v5n2_sufirmansyah

Upload: andi-alimuddin-rauf

Post on 17-Oct-2015

45 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 106

    DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI,

    KETIMPANGAN ANTAR DAERAH DAN KEMISKINAN

    IMPACT OF FISCAL DECENTRALIZATION ON ECONOMIC GROWTH, REGIONAL INEQUALITY AND POVERTY

    SUFIRMANSYAH 1

    Email : [email protected]

    Abstrak

    Secara ilmiah masalah kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan antar daerah dan kemiskinan masih menjadi perdebatan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan, bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan dan menurunkan angka kemiskinan. Selanjutnya penelitian lainnya berkesimpulan desentralisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dan menurunkan angka kemiskinan. Masih perlu dikaji lebih lanjut dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dan kemiskinan dengan menggunakan berbagai metode dan model ekonometrika pada berbagai level pemerintahan/negara atau daerah sebagai sample penelitian. Kata Kunci: Desentralisasi fiscal, pertumbuhan ekonomi,

    ketimpangan, kemiskinan 1 Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana Universitas Padjajaran (UNPAD)

    Bandung.

  • 107

    Abstract

    Scientific issues of fiscal decentralization on economic growth, inequality and poverty is still a debate. Various studies indicate the existence of differences, which influence the fiscal decentralization on economic growth, reduce inequalities and reducing poverty. Furthermore, other studies have concluded that decentralization does not significantly affect economic growth, inequality and poverty reduction. Further still needs to be studied further the impact of fiscal decentralization on economic growth, inequality and poverty using a variety of methods and econometric models in different countries or regions as the research sample. Keywords: fiscal decentralization, economic growth, inequality,

    poverty

    PENDAHULUAN Krisis ekonomi pada tahun 1997 yang dialami bangsa

    Indonesia telah membuka jalan menuju reformasi total di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai kebijakan dan distorsi yang terjadi pada masa lalu dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan telah menimbulkan dampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan lemahnya beberapa ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi krisis. Kebijakan tersebut akibat adanya sentralisasi yang telah memasung kreatifitas daerah dalam mengembangkan potensi daerah yang sesuai dengan keinginan masyarakat daerah, hal ini juga masih diperparah lagi dengan kuatnya perilaku rent seeking dan korupsi.

    Pengalaman pembangunan pada masa lalu dapat digunakan sebagai pelajaran bahwa disamping keberhasilan mencapai tujuan pembangunan, proses dan cara pencapaian tujuan pembangunan ekonomi harus menjadi perhatian. Era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dan paradigma pertumbuhan menuju paradigma pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Bird dan Vaillancourt (2000) menyatakan bahwa sistem fiskal yang sangat sentralistik merupakan penyebab mengapa kemampuan pemerintah daerah untuk menjalankan fungsi-fungsinya tergantung kepada pusat. Hal ini telah mengakibatkan kecilnya porsi

  • 108

    penerimaan sendiri dalam struktur penerimaan daerah. Ketergantungan yang tinggi terhadap transfer pemerintah pusat telah menyebabkan kurangnya insentif pencarian sumber-sumber untuk menutupi biaya daerah.

    Perubahan paradigma ini diwujudkan melalui kebijakan otonomi dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan dan direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-undang ini merupakan langkah yang akomodatif dan strategis dalam menjawab berbagai permasalahan di daerah meliputi permasalahan kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM).

    Gambar 1. Komposisi Pendapatan Selain itu, kondisi ini membuka peluang bagi daerah untuk memperkuat basis perekonomian daerah guna menyongsong era globalisasi ekonomi. Peranan pemerintah dalam pembangunan dan kegiatan ekonomi dilaksanakan berdasarkan pada ketersediaan pengeluaran yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemerintah daerah masih dihadapkan pada masalah tingginya kebutuhan fiskal daerah (fiscal need) yang tidak seimbang dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity), sementara kapasitas fiskal tidak mencukupi bila hanya bersumber dari PAD.

    Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di berbagai provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia relatif masih rendah rata-rata mencapai

  • 109

    19,0% atau sebesar Rp. 90,393 trilyun dan lain-lain pendapatan yang sah 13 % atau sebesar Rp. 61,343 trilyun terhadap APBD (Gambar 1). Kontribusi terbesar dari sumber penerimaan yang tercermin dalam APBD seluruh Indonesia (33 provinsi dan 398 Kabupaten dan 99 Kota) pada tahun 2011 menunjukkan bahwa dana perimbangan merupakan komposisi terbesar dalam komposisi pendapatan daerah yaitu sebesar 68% atau Rp. 327, 361 trilyun.

