case angiofibroma chitra

34
PRESENTASI KASUS JUVENILE NASOPHARYNGEAL ANGIOFIBROMA Pembimbing: Dr. Anna Maria S, Sp.THT Penyusun: Sri Chitra Arum Sari Supit 030.09.241 Kepaniteraan klinik ilmu penyakit THT Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Periode 9 Desember – 11 Januari 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2013 1

Upload: chinyuu

Post on 28-Nov-2015

32 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

PRESENTASI KASUSJUVENILE NASOPHARYNGEAL ANGIOFIBROMA

Pembimbing:Dr. Anna Maria S, Sp.THT

Penyusun:Sri Chitra Arum Sari Supit

030.09.241

Kepaniteraan klinik ilmu penyakit THTRumah Sakit Dr. H. Marzoeki MahdiPeriode 9 Desember – 11 Januari 2013

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTIJAKARTA

2013

BAB I

LAPORAN   KASUS

1

I. IDENTITAS

Nama : An. Rian

Umur : 14 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Belum Menikah

Pekerjaan : Pelajar SLTP

Alamat : Sumurwangi Rt. 004/009

Agama : Islam

Suku bangsa : Sunda

Tanggal dirawat : 15 Desember 2013

No. RM : 277621

              

II. ANAMNESIS

Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis

KELUHAN UTAMA

Pasien datang ke UGD dengan keluhan keluar darah dari hidung kanan

sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

KELUHAN TAMBAHAN

Pasien juga mengeluh adanya muntah darah, demam dan lemas.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pada tanggal 15 desember 2013 pasien An. Rian datang ke UGD RSMM

dengan keluhan keluar darah dari hidung kanan sejak 1 hari sebelum

masuk rumah sakit. Darah yang keluar sebanyak ±2 handuk besar. 6 hari

dan 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan keluar darah

dari hidung kanannya tapi tidak banyak dan dapat ditangani dan berhenti

sendiri. Pasien juga mengeluhkan adanya muntah darah 1 hari sebelum

masuk rumah sakit. Muntah darahnya sebanyak 2 kali, muntah berwarna

merah, hanya berisi darah dan tidak tercampur makanan dan jumlahnya

sekitar 2 gelas aqua. Pasien juga mengeluhkan adanya demam dan merasa

badannya lemas setelah muntah darah. Pasien juga 1hari setelah masuk

RS. Pasien juga merasakan pendengaran sebelah kanannya sedikit kurang

2

dengar tetapi hanya sebentar dan hilang timbul. Adanya riwayat trauma

pada daerah hidung atau muka dan hipertensi disangkal. Pada 1 tahun yang

lalu pasien pernah mengalami hal yang sama, pendarahan dari hidung

kanan pasien sangat banyak dan langsung dirujuk ke RSCM dan di

lakukan biopsi dan hasilnya mengatakan kesan angiofibroma Juvenilis

jinak. Pasien sudah di operasi secara transpalatal dan diambil

angiofibromanya dan melakukan radioterapi tetapi pasien berhenti setelah

10 kali penyinaran yang seharusnya dilakukan sebanyak 30 kali.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien sebelumnya sering keluar darah dari hidungnya tetapi darah yang

keluar hanya sedikit dan dapat berhenti dengan sendirinya sehingga tidak

membawa pasien datang ke rumah sakit. Riwayat keganasan, hipertensi,

diabetes mellitus, asma, trauma bagian kepala, hidung dan muka disangkal

pasien.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Tidak ada keluarga pasien yang menderita gejala yang sama. Riwayat

keganasan, hipertensi, diabetes mellitus dalam kelurga disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. STATUS GENERALIS

Keadaan Umum: Tampak sakit sedang

Kesadaran: Compos mentis

Tanda vital:

Nadi: 110 x/menit

Suhu: 36,5oC

Pernafasan: 22 x/menit

Kepala: Normocephali

3

Mata: CA -/-, SI -/-

Leher: Kelenjar getah bening tidak tampak dan tidak teraba adanya pembesaran

Thorax: Tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen: Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas: Tidak dilakukan pemerikaan

B. STATUS LOKALIS THT :

1. PEMERIKSAAN TELINGA

Kanan Kiri

Normotia Daun telinga Normotia

Nyeri tekan (-)

Sikatriks (-)

Fistel(-)

Abses (-)

Retroaurikuler

Nyeri tekan (-)

Sikatriks (-)

Fistel(-)

Abses (-)

Nyeri tekan (-)

Sikatriks (-)

Fistel(-)

