asma_bab2

Upload: hans-winata

Post on 09-Jul-2015

87 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Susu Ibu (ASI) 2.1.1 Definisi ASI (Air Susu Ibu) adalah suatu jenis makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik fisik, psikologisosial maupun spiritual. ASI mengandung nutrisi, hormon, unsur kekebalan pertumbuhan, serta anti inflamsi. Nutrisi dalam ASI mencakup hampir 200 zat makanan.4

ASI adalah suatu cairan tanpa tanding ciptaan Allah yang memenuhi kebutuhan gisi bayi dan melindunginya dalam melawan kemungkinan serangan penyakit. Keseimbangan zat-zat dalam ASI berada dalam tingkat terbaik dan air susunya memiliki bentuk paling baik bagi tubuh bayi yang masih muda. Pada saat yang sama ASI juga sangat kaya akan sari-sari makanan yang mempercepat pertumbuhan sel-sel otak dan pertumbuhan sistem saraf. 5 2.1.2 Klasifikasi ASI 2.1.2.1 Kolostrum Adalah ASI khusus berwarna kekuningan, agak kental dan diproduksi dari hari pertama sampai hari keempat setelah persalinan. Volumenya 150 sampai 300ml per hari. Kolostrum berwarna kuning keemasan disebabkan tingginya komposisi lemak dan sel-sel hidup. Kolostrum merupakan pencahar (pembersih usus bayi) yang membersihkan mekonium sehingga mukosa usus bayi yang baru lahir segera bersih dan siap menerima ASI. Hal ini menyebabkan bayi yang mendapat ASI kepada minggu pertama sering defekasi dan feses berwarna hitam. Kolostrum lebih banyak mengandung protein dibanding ASI mature, perbedaan dengan ASI mature dimana protein

yang utama adalah kasein di dalam kolostrum yang utama globulin, sehingga dapat memberikan daya perlindungan tubuh terhadap infeksi.9

Kandungan kolostrum : 8 Kaya antibody : melindungi terhadap infeksi dan alergi. Banyak sel darah putih : melindungi terhadap infeksi. Pencahar : membersihkan mekonium, membantu bayi kuning atau iterus. Faktor-faktor pertumbuhan : membantu usus berkembang lebih matang mencegah alergi dan keadaan tidak tahan (intoleransi). Kaya vitamin A : mengurangi keparahan infeksi, mencegah penyakit mata

2.1.2.2 Air Susu Masa Peralihan / Masa Transisi / Susu Awal / Foremilk ASI ini diproduksi pada hari ke-4 sampai hari ke-10 komposisi protein semakin rendah, sedangkan lemak dan hidrat arang semakin tinggi serta jumlah volume ASI semakin meningkat. Hal ini merupakan pemenuhan aktivitas bayi yang semakin aktif karena bayi sudah beradaptasi terhadap lingkungan. 9 Warna ASI ini lebih bening dibanding kolostrum dan susu akhir. Apabila bayi memperoleh susu awal lebih banyak maka semua kebutuhan akhir akan terpenuhi, bayi tidak memerlukan air minum selain ASI sebelum berusia 6 bulan, walaupun tinggal di daerah yang beriklim panas. Jika bayi haus diberi tambahan air minum maka bayi akan kurang memperoleh ASI. 8 2.1.2.3 Air Susu Mature / Susu Akhir / Hindmilk

ASI yang disekresi pada hari ke-10 sampai seterusnya. ASI mature merupakna nutrisi bayi yang terus berubah disesuaikan dengan perkembangan bayi sampai usia 6 bulan. Setelah 6 bulan bayi mulai dikenakan makanan lain selain ASI. Volumenya 300 sampai 800 ml per 24 jam. Dalam susu mature ini terdapat anti mikrobakterial faktor, yaitu :9

Antibody terhadap bakteri dan virus Cell (phagocyle, granulocyle, macrophag, lymhocycle T) Enzim (lysozime, lactoperoxidese) Protein (lactoferrin, B12 Ginding Protein) Faktor resisten terhadap staphylococcus) Complecement (C3 dan C4) Komposisi ASI antara lain 88,1% mengandung air, 3,8%

lemak, 0,9% protein, 7,0% laktosa, dan zat gizi lain 0,2%. Salah satu fungsi utama air adalah untuk mengeluarkan kelebihan bahan-bahan larut melalui air seni. Zat-zat yang dapat larut (misalnya sodium, potasium, nitrogen, dan klorida) disebut sebagai bahan-bahan larut. Ginjal bayi yang pertumbuhannya belum sempurna hingga usia tiga bulan, mampu mengeluarkan kelebihan bahan larut lewat air seni untuk menjaga keseimbangan kimiawi di dalam tubuhnya. Oleh karena ASI mengandung sedikit bahan larut, maka bayi tidak membutuhkan air sebanyak anak-anak atau orang dewasa. 10

2.1.3 Volume Produksi ASI Pada bulan terakhir kehamilan, kelenjar-kelenjar pembuat ASI mulai menghasilkan ASI. Apabila tidak ada kelainan, pada hari pertama

sejak bayi lahir akan dapat menghasilkan 50-100 ml sehari dari jumlah ini akan terus bertambah sehingga mencapai sekitar 400-450 ml pada waktu bayi mencapai usia minggu kedua. Jumlah tersebut dapat dicapai dengan menysusui bayinya selama 6 bulan pertama. Karena itu selama kurun waktu tersebut ASI mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Setelah 6 bulan volume pengeluaran air susu menjadi menurun dan sejak saat itu kebutuhan gizi tidak lagi dapat dipenuhi oleh ASI saja dan harus mendapat makanan tambahan. 11 Dalam keadaan produksi ASI telah normal, volume susu terbanyak menit.11

yang

dapat

diperoleh

adalah

5

menit

pertama.

