pfm aceh full bhs
Post on 08-Feb-2018
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
1/110
PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK DI ACEH
Mengukur Kinerja Pemerintah Daerah di Aceh
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
2/110
WORLD BANK OFFICE JAKARTA
Jakarta Stock Exchange Building Tower II/12 th floor
Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12910
Tel: (+62-21) 5299-3000
Fax: (+62-21) 5299-3111
Website: www.worldbank.or.idWebsite: www.decentralizationindonesia.org
Dicetak pada bulan Maret 2007
Laporan ini disusun oleh staf Bank Dunia. Penemuan, interpretasi dan kesimpulan yang terdapat
dalam laporan ini tidak selalu mencerminkan pandangan dari Dewan Eksekutif Direktur Bank Dunia
atau pemerintah-pemerintah yang mereka wakili.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
3/110
PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK DI ACEHMengukur Kinerja Pemerintah Daerah di Aceh
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
4/110
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
5/110
Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh
Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh
v
Ucapan Terima KasihLaporan ini disusun oleh Bank Dunia bekerja sama dengan Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi (BRR).
Laporan ini ditulis oleh Peter Rooney (Bank Dunia, Jakarta) dengan bimbingan Ahya Ihsan
dan Enrique Blanco Armas (Bank Dunia, Banda Aceh).
Proses pembuatan laporan ini berada dibawah pengarahan Wolfgang Fengler (Bank Dunia).
Kami ingin berterima kasih kepada Victor Bottini (Bank Dunia, Resident Representative,
Banda Aceh) atas dukungan dan bantuan yang diberikan terhadap penelitian dan diseminasi
laporan, juga kepada Cut Dian Rahmi, Ahmad Zaki, Sylvia Njotomihardjo dan Niltha Mathias
atas kontribusi yang telah diberikan. Selain itu kami ingin berterima kasih kepada
fotographer Ramli, Damrudin, Athaillah dan YanAli Zebua.
Kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kami kepada BRR atas segala dukungan
yang telah diberikan, terutama kepada Tedy Jiwantara Sitepu dan Sudirman Said. Kami juga
berterima kasih kepada USAID-LGSP, terutama kepada Andrew Urban, untuk dukungan
beliau, atas pelatihan untuk para peneliti dan atas pengorganisiran tahap pertama dari
penelitian.
Task Manager untuk persiapan kerangka PKP adalah Rajiv Sondhi, Senior Financial
Management Specialist di Bank Dunia. Jessica Ludwig berperan sangat penting dalam
pembuatan kerangka dan masukan-masukan beliau dalam pelaksanaan sangat berharga.
Kami berterima kasih atas dukungan dan masukan yang telah diberikan oleh Departemen
Dalam Negeri, Departemen Keuangan, AusAID, Asian Development Bank, CanadianInternational Development Agency, GTZ, USAID dan DSF.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
6/110
Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh
Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh
vi
Kata PengantarPemerintah daerah memainkan peran yang semakin penting dalam pelayanan publik diIndonesia. Dengan semakin banyaknya tanggung jawab fiskal yang diserahkan ke daerah
saat ini, pemerintah daerah memiliki peran yang jauh lebih besar dalam pelayanan publik.
Di Aceh, pemerintah daerah memainkan peranan penting. Sejak penandatanganan
kesepakatan perdamaian pada bulan Agustus 2005 dan pemilihan kepala daerah yang telah
berhasil dilaksanakan pada Agustus 2006, dua puluh satu pemerintah daerah di Aceh
memiliki momentum berharga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui
perbaikan akses terhadap pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang lebih baik
dan kesempatan untuk pembangunan ekonomi.
Pemerintah daerah Aceh, bersama-sama dengan pemerintah propinsi, mengendalikan dana
dalam jumlah besar. Sekarang adalah saatnya untuk memastikan bahwa dana tersebut
dikelola dengan bijaksana untuk kepentingan semua masyarakat Aceh. Dengan pengelolaan
sumber daya publik yang efisien, transparan, dan efektif pada tingkat daerah, dana ini
memiliki potensi untuk merubah Aceh.
Laporan penelitian ini merupakan hasil kerjasama antara BRR NAD-Nias, Bank Dunia,
Unsyiah dan USAID-LGSP. Laporan ini mewakili sebagian dari upaya kolektif yang tengah
dijalankan untuk membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik.
Laporan ini disusun terutama untuk pemerintah-pemerintah daerah di Aceh, yang
merupakan pemimpin perubahan. Dengan adanya laporan ini diharapkan pemerintah
daerah dapat mengidentifikasi dan menangani aspek-aspek pengelolaan keuangan yang
membutuhkan perhatian segera. Nilai yang buruk tidak berarti kegagalan, namun suatu
kesempatan untuk memperbaharui upaya dan mencari cara untuk memperbaiki kinerja.Dengan pendekatan ini, kita dapat bergerak dari penelitian ke rencana kerja yang
komprehensif.
BRR berterima kasih atas dukungan dari semua pihak yang terlibat, dan khususnya kepada
pemerintah-pemerintah daerah Aceh sendiri yang telah banyak memberikan kontribusi
dalam laporan ini.
Assalamu alaikum.
Deputi
Kelembagaan dan Pengembangan SDM
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
7/110
Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh
Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh
vii
Daftar IsiBab 1 Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh ........................................................................1Bab 2 Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil, dan indikator................................................. 3Bab 3 Survei PKP di Aceh........................................................................................................ 9Bab 4 Rincian Hasil dan Analisis ..........................................................................................19
4.1 Bidang Strategis 1: Kerangka peraturan perundangan daerah.......... ........... ........... .....21
4.2 Bidang Strategis 2: Perencanaan dan Penganggaran .......... ........... .......... ........... .......... 23
4.3 Bidang Strategis 3: Pengelolaan kas...............................................................................25
4.4 Bidang Strategis 4: Pengadaan barang dan jasa............ .......... ........... ........... ........... .....27
4.5 Bidang Strategis 5: Akuntansi dan pelaporan.......... .......... ........... ........... ........... ........... .29
4.6 Bidang Strategis 6: Audit Internal ....................................................................................30
4.7 Bidang Strategis 7: Hutang dan Investasi .......................................................................32
4.8 Bidang Strategis 8: Pengelolaan Aset..............................................................................33
4.9 Bidang Strategis 9: Audit Eksternal......... ........... .......... ........... ........... .......... ........... ......... 35
Bab 5 Isu-isu Utama..............................................................................................................37Bab 6 Langkah ke depan ......................................................................................................43Lampiran 1: Kerangka Pengukuran Bidang Strategis dan Indikator ........... ........... .......... ........... ....47
Lampiran 2: Kerangka Pengukuran, Bidang, Hasil Dan Indikator................ ........... .......... ........... .......49
Lampiran 3: Hasil PKP di setiap kabupaten/kota.......... ........... ........... ........... .......... ........... ........... .....70
Lampiran 4: Metodologi .........................................................................................................................93
Lampiran 5: Universitas dan Peneliti ....................................................................................................95
Lampiran 6: Hasil PKP di setiap pemerintah daerah di Aceh............. ........... ........... ........... ........... .....96
Daftar Gambar, Tabel dan DiagramGambar 1. Struktur kerangka PKP.............................................................................................. 6Tabel 1. Pedoman penilaian kerangka PKP...........................................................................12 Tabel 2. Nilai PKP berdasarkan bidang strategis untuk pemerintah daerah di Aceh...............13Diagram 1. Jumlah indikator pada setiap bidang strategis ........................................................... 6Diagram 2. Nilai PKP untuk masing-masing 21 Pemerintah Kabupaten/Kota dan Propinsi ........12Diagram 3. Pebandingan Pemerintah Daerah dengan Kinerja Terbaik dan Kinerja Terburuk ......15Diagram 4. Perbandingan Kinerja Pemerintah Daerah yang sudah lama terbentuk dengan
Pemerintah Daerah yang baru terbentuk .................................................................16 Diagram 5. Rata-Rata nilai PKP berdasarkan bidang strategis ...................................................14 Diagram 6. Kerangka Peraturan Perundangan Daerah ..............................................................22 Diagram 7. Perencanaan dan Penganggaran ............................................................................23
Diagram 8. Pengelolaan Kas .....................................................................................................26 Diagram 9. Pengadaan .............................................................................................................28 Diagram 10. Akuntansi dan Pelaporan ........................................................................................29 Diagram 11. Audit Internal ..........................................................................................................31 Diagram 12. Hutang dan Investasi publik ....................................................................................32 Diagram 13. Pengelolaan aset ....................................................................................................34 Diagram 14. Audit eksternal dan pengawasan ............................................................................36
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
8/110
Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh
Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh
viii
Daftar Istilah: Akronim dan SingkatanAPEA Kajian Pengeluaran Publik Aceh(Aceh Public Expenditure Analysis)BPK Badan Pengawasan Keuangan
BPKP Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Bawasda Badan Pengawasan Daerah
BPKD Badan Pemeriksa Keuangan Daerah
BUMD Badan Usaha Milik Daerah
DAU Dana Alokasi Umum
Dana Otsus Dana Otonomi Khusus
Dispenda Dinas Pendapatan Daerah
DPRD Dewan Perwakilan Raykat Daerah
DSF Decentralized Support Facility
Inpres Instruksi Presiden
Juknis/Juklak Petunjuk Teknis/Petunjuk Pelaksana
Kepmendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri
Keppres Keputusan Presiden
KPPU Komite Pengawas Persaingan Usaha
LGSP Local Government Support Program
LKPJ Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
Depkeu Departemen Keuangan
Depdagri Departemen Dalam Negeri
Musbangdes Musyawarah Pembangunan Desa
PAD Pendapatan Asli Daerah
PDAM Perusahaan Daerah Air Minum
Perda Peraturan Daerah
PKP Pengelolaan Keuangan Publik
Qanun Peraturan Daerah (Syariah Islam)
Renstra Rencana Stategis
RKA-SKPD Rencana Kerja dan Anggaran-Satuan Kerja Pemerintah Daerah
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Sekda Sekretariat Daerah
SK Bupati Surat Keputusan Bupati
SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah
SKO Surat Keputusan Otorisasi
SPM Surat Perintah Membayar
SPP Surat Permohonan Pembayaran
USAID United States Agency for International Development
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
9/110
Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh
Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh
ix
IkhtisarKapasitas pengelolaan keuangan di Aceh sangat beragam antar pemerintah daerah yang
satu dengan yang lain. Beberapa pemerintah daerah memiliki hasil yang cukup baik dalam
kapasitas pengelolaan keuangan, sementara beberapa pemerintah daerah lainnya masih
tertinggal. Perbedaan kapasitas pengelolaan keuangan juga ditemui di dalam masing-
masing pemerintah daerah. Hasil rata-rata menunjukkan kelemahan, terutama di dalam
bidang akuntansi dan pelaporan, pengelolaan kas dan audit eksternal.
