h09rsu1
TRANSCRIPT
-
7/26/2019 H09rsu1
1/118
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN
PENGAMBILAN KREDIT SAPI PERAH SISTEM
BERGULIR PADA PETERNAK KOPERASI
PETERNAK GARUT SELATAN
SKRIPSI
RETNO SUANDARI
H34054269
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2009
-
7/26/2019 H09rsu1
2/118
ii
RINGKASAN
RETNO SUANDARI. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan
Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir pada Peternak Koperasi
Peternak Garut Selatan. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi danManajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NETTI
TINAPRILLA).
Susu sapi merupakan komoditas pertanian yang penting dalam pemenuhan
kebutuhan gizi bangsa Indonesia. Susu memiliki peran dalam mencerdaskan
bangsa melalui penyediaan sumber protein dan energi serta mengandung vitamin
yang penting bagi pertumbuhan. Meskipun demikian, masih terdapat kesenjangan
yang cukup besar antara permintaan susu dengan penawaran yang ada. Permintaan
konsumsi susu lebih besar daripada ketersediaan susu yang dapat terpenuhi oleh
produksi dalam negeri.Produktivitas sapi perah yang masih rendah menjadi salah satu penyebab
rendahnya produksi susu dalam negeri. Selain tingkat produktivitas sapi perahyang masih rendah, salah satu faktor utama ketidakmampuan subsektor
peternakan Indonesia dalam usaha swasembada susu adalah jumlah populasi sapiperah yang tidak mencukupi. Keberhasilan pembangunan sektor pertaniantermasuk subsektor peternakan yang dicapai selama ini tidak terlepas dari
berbagai upaya peningkatan pelayanan kredit yang diprogramkan pemerintah.Berkembangnya pelayanan kredit di pedesaan membantu ketersediaan modal yangseringkali menjadi kendala dalam pengelolaan usahaternak sesuai skala ekonomiyang menguntungkan.
Keberadaan kredit menjadi penting ketika dihubungkan dengan kemampuanpengadaan modal. Kredit merupakan salah satu sumber modal dalam usahapeternakan khususnya peternakan di negara berkembang. Sangat sedikit peternakyang memanfaatkan kredit sebagai modal usahaternak mereka. Sebagai usahauntuk mengatasi keterbatasan modal dan meningkatkan produksi susu pemerintahmengeluarkan berbagai skema kredit untuk meningkatkan kepemilikan sapi perahyang akan berdampak pada peningkatan pendapatan peternak.
Kelembagaan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan peternakrakyat adalah koperasi. Peternak rakyat yang bersatu dalam koperasi diharapkanmendapatkan kemudahan dalam pengadaan input, pembinaan dalam pengelolaan,memiliki kemampuan dalam pengolahan dan memiliki daya tawar yang lebihtinggi dibandingkan peternak yang tidak tergabung dalam koperasi.
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, tujuan dari penelitian ini adalah
(1) menganalisis karakteristik peternak sapi perah Koperasi Peternak GarutSelatan, (2) menganalisis kemampuan pengadaan modal sendiri peternak sapi
perah Koperasi Peternak Garut Selatan dalam usahaternak sapi perah dan (3)
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pengambilan kredit
sapi perah sistem bergulir pada peternak Koperasi Peternak Garut Selatan.
Penelitian ini dilakukan terhadap peternak anggota dan calon anggota
KPGS di Desa Cibodas, Cikajang, Mekarsari dan Giri Awas di Kecamatan
Cikajang; Desa Sukatani di Kecamatan Cisurupan; Desa Mulyajaya di Kecamatan
Banjarwangi; serta Desa Cihurip dan Mekarwangi di Kecamatan Cihurip.
Pembatasan daerah sampel dilakukan berdasarkan hasil stratifikasi kelompok
ternak yang memiliki anggota yang melakukan pengambilan kredit sapi perah
sistem bergulir. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Juni 2009.
-
7/26/2019 H09rsu1
3/118
iii
Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer
berasal dari hasil wawancara kepada peternak, manajemen KPGS dan pengurus
KPGS yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kredit sapi perah sistem
bergulir. Data sekunder bersumber dari data Direktorat Jendral Peternakan,
KPGS, penelitian terdahulu berupa jurnal, skripsi dan tesis serta buku dan situsinternet yang terkait. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis
deskriptif dan regresi logistik.
Karakteristik sosial dan ekonomi peternak responden didominasi oleh
peternak dengan kategori dewasa awal yaitu 18-40 tahun, pendidikan lulus SD,
pekerjaan utama sebagai peternak, pengalaman usahaternak dalam rentang 0-10
tahun, skala usahaternak pada rentang 0-3 ST, pendapatan rumah tangga pada
rentang kurang dari Rp 12.000.000,00 per tahun, luas lahan hijauan pada rentang
0-1000 meter persegi, mengikuti pertemuan kelompok pada rentang 0-5
pertemuan per tahun, dan mengetahui informasi kredit sapi perah sistem bergulir.
Karakteristik usahaternak responden sebagian besar memiliki rata-rata
produktivitas sapi perah sebesar 3.569,72 liter per ekor per tahun, dengankomposisi 66,37 persen sapi dewasa, menggunakan kandang berukuran 1,5x3x1
meter, menggunakan ember plastik sebagai wadah pengumpulan susu, mencari
pakan hijauan dari alam, menggunakan pakan konsentrat dari KPGS, serta
melakukan pemerahan pada pagi dan sore hari dengan sistem pemerahan
tradisional menggunakan tangan.
Sebagian besar peternak responden memiliki kemampuan dalam
pengadaan modal sapi perah. Rata-rata pendapatan rumah tangga didominasi oleh
pendapatan non usahaternak. Seluruh responden tidak menggunakan kredit formal
seperti kredit bank dalam pengadaan modal sapi perah. Peternak yang tidak
mampu mengadakan modal sapi perah secara mandiri memilih menjadi peternakgaduhan dan terdapat juga peternak yang mendapatkan modal hibah dari keluarga.
Terdapat empat faktor yang signifikan dalam keputusan pengambilan
kredit sapi perah sistem bergulir yaitu usia dengan hubungan bersifat negatif,
pengalaman dengan hubungan bersifat negatif, luas lahan hijauan dengan
hubungan yang bersifat positif dan jumlah kandang yang mampu disiapkan untuk
penambahan sapi perah dengan hubungan yang positif. Faktor pendidikan, skala
usaha, pendapatan rumah tangga dan kemampuan peternak dalam pengadaan
modal tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan pengambilan kredit sapi perah
sistem bergulir.
-
7/26/2019 H09rsu1
4/118
iv
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN
PENGAMBILAN KREDIT SAPI PERAH SISTEM
BERGULIR PADA PETERNAK KOPERASI
PETERNAK GARUT SELATAN
RETNO SUANDARI
H34054269
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi padaDepartemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2009
-
7/26/2019 H09rsu1
5/118
v
Judul skripsi : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pengambilan
Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir pada Peternak Koperasi
Peternak Garut Selatan
Nama : Retno Suandari
NRP : H340534269
Disetujui,
Pembimbing
Ir. Netti Tinaprilla, MMNIP. 19690410 199512 2001
Diketahui,
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MSNIP. 19580908 198403 1002
Tanggal Lulus:
-
7/26/2019 H09rsu1
6/118
vi
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pengambilan Kredit Sapi Perah SistemBergulir pada Peternak Koperasi Peternak Garut Selatan adalah karya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2009
Retno Suandari
H34054269
-
7/26/2019 H09rsu1
7/118
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 Maret 1987. Penulis adalah
anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Sutedja Suanda (alm.) dan IbuSamsurya Magdalena.
Penulis memulai pendidikan dasar di SD Negeri Barenglor III Klaten pada
tahun 1993 dan lulus pada tahun 1999. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan
menengah pertama di SLTP Negeri 1 Klaten pada tahun yang sama. Pada tahun
2005 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri I
Klaten. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun kedua di IPB,
penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi
dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor dengan mengambil minor Komunikasi
dari Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada organisasi kemahasiswaan.
Penulis menjadi staf Departemen Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor (BEM FEM IPB) pada tahun 2006-2007. Penulis menjadi asisten
responsi mata kuliah Sosiologi Umum untuk mahasiswa Tingkat Persiapan
Bersama pada tahun 2007-2008. Selain kegiatan-kegiatan tersebut, penulis juga
aktif mengikuti kepanitiaan berbagai acara yang diadakan oleh kelembagaan
kampus baik sebagai staf maupun ketua pelaksana.
Prestasi yang dimiliki penulis selama menjalani perkuliahan di Institut
Pertanian Bogor adalah proposal Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang
Kemasyarakatan berhasil didanai oleh DIKTI pada tahun 2006. Penulis
merupakan pemenang I Lomba Bazar Pojok BNI yang diadakan pada tahun 2007
bersama tim mahasiswa Departemen Agribisnis 42. Selama menjalankan
pendidikan di Departemen Agribisnis yaitu sejak tahun 2006-2009, penulis
mendapatkan beasiswa penuh dari Tanoto Foundation.
-
7/26/2019 H09rsu1
8/118
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang
atas segala rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Skripsi yang berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan
Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir pada Peternak Koperasi Peternak
Garut Selatan ini merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana
pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.
Penelitian dilakukan dengan tujuan menganalisis karakteristik peternak
sapi perah Koperasi Peternak Garut Selatan, menganalisis kemampuan pengadaanmodal sendiri peternak sapi perah Koperasi Peternak Garut Selatan dalam
usahaternak sapi perah dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
keputusan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir pada peternak Koperasi
Peternak Garut Selatan. Hasil analisis diharapkan dapat menjadi pertimbangan
bagi Koperasi Peternak Garut Selatan dalam perbaikan skema kredit sapi perah
sistem bergulir.
Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari masih
terdapat kekurangan, namun skripsi ini adalah hasil terbaik yang telah diupayakan
oleh penulis. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan.
Bogor, September 2009
Retno Suandari
-
7/26/2019 H09rsu1
9/118
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1) Ir. Netti Tinaprilla, MM sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu, memberikan masukan, arahan, serta motivasi dalam
penyelesaian skripsi ini.
2) Ir. Wahyu Budi Priatna, M.Si selaku dosen penguji utama, yang telah
memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.
3) Yanti Nuraeni Muflikh, SP, M.Agribus selaku dosen penguji wakil Komisi
Pendidikan Departemen Agribisnis, atas masukan dan saran kepada penulisterkait penulisan skripsi ini.
4) Kedua orangtua tercinta, Papa Sutedja Suanda (Alm.) dan Mama Samsurya
Magdalena serta kedua kakak Erry Wulandari dan Yopi Teja Sentana atas
segala doa, harapan, perhatian, dorongan, kepercayaan, serta kasih sayang
tiada henti yang diberikan kepada penulis.
