bab ii.pdf

27
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Konsep Problem Based Learning Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang masuk kedalam kajian teori konstruktivisme (Kemp, 2000; Savery & Duffy, 2001; Arends R, 2012).Model pembelajaran ini diperkenalkan oleh salah satu tokoh teori belajar konstruktivisme yang bernama John Dewey. Model pembelajaran ini mulai dipopulerkan sebab model pembelajaran ini dianggap memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan pengamatan atas masalah yang disajikan dalam pelajaran di sekolah maupun di luar sekolah. Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintergrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar harus bersifat aktif, langsung terlibat, berpusat pada siswa dalam konteks pengalaman sosial. Menurutnya kesadaran sosial menjadi tujuan dari semua pendidikan. Belajar membutuhkan keterlibatan siswa dan kerjasama tim dalam mengerjakan tugas. Guru bertindak sebagai fasilitator, mengambil bagian sebagai anggota kelompok dan diadakan kegiatan diskusi dan review. John Dewey dalam bukunya Democracy and Education (1916), pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Dalam teori konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan permasalahan yang dihadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki. 2.1.1.1 Definisi Problem Based Learning Penggunaan Problem Based Learning sangat cocok untuk pembelajaran yang berpusat pada siswa dan pembelajaran individual. Guru dapat menentukan masalah yang akan digunakan , bidang studi dan sumber daya atau subjek untuk dipelajari yang

Upload: erika-feronika-simanungkalit

Post on 10-Apr-2016

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

masih proposal

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II.pdf

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Konsep Problem Based Learning

Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang masuk

kedalam kajian teori konstruktivisme (Kemp, 2000; Savery & Duffy, 2001; Arends R,

2012).Model pembelajaran ini diperkenalkan oleh salah satu tokoh teori belajar

konstruktivisme yang bernama John Dewey. Model pembelajaran ini mulai dipopulerkan

sebab model pembelajaran ini dianggap memberikan kemudahan kepada siswa untuk

melakukan penyelidikan dan pengamatan atas masalah yang disajikan dalam pelajaran di

sekolah maupun di luar sekolah. Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada

pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling

terintergrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar harus

bersifat aktif, langsung terlibat, berpusat pada siswa dalam konteks pengalaman sosial.

Menurutnya kesadaran sosial menjadi tujuan dari semua pendidikan. Belajar

membutuhkan keterlibatan siswa dan kerjasama tim dalam mengerjakan tugas. Guru

bertindak sebagai fasilitator, mengambil bagian sebagai anggota kelompok dan

diadakan kegiatan diskusi dan review. John Dewey dalam bukunya Democracy and

Education (1916), pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang

menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan

pengalaman selanjutnya. Dalam teori konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan

muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat

dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan permasalahan

yang dihadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki.

2.1.1.1 Definisi Problem Based Learning

Penggunaan Problem Based Learning sangat cocok untuk pembelajaran yang

berpusat pada siswa dan pembelajaran individual. Guru dapat menentukan masalah

yang akan digunakan , bidang studi dan sumber daya atau subjek untuk dipelajari yang

Page 2: BAB II.pdf

11

relevan dengan masalah. Hal ini akan mengembangkan keterampilan siswa dalam

memecahkan masakah dan aktif dalam proses pembelajaran (Howard S. Barrows &

Robyn M. Tamblyn, 1980).

Model pembelajaran Problem Based Learning merupakan model

pembelajaran yang berorientasi pada masalah bukan teori, masalahnya diambil secara

empiris, siswa bertanggung jawab dan aktif dalam pembelajaran dan sebagian besar

pembelajaran terjadi dalam konteks kelmpok kecil dan siswa sedapat mungkin

menemukan solusi atas masalah (Hallinger & Lu, 2011).

Problem Based Learning diasumsikan sebagai pembelajaran yang berpusat

pada siswa, siswa melakukan penelitian, mengintegrasikan teori dan praktek, dan

menerapkan pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan solusi yang layak

untuk masalah (Savery, 2006). Melalui penerapan Problem Based Learning sebagai

model pembelajaran akan menjadi alternatif untuk meningkatkan pemahaman dan

keterampilan siswa dalam memecahkan masalah-masalah yang ia temui dalam proses

pembelajaran di sekolah maupun di kehidupan sehari-hari. Dalam proses pembelajaran

di sekolah problem based learning lebih menstimulus siswa dalam memecahkan

masalah-masalah pada materi pelajaran yang biasanya materi pelajaran tersebut telah

terisis konten/contoh yang telah lebih dulu disesuaikan guru dengan kehidupan sehari-

hari siswa (empiris) sehingga siswa lebih antusias dan kritis dalam memecahkan

masalah di soal materi pelajaran. Sebagai contoh dalam pelajaran ekonomi pada materi

menyusun jurnal umum akuntansi perusahaan jasa, Guru sekiranya memberikan contoh

transaksi yang sering dilakukan siswa di kehidupan sehari-hari sehingga siswa lebih

gampang memahami konsep penyususnan jurnal umum dan apabila siswa diberikan

soal atau masalah yang menyerupai mereka lebih gampang meyelesaikannya karena hal

itu telah tertanam dalam ingatan siswa.

2.1.1.2 Dimensi Problem Based Learning

Karakteristik Problem Based Learning menurut Arends Richard (2012:397)

ada 5, yaitu:

1. Ditandai dengan pertanyaan atau masalah

2. Fokus interdisipliner

3. Investigasi otentik

4. Menghasilkan kecerdasan dan solusi

5. Kerjasama

Page 3: BAB II.pdf

12

Selain itu, Savery menyatakan bahwa Problem Based Learning memiliki,

karakteristik Problem Based Learning memiliki 10 hal unsur yang terkandung

didalamnya, yaitu:

1. Siswa harus memiliki tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri.

2. Simulasi masalah digunakan dalam pembelajaran berbasis masalah harus

terstruktur

3. Belajar harus diintegrasikan dari berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran

4. Kolaborasi/kerjasama adalah penting

5. Siswa yang secara mandiri mereka harus diterapkan kembali ke masalah

dengan analisis ulang dan resolusi

6. Analisis penutupan, apa yang telah dipelajari dari pekerjaan dengan masalah

dan diskusi tentang apa konsep dan prinsip-prinsip yang telah dipelajari

7. Penilaian pribadi dan penilaian sejawat harus dilakukan pada penyelesaian

setiap masalah dan pada akhir setiap unit pelajaran

8. Kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran berbasis masalah harus berguna

di dunia nyata siswa.

9. Ujian siswa harus mengukur kemajuan siswa terhadap tujuan pembelajaran

berbasis masalah

10. Pembelajaran berbasis masalah harus menjadi basis pedagogis dalam

kurikulum dan bukan bagian dari kurikulum didaktik

(Savery, 2006)

Adapun kelebihan dari Problem Based Learning menurut Johnstone & Biggs

antara lain:

1. Memungkinkan siswa untuk berlatih mengumpulkan informasi yang relevan

dengan masalah dan mengintegrasikan informasi tersebut kedalam konteks

kasus.