Kerangka Pengelolaan Keuangan Publik (PKP)Survei Pengelolaan Keuangan Publik dilaksanakan di setiap pemerintah daerah di Aceh
antara Mei sampai November 2006. Penilaian kapasitas didasarkan pada sembilan bidang
utama pengelolaan keuangan: (1) Kerangka peraturan perundangan daerah; (2)
Perencanaan dan penganggaran; (3) Pengelolaan kas; (4) Pengadaan; (5) Akuntasi dan
pelaporan; (6) Audit internal; (7) Hutang dan investasi publik; (8) Pengelolaan aset; dan (9)
Audit eksternal dan pengawasan. Setiap bidang strategis dibagi menjadi satu sampai lima
hasil dan terdapat serangkaian indikator yang membutuhkan jawaban ya/tidak untuk
setiap hasil. Hasil-hasil ini mencerminkan pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang
strategis dan indikator digunakan untuk menilai sejauh mana keberhasilan pemerintah
kabupaten dalam mencapai hasil tersebut. Kerangka PKP memberikan gambaran sekilas
atas kapasitas pengelolaan keuangan untuk setiap pemerintah daerah, dengan fokus
terhadap kebijakan, prosedur dan peraturan, dalam arti lingkungan pengelolaan keuangan
dalam pemerintah daerah. Bidang-bidang yang menjadi kelemahan pemerintah daerah
dalam pengelolaan keuangan sengaja di garis bawahi, sehingga dapat menunjukkan aspek-
aspek apa saja yang perlu diperbaiki. Sebelum survei PKP dilaksanakan, pengetahuanmengenai kapasitas pemerintah daerah sangat terbatas. Oleh karena itu, diharapkan
dengan adanya laporan ini beserta analisisnya dapat memberikan masukan untuk penilaian
kapasitas keuangan yang lebih efektif di Aceh dan dampaknya terhadap proses
desentralisasi dalam propinsi.
Hasil PKPSecara keseluruhan, pemerintah daerah dengan nilai tertinggi adalah Aceh Utara (69
persen) dan yang terendah adalah Aceh Jaya (15 persen); sehingga nilai berada dalam
rentang baik sampai dengan sangat buruk, berdasarkan panduan kerangka penilaian. Nilai
rata-rata adalah 41 persen. Delapan pemerintah daerah mendapatkan nilai antara 39sampai 42 persen dan enam pemerintah daerah mendapatkan nilai di bawah 39 persen.
Semua pemerintah daerah, kecuali tiga diantaranya, mendapat nilai yang buruk pada
sedikitnya satu bidang strategis. Selama lebih dari lima tahun, setelah pelaksanaan
desentralisasi, kapasitas pengelolaan keuangan di empat belas pemerintah daerah di Aceh
masih relatif lemah.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
10/110
Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh
Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh
x
Implikasi KebijakanHasil PKP ini memiliki empat aplikasi potensial. Pertama, dan yang paling penting, kerangka
PKP ini beserta hasil PKP untuk masing-masing pemerintah lokal, dapat membantu
pemerintah daerah dalam mengatasi kelemahan mereka dalam pengelolaan keuangan.
Dengan mengidentifikasi bidang-bidang yang menjadi kelemahan mereka, pemerintahdaerah dapat mengembangkan strategi untuk meningkatkan kapasitas pada bidang-bidang
tersebut. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus diambil oleh pemerintah daerah
adalah memastikan bahwa kebijakan, prosedur dan peraturan sudah tersedia dan kemudian
memastikan hal-hal tersebut ditaati dan praktek-praktek pengelolaan keuangan yang baik
dilembagakan dan dikembangkan lebih jauh lagi. Tanpa adanya ketaatan dan pelembagaan,
upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas akan menjadi tidak efektif. Hasil PKP ini juga
akan memungkinkan pembelajaraan sesama pemerintah lokal. Lembaga non-pemerintah
dapat mendukung pemerintah daerah dalam mengembangkan kapasitas mereka dengan
cara memberikan bantuan teknis dan pelatihan untuk peningkatan kapasitas, apabila
diperlukan. Pemerintah propinsi bisa mengambil peran utama dalam mengembangkan
strategi untuk semua pemerintah daerah di Aceh.
Kedua, dengan menggaris bawahi bidang-bidang utama yang memiliki kelemahan
kapasitas,, akan memungkinkan badan-badan yang merencanakan untuk bekerja sama
dengan pemerintah daerah untuk mengikutsertakan kapasitas pengelolaan keuangan dan
pemerintah daerah tertentu dalam bentuk kerja sama yang spesifik..
Ketiga, dalam rangka mendorong pendekatan yang pro-aktif oleh pemerintah daerah perlu
diberikan insentif untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan keuangan, sebagai contoh
dengan mengaitkan sebagian alokasi dana otonomi khusus dengan perbaikan kapasitas.
Yang terakhir, dengan mengikuti perubahan kapasitas pengelolaan keuangan, pemerintah
Indonesia dapat membuat penilaian yang lebih akurat terhadap dampak desentralisasi di
Aceh. Dengan demikian, hal kebijakan dan peraturan dalam konteks desentralisasi dapatlebih diidentifikasi, juga dalam kemajuan reformasi dan pelayanan publik dapat dipantau
lebih baik.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
11/110
Bab 1Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
12/110
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
13/110
Bab 1: Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh
1
Sejak tahun 2001, Indonesia telah menjalani transformasi yang mendasar dari
pemerintahan yang tersentralisasi menjadi pemerintahan yang terdesentralisasi. Namun,
sampai saat ini, pemahaman mengenai transisi kekuasaan dan tanggung jawab menyangkut
sumber daya publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam berbagai kapasitas
masih sangat terbatas. Terutama, status otonomi khusus Aceh telah memberikan propinsi
ini persentase sumber daya keuangan yang bahkan lebih besar lagi bagi pemerintah daerah.
Ketiadaan informasi yang sistematis baik kualitatif maupun kuantitatif mengenai bagaimanadesentralisasi fiskal ini dikelola oleh kabupaten telah menjadi pemicu untuk mengembangan
kerangka pengukuran untuk pemerintah daerah di Indonesia.
Kerangka PKP merupakan salah satu dari empat pilar kerangka pengukuran pemerintah
daerah. Pilar-pilar lainnya adalah pemberian layanan publik, iklim investasi, dan kesehatan
fiskal. Dengan mengukur kinerja dalam empat bidang utama ini, penilaian yang sistematis
terhadap kinerja pemerintah daerah dapat dilakukan.
Untuk Aceh, kapasitas pengelolaan keuangan yang efektif di tingkat pemerintah daerah
penting untuk pencapaian tujuantujuan pembangunan jangka panjang. Beberapa faktor
telah membatasi kapasitas pengelolaan keuangan di Aceh. Pertama, desentralisasi yang
dilakukan secara cepat di Indonesia yang merupakan pengalihan tanggung jawab fiskal danpenyerahan sumber daya keuangan kepada pemerintah daerah tidak diikuti oleh
peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya tersebut.
Mengingat sebelum desentralisasi tugas utama pemerintah daerah hanyalah menjalankan
proritas pembangunan pemerintah pusat, sistem pengelolaan keuangan tidak dirancang
untuk mengatasi perubahan pengaturan fiskal. Kedua, Aceh telah mengalami peningkatan
jumlah pemerintah daerah sejak tahun 2000. Sampai bulan November 2006, dari 21
pemerintah daerah yang ada, 11 diantaranya dibentuk setelah tahun 2000. Walaupun hal
ini tidak serta merta berarti kapasitas pengelolaan keuangan akan selalu lebih rendah pada
pemerintah daerah yang baru dibentuk, hasil dari survei PKP mengindikasikan bahwa,
secara rata-rata, hasil pengelolaan keuangan lebih rendah pada pemerintah daerah yang
baru,
Sebelum diadakannya survei PKP, pengetahuan mengenai kapasitas pengelolaan keuangan
pemerintah daerah di Aceh dan di seluruh Indonesia pada umumnya masih kurang. Apabila
keefektivitasan atas desentralisasi hendak dinilai secara efektif, salah satu komponen
utama penilaian ini adalah kapasitas pemerintah daerah untuk mengelola keuangan
mereka. Jika pengelolaan keuangan masih lemah setelah lima tahun sejak perubahan yang
dibawa oleh desentralisasi, hal ini berarti tujuan-tujuan desentralisasi masih belum tercapai
di Aceh. Yang lebih penting dari penilaian pengelolaan keuangan secara keseluruhan adalah
tujuannya untuk membuat gambaran yang rinci mengenai kapasitas pengelolaan keuangan
masing-masing pemerintah daerah di seluruh Aceh, dan di Indonesia pada umumnya,
karena pada saat ini pemerintah daerahlah yang memiliki pengaruh paling besar terhadap
kehidupan masyarakat. Berangkat dari argumen ini, kerangka PKP dibuat untuk
menfasilitasi penilaian dan analisis kapasitas pengelolaan keuangan pada tingkat daerah.
Pengetahuan ini memiliki beberapa aplikasi. Pertama, hasil dan analisis akan disebarkan
kepada pemerintah daerah itu sendiri. Sehingga, pemerintah daerah akan mendapatkan
penilaian yang akurat dan independen mengenai kapasitas pengelolaan keuangan mereka
sendiri dan dapat berfokus untuk memperbaiki bidang-bidang utama yang menjadi
kelemahan mereka. Kedua, badan-badan pemerintah lainnya, seperti BRR dan pemerintah
propinsi, dapat menggunakan hasil yang diperoleh untuk merancang intervensi peningkatan
kapasitas dan juga untuk merancang program yang lebih baik dengan memperhitungkan
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
14/110
Bab 1: Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh
2
kekuatan dan kelemahan tertentu dalam kapasitas pengelolaan keuangan. Begitu juga
donor akan dapat merancang intervensi peningkatan kapasitas dan mengakomodasi
kapasitas pemerintah daerah dalam berbagai bentuk program secara lebih baik. Ketiga,
hasil dan analisis juga dapat digunakan untuk memberikan insentif bagi pemerintah daerah
untuk meningkatkan kapasitas PKP mereka. Sebagai contoh, apabila survei ini diadakan
kembali setiap tahun atau setiap dua tahun, perubahan kapasitas PKP dapat diidentifikasi.
Pemerintah daerah dengan kinerja yang bagus dapat diberikan penghargaan berupatambahan pendapatan melalui dana otonomi khusus untuk mendorong perbaikan yang lebih
jauh, sementara pemerintahan yang terus menerus berkinerja buruk dapat dikecualikan dari
menerima sumber tambahan pendapatan ini. Hal ini dapat menjadi bagian dari keseluruhan
strategi untuk memberikan bantuan bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan
kapasitas pengelolaan keuangan mereka.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
15/110
Bab 2Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil, dan indikator
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
16/110
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
17/110
Bab 2: Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil dan indikator
5
Kerangka PKP dikembangkan oleh Bank Dunia dan Departemen Dalam Negeri Republik
Indonesia untuk menilai kapasitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Kerangka ini
terbagi menjadi sembilan bidang strategis yang utama untuk pengelolaan keuangan publik
yang efektif pada tingkat pemerintah daerah: (1) kerangka peraturan perundangan daerah;
(2) perencanaan dan penganggaran; (3) pengelolaan kas; (4) pengadaan; (5) akuntasi dan
pelaporan; (6) audit internal; (7) hutang dan investasi publik; (8) pengelolaan aset; dan (9)
audit eksternal dan pengawasan.
