bab ii.pdf
DESCRIPTION
masih proposalTRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Konsep Problem Based Learning
Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang masuk
kedalam kajian teori konstruktivisme (Kemp, 2000; Savery & Duffy, 2001; Arends R,
2012).Model pembelajaran ini diperkenalkan oleh salah satu tokoh teori belajar
konstruktivisme yang bernama John Dewey. Model pembelajaran ini mulai dipopulerkan
sebab model pembelajaran ini dianggap memberikan kemudahan kepada siswa untuk
melakukan penyelidikan dan pengamatan atas masalah yang disajikan dalam pelajaran di
sekolah maupun di luar sekolah. Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada
pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling
terintergrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar harus
bersifat aktif, langsung terlibat, berpusat pada siswa dalam konteks pengalaman sosial.
Menurutnya kesadaran sosial menjadi tujuan dari semua pendidikan. Belajar
membutuhkan keterlibatan siswa dan kerjasama tim dalam mengerjakan tugas. Guru
bertindak sebagai fasilitator, mengambil bagian sebagai anggota kelompok dan
diadakan kegiatan diskusi dan review. John Dewey dalam bukunya Democracy and
Education (1916), pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang
menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan
pengalaman selanjutnya. Dalam teori konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan
muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat
dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan permasalahan
yang dihadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki.
2.1.1.1 Definisi Problem Based Learning
Penggunaan Problem Based Learning sangat cocok untuk pembelajaran yang
berpusat pada siswa dan pembelajaran individual. Guru dapat menentukan masalah
yang akan digunakan , bidang studi dan sumber daya atau subjek untuk dipelajari yang
11
relevan dengan masalah. Hal ini akan mengembangkan keterampilan siswa dalam
memecahkan masakah dan aktif dalam proses pembelajaran (Howard S. Barrows &
Robyn M. Tamblyn, 1980).
Model pembelajaran Problem Based Learning merupakan model
pembelajaran yang berorientasi pada masalah bukan teori, masalahnya diambil secara
empiris, siswa bertanggung jawab dan aktif dalam pembelajaran dan sebagian besar
pembelajaran terjadi dalam konteks kelmpok kecil dan siswa sedapat mungkin
menemukan solusi atas masalah (Hallinger & Lu, 2011).
Problem Based Learning diasumsikan sebagai pembelajaran yang berpusat
pada siswa, siswa melakukan penelitian, mengintegrasikan teori dan praktek, dan
menerapkan pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan solusi yang layak
untuk masalah (Savery, 2006). Melalui penerapan Problem Based Learning sebagai
model pembelajaran akan menjadi alternatif untuk meningkatkan pemahaman dan
keterampilan siswa dalam memecahkan masalah-masalah yang ia temui dalam proses
pembelajaran di sekolah maupun di kehidupan sehari-hari. Dalam proses pembelajaran
di sekolah problem based learning lebih menstimulus siswa dalam memecahkan
masalah-masalah pada materi pelajaran yang biasanya materi pelajaran tersebut telah
terisis konten/contoh yang telah lebih dulu disesuaikan guru dengan kehidupan sehari-
hari siswa (empiris) sehingga siswa lebih antusias dan kritis dalam memecahkan
masalah di soal materi pelajaran. Sebagai contoh dalam pelajaran ekonomi pada materi
menyusun jurnal umum akuntansi perusahaan jasa, Guru sekiranya memberikan contoh
transaksi yang sering dilakukan siswa di kehidupan sehari-hari sehingga siswa lebih
gampang memahami konsep penyususnan jurnal umum dan apabila siswa diberikan
soal atau masalah yang menyerupai mereka lebih gampang meyelesaikannya karena hal
itu telah tertanam dalam ingatan siswa.
2.1.1.2 Dimensi Problem Based Learning
Karakteristik Problem Based Learning menurut Arends Richard (2012:397)
ada 5, yaitu:
1. Ditandai dengan pertanyaan atau masalah
2. Fokus interdisipliner
3. Investigasi otentik
4. Menghasilkan kecerdasan dan solusi
5. Kerjasama
12
Selain itu, Savery menyatakan bahwa Problem Based Learning memiliki,
karakteristik Problem Based Learning memiliki 10 hal unsur yang terkandung
didalamnya, yaitu:
1. Siswa harus memiliki tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri.
2. Simulasi masalah digunakan dalam pembelajaran berbasis masalah harus
terstruktur
3. Belajar harus diintegrasikan dari berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran
4. Kolaborasi/kerjasama adalah penting
5. Siswa yang secara mandiri mereka harus diterapkan kembali ke masalah
dengan analisis ulang dan resolusi
6. Analisis penutupan, apa yang telah dipelajari dari pekerjaan dengan masalah
dan diskusi tentang apa konsep dan prinsip-prinsip yang telah dipelajari
7. Penilaian pribadi dan penilaian sejawat harus dilakukan pada penyelesaian
setiap masalah dan pada akhir setiap unit pelajaran
8. Kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran berbasis masalah harus berguna
di dunia nyata siswa.
9. Ujian siswa harus mengukur kemajuan siswa terhadap tujuan pembelajaran
berbasis masalah
10. Pembelajaran berbasis masalah harus menjadi basis pedagogis dalam
kurikulum dan bukan bagian dari kurikulum didaktik
(Savery, 2006)
Adapun kelebihan dari Problem Based Learning menurut Johnstone & Biggs
antara lain:
1. Memungkinkan siswa untuk berlatih mengumpulkan informasi yang relevan
dengan masalah dan mengintegrasikan informasi tersebut kedalam konteks
kasus.
2. Dengan mengumpulkan dan mengintegrasikan informasi terkait kasus
membuat siswa mengingat informasi dalam konteks kasus mereka. Proses ini
mendorong pengembangan pengalaman terstruktur berbasis pengetahuan dan
memungkinkan siswa untuk lebih mudah dan tepat mengingat informasi yang
relevan ketika mereka menghadapi kasus atau situasi yang sama di masa depan.
3. Mengembangkan keterampilan diagnostik/memecahkan masalah,
mengevaluasi, menjelaskan fakta-fakta yang diamati
(Johnstone & Biggs, 1998)
Menurut Suyanti (2010) problem based learning memiliki beberapa
kelebihan diantaranya:
1. PBL dirancang utamanya untuk membantu pebelajar dalam membangun
kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan intelektual mereka, dan
mengembangkan kemampuan mereka untuk menyelesaikan dengan
pengetahuan baru.
