anyang anyangan glomerunefritis akut
Post on 05-Dec-2014
35 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1. Anatomi Ginjal1.1 Makroskopik
Anatomi GinjalGinjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas.
Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Ginjal kanan lebih rendah daripada ginjal kiri karena adanya hati.
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang disebut kapsula fibrosa ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak perirenal (perinefrik). Di sebelah kranial ginjal terdapat glandula adrenal/suprarenal. Kelenjar adrenal bersama-sama ginjal dan lemak perinefrikdibungkus oleh fasia perinefrik.
Struktur ginjal ini terdiri dari cortex dan medula yang masing-masing berbeda warna dan bentuk. Cortex berwarna pucat dan permukaanya kasar. Sedangkan medula terdiri atas piramid-piramid yang berjumlah sekitar 12-20 buah, warna dari medula ini agak gelap. Antara satu piramid dengan piramid yang lainnya terdapat jaringan cortex berbentuk collum yang disebut Columna Renalis Bertini. Apex dari piramid disebut papila. Pada setiap papila bermuara 10-40 duktus pengumpul yang mengalirkan urin ke kaliks minor, kaliks mayor, pelvis ginjal dan dialirkan ke ureter.
setiap ginjal secara anatomis dibagi menjadi bagian korteks disebelah luar yang mengandung semua kapiler glomerulus dan sebagian segmen tubulus pendek, dan bagian medula di sebelah dalam tempat sebagian besar segmen tubulus berada. Perkembangan segmen-segmen tubulus dari glomerulus ke tubulus proximal, kemudian sampai di tubulus distal dan akhirnya hingga ke duktus pengumpul.
Sistem Vaskularisasi GinjalAliran darah ke ginjal berlangsung melalui arteri renalis, satu untuk setiap ginjal. Arteri renalis
ini berasal dari aorta. Arteri renalis bercabang menjadi arteri interlobaris, arteri interlobularis, arteri arcuata, arteri carticalis radiata, arteriola glomerularis afferens, kapiler glomerulus, arteriola glomerularis efferens, kemudian menjadi kapiler peritubulus yang mengelilingi dan menunjang tubulus nefron. Dan yang mengelilingi lengkung henle disebut vasa rekta. Dan kapiler peritubulus ini langsung bermuara ke vena cava.
1.2 MikroskopikCorpus Renal/Corpus Malpighi, terdiri dari :
1. Glomerulus yaitu gulungan kapiler yang berasal dari percabangan arteriol afferens dan keluar sebagai vas efferens.
2. Kapsula bowman, terdiri dari dua lapis, yaitu yang paling luar disebut pars parietalis, yang terdapat epitel selapis gepeng. Pars parietalis ini berlanjut menjadi dinding tubulus proximal. Dan lapisan yang paling luar disebut pars visceralis yang terdiri dari podocyte melapisi endotel. Dan diantara kedua lapisan ini terdapat urinary space.
3. Polus vascularis yaitu masuknya pembuluh darah ke kapsul bowman.
4. Polus urinarius yaitu keluar dari kapsul bowman ke tubulus proksimal.
Apparatus Juxtaglomerular yang merupakan struktur yang terdiri dari 3 jenis sel utama ;1. Sel Makula Densa
Bagian dari tubulus distal yang berjalan diantara vas afferens dan vas efferens yang menempel ke corpus renal. Sel dinding tubulus distal pada sisi yang menempel pada corpus renal, menjadi lebih tinggi dan tersusun lebih rapat yang disebut sel makula densa.
2. Sel MessangialSel ini terletak diantara pembuluh darah-pembuluh darah dan kapiler-kapiler glomerulus. Sel ini berasal dari jaringan mesenkim.
3. Sel GranularMerupakan perubahan sel otot polos tunica media dinding arteriole afferens dan effrens yang berubah menjadi sel sekretorik besar begranula yang mengandung renin.
2. Fisiologi Ginjal2.1 Fungsi ginjal dalam homeostatisFungsi ginjal:
a. Ekskresi produk sisa metabolik, bahan kimia asing, obat, dan metabolit.Ginjal merupakan organ utama untuk membuang produk sisa metabolisme. Produk produk ini meliputi urea (dari metabolism asam amino), kreatinin (dari keratin otot), asama urat (dari asam nukleat), produk akhir pemecahan hemoglobin (seperti bilirubin), metabolit berbagai hormone. Selain itu juga untuk membuang sebagian besar toksin dan zat asing.
b. Pengaturan keseimbangan asam air dan eletkrolitAsupan air dan banyak elektrolit terutama ditentukan oleh kebiasaan makan dan minum seseorang, sehingga mengharuskan ginjal untuk mengatur kecepatan ekskresinya sesuai dengan asupan berbagai macam zat. Dalam kenaikan asupan mendadak natrium, terdapat kenaikan eksresi ginjal yang beradaptasi selama kira kira 2-3 hari. Dalam proses adaptasi ini, terdapat akumulasi sejumlah natrium yang sedikit meningkatkan volume cairan ekstrasel, serta memacu perubahan hormonal dan respons kompensasi lainnya, yang memberi sinyal pada ginjal untuk meningkatkan ekskresinya. Hal ini juga berlaku pada air dan sebagian besar elektrolit seperti ion klorida, kalium, kalsium, hydrogen, magnesium, dan fosfat.
c. Pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolitd. Pengaturan tekanan arteri
Ginjal berperan penting dalam mengatur tekanan arteri jangka panjang dengan mengeksresikan sejumlah natrium dan air. Selain itu ginjal juga turut mengatur tekanan arteri jangka pendek dengan menyekresikan factor atau zat vasoaktif, seperti renin, yang menyebabkan pembentukan vasoaktif lainnya (contoh: angiotensin II).
e. Pengaturan keseimbangan asam basaGinjal turut mengatur keseimbang asam basa bersama dengan paru dan sistem dapar cairan tubuh, dengan cara mengeksresikan asam, dan mengatur penyimpanan dapar cairan tubuh. Ginjal merupakan satu satunya organ untuk membuang asam asam tertentu seperti asam sulfur dan asam fosfat yang dihasilkan oleh metabolism protein.