Setiap bidang stragis terbagi atas satu hingga lima hasil, dan sebuah daftar indikator
diberikan untuk setiap hasil. Hasil-hasil ini mencerminkan pencapaian yang diharapkan pada
setiap bidang strategis dan indikator-indikator digunakan untuk menilai sejauh mana
pemerintah daerah telah berhasil mencapai hasil-hasil ini. Walaupun kerangka ini
menggunakan beberapa konsep dan perangkat dari PKP nasional dan internasional,
kerangka PKP ini telah khusus dirancang untuk pemerintah daerah di Indonesia. Sehingga,
walaupun standar minimum internasional telah ditetapkan, standar tersebut tidak dijadikan
dasar dalam mengidentifikasi hasil-hasil yang ideal, atas pertimbangan bahwa standar-
standar tersebut terlalu tinggi untuk membuat penilaian yang valid terhadap pemerintah
daerah dalam konteks Indonesia.
Responden diminta untuk memberikan jawaban ya atau tidak untuk setiap pernyataan
pada masing-masing indikator. Respon positif dijumlahkan pada setiap hasil dan nilai
diperhitungkan berdasarkan persentase atas jawaban ya. Persentase nilai kemudian
diberikan untuk setiap hasil yang diinginkan yang mencerminkan sejauh mana pemerintah
daerah telah berhasil mencapai hasil ini. Dengan menjumlahkan semua jawaban positif
pada setiap bidang strategis, didapatkan nilai yang mencerminkan kapasitas pemerintah
daerah pada aspek pengelolaan keuangan tersebut.
Hasil penilaian didapatkan melalui wawancara dan kelompok diskusi terarah dengan
perwakilan pemerintah daerah pada departemen-departemen terkait. Perwakilan
pemerintah termasuk: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), bagian
keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dinas pendapatan daerah, kantor kas
daerah dan Badan Pengawasan Daerah (lihat Lampiran 4). Untuk memastikan keakuratan
data jawaban ya harus didukung oleh dokumen yang relevan atau/dan diperiksa silang
dengan responden tambahan. Sebagian besar hasil dapat dikumpulkan dalam tempo tiga
atau empat hari.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
18/110
Bab 2: Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil dan indikator
6
Gambar di bawah ini menunjukkan struktur kerangka, dengan fokus pada salah satu bidang
strategis sebagai contoh.
Gambar 1. Struktur Kerangka PKP
Beberapa bidang strategis memiliki lebih banyak indikator dibanding bidang strategis lainnya. Sebagai
contoh, perencanaan dan penganggaran memiliki 53 indikator, sedangkan hutang dan investasi
publik hanya memiliki 8 indikator. Nilai keseluruhan untuk masing-masing pemerintah daerah adalah
perhitungan rata-rata dari sembilan bidang strategis, sehingga, setiap bidang strategis memiliki bobot
yang sama dalam perhitungan.
Diagram 1. Jumlah indikator pada setiap bidang strategis
25
53
4450
27
18
8
229
Kerangka peraturan perundangandaerah
Perencanaan dan penganggaran
Pengelolaan kas
Pengadaan
Akuntansi dan pelaporan
Audit internal
Hutang dan investasi
Pengelolaan aset
Audit dan eksternal danpengawasan
Pemerintah Daerah
Kapasitas Pengelolaan Keuangan
Bidang Strategis 1:Kerangka peraturan perundangan daerah 2 3 4 5 6 7 8 9
Hasil 1:Kerangka peraturandaerah menyediakan dasar
penegakan hukum danstruktur organisasi yang
efektif
Hasil 3:Kerangka peraturandaerah mencakup
pengukuran untukmeningkatkan tranparansi
dan partisipasi masyarakat
Hasil 2:Kerangka peraturandaerah yang komprehensif
diharuskan oleh perundangannasional mengenai pengelolaan
keuangan daerah
12 indikator 7 indikator 6 indikator
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
19/110
Bab 2: Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil dan indikator
7
Keterbatasan kerangka iniKerangka pengukuran ini dirancang untuk menjadi sekomprehensif mungkin. Namun,
beberapa kekurangan tidak dapat dihindari. Kerangka ini tidak dapat mengukur semua hal
yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dan akuntabilitas pemerintah daerah.
Kerangka ini mempertimbangkan apa yang mungkin dan yang realistis untuk dilakukan
dalam pemerintah daerah Indonesia. Oleh sebab itu, indikator-indikator mengarah kepadadasar yang bukan saja dibutuhkan tetapi juga dinilai memungkinkan untuk dicapai. Hal ini
dilakukan untuk menyesuaikan model terhadap perbaikan yang relatif kecil dalam bidang
PKP yang kemungkinan dapat direalisasikan oleh banyak pemerintah daerah di Indonesia,
setidaknya dalam jangka pendek.
Kerangka ini dirancang agar mudah digunakan. Tingkat selektivitas tertentu diterapkan
dalam mengikutsertakan hasil, indikator, dan pertanyaan-pertanyaan diagnostik tertentu
dan mengesampingkan yang lainnya, sehingga kerangka ini dapat dengan mudah digunakan
oleh surveyor. Lingkungan kontrol internal di beberapa institusi kunci PKP tidak tercakup
sepenuhnya dalam model ini. Melaksanakan penilaian atas kontrol/pengendalian internal
bisa menjadi suatu latihan yang sangat rumit. Oleh sebab itu, pada institusi-institusi utama
PKP regional, seperti bagian akuntansi dan kas daerah hanya beberapa pertanyaan utamayang dimasukkan yang mencerminkan indikator-indikator secara luas di bidang
pengendalian.
Selain penting untuk memiliki prosedur dan kebijakan yang benar di tempat, penting juga
untuk memastikan bahwa prosedur dan kebijakan ini benar-benar dijalankan di lapangan.
Kerangka ini lebih mengarah kepada penilaian mengenai apakah kebijakan dan prosedur
yang ada telah memadai, dan secara umum bergantung pada diskusi antara enumerator
dan pegawai pemerintahan daerah. Terdapat kesulitan dalam mengindentifikasi praktek-
praktek yang tidak sejalan dengan peraturan, kebijakan dan prosedur yang mengatur
pengelolaan keuangan. Sehingga, hal ini berarti, nilai yang tinggi untuk misalnya audit
internal tidak selamanya berarti audit internal dijalankan dengan tepat atau secara efektif.
Melainkan, hal ini hanya berarti bahwa terdapat kebijakan dan prosedur untuk melakukan
audit internal secara tepat.
Perlu untuk dicatat bahwa pembuatan kerangka pengukuran disiapkan tanpa adanya
informasi pendukung yang lengkap mengenai proses PKP yang saat ini dilakukan oleh
pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia. Karena pada saat kerangka ini dibuat
informasi-informasi tersebut tidak tersedia. Sehubungan dengan pengalaman
mengaplikasikan kerangka ini di seluruh Aceh, penyesuaianpenyesuaian perlu untuk
dilakukan pada masa yang akan datang agar kerangka ini lebih sesuai dengan konteks
Indonesia dan lebih fokus untuk mendapatkan hasil-hasil PKP yang dapat diukur.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
20/110
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
21/110
Bab 3Survei PKP di Aceh
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
22/110
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
23/110
Bab 3: Survei PKP di Aceh
11
Survei PKP di Aceh dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama melibatkan lima pemerintah
daerah: Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya. Survei dilakukan
selama bulan Mei sampai bulan Juni 2006. Kelima wilayah ini dipilih karena USAID-LGSP (Local
Governance Support Program) memiliki program di lima pemerintahan daerah yang terkena
dampak tsunami ini. LGSP mendanai survei tahap pertama ini dan memberikan pelatihan bagi
para peneliti (suatu lokakarya tiga hari dilaksanakan di Medan pada bulan April 2006). LGSP
dan Bank Dunia mengkoordinasikan kegiatan survei dan mengawasi pelaksanaan surveitersebut. Tahap kedua dilakukan pada empat pemerintah daerah: Aceh Utara, Aceh Timur, Pidie
dan Bireuen. Bank Dunia mendanai dan mengorganisir survei tahap kedua ini, yang dilakukan
pada bulan Juli 2006. Tahap ketiga dilaksanakan pada 12 pemerintah daerah lainnya serta
pemerintah propinsi pada bulan November 2006. Survei tahap ke-tiga ini didanai oleh BRR dan
diorganisir oleh Bank Dunia. Laporan ini berfokus pada 21 pemerintah kabupaten maupun kota.
Survei ini dilaksanakan oleh peneliti dari empat universitas di Indonesia: UNSYIAH di Banda
Aceh, USU di Medan, dan UNHAS di Makassar dan UNAND di Padang. Beberapa peneliti juga
dikontrak dari LSM-LSM yang ada di Aceh. Peneliti-peneliti ini memiliki latar belakang akademis
yang solid di bidang pengelolaan keuangan, sebagian besar dengan gelar MSc yang relevan, dan
beberapa diantara mereka bergelar PhD.
Hasil awal telah dipublikasikan pada Analisa Pengeluaran Publik Aceh1 yang diterbitkan oleh
Bank Dunia dan Aceh and Nias Two Years after the Tsunami2 yang diterbitkan oleh BRR.
Diharapkan bahwa pelaksanaan kerangka PKP di masa yang akan datang dapat mencakup
semua wilayah Indonesia. LGSP juga telah melakukan survei terhadap beberapa pemerintah
daerah di luar Aceh, dengan fokus kepada bidang-bidang strategis yang berkaitan dengan
program-program peningkatan kapasitas yang dimiliki oleh LGSP.
Hasil-hasil PKP di AcehRadar di bawah ini (Diagram 2) menunjukan perbedaan kapasitas pengelolaan keuangan di
Aceh. Nilai rata-rata untuk semua 21 pemerintah daerah di Aceh adalah 41 persen. Yang segeramenjadi perhatian adalah sembilan pemerintah daerah mendapatkan nilai di bawah 40 persen
dan lima pemerintah daerah mendapatkan nilai antara 40 sampai 42 persen. Hanya satu, Aceh
Utara yang mendapatkan nilai di atas 60 persen.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan hasil yang kurang baik dalam pengelolaan keuangan,
seperti kabupaten dipimpin oleh seorang pejabat bupati sementara, kualitas pegawai di daerah
terpencil, insiden konflik di masa lalu, dampak langsung dari tsunami, sejarah pengelolaan yang
kurang baik dari pemerintahan sebelumnya, dan kurangnya sumber daya keuangan. Rendahnya
tingkat kapasitas pengelolaan keuangan di beberapa pemerintah daerah saat ini perlu
mendapatkan perhatian segera dan berkelanjutan. Kelemahan-kelemahan tertentu
menunjukkan bidang-bidang yang memerlukan upaya peningkatan kapasitas. Perubahan yang
diharapkan nanti, dapat dikaitkan dengan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab.
Perbaikan-perbaikan tersebut harus mendapatkan pengakuan dan diberikan penghargaan,
sebaliknya, kegagalan juga perlu disadari dan dipertanggung jawabkan.
1Analisa Pengeluaran Publik Aceh Belanja untuk rekonstruksi dan pengentasan kemiskinan. Bank Dunia, 2006.2Aceh and Nias Two Years after the Tsunami, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, 2006.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
24/110
Bab 3: Survei PKP di Aceh
12
Ringkasan hasilNilai PKP untuk semua 21 pemerintah daerah dan pemerintah propinsi disajikan di bawah ini.
Panduan penilaian juga diberikan untuk menunjukkan tingkatan nilai dari sangat baik sampai
sangat buruk.
