initial assessment

36
BAB I PENDAHULUAN Apabila kita menemukan penderita dengan luka parah, maka seringkali kita dalam kebingungan untuk memulai penilaian dan pengelolaan penderita, sedangkan tindakan kita seharusnya cepat dan tepat. Cara penilaian awal serta pengelolaannya yang akan diuraikan dibawah ini merupakan suatu protocol menurut “ Advanced Trauma Life Support”. Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi tindakam operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the American College of Emergency Physicians States dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada pasien-pasien dengan trauma yang tidak dapat diduga sebelumnya serta penyakit lainnya. Penatalaksanaan awal dalam kegawatdaruratan merupakan aplikasi terlatih dari prinsip-prinsip penanganan pada saat terjadinya kecelakaan atau dalam kasus-kasus penyakit mendadak dengan menggunakan fasilitas-fasilitas atau benda-benda yang tersedia pada saat itu. Hal ini merupakan metode penanganan yang telah diuji sampai korban dipindahkan ke Rumah Sakit atau lokasi dimana keterampilan dan peralatan yang layak tersedia. 1

Upload: ronald-james

Post on 17-Sep-2015

521 views

Category:

Documents


63 download

DESCRIPTION

proses penilaian awal pada penderita trauma disertai pengelolaan yang tepat guna untuk menghindari kematian

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Apabila kita menemukan penderita dengan luka parah, maka seringkali kita dalam kebingungan untuk memulai penilaian dan pengelolaan penderita, sedangkan tindakan kita seharusnya cepat dan tepat. Cara penilaian awal serta pengelolaannya yang akan diuraikan dibawah ini merupakan suatu protocol menurut Advanced Trauma Life Support. Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi tindakam operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the American College of Emergency Physicians States dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada pasien-pasien dengan trauma yang tidak dapat diduga sebelumnya serta penyakit lainnya.Penatalaksanaan awal dalam kegawatdaruratan merupakan aplikasi terlatih dari prinsip-prinsip penanganan pada saat terjadinya kecelakaan atau dalam kasus-kasus penyakit mendadak dengan menggunakan fasilitas-fasilitas atau benda-benda yang tersedia pada saat itu. Hal ini merupakan metode penanganan yang telah diuji sampai korban dipindahkan ke Rumah Sakit atau lokasi dimana keterampilan dan peralatan yang layak tersedia.Pada penderita trauma, waktu sangat penting, oleh karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai initial assesment (penilaian awal). Initial Assessment adalah proses penilaian awal pada penderita trauma disertai pengelolaan yang tepat guna untuk menghindari kematian. Pengertian lain initial assessment adalah proses evaluasi secara tepat pada penderita gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan resusitasi. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan initial assessment (penilaian awal) dan meliputi persiapan, triage, survey primer, resusitasi, survey sekunder, pengawasan dan evaluasi ulang, serta terapi definitif.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Initial AssessmentInitial Assessment adalah proses penilaian awal pada penderita trauma disertai pengelolaan yang tepat guna untuk menghindari kematian. Pengertian lain initial assessment adalah proses evaluasi secara tepat pada penderita gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan resusitasi. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan initial assessment (penilaian awal).

2.2. Proses Initial AssessmentProses initial assessment meliputi :1. Persiapan2. Triage3. Survey primer4. Resusitasi5. Survey Sekunder6. Pengawasan dan evaluasi ulang7. Terapi definitif

Langkah-langkah pada initial assessment :1. Persiapan PenderitaPersiapan pada penderita berlangsung dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase pra rumah sakit / pre hospital, dan fase kedua adalah fase rumah sakit / hospital.a. Fase pra rumah sakitMerupakan fase yang cukup menentukan untuk keselamatan pasien, mulai dari penanganan awal hingga rujukan pasien ke RS yang tepat. Di Indonesia pelayanan pra rumah sakit ini merupakan bagian yang sangat terbelakang dari pelayanan penderita gawat darurat secara menyeluruh.Prinsip Do No Further Harm : Keadaan yang ideal adalah dimana Unit Gawat Darurat (UGD) yang datang ke penderita, bukan sebaliknya, karena itu ambulans yang datang sebaiknya memiliki peralatan yang lengkap. Petugas / paramedis yang datang membantu penderita sebaiknya mendapatkan latihan khusus, karena pada saat menangani penderita mereka harus menguasai ketrampilan khusus yang dapat menyelamatkan nyawa.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan meliputi : Koordinasi dengan rumah sakit tujuan yang disesuaikan dengan kondisi dan jenis perlukaannya Penjagaan jalan nafas, kontrol perdarahan dan imobilisasi penderita Koordinasi dengan petugas lapangan lainnya

