step 7 skenario 4 agro.docx

43
1. Penyakit kulit akibat kerja Kulit merupakan organ tubuh yang terpenting yang berfungsi sebagai sawar (barrier), karena kulit merupakan organ pemisah antara bagian di dalam tubuh dengan lingkungan di luar tubuh. Kulit secara terus- menerus terpajan terhadap faktor lingkungan, berupa faktor fisik, kimiawi, maupun biologik. Bagian terpenting kulit untuk menjalankan fungsinya sebagai sawar adalah lapisan paling luar, disebut sebagai stratum korneum atau kulit ari. Meskipun ketebalan kulit hanya 15 milimikro, namun sangat berfungsi sebagai penyaring benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Apabila terjadi kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan melampaui kapasitas toleransi serta daya penyembuhan kulit, maka akan terjadi penyakit. Kulit adalah bagian tubuh manusia yang cukup sensisitif terhadap berbagai macam penyakit. Penyakit kulit bisa disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya, faktor lingkungan dan kebiasaan sehari-hari. Lingkungan yang sehat dan bersih akan membawa efek yang baik bagi kulit. Demikian pula sebaliknya. Salah satu lingkungan yang perlu diperhatikan adalah lingkungan kerja, yang bila tidak dijaga dengan baik dapat menjadi sumber munculnya berbagai penyakit kulit.

Upload: abdi-nusa-persada-nababan

Post on 28-Nov-2015

92 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

yhf

TRANSCRIPT

Page 1: step 7 skenario 4 agro.docx

1. Penyakit kulit akibat kerja

Kulit merupakan organ tubuh yang terpenting yang berfungsi sebagai sawar

(barrier), karena kulit merupakan organ pemisah antara bagian di dalam tubuh

dengan lingkungan di luar tubuh. Kulit secara terus-menerus terpajan terhadap

faktor lingkungan, berupa faktor fisik, kimiawi, maupun biologik.

Bagian terpenting kulit untuk menjalankan fungsinya sebagai sawar adalah

lapisan paling luar, disebut sebagai stratum korneum atau kulit ari. Meskipun

ketebalan kulit hanya 15 milimikro, namun sangat berfungsi sebagai

penyaring benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Apabila terjadi kerusakan

yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan melampaui kapasitas toleransi

serta daya penyembuhan kulit, maka akan terjadi penyakit.

Kulit adalah bagian tubuh manusia yang cukup sensisitif terhadap berbagai

macam penyakit. Penyakit kulit bisa disebabkan oleh banyak faktor. Di

antaranya, faktor lingkungan dan kebiasaan sehari-hari. Lingkungan yang

sehat dan bersih akan membawa efek yang baik bagi kulit. Demikian pula

sebaliknya. Salah satu lingkungan yang perlu diperhatikan adalah lingkungan

kerja, yang bila tidak dijaga dengan baik dapat menjadi sumber munculnya

berbagai penyakit kulit.

Sejak dahulu di seluruh dunia telah dikenal adanya reaksi tubuh terhadap

bahan atau material yang ada di lingkungan kerja. Dalam Ilmu Kesehatan

Kulit dikenal, pada individu atau pekerja tertentu baik yang berada di negara

berkembang maupun di negara maju, dapat mengalami kelainan kulit akibat

pekerjaannya. Penyakit Kulit Akibat Kerja (PAK) dikenal secara populer

karena berdampak langsung terhadap pekerja yang secara ekonomis masih

produktif. Istilah PAK dapat diartikan sebagai kelainan kulit yang terbukti

diperberat oleh jenis pekerjaannya, atau penyakit kulit yang lebih mudah

terjadi karena pekerjaan yang dilakukan.

Apabila ditinjau lebih lanjut, penyakit kulit akibat kerja (PKAK) sebagai salah

satu bentuk penyakit akibat kerja, merupakan jenis penyakit akibat kerja

terbanyak yang kedua setelah penyakit muskulo-skeletal, berjumlah sekitar 22

persen dari seluruh penyakit akibat kerja. Data di Inggris menunjukkan 1.29

kasus per 1000 pekerja merupakan dermatitis akibat kerja. Apabila ditinjau

Page 2: step 7 skenario 4 agro.docx

dari jenis penyakit kulit akibat kerja, maka lebih dari 95 persen merupakan

dermatitis kontak, sedangkan yang lain merupakan penyakit kulit lain seperti

akne, urtikaria kontak, dan tumor kulit.

Berdasarkan jenis organ tubuh yang dapat mengalami kelainan akibat

pekerjaan seseorang, maka kulit merupakan organ tubuh yang paling sering

terkena, yakni 50 % dari jumlah seluruh penderita Penyakit Akibat Kerja

(PAK). Dari suatu penelitian epidemiologik di luar negeri mengemuka, PAK

dapat berdampak pada hilangnya hari kerja sebesar 25 % dari jumlah hari

kerja. Secara umum, tampaknya hingga kini kelengkapan data PAK masih

menjadi salah satu tantangan, karena PAK acapkali tidak teramati atau tidak

teridentifikasi dengan baik akibat banyaknya faktor yang harus dikaji dalam

memastikan jenis penyakit ini.

Data mengenai insidens dan prevalensi penyakit kulit akibat kerja sukar

didapat, termasuk dari negara maju, demikian pula di Indonesia. Umumnya

pelaporan tidak lengkap sebagai akibat tidak terdiagnosisnya atau tidak

terlaporkannya penyakit tersebut. Hal lain yang menyebabkan terjadinya

variasi besar antarnegara adalah karena sistem pelaporan yang dianut berbeda.

Effendi (1997) melaporkan insiden dermatitis kontak akibat kerja sebanyak 50

kasus per tahun atau 11.9 persen dari seluruh kasus dermatitis kontak yang

didiagnosis di Poliklinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI-RSUPN dr

Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Di AS angka statistik berasal dari survei yang dilakukan oleh Bureau of Labor

Statistic pada industri swasta yang didata secara random. Di Inggris pelaporan

melibatkan dokter spesialis kulit yang bekerja pada beberapa pusat kesehatan.

Diagnosis ditetapkan secara sederhana termasuk menetapkan jenis pekerjaan

yang dilaksanakan. Pengamatan yang dilaksanakan pada berbagai jenis

pekerjaan di berbagai negara barat mendapatkan insiden terbanyak terdapat

pada penata rambut 97.4 persen, pengolah roti 33.2 persen dan penata bunga

23.9 persen.

Apabila ditinjau dari masa awitan penyakit, maka masa awitan terpendek

adalah dua tahun untuk pekerjaan penataan rambut, tiga tahun untuk pekerjaan

Page 3: step 7 skenario 4 agro.docx

industri makanan, dan empat tahun untuk petugas pelayanan kesehatan dan

pekerjaan yang berhubungan dengan logam.

Ditemukan pula pengaruh gender, perempuan dikatakan lebih berisiko

mendapat penyakit kulit akibat kerja dibandingkan dengan laki-laki. Berkaitan

dengan umur, maka umur 15-24 tahun merupakan usia dengan insidens

penyakit kulit akibat kerja tertinggi. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh

pengalaman yang masih sedikit dan kurangnya pemahaman mengenai

kegunaan alat pelindung diri. Sensitisasi sesuai dengan jenis pekerjaan terjadi

pada 52 persen kasus.