Tabel 1: Pedoman penilaian kerangka PKP
Pedoman penilaian81 - 100% Sangat baik/Dapat diterima sepenuhnya
61 - 80% Baik/Secara umum dapat diterima
41 - 60% Sedang/Sebagian dapat diterima
21 - 40% Buruk/Sebagian besar tidak dapat diterima
0 - 20% Sangat buruk/Tidak dapat diterima
Diagram 2: Nilai PKP untuk masing-masing 21 pemerintah kabupaten/kota dan propinsi
0
20
40
60
80
100
Aceh
Utara
BandaAceh
Aceh
Besar
Aceh
Timur
Langsa
Simeulue
Singkil
NAD
Gayo
Lues
Pidie
Sabang
Average
A.Tenggara
Aceh
Selatan
Bireuen
A.Tam
iang
Aceh
Barat
Aceh
Tengah
NaganRaya
Lhokseum
awe
A.Barat
Daya
BenerMeriah
Aceh
Jaya
hasil(%)
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
25/110
Tabel 2: Nilai PKP berdasarkan bidang strategis untuk pemerintah daerah di Ac
Bidang StrategisPemerintah Hasil
terakhir
Kerangka
peraturan
perundangan
daerah
Perencanaan
dan
penganggaran
Pengelolaan
kas
Pengadaan Akuntansi
dan
pelaporan
Audit
internal
H
in
1 Aceh Utara 69 68 74 57 78 63 78
2 Banda Aceh 56 48 53 61 68 59 56
3 Aceh Besar 54 56 42 48 62 59 67
4 Aceh Timur 52 68 51 34 64 52 78
5 Langsa 50 56 55 43 66 48 61
6 Simeulue 49 36 51 43 76 52 56
7 Singkil 47 44 51 39 68 33 50
8 Gayo Lues 42 36 51 34 58 74 39
9 Pidie 42 32 36 48 72 41 67
10 Sabang 41 36 34 41 54 59 50 11 A. Tenggara 40 48 49 27 74 19 50
12 Aceh Selatan 40 24 49 16 58 22 44
13 Bireuen 39 32 47 36 72 41 44
14 A. Tamiang 39 44 30 39 58 37 44
15 Aceh Barat 39 8 26 50 70 19 61
16 Aceh Tengah 33 32 40 23 56 30 33
17 Nagan Raya 29 12 25 23 64 19 67
18 Lhokseumawe 29 24 33 36 32 33 50
19 A. Barat Daya 26 24 42 14 48 15 44
20 Bener Meriah 25 20 30 18 38 15 33
21 Aceh Jaya 15 20 25 14 34 11 11
Rata-rata 41 37 43 35 60 38 52 NAD 43 36 46 41 52 56 61
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
26/110
Bab 3: Survei PKP di Aceh
14
Radar di bawah ini menunjukkan nilai rata-rata pada sembilan bidang strategis untuk
seluruh 21 pemerintah daerah. Rentang nilai rata-rata untuk bidang strategis jauh lebih
sempit dibandingkan dengan rentang nilai untuk pemerintah daerah. Nilai rata-rata tertinggi
adalah untuk pengadaan (60 persen) disusul oleh audit internal (52 persen). Nilai paling
rendah terdapat pada hutang dan investasi publik (28 persen) disusul oleh pengelolaan kas
(35 persen)
Diagram 5: Rata-rata nilai PKP berdasarkan bidang strategis
Pemerintah daerah dengan kinerja terbaik dan kinerja terburukNilai keseluruhan tertinggi untuk pengelolaan keuangan diraih oleh Aceh Utara (69 persen),
sementara nilai paling rendah dihasilkan oleh Aceh Jaya (15 persen). Radar di bawah ini
membandingkan nilai-nilai untuk pemerintah daerah dengan nilai tertinggi dan terendah,
menunjukkan perbedaan besar dalam hasil pengelolaan keuangan di antara pemerintah-
pemerintah daerah di Aceh.
0
20
40
60
80
100
Kerangka peraturanperundangan daerah
Perencanaan danpenganggaran
Pengelolaan kas
Pengadaan
Akuntansi danpelaporan
Audit internal
Hutang dan investasi
Pengelolaan aset
Audit dan pengawsaneksternall
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
27/110
Bab 3: Survei PKP di Aceh
15
Diagram 3: Pebandingan pemerintah daerah dengan kinerja terbaik dan kinerja terburuk
0
20
40
60
80
100
Regulatory framework
Planning & budgeting
Cash management
Procurement
Accounting & reportingInternal audit
Public debt & investment
Asset management
External audit & oversight
Aceh Utara Aceh Jaya Tim peneliti untuk Aceh Utara mengidentifikasi kemauan politik dan komitmen bupati
merupakan pendorong utama kinerja pengelolaan keuangan yang baik. Memiliki pegawai
dengan kualifikasi baik mendukung upaya peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan.
Selain itu, dukungan dari dewan perwakilan rakyat daerah, LSM dan kelompok masyarakat,
mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerjanya. Kinerja buruk Aceh Jaya
sebagian disebabkan karena status kabupaten yang relatif baru, sehingga menyebabkan
sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang dimiliki oleh daerah ini kurang
memadai. Sebagai tambahan, dampak tsunami yang memprihatinkan di Aceh Jaya, (ibukota
Aceh Jaya, Calang, hancur sepenuhnya) tentu saja berdampak pada hasil pengelolaan
keuangan dalam jangka menengah.
Kinerja PKP di pemerintahan daerah yang sudah lama terbentuk dan yang baruterbentukPemerintah daerah yang banyak baru terbentuk belakangan ini mendapatkan nilai lebih
rendah, secara rata-rata, untuk masing-masing sembilan bidang strategis. Sebelas dari 21
kabupaten/kota baru dibentuk setelah tahun 2000. Hal ini merupakan bagian dari pola
pemekaran kebupaten yang terjadi di seluruh Indonesia serta pembentukan administrasi
kota yang secara fiskal independen sebagai akibat dari desentralisasi. Di Aceh terdapat
sembilan kabupaten dan dua kota yang baru terbentuk. Kapasitas pengelolaan keuangan
yang lebih rendah dapat disebabkan oleh beberapa faktor: kurangnya pra-sarana
pemerintah dalam kabupaten/kota yang baru untuk menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan secara efektif (atau setidaknya, sama baiknya dengan sebelum pemekaran) di
kabupaten baru; kurangnya tenaga-tenaga terlatih apabila kebanyakan pegawai negeri tetap
berada pada kabupaten asal; kurangnya waktu untuk mengembangkan praktek-praktek
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
28/110
Bab 3: Survei PKP di Aceh
16
pengelolaan keuangan; dan tidak cukupnya waktu untuk mengesahkan peraturan-preaturan
yang mendukung. Namun, kabupaten/kota yang baru terbentuk tidak semuanya
mendapatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan kabupaten asal. Jelas bahwa,
pemekaran daerah memerlukan pertimbangan yang seksama untuk memastikan standar-
standar pengelolaan keuangan setidaknya dapat dipertahankan. Beberapa dari pemerintah
daerah yang baru terbentuk mendapatkan hasil yang sangat buruk, mengindikasikan
kurangnya persiapan untuk memastikan bahwa standar-standar dapat dipertahankan.Bahkan tiga sampai lima tahun setelah pemekaran, kapasitas beberapa pemerintah daerah
yang baru dibentuk masih jauh lebih rendah dibandingkan kabupaten asal.
Diagram 4: Perbandingan kinerja pemerintah daerah yang sudah lama terbentuk dengan
pemerintah daerah yang baru terbentuk
0
20
40
60
80
100
Kerangka peraturan perundangan daerah
Perencanaan dan penganggaran
Pengelolaan kas
Pengadaan
Akuntansi dan pelaporanAudit internal
Hutang dan investasi
Pengelolaan aset
Audit eksternal dan pengawasan
Pemerintah lama Pemerintah baru Kinerja PKP di kabupaten dan kotaSebelum diadakannya survei, kota diharapkan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan
kabupaten karena beberapa alasan. Pertama, sebagai pusat perkotaan, kota-kota dapat
menarik lebih banyak pegawai yang berkualitas yang lebih memilih untuk hidup dan bekerja
di pusat-pusat keramaian. Kota memiliki pra-sarana yang lebih baik untuk menjalankanfungsi pemerintahan, terutama apabila dibandingkan dengan pemerintahan kabupaten di
sekitarnya yang relatif baru terbentuk. Hasil survei PKP mangindikasikan bahwa kota, secara
rata-rata, memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan kabupaten, walaupun terdapat satu
perbedaan yang jelas.
Empat dari pemerintah daerah di Aceh merupakan kota. Banda Aceh dan Sabang telah
memiliki administrasi yang terpisah untuk cukup lama sedangkan Langsa dan Lhokseumawe
keduanya baru terbentuk pada tahun 2001 ketika desentralisasi baru dimulai. Perbandingan
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
29/110
Bab 3: Survei PKP di Aceh
17
antara kota dan kabupaten tidak menunjukkan perbedaan yang besar, walaupun rata-rata
nilai PKP untuk kota jauh lebih rendah dari yang seharusnya disebabkan kinerja
Lhokseumawe yang buruk (29 persen). Kebalikannya, Langsa, mendapatkan nilai yang lebih
tinggi pada setiap bidang strategis kecuali audit eksternal, dengan nilai keseluruhan sebesar
50 persen.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
30/110
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
31/110
Bab 4Rincian Hasil dan Analisis
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
32/110
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
33/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
21
Nilai-nilai yang ditunjukkan di atas untuk ke sembilan bidang strategis di dalam
pemerintahan daerah hanya menunjukkan selintas dari kapasitas PKP di bidang-bidang
kunci ini. Gambaran yang lebih rinci menunjukkan perbedaan signifikan pada indikator
tingkat individual dan hasil (outcome). Bagian berikutnya akan menganalisis masing-masing
bidang strategis secara mendetil dan membandingkan nilai pemerintah daerah pada tingkat
hasil dan juga indikator, apabila dipandang berarti. Mengingat analisis mendetail untuk
bidang strategis di setiap pemerintah daerah akan terlalu berlebihan mengingat jumlahpemerintah lokal yang ada (21) dan jumlah indikator-indikator (256), perbandingan antara
nilai tertinggi dan terendah untuk setiap bidang merupakan bagian terbesar dari analisis.
Dengan jalan ini, diharapkan bahwa pemerintah daerah dengan kinerja terburuk akan
menyadari sejauh mana kapasitas pengelolaan keuangan perlu untuk ditingkatkan.
