preskes obsgyn_kpd sofina
TRANSCRIPT
Presentasi Kasus
Ketuban Pecah Dini 8 jam Pada Multigravida Hamil
Postdate Belum Dalam Persalinan dengan Riwayat Seksio
Sesarea 6 Tahun yang Lalu
Oleh :
Riska Kusuma G 0007037
Marscha Iraditya G 0007101
Avionita Rhma D. P. G 9911112027
Sofina Kusnadi G 9911112132
Dian Kartika G 9911112051
An Afida Ashla G 0003044
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2012
KETUBAN PECAH DINI 8 JAM PADA MULTIGRAVIDA HAMIL
POSTDATE BELUM DALAM PERSALINAN DENGAN RIWAYAT
SEKSIO SESAREA 6 TAHUN YANG LALU
Abstrak
Ketuban Pecah Dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Pada persalinan yang normal, ketuban pecah pada fase aktif. Pada KPD kantung ketuban pecah sebelum fase aktif. Insidensi KPD berkisar antara 8 - 10 % dari semua kehamilan dan lebih banyak terjadi pada kehamilan yang cukup bulan daripada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 %, sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan terjadi sekitar 34 % semua kelahiran prematur.
Dasar diagnosis KPD dapat diketahui melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan ginekologis serta pemeriksaan penunjang. KPD dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin, diantaranya: prematuritas, infeksi, sindrom deformitas janin, hipoksia, asfiksia, prolaps tali pusat, dan malpresentasi.
Dalam hal ini, akan dibahas kasus tentang KPD 8 jam pada seorang G3P1A1, 33 tahun, umur kehamilan 41 minggu, riwayat fertilitas baik, riwayat obstetri jelek, riwayat seksio sesarea 6 tahun yang lalu, dengan keluhan air kawah keluar sejak ± 8 jam yang lalu, kenceng-kenceng teratur belum dirasakan. Pada pemeriksaan fisik teraba janin tunggal, intrauterina, memanjang, punggung di kanan, presentasi kepala, kepala masuk panggul > 1/3 bagian, kepala turun di Hodge I-II, TFU 34 cm, Taksiran Berat Janin : 3560 gram, DJJ (+) reguler, HIS (-) 1-2X/10 menit/10”-20”, Ø= (-) cm, penunjuk belum dapat dinilai, kulit ketuban (-), air ketuban (+) jernih dan tidak berbau, sarung tangan lendir darah (-). Tekanan darah 120/80 mmHg dan suhu 36,5ºC. Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hemoglobin 9,7 g/dl. Penatalaksanaan pada kasus ini dilakukan terapi bedah re-seksio sesarea. Kata kunci : ketuban pecah dini,seksio sesarea, manajemen
BAB I
PENDAHULUAN
Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion
dan korion yang sangat erat ikatannya. Lapisan ini terdiri atas beberapa sel
seperti sel epitel, sel mesenkim, dan sel trofoblas yang terikat erat dalam
matriks kolagen. Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air ketuban dan
melindungi janin terhadap infeksi.
Dalam keaadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses
persalinan. Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput
ketuban sebelum persalinan. Bila KPD terjadi sebelum usia 37 minggu
disebut KPD pada kehamilan prematur. Dalam keadaan normal 8-10%
perempuan hamil aterm akan mengalami KPD. KPD sering kali
menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan morbiditas dan
mortalitas pada ibu maupun bayi terutama kematian perinatal yang cukup
tinggi (Smith, 2001; Bruce, 2002).
Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses
biokimia yang terjadi dalam kolagen matrik ekstraseluler amnion, korion,
dan apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhadap
stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan memproduksi
mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormon yang
merangsang aktivitas “matrix degrading enzym” (Prawirohardjo, 2008).
Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera
dilakukan tindakan aktif terutama pada kehamilan yang cukup bulan, atau
harus menunggu sampai terjadinya proses persalinan, sehingga masa tunggu
akan memanjang, berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
infeksi. Tindakan konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPD kehamilan
kurang bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan
janin yang cukup (Bruce, 2002; Yancey, 1999; Bari, 2002).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Ketuban Pecah Dini
A. Definisi
Ada bermacam-macam batasan, teori dan definisi mengenai
KPD. Beberapa penulis mendefinisikan KPD yaitu apabila ketuban
pecah spontan dan tidak diikuti tanda-tanda persalinan (Smith,
2001), ada teori yang menghitung beberapa jam sebelum inpartu,
misalnya 1 jam (Prawirohardjo, 2008; Vorapong, 2003; Manuaba,
2001) atau 6 jam sebelum inpartu. Ada juga yang menyatakan dalam
ukuran pembukaan servik pada kala I, misalnya ketuban pecah
sebelum pembukaan servik pada primigravida 3 cm dan pada
multigravida kurang dari 5 cm (Mochtar, 1998).
KPD dapat diartikan sebagai pecahnya ketuban pada saat
fase laten sebelum adanya his. Pada persalinan yang normal, ketuban
pecah pada fase aktif. Pada KPD kantung ketuban pecah sebelum
fase aktif (Hariadi, 2004).
B. Insidensi
Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan
didapatkan hasil yang bervariasi. Insidensi KPD berkisar antara 8 -
10 % dari semua kehamilan (Cunningham dkk, 1997). Hal yang
menguntungkan dari angka kejadian KPD yang dilaporkan, bahwa
lebih banyak terjadi pada kehamilan yang cukup bulan dari pada
yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 % (Yancey, 1999), sedangkan
pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD pada kehamilan
preterm terjadi sekitar 34 % semua kelahiran prematur (Smith,
2001).