Di beberapa negara maju telah berhasil mendata PAK, misalnya di Swedia

prosentase PAK 50 % dari seluruh jenis PAK. Sedang di Singapura, angka ini

berkisar 20 %. Ada dua kelompok besar dalam penggolongan PAK ini, yakni

PAK eksematosa dan PAK non-eksematosa.

Di dalam Ilmu Kesehatan Kulit, istilah eksematosa sama dengan dermatitis.

Pengertian dermatitis adalah peradangan kulit yang ditandai oleh rasa gatal,

dapat berupa penebalan/bintil kemerahan, multipel mengelompok atau

tersebar, kadang bersisik, berair dan lainnya. Akibat permukaan kulit terkena

bahan atau unsur-unsur yang ada di lingkungannya (faktor eksogen). Namun

demikian, untuk terjadinya suatu jenis dermatitis atau beratnya gejala

dermatitis, kadang-kadang dipengaruhi pula oleh faktor kerentanan kulit

seseorang (faktor endogen).

Lebih dari 90 % PAK merupakan jenis PAK eksematosa, sedang sisanya kira-

kira 10 % berupa PAK non-eksematosa. Termasuk di dalam PAK eksematosa

adalah Dermatitis Kontak Iritan (DKI), Dermatitis Kontak Alergi, serta

Urtikaria. Di antara ketiga jenis ini, umumnya DKI lebih sering terjadi.

Secara tidak disadari, sebenarnya di lingkungan kerja kita mungkin ada bahan,

barang atau unsur yang dapat bersifat melukai kulit, mengiritasi kulit,

menyebabkan alergi kulit, menyebabkan infeksi kulit, maupun menyebabkan

perubahan pigmen kulit jika menempel pada kulit. Bahkan, masih ada bahan

Page 4: step 7 skenario 4 agro.docx

atau unsur yang bersifat memicu terjadinya keganasan pada kulit (kanker

kulit).

Terjadinya PAK dipengaruhi oleh jenis PAK dan faktor individual pekerja,

seperti kulit terang, jenis kulit kering, kulit berminyak, mudah berkeringat,

kebersihan diri yang kurang, penyakit kulit yang sudah ada, serta

kemungkinan trauma kulit yang sudah ada sebelumnya. Sedang untuk

kejadian luar biasa (KLB) PAK, jarang terjadi.

Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua PAK, terbanyak bersifat

nonalergi atau iritan. Sekitar 90.000 jenis bahan sudah diketahui dapat

menimbulkan dermatitis. DKI merupakan jenis PAK yang paling sering terjadi

di antara para pekerja, dibandingkan dengan Dermatitis Kontak Alergika

(DKA).

Dermatitis kontak secara umum merupakan penyakit spesifik-lingkungan,

yaitu suatu peradangan kulit akibat bahan yang berasal dari lingkungan.

Terdapat dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan

dematitis kontak alergik (DKA). Kedua jenis tersebut kadang-kadang sangat

sukar dibedakan secara klinis, meskipun keduanya berbeda dalam patogenesis

yang mendasarinya. Insidens dermatitis kontak iritan lebih tinggi

dibandingkan dengan dermatitis kontak alergik.

Dermatitis kontak iritan merupakan kelainan sebagai akibat pajanan dengan

bahan toksik non-spesifik yang merusak epidermis dan atau dermis.

Umumnya setiap orang dapat terkena, bergantung pada kapasitas toleransi

kulitnya. Penyakit tersebut mempunyai pola monofasik, yaitu kerusakan

diikuti dengan penyembuhan.

Dermatitis kontak iritan dapat terjadi melalui dua jalur: efek langsung iritan

terhadap keratinosit dan kerusakan sawar kulit (seperti terlihat pada gambar).

Efek langsung iritan pada keratinosit, pada DKI akut, penetrasi iritan melewati

sawar kulit akan merusak keratinosit dan merangsang pengeluaran mediator

inflamasi diikuti dengan aktivasi sel T. Selanjutnya terjadi akumulasi sel T

Page 5: step 7 skenario 4 agro.docx

dengan aktivasi tidak lagi bergantung pada penyebab. Hal tersebut dapat

menerangkan kesamaan jenis infiltrat dan sitokin yang berperan antara DKI

dan DKA. Peradangan hanya merupakan salah satu aspek sindrom DKI.

Apabila terjadi pajanan dengan konsentrasi suboptimal maka reaksi yang

terjadi langsung kronik.

Stratum korneum atau kulit ari merupakan sawar kuli yang sangat efektif

terhadap berbagai bahan iritan karena pembaharuan sel terjadi secara

berkesinambungan dan proses penyembuhan berlangsung cepat. Apabila

waktu pajanan lebih pendek daripada waktu penyembuhan, sehingga sel-sel

keratinosit tidak sempat sembuh, maka akan terjadi gejala klinis DKI

kumulatif. Kerusakan sawar lipid berhubungan dengan kehilangan daya

kohesi antar korneosit dan deskuamasi diikuti dengan peningkatan trans-

epidermal water loss (TEWL). Hal tersebut merupakan rangsangan untuk

memacu sintesis lipid, proliferasi keratinosit dan hiperkeratosis sewaktu

transient sehingga dapat terbentuk sawar kulit dalam keadaan baru.

DKI terjadi karena kerusakan organ kulit secara langsung (bukan suatu proses

imunologis) akibat efek toksik bahan yang bersifat kimiawi ataupun fisik yang

menempel pada permukaan kulit. DKI kronis terjadi karena bahan penyebab,

seperti sabun, pelarut, air, deterjen, minyak sintetis, kerosen, formalin,

merkuri anorganik, terpentin, photographic developer, dan lain-lain menempel

pada kulit dalam jangka waktu panjang. Kelainan yang ditimbulkan adalah

dalam beberapa hari bahkan sampai beberapa bulan setelah terkena bahan

penyebab, kulit terasa gatal, tampak kering, kasar, bersisik halus, kemerahan,

menebal, kadang kulit pecah-pecah.

Pada kondisi tertentu di tempat kerja, yakni udara panas dan pengap, atau suhu

ruang yang amat dingin, berpakaian nilon dan lain-lain dapat meningkatkan

kepekaan kulit atau memudahkan kulit pekerja terkena DKI. DKI itu sendiri

adalah penyakit kulit yang terjadi akibat menempelnya sesuatu bahan atau

unsur yang disebut sensitizer pada permukaan kulit. Proses terjadinya penyakit

tergantung sistem kekebalan seseorang yang ditandai dengan kulit gatal

Page 6: step 7 skenario 4 agro.docx

kemerahan, mungkin bengkak, terdapat bintil merah, bintil berair berjumlah

banyak yang tampak tidak hanya terbatas pada area kulit yang terkena bahan

penyebab, tetapi dapat meluas di luar area kulit yang terkena bahan penyebab,

bahkan dapat ke seluruh permukaan kulit.