4.1 Bidang Strategis 1: Kerangka peraturan perundangan daerahBaik di Aceh maupun di daerah-daerah lain di Indonesia, kerangka hukum untuk
pengelolaan keuangan yang komprehensif, yang sejalan dengan perundang-undangan
nasional dan ditegakkan secara efektif, merupakan hal yang penting dalam konteksdesentralisasi di Indonesia. Sejak desentralisasi, pemerintah daerah diwajibkan (UU No. 22/
1999 dan UU No. 17/ 2003) untuk memiliki peraturan daerah yang mengatur pengelolaan
keuangan pada pemerintah daerah. Sebelum desentralisasi, undang-undang nasional
menjadi payung hukum bagi administrasi keuangan tetapi dengan penyerahan kewenangan
dan tanggung jawab fiskal ke pemerintah daerah, peraturan-peraturan baru yang
mendukung diperlukan keberadaannya. Pemerintah daerah telah menjawab kebutuhan ini
dengan berbagai cara. Beberapa di antaranya bergegas dan menerbitkan Perda sesuai
dengan kewajiban nasional, sementara yang lainnya menerbitkan SK Bupati (Surat
Keputusan Bupati) untuk menjawab keperluan yang sama, sedangkan yang lainnya masih
bergantung pada peraturan tingkat nasional yang ada sekarang. Perbedaan utama antara
Perda dengan SK Bupati adalah Perda perlu disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah sementara SK Bupati, sesuai dengan namanya, diterbitkan oleh badan eksekutif
tanpa adanya persetujuan legislatif. Pada prakteknya, SK Bupati memiliki beban hukum
yang lebih ringan dan hal ini berdampak pada ketaatan dan penegakan hukum.
Tujuan strategis secara keseluruhan adalah untuk menciptakan kerangka peraturan
perundangan daerah yang mendukung untuk mendorong tata kelola keuangan yang efektif
sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional. Bidang strategis kerangka
peraturan perundangan daerah terbagi menjadi tiga hasil yang diiginkan: (1) terdapat
kerangka peraturan perundangan daerah yang komprehensif mengenai pengelolaan
keuangan daerah; (2) kerangka ini memfasilitasi penegakan hukum dan struktur organisasi
yang efektif; dan (3) kerangka ini meliputi cara-cara untuk meningkatkan transparansi dan
keterlibatan publik.
Sementara bidang strategis ini berfokus pada peraturan daerah, termasuk Perda dan SK
Bupati, bidang strategis lainnya lebih berfokus pada kebijakan dan prosedur. Sebagai
contoh, Hasil Satu, meliputi indikator-indikator mengenai keberadaan peraturan daerah
mengenai Rencana Pembangunan Jangka Mengenah Daerah (RPJMD) dan peraturan daerah
mengenai dana cadangan dan perubahan anggaran tahunan. Hasil Tiga meliputi indikator-
indikator yang menyangkut transparansi dan proses konsultasi.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
34/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
22
Diagram 6: Kerangka peraturan perundangan daerah
0
20
40
60
80
100
Aceh Utara
Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Timur
Langsa
Simeulue
Singkil
Gayo Lues
Pidie
Sabang
A. TenggaraAceh Selatan
Bireuen
A. Tamiang
Aceh Barat
Aceh Tengah
Nagan Raya
Lhokseumawe
A. Barat Daya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Kerangka peraturan perundangan daerah Rata rata
Nilai rata-rata untuk bidang strategis ini bagi 21 pemerintah daerah yang disurvei adalah 37
persen, di bawah rata-rata keseluruhan 41 persen. Tiga belas pemerintah daerah
mendapatkan nilai buruk atau sangat buruk. Hanya dua pemerintah daerah yang
mendapatkan nilai baik.
Kerangka peraturan perundangan daerah yang berkinerja baik dan yang berkinerjakurang baikAceh Utara, pemerintah daerah dengan nilai tertinggi, mendapatkan nilai 68 persen untuk
bidang strategis ini. Untuk hasil yang pertama semua, kecuali dua, dari ke dua belas
indikator terpenuhi. Telah ada Perda kecuali untuk peraturan obligasi daerah, dan investasi
publik dan swasta. Untuk hasil yang kedua mengenai penegakan hukum dan struktur
organisasi, empat dari tujuh indikator terpenuhi. Dari ketiga indikator-indikator yang tidak
tercapai, kekurangan meliputi ketiadaan pengukuran kinerja dan ketiadaan struktur
insentif/ sanksi bagi para pegawai. Untuk hasil ketiga mengenai transparansi dan partisipasi
publik, Aceh Utara mendapatkan nilai sebesar 50 persen. Walaupun terdapat tanda-tanda
mengenai keberadaan prosedur keterlibatan publik dalam penganggaran dan proses
pembuatan kebijakan, tidak ada prosedur formal untuk partisipasi bottom-up dalam
perencanaan dan tidak ada peraturan mengenai proses konsultasi atau transparansi. Perluuntuk dicatat bahwa walaupun secara formal masyarakat mendapatkan akses terhadap
sesi-sesi anggaran di DPRD, kerangka ini tidak menegaskan sejauh mana masyarakat dapat
melakukan observasi atas sesi-sesi anggaran.
Aceh Jaya baru mensahkan peraturan mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) dan baru mensahkan dua SK Bupati sebagai pengganti Perda yang berkaitan dengan
ke sebelas indikator pada hasil satu. Hal yang serupa juga terjadi untuk hasil dua, hanya
satu SK Bupati yang tercatat, yang hanya membahas aspek teknis dari pengelolaan
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
35/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
23
keuangan secara parsial. Hasil tiga mendapatkan nilai nol, karena tidak ada satupun dari ke
enam indikator yang dicapai. Kekurangan kerangka hukum untuk memastikan adanya
transparansi dan keterlibatan masyarakat perlu mendapatkan perhatian segera. Status Aceh
Jaya sebagai kabupaten yang baru dibentuk mungkin dapat dijadikan sebagian dari
penjelasan mengenai rendahnya nilai yang didapatkan (20 persen) untuk kerangka
peraturan perundangan daerah, tetapi ketiadaan SK Bupati sebagai pengganti Perda
menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak memberikan tekanan untuk pembuatan danpengesahan peraturan-peraturan pendukung bahkan setelah enam tahun setelah
desentralisasi atau pemerintah daerah tidak dapat mengeluarkan peraturan.
Terdapat kasus-kasus di mana pemerintah daerah bergantung pada Keppres (Keputusan
Presiden). Sebagai contoh, Aceh Barat masih menggunakan Keppres untuk pengadaan
barang dan jasa. Di Aceh Barat dan Nagan Raya hanya tiga indikator yang dipenuhi untuk
hasil yang berkaitan dengan kerangka peraturan perundangan daerah untuk pengelolaan
keuangan. Hambatan dan penghalang perlu untuk diidentifikasi dan diatasi secara
komprehensif, apakah karena kurangnya dorongan dari pemimpin, kekurangan keahlian
teknis atau hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah daerah dengan DPRD.
4.2 Bidang Strategis 2: Perencanaan dan PenganggaranPerencanaan dan penganggaran yang efektif merupakan inti dari pengelolaan keuangan
yang efektif. Pemerintah daerah tidak akan dapat mengelola keuangannya secara efektif
apabila sistem perencanaan dan penganggaran yang dimiliki buruk. Tujuan strategisnya
adalah untuk pembuatan anggaran daerah multi tahun yang seksama yang secara jelas
terkait dengan rencana daerah. Dari enam hasil, hasil yang pertama mengenai konsistensi
antara proses perencanaan partisipatif bottom-up, pembangunan daerah, perencanaan
sektoral dan APBD merupakan sepertiga dari total nilai bidang strategis ini.
Diagram 7: Perencanaan dan Penganggaran
0
20
40
60
80
100
Aceh Utara
Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Timur
Langsa
Simeulue
Singkil
Gayo Lues
Pidie
Sabang
A. TenggaraAceh Selatan
Bireuen
A. Tamiang
Aceh Barat
Aceh Tengah
Nagan Raya
Lhokseumawe
A. Barat Daya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Perencanaan dan penganggaran Rata rata
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
36/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
24
Perencanaan dan Penanggaran: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurangbaikNilai rata-rata untuk bidang strategis ini adalah 43 persen. Sembilan pemerintah daerah
mendapatkan angka buruk atau sangat buruk. Aceh Utara adalah satu-satunya pemerintah
daerah yang mendapatkan nilai di atas 60 persen, dengan nilai 74 persen untuk
perencanaan dan penganggaran. Aceh Utara mendapatkan nilai yang baik untuk dua diantara empat hasil. Untuk hasil yang pertama mengenai konsistensi antara proses
perencanaan partisipatif bottom-up, perencanaan sektoral dan APBD Aceh Utara memenuhi
14 dari total 17 indikator. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dinilai
realistis, dengan strategi yang jelas dan program-program yang berdasarkan target.
Perencaaan sektoral didasarkan pada RPJMD dan mencerminkan prioritas-prioritas
pembangunan. Standar pelayanan minimum digunakan untuk keperluan penganggaran dan
dokumen-dokumen perencanaan dan kegiatan-kegiatan di APBD menggunakan struktur
yang konsisten. Namun dokumen perencanaan tidak didukung oleh biaya proyek sejalan
dengan keterbatasan anggaran dan dokumen perencanaan tidak meliputi kegiatan-kegiatan
yang didanai di luar APBD. Untuk catatan, dalam bidang strategis kerangka peraturan
perundangan daerah, proses perencanaan bottom-up tidak dimasukkan ke dalam peraturan
daerah. Hasil dua mengenai penganggaran jangka menengah tidak mendapatkan nilai yangbaik (hanya satu dari antara tiga indikator yang dicapai). Laporan pertanggung jawaban lima
tahunan diserahkan kepada DPRD tetapi kerangka pengeluaran jangka mengenagan tidak
dilaksanakan dan tataran waktu multu tahun tidak digunakan dalam perencanaan dan
proyeksi anggaran.
Hasil tiga mengenai proses pembuatan anggaran yang realistis mendapatkan nilai yang
relatif buruk, hanya empat dari sebelas indikator yang terpenuhi. Seringkali anggaran belum
disetujui pada tanggal 31 Desember, strategi untuk meningkatkan pendapatan yang sejalan
dengan peraturan nasional tidak ada, dan perbedaan antara pengeluaran dan pendapatan
yang direncanakan dan yang terealisasi melebihi 10 persen.
Perencanaan partisipatif bottom-up mendapatkan nilai yang baik, dengan bukti bahwaRPJMD merupakan suatu usulan yang realistis, sementara dokumen perencanaan yang
didasarkan pada RPJMD mencerminkan prioritas-prioritas pembangunan. Anggaran
sepertinya memihak kelompok miskin dan semua indikator dipenuhi. Data-data kualitatif
dan kuantitatif mengenai kemiskinan dikumpulkan dengan menggunakan pendekatan
partisipatif dan kebijakan yang memihak kepada kelompok miskin dicerminkan pada SKPD
(Satuan Kerja Perangkat Daerah, atau Dinas, anggaran rencana kerja) dan RPJMD. Prioritas-
prioritas anggaran juga secara umum memihak kepada kelompok miskin dengan
pengeluaran pada layanan publik meningkat dari tahun sebelumnya dan pengeluaran pada
sektor kesehatan, pendidikan dan infrastruktur merupakan 50 persen dari total anggaran.
Walaupun masih terdapat aspek-aspek perencanaan dan penganggaran yang perlu
ditingkatkan, terutama dalam perencanaan dan peanggaran jangka menengah, nilai Aceh
Utara yang tinggi secara keseluruhan dapat dijadikan standar bagi pemerintah-pemerintah
daerah lainnya di Aceh untuk aspek utama pengelolaan keuangan ini.
Kebalikannya Aceh Jaya dan Nagan Raya, mendapatkan nilai terendah untuk perencanaan
dan penganggaran (25 persen). Dari enam hasil, Nagan Raya hanya mendapatkan nilai baik
pada hasil enam mengenai pengendalian pengeluaran untuk memastikan output anggaran.
