levodextro

36
JODHI P. GIRIARSO L L e e v v o o d d e e x x t t r r o o Edversia Books

Upload: jo-pragirs

Post on 21-Mar-2016

235 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Buku terbaru dari Jodhi P. Giriarso. Ini adalah sampel yang memuat 30 halaman pertama (16 bab pertama0 pada buku versi cetaknya.

TRANSCRIPT

Page 1: Levodextro

JODHI P. GIRIARSO

LLeevvooddeexxttrroo

Edversia Books

Page 2: Levodextro

ii

JUDUL BUKU Oleh: Jodhi P. Giriarso

Copyright © 2011 by Jodhi P. Giriarso

Penerbit Edversia Books

Desain Sampul: Hadi Sucipto

ISBN 978-602-99217-0-0

Diterbitkan dan dipasarkan melalui: www.nulisbuku.com

Untuk pemesanan sila melalui alamat website tersebut di atas. Lakukan pencarian menggunakan nama penulis atau judul bukunya

agar lebih mudah.

Page 3: Levodextro

iii

Untuk mereka Alhamdulillah, akhirnya novel ini bisa terbit juga. Setelah mengalami penyuntingan menahun, saya bisa menghadirkannya untuk banyak orang. Allah SWT dan orang tua adalah labuhan pertama ucapan terima kasih ini tertuju. Tanpa ijin-Nya dan doa mereka saya tak mungkin berada pada posisi menuliskan ini dalam buku saya sendiri. Keluarga selalu menjadi penyokong utama saya dalam berkarya, untuk itulah terima kasih saya haturkan pada mereka. Berikut teman-teman yang menjadi sarana berbagi pengetahuan, candaan dan celaan. Terutama pada Pepe, Ayu, dan Begy yang menjadi pembaca pertama, menjadi pengawal dalam penulisannya, setia walaupun novel ini tak kunjung terbit, sampai akhirnya sekarang. Herlan dan Kiki yang menjadi tempat karya ini dihajar bolak-balik, membuat saya mengerti apa yang saya tahu jauh lebih sedikit ketimbang lautan ilmu di luar sana, mereka meluruskan saya kembali. Dan teteh Iin yang memberi jalan untuk saya masuk ke dalam dunia penulisan professional. Nulisbuku.com adalah sebuah cetusan luar biasa di era penerbitan mandiri. Saya mengucapkan terima kasih atas jalan yang diberikan sehingga karya ini tidak hanya teronggok di komputer. Dan tentunya yang tidak kalah penting diantara semuanya adalah PEMBACA. Tanpa kalian, penulis hanyalah seorang penyendiri yang sibuk dengan dunia di kepalanya. Selamat Menikmati!!!

Jodhi P. Giriarso

Page 4: Levodextro

iv

Untuk G hiy a dan G i a

Page 5: Levodextro

v

D af t a r I s i

Devotion in Silence 1 – 40 Labirin Dendam 41 – 72 Entre Milan-Paris 73 – 77 Epiprolog 78 – 79 Tentang Penulis Bonus e-book

Page 6: Levodextro

vi

“Aku tidak akan menukarmu dengan apapun!”

Page 7: Levodextro

1

DEVOTION IN SILENCE

1 Akhir tahun 2009 Matanya rapat, biarpun keinginannya membuka mata sangat menggebu. Dia merasa baru saja terlelap. Sekarang beat-beat hip-hop berdendang tidak sopan di telinganya. Sarafnya seolah ditarik oleh kereta api. Impuls mengirim sinyal untuk bangun. Susah payah dia memicimkan mata. Gelap. Ruangan tempatnya tidur, entah dimana, dia langsung terlelap semalam. Dua detik kemudian matanya terbuka.

Milan Ensheva mengacak-acak rambutnya. Benaknya langsung kembali ke masa lalu. Tak jauh, hanya bayangan semalam. Rapat terakhirnya sebelum terbang ke Bandung. Begitu bos mengetuk palu, dia langsung melesat ke bandara. Tiket terakhirnya malam itu benar-benar menjadikannya orang terakhir yang masuk ke dalam pesawat.

Guncangan dimana-mana. Dia mengutuki diri yang membeli tiket murah. Dia berharap di toilet akan lebih tenang. Keputusan tolol. Raung mesin justru makin memekakkan telinga. Dia kembali duduk di kursinya. Menanti bandara Husen dengan hati gelisah.