C. Etiologi dan Patogenesis
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan
oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban
pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang
menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh
selaput ketuban rapuh.
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi
ekstraseluler matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan
katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan
menyebabkan selaput ketuban pecah. Degradasi kolagen dimediasi
oleh matriks metaloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor
jaringan spesifik dan inhibitor protease.
Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan
TIMP-1 mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks
ekstraseluler dan membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini
meningkat menjelang persalinan. Pada penyakit periodontitis di
mana terdapat peningkatan MMP , cenderung terjadi ketuban pecah
dini.
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada
trimester ketiga, selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya
kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran
uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pada trimester terakhir
terjadi perubahan biokoimia pada selaput ketuban (Prawirohardjo,
2008).
Faktor predisposisi untuk terjadinya KPD antara lain
(Manuaba, 2007) :
1. Faktor umum
a. Infeksi STD
b. Faktor sosial : perokok, peminum, keadaan sosial ekonomi
rendah.
2. Faktor keturunan
a. Kelainan genetik
b. Faktor rendahnya vitamin C dan ion Cu dalam serum
3. Faktor obstetrik
a. Overdistensi uterus (kehamilan kembar dan hidramnion)
b. Servik inkompeten
c. Servik konisasi / menjadi pendek
d. Terdapat disproporsi sefalopelvik
- Kepala janin belum masuk PAP
- Kelainan letak janin, sehingga ketuban bagian terendah
langsung menerima tekanan intrauteri yang dominan
- Pendular abdomen
- Grandemultipara
4. Tidak diketahui sebabnya (idiopatik).
D. Diagnosis
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting.
Diagnosa yang positif palsu akan mengakibatkan intervensi seperti
upaya melahirkan bayi terlalu awal atau melakukan seksio yang
sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya, diagnosa yang negatif
palsu akan mengakibatkan ibu dan janin memiliki risiko infeksi yang
akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena
itu diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat. Diagnosa KPD
ditegakkan dengan cara sebagai berikut.
1. Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan
cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir atau ngepyok
(Prawirohardjo, 2002). Cairan berbau khas, dan perlu juga
diperhatikan warna, keluarnya cairan tersebut tersebut his belum
teratur atau belum ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah.
2. Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya
cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah dan jumlah air
ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas
(Anonim, 2001).
3. Pemeriksaan dengan spekulum.
Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak
keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum
juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta
batuk, mengejan atau mengadakan manuvover valsava, atau
bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari
ostium uteri dan terkumpul pada fornik anterior (Prawirohardjo,
2002).
4. Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban
sudah tidak ada lagi. Pemeriksaan dalam vagina dengan tocher
perlu dipertimbangkan Pada kehamilan yang kurang bulan yang
belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam
karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan
mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang
normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi
patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan kalau KPD
yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi
persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
5. Pemeriksaan Penunjang
5.1. Pemeriksaan laboraturium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa
warna, konsentrasi, bau dan pH nya. Cairan yang keluar
dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga urine atau
sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan
kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.
5.1.a. Tes Lakmus (tes Nitrazin),
Jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru
menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air
ketuban 7 – 7,5, darah dan infeksi vagina dapat
menghasilkan tes yang positif palsu (Smith, 2001).
5.1.b. Mikroskopik (tes pakis)
Dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek
dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik
menunjukkan gambaran daun pakis (Smith, 2001).
5.2. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah
cairan ketuban dalam cavum uteri. Pada kasus KPD terlihat
jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi
kesalahan pada penderita oligohidromnion (Manuaba,
2001).
Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak
macam dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah
bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan
sedehana.
E. Komplikasi
1. Komplikasi pada ibu
Infeksi korioamniotik sering terjadi pada pasien dengan
KPD. Diagnosis korioamnionitis dapat dilihat dari gejala
klinisnya antara lain demam (>37,80C), dan sedikitnya dua gejala
berikut yaitu takikardi baik pada ibu maupun pada janin, uterus
yang melembek, air ketuban yang berbau busuk, maupun
leukositosis (Hariadi, 2004; Prawirohardjo, 2008).
2. Komplikasi pada janin
i. Prematuritas
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh
persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada
kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban
pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan
terjadi dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26
minggu, persalinan terjadi dalam 1 minggu (Prawirohardjo,
2008).
ii. Infeksi
Walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala
infeksi, tetapi janin mungkin sudah terkena infeksi, karena
infeksi intrauterin lebih dahulu terjadi (amnionitis, vaskulitis)
sebelum gejala pada ibu dirasakan jadi akan meninggikan
mortalitas dan morbiditas prenatal (Mochtar, 1998).
iii. Sindrom deformitas janin
KPD yang terjadi terlalu dini menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi
muka dan anggota badan janin, serta hipoplasi pulmonar
(Prawirohardjo, 2008).
iv. Hipoksia dan asfiksia
Pecahnya ketuban menyebabkan terjadi
oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi
asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya
gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air
ketuban, janin semakin gawat (Prawirohardjo, 2008).
v. Prolaps tali pusat
Kejadian ini sering terjadi pada bayi-bayi prematur
(Oxorn, 2003)
vi. Malpresentasi
Keadaan ini sering dijumpai, khususnya presentasi
bokong (Oxorn, 2003).
