att_1434859966295_lapsus svt

30
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ARITMIA SUPRAVENTRIKULAR PENDAHULUAN Aritmia dapat merupakan kelainan sekunder akibat penyakit jantung atau ekstrakardiak, tetapi dapat juga merupakan kelainan primer. Kesemuanya mempunyai mekanisme yang sama dan penatalaksanaan yang sama juga. Kelainan irama jantung ini dapat terjadi pada pasien usia muda ataupun usia lanjut. [2] Aritmia dapat dibagi menjadi kelompok aritmia supraventrikular dan aritmia ventrikular berdasarkan letak lokasi yaitu apakah di atrial termasuk AV node dan berkas His ataukah di ventrikel mulai dari infra his bundle. Selain itu aritmia dapat dibagi menurut denyut jantung yaitu bradikardia ataupun takikardia, dengan nilai normal berkisar antara 60- 100/menit. Tergantung dari letak fokus, selain menyebabkan VES (Ventrikular Extra Systole), dapat terjadi Supraventricular Extra Systole (SVES) atau Supra Ventriculare Tachycardy (SVT) dimana fokusnya berasal dari berkas His ke atas. AVNRT (AV Nodal Reentry Tachycardia) merupakan salah satu dari SVT di mana terjadi proses reentry mechanism di sekitar nodus AV. Pada bab ini akan membahas tentang aritmia dengan fokus di supra ventrikel yang bersifat takikardia. [2] 21

Upload: marmutkupluk1396920

Post on 17-Jul-2016

42 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

ATT_1434859966295_Lapsus SVT

TRANSCRIPT

Page 1: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

ARITMIA SUPRAVENTRIKULAR

PENDAHULUAN

Aritmia dapat merupakan kelainan sekunder akibat penyakit jantung atau ekstrakardiak,

tetapi dapat juga merupakan kelainan primer. Kesemuanya mempunyai mekanisme yang

sama dan penatalaksanaan yang sama juga. Kelainan irama jantung ini dapat terjadi pada

pasien usia muda ataupun usia lanjut.[2]

Aritmia dapat dibagi menjadi kelompok aritmia supraventrikular dan aritmia

ventrikular berdasarkan letak lokasi yaitu apakah di atrial termasuk AV node dan berkas His

ataukah di ventrikel mulai dari infra his bundle. Selain itu aritmia dapat dibagi menurut

denyut jantung yaitu bradikardia ataupun takikardia, dengan nilai normal berkisar antara 60-

100/menit. Tergantung dari letak fokus, selain menyebabkan VES (Ventrikular Extra

Systole), dapat terjadi Supraventricular Extra Systole (SVES) atau Supra Ventriculare

Tachycardy (SVT) dimana fokusnya berasal dari berkas His ke atas. AVNRT (AV Nodal

Reentry Tachycardia) merupakan salah satu dari SVT di mana terjadi proses reentry

mechanism di sekitar nodus AV. Pada bab ini akan membahas tentang aritmia dengan fokus

di supra ventrikel yang bersifat takikardia. [2]

MEKANISME TAKIARITMIA[2]

Ada beberapa teori yang menerangkan mekanisme takiaritmia, yang biasanya dipicu oleh

premature beat. Mekanisme ini tergantung dari peran ion-ion natrium, kalium, kalsium,

khususnya mengenai fungsi kanal ion, sehingga berpengaruh terhadap potensial aksi dan juga

konduksi elektrisnya. Gangguan ini dibagi menjadi gangguan fungsi pembentukan impuls

(rangsang) dan gangguan perbanyakan (propagation) impuls.

Pembentukan rangsang bertambah (enchanced impulsed formation) yang dapat

disebaban oleh peningkatan otomatisitas (enhanced autmaticity) dan aktivitas pemicu

(triggered activity).

21

Page 2: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

Peningkatan automatisitas: Aktivitas pacemaker otomatis selain pada nodus SA, juga

didapat pada serabut atrial khusus, serabut AV junction dan serabut Purkinje. Sel miokard

pada keadaan normal tidak mempunyai aktivitas sebagai pacemaker. Peningkatan

automatisitas serabut pacemaker laten karena terjadi depolarisasi parsial pada resting

membrane. Terjadi perubahan kecepatan depolarisasi pada fase diastolik yaitu percepatan

fase 4 sehingga automatisitas meningkat. Bila mencapai ambang rangsang, akan terjadi aksi

potensial baru sehingga dengan demikian mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut

jantung. Keadaan ini didapat pada: (1) peningkatan katekolamin endogen dan estrogen, (2)

gangguan elektrolit(misal hipokalemia), (3) hipoksia atau iskemia, (4) efek mekanis, dan (5)

obat-obatan (misal digitalis).

Aktivitas Pemicu (triggered activity): Dapat disebabkan oleh early after depolarization,

yang terjadi pada fase 2 dan fase 3 potensial aksi atau pada after depolarisasi terlambat

(delayed). Karena itu mekanisme ini terjadi tidak secara spontan, tetapi sudah ada gangguan

elektris jantung. Setelah hiperpolarisasi akhir (late), Na dan Ca yang masuk ke dalam sel

meningkat, sehingga terjadi gelombang sesudah (after) depolarisasi dan bila mencapai

ambang rangsang maka akan terjadi ekstrasistol. Mekanisme ini telah diobservasi terjadi di

atrial, ventrikel dan jaringan His-Purkinje di mana kadar katekolamin meningkat,

hiperkalsemia, intoksikasi digitalis atau pada bradikardia, hipokalemia. Semua keadaan ini

menghasilkan akumulasi Ca intracellular.