Pasti tak ada yang menjemputku, pikirnya. Terbuktilah prediksinya. Semua orang terlalu sibuk dengan persiapan

acara pernikahan. Lagi-lagi dia sial. Suhu malam di Bandung masih dikatakan ekstrem

dibandingkan Surabaya. Mungkin benar pemanasan global sudah tak tertahan, tapi Bandung tetaplah Bandung. Kapital Parahyangan ini masihlah dingin, biarpun tidak seperti dulu. Taksi dengan supir setengah teler membawanya ke rumah.

Perut yang meraung minta diisi tak diacuhkannya. Dia hanya sempat menerima ciuman mama di keningnya. Memorinya tak sempat merekam apa alasan kedua orang tuanya pergi selarut itu. Dia langsung terlelap.

Tak ada yang salah dengan Surabaya, tapi justru itulah masalahnya. Setahun lalu tawaran dari seorang teman datang padanya. Surabaya

Page 8: Levodextro

2

memang tak pernah terpikirkan. Tapi kenapa tidak? Tapi alasan klasik coba dimuntahkan mama. Menjadi anak tunggal memang agak menyusahkan di negeri yang adat ketimurannya, katanya, masih kental. Kematian adik selalu jadi tameng mama ketika tawaran dari luar kota menghampiri. Dengan berbagai argumen akhirnya ijin keluar diiringi air mata. Dengan syarat, dua minggu sekali adalah jadwalnya pulang ke Bandung.

Dia meraba dalam gelap, mencari ponsel yang berdering kencang. Pesawat komunikasi portabel itu ditemukan. Dia berusaha membaca nama si pengganggu di layarnya. Gagal. Matanya masih rapat.

“Yaa?” gumamnya setengah sadar, suara serak dan kepala pening. “Kamu sudah bangun?” tanya suara berat dari seberang telepon. Dia mengenali suaranya. Makanya dia segera mengurungkan niat

menyemprot si penelepon, padahal pertanyaannya sangat bodoh. “Yaaa …” Katanya akhirnya setelah memutuskan menjawab. “Kalau begitu cepat ke sini!” Kejujuran itu bermata dua. Bisa jadi objek pujian tapi bisa juga jadi

bumerang. Milan memilih tidak menjawabnya. Pilihan terbaik dibanding berbohong. Karena berbohong seperti candu. Sekali melakukan akan terus dilakukan. Bohong itu kentut. Mudah dilakukan tapi susah ditutupi.

Milan tahu tak mungkin bisa datang tepat waktu. Dia memandang ulang ponselnya untuk memastikan. Kali ini untuk

meyakinkan kalau dia baru tidur sekitar dua setengah jam setelah seharian penuh bekerja untuk memberikan laporan lengkap tentang analisis produk yang akan diekspor. Matanya sekejap terbangun mengingat pernikahan yang harus dihadirinya. Dia mengambil handuk dan beranjak ke kamar mandi.

Di depan cermin dia menatap wajahnya berlama-lama. Cermin itu candu juga. Terlebih bila yang terpantul dari kuarsa itu adalah karakter tulang pipi yang kuat, leher jenjang, hidung mancung dan sorot mata menyala. Narsisisme memang menyihir.

Page 9: Levodextro

3

2 Seorang pria berhidung pesek dan perut buncit memanggilnya dengan kasar. Pria itu memintanya membuka helm dengan cara yang tidak sopan.

Milan tak mau menurut. Dia hanya membuka kaca helmnya dan menunjuk masjid di depannya. Masih tanpa bicara dia memandangi pria itu. Dia tak mengenali dua kroco ini. Ya memang hanya kroco yang ada di luar sementara akad nikah sedang berlangsung.

Jam dinding mengatakan dia sudah telat hampir 20 menit. “Ke pernikahan.” jawabnya mencoba berkompromi. “Buka dulu helmnya!” kata orang itu memaksa. Datang lagi seorang yang berpakaian sama, hanya kurus dan lebih

muda. Berpakaian batik coklat tua yang sebenarnya mewah tapi tidak pantas dipakai mereka berdua. Batik mahal itu menjadi seperti murahan. Milan mengingatkan dirinya untuk menanyakan kenapa dia tidak diberi seragam seperti itu. Seolah sudah menjadi aturan dasar bahwa keluarga mempelai harus menggunakan seragam, entah itu batik, kerudung, ataupun kain sarung.

Keterlambatan tak pernah ditoleransi di keluarganya. Itu hanya berarti satu hal, ledakan omelan mama dan tampang serius papa. Dia bisa saja mengabaikan kedua pria ini tapi dia tak mau ada perpecahan sebelum ijab-qobul. Dia membuka helmnya tanda mengalah.