2. Membuat mereka menjadi pebelajar yang mandiri dan bebas.
13
3. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk memahami isi
pelajaran, dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa,
4. Dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan
pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata,
5. Membantu siswa mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung
jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan di samping itu, juga dapat
mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun
proses belajarnya.
6. Melalui problem based learning bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa
setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang
harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari
buku-buku.
7. Dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar
sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
Disamping kelebihan, menurut Suyanti (2010) Problem Based Learning juga
memiliki kekurangan diantaranya:
1. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan
bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan
merasa enggan untuk mencoba.
2. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem based learning
membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah
yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin
pelajari.
Selanjutnya menurut Wood kekurangan dari Problem Based Learning yaitu:
Siswa mungkin tidak yakin berapa besar tingkat kemandirinya untuk mengumpulkan
informasi yang relevan dan berguna terhadap masalah yang dibahas (Wood, 2003)
2.1.1.3 Model/Sintaks Problem Based Learning
Adapun model dari Problem Based Learning adalah seperti gambar dibawah
ini:
Thinking and
problem solving skills
Problem Based
Learning Adult role behaviors
and social skills
Skill for independent
learning
Gambar 2.1 Learner Outcomes for Problem Based Learning (Arends,
2012:398)
14
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa penggunaan model Problem Based Learning
menghasilkan 3 hal pada diri siswa, yaitu:
1. Thinking and problem solving skills
Berpikir dan keterampilan memecahan masalah. Kegiatan berpikir melibatkan
penggunaan proses intelektual dan kognitif, mulai dari proses dasar seperti
mengingat dan mengingat untuk berpikir pada tingkat yang lebih tinggi, seperti
menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Hal ini ini lebih tinggi tingkat
kemampuan analisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan menjadi tujuan hasil dari
penerapan Problem Based Learning.
2. Adult role behaviors and social skills
Pembelajaran berbasis masalah juga bertujuan untuk membantu siswa berperan
dalam situasi kehidupan nyata dan belajar peran orang dewasa. Perbandingan belajar
di sekolah dan luar sekolah berbeda dalam hal berikut:
1. Belajar di sekolah paling sering berfokus pada kinerja individu, sedangkan di
luar sekolah pekerjaan mental melibatkan kolaborasi dengan orang lain.
2. Belajar di sekolah berfokus pada proses berpikir tanpa bantuan, sedangkan
aktivitas mental di luar sekolah biasanya melibatkan alat kognitif, seperti
komputer, kalkulator, dan instrumen ilmiah lainnya.
3. belajar di sekolah memupuk pemikiran simbolik mengenai situasi hipotetis,
sedangkan aktivitas mental di luar sekolah terlibat individu langsung dengan
beton dan benda-benda nyata dan situasi.
4. belajar di sekolah berfokus pada keterampilan umum (membaca, menulis, dan
komputasi) dan pengetahuan umum (sejarah dunia, unsur kimia), sedangkan
situasi khusus berpikir seperti apakah akan membeli atau menyewa mobil baru
mendominasi di luar sekolah.
Perspektif ini memberikan alasan yang kuat untuk pembelajaran berbasis masalah
karena ini bentuk instruksi sangat penting untuk menjembatani kesenjangan antara
belajar dan sekolah formal aktivitas mental yang lebih praktis yang terjadi di luar
sekolah. Perhatikan bagaimana fitur pembelajaran berbasis masalah sesuai dengan
aktivitas mental di luar sekolah:
15
1. Pembelajaran berbasis masalah mendorong kolaborasi dan prestasi tugas
bersama.
2. Pembelajaran berbasis masalah memiliki unsur magang. Mendorong
pengamatan dan dialog dengan orang lain sehingga siswa secara bertahap dapat
mengasumsikan peran diamati (ilmuwan, guru, dokter, artis, sejarawan, dll).
3. Pembelajaran berbasis masalah melibatkan siswa dalam penyelidikan dipilih
sendiri yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan dan menjelaskan
fenomena dunia nyata dan untuk membangun pemahaman mereka sendiritentang
fenomena ini.
3. Skill for independent learning
Keterampilan untuk belajar mandiri. Akhirnya, pembelajaran berbasis masalah
berusaha untuk membantu siswa menjadi pembelajar mandiri. Dipandu oleh guru
yang berulang kali mendorong dan menghargai mereka untuk mengajukan
pertanyaan dan mencari solusi untuk masalah nyata pada mereka sendiri, siswa
belajar untuk melakukan tugas-tugas ini secara mandiri di kemudian hari.
Pembelajaran berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang
dimulai dengan guru mengorientasi siswa pada situasi masalah dan berujung dengan
presentasi dan analisis pekerjaan siswa. Tidak seperti lingkungan belajar yang
terstruktur ketat diperlukan untuk instruksi langsung atau hati-hati menggunakan
kelompok-kelompok kecil dalam pembelajaran kooperatif, lingkungan belajar dan
sistem manajemen untuk instruksi berbasis masalah dicirikan oleh terbuka,
demokratis proses dan oleh peran mahasiswa aktif. Bahkan, seluruh proses
membantu siswa menjadi mandiri, pelajar mandiri yang percaya diri mereka sendiri
keterampilan intelektual memerlukan keterlibatan aktif dalam intelektual aman,
penyelidikan berorientasi lingkungan hidup. Meskipun guru dan siswa melanjutkan
melalui fase dari pelajaran pembelajaran berbasis masalah dalam mode agak
terstruktur dan dapat diprediksi, norma-norma sekitarnya pelajaran adalah mereka
penyelidikan terbuka dan kebebasan berpikir. Lingkungan belajar menekankan peran
sentral pelajar, bukan dari guru.
Selanjutnya, langkah-langkah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning
menurut Arends Richard (2012:411) adalah sebagai berikut:
16
Tabel 2.1
Langkah-langkah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning
Langkah-langkah Strategi Pembelajaran
Problem Based Learning
Kegiatan yang dilakukan guru
1. Orientasi siswa pada masalah Guru menjelaskan tujuan
pembelajaran,
menjelaskan logistik yang
dibutuhkan dan
memotivasi siswa yang
terlibat dalam pemecahan
masalah
2. Mengorganisir siswa dalam belajar Guru membagi siswa
dalam kelompok
Guru membantu siswa
dalam mendefinisikan dan
mengorganisir tugas-tugas
belajar yang berhubungan
dengan masalah.
3. Membimbing penyelidikan (inqury)
individu maupun kelompok
Guru mendorong siswa
untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai,
melaksanakan eksperimen
dan penyelidikan untuk
mendapatkan penjelasan
dan pemecahan masalah
4. Mengembangkan dan menyajikan
hasil karya.