Abses (-)

Preaurikuler

Nyeri tekan (-)

Sikatriks (-)

Fistel(-)

Abses (-)

LIANG TELINGA

Lapang Lapang/sempit Lapang

Hiperemis (-) Warna epidermis Hiperemis (-)

(-) Sekret (-)

(+) Serumen (+)

(-) Kelainan lain (-)

Membrane Timpani

4

Intak, reflex cahaya (+)

arah pukul 5

Intak, reflex cahaya (+)

arah pukul 7

Pemeriksaan fungsi pendengaran

Tes Penala 512 Hz

Positif Rinne Positif

Tidak ada lateralisasi Weber Tidak ada lateralisasi

Sama dengan pemeriksa Swabach Sama dengan pemeriksa

2. PEMERIKSAAN HIDUNG

RINOSKOPI ANTERIOR

Kanan Kiri

(-) Deformitas (-)

(-)

(-)

(-)

Nyeri tekan

Pangkal hidung

Pipi

Dahi

(-)

(-)

(-)

(-) Krepitasi (-)

Lapang Vestibulum Lapang

5

Rambut (+)

Mukosa: Hiperemis (-)

Sekret (-)

Massa (-)

Rambut (+)

Mukosa: Hiperemis (-)

Sekret (-)

Massa (-)

Oedem (-)

Livid (-)Konka inferior

Oedem (-)

Livid (-)

Tidak terlihat Konka media Tidak terlihat

Tidak terlihat Konka superior Tidak terlihat

Pus (-), polip (-) Meatus nasi Pus (-), polip (-)

lapang Kavum nasi lapang

Hiperemis Mukosa Hiperemis

(-) Sekret (-)

Deviasi (-) Septum Deviasi (-)

NormalDasar hidung

Normal

RINOSKOPI POSTERIOR

TIDAK DILAKUKAN PEMERIKSAAN

3. PEMERIKSAAN FARING

6

4. PEMERIKSAAN HIPOFARING

5. PEMERIKSAAN LARING

Epiglotis Tidak dapat dinilai

Plika

ariepliglotika

Tidak dapat dinilai

Aritenoid Tidak dapat dinilai

Sinus piriformis Tidak dapat dinilai

Korda vokalis Pita suara asli: Tidak dapat dinilai

Pita suara palsu: Tidak dapat dinilai

Subglotik/trakea Tidak dapat dinilai

Rima glotis Tidak dapat dinilai

7

Arkus faring Tidak simetris, massa (-)

Pilar anterior Simetris

Palatum Durum Simetris, massa (-)

Palatum Mole Ada penonjolan(bulging) pada bagian kanan

Kiri : bulging (-), massa (-), bercak-bercak keputihan

(-)

Dinding faring Granula (-), cobble stone appearance (-)

Uvula Ukuran dan bentuk normal, letak di tengah

Tonsil palatina Besar: T1 – T1

Warna: hiperemis -/-

Kripta: normal

Detritus -/-

Perlekatan: (-)

Pilar posterior Simetris

Gigi geligi Oral hygiene kurang baik, caries gigi (+)

Basis lidah Tidak dapat dinilai

Valekula Tidak dapat dinilai

Plika

glossospiglotika

Tidak dapat dinilai

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Hematologi Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 8,0 g/dl 13-18 g/dl

Leukosit 4860/mm3 4000-10000/mm3

Trombosit 246000 mm3 150000-400000 mm3

Hematokrit 24% 40-54%

V. PEMERIKSAAN ANJURAN

1. Pemeriksaa Radiologis

o FOTO SINAR-X

o CT scan potongan coronal dan axial dengan kontras setinggi

nasofaring

2. Biopsi

3. Angiografi

               

4. RESUME

Pasien bernama An.Rian, 14 tahun datang dengan keluhan keluar darah dari

hidung kanan ±2 handuk besar sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Darah

yang keluar sebanyak ±2 handuk besar. Pasien juga mengeluhkan adanya

muntah darah yang tidak tercampur makanan. Adanya demam dan merasa

badannya lemas setelah muntah darah. 1 tahun yang lalu pasien pernah

mengalami hal yang sama di lakukan biopsi, dan hasilnya mengatakan kesan

angiofibroma Juvenilis jinak lalu di operasi secara transpalatal dan diambil

angiofibromanya dan melakukan radioterapi tetapi pasien berhenti sebelum

waktunya.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya palatum mole sebelah kanan

menonjol(bulging). Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan Hb

yang menurun dan hematokrit yang menurun.