    Dengan memperhatikan rasio komponen pendapatan terhadap total belanja, maka mengidentifikasi kemampuan desentralisasi fiskal masih rendah, dimana tingkat ketergantungan keuangan kepada pemerintah pusat masih sangat tinggi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menggali sumber-sumber penerimaan PAD secara optimal. Rendahnya kontribusi PAD terhadap penerimaan disebabkan karena terbatasnya kewenangan pemerintah daerah dalam perpajakan, seperti yang dikemukakan oleh Brueckner (2007:2), bahwa desentralisasi fiskal yang parsial, dimana otoritas pembelanjaan diserahkan kepada pemerintah lokal namun pembiayaan tetap tergantung pada transfer dari pemerintah pusat.

    Gambar 2. Komposisi Belanja Daerah

    Selanjutnya pada Gambar 2 menggambarkan komposisi belanja daerah secara nasional yang mencerminkan kemampuan daerah dalam melaksanakan percepatan pembangunan masih relatif belum memadai. Komposisi belanja dalam APBD, masih didominasi oleh belanja pegawai, yaitu mencapai 45% atau sebesar Rp.222,077 trilyun. Belanja Modal sebesar Rp.113,622 atau 22% dan Belanja Barang dan Jasa sebesar Rp. 104 trilyun atau 20%.

    Sumber : APBD 2011 DJPK-KEMENKEU RI

  • 110

    4,5 4,785,03

    5,69 5,506,35 6,40

    4,55

    6,10

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010Pertumbuhan Ekonomi

    Sumber : BPS Indonesia.

    Gambar 3. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Perkembangan perekonomian Indonesia sejak tahun 2002-

    2010, memperlihatkan tren yang berfluktusi (Gambar 3). Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2002 sebesar 4,5 persen, dan pada tahun 2003-2008 pertumbuhan ekonomi terus menunjukkan kinerja yang membaik walaupun terjadi penurunan yang relatif kecil pada tahun 2005. Namun pada tahun 2009 terjadi penurunan yang signifikan dengan pertumbuhan sebesar 4,55 persen dan meningkat lagi pada tahun 2010 yaitu 6,10 persen. Masih berfluktuasinya pertumbuhan ekonomi ini akibat adanya dampak dari ekonomi global dan situasi dalam negeri. Laju pertumbuhan ekonomi sebagaimana digambarkan di atas, belum mampu memberikan tingkat kesejahteraan bagi penduduk di berbagai daerah. Walaupun secara statistik jumlah penduduk miskin terus menunjukan trend yang menurun, namun belum memberikan tingkat kesejahteraan yang merata. Pada tahun 2000 angka kemiskinan sebesar 18,9 persen, dan tahun 2002 sebesar 18,2 persen, selanjutnya pada tahun 2003 menjadi 17,4 persen, dan terus menurun hingga 14,2 persen pada tahun 2010. Begitu juga dengan tingkat ketimpangan pendapatan yang terus menaik, dimana indek gini selama tahun 2002-2004 relatif stabil, kemudian pada tahun 2005-2010 menunjukkan tren yang menaik. Kondisi ini sebenarnya harus sejalan dengan teori ekonomi, bahwa tingkat

  • 111

    pertumbuhan ekonomi yang tinggi diiringi dengan tingkat pendapatan yang merata.

    Sejak diberlakukannya Undang-undang Otonomi di Indonesia, peran dan kewenangan Pemerintah Daerah menjadi sangat besar dalam mengatur daerahnya sendiri. Namun implementasi desentralisasi masih belum dapat mengatasi berbagai persoalan di daerah, tidak saja mengenai pengelolaan keuangan, tetapi juga ketersediaan sumber daya antar daerah yang berbeda dan terbatas, akan menyebabkan jurang kesenjangan yang berdampak pada kemiskinan. Oleh karena itu diperlukan strategi pembangunan yang memihak kepada pemerataan (distribusi) pendapatan atau sumberdaya antar daerah yang sekaligus dapat meningkatkan pendapatan dan menurunkan angka kemiskinan. Sebagaimana yang dikemukakan Lin dan Liu (2000) bahwa pertumbuhan ekonomi dapat terwujud melalui 2 (dua) cara, yaitu; pertama meningkatkan investasi. Kedua, melakukan efisiensi terhadap sumber daya yang dimiliki. Kondisi ini sejalan dengan otonomi dan desentralisasi fiskal yang mempunyai peranan dan kewenangan dalam mengalokasikan dan mendistribusi sumber-sumber daya pada kegiatan yang produktif dalam mewujudkan proses percepatan pembangunan daerah. Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemeratan hasil-hasilnya bagi penduduk. Paradigma pembangunan ini secara keseluruhan dimaksudkan untuk tujuan peningkatan pendapatan masyarakat dan diikuti dengan pemerataan. Tujuan pembangunan adalah untuk memberikan kesejahteraan hasil-hasil pembangunan kepada masyarakatnya. Pertumbuhan ekonomi sering menyebabkan terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan semakin besar antar kelompok masyarakat sehingga menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan.