2. Dengan mengumpulkan dan mengintegrasikan informasi terkait kasus

membuat siswa mengingat informasi dalam konteks kasus mereka. Proses ini

mendorong pengembangan pengalaman terstruktur berbasis pengetahuan dan

memungkinkan siswa untuk lebih mudah dan tepat mengingat informasi yang

relevan ketika mereka menghadapi kasus atau situasi yang sama di masa depan.

3. Mengembangkan keterampilan diagnostik/memecahkan masalah,

mengevaluasi, menjelaskan fakta-fakta yang diamati

(Johnstone & Biggs, 1998)

Menurut Suyanti (2010) problem based learning memiliki beberapa

kelebihan diantaranya:

1. PBL dirancang utamanya untuk membantu pebelajar dalam membangun

kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan intelektual mereka, dan

mengembangkan kemampuan mereka untuk menyelesaikan dengan

pengetahuan baru.

2. Membuat mereka menjadi pebelajar yang mandiri dan bebas.

Page 4: BAB II.pdf

13

3. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk memahami isi

pelajaran, dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa,

4. Dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan

pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata,

5. Membantu siswa mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung

jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan di samping itu, juga dapat

mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun

proses belajarnya.

6. Melalui problem based learning bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa

setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang

harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari

buku-buku.

7. Dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar

sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.

Disamping kelebihan, menurut Suyanti (2010) Problem Based Learning juga

memiliki kekurangan diantaranya:

1. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan

bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan

merasa enggan untuk mencoba.

2. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem based learning

membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.

3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah

yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin

pelajari.

Selanjutnya menurut Wood kekurangan dari Problem Based Learning yaitu:

Siswa mungkin tidak yakin berapa besar tingkat kemandirinya untuk mengumpulkan

informasi yang relevan dan berguna terhadap masalah yang dibahas (Wood, 2003)

2.1.1.3 Model/Sintaks Problem Based Learning

Adapun model dari Problem Based Learning adalah seperti gambar dibawah

ini:

Thinking and

problem solving skills

Problem Based

Learning Adult role behaviors

and social skills

Skill for independent

learning

Gambar 2.1 Learner Outcomes for Problem Based Learning (Arends,

2012:398)

Page 5: BAB II.pdf

14

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa penggunaan model Problem Based Learning

menghasilkan 3 hal pada diri siswa, yaitu:

1. Thinking and problem solving skills

Berpikir dan keterampilan memecahan masalah. Kegiatan berpikir melibatkan

penggunaan proses intelektual dan kognitif, mulai dari proses dasar seperti

mengingat dan mengingat untuk berpikir pada tingkat yang lebih tinggi, seperti

menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Hal ini ini lebih tinggi tingkat

kemampuan analisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan menjadi tujuan hasil dari

penerapan Problem Based Learning.

2. Adult role behaviors and social skills

Pembelajaran berbasis masalah juga bertujuan untuk membantu siswa berperan

dalam situasi kehidupan nyata dan belajar peran orang dewasa. Perbandingan belajar

di sekolah dan luar sekolah berbeda dalam hal berikut:

1. Belajar di sekolah paling sering berfokus pada kinerja individu, sedangkan di

luar sekolah pekerjaan mental melibatkan kolaborasi dengan orang lain.

2. Belajar di sekolah berfokus pada proses berpikir tanpa bantuan, sedangkan

aktivitas mental di luar sekolah biasanya melibatkan alat kognitif, seperti

komputer, kalkulator, dan instrumen ilmiah lainnya.

3. belajar di sekolah memupuk pemikiran simbolik mengenai situasi hipotetis,

sedangkan aktivitas mental di luar sekolah terlibat individu langsung dengan

beton dan benda-benda nyata dan situasi.

4. belajar di sekolah berfokus pada keterampilan umum (membaca, menulis, dan

komputasi) dan pengetahuan umum (sejarah dunia, unsur kimia), sedangkan

situasi khusus berpikir seperti apakah akan membeli atau menyewa mobil baru

mendominasi di luar sekolah.

Perspektif ini memberikan alasan yang kuat untuk pembelajaran berbasis masalah

karena ini bentuk instruksi sangat penting untuk menjembatani kesenjangan antara

belajar dan sekolah formal aktivitas mental yang lebih praktis yang terjadi di luar

sekolah. Perhatikan bagaimana fitur pembelajaran berbasis masalah sesuai dengan

aktivitas mental di luar sekolah:

Page 6: BAB II.pdf

15

1. Pembelajaran berbasis masalah mendorong kolaborasi dan prestasi tugas

bersama.

2. Pembelajaran berbasis masalah memiliki unsur magang. Mendorong

pengamatan dan dialog dengan orang lain sehingga siswa secara bertahap dapat

mengasumsikan peran diamati (ilmuwan, guru, dokter, artis, sejarawan, dll).

3. Pembelajaran berbasis masalah melibatkan siswa dalam penyelidikan dipilih

sendiri yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan dan menjelaskan

fenomena dunia nyata dan untuk membangun pemahaman mereka sendiritentang

fenomena ini.

3. Skill for independent learning

Keterampilan untuk belajar mandiri. Akhirnya, pembelajaran berbasis masalah

berusaha untuk membantu siswa menjadi pembelajar mandiri. Dipandu oleh guru

yang berulang kali mendorong dan menghargai mereka untuk mengajukan

pertanyaan dan mencari solusi untuk masalah nyata pada mereka sendiri, siswa

belajar untuk melakukan tugas-tugas ini secara mandiri di kemudian hari.

Pembelajaran berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang

dimulai dengan guru mengorientasi siswa pada situasi masalah dan berujung dengan

presentasi dan analisis pekerjaan siswa. Tidak seperti lingkungan belajar yang

terstruktur ketat diperlukan untuk instruksi langsung atau hati-hati menggunakan

kelompok-kelompok kecil dalam pembelajaran kooperatif, lingkungan belajar dan

sistem manajemen untuk instruksi berbasis masalah dicirikan oleh terbuka,

demokratis proses dan oleh peran mahasiswa aktif. Bahkan, seluruh proses

membantu siswa menjadi mandiri, pelajar mandiri yang percaya diri mereka sendiri

keterampilan intelektual memerlukan keterlibatan aktif dalam intelektual aman,

penyelidikan berorientasi lingkungan hidup. Meskipun guru dan siswa melanjutkan

melalui fase dari pelajaran pembelajaran berbasis masalah dalam mode agak

terstruktur dan dapat diprediksi, norma-norma sekitarnya pelajaran adalah mereka

penyelidikan terbuka dan kebebasan berpikir. Lingkungan belajar menekankan peran

sentral pelajar, bukan dari guru.

