crs - epistaksis pada penderita angiofibroma
DESCRIPTION
Crs - Epistaksis Pada Penderita AngiofibromaTRANSCRIPT
Case Report Session
EPISTAKSIS PADA PENDERITA ANGIOFIBROMA
Randa Hayudha 1110312116
PRESEPTORdr. Sukri Rahman, Sp.THT-KL(K) FICS
BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER RSUP DR. M. DJAMIL PADANGFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS20164
BAB 1PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangEpistaksis atau perdarahan dari hidung merupakan kegawatdaruratan yang umum di bagian telinga hidung dan tenggorokkan, yang diperkirakan terjadi pada 7-14% populasi umum tiap tahun. Prevalensi sebenarnya tidak diketahui disebabkan kebanyakan kasus adalah sembuh sendiri dan tidak dilaporkan. Insiden epistaksis terbanyak pada usia kurang dari 10 tahun dan lebih dari 50 tahun. Laki-laki disebutkan lebih sering mengalami epistaksis dibanding perempuan. Pada epistaksis dengan gejala yang ringan biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri tanpa bantuan medis, namun pada kasus yang lebih berat epistaksis merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal apabila tidak segera ditangani.1,2Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital. Berdasarkan sumber perdarahan epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior.2Prinsip penanganan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulangnya epistaksis. Setelah perdarahan berhenti penting untuk mencari penyebab perdarahan untuk mencegah perdarahan berulang.3Epistaksis yang masif, berulang, dan sulit dihentikan merupakan salah satu manifestasi klinis dari juvenile angiofibroma nasofaring, yaitu suatu tumor jinak pada pembuluh darah pada nasofaring. Pada tumor ini selain terjadinya pembesaran yang progresif sehingga menimbulkan sumbatan pada hidung juga terjadi hipervaskularisasi sehingga sangat rentan untuk berdarah. Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang jarang terjadi (0.05% - 0.5% dari seluruh tumor kepala dan leher), sehingga tumor ini bukan penyebab epistaksis yang umum ditemui.4
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung2.1.1. Anatomi Hidung5Hidung terdiri dari hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:1. Pangkal hidung (bridge).2. Batang hidung (dorsum nasi).3. Puncak hidung (hip).4. Ala nasi.5. Kolumela.6. Lubang hidung (nares anterior).Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:1. Tulang hidung (os nasal)2. Prosesus frontalis (os maksila)3. Prosesus nasalis (os frontal)Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu:1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior.2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor.3. Tepi anterior kartilago septum.Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrise).
Gambar 2.1. Anatomi hidung tampak lateral dan medialTiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior.Dinding medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya rudimenter.Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung.Terdapat meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.Batas Rongga HidungDinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
VaskularisasiBagian atas rongga hidung divaskularisasi oleh arteri etmoidalis anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna.Bagian bawah rongga hidung divaskularisasi oleh cabang arteri maksilaris interna, diantaranya arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Arteri sfenopalatina keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.Bagian depan hidung divaskularisasi oleh cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little's area).Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arteri. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