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan.
Kalau umur kehamilan tidak diketahui secara pasti segera dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur
kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD
dengan janin kurang bulan adalah Respiratory Distress Syndrom
(RDS) dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan
kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang
optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau
lebih biasanya paru-paru sudah matang. Korioamnionitis yang
diikuti dengan sepsis pada janin merupakan sebab utama tingginya
morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan cukup bulan,
infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput
ketuban atau lamanya perode laten (Bruce, 2002).
Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus
dipertimbangkan dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap
penderita KPD yaitu umur kehamilan dan ada tidaknya tanda-tanda
infeksi pada ibu.
1. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)
Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan
durasi KPD keduanya mempunyai hubungan yang bermakna
dengan peningkatan kejadian infeksi dan komplikasi lain dari
KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari
persalinan disebut periode latent = L.P = “lag” period. Makin
muda umur kehamilan makin memanjang L.P-nya (Mochtar,
1998).
Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan
menginduksi persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-80 %
kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam
setelah kulit ketuban pecah, bila dalam 24 jam setelah kulit
ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan
induksi persalinan (Smith, 2001) dan bila gagal dilakukan bedah
caesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi
pada ibu. Walaupun antibiotik tidak berfaedah terhadap janin
dalam uterus namun pencegahan terhadap chorioamninitis lebih
penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik
profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik
hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakkan
dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam
kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya
berlangsung lebih dari 6 jam (Bruce, 2002).
Beberapa penulis menyarankan bersikap aktif (induksi
persalinan) segera diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan
alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan
mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek
sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus
tindakan dapat dikurangi (Komite medik, 1999).
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang
sangat ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses
persalinan berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang
kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi
dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi
semakin kepanjangan (his kurang kuat). Induksi dilakukan dengan
memperhatikan bishop score jika > 5 induksi dapat dilakukan,
sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil
akhiri persalinan dengan seksio sesaria (Prawirohardjo, 2002).
2. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)
Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang
kurang bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya
bersifat konservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat
sebagai profilaksis (Mochtar, 1998).
Penderita perlu dirawat di rumah sakit, ditidurkan dalam
posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam
untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa
mencapai 37 minggu, obat-obatan uterorelaksan atau agen
tokolitik diberikan juga dengan tujuan untuk menunda proses
persalinan. (Smith, 2001)
Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian
kortikosteroid pada penderita KPD kehamilan kurang bulan
adalah agar tercapainya pematangan paru, jika selama menunggu
atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-
tanda infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa
memandang umur kehamilan.
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai
berlangsung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata
dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang
tidak ringan. Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi gawat
janin sampai mati, tetani uteri, ruptur uteri, emboli air ketuban,
dan juga mungkin terjadi intoksikasi.
Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan
dengan tindakan bedan sesar. Seperti halnya pada pengelolaan
KPD yang cukup bulan, tindakan bedah sesar hendaknya
dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauterin tetapi
seyogyanya ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan
letak, gawat janin, partus tak maju, dll.
Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat
tindakan aktif. Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat
menyebabakan komplikasi yang berbahaya, maka perlu dilakukan
pengawasan yang ketat. Sehingga dikatakan pengolahan
konservatif adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan
terhadap kemungkinan infeksi intrauterin.
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leukosit darah tepi
setiap hari, pemeriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur
setiap 4 jam, pengawasan denyut jantung janin, pemberian
antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya setiap 6
jam. Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah
dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS. The
National Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan
penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-
32 minggu yang tidak ada infeksi intramnion. Sedian terdiri atas
betametason 2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau
dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam (Vorapong,
2003).
G. Prognosis
Ditentukan oleh cara penatalaksanaan dan komplikasi-
komplikasi yang mungkin timbul serta umur dari kehamilan
(Mochtar, 1998). Semakin lama kehamilan berlangsung dengan
ketuban yang pecah, semakin tinggi insidensi infeksi. Infeksi
intrauterin meningkatkan mortalitas janin. Bayi yang beratnya <
2500 gram mempunyai prognosis yang lebih jelek dibanding bayi
yang lebih besar. Presentasi bokong menunjukkan prognosis yang
jelek, khususnya kalau bayinya prematur (Oxorn, 2003).
2. Hamil Post Date
A. Definisi
Kehamilan post date adalah kehamilan yang telah melewati hari
perkiraan kelahiran, yaitu 280 hari, dihitung dari hari pertama
menstruasi terakhir.
B. Kriteria Diagnosis
1) Usia kehamilan telah melewati 280 hari.
2) Palpasi bagian-bagian janin lebih jelas karena berkurangnya air
ketuban.
3) Kemungkinan dijumpai abnormalitas denyut jantung janin.
4) Pengapuran atau kalsifikasi placenta pada pemeriksaan USG.
(Chrisdiono, 2004)
3. Bedah Caesar
A. Definisi
Bedah Caesar adalah pembedahan untuk melahirkan janin melalui
dinding perut dan dinding uterus.