Penyedotan/penghisapan oleh bayi biasanya berlangsung selama 15-25

Selama beberapa bulan berikutnya bayi yang sehat akan mengkonsumsi sekitar 700-800 ml ASI setiap hari. Akan tetapi penelitian yang dilakukan pada beberpa kelompok ibu dan bayi menunjukkan terdapatnya variasi dimana seseorang bayi dapat mengkonsumsi sampai 1 liter selama 24 jam, meskipun kedua anak tersebut tumbuh dengan kecepatan yang sama. 11 Konsumsi ASI selama satu kali menyusui atau jumlahnya selama sehari penuh sangat bervariasi. Ukuran payudara tidak ada hubungannya dengan volume air susu yang diproduksi, meskipun umumnya payudara yang berukuran sangat kecil, terutama yang ukurannya tidak berubah selama masa kehamilan hanya memproduksi sejumlah kecil ASI. 11 Pada ibu-ibu yang mengalami kekurangan gizi, jumlah air susunya dalam sehari sekitar 500-700 ml selama 6 bulan pertama, 400-600 ml dalam 6 bulan kedua, dan 300-500 ml dalam tahun kedua kehidupan bayi. Penyebabnya mungkin dapat ditelusuri pada masa kehamilan dimana jumlah pangan yang dikonsumsi ibu tidak memungkinkan untuk menyimpan cadangan lemak dalam tubuhnya, yang akan digunakan sebagai salah satu

komponen ASI dan sebagai sumber energi selama menyusui. Akan tetapi kadang-kadang terjadi bahwa peningkatan jumlah produksi konsumsi pangan ibu tidak selalu dapat meningkatkan produksi air susunya. Produksi ASI dari ibu yang kekurangan gizi seringkali menurun jumlahnya dan akhirnya berhenti, dengan akibat yang fatal bagi bayi yang masih sangat muda. Di daerah-daerah dimana ibu-ibu sangat kekurangan gizi seringkali ditemukan marasmus pada bayi-bayi berumur sampai enam bulan yang hanya diberi ASI. 11

2.1.4 Perbedaan ASI, Susu Sapi dan Susu Formula Berdasrkan sumber dari Food and Nutrition Boart, National research Council Washington tahun 1980 diperoleh perkiraan komposisi Kolostrum ASI dan susu sapi untuk setiap 100 ml seperti tertera pada tabel berikut: 10 Tabel 1. Komposisi Kolostrum, ASI dan Susu Sapi Zat-zat gizi Energi (K Cal) Protein (g) Kasein/whey Kasein (mg) Laktamil (mg) Laktofein Ig A (mg) 330 364 161 167 2,3 140 bumil 218 0,9 1:1,5 187 3,4 1:1,2 Kolostrum 58 Asi 70 Susu sapi 65

Laktosa (g) Lemak (g)

5,3 2,9

142 7,3

4,8

Vitamin Vit A (mg) Vit B1 (mg) Vit B2 (mg) Asam (mg) Vit B6 (mg) Asam pantotenik Biotin Asam folat Vit B12 Vit C Vit D (mg) Vit Z Vit K (mg) 183 0,06 0,05 0,05 5,9 1,5 160 12-15 246 0,6 0,1 0,1 5 0,04 0,25 82 64 340 2,8 13 0,6 1,1 0,02 0,07 151 1,9 30 4,2 75 14 40 3,9 41 43 1145

nikotinmik 75

Mineral 39 1,5 130

Kalsium (mg) Klorin (mg) Tembaga (mg) Zat besi (ferrum) (mg)

85 40 70

35 40 40

108 14 70

4 14 74 48 22

100 4 15 57 15

12 1120 145 58 30

Magnesium (mg) Fosfor (mg) Potassium (mg) Sodium (mg) Sulfur (mg)

Perbandingan komposisi kolostrum, ASI dan susu sapi dapat dilihat pada tabel 1. Dimana susu sapi mengandung sekitar tiga kali lebih banyak protein daripada ASI. Sebagian besar dari protein tersebut adalah kasein, dan sisanya berupa protein whey yang larut. Kandungan kasein dalam susu sapi yang tinggi akan membentuk gumpalan yang relatif keras dalam lambung bayi, sedangkan ASI walaupun mengandung lebih sedikit total protein, namun bagian protein wheynya lebih banyak, sehingga akan membetuk gumpalan yang lunak dan lebih mudah dicerna serta diserap oleh usus bayi. 12 Laktosa (gula susu) merupakan satu-satunya karbohidrat yang terdapat dalam air susu murni. Jumlahnya dalam ASI tak terlalu bervariasi dan terdapat lebih banyak dibandingkan dengan susu sapi. 12

Disamping fungsinya sebagai sumber energi, juga didalam usus sebagian laktosa akan diubah menjadi asam laktat. Didalam usus asam laktat tersebut membantu mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan dan juga membantu penyerapan kalsium serta mineral-mineral lain. 12 Tabel 2. Kandungan ASI, Susu Sapi dan Susu Formula

2.1.5 Manfaat ASI 1. ASI merupakan sumber gizi sempurna

ASI mengandung zat gizi berkualitas tinggi yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan bayi. Faktor pembentukan sel-sel otak terutama DHA dalam kadar tinggi. ASI juga mengandung whey (protein utama dari susu yang berbentuk cair) lebih banyak dari casein (protein utama dari susu yang berbentuk gumpalan).komposisi ini menyebabkan ASI mudah diserap oleh bayi. 13 2. ASI dapat meningkatkan daya tahan tubuh bayi Bayi sudah dibekali immunoglobulin (zat kekebalan tubuh) yang didapat dari ibunya melalui plasenta. Tapi, segera setelah bayi lahir kadar zat ini akan turun cepat sekali. Tubuh bayi baru memproduksi immunoglobulin dalam jumlah yang cukup pada usia 3 - 4 bulan. Saat kadar immunoglubolin bawaan menurun, sementara produksi sendiri belum mencukupi, bisa muncul kesenjangan immunoglobulin pada bayi. Di sinilah ASI berperan bisa menghilangkan atau setidaknya mengurangi kesenjangan yang mungkin timbul. ASI mengandung zat kekebalan tubuh yang mampu melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, dan jamur.13

Colostrum

(cairan

pertama

yang

mendahului

ASI)

mengandung zat immunoglobulin 10 - 17 kali lebih banyak dari ASI.