Gambar 2.2 Vaskularisasi hidungJaringan limfatikJaringan limfatik berasal dari mukosa superfisial. Jaringan limfatik anterior bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher.Jaringan limfatik posterior terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok superior bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media menuju ke kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior menuju ke kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna.InnervasiBagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior yang merupakan cabang n. nasosiliaris yang bersal dari n. oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar terdapat persarafan sensorik dari nervus maksilla melalui ganglion sfenopalatina.Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksilaris, serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di ujung posterior konka media.Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius.Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari pemukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
Gambar 2.3. Innervasi hidung2.1.2 Fisiologi Hidung5Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasalis adalah:1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal,2. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu,3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang,4. Refleks nasal, dimana mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan yang dapat menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti, rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
2.2.Epistaktis2.2.1 DefinisiEpistaksis atau perdarahan dari hidung merupakan kasus yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Umumnya tidak mengancam kehidupan namun menjadi masalah yang sangat diperhatikan terutama oleh orang tua saat terjadi pada anak-anak. Sebagian besar kasus epistaksis memiliki gejala ringan dengan penyebab idiopatik yang dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan namun dapat berulang.62.2.2 EpidemiologiFrekuensi kejadian epistaksis sulit diperkirakan karena sebagian besar kasus dapat berhenti sendiri tanpa penanganan medis sehingga tidak ada laporan. Penelitian di RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado pada Januari 2010-Desember 2012 mendapatkan insiden epistaksis adalah 1.048 kasus (8.07%) dari seluruh kunjungan di poliklinik THT-KL.Angka kejadian pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada perempuan yaitu 50.86% berbanding 49.14%. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa insiden tertinggi terjadi pada kelompok umur 25-44 tahun. Berdasarkan penyebab, kelainan sistemik misalnya hipertensi menjadi penyebab tersering terjadinya epistaksis yaitu 58.49%.6,72.2.3 EtiologiEpistaksis dapat timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kelainan lokal, dan kelainan sistemik. Kelainan lokal yang dapat menimbulkan epistaksis antara lain:21. TraumaPerdarahan dapat terjadi karena trauma ringan maupun trauma berat. Trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, dan bersin yang terlalu keras. Trauma yang lebih berat misalnya jatuh dan kecelakaan lalu lintas. Selain itu trauma juga dapat disebabkan oleh benda asing tajam,trauma saat pembedahan, dan deviasi septum berupa spina.22. Kelainan pembuluh darahKelainan pembuluh darah umumnya kongenital berupa pembuluh darah yang lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit.23. Infeksi lokalEpistaksis dapat terjadi pada penyakit infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis atau rinosinusitis.24. TumorEpistaksis sering timbul pada angiofibroma dengan gejala yang berat.2Kelainan sistemik yang dapat menimbulkan epistaksis antara lain:1. Penyakit kardiovaskularHipertensi dan kelainan pembuluh darah pada arteriosklerosis dapat menimbulkan epistaksis yang hebat dan berakibat fatal.22. Kelainan darahKelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia, dan bermacam-macam anemia serta hemofilia.23. Kelainan kongenitalKelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah teleangiektasis hemoragik herediter.24. Infeksi sistemikPenyakit infeksi sistemik yang tersering menimbulkan epistaksis adalah demam berdarah.25. Perubahan udara atau tekanan atmosfirEpistaksis ringan sering timbul pada orang yang berada di tempat yang sangat dingin atau kering akibat keringnya mukosa hidung.26. Gangguan HormonalPerubahan hormonal pada wanita hamil dan wanita menopause juga dapat menimbulkan epistaksis.22.2.4 PatofisiologiPerdarahan terjadi akibat terkikisnya mukosa lalu robeknya pembuluh darah. Berdasarkan sumber perdarahannya epistaksis dibagi 2 yaitu:6