B. Jenis
1) Bedah Caesar klasik/ corporal
2) Bedah Caesar transperitoneal profunda
3) Bedah Caesar ekstraperitoneal
4) Histerektomi Caesarean
C. Indikasi
1) Indikasi Ibu
- Panggul sempit
- Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
- Stenosis serviks uteri dan vagina
- Plasenta previa
- Disproporsi janin-panggul
- Ruptura uteri membakat
- Partus tak maju
- Incoordinate uterine action
2) Indikasi Janin
- Kelainan letak
Letak lintang
Letak sungsang (kepala besar, kepala defleksi)
Letak dahi dan letak muka dengan dagu di belakang
Presentasi ganda
Kelainan letak pada gemelli anak pertama
- Gawat janin
D. Kontra Indikasi
1) Infeksi intrauterine
2) Janin mati
3) Syok/ anemia berat yang belum teratasi
4) Kelainan kongenital berat
E. Teknik pelaksanaan
1) Bedah Caesar klasik/ corporal
- Buat insisi membujur secara tajam dengan pisau pada garis
tengah korpus uteri di atas segmen bawah rahim. Perlebar
insisi dengan gunting sampai sepanjang kurang lebih 12 sm.
Saat menggunting, lindungi janin dengan dua jari operator
- Setelah kavum uteri terbuka, kulit ketuban dipecah. Janin
dilahirkan dengan meluncurkan kepala janin keluar melalui
irisan tersebut.
- Setelah janin lahir seluruhnya, tali pusat diklem (2 tempat)
dan dipotong di antara kedua klem tersebut.
- Plasenta dilahirkan secara manual kemudian seger
disuntikkan uterotonika ke dalam miometrium dan
intravena.
- Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara:
Lapisan I: Miometrium tepat di atas endometrium dijahit
secara silang dengan menggunakan benang chromic gut
no. 01 atau 02
Lapisan II: Lapisan miometrium di atasnya dijahit secara
kasur horizontal (Lambert) dengan benang yang sama
Lapisan III: dilakukan reperitonealisasi dengan cara
peritoneum dijahit secara jelulur menggunakan benang
plain catgut no. 1 atau 2.
Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut
dari sisa-sisa darah dan air ketuban
Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
2) Bedah Caesar transperitoneal profunda
- Plika vesiko-uterina di atas segmen bawah rahim
dilepaskan secara melintang, kemudian secara tumpul
disisihkan kea rah bawah dan samping.
- Buat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen bawah
rahim kurang lebih 1 cm di bawah irisan plika vesiko-
uterina. Irisan kemudian diperlebar dengan gunting sampai
kurang lebih sepanjang 12 cm. saat menggunting, lindungi
bayi dengan dua jari operator.
- Setelah kavum uteri terbuka, kulit ketuban dipecah dan
janin dilahirkan dengan cara meluncurkan kepala janin
melalui irisan tersebut.
- Badan janin dilahirkan dengan mengaitkan kedua
ketiaknya,
- Setelah janin dilahirkan seluruhnya, tali pusat diklem (2
tempat) dan dipotong di antara kedua klem tersebut.
- Plasenta dilahirkan secara manual kemudia segera
disuntikkzan uteronika ke dalam miometrium dan
intravena
- Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara:
Lapisan I: Miometrium tepat di atas endometrium
dijahit secara silang dengan menggunakan benang
chromic gut no. 01 atau 02
Lapisan II: Lapisan miometrium di atasnya dijahit
secara kasur horizontal (Lambert) dengan benang
yang sama
Lapisan III: dilakukan reperitonealisasi dengan cara
peritoneum dijahit secara jelulur menggunakan
benang plain catgut no. 0 atau 1.
- Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut
dari sisa-sisa darah dan air ketuban
- Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
3) Bedah Caesar ekstraperitoneal
- Dinding perut diiris hanya sampai pada peritoneum.
Peritoneum kemudian digeser ke cranial agar terbebas
dari dinding cranial vesika urinaria
- Segmen bawah rahim diiris melintang seperti pada
bedah Caesar transperitoneal profunda demikian juga
cara menutupnya.
4) Histerektomi Caesarean
- Irisan uterus dilakukan seperti pada bedah Caesar klasik/
corporal demikian juga dengan cara melahirkan
janinnya.
- Perdarahan yang terdapat pada irisan uterus dihentikan
dengan menggunakan klem secukupnya
- Kedua adneksa dan ligamentum rotunda dilepaskan dari
uterus
- Kedua cabang arteria uterine yang ,menuju ke korpus
uteri di klem (2) pada tepi segmen bawah rahim. Satu
klem juga ditempatkan di atas dua klem tersebut
- Uterus kemudian diangkat di atas kedua klem yang
pertama. Perdarahan pada tunggul serviks uteri diatasi.
- Jahit cabang arteria uterine yang diklem dengan
menggunakan benang sutera no. 2
- Tunggul serviks uteri ditutup dengan jahitan
(menggunakan chromic catgut no. 1 atau 2) dengan
sebelumnya diberi cairan antiseptic.
- Kedua adneksa dan ligamentum rotundum dijahitkan
pada tunggul serviks uteri.
- Dilakukan reperitonealisasi serta eksplorasi daerah
panggul dan viscera abdominis
- Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
BAB III
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama : Ny. S.L.