3. ASI eklusif meningkatkan kecerdasan dan kemandirian anak Fakta-fakta ilmiah membuktikan, bayi dapat tumbuh lebih sehat dan cerdas bila diberi air susu ibu (ASI) secara eksklusif pada 4 - 6 bulan pertama kehidupannya. Di dalam ASI terdapat beberapa nutrien untuk pertumbuhan otak bayi di antaranya taurin, yaitu suatu bentuk zat putih telur khusus, laktosa atau hidrat arang utama dari ASI, dan asam lemak ikatan panjang - antara lain DHA dan AA yang merupakan asam lemak utama dari ASI.

Hasil penelitian tahun 1993 terhadap 1.000 bayi prematur membuktikan, bayi-bayi prematur yang mendapat ASI eksklusif mempunyai IQ lebih tinggi secara bermakna yaitu 8,3 poin lebih tinggi dibanding bayi premature yang tidak diberi ASI. Pada penelitian Dr. Riva dkk. menunjukkan anak-anak usia 9,5 tahun yang ketika bayi mendapat ASI eksklusif, ditemukan memiliki IQ mencapai 12,9 poin lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang ketika bayi tidak mendapatkan ASI. 13 4. ASI meningkatkan jalinan kasih sayang Jalinan tumbuh dalam kasih suasana sayang aman yang akan baik adalah landasan yang

terciptanya keadaan yang disebut secure attachment. Anak yang menjadi anak berkepribadian tangguh, percaya diri, mandiri, peduli lingkungan dan pandai menempatkan diri. Bayi yang mendapat ASI secara eksklusif. akan sering dalam dekapan ibu saat menyusu, mendengar detak jantung ibu, dan gerakan pernapasan ibu yang telah dikenalnya dan juga akan sering merasakan situasi seperti saat dalam kandungan: terlindung, aman dan tenteram. 13

2.1.6 Manfaat Menyusui Bagi Ibu Menyusui memberi keuntungan untuk ibu, karena tidak perlu mensterilkan botol, tidak perlu membeli susu formula, menakar dan mencampurnya. Oleh karena menyusui bayi memerlukan ekstra kalori, maka ibu yang ingin berat badannya kembali seperti semula dapat terbantu. Menyusui juga merangsang uterus untuk berkontraksi kembali ke ukurannya semula sebelum hamil sehingga membantu mengurangi perdarahan setelah melahirkan. 2

Menyusui ekslusif selama 6 bulan juga akan meningkatkan kadar antibodi dalam sirkulasi darah ibu sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi setelah lahir. Perdarahan post partum berkurang dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi oksitosin. Resiko kanker payudara, kanker ovarium, dan osteoporosis pasca menopause dilaporkan juga lebih kecil pada ibu menyusui. 2 Selama ini dilaporkan bahwa menyusui dapat berperan sebagai satu cara kontrasepsi, karena selama menyusui ovulasi akan tertekan sehingga kemungkinan hamil selama menyusui sangat kecil. Ibu tidak akan mengalami ovulasi. 2 2.1.7 Alasan Tidak Menggunakan Pengganti ASI Ketika menyusui secara eksklusif tidak lagi menjadi suatu keharusan, biasanya para ibu dengan mudahnya berpaling pada susu formula. Oleh karena itu WHO merekomendasikan para ibu untuk menyusui secara ekslusif selama 6 bulan, melanjutkannya dengan pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) dari bahan-bahan lokal yang kaya nutrisi sambil tetap memberikan ASI / menyusui sampai anak berusia 2 tahun atau lebih. Resiko pemberian susu formula untuk bayi dan anak-anak 1. Meningkatkan resiko asma

Sebuah

penelitian

di

Arizona,

Amerika

Serikat

yang

menggunakan sampel 1.246 bayi sehat menunjukkan hubungan yang kuat antara menyusui dan gangguan pernafasan pada bayi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak di bawah umur 6 tahun yang tidak disusui sama sekali, akan memiliki resiko gangguan pernafasan tiga kali lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang disusui.

(Wright

AL,

Holberg

CJ,

Taussig

LM,

Martinez

FD.

Relationship of infant feeding to recurrent wheezing at age 6 years. Arch Pediatr Adolesc Med 149:758-763, 1995) Penelitian pada 2.184 anak yang dilakukan oleh Hospital for Sick Children di Toronto, Kanada menunjukkan bahwa resiko asma dan gangguan pernapasan mencapai angka 50% lebih tinggi pada bayi yang diberi susu formula, dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI sampai dengan usia 9 bulan atau lebih. (Dell S, To T. Breastfeeding and Asthma in Young Children. Arch PediatrAdolesc Med 155: 1261-1265, 2001) Para peneliti di Australia Barat melakukan penelitian terhadap 2602 anak-anak untuk melihat peningkatan resiko asma dan gangguan pernafasan pada 6 tahun pertama. Anak-anak yang tidak mendapatkan ASI beresiko 40% lebih tinggi terkena asma dan gangguan pernafasan dibandingkan dengan anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif sekurangnya 4 bulan. Para peneliti ini merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif sekurangnya 4 bulan untuk mengurangi resiko terkena asma dan gangguan pernafasan. (Oddy WH, Peat JK, de Klerk NH. Maternal asthma, infant feeding, and the risk for asthma in childhood. J. Allergy Clin Immunol. 110: 65-67, 2002)