Selanjutnya, langkah-langkah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning

menurut Arends Richard (2012:411) adalah sebagai berikut:

Page 7: BAB II.pdf

16

Tabel 2.1

Langkah-langkah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning

Langkah-langkah Strategi Pembelajaran

Problem Based Learning

Kegiatan yang dilakukan guru

1. Orientasi siswa pada masalah Guru menjelaskan tujuan

pembelajaran,

menjelaskan logistik yang

dibutuhkan dan

memotivasi siswa yang

terlibat dalam pemecahan

masalah

2. Mengorganisir siswa dalam belajar Guru membagi siswa

dalam kelompok

Guru membantu siswa

dalam mendefinisikan dan

mengorganisir tugas-tugas

belajar yang berhubungan

dengan masalah.

3. Membimbing penyelidikan (inqury)

individu maupun kelompok

Guru mendorong siswa

untuk mengumpulkan

informasi yang sesuai,

melaksanakan eksperimen

dan penyelidikan untuk

mendapatkan penjelasan

dan pemecahan masalah

4. Mengembangkan dan menyajikan

hasil karya.

Guru membantu siswa

dalam merencanakan dan

menyiapkan karya yang

sesuai seperti laporan,

video, model dan

membantu mereka

membagi tugas dengan

temannya.

5. Menganalisis dan mengevaluasi

proses pemecahan masalah

Guru membantu siswa

untuk melakukan refleksi

atau evaluasi terhadap

penyelidikan mereka dan

proses yang digunakan

Page 8: BAB II.pdf

17

Sedangkan menurut Pannen dkk., (2001) proses pembelajaran PBL biasanya mengikuti

tahapan-tahapannya seperti roda sebagai berikut:

Gambar 2.2 Model The Problem Based Learning (Pannen dkk., 2001)

Gambar di atas melukiskan tahapan utuh yang seyogyanya muncul dalam problem

based learning. Namun jika terdapat kendala, maka tahapan yang dilakukan hanya

mencakup empat tahap saja, yaitu: identifikasi masalah, mengumpulkan data,

analisis data, dan menghasilkan pemecahan masalah.

2.1.2 Konsep Self Efficacay

Self Efficacy merupakan kajian dari teori Kognitif Sosial (Bandura, 1977;

Benight & Bandura, 2004; Klassen & Usher, 2010; Luthans, 1998). Self Efficacy

merupakan konsep yang relatif baru di dalam penelitian akademik. Walaupun kajian

Self Efficacy lebih banyak dilakukan dalam konteks terapi, beberapa studi terkini

menunjukkan bahwa Self Efficacy memegang kekuatan signifikan untuk memprediksi

dan menjelaskan kinerja akademik di berbagai bidang.

Teori kognitif sosial, yang dikembangkan oleh Albert Bandura, didasarkan

atas proposisi bahwa baik proses sosial maupun proses kognitif adalah sentral bagi

Page 9: BAB II.pdf

18

pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan manusia. Teori sosial kognitif

digunakan untuk mengenal, memprediksi perilaku dan mengidentifikasi metode-metode

yang tepat untuk mengubah perilaku tersebut. Teori ini menjelaskan bahwa dalam

belajar, pengetahuan (knowledge), pengalaman pribadi (personal experience), dan

karakteristik individu (personal characteristic) saling berinteraksi. Belajar terjadi baik

sebagai akibat dari respon dari pengalaman sendiri (yaitu, pandangan belajar operan)

dan melalui mengamati efek pada lingkungan sosial dari perilaku orang lain.

Slavin (2008) menyatakan bahwa teori pembelajaran sosial dilatarbelakangi

dari Bandura yang memandang perilaku individu tidak hanya refleks otomatis (Stimulus

– Respon) tetapi juga reaksi yang timbul atas interaksi lingkungan dengan proses mental

internal individu tersebut. Prinsip belajar menurut teori ini menunjukkan bagaimana

observasi diri terhadap lingkungan sekitarnya mempengaruhi perilaku dan proses

kognitif dirinya.

Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku dapat dipelajari secara langsung maupun dari

pengalaman orang lain.

Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan

pada seseorang secara kebetulan, lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan

diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Sebagian besar manusia belajar

melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari

pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah

satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.

Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses

pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari

perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan

kepada orang lain. Dalam teori sosial kognitif, faktor internal maupun eksternal

dianggap penting. Peristiwa di lingkungan, faktor-faktor personal, dan perilaku dilihat

saling berinteraksi dalam proses belajar. Faktor-faktor personal (keyakinan, ekspektasi,

sikap, dan pengetahuan), lingkungan fisik dan sosial (sumber daya, konskuensi

tindakan, orang lain, dan setting fisik) semuanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi.

Bandura menyebutkan interaksi kekuatan-kekuatan ini dengan reciprocal determinism.

Faktor-faktor sosial seperti model, panutan, strategi instruksional, dan umpan balik

(elemen-elemen lingkungan untuk siswa) dapat mempengaruhi faktor-faktor personal

siswa, seperti tujuan, sense of efficacy untuk suatu tugas, atribusi dan proses-proses self-

Page 10: BAB II.pdf

19

regulated seperti merencanakan, memonitor, dan mengontrol distraksi. Pengaruh sosial

di lingkungan dan faktor-faktor personal mendorong perilaku untuk menghasilkan

pencapaian seperti persistensi dan usaha serta pembelajaran (Bandura, 1986)

2.1.2.1 Definisi Self Efficacay

Self efficacay mengacu pada keyakinan individu tentang kemampuan nya

untuk mengerahkan motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan

untuk berhasil melaksanakan tugas tertentu dalam konteks yang diberikan (Luthans,

1998). Self Efficacay juga berdampak pada pengembangan kognitif, motivasi, afektif

(Bandura, 1977). Rasa keberhasilan pribadi berdasar pada human agency. Apapun

faktor lain berfungsi sebagai panduan dan motivator, mereka berakar pada keyakinan

inti yang satu memiliki kekuatan untuk menghasilkan efek yang diinginkan oleh

tindakan seseorang. Self-efficacy mengatur fungsi manusia melalui kognitif, motivasi,

afektif, dan proses pengambilan keputusan. Self-efficacy mempengaruhi apakah orang

berpikir dalam meningkatkan diri atau melemahkan diri tergantung seberapa baik

mereka memotivasi diri dan bertahan dalam menghadapi kesulitan. (Benight &

Bandura, 2004).