Mekanisme Reentry: Teori ini banyak dipakai untuk menerangkan terjadinya takiaritmia

paroksismal menetap (sustain). Persyaratan terjadinya mekanisme ini adalah: (1) adanya blok

unidirectional pada salah satu jalan konduksi, baik sementara maupun menetap, (2) adanya

jalan tambahan sehingga membentuk sirkuit tertutup, (3) Konduksi perangsangan cukup

lambat, sehingga pada saat rangsang sampai di titik blok, titik tersebut sudah berada dalam

fase refrakter relatif kembali, (4) ada extra beat sebagai pemicu terjadinya mekanisme reentri.

Secara matematis panjang gelombang = kecepatan konduksi x masa refrakter.

Perjalanan berulang dari impuls tersebut mengakibatkan timbulnya takiaritmia

menetap. Contoh yang jelas mekanisme ini adalah pada sindrom WPW (Wolf Parkinson

White) di mana terdapat jalan tambahan misal dari atrium ke ventrikel, di samping jalan

normal pada nodus AV-His-Purkinje.

Perlambatan konduksi terjadi, jika terjadi fibrosis patologis karena jaringan parut

(scar) akibat infark miokard. Blok unidireksional terjadi karena perubahan arsitektur jaringan

22

Page 3: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

sehingga tidak homogen sehingga menyebabkan refrakter yang inhomogen misal karena

infark miokard.

SINUS TAKIKARDIA: Frekuensi nadi melebihi 100/menit dan biasanya bukan merupakan

kelainan jantung primer, tetapi akibat sekunder karena berbagai stres, yaitu demam,

kehilangan cairan, khawatir, latihan, tirotoksikosis, hipoksemia, atau gagal jantung kongestif.

Pada gambaran EKG terlihat gelombang P masih jelas dan masih diikuti oleh gelombang

kompleks QRS. Masase sinus karotis bisa memperlambat takikardia.

Pengobatan: ditujukan pada penyakit primer. Lain halnya bila terdapat kasus gagal jantung

kongestif, yaitu pemberian penyekat beta haruslah bersama dengan inhibitor ACE atau

Angiotensin Receptor Blocker.

FIBRILASI ATRIAL (FA): Kelainan ini sering didapat dan dibagi menjadi paroksismal,

persisten dan permanen tergantung dari cara timbul dan lamanya bertahan.

Bila timbul secara mendadak dan hilang spontan dalam waktu 2x24 jam, disebut paroksismal.

Bila terus menerus menetap menjadi kronik disebut permanen. Sedangkan persisten adalah

bila bertahan sampai 7 hari. Dapat terjadi pada manusia normal terutama karena stres

emosional atau sesudah operasi, latihan, intoksikasi alkohol akut atau karena peningkatan

tonus vagal. Dapat juga terjadi pada pasien jantung atau paru dengan hipoksia, hiperkapnia,

atau gangguan metabolik atau gangguan hemodinamik. FA persisten sering terdapat pada

pasien jantung, yaitu reuma jantung, penyakit katup mitral non reuma, penyakit hipertensi

kardiovaskular, penyakit paru kronik, defek septal atrial, juga pada tirotoksikosis. Sedangkan

lone FA bila pasien tidak mengidap penyakit jantung.

Fibrilasi atrial dapat menimbulkan komplikasi yang berkaitan dengan (1) frekuensi ventrikel

yang sangat cepat sehingga terjadi hipotensi, edema paru, angina pectoris dan dapat juga

menyebabkan kardiomiopati yang disebabkan oleh takikadia (tachycardia-mediated). (2) Bila

terlalu lambat dapat menimbulkan sinkop. (3) Emboli sistemik yang biasanya terjadi pada

pasien dengan demam reuma jantung dan sebagai penyebab tersering stroke non hemoragik.

(4) Hilangnya kontraksi atrial sehingga mengurangi curah jantung output dengan akibat

terjadi fatigue. (5) Rasa khawatir (ansietas) dengan palpasi. Pada gambaran EKG gelombang

23

Page 4: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

P tidak terlihat dengan jelas. Respon aksi ventrikel (gelombang kompleks QRS) tidak teratur

(iregular). Hal ini terjadi karena dari sekian banyak aksi atrial, tetapi hanya sebagian impuls

yang dapat melewati nodus AV, sehingga frekuensi aksi ventrikel lebih lambat daripada aksi

atrial.

Pengobatan: Penyakit primer harus diobati, seperti tirotoksikosis, panas dan lainnya. Bila

keadaan klinis buruk, misal hemodinamik menurun, dapat dilakukan kardioversi.

Bila keadaan masih cukup baik, dapat diberikan obat penyekat beta atau antagonis

kalsium, di mana keduanya memblokade di nodus AV yaitu pada slow conduction pathway,

dengan memperpanjang masa refrakternya. Pemberian antikoagulan sampai INR minimal 1,8

untuk mencegah emboli. Pada pasien FA kronik tujuan pengobatan adalah untuk kontrol rate

yaitu dengan penyekat beta, atau antagonis kalsium atau digitalis.

Sedangkan pada pasien yang telah kembali ke irama sinus dapat diberikan obat-

obatan golongan IC, sotalol, amiodaron untuk mempertahankan iramanya, yaitu sebagai

kontrol ritme.

Penatalaksanaan Farmakologis

Penyakit dasarnya seharusnya diobati juga disamping penatalaksanaan terhadap aritmianya

sendiri, seperti gagal jantung, PJK, perbaikan elektrolit dan lainnya.

Pada pasien usia lanjut harus diperhatikan efek samping, berkenaan dengan sudah

menurunnya fungsi hepar, renal, distribusi dengan berkurangnya volume cairan tubuh. Selain

itu dilihat juga interaksi obat-obat dan juga dihindari polifarmaka.