Para ahli melihat pada 29 penelitian terbaru untuk

mengevaluasi dampak melindungi terhadap asma dan penyakit pernapasan atopik lainnya yang diberikan oleh ASI. Setelah menggunakan kriteria penilaian yang ketat, terdapat 15 penelitian yang memenuhi persyaratan untuk dievaluasi, dan

ke-15 penelitian tersebut menunjukkan manfaat/efek melindungi yang diberikan oleh ASI dari resiko asma. Para ahli menyimpulkan, tidak menyusui atau memberikan ASI pada bayi akan meningkatkan resiko asma dan penyakit pernafasan atopik. (Oddy WH, Peat JK. Breastfeeding, Asthma and Atopic Disease: An Epidemiological Review of Literature. J Hum Lact 19: 250-261, 2003) 2. Meningkatkan resiko alergi Anak-anak di Finlandia yang mendapatkan ASI lebih lama memiliki resiko lebih rendah untuk terkena penyakit atopik, eksim, alergi makanan dan gangguan pernafasan karena alergi. Pada usia 17 tahun, resiko gangguan pernafasan karena alergi pada mereka yang tidak mendapatkan ASI (atau mendapat ASI dalam jangka waktu pendek) adalah 65%, sementara pada mereka yang disusui lebih lama hanya 42%. (Saarinen UM, Kajosarri M. Breastfeeding as a prophylactic against atopic disease: Prospective follow-up study until 17 years old. Lancet 346: 1065-1069, 1995) Bayi yang memiliki riwayat asma/gangguan pernafasan karena memiliki riwayat alergi dari keluarganya, diteliti untuk penyakit dermatitis atopik dalam tahun pertama kehidupannya. Menyusui eksklusif selama tiga bulan pertama diakui dapat melindungi bayi dari penyakit dermatitis. (Kerkhof M, Koopman LP, van Strien RT, et al. Risk factors for atopic dermatitis in infants at high risk of allergy: The PIAMA study. Clin Exp Allergy 33: 1336-1341, 2003)

Pengaruh dari konsumsi harian ibu akan vitamin C dan E pada komposisi anti-oksidan di ASI sebagai zat yang melindungi bayi dari kemungkinan terkena penyakit atopik diteliti. Makanan yang dikonsumsi oleh ibu yang menderita penyakit atopik dipantau selama 4 hari, kemudian diambil sampel ASI dari ibu yang memiliki bayi dengan usia 1 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi vitamin C sehari-hari pada makanan ibu dapat meningkatkan kadar vitamin C pada ASI. Semakin tinggi kadar vitamin C pada ASI dapat menurunkan risiko terkena penyakit atopik pada bayi. (Hoppu U, Rinne M, Salo-Vaeaenaenen P, Lampi A-M, Piironen V, Isolauri E. Vitamin C in breast milk may reduce the risk of atopy in the infant. Eur J of Clin Nutr 59: 123-128, 2005)

3. Meningkatkan resiko infeksi saluran pernapasan Anak-anak di Brazil yang tidak disusui/mendapatkan ASI beresiko 16,7 kali lebih tinggi terkena pneumonia dibandingkan anak-anak yang semasa bayinya disusui secara eksklusif. (Cesar JA, Victora CG, Barros FC, et al. Impact of breastfeeding on admission for pneumonia during postneonatal period in Brazil: Nested casecontrolled study. BMJ 318: 1316-1320, 1999) Untuk menentukan faktor-faktor resiko dalam mendeteksi ISPA pada balita, sebuah rumah sakit di India membandingkan 201 kasus dengan 311 kunjungan pemeriksaan. Menyusui adalah salah satu dari sekian faktor yang dapat menurunkan tingkat risiko ISPA pada balita.

(Broor S, Pandey RM, Ghosh M, Maitreyi RS, Lodha R, Singhal T, Kabra SK. Risk factors for severe acute lower respiratory tract infection in under-five children. Indian Pediatr 38: 13611369, 2001) Beberapa sumber yang digunakan untuk meneliti hubungan antara menyusui dan resiko ISPA pada bayi yang lahir cukup bulan. Analisis dari data-data yang diteliti menunjukkan pada negara-negara berkembang, bayi yang diberikan susu formula mengalami 3 kali lebih sering gangguan pernafasan yang membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit, dibandingkan dengan bayi yang diberikan ASI eksklusif selama 4 bulan atau lebih. (Bachrach VRG, Schwarz E, Bachrach LR. Breastfeeding and the risk of hospitalization for respiratory disease in infancy. Arch Pediatr Adolesc Med. 157: 237-243, 2003) 4. Meningkatkan resiko infeksi dari susu formula yang terkontaminasi Pada kasus tercemarnya susu formula dengan Enterobacter Sakazakii di Belgia, ditemukan 12 bayi yang menderita Necrotizing Enetrocolitis (NEC) dan 2 bayi yang meninggal setelah mengkonsumsi susu formula yang tercemar bakteri tersebut. (Van Acker J, de Smet F, Muyldermans G, Bougatef A. Naessens A, Lauwers S. Outbreak of necrotizing enterocolitis associated with Enterobactersakazakii in powdered infant formulas. J Clin Microbiol 39: 293-297, 2001) Sebuah kasus di Amerika Serikat menyebutkan bahwa seorang bayi berusia 20 hari meninggal dunia karena menderita panas,

tachyardiadan mengalami penurunan fungsi pembuluh darah setelah diberikan susu formula yang tercemar bakteri ESakazakii di NICU. (Weir E, Powdered infant formula and fatal infection with Enterobacter sakazakii. CMAJ 166, 2002) 5. Meningkatkan infeksi saluran pencernaan Tujuh ratus tujuh puluh enam bayi dari New Brunswick, Kanada, diteliti untuk mengetahui hubungan antara pernapasan dan penyakit gastrointestinal dengan menyusui selama enam bulan pertama kehidupan. Meskipun angka pemberian ASI ekslusif rendah, hasil menunjukkan efek perlindungan yang signifikan terhadap total penyakit selama enam bulan pertama kehidupan. Bagi mereka yang disusui ASI , insidensi infeksi gastrointestinal adalah 47 per persen lebih rendah; tingkat penyakit pernapasan adalah 34 persen lebih rendah daripada mereka yang tidak disusui. (Beaudry M, Dufour R, S. Marcoux. Relationship between infant feeding and infections during the first six months of life. J Pediatr 126: 191-197, 1995) Perbandingan antara bayi yang menerima ASI terutama selama 12 bulan pertama kehidupan dan bayi yang secara eksklusif diberikan susu formula atau disusui ASI selama selama tiga bulan atau kurang, menemukan bahwa penyakit diare dua kali lebih tinggi untuk bayi yang diberikan susu formula dibandingkan mereka yang disusui ASI.