5) Dr. Ir Rachmat Pambudy, MS selaku dosen pembimbing akademik atas
bimbingan dan masukan yang berharga selama penulis melakukan
perkuliahan di Departemen Agrisbisnis.
6) Seluruh dosen pengajar dan staf Departemen Agribisnis yang telah
memberikan pengetahuan dan bantuan selama penulis melakukan
perkuliahan.
7) Bapak Adeng Hardiana sebagai Manajer Utama dan Bapak Ade Hikmat
Buana sebagai Koordinator Tim Pengamanan Sapi Bantuan Kemenneg UKM
RI beserta seluruh karyawan khususnya petugas kesehatan hewan KPGS dan
para peternak sapi perah responden yang bersedia meluangkan waktu dan
memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.
8) Kedua enumerator Arlisda Febriana Setyo dan Wiyanto yang selalu
bersemangat membantu penulis dalam penyelesaian skripsi khususnya dalam
melakukan pengumpulan data primer dengan wawancara peternak.
9) Teguh Purwadi sebagai pembahas seminar dan rekan penulis dalam
pembimbingan skripsi.
-
7/26/2019 H09rsu1
10/118
x
10) Tiara Asri Satria, Neina Ayu Kurniasari, Arlisda Febriana Setyo, Nurul
Istiamuji dan Anissa Dwi Utami yang selalu memberikan keyakinan kepada
penulis untuk terus berjuang mencapai cita-cita.
11) Dian Lestari, Hepi Risenasari, Yusda Mardiah, Rizki Amalia, Zulvan Khaidar
dan seluruh sahabat yang selalu menjadi motivasi bagi penulis di Departemen
Agribisnis 42 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Bogor, September 2009Retno Suandari
-
7/26/2019 H09rsu1
11/118
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................... .............................. xiiiDAFTAR LAMPIRAN ... ................................................. ...................... xv
I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................. 8
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................... 8
1.5. Ruang Lingkup .................................................................. 8
II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 9
2.1. Usahaternak Sapi Perah .................................................... 9
2.2. Faktor Produksi Usahaternak Sapi Perah ......................... 9
2.3. Budidaya Sapi Perah ........................................................ 11
2.4. Koperasi Susu sebagai Lembaga Penunjang .................... 14
2.5. Struktur Penerimaan dan Biaya Usahaternak Sapi Perah .. 15
2.6. Kredit Pertanian ............................................................... 16
2.7. Keputusan Pengambilan Kredit ........................................ 20
III KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................... 23
3.1. Kredit Usaha .................................................................... 23
3.2. Konsep Kredit Sistem Bergulir ........................................ 25
3.3. Konsep Pengambilan Keputusan ..................................... 26
3.4. Analisis Regresi Logistik ................................................. 283.5. Kerangka Pemikiran Operasional .................................... 28
IV METODE PENELITIAN .......................................................... 35
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................... 35
4.2. Metode Penentuan Sampel ............................................... 35
4.3. Desain Penelitian .............................................................. 37
4.4. Data dan Instrumentasi ..................................................... 37
4.5. Metode Pengumpulan Data .............................................. 38
4.6. Metode Pengolahan Data ................................................... 38
4.6.1. Analisis Deskriptif ............................................... 38
4.6.2. Analisis Regresi Logistik ..................................... 394.7. Definisi Operasional ......................................................... 45
V GAMBARAN UMUM KOPERASI PETERNAKGARUT SELATAN .................................................................... 47
5.1. Sejarah Koperasi Peternak Garut Selatan ........................ 47
5.2. Bidang Usaha Koperasi Peternak Garut Selatan .............. 47
5.2.1. Usaha Pengolahan Susu ....................................... 48
5.2.2. Usaha Makanan Ternak ..................................... 50
5.2.3. Usaha Simpan Pinjam .......................................... 50
5.2.4. Usaha Warung Serba Ada .................................... 51
5.2.5. Penyaluran Kredit Usaha Tani
-
7/26/2019 H09rsu1
12/118
xii
dan Kredit Usaha Pangan ...................................... 51
5.2.6. Usaha Penyewaan Gedung ................................... 51
5.3. Keanggotaan dan Wilayah Kerja Koperasi Peternak
Garut Selatan .................................................................... 51
5.4. Populasi Sapi Perah Koperasi Peternak
Garut Selatan ..................................................................... 52
5.5. Sejarah Perkreditan Sapi Perah Koperasi Peternak
Garut Selatan .................................................................... 53
5.6. Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir .................................. 54
5.6.1. Persyaratan Pengajuan Kredit Sapi Perah
Sistem Bergulir ..................................................... 56
5.6.2. Skema Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir ............. 57
5.6.3. Status Kepemilikan Sapi Perah ............................. 58
VI FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KEPUTUSAN PENGAMBILAN KREDIT SAPIPERAH SISTEM BERGULIR ................................................. 60
6.1. Karakteristik Responden .................................................. 60
6.1.1. Karakteristik Sosial Ekonomi ............................... 60
6.1.2. Karakteristik Usaha .............................................. 67
6.2 Kemampuan Peternak dalam Pengadaan Modal .............. 71
6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Peternak
dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir ... 72
6.3.1. Usia ..................................................................... 75
6.3.2. Pendidikan ............................................................ 77
6.3.3. Pengalaman ......................................................... 786.3.4. Skala Usaha .......................................................... 80
6.3.5. Luas lahan Hijauan ............................................... 81
6.3.6. Jumlah Kandang yang Mampu Disiapkan
untuk Penambahan Sapi Perah ............................. 83
6.3.7. Pendapatan Rumah Tangga ................................. 84
6.3.8. Kemampuan Pengadaan Modal Sapi Perah ......... 85
VII KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 88
7.1. Kesimpulan ...................................................................... 88
7.2. Saran ................................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 91
-
7/26/2019 H09rsu1
13/118
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Sumber Pasokan Susu di Indonesia Tahun 2003-2007 ............. 1
2. Permintaan Ekspor dan Konsumsi Susu di Indonesia
Tahun 2003-2007 ..................................................................... 2
3. Produktivitas Sapi Perah Berdasarkan Provinsi di Indonesia
Tahun 2007 ............................................................................... 3
4. Populasi Sapi Perah Berdasarkan Provinsi di Indonesia
Tahun 2004 - 2008 .................................................................... 4
5. Tahap Pengambilan Sampel Penelitian .................................... 37
6. Struktur Populasi Sapi Perah KPGS Desember 2008 ................. 53
7. Sebaran Jumlah dan Persentase responden Berdasarkan Usia.... 60
8. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Pendidikan ................................................................................ 61
9. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Pekerjaan Utama ........................................................................ 62
10. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Pengalaman ............................................................................... 63
11. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden BerdasarkanSkala Usaha ............................................................................... 64
12. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Pendapatan Rumah Tangga per Tahun ...................................... 64
13. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Luas Lahan Hijauan .................................................................. 65
14. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Pertemuan Kelompok ............................................................... 66
15. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Pengetahuan Informasi Kredit ................................................... 6716. Populasi Sapi Perah Responden ................................................ 69
17. Kemampuan Responden dalam Pengadaan Modal Sendiri ...... 71
18. Pendapatan Rumah Tangga Petani Responden ......................... 72
19. Hasil Estimasi Model Regresi Logistik terhadap Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Keputusan Peternak dalam Pengambilan
Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir ............................................ 74
20. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Usia dan
Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah
Sistem Bergulir ........................................................................ 76
-
7/26/2019 H09rsu1
14/118
xiv
21. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Pendidikan dan
Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah
Sistem Bergulir ......................................................................... 78
22. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Pengalaman
dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah
Sistem Bergulir ......................................................................... 80
23. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Skala Usaha
dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah
Sistem Bergulir ......................................................................... 81
24. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Luas Lahan
Hijauan dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit
Sapi Perah Sistem Bergulir ....................................................... 82
25. Sebaran dan Persentase Responden Berdasarkan JumlahKandang yang Mampu Disiapkan untuk Penambahan Sapi
Perah dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit
Sapi Perah Sistem Bergulir ....................................................... 84
26. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Pendapatan
Rumah Tangga dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan
Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir ............................................. 85
27. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Kemampuan
Pengadaan Modal Sapi Perah dan Keputusan Peternak
dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir ........... 87
-
7/26/2019 H09rsu1
15/118
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Peta Wilayah Kerja Koperasi Peternak Garut Selatan .............. 95
2. Populasi Sapi Perah Koperasi Peternak Garut Selatan ............ 96
3. Pengembangan Keturunan Pertama Bantuan Mennegkop dan
UKM RI Tahun Anggaran 2002 dalam Usaha Sapi Perah
Impor Sistem Koloni ................................................................. 97
4. Pengembangan Keturunan Sapi Perah Bantuan Mennegkop dan
UKM RI Tahun Anggaran 2002 dengan Kredit Sapi Perah
Sistem Bergulir ......................................................................... 98
5. Bukti Penerimaan Penjualan Susu dan Potongan Biaya
Anggota Koperasi Peternak Garut Selatan ............................... 99
6. Data dalam Penginputan Regresi Logistik ............................... 99
7. Wilayah Kerja KPGS dengan Kondisi Alam Berbukit-bukit ... 101
8. Suasana Perkantoran KPGS ...................................................... 101
9. Truk Pengangkut Susu .............................................................. 101
10. Pakan Hijauan untuk Sapi Perah ............................................... 102
11. Kegiatan Sapi Perah Mengkonsumsi Pakan Hijauan ................ 102
12. Petugas Kesehatan Hewan KPGS ............................................ 102
13. Kegiatan Pemerahan Sapi Perah ............................................... 103
14. Kegiatan Penyaringan Susu ....................................................... 103
15. Kegiatan Penyetoran Susu ......................................................... 103
-
7/26/2019 H09rsu1
16/118
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Susu sapi merupakan komoditas pertanian yang penting dalam pemenuhan
kebutuhan gizi bangsa Indonesia. Susu memiliki peran dalam mencerdaskan
bangsa melalui penyediaan sumber protein dan energi serta mengandung vitamin
yang penting bagi pertumbuhan. Meskipun demikian, masih terdapat kesenjangan
yang cukup besar antara permintaan susu dengan penawaran susu di Indonesia.
Permintaan konsumsi susu lebih besar daripada ketersediaan susu yang dapat
terpenuhi oleh produksi dalam negeri.
Impor susu dilakukan untuk memenuhi kelebihan permintaan. Impor susuterus mengalami kenaikan setiap tahun sedangkan produksi nasional cenderung
mengalami penurunan. Hanya pada tahun 2006, produksi susu nasional
mengalami kenaikan sebesar 15,06 persen dibandingkan tahun sebelumnya
(Tabel 1).