Hasil satu mengenai konsistensi antara proses perencanaan partisipatif bottom-up,
perencanaan sektoral dan APBD mendapatkan nilai yang sangat buruk, hanya berhasil
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
37/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
25
memenuhi dua dari total 17 indikator. Responden mengindikasikan bahwa Musyawarah
Pembangunan Desa (Musbangdes) tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat , dan
usulan perencanaan bottom-up berisikan jumlah item yang tidak realistis dan perencanaan
sektoral tidak didasarkan pada RPJMD dan tidak mencerminkan prioritas-prioritas
pembangunan. Kelemahan lainnya meliputi inkonsistensi pada struktur dokumen
perencanaan dan kegiatan di APBD dan ketiadaan indikator-indkator yang dapat diukur.
Hasil dua mengenai perencanaan jangka menengah mendapatkan nilai nol dan untuk hasiltiga mengani proses pembuatan anggaran yang realistis hanya satu dari 11 indikator yang
berhasil dipenuhi. Anggaran tidak disetujui pada waktunya (anggaran tahun 2006 disetujui
pada bulan Mei 2006, terlambat lima bulan), proyeksi pendapatan bulanan dan catur wulan
tidak terdapat pada anggaran, tidak ada strategi untuk meningkatakan pendapatan dan
peraturan mengenai penggunaan dana darurat dan penggunaan dana non-bujeter tidak
jelas.
Sebagian dari anggaran memihak pada kelompok miskin, Nagan Raya memenuhi empat dari
sembilan indikator. Data mengenai kemiskinan sedikit, walaupun kebijakan-kebijakan yang
memihak pada kelompok miskin tercermin dalam Renstra (Rencana Strategis) SKPD dan
RPJMD. Pengeluaran pada pelayanan publik telah meningkat dalam tiga tahun terakhir dan
pengeluaran pada sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur merupakan bagianterbesar anggaran.3 Hasil lima mengenai pengawasan partisipatori dan sistem evaluasi
yang komprehensif untuk proses perencanaan dan penganggaran mendapatkan nilai buruk,
hanya memenuhi dua dari sembilan indikator. Masyarakat tidak dilibatkan dalam
pengawasan dan evaluasi kegiatan, tidak ada peraturan daerah mengenai sistem evaluasi
perencanaan dan pengawasan, dan dokumen perencanaan dan kegiatan tidak dibuka untuk
publik atau tidak dibuat mudah untuk diakses oleh publik.
Dengan sembilan pemerintah daerah mendapatkan nilai di bawah tingkat sedang,
komponen utama pengelolaan keuangan ini merupakan prioritas apabila hasil-hasil
pengelolaan keuangan akan ditingkatkan. Pedoman yang jelas perlu dibuat untuk
pemerintah daerah yang berisikan strategi untuk meningkatkan hasil-hasil di bidang
perencanaan dan penggangaran sejalan dengan hasil-hasil yang diharapkan. Reformasi di
bidang ini tidak mudah dilakukan dan membutuhkan perbaikan bukan hanya pada proses
tetapi juga pada sikap-sikap pemerintah daerah. Kenyataan bahwa anggaran sering tidak
disetujui pada waktunya, dengan penundaan terkadang sampai tahun berikutnya,
menunjukkan bahwa hal ini perlu untuk segera diatasi. Hal ini tidak hanya menimbulkan
masalah dalam perencanaan dan pelaksanan tetapi juga mengurangi kepercayaan publik
terhadap proses anggaran. Transparansi perlu untuk berubah dari hanya sekedar kata-kata
mutiara di lingkungan pemerintah daerah menjadi suatu kenyataan. Pemberian informasi
secara berkala pada waktu-waktu yang tepat, membuat informasi ini dapat diakses dengan
mudah dan memberikan ruang untuk diskusi dan perbedaan pendapat akan menjadi
langkah maju ke depan yang besar.
4.3 Bidang Strategis 3: Pengelolaan kasPenempatan pengelolaan kas sebagai bidang strategis yang terpisah mencerminkan
pentingnya menginstitusionalisasikan praktek-praktek penanganan kas yang tepat di
pemerintah daerah. Hal ini dapat menjadi bidang strategis yang paling mudah untuk
3Data anggaran tidak tersedia untuk Kabupaten Nagan Raya, Bener Meriah, Aceh Jaya dan Aceh Singkil (APEA,
2006); sehingga jawaban ini tidak dapat diverifikasi.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
38/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
26
mendapatkan nilai baik, karena pengelolaan kas yang efektif dan tepat merupakan
komponen dasar pengelolaan keuangan yang mantap. Namun, ke 21 pemerintah daerah
hanya mendapatkan nilai rata-rata 35 persen (buruk), dengan 14 pemerintah daerah
mendapat nilai buruk/ sangat buruk dan hanya satu yang mendapat nilai baik.
Diagram 8: Pengelolaan Kas
0
20
40
60
80
100
Aceh Utara
Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Timur
Langsa
Simeulue
Singkil
Gayo Lues
Pidie
Sabang
A. TenggaraAceh Selatan
Bireuen
A. Tamiang
Aceh Barat
Aceh Tengah
Nagan Raya
Lhokseumawe
A. Barat Daya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Pengelolaan kas Rata rata
Pengelolaan kas: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikBanda Aceh mendapatkan nilai yang paling tinggi untuk pengelolaan kas (61 persen). Banda
Aceh mendapatkan nilai yang cukup baik untuk ke empat hasil. Untuk hasil satu, kebijakan,
prosedur dan kendali untuk mengelola pengelolaan kas sebagian telah ada, pemerintah
daerah memenuhi enam dari 10 indikator. Pedoman tertulis mengenai kebijakan dan
prosedur pengelolaan kas tersedia dan didukung oleh peraturan daerah mengenai
pengelolaan kas yang sejalan dengan peraturan nasional. Namun, pelatihan pegawai secara
rutin dalam pengelolaan kas tidak diadakan dan Bawasda (Badan Pengawasan Daerah)
tidak melaksanakan evaluasi kepatuhan pengelolaan kas tahunan.
Pemasukan dan pengeluaran kas dikelola dengan cukup efisien, memenuhi delapan dari 11indikator. Penerimaan kas di simpan pada suatu rekening bank yang ditunjuk pada hari
penerimaan atau satu hari setelahnya. Rekonsiliasi harian dibuat untuk penerimaan kas dan
penyimpanan, dan pembayaran di atas Rp 5 juta tidak dilakukan secara tunai melainkan
ditransfer atau dibayar dengan menggunakan cek. Namun, belum ada sistem yang
terkomputerisasi dan rekonsiliasi rekening bank, deposito, piutang dan hutang belum dibuat
secara teratur.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
39/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
27
Hasil tiga berfokus pada sistem penagihan dan pengumpulan pendapatan daerah dan,
dengan 17 indikator, aspek ini dianggap penting. Banda Aceh memenuhi 10 indikator
mengenai Pendapatan Asli Daerah atau PAD. Kebijakan mengenai retribusi dan pajak
daerah diatur dalam peraturan daerah, yang sejalan dengan peraturan nasional. Dasar dari
pendapatan daerah dievaluasi setiap tahunnya untuk menghitung kapasitas pendapatan
untuk setiap item pendapatan. Konsumen ditagih tepat pada waktunya dan tersedia layanan
untuk menangani pertanyaan- pertanyaan dari wajib pajak. Namun sistem pembuatan tandaterima tidak memadai untuk mencegah penggelapan dan sistem ini kurang bisa
memberikan kejelasan pada saat timbul masalah. Dan juga sistem penagihan dan
pengumpulan tidak terintegrasi dan sanksi-sanksi tidak dijatuhkan kepada debitor yang
menunggak.
Aceh Jaya dan Aceh Barat Daya mendapatkan nilai paling rendah (14 persen). Aceh Barat
Daya tidak berhasil memenuhi indikator manapun mengenai kebijakan, prosedur dan
kendali pengelolaan kas. Hal ini dikarenakan karena digunakannya SK Bupati dan bukan
peraturan daerah untuk mengatur pengelolaan kas. Sehingga kerangka hukum tersedia
walaupun belum terinstitusionalisasi melalui penerbitan peraturan daerah. Hasil dua
mengenai penerimaan dan pembayaran kas memenuhi empat dari 11 indikator.
Penerimaan kas disimpan di rekening bank khusus dan pembayaran senilai lebih dari Rp 5juta ditransfer ke sebuah rekening bank. Kontraktor dibayar sesuai dengan persyaratan dan
laporan berkala mengenai neraca kas diberikan kepada bupati, bendahara dan kepala
bagian keuangan. Namun kas seringkali tidak disetorkan pada hari yang sama dengan
penerimaan, tidak ada rekonsiliasi penerimaan dan penyetoran harian, dan kelebihan kas
tidak ditempatkan pada investasi jangka pendek secara teratur. Untuk hasil tiga mengenai
sistem penagihan dan pengumpulan pendapatan daerah, Aceh Barat Daya hanya memenuhi
dua dari 17 indikator. Terdapat kekurangan peraturan dan pedoman mengenai hal ini, sekali
lagi karena bergantung pada SK Bupati sebagai pengganti Perda. Pemberitahuan tagihan
tidak disampaikan kepada wajib pajak, sistem penerimaan tidak dirancang untuk mencegah
penggelapan, seringkali pembayaran tidak diambil tepat pada waktunya, denda tidak
dikenakan atas pembayaran yang terlambat dan sistem penagihan dan pengumpulan tidak
terintegrasi. Hasil empat mengenai PAD mendapatkan nilai nol.
4.4 Bidang Strategis 4: Pengadaan barang dan jasaTujuan strategis secara keseluruhan adalah untuk mendorong pengadaan barang yang jasa
yang efisien dan kompetitif melalui kebijakan, prosedur dan kendali. Hasil satu dengan 47
indikator berfokus pada nilai uang pada pengeluaran daerah, transparansi dan akuntabilitas
dalam kegiatan pengadaan. Hasil dua, dengan tiga indikator, menyangkut sistem
penanganan keluhan.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
40/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
28
Diagram 9: Pengadaan
0
20
40
60
80
100
Aceh Utara
Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Timur
Langsa
Simeulue
Singkil
Gayo Lues
Pidie
Sabang
A. TenggaraAceh Selatan
Bireuen
A. Tamiang
Aceh Barat
Aceh Tengah
Nagan Raya
Lhokseumawe
A. Barat Daya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Pengadaan Rata rata
Pengadaan: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikDengan nilai rata-rata 60 persen pengadaan adalah bidang strategis dengan nilai tertinggi.