    Sebagian besar negara sedang berkembang menganut laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa memperhatikan pemecahan efektif masalah pemerataan pendapatan dan kemiskinan. Mereka beranggapan bahwa proses trickle down effect akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan masayarakat yang selanjutnya akan dapat mereduksi angka kemiskinan. Ternyata kondisi tersebut tidak terjadi, karena seiring berjalannya pembangunan dan tumbuhnya perekonomian diikuti pula terjadinya tingkat ketimpangan distribusi

  • 112

    pendapatan yang dapat menyebabkan munculnya kantong-kantong kemiskinan. TINJAUAN PUSTAKA Otonomi dan Desentralisasi Fiskal

    Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi merupakan wujud pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, kepada daerah yang dipilih oleh rakyat dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah.

    Desentralisasi adalah tidak mudah didefinisikan karena ini meliputi suatu susunan kelembagaan yang luas. Desentralisasi sering mengandung berbagai pengertian sesuai dengan yang menggunakan istilah tersebut untuk kepentingannya sendiri (Bird dan Vailancourt, 2000). Secara umum desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya. Secara teoritis ada beberapa tipe desentralisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal (Osoro, 2003). Implementasi desentralisasi fiskal, politik dan administrasi berbeda-beda sesuai dengan karakteristik suatu negara.

    Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi administratif (administrative decentralization), desentralisasi fiskal (fiscal decentralization), dan desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization). Desentralisasi administratif yaitu pelimpahan wewenang untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan dalam penyediaan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan menajemen fungsi-fungsi pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.

    Berkaitan dengan desentralisasi fiskal, Thieen (2003) memberi pandangan tentang kelemahan pelaksanaan desentralisasi fiskal, antara lain sebagai berikut;

  • 113

    1. Desentralisasi fiskal dapat memperkuat kesenjangan regional (regional inequality) dan menghambat pertumbuhan ekonomi, karena perbedaan atas tingkat pendapatan dan basis pajak antara wilayah dan daerah. Perbedaan akan berimplikasi pada penyediaan infrastruktur, dan pelayanan publik lainnya. Daerah kaya umumnya akan menyediakan layanan publik yang lebih baik. Adanya perbedaan dan ketidakadilan dalam penyediaan barang publik dapat menghambat pertumbuhan ekonomi per kapita.

    2. Desentralisasi fiskal pada negara-negara kecil dan berpendapatan rendah cenderung akan merugikan karena desentralisasi fiskal membuthkan biaya tetap (fixed cost) yang relatif besar sehingga dapat menghabiskan sebagian besar kapasitas anggaran yang sangat terbatas (Prud'homme, 1995). Menurut Bahl dan Linn (2008) bahwa terdapat ambang batas tingkat pembangunan ekonomi yang diperlukan agar desentralisasi fiskal dapat memberikan hasil memuaskan. Selain itu, karena tingkat pendapatan per kapita relatif rendah, kebutuhan untuk penyediaan barang dan jasa publik tidak terpenuhi, sehingga secara umum stabilisasi lebih sulit dilakukan berkaitan dengan penyesuaian fiskal terhadap tuntutan masyarakat relatif homogen.

    3. Desentralisasi fiskal dapat menghalangi pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan membuat kebijakan mengurangi ketimpangan struktural, bahkan mungkin mendorong dan memperburuk ketimpangan struktural tersebut. Sebagai contoh adalah ketika pemerintah daerah tertentu memberikan pembebasan pajak yang merupakan sumber pendapatan utama pemerintahan daerah lain. Kondisi ini dapat memicu instabilias antar daerah. Di samping itu, koordinasi antar level pemerintahan berbeda mungkin sulit untuk dilakukan secara efektif dan tepat.

    Teori Pertumbuhan Ekonomi

    Teori pertumbuhan secara umum terbagi dalam dua kelompok pendekatan yaitu pendekatan klasik yang dipelopori oleh Adam Smith, David Ricardo dan Arthur Lewis dan modern yang dianut oleh Keynes (Harrod-Domar), Neo Klasik (Solow-Swan). Menurut teori pertumbuhan Adam Smith, proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang menyangkut dua aspek utama yaitu pertumbuhan

  • 114

    output total yang berupa sumber daya alam, sumber daya manusia dan stok modal. Studi tentang pertumbuhan ekonomi tersebut cukup beragam, mulai dari yang bersifat rumit dan teknis, kesejarahan sampai pada globalisasi (Shah, 1995). Studi pertumbuhan ekonomi sudah dimulai pada awal dekade 1960-an. Namun studi pertumbuhan ekonomi mulai mendapat perhatian dengan munculnya karya Romer (1996).