(Dewey KG, Heinig MJ, Nommsen-Rivers LA. Differences in morbidity between breast-fed and formula-fed infants. J Pediatr 126: 696-702, 1995) Dukungan menyusui di Belarus secara signifikan mengurangi insiden infeksi gastrointestinal sampai dengan 40 persen. (Kramer MS, Chalmers B, Hodnett ED, et al. Promotion of Breastfeeding Intervention Trial (PROBIT): a randomized trial in the Republic of Belarus. JAMA 285: 413-420, 2001) 2.2 Imunologi Mukosa Sistem imunitas mukosa merupakan bagian sistem imunitas yang penting dan berlawanan sifatnya dari sistem imunitas yang lain. Sistem imunitas mukosa lebih bersifat menekan imunitas, karena hal-hal berikut; mukosa berhubungan langsung dengan lingkungan luar dan berhadapan dengan banyak antigen yang terdiri dari bakteri komensal, antigen makanan dan virus dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan sistem imunitas sistemik. Antigen-antigen tersebut sedapat mungkin dicegah agar tidak menempel mukosa dengan pengikatan oleh IgA, barier fisik dan kimiawi dengan enzimenzim mukosa.

Antigen yang telah menembus mukosa juga dieliminasi dan reaksi imun yang terjadi diatur oleh sel-sel regulator. Hal ini untuk mencegah terjadinya respons imun yang berlebihan yang akhirnya merugikan oleh karena adanya paparan antigen yang sangat banyak. Sedangkan sistem imunitas sistemik bersifat memicu respons imun oleh karena adanya paparan antigen.

Sistem imunitas mukosa menggunakan beberapa mekanisme untuk melindungi pejamu dari respons imunitas yang berlebihan terhadap isi lumen usus. Mekanisme yang dipakai adalah barier fisik yang kuat, adanya enzim luminal yang mempengaruhi antigen diri yang alami,

adanya sel T regulator spesifik yang diatur fungsinya oleh jaringan limfoid usus, dan adanya produksi antibodi IgA sekretori yang paling cocok dengan lingkungan usus.

Semua mekanisme ini ditujukan untuk menekan respons imunitas. Kelainan beberapa komponen ini dapat menyebabkan peradangan atau alergi.

RESPONS UMUM IMUNOLOGI MUKOSA

Antigen yang berada di lumen diambil oleh sel epitelial abortif dan sel epitelial spesifik (sel membran atau sel mikrofold atau sel M) di mukosa induktif, dibawa atau langsung ditangkap oleh antigen-presenting cel (APC) profesional (APC terdiri dari; sel dendritik (DC), sel limfosit B dan makrofag) dan dipresentasikan kepada sel-sel T konvensional CD4+ dan CD8+, semuanya berada pada tempat induktif. Beberapa antigen juga bisa langsung diproses dan dipresentasikan oleh sel epitelial kepada sel T intraepitelial tetangga (neighboring intraepithelial T cells) meliputi sel T dengan limited resevoire diversity (sel T dan sel NKT). Respons imun mukosa dipengaruhi oleh alamiah antigen, tipe APC yang terlibat dan lingkungan mikro lokal. Dengan kebanyakan tipe adalah antigen non patogen (protein makanan), jalur normal untuk sel dendritik mukosa dan APC lain terlihat melibatkan sel T helper 2 dan respons berbagai sel T regulator, biasanya hasilnya adalah supresi aktif imunitas sistemik, toleransi oral. Antigen dan adjuvant, meliputi kebanyakan patogen, mempunyai motif disensitisasi oleh APC mukosa sebagai pertanda bahaya (contoh; ligan toll-like reseptor (TLR)) disatu sisi dan kondisi proinflamasi pada umumnya, menghasilkan respons imun yang lebih kuat dan luas, baik sekresi hormonal maupun sisi efektor imunitaas seluler dan tidak menghasilkan toleransi oral. Ini diasumsikan bahwa pengenalan patogen oleh TLR APC mukosa membedakan dari respons pada flora komensal. Tetapi terakhir ditemukan bahwa pada kondisi normal, bakteri

komensal dapat dikenali oleh TLR, interaksi ini tampaknya suatu yang penting untuk menjaga homeostasis epitel di usus.

Sel B maupun sel T yang tersensitisasi, meninggalkan tempat asal dimana berhubungan dengan antigen (contohnya plak payeri), transit melewati kelenjar limfe, masuk ke sirkulasi, dan kemudian menempatkan diri pada mukosa terseleksi, umumnya pada mukosa asal dimana mereka kemudian berdeferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori, membentuk IgA sekretori (Gambar 11-1). Afinitas sel-sel ini kelihatannya dipengaruhi secara kuat oleh integrin pada tempat spesifik (homing reseptors) pada permukaannya dan reseptor jaringan spesifik komplementari (adressin) pada sel endotel kapiler. Pada penelitian terbaru mengindikasikan bahwa sel dendritik mukosa dapat mempengaruhi properti homing . Sel dendritik dari plak payeri dan limfonodi mesentrik, tetapi tidak sel dendritik dari limfa dan perifer, meningkatkan ekspresi reseptor homing mukosa 47 dan reseptor CCR9, suatu reseptor untuk gut-assosiated chemokine sel T memori dan sel T CD8+ memori, untuk lebih suka homing di epitel intestinal. Juga, sel dendritik imprinting of gut homing specifity, terlihat terdiri dari retinoid acid yang diproduksi oleh sel dendritik intestinal tetapi tidak oleh sel dendritik limfoid lain. Ini mungkin bisa menjelaskan dugaan sistem imun mukosa umum dimana imunosit teraktivasi pada suatu tempat menyebarkan imunitas ke jaringan mukosa jauh dari pada oleh karena imunitas sistemik. Pada saat yang sama, oleh karena kemokin, integrin dan sitokin terekspresi berbeda diantara jaringan mukosa, fakta tersebut juga bisa menerangkan sebagian, mengapa didalam sistem imun mukosa, ada hubungan kompartemenisasi khas dengan tempat mukosa terinduksi (contohnya usus dengan glandula mamae dan hidung dengan saluran pernafasan dan genital).

