ca colorectal
Post on 09-Jul-2016
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karsinoma Kolorektal adalah istilah yang diberikan kepada
karsinoma yang berkembang pada kolon atau rektum. Kolon dan rektum
merupakan bagian dari saluran pencernaan atau saluran gastrointesinal
dimana proses pencernaan makanan untuk menghasilkan energi bagi tubuh
dilakukan dan bahan-bahan yang tidak berguna lagi (fecal matter/stol)
dibuang (Elizabeth, 2006).
Karsinoma rekti merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor
ganas saluran cerna, lebih 60% tumor kolorektal berasal dari rektum. Salah
satu pemicu kanker rektal adalah masalah nutrisi dan kurang berolah raga.
Kanker rektal merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat sebagai
penyakit yang paling mematikan di dunia. Kanker rektal adalah kanker
yang menyerang kolon dan rektum. Namun, penyakit ini bukannya tidak
dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka
kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50 persen (Elizabeth, 2006).
Setiap waktu, kanker ini bisa menyerang seseorang. Risikonya
akan terus meningkat seiring dengan penambahan usia. Data dari Amerika
Serikat dan Inggris memperlihatkan, orang yang berusia antara 60 sampai
80 tahun berisiko tiga kali lipat dari kelompok usia lainnya. Mereka yang
memiliki riwayat peradangan saluran cerna seperti kolit usus kronis,
tergolong berisiko tinggi untuk berkembang menjadi kanker kolorektal.
Demikian juga dengan mereka yang memiliki riwayat penyakit kanker
tersebut, risiko terkena penyakit ini bisa menyerang pada kelompok usia
mana pun di bawah 60 tahun (Isaac, 2006).
2
Umumnya penderita datang dalam stadium lanjut, seperti
kebanyakan tumor ganas lainnya; 90% diagnosis karsinoma rekti dapat
ditegakkan dengan colok dubur. Sampai saat ini pembedahan adalah terapi
pilihan untuk karsinoma rekti (Marijata, 2006).
B. Tujuan
Mengetahui diagnosis klinik dan penatalaksanaan pada karsinoma
kolorektal.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Karsinoma Kolorektal, adalah suatu tumor malignan yang muncul dari
jaringan epithelial dari kolon atau rektum (Harahap, 2004). Kanker
kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon dan rektum.
Kolon dan rektum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang
disebut juga traktus gastrointestinal. Lebih jelasnya kolon berada di bagian
proksimal usus besar dan rektum di bagian distal sekitar 5-7 cm di atas anus.
Kolon dan rektum merupakan bagian dari saluran pencernaan atau saluran
gastrointestinal di mana fungsinya adalah untuk menghasilkan energi bagi
tubuh dan membuang zat-zat yang tidak berguna.
Kanker merupakan suatu proses pembelahan sel-sel (proliferasi) yang
tidak mengikuti aturan baku proliferasi yang terdapat dalam tubuh (proliferasi
abnormal). Proliferasi ini dibagi atas non-neoplastik dan neoplastik, non-
neoplastik dibagi atas:
a. Hiperplasia adalah proliferasi sel yang berlebihan. Hal ini dapat normal
karena bertujuan untuk perbaikan dalam kondisi fisiologis tertentu
misalnya kehamilan.
b. Hipertrofi adalah peningkatan ukuran sel yang menghasilkan pembesaran
organ tanpa ada pertambahan jumlah sel.
c. Metaplasia adalah perubahan dari satu jenis tipe sel yang membelah
menjadi tipe yang lain, biasanya dalam kelas yang sama tapi kurang
terspesialisasi.
d. Displasia adalah kelainan perkembangan selular, produksi dari sel
abnormal yang mengiringi hiperplasia dan metaplasia. Perubahan yang
termasuk dalam hal ini terdiri dari bertambahnya mitosis, produksi dari sel
abnormal pada jumlah besar dan tendensi untuk tidak teratur.
4
B. ANATOMI USUS
1. Anatomi Makroskopis Usus
Usus besar menutupi usus kecil melalui 3 sisi dan berjalan dari
katub ileosekal menuju anus. Diameternya lebih besar dari usus kecil (oleh
karena itu disebut usus besar), tapi lebih pendek. Fungsi utamanya adalah
mengabsorpsi air dari sisa-sisa makanan yang dicerna dan
mengeluarkannya dalam bentuk semisolid.