8

5. DIAGNOSIS KERJA

Angiofibroma nasofaring juvenile dextra post extraksi dan radioterapi

6. DIAGNOSIS BANDING

Ca nasofaring

7. RENCANA TINDAKAN

8. PROGNOSIS

Ad Vitam              : Bonam

Ad Fungsionam    : Bonam

Ad Sanationam     : Dubia ad bonam

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal angiofibroma) adalah

suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas

karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis,

pipi, mata dan tengkorak (cranial vault), serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.

Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-

laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya tumor ini

disebut juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile nasopharyngeal angiofibroma”). Tetapi

istilah juvenile ini tidak sepenuhnya tepat karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada

pasien yang lebih tua. Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile

angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, nasal tumor,

benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, angiofibroma

nasofaring belia. Sekarang ada kesepakatan bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari

laki-laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya,

bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich dan Abela, 1948). Angiofibroma

Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka

sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus dipertanyakan.

Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada nasofaring, tetapi

jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher. Insiden dari angiofibroma tinggi

dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin,

Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien

untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New

York. Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal

National Throat, Nose and Ear Hospital dimana didapat kesimpulan bahwa lebih sedikit

angiofibroma di London dibanding di New York. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di

Mesir dan India. Insiden rata-rata JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT.

Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis. Eksisi JNA yang

tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu pada eksisi yang

sempurnapun masih meninggalkan sisa jaringan tumor mikroskopik.

10

Beberapa hipotesis tentang asal usul tumor ini sudah dikemukakan tetapi belum ada yang

benar-benar bisa menjelaskan dengan baik.

ETIOLOGI

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak dikemukakan. Namun

teori yang paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated

hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang

dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute)

setelah masa remaja (puberty). Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya

reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor

progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor

seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive

immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang memperlihatkan reseptor tersebut. 24

angiofibroma nasofaring diperoleh dari penyimpanan jaringan, dan studi imunositokimia

menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial

immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif antibodi RP

dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil membuktikan langsung adanya antibodi dari

reseptor androgen pada angiofibroma.

Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif

sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor

pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah

untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1

mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif

diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada

semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.

Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil mengungkapkan

delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor gene p53 sama seperti

Her-2/neu oncogene.

Gen glutation-S-transferase M1 (GSTM1) yang biasa terdapat pada sel manusia dan

mempunyai fungsi sebagai sitoprotektor terhadap antioksidan biasanya gen ini menghilang

pada para perokok. Hilangnya GSTM1 memicu keganasan pada traktus respiratorius bagian

atas. Gautham dkk menyelidiki hubungan perubahan pada GSTM1 pada pasien non perokok

yang menderita JNA. Hasilnya menunjukkan tiga dari delapan pasien tidak menunjukkan

tidak terdapatnya GSTM1.

11

Growth factor yang mirip dengan insulin II (IGFII) adalah protein perangsang pertumbuhan

yang terlibat dalam pertumbuhan janin. IGFFII ditemukan bersamaan dengan pertumbuhan

jaringan tumor pada 53 % dari pasien JNA. Ini juga membuktikan bahwa gen IGFII mungkin

terlibat pada pertumbuhan tumor JNA.

Hubungan kausal sudah pernah dilaporkan antara JNA dengan familiar adenomatous

polyposis syndrome (FAP). Sindrom ini adalah suatu kondisi autosomal dominan yang

ditandai dengan beberapa adenoma di traktus gastrointestinal, kecenderungan terjadinya

adenokarsinoma dan keganasan-keganasan lain di ekstrakolon. JNA merupakan salah satu

maifestasi FAP ekstrakolon dengan JNA yang terjadi dengan frekuensi 25 kali lebih tinggi

pada pasien dengan sindrom ini.

Pengetahuan tentang patologi dari JNA sudah mulai ditelti sejak beberapa dekade yang lalu.

Dengan kemajuan di bidang studi anatomopato;ogik masih sedikit penelitian mengenai aspek

genetik dan molekular dari JNA. Kebanyakan penelitian tentang genetika JNA memberikan

hasil yang tidak bisa disimpulkan atau tidak menambah banyak informasi tambahan terhadap

pengetahuan tentang tumor tersebut.

LOKASI

Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar nasofaring

atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul dari bagian

posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen sphenopalatina. Dari sini tumor

bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina,

berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari

pertumbuhan tumor.