Pada tahap intra RS harus dipersiapkan petugas dan perlengkapannya sebelum penderita tiba. Persiapan tersebut meliputi : Alat perlindungan diri Kesiapan perlengkapan dan ruangan untuk resusitasi Persiapan untuk tindakan resusitasi yang lebih kompleks Persiapan untuk terapi definitif

Yang harus dilakukan oleh seorang paramedik adalah : Menjaga airway dan breathing Kontrol perdarahan dan syok Imobilisasi penderita Pengiriman ke rumah sakit terdekat yang cocok

b. Fase rumah sakit Pada fase rumah sakit perlu dilakukan perencanaan sebelum penderita tiba, sebaiknya ada ruangan khusus resusitasi serta perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube) yang sudah dipersiapkan. Evakuasi Penderita : Dalam keadaan dimana penderita trauma di rumah sakit yang dibawa tanpa persiapan pada pra-rumah sakit maka sebaiknya evakuasi dari kendaraan ke brankar dilakukan oleh petugas rumah sakit dengan berhati-hati. Selalu harus diperhatikan kontrol servikal. Perlu dipersiapkan cairan kristaloid (mis : RL) yang sudah dihangatkan, perlengkapan monitoring serta tenaga laboratorium dan radiologi. Semua tenaga medik yang berhubungan dengan penderita harus dihindarkan dari kemungkinan penularan penyakit menular dengan cara penganjuran menggunakan alat-alat protektif seperti masker/face mask, proteksi mata/goggle, baju kedap air, sepatu dan sarung tangan kedap air. Ingat prinsip Do No Further Ham

2. TriageTriage adalah tindakan untuk mengelompokkan penderita berdasar pada beratnya cedera yang diprioritaskan berdasarkan ada tidaknya gangguan pada A (Airway), B (Breathing) dan C (Circulation). Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas penanganan dan sumber daya yang ada. Penderita yang mengalami gangguan jalan nafas (airway) harus mendapatkan prioritas penanganan pertama mengingat adanya gangguan jalan nafas adalah penyebab tercepat kematian pada penderita.Dalam prinsip triage diberlakukan sistem prioritas, prioritas adalah penentuan / penyeleksian mana yang harus didahulukan mengenai penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul dengan seleksi pasien berdasarkan : 1) Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit, 2) Dapat mati dalam hitungan jam, 3) Trauma ringan, 4) Sudah meninggal. Pada umumnya penilaian korban dalam triase dapat dilakukan dengan : Menilai tanda vital dan kondisi umum korban Menilai kebutuhan medis Menilai kemungkinan bertahan hidup Menilai bantuan yang memungkinkan Memprioritaskan penanganan definitif Tag warna

a. Macam-macam korban : Multiple CasualtiesMusibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu.

Mass Casualties Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilakukan penanganan terlebih dahulu adalah penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit.

b. Prinsip-prinsip triage :Time Saving is Life Saving (respon time diusahakan sependek mungkin), The Right Patient, to The Right Place at The Right Time serta melakukan yang terbaik untuk jumlah terbanyak dengan seleksi korban berdasarkan : Ancaman jiwa mematikan dalam hitungan menit Dapat mati dalam hitungan jam Trauma ringan Sudah meninggal

c. Menentukan prioritas dari korban yang hidup Prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penanganan dan pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbulTingkat prioritas : Prioritas I (prioritas tertinggi) warna merah untuk berat dan biru untuk sangat berat. Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah segera, mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penanganan dan pemindahan bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Contohnya sumbatan jalan nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka bakar) tingkat II dan III > 25% Prioritas II (medium) warna kuning. Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio (luka bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma thorak/abdomen, laserasi luas, trauma bola mata. Prioritas III(rendah) warna hijau. Perlu penanganan seperti pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka superficial, luka-luka ringan Prioritas 0 warna Hitam. Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung kritis, trauma kepala kritis.