Guru membantu siswa
dalam merencanakan dan
menyiapkan karya yang
sesuai seperti laporan,
video, model dan
membantu mereka
membagi tugas dengan
temannya.
5. Menganalisis dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa
untuk melakukan refleksi
atau evaluasi terhadap
penyelidikan mereka dan
proses yang digunakan
17
Sedangkan menurut Pannen dkk., (2001) proses pembelajaran PBL biasanya mengikuti
tahapan-tahapannya seperti roda sebagai berikut:
Gambar 2.2 Model The Problem Based Learning (Pannen dkk., 2001)
Gambar di atas melukiskan tahapan utuh yang seyogyanya muncul dalam problem
based learning. Namun jika terdapat kendala, maka tahapan yang dilakukan hanya
mencakup empat tahap saja, yaitu: identifikasi masalah, mengumpulkan data,
analisis data, dan menghasilkan pemecahan masalah.
2.1.2 Konsep Self Efficacay
Self Efficacy merupakan kajian dari teori Kognitif Sosial (Bandura, 1977;
Benight & Bandura, 2004; Klassen & Usher, 2010; Luthans, 1998). Self Efficacy
merupakan konsep yang relatif baru di dalam penelitian akademik. Walaupun kajian
Self Efficacy lebih banyak dilakukan dalam konteks terapi, beberapa studi terkini
menunjukkan bahwa Self Efficacy memegang kekuatan signifikan untuk memprediksi
dan menjelaskan kinerja akademik di berbagai bidang.
Teori kognitif sosial, yang dikembangkan oleh Albert Bandura, didasarkan
atas proposisi bahwa baik proses sosial maupun proses kognitif adalah sentral bagi
18
pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan manusia. Teori sosial kognitif
digunakan untuk mengenal, memprediksi perilaku dan mengidentifikasi metode-metode
yang tepat untuk mengubah perilaku tersebut. Teori ini menjelaskan bahwa dalam
belajar, pengetahuan (knowledge), pengalaman pribadi (personal experience), dan
karakteristik individu (personal characteristic) saling berinteraksi. Belajar terjadi baik
sebagai akibat dari respon dari pengalaman sendiri (yaitu, pandangan belajar operan)
dan melalui mengamati efek pada lingkungan sosial dari perilaku orang lain.
Slavin (2008) menyatakan bahwa teori pembelajaran sosial dilatarbelakangi
dari Bandura yang memandang perilaku individu tidak hanya refleks otomatis (Stimulus
– Respon) tetapi juga reaksi yang timbul atas interaksi lingkungan dengan proses mental
internal individu tersebut. Prinsip belajar menurut teori ini menunjukkan bagaimana
observasi diri terhadap lingkungan sekitarnya mempengaruhi perilaku dan proses
kognitif dirinya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku dapat dipelajari secara langsung maupun dari
pengalaman orang lain.
Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan
pada seseorang secara kebetulan, lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan
diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Sebagian besar manusia belajar
melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari
pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah
satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses
pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari
perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan
kepada orang lain. Dalam teori sosial kognitif, faktor internal maupun eksternal
dianggap penting. Peristiwa di lingkungan, faktor-faktor personal, dan perilaku dilihat
saling berinteraksi dalam proses belajar. Faktor-faktor personal (keyakinan, ekspektasi,
sikap, dan pengetahuan), lingkungan fisik dan sosial (sumber daya, konskuensi
tindakan, orang lain, dan setting fisik) semuanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi.
Bandura menyebutkan interaksi kekuatan-kekuatan ini dengan reciprocal determinism.
Faktor-faktor sosial seperti model, panutan, strategi instruksional, dan umpan balik
(elemen-elemen lingkungan untuk siswa) dapat mempengaruhi faktor-faktor personal
siswa, seperti tujuan, sense of efficacy untuk suatu tugas, atribusi dan proses-proses self-
19
regulated seperti merencanakan, memonitor, dan mengontrol distraksi. Pengaruh sosial
di lingkungan dan faktor-faktor personal mendorong perilaku untuk menghasilkan
pencapaian seperti persistensi dan usaha serta pembelajaran (Bandura, 1986)
2.1.2.1 Definisi Self Efficacay
Self efficacay mengacu pada keyakinan individu tentang kemampuan nya
untuk mengerahkan motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan
untuk berhasil melaksanakan tugas tertentu dalam konteks yang diberikan (Luthans,
1998). Self Efficacay juga berdampak pada pengembangan kognitif, motivasi, afektif
(Bandura, 1977). Rasa keberhasilan pribadi berdasar pada human agency. Apapun
faktor lain berfungsi sebagai panduan dan motivator, mereka berakar pada keyakinan
inti yang satu memiliki kekuatan untuk menghasilkan efek yang diinginkan oleh
tindakan seseorang. Self-efficacy mengatur fungsi manusia melalui kognitif, motivasi,
afektif, dan proses pengambilan keputusan. Self-efficacy mempengaruhi apakah orang
berpikir dalam meningkatkan diri atau melemahkan diri tergantung seberapa baik
mereka memotivasi diri dan bertahan dalam menghadapi kesulitan. (Benight &
Bandura, 2004).
Bandura (1997: 195) menyatakan bahwa Self Efficacy dapat diperoleh dari
empat sumber informasi yaitu:
1. Enactive Attainment and Performance Accomplishment (Pengalaman
Keberhasilan dan Pencapaian Prestasi), yaitu sumber ekspektasi Self Efficacy
yang penting karena berdasar pengalaman individu secara langsung. Individu
yang pernah memperoleh suatu prestasi akan terdorong meningkatkan
keyakinan dan penilaian terhadap Self Efficacynya. Pengalaman keberhasilan
individu ini meningkatkan ketekunan dan kegigihan dalam berusaha mengatasi
kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan.
2. Vicarious Experience (Pengalaman Orang Lain), yaitu mengamati perilaku dan
pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu. Melalui model ini Self
Efficacy individu dapat meningkat, terutama jika ia merasa memiliki
kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang
menjadi subyek belajarnya. Ia akan mempunyai kecenderungan merasa mampu
melakukan hal yang sama. Meningkatnya Self Efficacy individu ini dapat
meningkatkan motivasi untuk mencapai suatu prestasi. Peningkatan Self
Efficacy ini akan menjadi efektif jika subyek yang menjadi model tersebut
mempunyai banyak kesamaan karakteristik antara individu dengan model,
kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi dan kondisi, serta
keanekaragaman yang dicapai oleh model.