1. Epistaksis anteriorPerdarahan pada epistaksis anterior berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Biasanya perdarahan ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.22. Epistaksis posteriorPerdarahan pada epistaksis posterior berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan bisanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular karena pecahnya arteri sfenopalatina.2
Gambar 2.5 Perbandingan Epistaksis Anterior (Kiri) dan Posterior (Kanan)2.2.5. Diagnosis2.2.5.1. AnamnesisPada anamnesis pasien akan datang dengan keluhan utama keluar darah dari hidung atau riwayat keluar darah dari hidung. Dari keluhan utama tersebut harus ditanyakan lokasi keluarnya darah (depan hidung atau ke tenggorok), lama, frekuensi, dan jumlah perdarahan. Selanjutnya ditanyakan mengenai faktor risiko antara lain:31. Trauma2. Adanya penyakit di hidung yang mendasari, misalnya: rinosinusitis, rinitis alergi.3. Penyakit sistemik, seperti kelainan pembuluh darah, nefritis kronik, demam berdarah dengue.4. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti NSAID, aspirin, warfarin, heparin, tiklodipin, semprot hidung kortikosteroid.5. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal, atau nasofaring.6. Kelainan kongenital, misalnya: hereditary hemorrhagic telangiectasia / Osler's disease.7. Adanya deviasi septum.8. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah, atau lingkungan dengan udara yang sangat kering.9. Kebiasaan2.2.5.2 Pemeriksaan Fisik1. Rinoskopi anteriorPemeriksaan harus dilakukan secara berurutan dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat untuk mengetahui sumber perdarahan.32. Rinoskopi posteriorPemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang untuk menyingkirkan neoplasma.3
3. Pengukuran tekanan darahTekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis posterior yang hebat dan sering berulang.32.2.5.3 Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang dilakukan sesuai kebutuhan. Pada kasus dengan perdarahan yang masif dapat dilakukan pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui nilai Hb. Pada perdarahan yang sukar berhenti dapat dilakukan pemeriksaan koagulopati darah seperti CT dan BT. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah naso-endoskopi untuk mengetahui sumber perdarahan.32.2.6 TatalaksanaPrinsip penanganan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulangnya epistaksis.3Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama 10-15 menit (metode Trotter). Apabila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku.3
Gambar 2.6 Pertolongan Pertama pada EpistaksisApabila perdarahan tidak berhenti, masukkan kapas yang dibasahi ke dalam hidung dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan Pantokain 2% atau 2 cc larutan Lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan Adrenalin 1/1000. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti sementara untuk mencari sumber perdarahan. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.3Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang dibasahi larutan Nitras Argenti 15 25% atau asam Trikloroasetat 10%. Sesudahnya area tersebut diberi salep antibiotik. Apabila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi Vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Selama pemakaian tampon, diberikan antibiotik sistemik dan analgetik.3
Gambar 2.7 Tampon Anterior dengan Tampon RolUntuk perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior). Teknik pemasangan tampon posterior, yaitu:31. Masukkan kateter karet melalui nares anterior dari hidung yang berdarah sampai tampak di orofaring, lalu tarik keluar melalui mulut.2. Ikatkan ujung kateter pada 2 buah benang tampon Bellocq, kemudian tarik kembali kateter itu melalui hidung.