    Dua paradigma yang muncul hampir bersamaan dalam studi pertumbuhan ekonomi tersebut adalah paradigma konvergensi eko-nomi dan paradigma pertumbuhan ekonomi endogen (endogenous economic growth). Paradigma konvergensi ekonomi mengatakan bahwa negara atau daerah yang miskin bisa mengejar negara atau daerah yang kaya karena pertumbuhan ekonomi negara miskin yang tinggi (Mankiw, 2000). Asumsi paradigma ini adalah produksi bersifat constant returns dan diminishing marginal productivity. Sedangkan paradigma pertumbuhan ekonomi endogen mengatakan, bahwa konvergensi ekonomi tidak akan terjadi karena pertumbuhan ekonomi bersifat increasing returns, ketiadaan diminishing returns to capital, dan kemampuan mengakumulasi ide-ide baru (Romer, 1986).

    Teori Pembangunan Ekonomi Regional

    Pembangunan daerah pada hakekatnya adalah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, maka dalam pelaksanannya kebijaksanaan pembangunan daerah tidak akan terlepas dari pembangunan nasional. Sasaran yang dinginkan dalam konsep pusat pertumbuhan regional adalah meningkatnya laju pertumbuhan yang relatif menjadi lebih tinggi dibanding dengan daerah lainnya. Adanya pertumbuhan daerah yang cepat akan memberikan pengaruh ke belakang dan pengaruh ke depan (backwash effect dan spread effect). Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah penekanan terhadap kebijaksanaan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi SDM, kelembagaan dan sumber daya fisik secara lokal yang berhubungan dengan inisiatif-inisiatif daerah (Blakely, 1994).

    Menurut Francis Perroux melalui Growth Poles Theory berpendapat bahwa pengembangan industri dan pertumbuhan tidak akan terjadi di semua tempat dalam seketika. Pertumbuhan mulai muncul pada titik-titik atau kutub pertumbuhan dengan intensitas yang

  • 115

    berbeda, dan menyebar melalui saluran yang luas, serta mempunyai pengaruh yang berbeda dan menyebar melalui saluran yang luas, serta mempunyai pengaruh yang berbeda-beda pada keseluruhan ekonomi. Sedangkan Hoover mengemukakan bahwa kosentrasi kegiatan ekonomi akan terjadi pada suatu tempat apabila ditempat tersebut terdapat keuntungan lokasi yang terdiri dari localization economies and urbanization economies. Teori tersebut pada prinsipnya menjelaskan pertumbuhan akan terjadi hanya pada daerah yang mempunyai keuntungan komparatif, baik dari segi sumber daya alam, modal dan sumber daya manusia. Akibat adanya perbedaan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, mengakibatkan tingkat pertumbuhan yang akan berbeda. Dengan demikian teori ini tidak berlaku untuk setiap daerah, hanya daerah yang potensial yang akan mengalami pertumbuhan.

    Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan

    Fenomena hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan pertama kali diperkenalkan oleh Simon Kuznets. Hipotesis Kuznest melahirkan suatu wacana baru bahwa pembangunan disuatu negara pada batas-batas tertentu ternyata dapat memicu timbulnya kesenjangan ekonomi diantara warganya. Analisa Kuznets ini menggunakan pendekatan test cross-section country, dimana analisis ini dilakukan dibanyak negara pada satu titik waktu tertentu, bukan membahas satu negara dalam kurun waktu yang panjang. Dalam analisisnya menemukan relasi antara tingkat kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita yang berbentuk U terbalik, yang menyatakan bahwa pada awal tahap proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Namun tahap berikutnya distribusi pendapatan akan membaik seiring dengan meningkatnya pendapatan perkapita atau secara berangsur ketimpangan antarwilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain kurva ketimpangan pembangunan antarwilayah berbentuk U Terbalik (reverse U shape curve), sebagaimana dijelaskan pada Gambar 4.

    Hasil kesimpulan ini memberi bukti kuat bahwa untuk negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memiliki pola kesenjangan wilayah yang berbentuk U terbalik. Temuan ini sejalan dengan temuan Kuznets dan juga membuktikan bahwa variabel yang berkaitan dengan kebijakan penggabungan ekonomi negara Uni Eropa antara lain struktur anggaran negara, desentralisasi fiskal dan mekanisme

  • 116

    redistribusi jaminan sosial memberi dampak terhadap kesenjangan antarwilayah.