d. Penilaian dalam triage Primary survey (A,B,C) untuk menghasilkan prioritas I dan seterusnya Secondary survey (Head to Toe) untuk menghasilkan prioritas I, II, III, 0 dan selanjutnya Monitoring korban akan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan pada A, B, C, derajat kesadaran dan tanda vital lainnya. Perubahan prioritas karena perubahan kondisi korban

e. Perencanaan triage Persiapan sebelum bencana Pengorganisasian personal (bentuk tim triage) Pengorganisasian ruang/tempat Pengorganisasian sarana/peralatan Pengorganisasian suplai pelatihan komunikasi

f. Pemimpin triageHanya melakukan : Primary survey Menentukan prioritas Menentukan pertolongan yang harus diberikan Keputusan triage harus dihargai. Diskusi setelah tindakan. Hindari untuk tidak memutuskan sesuatu. Pemimpin triage tidak harus dokter, perawat pun bisa atau orang yang terlatih tergantung sumber daya manusia di tempat kejadian.

g. Tim triage Bertanggung jawab Mencegah kerusakan berlanjut atau semakin parah Pilah dan pilih korban Memberi perlindungan kepada korban.h. Dokumentasi / rekam medis triage Informasi dasar : nama, umur, jenis kelamin, cedera, penyebab cedera, pertolongan pertama yang telah diberikan Tanda-tanda vital : tensi, nadi, respirasi, kesadaran Diagnosis singkat tapi lengkap Kategori triage Urutan tindakan preoperatif secara lengkap

i. Perhatian Jika fasilitas kurang memadai maka lebih diutamakan yang potensial selamat. Contoh : jika korban label merah lebih potensial selamat maka label biru dapat berubah menjadi label hitam Dalam keadaan bencana, lebih baik memberi bantuan lebih daripada kurang Pikirkan kemungkinan yang paling buruk sehingga dapat mempersiapkan lebih baik.

3. Survey Primer (Primary Survey)Survey primer atau primary survey adalah pemeriksaan secara cepat fungsi vital pada penderita dengan cedera berat dengan prioritas pada ABCD, fase ini harus dikerjakan dalam waktu singkat dan kegawatan pada penderita sudah harus dapat ditegakkan pada fase ini. Pada primary survey dilakukan usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan pada urutan berikut :

A : AirwayYang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maxilla, fraktur laring/trakhea. Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal (servical spine control), dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw trust. Jika dicurigai ada kelainan pada vertebra servikalis berupa fraktur maka harus dipasang alat immobilisasi serta dilakukan foto lateral servikal. Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS (Glasgow Coma Scale) 8, dan pada penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.Obstruksi terbagi menjadi 2 : Obstruksi airway totalis : yaitu penghambatan jalan nafas secara total, biasanya karena tersedak. Jika pasien tidak sadar, bisa terjadi sianosis, dan resistensi terhadap nafas buatan. Jika pasien sadar, pasien akan terlihat berusaha bernafas dan memegang lehernya dalam keadaan sangat gelisah, bisa ditemukan sianosis. Obstruksi airway parsial : yaitu penghambatan jalan nafas karena : Cairan seperti darah, cairan serosa. Terdengar bunyi gurgling atau seperti orang berkumur-kumur Lidah jatuh ke belakang, terdengar bunyi snoring atau seperti oragn mengorok Penyempitan laring/trakea biasanya karena edema leher. Terdengar bunyi crowing atau bunyi highpitched karena penyempitan tersebut.

Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) Tanpa AlatPengertian : tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap memperhatikan kontrol servikalTujuan : membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase tubuh1. Pemeriksaan Jalan Napas :L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaranL = Listen/Dengar aliran udara pernafasanF = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi penolong

Gambar.1. Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF)Cara ini dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan. Dilakukan secara simultan.

TindakanMembuka jalan nafas dengan proteksi cervikal Chin Lift maneuver (tindakan mengangkat dagu) Jaw thrust maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah) Head Tilt maneuver (tindakan menekan dahi)Ingat!! -> Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala, hanya dilakukan maneuver jaw thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah. Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari. Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas (apnea) Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada sumbatan pada jalan nafas dan dilakukan maneuver Heimlich.