Gambar 2.8 Tampon Posterior (Bellocq)3. Tarik kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior dengan bantuan jari telunjuk, dorong tampon ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi.4. Ikat kedua benang yang keluar dari nares anterior pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak.5. Lekatkan benang yang terdapat di rongga mulut dan terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.Setelah perdarahan berhenti, selanjutnya perlu dicari penyebabnya untuk mencegah perdarahan berulang.2
2.2.7 Komplikasi dan PrognosisKomplikasi yang dapat timbul pada penderita epistkaksis antara lain:31. Akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia.2. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat) dan sumbatan duktus lakrimal.3. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibir bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik. Prognosis tergantung pada etiologi dari epistaksis, pada epistaksis ringan yang idiopatik perdarahan dapat berhenti sendiri tanpa penanganan medis. Pada epistaksis yang disebabkan oleh kelainan lokal atau sistemik prognosis tergantung pada penanganan penyebab utama.3
2.3Epistaksis pada AngiofibromaAngiofibroma (Juvenile angiofibroma) adalah tumor jinak pembuluh darah pada nasofaring, jarang ditemukan, umumnya pada laki-laki dewasa muda. Tumor ini umumnya berada di dinding posterolateral hidung, dimana processus palatina berartikulasi dengan dasar dari processus pterygoid membentuk sphenopalatine foreman. Etiologi dari tumor ini masih belum diketahui secara pasti.4Gejala yang paling sering ditemukan pada penderia angiofibroma adalah epistaksis berulang yang masif dan sumbatan hidung yang progresif. Obstruksi hidung akan memudahkan penimbunan sekret sehingga timbul rinorea kronis yang diikuti dengan gangguan penghidu.4
Gambar 2.9 Gambaran Juvenile Angiofibroma pada Pemeriksaan Naso-EndoskopiPada pemeriksaan rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor dengan konsistensi kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor yang berada di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan yang berada ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Mukosa tumor akan mengalami hipervaskularisasi sehingga sangat rentan berdarah dan menyebabkan epistakasis yang berat dan berulang.8
BAB IIIILUSTRASI KASUS
Seorang pasien datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang pada hari Rabu, 8 Juni 2016 dengan:3.1 IdentitasNama: Tn. VJenis Kelamin: Laki-lakiUmur: 28 tahunAlamat: Pesisir SelatanPekerjaan: Petani3.2 Anamnesis3.2.1 Keluhan UtamaKeluar darah dari hidung kanan 8 jam sebelum masuk rumah sakit.3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang Keluar darah dari hidung kanan 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Perdarahan banyak, tidak bisa berhenti sendiri, lalu pasien ke Puskesmas dan dipasang tampon hidung dan dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil. Perdarahan berhenti dalam perjalanan menuju ke RSUP Dr. M. Djamil Riwayat hidung berdarah sejak 1 minggu terakhir, hilang timbul, perdarahan sedikit-sedikit, dan dapat berhenti sendiri. Riwayat trauma pada hidung disangkal. Riwayat mengorek hidung disangkal. Riwayat masuk benda asing disangkal. Riwayat dengan penyakit gangguan pembekuan darah tidak ada. Demam tidak ada, batuk pilek tidak ada. Pasien sudah dikenal menderita angiofibroma et cavum nasi dekstra sejak Mei 2016, yang diketahui dari biopsi dan direncanakan untuk radioterapi pada 25 Juni 2016. Keluhan awalnya berupa rasa adanya benjolan dalam rongga hidung kanan sejak 2 bulan yang lalu, riwayat hidung sering berair disangkal, riwayat hidung berdarah sebelumnya disangkal. Riwayat telinga terasa penuh disangkal. Riwayat keluar cairan dari telinga disangkal. Riwayat penurunan fungsi pendengaran disangkal. Riwayat nyeri tenggorok disangkal. Riwayat nyeri menelan disangkal. Riwayat pandangan ganda disangkal. Riwayat nyeri kepala hebat disangkal.3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat hipertensi disangkal3.2.4 Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada keluarga dengan riwayat perdarahan hidung berulang dan penyakit keganasan pada hidung.3.3 Pemeriksaan Fisik3.3.1 Status Generalis Keadaan umum: Sakit sedang Kesadaran: Composmentis Coorporatif Tekanan Darah: 110/70 mmHg Nadi: 82 kali/menit Nafas: 16 kali/menit Suhu: 36.7o C Kulit: Teraba hangat Mata: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Thoraks: Tidak ada indikasi pemeriksaan Abdomen: Tidak ada indikasi pemeriksaan Ekstrimitas: Akral hangat, perfusi baik.3.3.2 Status LokalisTelingaPemeriksaanKelainanDekstraSinistra