PATOLOGI

Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak agak

lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari merah muda

sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu dibungkus oleh membran

mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang

berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau abu-abu. Secara histologik,

angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh

darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan

dilapisi oleh lapisan tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik

dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika

terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah.

Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi batas

12

endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya terjadi

trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel stromal, yang

melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan

kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan

karakteristik dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.

Gambar 1. Reseksi pasca operasi dari JNA. Tampak sebuah massa yang besar, tidak bertangkai

(sessile), berwarna kemerahan yang sebelumnya berada dalam nasofaring. JNA juga dapat

berbentuk bertangkai (pedunculated) atau polypoid

13

Gambar 2. Gambaran histologis dari JNA. Tampak gambaran fibrosit berbentuk bintang (tanda

*) dalam stroma jaringan ikat, dan pembuluh darah berdinding tipis (tanda panah)

PATOFISIOLOGI

Menurut Mansfield E (2006) , asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di

atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan aspek

posterior dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya area jaringan

endotel di daerah ini.

Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah

menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan

menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya.

Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial.

14

Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen sfenopalatina. Tumor-

tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu

bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.

Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke anterior

dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya,

dan septumnya berdeviasi (”bengkok”) ke sisi lainnya.

Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded).

Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat “diserbu” atau diinvasi juga jika tumor berkembang

lebih lanjut.

Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus

maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.

Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid) dapat ter-

erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus optikus jika fissura

orbita didesak oleh tumor.

Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien

yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan

pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika dibandingkan

dengan JNA.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala

1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling

sering, terutama pada permulaan penyakit.

2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah

(blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi

(unilateral) dan berulang (recurrent).

3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.

4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.

5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.

6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga

kranial dan tekanan pada kiasma optik.

15

7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral

rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap bau

(hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga

(otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk

pipi (deformity of the cheek), dan rhinolalia.

Tanda

1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior;

nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai (sessile)

atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini

mencapai 80%.

2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging palate),

terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass), massa di

pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya disertai dengan perluasan

setempat). Angka kejadian massa di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%,

sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.

3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,

pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan tanda

bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat penurunan

penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.

Gambar 3. Foto seorang anak dengan JNA. Perhatikan penonjolan mata dan bagian tengah

wajahnya karena penekanan dari tumor.

16

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.

Biopsi

Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa/matang (mature

fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang berdinding tipis.

Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka kekurangan

elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan

tentang kecenderungan terjadi perdarahan.

Karena karakteristik klinis dan gambaran raadiografi mungkin banyak klinisi yang merasa

perlu untuk melakukan biopsi. Akan tetapi biopsi dari lesi JNA dapat mengakibatkan

perdarahan hebat. Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan

untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang

klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika

gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor

direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di

ruang operasi.

Pemeriksaa Radiologis

FOTO SINAR-X

Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring. Holman dan

Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yaitu pendorongan

prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fissura pterigopalatina membesar. Akan terlihat

juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita,

arjus zigoma dan daerah di sekitar nasofaring.

CT SCAN dan MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)

Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau invasif

dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.

MRI sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik jaringan lunak dari lesi JNA

sehingga bisa menguatkan bahwa massa tersebut adalah JNA bukan keganasan yang lain. Lesi

juga menunjukkan peningkatan kontras pada CT scan dan MRI dan aliran vaskulerdalam lesi

17

akan teridentifikasi pada MRI. Gambaran pembesaran yang hampir homogen dari lesi ini

membedakannya dengan massa vaskuler lain seperti arteriovenous malformation. Untuk

membedakan dengan gambaran jaringan lunak homogen lainnya seperti peradangan sinus dan

mukosa hidung akan dapat jelas dibedakan dengan MRI. Slain itu CT scan dan MRI apat

menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari

keterlibatanintrakranial.

Gambar 4a (atas kiri). CT scan coronal dari lesi yang mengisi rongga hidung kiri dan sinus ethmoidalis. Lesi juga menutup sinus maksilaris dan mendorong septum nasi berdeviasi ke kanan.

Gambar 4b (atas kanan). CT scan axial yang menutuprongga hidung kanan dan sinus paranasal

Gambar 4c (bawah). CT scan coronal yang menunjukkan ekspansi lesi ke sinus kavernosus.

18

ANGIOGRAFI

Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi ini

terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna.

Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran

intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal.

Gambar 5. Gambaran angiogram JNA

STADIUM

Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang terlibat

adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging System

diperlukan untuk memilih pendekatan bedah untuk mengeluarkan JNA, Chandler dkk

merekomendasikan sistem stadium untuk kanker nasofaring oleh AJC :

Stadium I : Tumor di nasofaring.

Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.

Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa pterygomaksillaris,

fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.

Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.

Klasifikasi Menurut Sessions

19

Stadium IA – Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.

Stadium IB – Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring dengan

keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.

Stadium IIA – Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary fossa.

Stadium IIB – Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa erosi

superior dari tulang-tulang orbita.

Stadium IIIA – Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial

fossa/pterygoid base); perluasan intrakranial minimal.

Stadium IIIB – Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke

sinus kavernosus.

Klasifikasi Menurut Fisch

Stadium I – Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa kerusakan tulang.

Stadium II – Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal dengan

kerusakan tulang.

Stadium III – Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio parasellar;

sisanya di lateral sinus kavernosus.

Stadium IV – Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik, dan atau

fossa pituitari.

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal, teratoma,

encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel

skumous).

2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.

3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.

4. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).

5. Polip koanal (choanal polyp).

6. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).

7. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).

8. Kordoma (chordoma).

9. Karsinoma nasofaring.

20

PENATALAKSAAN

EMBOLISASI

Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut dan

menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam

pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Biasanya agen embolisasi dimasukkan

melalui arteri karotis eksterna lalu ke arteri maksilaris interna. Suplai darah yang cukup masih

bisa didapat dari arteri karotis interna dan arteri-arteri etmoidalis. Dengan embolisasi saja

cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat langsung diikuti dengan

pembedahan untuk mengangkat tumor. Embolisasi mampu untuk mengurangi pendarahan saat

pembedahan sebanyak 60 – 80%

Gambar 6a (kiri). Gambaran angiografi JNA sebelum embolisasi

Gambar 6b (kanan). Gambaran angiografi setelah embolisasi

OPERASI

Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-situs anatomis di basis cranii,

pilihan metode pendekatan bedah dilakukan berdasarkan stadium tumor. Selain itu

pengalaman dan pilihan dari tim operator mungkin berbeda. Pendekatan dengan endoskop

disarankan untuk tumor-tumor yang kecil (tunor stadium I) ,metode endoskop ini menjadi

metode yang dipilih untuk tumor-tumor tertentu di beberapa RS.

Pendekatan transpalatal digunakan untuk menyingkirkan JNA dari nasofaring dimana sudah

terjadi pembesaran yang terbatas ke arah lateral. Untuk lesi dengan pembesaran terbatas ini,

operator lain mungkin memilih pendekatan transfacial melalui lateral rhinotomy dan medial

maxillectomy. Teknik midfacial degloving bisa juga digunakan. Lesi dengan penyebaran yang

21

luas ke luar nasofaring akan memerlukan kombinasi dari pendekatan-pendekatan pembedahan

basis cranii untuk mendapatkan pembukaan yang cukup untuk mengeluarkan lesi. Pendekatan

facial translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan untuk perluasan

koronal digunakan frontotemporal craniotomy dengan midface osteotomies untuk jalan

masuk. Pendekatan lateral melalui fossa infratemporal diperlukan untuk mereseksi tumor

yang membesar ke regio tersebut.

Terapi medikamentosa dengan diethylstilbestrol 2-3 minggu pre-operatif untuk mengurangi

perdarahan saat operasi. Anastesi yang bersifat hipotensif juga dipilih untuk lebih baik lagi

mengurangi perdarahan.

Gambar 7a dan 7b. Operasi pembedahan JNA dengan pendekatan midfacial degloving. Dengan

pendekatan ini bisa dibuka akses membuka tulang-tulang midfasial tanpa meninggalkan luka/scar di

wajah.Beberapa fraktur fasial dan tumor-tumor midfasial lain juga bisa ditangani dengan pendekatan

ini. Tampak JNA yang sangat besar sedang diangkat dari ruang post nasal.

Contoh Suatu Kasus dan Tahapan Operasi Rhinotomy Lateral:

Anak laki-laki dengan riwayat sumbatan hidung sebelah kiri yang telah lama dan riwayat tiga

bulan epistaksis bilateral berulang. Pemeriksaan memperlihatkan massa pada hidung kiri.

Suatu angiofibroma nasofaring juvenile setelah pemeriksaan CT Scan. Operasi pengangkatan

dilakukan setelah pre-operatif angiografi dengan embolisasi dari tumor. Operasi berjalan

tanpa komplikasi atau membutuhkan transfusi darah perioperatif. Tujuh tahun setelah

22

pengangkatan tumor dengan tidak buktirekuren.