Bandura (1997: 195) menyatakan bahwa Self Efficacy dapat diperoleh dari

empat sumber informasi yaitu:

1. Enactive Attainment and Performance Accomplishment (Pengalaman

Keberhasilan dan Pencapaian Prestasi), yaitu sumber ekspektasi Self Efficacy

yang penting karena berdasar pengalaman individu secara langsung. Individu

yang pernah memperoleh suatu prestasi akan terdorong meningkatkan

keyakinan dan penilaian terhadap Self Efficacynya. Pengalaman keberhasilan

individu ini meningkatkan ketekunan dan kegigihan dalam berusaha mengatasi

kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan.

2. Vicarious Experience (Pengalaman Orang Lain), yaitu mengamati perilaku dan

pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu. Melalui model ini Self

Efficacy individu dapat meningkat, terutama jika ia merasa memiliki

kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang

menjadi subyek belajarnya. Ia akan mempunyai kecenderungan merasa mampu

melakukan hal yang sama. Meningkatnya Self Efficacy individu ini dapat

meningkatkan motivasi untuk mencapai suatu prestasi. Peningkatan Self

Efficacy ini akan menjadi efektif jika subyek yang menjadi model tersebut

mempunyai banyak kesamaan karakteristik antara individu dengan model,

kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi dan kondisi, serta

keanekaragaman yang dicapai oleh model.

Page 11: BAB II.pdf

20

3. Verbal Persuasion (Persuasi Verbal), yaitu individu mendapat bujukan atau

sugesti untuk percaya bahwa ia dapat mengatasi masalah-masalah yang akan

dihadapinya. Persuasi verbal ini dapat mengarahkan individu untuk berusaha

lebih gigih untuk mencapai tujuan dan kesuksesan. Akan tetapi, Self Efficacy

yang tumbuh dengan metode ini biasanya tidak bertahan lama, apalagi

kemudian individu mengalami peristiwa traumatis yang tidak menyenangkan.

4. Physiological State and Emotional Arousal (Keadaan Fisiologis dan

Psikologis), yaitu situasi yang menekan kondisi emosional. Gejolak emosi,

kegelisahan yang mendalam, dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami

individu akan dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak

diinginkan. Kecemasan dan stress yang terjadi dalam diri seseorang ketika

melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya,

seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang

tidak diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau

gangguan somatic lainnya. Karena itu, Self Efficacy biasanya ditandai oleh

rendahnya tingkat stress dan kecemasan. Sebaliknya, Self Efficacy yang rendah

ditandai oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi pula.

Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa Self Efficacy dapat ditumbuhkan

dan dipelajari melalui emapt sumber informasi utama, yaitu Pengalaman keberhasilan

(mastery experience, Pengalaman orang lain (vicarious experience), Persuasi verbal

(verbal persuasion), Kondisi fisiologis (psysiological state).

2.1.2.2 Dimensi Self Efficacay

Ada 3 dimensi/ukuran dari Self Efficacay menurut Bandura (1997), yaitu:

1. Magnitude

Merupakan tingkat kesulitan tugas, yaitu masalah yang berkaitan dengan

derajat kesulitan tugas individu. Komponen ini berimplikasi pada pemilihan

perilaku yang akan dicoba individu berdasarkan ekspektasi efikasi pada tingkat

kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu yang ia

persepsikan dapat dilaksanakannya dan ia akan menghindari situasi dan

perilaku yang ia persepsikan di luar batas kemampuannya.

2. Strength

Merupakan kekuatan keyakinan, yaitu aspek yang berkaitan dengan kekuatan

keyakinan individu atas kemampuannya. Pengharapan yang kuat dan mantap

pada individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan

walaupun mungkin belum memiliki pengalaman-pengalaman yang menunjang.

Sebaliknya, pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan kemampuan diri akan

mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak menunjang.

3. Generality

Merupakan generalitas, yaitu hal yang berkaitan dengan luas cakupan tingkah

laku diyakini oleh individu mampu dilaksanakan. Keyakinan individu terhadap

kemampuan dirinya bergantung pada pemahaman kemampuan dirinya, baik

Page 12: BAB II.pdf

21

yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu maupun pada serangkaian

aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi.

Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa seetiap individu mempunyai Self Efficacy

yang berbeda-beda pada situasi yang berbeda, tergantung kepada :

1. Kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda itu.

2. Kehadiran orang lain, khususnya saingan dalam situasi.

3. Keadaan fisiologis dan emosional : kelelahan, kecemasan, apatis, murung.

Self Efficacy yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang

responsif atau tidak responsif, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkah

laku. Berikut ini kombinasi self efficacy dengan lingkungan sebagai prediktor tingkah

laku:

Tabel 2.2

Kombinasi self efficacy dengan lingkungan sebagai prediktor tingkah laku

Tingkat

Self

Efficacy

Lingkungan Prediksi hasil tingkah laku

Tinggi Responsif Sukses, melaksanakan tugas yang sesuai dengan

kemampuannya.

Rendah Tidak responsive Depresi, melihat orang lain sukses pada tugas yang

dianggapnya sulit.

Tinggi Tidak responsive Berusaha keras mengubah lingkungan menjadi

responsif, melakukan protes, aktivitas sosial,

bahkan memaksakan perubahan.

Rendah Responsif Orang menjadi apatis, pasrah, merasa tidak

mampu.

Page 13: BAB II.pdf

22

2.1.2.3 Model/sintaks Self Efficacy

Gambar 2.3 A causal model of self efficacy (Zimmerman, B. J., & Bandura,

A, 1994.)

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa self efficacy mempengaruhi grade goals,

final grades yang diperoleh dari self evaluative standards.

Menurut Bandura (1997: 212-213) tinggi rendahnya Efikasi Diri seseorang

dalam tiap tugas sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang

berpengaruh dalam mempersepsikan kemampuan diri individu, yaitu:

1. Jenis kelamin

2. Usia

3. Tingkat pendidikan

4. Pengalaman

Kemudian, Bandura menamnbahkan pengembangan self efficacy, meliputi beberapa

tahapan dan bagian, diantaranya :

1. Kesan Yang Murni dari Agen Individu

Anak yang baru dilahirkan, hadir tanpa membawa suatu kesan, mereka

mengeksplorasi pengalamannya berdasarkan apa yang mereka lihat dan

mempengaruhinya untuk menciptakan tindakannya, dan hal ini lah yang menjadi

dasar perkembangan dari keyakinan diri mampu atau self efficacy.

2. Keluarga Sebagi Sumber Self efficacy

Eksplorasi yang awal dan aktivitas bermain, memberikan kesempatan bagi anak

untuk memperluas dan mengulang keterampilan dasarnya serta keyakinan diri

mampu atau self efficacy nya. Hal ini terjadi ketika anak dalam lingkungan

keluarga, yaitu dengan menyediakan kesempatan bagi anak, dengan

Page 14: BAB II.pdf

23

memperkaya lingkungan fisiknya, memberikan kebebasan untuk bereksplorasi

dalam lingkungan sosial dan kognitifnya, sehingga mampu membentuk self

efficacy nya.

3. Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Self efficacy)

Anak cenderung untuk memilih teman sebayanya, yang memiliki kecenderungan

minat dan nilai yang sama. Pemilihan kelompok teman sebaya ini mendorong

dalam pembentukan keyakinan diri mampu atau self efficacy bagi anak.

Gangguan dan kekurangan dalam hubungan dengan teman sebaya dapat

mempengaruhi perkembangan keyakinan diri mampu atau self efficacy, dan

kemungkinan akan menurunkan keyakinan diri mampu atau self efficacy,

sehingga akan cenderung menghindari lingkungan teman sebayanya, sehingga

penerimaan dari teman sebayanya pun menjadi rendah.

4. Sekolah Sebagai Agen Penanam Self efficacy

Selama perkembangan periode ini, sekolah mempunyai fungsi untuk mengolah

kemapuan kognitifnya. Di sekolah anak belajar untuk mendapatkan

pengetahuan, keterampilan pemecahan masalah dan berpartisipasi secara efektif

terhadap lingkungannya. Maka secara tidak langsung penguasaan keterampilan

kognitifnya dapat mengembangkan perasaan tentang efficacy intelektualnya.

5. Perkembangan self efficacy Melalui Transisi Pengalaman Pada Masa Remaja

Perkembangan masa remaja, mendekati masa dewasa, maka mereka dituntut

untuk mempelajari keterampilan dan tanggung jawab untuk masa perkembangan

selanjutnya. Dengan perkembangan kemandiriannya selama masa remaja, maka

akan mendorong perkembangan efficacynya dengan mempelajari keterampilan

bagaimana untuk menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan.

6. Self efficacy Pada Orang Dewasa

Individu yang baru memasuki dewasa muda akan belajar untuk menghadapi dan

menanggulangi tuntutan yang muncul dari hubungan pernikahan, orang tua dan

karier. Dalam hal ini keyakinan diri mampu atau self efficacy sangat penting

untuk mendukung dan meningkatkan kompetensinya dalam menyelesaikan dan

menguasai suatu tugas. Maka dengan tingkat keyakinan diri mampu atau self

efficacy yang tinggi maka akan mendukungnya dalam menghadapi permasalahan

yang baru ditemuinya, baik dalam perkejaan, dan hubungan dalam berumah

tangga.

7. Penilaian Kembali Dari Self efficacy Selama Dalam Usia Lanjut

Dalam tahapan ini lebih memfokuskan pada perkembangan biologis, pada usia

lanjut biasanya mengalami penurunan kapasitas dan kemampuan fisik atau

biologis, begitu juga hal ini akan mempengaruhi penilaian terhadap keyakinan

diri mampu atau self efficacy nya

2.1.3 Konsep peranan guru sebagai variabel moderator

Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja

memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun

pengetahuan dalam pikiran mereka. Tokoh yang berperan pada teori konstruktivisme ini

adalah Jean Piaget dan Vygotsky. Menurut Slavin (2008) teori konstruktivisme

Page 15: BAB II.pdf

24

didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta

sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang

memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus

respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun

atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai

dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang

baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan

pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai

pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Peranan guru tidak lebih sebagai fasilitator,

suatu posisi yang sesuai dengan pandangan konstruktivistik. Tugas sebagai fasilitator

lebih berat dibandingkan hanya sebagai transmiter pembelajaran. Guru sebagai

fasilitator akan memiliki konsekuensi langsung sebagai perancah, model, pelatih, dan

pembimbing. Disamping sebagai fasilitator, secara lebih spesifik peranan guru dalam

pembelajaran adalah expret learnes, sebagai manager, dan sebagai mediator.

.

2.1.3.1 Definisi peranan guru sebagai variabel moderator

Mengingat karakter yang dimiliki setiap siswa berbeda-beda di dalam proses

pembelajaran, maka diharapkan peranan guru dalam membimbing dan menjembatani

setiap siswa. Peranan guru yang diharapkan dalam proses pembelajaran berupa

keterlibatan guru dalam berbagai kegiatan belajar di sekolah maupun di luar sekolah

(Thoonen, Sleegers, Oort, Peetsma, & Geijsel, 2011). Semakin akurat para guru

melaksanakan fungsinya, semakin terjamin tercipta dan terbinanya kesiapan dan

kendala sebagai seorang pembangunan. dengan kata lain, potret peran dan fungsi guru

sangat penting dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu, situasi yang dihadapi

guru dalam melaksanakan pengajaran mempunyai pengaruh besar terhadap proses

belajar mengajar itu sendiri. Dengan demikian, guru sepatutnya peka terhadap berbagai

situasi yang dihadapi, sehingga dapat menyesuaikan pola tingkah lakunya dalam

mengajarkan dengan situasi yang dihadapi. Dan wajah diri bangsa dimasa depan

tercermin dari potret dari guru masa kini, dan gerak maju dinamika kehidupan bangsa

berbanding lurus dengan citra para guru di tengah-tengah masyarakat.

Page 16: BAB II.pdf

25

2.1.3.2 Dimensi peranan guru sebagai variabel moderator

Dalam Sardiman A.M (1986 ;143-144),mengenai apa peranan guru itu ada

beberapa pendapat yang dijelaskan sebagai berikut :

1. Prey Katz menggambarkan peranan guru sebagai komunikator, sahabat yang

dapat memberikan nasihat-nasihat, motivator sebagai pemberi inspirasi dan

dorongan, pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkahlaku serta nilai-

nilai, oranag yang menguasai bahan yang di ajarkan.

2. Havighurst menjelaskan bahwa peranan guru disekolah sebagai pegawai

(employee) dalam hubungan kedinasan, sebagai bawahan (subordinate)

terhadap atasannya, sebagai kolega dalam hubungannya dengan teman sejawat,

sebagai mediator dalam hubungannya dengan anak didik, sebagai pengatur

disiplin, evaluator dan pengganti orang tua.

3. James W. Brown, mengemukakan bahwa tugas dan peranan guru antara lain:

menguasai dan mengembangkan materi pelajaran, merencana dan

mempersiapkan pelajaran sehari-hari, mengontrol dan mengevaluasi kegiatan

siswa.

4. Federasi dan Organisasi Profesional Guru Sedunia, mengungkapkan bahwa

peranan guru disekolah, tidak hanya sebagai transmiter dari ide tetapi juga

berperan sebagai transformer dan katalisator dari nilai dan sikap.