Kedua orang itu kaget, mukanya pucat pasi. Dengan tergagap si kurus berkata, “Van … Vandy?”

3 Dewi mengecek ulang jam digitalnya untuk memastikan angkanya tidak salah. Dan masih tak berubah bahkan detiknya makin bertambah. Orang itu belum datang juga. Hampir meledak kegelisahannya menunggu orang itu. Kalau saja orang tuanya tidak menyuruhnya menghubungi, dia bisa menikmati ademnya suasana di dalam masjid.

Riasan tebal plus kebaya memadatkan penampilannya. Keringat mulai mengucur dari keningnya. Matahari memang sudah tidak malu-malu

Page 10: Levodextro

4

kendati masih pagi. Rambut sasakannya mengembang tak disanggul. Tubuhnya kurus tapi kebaya membuatnya terlihat menggairahkan.

Dia kembali menghubungi Milan. Tak ada jawaban. Sedangkan akad segera dimulai. Sayup-sayup terdengar pembawa acara sedang memandu laku tempat duduk mempelai, saksi dan wali.

Dua menit kemudian Dewi melihat sebuah motor besar berwarna hitam dengan kombinasi merah menyala masuk ke halaman masjid. Walau tak yakin, dia berharap itu Milan.

Jaket kulit hitam tebal dan helm berkilau memantulkan cahaya matahari yang mulai memanggang. Milan dihadang dua orang. Orang pertama gemuk, satunya lagi kurus. Mang Edi, salah satu keluarga perempuan, dan Andri, temannya. Dialog yang terjadi antara mereka membuatnya geli.

“Nggak apa-apa, Mang!” teriaknya, “Dia keluarga Vandy.” Segera setelah lolos dari dua penjaga, Milan naik. Terburu-buru

menaiki tangga yang lumayan panjang, untungnya tidak tinggi. Dewi mendapatkan senyuman maafnya. Dia tidak membalas untuk menegaskan maksudnya. Tapi Dewi senang bertemu dengan sepupunya ini.

“Kamu telat setengah jam!” seru Dewi. Milan membuka sepatunya dan berkata, “Terus apa masalahnya? Ini

masih Indonesia kan?” Tanpa berkata-kata lagi mereka masuk ke dalam ruang utama masjid.

Orang-orang langsung menoleh padanya. Sesaat Milan menjadi pusat perhatian sebagian orang, tapi untuk sebagian lagi perhatian itu lebih lama lagi. Orang-orang seperti melihat hantu.

Milan duduk di samping Dewi. Mencoba mengikuti ritual pernikahan. Sayup-sayup udara dari pendingin udara melenakan. Dewi hampir percaya Milan sedang mencoba terlelap di pernikahan kakaknya ini. Dewi tertawa tertahan ketika Milan terperanjat bangun tiba-tiba. Suara Vandy mengucap ijab-qabul terdengar sangat bersemangat. Mungkin lebih dari seratus desibel. Tak heran Milan terbangun.

Terdapat ketegangan dalam suara Vandy, tapi dia menutupinya dengan cara nyaris berteriak. Ijab-qabul diucapkan dengan sangat jelas dan

Page 11: Levodextro

5

hanya sekali ucap. Vandy sebenarnya agak penggugup tapi untuk urusan kali ini tampaknya Vandy berhasil mengatasi kegugupannya.

Inilah kekuatan cinta… Desah lega bergemuruh memenuhi ruangan. Dia menoleh pada

Milan. Senyuman bahagia yang didapatkannya dari sepupunya ini.

4 Pertengahan tahun 2009 Milan tumbang begitu tiba di rumah. Teriakan mama entah melayang kemana, yang pasti tidak ke telinganya. Mama marah besar karena dia urung datang pada acara tunangan tadi siang. Dia berkali-kali mengirim pesan yang berisi maaf karena urusan di kantor memanjang sampai malam dan dia sangat dibutuhkan. Tetap saja, sesampainya di rumah dia disemprot suara-suara menggelegar. Tidak heran, tak ada yang diinginkannya untuk dilakukan selain naik ke kamar dan tidur.

“Mama bilang juga ini acara penting, masa kamu nggak datang! Malu sama keluarga Vandy!” seru mama.

Esok harinya. Minggu yang sangat cerah, agak berangin. Cocok untuk menikmati secangkir teh panas sambil duduk di kursi taman. Ditemani musik asyik dan buku favorit. Tapi bayangan ideal itu segera lenyap ketika kemarahan mama masih menggantung di langit-langit rumah. Siap menimpanya ketika turun. Tapi perutnya menuntut lebih. Cacing-cacing diperutnya berselera naga. Dia memutuskan untuk berkompromi dengan telinganya. Mendahulukan perutnya.