Adanya hubungan kompartemenisasi ini menjadi pertimbangan tempat diberikannya imunisasi mukosa akan efek yang diharapkan. Imunisasi oral akan menginduksi antibodi di usus halus (paling kuat di proksimal), kolon

asenden, glandula mamae dan glandula saliva tetapi tidak efektif menginduksi antibodi di segmen bawah usus besar, tonsil dan genital wanita. Sebaliknya imunisasi perektal, akan menghasilkan respons antibodi yang kuat di rektum tetapi tidak di usus halus dan colon proksimal. Imunisasi per nasal dan tonsil akan memberikan respons antibodi di mukosa pernafasan atas dan regio sekresi (saliva dan nasal) tanpa respons imun di usus, tetapi juga terjadi respons imun di mukosa vagina seperti yang terlihat pada usaha imunisasi HIV. Penelitian pada tikus ditemukan bahwa suntikan transkutan bisa menimbulkan efek imunitas di mukosa vagina. Mekanisme efektor pada imunologi mukosa

Selain mekanisme pembersihan antigen mekanis dan kimiawi, imuitas mukosa terdiri dari sel lain berupa sistem imune innate yang meliputi netrofil fagositik dan makrofag, denritik sel, sel NK (natural killer), dan sel mast. Sel-sel ini berperan dalam eliminasi patogen dan inisisasi respons imun adaptif.

Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa adalah suatu sistem yang diperantarai antibodi IgA sekretori, kelas imunoglobulin predominan dalam sekresi eksternal manusia. Imunoglobulin ini tahan terhadap protease sehingga cocok berfungsi pada sekresi mukosa. Induksi IgA melawan patogen mukosa dan antigen protein terlarut bergantung pada sel T helper. Perubahan sel B menjadi sel B penghasil IgA dipengaruhi oleh TGF- dan iterleukin (IL)10 bersama-sama dengan IL-4. Diketahui bahwa sel T mukosa menghasilkan dalam jumlah yang banyak TGF-, IL-10 dan IL-4, sel epitelial mukosa menghasilkan TGF- dan IL-10, menjadi petunjuk bahwa maturasi sel B penghasil IgA melibatkan lingkungan mikro mukosa yaitu sel epitel dan limfosit T tetangga

Walaupun IgA predominan sebagai mekanisme pertahanan humoral, IgM dan IgG juga diproduksi secara lokal dan berperan dalam mekanisme

pertahanan secara signifikan. Sel T limfosit sitolitik mukosa (CTL) mempunyai peran penting dalam imunitas pembersihan patogen virus dan parasit intraseluler. Sel CTL ini juga akan terlihat setelah pemberian imunisasi oral, nasal, rektal ataupun vaginal dan yang terbaru perkutaneus. Mekanisme regulator pada imunologi mukosa

Sistem imun mukosa telah mengembangkan berbagai cara untuk menjaga toleransi terhadap antigen-self, antigen lingkungan pada mikroflora, antigen makanan dan material udara terhirup. Tolerasi tersebut melalui mekanisme; aktifasi sel penginduksi kematian (induce-cell death), anergi dan yang paling penting induksi sel T regulatori. Anergi terhadap sel T antigen spesifik terjadi bila inhalasi atau menelan sejumlah besar protein terlarut, dan penghilangan (deleting) sel T spesifik terjadi setelah pemberian antigen dosis nonfisiologis, secara masif. Pada percobaan tikus sudah diketahui ada 4 sel T regulator, yaitu; (i) antigen-induced CD4+ T helper 2 like cells yang memproduksi IL-4 dan IL-10, dan antagonis sel efektor T helper 1, (ii) sel CD4+CD45RBlow yang memproduksi IL-10, (iii) sel CD4+ dan CD8+ yang memproduksi TGF- (T helper 3), (iv) Sel Treg (CD4+CD25+) yang mensupresi proliferasi melalui suatu sel contact-dependent mechanism.

Meskipun in vitro, sel yang terakhir dapat dikembangkan menjadi suatu bentuk sel antigen spesifik in vivo setelah imunisasi. Sel ini bisa juga mengubah aktifitas supresor pada sel CD4+ lain dengan cara menginduksi ekspresi dari transkripsi faktor Foxp3 dan atau ikatan MHC klas II dengan molekul LAG-3 pada sel seperti infectious tolerance. Mereka juga mempunyai hubungan langsung antara sel T inhibitor oleh Sel Treg , T helper 3, sel Tr 1. Selanjutnya natural human CD4+CD25+ Treg mengekspresikan integrin 47 mukosa, ketika bersama sel T CD4+ konvensional menginduksi sel T sekresi Tr 1 like IL 10 dengan aktifitas supresor kuat terhadap sel T efektor, dimana 41 Treg positif lain

memperlihatkan cara yang sama dengan cara menginduksi Thelper 3-like TGF--secreting supressor T cells.

Data dari studi terakhir mengindikasikan bahwa kesemua sel regulator yang berbeda tipenya dan mekanismenya dapat diinduksi atau ditambah (expand) oleh adanya antigen mukosa mengawali terjadinya toleransi perifer. (Sun et al). Sel T CD8+ intraepitelial mukosa respirasi dan usus juga dicurigai berperan dalam toleransi mukosa. Jadi, mekanisme pertahanan mukosa dari autoagressive dan penyakit alergi melibatkan berbagai tahap regulasi. Sedangkan aktivasi, survival dan ekspansi sel regulator ini tampaknya dikontrol oleh jenis terspesialisasi APC, khususnya sel dendritik jaringan spesifik meliputi sel dendritik di hati, plak payeri, mukosa intestinal dan paru.

IMUNITAS MUKOSA PADA MASING-MASING ORGAN Folikel limfoid yang terisolir ditemukan tersebar di seluruh mukosa saluran napas, cerna, dan urogenital.

Sistem imunitas mukosa saluran napas Sistem imunitas mukosa saluran napas terdiri dari nose-associated lymphoid tissue (NALT), larynxassociated lymphoid tissue (LALT), and the bronchus-associated lymphoid tissue (BALT).1 BALT terdiri dari folikel limfoid dengan atau tanpa germinal center terletak pada dinding bronkus. Sistem limfoid ini terdapat pada 100% kasus fetus dengan infeksi amnion dan jarang terdapat walaupun dalam jumlah sedikit pada fetus yang tidak terinfeksi. Pembentukan jaringan limfoid intrauterin ini merupakan fenomena reaktif dan tidak mempengaruhi prognosis.