Ginjal mengatur keseinbangan asam basa dengan mengekskresikan urin yang asam atau basa. Pengeluaran urin asam akan mengurangi jumlah asam dalam cairan ekstrasel, sedangkan pengeluaran urin basa berarti menghilangkan basa dari cairan ekstrasel.
Keseluruhan mekanisme ekskresi urin asam atau basa oleh ginjal adalah sebagai berikut. Sejumlah besar HCO difiltrasi secara terus menerus ke dalam tubulus, dan bila HCO ini₃ ̄� ₃ ̄� diekskresikan kedalam urin, keadaan ini menghilangkan basa dari darah. Sejumlah besar H juga⁺ disekresikan kedalam lumen tubulus oleh sel epitel tubulus sehingga menghilangkan asam dari darah. Bila lebih banyak H yang disekresikan daripada HCO yang difiltrasi, akan terjadi kehilangan asam⁺ ₃ ̄� dari cairan ekstrasel. Sebaliknya apabila lebih banya HCO yang difiltrasi daripada H yang₃ ̄� ⁺ disekresikan, akan terjadi kehilangan basa.
Setiap hari tubuh menghasilkan sekitar 80 miliekuivalen asam non-volatil, terutama dari metabolisme protein. Asam-asam ini disebut non-volatil karena asam tersebut bukan H CO , karena₂ ₃ itu tidak dapat diekskresikan oleh paru. Mekanisme primer untuk mengeluarkan asam ini dari tubuh adalah melalui ekskresi ginjal. Ginjal juga harus mencegah kehilangan bikarbonat dalam urin, suatu tugas yang secara kuantitatif lebih penting daripada ekskresi asam non-volatil. Setiap hari ginjal memfiltrasi sekitar 4320 miliekuivalen bikarbonat (180 L/hari x 24 mEq/L), dan dalam kondisi normal hampr semuanya direabsorpsi dari tubulus, sehingga mempertahankan sistem dapar utama cairan ekstrasel.
Reabsorpsi bikarbonat dan ekskresi H , dicapai melalui proses sekresi H oleh tubulus. Karena⁺ ⁺ HCO harus bereaksi dengan satu H yang disekresikan untuk membentuk H CO sebelum dapat₃ ̄� ⁺ ₂ ₃ direabsorpsi, 4320 miliekuivalen H harus disekresikan setiap hari hanya untuk mereabsorpsi⁺ bikarbonat yang difiltrasi. Kemudian penambahan 80 miliekuivalen H harus disekresikan untuk⁺ menghilangkan asam non volatil yang diproduksi oleh tubuh setiap hari, sehingga total 4400 miliekuivalen H disekresikan kedalam cairan tubulus setiap harinya. ⁺
Bila terdapat pengurangan konsentrasi H cairan ekstrasel (alkalosis), ginjal gagal mereabsorpsi⁺ semua bokarbonat yang difiltrasi, sehingga meningkatkan ekskresi bikarbonat. Karena HCO₃ ̄� normalnya mendapat hidrogen dalam cairan ekstrasel, kehilangan bikarbonat ini sama saja dengan penambahan satu H kedalam cairan ekstrasel. Oleh karena itu, pada alkalosis, pengeluaran HCO⁺ ₃ ̄� akan meningkatkan konsentrasi H cairan ekstrasel kembali menuju normal. ⁺
Pada asidosis, ginjal tidak mengekskresikan bikarbonat kedalam urin tetapi mereabsorpsi semua bikarbonat yang difiltrasi dan menghasilkan bikarbonat baru, yang ditambahkan kembali kedalam cairan ekstrasel. Hal ini mengurangi konsentrasi H cairan ekstrasel kembali menuju normal. ⁺
Jadi, ginjal mengatur konsentrasi H cairan ekstrasel melalui tiga mekanisme dasar⁺1.Sekresi ion H ⁺2.Reabsorpsi HCO yang difiltrasi₃ ̄�3.Produksi HCO baru.₃ ̄�
Semua proses ini dicapai melalui mekanisme dasar yang sama.Nilai normal :PCO2 : 35 – 45 mmHgPO2 : 75 – 100 mmHgpH : 7.35 – 7.45HCO3 : 22 – 26 mEq/L
f. Sekresi, metabolism, dan ekskresi hormone Pengaturan produksi eritrosit
Ginjal menyekresikan eritropoetin, yang merangsang pembentukan sel darah merah. Salah satu rangsangan yang penting untuk sekresi eritropeitin adalah hipoksia.
Pengaturan produksi 1,25- Dihidroksivitamin DGinjal menghasilkan bentuk aktif vitamin D yang berfungsi dalam pengaturan kalsium dan fosfat.
g. GluconeogenesisGinjal mensintesis glukosa dari asam amino dan precursor lainnya selama masa puasa yang panjang.
2.2 Pembentukan UrinProses terbentuknya urin melalui empat tahapan :1. Filtrasi2. Absorpsi3. Reabsorpsi4. Augmentasi
Ginjal mendapat suplai darah dari arteri renalis,yang kemudian dari arteri renalis bercabang menjadi arteri - arteri kecil yang disebut arteriol aferen,dari sini darah masuk ke glomerulus , diglomerulus mengalami tahap pertama yakni filtrasi,terjadinya filtrasi dikarenakan adanya perbedaan tekanan hidrostatik darah dalam kapiler dan tekanan oncotik dari cairan dalam bowman space. Terjadinya filtrasi ini bertujuan untuk menahan molekul-molekul berukuran besar seperti protein agar tidak lolos dalam pemebentukan urin.
Dari glomerulus hanya sekitar 20% darah yang masuk ke tubulus; 80% masuk ke arteriol eferen; 20% darah yang masuk tadi kemudian menembus kapiler, dari kapiler ke ruang intrestisium.lalu ke kapsul bowman.Dari sini dihasilkannya urin primer.