    Berdasarkan hipotesa ini dapat ditarik suatau kesimpulan sementara bahwa pada negara-negara berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara-negara maju ketimpangan akan lebih rendah. Barrios dan Strobl, dalam penelitiannya tentang hubungan antara kesenjangan antar wilayah dengan pembangunan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara di Uni Eropa menggunakan metode ekonometrika dalam menjelaskan hubungan antara PDB dengan kesenjangan antar wilayah yang berbentuk U terbalik.

    Gambar 4. Kurva U terbalik Kuznets

    Namun disisi lain, dengan menggunakan data makro sejumlah negara studi yang berkenaan dengan hipotesa Kuznets, menyimpulkan menolak hipotesis Kuznets menurut mereka sebenarnya tidak ada relasi yang sistematis antara pertumbuhan pendapatan dan pola distribusinya. Seharusnya Kuznets tidak menggunakan cross section analisys karena distribusi pendapatan tidak dapat diperbandingkan antara negara karena adanya perbedaan dalam konsep pendapatan, unit populasi dan kondisi domestik dari setiap negara. Selanjutnya dari sisi metodologi seharusnya Kuznets menggunakan data didasari oleh survei representatif pada skala nasional dengan memperhatikan distribusi pendapatan di negara lain pada taraf yang sama dalam

    Pangsa 20 persen Penduduk terkaya

    Tingkat pendapatan perkapita

  • 117

    pembangunan ekonomi yang mencakup seluruh unit populasi, seluruh pendapatan tiap sektor produksi termasuk pendapatan non-upah dan pendapatan dari produksi seluruh rumah tangga.

    Ketimpangan Antar Wilayah

    Ketimpangan merupakan fenomena multidimensional, karena terkait dengan berbagai dimensi tidak hanya ekonomi namun juga aspek sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu kebijakan desentralisasi fiskal perlu memperhatikan berbagai aspek tersebut agar implementasi pada setiap proses pembangunan keberpihakan pada pemerataan menjadi perioritas disamping mengutamakan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang luas atas pengelolaan sumberdaya pada masing-masing daerah, namun terdapat perbedaan ketersediaan sumber daya antar daerah. Perbedaan ini yang merupakan salah satu indikator penyebab terjadinya ketidakmerataan, apalagi tanpa adanya upaya yang jelas dari pemerintah terkait mengurangi ketimpangan, maka mustahil konsep negara kesejahteraan (welfare state) akan terwujud, sehingga dalam jangka panjang berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

    Ketimpangan antar wilayah adalah perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah. Setiap negara selalu mempunyai wilayah yang maju secara ekonomi dan ada yang kurang maju (tertinggal). Perbedaan ini terletak pada pada perkembangan infrastruktur dan sektor-sektor ekonominya. Kesenjangan antar daerah menyangkut pola dan arah investasi serta perioritas alokasinya diantara berbagai daerah dalam wilayah negara kesatuan, khususnya dibidang sumber daya manusia dan dalam prasarana fisik. Pola dan arah investasi pada bidang-bidang tersebut di berbagai daerah akhirnya berpengaruh pada tingkat kesenjangan distribusi pendapatan.

    Lebih lanjut Jhingan (1983), menyatakan bahwa ketimpangan wilayah berkaitan erat dengan sistem kapitalis yang dikendalikan oleh motif laba. Motif laba inilah yang mendorong berkembangnya pembangunan terpusat di wilayah-wilayah yang memiliki harapan profit tinggi, sementara wilayah-wilayah yang lainnya tetap terlantar. Menurut Myrdal, ketidakmerataan pembangunan yang mengakibatkan ketimpangan disebabkan karena adanya backwash effect yang lebih tinggi.

  • 118

    Pembangunan yang merata tidak berarti setiap wilayah mempunyai tingkat pertumbuhan atau perkembangan yang sama atau mempunyai pola keseragaman dalam pertumbuhan setiap wilayah. Pembangunan wilayah yang merata mengarah pada pengembangan potensi wilayah secara menyeluruh sesuai kapasitas dan potensi yang dimiliki, sehingga dampak positif dari pertumbuhan ekonomi terbagi secara seimbang kepada seluruh wilayah atau daerah. Pada umumnya daerah maju telah mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang seimbang atau relatif merata. Masalah ketimpangan antar wilayah biasanya terjadi pada banyak negara-negara berkembang karena ketersediaan sumber daya dan infrastruktur yang relatif terbatas.