Dari beberapa pendapat diatas maka secara rinci peranan guru dalam kegiatan

belajar-mengajar, secara singkat dapat disebutkan sebagai berikut:

a. Informator

Sebagai pelaksana cara mengajar informative, laboratorium, studi lapangan dan

sumber imformasi kegiatan akademik maupun umum.

b. Organisator

Guru sebagai organisator, pengelolah kegiatan akademik, silabus, workshop, jadwal

pelajaran dan lain-lain. Komponen-komponen yang berkaitan dengan kegiatan

belajar mengajar, semua di organisasikan sedemikian rupa, sehingga dapat

mencapai efektivitas dan efisiensi dalam belajar pada diri siswa.

c. Motivator

Peranan guru sebagai motivator ini penting artinya dalam meningkatkan kegairahan

dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Guru harus dapat merangsang dan

memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamiskan potensi siswa,

menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas), sehingga akan

menjadi dinamika dalam proses belajar-mengajar. Peranan guru sebagai motivator

Page 17: BAB II.pdf

26

ini sangat penting sebgai dalam interaksi belajar-mengajar, karena menyangkut

esensi pekerjaan mendidik yang membutuhkan kemahiran sosial, menyangkut

performance dalam arti personalisasi dan sosialisasi diri.

d. Pengarah/director

Jiwa kepemimpinan bagi guru dalam peranan ini lebih menonjol. Guru dalam hal

ini harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai

dengan tujuan yang dicita-citakan.

e. Inisiator

Guru dalam hal ini sebagai pencetus ide-ide dalam proses belajar. Suda barang

tentu ide-ide itu merupakan ide-ide kreatif yang dapat dicontoh aleh anak didiknya.

f. Transmitter

Dalam kegiatan belajar guru juga akan bertindak selaku penyebar kebijaksanaan

pendidik dan pengetahuan.

g. Fasilitator

Berperan sebagai fasilitator, guru dalam hal ini akan memberikan fasilitas atau

kemudahan dalm proses belaja-mengajar, misalnya saja dengan menciptakan

suasana kegiatan belajar yang sedemikian rupa, serasi dengan perkembangan siswa,

sehingga interaksi belajar-mengajar akan berlangsung secara efektif. Hal ini

bergayut dengan semboyang “Tut Wuri Handayani”.

h. Mediator

Guru sebagai mediator dapat diartikan sebagai penengah dalam kegiatan belajar

siswa. Misalnya menengahi atau memberikan jalan keluar kemacetan dalam

kegiatan diskusi siswa.

i. Evaluator

Ada kecenderungan bahwa peran sebagai evaluator, guru mempunyai otoritas untuk

menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya,

sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.

Page 18: BAB II.pdf

27

2.1.4 Konsep hasil belajar

Hasil belajar siswa merupakan tujuan dari sebuah pendidikan yang dapat

diperoleh dari ranah kognitif atau kemampuan berpikir, afektif atau sikap dan

psikomotorik atau keterampilan siswa (Bloom, 1956). Hasil belajar merupakan laporan

atau pernyataan tentang apa yang dicapai dan dinilai pada akhir suatu pembelajaran.

Sehubungan dengan itu, ia menambahkan bahwa mengembangkan kemampuan hasil

belajar menjadi lima macam antara lain: (1) hasil belajar intelektual merupakan hasil

belajar terpenting dari sistem lingsikolastik; (2) strategi kognitif yaitu mengatur cara

belajar dan berfikir seseorang dalam arti seluas-luasnya termaksuk kemampuan

memecahkan masalah; (3) sikap dan nilai, berhubungan dengan arah intensitas

emosional dimiliki seseorang sebagaimana disimpulkan dari kecenderungan bertingkah

laku terhadap orang dan kejadian; (4) informasi verbal, pengetahuan dalam arti

informasi dan fakta; dan (5) keterampilan motorik yaitu kecakapan yang berfungsi

untuk lingkungan hidup serta memprestasikan konsep dan lambang.

2.1.4.1 Definisi hasil belajar

Konsep hasil pembelajaran dan pendidikan berbasis pada hasil merupakan

agenda penting dalam dunia pendidikan saat ini (Harden, 2002). Menurut Sudjana

(2010: 22) hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima

pengalaman belajar. Hal serupa juga dinyatakan oleh Kunandar (2010: 276)

mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan suatu akibat dari proses belajar dengan

menggunakan alat pengukuran berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes

tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan dari proses belajar dengan menggunakan alat

pengukuran. Kemudian menurut Suprijono (2010: 5) hasil belajar adalah perubahan

perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan.

Kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh

peserta didik dalam pembelajaran dianggap sebagai hasil belajar (Jackson, 2000). Hasil

belajar dapat diperoleh dari kinerja siswa selama mengikuti proses pembelajaran (Potter

& Johnston, 2006).

Page 19: BAB II.pdf

28

2.1.4.2 Dimensi hasil belajar

Dimensi Belajar merupakan metafora tentang bagaimana otak bekerja selama orang

belajar. Dimensi belajar ini terdiri atas lima tipe berpikir yang bersifat interaktif, yaitu

sikap dan persepsi positif terhadap belajar, pemerolehan dan pengitegrasian

pengetahuan, perluasan dan penghalusan pengetahuan, penggunaan pengetahuan secara

bermakna, dan kebiasaan berpikir produktif. Pembelajaran yang menggunakan

pendekatan model Dimensi Belajar adalah pembelajaran yang menggunakan dimensi-

dimensi belajar itu sebagai premis pembelajaran. Pembelajaran yang berpusat pada lima

dimensi itu, niscaya akan memberikan hasil yang lebih baik.

Dimensi belajar dalam Adi Rahmat pertama kali diperkenalkan oleh Robert J Marzano

tahun 1992 dalam bukunya yang berjudul A different kind of classroom. Ada 5 dimensi

belajar yaitu :

1. Mengembangkan Sikap dan Persepsi Positif

Mudah untuk dipahami bahwa sikap dan persepsi si belajar sangat mempengaruhi

proses belajar. Sikap dapat mempengaruhi belajar secara positif, sehingga belajar

menjadi mudah, sebaliknya sikap juga dapat membuat belajar menjadi sangat sulit.

Ada dua kategori sikap dan persepsi yang mempengaruhi belajar:

1. sikap dan persepsi tentang iklim (suasana) belajar,

2. sikap dan persepsi terhadap tugas-tugas kelas.

Guru yang efektif memberikan penguatan terhadap kedua kategori itu dengan teknik

yang jelas dan sesuai.Guru seyogyanya membantu menumbuhkan sikap dan persepsi

siswa yang positif terhadap iklim belajar dengan menekankan aspek-aspek internal

siswa (suasana mental yang kondusif) daripada aspek-aspek eksternal. Guru dapat

membantu menumbuhkan sikap dan persepsi yang positif terhadap tugas-tugas kelas

dengan cara memberikan pemahaman akan nilai tugas, kejelasan tugas, dan kejelasan

sumber.

1. Belajar untuk Pemerolehan dan Pengintegrasian Pengetahuan Ahli psikologi

kognitif memandang belajar sebagai proses interaksi yang tinggi dalam

membangun makna secara personal dari informasi yang diperoleh dengan

pengetahuan yang sudah ada menjadi pengetahuan baru. Menerima pengetahuan

melibatkan proses interaksi antara apa yang sudah diketahui dengan apa yang

ingin dipelajari, dan setelah itu mengintegrasikan informasi tersebut menjadi

langkah-langkah sederhana yang mudah digunakan.