“Milan, kamu mikirnya gimana sih?” tanya papa yang duduk di ruang tengah, sofa berwarna kelabu dengan corak ciri khas etnik jawa.

“Yaa, aku tahu salah. Tapi kan itu cuma tunangan, bukan pernikahan.” Kata Milan sesopan mungkin.

“Ya udah, nggak apa-apa. Tapi nanti pas pernikahan wajib datang!” “Siap, Boss!” seru Milan sambil melanjutkan sarapannya. Sejak kecil Milan mengenal papa lebih galak, lebih cerewet dari

mama. Itulah sebabnya dia lebih dekat dengan mama. Tapi begitu dia lulus sarjana karakter itu justru berbalik. Aneh. Papa menjadi lebih bijak daripada mama. Mama menjadi lebih mudah khawatir. Hal itu

Page 12: Levodextro

6

diperlihatkan papanya saat dia mendapatkan tawaran kerja di Cilegon. Mama melarangnya pergi habis-habisan sementara papa menyerahkan semua keputusan padanya. Karena itulah dia tetap mencari kerja di Bandung sementara ikut menjaga bengkel keluarganya.

Dua bulan menganggur membuatnya bosan. Milan terbiasa bergerak dari satu tempat ke tempat lain, bukan diam di satu tempat dan menunggu pelanggan datang. Dia akhirnya menerima pekerjaan apapun. Tapi karena itulah dia selalu berpindah-pindah tempat kerja. Terakhir dia ditempatkan di bank. Jelas membuatnya risih. Buat apa aku jadi sarjana kimia kalau cuma jadi staff marketing bank?!! Pikirnya kala itu.

Akhirnya datang tawaran dari teman kampusnya dulu, Herdan, dia langsung mengambilnya. Tak peduli seperti apa kemarahan mama, dia bersikeras. Orang tuanya menyerah dengan syarat. Mengingat jarak Bandung-Surabaya, sebenarnya berat mengiyakannya. Tapi air mata mamanya membuatnya terpaksa menyetujui perjanjian itu.

“Kapan kamu kayak Vandy?” tanya papa. Nasi beserta sayur kacang yang ditambahi sambel terasi tersedak salah masuk tenggorokannya.

Milan terbatuk. Sambalnya tidak pedas. Tapi karena tertahan di tenggorokan dan sedikit memaksa keluar lagi rasanya sambal itu sangat mencekat sampai Milan mengeluarkan air mata. Dia menenangkan diri dengan minum air sebanyak-banyaknya.

“Kayak Vandy apanya?” tanya Milan akhirnya. “Yaa, tunangan terus nikah.” jawab papanya enteng. Milan menunda lagi makannya. Dia sudah menduganya. Hanya ingin

mengonfirmasi saja. Walau sudah diprediksi, Milan tak menyiapkan jawabannya. Seperti pertanyaan yang meluncur dari mulut dosen killer ketika sidang. Seperti direktur utama melakukan inspeksi mendadak. Tak ada jawaban siap. Dia menjawab sekenanya.

“Entar aja deh, aku kan belum setahun dapat pekerjaan tetap. Vandy saja butuh tiga tahun kerja baru dapat uang cukup buat nikah!”

“Bukan itu masalahnya, umur kamu sudah 25 tahun, punya pekerjaan bagus, terus mau apa lagi?”

“Mau main dulu!” jawabnya asal. Setelah itu dia mengingkari perjanjian awal. Tiga bulan tidak pulang.

Dia muak dengan permintaan pernikahan. Tak ada alasan untuk terus

Page 13: Levodextro

7

menghindar. Tapi juga tak punya argumentasi relevan untuk menolak permintaan itu. Tak ada perempuan yang dekat dengannya bukan alasan yang bisa mudah diterima orang tuanya.

5 Akhir tahun 2009 Masjid itu berubah dalam sekejap. Sesaat sebelumnya Milan mendengarkan ritual suci pernikahan, sekarang alunan lagu sunda khas pernikahan menyayat gendang telinganya. Perkawinan antar satu suku bangsa cukup menguntungkan. Tidak perlu ada diskusi alot mengenai konsep pernikahan sebab sudah ditentukan pakemnya oleh leluhur. Berbeda nasibnya bila harus menyatukan dua adat yang berbeda. Terlebih bila dua keluarga keukeuh dengan tradisinya. Pernikahan pastinya tetap dilangsungkan, hanya membengkak di bagian finansial.