Daun TelingaKel. KongenitalTidak adaTidak ada
TraumaTidak adaTidak ada
RadangTidak adaTidak ada
Kel. MetabolikTidak adaTidak ada
Nyeri tarikTidak adaTidak ada
Nyeri tekanTidak adaTidak ada
Dinding liang telinga
Cukup lapang (N)Cukup lapangCukup lapang
SempitTidak adaTidak ada
HiperemiTidak adaTidak ada
EdemaTidak adaTidak ada
MassaTidak adaTidak ada
Sekret / SerumenBauTidak adaTidak ada
WarnaKuningKuning
JumlahSedikitSedikit
JenisKeringKering
Membran Timpani
UtuhWarnaPutih Putih
Refleks cahaya(+) arah jam 5(+) arah jam 7
BulgingTidak adaTidak ada
RetraksiTidak adaTidak ada
AtrofiTidak adaTidak ada
PerforasiJumlah perforasiTidak adaTidak ada
JenisTidak adaTidak ada
KwadranTidak adaTidak ada
PinggirTidak adaTidak ada
MastoidTanda radangTidak adaTidak ada
FistelTidak adaTidak ada
SikatrikTidak adaTidak ada
Nyeri tekanTidak adaTidak ada
Nyeri ketokTidak adaTidak ada
Tes Garpu tala512 HzRinneTidak dilakukanTidak dilakukan
SchwabachTidak dilakukanTidak dilakukan
WeberTidak dilakukan
KesimpulanTidak dilakukan
AudiometriTidak dilakukan
HidungPemeriksaanKelainanDextraSinistra
Hidung luarDeformitasTidak adaTidak ada
Kelainan kongenitalTidak adaTidak ada
TraumaTidak adaTidak ada
RadangTidak adaTidak ada
MassaTidak adaTidak ada
Sinus ParanasalPemeriksaanDextraSinistra
Nyeri tekanTidak adaTidak ada
Nyeri ketokTidak adaTidak ada
Rinoskopi AnteriorVestibulumVibriseAdaAda
RadangTidak adaTidak ada
KavumnasiCukup lapang (N)--
SempitSempitSempit
Lapang--
SekretLokasiTidak AdaTidak Ada
Jenis--
Jumlah--
Bau--
Konka inferior
UkuranEutrofiEutrofi
WarnaMerah mudaMerah muda
PermukaanLicinLicin
EdemaTidak AdaTidak Ada
Konka mediaUkuranSulit dinilaiSulit dinilai
WarnaSulit dinilaiSulit dinilai
PermukaanSulit dinilaiSulit dinilai
EdemaSulit dinilaiSulit dinilai
SeptumCukuplurus/deviasi
PermukaanLicinClotting (+)Perdarahan aktif (-)LicinClotting (-)Perdarahan aktif (-)
WarnaMerah mudaMerah muda
SpinaTidak adaTidak ada
KristaTidak adaAda
AbsesTidak adaTidak ada
PerforasiTidakadaTidak ada
MassaLokasiBelakang konka inferiorTidak ada
BentukTidak khas-
UkuranHampir menutupi liang hidung-
PermukaanBerbenjol-benjol-
WarnaHiperemis-
Konsistensi--
Mudah digoyang--
Pengaruh vasokonstriktor--
Rinoskopi Posterior : Sulit dinilaiPemeriksaanKelainanDekstraSinistra
KoanaCukuplapang (N)
Sempit
Lapang
MukosaWarna
Edema
Jaringangranulasi
Konka superiorUkuran
Warna
Permukaan
Edema
AdenoidAda/tidak
Muara tuba EustachiusTertutup secret
Edema mukosa
MassaLokasi
Ukuran
Bentuk
Permukaan
Post Nasal DripAda/tidak
Jenis
Orofaring dan MulutPemeriksaanKelainanDekstraSinistra
TrismusTidak ada
UvulaEdemaTidak adaTidak ada
BifidaTidak adaTidak ada
Palatum mole Arkus faringSimetris/tidakSimetrisSimetris
WarnaMerah mudaMerah muda
EdemaTidak adaTidak ada
Bercak/eksudatTidak adaTidak ada
Dinding FaringWarnaMerah mudaMerah muda
PermukaanLicinLicin
TonsilUkuranT1T1
WarnaMerah mudaMerah muda
Permukaan Rata Rata
Muara kriptiTidak Melebar
DetritusTidak adaTidak ada
EksudatTidak adaTidak ada
Perlengketan dengan pilarTidak adaTidak ada
PeritonsilWarnaMerah muda
EdemaTidak adaTidak ada
AbsesTidak adaTidak ada
TumorLokasiTidak adaTidak ada
BentukTidak adaTidak ada
UkuranTidak adaTidak ada
PermukaanTidak adaTidak ada
KonsistensiTidak adaTidak ada
GigiKaries/radiksAdaAda
LidahWarnaMerahmudaMerahmuda
BentukNormalNormal
DeviasiTidak adaTidak ada
MassaTidak adaTidak ada
Laringoskopi Indirek : Sulit dinilaiPemeriksaanKelainanDekstraSinistra
EpiglotisBentuk
Warna
Edema
Pinggir rata/tidak
Massa
Warna
Edema
Massa
Gerakan
Ventrikular BandWarna
Edema
Massa
Plika VokalisWarna
Gerakan
Pinggir medial
Massa
Subglotis/tracheaMassa
Sekret ada/tidak
Sinus piriformisMassa
Sekret
ValekuleMassa
Sekret (jenisnya)
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher Inspeksi: Tidak tampak kelainan / pembengkakan pada leher Palpasi : Tidak teraba massa / nodul di KGB leher.