Pada hampir seluruh panjangnya, usus besar memiliki tiga
keunikan yang tidak terdapat pada organ tubuh lainnya; taenia coli, haustra
dan appendiks epiploica. Kecuali pada bagian ujung terminalnya, bagian
longitudinal dari lapisan otot direduksi menjadi 3 barisan otot polos
disebut taenia coli (artinya pita dari kolon). Adanya variasi dari dinding
usus besar membentuk suatu kantongan yang disebut haustra (artinya
menggambarkan variasi). Dan terakhir sangat jelas adalah appendiks
epiploika, suatu lapisan lemak kecil dari peritonium viseralis yang
menggantung pada permukaan kolon. Kegunaannya belum diketahui.
Kolon memiliki 4 seksi yakni:
1. Seksi pertama adalah kolon asenden. Dimulai dari usus kecil melekat
pada kolon dan naik ke atas menuju bagian kanan dari abdomen.
5
2. Seksi kedua adalah kolon transversal yang melewati tubuh dari kanan
ke sisi kiri.
3. Seksi ketiga adalah kolon desenden menuju kebawah.
4. Seksi terakhir adalah kolon sigmoid dimana disebut demikian oleh
karena bentuknya yang seperti huruf S. Kolon sigmoid bergabung
dengan rektum, pada akhirnya bergabung dengan anus, atau spingter
tempat feses keluar dari tubuh.
Usus besar memiliki beberapa subdivisi yakni: sekum, appendiks,
kolon, rektum, dan ujung dari anus. Adanya kantong seperti sekum
(artinya ujung buta) yang mulai dari katub ileosekal hingga sisi kanan
fossa iliaka, adalah bagian pertama usus besar. Yang menempel pada
bagian posteromedial dari permukaan adalah bentuk seperti cacing yakni
appendix vermiformis. Appendiks memiliki massa dari jaringan limfe
yang merupakan bagian dari MALT (mucosa associated lymphatic tissue)
memiliki hubungan yang sangat erat dengan sistem imun tubuh. Namun ia
memiliki infrastruktur yang penting yaitu suatu struktur yang memberikan
lokasi ideal bagi bakteri untuk berakumulasi dan berkembang biak.
Masalah yang paling umum pada regio kanan bawah adalah
inflamasi appendiks dan bila pecah akan menjadi peritonitis. Walaupun
gejalanya sangat bervariasi namun nyeri perut kanan bawah adalah yang
6
paling khas dan perlu diingat bahwa salah satu predisposisi karsinoma
adalah proses infeksi dan inflamasi yang berulang-ulang. Beberapa kasus
dari nyeri di abdomen sering sekali dianggap appendisitis namun ternyata
oleh karena invasi cacing-cacing parasitik yang sering dijumpai pada
penduduk di Amerika Utara yang mengkonsumsi daging setengah matang.
Pada pelvis, setinggi vertebra sakralis ketiga, kolon sigmoid
bergabung dengan rektum, lalu berjalan dari posteroinferior didepan
sakrum. Secara natural orientasi dari rektum diperiksa dengan jari melalui
dinding rektum anterior. Hal ini disebut eksaminasi rektal (rektal = lurus).
Selain itu rektum memiliki kurva lateral tiga buah, dimana di bagian
internal ditampilkan sebagai lapisan transversal disebut katub rektal. Katub
ini memisahkan feses dari flatus, yang menghentikan feses dan membuat
gas saja yang keluar. Bagian anus, yang terakhir dari usus besar terletak
eksternal pada kavum abdominopelvis. Kira-kira 3 cm panjangnya, dengan
saluran anus berawal dari rektum mempenetrasi muskulus levator ani dari
pelvis dan membuka kebagian badan eksterior dari anus. Saluran anal
memiliki dua buah spingter, yaitu spingter internal, tidak disadari
(involuntary) dan spingter ekternal yang terdiri dari otot skeletal.Spingter,
bekerja seperti dompet yang membuka dan menutup anus kecuali pada saat
defekasi.
7
2. Anatomi Mikroskopis Usus
Dinding dari usus besar berbeda dengan usus kecil. Mukosa kolon
terdiri dari epitel simple columnar kecuali pada saluran anal. Oleh karena
makanan diserap sebelum memasuki usus besar, makanya tidak didapati
plika sirkular, villi dan juga tidak ada sel yang menghasilkan enzim
pencernaan. Namun mukosanya lebih tebal, kriptanya lebih dalam, dan
terdapat sel goblet yang banyak dalam kriptanya. Lubrikasi dihasilkan
oleh sel goblet untuk mempermudah pengeluaran feses dan melindungi
dinding usus dari asam yang mengiritasi dan gas yang dilepaskan dari
bacteria resident di kolon.