Untuk mengantisipasi hal ini perlu pembersih kulit yang tidak bersifat iritatif

atau melukai permukaan kulit. Untuk pencegahannya, perlu alat pelindung

yang tepat di tempat kerja, setelah dilakukan pengamatan oleh petugas yang

berkompeten.

Dermatitis kontak alergi dapat terjadi bila bahan LMW seperti lateks dan

nickel, sebagai hapten berikatan dengan protein pembawa di kulit dan

menimbulkan dermatitis kontak alergi Tipe IV.

Urtikaria dapat terjadi akibat kontak dengan bahan dalam lingkungan kerja

yang menimbulkan urtikaria alergi Tipe I (lateks) atau urtikaria nonalergi.

Faktor fisik lingkungan kerja seperti tekanan, panas, dingin dan lainnya dapat

juga menimbulkan urtikaria nonalergi (urtikaria fisik).

Dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) paling sering, yakni sekitar 90 persen,

menyerang tangan. Ini berpengaruh pada gejala dan perasaan seseorang.

Misalnya, rasa gatal dan sakit pada waktu melaksanaan pekerjaan, serta rasa

kurang nyaman pada waktu melayani seseorang ketika menggunakan tangan.

Sedangkan eksim lebih banyak berlokasi di daerah muka dan bagian tubuh

lain. Ini berdampak pada perasaan malu sehingga akan lebih besar

pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari, kinerja, dan hubungan dengan

orang lain. DKAK paling sering disebabkan oleh logam. Pada perempuan

DKAK disebabkan oleh nikel, sedangkan pada laki-laki oleh kromat.

Dermatitis akibat kerja (DAK) umumnya mempunyai prognosis buruk.

Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap pekerja logam dan pekerja

konstruksi menemukan 70 persen tetap menderita dermatitis meskipun telah

Page 7: step 7 skenario 4 agro.docx

dilakukan upaya penghindaraan terhadap alergen penyebab dan perubahan

jenis pekerjaan.

Meski dermatitis akibat kerja tidak memerlukan rawat inap, ringan, dan

umumnya dianggap sebagai risiko yang perlu diterima, pengaruh terhadap

pekerjaan dan status sosial psikologi harus diperhitungkan. Dampak dermatitis

kontan akibat kerja (DKAK) terhadap ekonomi sangat besar. Ini meliputi

biaya langsung atas pengobatan, kompensasi kecacatan dan biaya tidak

langsung yang meliputi kehilangan hari kerja dan produktivitas, biaya

pelatihan ulang serta biaya yang menyangkut efek terhadap kualitas hidup.

 

Kasus Penyakit Kulit Akibat Kerja

KASUS I

Dermatosis pada Pekerja Industri Batik

Penyakit akibat kerja yang paling banyak terjadi adalah dematosis akibat kerja

yaitu sekitar 50 – 60 %. Salah satu penyebab dermatosis akibat kerja adalah

karena bahan kimia yang dapat menyebabkan dermatosis kontak. dalam

industri tekstil, bahan kimia merupakan bahan yang paling banyak digunakan.

Seperti industri tekstil pada umumnya, industri batik yang banyak berdiri di

Surakarta ini tidak bisa lepas dari penggunaan bahan kimia. Bahan-bahan

tersebut dapat mengakibatkan kelainan kulit seperti ulcera, eritema, kulit

kering, luka bakar kimia, dan sebagainya.

Telah dilakukan suatu penelitian dengan tujuan untuk mengetahui proporsi

dermatosis serta gambaran faktor-faktor yang diduga berkaitan dengan

timbulnya dermatosis pada pekerja industri batik di kota Surakarta. Faktor-

faktor tersebut adalah faktor kimia (emakaian bahan kimia) dan faktor

karakteristik tenaga kerja seperti masa kerja, umur, lama paparan, pemakaian

APD, riwayat penyakit kulit tertentu, riwayat alergi pada kulit, dan kebersihan

perorangan.

Page 8: step 7 skenario 4 agro.docx

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi dermatosis karena bahan kimia

pada pekerja industri batik di Surakarta adalah 32,7 %. Pekerja yang

menggunakan bahan kimia lebih banyak menderita dermatosis (54,5 %).

Kelompok umur < 25 tahun lebih banyak menderita dermatosis daripada yang

berumur > 25 tahun. Pekerja dengan masa kerja < 1 tahun lebih banyak

menderita dermatosis daripada yang masa kerjanya > 1 tahun. Pekerja yang

terpapar bahan kimia > 4 jam sehari lebih banyak yang dermatosis daripada

yang terpapar 1 – 4 jam sehari. Pekerja yang tidak mempunyai riwayat

penyakit kulit lebih cenderung terkena dermatosis daripada yang mempunyai

riwayat penyakit kulit. Pekerja yang mempunyai riwayat alergi pada kulit

cenderung terkena dermatosis daripada yang tidak mempunyai riwayat alergi

pada kulit. Pekerja yang selalu memakai APD sarung tangan juga cenderung

terkena dermatosis daripada yang kadang-kadang atau tidak pernah memakai

sama sekali. Pekerja yang kebersihan perorangannya buruk lebih banyak yang

dermatosis daripada yang kebersihan perorangannya baik atau sedang.

 

KASUS II

Dermatosis pada Tenaga Kerja Industri Plywood

Menurut catatan Kanwil Depnaker Kalimantan Selatan, kurang lebih 30.000-

an tenaga kerja yang bergelut di bidang industri plywood. Tenaga kerja ini di

lingkungan kerjanya terpajan debu kayu dan bahan kimia. Laporan salah satu

poliklinik perusahaan plywood menyatakan 10% tenaga kerjanya menderita

penyakit kulit. Penyakit kulit ini sangat mengganggu kenyamanan dan

konsentrasi bekerja sehingga dapat memperbesar kemungkinan terjadinya

kecelakaan kerja.

Di negara maju dengan penerapan higiene perusahaan dan higiene perorangan

tenaga kerja yang sudah lebih baik masih ditemukan penyakit kulit akibat

kerja dengan prevalensi 1%-2%. Angka ini merupakan 40% dari seluruh

penyakit akibat kerja. Penyakit kulit akibat kerja ini sebagian besar (80%)

Page 9: step 7 skenario 4 agro.docx

berupa dermatitis kontak. Dari hasil yang didapat, tenaga kerja yang menderita

penyakit kulit sebanyak 696 orang (35%), terbanyak di bagian logpond,

boiler, dan hot press. Tenaga kerja di bagian logpond kebanyakan menderita

tinea pedis dan dermatitis kontak, sedangkan tinea pedis kebanyakan diderita

tenaga kerja di bagian dryer dan boiler.

Penyakit kulit akibat kerja atau dermatosis akibat kerja (DAK) di luar negeri

merupakan yang tertinggi di antara penyakit-penyakit akibat kerja lainnya.

Tahun 1973 di California, Amerika Serikat ditemukan 40,6% penyakit akibat

kerja merupakan DAK. Biro statistik tenaga kerja Amerika Serikat

mendapatkan angka 1,5% dari seluruh tenaga kerja yang terdaftar menderita

DAK.