3.4 ResumePasien laki-laki, 28 tahun dengan riwayat keluar darah dari hidung kanan 8 jam sebelum masuk RS, pasien berobat ke Puskesmas dan dipasang tampon lalu dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil, perdarahan berhenti dalam perjalanan. Riwayat darah masuk ke tenggorokan disangkal. Pasien memiliki riwayat perdarahan hidung hilang timbul yang berhenti sendiri sejak 1 minggu terakhir. Pasien sudah dikenal menderita angiofibroma et cavum nasi dekstra sejak Mei 2016 dan direncanakan akan dilakukan radioterapi. Berdasarkan pemeriksaan ditemukan adanya massa di cavum nasi dekstra yang berbenjol-benjol dan hiperemis serta sisa pembekuan darah tanpa adanya perdarahan yang aktif.3.5 Diagnosis KerjaPost epistaksis ec angiofibroma et cavum nasi dekstra3.6 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang rutin: Laboratorium darah rutin, PT/APTTHasil pemeriksaan laboratorium darah 8 Juni 2016: Hb: 15,3 gr/dl Ht: 48% Leukosit: 9.600/mm3 Trombosit: 270.000/mm3 PT/APTT: 10.4 s/ 38.2 s Pemeriksaan penunjang anjuran: Naso-endoskopi
Gambar 3.1 Nasoendoskopi CND :Terlihat adanya massa dan clotting(JA: Juvenile Angiofibroma, CT: Clotting)
Gambar 3.2 Naso-endoskopi CND : Gambaran massa hiperemis yang berbenjol-benjol (JA: Juvenile Angiofibroma).
Gambar 3.3 Naso-endoskopi CNS : Terlihat adanya septum deviasi (SD: Septum deviasi, KI: Konka Inferior)
3.7 DiagnosisPost epistaksis ec angiofibroma et cavum nasi dekstra
3.8 Tatalaksana3.8.1 Tatalaksana Umum1. Menjelaskan bahwa penyebab dari perdarahan hidung pasien adalah karena adanya tumor pembuluh darah yang rentan berdarah pada hidung kanan pasien.2. Menjelaskan pada pasien untuk menghindari faktor risiko yang bisa menimbulkan perdarahan pada hidungnya misalnya trauma saat mengorek hidung3. Menjelaskan tatalaksana awal apabila perdarahan hidung berulang yaitu dengan menekan kedua cuping hidung dengan posisi kepala menekuk ke bawah selama 10-15 menit dan segera ke Puskesmas apabila perdarahan tidak berhenti.4. Menjelaskan pada pasien untuk kontrol ke Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil untuk tatalaksana lanjut dari tumor pada hidungnya.3.8.2 Tatalaksana Khusus Pada pasien ini dilakukan naso-endoskopi ditemukan adanya sisa pembekuan darah tanpa perdarahan aktif. Selanjutnya pasien di observasi selama 15 menit dan tidak ada perdarahan lalu pasien diizinkan pulang Terapi yang diberikan adalah Ciprofloxacin 2 x 500 mg dan Paracetamol 3 x 500 mg.3.9 Prognosis Quo ad vitam: Bonam Quo ad functionam: Bonam Quo ad sanationam: Dubia ad malamBAB 4DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien dengan diagnosis post epistaksis e.c. angiofibroma et cavum nasi dekstra. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ditemukan adanya riwayat perdarahan dari hidung yang sudah berhenti setelah dipasang tampon anterior di puskesmas dan adanya riwayat angiofibroma et cavum nasi yang sudah dikenal sejak Mei 2016. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya massa di cavum nasi dekstra dan sisa pembekuan darah tanpa adanya perdarahan aktif. Epistaksis merupakan keluhan yang sering ditemukan pada kehidupan sehari-hari dan dapat terjadi pada setiap kelompok umur. Epistaksis dapat terjadi idiopatik atau manifestasi dari penyakit lain. Penyebab epistkasis pada pasien yang dilaporkan ini adalah adanya angiofibroma pada cavum nasi dekstra. Angiofibroma atau Juvenile Angiofibroma Nasofaring merupakan suatu tumor jinak pembuluh darah pada nasofaring. Tumor ini memiliki manifestasi berupa pembesaran progresif dengan mukosa yang hipervaskularisasi, sehingga selain menyebabkan sumbatan pada rongga hidung dapat juga menimbulkan epistaksis yang berulang dan biasanya masif.7,8Penyebab dari tumor ini belum diketahui secara pasti. Namun diduga berkaitan dengan ketidakseimbangan hormonal karena adanya hubungan erat dengan