Mukosa dari saluran anal sedikit berbeda, pada daerah ini sering
terjadi abrasi. Hal ini bergantung dari lipatan yang panjang yakni anal
columns dan memiliki epitel stratified squamous. Sinus anal berhenti pada
anal columns, mengeluarkan mukus apabila ditekan oleh feses, yang
membantu mengosongkan kanal anal. Garis horizontal yang
menghubungkan bagian margin inferior dari sinus anal disebut linea
pectinate. Mukosa superior pada garis ini disyarafi oleh sensory visceral
fiber dan relatif tidak sensitif pada sakit. Area inferior dari linea ini sangat
sensitif pada rasa sakit, merefleksikan rasa sakit pada serabut somatik
sensorik. Dua buah pleksus superfisial dihubungkan dengan anal canal,
satu dengan anal columns dan lainnya dengan anus. Jika adanya vena yang
mengalami inflamasi, maka akan timbul varikositis disebut hemoroid.
8
Berbeda dengan regio proksimal usus besar, tidak terdapat haustra
pada rektum dan anal canal. Sejalan dengan kemampuannya
meregenerasikan kontraksi untuk memberikan peran ekspulsif pada
defekasi, otot rektum berkembang sangat baik.
C. FISIOLOGI USUS
1. Motilitas usus besar
Otot usus besar tidaklah aktif untuk waktu yang lama, kontraksinya
lambat dan singkat. Pergerakan yang paling sering tampak pada kontraksi
haustra yang dengan lambat melakukan kontraksi secara individual selama
30 menit melalui otot polos pada masing-masing haustra. Pada haustra
yang terisi makanan, distensinya menstimulasi otot untuk berkontraksi
yang mendorong isi luminal untuk menuju ke bagian haustra berikutnya.
Pergerakan ini menggabung residu dan membantu dalam peresapan air.
Pergerakan otot adalah panjang dan lambat namun kuat dalam
kontraksi dimana melalui areal yang panjang dari kolon tiga hingga empat
kali setiap hari dan mendorong isinya ke rektum. Biasanya ini terjadi pada
saat makan atau sesudah makan, mengindikasikan adanya makanan pada
perut dan menimbulkan refleks gastrokolik pada kolon. Serat maupun
9
bahan lainnya pada diet memperkuat kontraksi kolon dan melembekkan
feses serta membantu kolon seperti pelumas mobil.
Fungsi usus besar adalah menyerap air, vitamin, dan elektrolit,
ekskresi mukus, serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya
keluar. Dari 700-1000 ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon,
hanya 150-200 ml yang dikeluarkan sebagai feses tiap harinya.
Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan ludah.
Oksigen dan CO2 di dalamnya diserap di usus, sedangkan nitrogen
bersama gas hasil pencernaan dan peragian dikeluarkan sebagai flatus.
Jumlah gas dalam usus mencapai 500 ml sehari (De Jong, 2005).
2. Perjalanan Makanan dalam Saluran Cerna
Setelah makan dikunyah dan ditelan, makanan tersebut berjalan
dari esofagus hingga ke lambung. Di lambung, makanan dipecah menjadi
bagian yang lebih sederhana lagi menurut masing-masing unsur kimianya
dan dialirkan ke usus kecil, atau sering disebut “small bowel“. Kata
“kecil“ memberi arti diameter dari usus tersebut, dimana lebih sempit dari
usus besar. Sebenarnya usus kecil merupakan bagian yang paling panjang
dari segmen saluran pencernaan dengan ukuran lebih kurang 20 kaki.
Usus kecil ini memecahkan makanan yang dialirkan dari lambung dan
menyerap sari-sari makanan yang penting bagi tubuh. Pada bagian kanan
bawah abdomen terdapat persambungan menuju usus besar (atau yang
lazimnya disebut “large bowel“atau kolon), suatu organ silindris muskular
dengan panjang 5 kaki. Kolon bagian yang pertama dan terutama dari usus
besar, secara terus-menerus meresap air dan mineral nutrisi dari bahan-
bahan makanan dan menjadi tempat penampungan sementara dari sisa-sisa
makanan yang akan dikeluarkan dari tubuh. Bahan makanan sisa ini
setelah diproses menjadi feses dan menuju rektum, yang merupakan
bagian terakhir seukuran 6 inci dari usus besar. Dari tempat tersebut feses
keluar dari tubuh melewati anus.