Tabel 1. Sumber Pasokan Susu di Indonesia Tahun 2003-2007
Tahun
Impor Susu
FCMP
(ton)
Impor Susu Setara
Susu Segar
(ton)
Produksi Susu Segar
Nasional
(ton)
Total Pasokan
Susu
(ton)2003 117316,10 938529,80
(62,91)553400,00
(37,09)1491929,80
(100)
2004 165411,50 1323292,00
(70,64)
549945,00
(29,36)
1873237,00
(100)
2005 173684,40 1389475,20
(72,16)
535962,00
(27,84)
1925437,20
(100)
2006 188128,40 1505027,20
(70,94)
616549,00
(29,06)
2121576,20
(100)
2007 198216,80 1585734,40(73,64)
567683,00(26,36)
2153417,40(100)
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2009), diolah
Tabel 1 menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor susu dengan jumlah
yang lebih besar dari jumlah yang dapat diproduksi oleh subsektor peternakan
dalam negeri. Impor susu dilakukan dengan mengikuti standar harga susu dunia
dalam bentukFull Cream Milk Powder(FCMP). Satu kilogram impor susu dalam
bentuk FCMP setara dengan delapan kilogram susu segar yang diproduksi di
-
7/26/2019 H09rsu1
17/118
2
Indonesia (Erwidodo dan Sayaka 1998). Total pasokan susu yang mencerminkan
total permintaan susu terus meningkat setiap tahun.
Permintaan susu di Indonesia tidak hanya digunakan untuk konsumsi
dalam negeri tetapi juga digunakan untuk ekspor. Perbandingan besarnya impor
dan ekpor susu Indonesia menempatkan Indonesia sebagai negara net-consumer
produk susu karena jumlah susu yang diimpor lebih besar dibandingkan jumlah
susu yang di ekspor. Susu yang diimpor Indonesia merupakan susu bubuk dalam
bentuk FCMP sebagai bahan baku pembuatan susu yang akan dipasarkan di
Indonesia. Susu produksi dalam negeri dan susu impor dapat diidentifikasi
beberapa perbedaan yang cukup mendasar yaitu dari sisi harga dan kualitas susu.
Susu impor memiliki kualitas dan harga yang relatif bersaing dibandingkan
dengan susu segar dalam negeri. Susu bubuk yang diimpor dianggap lebih murah
dibandingkan harga susu peternak rakyat sehingga pihak Industri Pengolahan
Susu (IPS) melakukan impor. Susu yang diekspor merupakan susu dengan
kualitas tinggi. Pasar domestik di Indonesia belum mampu menyerap susu
berkualitas tinggi dengan harga yang tinggi, sedangkan pasar luar negeri
membutuhkan susu dengan kualitas tinggi. Harga susu berkualitas tinggi dapat
diterima oleh pasar luar negeri sehingga produsen yang mampu menghasilkan
susu berkualitas tinggi lebih memilih memasarkan hasil produksi susu keluar
negeri karena lebih menguntungkan.
Tabel 2. Permintaan Ekspor dan Konsumsi Susu di Indonesia Tahun 2003-2007
TahunEkspor
(ton)
Konsumsi
(ton)
Total Permintaan Susu
(ton)
2003 495936,0(33,24)
995992,8(66,76)
1491929,8(100)
2004 409351,0(21,85) 1463886,0(78,15) 1873237,0(100)
2005 450185,0
(23,38)
1475252,2
(76,62)
1925437,2
(100)
2006 352412,0
(16,61)
1769164,2
(83,39)
2121576,2
(100)
2007 307391,0
(14,27)
1846026,4
(85,73)
2153417,4
(100)
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2009), diolah
-
7/26/2019 H09rsu1
18/118
3
Tabel 2 menunjukkan jumlah ekspor produk susu Indonesia mengalami
kecenderungan menurun. Walaupun mengalami kecenderungan menurun, ekspor
produk susu di Indonesia pada tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar 9,98
persen dibandingkan dengan ekspor produk susu pada tahun 2004. Permintaan
susu di Indonesia terus meningkat pada tahun 2003-2007. Peningkatan permintaan
susu di Indonesia lebih disebabkan karena peningkatan konsumsi yang terus
meningkat pada tahun 2003-2007. Konsumsi susu yang mengalami
kecenderungan untuk terus meningkat merupakan peluang bagi peternak sapi
perah untuk meningkatkan produksi susu.
Produktivitas sapi perah yang masih rendah menjadi salah satu penyebab
rendahnya produksi susu dalam negeri. Produktivitas susu sapi perah di Indonesia
masih berada di bawah tingkat produktivitas potensial sapi perah di dunia.
Produktivitas sapi perah di Indonesia hanya sekitar 3.050 kg per laktasi, masih
berada di bawak produktivitas sapi perah di Amerika yang mencapai 7.245 kg per
laktasi. Sapi Perah Fries Holland yang biasa dikembangbiakkan di Indonesia
seharusnya bisa memproduksi 5.205 kg susu per ekor per tahun (Sudono A et al.
2005).
Tabel 3. Produktivitas Sapi Perah Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2007
No Provinsi Produktivitas Susu (liter/ekor/tahun)
1 Sumatera Utara 2.040,00
2 Sumatera Barat 1.920,00
3 Sumatera Selatan 2.521,75
4 Bengkulu 1.911,00
5 Lampung 1.620,00
6 DKI Jakarta 2.032,83
7 Jawa Barat 3.891,45
8 Jawa Tengah 2.021,62
9 DI Yogyakarta 3.336,63
10 Jawa Timur 2.953,96
11 Sulawesi Selatan 2.284,80
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2009)
Tabel 3 menunjukkan tingkat produktivitas sapi perah yang berbeda di
setiap provinsi di Indonesia. Produktivitas sapi perah tertinggi berada di Provinsi
-
7/26/2019 H09rsu1
19/118
4
Jawa Barat dengan angka 3.891,45 liter per ekor per tahun. Jawa Timur sebagai
provinsi dengan angka populasi paling besar (Tabel 4) ternyata memiliki
produktivitas sapi perah yang lebih rendah dibandingkan Jawa Barat.
Produktivitas sapi perah yang rendah di Indonesia disebabkan oleh pelaksanaan
budidaya sapi perah yang kurang baik. Salah satu pelaksanaan budidaya yang
sangat mempengaruhi produktivitas sapi perah di Indonesia tidak optimal adalah
pemberian pakan yang kurang baik oleh peternak. Pakan yang diberikan baik dari
segi kualitas maupun kuantitas kurang memenuhi kebutuhan sapi perah karena
peternak berusaha mencari pakan dengan harga yang rendah.
Tabel 4. Populasi Sapi Perah Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2004 - 2008
No Provinsi
Populasi Sapi Perah(ekor)
2004 2005 2006 2007 2008*)
1 NAD 82 31 28 26 23
2 Sumatera Utara 6.777 6.521 6.526 2.093 2.093
3 Sumatera Barat 606 714 608 688 713
4 Riau 0 0 27 49 0
5 Jambi 0 0 12 0 0
6 Sumatera Selatan 250 262 188 109 109
7 Bengkulu 214 149 128 189 246
8 Lampung 118 129 198 230 266
9 DKI Jakarta 3.407 3.347 3.343 3.685 3.710
10 Jawa Barat 98.958 92.770 97.367 103.489 117.059
11 Jawa Tengah 1 12.155 114.116 115.158 116.260 134.060
12 DI Yogyakarta 7.772 8.212 7.231 5.811 6.102
13 Jawa Timur 1 32.789 134.043 136.497 139.277 141.199
14 Bali 43 62 70 105 105
15 Kalimantan Barat 36 33 33 33 31
16 Kalimantan Selatan 70 119 133 135 13517 Sulawesi Selatan 713 774 1.398 1.784 1.784
18 Papua 69 69 63 45 30
19 Bangka Belitung 0 0 0 40 82
20 Banten 3 0 0 0 7
21 Gorontalo 0 0 0 12 12
Jumlah 3 64.062 361.351 369.008 374.067 407.767
Keterangan : *) Angka sementara
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2009)
-
7/26/2019 H09rsu1
20/118
5
Keterbatasan jumlah populasi sapi perah yang dimiliki peternak rakyat
dapat disebabkan oleh keterbatasan modal. Berkembangnya pelayanan kredit di
pedesaan menyebabkan ketersediaan modal yang membantu mengurangi kendala
dalam pengelolaan usahatani sesuai skala ekonomi yang menguntungkan.
Keberhasilan pembangunan sektor pertanian termasuk subsektor peternakan yang
dicapai selama ini tidak terlepas dari berbagai upaya peningkatan pelayanan kredit
yang diprogramkan pemerintah. Selanjutnya, pelayanan kredit membawa dampak
positif terhadap peningkatan produktivitas usahaternak yang juga berdampak
positif dalam peningkatan pendapatan usahaternak.
Pemerintah dan berbagai pihak terkait dalam agribisnis sapi perah telah
berusaha mengadakan program peningkatan populasi sapi perah untuk
mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap pasokan susu impor. Salah satu
program yang diharapkan mampu meningkatkan populasi sapi perah tanpa
memberatkan peternak rakyat adalah penyebaran bibit sapi perah dengan pola
bergulir. Program penyebaran bibit sapi perah dengan pola bergulir dilaksanakan
sesuai dengan arahan SK Menteri Pertanian No.146/Kpts/HK.050/02/93 tentang
penyebaran dan pengembangan ternak pemerintah melalui koperasi (Ditjennak
1993a).
Sembilan puluh persen produksi susu dalam negeri dihasilkan oleh
peternak rakyat yang berada di dalam wadah berbentuk koperasi (Yusdja et al.
2002). Koperasi susu menangani produksi susu sapi perah tersebut dari
penyediaan input hingga mendistribusikannya sampai ke tangan konsumen. Peran
strategis koperasi tersebut dirasakan sangat membantu peternak yang tidak lain
adalah merupakan anggota koperasi tersebut. Kemajuan pada koperasi akan
memberikan dampak kemajuan pula pada peternaknya.
Sistem bergulir menjadi pilihan yang cukup menarik mengingat
keterbatasan modal yang dimiliki peternak untuk meningkatkan skala usaha yang
dimiliki. Peternak yang meminjam sapi perah dengan sistem bergulir tidak
mengembalikan bibit yang dipinjam dengan uang tunai melainkan dengan hewan
ternak yang akan digulirkan lagi kepada para peternak lain. Peningkatan populasi
sapi perah dengan sistem bergulir diharapkan mampu mempercepat penyebaran
dan pengembangan populasi sapi perah itu sendiri.