Kemudian masuk ke tubulus proksimal.Di tubulus ini mengalami tahap kedua yakni absorpsi; adanya penyerapan secara besar-besaran dari filtrate solute glomerulus. Kemudian melewati ansa henle, disini terjadi pemekatan serta pengenceran, lalu menuju ke macula densa. dari macula densa ke tubulus distal.Di tubulus distal ini terjadi tahap ke tiga dan ke empat yakni reabsorpsi bahan-bahan yangmasih digunakan secara aktif. Contohnya glukosa dan asam amino serta air. Selain terjadi reabsorpsi juga terjadi augmentasi yakni penambahan zat-zat sisa seperti urea. Dan dihasilkannya urin sekunder.
Urine sekunder ini kemudian melanjutkan perjalanannya ke tubulus renalis arkuatus, tubulus koligentes kortikal, duktus koligentes kortikal, duktus koligentes medulla sebagai penampung. Dari sini lalu berjalan melalui saluran urogenital sampai ke urethra.
Faktor yang mempengaruhi pembentukan urin :1. Jumlah air yang diminum.
Banyaknya air yang diminum menyebabkan konsentrasi protein darah menurun,akibatnya darahmenjadi encer,karena encer sekresi hormone ADH terhalang,sehingga menyebabkan penyerapanair di dinding tubulus kurang efektif,akhirnya produksi urin meningkat.Begitu juga sebaliknya.
2. Hormon anti diuretic (ADH)3. Suhu
Bila suhu naik secara tidak langsung banyak juga keringat yang di keluarkan,sehinggakonsentrasi air dalam darah menurun,di kompensasi dengan meningkatnya sekresi hormoneADH,reabsorpsi air meningakat,dan urin yang dihasilkan sedikit,begitu pula sebaliknya.
4. Diabetes insipidus5. Gagal ginjal akut6. Gagal ginjal kronik 7. GlomeroNefritis akut
THE FORMATION OF URINE
FIGURATION, REABSORPTION, AND SECRETION
Every one of us depends on the process of urination for the removal of certain waste products in the body. The production of urine is vital to the health of the body. Most of us have probably never thought of urine as valuable, but we could not survive if we did not produce it and eliminate it. Urine is composed of water, certain electrolytes, and various waste products that are filtered out of the blood system. Remember, as the blood flows through the body, wastes resulting from the metabolism of foodstuffs in the body cells are deposited into the bloodstream, and this waste must be disposed of in some way. A major part of this "cleaning" of the blood takes place in the kidneys and, in particular, in the nephrons, where the blood is filtered to produce the urine. Both kidneys in the body carry out this essential blood cleansing function. Normally, about 20% of the total blood pumped by the heart each minute will enter the kidneys to undergo filtration. This is called the filtration fraction. The rest of the blood (about 80%) does not go through the filtering portion of the kidney, but flows through the rest of the body to service the various nutritional, respiratory, and other needs that are always present.
For the production of urine, the kidneys do not simply pick waste products out of the bloodstream and send them along for final disposal. The kidneys' 2 million or more nephrons (about a million in each kidney) form urine by three precisely regulated processes: filtration, reabsorption, and secretion.
Filtration
Urine formation begins with the process of filtration, which goes on continually in the renal corpuscles (Figure 3). As blood courses through the glomeruli, much of its fluid, containing both useful chemicals and dissolved waste materials, soaks out of the blood through the membranes (by osmosis and diffusion) where it is filtered and then flows into the Bowman's capsule. This process is called glomerular filtration. The water, waste products, salt, glucose, and other chemicals that have been filtered out of the blood are known collectively as glomerular filtrate. The glomerular filtrate consists primarily of water, excess salts (primarily Na+ and K+), glucose, and a waste product of the body called urea. Urea is formed in the body to eliminate the very toxic ammonia products that are formed in the liver from amino acids. Since humans cannot excrete ammonia, it is converted to the less dangerous urea and then filtered out of the blood. Urea is the most abundant of the waste products that must be excreted by the kidneys. The total rate of glomerular filtration (glomerular filtration rate or GFR) for the whole body (i.e., for all of the nephrons in both kidneys) is normally about 125 ml per minute. That is, about 125 ml of water and dissolved substances are filtered out of the blood per minute. The following calculations may help you visualize how enormous this volume is. The GFR per hour is:
125 ml/min X 60min/hr= 7500 ml/hr.
The GFR per day is:7500 ml/hr X 24 hr/day = 180,000 ml/day or 180 liters/day.
Now, see if you can calculate how many gallons of water we are talking about. Here are some conversion factors for you to consider: 1 quart = 960 ml, 1 liter = 1000 ml, 4 quarts. = 1 gallon. Remember to cancel units and you will have no problem.
Now, what we have just calculated is the amount of water that is removed from the blood each day - about 180 liters per day. (Actually it also includes other chemicals, but the vast majority of this glomerular filtrate is water.) Imagine the size of a 2-liter bottle of soda pop. About 90 of those bottles equals 180 liters! Obviously no one ever excretes anywhere near 180 liters of urine per day! Why? Because almost all of the estimated 43 gallons of water (which is about the same as 180 liters - did you get the right answer?) that leaves the blood by glomerular filtration, the first process in urine formation, returns to the blood by the second process - reabsorption.
Reabsorption
Reabsorption, by definition, is the movement of substances out of the renal tubules back into the blood capillaries located around the tubules (called the peritubular copillaries). Substances reabsorbed are water, glucose and other nutrients, and sodium (Na+) and other ions. Reabsorption begins in the proximal convoluted tubules and continues in the loop of Henle, distal convoluted
tubules, and collecting tubules (Figure 3). Let's discuss for a moment the three main substances that are reabsorbed back into the bloodstream.