Menurut E.D. Gagne (1985), pengetahuan dapat dikategorikan menjadi dua,

yakni pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Banyak ahli yakin

bahwa pemerolehan tipe pengetahuan yang berbeda memerlukan proses yang

berbeda pula.

Page 20: BAB II.pdf

29

2. Perluasan dan Penghalusan Pengetahuan Pada dimensi ini aspek-aspek belajar

melibatkan pengujian apa yang diketahui agar mencapai tingkat yang lebih

dalam dan analitis.

Kegiatan memperluas dan memperhalus pengetahuan ini dilakukan dengan:

1. comparing (identifikasi dan artikulasi hal-hal atau benda-benda yang mirip dan

berbeda),

2. classifying (pengelompokan jenis-jenis benda ke dalam kategori berdasarkan

atribut dasarnya),

3. inducing (pendugaan prinsip-prinsip atau generalisasi yang belum diketahui dari

observasi atau analisis),

4. deducing (pendugaan kondisi yang belum ternyatakan dari prinsip-prinsip atau

generalisasi tertentu),

5. analyzing error (identifikasi dan artikulasi kesalahan di dalam pikiran sendiri

maupun orang lain),

6. constructing support (pengkostruksian sistem dukungan kebenaran atau bukti

untuk suatu pernyataan yang tegas),

7. abstracting (identifikasi dan artikulasi tema penting atau pola umum suatu

informasi), dan

8. analyzing perspetive (identifikasi dan artikulasi perspektif personal tentang

berbagai macam isu).

4 Belajar Menggunakan Pengetahuan secara Bermakna. Pada umumnya kita belajar

dengan baik jika pengetahuan yang kita pelajari itu diperlukan untuk mencapai suatu

tujuan. Keberadaan tujuan umum akan dicapai dengan cara-cara umum di mana kita

menggunakan pengetahuan itu secara bermakna.

Cara guru membantu siswa agar dapat menggunakan pengetahuan secara bermakna

dilakukan dengan:

1. Decision making, yaitu suatu proses menjawab pertanyaan .

2. Investigation; ada tiga tipe dasar investigasi, yakni definitional investigation

yang meliputi pemerolehan jawaban atas pertanyaan, historical investigation

meliputi pemerolehan jawaban atas pertanyaan, dan projective investigation

yang meliputi pemerolehan jawaban atas pertanyaan.

3. Experimental inquiry, yaitu proses memperoleh jawaban atas pertanyaan

4. Problem solving, yaitu menjawab pertanyaan

5. Invention, yaitu proses penciptaan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan;

5 Mengembangkan Kebiasaan Berpikir Produktif. Dimensi ini menumbuhkan

kebiasaan mental untuk dapat berpikir secara produktif yang ditandai dengan:

1. self-regulated thinking and learning, yakni kebiasaan mengetahui apa yang

sedang dipikirkannya, tindakan yang terencana, mengetahui sumber-sumber

Page 21: BAB II.pdf

30

yang penting, sensitif terhadap umpan balik, dan evaluatif terhadap keefektifan

tindakan;

2. critical thinking and learning, yang dicirikan oleh tindakan yang cermat, jelas,

terbuka, bisa mengendalikan diri, sensitif terhadap tingkat pengetahuan; dan

3. creative thinking and learning, yang ditandai oleh semangat tinggi, berusaha

sebatas kemampuan, percaya diri, teguh, dan menciptakan hal-hal atau cara-cara

baru.

Cara membantu siswa mengembangkan dan memelihara kebiasaan berpikir produktif

adalah dilakukan dengan: menumbuhkan sikap kebiasaan berpikir produktif, kebiasaan

berpikir yang diantarkan dengan mengintegrasikan ke dalam tugas-tugas di kelas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu:

1. Faktor Biologis (Jasmaniah)

Faktor biologis didukung oleh dua hal yaitu:

Pertama, kondisi fisik yang normal memiliki keadaan otak, panca inra dan anggota

tubuh. Kedua,kondisi kesehatan fisik. Kondisi fisik yang sehat dan segar sangat

mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang.

2. Faktor Psikologis

Faktor psikologis didukung oleh kondisi mental yang mantap dan stabil sehingga

dapat menunjang keberhasilan belajar. Adapun kondisi psikologis yang dianggap

berperan dalam hasil belajar yaitu:

Pertama adalah intelegensi atau tingkat kecerdasan berpengaruh besar terhadap

keberhasilan belajar. Kedua adalah kemauan. kemauan dapat dikatakan sebagai

faktor utama pembantu keberhasilan belajar seseorang. Ketiga adalah bakat. Bakat

ini menentukan mampu atau tidaknya seseorang dalam suatu bidang melainkan

lebih menentukan tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam suatu bidang.

(Slameto, 2010).

Selain itu, faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi hasil belajar siswa adalah:

1. Sistem pembelajaran

Sistem pembelajaran yang monoton dan tidak terstruktur dengan baik

mengakibatkan siswa kurang memiliki minat dan motivasi untuk belajar sehingga

mengakibatkan hasil belajar menjadi rendah

2. Strategi pengajaran

Page 22: BAB II.pdf

31

Strategi pengajaran yang tidak relevan dan kurang luwes dalam pembelajaran

dapat berdampak buruk terhadap hasil belajar siswa. Jika seorang guru

menggunakan strategi pembelajaran yang menarik dan relevan maka siswa akan

menyukai dan antusias terhadap materi yang dibawakan guru.

3. Kurikulum

Kurikulum juga ikut berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, kurikulum yang

tidak sesuai dengan keaadan pendidikan dan oerkembangan zaman berkontribusi

terhadap hasil belajar siswa

4. Model pembelajaran

Model Pembelajaran saat ini telah menjadi bahan diskusi yang banyak diteliti

oleh para ilmuwan. Model pembelajaran dianggap berpengaruh besar terhadap

hasil belajar siswa. Model pembeljaran yang menarik, menyenangkan,

menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran saat ini dianngap berpengaruh baik

tehadap hasil belajar.

5. Gaya belajar siswa

Masing-masing siswa memiliki gaya belajar yang berbeda-beda, gaya belejar ini

juga dianggap berpengaruh terhadap hasil belajar mereka di sekolah.

(Potter & Johnston, 2006)

Selanjutnya, faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi hasil belajar siswa

adalah:

1. Pengalaman mengajar guru

2. Kurikulum

3. Hubungan dan interaksi antara siswa , guru dan materi

4. Motivasi belajar siswa dan motivasi guru dalam mendidik

5. Model pembelajaran

(Hussey & Smith, 2010)

2.1.5 Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian yang relevan berkaitan dengan hasil belajar siswa antara lain

adalah:

1. Johnstone, K. M., & Biggs, S. F. (1998). Problem-based learning: Introduction,

analysis, and accounting curricula implications. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa PBL berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa dalam pelajaran

akuntansi.

