referat vitiligo

33
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit, seringkali bersifat progresif dan familial yang ditandai oleh makula hipopigmentasi pada kulit yang asimtomatik. Selain kelainan pigmentasi, tidak dijumpai kelainan lain pada kulit tersebut. (Soepardiman, 2005). Insiden yang dilaporkan bervariasi antara 0,1- 8,8%. Sekitar 5% dari penderita vitiligo akan memiliki anak yang juga menderita vitiligo (Soepardiman, 2005). Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa muda, dengan puncak onsetnya (50% kasus) pada usia 10-30 tahun, tetapi kelainan ini dapat 1

Upload: teuku-rezki

Post on 25-Nov-2015

129 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit, seringkali bersifat progresif dan familial yang ditandai oleh makula hipopigmentasi pada kulit yang asimtomatik. Selain kelainan pigmentasi, tidak dijumpai kelainan lain pada kulit tersebut. (Soepardiman, 2005).Insiden yang dilaporkan bervariasi antara 0,1-8,8%. Sekitar 5% dari penderita vitiligo akan memiliki anak yang juga menderita vitiligo (Soepardiman, 2005). Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa muda, dengan puncak onsetnya (50% kasus) pada usia 10-30 tahun, tetapi kelainan ini dapat terjadi pada semua usia. Tidak dipengaruhi oleh ras, dengan perbandingan laki-laki sama dengan perempuan. (Halder & Taliaferro, 2008).Penyebab vitiligo sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Faktor pencetusnya adalah stress, trauma fisik dan paparan radioaktif. Diagnosis vitiligo ditegakkan berdasarkan anamnesis perjalanan penyakit beserta riwayat keluarga, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium, histopatologi dan lampu Wood (Soepardiman, 2005).

Prinsip pengobatan vitiligo adalah pembentukan cadangan baru melanosit, dimana diharapkan melanosit baru yang terbentuk akan tumbuh ke dalam kulit yang mengalami depigmentasi (Lubis,2008).

B. TUJUAN PENULISANTujuan referat ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis terapi pada vitiligo. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Vitiligo merupakan kelainan depigmentasi yang didapat disebabkan tidak adanya melanosit pada epidermis, membran mukosa, mata maupun bulbus dari rambut. Karakteristik lesi berupa makula maupun bercak depigmentasi yang berbatas tegas dan biasanya asimptomatik. Kelainan ini cenderung progresif dan jarang mengalami regresi spontan (Lubis, 2008).B. EPIDEMIOLOGI

Di seluruh dunia insidensnya rata-rata 1% (0,18,8%). Sekitar 5% dari penderita vitiligo akan memiliki anak yang juga menderita vitiligo (Soepardiman, 2005). Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa muda, dengan puncak onsetnya (50% kasus) pada usia 10-30 tahun, tetapi kelainan ini dapat terjadi pada semua usia. Tidak dipengaruhi oleh ras, dengan perbandingan laki-laki sama dengan perempuan. Pernah dilaporkan bahwa vitiligo yang terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi perbedaan ini dianggap berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan oleh karena masalah kosmetik (Lubis, 2008).C. PIGMENTASI MELANIN

Proses pigmentasi melanin pada kulit meliputi 3 fase:

a. Fase metabolisme pigmenPembentukan pigmen melanin sebagai langkah konversi dari suatu substrat menjadi melanin yang dikatalisasi oleh enzim-enzim yang ada. Suatu penurunan sintesis melanin akan menyebabkan hipopigmentasi

Pembentukan melanin: Tirosin(Dopa(Dopaquin(Dopakrom( 5,6 dihidroksi indol( indol 5,6kuinon(melanin. Enzim yang berperan yaitu tirosinase (Fitrie, 2004).

b. Fase transfer melanosom Keratinosit berperan aktif dalam pengambilan granul pigmen yang sudah masuk dengan cara fagositosis dari dendrit yang mengandung melanosom. Setelah transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit, pigmen melanin diangkut ke permukaan kulit lewat deskuamasi. Konsentrasi melanin dalam epidermis ditentukan oleh kecepatan pergerakan selbasal ke permukaan untuk menjadi keratinosit. Penurunan laju transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit akan menyebabkan hipopigmentasi. Kenaikan kecepatan transfer melanosom dari melanosit ke keratinositmenyebabkan hiperpigmentasi. Kenaikan kecepatan gerakan ke atas dari keratinosit ke permukaan kulit akan meningkatkan deskuamasi, sehingga dapat terjadi hipopigmentasi (Fitrie, 2004).