20
3. Verbal Persuasion (Persuasi Verbal), yaitu individu mendapat bujukan atau
sugesti untuk percaya bahwa ia dapat mengatasi masalah-masalah yang akan
dihadapinya. Persuasi verbal ini dapat mengarahkan individu untuk berusaha
lebih gigih untuk mencapai tujuan dan kesuksesan. Akan tetapi, Self Efficacy
yang tumbuh dengan metode ini biasanya tidak bertahan lama, apalagi
kemudian individu mengalami peristiwa traumatis yang tidak menyenangkan.
4. Physiological State and Emotional Arousal (Keadaan Fisiologis dan
Psikologis), yaitu situasi yang menekan kondisi emosional. Gejolak emosi,
kegelisahan yang mendalam, dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami
individu akan dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak
diinginkan. Kecemasan dan stress yang terjadi dalam diri seseorang ketika
melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya,
seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang
tidak diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau
gangguan somatic lainnya. Karena itu, Self Efficacy biasanya ditandai oleh
rendahnya tingkat stress dan kecemasan. Sebaliknya, Self Efficacy yang rendah
ditandai oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi pula.
Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa Self Efficacy dapat ditumbuhkan
dan dipelajari melalui emapt sumber informasi utama, yaitu Pengalaman keberhasilan
(mastery experience, Pengalaman orang lain (vicarious experience), Persuasi verbal
(verbal persuasion), Kondisi fisiologis (psysiological state).
2.1.2.2 Dimensi Self Efficacay
Ada 3 dimensi/ukuran dari Self Efficacay menurut Bandura (1997), yaitu:
1. Magnitude
Merupakan tingkat kesulitan tugas, yaitu masalah yang berkaitan dengan
derajat kesulitan tugas individu. Komponen ini berimplikasi pada pemilihan
perilaku yang akan dicoba individu berdasarkan ekspektasi efikasi pada tingkat
kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu yang ia
persepsikan dapat dilaksanakannya dan ia akan menghindari situasi dan
perilaku yang ia persepsikan di luar batas kemampuannya.
2. Strength
Merupakan kekuatan keyakinan, yaitu aspek yang berkaitan dengan kekuatan
keyakinan individu atas kemampuannya. Pengharapan yang kuat dan mantap
pada individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan
walaupun mungkin belum memiliki pengalaman-pengalaman yang menunjang.
Sebaliknya, pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan kemampuan diri akan
mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak menunjang.
3. Generality
Merupakan generalitas, yaitu hal yang berkaitan dengan luas cakupan tingkah
laku diyakini oleh individu mampu dilaksanakan. Keyakinan individu terhadap
kemampuan dirinya bergantung pada pemahaman kemampuan dirinya, baik
21
yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu maupun pada serangkaian
aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi.
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa seetiap individu mempunyai Self Efficacy
yang berbeda-beda pada situasi yang berbeda, tergantung kepada :
1. Kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda itu.
2. Kehadiran orang lain, khususnya saingan dalam situasi.
3. Keadaan fisiologis dan emosional : kelelahan, kecemasan, apatis, murung.
Self Efficacy yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang
responsif atau tidak responsif, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkah
laku. Berikut ini kombinasi self efficacy dengan lingkungan sebagai prediktor tingkah
laku:
Tabel 2.2
Kombinasi self efficacy dengan lingkungan sebagai prediktor tingkah laku
Tingkat
Self
Efficacy
Lingkungan Prediksi hasil tingkah laku
Tinggi Responsif Sukses, melaksanakan tugas yang sesuai dengan
kemampuannya.
Rendah Tidak responsive Depresi, melihat orang lain sukses pada tugas yang
dianggapnya sulit.
Tinggi Tidak responsive Berusaha keras mengubah lingkungan menjadi
responsif, melakukan protes, aktivitas sosial,
bahkan memaksakan perubahan.
Rendah Responsif Orang menjadi apatis, pasrah, merasa tidak
mampu.
22
2.1.2.3 Model/sintaks Self Efficacy
Gambar 2.3 A causal model of self efficacy (Zimmerman, B. J., & Bandura,
A, 1994.)
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa self efficacy mempengaruhi grade goals,
final grades yang diperoleh dari self evaluative standards.
Menurut Bandura (1997: 212-213) tinggi rendahnya Efikasi Diri seseorang
dalam tiap tugas sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang
berpengaruh dalam mempersepsikan kemampuan diri individu, yaitu:
1. Jenis kelamin
2. Usia
3. Tingkat pendidikan
4. Pengalaman
Kemudian, Bandura menamnbahkan pengembangan self efficacy, meliputi beberapa
tahapan dan bagian, diantaranya :
1. Kesan Yang Murni dari Agen Individu
Anak yang baru dilahirkan, hadir tanpa membawa suatu kesan, mereka
mengeksplorasi pengalamannya berdasarkan apa yang mereka lihat dan
mempengaruhinya untuk menciptakan tindakannya, dan hal ini lah yang menjadi
dasar perkembangan dari keyakinan diri mampu atau self efficacy.
2. Keluarga Sebagi Sumber Self efficacy
Eksplorasi yang awal dan aktivitas bermain, memberikan kesempatan bagi anak
untuk memperluas dan mengulang keterampilan dasarnya serta keyakinan diri
mampu atau self efficacy nya. Hal ini terjadi ketika anak dalam lingkungan
keluarga, yaitu dengan menyediakan kesempatan bagi anak, dengan
23
memperkaya lingkungan fisiknya, memberikan kebebasan untuk bereksplorasi
dalam lingkungan sosial dan kognitifnya, sehingga mampu membentuk self
efficacy nya.
3. Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Self efficacy)
Anak cenderung untuk memilih teman sebayanya, yang memiliki kecenderungan
minat dan nilai yang sama. Pemilihan kelompok teman sebaya ini mendorong
dalam pembentukan keyakinan diri mampu atau self efficacy bagi anak.
Gangguan dan kekurangan dalam hubungan dengan teman sebaya dapat
mempengaruhi perkembangan keyakinan diri mampu atau self efficacy, dan
kemungkinan akan menurunkan keyakinan diri mampu atau self efficacy,
sehingga akan cenderung menghindari lingkungan teman sebayanya, sehingga
penerimaan dari teman sebayanya pun menjadi rendah.