1. Lateral rhinotomy sinistra dan membelah bibir. Membuat osteotomies maksillaris medial.

2. Segmen maksillaris anterior dan lekukan hidung dibuka untuk melihat tumor yang terletak

dibawah.

3. Maksillotomy anterior diperluas kelateral untuk jalan masuk ke bagian lateral dari tumor.

Sphenoethmoidectomy dan dinding posterior sinus maksillaris dibuka untuk penglihatan yang

luas agar aman mengangkat tumor dari dasar tengkorak dan fossa pterygomaksillaris atau

infra temporal.

4. Tumor besar berbentuk “dumbell” diangkat.

5. Membuat dacrocystorhinostomy dan medial canthopexy. Cavum diisi dengan pasta

bismuth-iodoform-paraffin kawat impregnated. Segmen maksillaris media dikembalikan dan

difiksasi dengan kawat interosseous. Kartilago nasal bagian atas samping disambungkan ke

tulang untuk mencegah kolaps dari valvula nasal.

6. Insisi eksternal dan intraoral ditutup lapis demi lapis.

HORMONAL

Karena JNA berhubungan dengan pubertas pada pria muda, penggunaan terapi hormonal

digunakan sebagai terapi tambahan untuk JNA. Penghambat reseptor testosteron flutamide

dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor

dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara rutin.

RADIOTERAPI

Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang rekuren atau ekspansif ke

daerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan pembedahan atau resiko yang tinggi

terjadinya komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila dilakukan pembedahan. Biasanya

dosis sebesar 30 – 40 Gy digunakan dalam fraksi standard untuk mengontrol lesi. Pembesaran

tumor yang signifikan memang berhenti tetapi tumor tidak lagsung mengecil setelah

radioterapi. Karena itu agar efektif radioterapi sebenarnya harus dibarengi dengan terapi

pembedahan. Beberapa institusi melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi

radiasi. Penggunaan radioterapi sebagai modalitas utama untuk penatalaksanaan JNA yang

berhasil pernah dilaporkan oleh UCLA. Dari 27 pasien yang dilaporkan, tumor berhasil

dikendalikan pada 23 (85%) dan empat pasien akhirnya mengalami rekurensi setelah dua

23

hingga lima tahun. Akan tetapi komplikasi jangka panjang dari radioterapi muncul pada

empat pasien (15%) yaitu gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus

temporalis, katarak, dan keratopati radiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan

kepala dan leher sekunder sebagai efek samping dari radioterapi terhadap JNA.

Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi radiasi

tidak berguna dalam banyak kasus. Selain itu perlu diperhatikan juga efek samping dari

radioterapi. Prognosis dari radioterapi sendiri ditentukan oleh stadium tumor. Yang mana lebih

baik pada tumor stadium rendah tapi kurang memberi hasil pada tumor stadium akhir.

KOMPLIKASI

Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV),

perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury terhadap struktur vital.

Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila tumor sudah berekspansi ke intrakranial

atau pasca operasi basis cranii.

Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding). Kebutaan

sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Mati rasa

di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.

Untuk komplikasi dari radioterapi Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan

saraf mata, katarak, Transformasi keganasan (malignant transformation), gangguan

pertumbuhan, panhipopituitarisme, dan nekrosis lobus temporalis.

PROGNOSIS

Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah: keberadaan tumor di

fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan intrakranial, suplai makanan dari

arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya sisa tumor.

Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan (recurrence). Rata-

rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100% dengan reseksi lengkap dari

JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial. Rerata kesembuhan 90% berhubungan

dengan pembedahan kedua jika terjadi kekambuhan.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, et.al. (Ed.) Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. McGraw-

Hill Companies, Inc. USA. 2008; Part 6: Chapter 79.

2. Mansfield, E. Angiofibroma. In: eMedicine Specialties > Vascular Surgery > Medical

Topics. Jun 26, 2006.

3. Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi Keenam.

Editor: Soepardi EA, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

2007:188-190.

4. Schick B, Veldung B, Wemmert S, et al. p53 and Her-2/neu in juvenile

angiofibromas. Oncol Rep. Mar 2005;13(3):453-7.

5. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In: eMedicine Specialties >

Otolaryngology and Facial Plastic Surgery > Pediatric Otolaryngology. Feb 23, 2007.

6. Tyagi I, Syal R, Goyal A. Recurrent and residual juvenile angiofibromas. J Laryngol

Otol. Jan 9 2007;1-8.

25