Obat-obatan aritmia yang digunakan pada pengobatan AF adalah: (A). (1) kelompok

kontrol rate untuk mengatasi denyut nadi, yaitu golongan penyekat beta (kelas II), (2)

golongan antagonis kalsium yaitu verapamil, diltiazem (kelas IV). Disamping itu dapat

dipergunakan juga digitalis. (B) adalah kelompok rhytme control untuk mengkonversi dari

AF ke irama sinus, yaitu: (1) Golongan yang memblokade kanal ion Na (kelas IA, IC) yaitu

antara lain kuinidin, propafenon. (2) kelas III yang memperpanjang masa refrakter potensial

aksi dengan menghambat kanal ion K, yaitu amiodaron, sotalol.

Intervensi Invasif

24

Page 5: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

Yang paling sederhana adalah dengan menggunakan defibrilator untuk mengatasi VT

dan VF yang termasuk dalam resursitasi jantung paru.

Ablasi biasanya dilakukan pada AF paroksismal. Biasanya tipe ini dipicu oleh fokus

otomatis yang berlokasi di vena pulmonalis. Dengan menggunakan teknik kateterisasi

sampai ke atrium kiri mencapai vena pulmonalis kemudian setelah didapat signal

fokus, dilakukan ablasi. Selain itu ada juga teknik bedah MAZE dengan membentuk

multiple scars di atria kanan dan kiri sehingga mencegah penjalaran gelombang

fibrilasi.

FLUTTER ATRIAL (FIAT) Aritmia ini biasanya berkaitan dengan penyakit jantung

organik. Flutter ini dapat terjadi secara paroksismal dengan faktor presipitasi seperti

perikarditis, gagal nafas akut. Dapat juga terjadi dalam minggu pertama setelah operasi

jantung terbuka. FIAT dapat berubah menjadi AF dan jarang menimbulkan emboli sistemik.

FIAT mempunyai kekhasan berupa gambaran gelombang P seperti gigi gergaji (saw

teeth), mempunyai frekuensi atrial sekitar 250-350/menit. Sedangkan frekuensi ventrikel

adalah setengahnya karena terjadi blok 2:1 di nodus AV.

Pengobatan. Yang paling efektif adalah dengan kardioversi dengan low energy (25-50Ws).

Selain itu bila frekuesnsi ventrikel meningkat dapat diturunkan dengan antagonis kalsium

atau penyekat beta atau digitalis yang memblokade di nodus AV. Kemudian setelah itu dapat

diberikan anti aritmia golongan IA atau IC atau amiodarone untuk merubah kembali menjadi

irama sinus. Untuk menjaga jangan sampai kembali ke FIAT dapat diberikan golongan IA,

IC, atau golongan II.

Ablasi dengan radiofrekuensi biasanya dilakukan di lokasi sekitar katup trikuspidal yaitu

pada daera isthmus yang sempit. Keberhasilan cukup tinggi sampai 85%.

SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDI PAROKSISMAL (PSVT) [2, 3]

Penemuan Klinis

Supraventrikular takikardi paroksismal adalah istilah imim yang menunjukkan takiaritmia

yang muncul di atas bifurkasio dari His bundle. Letak kelainan adalah di nodus AV. Sekitar

25

Page 6: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

90% dari aritmia ini muncul karena mekanisme reentrant; sisanya 10% muncul karena

kenaikan automatisitas.

ATRIOVENTRICULAR NODAL REENTRANT TACHYCARDIA (AVNRT)

Termasuk Paroksismal supra takikardia ventrikular, dan merupakan bentuk kelainan yang

umum dari PSVT, berkisar 50-60% dari kasus yang ada. Kompleks QRS langsing dengan

frekuensi berkisar antara 120-250/menit dan dipicu oleh atrial ekstra sistol dan berkaitan

dengan PR memanjang karena terjadi keterlambatan konduksi di dalam nodus AV. Dalam

nodus AV terdapat dua jalur yaitu jalur cepat dan jalur lambat yang disebut dengan dual

pathway. Jalur cepat memberikan konduksi yang cepat serta mempunyai periode refrakter

panjang sedangkan jalur lambat memberikan konduksi lambat dengan periode refrakter

pendek. Pada irama sinus konduksi rangsang hanya melalui jalur cepat sehingga interval PR

normal. Dengan adanya atrial ekstra sistol, terjadi blokade di jalur cepat sehingga konduksi

rangsang berikutnya dialirkan melalui jalur lambat dan selain itu kecepatan rambat menurun,

sehingga memenuhi persyaratan untuk terjadi reentry AV nodal dan terjadilah takikardia dan

disebut AV nodal reentrant tachycardia. Aktivasi atrial retrograd dan ventrikel antegrad

terjadi bersamaan sehingga gelombang P tak terlihat di EKG. Seringkali, pasien dengan

AVNRT tidak memiliki dasar penyakit jantung. Faktor presipitasi yang sering termasuk

alkohol, kafein, dan simpatomimetik amin. Pasien dengan AVNRT biasanya berumur dekade

ketiga atau keempat, dan mayoritas (sekitar 70%) adalah perempuan.

ATRIOVENTRICULAR RECIPROCATING TACHYCARDIA (AVRT)

Berjumlah sekitar 30% dari PSVT. Pada kebanyakan kasus, impuls turun ke nodus AV dan

mengikuti jalur retrograd ke jalur accessory bypass. Karena aktivasi dari venrikel melalui

jalur konduksi normal, jalur asesori ini terselubung, dan morfologi QRS normal. Pikirkan

AVRT apabila denyut jantung lebih cepat dari 200 denyut/menit atau apabila gelombang P

terlihat mengikuti kompleks QRS.

SINUS NODE REENTRY DAN INTRA-ATRIAL REENTRY

Adalah penyebab yang kurang umum dari PSVT, berkisar sekitar 5% dari kasus. Pada aritmia

ini, denyut jantung biasanya 130-140 denyut/menit. Lebih sering, pasien dengan aritmia ini

memiliki dasar penyakit jantung.