Dua belas pemerintah daerah mendapatkan nilai dapat diterimaatau baikdan hanya dua
yang mendapatkan nilai buruk. Aceh Utara sekali lagi mendapatkan nilai tertinggi (78
persen) dan Lhokseumawe mendapatkan nilai terendah (32 persen). Aceh Utara
mendapatkan nilai yang sangat tinggi untuk hasil satu. Terdapat sebuah peraturan daerah
untuk mengatur pengadaan barang dan jasa, terdapat pedoman formal mengenai tata cara
pelaksanaan pengadaan, rencana pengadaan di buat setiap tahunnya, estimasi biaya dibuat
dan dokumen-dokumen penawaran dirahasiakan. Namun, indikator-indikator yang belum
terpenuhi penting untuk memastikan praktek pengadaan yang baik. Anggota DPRD secara
berkala terlibat dalam panitia pengadaan, kurang dari 75 persen pengadaan dilakukan
dengan penawaran umum terbuka dan tidak ada aturan dan/atau penegakan yang
mengatur keterlibatan anggota panitia pengadaan dan pejabat dengan hubungan keluarga
dengan pejabat yang menunjuk mereka. Hasil kedua sepenuhnya dipenuhi menyangkut
pelaksanaan prosedur keluhan. Terdapat sebuah Perda yang mengatur prosedur keluhan
dan keluhan dicatat dan diproses sejalan dengan Perda.
Di Lhokseumawe, tidak ada peraturan yang mengatur pengadaan, tidak ada pedoman
mengenai prosedur, biaya rencana pengadaan tidak dibuat dan direvisi setiap tahunnya, dan
pegawai bagian pengadaan tidak memenuhi kualifikasi dan kompetensi. Hal-hal yang baik
adalah dokumen tender dirahasiakan, sesi pengarahan dilakukan secara terbuka, dan
pengumuman mengenai pengadaan diterbitkan di media. Namun, tidak ada sistem untuk
menangani keluhan.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
41/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
29
Terlepas dari nilai yang seringkali tinggi, hal ini tidak serta merta berarti bahwa proses
pengadaan dilakukan secara transparan dan efisien. Kerangka PKP hanya melihat
lingkungan dari praktek-praktek pengadaan dan tidak mengevaluasi praktek-praktek
pengadaan di setiap kabupaten dan kota. Walaupun terdapat prosedur, kepatuhan masih
lemah dan kebocoran dan korupsi masih dapat terjadi walaupun telah ada prosedur formal
di lingkungan di mana kepatuhan dan penegakan lemah. Namun, beberapa pemerintah
daerah telah melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki bidang kegiatan pemerintahanyang banyak dikritisi ini. Langkah pertama adalah menciptakan kerangka hukum,
menegakkan prosedur dan secara ketat menindak lanjuti keanehaan-keanehan yang
dicurigai.
4.5 Bidang Strategis 5: Akuntansi dan pelaporanAkuntansi dan pelaporan merupakan komponen yang tidak dapat dihindarkan pada
pengelolaan keuangan. Bidang ini memerlukan prosedur yang tertata dengan baik dan
pegawai yang terlatih untuk melakukan pencatatan data-data keuangan. Tujuan strategis
adalah untuk membuat sebuah sistem akuntansi yang memastikan akuntansi yang cepatuntuk semua transaksi keuangan dan membuat laporan keuangan eksternal dan internal
yang terpercaya, berimbang dan tepat waktu. Bidang ini meliputi empat hasil: kapasitas
sumber daya manusia dan institusi, sistem akuntansi dan pelaporan yang terintegrasi;
pencatatan yang cepat dan akurat untuk semua transaksi keuangan pemerintah daerah;
dan, laporan informasi pengelolaan keuangan yang terpercaya.
Diagram 10: Akuntansi dan pelaporan
0
20
40
60
80
100
Aceh Utara
Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Timur
Langsa
Simeulue
Singkil
Gayo Lues
Pidie
Sabang
A. TenggaraAceh Selatan
Bireuen
A. Tamiang
Aceh Barat
Aceh Tengah
Nagan Raya
Lhokseumawe
A. Barat Daya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Akuntansi dan pelaporan Rata rata
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
42/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
30
Akuntansi dan pelaporan: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikAkuntansi dan pelaporan mendapatkan nilai di bawah rata-rata keseluruhan (38 persen dari
41 persen). Gayo Lues mendapatkan nilai tertinggi (74%) dan Aceh Jaya mendapatkan nilai
terendah (11%). Aceh Utara mendapatkan nilai yang cukup tinggi (64%). Aceh Utara
membuat perubahan solid, perkembangan yang dicapai oleh Aceh Jaya di bidang ini sangatsedikit, kalaupun ada, sejak pembentukan kabupaten ini pada tahun 2002.
Terlepas dari nilai keseluruahn untuk akuntansi dan pelaporan yang tinggi, Aceh Utara tidak
memiliki Badan Pengawasan Keuangan Daerah atau BPKD) dan, sehingga kabupaten ini
mendapatkan angka nol untuk hasil satu. Namun Aceh Utara mendapatkan angka yang
tinggi untuk hasil transaksi dan neraca tercatat secara akurat dan tepat waktu dan juga
untuk laporan keuangan dan informasi pengelolaan dapat diandalkan. Aset dinilai secara
sesuai dan didokumentasikan, sistem pembukuan double-entry diterapkan dan pencatatan
akuntansi dan catatan bank direkonsiliasi secara berkala. Untuk hasil 4, neraca,, realisasi
anggaran dan laporan arus kas dan laporan keuangan tahunan dibuat dan diserahkan
kepada badan audit secara tepat waktu.
Kebalikannya, Aceh Jaya mendapatkan nilai nol untuk tiga hasil. Kapasitas sumber daya
manusia dan kelembagaan sangat lemah, sistem akuntansi dan manajemen tidak
terintegrasi dan transaksi keuangan dan neraca tidak dicatat secara tepat waktu dan akurat.
Dengan sistem akuntansi dan pelaporan yang lemah, Aceh Jaya membutuhkan dukungan
untuk membuat sistem yang dibutuhkan dan mendukung pengembangan staf-staf yang
terampil.
Walaupun Aceh Jaya memberikan gambaran yang sangat bertolak belakang, Aceh Jaya
bukanlah satu-satunya pemerintah daerah di Aceh dengan hasil yang buruk untuk akuntansi
dan pelaporan. Bener Meriah, Aceh Tenggara, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya semuanya
mendapat nilai di bawah 20 percent (sangat buruk).
4.6 Bidang Strategis 6: Audit InternalAudit internal yang efektif merupakan aspek penting dalam pengelolaan keuangan. Audit
internal pemerintah daerah yang efektif memerlukan sistem pencatatan yang tepat dan
efisiensi di departemen-departemen yang ada di pemerintahan daerah, dan penurunan
korupsi dan kebocoran. Tujuan strategis audit internal adalah pembuatan dan pemeliharaan
fungsi-fungsi audit internal yang efektif dan efisien. Untuk menilai sejauh mana tujuan
strategis berhasil dicapai dalam hal ini terdapat tiga hasil: (1) badan audit pemerintah
daerah terorganisir dan berdaya untuk beroperasi secara efektif; (2) standar dan prosedur-
prosedur yang digunakan dapat diterima; dan (3) temuan-temuan ditindaklanjuti secaramemadai.
Kerangka PKP hanya dapat melihat pengaturan formal untuk audit internal. Kerangka PKP
tidak mengevaluasi efektifitas audit. Laporan tahunan audit internal, yang tidak menemukan
bukti-bukti kejanggalan keuangan atau penyalahgunaan dana, tidak berarti bahwa audit
internal dilakukan dengan benar.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
43/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
31
Diagram 11: Audit Internal
0
20
40
60
80
100
Aceh Utara
Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Timur
Langsa
Simeulue
Singkil
Gayo Lues
Pidie
Sabang
A. TenggaraAceh Selatan
Bireuen
A. Tamiang
Aceh Barat
Aceh Tengah
Nagan Raya
Lhokseumawe
A. Barat Daya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Audit internal Rata rata
Audit Internal: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikSecara keseluruhan audit internal mendapatkan nilai rata-rata 52 persen. Aceh Timur dan
Aceh Utara mendapatkan nilai 78 persen dan sekali lagi Aceh Jaya mendapatkan nilaiterendah yaitu 11 persen. Di Aceh Timur peran dan tanggung jawab Bawasda terdefinisi
dengan jelas dan Bawasda memiliki kewenangan untuk menjalankan fungsinya dan
didukung dengan pelatihan pegawai secara berkala. Namun, kualifikasi pegawai berada di
bawah rata-rata dan peralatan-peralatan yang ada tidak memadai. Untuk hasil dua
mengenai standar dan prosedur yang dapat diterima, Aceh Timur mendapatkan nilai baik
karena Aceh Timur melakukan tindak lanjut atas temuan-temuan audit. Sementara Aceh
Jaya hanya memenuhi indikator mengenai peran dan tanggung jawab yang terdefinisi
dengan baik, dan kewenangan untuk menjalankan tugasnya. Standar dan prosedur yang
dapat diterima benar-benar kurang dan temuan-temuan audit internal tidak ditindak lanjuti
secara memadai.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
44/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
32
4.7 Bidang Strategis 7: Hutang dan InvestasiBidang strategis hutang dan investasi hanya memiliki satu hasil dengan delapan indikator.
Tujuan strategsinya adalah mengimplementasikan pengelolaan hutang dan investasi
pemerintah daerah secara berhati-hati termasuk pengelolaan BUMD. Hasil yang diharapkan
adalah pembuatan dan penerapan kebijakan, prosedur dan kendali atas pengelolaan hutang
dan investasi daerah.
Diagram 12: Hutang dan investasi Publik
0
20
40
60
80
100
Aceh Utara
Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Timur
Langsa
Simeulue
Singkil
Gayo Lues
Pidie
Sabang
A. TenggaraAceh Selatan
Bireuen
A. Tamiang
Aceh Barat
Aceh Tengah
Nagan Raya
Lhokseumawe
A. Barat Daya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Hutang dan investasi Rata rata
Hutang dan investasi hanya mendapatkan nilai 28 persen yang terendah di antara bidang-
bidang strategis lainnya. Beberapa pemerintah daerah tidak memiliki hutang dan juga tidak
memiliki investasi jangka panjang. Sebagai contoh, Aceh Barat Daya, dengan nilai 25
persen, tidak memiliki catatan hutang dan investasi selama masa berdirinya yang relatif
baru. Tujuh pemerintah daerah memiliki catatan pinjaman: Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh
Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Utara dan Banda Aceh. Ke tujuh pemerintahan
daerah itu mendapatkan angka di atas rata-rata kecuali Aceh Tengah. Data DepartemenKeuangan tahun 20044menunjukkan bahwa pemerintah daerah meminjam sebesar Rp 25
milyar, sedangkan pemerintah propinsi meminjam Rp 24 milyar. PDAM di kabupaten dan
kota meminjam dana Rp 40 milyar, sedangkan PDAM di propinsi tidak melakukan pinjaman.
Beberapa Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM meminjam dana Rp 40 milyar, dari
pemerintah daerah masing-masing. Total hutang pemerintah daerah yang ada pada tahun
2004 mencapai Rp 66 milyar. Total pinjaman meningkat dari Rp 55 milyar pada tahun 2001
4Departemen Keuangan
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
45/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
33
menjadi Rp 90 milyar pada tahun 2004 (gabungan antara pemerintah daerah dan propinsi).
Penambahan ini dilakukan oleh pemerintah daerah dan tidak ada penambahan hutang oleh
pemerintah propinsi. Terlepas dari peningkatan tersebut, hutang yang diakumulasi masih
berada jauh di bawah rata-rata hutang propinsi secara nasional. Undang-undang nasional
membatasi jumlah hutang yang diizinkan, beberapa pemerintah daerah dilarang untuk
melakukan pinjaman tambahan. Bahkan dengan pembatasan ini, pemerintah daerah Aceh
masih dapat meminjam sampai dengan Rp 500 milyar (lihat: Analisis Pengeluaran PublikAceh, Bank Dunia, 2006).