c. Fase distribusi melanosit Distribusi melanosit pada seluruh tubuh dipengarui genetik (proses migrasi melanosit) dan stimuli eksterna. Kepadatan yang rendah akan terjadi hipopigmentasi, sedangkan kepadatan yang tinggi akan terjadi hiperpigmentasi (Fitrie, 2004).

D. PATOGENESIS

Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga patofisiologi penyakit ini masih menjadi teka-teki. Sampai saat ini terdapat 5 hipotesis patofisiologi vitiligo yang dianut, yang masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan yaitu:

1) Hipotesis autositotoksikSel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke DOPA dan DOPA ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi menjadi berbagai indol dan radikal bebas. Melanosit pada lesi vitiligo dirusak oleh penumpukan prekursor melanin. Secara in vitro dibuktikan tirosin, dopa dan dopakrom merupakan sitotoksik terhadap melanosit (Soepardiman, 2005). 2) Hipotesis neurohumoral Karena melanosit terbentuk dari neuralcrest, maka diduga faktor neural berpengaruh. Tirosin adalah substrat untuk pembentukan melanin dan katekol. Kemungkinan adanya produk intermediate yang terbentuk selama sintesis katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat dan pembuluh darah terhadap respons transmitter saraf, misalnya asetilkolin (Soepardiman, 2005).3) Hipotesis autoimun

Merupakan teori yang paling banyak diterima, dimana imun sitem tubuh akan menghancurkan melanosit. Pada vitiligo dapat dijumpai autoantibodi terhadap antigen sistem melanogenik yang disebut autoantibodi anti melanosit, yang berifat toksik dan menghambat pembentukan melanin (Lubis, 2008).4) Pajanan terhadap bahan kimia

Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan Mono Benzil Eter Hidrokuinon dalam sarung tangan atau deterjen yang mengandung fenol (Soepardiman, 2005).5) Genetik hipotesis

Vitiligo diperkirakan dapat diturunkan secara kromosom autosomal. Cacat genetik ini menyebabkan dijumpainya melanosit yang abnormal dan mudah mengalami trauma, sehingga menghalangi pertumbuhan dan diferensiasi dari melanosit (Lubis, 2008)E. KLASIFIKASI

Berdasarkan lokalisasi dan distribusinya, Soepardiman (2005) membagi menjadi :

1) Tipe lokalisata, yang terdiri atas:

a) Bentuk fokal : terdapat satu atau lebih makula pada satu daerah dan tidak segmental.

b) Bentuk segmental : terdapat satu atau lebih makula dalam satu atau lebih daerah dermatom dan selalu unilateral.

c) Bentuk mukosal : lesi hanya terdapat pada selaput lendir (genital dan mulut).

2) Tipe generalisata

Hampir 90 % penderita secara generalisata dan biasanya simetris. Tipe ini dibagi lagi menjadi:a) Bentuk akrofasial : lesi terdpat pada bagian distal ekstremitas dan muka.

b) Bentuk vulgaris : lesi tersebar tanpa pola khusus.

c) Bentuk campuran: lesi yang luas meliputi seluruh atau hampir seluruh tubuh.F. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, serta ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium dan histopatologik serta pemeriksaan dengan lampu Wood. Biasanya, diagnosis vitiligo dapat dibuat dengan mudah pada pemeriksaan klinis pasien, dengan ditemukannya gambaran bercak kapur putih, bilateral (biasanya simetris), makula berbatas tajam pada lokasi yang khas. Pada pemeriksaan dengan lampu wood, lesi vitiligo tampak putih berkilau dan hal ini berbeda dengan kelainan hipopigmentasi lainnya (Halder & Taliaferro,2008)