Respons imun diawali oleh sel M (microfold cells) yang berlokasi di epitel yang melapisi folikel MALT. Folikel ini berisi sel B, sel T dan APC yang dibutuhkan dalam pembentukan respons imun. Sel M bertugas untuk uptake dan transport antigen lumen dan kemudian dapat mengaktifkan sel T. Sel APC dalam paru terdiri dari sel dendritik submukosa dan interstitial

dan makrofag alveolus. Makrofag alveolus merupakan 85% sel dalam alveoli, dimana sel dendritik hanya 1%. Makrofag alveolus ini merupakan APC yang lebih jelek dibandingkan sel dendritik. Karena makrofag alveolus paling banyak terdapat pada alveolus, sel ini berperan melindungi saluran napas dari proses inflamasi pada keadaan normal. Saat antigen masuk, makrofag alveolus akan mempengaruhi derajat aktivitas atau maturasi sel dendritik dengan melepaskan sitokin. Sel dendritik akan menangkap antigen, memindahkannya ke organ limfoid lokal dan setelah melalui proses maturasi, akan memilih limfosit spesifik antigen yang dapat memulai proses imun selanjutnya

Setelah menjadi sel memori, sel B dan T akan bermigrasi dari MALT dan kelenjar limfoid regional menuju darah perifer untuk dapat melakukan ekstravasasi ke efektor mukosa. Proses ini diperantarai oleh molekul adesi vaskular dan kemokin lokal, khususnya mucosal addressin cell adhesion molecule-1 (MAdCAM-1). Sel T spesifik antigen adalah efektor penting dari fungsi imun melalui sel terinfeksi yang lisis atau sekresi sitokin oleh Th1 atau Th2. Perbedaan rasio atau polarisasi sitokin ini akan meningkatkan respons imun dan akan membantu sel B untuk berkembang menjadi sel plasma IgA.

2.3 Asma 2.3.1 Definisi Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran napas yang melibatkan berhubungan sel dan elemen-elemen hiperresponsig seluler. dari Inflamasi saluran kronis tersebut yang dengan pernapasan

menyebabkan episode wheezing, apneu, sesak napas, dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernapasan yang bersifat reversible baik secara spontan ataupun dengan terapi.

Definisi asma menurut WHO, yaitu keadaan kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang. Definisi terbaru yang dikeluarkan oleh unit Kerja Koordinasi Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodic, cenderung pada malam / dini hari (nocturnal) musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan / atau keluarganya. Asma merupakan penyakit familier, diturunkan secara poligenik dan multifaktoria. Telah ditemukan hubungan antara asma dan lokus histokompabilitas (HLA) dan tanda genetic pada molekul Imunoglobulin G. 2.3.2 Epidemiologi Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak, dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000. jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi. Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistic pusat nasional Amerika Serikat pada tahun 1998, terdapatr 8,65 juta anak-anak dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke IGD, rawat inap, dan tidak masuk sekolah. Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan 164 kematian anak akibat asma pada tahun 1998.

Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan mengunakan questioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar5,8% tahun 1995 dan tahun 2001 di Jakarta Timur sebesar 8,6%. Berdasarkan gambaran tersebut di atas terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian secara serius. 2.3.3 Etiologi dan Faktor Resiko Asma adalah suatu kelainan kompleks yang melibatkan berbagai macam faktor. Diduga yang memegang peranan utama ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus. Hiperreaktivitas bronkus itu belum diketahui dengan jelas penyebabnya. Diduga karena adanya hambatan sebagian system adrenergic, kurangnya enzim adenilsiklase dan meningginya tonus system parasimpatik. Keadaan demikian menyebabkan mudah terjadinya kelebihan tonus parasimpatik kalau ada rangsangan sehingga terjadi spasme bronkus. Banyak faktor yang turut menentukan derajat reaktivitas atau iritabilitas tersebut. Faktor genetic, biokimiawi, saraf autonom, immunologis, infeksi, endokrin, psikologis, dan lingkungan lainnya, dapat turut serta dalam proses terjadinya manifestasi asma. Asma agaknya diturunkan secarapoligenik. Alergi (atopi) caranya. Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: 1. Faktor genetic

salah satu faktor

pencetus asma juga diturunkan secara genetic tapi belum pasti bagaimana

Hiperreaktivitas

Atopi/Alergi bronkus Faktor yang memodifikasi penyakit genetik Jenis Kelamin Ras/Etnik Faktor Lingkungan

2.

Allergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing) Allergen di luar ruangan (tepung sari) Makanan (bahan penyedap, pengawet< kacang, makanan laut, susu sapi, telur) Obat-obatan tertentu (Aspirin, NSAID, dll) Bahan yang mengiritasi (parfum) Ekspresi emosi yang berlebih Asap rokok dari perokok aktif dan pasif Polusi udara di luar dan di dalam ruangan Exercise induced asma Perubahan cuaca Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma:

Pemicu: allergen dalam ruangan, pajanan asap rokok Pemacu: Rhinovirus, pemakaian 2 agonis. Pencetus: infeksi viral saluran napas, aeroallergen seperti bulu binatang, allergen dalam rumah, seasonal aeroallergen, udara dingin dan kering, olahraga, emosi berlebih, dan kondoso komorbid.