Large amounts of water - more than 178 liters per day - are reabsorbed back into the bloodstream from the proximal tubules because the physical forces acting on the water in these tubules actually push most of the water back into the blood capillaries. In other words, about 99% of the 180 liters of water that leave the blood each day by glomerular filtration returns to the blood from the proximal tubule through the process of passive reabsorption.
The nutrient glucose (blood sugar) is entirely reabsorbed back into the blood from the proximal tubules. In fact, it is actively transported out of the tubules and into the peritubular capillary blood. None of this valuable nutrient is wasted by being lost in the urine. However, even when the kidneys are operating at peak efficiency, the nephrons can reabsorb only so much sugar and water. Their limitations are dramatically illustrated in cases of diabetes mellitus, a disease which causes the amount of sugar in the blood to rise far above normal. As already mentioned, in ordinary cases all the glucose that seeps out through the glomeruli into the tubules is reabsorbed into the blood. But if too much is present, the tubules reach the limit of their ability to pass the sugar back into the bloodstream, and the tubules retain some of it. It is then carried along in the urine, often providing a doctor with her first clue that a patient has diabetes mellitus. The value of urine as a diagnostic aid has been known to the world of medicine since as far back as the time of Hippocrates. Since then, examination of the urine has become a regular procedure for physicians as well as scientists.
Sodium ions (Na+) and other ions are only partially reabsorbed from the renal tubules back into the blood. For the most part, however, sodium ions are actively transported back into blood from the tubular fluid. The amount of sodium reabsorbed varies from time to time; it depends largely on how much salt we take in from the foods that we eat. (As stated earlier, sodium is a major component of table salt, known chemically as sodium chloride.) As a person increases the amount of salt taken into the body, that person's kidneys decrease the amount of sodium reabsorption back into the blood. That is, more sodium is retained in the tubules. Therefore, the amount of salt excreted in the urine increases. The process works the other way as well. The less the salt intake, the greater the amount of sodium reabsorbed back into the blood, and the amount of salt excreted in the urine decreases.
Secretion
Now, let's describe the third important process in the formation of urine. Secretion is the process by which substances move into the distal and collecting tubules from blood in the capillaries around these tubules (Figure 3). In this respect, secretion is reabsorption in reverse. Whereas reabsorption moves substances out of the tubules and into the blood, secretion moves substances out of the blood and into the tubules where they mix with the water and other wastes and are converted into urine. These substances are secreted through either an active transport mechanism or as a result of diffusion across the membrane. Substances secreted are hydrogen ions (H+), potassium ions (K+), ammonia (NH3), and certain drugs. Kidney tubule secretion plays a crucial role in maintaining the body's acid-base balance, another example of an important body function that the kidney participates in.
Summary
In summary, three processes occurring in successive portions of the nephron accomplish the function of urine formation:
1. Filtration of water and dissolved substances out of the blood in the glomeruli and into Bowman's capsule;
2. Reabsorption of water and dissolved substances out of the kidney tubules back into the blood (note that this process prevents substances needed by the body from being lost in the urine);
3. Secretion of hydrogen ions (H+), potassium ions (K+), ammonia (NH3), and certain drugs out of the blood and into the kidney tubules, where they are eventually eliminated in the urine.
4. Glomeronefritis
4.1 Definisi
Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan proliferasi sel
glomerulus. Peradangan tersebut terutama disebabkan mekanisme imunologis yang menimbulkan
kelainan patologis glomerulus dengan mekanisme yang masih belum jelas. Pada anak kebanyakan
kasus glomerulonefritis akut adalah pasca infeksi, paling sering infeksi streptokokus beta hemolitikus
grup A. Dari perkembangan teknik biopsi ginjal per-kutan, pemeriksaan dengan mikroskop elektron
dan imunofluoresen serta pemeriksaan serologis, glomerulonefritis akut pasca streptokokus telah
diketahui sebagai salah satu contoh dari penyakit kompleks imun. Penyakit ini merupakan contoh
klasik sindroma nefritik akut dengan awitan grosshematuria, edema, hipertensi dan insufisiensi ginjal
akut. Walaupun penyakit ini dapat sembuh sendiri dengan kesembuhan yang sempurna, pada sebagian
kecil kasus dapat terjadi gagal ginjal akut sehingga memerlukan pemantauan.
4.2 Klasifikasi
Pembagian Klinik Glomerulonefritis Berdasarkan Perjalanan Penyakit
1. Kongenital atau herediter
Sindrom Alport, Sindrom Nekrotik Congenital (tipe finlandia), Hematuria
Familial, Sindrom Nail Patella.
2. Didapat
a. Primer atau Idiopatik
Penyakit Kelainan Minimal
Glomerulonefritis Proliferatif Mesangial
Glomerulonefritis Fokal Segmental
Glomerulonefritis Membranoproliferatif Tipe I, II, III
Glomerulopati Membranosa, Nefropati IgA
Glomerulonefritis Progresif cepat
Glomerulonefritis Proliferatif Difus
Glomerulonefritis Kronik yang lain (tak terklasifikasi)
b. Sekunder
Akibat Infeksi
- Glomerulonefritis pasca streptokok, hepatitis B, endokarditis bakteril
subakut
- Nefritis pirau, glomerulonefritis pasca pneumokok, sifilis congenital,
malaria
- Lepra, schistosomiasis, filariasis, AIDS, dll
Berhubungan dengan Penyakit Multisistem
- Purpura Henoch Schonlein, Lupus Eritematosus Sistemik, Sindrom
Hemolitik Uremik
- Diabetes Mellitus Sindrom Goodpasture, amiloidosis, dll
- Penyakit kolagen vascular lainnya : poliarteritis nodosa, penyakit
jaringan ikat campuran, granulomatosis Wegener, vaskulitis, arthritis
rheumatoid
Obat
Penisilamin, obat anti-radang nonsteroid, kaptopril, garam emas, Street
geroin, trimetadion, litium, merkuri, dll.