Dalam kasus-kasus tertentu, pemeriksaan histopatologik diperlukan untuk melihat ada tidaknya melanosit dan granul melanin di epidermis. Kelainan kulit pada vitiligo juga dapat kita temukan pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron. Pada pemeriksaan ini terlihat hilangnya melanosit, dan melanosom pada keratinosit, juga terdapat perubahan dalam keratinosit (Halder & Taliaferro, 2008).G. PENATALAKSANAAN

Prinsip pengobatan vitiligo adalah pembentukan cadangan baru melanosit, dimana diharapkan melanosit baru yang terbentuk akan tumbuh ke dalam kulit yang mengalami depigmentasi (Lubis, 2008). Pengobatan vitiligo membutuhkan waktu, dimana sel baru yang terbentuk akan mengalami proliferasi dan kemudian bermigrasi ke dalam kulit yang mengalami depigmentasi, sehingga untuk melihat respon pengobatan dibutuhkan waktu minimal 3 bulan (Lamerson, 2000).

Metode pengobatan vitiligo dibagi atas:

1. Pengobatan secara umum, yaitu: Memberikan keterangan mengenai penyakit, pengobatan yang diberikan dan menjelaskan perkembangan penyakit selanjutnya kepada penderita maupun orang tua.

Penggunaan tabir surya (SPF 15-30) pada daerah yang terpapar sinar matahari. Melanosit merupakan pelindung alami terhadap sinar matahari yang tidak dijumpaipada penderita vitiligo. Penggunaan tabir surya mempunyai beberapa alasan yaitu:

a. Kulit yang mengalami depigmentasi lebih rentan terhadap sinar matahari (sunburn) dan dapat mengakibatkan timbulnya kanker kulit.b. Trauma yang diakibatkan oleh sinar matahari (sunburn) selanjutnya dapat memperluas daerah depigmentasi (Koebner phenomen).

c. Pengaruh sinar matahari dapat mengakibatkan kulit yang normal menjadi lebih gelap.

Dianjurkan menghindari aktivitas di luar rumah pada tengah hari dan menggunakan tabir surya yang dapat melindungi dari sinar UVA dan UVB (Lubis, 2008).

Camouflage Cosmetik

Tujuan penggunaan kosmetik yaitu menyamarkan bercak putih sehingga tidak terlalu kelihatan. Yang biasa digunakan adalah Covermark dan Dermablend (Lamerson, 2000).

2. Repigmentasi vitiligo yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:a. Terapi medis dan fototerapi

- Analog vitamin D topikalAnalog vitamin D, terutama kalsipotriol, telah digunakan secara topikal baik sendiri atau dalam kombinasi dengan steroid topikal dalam pengobatan vitiligo. Dasar untuk penggunaan agen-agen ini adalah bahwa Vitamin D3 mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi keratinosit dan melanosit. Ini telah lebih dibuktikan dengan adanya reseptor untuk 1 alpha-dihydroxyvitamin D3 pada melanosit. Reseptor ini diyakini memiliki peran dalam merangsang melanogenesis. Agen ini juga telah digunakan dalam kombinasi dengan sinar UV (termasuk NB-UVB) dan topikal steroid dengan hasil variabel (Majid, 2010). Pseudokatalase

Kalatase, merupakan enzim yang normal ditemukan pada kulit yang berfungsi mengurangi kerusakan kulit akibat radikal bebas. Katalase dilaporkan memiliki kadar yang rendah pada pasien vitiligo. Terapi penggantinya menggunakan analog dari katalase manusia normal (pseudokatalase) yang dikombinasikan dengan fototerapi narrowband UVB (NB-UVB). Topikal 5-Fluorourasil

Topikal 5-Fluorourasil digunakan untuk menginduksi repigmentasi pada lesi dengan vitiligo dengan memperbesar stimulasi migrasi dari folikular melanosit ke epidermis selama proses epitelisasi. Bentuk topikal terapi ini bisa dikombinasikan dengan titikdermabrasidarilesivitiligountukmeningkatkanrespondari repigmentasi. Didapatkan respon repigmentasi mencapai 73,3% dengan menggunakan kombinasi ini setelah terapi selama 6 bulan (Majid, 2010)