4. Sekolah Sebagai Agen Penanam Self efficacy
Selama perkembangan periode ini, sekolah mempunyai fungsi untuk mengolah
kemapuan kognitifnya. Di sekolah anak belajar untuk mendapatkan
pengetahuan, keterampilan pemecahan masalah dan berpartisipasi secara efektif
terhadap lingkungannya. Maka secara tidak langsung penguasaan keterampilan
kognitifnya dapat mengembangkan perasaan tentang efficacy intelektualnya.
5. Perkembangan self efficacy Melalui Transisi Pengalaman Pada Masa Remaja
Perkembangan masa remaja, mendekati masa dewasa, maka mereka dituntut
untuk mempelajari keterampilan dan tanggung jawab untuk masa perkembangan
selanjutnya. Dengan perkembangan kemandiriannya selama masa remaja, maka
akan mendorong perkembangan efficacynya dengan mempelajari keterampilan
bagaimana untuk menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan.
6. Self efficacy Pada Orang Dewasa
Individu yang baru memasuki dewasa muda akan belajar untuk menghadapi dan
menanggulangi tuntutan yang muncul dari hubungan pernikahan, orang tua dan
karier. Dalam hal ini keyakinan diri mampu atau self efficacy sangat penting
untuk mendukung dan meningkatkan kompetensinya dalam menyelesaikan dan
menguasai suatu tugas. Maka dengan tingkat keyakinan diri mampu atau self
efficacy yang tinggi maka akan mendukungnya dalam menghadapi permasalahan
yang baru ditemuinya, baik dalam perkejaan, dan hubungan dalam berumah
tangga.
7. Penilaian Kembali Dari Self efficacy Selama Dalam Usia Lanjut
Dalam tahapan ini lebih memfokuskan pada perkembangan biologis, pada usia
lanjut biasanya mengalami penurunan kapasitas dan kemampuan fisik atau
biologis, begitu juga hal ini akan mempengaruhi penilaian terhadap keyakinan
diri mampu atau self efficacy nya
2.1.3 Konsep peranan guru sebagai variabel moderator
Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja
memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun
pengetahuan dalam pikiran mereka. Tokoh yang berperan pada teori konstruktivisme ini
adalah Jean Piaget dan Vygotsky. Menurut Slavin (2008) teori konstruktivisme
24
didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta
sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang
memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus
respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun
atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai
dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang
baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan
pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai
pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Peranan guru tidak lebih sebagai fasilitator,
suatu posisi yang sesuai dengan pandangan konstruktivistik. Tugas sebagai fasilitator
lebih berat dibandingkan hanya sebagai transmiter pembelajaran. Guru sebagai
fasilitator akan memiliki konsekuensi langsung sebagai perancah, model, pelatih, dan
pembimbing. Disamping sebagai fasilitator, secara lebih spesifik peranan guru dalam
pembelajaran adalah expret learnes, sebagai manager, dan sebagai mediator.
.
2.1.3.1 Definisi peranan guru sebagai variabel moderator
Mengingat karakter yang dimiliki setiap siswa berbeda-beda di dalam proses
pembelajaran, maka diharapkan peranan guru dalam membimbing dan menjembatani
setiap siswa. Peranan guru yang diharapkan dalam proses pembelajaran berupa
keterlibatan guru dalam berbagai kegiatan belajar di sekolah maupun di luar sekolah
(Thoonen, Sleegers, Oort, Peetsma, & Geijsel, 2011). Semakin akurat para guru
melaksanakan fungsinya, semakin terjamin tercipta dan terbinanya kesiapan dan
kendala sebagai seorang pembangunan. dengan kata lain, potret peran dan fungsi guru
sangat penting dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu, situasi yang dihadapi
guru dalam melaksanakan pengajaran mempunyai pengaruh besar terhadap proses
belajar mengajar itu sendiri. Dengan demikian, guru sepatutnya peka terhadap berbagai
situasi yang dihadapi, sehingga dapat menyesuaikan pola tingkah lakunya dalam
mengajarkan dengan situasi yang dihadapi. Dan wajah diri bangsa dimasa depan
tercermin dari potret dari guru masa kini, dan gerak maju dinamika kehidupan bangsa
berbanding lurus dengan citra para guru di tengah-tengah masyarakat.
25
2.1.3.2 Dimensi peranan guru sebagai variabel moderator
Dalam Sardiman A.M (1986 ;143-144),mengenai apa peranan guru itu ada
beberapa pendapat yang dijelaskan sebagai berikut :
1. Prey Katz menggambarkan peranan guru sebagai komunikator, sahabat yang
dapat memberikan nasihat-nasihat, motivator sebagai pemberi inspirasi dan
dorongan, pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkahlaku serta nilai-
nilai, oranag yang menguasai bahan yang di ajarkan.
2. Havighurst menjelaskan bahwa peranan guru disekolah sebagai pegawai
(employee) dalam hubungan kedinasan, sebagai bawahan (subordinate)
terhadap atasannya, sebagai kolega dalam hubungannya dengan teman sejawat,
sebagai mediator dalam hubungannya dengan anak didik, sebagai pengatur
disiplin, evaluator dan pengganti orang tua.
3. James W. Brown, mengemukakan bahwa tugas dan peranan guru antara lain:
menguasai dan mengembangkan materi pelajaran, merencana dan
mempersiapkan pelajaran sehari-hari, mengontrol dan mengevaluasi kegiatan
siswa.
4. Federasi dan Organisasi Profesional Guru Sedunia, mengungkapkan bahwa
peranan guru disekolah, tidak hanya sebagai transmiter dari ide tetapi juga
berperan sebagai transformer dan katalisator dari nilai dan sikap.