AUTOMATIC ATRIAL TACHYCARDIA

26

Page 7: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

Adalah penyebab yang kurang umum juga pada aritmia, berkisar kurang dari 5% dari PSVT.

Denyut jantung biasanya 160-250 denyut/menit tapi dapat juga lambat sekitar 140

denyut/menit. Pada kasus ini, mekanisme yang mendasari meningkatkan automatisitas

daripada reentri. Automatic atrial tachycardia biasanya dikaitkan dengan dasar penyakit

jantung. Aritmia ini sulit untuk diobati dan dapat muncul kembali dengan pengukuran standar

termasuk kardioversi.

PSVT dapat diklasifikasikan menjadi AV Nodal Dependent atau independent. Strategi ini

terbukti berguna, yang berarti bahwa nodus AV terkait dengan sirkuit reentran. Untuk ritme

ini, manajemen farmakologik didesign untuk mengurangi konduksi melalui nodus AV.

Gambaran Klinis berupa palpitasi, dapat terjadi sinkop dengan hipotensi.

Terapi

Pasien tidak stabil[3]

Pasien dengan PSVT dengan hemodinamik yang tidak stabil membutuhkan sinkronisasi

DC kardioversi dengan segera. Rekomendasi adalah memulai dengan level energi yang

rendah (50 joules [J]) dan lalu menaikan dosis inisial dari 50 J seperti yang diperlukan

sampai ritme sinus dapat pulih. Apabila keadaan klinis mengijinkan, berikan sedasi intravena.

Hindari kesalahan umum dalam menunda kardioversi darurat untuk dilakukan aktivitas

perawatan yang lainnya. Apabila kardioversi segera tidak tersedia, manuver fisik yang

menyebabkan stimulasi vagal dapat dicoba.

Pasien stabil[3]

Takikardia yang terkait dengan PSVT biasanya dapat dengan baik ditoleransi ecuali pasien

memiliki dasar penyakit jantung atau disfungsi ventrikel kiri.

1. Manuver fisik – pada pasien yang stabil, manuver fisik yang menyebabkan stimulasi

vagal dapat dicoba sebelum pemberian medikasi. Manuver yang menstimulasi saraf

vagal seperti manuver valsava(ekspitasi melawan penutupan glotis), manuver Muller

(inspirasi dalam melawan penutupan glotis), cold water facial immersion, gagging,

dan tindakan pijat sinus karotikus sebagai manipulasi vagal dapat dicoba untuk

menghentikan PSVT yang disebabkan dari mekanisme dependen nodus AV dan

nodus sinoatrial (SA). Penekanan pada bola mata tidak boleh dilakukan. Lakukan

pijatan sinus karotikus hanya sesudah auskultasi dari bising karotis.

27

Page 8: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

2. Pengobatan farmakologis – apabila stimulasi vagal terkontraindikasi atau tidak

efektif, adenosin dipertimbangkan sebagai terapi medikal lini pertama untuk konversi

dari PSVT. Secara umum, agen farmakologis dengan properti penghambat AV seperti

adenosin, β-bloker, calsium channel blocker, dan digoksin digunakan untuk

manajemen akut dan prevensi pada AV nodal dependent PSVT. Agen antiaritmik lain

seperti prokainamide dan amiodarone, yang memiliki efek pada level yang bervariasi

dari sistem konduksi jantung digunakan untuk manajemen dan prevensi dari AV nodal

independent PSVT. Pengobatan antiaritmik dapat dipertimbangkan untuk konversi

dari PSVT ketika agen penghambat nodus AV tidak berhasil.

Bila tak berhasil dapat diberikan adenosin intravena. Selain itu dapat dilakukan

dengan verapamil atau penyekat beta. Sedangkan digitalis, awitan aksinya lebih

lambat sehingga tidak dianjurkan pada keadaan akut. Bila tak berhasil dapat dilakukan

dengan pancing atrial atau ventrikel melalui intravena. Dalam keadaan hemodinamik

jelek dengan hipotensi atau iskemia berat, dipertimbangkan untuk dilakukan

kardioversi.

a. Adenosin – adenosin adalah nukleosid endogenus yang memperlambat konduksi

melalui nodus AV dan terbukti berhasil untuk menterminasi lebih dari 90% dari

PSVT yang disebabkan oleh mekanisme AV nodal reentry (AVNRT dan AVRT).

Adenosin dapat juga efektif untuk menterminasi sinus node reentry tachycardia.

Seringkali adenosin akan menyebabkan blok AV yang sementara, secara singkat

mengekspos aktivitas atrial yang mendasari. Pemberian medikasi dengan efek

yang memanjang dari nodus AV (β-bloker atau calcium channel blocker) dapat

mengurangi reduksi yang lebih tetap pada ritme ventrikular.

Pemberian adenosin secara cepat, dan diikuti secepatnya dengan bilasan 20 cc

salin setiap dosisnya. Pemberian dosis inisial intravena adalah 6 mg dalam 1-3

detik. Apabila hal ini tidak menterminasi PSVT, dosis sebesar 12 mg dapat

diberikan dalam 2 menit. Dosis 12 mg dapat diulang satu kali apabila

diperlukan. Efek samping yang umum termasuk kemerahan pada wajah,

hiperventilasi, dispnue, dan nyeri dada. Efek samping ini biasanya sementara

karena pendeknya waktu paruh dari adenosin (kurang dari 5 detik). Peringatan

pada pasien akan gejala ini membantu. Efek dari adenosin diantagoniskan oleh

kafein dan theofilin dan dipotensiasi oleh dipidamol dan karbamazepin. Pasien

dengan transplan jantung dapat sensitif secara berlebihan kepada efek dari

28

Page 9: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

adenosin; apabila dibutuhkan, gunakan dosis yang lebih kecil. Karena

adenosin dapat memprovokasi bronkospasme, gunakanlah dengan hati-hati

apabila pemberiannya diberikan pada pasien dengan riwayat penyakit jalan

nafas reaktif.

Adenosin juga dapat diberikan pada pasien yang stabil dengan

takikardia dengan kompleks QRS yang melebar yang dicurigai berasal dari

supraventrikular. Adenosin lebih dipilih daripada calcium channel blocker

pada pasien dengan hipotensi atau gangguan fungsi jantung dan pada pasien

yang secara konkomitan menerima agen yang memblok β-adrenergic.

b. Β-blocking agents – β-bloker seperti metoprolol atau esmolol memperlambat

formasi impuls nodus SA dan konduksi lambat melalui nodus AV. Medikasi ini

harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit saluran

nafas reaktif yang berat dan CHF.

Metoprolol adalah alternatif dari calcium channel blocker dan diberikan secara

intravena dengan dosis 5 mg setiap 5 menit untuk tiga dosis. Esmolol adalah

penyekat β selektif β1 yang kerjanya sangat pendek yang memiliki

keuntungan dari waktu paruh yang singkat (~10 menit) dan onset cepat.

Pemberian dosis loading 0.5 mg/kg selama satu menit. Hal ini diikuti dengan

infus pemeliharaan 50µg/kg/menit. Apabila respon inadekuat, dosis lain dari

0.5µg/kg/menit dapat diberikan setelah 4 menit dan infus pemeliharaan

ditingkatkan ke 100µg/kg/menit. Ketika denyut jantung dicapai, kurangi infus

pemeliharaan ke 25µg/kg/menit.

c. Calcium channel blocker

Calcium channel blocker seperti diltiazem atau verapamil efektif untuk

mengkonversikan PSVT ke ritme sinus. Efikasi dari diltiazem dan verapamil

dalam hal seperti tingkat konversi, kecepatan respon, dan profil keamanan

tampaknya mirip. Medikasi ini menurunkan konduksi nodus SA dan AV dan

menyebabkan perpanjangan dari periode refrraktori nodus AV. Calcium channel

blocker juga menurunkan kontraktilitas miokardial dan resistensi vaskular perifer.

Penggunaan calcium channel blocker dengan hati-hati pada pasien dengan

disfungsi ventrikel kiri atau CHF. Hindari medikasi ini pada pasien dengan WCT

dengan asal yang tidak diketahui, ventrikular takikardi (VT), atau takikardia

29

Page 10: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

dengan preeksitasi ventrikular. Hipotensi adalah efek samping yang paling

mengkhawatirkan dari pemberian intravena dan muncul pada 10-15% dari pasien.

(1) Verapamil – dosis inisial dari verapamil adalah 5-10 mg diberikan intravena

selama 1-2 menit. Dosis tambahan 5-10 mg dapat diberikan setiap 15 menit

bila diperlukan sampai efek yang diinginkan dicapai atau total 30 mg telah

diberikan.

(2) Diltiazem – dosis inisial dari diltiazem adalah 0.25 mg/kg diberikan secara

intravena selama 2 menit (20 mg untuk rata-rata orang dewasa). Apabila

diperlukan, dosis 0.35 mg/kg dapat diberikan dalam 15 menit. Setelah

konversi, infus pemeliharaan dapat dimulai pada 5-10 mg/jam dan dapat

ditingkatkan pada maksimum 15 mg/jam apabila diperlukan.

Pilihan antara β-bloker dan calcium channel blocker tergantung pada

multipel faktor, tetapi keduanya tidak boleh diberikan secara intravena untuk

pasien yang sama. Keduanya memiliki onset yang cepat (menit) dan keduanya

harus digunakan dengan hati-hati pada PPOK dan CHF yang berat. Medikasi

yang mana pasien sedang jalankan dan pilihan dokter harus dipertimbangkan.

Pada pasien dengan hipertiroidisme dan penyakit jantung kongenital, β-bloker

adalah pilihan yang terbaik.

d. Digoksin

Pemberian digoksin meningkatkan tonus vagal sementara mengurangi aktivitas

simpatetik. Sebagai hasilnya, konduksi melalui nodus AV diperlambat. Digoksin

dapat diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0.5 mg. Dosis tambahan dari

0.25 mg dapat diberikan apabila dibutuhkan setiap 4-6 jam, dengan dosis total

tidak melebihi 1.25 mg dalam 24 jam. Keuntungan segera digoksin dikurangi

melalui aksi onsetnya yang lambat. Ketika digunakan dengan kombinasi, digoksin

memungkinkan pemberian agen antiaritmik yang diberikan bersamanya dengan

dosis yang lebih rendah. Hindari digoksin pada pasien dengan AF pada preeksitasi

ventrikular.

e. Amiodarone

Amiodarone adalah agen antiaritmia kelas III dengan properti penghambat kanal

natrium dan kalium dan penghambat β dan properti penghambat kanal kalsium.

Berdasarkan dari penghambat β dan properti penghambat kanal kalsium,

amiodaron memperlambat konduksi melalui nodus AV lebih dari 10 menit. Hal ini

30

Page 11: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

diikuti dengan infus pemeliharaan 1 mg/menit untuk 6 jam dan kemudian 0.5

mg/menit. Dosis bolus tambahan 150 mg dapat diulangi bila dibutuhkan untuk

PSVT yang resisten atau berulang sampai dengan dosis total harian 2 gram.

f. Prokainamid

Prokainamid adalah agen antiaritmik kelas IA dengan properti penghambat kanal

natrium. Prokainamid akan memperlambat konduksi melalui baik nodus AV, dan

apabila ada accessory bypass tract. Prokainamid dapat dipertimbangkan pada

pasien dengan PSVT refrakter dengan agen penghambat nodal AV. Dosis loading

yang direkomendasikan dari prokainamid adalah 17 mg/kg diberikan dengan infus

intravena lambat dengan ritme 20-30 mg/menit (1 gram untuk dewasa rata-rata).

Hentikan infus inisial apabila aritmia ditekan, munculnya hipotensi, atau

pelebaran kompleks QRS lebih dari 50% dari durasi normalnya. Setelah aritmia

tertekan, mulailah infus pemeliharaan sekitar 1-4 mg/menit.

NON REENTRANT TACHYCARDIA: MULTIFOCAL ATRIAL TACHYCARDIA (MAT)

Biasanya terjadi karena intoksikasi digitalis atau hipokalemia atau efek teofilin atau obat

adrenergik. Gambaran EKG adalah lebih dari tiga gelombang P consecutive dengan

gambaran berbeda-beda. Interval R-R ireguler.

Pengobatan dapat diberikan penyekat beta, antagonis kalsium, dan digitalis yang bekerja di

nodus AV untuk menghentikan respons ventrikel.

OBAT ANTIARITMIA[2]

Obat-obatan antiaritmia dibagi menjadi beberapa golongan yaitu:

Kelas I. Yang berfungsi memblokade kanal Na pada membran sel sehingga menutunkan

kecepatan maksimal depolarisasi (Vmaks) pada fase 0, sehingga tidak terjadi potensial aksi

baru yang berarti mencegah timbulnya ekstrasistol. Tergantung dari intensitasnya

memblokade kanal Na tersebut, kelas I dibagi menjadi:

Kelas IA. Kinetik kerjanya intermediate, memperpanjang masa repolarisasi potensial aksi.

Menurunkan Vmaks pada semua heart rate. Contoh: kuinidin, prokainamid, disopiramid.

31

Page 12: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

Kelas IB. Kinetik kerjanya cepat dan memperpendek repolarisasi potensial aksi hanya ringan

saja. Mempunyai efek yang ringan terhadap kasus dengan heart rate rendah, tetapi

mempunyai efek besar pada kasus dengan heart rate tinggi. Contoh: lidokain, meksiletin,

fenitoin, tokainid.

Kelas IC. Kinetik kerjanya lambat dan mempunyai efek kecil terhadap repolarisasi potensial

aksi. Contoh: Propafenon, flekainid, lorkainid.

Pada penelitian-penelitian obat-obatan kelas I ini tidak menunjukkan penurunan

angka kematian secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. Bila diberikan pada pasien

usia lanjut dengan penyakit jantung sering terjadi proartimia.

Kelas II. Obat antisimpatik: menurunkan otomatisasi nodus SA, memperpanjang refrakter

nodus AV, menurunkan kecepatan konduksi nodus AV. Golongan ni adalah penyekat beta,

misal propanolol dan lainnya. Pemberian penyekat beta pada pasien pasca IMA menunjukkan

penurunan angka mortalitas secara signifikan, dengan mencegah terjadinya sudden cardiac

death dan IMA berulang. Golongan ini menunjukkan terjadinya Ventricular Activity (VA)

complex termasuk VT.

Kelas III. Golongan ini memblokade kanal kalium sehingga repolarisasi potensial aksi

diperpanjang dan pada EKG dapat dilihat dengan perpanjangan QT. Obat ini menekan

terjadinya VA kompleks, dengan memperlama periode refrakte. Contoh: amiodarone,

bretilium, sotalol (sebetulnya termasuk golongan penyekat beta). Amiodarone sangat efektif

dalam menurunkan kejadian VA kompleks yang berkaitan dengan penyakit jantung.

Nammun mesti dipehatikan efek sampingnya yang antara lain terhadap paru, saluran cerna,

dan lain-lain.

Kelas IV. Antagonis kalsium. Memperlambat kecepatan konduksi dan memperpanjang masa

refrakter dari jaringan dengan potensial aksi yang berespon lambat misal di nodus AV.

Contoh: verapamil, diltiazem. Golongan ini tidak bermanfaat pada Ventricular Arrhytmia

(VA) komplek. Pada pasien dengan VT bila diberikan verapamil intravena dapat

menyebabkan kolaps hemodinamik. Angka kematian menunjukkan kenaikan tidak signifikan

dibanding kontrol. Karena itu tidak diberikan pada pasien dengan VT.

Digitalis dan Adenosin tidak termasuk golongan anti artimia. Efek digitalis: memperlambat

ventricular rate sehingga dapat dipakai pada FA, FIAT dan atrial takikardia lain.

32

Page 13: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

Adenosin: menterminasi SVT reentrant yaitu AVNRT dan bekerja di nodus AV.

ACE INHIBITOR [2]

Pada pasien dengan gagal jantung kongestif menurut beberapa penelitian golongan obat ini

dapat menurunkan kejadian VA kompleks termasuk VT, sehingga angka sudden cardiac

death juga akan menurun.

33

Page 14: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

PNEUMOTHORAKS

DEFINISI

Pneumothoraks adalah akumulasi udara di rongga pleura disertai kolaps paru. Pneumothoraks

spontan: terjadi tanpa trauma atau penyebab jelas: [4]

Pneumothoraks spontan primer: pada orang sehat.

Faktor risiko:

- Merokok[4,5]

- Orang yang tinggi dan kurus[5]

- Sindrom marfan[5]

- Kehamilan[5]

- Pneumothoraks familial[5]

Penyebab: umumnya ruptur bleb subpleural atau bullae. [4]

Pneumothoraks spontan sekunder: pada penderita PPOK, tuberkulosis paru, asma,

cystic fibrosis, pneumonia Pneumocystis carinii, dll. [4]

Pneumothoraks traumatik adalah pneumothoraks yang didahului trauma, termasuk: biopsi

transthorakal, ventilasi mekanik, pemasangan kateter vena sentral, torakosintesis, biopsi

transbronkial, dll. [4]

PATOFISIOLOGI[5]

Pneumothoraks spontan

Pneumothoraks spontan pada kebanyakan pasien muncul dari ruptur dari bleb dan

bulae. Walaupun pneumothoraks spontan primer (PSP) didefinisikan muncul pada

pasien tanpa penyakit paru dasar, pasien ini memiliki asimptomatik bleb dan bullae

yang dideteksi oleh CT Scan atau selama thorakotomi. PSP biasanya ditemukan pada

pasien muda yang tinggi, muda tanpa penyakit paru parenkimal dan mungkin terkait

dengan peningkatan shear forces pada apeks.

Walaupun PSP terkait dengan adanya bleb pleura apikal, tempat anatomi yang tepat

dari kebocoran udara biasanya tidak pasti. Fluorescein-enhanced autoflorescence

thoracoscopy (FEAT) adalah sebuah novel method untuk memeriksa tempat

kebocoran udara pada PSP. Lesi positif FEAT dapat dideteksi walaupun terlihat

normal pada thorakoskopi dengan cahaya putih yang normal.[6]

34

Page 15: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

Pada respirasi normal, ruangan pleural memiliki tekanan negatif. Sewaktu

pengembangan dinding dada keluar, tekanan permukaan antara pleura pariteal dan

viseral mengembangkan paru ke luar. Jaringan paru secara intrinsik memiliki

elastisitas, cenderung kolaps ke dalam. Apabila ruang pleural diisi oleh gas dari ruptur

bleb, paru kolaps sampai tercapai equilibrium tercapai atau ruptur tertutup. Ketika

pneumothoraks membesar, paru mengecil. Konsekuensi fisiolgis utama pada proses

ini adalah menurunnya kapasitas vital dan tekanan parsial dari oksigen.

Peradangan paru dan stres oksidatif dihipotesiskan penting pada patogenesis PSP.[7]

Perokok aktif, menaikkan risiko PSP, memiliki peningkatan jumlah dari sel

inflammatory pada jalan nafas yang kecil. Penelitian bronchoalveolar lavage (BAL)

pada pasien dengan PSP menemukan bahwa derajat inflamasi terhubung dengan

perluasan emphysematouslike changes (ELCs). Satu hipotesis yang dihasilkan ELCs

dari degradasi jaringan paru dikarenakan ketidakseimbangan pelepasan enzim dan

antioksidan dari innate immune cells.[8] Pada satu penelitian, aktivitas erythrocyte

superoxide dismutase secara signifikan lebih rendah dan peninggian plasma

malondialdehyde pada pasien dengan PSP daripada subjek kontrol normal. [7]

Buktii-bukti menunjukkan bahwa faktor genetik mungkin penting pada patogenesis

pada banyak kasus dari PSP. Pengelompokkan keluarga yang memiliki kondisi ini

telah dilaporkan. Kelainan genetik yang terkait dengan PSP termasuk sindrom

Marfan, homosistinuria, dan sindrom Birt-Hogg-Dube (BHD).

Sindrom Birt-Hogg-Dube adalah kelainan autosomal dominan yang dicirikan dengan

tumor kulit jinak (hemartoma folikel rambut), kanker renal dan kolon, dan

pneumothoraks spontan. Pneumothorax spontan muncul pada sekitar 22% pasien

dengan sindrom ini. Gen yang bertanggung jawab untuk sindrom ini adalah gen

supresor tumor yang terletak pada band 17p11.2. Gen yang mengkode

folliculin(FLCN) diduga menjadi etiologi pada sindrom Birt-Hogg-Dube. Mutasi

multipel telah ditemukan, dan variasi fenotip ditemukan. Pada satu penelitian, 8

pasien tanpa keterkaitan kulit atau ginjal memiliki kista paru dan pneumothorax

spontan.[9] Mutasi germ-line pada gen ini telah ditemukan pada 5 pasien, dan tes

genetik tersedia.

Tension pneumothorax[5]

Tension pneumothorax muncul pada waktu disrupsi yang terkait dengan pleura

viseral, pleura pariteal, atau pohon trakeobronkial. Kondisi ini muncul ketika jaringan

yang terkena membentuk katup 1 arah dan menghambat udara yang keluar. Volume

35

Page 16: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

dari udara intrapleural yang tidak dapat diabsorbsi ini bertambah dengan tiap inspirasi

karena efek katup 1 arah. Sebagai tambahan pada mekanisme ini, penggunaan tekanan

positif dengan terapi ventilasi mekanik dapat menyebabkan udara terperangkap.

Begitu tekanan meningkat, paru ipsilateral kolaps dan menyebabkan hipoksia.

Tekanan yang lebih lanjut meningkatkan penyebab pergeseran mediastinum ke sisi

kontralateral dan menimpa dan menekan baik sisi kontralateral dan mengganggu

aliran balik vena ke atrium kanan. Hipoksia menyebabkan paru yang kolaps pada sisi

yang terkena dan paru yang tertekan pada sisi kontralateral menyebabkan

terganggunya pertukaran gas yang efektif. Hipoksia dan penurunan aliran balik vena

menyebabkan kompresi pada dinding tipis dari atrium yang mengganggu fungsi

jantung. Kinking dari vena cava inferior dipikirkan menjadi kejadian insial yang

menghambat darah ke jantung. Hal ini terbukti pada pasien trauma yang hipovolemik

dengan pengurangan aliran darah balik ke jantung.

Pada berberapa penyebab, kondisi ini secara cepat berprogresi ke insufiensi nafas,

kolaps kardiovaskular, dan, ujungnya, kematian apabila tidak disadari, dan tidak

diobati.

DIAGNOSIS[4]

Gejala: nyeri dada, akut, terlokalisir, dispnea (pada pneumothoraks ventil: tiba-tiba, makin

berat), batuk, hemoptisis.

Pemeriksaan fisik:

Takipneu,

Sisi terkena (ipsilateral):

o Statis: lebih menonjol

o Dinamis: pergerakan berkurang/tertinggal

o Fremitus: menghilang

o Perkusi: hipersonor

o Auskultasi: suara nafas melemah - menghilang

Tanda pneumothoraks tension:

o Keadaan umum sakit berat

o Denyut jantung > 140 kali/menit

36

Page 17: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

o Hipotensi

o Takipneu, pernafasan berat

o Sianosis

o Diaforesis

o Deviasi trakea ke sisi kontralateral

o Distensi vena leher

Foto thoraks: [4]

Tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal oleh ruangan lusen

PA tegak pneumothoraks kecil: tampak ruangan antara paru dan dinding dada pada

apeks,

Bila perlu foto pada saat ekspirasi: mediastinal shift, depresi difragma, ekspansi rib

cage.

CT Scan: membedakan pneumothoraks terlokulasi dari kista atau bullae

AGD: hipoksemia, mungkin disertai hipokarbia (karena hiperventilasi) atau hiperkarbia.

DIAGNOSIS BANDING[4]

Penyakit tromboemboli paru, pneumonia, infark miokardium, PPOK eksaserbasi akut, efusi

pleura, kanker paru.

PEMERIKSAAN PENUNJANG[4]

Foto thoraks, CT Scan thoraks

Analisis gas darah: bila diperlukan.

TERAPI[4]

Pneumothoraks unilateral kecil (<20%) dan asimtomatik: observasi, foto thoraks

serial.

Aspirasi: anestesi lokal di sela iga II anterior (garis midklavikula) aspirasi dengan

kateter 16F atau 18F, hingga tidak ada gas lagi keluar.

37

Page 18: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

Jika tidak resolusi dengan aspirasi atau volume udara besar: konsul bagain

bedah/subbagian bedah thoraks untuk pertimbangan pemasangan thoracostomy tube.

Tube disambungkan ke water sealed chamber, dapat disertai suction untuk 24 jam

pertama atau selama masih ada kebocoran udara. Setelah 24 jam tidak terjadi

pneumothoraks lagi: tube dapat dicabut.

Jika pneumothoraks rekuren:

o Pleurodesis kimiawi dengan zat iritan terhadap pleura, atau:

o Konsul bagian bedah/subbagian bedah thoraks untuk pertimbangan:

Pleurodesis mekanik (abrasi permukaan pleura parietal atau stripping

pleura parietal), atau

Torakoskopi, atau open thoracotomy.

Indikasi:

Kebocoran udara memanjang,

Reekspansi paru tidak sempurna

Bullae besar

Risiko pekerjaan

Indikasi relatif:

Pneumothoraks tension

Hemopneumothoraks

Bilateral pneumothoraks

Rekurenns ipsilateral/kontralateral

KOMPLIKASI[4]

Gagal nafas, pneumothoraks tension, hemopneumothoraks, infeksi/piopneumothoraks,

penebalan pleura, atelektasis, pneumothoraks rekuren, emfisema mediastinum, edema paru

reekspansi

PROGNOSIS[4]

Dubia: tergantung tipe penyakit dasar, faktor pemberat/komorbid.

DAFTAR PUSTAKA

38

Page 19: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

1. Lechtzin N. Dyspnea. In: Porter RS, Kaplan JL, Homeier BP. The Merck Manual of:

Patient Symptoms. New Jersey: Whitehouse Station; 2008. P.150-3.

2. Makmun LH. Aritmia Supraventrikel. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia; 2006. P.1528-31.

3. Bollinger BC, Heidenreich J. Cardiac Arrythmias. In: Stone CK, Humphries RL.

Current Diagnosis and Treatment: Emergency Medicine. New York: McGraw Hill;

2008. P. 580-3.

4. Ismail D, Alwi I, Rahman M, Waspadji S, Soewondo P, Subekti I, et al.

Pneumothoraks. In: Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi,

Mansjoer A. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. P. 87-9.

5. Daley BJ. Pneumothorax. http://emedicine.medscape.com/article/424547-overview.

Accessed on: April 4, 2013.

6. Noppen M, Dekeukeleire T, Hanon S, Stratakos G, Amjadi K, Madsen P.

Flouresceion-enhanced autofluorescence thoracoscopy in patients with primary

spontaneous. Am J Respir Crit Care Med. Jul 1 2006; 174(1): 26-30.

7. Tabakoglu E, Ciftci S, Hatipoglu ON, Altiay G, Caglar T. Levels of superoxide

dismutase and malondialdehyde in primary spontaneous pneumothorax. Mediators

Inflamm. Jun 2004; 13 (03):209-10.

8. Haraguchi S, Fukuda Y. Histogenesis of abnormal elastic fibres in blebls and bullae

of patients with spontaneous pneumothorax: ultrastructural and immunohistochemical

studies. Acta Pathol Jpn. Dec 1993; 43 (12):709-22.

9. Gunji Y, Akiyoshi T, Sato T, Kurihara M, Tominaga S, Takahashi K. Mutations of

the Birt Hogg Dube gene in patients with multiple lung cysts and recurrent

pneumothorax. J Med Genet. Sep 2007; 44(9):588-93.

10. Ruple J, Tailey R, Elling B, Drummonds B, Busti A, Shuster M, et al. Unstable

Tachycardia. In: Field JM. Advanced Cardiovascular Life Support: Provider Manual.

American Heart Association; 2006. P.91.

LAMPIRAN

39

Page 20: ATT_1434859966295_Lapsus SVT

40