Topikal steroidPenggunaan steroid diharapkan dapat meningkatkan mekanisme pertahanan terhadap autodestruksi melanosit dan menekan proses imunologis. Topikal steroid merupakan bentuk pengobatan yang paling mudah. Steroid yang aman digunakan pada anak adalah yang potensinya rendah. Respon pengobatan dilihat minimal 3 bulan. Penggunaan steroid topikal yang berpotensi kuat dalam jangka waktu lama, dapat menimbulkan efek samping yaitu terjadinya atrofi pada kulit, teleangiektasi, dan lain-lain (Lubis, 2008). Topikal ImmunomodulatorBerdasarkan penelitian, topikal tacrolimus 0,1% dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan vitiligo pada anak. Tacrolimus adalah makrolid lakton yang diisolasi dari hasil fermentasi Streptomyces tsukubaensis. Merupakan suatu immunosupresor yang poten dan selektif. Mekanisme kerja berdasarkan inhibisi kalsineurin yang menyebabkan supresi dari aktivasi sel T dan inhibisi pelepasan sitokin. Berdasarkan penelitian, penggunaan topikal tacrolimus 0,1% memberikan hasil yang baik pada daerah wajah dan memiliki efek samping yang lebih minimal dibandingkan dengan topikal steroid yang poten, yaitu adanya rasa panas atau terbakar dan rasa gatal, namun biasanya menghilang setelah beberapa hari pengobatan (Lubis, 2008).

Topikal PUVA

Diindikasikan pada anak yang berusia lebih dari 10 tahun dengan vitiligo tipe lokalisata atau pada lesi yang luasnya kurang dari 20% permukaan tubuh. Digunakan cream atau solution Methoxsalen (8-Methoxypsoralen, Oxsoralen) dengan konsentrasi 0,1-0,3%. Dioleskan 15-30 menit sebelum pemaparan pada lesi yang depigmentasi. Pemaparan dengan UV-A dengan dosis awal 0,12 joule dan pada pemaparan berikutnya dosis dapat ditingkatkan sebanyak 0,12 joule sampai terjadi eritema ringan. Pemaparan dapat juga menggunakan sinar matahari. Lamanya pemaparan pada awal pengobatan selama 5 menit pada pengobatan berikutnya dapat ditambahkan 5 menit dan maksimum selama 15-30 menit. Pengobatan diberikan satu atau dua kali dalam seminggu tetapi tidak dalam 2 hari berturut-turut. Setelah selesai pemaparan, daerah tersebut dicuci dengan sabun dan dioleskan tabir surya. Efek samping yang dapat timbul adalah fotoaging, reaksi fototoksik dan penggunaan yang lama dapat meningkatkan timbulnya resiko kanker kulit. Respon pengobatan dilihat selama 3-6 bulan (Lubis, 2008). Sistemik PUVA

Indikasi penggunaan sistemik psoralen dengan pemaparan UV-A yaitu pada vitiligo tipe generalisata. Obat yang digunakan yaitu Methoxsalen (8-Methoxypsoralen, Oxsoralen), bekerja dengan cara menghambat mitosis yaitu dengan berikatan secara kovalen pada dasar pyrimidin dari DNA yang difotoaktivasi dengan UV-A. Dosis yang diberikan 0,2-0,4 mg/kgBB/oral, diminum 2 jam sebelum pemaparan. Pemaparan menggunakan UV-A yang berspektrum 320-400nm. Dosis awal pemberian UV-A yaitu 4 joule. Pada setiap pengobatan dosis UV-A dapat ditingkatkan 2-3 joule sehingga lesi yang depigmentasi akan berubah menjadi merah jambu muda (Lubis, 2008).