-
7/26/2019 H09rsu1
21/118
6
1.2. Perumusan Masalah
Usahaternak sapi perah merupakan usaha yang membutuhkan modal besar
terutama dalam pengadaan modal usaha sapi perah. Harga sapi perah yang tinggi
menyebabkan kebutuhan modal peternak menjadi besar. Keterbatasan modal
sering menjadi penghambat dalam upaya peningkatan produksi dan perluasan
skala usaha khususnya pada para peternak rakyat. Peningkatan skala usaha sangat
membantu dalam meningkatkan efisiensi usahaternak sapi perah. Rata-rata
kepemilikan sapi perah di Indonesia sebanyak 3-5 ekor per peternak sehingga
tingkat efisiensi usaha masih rendah. Jika skala kepemilikan ternak tersebut
ditingkatkan menjadi 7 ekor per peternak, diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi usaha sekitar 30 persen (Swastika et al. 2000). Hal ini menunjukkan
bahwa keterbatasan modal dapat mengakibatkan hilangnya kesempatan peternak
untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi.
Keberadaan kredit menjadi penting ketika dihubungkan dengan pengadaan
modal. Kredit merupakan salah satu sumber modal dalam usaha peternakan
khususnya peternakan di negara berkembang. Kenyataan yang terjadi, sangat
sedikit peternak yang memanfaatkan kredit sebagai modal usahaternak. Sebagai
usaha untuk mengatasi keterbatasan modal dan meningkatkan produksi susu
pemerintah mengeluarkan berbagai skema kredit untuk meningkatkan
kepemilikan sapi perah yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan
usahaternak peternak.
Kelembagaan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
peternak rakyat adalah koperasi. Peternak rakyat yang bersatu dalam koperasi
diharapkan mendapatkan kemudahan dalam pengadaan input, pembinaan dalam
pengelolaan, memiliki kemampuan dalam pengolahan dan memiliki daya tawar
yang lebih tinggi dibandingkan peternak yang tidak tergabung dalam koperasi.
Tabel 2 menunjukkan Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki
tingkat produktivitas sapi perah tertinggi di Indonesia. Kabupaten Garut
merupakan salah satu pusat peternakan sapi perah yang terletak di Provinsi Jawa
Barat. Koperasi Peternak Garut Selatan (KPGS) merupakan koperasi susu terbesar
di Kabupaten Garut. Pada tahun 2002, KPGS mendapatkan bantuan permodalan
berupa sapi perah impor jenis Fries Holland (FH) dari Kementrian Negara
-
7/26/2019 H09rsu1
22/118
7
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia (Kemennegkop UKM
RI). Berdasarkan petunjuk pelaksanaan teknis bantuan, koperasi diharuskan
memelihara sapi bantuan dengan sistem kandang berkelompok atau disebut
kandang koloni baik dalam lingkup koperasi maupun kelompok ternak. Sejalan
dengan perkembangan waktu, sistem ini tidak berjalan baik bahkan menimbulkan
kerugian bagi koperasi.
Koperasi Peternak Garut Selatan memutuskan mempercayakan
pemeliharaan sapi perah bantuan Kemennegkop UKM RI untuk dipelihara secara
kelompok oleh peternak untuk menghindari kerugian dan kematian ternak yang
lebih besar pada tahun 2004. Keturunan sapi perah bantuan Kemennegkop UKM
RI akan terus diberikan kepada peternak lain dengan diadakan kredit sistem
bergulir. Pelaksanaan kredit sapi perah sistem bergulir dapat dikatakan cukup
berhasil. Menurut penuturan Buana AH sebagai ketua tim pengamanan Sapi
Bantuan Kemennegkop UKM RI dengan kredit sapi perah sistem bergulir di
KPGS, indikator keberhasilan kredit ini dapat dilihat dari tingkat pengembalian
yang tinggi yaitu sekitar 80 persen bahkan tiga tahun sebelum batas akhir
pelunasan perguliran tahap I. Pada prakteknya, tidak seluruh peternak KPGS
mememutuskan untuk melakukan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir.
Peternak mempunyai pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan melakukan
atau tidak melakukan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir.
Berdasarkan sejumlah hal yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang
berusaha dijawab dalam penelitian ini adalah:
1) Bagaimana karakteristik peternak sapi perah Koperasi Peternak Garut
Selatan?
2) Bagaimana kemampuan pengadaan modal sendiri peternak Koperasi Peternak
Garut Selatan dalam usahaternak sapi perah?
3) Faktor apa yang mempengaruhi keputusan pengambilan kredit sapi perah
sistem bergulir pada peternak Koperasi Peternak Garut Selatan?
Buana AH. 2009. Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir di KPGS. Hasil Wawancara [2 Juni 2009].
-
7/26/2019 H09rsu1
23/118
8
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini
memiliki tujuan:
1) Menganalisis karakteristik peternak sapi perah Koperasi Peternak Garut
Selatan.
2) Menganalisis kemampuan pengadaan modal sendiri peternak sapi perah
Koperasi Peternak Garut Selatan dalam usahaternak sapi perah.
3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pengambilan
kredit sapi perah sistem bergulir pada Koperasi Peternak Garut Selatan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1) Penulis, sebagai sarana untuk memperdalam pembelajaran, meningkatkan
wawasan, dan pengalaman.
2) Koperasi Peternak Garut Selatan, untuk dapat mempercepat usaha
peningkatan populasi sapi perah yang akan menambah kapasitas produksi
susu KPGS.
3) Pemerintah khususnya Kementrian Negara Koperasi dan Usaha KecilMenengah, sebagai masukan dalam penyusunan skema kredit bantuan yang
sesuai dengan kebutuhan peternak.
4) Peneliti, sebagai bahan pertimbangan dalam malaksanakan penelitian yang
terkait dengan penelitian ini.
1.5 Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian dibatasi hanya pada analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem
bergulir oleh peternak anggota dan calon anggota Koperasi Peternak garut
Selatan. Kredit pengadaan sapi perah dibatasi hanya pada kredit sistem bergulir
yang merupakan pengembangan usaha bantuan sapi perah dari Kementrian
Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Tahun 2002.
-
7/26/2019 H09rsu1
24/118
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Usahaternak Sapi Perah
Dasar dari usaha peternakan sapi perah adalah susu. Susu adalah sumber
makanan utama dari semua hewan mamalia yang baru lahir dan dapat pula
menjadi bagian penting dari bahan makanan manusia. Karena menjadi bagian
penting dari bahan makanan manusia, susu menjadi memiliki nilai ekonomis
sehingga upaya menghasilkan susu melalui usaha peternakan sapi perah akan
mendatangkan keuntungan semakin berkembang.
Menurut Sudono (1985), faktor-faktor yang menguntungkan pada
peternakan sapi perah adalah: (1) Peternakan sapi perah adalah suatu usaha yang
tetap; (2) Sapi perah tidak ada bandingannya dalam efisiensi merubah makanan
ternak menjadi protein hewani dan kalori; (3) jaminan pendapatan yang tetap; (4)
Penggunaan tenaga kerja yang tetap; (5) Sapi perah dapat menggunakan berbagai
jenis hijauan yang tersedia atau sisa-sisa hasil pertanian; (6) Kesuburan dapat
dipertahankan. Sedangkan Kelemahan usaha peternakan sapi perah adalah: (1)
Memerlukan modal yang relatif lebih besar dibandingkan dengan usaha
peternakan sapi potong, baik modal untuk bibit sapi perah, lahan, maupun
kandang dan peralatannya; (2) Usaha peternakan sapi perah hanya bisa
dilaksanakan di daerah-daerah tertentu, yaitu pada dataran tinggi yang bersuhu
antara 15-21derajat celsius untuk sapi FH dan sapi eropa lainnya. Sementara
untuk sapi peranakan FH bisa hidup di dataran rendah; (3) Adanya saingan berupa
susu impor sehingga harga susu dalam negeri harus lebih murah.
2.2 Faktor Produksi Usahaternak Sapi Perah
Lahan selain berfungsi sebagai unsur pokok modal usahatani, juga
merupakan salah satu faktor produksi usahatani. Lahan memiliki sifat-sifat
tertentu seperti luas lahan yang relatif tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan
sehingga relatif sulit untuk dirubah oleh petani dalam proses produksi
(Tjakrawiralaksana dan Soriaatmadja 1983). Lahan merupakan aset produktif
yang paling penting dalam pertanian. Dalam kaitannya dengan usaha ternak sapi,
besar kecilnya penguasaan dan penggunaan lahan mencerminkan kemampuan
peternak dalam menyediakan pakan, terutama pakan hijauan dan kandang
-
7/26/2019 H09rsu1
25/118
10
(Adnyana et al. 1999). Koefisien teknis (angka standar) penyediaan lahan hijauan
untuk seekor sapi perah dewasa atau satu satuan ternak sapi perah adalah 1.500
meter persegi.
Selain lahan, terdapat ternak induk atau bakalan sebagai faktor produksi
tetap dalam usahaternak. Bangsa sapi yang digunakan pada usahatani sapi perah
di Indonesia pada umumnya merupakan sapi perah bangsa Fries Holland (FH).
Sapi perah FH bukan merupakan sapi perah asli Indonesia. Selama ini, bibit yang
digunakan berasal dari bibit impor (Belanda, Australia, Selandia Baru, dan
Amerika Serikat) atau merupakan turunan FH yang telah dikembangbiakkan di
Indonesia. Sedangkan untuk input ternak induk, peternak membelinya dari sesama
peternak atau pasar ternak di wilayah setempat dan sekitarnya bahkan sampai
mendatangkannya dari pusat usahaternak sapi perah seperti Boyolali, Jawa tengah
dan Pangalengan, Jawa Barat, atau membesarkan sendiri pedet sapi perah jenis
yang dipelihara umumnya adalah PeranakanFries Holland (Swastika et al. 2000).
Pakan ternak terbagi dalam dua kelompok, yaitu pakan hijauan dan pakan
konsentrat. Pakan konsentrat merupakan pakan yang diformulasikan atas beberapa
bahan pakan seperti pollar, bungkil kedelai, dan jagung. Standar nilai koefisien
teknis pakan konsentrat adalah satu persen dari berat badan sapi yaitu antara 8-10
kg konsentrat per hari untuk setiap satuan ternak (Sulistiorini et al. 2009).
Sementara itu, pakan hijauan berasal dari hasil budidaya atau berasal dari rumput
alam yang dicari di lahan terbuka. Selain itu, pakan hijauan dapat juga berasal dari
limbah pertanian, seperti jerami padi, jerami jagung dan kelopak kol yang sudah
rusak (Swastika et al. 2000). Standar nilai koefisien teknis pakan hijauan adalah
sepuluh persen dari berat badan sapi yaitu sekitar 50 kg per hari untuk setiap
satuan ternak (Sulistiorini et al. 2009)
Selain lahan, bibit ternak, dan pakan ternak, faktor produksi lain yang
digunakan usaha peternakan sapi perah adalah obat-obatan dan peralatan kandang.