Umur : 33 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Alamat : Sragen
Status Perkawinan : Kawin 1 kali dengan suami 10 tahun
HPMT : 10 September 2011
HPL : 17 Juni 2012
UK : 41 minggu
No.CM : 01135XXX
Tanggal masuk : 25 Juni 2012
Berat badan : 60 Kg
Tinggi Badan : 150 cm
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama :
Keluar air ketuban dari jalan lahir
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Datang seorang G3P1A1, 33 tahun, usia kehamilan 41 minggu,
datang dengan rujukan Puskesmas dengan keterangan G3P1A1, usia
kehamilan 41 minggu, riwayat SC 6 tahun yang lalu. Pasien merasa
hamil 9 bulan. Gerakan janin masih dirasakan. Kencang-kencang
teratur belum dirasakan. Air ketuban sudah dirasakan keluar. Tidak
didapatkan lendir dan darah.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
R. Hipertensi : Disangkal
R. DM : Disangkal
R. Penyakit Jantung : Disangkal
R. Alergi Obat : Disangkal
R. Operasi : Disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
R. Hipertensi : Disangkal
R. DM : Disangkal
R. Asma : Disangkal
R. Alergi Obat : Disangkal
E. Riwayat Haid
Menarche : 12 tahun
Lama Haid : 5-7 hari
Siklus Haid : 28 hari
Nyeri haid : Dirasakan
G. Riwayat Fertilitas
Baik
H. Riwayat Obstetri
Jelek
1. Anak-1, laki-laki, 6 tahun, BBL 4400 gram, lahir SC atas
indikasi janin besar
2. Abortus pada usia kehamilan 1,5 bulan
3. Sekarang
I. Riwayat ANC
Teratur, pertama kali periksa ke bidan pada usia kehamilan 1
bulan. Pasien periksa ke bidan 1 bulan sekali sampai usia kehamilan
3 bulan. Dilanjutkan 2 kali sebulan pada usia kehamilan 4 sampai
6 bulan. Setelah itu, pasien periksa 1 minggu sekali.
I. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali dengan suami sekarang, selama 10 tahun.
K. Riwayat KB
Pasien tidak menggunakan KB
III. PEMERIKSAAN FISIKA. Status Interna Keadaan Umum : Compos mentis, baik.
Tanda Vital : Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,50C
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
oedem palpebra (-/-)
THT :Tonsil tidak membesar, faring tidak
hiperemis.
Leher : KGB tidak membesar, glandula thyroid tidak
membesar, JVP tidak meningkat.
Thorak
Cor : I = Ictus cordis tidak tampak
P = Ictus cordis tidak kuat angkat.
P = Batas jantung kesan tidak melebar.
A = BJ I-II interval normal, regular, bising (-)
Pulmo : I = Pengembangan dada kanan = kiri
P = Fremitus raba kanan = kiri
P = Sonor/ sonor
A = SDV (+/+), suara tambahan (-/-).
Abdomen : I = Dinding perut lebih tinggi dari dinding
dada
P = Supel, nyeri tekan (-), hepar lien sulit
dievaluasi, teraba uterus gravid dengan
bagian-bagian janin. (lihat
pemeriksaan Leopold)
P = Timpani pada daerah hipogastrika,
redup pada daerah uterus.
A = Peristaltik (+) normal.
Ekstremitas : Oedem (-/-), akral dingin (-/-)
Genital : Perdarahan (-).
B. Status Obstetri
Inspeksi
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem
palpebra (-/-)
Thorak : Glandula mamae kesan membesar, areola mamae
hiperpigmentasi (+)
Abdomen : Striae gravidarum (+), linea nigra (+), dinding perut
lebih tinggi dari dada.
Genetalia Eksterna : Vulva uretra tenang, darah (-), lendir (-)
Palpasi
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal intra
uterin, memanjang, presentasi kepala, punggung
kanan, kepala masuk panggul >1/3 bagian, HIS (-),
tinggi fundus uteri 34 cm ≈TBJ 3565 gram.
Pemeriksaan Leopold
I : Teraba 1 bagian lunak di fundus, kesan bokong.
II : Teraba 1 bagian besar memanjang di sebelah kanan, rata,
keras kesan punggung dan di sebelah kiri teraba bagian
kecil kesan ekstremitas.
III : Teraba 1 bagian besar, keras, kesan kepala
IV : Bagian terendah janin masuk panggul >1/3 bagian.
Kesimpulan : teraba janin tunggal, intra uterin, memanjang,
punggung di kiri, presentasi kepala, kepala masuk panggul >1/3
bagian.
Auskultasi : . DJJ (+) 12-11-12/reguler
Pemeriksaan Dalam
VT : Vulva uretra tenang, dinding vagina dalam
batas normal, portio lunak mecucu di
belakang, diameter 0 cm, effacement 0%,
kepala turun bidang Hodge I-II, air ketuban
jernih, tidak bau, kulit ketuban (-) dan
penunjuk belum dapat dinilai, STLD (-).
Inspekulo : tidak dilakukan
IV PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. USG Abdomen (tanggal 25 Juni 2012)
Hasil : tampak janin tunggal, intra uterin, memanjang, punggung
kanan, presentasi kepala, DJJ (+) dengan Fetal Biometri:
BPD = 95
AC = 352
FL = 67
EFBW = 3385 gram
Plasenta berinsersi di corpus grade III.
Air ketuban kesan cukup.
Tidak tampak ada kelainan kongenital mayor.