10
3. Flora Bakteri
Walaupun sebagian bakteri yang masuk ke usus besar dari usus
kecil mati oleh lisosim, defensins, HCl dan enzim protein lainnya, namun
beberapa diantaranya masih dapat hidup dan berkembang biak. Kelompok
bakteri ini masuk ke usus besar dan membentuk flora bakteri dan
berkoloni di kolon dan memfermentasikan karbohidrat sisa, melepaskan
asam dan gas (termasuk dimetil sulfida, N2,H2,CH4, CO2) Beberapa gas
ini (dimetil sulfida) sangat bau. Lebih kurang 500 cc gas (flatus)
dihasilkan setiap hari dan dapat semakin banyak apabila banyak
karbohidrat dimakan. Flora ini juga mensintesa vitamin B kompleks dan
vitamin K yang berguna untuk membentuk protein pembekuan darah.
4. Proses pencernaan yang terjadi pada Usus Besar
Kecuali sejumlah kecil residu yang diambil oleh bakteri, tidak ada
pencernaan lain di usus besar. Walaupun usus besar menghasilkan vitamin
oleh flora bakteri serta mengambil elektrolit dan air, namun absorpsi
bukan fungsi utama dari organ ini melainkan membentuk propulsi dan
mendorong feses keluar dari tubuh.
Usus besar sangat penting untuk kenyamanan hidup kita, namun
tidaklah fatal bila kolon dibuang misalkan oleh karena karsinoma kolon.
Terminal ileum dapat disambung dengan dinding abdominal yang disebut
ileostomi dan residu makanan langsung menunju kantong yang
ditempatkan pada dinding abdominal.
5. Defekasi
Rektum biasanya kosong, namun ketika feses dipaksakan
kedalamnya oleh dorongan otot kolon, hal ini melebarkan dinding rektum
dengan menginisiasi refleks defekasi. Pada batang otak terdapat pusat
defekasi di mana dengan dimediasi oleh refleks parasimpatis menimbulkan
kontraksi dinding kolon sigmoid, rektum dan relaksasi anal spingter. Feses
didorong ke saluran anal, signalnya disampaikan ke otak dimana timbul
pengiriman sinyal “disadari” ke otot spingter anal untuk membuka atau
menutup saat feses keluar. Bila defekasi terlambat maka refleks ini
berhenti beberapa saat dan mulai kembali sehingga menimbulkan
11
dorongan defekasi yang lama-kelamaan tidak dapat dihindari lagi (Guyton,
2005).
D. ANGKA KEJADIAN
Di USA Ca kolorektal merupakan kanker gastrointestinal yang paling
sering terjadi dan nomer dua sebagai penyebab kematian di negara
berkembang. Tahun 2005, diperkirakan ada 145,290 kasus baru kanker
kolorektal di USA, 104,950 kasus terjadi di kolon dan 40,340 kasus di rektal.
Pada 56,300 kasus dilaporkan berhubungan dengan kematian, 47.700 kasus
Ca kolon dan 8,600 kasus Ca rectal. Ca kolorektal merupakan 11 % dari
kejadian kematian dari semua jenis kanker (American Cancer Society, 2006).
Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi
kematian pada hampir 500,000 kasus tiap tahunnya. Menurut data di RS
Kanker Dharmais pada tahun 1995-2002, kanker rektal menempati urutan
keenam dari 10 jenis kanker dari pasien yang dirawat di sana. Kanker rektal
tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia selain jenis kanker
lainnya. Namun, perkembangan teknologi dan juga adanya pendeteksian dini
memungkinkan untuk disembuhkan sebesar 50 persen, bahkan bisa dicegah
(World Health Organization, 2003).
Insidensi karsinoma kolon di Indonesia cukup tinggi, demikian juga
angka kematiannya. Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih
banyak pada orang muda. Sekitar 75% ditemukan di rektosigmoid (De Jong,
2005).
12
Dari seluruh pasien kanker rektal, 90% berumur lebih dari 50 tahun.
Hanya 5% pasien berusia kurang dari 40 tahun. Di negara barat, laki – laki
memiliki insidensi terbanyak mengidap kanker rektal dibanding wanita
dengan rasio bervariasi dari 8:7 - 9:5.
E. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
1. Polip
Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk
menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah
proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa,
adenoma formation, perkembangan dari displasia menuju transformasi
maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen,
dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi
adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma
(Casciato DA, 2004).
2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
2.1 Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker
kolon sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis.
Risiko perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia
terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari
ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20
tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk
seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis
dengan mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total
proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8
tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa
dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif
menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat
esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang
13
berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa
mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya
invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada
pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para
ahli patologi anatomi (Casciato DA, 2004).