jenis kelamin dan umur. Tumor ini banyak ditemukan pada laki-laki di usia dekade ke-2. Insiden tumor yang jarang (1/5.000 1.60.000 kasus THT) menjadikan tumor ini dianggap bukan penyebab umum dari epistaksis. Penyebab umum dari epistaksis biasanya adalah trauma ringan-berat, pengaruh udara, dan penyakit sistemik seperti hipertensi.2,8Prinsip dari penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah perdarahan berulang. Pada pasien ini telah dipasang tampon anterior di Puskesmas setelah perdarahan dari hidungnya tidak berhenti sendiri 8 jam sebelum masuk ke rumah sakit. Penanganan pertama pada epistaksis adalah menekan kedua cuping hidung sambil bernafas dengan mulut dan mengadahkan kepala sedikit ke atas selama 10-15 menit. Apabila perdarahan tidak berhenti maka merupakan indikasi untuk penanganan medis.3Penanganan medis pada epsitaksis disesuaikan dengan sumber perdarahan. Untuk membedakan sumber perdarahan dapat ditanyakan melalui anamnesis apakah perdarahannya keluar dari depan hidung atau ada rasa darah masuk ke tenggorok/menelan darah. Pada epistaksis anterior dapat dilakukan pemasangan tampon anterior sedangkan pada epistaksis posterior dapat dilakukan pemasangan tampon belloqc. Pada pasien ini didapatkan adanya keluhan keluar darah dari hidung, riwayat darah masuk ke tenggorok disangkal. Oleh karena itu pasien dipasang tampon anterior di Puskesmas. Pasien selanjutnya dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil karena epistaksis pada penderita tumor merupakan salah satu kriteria rujukan. Pasien dirujuk untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya naso-endoskopi untuk mengetahui sumber perdarahan, apabila perdarahan tidak berhenti juga dapat dilakukan ligasi pembuluh darah per endoskopi. Pada pasien ini perdarahan dari hidung berhenti dalam perjalan menuju RSUP Dr. M. Djamil.3Setelah perdarahan berhenti, penanganan yang paling utama adalah mengidentifkasi sumber perdarahan untuk mencegah perdarahan berulang. Pasien ini sudah dikenal menderita angiofibroma sejak bulan Mei 2015, sudah dilakukan biopsi dan direncanakan untuk radioterapi. Sesuai dengan literature, angiofibroma merupakan tumor jinak yang sangat rentan berdarah karena terjadi hipervaskularisasi pada mukosanya. Untuk itu penanganan utama pada pasien ini adalah melanjutkan rencana radioterapi yang sudah ada. Selain itu juga edukasi untuk menghindari faktor risiko terjadi epistaksis seperti kebiasaan mengorek hidung.3,8
DAFTAR PUSTAKA1.Budiman Bestari J, Yolazenia. 2012. Epistaksis Berulang dengan Rinosinusitis Kronik, Spina pada Septum dan Teleangiektasis. Padang: Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.2.Mangunkusumo E, Wardani RS. 2012. Epistaksis. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi ke 7. Jakarta: FKUI3.Ikatan Dokter Indonesia. Epistaksis pada Pedoman Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2014. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, hal. 395-400.4.Martins MBB, Lima FVF, Mendonca CA, Jesus EPF, Santos ACG, et. all. Nasopharyngeal angiofibroma: Our experience and literature review. Int. Arch. Otorhinolaryngol. 2013;17(1):14-19.5.Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. 2012. Hidung. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi ke 7. Jakarta: FKUI6.Nguyen QA. Epistaxis. Dapat diakses di http://emedicine.medscape.com/article/863220-overview. Diakses 13 Juni 2016.7.Limen MP, Palandeng O, Tumbel R. Epistaksis di Poliklinik THT-KL BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado PeriodeJanuari 2010 Desember 2012, 2013. Jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 1, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 478-483.8.Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z 2012. Angiofriboma Nasofaring Belia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi ke 7. Jakarta: FKUI