Kesimpulan : Saat ini janin dalam keadaan baik
B. Laboratorium Darah (tanggal 25 Juni 2012)
Hb : 9,7 g/dl Ureum : 12 mg/dl
Hct : 30 % Creatinin : 0,6 mg/dl
Eritrosit : 4,34. 106 /µL Na+ : 139 mmol/L
Leukosit : 6,9 ribu /µL K+ : 4,3 mmol/L
Gol Darah : O Cl- : 108 mmol/L
GDS : 88 mg/dl Albumin : 3,6 g/dl
Trombosit : 318.000 / µL
HbsAg : non reaktif
V. KESIMPULAN
Seorang G3P1A1, 31 tahun, umur kehamilan 41 minggu, dengan riwayat
SC 6 ahun yang lalu. Riwayat fertilitas baik, riwayat obstetrik jelek,
janin tunggal intra uterin, memanjang, punggung di kanan, presentasi
kepala, kepala masuk panggul lebih dari 1/3 bagian. HIS (-), DJJ (+) 12-
11-12/ regular, TFU≈TBJ 3565 gram, portio lunak mecucu di belakang,
ɵ= (-) cm, effacement 0%, kepala turun di bidang Hodge I-II, AK (+)
jernih tidak berbau, KK (-), penunjuk belum dapat dinilai, STLD (-).
VI. DIAGNOSIS
Ketuban pecah dini 8 jam pada multigravida hamil postdate belum
dalam persalinan dengan riwayat SC 6 tahun yang lalu.
VII. PROGNOSIS
Baik
VIII. PENATALAKSANAAN
- Usul re-SCTP emergency + pemasangan IUD
- Informed consent setuju
- Konsul anestesi
- Cek darah lengkap
- NST Reaktif
- Persiapan darah WB 2 kolf
Laporan Persalinan (25 Juni 2012)
1. Prosedur op rutin
2. Dilakukan toilet medan op dalam keadaan narkose
3. Dilakukan insisi pada linea mediana mulai 2 jari di atas SOP ke atas
10 cm ke arah pusar
4. Insisi diperdalam lapis demi lapis
5. Setelah peritoneum parietale dibuka, tampak uterus gravid
6. Plika vesico-uterina dibuka dan dibersihkan, dilakukan insisi bentuk
semilunar pada segmen bawah rahim secara tajam, lalu bagian
tengah diperdalam dan diperlebar secara tumpul kulit ketuban
dipecah, air ketuban (+), kesan cukup, jernih, tidak berbau.
7. Tangan kiri operator melukir kepala janin, asisten mendorong fundus
uteri
8. Bayi dilahirkan perabdominal
9. Bayi dilahirkan perabdominal lengkap, jenis kelamin laki-laki, BB
3800 gram, LK 34 cm, LD 35 cm, PB 52 cm, anus (+), kelainan
kongenital mayor (-), Apgar Score 8-9-10
10. Plasenta dilahirkan lengkap bentuk cakram ukuran 20 x 20 x 2
insersi di fundus
11. Bloody angle diklem (perdarahan diawasi) + insersi IUD
12. Segmen bawah rahim dijahit lapis demi lapis, kontrol perdarahan,
dilakukan reperitonealisasi visceral.
13. Dilakukan reperitonealisasi parietale, lalu dilakukan penjahitan
dinding abdomen lapis demi lapis
14. Operasi selesai
15. Perdarahan selama op ± 300 cc
16. KU ibu sebelum, selama, dan setelah op baik
Evaluasi 2 jam post operasi (26 Juni 2012)
Telah dilakukan SCTP emergency dan dilahirkan bayi laki-laki, BB 3200
gram, LK 34 cm, LD 35 cm, PB 52 cm, anus (+), kelainan kongenital mayor
(-), Apgar Score 8-9-10
Kel : (-)
KU : Baik, CM, gizi kesan cukup
VS : T: 120/70
N: 82
RR: 22
S: 37,0oC
Mata : Conjunctiva pucat (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Thorax : Cor/pulmo dalam batas normal
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), luka operasi tertutup verban,
bising usus (-)
Genital : Perdarahan (-), Lochia (+)
Diagnosa : post re-SCTP emergency + insersi IUD atas indikasi
ketuban pecah dini 8 jam pada multipara hamil postdate
dengan riwayat SC 6 tahun yang lalu
Terapi :
Awasi KU/VS/BC
Awasi tanda-tanda perdarahan
Puasa s/d Bising usus (+) N
DR3 post operasi jika Hb ≤ 10 gr/dl transfusi
Medikamentosa:
Inf RL 12 tpm
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inf. Metronidazole 500mg/8 jam
Inj. As. Traneksamat 500 mg/8 jam
Inj. Ketorolac 1amp/8jam
Inj. Alinamin F 1 amp/8 jam
Inj. Vit C amp/12 jam
Inj. Vit B plex 2cc/24 jam
Laboratorium Darah (tanggal 26 Juni 2012)
Hb : 8,2 g/dl
Hct : 25 %
Eritrosit : 3,48. 106 /µL
Leukosit : 10,6 ribu /µL
Trombosit : 334.000 / µL
FOLLOW UP (27 Juni 2012)
Keluhan : (-)
KU : CM, baik, gizi kesan cukup
Tanda vital : T = 100/70 mmHg Rr = 18x/menit
N = 100x/menit S = 36,6 0C
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Cor : dalam batas normal
Pulmo : dalam batas normal
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi
uterus (+) baik, luka operasi tertutup verban, peristaltik (+)
Genital : lochia (+), perdarahan (-)
Diagnosis : post re-SCTP emergency + insersi IUD atas indikasi
ketuban pecah dini 8 jam pada multipara hamil postdate
dengan riwayat SC 6 tahun yang lalu
Terapi :
Inf RL 12 tpm
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inf. Metronidazole 500mg/8 jam
Inj. As. Traneksamat 500 mg/8 jam
Inj. Ketorolac 1amp/8jam
Inj. Alinamin F 1 amp/8 jam
Inj. Vit C amp/12 jam
Inj. Vit B plex 2cc/24 jam
BAB IV
ANALISIS KASUS
Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses
persalinan. Pada kasus ini ditegakkan diagnosis ketuban pecah dini
(KPD) 8 jam pada multigravida hamil postdate belum dalam persalinan
dengan riwayat Sectio Caessaria (SC) 6 tahun yang lalu. Diagnosis KPD
ditegakkan berdasarkan anamnesis dari ibu yang mengaku merasakan
keluarnya air ketuban dari vagina 8 jam sebelum masuk RSDM dimana
saat ketuban pecah belum ada tanda-tanda dalam persalinan (in partu).