Milan mengamati keseluruhan interior masjid. Kemudian di kepalanya tergambar sebuah pemetaan denah sesuai dengan imajinasinya –tidak sesuai dengan kaidah arsitektur karena dia memang bukan arsitek. Ruangan bawah disesuaikan untuk acara resepsi, sementara ruang utama masjid berfungsi sebagai ruangan ijab-qabul. Sangat komplit dan efisien.

Setelah cukup mendengar ocehan mama tentang keterlambatannya, Milan ikut nimbrung bersama anggota keluarga lain. Keponakannya, dia perhatikan, rasanya terakhir kali –sekitar tujuh bulan lalu– belum sebesar ini. Dia menyapa paman-bibi dan sepupu. Resepsi pernikahan, dimanapun, memberi kesempatan keluarga besar untuk berkumpul dalam satu acara. Rasanya kerinduan bisa terpuaskan setelah lamanya berselang dan kesibukan yang menyita.

Vandy Ramudya duduk di kursi singgasana berwarna merah dengan pegangan emas, menyatu dengan istrinya, Meina Raemawasti. Vandy adalah seorang sarjana teknik elektro yang nyasar profesi. Dia bekerja di IMHE Jakarta. Setelah berita rencana pernikahannya sampai ke telinga pimpinan, dia dipindahkan ke Bandung. Sementara istrinya adalah guru TK yang menyukai pekerjaannya.

“Lho, bukannya kamu sama cowok botak itu kan?” kelakar Milan pada Dewi.

Page 14: Levodextro

8

Di wajah Dewi tergantung awan hitam. Mendung. “Enak aja botak botak, dia itu keren tauu!!!” sergahnya tak setuju. “Terus, sekarang kemana si plontos itu?” “Ihh … Milan, awas ya?!!” ujar sepupunya itu, “Itu makanya Dewi

lagi sedih.” “Cup … cup … cup … jangan nangis dong.” “Dia lagi ada seminar …” Perhatian Milan segera teralihkan oleh tepukan di pundaknya. “Wah … orang Surabaya nih, kapan datang?” Mang Adang menyapanya. Dahulu pamannya ini atlet tenis. Hampir

berlaga di ajang internasional tapi kandas gara-gara cedera punggung yang menyiksa. Setelah sembuh, kemampuannya tidak kembali. Maka impiannya gagal, mang Adang sedang coba diwariskan pada Ridan, anaknya. Kabarnya, setiap hari mang Adang memberikan pelatihan yang luar biasa. Milan pernah mencoba bermain dengan Ridan. Hasilnya kalah telak, padahal anak itu baru 10 tahun.

“Tadi subuh, Mang.” Sahut Milan, “Ini juga masih teler gara-gara kurang tidur.”

Mang Adang tertawa menimpalinya. Milan merasa dirinya tidak sedang melucu, tapi sudahlah. Orang bilang senyum adalah jarak terdekat antara dua manusia. Mungkin arti tawa lebih dekat lagi.

Seseorang memanggil dari pelaminan. Papa ternyata. Setelah minta ijin, Milan menghampiri. Sepasang kakek nenek berusia tujuhpuluhan sedang memberi selamat pada Vandy. Milan diperkenalkan pada orang tua itu. Si kakek punya tubuh yang gempal, beruban semua kepalanya seperti tumpukan benang perak ditumbuhkan di atas kepalanya. Milan merasa familiar dengan kakek ini. Sementara si nenek punya karakter penyayang, tatapannya lembut.

“Kalian kembar?!!” kata lelaki tua itu dengan kewibawaan yang terpelihara.

Milan dan Vandy tertawa. Kemiripan mereka memang seperti anak kembar identik. Wajahnya memiliki tipe yang sama dengan Vandy, padahal mereka hanya sepupu. Mata yang besar hanya dibedakan alis yang memayunginya, Milan lebih lancip. Bentuk wajahpun hampir sama, hanya saja senyum Milan lebih memanjangkan wajahnya.

Page 15: Levodextro

9

“Bukan, tapi orang tua kami iya!” kata Milan, masih tersenyum riang. Orang tua itu menatap kedua orang tua Milan dan Vandy. Memang

keduanya mirip, bukan hanya papa tapi mama juga. Papa-mama Milan dan ayah-bunda Vandy adalah saudara kembar. Ayah Vandy menikahi adik mama Milan. Papa Milan menikahi kakak bunda Vandy. Entah apa yang dikatakan hukum genetika Mendel tentang ini, karena inilah kenyataannya. Anak dari pernikahan dua saudara kembar dengan dua saudara kembar lainnya menghasilkan dua anak yang mirip. Terlebih, kelahiran Milan hanya terpaut satu bulan lebih lambat dari Vandy. Jika saja keberadaan mereka diketahui para ahli genetika biologi, mereka bisa jadi objek penelitian yang menarik.