Hutang dan investasi: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikAceh Utara mendapatkan nilai tertinggi (63 persen) dan Aceh Tengah mendapatkan nilai
terendah (13 persen) dari semua pemerintah daerah yang memiliki catatan pinjaman. Lima
pemerintah daerah lainnya mendapatkan nilai nol dengan tidak adanya kerangka untuk
mengelola hutang dan investasi. Di Aceh Utara, peran dan kewenangan anggota DPRD dan
pejabat pemerintah terdefinisi dengan baik, anggaran tahunan (APBD) meliputi usulan
pinjaman dan investasi jangka panjang, investasi jangka panjang harus mendapatkan
persetujuan dari DPRD terlebih dahulu, dan transaksi-transaksi hutang dan investasi dicatatdengan baik pada laporan keuangan yang ditujukan kepada bupati. Namun, kebijakan
pengelolaan tidak konsisten dengan kerangka kebijakan nasional, tidak ada tingkat spesifik
pinjaman yang diperbolehkan dan tidak ada kebijakan yang menyebutkan tujuan pinjaman
tertentu sehingga pinjaman dan jaminan dapat dilakukan. Di Aceh Tengah hanya satu dari
delapan indikator yang dipenuhi: DPRD harus menyetujui transaksi investasi jangka panjang.
Mengingat cakupan pinjaman dan investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah (dan
pemerintah propinsi), penting bagi pemerintahan-pemerintahan sub-nasional ini untuk
memiliki kerangka pengelolaan hutang dan investasi mereka secara efektif. Mengingat
cukup tingginya arus keuangan untuk pemerintah daerah di Aceh pada tahun-tahun
mendatang, penting bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan strategi yang jelas
untuk membuat investasi jangka panjang yang efektif.
4 8 Bidang Strategis 8: Pengelolaan AsetTujuan strategis dari pengelolaan aset adalah untuk pengelolan aset daerah secara efektif
melalui penggunaan rencana pengelolaan aset jangka panjang. Secara eksplisit
penekanan dilektakan pada pengelolaan jangka panjang dan aset-aset ini harus
mendukung tujuan pemberian layanan publik daerah. Kerangka penelitian ini tidak
mengukur nilai dari aset terhadap ekonomi daerah, atau apakah mereka merupakan
kontributor atau penyerap pendapatan tetapi penelitian ini mengevaluasi cara-cara
pengelolaan aset-aset ini. Kapasitas pengelolaan aset dibagi menjadi empat hasil: hasil
pertama menyangkut prosedur dan mekanisme untuk memastikan BUMD dikelola secara
efektif; hasil dua menyangkut kebijakan, prosedur dan kontrol untuk pembelian aset baru
dan pengelolaan aset jangka panjang secara efektif; hasil tiga menyangkut dasar informasi
untuk mendukung pengelolaan aset; dan hasil empat menyangkut kaitan antara
pengelolaan aset dengan rencana dan anggaran.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
46/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
34
Diagram 13: Pengelolaan Aset
0
20
40
60
80
100
Aceh Utara
Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Timur
Langsa
Simeulue
Singkil
Gayo Lues
Pidie
Sabang
A. TenggaraAceh Selatan
Bireuen
A. Tamiang
Aceh Barat
Aceh Tengah
Nagan Raya
Lhokseumawe
A. Barat Daya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Pengelolaan aset Rata rata
Pengelolaan aset: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikNilai rata-rata adalah 37 persen. Lagi-lagi Aceh Utara mendapatkan nilai paling tinggi untuk
pengelolaan aset (68 persen). Aceh Jaya dan Aceh Barat Daya mendapatkan nilai terendah
(14 persen). Aceh Utara mendapatkan nilai yang baik untuk hasil satu, dengan adanya
konsistensi antara kegiatan yang diusulkan untuk Badan Usaha Milik Daerah denganrencana pembangunan strategis, rencana bisnis dievaluasi oleh pemerintah daerah untuk
mempertimbangkan pembentukan perusahaan baru dan transaksi-transaksi perusahaan
dievaluasi oleh auditor internal. Hasil dua mendapatkan nilai buruk dengan dua dari tiga
indikator tidak dipenuhi. Aceh Utara tidak memiliki peraturan daerah untuk dijadikan
sebagai kebijakan dan rencana pengelolaan aset daerah dan juga tidak memiliki panduan
pengelolaan aset dan prosedur untuk dijadikan rujukan pengelolaan aset. Hasil tiga
sebagian besar terpenuhi, dengan adanya deskripsi fisik aset yang memadai yang
disertakan pada catatan aset-aset secara tepat. Hasil empat, dengan hanya satu indikator
rencana dan anggaran kabupaten mencerminkan biaya perawatan aset yang tercatat
dalam rencana perawatan tidak terealisasi.
Aceh Barat Daya mendapatkan angka nol untuk hasil satu, dua dan empat. Untuk hasil duayang menyangkut kebijakan, prosedur dan kendali Aceh Barat Daya mendapatkan angka nol
karena pemerintah daerah mengunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri)
dan SK Bupati dan bukan membuat Perda baru. Hasil tiga mendapatkan nilai yang lebih
baik, karena aset diberikan nomor pengenal yang berbeda satu dengan yang lain, lokasi-
lokasi aset dicatat dengan baik dan nama pejabat yang bertanggung jawab atas aset
tersebut juga dicatat dengan baik. Semua indikator-indikator lainnya untuk bidang strategis
pengelolaan aset tidak terealisasi. Sejak pemisahan dengan Aceh Barat, hampir semua aset
di kabupaten baru ini masih berada di bawah kewenangan kabupaten asal. Tidak ada
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
47/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
35
perusahaan daerah yang tercatat walaupun sedang dilakukan pembentukan dan pemilihan.
Kota Lhokseumawe juga mendapatkan nilai yang buruk (18 persen) tetapi angka yang
rendah ini sebagian disebabkan karena ketiadaan Badan Usaha Milik Daerah sampai
dengan akhir tahun 2006 dan dalam rencana pembangunan jangka menengah tidak ada
rencana untuk membentuk Badan Usaha Milik Daerah. Aceh Utara, sebagai kabupaten
induknya, mempertahankan kendali atas semua Badan Usaha Milik Daerah. Pergantian
walikota dan kepala kantor dinas yang sering terjadi mengakibatkan kurangnyaperencanaan strategis di wilayah ini. Aset-aset pemerintah yang lain seperti kantor, kurang
memadai dan prosedur untuk memastikan perawatan aset kurang.
Dua belas pemerintah daerah di Aceh mendapatkan nilai di bawah 40 persen (buruk/
sangat buruk) untuk pengelolaan aset. Hal ini berarti lebih dari separuh dari pemerintahan
gagal dalam bidang pengelolaan keuangan ini. Buruknya pengelolaan keuangan aset yang
dimiliki oleh kabupaten berarti bahwa aset-aset ini memiliki kinerja kurang. Hal ini perlu
dikhawatirkan mengingat skala rekonstruksi di Aceh pada saat ini dan pentingnya merawat
aset-aset yang baru didapat ini. Perlu dilakukan peningkatan kapasitas pada bidang ini dan
peraturan dan kebijakan perlu untuk dibuat dan dilaksanakan segera untuk memastikan
pemerintah daerah dapat mengelola aset-aset ini dengan baik
4.9 Bidang Strategis 9: Audit EksternalMekanisme audit eksternal yang efektif memainkan peranan penting dalam menciptakan
dan mempertahankan pemerintah daerah yang akuntabel. Badan Pemeriksaan Keuangan
atau BPK memiliki tugas untuk melaksanakan audit eksternal dan hasil dari audit tersebut
diserahkan dan seharusnya dibahas oleh DPRD. Peran utama dari DPRD adalah untuk
memberikan pengawasan independen terhadap fungsi pemerintah daerah, eksekutif.
Semakin lemah audit internal, semakin penting peran audit eksternal.
Audit eksternal memiliki dua hasil dan sembilan indikator. Hasil satu menyangkut
pelaksanaan audit eksternal secara berkala untuk memberikan akuntabilitas kepada
pemerintah daerah secara efektif. Hasil dua berfokus pada keberadaan pengawasan
independen terhadap pengelolaan keuangan pemerintah daerah yang efektif.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
48/110
Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis
36
Diagram 14: Audit eksternal dan Pengawasan
0
20
40
60
80
100
Aceh Utara
Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Timur
Langsa
Simeulue
Singkil
Gayo Lues
Pidie
Sabang
A. TenggaraAceh Selatan
Bireuen
A. Tamiang
Aceh Barat
Aceh Tengah
Nagan Raya
Lhokseumawe
A. Barat Daya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Audit dan eksternal dan pengawasan Rata rata
Audit Eksternal: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikNilai rata-rata untuk audit eksternal adalah 36 persen. Tiga pemerintah daerah
mendapatkan nilai diterimadan 13 mendapatkan nilai buruk/sangat buruk
Banda Aceh, Aceh Besar dan Aceh Utara semuanya mendapatkan nilai 67 persen,memenuhi enam dari sembilan indikator. Aceh Barat dan Nagan Raya tidak memenuhi
satupun indikator, dan mendapatkan nilai nol untuk audit eksternal. Aceh Besar memenuhi
tiga dari empat indikator pada hasil satu. Laporan keuangan tahunan diserahkan untuk
pemeriksaan ke BPK dalam batas waktu yang ditetapkan menurut hukum, masyarakat
dapat menghadiri sidang DPRD pada saat laporan pemeriksaan dibahas dan laporan audit
eksternal berisikan opini pemeriksaan yang dapat dipahami oleh masyarakat awam. Namun
laporan audit tidak dipublikasikan di media-media setempat atau dipasang pada papan
pengumuman resmi agar dapat dilihat oleh masyarakat. Untuk hasil yang diharapkan
mengenai pengawasan independen yang efektif, DPRD mengawasi dan mengevaluasi
kinerja pemerintah daerah, memberikan persetujuan kepada laporan tahunan terakhir tanpa
catatan, tidak memberikan sanksi atau memastikan sanksi ditegakkan dan laporan audit
tidak menyarankan untuk dimulainya investigasi mengenai korupsi.
Nagan Raya dan Aceh Barat tidak memiliki sistem audit eksternal. Walaupun nilai untuk
audit internal di kedua wilayah ini di atas 60 persen, ketiadaaan mekanisme audit eksternal
oleh badan independen perlu untuk dijadikan perhatian.
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
49/110
Bab 5Isu-isu Utama
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
50/110
-
7/22/2019 PFM Aceh Full Bhs
51/110
Bab 5: Isu-isu Utama
39
Kerangka hukum yang tidak lengkapLima tahun semenjak pelaksanaan desentralisasi, kapasitas pengelolaan keuangan
masih lemah di beberapa pemerintah daerah di Aceh. Salah satu prioritas mendesak
bagi pemerintah daerah adalah untuk memastikan bahwa mereka memiliki kerangka
hukum yang lengkap, tepat secara keseluruhan dan dapat ditegakkan. Praktek-
prakte
top related