Pada pemeriksaan VT didapatkan kulit ketuban (-) dan air ketuban (+).
Kondisi belum dalam persalinan pada pasien ini ditegakkan dari tidak
didapatkannya kontraksi uterus (his) yang teratur, bloody show (lendir
dan darah dari vagina), serta penipisan dan pembukaan serviks yang
merupakan tiga kriteria kondisi dalam persalinan (in partu).
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus, peregangan berulang, pembesaran uterus, dan gerakan
janin. Untuk menjaga selaput ketuban tetap utuh hingga akhir
persalinan, terdapat suatu mekanisme keseimbangan antara sintesis dan
degradasi matriks ekstraseluler penyusun selaput ketuban. Namun, pada
akhir kehamilan keseimbangan antara protein pendegradasi kolagen
selaput ketuban atau disebut matriks metalloproteinase (MMP) dan
protein inhibitor jaringan serta protein inhibitor protease berkurang. Hal
ini menyebabkan rapuhnya selaput ketuban di akhir masa kehamilan.
Terdapat beberapa faktor predisposisi yang dapat berkontribusi dalam
menimbulkan pecahnya ketuban secara dini seperti yang telah dijelaskan
dalam tinjauan pustaka. Berkaitan dengan kondisi pasien dalam kasus
ini, kondisi yang memenuhi faktor predisposisi yang telah dijelaskan
sebelumnya yaitu pasien adalah seorang multigravida.
Ketuban pecah dini dapat menimbulkan berbagai komplikasi.
Umumnya, setelah ketuban pecah biasanya disusul oleh persalinan. Pada
kehamilan aterm, 90% terjadi persalinan dalam 24 jam setelah ketuban
pecah. Insiden infeksi sekunder dengan berbagai komplikasinya
meningkat sebanding dengan lamanya periode laten. Komplikasi
tersebut meliputi infeksi maternal maupun neonatal, persalinan
prematur, hipoksia janin karena kompresi tali pusat, deformitas janin,
meningkatnya insiden seksio sesarea atau gagalnya persalinan normal.
Pada pasien dalam kasus ini, tidak daidapatkan tanda-tanda infeksi
seperti meningkatnya suhu tubuh serta air ketuban berbau dan keruh.
Pemeriksaan USG menunjukkan air ketuban masih cukup sehingga tidak
berisiko terjadi kompresi tali pusat. Pemeriksaan denyut jantung janin
dengan Doppler didapatkan denyut jantung janin (DJJ) dalam batas
normal (120-160 kali per menit) dan regular. Hal ini menunjukkan tidak
terdapatnya hipoksia janin. Pemeriksaan dengan Non Stress Test (NST)
menunjukkan hasil reaktif dimana didapatkan baseline 155 dpm,
variabilitas DJJ normal yaitu >5dpm sampai <25 dpm, gerak janin 5 kali
dalam 20 menit disertai akselerasi >10-15 dpm, serta tidak didapatkan
deselerasi. Dari hasil NST ini dapat dimbil kesimpulan bahwa kondisi
janin baik dan tidak terdapat kegawatan.
Penanganan pada KPD meliputi tindakan konservatif dan aktif.
Penanganan konservatif meliputi perawatan di rumah sakit. Selain itu,
karena usia kehamilan lebih dari 37 minggu, terminasi kehamilan
diperlukan. Untuk tindakan aktif, pada usia kehamilan lebih dari 37
minggu perlu dilakukan induksi persalinan. Bila skor pelvik <5,
dilakukan pematangan serviks dengan pemberian misoprostol
intravaginal setiap 6 jam sekali maksimal 4 kali, kemudian diinduksi
dengan drip oksitosin setelah tercapai skor pelvik >5. Jika tidak berhasil,
persalinan diakhiri dengan seksio sesarea.
Pada kasus ini tidak dilakukan induksi persalinan. Hal ini
dikarenakan pasien memiliki riwayat seksio sesaria 6 tahun yang lalu
atas indikasi janin besar. Riwayat seksio sesarea merupakan faktor risiko
terjadinya ruptura uteri. Ruptura uteri bisa disebabkan oleh anomali atau
kerusakan yang telah ada sebelumnya pada uterus karena trauma atau
sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang masih utuh. Ruptura
uteri paling serang terjadi pada rahim yang telah diseksio sesarea pada
persalinan sebelumnya. Pada uterus yang demikian tidak boleh
dilakukan partus percobaan atau persalinan yang dirangsang dengan
oksitosin, prostaglandin, dan yang sejenis. Jika pada pasien ini
dilakukan manipulasi tenaga tambahan berupa stimulasi atau induksi
partus dengan oksitosin, atau dorongan yang kuat pada fundus dalam
persalinan akan ditakutkan akan terjadi ruptura uteri jenis violenta. Jika
sampai terjadi ruptura uteri, ada kemungkinan terjadi kegawatan janin
hingga meninggal dan perdarahan massif pada ibu yang dapat
menimbulkan kematian. Selain itu, terdapat kemungkinan besar
diambilnya keputusan histerektomi pada pasien yang mengalami ruptura
uteri sehingga pasien tersebut tidak dapat hamil kembali. Selain
tindakan induksi persalinan, tindakan persalinan dengan bantuan alat
seperti vakum ekstraksi juga tidak boleh dilakukan dalam kasus ini
karena dapat menyebabkan distensi berlebihan pada segmen bawah
rahim dan tekanan terlalu kuat pada uterus dalam persalinan yang
akhirnya menyebabkan ruptura uteri.