Dermatosis tersering adalah dermatitis kontak, yang pada penelitian ini

didapatkan sebesar 21,3% (terbanyak ke dua). Zat iritan akan merusak kulit

dengan cara mengurangi kandungan air kulit, sehingga kulit mudah retak,

menimbulkan dermatitis. Zat alergik mempengaruhi kulit melalui jalur

imunologis, limfosit terangsang untuk membentuk mediator yang

mengakibatkan dermatitis. Dermatitis kontak foto, kejadiannya hampir sama

hanya memerlukan bantuan sinar matahari. Akne sering disebabkan senyawa

klor yang menyumbat muara folikel rambut dan muara kelenjar keringat

sehingga retensi produksinya disertai pembentukan keratin yang

mengakibatkan terbentuknya komedo. Dermatomikosis akibat kerja dapat

memberi gambaran klinis berupa dermatofitosis seperti tinea pedis dan non

dermatofitosis akibat kerja seperti tinea versikolor, yang ditemukan 3,3% di

dalam penelitian ini. Kelainan pigmentasi sering disebabkan monobenzil eter

hidrokuinon di pabrik karet. Kanker kulit terjadi karena pajanan kronis sinar

ultra violet, radiasi ionisasi dan shale oil.

Penyakit kulit yang ditemukan dapat dinyatakan sebagai dermatosis akibat

kerja, karena didukung oleh faktor penyebabnya berupa: 1. Faktor kimia, debu

berbagai jenis kayu, formaldehid sebagai bahan campuran lem (glue) dan uap

amoniak yang dibuktikan dengan hasil pemeriksaan lingkungan kerja, 2.

Page 10: step 7 skenario 4 agro.docx

Faktor fisik, berupa lingkungan kerja yang panas dan lembab, 3. Riwayat

perjalanan penyakit yang membaik bila tenaga kerja libur atau istirahat dan

kambuh atau bertambah parah bila bekerja lagi.

Di lokasi logpond tenaga kerja kontak langsung dengan kayu di sungai,

sedangkan di bagian boiler dan di hot press debu kayu sangat banyak serta

udaranya yang panas dan lembab.

Insiden DAK di Indonesia belum diketahui, mungkin karena laporan

perusahaan mengenai DAK tidak ada atau tidak lengkap karena berbagai

sebab atau ada anggapan bahwa DAK merupakan penyakit ringan serta sulit

menentukan derajat kecacatannya guna perhitungan kompensasi.

KASUS III

Dermatosis pada Tukag Batu dan Tenaga Kerja Industri Elektronik

“Sejak bekerja sebagai tukang batu, hampir seluruh dada dan perut saya

berisisik dan gatal. Hampir tak tersisa warna kulit aslinya”, keluh seorang

buruh bangunan yang dalam bekerja memang bertelanjang dada. Ia benar-

benar merasa tersiksa dan kurang produktif, karena rasa gatal yang

membuatnya kurang nyaman dalam bekerja.

Kasus lain, seorang analis kimia yang bekerja di sebuah industri elektronik

selalu mengeluh tidak nyaman dengan wajahnya. ”Rasanya seperti terbakar.

Padahal sebelum bekerja di pabrik ini, saya tidak pernah mengalaminya …..”.

Kedua kasus tersebut merupakan penyakit akibat kerja. Kebetulan keduanya

mengenai kulit. Hal ini banyak dialami oleh para tenaga kerja, walaupun tidak

selalu diketahui sebagai penyakit akibat kerja.

Kasus pertama, tenaga kerja pada pekerjaan konstruksi, dalam hal ini sebagai

tukang batu, tidak tahan terhadap bahan bangunan tertentu, sehingga kontak

dengan bahan tersebut menimbulkan radang kulit akibat alergi (dermatitis

alergika). Sedangkan kasus kedua, tenaga kerja pada industri elektronik

Page 11: step 7 skenario 4 agro.docx

mengalami electrical sensitivity, yaitu merupakan gambaran gangguan

fisiologis berupa tanda dan gejala neurologis maupun kepekaan terhadap

medan elektromagnetik, dengan gejala-gejala khas. Manifestasi electrical

sensitivity pada kulit, antara lain berupa muka terbakar (facial burning) serta

kulit meruam (rashes).

Akibat Kerja

Penyakit kulit akibat kerja atau yang didapat sewaktu melakukan pekerjaan,

banyak penyebabnya. Agen sebagai penyebab penyakit kulit tersebut antara

lain berupa agen-agen fisik, kimia maupun biologis. Kebanyakan agen

terdapat dalam pekerjaan industri. Paparan terhadap kondisi cuaca lazim pada

pekerja pertanian dan nelayan.

Beberapa kelompok pekerja yang berisiko tinggi antara lain (a) pekerja

pertanian, akibat kondisi cuaca, agen-agen zoonotik, pestisida, pupuk dan

sebagainya, (b) pekerja bangunan, akibat kontak dengan semen, cat, serat-serat

mineral dan sebagainya, (c) pekerja industri rekayasa, akibat kontak dengan

minyak atau pelumas pemotong, (d) penyepuh elektrik, akibat pembersih

pelumas, asam-asam, garam-garam logam, (e) petugas kesehatan, akibat

kontak dengan antibiotika, anestesi lokal, desinfektan.

Agen-agen fisik menyebabkan trauma mekanik, termal atau radiasi langsung

pada kulit. Kebanyakan iritan langsung merusak kulit dengan cara (a)

mengubah pH nya, (b) bereaksi dengan protein-proteinnya (denaturasi), (c)

mengekstraksi lemak dari lapisan luarnya, atau (d) merendahkan daya tahan

kulit. Sedangkan reaksi yang menimbulkan alergi kulit umumnya adalah

hipersensitivitas tipe lambat.

Agen-agen sensitisasi bereaksi dengan protein dalam epidermis membentuk

kompleks hapten-protein, yang merangsang pembentukan antibodi. Sementara

itu, agen-agen aknegenik menyumbat kelenjar dan saluran-saluran minyak,

mengakibatkan peradangan lokal. Photosensitizer meningkatkan sensitivitas

kulit terhadap radiasi ultraviolet (Bergqvist and Wahlber, 1994).

Page 12: step 7 skenario 4 agro.docx

Efek Klinis

Efek klinis yang ditimbulkan oleh agen-agen tersebut, bermanifestasi sebagai

penyakit kulit antara lain sebagai berikut (Waldron, 1990; Anies, 2003):

Dermatitis kontak iritan primer, adalah dermatosis akibat kerja yang paling

sering ditemukan. Bentuk akut ditandai dengan eritema, edema, papula,

vesikel atau bula, yang biasanya terdapat pada tangan, lengan bawah dan

wajah. Bentuk kronik tidak khas, mirip dengan kebanyakan dermatosis yang

lain dan penyebabnya tidak mudah dikenali.

Dermatitis (ekzema) kontak alergi, baik akut maupun kronis, mempunyai

ciri-ciri klinis yang sama dengan ekzema bukan akibat kerja.

Akne (jerawat) akibat kerja. Mirip dengan jerawat pada umumnya, tetapi

terutama menyerang bagian yang kontak dengan agen.