Dari beberapa pendapat diatas maka secara rinci peranan guru dalam kegiatan
belajar-mengajar, secara singkat dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Informator
Sebagai pelaksana cara mengajar informative, laboratorium, studi lapangan dan
sumber imformasi kegiatan akademik maupun umum.
b. Organisator
Guru sebagai organisator, pengelolah kegiatan akademik, silabus, workshop, jadwal
pelajaran dan lain-lain. Komponen-komponen yang berkaitan dengan kegiatan
belajar mengajar, semua di organisasikan sedemikian rupa, sehingga dapat
mencapai efektivitas dan efisiensi dalam belajar pada diri siswa.
c. Motivator
Peranan guru sebagai motivator ini penting artinya dalam meningkatkan kegairahan
dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Guru harus dapat merangsang dan
memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamiskan potensi siswa,
menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas), sehingga akan
menjadi dinamika dalam proses belajar-mengajar. Peranan guru sebagai motivator
26
ini sangat penting sebgai dalam interaksi belajar-mengajar, karena menyangkut
esensi pekerjaan mendidik yang membutuhkan kemahiran sosial, menyangkut
performance dalam arti personalisasi dan sosialisasi diri.
d. Pengarah/director
Jiwa kepemimpinan bagi guru dalam peranan ini lebih menonjol. Guru dalam hal
ini harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai
dengan tujuan yang dicita-citakan.
e. Inisiator
Guru dalam hal ini sebagai pencetus ide-ide dalam proses belajar. Suda barang
tentu ide-ide itu merupakan ide-ide kreatif yang dapat dicontoh aleh anak didiknya.
f. Transmitter
Dalam kegiatan belajar guru juga akan bertindak selaku penyebar kebijaksanaan
pendidik dan pengetahuan.
g. Fasilitator
Berperan sebagai fasilitator, guru dalam hal ini akan memberikan fasilitas atau
kemudahan dalm proses belaja-mengajar, misalnya saja dengan menciptakan
suasana kegiatan belajar yang sedemikian rupa, serasi dengan perkembangan siswa,
sehingga interaksi belajar-mengajar akan berlangsung secara efektif. Hal ini
bergayut dengan semboyang “Tut Wuri Handayani”.
h. Mediator
Guru sebagai mediator dapat diartikan sebagai penengah dalam kegiatan belajar
siswa. Misalnya menengahi atau memberikan jalan keluar kemacetan dalam
kegiatan diskusi siswa.
i. Evaluator
Ada kecenderungan bahwa peran sebagai evaluator, guru mempunyai otoritas untuk
menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya,
sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.
27
2.1.4 Konsep hasil belajar
Hasil belajar siswa merupakan tujuan dari sebuah pendidikan yang dapat
diperoleh dari ranah kognitif atau kemampuan berpikir, afektif atau sikap dan
psikomotorik atau keterampilan siswa (Bloom, 1956). Hasil belajar merupakan laporan
atau pernyataan tentang apa yang dicapai dan dinilai pada akhir suatu pembelajaran.
Sehubungan dengan itu, ia menambahkan bahwa mengembangkan kemampuan hasil
belajar menjadi lima macam antara lain: (1) hasil belajar intelektual merupakan hasil
belajar terpenting dari sistem lingsikolastik; (2) strategi kognitif yaitu mengatur cara
belajar dan berfikir seseorang dalam arti seluas-luasnya termaksuk kemampuan
memecahkan masalah; (3) sikap dan nilai, berhubungan dengan arah intensitas
emosional dimiliki seseorang sebagaimana disimpulkan dari kecenderungan bertingkah
laku terhadap orang dan kejadian; (4) informasi verbal, pengetahuan dalam arti
informasi dan fakta; dan (5) keterampilan motorik yaitu kecakapan yang berfungsi
untuk lingkungan hidup serta memprestasikan konsep dan lambang.
2.1.4.1 Definisi hasil belajar
Konsep hasil pembelajaran dan pendidikan berbasis pada hasil merupakan
agenda penting dalam dunia pendidikan saat ini (Harden, 2002). Menurut Sudjana
(2010: 22) hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima
pengalaman belajar. Hal serupa juga dinyatakan oleh Kunandar (2010: 276)
mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan suatu akibat dari proses belajar dengan
menggunakan alat pengukuran berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes
tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan dari proses belajar dengan menggunakan alat
pengukuran. Kemudian menurut Suprijono (2010: 5) hasil belajar adalah perubahan
perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan.
Kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh
peserta didik dalam pembelajaran dianggap sebagai hasil belajar (Jackson, 2000). Hasil
belajar dapat diperoleh dari kinerja siswa selama mengikuti proses pembelajaran (Potter
& Johnston, 2006).
28
2.1.4.2 Dimensi hasil belajar
Dimensi Belajar merupakan metafora tentang bagaimana otak bekerja selama orang
belajar. Dimensi belajar ini terdiri atas lima tipe berpikir yang bersifat interaktif, yaitu
sikap dan persepsi positif terhadap belajar, pemerolehan dan pengitegrasian
pengetahuan, perluasan dan penghalusan pengetahuan, penggunaan pengetahuan secara
bermakna, dan kebiasaan berpikir produktif. Pembelajaran yang menggunakan
pendekatan model Dimensi Belajar adalah pembelajaran yang menggunakan dimensi-
dimensi belajar itu sebagai premis pembelajaran. Pembelajaran yang berpusat pada lima
dimensi itu, niscaya akan memberikan hasil yang lebih baik.
Dimensi belajar dalam Adi Rahmat pertama kali diperkenalkan oleh Robert J Marzano
tahun 1992 dalam bukunya yang berjudul A different kind of classroom. Ada 5 dimensi
belajar yaitu :
1. Mengembangkan Sikap dan Persepsi Positif
Mudah untuk dipahami bahwa sikap dan persepsi si belajar sangat mempengaruhi
proses belajar. Sikap dapat mempengaruhi belajar secara positif, sehingga belajar
menjadi mudah, sebaliknya sikap juga dapat membuat belajar menjadi sangat sulit.
Ada dua kategori sikap dan persepsi yang mempengaruhi belajar:
1. sikap dan persepsi tentang iklim (suasana) belajar,
2. sikap dan persepsi terhadap tugas-tugas kelas.
Guru yang efektif memberikan penguatan terhadap kedua kategori itu dengan teknik
yang jelas dan sesuai.Guru seyogyanya membantu menumbuhkan sikap dan persepsi
siswa yang positif terhadap iklim belajar dengan menekankan aspek-aspek internal
siswa (suasana mental yang kondusif) daripada aspek-aspek eksternal. Guru dapat
membantu menumbuhkan sikap dan persepsi yang positif terhadap tugas-tugas kelas
dengan cara memberikan pemahaman akan nilai tugas, kejelasan tugas, dan kejelasan
sumber.
1. Belajar untuk Pemerolehan dan Pengintegrasian Pengetahuan Ahli psikologi
kognitif memandang belajar sebagai proses interaksi yang tinggi dalam
membangun makna secara personal dari informasi yang diperoleh dengan
pengetahuan yang sudah ada menjadi pengetahuan baru. Menerima pengetahuan
melibatkan proses interaksi antara apa yang sudah diketahui dengan apa yang
ingin dipelajari, dan setelah itu mengintegrasikan informasi tersebut menjadi
langkah-langkah sederhana yang mudah digunakan.