Gambar. 2. Pemeriksaan sumbatan jalan nafas di daerah mulut dengan menggunakan teknik cross finger

Tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas tambahan) : Mendengkur(snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara mengatasi : chin lift, jawthrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal. Berkumur (gargling), penyebab : ada cairan di daerah hipofaring. Cara mengatasi : finger sweep, pengisapan/suction. Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi : cricotirotomi, trakeostomi.

2. Membersihkan jalan nafasDengan cara : Sapuan jari (finger sweep)Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya sehingga hembusan nafas hilang.Cara melakukannya : Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas (maneuver emaresi) Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan sarung tangan/kassa/kain untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan menyapu.

Gambar.3. Tehnik finger sweep

3. Mengatasi sumbatan nafas parsial Dapat digunakan teknik manual thrust: Abdominal thrust Chest thrust Back blow Jika sumbatan tidak teratasi, maka penderita akan : Gelisah oleh karena hipoksia Gerak otot nafas tambahan (retraksi sela iga, tracheal tug) Gerak dada dan perut paradoksal Sianosis Kelelahan dan meninggal

Prioritas utama dalam manajemen jalan nafas adalah JALAN NAFAS BEBAS. Pasien sadar, ajak bicara. Bicara jelas dan lancar berarti jalan nafas bebas Beri oksigen bila ada 6 liter/menit Jaga tulang leher : baringkan penderita di tempat datar, wajah ke depan, posisi leher netral Nilai apakah ada suara nafas tambahan.

Lakukan teknik chin lift atau jaw thrust untuk membuka jalan nafas. Ingat tempatkan korban pada tempat yang datar! Kepala dan leher korban jangan terganjal.1. Chin LiftDilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan.Caranya : gunakan jari tengah dan telunjuk untuk memegang tulang dagu pasien kemudian angkat.2. Head TiltDlilakukan bila jalan nafas tertutup oleh lidah pasien, Ingat! Tidak boleh dilakukan pada pasien dugaan fraktur servikal.Caranya : letakkan satu telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah sehingga kepala menjadi tengadah dan penyangga leher tegang dan lidahpun terangkat ke depan.

3. Jaw thrustCaranya : dorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas.

1. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich)Dapat dilakukan dalam posisi berdiri dan terlentang.Caranya berikan hentakan mendadak pada ulu hati (daerah subdiafragma abdomen).a. Abdominal Thrust(Manuver Heimlich) pada posisi berdiri atau dudukCaranya : penolong harus berdiri di belakang korban, lingkari pinggang korban dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan kepalan tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap hentakan harus terpisah dan gerakan yang jelas.b. Abdominal Thrust(Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak (tidak sadar)Caranya : korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke atas. Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan kedua diletakkan di atas tangan pertama. Penolong menekan ke arah perut dengan hentakan yang cepat ke arah atas.Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi terbaring tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP).c. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada yang dilakukan sendiriPertolongan terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi jalan napas.Caranya : kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum, genggam kepala itu dengan kuat, beri tekanan ke atas kea rah diafragma dengan gerakan yang cepat, jika tidk berhasil dapat dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi2. Back Blow (untuk bayi)Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak efektif atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/vertebrae)3. Chest Thrust (untuk bayi)Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukan chest thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan

Gambar 11. Back blow dan Chest thrust pada bayi

Airway management dengan alatCara ini dilakukan bila pengelolaan jalan nafas tanpa alat tidak berhasil dengan sempurna dan fasilitas tersedia.Peralatan dapat berupa :a. Pemasangan Pipa (tube) Dipasang jalan nafas buatan dengan pipa, bisa berupa pipa orofaring (mayo), pipa nasofaring atau pipa endotrakea tergantung kondisi korban. Penggunaan pipa orofaring dapat digunakan untuk mempertahankan jalan nafas tetap terbuka dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan nafas terutama bagi penderita tidak sadar Pemasangan pipa endotrakea akan menjamin jalan nafas tetap terbuka, menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan pernafasanb. Pengisapan benda cair (suctioning) Bila terdapat sumbatan jalan nafas oleh benda cair. Pengisapan dilakukan dengan alat bantu pengisap (pengisap manual atau dengan mesin) Pada penderita trauma basis cranii maka digunakan suction yang keras untuk mencegah suction masuk ke dasar tengkorak