Dermatosis solaris akut. Penyakit kulit ini dianggap sebagai penyakit kulit

akibat kerja, jika sangat dipermudah oleh zat-zat fotodinamik yang digunakan

dalam pekerjaan tersebut.

Kanker kulit akibat kerja. Biasanya berupa kanker sel skuamosa atau sel

basal. Kanker akibat kerja cenderung terjadi pada permukaan kulit yang paling

banyak terpapar terhadap karsinogen.

Penyakit kulit menular akibat kerja. Paling sering adalah penyakit zoonotik,

kandidiasis, tuberkulosis verukosa.

Pemeriksaan

Pemeriksaan kesehatan dilakukan sebelum penempatan dan berkala, juga

perhatian khusus pada kulit di seluruh tubuh serta alergi. Pemeriksaan

kesehatan berkala dianjurkan dilakukan dengan selang waktu 6 bulan sampai 2

tahun, tergantung pada tingkat paparan di tempat kerja.

Page 13: step 7 skenario 4 agro.docx

Alergen yang kuat, sensitizer dan karsinogen, sebaiknya diganti dengan

bahan-bahan yang kurang berbahaya. Kontak agen penyebab dengan kulit

hendaknya dibatasi dengan upaya pengendalian teknis. Pakaian pelindung,

sarung tangan, maupun krem pelindung, sepatu boot dan topeng wajah, sangat

diperlukan.

 

Pencegahan Penyakit Kulit Akibat Kerja

Untuk mencegah terjangkitnya penyakit kulit akibat kerja (dermatitis kontak

akibat kerja) maka perawatan dan perlindungan kulit sangat penting. Program

perlindungan kulit ini tidak hanya melibatkan pekerja tapi juga pemberi kerja

sebagai penyedia sarana. Yang juga penting adalah kertelibatan peraturan atau

perundang-undangan.

Program perawatan kulit sebaiknya diikutsertakan dalam program pendidikan,

memuat informasi tentang kulit sehat dan penyakit kulit yang terkait dengan

pekerjaan. Juga pengenalan diri penyakit kulit dan kegunaan prosedur

perlindungan. Sebagai contoh, program perlindungan kulit pada pekerja di

”pekerjaan basah.” Yakni, mencuci tangan dengan air biasa, lalu bilas dan

keringkan tangan dengan sempurna setelah mencuci. Karena kulit yang tidak

dilindungi lebih mudah terkena iritasi, maka disarankan memakai sarung

tangan untuk melindungi kulit terhadap air, kotoran, deterjen, sampo, dan

bahan makanan.

Yang juga penting diperhatikan, hindari pemakaian cincin selagi bekerja.

Karena, dermatitis umumnya dimulai pada jari yang memakai cincin sebagai

reaksi terhadap iritan yang terjebak di bawah cincin. Pemakaian jenis

disinfektan sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan tempat kerja. Sebab,

umumnya disinfektan bersifat iritan dan turut berperan terhadap

perkembangan menjadi dermatitis kontak di tangan.

Cara lainnya, gunakan pelembab sewaktu bekerja, atau setelah bekerja. Pilih

pelembab yang banyakmengandung lemak dan bebas parfum, serta bahan

pengawet berpotensi alergenik terendah. Pelembab terbukti dapat

Page 14: step 7 skenario 4 agro.docx

mempermudah regenerasi fungsi sawar kulit dan kandungan lemak

berhubungan dengan kecepatan proses regenerasi tersebut. Pelembab

sebaiknya dipakai di seluruh tangan, termasuk sela jari, ujung jari, dan

punggung tangan.

 

Kesimpulan

Penyakit Kulit Akibat Kerja (PAK) dikenal secara populer karena berdampak

langsung terhadap pekerja yang secara ekonomis masih produktif. Istilah PAK

dapat diartikan sebagai kelainan kulit yang terbukti diperberat oleh jenis

pekerjaannya, atau penyakit kulit yang lebih mudah terjadi karena pekerjaan

yang dilakukan.

Lebih dari 95 % penyakit kulit akibat kerja merupakan dermatitis kontak,

sedangkan yang lain merupakan penyakit kulit seperti akne, urtikaria kontak,

dan tumor kulit.

Untuk mencegah terjangkitnya penyakit kulit akibat kerja maka perawatan dan

perlindungan kulit sangat penting. Program perlindungan kulit ini tidak hanya

melibatkan pekerja tapi juga pemberi kerja sebagai penyedia sarana serta

melibatkan peraturan atau perundang-undangan.

Saran

Setiap tempat kerja sebaiknya melaksanakan upaya kesehatan kerja dengan

maksimal, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga,

masyarakat dan lingkungan disekitarnya. Selain itu perlu dilakukan upaya

untuk meningkatkan kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja

agar lebih memadai sehingga pekerja tidak lagi meremehkan risiko kerja dan

menggunakan alat-alat pengaman yang sudah tersedia.

Page 15: step 7 skenario 4 agro.docx

2. Pneumokoniasis lain

2.1    Definisi

Pneumokoniosis adalah akumulasi debu dalam jaringan paru dan reaksi

jaringan paru terhadap adanya akumulasi debu tersebut. Bila pengerasan

alveoli telah mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang

menyebabkan kapasitas vital paru menurun dan dapat mengakibatkan

berkurangnya suplai O2 ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian tubuh

lainnya (Yulaekah, 2007). Penyakit pneumokoniosis banyak jenisnya,

tergantung dari jenis partikel yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru.

2.2    Jenis Pneumokoniosis

2.2.1        Asbestosis

Penyakit ini terjadi akibat inhalasi debu asbes, menimbulkan penumokoniosis

yang ditandai oleh fibrosis paru. Paparan dapat terjadi di daerah industri dan

tambang, juga bisa timbul pada daerah sekitar pabrik atau tambang yang

udaranya terpolusi oleh debu asbes. Pekerja yang dapat terkena asbestosis

adalah yang bekerja di tambang, penggilingan, transportasi, pedagang, pekerja

kapal dan pekerja penghancur asbes (Yunus, 1997).

2.2.2        Silikosis

Penyakit silikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh pencemaran debu

silika bebas (SiO2) yang terhisap kemudian mengendap menyebabkan

peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-paru. Paparan terjadi

di daerah besi dan baja, keramik, beton, timah putih, dan pasir (WHO, 1986).

2.2.3        Pneumokoniosis Penambang Batubara

Penyakit pneumokoniosis pada penambang batu bara atau coal workers

pneumoconiosis (CWP) adalah penyakit yang terjadi akibat penumpukan debu

batubara di paru dan menimbulkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut.

Penyakit ini terjadi bila paparan cukup lama, biasanya setelah pekerja terpapar

lebih daii 10 tahun (Yunus, 1997).

Page 16: step 7 skenario 4 agro.docx

2.2.4        Beriliosis

Penyakit ini diperoleh terutama pada pemurnian berilium. Secara klinis,

menyerupai sarkoidosis kronik (fibrosis difus tidak teratur). Pemberian

kortikosteroid disebutkan masih berfungsi untuk menangani penyakit tersebut

(Seaton, 1999).