2.2 Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi
untuk menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan
dengan ulseratif kolitis. Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada
penyakit crohn’s sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai
insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis.
Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah
biopsy dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan
strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan
adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan crohn’s disease
(Schwartz SI, 2005).
3. Faktor Genetik
3.1 Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan
riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga
terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk
menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan
seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya
(Casciato DA, 2004).
3.2 Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal
menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma
dan adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang
paling penting dalam menegakkan diagnosa dari sindrom kanker herediter
14
yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada
adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan
pada ¾ dari seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari
1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar. Dua sindrom yang utama
dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini menyebabkan kanker
kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai
predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda,
yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis
colorectal cancer (HNPCC) (Casciato DA, 2004).
3.3 FAP (Familial Adenomatous Polyposis)
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang
berlokasi pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen
dapat menggiring kepada kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada
umur 40 sampai 50 tahun. Pada FAP yang telah berlangsung cukup lama,
didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat dilakukannya kolonoskopi
polipektomi yang aman dan adekuat; ketika hal ini terjadi, direkomendasikan
untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi
pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda
kecuali terdapat terlalu banyak polip yang dapat ditangani dengan aman.
Prosedur pembedahan elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika
memungkinkan. Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia muda.
Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama
enam bulan mengurangi rata rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang
mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid,
sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas
otak. Varian dari FAP termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s syndrome
(Casciato DA, 2004).
3.4 HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan
II. Generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul
15
pada umur yang muda (±45 tahun), dengan predominan lokasi kanker pada
kolon kanan. Abnormalitas genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch
repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating
sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite
instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype
mutator, yang dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi error (RER+
phenotype), dimana predisposisi tersebut mengakibatkan seseorang memiliki
multitude dari malignansi primer. Pasien dengan HNPCC mungkin juga
memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel
keratocanthoma, Termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung
kemih, ureter, lambung dan traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan
sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC seringkali poorly
differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi yang mirip
crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer
inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor.
Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini
adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3
tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal yang
membutuhkan waktu 8-10 tahun (Casciato DA, 2004).
Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita
kanker kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai
pada umur 20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang
pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal yang berhubungan HNPCC.
Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosa menderita kanker
kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang
menderita kanker kolorektal pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien
HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan sporadic kanker kolon.
Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang mendapat
manfaat dari adjuvant kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil
daripada pasien tanpa kelainan ini (Casciato DA, 2004).
16
4. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet
rendah serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada
kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak
menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua
hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko
kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi
untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker
kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi
mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan
level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor
sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi
dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka
panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal.
Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara
signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari
pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya
fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah
yang lemah akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon
inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-
2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari
proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya
adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a)
demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-
inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya
resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan
fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara
diet dan resiko kanker kolorektal (Casciato DA, 2004).
17
5. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko
tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang
besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko
dua setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar (Soeripto
et al, 2003).
Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di
Amerika dihubungkan dengan pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga
menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal
(Soeripto et al, 2003).
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara
aktifitas, obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada
percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan
perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik
menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang
berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The Nurses Health Study telah
menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktifitas fisik dengan
terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik
akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma (Soeripto et al, 2003).
6. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan
wanita adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut
hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia
lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan
dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah dari
kanker yang terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat
(451 per 100.000), kanker paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176
per 100.000). Sekitar 48% kanker yang terdiagnosa pada wanita yang berusia
lanjut adalah kanker payudara (248 per 100.000), kanker kolon (133 per
18
100.000), kanker paru paru (118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per
100.000) (Casciato DA, 2004).
Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko
kanker kolorektal pada sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal
meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50
tahun atau lebih, dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang
dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen kanker terdapat pada
usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang
dari 65 tahun, dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65
tahun (Casciato DA, 2004).
Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker
kolorektal sebesar 5%. Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan
risiko kanker kolorektal adalah pada usia diatas 40 tahun. Seseorang dengan
usia dibawah empat puluh tahun hanya memiliki kemungkinan menderita
kanker kolorektal kurang dari 10%. Dari tahun 2000-2003, rata-rata usia saat
terdiagnosa menderita kanker kolorektal pada usia 71 tahun. Insidensi
berdasarkan usia dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%,
35-44 tahun sebesar 3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar
17,6%, 65-74 tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar 28,8%, dan > 85
sebesar 12,3% (National Cancer Institute. 2006).