Neoplasia
Leukemia, limfoma, karsinoma
Lain-lain
Rejeksi transplantasi ginjal kronik, nefropati refluks, penyakit sel sabit, dll
4.3 Etiologi
Kuman Penyebab GNAPS
Bakteri
Streptokokus ß hemolitikus grup A
Streptokokus grup C (Streptococcus zooepidemicus)
Pneumococcus (Pneumonia)
Streptococcus viridians (endokarditis bacterial sub akut)
Staphylococcus aureus (endokarditis bacterial sub akut pneumonia)
Staphylococcus albus (shunt ventrikuloatrial yang terinfeksi)
Diphteroids (shunt ventrikuloatrial yang terinfeksi)
Meningococcus (sepsis)
Klebsiella pneumonia (pneumonia)
Organisme gram negatif (sepsis)
Gonococcus (endokarditis)
Salmonella thypi (demam tifoid)
Mycoplasma pneumonia (pneumonia)
Leptospira
Treponema pallidum (sifilis kongenital)
Mycobacterium leprae
Di negara berkembang, glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus (GNAPS) masih sering
dijumpai dan merupakan penyebab lesi ginjal non supuratif terbanyak pada anak. Sampai saat ini
belum diketahui faktor-faktor yang menyebabkan penyakit ini menjadi berat, karena tidak ada
perbedaan klinis dan laboratoris antara pasien yang jatuh ke dalam gagal ginjal akut (GGA) dan yang
sembuh sempurna. Manifestasi klinis yang bervariasi menyebabkan insiden penyakit ini secara statistik
tidak dapat ditentukan. Diperkirakan insiden berkisar 0- 28% pasca infeksi streptokokus. Pada anak
GNAPS paling sering disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus group A tipe nefritogenik.
Tipe antigen protein M berkaitan erat dengan tipe nefritogenik. Serotipe streptokokus beta
hemolitik yang paling sering dihubungkan dengan glomerulonefritis akut (GNA) yang didahului
faringitis adalah tipe 12, tetapi kadang- kadang juga tipe 1,4 ,6 dan 25. Tipe 49 paling sering dijumpai
pada glomerulonefritis yang didahului infeksi kulit / pioderma, walaupun galur 53,55,56,57 dan 58
dapat berimplikasi. Protein streptokokus galur nefritogenik yang merupakan antigen antara lain
endostreptosin, antigen presorbing (PA-Ag), nephritic strain-associated protein (NSAP) yang dikenal
sebagai streptokinase dan nephritic plasmin binding protein (NPBP).
4.4 Patogenesis dan patofisiologi
Patogenesis
Glomerulonefritis pascastreptokok dapat terjadi setelah radang tenggorok dan jarang
dilaporkan bersamaan dengan demam reumatik akut. Berdasarkan hubungannya
dengan infeksi streptokokus, gejala klinis, dan pemeriksaan imunofluoresensi ginjal,
jelaslah kiranya bahwa glomerulonefritis pascastreptokokus adalah suatu
glomerulonefritis yang bermediakan proses imunologis. Meskipun secara umum
patogenesis glomerulonefritis telah dimengerti, namun mekanisme yang tepat
bagaimana terjadinya lesi glomerulus, terjadinya proteinuria dan hematuria pada
glomerulonefritis pascastreptokokus belumlah jelas benar. Pembentukan kompleks-
imun bersirkulasi dan pembentukan kompleks-imun in situ, telah ditetapkan sebagai
mekanisme patogenesis glomerulonefritis pascastreptokok. Hipotesis lain yang sering
disebut-sebut adalah adanya neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus yang
mengubah IgG endogen sehingga menjadi “autoantigenik”. Akibatnya terbentuklah
autoantibody terhadap IgG yang telah berubah tersebut, yang mengakibatkan
pembentukan kompleks imun bersirkulasi, yang kemudian mengendap dalam ginjal2,7
Adanya periode laten antara infeksi streptokok dengan gambaran klinis dari kerusakan glomerulus menunjukan bahwa proses imunologis memegang peranan penting dalam patogenesis glomerulonefritis. Glomerulonefritis akut pasca streptokok merupakan salah satu contoh dari penyakit kompleks-imun1,2,4
Pada penyakit kompleks-imun, antibodi tubuh (host) akan bereaksi dengan circulating antigen dan komplemen yang beredar dalam darah untuk membentuk circulating immunne complexes. Pembentukkan circulating immunne complexes ini memerlukan antigen dan antibodi dengan perbandingan 20 : 1. Jadi antigen harus lebih banyak atau antibodi lebih sedikit. Antigen yang bersirkulasi dalam darah bersifat heterolog baik eksogen maupun endogen. Kompleks-imun yang beredar dalam darah dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat akan menempel/melekat pada kapiler-kapiler glomeruli dan terjadi proses kerusakan mekanis melalui aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan dan mikrokoagulasi.
Patofisiologi
Patofisiologi pada gejala-gejala klinik berikut:
1. Kelainan urinalisis: proteinuria dan hematuria
Kerusakan dinding kapiler glomerulus sehingga menjadi lebih permeable dan porotis terhadap protein dan sel-sel eritrosit, maka terjadi proteinuria dan hematuria2
2. Edema
Mekanisme retensi natrium dan edema pada glomerulonefritis tanpa penurunan tekanan onkotik plasma. Hal ini berbeda dengan mekanisme edema pada sindrom nefrotik.