c. Membersihkan benda asing padat dalam jalan nafasBila pasien tidak sadar terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring maka tidak mungkin dilakukan sapuan jari, maka digunakan alat bantu berupa : laringoskop, alat pengisap, alat penjepit.d. Membuka jalan nafas Dapat dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi Cara ini dipilih bila pada kasus yang mana pemasangan pipa endotrakeal tidak mungkin dilakukan, dipilih tindakan krikotirotomi dengan jarum. Untuk petugas medis yang terlatih, dapat melakukan krikotirotomi dengan pisau atau trakeostomi.e. Proteksi servikalDalam mengelola jalan nafas, jangan sampai melupakan control servikal terutama pada multiple trauma atau tersangka cedera tulang leher.Dipasang dari tempat kejadian. Usahakan leher jangan banyak bergerak. Posisi kepala harus in line (segaris dengan sumbu vertikal tubuh)

B : BreathingAirway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothoraks, flail chest dengan kontusio paru dan open pneumotoraks. Sedangkan trauma yang dapat mengganggu ventilasi dengan derajat lebih ringan adalah hematothoraks, simple pneumothoraks, patahnya tulang iga, dan kontusio paru.Pengelolaan yang dilakukan :1. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (nonrebreather mask 11-12 liter/menit)2. Ventilasi dengan Bag Valve Mask3. Menghilangkan tension pneumothorax4. Menutup open pneumothorax5. Memasang pulse oxymeter

C : Circulation1. Volume darah dan cardiac outputPerdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita yang meliputi :a. Tingkat kesadaranBila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang mengakibatkan penurunan kesadaran.b. Warna kulitWajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia.c. NadiPerlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya merupakan tanda normovolemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi yang tidak teratur merupakan tanda gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar maka merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi segera. 2. PerdarahanPerdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Sumber perdarahan internal adalah perdarahan dalam rongga thoraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis, atau sebgai akibat dari luka dada tembus perut.

D : Disability / neurologic evaluationPada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal. GCS / Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat meramal outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung.Menilai adanya gangguan fungsi otak dan kesadaran (penurunan suplai oksigen ke otak). Bertujuan untuk dapat mengetahui fungsi otak/ kesadaran dengan metode AVPU dan GCSMetode AVPU : Penilaian sederhana ini dapat digunakan secara cepatA = Alert/Awake : sadar penuhV = Verbal stimulation :ada reaksi terhadap perintahP = Pain stimulation : ada reaksi terhadap nyeriU = Unresponsive : tidak bereaksi Dan penilaian ukuran serta reaksi pupil :-Ukuran dalam millimeter-Respon terhadap cahaya / reflek pupil : ada / tidak, cepat atau lambat-Simetris / anisokor

E : Exposure / environmentalExposure / environmental adalah pemeriksaan pada seluruh tubuh penderita untuk melihat jejas atau tanda-tanda kegawatan yang mungkin tidak terlihat dengan menjaga supaya tidak terjadi hipotermi. Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka penderita harus diselimuti agar tidak kedinginan.

4. ResusitasiSelama survey primer, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Resusitasi yang agresif dan pengelolaan yang cepat dari keadaan yang mengancam nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup. Prioritas penanganan kegawatan dilakukan berdasarkan urutan diatas, namun bila memungkinkan dapat juga dilakukan secara simultan. Prioritas penanganan untuk pasien usia muda maupun usia lanjut adalah sama. Salah satu perbedaanya adalah bahwa pada usia muda ukuran organ relative lebih kecil dan fungsinya belum berkembang secara maksimal. Pada ibu hamil, prioritas tetap sama, hanya proses kehamilan membuat proses fisiologis berubah karena adanya janin. Pada orang tua, karena proses penuaan fungsi tubuh menjadi lebih rentan terhadap trauma karena berkurangnya daya adaptasi tubuh.Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.A. Airway Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal airway. Bila penderita tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag refleks) dapat dipakai orofaringeal airway.B. Breathing Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor mekanik, ada gangguan ventilasi dan atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi endotrakheal baik oral maupun nasal. Surgical airway / krikotiroidotomi dapat dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak memungkinkan karena kontraindikasi atau karena masalah teknis.C. CirculationBila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line. Kateter IV yang dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena pada lengan. Selain itu bisa juga digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi atau vena sentralis. Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada semua penderita wanita berusia subur. Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan kristaloid, sebaiknya Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan darah segulungan atau (type specific). Jangan memberikan infus RL dan transfusi darah terus menerus untuk terapi syok hipovolemik. Dalam keadaan harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan perdarahan.