Pada kasus ini, dilakukan Sectio Caesaria Trans Peritoneal Profunda.
Selain atas dasar riwayat SC 6 tahun sebelumnya, seksio sesarea ini
dilakukan atas pertimbangan :
- Janin sudah viabel, TBJ > 2000 gram atau kehamilan > 34
minggu
- Perdarahan banyak, 500 ml atau lebih
- Ada tanda-tanda persalinan
- Keadaan umum pasien baik, ibu Hb 12,7 gr/dl
Setelah dilakukan SCTP pasien melahirkan bayi jenis kelamin laki-
laki, BB 3200 gram, LK 43 cm, LD 51 cm, PB 52 cm, anus (+), kelainan
kongenital mayor (-), Apgar Score 8-9-10. Kondisi pasien sebelum,
selama dan sesudah operasi baik. Pasien dipantau terus selama kurang
lebih 3 hari untuk melihat perkembangan post SCTP, terutama mengenai
kondisi umum, vital sign dan kondisi jahitan. Pasien boleh pulang
setelah kondisi stabil, yaitu keadaan umum baik, dapat kencing dan
kentut, peristaltik usus kembali dan jahitan sudah kering.
Sejak tahun 1990-an, angka seksio sesaria atas indikasi riwayat
seksio sesaria mulai menurun karena dikembangkannya teknik vaginal
Birth After Cesarean (VBAC) atau dikenal juga dengan Trial of Labor
After Cesarean (TOLAC). Hal yang perlu diperhatikan untuk
memnentukan prognosis persalinan pervaginam dengan riwayat SC
antara lain:
- Jenis sayatan uterus yang telah dilakukan pada operasi terdahulu.
- Indikasi operasi seksio sesarea terdahulu
- Apakah jenis operasi terdahulu adalah seksio sesarea elektif atau
emergency
-Apa komplikasi operasi terdahulu.
Kontraindikasi persalinan pervaginam VBAC salah satunya adalah
luka SC jenis klasik (linea mediana). Pada pasien ini, jenis sayatan SC
yang dilakukan 6 tahun lalu adalah jenis linea mediana sehingga lebih
berisiko untuk menimbulkan ruptura uteri jika dilakukan VBAC. Oleh
karena itu, dilakukan re-SCTP pada pasien ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001. High-Risk PregnencyPremature Rupture of Membranes (PROM) / Preterm Prematurure Rupture of Membrane,http://www.musckid.com/health_library/hipregnant/prm.htm.
Bari, S. A., 2002. Ketuban Pecah Dini dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal, JNPKKD – POGI bekjerjasama dengan Yayasan Buku Pustaka Suwarno Prawihardjo, Jakarta.
Bruce, Elizabeth. 2002. Premature Rupture of Membrane (PROM). http://www.compleatmother.com/prom.htm .
Chrisdiono M. A. 2004. Kehamilan Postterm. Dalam : Prosedur Tetap
Obstetri dan Ginekologi. EGC. Jakarta. Pp: 32-33.
Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark. 1997. William‘s Obstretics 20th edition. Prentice-Hall International Inc.
Hariadi, R., dkk. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal, Edisi perdan. Jilid I. Surabaya, Himpunan Kedokteran fetomaternal Perkumpulan Obstetric dan Ginekologi Indonesia.
Komite Medik RSUP DR.Sardjito. 1999. Ketuban Pecah Dini dalam Standar Pelayanan medis RSUP DR. Sardjito. Buku I. Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Manuaba, I. B. G., 2001. Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta Penatalaksanaan Obstetri Ginekologi dan KB. EGC, Jakarta.
Manuaba, Ida Ayu. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. EGC, Jakarta.
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Editor: Delfi Lutan. EGC, Jakarta.
Oxorn, Harry dan Forte, Wiliam. 2003. Patologi dan Fisiologi Persalinan. Editor: Muhammad Hakimi. Yayasan Essentia Medica, Jakarta.
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Ketuban Pecah Dini dalam Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo Bekerjasama dengan Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi – POGI, Jakarta.
Prawirohardjo, Sarwono dan Wiknjosastro. 2008. Ilmu Kebidanan. FK UI, Jakarta.
Smith Joseph.F. 2001. Premature Rupture of Membranes. http://www.chclibrary.org/micromed/00061770.html .
Vorapong, P., 2003. Prelabour Rupture of Memnbranes in Journal of Pediatric. Obstetric and Gynaecology, Nov/Dec.
Yancey Michael.K., 1999. Prelabor Rupture of Membrane at Term : Inducce or Wait?, medscape General Medicine 1 (1)