Jumlah dan jenis obat-obatan sangat tergantung pada kasus penyakit yang ada
pada suatu daerah. Peralatan kandang yang umum dipakai adalah sabit, skop,
parang, ember, milkcan, tali pengikat dan keranjang rumput.
Rahardi F. 2001. Memerah Dolar dari Susu. Kontan - edisi 36/V Tanggal 4 Juni 2001.
http://www.kontan.co.id [27 Juli 2009].
-
7/26/2019 H09rsu1
26/118
11
Jenis peralatan kandang yang harganya relatif mahal adalah milkcan
sebagai tempat penampungan susu sebelum disetor kepada koperasi maupun
sebelum dipasarkan. Namun demikian, milkcan dapat dipakai dalam jangka
waktu yang cukup lama (Swastika et al. 2000) .
Tenaga kerja merupakan hal yang penting dalam usaha peternakan sapi
perah. Tenaga kerja yang diperlukan harus terampil dan berpengalaman dalam
bidangnya agar penggunaan tenaga kerja menjadi efisien. Menurut Hermanto
(1992), kebutuhan dan pencurahan tenaga kerja sangat tergantung pada jenis
pekerjaan dan komoditi yang diusahakan. Pada usahaternak sapi perah,
pencurahaan tersebut tergantung pada sifat pekerjaan seperti memotong rumput,
memberi pakan dan minum, membersihkan sapi, membersihkan dan memperbaiki
kandang, dan memeras serta memasarkan susu.
Perkandangan penting dalam usahaternak sapi perah di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian Mandaka dan Hutagaol (2005), peternak memelihara
sapi dalam kandang atau tidak digembalakan di tempat terbuka seperti padang
rumput. Semua sapi dimasukkan dalam kandang yang sama, kecuali pedet yang
dipisahkan dari sapi-sapi dewasa dan muda. Hal ini dimaksudkan agar pedet
mendapatkan perawatan dan pengawasan yang baik dari peternak. Bangunan
kandang pada umumnya merupakan bangunan permanen sederhana sampai
dengan bangunan permanen berkonstruksi beton. Tipe kandang yang digunakan
umumnya tipe konvensional dua baris. Pada tipe kandang ini, sapi perah
ditempatkan dalam satu jajaran yang masing-masing dibatasi oleh suatu penyekat.
Sekat ini dimulai dari tempat ransum sampai dengan sepanjang tempat sapi
berdiri. Sapi-sapi tersebut ditempakan dalam dua baris saling bertolak belakang
dimana antara kedua baris tersebut dibuat jalur untuk jalan.
2.3 Budidaya Sapi Perah
Usaha ternak pada umumnya merupakan sumber pencaharian utama
peternak. Sekitar 90,32 persen peternak menjadikan peternaknya sebagai mata
pencaharian utama dan sisanya sebesar 9,68 persen sebagai mata pencaharian
sampingan (Mandaka dan Hutagaol 2005). Hal ini dikarenakan sifat produksi sapi
-
7/26/2019 H09rsu1
27/118
12
perah tidak bersifat musiman tetapi kontinyu sehingga dapat memberikan jaminan
pendapatan berkesinambungan bagi peternak.
Perkawinan sapi perah pada umumnya dilakukan dengan menggunakan
Inseminasi Buatan (IB) yang teknisnya dibantu petugas dari Dinas Peternakan.
Selain menggunakan cara IB, ada pula peternak yang mengawinkan sapinya
secara alamiah terutama jika peternak memiliki sapi pejantan dari keturunan yang
berkualitas (Mandaka dan Hutagaol 2005).
Sistem pemerahan yang dilakukan peternak pada umumnya masih bersifat
tradisional yaitu memerah susu secara manual menggunakan tangan. Hal ini tentu
saja dapat meningkatkan risiko kerusakan pada produk apabila pemerahan yang
dilakukan tidak steril. Kegiatan pemerahan umumnya dilakukan dua kali dalam
sehari yaitu setelah ternak diberi pakan konsentrat dan sebelum pemberian pakan
hijauan (sekitar pukul 05.00-06.00 pagi dan 15.00-16,00 sore) (Mandaka dan
Hutagaol 2005).
Produktivitas sapi perah yang rendah menyebabkan berkurangnya
pendapatan dan bahkan dapat menimbulkan kerugian serta mengurangi gairah
usaha. Rendahnya produktivitas ternak merupakan akibat dari penggunaan faktor
produksi yang belum efisien dimana produktivitas tenaga kerja menunjukkan
koefisien yang rendah dengan rasio satuan tenaga kerja dan peternak adalah 1:4
(Rahayu 1986).
Ketersediaan air yang cukup dan bersih sangat penting dalam peternakan
sapi perah. Sapi yang produksi susunya tinggi membutuhkan air minum dalam
jumlah yang tinggi pula. Sudono (1985) mengemukakan bahwa imbangan susu
yang dihasilkan dengan air adalah 1: 3,6.
Peternakan rakyat memelihara paling banyak sepuluh ekor dan pada
umumnya tidak memiliki lahan khusus untuk penanaman hijauan pakan dan
menggantungkan kebutuhan hijauan pada rumput-rumput alam. Peternakan besar
atau perusahaan peternakan memiliki sapi perah lebih dari sepuluh ekor dan pada
umumnya sudah memiliki lahan untuk menanam hijauan meskipun kadang-
kadang belum mencukupi dan sedikit banyak masih tergantung pada rumput-
rumput alam (Siregar 1996).
-
7/26/2019 H09rsu1
28/118
13
Pada peternakan sapi perah rakyat, sebagian usaha tersebut terdapat pada
kondisi yang serba terbatas dengan skala usaha yang relatif kecil. Namun, usaha
tersebut besar artinya bagi peternak karena peternak dapat memanfaatkan tenaga
kerja keluarga, limbah usahatani, dan yang paling utama adalah untuk
meningkatkan pendapatan petani peternak. Sehingga, usaha ini cukup berarti
untuk dikembangkan (Andri1992).
Usaha peternakan sapi perah di Indonesia didominasi oleh usahaternak
sapi perah skala kecil dan menengah. Rata-rata kepemilikan sapi perah di
Indonesia sebanyak 3-5 ekor per peternak sehingga tingkat efisiensi usaha masih
rendah. Jika skala kepemilikan ternak tersebut ditingkatkan menjadi 7 ekor per
peternak, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha sekitar 30 persen
(Swastika et al. 2000).
Jarak beranak mempunyai hubungan yang erat dengan produksi susu dan
biaya usahaternak. Standar nilai koefisien teknis calving internal sapi perah
menurut Sudono (1985) adalah 12-13 bulan dan jika calving internal (tingkat
beranak) kurang dari 12-13 bulan akan menyebabkan turunnya produksi susu pada
masa laktasi yang sedang berjalan sebesar 9 persen dan masa laktasi yang akan
datang sebesar 3,7 persen. Selanjutnya dikatakan bahwa bila calving interval
diperpanjang hingga 450 hari, maka produksi susu pada masa laktasi yang sedang
berjalan dan masa laktasi mendatang sebesar 3 persen. Tetapi, kenaikan tersebut
tidak seimbang dengan pengeluaran untuk ransum sapi.
Dalam usaha peternakan sapi perah, produksi utama yang dihasilkan
adalah air susu. Standar nilai koefisien teknis rata-rata produktivitas sapi perah
menurut Soekardono (2009) adalah 6-10 liter per hari per ekor untuk jenis sapi
perah silangan lokal dan 11-20 liter per hari per ekor untuk jenis sapi perah FH
murni. Terdapat juga hasil antaranya, yaitu berupa anak sapi, dan hasil ikutan
berupa pupuk kandang. Tingkat produksi susu sangat mempengaruhi
kelangsungan usaha karena imbangan nilai produksi yang dihasilkan dengan nilai
pakan yang digunakan bersifat harian. Sementara itu, pedet merupakan hasil
tambahan yang digunakan untuk penggantian investasi baik berupa ternak maupun
kandang atau untuk menutupi kebutuhan keluarga. Khusus untuk pupuk kandang
-
7/26/2019 H09rsu1
29/118
14
adalah merupakan produksi yang belum dapat diharapkan nilai ekonomisnya
(Swastika, et. al., 2000) .
Faktor-faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi produksi susu
adalah penanganan pasca perah dan pemasaran. Seperti yang dikemukakan Andri
(1992), penanganan yang kurang baik menyebabkan kerusakan susu dan berakibat
kerugian pada peternak sendiri. Pemasaran yang kurang lancar akan menyebabkan
peternak kurang bergairah untuk meningkatkan produksinya, karena 90 persen
pendapatan peternak diperoleh dari penjualan susu dan 60 persen biaya produksi
adalah biaya makanan.
2.4 Koperasi Susu sebagai Lembaga Penunjang
Koperasi yang memiliki usaha di sektor peternakan sangat sedikit. Banyak
dari koperasi peternakan yang berjumlah sedikit tersebut didirikan pada tahun
1999, yaitu ketika dicanangkannya penyaluran KUT besar-besaran oleh
pemerintah. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa berdirinya koperasi
peternakan banyak dipengaruhi oleh adanya kebijakan pemerintah (Setiawan
2005).
Pergerakan koperasi susu dimulai pada tahun 1949 di kabupatenPangalengan, Jawa Barat. Selama periode tahun 1962-1970, beberapa koperasi
susu didirikan di Jawa, terutama di daerah pusat peternakan sapi sapi perah.
Kelompok peternak sapi perah di pegunungan Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur membentuk koperasi susu di wilayah masing-masing. Pada tahun 1979,
Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) secara resmi dibentuk. Dibantu oleh
pekerja pemerintah dan pemimpin peternak lokal, koperasi susu tumbuh dengan
pesat dan bertahan dari krisis ekonomi tahun 1997. Pada tahun 1982, sebuah
kerjasama ketetapan kementrian pemerintah yang mendukung pembangunan dan
perluasan dari pemasaran susu dikeluarkan. Beberapa ketetapan menjadi awal
yang sangat penting bagi GKSI untuk memperluas strategi pemasaran. Sebelum
diterbitkannya surat keputusan kementrian tersebut, terdapat instruksi presiden
No.2/1978 yang mengijinkan koperasi unit desa untuk ikut mengambil bagian dari
perkembangan fungsi dan meningkatkan partisipasi peternak sapi perah dalam
pergerakan koperasi. Instruksi presiden memerintahkan peternak sapi perah untuk
-
7/26/2019 H09rsu1
30/118
15
melakukan pembangunan yang lebih baik dalam koperasi tempat mereka
bernaung.