5. Tambahan pada primary survey dan resusitasiA. Monitor EKG : dipasang pada semua penderita trauma.B. Kateter urin dan lambung a. Kateter uretra Produksi merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan perkusi ginjal dan hemodinamik penderita. Kateter urin jangan dipasang jika dicurigai ada ruptur uretra yang ditandai dengan :1. Adanya darah di orifisium uretra eksterna (metal bleeding)2. Hematom di skrotum atau perineum3. Pada Rectal Toucher, prostat letak tinggi atau tidak teraba.4. Adanya fraktur pelvis.Bila dicurigai ruptur uretra harus dilakukan uretrogram terlebih dahulu. b. Kateter lambung atau NGT Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mengurangi kemungkinan muntah. Isi lambung yang pekat mengakibatkan NGT tidak berfungsi, lagipula pemasangannya sendiri dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik atau perlukaan lambung. Bila lamina kribosa patah atau diduga patah, kateter lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT dalam rongga otak. Dalam keadaan ini semua pipa jangan di masukkan lewat jalur naso-faringeal.C. MonitorMonitoring hasil resusitasi sebaiknya didasarkan pada penemuan klinis seperti laju nafas, nadi, tekanan nadi, tekanan darah, ABG (Arterial Blood Gases), suhu tubuh dan keluaran (output) urin hasil pemeriksaan di atas harus didapat secepatnya setelah menyelesaikan survei primer.1. Laju nafas dan ABG dipakai untuk menilai airway dan breathing. ETT dapat berubah posisi pada saat penderita berubah posisi. Alat pengukur CO2 secara kolorimetrik mengukur End-Tidal CO2 dan merupakan cara yang baik untuk menetapkan bahwa posisi ETT dalam trakhea, dan bukan dalam esofagus. Penggunaan alat ini tidak dapat menentukan bahwa letak ETT sudah tepat.2. Penggunaan Pulse oximetri mengukur kadar O2 saturasi, bukan PaO2. Suatu sensor diletakkan pada ujung jari atau cuping telinga, dan kemudian mengukur saturasi O2, biasanya sekaligus tercatat denyut nadi.3. Pada penilaian tekanan darah harus disadari bahwa tekanan darah ini merupakan indikator yang kurang baik guna menilai perfusi jaringan.D. Pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnyaPemeriksaan foto rontgen harus selektif, dan jangan menghambat proses resusitasi. Foto toraks dan pelvis dapat mengenali kelainan yang mengancam nyawa, dan foto pelvis dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis. Pemeriksaan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) dan USG abdomen merupakan pemeriksaan bermanfaat untuk menentukan adanya perdarahan intraabdomen.

6. Survey Sekunder / Secondary SurveySurvey sekunder baru dilakukan setelah survey primer selesai dan dipastikan airway, breathing, dan sirkulasi penderita dipastikan membaik. Prinsip pada survey sekunder adalah memeriksa seluruh tubuh dengan lebih teliti dari mulai ujung rambut sampai ujung jari kaki (head to toe) baik pada tubuh bagian depan maupun belakang dan evaluasi ulang terhadap pemeriksaan tanda vital penderita. Dimulai dengan anamnesa singkat meliputi AMPLE (allergy, medication, past illness, last meal, dan event of injury). Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dapat dilakukan pada fase ini diantaranya foto thoraks.Survey sekunder hanya dilakukan apabila penderita stabil. Sedikit mengenai pengertian stabil : penderita stabil berarti bahwa keadaan penderita sudah tidak menurun. Mungkin masih ada tanda syok, namun tidak bertambah berat. Ini berbeda dengan keadaan normal, dimana penderita kembali ke keadaan normal.