Penurunan faal ginjal yaitu laju filtrasi glomerulus (LGF) tidak diketahui sebabnya, mungkin akibat kelainan histopatologis (pembengkakan sel-sel endotel, proliferasi sel mesangium, oklusi kapiler-kaliper) glomeruli. Penurunan faal ginjal LFG ini menyebabkan penurunan ekskresi natrium Na+ (natriuresis), akhirnya terjadi retensi natrium Na+. Keadaan retensi natrium Na+ ini diperberat oleh pemasukan garam natrium dari diet. Retensi natrium Na+ disertai air menyebabkan dilusi plasma, kenaikan volume plasma, ekspansi volume cairan ekstraseluler, dan akhirnya terjadi edema1,2,7
3. Hipertensi
a. Gangguan keseimbangan natrium (sodium homeostasis)
Gangguan keseimbangan natrium ini memegang peranan dalam genesis hipertensi ringan dan sedang.
b. Peranan sistem renin-angiotensin-aldosteron biasanya pada hipertensi berat. Hipertensi dapat dikendalikan dengan obat-obatan yang dapat menurunkan konsentrasi renin, atau tindakan nefrektomi.
c. Substansi renal medullary hypotensive factors, diduga prostaglandin. Penurunan konsentrasi dari zat ini menyebabkan hipertensi2
4. Bendungan Sirkulasi
Bendungan sirkulasi merupakan salah satu ciri khusus dari sindrom nefritik akut, walaupun mekanismenya masih belum jelas.
Beberapa hipotesis yang berhubungan telah dikemukakan dalam kepustakaan-kepustakaan antara lain:
a. Vaskulitis umum
Gangguan pembuluh darah dicurigai merupakan salah satu tanda kelainan patologis dari glomerulonefritis akut. Kelainan-kelainan pembuluh darah ini menyebabkan transudasi cairan ke jaringan interstisial dan menjadi edema.
b. Penyakit jantung hipertensif
Bendungan sirkulasi paru akut diduga berhubungan dengan hipertensi yang dapat terjadi pada glomerulonefritis akut.
c. Miokarditis
Pada sebagian pasien glomerulonefritis tidak jarang ditemukan perubahan-perubahan elektrokardiogram: gelombang T terbalik pada semua lead baik standar maupun precardial. Perubahan-perubahan gelombang T yang tidak spesifik ini mungkin berhubungan dengan miokarditis.
d. Retensi cairan dan hipervolemi tanpa gagal jantung
Hipotesis ini dapat menerangkan gejala bendungan paru akut, kenaikan cardiac output, ekspansi volume cairan tubuh. Semua perubahan patofisiologi ini akibat retensi natrium dan air1,2,4
Gejala Klinis
Gejala klinis glomerulonefritis akut pasca streptokok sangat bervariasi, dari keluhan-keluhan ringan atau tanpa keluhan sampai timbul gejala-gejala berat dengan bendungan paru akut, gagal ginjal akut, atau ensefalopati hipertensi7
Kumpulan gambaran klinis yang klasik dari glomerulonefritis akut dikenal dengan sindrom nefritik akut. Bendungan paru akut dapat merupakan gambaran klinis dari glomerulonefritis akut pada orang dewasa atau anak yang besar. Sebaliknya pada pasien anak-anak, ensefalopati akut hipertensif sering merupakan gambaran klinis pertama.
1. Infeksi Streptokok
Riwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis, tonsilitis atau infeksi kulit (impetigo). Data-data epidemiologi membuktikan, bahwa prevalensi glomerulonefritis meningkat mencapai 30% dari suatu epidemi infeksi saluran nafas. Insiden glomerulonefritis akut pasca impetigo relatif rendah, sekitar 5-10%.
2. Gejala-gejala umum
Glomerulonefritis akut pasca streptokok tidak memberikan keluhan dan ciri khusus. Keluhan-keluhan seperti anoreksia, lemah badan, tidak jarang disertai panas badan, dapat ditemukan pada setiap penyakit infeksi.
3. Keluhan saluran kemih
Hematuria makroskopis (gross) sering ditemukan, hampir 40% dari semua pasien. Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-keluhan seperti infeksi saluran kemih bawah walaupun tidak terbukti secara bakteriologis. Oligouria atau anuria merupakan tanda prognosis buruk pada pasien dewasa.
4. Hipertensi
Hipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir pada semua pasien. Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali normotensi setelah terdapat diuresis tanpa pemberian obat-obatan antihipertensi. Hipertensi berat dengan atau tanpa ensefalopati hanya dijumpai pada kira-kira 5-10% dari semua pasien.
5. Edema dan bendungan paru akut
Hampir semua pasien dengan riwayat edema pada kelopak mata atau pergelangan kaki bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila perjalanan penyakit berat dan progresif, edema ini akan menetap atau persisten, tidak jarang disertai dengan asites dan efusi rongga pleura1,2,7
4.5 Manifestasi Klinis
Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik. Kasus klasik atau tipikal diawali dengan infeksi
saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua minggu mendahului timbulnya sembab. Periode laten
rata-rata 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau kulit.
Hematuria dapat timbul berupa gross hematuria maupun mikroskopik. Gross hematuria terjadi
pada 30-50 % pasien yang dirawat. Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai seperti demam,
malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau lesu.1,4 Pada pemeriksaan fisis dijumpai
hipertensi pada hampir semua pasien GNAPS, biasanya ringan atau sedang.7,15 Hipertensi pada
GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu tekanan darah menurun perlahan-lahan
dalam waktu 1-2 minggu. Edema bisa berupa wajah sembab, edem pretibial atau berupa gambaran
sindrom nefrotik. Asites dijumpai pada sekitar 35% pasien dengan edem. Bendungan sirkulasi secara
klinis bisa nyata dengan takipne dan dispne. Gejala gejala tersebut dapat disertai oliguria sampai anuria
karena penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).
4.6 Diagnosis
Kecurigaan akan adanya GNAPS dicurigai bila dijumpai gejala klinis berupa hematuria nyata
yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus.Tanda
glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus secaralaboratoris dan
rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis.