    Dalam World Development Report 2006, World Bank (2006) bahwa ketimpangan dalam kesempatan dan akses ekonomi berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi. Dilihat dari akar penyebabnya, maka ketimpangan terdiri dari dua penyebab yaitu : 1. Ketimpangan struktural (structural inequality) yang disebabkan

    oleh peristiwa-peristiwa bersejarah seperti penaklukan, kolonisasi, perbudakan, dan distribusi tanah oleh negara atau kekuatan kolonial. Situasi ini menciptakan elite-elite yang lahir dengan kebijakan mekanisme non-pasar (non-market mechanism).

    2. Ketimpangan yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan pasar karena kesuksesan dalam pasar bebas (free market) selalu tak sama antar individu, kota, wilayah, perusahaan, dan industri.

    Banyak indikator yang dianggap cukup representatif untuk mengukur tingkat ketimpangan, antara lain : 1). Theil Index, sebagai ukuran ketimpangan yang dapat menghitung ketimpangan antar daerah dan dalam daerah secara bersamaan serta dapat menghitung kontribusi masing-masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan daerah. (2). Gini Ratio, merupakan ukuran ketidakmerataan atau tingkat kesenjangan distribusi pendapatan. Nilai koefesien gini bervariasi antara 0 1, artinya bila mendekati nol kemerataan sempurna dan 1 menunjukkan ketidakmerataan sempurna. dan (3). Indek Williamson. Indikator ketimpangan pendapatan antar daerah (regional) adalah indeks ketimpangan daerah. Model Vw (indeks tertimbang atau wieghted index terhadap jumlah penduduk) dan Vuw (tidak tertimbang atau un-wighted index) untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan perkapita suatu negara pada waktu tertentu. Karena jumlah penduduk masing-masing daerah biasanya

  • 119

    sangat variatif, maka model ketimpangan tertimbang menjadi lebih relevan.

    Kemiskinan

    Pengertian kemiskinan ada bermacam-macam, diantaranya adalah : kriteria kemiskinan menurut BPS dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, (makanan dan bukan makanan). Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat mendasar seperti sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan. Kebutuhan dasar untuk makanan adalah sebesar 2100 kalori per kapita per hari dan biaya untuk memperoleh bahan bukan makanan yang dianggap dasar, seperti, pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan.

    Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, pendidikan dan kesehatan, kemampuan berusaha dan mempunyai akses yang terbatas kepada kegiatan sosial ekonomi sehingga menimbulkan prilaku miskin. Selain itu perilaku miskin ditandai pula oleh perlakuan diskriminatif, perasaan ketakutan dan kecurigaan serta sikap apatis dan fatalistis. Upaya penanggulangan kemiskinan berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan penyediaan berbagai kebutuhan dengan biaya yang terjangkau sehingga secara bertahap mereka dapat meningkatkan kemampuannya untuk memanfaatkan peluang yang terbuka.

    Kemiskinan adalah kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal dan tidak mampu berobat bila sakit. Orang miskin umumnya tidak dapat membaca karena tidak bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas.

    Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk termiskin, misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang diurut berdasarkan

  • 120

    pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin, sehingga ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk.

    STUDI EMPIRIS Hasil penelitian Lin dan Liu (2000), menyarankan bahwa

    pemerintah perlu meningkatkan investasi modal guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Mereka menemukan adanya korelasi yang kuat antara share (belanja) investasi pada infrastruktur dengan tingkat desentralisasi. Strategi alokasi anggaran pembangunan ini pada gilirannya mampu mendorong dan mempercepat pembangunan ekonomi nasional, dan sebagai alat untuk mengurangi ketimpangan regional.

    Ihori (2001) dalam penelitiannya tentang pengaruh pajak kekayaan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan metode analisis endogenous growth model. Variabel yang digunakan adalah: pajak pendapatan, pajak warisan, pajak pendapatan bunga, dan pajak konsumsi, di mana pengaruh jenis-jenis pajak tersebut tidak sama. Kesimpulannya bahwa pajak warisan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sedangkan pajak pendapatan sewa, pajak pendapatan bunga dan pajak konsumsi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

    Hasil penelitian Jin dan Zou (2005) tentang pertumbuhan ekonomi di China, bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini disebabkan karena kesiapan pelaksanaan desentralisasi fiskal sejak tahun 1970-an Cina terlalu cepat dan terlalu ekstensif, sehingga desentralisasi fiskal yang lebih tinggi menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah di Cina menjadi lebih rendah.

    Penelitian Lessmann (2006) tentang desentralisasi fiskal dan ketimpangan regional di negara-negara OECD dengan menggunakan pooled data, kesimpulannya adalah bahwa derajat desentralisasi fiskal yang tinggi akan menyebabkan rendahnya ketimpangan regional sehingga memberi dampak positif yang menguntungkan bagi wilayah-wilayah terbelakang atau daerah miskin. Namun berbeda dengan penelitian Bonet (2006) tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pendapatan wilayah di Kolombia.