Dengan berbagai basa-basi, akhirnya Milan melayani orang tua itu mengobrol. Orang tua itu dikenal sebagai Marbun Hermawan, salah satu penggerak perekonomian Indonesia. Milan baru ingat setelah Vandy membisikkannya. Perusahaannya, Indonesia Marbun Hermawan Enterprise, bergerak diberbagai bidang dengan anak perusahaan yang berkembang di kota-kota besar pulau Jawa, bahkan sampai Sulawesi dan Papua.

Beliaulah pemilik tempat Vandy bekerja. Saingan terbesar dari perusahaan tempat Milan bekerja. Jadi secara profesional Vandy dan Milan harusnya bersaing, bukan bersaudara. Mereka tidak pernah mempermasalahkannya. Bahkan mereka tak pernah bicara tentang pekerjaan masing-masing.

“Kata Vandy kamu orang sibuk,” tanya Marbun, “Kerja di bagian apa?”

“Quality control,” jawab Milan. Marbun menunjukkan kekagumannya. Milan tak mau repot-repot

berusaha mengetahui Marbun sedang berpura-pura atau memang tulus. Dia sedang tak ingin memperbudak otaknya dengan analisis perilaku manusia. Santai, hanya itu keinginannya sekarang.

“Biasanya sih nggak terlalu sibuk, tapi karena sekarang sudah mulai melakukan ekspor ke Hongkong makanya, yaa ... tahulah, perusahaan di sana agak rewel.” Milan tak melanjutkan kalimatnya.

“Yaa, yaa saya tahu itu!” Marbunpun berhenti menanyai tentang pekerjaan dan beralih pada dirinya.

Page 16: Levodextro

10

Milan bercerita seadanya. Tak mau terlalu mendalam. Cerita seputar dirinya yang baru tiga bulan bekerja sudah mengambil alih bagian QC. Kemudian beralih pada minatnya di dunia analisis kimia.

Setelah setahun bergelut dengan dunia kerja membuatnya mengerti bahwa cara bersikap bisa menentukan arah perusahaan. Dia bukan orang marketing seperti di bank dulu, tapi justru disitulah biasanya orang penting dari perusahaan lain mendekatinya. Sejak sebulan diangkat sebagai kepala laboratorium QC, dia sudah didekati tiga perusahaan berbeda yang membujuknya untuk memberikan informasi tentang produk yang dihasilkan perusahaannya. Mereka pikir orang baru bisa dibeli lebih mudah. Sebagai kepala lab QC dialah orang yang paling tahu tentang kondisi suatu produk. Dialah yang menentukan produk itu bisa dilempar ke pasaran atau harus diproses ulang atau malah harus dibuang. Kadang dimusuhi bagian produksi kalau produk mereka terjegal di bagian ini. Tapi begitulah dia harus menerimanya.

Sore harinya Milan memesan pesawat ke Surabaya. Dia menolak untuk menginap sehari lagi. Pengiriman barang ke Taiwan hari berikutnya harus dibubuhi tanda tangannya. Mama makin kesal saja.

6 Hari berikutnya, Surabaya menyambutnya kembali. Panasnya memang menyiksa. Tapi lalu lintasnya lebih teratur daripada Bandung. Motor dan mobil punya jalurnya sendiri. Dia lebih suka memakai motor agar lebih cepat, pikirannya sama dengan jutaan rakyat Indonesia lainnya yang bikin produsen motor girang bukan kepalang.

Bersemangat setelah tidur nyenyak selama di pesawat dan langsung tumbang sesampainya di rumah, dia mendapati dirinya di ruang kantornya yang nyaman. Ruangannya besar, ada beberapa instrumen kerja di setiap sisi dindingnya. Ruangannya sangat terang, meja-kursi tertata rapi dan seluruh dokumen berada ditempatnya.

Asistennya masuk setelah menunggu Milan siap bekerja. Milan punya kebiasaan menikmati secangkir teh di pagi hari. Jadwalnya lima menit setelah masuk ruangan. Kali ini teh hangat dibawakan oleh pesuruh, datang bersama asistennya.