Dosis tersebut akan dipertahankan pada level yang konstan pada kunjungan berikutnya, sehingga terjadi repigmentasi pada kulit. Pemaparan dapat juga menggunakan sinar matahari. Lamanya pemaparan pada awal pengobatan selama 5 menit, pada pengobatan berikutnya dapat ditambahkan 5 menit, sehingga dicapai eritema ringan dan maksimum selama 30 menit. Pengobatan diberikan satu atau dua kali dalam seminggu tetapi tidak dalam 2 hari berturut-turut (Lubis, 2008). Terapi NarrowBand-UVBNarrowband Ultraviolet B (NB-UVB) merupakan terapi dengan menggunakan lampu ultraviolet dengan pemancaran maksimal 311 nm (Majid, 2010). Saat ini, NB-UVB merupakan terapi pilihan pertama pada penyakit ini karena aman dan efektif pada pasien anak maupun dewasa dengan vitiligo generalisata (Matin, 2010). Narrowband Ultraviolet B (NB-UVB) menyebabkan repigmentasi dari bercak vitiligo setidaknya dua kali lipat dengan cara:(a) imunosupresi untuk menghentikan pembunuhan melanosit membunuh

(b) memulihkan pigmentasi melalui peningkatan jumlah melanosit.

UVB mempunyai efek imunomodulator yang dapat menstabilisasi respon imun yang abnormal pada penderita vitiligo. Stimulasi melanosit folikular terjadi karena NB-UVB mengaktivisasi melanosit inaktif pada outer root seath folikel rambut di bagian tengah dan bawah. Melanosit inaktif mengandung protein melanosomal tapi tidak mempunyai enzim yang dibutuhkan untuk melanogenesis. Pengaktivisasian sel melanosit di outer root seath ini menyebabkan sel-sel tersebut berproliferasi dan bermigrasi dari folikel rambut ke epidermis dan menyebar secara sentrifugal (Groysman, 2009). Terapi Laser

Excimer laser, yang menggunakan Xenon-Klor (Xe-Cl) dan menghasilkan sinar laser monokromatik dengan panjang gelombang 308nm adalah pilihan lain pengobatan vitiligo. Laser ini dapat digunakan sendiri atau kombinasi dengan imunomodulator topikal atau terapi PUVA-sol (Majid, 2010).b. Terapi bedah Pasien dengan area vitiligo yang tidak luas dan aktivitasnya stabil, dapat dilakukan transplantasi secara bedah, yaitu:

1) Autologous skin graft

Metode skin graft ini menggunakan jaringan tubuh pasien sendiri (autologous). Sebagian kulit sehat dari tubuh pasien diambil dan direkatkan pada daerah yang mengalami kerusakan pigmen. Repigmentasi akan menyebar dalam waktu 4-6 minggu setelah dilakukan graft (Lubis, 2008). Komplikasi yang mungkin terjadi akibat tindakan ini adalah infeksi, terjadinya skar, dijumpai bercak-bercak pigmentasi (cobblestone appearance) atau juga dapat gagal (tidak terjadi repigmentasi sama sekali) (Czajkowski, 2007).

2) Suction Blister Grafts

Pada terapi ini dilakukan pemisahan antara epidermis yang viabel dari dermis dengan produksi suction blister yang akan memisahkan kulit secara langsung pada dermal-epidermal junction. Epidermis berpigmen kemudian diambil dan digunakan untuk menutup kulit resipien yang telah disiapkan dengan cara dikelupas dengan menggunakan liquid nitrogen blister.

Keuntungan dari suction blister grafts adalah pembentukan skar yang minimal oleh karena bagian dermis tetap intak baik pada daerah donor maupun resipien. Akan tetapi, kebanyakan dokter tidak memiliki perlengkapan mekanis yang diperlukan untuk memproduksi blister pada daerah donor (Halder & Taliaferro, 2008). c. Tattoo (mikropigmentation)

Tattoo merupakan pigmen yang ditanamkan dengan menggunakan peralatan khusus yang bersifat permanen. Teknik ini memberikan respon yang terbaik pada daerah bibir dan pada orang yang berkulit gelap. Efek sampingnya yaitu dapat terjadi herpes simpleks labialis (Lubis, 2008).