Suradisastra (2006) melaporkan bahwa pembangunan yang positif dari
koperasi susu sering dihubungkan dengan sifat dasar dari bisnis dan materi yang
berhubungan dalam bisnis. Sifat dasar dari produk susu sering dianggap faktor
pendorong peternak sapi perah untuk bekerjasama dalam koperasi. Susu memiliki
karakteristik yang sangat memaksa yaitu voluminous dan perishable, dan oleh
karena itu membutuhkan penanganan secara tepat. Namun, keadaan ini tidak
berlaku pada komoditi dengan sifat voluminous dan perishable lain seperti hasil
perikanan dan sayuran yang tidak menunjukkan pembangunan signifikan dalam
pergerakan koperasi. Di sisi lain, sejumlah besar koperasi unit desa yang bergerak
di bidang produksi dan pemasaran susu menunjukkan perkembangan yang baik.
2.5 Struktur Penerimaan dan Biaya Usahaternak Sapi Perah
Penampilan produksi sapi perah sangat dipengaruhi oleh banyak faktor,
diantaranya faktor bangsa sapi, makanan, iklim, periode kering, frekuensi
pemerahan, dan manajemen pemeliharaan. Faktor-faktor tersebut pada gilirannya
akan menentukan tingkat penerimaan usaha peternakan sapi perah (Andri 1992).Penerimaan dalam usahaternak sapi perah dapat diperoleh dari nilai
penjualan produksi susu, penjualan sapi (pedet dan sapi afkir), perubahan
inventaris (selisih nilai sapi akhir tahun dan awal tahun analisis), serta penjualan
pupuk kandang (Swastika et al. 2000).
Biaya variabel dalam usaha peternakan adalah biaya pakan ternak, tenaga
kerja, dan obat-obatan, sedangkan biaya tetap terdiri dari biaya kandang,
peralatan, dan tanah. Biaya tidak tetap dalam jangka pendek merupakan
komponen biaya terbesar dalam struktur biaya produksi peternakan sapi perah.
Biaya makanan merupakan komponen biaya produksi yang terbesar dan biaya
tenaga kerja merupakan komponen biaya produksi terbesar kedua (Sudono 1985).
Dari hasil penelitian Arfai (1992) yang dilakukan pada perusahaan sapi potong
diperoleh informasi bahwa komponen biaya produksi perusahaan tersebut terdiri
dari biaya pakan sebesar 72,61 persen, biaya tenaga kerja 5,67 persen, biaya
perawatan/pengobatan 1,20 persen, dan biaya lain-lain 20,52 persen.
-
7/26/2019 H09rsu1
31/118
16
Keuntungan usaha peternakan sapi perah merupakan selisih antara
penerimaan dengan biaya input tidak tetap (Mandaka dan Hutagaol 2005).
Hijauan yang digunakan berupa rumput unggul, rumput lapangan dan limbah
pertanian. Harga hijauan adalah harga di tingkat peternak jika hijauan tersebut
dibeli, atau bila hijauan tersebut berasal dari kebun rumput sendiri dimana
harganya dinilai dari biaya produksinya dan dinyatakan dalam rupiah per
kilogram. Pendekatan lain dalam penghitungan nilai/harga hijauan bisa berupa
penyetaraan nilai curahan jam kerja dalam mencari rumput (Swastika et al. 2000).
2.6 Kredit Pertanian
Permodalan masih menjadi salah satu permasalahan pokok dalam
pembangunan pertanian. Untuk menaggulangi permasalahan tersebut, selama
kurun waktu empat dekade terakhir pemerintah telah meluncurkan beberapa kredit
program/bantuan modal untuk petani dan pelaku usaha pertanian di pedesaan. Di
antara program yang cukup populer dapat berupa bantuan langsung (BLT,BLM),
bantuan bergulir (BPLM, PMUK), penguatan modal (DPM LUEP, PUAP),
subsidi bunga (kredit Bimas, KUT, KKP) maupun yang sudah mendekati
komersial (SP3, P4K, KUR) (Ashari 2009).Menurut laporan penelitian Swastika et al. (2000), saat ini belum tersedia
kredit murah (seperti KUT untuk tanaman pangan) bagi usahaternak sapi perah.
Hal ini merupakan salah satu penyebab kecilnya skala usaha di tingkat peternak.
Dengan produksi susu yang bersifat harian, maka secara teoritis pengembalian
kredit oleh peternak seharusnya akan jauh lebih mudah dan lebih terjamin
dibandingkan KUT pada tanaman pangan, terutama apabila peternak tersebut
adalah anggota koperasi dimana akan lebih mudah dalam proses penagihan.
Bahkan, peternak mempunyai jaminan berupa ternak yang bisa dijadikan jaminan
pembayaran.
Untuk menutupi kekurangan modal, petani pada umumnya mengajukan
pinjaman ke lembaga pembiayaan di sekitar tempat tinggal mereka, baik formal
maupun informal. Kredit formal dapat berupa kredit program dan kredit non
program (komersil). Kredit program umumnya terkait dengan pelaksanaan
program pemerintah, misalnya KKP. Contoh kelembagaan formal antara lain
-
7/26/2019 H09rsu1
32/118
17
bank, koperasi, dan pegadaian yang menerapkan persyaratan cukup ketat dalam
pelayanan peminjaman. Sementara pada kredit informal, pada umumnya tidak
memerlukan persyaratan yang rumit, misalnya keharusan adanya agunan. Pada
pasar kredit pedesaan terjadisegmentasi pasar, karena masing-masing memiliki
karakteristik yang khas. Penelitian Syukur et al. (2003) menunjukkan masih
rendahnya sumber modal usahatani yang berasal dari kredit formal.
Sementara itu menurut Hermanto (1992), secara garis besar sumber dana
yang tersedia begi masyarakat di perdesaan dapat dikelompokkan menjadi: (1)
sumberdana yang berasal dari masyarakat, (2) kredit dari lembaga formal, (3)
kedit program pemerintah dan (4) kredit dari bank swasta dan koperasi. Dari
keempat sumber tersebut, umumnya petani memperoleh tambahan modal untuk
meningkatkan produktivitas usahataninya dengan menerapkan teknologi yang ada.
Hasil kajian Nurmanafet al. (2006) menunjukkan bahwa petani ternyata
tidak mudah untuk mengakses modal dari lembaga pembiayaan di sekitar tempat
tinggal mereka, akibat prosedur dan persyaratan yang ketat (di lembaga formal)
maupun tingkat suku bunga yang tinggi (di lembaga nonformal). Dari sisi
ketersediaan dana, secara teoritis sebetulnya lembaga perbankan formal memiliki
potensi besar untuk pembiayaan usaha pertanian. Namun demikian, perbankan
yang mempunyai legalitas menghimpun dana masyarakat dalam jumlah yang
sangat besar, ternyata belum maksimal dalam mendanai sektor pertanian.
Setidaknya hal ini dapat diketahui dari proporsi kredit perbankan nasional untuk
sektor pertanian yang masih relatif rendah. Sebagai gambaran, selama kurun
waktu 2002-2006, pangsa kredit perbankan untuk sektor pertanian rata-rata 5,72
persen. Besaran pangsa sektor pertanian masih selalu di bawah sektor
perindustrian, perdagangan dan jasa usaha.
Untuk mendukung ketersediaan modal petani, pemerintah sejak awal orde
baru telah meluncurkan kebijakan kredit program yang diawali dengan kredit
Bimas. Dari waktu ke waktu model program kredit pertanian ini telah mengalami
berbagai perubahan, baik yang terkait dengan prosedur penyaluran, besaran dan
bentuk kredit, bunga kredit maupun tenggang waktu pengembalian (Taryoto
1992). Pemerintah juga memberikan bantuan modal dalam bentuk bantuan
Langsung Masyarakat (BLM) atau dana bergulir, maupun berupa subsidi bunga.
-
7/26/2019 H09rsu1
33/118
18
Walaupun telah berganti pemerintahan, kebijakan kredit program tersebut terus
dipertahankan dengan argumentasi bahwa modal merupakan faktor penting dalam
berusaha. Di lain pihak fasilitas kredit (terutama dengan bunga rendah) oleh pihak
swasta maupun LSM dipandang masih sangat minim. Sementara itu, kebutuhan
modal usahatani makin lama juga meningkat sejalan dengan makin mahalnya
harga sarana produksi.
Walaupun pemerintah telah mengimplementasikan berbagai kredit
program untuk sektor pertanian, dampak dalam mendorong pemguatan modal
petani masih belum sepenuhnya sesuai dengan harapan. Fakta menun jukkan
bahwa kemampuan sebagian besar petani dalam permodalan masih saja relatif
rendah. Di lain pihak, dengan beban anggaran pembangunan yang semakin berat
menyebabkan semakin terbatasnya kemampuan finansial pemerintah dalam
mendanai kredit pertanian. Dengan anggaran yang terbatas tersebut diperlukan
upaya agar anggaran yang dialokasikan untuk bantuan modal/ kerdit program
dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi pembangunan pertanian. Oleh
karena itu, perlu dirumuskan kebijakan kredit program yang tepat sehingga dapat
diperoleh manfaat yang optimal.
Peranan kredit pertanian telah terbukti sangat penting dalam pembangunan
sektor pertanian. Kredit merupakan salah satu pendukung utama pengembangan
adopsi teknologi usahatani. Kredit pertanian bukan sekedar faktor pelancar
pembangunan pertanian akan tetapi berfungsi pula sebagai satu titik kritis
pembangunan pertanian (critical point of defelopment) (Syukur et al. 1998). Peran
kredit sebagai pelancar pembangunan pertanian antara lain: (1) membantu petani
kecil, (2) mengurangi ketergantungan pada pedagang perantara dan pelepas uang,
(3) mekanisme transfer pandapatan untuk mendorong pemerataan, (4) intensif
bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian. Sementara sebagai simpul
kritis pembangunan, kredit berfungsi efektif untuk menunjang perluasan dan
penyebaran adopsi teknologi
Peran kredit yang strategis dalam pembangunan pertanian dan perdesaan,
telah mendorong pemerintah untuk menjadikannya sebagai instrumen kebijakan
penting. Dalam tataran konseptual, menurut Tampubolon (2002) kredit dianggap
mampu memutuskan kemiskinan di pedesaan. Pasokan kredit diharapkan dapat
-
7/26/2019 H09rsu1
34/118
19
meningkatkan kemampuan petani dalam membeli saprodi sehingga produktivitas
panen meningkat. Mengingat tingkat kepentingan kredit, maka dalam proses
perencanaan program pembangunan pertanian, aspek permodalan merupakan
salah satu faktor penting yang selalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Oleh karena itu pemberian kredit program biasanya sejalan atau dijadikan sebagai
unsur pelancar bagi program pembangunan pertanian lainnya.