2.3    Epidemiologi

Dalam studi epidemiologi pneumokoniosis, gambaran radiografi dari pekerja

yang terpajan harus selalu dibandingkan dengan standar film dari International

Labour Organization (ILO), dan dinilai dari kategori 0 (normal) hingga

kategori 3. Di Inggris, pneumokoniosis pada pekerja batu bara tradisional di

diagnosis kurang dari 100 orang /tahun, yang sebagian besar individu adalah

mantan penambang dengan usia lebih dari 50 tahun. Risiko pneumokoniosis

pada penambang batubara tradisional dan fibrosis masif progresif (PMF)

adalah berkaitan dengan debu batubara pada tambang yang terpapar. Sekitar

5% dari penambang terpapar debu sebanyak 8 mg/m3 seluruh masa kerja

mereka mengalami pneumokoniosis kategori 2 pekerja batu bara tradisional.

Risiko lebih tinggi terjadi pada mereka yang terpapar batubara jenis sangat

mudah terbakar (misalnya antrasit), dan lebih rendah peringkat batubara uap.

Jika debu mengandung lebih dari sekitar 10% kuarsa, akan cenderung terjadi.

Pria dengan PMF (Fibrosis Masif Progresif) dan yang pekerja batu bara

pneumokoniosis tradisional yang relatif dini meningkatkan risiko kematian

dini. Namun, pneumokoniosis pekerja batu bara tradisional tidak terkait

dengan peningkatan risiko kanker paru-paru atau TB. Pekerja batu bara

pneumokoniosis tradisional tidak menyebabkan bronkitis kronis atau obstruksi

saluran napas, tapi ada hubungan yang terpisah antara paparan debu batubara

dan pengembangan sindrom ini, dan banyak pasien memiliki keduanya.

Merokok memiliki efek adiktif dengan obstruksi sehubungan dengan saluran

udara. Risiko centri-asinar emfisema meningkat dengan meningkatkan

paparan debu batubara terespirasi.

Menurut survey yang dilakukan oleh Health and Safety Executive, di Inggris,

pada tahun 2010 terdapat sekitar 345 kasus pneumokoniosis baru dan 60 kasus

Page 17: step 7 skenario 4 agro.docx

silikosis. Kematian dari pneumokoniosis pada pekerja batu bara telah

berkurang selama 10 tahun terakhir dengan 131 pada tahun 2009. Ada 18

kematian akibat silikosis pada tahun 2009, sedikit lebih dari pada 5 tahun

sebelumnya. Untuk lebih lengkap perhatikan gambar 1 berikut.

Gambar 2.1 Pneumokoniosis dan Silikosis di Great Britain, 1992-2010

Sedangkan pada negara berkembang seperti di Cina, pneumokonios ini telah

lama menjadi penyakit akibat kerja yang paling serius dan belum dapat

dicegah. Kasus baru diperkirakan 7500-10000 setiap tahun, mewakili lebih

dari 70% dari jumlah kasus yang dilaporkan penyakit akibat kerja akhir tahun.

Kasus yang tercatat di Cina antara tahun 1949 dan 2001 mencapai 569.129.

Sebagian besar kasus terjadi di industri pertambangan, khususnya di tambang

batubara (Liang et al, 2012)

2.4    Patogenesis

Pneumokoniosis merupakan manifestasi dari interaksi antara partikel debu

dan mekanisme pertahanan paru-paru. Hanya partikel dengan ukuran kecil

yang dapat mencapai asinus paru (terminal bronkus dan alveolus) yang

kemungkinan akan menyebabkan bahaya, hal tersebut akan bahaya untuk

makrofag yang menyebabkan endapan partikel di paru-paru, yang tergantung

pada ukuran, bentuk dan kepadatan. Partikel sferis dengan diameter sekitar

0,5-10 mm umumnya paling mungkin menumpuk di asinus paru-paru, partikel

yang lebih besar akan menyerang di saluran napas. Penghancuran mereka

Page 18: step 7 skenario 4 agro.docx

tergantung pada integritas dari sistem limfatik paru dan mekanisme

mukosiliar.

Di dalam asinus, makrofag memfagosit partikel dalam upaya untuk eliminasi.

Partikel inert (misalnya asap, besi oksida) dapat dihilangkan sampai pada

kapasitas tertentu dengan cara dieliminasi oleh mukosiliaris atau dibawa ke

kelenjar getah bening dan hilus intrapulmonal. Partikel yang lebih beracun

(misalnya kuarsa-kristal, silikon dioksida) merangsang makrofag untuk

melepaskan faktor inflamasi yang dapat menyebabkan peradangan dan

fibrogenesis. Sel-sel inflamasi lainnya kemudian menuju asinus, sehingga

menyebabkan proliferasi fibroblas. Kuarsa bersifat toksik bagi sel-sel karena

dapat merusak dan mengoksidasi lipid membran lisosomal, dan akhirnya

membunuh makrofag. Mineral lainnya (misalnya batubara) yang bersifat

kurang toksik secara langsung, secara tidak langsung juga dapat menyebabkan

fibrosis. Distribusi fibrosis menentukan lokasi akumulasi partikel. Batubara

dan kuarsa menyebabkan fibrosis tipe nodular sepanjang jalur partikel dari

asinus sampai hilus (Seaton, 1999).

 

2.1  Diagnosis

Penyakit paru akibat debu industri mempunyai gejala dan tanda yang mirip

dengan penyakit paru lain yang tidak disebabkan oleh debu di lingkungan

kerja. Untuk menegakan diagnosis perlu dilakukan anamnesis yang teliti

meliputi riwayat pekerjaan, dan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan,

karena penyakit biasanya baru timbul setelah paparan yang cukup lama.

Anamnesis mengenai riwayat pekerjaan yang akurat dan rinci sangat

diperlukan. Berbagai faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan

lingkungan perlu diketahui secara rinci. Karena menunjang penegakan

diagnosa penyakit paru yang mungkin diakibatkan oleh pekerjaan/ lingkungan

pekerjaan (Yunus, 1997).

Langkah pada anamnesis sebagai berikut:

1.      Riwayat penyakit sekarang:

a.       Gejala-gejala yang berhubungan dengan pekerjaan.

b.      Pekerjaan lain yang terkena gejala serupa.

Page 19: step 7 skenario 4 agro.docx

c.       Paparan saat ini terhadap debu, gas bahan kimia - dan biologi yang

berbahaya.

d.      Laporan terdahulu tentang kecelakaan kerja.

2.      Riwayat pekerjaan

a.       Catatan tentang semua pekerjaan terdahulu, hari kerja yang khusus

b.      Proses pertukaran pekerjaan.

3.      Tempat kerja

a.       Ventilasi, higiene industri dan kesehatan, pemeriksaan pekerja,

pengukuran proteksi.

b.      Keamanan cahaya

4.      Riwayat penyakit dahulu

a.       Paparan terhadap kebisingan, getaran, radiasi

b.      Paparan terhadap zat-zat kimia.

5.      Riwayat lingkungan

a.       Rumah dan lokasi tempat kerja sekarang dan sebelumnya.

b.      Pekerjaan lain yang bermakna

c.       Sampah/limbah yang berbahaya

d.      Polusi udara

e.       Hobi: mencat, memahat, mematri, pekerjaan yang berhubungan dengan

kayu.

f.       Alat pemanas rumah

g.      Zat-zat pembersih dan tempat kerja

h.      Paparan peptisida

i.        Alat pemadam kebakaran di rumah atau ditempat kerja.