Menurut E.D. Gagne (1985), pengetahuan dapat dikategorikan menjadi dua,
yakni pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Banyak ahli yakin
bahwa pemerolehan tipe pengetahuan yang berbeda memerlukan proses yang
berbeda pula.
29
2. Perluasan dan Penghalusan Pengetahuan Pada dimensi ini aspek-aspek belajar
melibatkan pengujian apa yang diketahui agar mencapai tingkat yang lebih
dalam dan analitis.
Kegiatan memperluas dan memperhalus pengetahuan ini dilakukan dengan:
1. comparing (identifikasi dan artikulasi hal-hal atau benda-benda yang mirip dan
berbeda),
2. classifying (pengelompokan jenis-jenis benda ke dalam kategori berdasarkan
atribut dasarnya),
3. inducing (pendugaan prinsip-prinsip atau generalisasi yang belum diketahui dari
observasi atau analisis),
4. deducing (pendugaan kondisi yang belum ternyatakan dari prinsip-prinsip atau
generalisasi tertentu),
5. analyzing error (identifikasi dan artikulasi kesalahan di dalam pikiran sendiri
maupun orang lain),
6. constructing support (pengkostruksian sistem dukungan kebenaran atau bukti
untuk suatu pernyataan yang tegas),
7. abstracting (identifikasi dan artikulasi tema penting atau pola umum suatu
informasi), dan
8. analyzing perspetive (identifikasi dan artikulasi perspektif personal tentang
berbagai macam isu).
4 Belajar Menggunakan Pengetahuan secara Bermakna. Pada umumnya kita belajar
dengan baik jika pengetahuan yang kita pelajari itu diperlukan untuk mencapai suatu
tujuan. Keberadaan tujuan umum akan dicapai dengan cara-cara umum di mana kita
menggunakan pengetahuan itu secara bermakna.
Cara guru membantu siswa agar dapat menggunakan pengetahuan secara bermakna
dilakukan dengan:
1. Decision making, yaitu suatu proses menjawab pertanyaan .
2. Investigation; ada tiga tipe dasar investigasi, yakni definitional investigation
yang meliputi pemerolehan jawaban atas pertanyaan, historical investigation
meliputi pemerolehan jawaban atas pertanyaan, dan projective investigation
yang meliputi pemerolehan jawaban atas pertanyaan.
3. Experimental inquiry, yaitu proses memperoleh jawaban atas pertanyaan
4. Problem solving, yaitu menjawab pertanyaan
5. Invention, yaitu proses penciptaan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan;
5 Mengembangkan Kebiasaan Berpikir Produktif. Dimensi ini menumbuhkan
kebiasaan mental untuk dapat berpikir secara produktif yang ditandai dengan:
1. self-regulated thinking and learning, yakni kebiasaan mengetahui apa yang
sedang dipikirkannya, tindakan yang terencana, mengetahui sumber-sumber
30
yang penting, sensitif terhadap umpan balik, dan evaluatif terhadap keefektifan
tindakan;
2. critical thinking and learning, yang dicirikan oleh tindakan yang cermat, jelas,
terbuka, bisa mengendalikan diri, sensitif terhadap tingkat pengetahuan; dan
3. creative thinking and learning, yang ditandai oleh semangat tinggi, berusaha
sebatas kemampuan, percaya diri, teguh, dan menciptakan hal-hal atau cara-cara
baru.
Cara membantu siswa mengembangkan dan memelihara kebiasaan berpikir produktif
adalah dilakukan dengan: menumbuhkan sikap kebiasaan berpikir produktif, kebiasaan
berpikir yang diantarkan dengan mengintegrasikan ke dalam tugas-tugas di kelas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. Faktor Biologis (Jasmaniah)
Faktor biologis didukung oleh dua hal yaitu:
Pertama, kondisi fisik yang normal memiliki keadaan otak, panca inra dan anggota
tubuh. Kedua,kondisi kesehatan fisik. Kondisi fisik yang sehat dan segar sangat
mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang.
2. Faktor Psikologis
Faktor psikologis didukung oleh kondisi mental yang mantap dan stabil sehingga
dapat menunjang keberhasilan belajar. Adapun kondisi psikologis yang dianggap
berperan dalam hasil belajar yaitu:
Pertama adalah intelegensi atau tingkat kecerdasan berpengaruh besar terhadap
keberhasilan belajar. Kedua adalah kemauan. kemauan dapat dikatakan sebagai
faktor utama pembantu keberhasilan belajar seseorang. Ketiga adalah bakat. Bakat
ini menentukan mampu atau tidaknya seseorang dalam suatu bidang melainkan
lebih menentukan tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam suatu bidang.
(Slameto, 2010).
Selain itu, faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi hasil belajar siswa adalah:
1. Sistem pembelajaran
Sistem pembelajaran yang monoton dan tidak terstruktur dengan baik
mengakibatkan siswa kurang memiliki minat dan motivasi untuk belajar sehingga
mengakibatkan hasil belajar menjadi rendah
2. Strategi pengajaran
31
Strategi pengajaran yang tidak relevan dan kurang luwes dalam pembelajaran
dapat berdampak buruk terhadap hasil belajar siswa. Jika seorang guru
menggunakan strategi pembelajaran yang menarik dan relevan maka siswa akan
menyukai dan antusias terhadap materi yang dibawakan guru.
3. Kurikulum
Kurikulum juga ikut berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, kurikulum yang
tidak sesuai dengan keaadan pendidikan dan oerkembangan zaman berkontribusi
terhadap hasil belajar siswa
4. Model pembelajaran
Model Pembelajaran saat ini telah menjadi bahan diskusi yang banyak diteliti
oleh para ilmuwan. Model pembelajaran dianggap berpengaruh besar terhadap
hasil belajar siswa. Model pembeljaran yang menarik, menyenangkan,
menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran saat ini dianngap berpengaruh baik
tehadap hasil belajar.
5. Gaya belajar siswa
Masing-masing siswa memiliki gaya belajar yang berbeda-beda, gaya belejar ini
juga dianggap berpengaruh terhadap hasil belajar mereka di sekolah.
(Potter & Johnston, 2006)
Selanjutnya, faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi hasil belajar siswa
adalah:
1. Pengalaman mengajar guru
2. Kurikulum
3. Hubungan dan interaksi antara siswa , guru dan materi
4. Motivasi belajar siswa dan motivasi guru dalam mendidik
5. Model pembelajaran
(Hussey & Smith, 2010)
2.1.5 Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian yang relevan berkaitan dengan hasil belajar siswa antara lain
adalah:
1. Johnstone, K. M., & Biggs, S. F. (1998). Problem-based learning: Introduction,
analysis, and accounting curricula implications. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa PBL berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa dalam pelajaran
akuntansi.