Secara khusus, kredit yang berasal dari program pemerintah sejak lama
dilakukan untuk mengisi kesenjangan dana di pedesaan untuk pembagunan
pertanian. Pada umumnya kredit program pemerintah merupakan suatu paket
kredit yang menjadi baguan integral dari programintensifikasi pertanian. Sebagai
contoh nyata adalah Kredit Bimas yang akhirnya berkembang menjadi KUT
adalah pelaksanaan kredit program pertanian dalam peningkatan produksi padi.
Berdasarkan sifatnya, kredit program pertanian sangat bergantung kepada
kebijakan pemerintah, terutama dalam pengalokasian dana pembangunan APBN
di sektor pertanian. Dengan demikian seberapa besar peran sektor pertanian dalam
pembangunan nasional merupakan faktor yang sangat krusial dalam penentuan
besaranya kredit program di sektor pertanian. Pada saat ini pemerintah
mengalami keterbatasan dana untuk pembangunan, maka dana yang tersedia
untuk kredit program harus digunakan secara optimal.
Dalam pelaksanaan kebijakan kredit program, menurut Hermanto (1992)
sebenarnya pemerintah telah memberikan subsidi pada beberapa hal, diantaranya:
(1) subsidi terhadap tingkat suku bunga, (2) subsidi terhadap biaya risiko
kegagalan kredit, (3) subsidi biaya administrasi dalam penyaluran pelayanan dan
penarikan kredit. Disamping itu, jika ditelaah secara lebih dalam kredit yang pada
umumnya diwujudkan dalam sarana produksi, maka subsidi pemerintah yang
diberikan untuk impor pupuk, benih dan obat-obatan merupakan subsidi secara
tidak langsung bagi kredit program. Dengan demikian, sesungguhnya korbanan
yang harus dikeluarkan untuk mendukung kredit program cukup besar.
Penyebaran ternak pemerintah kepada peternak melalui pola gaduhan
bergulir telah lama dilaksanakan di beberapa wilayah, khususnya untuk ternak
sapi potong, kerbau, domba dan kambing. Dalam pola gaduhan bergulir peternak
penggaduh memperoleh ternak dari pemerintah untuk selanjutnya ternak
-
7/26/2019 H09rsu1
35/118
20
keturunannya disebarkan kembali (revolving) ke peternak lain. Pola pengembalian
untuk satu ekor induk betina, peternak penggaduh harus mengembalikan sebanyak
dua ekor ternak keturunannya dalam waktu dua tahun atau kalau ditulis dalam
sebuah rumus menjadi 1:2:2 untuk ternak domba dan untuk kerbau 1:8:2. Secara
teoritis rumus tersebut sangat mudah untuk difahami, tetapi dalam prakteknya
banyak hambatan yang dialami peternak, beberapa diantaranya yaitu: kematian
ternak pokok, realisasi pengembalian, intensitas dan kualitas pembinaan serta
monitoring (Paturochman 2001).
2.7 Keputusan Pengambilan Kredit
Penelitian Sumaryanto (1992) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
keputusan petani untuk meminjam kredit usahatani bertujuan untuk mengetahui
keragaan tingkat kesembadaan petani dalam membiayai sendiri usahataninya,
partisipasi petani dalam pengambilan kredit usahatani (KUT), dan
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku permintaan kredit
usahatani (KUT). Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan
analisis regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan utama petani
mengambil KUT adalah modal usahatani yang tidak mencukupi untuk penerapanteknologi anjuran, partisipasi pengambil KUT dalam kredit lain masih rendah
dibanding petani yang tidak mengambil KUT, dan faktor luas kepemilikan sawah,
keikutsertaan petani menjadi anggota kelompok tani, partisipasi petani dalam
program intensifikasi dan risiko kegagalan usahatani berpengaruh nyata terhadap
keputusan petani untuk mengajukan pinjaman KUT. Faktor pendapatan rumah
tangga, tingkat pendidikan dan risiko terkena hama tidak berpengaruh signifikan.
Penelitian Irawan (1989) mengenai Pelayanan Kredit Non Formal di
Pedesaan Sulawesi Selatan bertujuan untuk mengidentifikasi jenis lembaga dan
sistem perkreditan pada lembaga kredit non formal, mengkaji keterlibatan petani
dalam aktivitas perkreditan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan
keterlibatan petani dengan lembaga perkreditan. Alat analisis yang digunakan
adalah analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Kesimpulan yang diperoleh
dari penelitian adalah pemanfaatan lembaga perkreditan yang cukup luas
menandakan kehadiran lembaga perkreditan dibutuhkan, lembaga non formal
-
7/26/2019 H09rsu1
36/118
21
lebih banyak melayani pinjaman petani dibandingkan dengan lembaga formal
seperti KUD dan BRI , dan faktor jarak ke KUD merupakan salah satu kendala
yang cukup serius bagi petani untuk berhubungan dengan lembaga tersebut.
Penelitian Bagi (1983) yang berjudul A Logit Model Farmers Decisions
About Credit di Amerika Serikat bertujuan untuk meramalkan kemungkinan
penggunaan kredit jangka pendek dan kredit jangka panjang oleh petani
berdasarkan karakteristik individu petani dan aspek ekonomi dari rumah tangga
petani. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis regresi
logistik. Kesimpulan yang didapat dari penelitian adalah kemungkinan petani
untuk mengambil kredit jangka pendek maupun jangka panjang secara langsung
dipengaruhi oleh skala usaha, pengalaman bertani, pendidikan formal, frekuensi
pertemuan dengan agen ekstensi, dan jumlah anak di bawah usia 14 tahun.
Kemungkinan meminjam lebih tinggi pada petani kulit putih yang secara penuh
bekerja pada bidang pertanian dibandingkan petani kulit hitam yang menjadikan
pertanian sebagai pekerjaan sampingan.
Penelitian Ati (1996) tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
motivasi peternak dalam pengambilan paket kredit ternak domba di Kabupaten
Majalengka bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap motivasi peternak dalam pengambilan paket kredit ternak domba dan
menentukan hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan motivasi pengambilan
paket kredit ternak domba. Alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi
berganda. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian adalah tingkat motivasi
peternak penerima kredit lebih tinggi dari peternak bukan penerima kredit,
motivasi peternak penerima kredit dipengaruhi oleh umur, pendidikan dan tingkat
komunikasi langsung, sedangkan pada peternak bukan penerima kredit tidak ada
faktor yang berpengaruh nyata.
Faktor-faktor yang signifikan berdasarkan hasil penelitian terdahulu dapat
dikelompokkan ke dalam karakteristik sosial ekonomi, karakteristik usaha dan
karakteristik kredit. Karakteristik sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan,
pengalaman bertani, jumlah anak di bawah usia 14 tahun, frekuensi pertemuan
dengan agen ekstensi, tingkat komunikasi langsung, keikutsertaan petani menjadi
anggota kelompok tani dan partisipasi petani dalam program intensifikasi.
-
7/26/2019 H09rsu1
37/118
22
Karakteristik usahaternak meliputi luas kepemilikan sawah, skala usaha dan risiko
kegagalan usahatani. Karakteristik kredit meliputi faktor jarak rumah dengan
lembaga pemberi kredit, besarnya hasil yang akan datang, biaya untuk
mengusahakan pinjaman kredit, sanksi yang akan diterima apabila tidak dapat
melunasi kredit pada waktunya, tingkat kesulitan dalam memperoleh kredit, serta
ketepatan waktu antara diperolehnya kredit dengan saat dibutuhkannya kredit.
Faktor-faktor yang signifikan pada suatu penelitian belum tentu memiliki
signifikansi yang sama pada penelitian yang lain. Signifikansi suatu faktor sangat
bergantung pada objek yang dikaji dalam penelitian.
Kesamaan yang terdapat dalam penelitian ini dengan beberapa penelitian
terdahulu adalah kesamaan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan
peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Faktor yang diduga
berpengaruh tercakup dalam karakteristik sosial ekonomi meliputi usia,
pendidikan, pengalaman dan pendapatan rumah tangga serta karakteristik usaha
meliputi skala usaha, luas lahan hijauan. Selain itu, penggunaan alat analisis
deskriptif dan regresi logistik juga memiliki kesamaan seperti penelitian
Sumaryanto (1992), Irawan (1989) dan Bagi (1983).
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada jenis
kredit yang belum banyak diteliti yaitu kredit sapi perah sistem bergulir dan lokasi
penelitian yang berada di Koperasi Peternak Garut Selatan. Selain itu, penelitian
mengenai pengambilan kredit sapi perah belum banyak dilakukan. Penelitian ini
menggunakan faktor tambahan yang diduga berpengaruh namun belum terdapat
dalam penelitian terdahulu seperti kemampuan penyediaan kandang dan
kemampuan penyediaan modal sendiri sapi perah.
-
7/26/2019 H09rsu1
38/118
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kredit Usaha
Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu Credere yang berarti
kepercayaan (Suyatno et al. 1992). Kredit yang diberikan seseorang atau suatu
lembaga didasarkan atas kepercayaan. Dengan demikian, pemberian kredit
merupakan pemberian kepercayaan.
Secara umum, pengertian kredit adalah kegiatan pinjam meminjam antara
kreditur dengan debitur yang dilandasi oleh kejujuran dan kepercayaan yang
berlangsung selama kurun waktu tertentu (Suyatno et al. 1992). Di dalam kredit
terkandung beberapa unsur pokok yang membentuknya. Unsur-unsur yang
terdapat dalam kredit adalah:
1) Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa transaksi yang
diberikannya akan diterima kembali dalam jangka waktu tertentu.
2) Waktu, yaitu masa yang memisahkan antara pemberian transaksi dengan
kontrak transaksi akan diterima pada masa yang akan datang.
3) Risiko, yaitu suatu kemungkinan yang dihadapi sebagai akibat dari adanya
jangka waktu dari pengembalian transaksi yang diberikan.
4) Transaksi atau objek kredit yang bisa berupa uang, barang dan jasa.
Pemberian kredit yang dilakukan baik oleh lembaga formal maupun oleh
lembaga non formal memiliki tujuan yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi
kredit adalah untuk memperoleh keuntungan yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu
dari sisi pemberi kredit dan dari sisi penerima kredit. Dari sisi pemberi kredit,
tujuan pemberian kredit adalah untuk memperoleh keuntungan yang terwujud
dalam bentuk bunga. Sedangkan dari sisi penerima kredit, tujuan penerimaankredit adalah untuk memperluas usaha, melaksanakan rehabilitasi usaha,
menciptakan efisiensi usaha yang lebih tinggi, serta untuk menciptakan kegiatan
usaha baru. Kredit yang diterima juga dipergunakan untuk kegiatan sosial dan
kegiatan konsumsi. Secara umum, tujuan pemberian kredit untuk komoditi ternak
adalah (Ditjennak 1992):
1) Membantu peternak yang berpendapatan rendah (miskin).