2.2    Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang penting untuk menegakkan diagnosis dan

menilai kerusakan paru akibat debu adalah pemeriksaan radiologis dan

pemeriksaan faal paru dengan spirometri. Pemeriksaan foto toraks sangat

berguna untuk melihat kelainan yang ditimbulkan oleh debu pada

pneumokoniosis. Pembacaan foto toraks pneumokoniosis perlu dibandingkan

dengan foto standar untuk menentukan klasifikasi kelainan. Kualitas foto

Page 20: step 7 skenario 4 agro.docx

harus baik atau dapat diterima untuk dapat menginterpretasikan kelainan paru

lewat foto Rontgen. Pemeriksaan penunjang lain yang bisa digunakan untuk

keperluan penegakan diagnosis adalah CT Scan, Broncho Alveolar Lavage

(BAL) dan Biopsi (Yunus, 1997).

2.6.1        Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan foto toraks sangat berguna untuk melihat kelainan yang

ditimbulkan oleh debu pada pneumokoniosis. Klasifikasi standar menurut ILO

dipakai untuk menilai kelainan yang timbul.

A.      Perselubungan Halus (Small Opacities)

Perselubungan ini digolongkan menurut bentuk, ukuran, banyak dan luasnya.

Menurut bentuk dibedakan menjadi perselubungan halus bentuk lingkar dan

bentuk ireguler. Perselubungan lingkar dibagi berdasarkan diameternya, yaitu:

p = diameter sampai 1,5 mm, q = diameter antara 1,5-3 mm dan r = diameter

antara 3-10 mm. Bentuk ireguler dibagi berdasarkan lebarnya, yaitu: s = lebar

sampai 1,5 mm, t = lebar antara 1,5-3 mm dan u = lebar antara 3-10 mm.

Untuk pelaporan bentuk dan ukuran kelainan digunakan dua huruf. Huruf

pertama menunjukkan kelainan yang lebih dominan, contoh p/s. ini berarti

perselubungan lingkar ukuran p lebih banyak, tetapi juga ada perselubungan

ireguler ukuran s tetapi jumlahnya sedikit. Kerapatan (profusion) kelainan

didasarkan pada konsentrasi atau jumlah perselubungan halus persatuan area.

Dibagi atas 4 kategori, yaitu:

Kategori 0= Tidak ada perselubungan atau kerapatan kurang dari 1.

Kategori 1 = Ada perselubungan tetapi sedikit.

Kategori 2= Perselubungan banyak, tetapi corakan paru masih tampak.

Kategori 3= Perselubungan sangat banyak sehingga corakan paru sebagian

atau seluruhnya menjadi kabur.

Foto toraks pada pneumokoniosis mempunyai 12 kategori, yaitu:

0/-, 0/0, 0/1, 1/0, 1/1, 1/2, 2/1, 2/2, 2/3, 3/2, 3/3, 3/+.

Angka pertama menunjukkan kerapatan yang lebih dominan daripada angka

dibelakangnya. Kerapatan adalah petunjuk penting .untuk menentukan

Page 21: step 7 skenario 4 agro.docx

beratnya penyakit. Luasnya distribusi perselubungan didasarkan atas area yang

terkena. Lapangan paru dibagi atas 6 area, masing-masing belahan paru

mempunyai 3 area yaitu lobus atas, lobus tengah dan lobus bawah.

B.       Perselubungan Kasar (Large Opacities)

Perselubungan kasar dibagi atas 3 kategori yaitu:

         Kategori A = Satu perselubungan dengan diameter antara 1-5 cm, atau

beberapa perselubungan dengan dimater masing-masing lebih dari 1 cm, tapi

bila diameter semuanya di jumlahkan tidak melebihi 5 cm.

         Kategori B = Satu atau beberapa perselubungan yang lebih besar atau

lebih banyak dari A dengan luas perselubungan tidak melebihi luas lapangan

paru kanan atas.

         Kategori C = Satu atau beberapa perselubungan yang jumlah luasnya

melebihi luas lapangan paru kanan atas atau sepertiga lapangan paru kanan

(Yunus, 1997).

2.6.2        Pemeriksaan Faal Paru

Pemeriksaan faal paru yang sederhana, cukup sensitif dan bersifat

reprodusibel serta digunakan secara luas adalah pemeriksaan Kapasitas Vital

Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa (VEP) pada detik pertama. Selain

berguna untuk menunjang diagnosis juga perlu untuk melihat laju penyakit,

efektivitas pengobatan dan menilai prognosis. Pemeriksaan sebelum seseorang

bekerja dan pemeriksaan berkala setelah bekerja dapat mengidentifikasi

penyakit dan perkembangannya, pada pekerja yang sebelumnya tidak

memiliki gejala. Pemeriksaan faal paru lain yang lebih sensitif untuk

mendeteksi kelainan di saluran napas kecil adalah pemeriksaan Flow Volume

Curve dan Volume of Isoflow.

Pengukuran kapasitas difusi paru sangat sensitif untuk mendeteksi kelainan di

interstisial, tetapi pemeriksaan ini rumit dan memerlukan peralatan yang lebih

canggih, dan tidak dianjurkan digunakan secara rutin. Pekerja yang pada

pemeriksaan awal tidak menunjukkan kelainan, kemudian menderita kelainan

setelah bekerja dan penyakitnya terus berlanjut, dianjurkan untuk menukar

Page 22: step 7 skenario 4 agro.docx

pekerjaannya. Ini bisa berarti beralih pekerjaan, atau pindah pada bagian/divisi

yang lain di dalam komunitas para pekerja.

2.3  Penatalaksanaan dan Pencegahan

Dalam penatalaksanaan dan pencegahan pada pekerja yang terindikasi penyakit paru akibat

kerja, Djojodibroto (1999) dalam bukunya membagi menjadi:

a.      Penilaian cacat

Penilaian cacat sangat penting untuk membuat diagnosis yang tepat serta

memberi nasihat kepada penderita terhadap prospek pekerjaannya, untuk

menentukan kecacatan paru akibat kerja diperlukan 5 langkah yang harus

dilakukan. penilaian cacat sangat penting untuk membuat diagnosis yang tepat

meliputi:

1.      Diagnosis

2.      Hubungan diagnosis dengan pekerjaan

3.      Derajat kelainan / gangguan fungsi

4.      Penilaian kebutuhan kerja

5.      Penilaian kecacatan

b.      Obat-obatan

Ada banyak jenis penyakit paru akibat kerja, obat memegang peran yang

sangat sedikit dan terapi pada umumnya terdiri dari anjuran untuk

menghindari pajanan lebih lanjut terhadap bahan yang berbahaya. Obat yang

diberikan biasanya bersifat simtomatis.

c.       Menghindari pajanan

Beberapa cara yang dapat dilakakan antara lain: a). mengganti (subtitusi)

bahan yang berbahaya dengan bahan yang kurang atau tidak berbahaya, b).

membatasi bahan pajanan, c). ventilasi keluar dan d). memakai APD (Alat

Pelindung Diri). Penatalaksanaan penyakit paru akibat kerja termasuk

mengganti pekerjaan yang menyebabkan penyakit atau pembatasan

menyangkut apa yang boleh atau yang tidak boleh dilakuakan.