2. Problem Based Learning tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar
siswa walau ada sedikit peningkatan hasil belajarar siswaa namun tidak
signifikan didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mergendoller,
Maxwell, & Bellisimo (2000)
32
3. Bilgin, Ibrahim., Erdal Senocak., & Mustafa Sozbilir. (2009). Learning
Instruction on University Student’s Perfomance of Conceptual and Quantitative
Problems in Gas Concepts. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PBL
berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa dalam pelajaran matematika.
4. Salin, Ahmad Saiful Azlin Puteh . (2011). Outcome-Based Learning And
Modified Problem-Based Learning For Accounting Education. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa PBL berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa
dalam pelajaran Akuntansi.
5. Hallinger, P., & Lu, J. (2011). Implementing problem-based learning in higher
education in Asia: challenges, strategies and effect. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa PBL berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa
dalam pendidikan manajemen.
6. Los, Ryan E.B. (2014). The Effects Of Self-Regulation And Self-Efficacy On
Academic Outcome (Division of Counseling and Psychology in Education
Human Development and Educational PsychologyIn the Graduate School, The
University of South Dakota). United State: ProQuest LLC. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Self efficacy berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar
siswa.
2.1.6 Kerangka Pemikiran
Hasil belajar merupakan akreditasi siswa dalam belajar baik di sekolah
maupundi luar kelas. Hasil belajar dijadikan sebagai penilaian kualitas peserta didik dan
membantu untuk menghindari putus sekolah (Maher, 2004).
Angka pendidikan berkelanjutan saat ini masih rendah dan didominasi oleh
lulusan SMA/SMK. Lulusan SMA/SMK ini hanya sedikt yang masuk di dalam dunia
kerja ataupun yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan
hasil belajar siswa yang rendah sehingga ketika siswa mau memasuki dunia kerja, ia
tidak memenuhi syarat standar nilai akademik begitu juga untuk melanjutkan
pendidikannya ke jenjang perguruan tinngi.Tentu saja hal ini harus dicari solusi
pemecahannya.
33
Penyebab-penyebab rendahnya hasil belajar dipengaruhi oleh banyak hal
antara lain:
1. Sistem pembelajaran
2. Strategi pengajaran
3. Kurikulum
4. Model pembelajaran
5. Gaya belajar siswa
Selanjutnya, faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi hasil belajar siswa adalah:
1. Pengalaman mengajar guru
2. Kurikulum
3. Hubungan dan interaksi antara siswa , guru dan materi
4. Self efficacy, Motivasi belajar siswa dan motivasi guru dalam mendidik
5. Model pembelajaran
(Hussey & Smith, 2010)
Dari sekian banyak faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa,
penulis memilih dua faktor yang dianggap paling berkontribusi terhadap hasil
belajar siswa yaitu penggunaan model pembelajran dan tingkat Self Efficacy. Saat
ini banyak sekali model-model pembelajaran yang telah diperkenalkan para ahli.
Akan tetapi masih banyak guru yang belum mengimplementasikan model
pembelajaran yang ada di dalam proses pembelajaran. Hal ini biasa saja
dikarenakan guru memiliki pemahaman yang kurang mengenai model-model
pembelajaran, sehingga dengan tidak diterapkanya model pembelajaran yang akan
menarik antusias siswa dalam pelajaran mengakibatkan proses pembelajaran
menjadi monoton dan membosankan. Selain penggunaan model pembelajaran,
tingak self efficacy pada diri siswa juga mempengaruhi proses pembelajaran dimana
self efficacy itu sendiri berupa keyakinan yang ada pada diri smengenai kemampuan
yang ia miliki dan motivasi yang ia miliki.
Di bidang akademis Indonesia berdasarkan kurikulum 2013 ada 4 model
pembelajaran yang disarankan untuk mata pelajaranb ekonomi, yaitu Inquiry Based
Learning, Discovery Based Learning, Project Based Learning, Problem Based
Learning.Problem Based Learning sebagai model pembelajaran yang akan
34
diterapkan dalam penelitian ini (http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/2011).
Dari 4 model pembelajaran yang disarankan penulis memilih model pembelajaran
Problem Based Learning sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan
rendahnya hasil belajar siswa yang dikarenakan proses pembelajaran yang
monoton, tidak menyenangkan, tidak merangsang kognitif siswa. Problem Based
Learning merupakan model pembelajaran yang diperkenalkan oleh John Dewey
yang merupakan bagian dari grand teori konstruktivisme. Model ini sangat cocok
digunakan dalam pelajaran ekonomi dimana siswa nantinya akan diperkenalkan
pada sebuah masalah ekonomi, siswa mencari informasi mengenai masalah dan
memecahkan masalah tersebut. Model ini sangat relevan digunakan dalam pelajaran
Ekonomi, hal ini juga didukung oleh penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Maxwell, Bellisimo, & Mergendoller (2001).
Tingkat self efficacy juga harus ditingkatkan pada diri siswa sehingga ia
memiliki keyakinan, motivasi, dan rasa percaya diri akan kemampuannya
menyelesaikan sebuah tugas.
Berikut ini akan disajikan bagan yang menggambarkan kerangka pemikiran
mengenai Problem Based Learning , Self Efficacy dan Peranan Guru Sebagai
Moderasi Terhadap Hasil Belajar Ekonomi
Gambar 2.4 Model Hubungan Kausalitas Penelitian
Keterangan:
X1 : Problem Based Learning
Hasil Belajar
Problem Based Learning
Self Efficacy
Peranan Guru
35
X2 : Self Efficacy
Z : Peranan Guru
Y : Hasil Belajar
36
2.1.7 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang
dibangun berdasarkan kerangka teori tertentu yang sebenarnya dimana kebenarannya
perlu diuji secara empiris. Adapun hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini
antara lain:
1. Terdapat pengaruh positif atas penggunaan model pembelajaran Problem Based
Learning terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi.
2. Terdapat pengaruh self efficacy terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran
ekonomi.
3. Terdapat pengaruh positif atas peranan guru sebagai variabel moderasi yang
memperkuat hubungan problem based learning dan self efficacy terhadap hasil
belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi.
4. Terdapat perbedaan positif terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran
ekonomi pada siswa kelompok eksperimen yang menggunakan model pembelajaran
Problem Based Learning dengan siswa kelompok kontrol.