2) Mempercepat proses pembangunan peternakan.
-
7/26/2019 H09rsu1
39/118
24
3) Melayani kesejahteraan masyarakat.
4) Memperbaiki sikap masyarakat terhadap kredit.
Dalam pemberian kredit, terhadap prinsip-prinsip penilaian kredit. Prinsip-
prinsip harus dipenuhi oleh pemohon kredit karena dalam kredit terdapat unsur
kepercayaan dan risiko yang dipertaruhkan dalam bentuk sejumlah uang atau
setara uang. Prinsip-prinsip klasik dalam penilaian kredit (Riyanto 1995) adalah
karakter, kapasitas, kapital, agunan dan kondisi ekonomi. Prinsip karakter
menyangkut kejujuran dan integritas serta tekad untuk memenuhi kewajiban dari
calon debitur. Prinsip kapasitas menunjukkan kemampuan kreditur untuk
melunasi pinjamannya. Prinsip kapital menunjukkan jumlah modal sendiri yang
dimiliki. Sedangkan, yang dimaksud dengan agunan adalah barang yang menjadi
jaminan atas kreditnya yang diterima dan kondisi ekonomi merupakan situasi
ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang mempengaruhi kelancaran usaha calon
debitur.
Sebagai alat untuk menciptakan modal, maka jenis kredit dapat dibagi
sesuai dengan jenis modal yang diperoleh dari kredit tersebut (Wiliasih 1999),
meliputi:
1) Kredit investasi, yaitu merupakan kredit yang dipergunakan untuk membeli
barang-barang modal tetap yang tidak habis dalam proses produksi.
2) Kredit modal kerja, yaitu merupakan kredit yang dipergunakan untuk
membeli barang-barang modal tidak tetap yang habis pakai dalam satu proses
produksi.
Selain itu, berdasarkan penerimaan kredit baik secara langsung maupun
tidak langsung serta pengaruhnya terhadap kesuksesan suatu usahatani, maka
muncul kredit pertanian yang dibedakan atas:
1) Kredit usahatani, yaitu merupakan kredit yang dipergunakan secara langsung
dalam usahatani oleh petani.
2) Kredit konsumsi, yaitu merupakan kredit yang dipergunakan secara langsung
dalam rumah tangga petani.
Kredit di bidang pertanian lebih tepat jika dibedakan atas hasil
pemakaiannya dapat dibedakan atas tiga macam:
-
7/26/2019 H09rsu1
40/118
25
1) Kredit positif atau kredit produktif, dimana setelah jangka waktu peminjaman
dan uang yang dipinjam sudah habis dipakai, petani mendapatkan hasil
sebesar jumlah pinjaman ditambah bunga, ongkos-ongkos pinjaman lainnya,
dan keuntungan untuk dirinya.
2) Kredit netral (maintenance credit), yaitu kredit hasil pemakaiannya hanya
menghasilkan jumlah pinjaman ditambah dengan bunga dan ongkos-ongkos
pinjaman lainnya.
3) Kredit negatif atau kredit tidak produktif, dengan hasil yang diperoleh dari
pemakaian pinjaman kurang dari jumlah yang diperlukan untuk membayar
jumlah pinjaman ditambah bunga dan ongkos-ongkos pinjaman lainnya.
Jenis kredit lain adalah kredit berdasarkan hasil investasi yang dibedakan
atas kredit statis dan kredit dinamis (Wiliasih 1999). Kredit statis adalah kredit
yang setelah dipakai oleh peminjam tidak berdampak terhadap kenaikan hasil
produksi, kekayaan, atau penghasilannya. Sementara itu, kredit dinamis adalah
kredit yang setelah dipakai oleh peminjam berdampak terhadap kenaikan dari satu
atau beberapa bahkan semua dari keempat faktor, yaitu pokok pinjaman, bunga,
besar pinjaman, dan keuntungan.
Selain itu, terdapat kredit berdasarkan jangka waktu yang dibedakan atas
kredit jangka pendek (berjangka waktu maksimum 1 tahun), kredit jangka
menengah (berjangka waktu 1 sampai 3 tahun), dan kredit jangka panjang
(berjangka waktu lebih dari 3 tahun) serta kredit berdasarkan jaminan (kredit yang
memakai jaminan dan kredit yang tidak memakai jaminan) (Kusafarida 2004).
Faizal (1995) menyatakan bahwa kredit pertanian, khususnya subsektor
peternakan dapat dibagi berdasarkan tujuan pemakaian yang salah satunya adalah
kredit produksi. Kredit produksi ini biasanya kredit jangka pendek atau jangka
menengah dengan tujuan untuk: membeli bibit atau bakalan ternak, makanan
ternak, dan obat-obatan, feeder livestock, range livestock, ternak dewasa, dan
membayar ongkos-ongkos operasional.
3.2. Konsep Kredit Sistem Bergulir
Berdasarkan SK Direktorat Jenderal Peternakan
No.50/HK.050/KPST/2/93 Tahun 1993 (Ditjennak 1993b), yang dimaksud
-
7/26/2019 H09rsu1
41/118
26
dengan sistem bergulir adalah sistem penyebaran ternak dari pemerintah kepada
peternak dan dalam kurun waktu tertentu, maka peternak harus mengembalikan
ternak pengganti hasil keturunan dari ternak yang pernah diberikan kepadanya dan
tidak dinilai dengan uang. Semi bergulir adalah sistem penyebaran ternak
pemerintah dimana ternak yang digaduhkan pemerintah kepada petani yang
pengembaliannya berupa ternak yang dinilai dengan uang. Penggaduh adalah
peternak yang berdasarkan suatu perjanjian tertentu memelihara ternak bergulir.
Ternak pokok adalah ternak bibit yang diserahkan kepada penggaduh untuk
dikembangbiakkan. Ternak setoran adalah ternak keturunan hasil pengembangan
ternak dari pemerintah yang diserahkan oleh penggaduh sebagai kewajiban
pengembalian bergulir sesuai dengan peraturan (Hadiana 1996).
Berdasarkan pengertian kredit menurut FAO (1965), tujuan sistem bergulir
ternak pada dasarnya identik dengan kredit produksi, keduanya dibangun atas
kesepakatan kedua belah pihak antara peminjam (penggaduh) dengan pemilik
modal. Penggaduh memperoleh kewenangan untuk menggunakan aset pada saat
sekarang dengan perjanjian kelak pada saat tertentu akan dikembalikan.
Perbedaannya terletak pada cara dan bentuk pengembalian pinjaman. Pada sistim
bergulir setoran berbentuk natura (ternak setoran), sedangkan dalam sistem kredit
produksi, pengembalian berupa innatura atau kalaupun dibayar secara natura,
namun tetap didasarkan atas ukuran uang (Hadiana 1996).
3.3 Konsep Pengambilan Keputusan
Secara populer dapat dikatakan bahwa mengambil atau membuat
keputusan berarti memilih satu di antara sekian banyak alternatif. Pada umumnya
keputusan dibuat dalam rangka untuk memecahkan permasalahan, setiap
keputusan yang dibuat pasti ada tujuan yang akan dicapai (Supranto 1991).
Pengambilan keputusan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
1) Faktor keadaan intern organisasi
2) Faktor tersedianya informasi yang diperlukan
3) Faktor keadaan ekstern organisasi
4) Faktor kepribadian dan kecakapan pengambil keputusan
-
7/26/2019 H09rsu1
42/118
27
Inti dari pengambilan keputusan ialah terletak dalam perumusan berbagai
alternatif tindakan sesuai dengan yang sedang dalam perhatian dan dalam
pemilihan altenatif yang tepat setelah suatu yang dikehendaki pengambil
keputusan. Salah satu komponen terpenting dari proses pembuatan keputusan
ialah kegiatan pengumpulan informasi darimana suatu apresiasi mengenai situasi
keputusan dapat dibuat (Supranto 1991).
Pada dasarnya terdapat empat kategori keputusan yaitu:
1) Keputusan dalam keadaan ada kepastian (certainty)
Keputusan dalam keadaan terdapat kepastian dapat dilakukan ketika semua
informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan diketahui secara
sempurna dan tidak berubah.
2) Keputusan dalam keadaan ada risiko (risk):
Keputusan dalam keadaan terdapat risiko dilakukan ketika informasi yang
bersifat sempurna tidak tersedia, tetapi seluruh peristiwa yang akan terjadi
beserta probabilitas peristiwa tersebut diketahui
3) Keputusan dalam keadaan ketidakpastian (uncertainty)
Keputusan dalam keadaan ketidakpastian dilakukan ketika seluruh informasi
yang mungkin terjadi diketahui tanpa mengetahui probabilitas peristiwa yang
akan terjadi.
4) Keputusan dalam keadaan ada konflik
Keputusan dalam keadaan terdapat konflik dilakukan ketika kepentingan dua
atau lebih pengambil keputusan berada dalam pertarungan aktif diantara
kedua belah pihak
Apabila informasi yang cukup dapat dikumpulkan guna memperoleh suatu
spesifikasi yang lengkap dari semua alternatif tingkat keefektivannya`dalam
situasi yang sedang menjadi perhatian, proses pembuatan atau pengambilan
keputusan relatif sangatlah mudah. Akan tetapi, pada prakteknya sangat tidak
mungkin untuk mengumpulkan informasi secara lengkap, mengingat terbatasnya
waktu dan tenaga (Supranto 1991). Di dalam keadaan di mana informasi tidak
lengkap atau data hanya perkiraan saja, maka pembuat keputusan akan membuat
keputusan dalam keadaan ketidakpastian. Teori peluang merupakan teori dasar
dalam pengambilan keputusan yang memiliki sifat ketidakpastian (Waluyo 2001).
-
7/26/2019 H09rsu1
43/118
28
3.4 Analisis Regresi Logistik
Metode regresi telah menjadi bagian menyeluruh dari analisis data yang
fokus digunakan untuk menjelaskan hubungan antara suatu variabel dengan satu
atau lebih variabel penjelas. Pada suatu kasus, sering didapatkan bahwa variabel
hasil atau sering disebut dengan variabel terikat yang diinginkan berupa data
diskret dengan dua nilai atau lebih (Hosmer dan Lameshow 2000).
Regresi logistik telah menjadi standar metode analisis penyelesaian dalam
situasi variabel hasil yang diinginkan berupa data diskret dengan dua atau lebih
dari dua variabel. Tujuan analisis regresi logistik memiliki kesamaan dengan
setiap pemodelan statistik yang dibangun d