Gambaran secara skematis

Hiperaktivitas bronkus

Obstruksi

Factor Genetik Sensitasi Faktor Lingkungan Inflamasi Gejala Asma

Pemicu (Inducer) 2.3.4 Patologi

Pemacu (Enhancer)

Pencetus (Trigger)

Asma ditandai 3 kelainan utama pada bronkus yaitu bronkokonstriksi otot bronkus, inflamasi mukosa dan bertambahnya secret yang berada pada jalan napas. Pada stadium permulaan terlihat mukosa jalan napas pucat, terdapat edema dan sekresi lendir bertambah. Lumen bronkus dan bronkiolus menyempit akibat spasme. Terlihat kongesti pembuluh darah, infiltrasi sel eosinofil bahkan juga dalam secret di dalam lumen saluran napas. Bila serangan terjadi sering dan lama atau dalam stadium lanjut, akan terlihat deskuamasi epitel, penebalan membrane hialin basal, hiperplasi serat elastin, hiperplasi, dan hipertrofi otot bronkus dan sejumlah sel goblet bertambah. Kadang-kadang pada asma menahun atau pada serangan yang berat terdapat penyumbatan bronkus oleh mukus yang kental yang mengandung eosinofil. 2.3.5 Patogenesis Asma merupakan penyakit obstruksi jalan napas yang reversible dan ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan napas hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia, tetapi paling sering muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar

kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki penyakit atopik terkait lainnya, terutama rhinitis alergika dan dermatitis atopik. Langkag pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi linmfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4 dan MHC kelas I pada sel T CD8). Sel dendritik meriupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblast, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjad matang sebagai APC yang efektif. Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitih terhadap allergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat disbanding fase awal. Meliputi pergerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinogil, sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi kea rah Th2, slenajutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat. Pada remodeling saluran respiratoru terjadi serangkaian proses yang

menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran

respiratori melalui proses dideferensiasi, migrasi, differensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinasi antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase, produksi berlebih factor pertumbuhan profibrotik atau transforming Growth factors, dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodeling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memprodiksi factor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran repiratori, dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.

Gambar 1. Patogenesis asma Hipertrofi dan hiperpalasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan berat, secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatlkan

perubahan struktur yang bervariasi. Remodeling juga merupakan hal pentng pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutyama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (1-2 tahun) atau tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid. Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.

Faktor resiko Inflamasi

Faktor resiko

Hiperaktivitas Bronkus

Gejala

Faktor resiko

Obstruksi Bronkus

Inhalasi allergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal , menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepas oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeable dan memudahkan allergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.

Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non spesifik Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuatr seperti leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus. 2.3.6 Patogenesis 2.3.6.1 Fase-fase terjadinya obstruksi bronkus Pada serangan asma terjadi obstruksi bronkus. Obstruksi bronkus dapat mulai ringan dan sebentar sampai yang berat dan lama serta mulai yang intermitten sampai yang terus menerus. Terjadinya obstruksi bronkus dapat dimulai dari aktivitas biologic pada mediator sel mast dan dapat dibagi dalam 3 fase utama. 1. Fase cepat dan spasmodic

Jika ada pencetus terjadilah peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10-15 menit. Reaksi tersebut dapat hiilang segera baik secara spontan maupun dengan bronkodilator. Fase cepat ini kemungkinan besar melalui kerja histamine terhadap otot polos secara langsung atau melalui refleks vagal. Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis histamine H1 dan H2 sebelumnya. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid untuk beberapa saat sebelumnya, tapi pemberian kortikosteroid beberapa hari sebelumnya dapat mencegah reaksi ini. 2. Fase lambat dan lama

Rangsangan bronkus oleh allergen spesigik menyebabkan peninggian tahanan saluran napas yang menghebat maksimum setelah 6-8 jam. Pathogenesis berhubungan reaksi dengan yang tergantung pada IgE, jam biasanya setelah pengumpulan neutrofil 4-8

rangsangan. Reaksi lambat mungkin juga berhubungan dengan reaktivasi sel mast. Lekotrin, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat dengan pemberian kromoglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya. 3. Fase inflamasi sub-akut atau kronik

Asma yang berlanjut yang tidak diobati atau kurang tekontrol berhubungan dengan inflamasi di dalam dan disekitar bronkus. Pada otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuclear. Sering ditemukan sumbaran bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuclear terjadi akibat faktor kemotaktik dari sel mast. Akhir-akhir ini ditemukan bahwa Platelet activating factor dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan mukosa bronkus.

Kedua kelainan bronkus ini juga seting didapatkan pada otopsi anak yang meninggal karena asma. PAF juga menyebabkan bronkokonstriki yang lebih kuat. Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Mukus selain mengandung sel eosinofil juga mungkin mengandung sel-sel lainnya, Kristal Charcot-Leyden dan spiral Curshmann. Eosinofil di dinding bronkus, dahak, dan darah merupakan tanda penting. 2.3.6.2 Hiperaktivitas Saluran Respiratori Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran napas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut. Saluran respiratori dikatakan hiperaktif atau hiperesponsif jika pada pemberian histamine dan metakolin dengan konsentrasi kurang dari 8g% didapatkan penurunan FEV1 20% yang merupakan karakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit lainnya seperti PPOK, fibrosis kistik, dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosis, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas. Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut, dan sel lain yang terdapat di saluran napas untuk mengeluarkan mediatornya. 2.3.6.3 Otot polos saluran repiratori Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus. Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada apartus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ekstraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan

kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pada struktur filament kontraktilitasa tau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran napas yang terjadi secara kronik. Peran pergerakan aliran udara pernapasan dapat diketahui melalui hipotesis perturbed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran napas mengalami kekauan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi yang timbul sekunder terhadap inflamasi saluran napas, kemudian menyebabkan timbuklnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan recoil elastis. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast seperti triptase dan protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamine. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran napas. 2.3.6.4 Hipersekresi mucus Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator. Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalandan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang berasal dari mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari selinflamasi yang mengalami lisis. Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia

danmekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi olehmediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease. 2.3.7 Diagnosis Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asmadan/atau atopi pada pasien atau keluarga. Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flowmeter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya. 1. Variabilitas pada PFR atau FEV1 lebih dari 20% 2. Kenaikan 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator 3. Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak secara arbitreri PNAA membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakitParameter klinis Kebutuhan obat dan faal paru 1. Frekuensi serangan Asma episodic jarang (asma ringan) 3-4x / 1 tahun Asma Episodic sering (asma sedang) 1x / bulan Asma persisten (asma berat)

2. Lama serangan

< 1 minggu

1 minggu

Hampir sepanjang tahun, tidak ada remisi Berat Gejala siang dan malam Sangat terganggu Tidak pernah normal Perlu, steroid inhalasi 400g/hari PEF/FEV1 80% 20%

Tabel 2. Penentuan Dejat Serangan Asma