F. MANIFESTASI KLINIS
1. Histologi
Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi,
penanganan dan prognosis dari kanker. Secara mikroskopis kanker kolorektal
mempunyai derajat differensiasi yang berbeda-beda, tidak hanya dari tumor
yang satu dengan tumor yang lain tetapi juga dari area ke area pada tumor
yang sama, mereka cenderung mempunyai morfologi yang heterogen.
Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai adalah tipe
19
adenocarcinoma (90-95%), adenocarcinoma mucinous (17%), signet ring cell
carcinoma (2-4%), dan sarcoma (0,1-3%) (Casciato DA, 2004).
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari
tahun 1998-2001 di Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker
kolorektal. Didapatkan gambaran histopatologis dari kanker kolorektal
sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma lainnya (termasuk
karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma.
Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous carcinoma dan carcinoid
tumor banyak diketemukan pada wanita. Secara keseluruhan, didapatkan
suatu pola hubungan antara tipe histopatologis, derajat differensiasi dan
stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma sering ditemukan dengan
derajat differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa,
signet ring cell carcinoma banyak ditemukan dengan derajat differensiasi
buruk dan telah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain pula pada
carcinoid tumor dan sarcoma yang sering dengan derajat differensiasi buruk
dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa, sedangkan small cell
carcinoma tidak memiliki derajat differensiasi dan sering sudah bermetastase
jauh pada saat terdiagnosa (Casciato DA, 2004).
Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker
Dharmais (RSKD) didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering
dijumpai adalah adenocarcinoma [diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78
(38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang adalah musinosum 19
(9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). Jika dari hasil penelitian
di RSKD didapatkan bahwa frekuensi terbanyak adalah adenocarcinoma
dengan derajat differensiasi sedang (38,80%), maka lain halnya dengan
penelitian yang dilakukan oleh Soeripto et al di Jogjakarta pada tahun 2001
yang mendapati frekuensi derajat differensiasi kanker kolorektal banyak
didominasi oleh derajat differensiasi baik. Perbedaan pola demografik dan
klinis yang berhubungan dengan tipe histopatologis akan sangat membantu
untuk studi epidemiologi, laboratorium dan klinis di masa yang akan datang
(Soeripto et al, 2003).
20
2. Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain ialah :
penderita mengalami perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada
feses, baik itu darah segar maupun yang berwarna hitam, kemudian terjadi
diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat
BAB, feses yang lebih kecil dari biasanya. Penderita mengeluhkan tidak
nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada perut atau
nyeri, terjadi penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya, mual dan
muntah, rasa letih dan lesu. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada
traktus urinarius dan nyeri pada daerah gluteus (Mansjoer Arif et all, 2000).
3. Metastase
Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus
pada saat direseksi. Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih
60% kasus. Metastase sering ke hepar, cavum peritoneum, paru-paru, diikuti
kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat jarang,
dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum menuju vena cava inferior,
maka metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama kali di paru-paru.
Berbeda dengan kolon dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta,
maka metastase kanker kolon pertama kali paling sering di hepar (De Jong,
2005).
G. DIAGNOSIS DAN STAGING
1. Diagnosis
Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi kanker
rektal, diantaranya ialah (Mansjoer Arif et all, 2000) :
1) Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik
Antigen) dan Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat
perdarahan di jaringan
21
2) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai pemeriksaan
skrining awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada
pemeriksaan rektal, pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang
terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor akan teraba keras dan
menggaung.
Gambar 7. Pemeriksaan colok dubur pada Ca Rekti
Ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan adanya
suatu penonjolan tepi, dapat berupa :
a. suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram
yaitu suatu plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas
tegas.
b. suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi
umumnya mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi
c. suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduler yang
menonjol dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling sering)
d. suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk
cincin
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian
terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar
prostat atau ujung os coccygis. Pada penderita perempuan sebaiknya
22
juga dilakukan palpasi melalui vagina untuk mengetahui apakah
mukosa vagina di atas tumor tersebut licin dan dapat digerakkan atau
apakah ada perlekatan dan ulserasi, juga untuk menilai batas atas dari
lesi anular. Penilaian batas atas ini tidak dapat dilakukan dengan
pemeriksaan colok dubur.
b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek
terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat
digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah
mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi
karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar
prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior uterus.
c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan
karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau
fiksasi lesi.
