Kekacauan yang
timbul akibat ketamakan Raden Patah mengakibatkan terjadinya chaos di kerajaan
Demak.
Dari analisis yang dilakukan, penulis dapat menyimpulkan bahwa
hegemoni yang terjadi pada para tokoh dalam novel Putri Cina terjadi karena
ketamakan kerajaan Demak terhadap kekuasaan. Kaum Tionghoa menghadapi
kekerasan dan pembunuhan bahkan pemerkosaan. Keadilan terhadap kaum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Tionghoa sengaja diabaikan karena pihak penguasa sibuk mengurusi urusan
kekuasaan mereka masing-masing. Pihak yang berkuasa lebih mementingkan
tahta mereka daripada mengurusi kehidupan rakyatnya. Akibatnya rakyat menjadi
kehilangan arah, dan dengana mudah dapat dihasut oleh pihak yang mengambil
keuntungan pribadi dari kekacauan yang ditimbulkan.
5.2 Saran
Novel Putri Cina ini masih memiliki banyak permasalahan yang dapat
digunakan untuk penelitian. Novel Putri Cina ini dapat diteliti lagi dengan
mengunakan pendekatan historis maupun dengan pendekatan psikologi sastra.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
DAFTAR PUSTAKA
De, Graaf.H.J. dan Th.G.Pigeaud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa :
Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: PT. Temprint.
Dewi, Novita. 2008. Putri Pewarta Perdamaian: Kajian Atas Putri Cina Karya
Sindhunata. Dalam jurnal ilmiah kebudayaan. Sintesis, Vol 6. No.1,
hlm. 40-49.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai
Post-Modernisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hariyono, P.1994. Kultur Cina dan Jawa : Pemahaman Menuju Asimilasi
Kultural. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Hartiningsih, Maria. 2007. “Pergumulan Menguak Identitas”. Harian Kompas, 23
September 2007, hlm 11.
Mulyana, Slamet. 2008. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS.
_______________. 2009. Tafsir sejarah Nagara Kertagama. Yogyakarta: LKiS.
Nurgiyantoro, Burhan.2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutrisno, Mudji dan Putranto Hendar. 2013. Teori- teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Sindhunata. 2006. Kambing Hitam : Teori Rene Girard. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Sindhunata. 2007.Putri Cina. Jakarta: Gramedia.
Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Menganalisis Karya Sastra. Stable URL:
http://inongelistia.blogspot.com/2012/04/sosiologi-sastra-sebagai-
pendekatan.html. Diakses tanggal 20 April 2009 pukul 20.00 WIB.
Singgalingging,Hendra. 2009. Citra Agama Hindu-Buddha dan Agama Islam
dalam Novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer : Analisis
Strukturalisme Genetik. Skripsi.Yogyakarta.
Suka. I. Ginting. 2012. Dominasi dalam Prespektif Teori Kritis. Dalam jurnal
ilmiah kebudayaan PUSTAKA, Vol. XII. No. 1 hlm 41-51.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Sudaryanto.1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa (Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan secara Linguistik). Yogyakarta: Duta Wacana
Press.
Sugiharto, Bambang. 2008. “Putri Cina: Semacam Genealogi Kekerasan”. BASIS,
Januari-Februari 2008 hlm. 43.
Sumardjo, Yacob. 1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: CV. Nur
Cahaya.
Supelli, Karlina. 2008. “Putri Cina: Tragedi dan Transendensi”. BASIS, Januari-
Februari 2008, hlm.35.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yudiono, K.S. 1986. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI