bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
44
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumberdaya arkeologi adalah semua bukti fisik atau sisa budaya yang
ditinggalkan oleh manusia masa lampau pada bentang alam tertentu yang berguna
untuk menggambarkan, menjelaskan, serta memahami tingkah laku dan interaksi
mereka sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari perubahan sistem
budaya dan alamnya (Scovil, Gordon dan Anderson, 1977). Perkembangan
pembangunan yang semakin cepat menyebabkan sumberdaya arkeologi semakin
terancam baik rusak, hilang atau bahkan hancur oleh pembangunan. Latar
belakang tersebut memunculkan paradigma baru dalam arkeologi yaitu Cultural
Resource Management (CRM). Makna Cultural Resource Management adalah
bagaimana mengelola situs atau kawasan sumberdaya arkeologi untuk
mengakomodir beberapa kepentingan (Tanudirjo, 1998), sehingga tercapai upaya
pelestarian sumberdaya arkeologi.
Secara garis besar Cultural Resource Management menekankan pada lima
aspek. Pertama, sumberdaya arkeologi tidak dapat diperbaharui, terbatas, tidak
bisa diganti dan kontekstual. Kedua, tidak semua sumberdaya arkeologi dapat
diselamatkan dari ancaman kerusakan ataupun musnah baik karena proses alam
maupun faktor yang disebabkan oleh manusia. Ketiga, adanya berbagai
kepentingan di luar kepentingan arkeologi, yaitu masyarakat luas atau publik,
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
45
misalnya ekonomi, pariwisata, masyarakat, dan generasi mendatang. Keempat,
pembangunan atau pengembangan yang berkelanjutan. Kelima, aspek hukum dan
politis yang berarti kegiatan pengelolaan warisan budaya sesungguhnya
merupakan proses politik dan harus didasarkan pada ketentuan hukum. Oleh
karena aspek-aspek tersebut, sumberdaya arkeologi perlu dikelola secara bijak
agar berkelanjutan (sustainable) sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal
untuk kepentingan masyarakat luas (Tanudirjo dkk, 1994; Hardjasoemantri,
1997).
Indonesia adalah Negara yang kaya sumberdaya budaya. Salah satu
sumberdaya budaya yang dikenal luas oleh masyarakat adalah Candi Borobudur.
Sejak tahun 1991 Candi Borobudur telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai
Warisan Budaya Dunia (World Culture Heritage) dengan nomor C-592, sehingga
mempunyai nilai sangat tinggi dan perlu dijaga kelestariannya serta
keberadaannya agar tetap bermakna bagi generasi masa kini dan mendatang.
Candi Borobudur sebagai salah satu karya besar nenek moyang bangsa Indonesia
dan sudah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Dunia tentunya memerlukan
pemeliharaan, perawatan, dan upaya pelestarian secara khusus sesuai dengan
standar pemeliharaan sebagai tinggalan Warisan Dunia guna pertanggungjawaban
kepada UNESCO.
Pelestarian Candi Borobudur tentu tidak hanya dilakukan pada candinya
saja sebagai sumberdaya arkeologi, tetapi juga pada kawasan Borobudur yang
merupakan lingkungan Candi Borobudur pada masa lalu. Dalam konsep
pelestarian masa kini ada pandangan bahwa keberadaan bangunan candi tidak
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
46
terlepas dari kawasan di sekitarnya. Upaya pelestarian kawasan Borobudur
sebenarnya telah dilakukan sekitar tahun 1979 ketika pemerintah Republik
Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Jepang menyusun Program Taman
Arkeologi Nasional di kawasan Borobudur dan Prambanan. Dalam masterplan
yang disusun oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) kawasan
Borobudur dibagi dalam 5 zona, pengelolaan zona tersebut dilaksanakan oleh
instansi berlainan.
Zona 1 merupakan zona inti (sanctuary zone) berfungsi untuk
perlindungan monumen dan lingkungannya dengan luas area sekitar 0.078 km².
Zona 2 merupakan zona penyangga (buffer zone) yang mengelilingi Zona 1
berfungsi untuk perlindungan lingkungan sejarah dengan luas area sekitar 0.87
km². Zona 3 merupakan zona pengembangan (development zone) berfungsi
sebagai kawasan pemukiman terbatas, daerah pertanian, dan jalur hijau dengan
luas area sekitar 10,1 km². Zona 4 merupakan zona perlindungan kawasan
bersejarah (historical scenery preservation zone) berfungsi untuk penanggulangan
kerusakan terhadap peninggalan-peninggalan purbakala yang masih terpendam
dalam tanah dengan luas area sekitar 26 km². Demikian juga Zona 5 merupakan
zona perlindungan kawasan bersejarah dengan luas area sekitar 78,5 km².
Kawasan Borobudur yang dibagi menjadi 5 Zona oleh JICA (Japan
International Cooperation Agency) pada tahun 1979 dimaksudkan untuk
pelestarian dan perlindungan cagar budaya Candi Borobudur, Candi Mendut,
Candi Pawon, candi-candi maupun situs-situs lainnya. Pembagian zonasi tersebut
dapat dilihat pada peta di bawah ini.
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
47
Manajemen Kawasan Borobudur Oleh JICA (1979)
Terkait dengan pengelolaan kawasan Candi Borobudur, pada tahun 1992
dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1992 tanggal 2 Januari 1992
yang mengatur pengelolaan zona-zona di Candi Borobudur. Zona 1 menjadi
kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini diwakili oleh Balai Konservasi
Peninggalan Borobudur. Zona 2 menjadi kewenangan PT. Taman Wisata Candi
Peta 1. Peta Zonasi Kawasan Borobudur oleh JICA 1979
Sumber : Amiluhur Soeroso dan Daud Aris Tanudirjo, Paparan
Menuju Borobudur Terpadu, 2010.
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
48
Borobudur dan Prambanan (PT. TWCBP). Zona 3, 4, dan 5 menjadi kewenangan
Pemerintah Kabupaten Magelang.
Namun dalam perjalanan waktu, implementasi kebijakan terhadap
pengelolaan Zona 1, 2, 3, 4, dan 5 tidak konsisten dengan rencana induk yang
telah dibuat dalam masterplan JICA 1979. Selain itu, beberapa faktor lain juga
menyebabkan kurang efektifnya pengelolaan kawasan Borobudur antara lain
adalah kurangnya koordinasi antar lembaga pengelola Candi Borobudur dan
kawasannya. Terjadinya tekanan pembangunan di kawasan Borobudur, dan
semakin menajamnya konflik kepentingan dari berbagai pemangku kepentingan
(stakeholders) juga menjadi sebab pengelolaan yang kurang baik.
Kurangnya koordinasi antar lembaga pengelola mengakibatkan masing-
masing pengelola memutuskan kebijakan tanpa memperhatikan kewenangan
pengelola zona lainnya. Akibatnya, sering terjadi benturan perbedaan pendapat
yang berdampak merugikan pihak pengelola di zona lain dan masyarakat yang
berada di wilayah zona tersebut. Sebagai akibat lebih lanjut, kepercayaan
masyarakat menurun terhadap pengelola kawasan Borobudur khususnya di Zona
2, 3, 4, dan 5. Menurunnya kepercayaan masyarakat seiring dengan menurunnya
tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan penilaian tingkat
kesejahteraannya, masyarakat Borobudur termasuk dalam kriteria miskin di
Kabupaten Magelang (Badan Pusat Stastistik, 2009). Kondisi ini sangat ironis,
karena di Borobudur terdapat Candi Borobudur yang dalam 1 tahun
pengunjungnya mencapai kurang lebih 2 juta orang, namun masyarakat
Borobudur tidak dapat menikmati keuntungan dengan meningkatnya kunjungan
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
49
wisatawan ke Candi Borobudur. Dengan demikian, jelas bahwa pengelolaan
kawasan Borobudur mengabaikan peran masyarakat sebagai “tuan” di tanah yang
ditinggalinya, sehingga masyarakat kurang memperoleh kesejahteraan.
Secara logika dengan naiknya pengunjung Candi Borobudur tentunya
masyarakat di sekitar Borobudur akan merasakan kesejahteraan yang lebih
dibanding dengan kondisi sebelumnya. Namun kenyataannya tidak demikian
karena hasil pengelolaan Zona 2 oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur (PT.
TWCB) disampaikan langsung ke Kementerian Keuangan sehingga masyarakat
tidak banyak diuntungkan. Semestinya masyarakat memperoleh sebagian
keuntungan yang diperoleh PT. TWCB sebagai pemerataan pendapatan sehingga
mereka dapat memperoleh kesejahteraan.
Permasalahan lain juga muncul dalam pengelolaan Zona 3, 4, dan 5 akibat
kurangnya koordinasi antara pengelola ketiga zona tersebut dengan pihak
pengelola Zona 1 dalam melaksanakan kebijakan pelestarian Kawasan Borobudur.
Banyak lahan hijau yang seharusnya dilestarikan justru diijinkan dijual kepada
investor dalam rangka pengembangan aspek pariwisata Borobudur. Pada lahan-
lahan tersebut banyak didirikan bangunan untuk kepentingan bisnis yang
mengabaikan masterplan JICA yang menyatakan bahwa Zona 3, 4, dan 5
diperuntukkan bagi permukiman terbatas, pertanian, jalur hijau, dan zona
pendukung pelestarian cagar budaya Candi Borobudur.
Berbagai masalah pengelolaan yang terjadi di kawasan Borobudur
mendapat perhatian UNESCO, sehingga dilaksanakan Reactive Monitoring pada
bulan April 2003 dan bulan Februari 2006. Sebagai hasilnya, dalam sidangnya
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
50
tahun 2007 World Heritage Committee di New Zealand, dalam rangka
meningkatkan kualitas pengelolaan kawasan Borobudur, UNESCO meminta agar
pemerintah Indonesia meninjau kembali Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1992. Pemerintah Indonesia menindaklanjuti rekomendasi WHC
UNESCO dengan merevisi zonasi melalui penyusunan kembali kebijakan tata
ruang kawasan Borobudur. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lampiran
X, Nomor 29), kawasan Borobudur ditetapkan menjadi Kawasan Strategis
Nasional (KSN). Sebagai tindak lanjut penetapan tersebut, pemerintah pusat telah
menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Borobudur dan Sekitarnya.
Dalam rancangan tersebut, Kawasan Warisan Budaya Dunia Borobudur
selanjutnya disebut Kawasan Borobudur, adalah Kawasan Strategis Nasional yang
penataan ruangnya diatur oleh pemerintah pusat. Keberadaannya tentu saja
mempunyai pengaruh sangat penting terhadap budaya masyarakat, khususnya
yang berada dalam radius 5 (lima) kilometer dari pusat Candi Borobudur dan
koridor Palbapang yang berada di luar radius 5 (lima) kilometer dari pusat Candi
Borobudur. Kawasan Strategis Nasional itu sendiri dibagi atas Subkawasan
Pelestarian 1 dan Subkawasan Pelestarian 2. Wilayah Kawasan Strategis Nasional
(KSN) Borobudur mencakup tiga situs utama yaitu Candi Borobudur, Candi
Mendut, dan Candi Pawon beserta situs-situs lainnya atau yang diduga situs yang
berada di sekitarnya. Jika selama ini, pengelolaan situs-situs utama itu dilakukan
oleh beberapa pengelola secara sendiri-sendiri, maka dalam rancangan ini
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
51
semuanya harus dikelola secara terpadu sebagai bagian dari Kawasan Strategis
Nasional (KSN) Borobudur. Penelitian lapangan untuk mendukung rancangan
tersebut telah dilakukan sejak tahun 2007 – 2008, dan pada tahun 2010 Rancangan
Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Borobudur dan Sekitarnya telah selesai dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan
Umum (Napitupulu, 2010).
Kebijakan pemerintah pusat tentang Kawasan Strategis Nasional (KSN)
Borobudur yang dituangkan dalam Rancangan Peraturan Presiden Republik
Indonesia tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya
sekarang berada di Sekretariat Kabinet sedang dalam proses untuk ditandatangani
Presiden Republik Indonesia. Dalam lampiran rancangan tersebut telah disiapkan
indikasi program utama lima tahunan berikut dengan sumber pendanaan, instansi
pelaksana, dan waktu pelaksanaannya dari tahun 2013 – 2027. Program utama
tersebut yaitu perwujudan struktur ruang, perwujudan sistem jaringan prasarana,
perwujudan pola ruang (pelestarian situs Borobudur, Mendut, Pawon),
penyusunan rencana induk pengembangan kawasan Borobudur, dan penyusunan
rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi kawasan Borobudur.
Selain itu melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 Tentang
Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010,
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjalankan Program Prioritas Nasional
Tahun 2010 Nomor 11 dengan melaksanakan Program Penetapan dan
Pembentukan Pengelolaan Terpadu Cagar Budaya Kawasan Warisan Dunia Candi
Borobudur. Pada tahun 2010 telah disepakati bersama antara Kementerian
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
52
Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Magelang tentang Pengelolaan Terpadu
Kawasan Borobudur (Soeroso dkk, 2010). Namun demikian, bagaimana bentuk
lembaganya hingga kini belum ditetapkan secara pasti.
Dalam wawasan pengelolaan sumberdaya budaya (Cultural Resource
Management) setiap upaya pelestarian sumberdaya arkeologi perlu melibatkan
masyarakat. Kebijakan pengelolaan semestinya dikembangkan bersama
masyarakat dan hasilnya dimasyarakatkan secara luas (Kusumohartono, 1993).
Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar situs atau sumberdaya arkeologi
tentu memiliki potensi sosial, budaya, politik, maupun ekonomis sehingga apabila
potensi itu dikelola dengan baik akan muncul hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan antara situs dan masyarakat sekitar. Di satu sisi, jika masyarakat
dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya
arkeologi, masyarakat akan diuntungkan melalui upaya-upaya pemanfaatan situs
atau sumberdaya arkeologi itu. Di sisi lain, dengan tumbuhnya pemberdayaan
masyarakat dalam bidang sosial, budaya, politik, dan ekonomi, dapat diharapkan
di antara mereka akan muncul rasa memiliki sumberdaya arkeologi sehingga
mereka ikut peduli terhadap kelestarian sumberdaya budaya tersebut. Ini
merupakan upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya budaya yang paling
efektif dan efisien (Prasodjo, 2003).
Konsep tersebut merupakan bagian dari hasil perkembangan pemikiran
dalam bidang arkeologi yang lebih dikenal sebagai Arkeologi Publik. Pengertian
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
53
Arkeologi Publik ini seringkali dipahami dengan cara yang berbeda. Arkeologi
Publik dapat dipahami sebagai pelaksanaan kegiatan arkeologi yang harus
mendatangkan keuntungan bagi publik. Arkeologi Publik juga dapat ditafsirkan
sebagai bidang arkeologi yang banyak membahas tentang upaya-upaya
mempresentasikan hasil penelitian arkeologi kepada masyarakat. Selain itu,
Arkeologi Publik juga dapat dipandang sebagai bidang ilmu arkeologi yang
khusus menyoroti interaksi arkeologi dengan publik atau masyarakat luas. Apabila
aspek-aspek Arkeologi Publik sebagaimana dijelaskan di atas diimplementasikan
kepada masyarakat maka keberdayaan masyarakat di sekitar situs menjadi pondasi
yang kukuh bagi upaya perlindungan dan pelestarian tinggalan arkeologi di
kawasan tersebut (Prasodjo, 2003).
Konsep Arkeologi Publik tentu dapat diimplementasikan di kawasan
Borobudur. Dalam konteks itu, perlu upaya pembangunan masyarakat sekitar
Borobudur sehingga mereka dapat mendukung pelestarian kawasan Borobudur
antara lain dengan menata kembali kawasan Borobudur secara terpadu dan
menyeluruh. Mengacu konsep tersebut seharusnya masyarakat sekitar Borobudur
harus ikut aktif memberikan kontribusi dan berinteraksi dalam melestarikan
kawasan Borobudur yang telah ditetapkan menjadi Kawasan Strategis Nasional
(KSN). Hingga saat ini kondisi seperti itu belum terwujud karena masyarakat
yang berada di dalam wilayah Kawasan Strategis Nasional belum semuanya
memperoleh informasi yang jelas tentang konsep Kawasan Strategis Nasional
(KSN) yang akan diberlakukan di wilayahnya.
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
54
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, permasalahan
yang akan menjadi fokus penelitian karya tulis ini dapat dirumuskan sebagai
berikut.
1. Apakah masyarakat sekitar Borobudur telah ikut berperan serta dalam
pelestarian Warisan Budaya Dunia (World Culture Heritage) Candi
Borobudur, sesuai dengan makna Arkeologi Publik bahwa masyarakat
mempunyai peran sebagai pelindung dan pelestari situs?
2. Apakah masyarakat sekitar Borobudur telah memahami tentang upaya
pemerintah untuk melestarikan Candi Borobudur dan kawasannya dengan
menetapkan kawasan Borobudur sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN)?
3. Bagaimana kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mempresentasikan
kepada publik tentang kawasan Borobudur menjadi Kawasan Strategis
Nasional (KSN) dan pembangunan masyarakat Borobudur demi terwujudnya
upaya perlindungan dan pelestarian kawasan Borobudur?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang diajukan, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut.
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
55
1. Mengetahui peran serta masyarakat sekitar Borobudur dalam pelestarian
Candi Borobudur mengingat masyarakat mempunyai peran sebagai pelindung
dan pelestari situs.
2. Mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat terhadap penetapan
kawasan Borobudur sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN).
3. Mengetahui kebijakan presentasi publik tentang upaya mewujudkan kawasan
Borobudur menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan pembangunan
masyarakat Borobudur demi upaya perlindungan dan pelestarian kawasan
Borobudur.
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman kepada
masyarakat mengenai Kawasan Strategis Nasional (KSN) untuk meningkatkan
kelestarian kawasan Borobudur dengan melibatkan masyarakat melalui peran
serta mereka. Pemahaman dan peran serta masyarakat maupun stakeholders lain
untuk bersama-sama mengelola sumberdaya arkeologi kawasan Borobudur secara
terpadu merupakan tujuan utama untuk pengelolaan kawasan Borobudur.
Diharapkan dengan adanya peran serta masyarakat, pengelolaan kawasan ini akan
menjadi lebih baik dari yang sudah berjalan sehingga diharapkan kelestarian
kawasan Borobudur tetap terjaga untuk generasi mendatang.
D. Kerangka Pikir
Ilmu pengetahuan selalu berkembang sehingga terjadi perubahan
pemikiran. Hal itu juga terjadi dalam bidang arkeologi khususnya pada dasawarsa
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
56
1970-an yang ditandai dengan muncul istilah Arkeologi Publik (Public
Archaeology). Istilah Arkeologi Publik pertama kali dicetuskan oleh McGimsey
pada tahun 1972. Pada awalnya istilah Arkeologi Publik dipahami sebagai cabang
ilmu arkeologi modern yang fokus pada peningkatan kesadaran publik dan
edukasi mengenai arkeologi (McGimsey, 1977). Tujuannya adalah pelestarian
situs-situs prasejarah dan sejarah yang rawan dan sedang mengalami proses
penghancuran dalam tingkatan yang mengkhawatirkan dikarenakan proses alami
dan pembangunan. Maksud dari program tersebut adalah untuk memberikan
pemahaman kepada publik bahwa publik harus peduli dan sadar untuk
penyelamatan situs atau tinggalan arkeologi.
Dalam perkembangan selanjutnya istilah Arkeologi Publik (Public
Archaeology) digunakan untuk merujuk pada pengelolaan warisan budaya
(Cultural Resource Management) dan Arkeologi Konservasi (Conservation
Archaeology). Namun demikian, sekarang ini Arkeologi Publik lebih banyak
digunakan untuk menggambarkan pendidikan masyarakat atau program yang
melibatkan masyarakat luas dalam kegiatan penelitian arkeologi (Green, 2008).
Dengan demikian secara umum Arkeologi Publik dapat diartikan sebagai sebuah
pendekatan arkeologi yang mengkaji keterkaitan antara arkeologi dengan publik
secara timbal balik (Matsuda dan Okamura, 2011). Interaksi antara arkeologi
dengan publik dapat berwujud keterlibatan masyarakat baik secara aktif maupun
pasif (Hatoff, 1992). Keterlibatan secara aktif dapat diartikan bentuk partisipasi
masyarakat dalam kegiatan arkeologi misalnya penelitian dan kegiatan konservasi,
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
57
sedangkan keterlibatan pasif dalam bentuk kunjungan masyarakat ke situs
arkeologi dan menghadiri sosialisasi arkeologi.
Dalam kaitannya perkembangan hubungan arkeologi dengan masyarakat,
Chambers (2004) memahami pengertian Arkeologi Publik sebagai upaya untuk
mendidik dan melibatkan masyarakat dalam kerja arkeologi. Chambers
berpendapat bahwa masa perkembangan arkeologi akhir-akhir ini sebagai tahap
masyarakat dalam arkeologi terapan (public stage of applied archaeology).
Maksudnya tahapan perkembangan arkeologi ketika masyarakat berperan amat
penting dalam menentukan hakekat kerja arkeologi dalam berbagai konteks
pengambilan keputusan terkait sumberdaya warisan budaya. Masyarakat adalah
pemegang hak atas pemanfaatan sumberdaya arkeologi. Masyarakat yang akan
memberi arti dan memberi nilai suatu sumberdaya arkeologi (Cleere, 1989).
Pengertian yang terakhir ini lebih menekankan pada pengaruh masyarakat
terhadap arkeologi daripada pengaruh arkeologi terhadap masyarakat (Chambers,
2004).
Seiring dengan perkembangan waktu pengertian Arkeologi Publik dibagi
menjadi tiga. Pertama, tinggalan arkeologis adalah milik masyarakat sehingga
semestinya masyarakat mendapat informasi yang lengkap tentang hasil penelitian
tinggalan arkeologis tersebut. Akhirnya berdasarkan konsep dimaksud muncul
pertanyaan apakah penelitian yang dilakukan arkeologi sudah tersampaikan
informasinya kepada masyarakat atau sebaliknya masyarakat belum memahami
atau bahkan sama sekali tidak tahu penelitian arkeologi yang terjadi di
wilayahnya. Kedua, publik seharusnya lebih banyak berperan serta dalam
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
58
pekerjaan arkeologi sehingga lebih banyak melibatkan publik dalam kegiatan-
kegiatannya, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi. Berdasarkan
konsep tersebut masyarakat harus berperan serta dalam pekerjaan atau penelitian
arkeologi. Ketiga, masyarakat mempunyai peran menentukan pekerjaan arkeologi.
Maksudnya dalam pekerjaan arkeologi, arkeologi berkewajiban untuk koordinasi
dan sinkronisasi kepada masyarakat apa yang dikehendaki masyarakat, sehingga
arkeologi akan membantu untuk mendapatkan apa yang dikehendaki masyarakat.
Berdasarkan ketiga pengertian Arkeologi Publik di atas, maka Arkeologi
Publik yang diterapkan dalam penelitian ini adalah Arkeologi Publik pertama
untuk menjawab pemahaman masyarakat tentang penetapan kawasan Borobudur
sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan Arkeologi Publik kedua untuk
menjawab peran serta masyarakat dalam pelestarian Candi Borobudur serta
keterlibatan masyarakat dalam rangka menyusun kebijakan pemerintah mengenai
Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur. Sehubungan dengan hal tersebut
maka bahasan penelitian ini fokus untuk mengetahui peran Arkeologi Publik
dalam pelestarian kawasan Borobudur sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN)
apakah sudah diinformasikan dengan baik kepada masyarakat dan apakah
masyarakat pada awalnya diajak untuk ikut berpartisipasi dalam merencanakan
dan menyusun konsep Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur. Semestinya
masyarakat Borobudur sebagai pelindung dan pelestari situs mempunyai peran
yang sangat penting dan merupakan komponen yang sangat berharga dalam
melindungi, mempromosikan, dan menginterpretasikan sumberdaya arkeologi
yang ada di wilayahnya (Haryono, 2009).
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
59
Kebijakan terakhir pemerintah dalam pengelolaan Kawasan Borobudur
adalah mengupayakan pengelolaan secara terpadu. Salah satu strategi yang
dilakukan sesuai Undang-Undang Tata Ruang menetapkan kawasan Borobudur
menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN). Kawasan Strategis Nasional (KSN)
adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan
dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk
wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. Penetapan Kawasan
Strategis Nasional dilakukan berdasarkan kepentingan pertahanan dan keamanan,
pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pendayagunaan sumber daya alam
dan/atau teknologi tinggi, fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Penetapan
Kawasan Strategis Nasional dari sudut kepentingan sosial budaya merupakan
tempat pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau budaya nasional,
merupakan prioritas peningkatan kualitas sosial dan budaya serta jati diri bangsa,
merupakan aset nasional atau internasional yang harus dilindungi dan dilestarikan,
merupakan tempat perlindungan peninggalan budaya nasional, memberikan
perlindungan terhadap keanekaragaman budaya, dan memiliki potensi kerawanan
terhadap konflik sosial skala nasional (Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang).
Penataan kawasan cagar budaya Candi Borobudur menjamin perlindungan
dan kelestarian lingkungan fisik dan nilai-nilai keagungan candi, mempertahankan
keseimbangan ekosistem untuk menunjang kelestarian candi dan kawasan,
mewujudkan keterpaduan pengembangan kawasan Borobudur secara lintas sektor,
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
60
lintas wilayah, dan lintas kepentingan, memanfaatkan potensi sumber daya candi
dan kawasan untuk kegiatan pelestarian, pendidikan, pariwisata, sejarah,
kepurbakalaan, budaya, religi maupun pengembangan wilayah, menjadikan
kawasan Borobudur menjadi pusat pembelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta pemberdayaan kawasan Borobudur menjadikan kawasan tersebut sebagai
pelindung kelestarian Candi Borobudur.
Kawasan Borobudur tidak hanya memiliki warisan budaya saja (benda
cagar budaya/situs), tetapi beberapa komponen seperti landscape yang meliputi
pemukiman, pegunungan dan sebagainya. Kawasan Borobudur dengan luas
kurang lebih 1.344 ha masuk dalam tataran skala mikro yang terdiri atas 3 (tiga)
desa paling dekat dengan Borobudur, Pawon, dan Mendut, yaitu Desa Borobudur,
Desa Wanurejo, Kelurahan Mendut dan koridor Palbapang yang menjadi bagian
Desa Ngrajek, Desa Pabelan, Desa Paremono, Desa Rambeanak, dan Desa
Bojong. Perluasan kawasan Borobudur menjadi Kawasan Strategis Nasional
(KSN) mempunyai maksud sebagai upaya perlindungan dan pelestarian situs
Borobudur, Mendut, dan Pawon. Konsep tersebut merupakan strategi untuk
melindungi dan menata kembali pengelolaan Candi Borobudur secara menyeluruh
dan terpadu dan memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat.
Di bawah ini peta Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur yang
menginformasikan letak desa-desa yang berada di wilayah Kawasan Strategis
Nasional (KSN) Borobudur. Di desa-desa tersebut terdapat tinggalan arkeologi,
situs, atau yang diduga situs baik yang berlatar belakang agama Hindu maupun
Budha yang harus dilindungi keberadaannya.
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
61
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang
bertujuan membuat deskripsi atas suatu fenomena sosial secara sistematik, faktual,
dan akurat untuk menjawab pertanyaan mengenai peristiwa yang terjadi di
masyarakat (Singarimbun, 2011). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
Arkeologi Publik dan pendekatan yang berorientasi pada komunitas atau
masyarakat (community oriented) melalui pendekatan partisipatori dan
pemberdayaan masyarakat. Pendekatan Arkeologi Publik dilakukan untuk
Peta 2. Peta Kawasan Strategis Nasional Borobudur
Sumber : Balai Konservasi Borobudur, 2012.
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
62
mengetahui pandangan masyarakat dalam hal pengelolaan kawasan Borobudur
karena masyarakat mempunyai peran sebagai pelindung dan pelestari situs.
Masyarakat adalah salah satu unsur utama dalam upaya pelestarian kawasan
Borobudur. Pendekatan peran masyarakat dilakukan melalui pendekatan yang
lebih bersifat community oriented, sebuah pendekatan yang lebih peduli terhadap
keberadaan masyarakat lokal, bahkan masyarakat lokal dijadikan salah satu pusat
pertimbangan utama dalam segala kegiatan dan pengambilan keputusan dalam
bidang arkeologi.
Data penelitian berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh
melalui observasi lapangan ke wilayah Kawasan Strategis Nasional. Selain itu,
data yang berhubungan dengan persepsi dan peran serta masyarakat diperoleh
melalui wawancara atau interview serta penyebaran kuesioner kepada masyarakat
di wilayah Kawasan Strategis Nasional (KSN). Masyarakat yang dipilih sebagai
sasaran kuestioner (selanjutnya disebut responden) yaitu masyarakat di Desa
Borobudur, Desa Wanurejo, Desa Ngrajek, Desa Pabelan, Desa Paremono, Desa
Rambeanak, Desa Bojong, dan Kelurahan Mendut. Penentuan pemilihan
responden yang akan menjadi sasaran penelitian menggunakan stratified random
sampling untuk masyarakat awam dengan teknik penyebaran kuesioner,
sedangkan untuk wawancara atau interview memilih perangkat desa atau tokoh
masyarakat (selanjutnya disebut narasumber) dengan alasan peneliti
mengharapkan informasi dari orang yang paham akan Kawasan Strategis Nasional
(KSN) Borobudur. Responden yang akan dimintai pendapatnya sebanyak 160
(seratus enam puluh) orang, masing-masing desa sebanyak 20 (dua puluh) orang.
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
63
Data sekunder diperoleh dengan memanfaatkan data FGD (Focus Group
Disccussion) yaitu pengambilan data secara berkelompok melalui diskusi dengan
responden dalam suatu ruang yang dilaksanakan oleh tim kajian Pengelolaan
Terpadu Cagar Budaya (Kawasan Warisan Dunia Candi Borobudur) serta sumber
pustaka berupa buku ilmiah yang berkaitan dengan penelitian arkeologi publik,
buku ilmiah tentang tata ruang, buku yang berkaitan dengan penelitian
masyarakat, konvensi internasional, perundangan tentang tata ruang, dokumen
kebijakan, artikel, peta, foto, dan gambar.
Adapun tahapan penelitian terdiri dari pengumpulan data, pengolahan
data, analisis data, dan sintesis akan diuraikan sebagai berikut.
1. Tahap pengumpulan data
Untuk mempermudah dan mempercepat proses pelaksanaan pengumpulan
data, sebagian data dapat dipenuhi dengan menggunakan hasil observasi
lapangan berupa inventarisasi dan deskripsi perubahan tataguna lahan yang
terjadi di kawasan Borobudur Zona 2, 3, 4, dan 5. Di kawasan tersebut masih
banyak tinggalan arkeologi yang masih berkaitan dengan lingkungan kawasan
Borobudur.
Untuk memperoleh data pendapat masyarakat menggunakan cara yaitu :
a. Wawancara atau interview merupakan teknik pengumpulan data untuk
memperoleh informasi dengan cara mengajukan pertanyaan secara
langsung oleh pewawancara kepada narasumber. Jenis wawancara yang
dipilih adalah wawancara terstruktur yang dilakukan berdasarkan pada
suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan sebagai pedoman
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
64
(interview guide). Dalam hal ini, tidak tertutup kemungkinan pertanyaan
akan berkembang mengikuti alur jawaban narasumber.
b. Membagikan kuesioner yang berisi pertanyaan terbuka, semi terbuka, dan
tertutup. Pertanyaan terbuka adalah kuesioner yang memberikan
kesempatan kepada responden untuk menjawab pertanyaan dengan
jawaban bebas menggunakan kata-kata responden sendiri. Pertanyaan semi
terbuka adalah kuesioner yang disajikan dalam bentuk jawaban sudah
ditentukan sebelumnya oleh peneliti, namun responden masih diberi
kesempatan untuk memberikan jawaban yang lain. Pertanyaan tertutup
adalah adalah kuesioner yang disajikan dalam bentuk pertanyaan yang
jawabannya telah disediakan, sehingga responden tinggal memilih jawaban
yang telah tersedia.
2. Tahap pengolahan data
Data yang terkumpul dari data primer meliputi observasi lapangan, wawancara,
dan kuesioner serta data sekunder dari data FGD (Focus Group Disccussion)
dan studi pustaka diolah secara kualitatif untuk diperolehnya suatu informasi.
3. Analisis data
Data yang telah diolah secara kualitatif dianalisis untuk diperoleh interpretasi.
4. Sintesis
Tahap sintesis dilakukan sebagai penggabungan berbagai jenis data yang
dikumpulkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh mengenai jawaban
terhadap masalah penelitian. Berdasarkan sintesis tersebut diharapkan
diperoleh suatu kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian.
PERAN ARKEOLOGI PUBLIKDALAM PELESTARIAN KAWASAN BOROBUDURSEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN)Wiwt Kasiyati, S.SUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/