Page 17: Levodextro

11

Asistennya terkenal paling cekatan di seluruh perusahaan. Lia tidaklah secantik yang digambarkan di film-film. Tapi justru itu Milan beruntung sehingga tak perlu membagi perhatiannya antara pekerjaan dan asistennya. Gadis itu cukup tinggi, badannya tidak terlalu langsing, ditambah kacamata besar yang membuat penampilannya agak kuno.

Milan tersenyum saat Lia masuk memegang dokumen dengan kedua tangannya. Sembari menyerahkan, Lia berbasa-basi.

“Gimana pernikahannya, Bos?” Bos, sungguh modern bukan? Menurutnya sangat cocok dibanding

harus dipanggil ‘bapak’. Terdengar tua sekali. Memang faktanya dia memang belum tua. Di antara pegawai di lab, hanya Melly yang lebih muda darinya.

“Lumayanlah, nggak terlalu mewah tapi makanannya asyik, enak semua.”

“Ini dokumen untuk pengiriman ke Taiwan.” Lanjut Lia lebih serius. Tanpa berkata lagi Milan mengambil dokumen itu. Setelah

memeriksanya secara cepat dari atas ke bawah dan melihat lampirannya, dia tersenyum. Ini adalah pengiriman ketiga yang dilakukan perusahaannya sejak memutuskan mengekspor produknya ke wilayah China; China daratan dan Hongkong. Dia mengambil pena yang tertancap ditempatnya di pojok meja lalu menandatangani surat pengiriman ke Taiwan. Dia menyerahkannya kembali.

“Oh ya, Pak Herdan meminta anda datang ke lab-nya, katanya ada hal yang ingin didiskusikannya.” kata Lia lagi setelah hampir membuka pintu, “Anda mau datang?”

Panggilan itu membuatnya berpaling pada Lia lagi. Mau bikin apa lagi dia! geramnya. Milan mengiyakan, setelah itu Lia

keluar. Herdan Suryawan, tipikal teman kampus penyelamat. Dialah yang

memberi kesempatan Milan untuk bekerja di perusahaan ini. Jabatan kepala laboratorium riset dipegangnya sebelum Milan masuk. Tadinya, Milan akan bekerja menjadi asistennya, tapi tidak jadi. Direktur menempatkannya di bagian QC.

Keduanya sering berdiskusi. Kebanyakan masalah pekerjaan, sisanya bernostalgia. Dari tukar pendapat mereka tercipta beberapa produk baru

Page 18: Levodextro

12

yang jadi andalan perusahaan ini. Sebenarnya Milan masih berminat bekerja di bagian riset ketimbang di QC. Baginya meneliti merupakan ajang pembuktian bahwa universitasnya mengajarinya dengan baik dan membuktikan dirinya punya kreativitas. Sedangkan di bagian QC, menurutnya, tak banyak yang bisa dilakukan kecuali mengembangkan metode. Tapi dia belum bisa melawan keinginan atasan. Dia berharap bisa mengisi posisi Herdan, bila temannya itu dipromosikan atau dimutasi.

Setelah mengecek pekerjaan bawahannya, Milan menemui Herdan. Hari ini pekerjaannya memang tidak terlalu banyak, tidak sebanyak minggu lalu saat harus memeriksa laporan lengkap tentang analisis produk untuk diekspor. Itulah sebabnya dia bisa keluar dari ruangannya barang sejam-dua.

Herdan langsung membuka jurnal penelitiannya. Penelitian barunya memang masih dalam tahap perencanaan. Dia berharap bisa membuat produk mie instan yang lebih sehat, juga bisa memangkas ongkos produksi dua sampai lima persen kalau berhasil. Milan memperhatikan penjelasannya sembari sekali-kali memberikan komentar.

“Tapi masalahnya...” kata Herdan. “Apa yang bisa melapisinya?” “Ya, kalau kita mengambilnya dari nata de coco akan malah

melambungkan harga produksi. Kamu tahu sendiri proses nata de coco perlu waktu.” Jawab Herdan mengiyakan pendapat Milan, “Pemanasan juga harus diperhatikan.”

“Kan bisa digunakan pengurangan tekanan?” “Tapi efektifitasnya?” “Kurasa penaikkan suhu bisa dilakukan, tapi kita harus menjaga agar

bahan tetap tidak rusak sekalipun suhu dinaikkan. Itu sih tinggal masalah mengatur suhu dan tekanannya aja. Kamu biasanya lebih jago.”

Herdan menyetujuinya. Akhirnya Milan bisa pergi dan melanjutkan pekerjaannya.

Page 19: Levodextro

13

7 “Bos, anda dipanggil dewan direksi.” kata Lia dari seberang telepon.