3) Dapat pula dengan Barium Enema,. yaitu Cairan yang mengandung
barium dimasukkan melalui rektum kemudian dilakukan seri foto x-rays
pada traktus gastrointestinal bawah.
4) Sigmoidoscopy , yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum
dan sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat
sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip
atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.
5) Colonoscopy yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum
dan sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat
colonoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau
sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.
6) Biopsi. Jika ditemuka tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi
harus dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan
jenis yang paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus
besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors,
adenosquamous carcinomas, dan undifferentiated tumors.
23
2. Staging
The American Joint Committee on Cancer (AJCC) memperkenalkan
TNM staging system, yang menempatkan kanker menjadi satu dalam 4 stadium
(Stadium I-IV).
1. Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam
rektum.yaitu pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan
muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar
kebagian terluar dinding rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga
Dukes A rectal cancer.
3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat
namun tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak
menyebar kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru,
atau ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer
Gambar 8. Stadium Ca Recti I-IV
24
Tabel 1. CT Staging System for Rectal Cancer*
Stadium Deskripsi
T1 Massa polypoid Intraluminal; tidak ada penebalan pada dinding rectum
T2 Penebalan dinding rectum >6 mm; tidak ada perluasan ke perirectal
T3a Penebalan dinding rectum dan invasi ke otot dan organ yang berdekatan.
T3b Penebalan dinding rectum dan invasi ke pelvic atau dinding abdominal
T4 Metastasis jauh, biasanya ke liver atau adrenal
*Modified from Thoeni (Radiology, 1981)
Tabel 2. TNM/Modified Dukes Classification System*
TNM Stadium
Modified Dukes
StadiumDeskripsi
T1 N0 M0 A Tumor terbatas pada submucosa
T2 N0 M0 B1 Tumor terbatas pada muscularis propria
T3 N0 M0 B2 Penyebaran transmural
T2 N1 M0 C1 T2, pembesaran kelenjar mesenteric
T3 N1 M0 C2 T3, pembesaran kelenjar mesenteric
T4 C2 Penyebaran ke organ yang berdekatan
Any T, M1 D Metastasis jauh
*Modified from the American Joint Committee on Cancer (1997)
H. PENATALAKSANAAN
25
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa
adalah terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis.
Tiga terapi standar untuk kanker rektal yang digunakan antara lain ialah :
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama
untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam stadium
III juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam
metode penentuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektal dilakukan pre-
surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi
sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada
kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II
dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun
sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien
masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk
membunuh sel kanker yang tertinggal (Elizabeth., 2005).
Tipe pembedahan yang dipakai antara lain (Elizabeth., 2005) :
Eksisi lokal : jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat
dihilangkan tanpa tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika
kanker ditemukan dalam bentuk polip, operasinya dinamakan
polypectomy.
Reseksi: jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan
anastomosis. Jiga dilakukan pengambilan limfonodi disekitan rektum lalu
diidentifikasi apakah limfonodi tersebut juga mengandung sel kanker.
26
Gambar 9. Reseksi dan Anastomosis Gambar 10. Reseksi dan Kolostomi
Pengangkatan kanker rektum biasanya dilakukan dengan reseksi
abdominoperianal, termasuk pengangkatan seluruh rectum, mesorektum dan
bagian dari otot levator ani dan dubur. Prosedur ini merupakan pengobatan
yang efektif namun mengharuskan pembuatan kolostomi permanen.
Rektum terbagi atas 3 bagian yaitu 1/3 atas, tengah dan bawah. Kanker
yang berada di lokasi 1/3 atas dan tengah ( 5 s/d 15 cm dari garis dentate )
dapat dilakukan ” restorative anterior resection” kanker 1/3 distal rectum
merupakan masalah pelik. Jarak antara pinggir bawah tumor dan garis dentate
merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan jenis operasi.
Goligher dkk berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa
kegagalan operasi ”Low anterior resection ” akan terjadi pada kanker rectum
dengan jarak bawah rectum normal 2 cm. Angka 5 cm telah diterima sebagai
jarak keberhasilan terapi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh venara dkk pada
243 kasus menyimpulkan bahwa jarak lebih dari 3 cm dari garis dentate aman
untuk dilakukan operasi ” Restorative resection”. ”Colonal anastomosis”
diilhami oleh hasil operasi Ravitch dan Sabiston yang dilakukan pada kasus
kolitis ulseratif. Operasi ini dapat diterapkan pada kanker rectum letak bawah,
dimana teknik stapler tidak dapat dipergunakan. Local excision dapat
diterapkan untuk mengobati kanker rectum dini yang terbukti belum
memperlihatkan tanda-tanda metastasis ke kelenjar getah bening. Operasi ini
dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu transanal, transpinchteric
atau transsacral. Pendekatan transpinshter dan transacral memungkinkan untuk
dapat mengamati kelenjar mesorectal untuk mendeteksi kemungkinan telah
terjadi metastasis. Sedang pendekatan transanal memiliki kekurangan untuk
mengamati keterlibatan kelenjar pararektal.