A. AnamnesisAnamnesa harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh : Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman : cedera wajah, maksilo-facial, sevikal, toraks, abdomen dan tungkai bawah. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter : perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.Anamnesa juga harus meliputi :A: alergiM: medikasi / obat-obatanP: Penyakit sebelumnya yang diderita: hipertensi, DML: last Meal (terakhir makan jam berapa, bukan makan apa)E: Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cederaDapatkan riwayat AMPLE dari penderita, keluarga atau petugas pra RSB. Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik : meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi1. Kulit kepalaSeluruh kulit kepala diperiksa. Cukup sering terjadi bahwa penderita yang nampaknya cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari tetesan luka di belakang kepala. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya laserasi, kontusi, fraktur, dan luka termal.2. WajahIngat prinsip: look-listen-feel. Apabila cedera sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re-evaluasi tingkat kesadaran denagn skor GCS. Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, pupil mengenai isokor serta reflex cahaya, acies visus dan acies campus. Hidung : apabila ada pembengkakan. Lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur. Zygoma : apabila ada pembengkakan jangan lupa mencari krepitasi akan adanya fraktur zygoma. Telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum. Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur 3. Vertebra servikalis dan leherPada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa untuk seorang pembantu tetap melakukan fiksasi pada kepala. Periksa adanya cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, dan simetri pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafas, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder, dan lepaskan lensa kontak.4. Toraks Pemeriksaan dilakukan dengan look-listen-feel. Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma tumpul/ tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspamsi thoraks bilateral. Auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas (bilateral) dan bising jantung. Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. Perkusi untuk adanya hipersonor dan keredupan. Ingat bahwa setiap cedera di bawah puting susu, ada kemungkinan cedera intra-abdominal pula.5. AbdomenCedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma tajam, tumpul, dan adanya perdarahan internal. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk nyeri tekan, defans muskuler, nyeri lepas yang jelas, atau uterus yang hamil.Bila ragu-ragu akan adnya perdarahan intra-abdominal dapat dilakukan pemeriksaan DPL (diagnostic peritoneal lavage), ataupun USG.Ingat bahwa pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera, karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali.Pengelolaan : transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan6. PelvisCedera pada pelvis yang berat, akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk control perdarahan dari fraktur pelvis.7. EkstermitasPemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa untuk memeriksa adanyaluka dekat daerah fraktur (fraktur terbuka), pada saat palpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur, pada saat menggerakkan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur.Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstrimitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah) mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan.8. Bagian punggungMemeriksa punggung dilakukan dengan log roll (memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung.

7. Re-evaluasi PenderitaPenilaian ulang penderita dengan mencatat, melaporkan setiap perubahan pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi. Monitoring dari tanda vital dan jumlah urin mutlak dilakukan. Jangan lakukan pemeriksaan yang tidak perlu apabila penderita akan dirujuk ke RS lainnya

8. Terapi Definitif dan RujukanTerapi definitive pada umunya merupakan porsi dari dokter spesialis bedah. Tugas dokter yang melakukan penanganan pertama adalah untuk melakukan resusitasi dan stabilisasi serta menyiapkan penderita untuk dilakukannya tindakan definitive atau untuk dirujuk. Proses rujukan harus sudah mulai saat alasan untuk merujuk ditemukan, karena menunda rujukan akan meninggikan morbiditas dan mortalitas penderita. Keputusan untuk merujuk penderita didasarkan atas data fisiologis penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta faktor-faktor yang dapat mengubah prognosis. Idealnya dipilih rumah sakit terdekat yang cocok dengan kondisi penderita.Pertimbangkan perlunya diadakan pemeriksaan tambahan: seperti foto tambahan, CT scan, USG, endoskopi, dsb.Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan, kebutuhan penderita selama perjalanan, dan cara komunikasi dengan dokter yang akan dirujuk.

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. 2004. Advanced Trauma Life Support For Doctors, 7th edition. United States of America.

Seri PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency Life Support (GELS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan Ketiga. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan R.I. 2006.

12