  • 121

    Kesimpulannya adalah bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan ketimpangan pendapatan regional.

    Agrawal (2008) melakukan penelitiannya untuk menguji hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Penelitian ini menggunakan metode panel data untuk setiap propinsi di Kazakhtan selama periode 2000-2002 dengan fixed effect model (FEM). Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ketika terjadi pertumbuhan ekonomi, yang diikuti dengan peningkatan jumlah tenaga kerja dan tingginya tingkat upah riil, berpengaruh secara signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Ketimpangan yang menurun tajam selama periode pertumbuhan tinggi (1998-2003) memiliki pengaruh terhadap pengurangan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang negatf dengan kemiskinan, sedangkan ketimpangan memiliki hubungan yang positif dengan kemiskinan. Ketika kemiskinan di Kazakhstan menurun sejalan dengan tingkat pertumbuhan GDP per kapita yang meningkat, hal ini juga diikuti dengan penurunan ketimpangan.

    Penelitian tentang desentralisasi fiskal dan petumbuhan ekonomi di 16 negara Eropa Timur dan Tengah, Rodriquez-Pose dan Kroijer (2009), menyimpulkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh negative terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran dan transfer pada level daerah daerah memiliki korelasi negatif dengan tingkat pertumbuhan nasional di CEE, sementara pajak daerah yang dikenakan telah mencapai beberapa manfaat ekonomi yang agak positif dari waktu ke waktu. Sedangkan pengeluaran daerah dan transfer, hasilnya sesuai dengan temuan studi empiris lain tentang desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi (Thieen, 2003 dan Rodrguez-Pose dan Bwire, 2004). Meskipun desentralisasi dikaitkan dengan peningkatan derajat inovasi kebijakan, transparansi yang lebih luas, dan kapasitas pemerintah lebih baik untuk disesuaikan dengan kebijakan kebutuhan daerah, sering mengalami kesulitan untuk menghubungkan faktor-faktor ini dengan peningkatan kinerja ekonomi. Khusus, di negara-negara yang tidak memiliki lembaga yang sesuai, sistem hukum, dan modal manusia, tingkat pertumbuhan ekonomi dapat meningkat sebagai akibat langsung dari desentralisasi fiskal. Dalam kasus sebaliknya, desentralisasi akan berpengaruh negatif terhadap perekonomian secara keseluruhan suatu negara.

  • 122

    Sedangkan pengeluaran daerah dan ketergantungan pada transfer memiliki implikasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara pengenaan pajak daerah dalam jangka menengah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti bahwa ketika pemerintah daerah memiliki bagian yang lebih besar dari pendapatan sendiri, lebih bertanggung jawab dan akuntabel untuk pengeluaran sehingga ada kemungkinan lebih besar untuk mencapai efisiensi ekonomi seperti yang diperkirakan oleh sebagian besar literatur tentang desentralisasi fiskal.

    Baskaran dan Feld (2009), penelitiannya mengukur desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. dengan menggunakan panel data. Kesimpulannya adalah desentralisasi fiskal berhubungan negatif dan tidak signifikan dengan pertumbuhan ekonomi, Begitupun, beberapa kajian menunjukan bahwa desentralisasi pendapatan tidak memperbaiki pertumbuhan ekonomi. Bahkan beberapa bukti bahwa pengawasan sub-federal atas pajak bersama memicu pertumbuhan ekonomi lebih ekonomis. Dengan tingginya tingkat politik yang bukan unit otonomi fiskal sub-federal telah menghambat pertumbuhan ekonomi. Hasil ini menunjukkan bahwa penting untuk membedakan antara otonomi politik dan fiskal pemerintah pada tingkat yang lebih rendah, ketika mendiskusikan apakah desentralisasi meningkatkan atau menghambat pertumbuhan ekonomi. Otonomi politik menunjukkan hal yang lebih sensitive karena, menambah pemain veto (Tsebelis, 1995). KESIMPULAN

    Masih menjadi suatu perdebatan dikalangan akademisi terhadap dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pembangunan daerah. Pada era desentralisasi fiskal dengan pelimpahan kewenangan yang lebih luas semestinya mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakatya. Otonomi dan desentralisasi merupakan alat untuk mewujudkan proses percepatan pembangunan, apalagi pemerintah daerah lebih dekat dan memahami kondisi dan karekteristik masyarakatnya. Realitas yang ada masih memperlihatkan kinerja pembangunan daerah yang relatif belum memadai. Dampak desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antar daerah merupakan suatu keadaan yang menarik untuk diungkapkan

  • 123

    apakah desentralisasi fiskal dapat meningkatkan atau menurunkan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan kesenjangan. Hubungan antara desentralisasi fiskal, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan antar daerah dan kemiskinan di Indonesia meperlihatkan suatu fenomena yang nyata, bahwa banyak daerah-daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan di sisi lain masih terdapat daerah yang relatif belum mampu membiayai pembangunannya secara proporsional.