Pada tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan
mempertahankan sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal
dilakukan amputasi rektum melalui reseksi abdominoperineal Quenu-Miles.
Pada operasi ini anus turut dikeluarkan.
27
Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan
sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limf pararektum
dan retroperitoneal sampai kelenjar limf retroperitoneal. Kemudian melalui
insisi perineal anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui
abdomen.
Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi
dengan menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau
koloanal rendah.
Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma
terbatas. Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain dengan
menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk menentukan tingkat penyebaran
di dalam dinding rektum clan adanya kelenjar ganas pararektal.
Indikasi dan kontra indikasi eksisi lokal kanker rectum
1. Indikasi
Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate
T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound
Termasuk well-diffrentiated atau moderately well diffrentiated secara
histologi
Ukuran kurang dari 3-4 cm
2. Kontraindikasi
Tumor tidak jelas
Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound
Termasuk Poorly diffrentiated secara histologi
2. Radiasi
Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III
lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan
pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai sebagai terapi tambahan
28
untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melaui
pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama
ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan
setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan resiko kekambuhan lokal
di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan
metastasis jauh, radiesi telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis
tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi
paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable (Elizabeth.,
2005).
3. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy, (menengani pasien yang tidak terbukti
memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan),
dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam atau
tumor lokal yang bergerombol ( Stadium II lanjut dan Stadium III). Terapi
standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan
leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-FU merupakan
anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya, levamisole,
(meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi bagi leucovorin.
Protopkol ini menurunkan angka kekambuhan kira – kira 15% dan menurunkan
angka kematian kira – kira sebesar 10% (Elizabeth., 2005).
4. Terapi Terkini
Metode pengobatan yang sedang dikembangkan pada dekade terakhir
ini adalah:
a. Target Terapi: memblokade pertumbuhan pembuluh darah ke daerah
tumor
b. Terapi Gen
c. Modifikasi biologi dan kemoterapi: thymidy-late synthasedan 5 fluoro
urasil
d. Extra corporal transcutaneuse aplication: ultrasonografi intensitas tinggi
29
e. Imunoterapi: Interleukin Limfokin-2 dan Alpa Interferon (Surya, 2005).
I. PROGNOSIS
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah
sebagai berikut :
Stadium I - 72%
Stadium II - 54%
Stadium III - 39%
Stadium IV - 7%
50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa
kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering
terjadi. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama
setelah operasi. Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi
termasuk kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk
memperoleh batas - batas negatif tumor (Elizabeth., 2005).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Karsinoma rektal berasal dari epitel hampir sama dengan neoplasma
kolon, jenis terbanyak adalah adenokarsinoma. Umumnya didahului oleh kondisi
30
pramaligna seperti adenomatous, villous polyp, familial adenomatous polyposis
dan kolitis ulseratif.
Karsinoma kolorektal masih merupakan penyebab kematian kedua untuk
kanker terutama di Amerika Serikat. Skrening awal untuk mengarahkan diagnosa
Karsinoma kolorektal penting dilakukan untuk meningkatkan survivalnya.
Skrening awal yang dapat dilakukan yaitu: pemeriksaan darah samar di feses,
sigmodoskopi, kombinasi darah samar feses dan sigmoidoskopi, kolonoskopi,
dobel kontras barium enema.
Penyebab pasti karsinoma rektal belum diketahui, diduga dipengaruhi
beberapa komponen genetik dan faktor lingkungan. TNM Sistem Dikonversikan
Kedalam Duke’s Sistem yaitu :
Stadium I TNM = Duke’s A
Stadium II TNM = Duke’s B
Stadium III TNM = Duke’s C
Stadium IV TNM = Duke’s D
Sejak 1997 Diberlakukan Modifikasi Oleh AJCC
Operasi merupakan terapi utama untuk kuratif, namun bila sudah dijumpai
penyebaran tumor maka pengobatan hanya bersifat operasi paliatif untuk
mencegah obstruksi, perforasi dan perdarahan.
top related