3) Depigmentation Depigmentasi yaitu menghilangkan seluruh pigmen yang ada di tubuh. Monobensil eter dari hidrokuinon (Monobenzon) merupakan satu-satunya agen depigmentasi yang ada untuk depigmentasi sisa kulit yang normal pada pasien dengan vitiligo berat. Monobenzon merupakan toksin fenol yang merusak melanosit epidermis setelah penggunaan yang lama. Monobenzon kemudian dapat menghasilkan depigmentasi yang seragam dan merata yang secara kosmetik dapatlebih diterima oleh banyak pasien. Monobenzon tersedia dalam bentuk cream 20% dan dapat diformulasikan pada konsentrasi hingga 40% (Lubis, 2008)Individu yang menggunakan monobenzon harus menghindari kontak langsung dengan orang lain selama 1 jam setelah pemberian terapi, oleh karena kontak langsung dapat menyebabkan terjadinya depigmentasi pada kulit yang tersentuh. Monobenzon juga bisa jadi mengiritasi dan menimbulkan sensitisasi alergi (Djuanedi, 1997).H. PROGNOSIS

Perkembangan penyakit vitiligo sukar diramalkan, dimana perkembangan dari lesi depigmentasi dapat menetap, meluas ataupun terjadi repigmentasi. Biasanya perkembangan penyakit dari semua tipe vitiligo bertahap, dan bercak depigmentasi akan menetap seumur hidup kecuali diberi pengobatan. Sering diawali dengan perkembangan yang cepat dari lesi depigmentasi dalam beberapa bulan, kemudian progresifitas lesi depigmentasi akan berhenti dalam beberapa bulan dan menetap dalam beberapa tahun. Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20% pasien, tetapi hasilnya jarang memuaskan secara kosmetik (Lamerson, 2000).BAB IIIKESIMPULANVitiligo merupakan penyakit yang masih belum diketahui penyebabnya secara pasti. Namun, beberapa faktor diduga bisa menjadi pencetus untuk penyakit ini.Tidak adanya melanosit pada lapisan kulit, merupakan tanda khas penyakit ini.Gambaran ruam vitiligo dapat berupa makula hipopigmentasi yang lokal sampai universal.

Terapi vitiligo sendiri sampai saat ini masih kurang memuaskan. Tabir surya dan kosmetik covermask bisa menjadi pilihan terapi yang murah dan mudah serta dapat digunakan oleh pasien sendiri dibanding dengan terapi lainnya. Kortikosteroid topikal juga dapat menjadi terapi inisial untuk vitiligo. Tindakan pembedahan padavitiligo dapat menjadi pilihan terapi apabila terapi lain memang tidak berhasil. Khusus untuk vitiligo dengan luas permukaanya lebih dari 50% dan pengobatan psoralen tidak berhasil, dapat dipilih terapi depigmentasi agar seluruh kulit memiliki warna yang seragam. Prognosis vitiligo masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran dan kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.DAFTAR PUSTAKA

Czajkowski. 2007 Vitiligo Treatment With Autologous Cultured Melanocytes. Diakses pada tanggal 15 November 2011 dari http://www.medline.co.id.

Djuanedi, H. 1997 Vitiligo. Diakses pada tanggal 15 November 2011 dari www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11Vitiligo117.../11Vitiligo117.html

Fitrie, A.A. 2004 Histologi Melanosit. Diakses pada tanggal 17 November 2011 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1929/1/histologi-alya2.pdfGroysman, V. 2009 Vitiligo. Diakses pada tanggal 17 November 2011 dari http://www.emedicine.com

Halder, R.M., & Taliaferro,S.J. 2008 Vitiligo dalam Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I.,dkk (ed) Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 7th ed, Mc Graw Hill, New York

Hapsari, M. 2008 Fototerapi Narrowband UVB (NB-UVB) pada Vitiligo. Diakses pada tanggal 16 November 2011 dari http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/14208103107.pdf..

Harahap, M. 2000 Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates, Jakarta.

Lamerson, C. Vitiligo dalam Harper, J., Oranje, A., Prose,N (ed). 2000 Textbook of Pediatric Dermatology,Vol 1. Blackwell Science.

Lubis, R.D. 2008 Vitiligo. Diakses pada tanggal 16 November 2011 dari USU e-Repository

Majid, I. 2010 Vitiligo Management: An Update. British Journal of Medical Practitioner Volume 3. 2010.

Matin, R. Vitiligo in Adults and Children. Clinical Evidence. 2011 Diakses pada tanggal 16 November 2011 dari http://clinicalevidence.bmj.com/ceweb/conditions/skd/1717/1717-get.pdfSoepardiman, L. 2005 Kelainan Pigmen dalam Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S.,dkk (ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

22