Tetapi beberapa keadaan dapat menyerupai GNAPS seperti:
Glomerulonefritis kronik dengan eksaserbasi akut
Purpura Henoch-Schoenlein yang mengenai ginjal
Hematuria idiopatik
Nefritis herediter (sindrom Alport )
Lupus eritematosus sistemik
Laboratorium
Pemeriksaan urin sangat penting untuk menegakkan diagnosis nefritis akut. Volume urin
sering berkurang dengan warna gelap atau kecoklatan seperti air cucian daging. Hematuria
makroskopis maupun mikroskopis dijumpai pada hampir semua pasien. Eritrosit khas terdapat pada 60-
85% kasus, menunjukkan adanya perdarahan glomerulus. Proteinuria biasanya sebandingdengan derajat
hematuria dan ekskresi protein umumnya tidak melebihi 2gr/m2 luas permukaan tubuh perhari. Sekitar
2-5% anak disertai proteinuria masif seperti gambaran nefrotik.
Umumnya LFG berkurang, disertai penurunan kapasitas ekskresi air dan garam, menyebabkan
ekspansi volume cairan ekstraselular. Menurunnya LFG akibat tertutupnya permukaan glomerulus
dengan deposit kompleks imun. Sebagian besar anakyang dirawat dengan GNA menunjukkan
peningkatan urea nitrogen darah dan konsentrasi serum kreatinin.
Anemia sebanding dengan derajat ekspansi volume cairan esktraselular dan membaik bila
edem menghilang. Beberapa peneliti melaporkan adanya pemendekan masa hidup eritrosit. Kadar
albumin dan protein serum sedikit menurun karena proses dilusi dan berbanding terbalik dengan
jumlah deposit imun kompleks pada mesangial glomerulus.
Bukti yang mendahului adanya infeksi streptokokus pada anak dengan GNA harus
diperhatikan termasuk riwayatnya. Pemeriksaan bakteriologis apus tenggorok atau kulit penting untuk
isolasi dan identifikasi streptokokus. Bila biakan tidak
mendukung, dilakukan uji serologi respon imun terhadap antigen streptokokus.
Peningkatan titer antibodi terhadap streptolisin-O (ASTO) terjadi 10- 14 hari setelah infeksi
streptokokus. Kenaikan titer ASTO terdapat pada 75-80% pasien yang tidak mendapat antibiotik. Titer
ASTO pasca infeksi streptokokus pada kulit jarang meningkat dan hanya terjadi pada 50% kasus. Titer
antibodi lain seperti antihialuronidase (Ahase) dan anti deoksiribonuklease B (DNase B) umumnya
meningkat. Pengukuran titer antibodi yang terbaik pada keadaan ini adalah terhadap antigen DNase B
yang meningkat pada 90-95% kasus. Pemeriksaan gabungan titer ASTO, Ahase dan ADNase B dapat
mendeteksi infeksi streptokokus sebelumnya pada hampir 100% kasus.
Penurunan komplemen C3 dijumpai pada 80-90% kasus dalam 2 minggu pertama, sedang
kadar properdin menurun pada 50% kasus. Penurunan C3 sangat nyata, dengan kadar sekitar 20-40
mg/dl (normal 80-170 mg/dl). Kadar IgG seringmeningkat lebih dari 1600 mg/100 ml pada hampir
93% pasien. Pada awal penyakit kebanyakan pasien mempunyai krioglobulin dalam sirkulasi yang
mengandung IgG atau IgG bersama-sama IgM atau C3.
Hampir sepertiga pasien menunjukkan pembendungan paru. Di Ujung Pandang pada tahun
1980-1990 pada 176 kasus mendapatkan gambaran radiologis berupa kardiomegali 84,1%, bendungan
sirkulasi paru 68,2 % dan edem paru 48,9% . Gambaran tersebut lebih sering terjadi pada pasien
dengan manifestasi klinis disertai edem yang berat. Foto abdomen menunjukkan kekaburan yang
diduga sebagai asites.
Proteinuria ringan (pemeriksaan urine rebus)
Hematuria makroskopis/mikroskopis
Torak granular, torak eritrosit
Darah
BUN naik pada fase akut, lalu normal kembali
ASTO >100 Kesatuan Todd
Komplemen C3 < 50 mg/dl pada 4 minggu pertama
Hipergamaglobulinemia, terutama IgG
Anti DNA-ase beta dan properdin meningkat
4.7 Komplikasi
Oligouria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai
akibat berkurangnya filtrasi glomerolus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut
dengan uremia, hiperfosfatemia, hiperkalemia, dan hidremia. Walaupun oligouria
atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, jika hal ini terjadi diperlukan
peritoneum dialisis (bila perlu).
Ensefalopati hipertensi merupakan gejala serebrum karena hipertensi.
Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah, dan kejang-kejang.
Hal ini disebabkan karena spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema
otak.
Gangguan sirkulasi berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya ronkhi basah,
kardimegali, dan meningkatnya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme
pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung
dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan
kelainan di miokardium.
Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping eritropoetik yang
menurun.
4.8 Tatalaksana
1. Pengobatan
Suportis
Pengobatan GNAPS umumnya bersifat suportis. Tirah baring
umumnya diperlukan jika pasien tampak sakit, misalnya kesadaran menurun,
hipertensi, edema. Diet nefritis diberikan terutama pada keadaan dengan
retensi cairan dan penurunan fungsi ginjal. Jika terdapat komplikasi seperti
gagal ginjal, hipertensi ensefalopati, gagal jantung, edema paru, maka
tatalaksananya disesuaikan dengan komplikasi yang terjadi.
Dietetik
Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1g/kgBB/hari) dan
rendah garam (1g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu
tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau
muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita
tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan denan kebutuhan, sedangkan
bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi, dan oligouria,
maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.
Medikamentosa
Golongan Penisilin dapat diberikan untuk eradikasi kuman, dengan
Amoksisilin 50mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap
golongan penisilin, diganti dengan Eritromisin 30mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis.
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya, dll)
Rujuk ke dokter nefrologi anak bila terdapat komplikasi gagal ginjal,
ensefalopati, hipertensi, gagal jantung.
2. Pemantauan
Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan
pengobatan dilakukan terhadap komplikasi yang terjadi karena komplikasi
tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang berat, pemantauan
tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan.
Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak,
kecuali jika terdapat komplikasi yang menimbulkan sekuele.
Mengobati Komplikasi
Pada pasien dengan komplikasi seperti gagal ginjal, edema, hipertensi, dan
oligouria, maka jumlah cairan yang diberikan harus seimbang. Bila timbul gagal
jantung diberikan digitalis, sedativum, dan oksigen.
Bila anuria berlangsung lama (5-7) hari, maka ureum harus dikeluarkan dari
dalam darah. Dapat dengan cara peritoneum dialisis, hemodialisis, transfusi
darah, dsb.
Diuretikum dulu tidak diberikan pada glomerulomefritis akut, tetapi akhir-akhir
ini pemberian lasix secara IV (1mg/kgBB/x) dalam 5-10 menit tidak berakibat
buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerolus.
Bila ditemukan gejala anemia maka dapat diatasi dengan pemberian preparat besi
atau transfusi darah.
4.9 Prognosis
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS antara
lain umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur streptokukus tertentu, pola
serangan sporadik atau epidemik, tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran
histologis glomerulus. Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak
yang lebih besar atau orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai
lesi nekrotik glomerulus.
Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan prognosis
yang baik. Insiden gangguan fungsi ginjal berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS
menjadi kronik 5-10 %; sekitar 0,5-2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal
cepat dan progresif dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal
terminal.18 Angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7 %.2,21 Melihat
GNAPS masih sering dijumpai pada anak, maka penyakit ini harus dicegah karena
berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal. Pencegahan dapat berupa perbaikan
ekonomi dan lingkungan tempat tinggal, mengontrol dan mengobati infeksi kulit.
Pencegahan GNAPS berkontribusi menurunkan insiden penyakit ginjal dan gagal
ginjal di kemudian hari.
4.10 Pencegahan
5. Pandangan Islam tentang urin
Para fuqaha sepakat tentang najisnya air kencing dan tinja manusia, dan juga air kencing dari tahi binatang yang dagingnya tidak halal dimakan, berdasarkan suatu riwayat bahwasanya :
Ada seorang Arab Badui datang, lalu kencing di salah satu sudut masjid, maka orang-orang pun menghardiknya, Namun, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mereka. Setelah orang Badui tadi menyelesaikan kencingnya, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh ambilkan seember air, lalu dituangkan padanya.Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam :
"Tuntaskan diri kamu sekalian dari air kencing. Karena, sesungguhnya kebanyakan siksa kubur itu dikarenakan air kencing (yang tidak bersih tuntas)"
Dan, sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Ammar bin Yasir Radhiyallahu Anhumar.
"Sesungguhnya pakaian itu hanya perlu dicuci dari lima hal: dari tinja, air kencing, muntahan, darah dan air mani."
Air Kencing dan Tahi Binatang Yang Halal Dimakan
Namun, selanjutnya mereka berselisih pendapat tentang najis-tidaknya air kencing dan tahi binatang yang dagingnya halal dimakan. Dan, begitu pula tentang tahi burung.
Dalam hal ini para ulama madzhab Maliki dan Hanbali, dan juga Muhammad bin Al-hasan dan Zufar dari madzhab Hanafi berpendapat, bahwa air kencing dan tahi binatang yang halal dimakan adalah suci selagi binatang yang bersangkutan masih hidup atau telah disembelih, berdasarkan hadits tentang para delegasi dari Urainah yang mengalami gangguan kesehatan, dimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh mereka meminum air kencing dan air susu unta. Andaikan materi-materi yang disuruh minum itu najis, tentu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam takkan menyuruh mereka meminumnya.
Alasan lainnya, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah melakukan shalat di wilayah kandang kambing. Dan, andaikan air kencing dan tahi binatang yang dagingnya halal dimakan itu najis, tentu biji-biji itu takkan selamat dari kencingnya.
Sementara itu Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat, bahwa air kencing binatang yang dagingnya tidak halal dimakan adalah najis ringan (mukhaffafah). Adapun tahinya, menurut Abu Hanifah adalah najis berat (mughallazhah), sedang menurut Abu Yusuf najis ringan (mukhaffafah).
Tapi, harap diketahui, perbedaan antara najis ringan dan najis berat dalam pandangan para ulama madzhab Hanafi, adalah bahwa yang dimaafkan sekian banyak itulah najis ringan, sedangkan yang dimaafkan sedikit adalah najis berat. Jadi, bukan ditinjau dari cara mensucikannya. Karena, dalam pandangan mereka cara mensucikan tidak berbeda antara najis berat dan najis ringan.
Adapun tahi burung yang tidak halal dimakan madzhab Hanafi adalah najis ringan, sedang tahi burung yang halal dimakan adalah suci, selain ayam, bebek piaraan, dan angsa. Ketika unggas ini tahinya adalah najis berat karena berbau busuk.
Sedangkan para ulama madzhab Syafii berpendapat, bahwa air kencing dan tahi binatang yang halal dimakan pun tetap najis, dan begitu pula tahi burung. Karena, telah diriwayatkan bahwasanya ketika didatangkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dua butir batu dan tahi binatang untuk ber-istinja, ternyata beliau mengambil dua butir batu itu, dan menolak tahi burung seraya berkata :
"Ini kotor."
Maksudnya, ini najis.
Adapun kalau Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh para delegasi dan Urainah supaya meminum air kencing onta, itu tak lain sebagai obat. Dan, berobat dengan barang najis itu diperbolehkan ketika tidak ada obat lain yang suci, kecuali dengan khamr (minuman keras) murni.Lain dari itu, najisnya air kencing dan tahi binatang yang dagingnya halal dimakan, adalah dikarenakan keduanya termasuk makanan yang mengalami perubahan dalam perut. Dan, setiap yang mengalami perubahan dalam perut adalah najis. (Lihat : Musthalahat, materi : Dzaraq h. 3-5, dan Rauts h, 2-3).
top related