    Banyak penelitian yang menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap pembangunan perekonomian daerah, namun penelitian yang lainnya berpendapat lain, bahwa desentralisasi fiskal kurang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Begitupun kaitanya terhadap pertumbuhan ekonomi, dimana proses awal pembangunan akan menyebabkan ketimpangan yang tinggi dan secara bertahap akan megurangi perbedaan ketimpangan atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi akan memberikan tingkat kesejahteraan yang merata bagi masyarakat suatu negara. DAFTAR PUSTAKA Agrawal, Pradeep. 2008. Economic Growth and Poverty Reduction :

    Evidence from Kazakhstan, Asian Development Revie, Vol. 24, N0. 2, pp. 90-115. Available : http://www.adb.org.

    Bahl, Roy and L. Linn. 2008. The Challenge of Intergovernmental Fiscal Relation in Pakistan: The Property Tax Demension, International Studies Program, Andrew Young Shcool of Policy Studies, Georgia State Universty International Atlanta, Georgia, 30303 United State of America

    Baskaran, Thushyanthan., and Lars P. Feld, 2009. Fiscal Decentralization and Economic Growth in OECD Countries: Is there a Relationship?, CESifo Working Paper No. 2721

    Bird, R.M., and P. Vaillancourt. 2000. Decentralization of the Socialist State. World Bank, Washington D.C.

    Blakely, Edward J. 1994, Planning Local Economic Development, Theory andPractice, Second Edition, SAGE Publication Inc, USA.

  • 124

    Bonet, Jaime. 2006. Fiscal Decentralization and Regional Income Disparities: envidence from the Colombian experience. original version.

    Brueckner, J K. 2007, Partial Decentralization Conference Paper, 1-30.

    Ihori, Toshihiro. 2001. Wealth Taxation and Economic Growth, Journal of Public Economics. Volume 79: 129-148.

    Jhingan, M.L. 1983. The Economics of Development and Planning, 16th Edition, Vicas Publishing House, Ltd, New Delhi.

    Jin, Jing & Zou, Heng-fu. 2005. Fiscal Decentralization, Revenue and Expenditure Assignments, and Growth in China, Journal of Asian Economics, Elsevier, Vol. 16(6): 1047-1064.

    Lessmann, Christian. 2006. Fiscal Decentralization and Regional Disparity : A Panel Data Approach for OECD Countries. Ifo Working Paper No.25

    Lin, J.Y. dan Z. Liu, 2000, Fiscal Decentralization and Economic Growth in China. Economic Development and Cultural Change, 49 (1) : 1-21. Maddala, J.S. (1992), Introduction to Econometrics, Mc. Milan..

    Mankiw, Gregory, 2000, Macroeconomics, Worth Publisher, Inc. New York.

    Osoro, Nehemiah E, 2003. Institution, Decentralization and Growth, Ad-Hoc Expert Group Meeting, Fiscal Policy and Growth in Africa Fiscal Federalism Decentralization and the Incidence of Taxation, Economic Commision Africa

    Pruhomme, Remy, 1995. The Dangers of Decentralization. The World Bank Research Observer, Vol. 10 No. 2 Washington

    Rodrguez-Pose, Andrs and Anne Krijer, 2009. Fiscal Decentralization and Economic Growth in Central and Eastern Europe. Growth and Change, Vol. 40 No. 3 (September 2009), pp. 387417

    Rodrguez-Pose, Andres and Roberto Bwire. 2004. Decentralization Matter for Regional Disparities? A Cross-Country Analysis, Serc Discussion Papar 25, JEL Classifications: H11, H71, R11.

    Romer, David. 1996. Advanced Macroeconomics, International Edition, McGraw-Hill Book Co, Singapore.

  • 125

    Shah, A. 1995. Indonesia dan Pakistan : Desentralisasi Fiskal : Tekad atau Retorika?. dalam Bird dan Vaillancourt. Desentralisasi Fiskal di Negara Negara Berkembang. Terjemahan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

    Thieen, Ulrict, 2003. Fiscal Decentralization and Economic Growth in High Income OECD Countries, Fiscal Studies Vol. 24 No. 3.

    World Bank, 2006. Era Baru Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, available: http://www. wordlbank.org.