Page 23: step 7 skenario 4 agro.docx

2.4  Prognosis

Prognosis ditetapkan berdasarkan pengetahuan tentang riwayat perjalanan

penyakitnya serta hasil- hasil pemeriksaan yang lain, dibekali dengan

informasi tersebut, dokter dapat membuat rencana pengobatan untuk

penghentian peburukan penyakitnya serta mengurangi keluhan. Salah satu

progam yang penting adalah rehabilitasi, merupakan proses untuk membantu

individu yang mengalamai kecacatan dalam mempertahankan tingkat

maksimal dari setiap fungsinya.

3. Perbedaan pneumokoniasis dan hipersensitivitas pneumonitis

Pneumonitis Hipersensitivitas (Alveolitis Alergika Ekstrinsik, Pneumonitis

Interstisial Alergika, Pneumokoniosis Debu Organik) adalah suatu peradangan

paru yang terjadi akibat reaksi alergi terhadap alergen (bahan asing) yang

terhirup.

Alergen bisa berupa debu organik atau bahan kimia (lebih jarang).

Debu organik bisa berasal dari hewan, jamur atau tumbuhan.

PENYEBAB

Pneumonitis hipersensitivitas biasanya merupakan penyakit akibat pekerjaan,

dimana terjadi pemaparan terhadap debu organik ataupun jamur, yang

menyebabkan penyakit paru akut maupun kronik.

Pemaparan juga bisa terjadi di rumah, yaitu dari jamur yang tumbuh dalam

alat pelembab udara, sistem pemanas maupun AC.

Penyakit akut bisa terjadi dalam waktu 4-6 jam setelah pemaparan, yaitu pada

saat penderita keluar dari daerah tempat ditemukannya alergen.

Penyakit kronik disertai perubahan pada foto rontgen dada bisa terjadi pada

pemaparan jangka panjang. Penyakit kronik bisa menyebabkan terjadinya

fibrosis paru (pembentukan jaringan parut pada paru).

Page 24: step 7 skenario 4 agro.docx

Contoh dari pneumonitis hipersensitivitas yang paling terkenal adalah paru-

paru petani (farmer's lung), yang terjadi sebagai akibat menghirup bakteri

termofilik di gudang tempat penyimpanan jerami secara berulang.

Hanya sebagian kecil orang yang menghirup debu tersebut yang akan

mengalami reaksi alergi dan hanya sedikit dari orang yang mengalami reaksi

alergi, yang akan menderita kerusakan paru-paru yang menetap.

Secara umum, untuk terjadinya sensitivitas dan penyakit ini, pemaparan

terhadap alergen harus terjadi secara terus menerus dan sering.

Penyebab Pneumonitis Hipersensitivitas

Penyakit Sumber Partikel Debu

Paru-paru petani Jerami yang berjamur

Paru-paru

pemelihara

burung

Paru-paru

peternak burung

dara

Paru-paru

pemelihara ayam

betina

Kotoran betet, burung dara, ayam

Paru-paru

penyejuk ruanganPelembab udara, penyejuk ruangan

Bagassosis Limbah tebu

Paru-paru pekerja

jamurPupuk jamur

Paru-paru pekerja

gabus

Gabus yang berjamur

Page 25: step 7 skenario 4 agro.docx

(Suberosis)

Penyakit kayu

mapleKayu maple yang berjamur

Paru-paru pekerja

gandumGandum yang berjamur

Sequoiosis Debu kayu merah yang berjamur

Paru-paru pekerja

kejuKeju yang berjamur

Penyakit

kumbang

gandum

Tepung gandum yang terinfeksi

Paru-paru pekerja

kopiBiji kopi

Paru-paru pekerja

atapSerabut atau tali yang digunakan untuk atap

Paru-paru pekerja

kimia

Bahan kimia yang digunakan untuk membuat

serabut busa poliuretan, penyekatan,

molding, karet tiruan dan bahan pembungkus

GEJALA

Gejala dari pneumonitis hipersensitivitas akut:

- batuk

- demam

- menggigil

- sesak nafas

- merasa tidak enak badan.

Page 26: step 7 skenario 4 agro.docx

Gejala pneumonitis hipersensitivitas kronis:

- sesak nafas, terutama ketika melakukan kegiatan

- batuk kering

- nafsu makan berkurang

- penurunan berat badan.

DIAGNOSA

Pada pemeriksaan dengan stetoskop, terdengar suara pernafasan ronki.

# Pemeriksaan yang biasa dilakukan: Rontgen dada

# Tes fungsi paru

# Hitung jenis darah

# Pemeriksaan antibodi

# Presipitan aspergillus

# CAT scan dada resolusi tinggi

# Bronkoskopi disertai pencucian atau biopsi transtrakeal.

PENGOBATAN

Pneumonitis hipersensitvitas episode akut, biasanya akan sembuh jika kontak

yang lebih jauh dengan alergen dihindari.

Bila terjadi penyakit yang lebih berat, untuk mengurangi gejala dan membantu

mengurangi peradangan yang lebih berat, bisa diberikan corticosteroid

(misalnya prednisone).

Episode berkelanjutan atau berulang bisa mengarah ke terjadinya penyakit

yang menetap.

Fungsi paru-paru bisa semakin memburuk sehingga perlu diberikan terapi

oksigen tambahan.

PENCEGAHAN

Pencegahan terbaik adalah menghindari pemaparan terhadap alergen, yaitu

dengan cara berganti pekerjaan.

Page 27: step 7 skenario 4 agro.docx

Meniadakan atau mengurangi debu atau menggunakan masker pelindung bisa

membantu mencegah berulangnya penyakit.

Menangani limbah jerami secara kimiawi dan menggunakan sistem ventilasi

yang baik, membantu mencegah pemaparan dan sensitisasi pekerja terhadap

bahan-bahan ini.

Pneumoconiosis adalah penyakit paru-paru kronis yang disebabkan karena

menghirup berbagai partikel debu, khususnya ditempat kerja industri, untuk

jangka waktu yang lama. Oleh karena itu juga dikatakan penyakit paru kerja,

yang merupakan bagian tertentu dari penyakit terkait kerja, yang terkait

terutama untuk yang terkena zat berbahaya.

Pneumoconiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh menghirup debu

organik dan merupakan subset dari penyakit paru kerja, yang juga termasuk

gangguan yang disebabkan oleh menghirup gas, uap dan bahan organik.

Pneumoconiosis adalah sekelompok penyakit yang disebabkan karena inhalasi

debu anorganik dan organic tertentu. Beberapa jenis debu yang terinhalasi

dalam kadar yang cukup banyak kedalam paru akan menimbulkan reaksi

fibrosis, sedangkan debu lainnya tidak mempunyai pengaruh apa-apa.

Pneumoconiosis yang paling umum adalah silikosis dan asbestosis.