2. Problem Based Learning tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar

siswa walau ada sedikit peningkatan hasil belajarar siswaa namun tidak

signifikan didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mergendoller,

Maxwell, & Bellisimo (2000)

Page 23: BAB II.pdf

32

3. Bilgin, Ibrahim., Erdal Senocak., & Mustafa Sozbilir. (2009). Learning

Instruction on University Student’s Perfomance of Conceptual and Quantitative

Problems in Gas Concepts. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PBL

berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa dalam pelajaran matematika.

4. Salin, Ahmad Saiful Azlin Puteh . (2011). Outcome-Based Learning And

Modified Problem-Based Learning For Accounting Education. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa PBL berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa

dalam pelajaran Akuntansi.

5. Hallinger, P., & Lu, J. (2011). Implementing problem-based learning in higher

education in Asia: challenges, strategies and effect. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa PBL berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa

dalam pendidikan manajemen.

6. Los, Ryan E.B. (2014). The Effects Of Self-Regulation And Self-Efficacy On

Academic Outcome (Division of Counseling and Psychology in Education

Human Development and Educational PsychologyIn the Graduate School, The

University of South Dakota). United State: ProQuest LLC. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa Self efficacy berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar

siswa.

2.1.6 Kerangka Pemikiran

Hasil belajar merupakan akreditasi siswa dalam belajar baik di sekolah

maupundi luar kelas. Hasil belajar dijadikan sebagai penilaian kualitas peserta didik dan

membantu untuk menghindari putus sekolah (Maher, 2004).

Angka pendidikan berkelanjutan saat ini masih rendah dan didominasi oleh

lulusan SMA/SMK. Lulusan SMA/SMK ini hanya sedikt yang masuk di dalam dunia

kerja ataupun yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan

hasil belajar siswa yang rendah sehingga ketika siswa mau memasuki dunia kerja, ia

tidak memenuhi syarat standar nilai akademik begitu juga untuk melanjutkan

pendidikannya ke jenjang perguruan tinngi.Tentu saja hal ini harus dicari solusi

pemecahannya.

Page 24: BAB II.pdf

33

Penyebab-penyebab rendahnya hasil belajar dipengaruhi oleh banyak hal

antara lain:

1. Sistem pembelajaran

2. Strategi pengajaran

3. Kurikulum

4. Model pembelajaran

5. Gaya belajar siswa

Selanjutnya, faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi hasil belajar siswa adalah:

1. Pengalaman mengajar guru

2. Kurikulum

3. Hubungan dan interaksi antara siswa , guru dan materi

4. Self efficacy, Motivasi belajar siswa dan motivasi guru dalam mendidik

5. Model pembelajaran

(Hussey & Smith, 2010)

Dari sekian banyak faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa,

penulis memilih dua faktor yang dianggap paling berkontribusi terhadap hasil

belajar siswa yaitu penggunaan model pembelajran dan tingkat Self Efficacy. Saat

ini banyak sekali model-model pembelajaran yang telah diperkenalkan para ahli.

Akan tetapi masih banyak guru yang belum mengimplementasikan model

pembelajaran yang ada di dalam proses pembelajaran. Hal ini biasa saja

dikarenakan guru memiliki pemahaman yang kurang mengenai model-model

pembelajaran, sehingga dengan tidak diterapkanya model pembelajaran yang akan

menarik antusias siswa dalam pelajaran mengakibatkan proses pembelajaran

menjadi monoton dan membosankan. Selain penggunaan model pembelajaran,

tingak self efficacy pada diri siswa juga mempengaruhi proses pembelajaran dimana

self efficacy itu sendiri berupa keyakinan yang ada pada diri smengenai kemampuan

yang ia miliki dan motivasi yang ia miliki.

Di bidang akademis Indonesia berdasarkan kurikulum 2013 ada 4 model

pembelajaran yang disarankan untuk mata pelajaranb ekonomi, yaitu Inquiry Based

Learning, Discovery Based Learning, Project Based Learning, Problem Based

Learning.Problem Based Learning sebagai model pembelajaran yang akan

Page 25: BAB II.pdf

34

diterapkan dalam penelitian ini (http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/2011).

Dari 4 model pembelajaran yang disarankan penulis memilih model pembelajaran

Problem Based Learning sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan

rendahnya hasil belajar siswa yang dikarenakan proses pembelajaran yang

monoton, tidak menyenangkan, tidak merangsang kognitif siswa. Problem Based

Learning merupakan model pembelajaran yang diperkenalkan oleh John Dewey

yang merupakan bagian dari grand teori konstruktivisme. Model ini sangat cocok

digunakan dalam pelajaran ekonomi dimana siswa nantinya akan diperkenalkan

pada sebuah masalah ekonomi, siswa mencari informasi mengenai masalah dan

memecahkan masalah tersebut. Model ini sangat relevan digunakan dalam pelajaran

Ekonomi, hal ini juga didukung oleh penelitian terdahulu yang dilakukan oleh

Maxwell, Bellisimo, & Mergendoller (2001).

Tingkat self efficacy juga harus ditingkatkan pada diri siswa sehingga ia

memiliki keyakinan, motivasi, dan rasa percaya diri akan kemampuannya

menyelesaikan sebuah tugas.

Berikut ini akan disajikan bagan yang menggambarkan kerangka pemikiran

mengenai Problem Based Learning , Self Efficacy dan Peranan Guru Sebagai

Moderasi Terhadap Hasil Belajar Ekonomi

Gambar 2.4 Model Hubungan Kausalitas Penelitian

Keterangan:

X1 : Problem Based Learning

Hasil Belajar

Problem Based Learning

Self Efficacy

Peranan Guru

Page 26: BAB II.pdf

35

X2 : Self Efficacy

Z : Peranan Guru

Y : Hasil Belajar

Page 27: BAB II.pdf

36

2.1.7 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang

dibangun berdasarkan kerangka teori tertentu yang sebenarnya dimana kebenarannya

perlu diuji secara empiris. Adapun hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini

antara lain:

1. Terdapat pengaruh positif atas penggunaan model pembelajaran Problem Based

Learning terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi.

2. Terdapat pengaruh self efficacy terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran

ekonomi.

3. Terdapat pengaruh positif atas peranan guru sebagai variabel moderasi yang

memperkuat hubungan problem based learning dan self efficacy terhadap hasil

belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi.

4. Terdapat perbedaan positif terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran

ekonomi pada siswa kelompok eksperimen yang menggunakan model pembelajaran

Problem Based Learning dengan siswa kelompok kontrol.