Milan heran dengan panggilan mendadak ini. Nyaris tak pernah ada panggilan mendadak dari dewan direksi sebelumnya. Hanya saat promosi dan ketika rapat untuk memutuskan ekspor ke China. Hanya itu yang dia ingat. Dia tak merasa melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan. Jadi dia berpikir positif saja.

Mungkin naik jabatan lagi. Harapnya. Hanya saja harapan itu terganjal kenyataan sudah ada kenaikan jabatan bulan lalu. Tak mungkin terjadi dua kali dalam dua bulan.

Dia membetulkan posisi dasinya sebelum masuk. Setelah melapor pada sekretaris di luar, Milan masuk. Di dalam, sambutan yang diterimanya berupa delikan-delikan menyakitkan. Kebanyakan dari mereka sudah berumur lebih dari lima puluh tahun, ada juga yang muda seperti dirinya yang dia kenal sebagai atasannya langsung, Idrus Mahardika. Situasi ini mendorong imajinasinya ke tepian tebing positive thinking, hampir terjatuh ke jurangnya

Milan tersenyum. Tak ada yang membalasnya. Suasana makin tegang saja baginya. Idrus yang dikenalnya sangat ramahpun sama sekali tidak meliriknya. Dia melemparkan amplop coklat berukuran sedang, tepat ke depan meja. Amplop itu nyaris jatuh kalau Milan tidak menangkapnya. Dia membukanya.

Terdapat lima lembar foto. Foto pertama memperlihatkan dirinya sedang bersalaman dengan Marbun Hermawan. Foto selanjutnya lagi menunjukkan dirinya yang sedang tertawa dan mengobrol. Tempatnya tak lain ruang resepsi pernikahan Vandy kemarin.

Darimana mereka dapat ini?!! “Apa ini?” tanya Milan setenang mungkin. “Justru kami berharap anda yang menjelaskannya?” tanya Idrus. Milan mengerti semuanya. Entah siapa yang ada di pernikahan Vandy

kemarin yang membuat foto ini. Persaingan perusahaan ini dengan IMHE memang bukan rahasia. Tapi dia tak menyangka para orang tua ini begitu sinis saat tahu dirinya pernah bercengkrama dengan Marbun Hermawan. Pikirannya melayang, memilah berbagai kemungkinan.

Page 20: Levodextro

14

“Ini foto saya dengan Marbun Hermawan di resepsi pernikahan saudara saya kemarin?” menjawab sekaligus bertanya untuk mencairkan suasana, “Saya masih punya banyak kalau anda sekalian mau ...”

“Ini bukan lelucon!” teriak orang tua gemuk yang memakai jas paling aneh yang pernah dilihatnya. Milan mengenalnya sebagai Fuad Kusmanto.

Suasana semakin tidak mengenakkan baginya. Hawa Surabaya makin menyedot semua cairan tubuhnya. Keringat butiran meluncur dari sela-sela rambutnya. Idrus Mahardika memberi isyarat agar Fuad tenang.

“Apa anda tahu apa arti semua ini?” tanya Idrus lagi. “Bahwa anda sekalian menganggap ada maksud lain seperti

pembocoran informasi rahasia perusahaan?” “Tepat sekali!” Sepertinya situasi mencair tapi berbalik tegang dalam

sekejap, “Itu yang kami pikirkan. Setelah kami berdiskusi, mengingat reputasi anda di perusahaan ini sangat baik maka kami menyarankan anda untuk mengajukan surat pengunduran diri sebelum tahun baru. Bila tidak, maka kami yang akan melakukannya untuk anda. Kami yakin anda akan memilih tawaran pertama!”

8 Sehari sekembalinya Milan ke kantor, Idrus Mahardika menerima sepucuk surat. Surat coklat berukuran sedang itu sangat ringan. Dia mengeluarkannya dengan hati-hati karena tahu berisi foto. Kebetulan dia sedang bersama Fuad Kusmanto, salah satu dewan direksi, ketika menerimanya. Sebelumnya, mereka membahas kemungkinan ekspor ke Jepang.

Keduanya terkejut ketika melihat foto-foto itu. Milan sedang bersalaman, tertawa dan mengobrol bersama Marbun Hermawan, pemilik salah satu perusahaan saingan mereka. Idrus berharap dugaannya salah tapi Fuad terlalu menganggapnya serius dan berprasangka terlalu buruk.

Idrus Mahardika ingat sekali bagaimana senangnya dirinya ketika menerima Milan setahun yang lalu. Herdan memperkenalkannya dengan pujian setinggi langit. Pekerja keras, selalu on time, daya imajinasi yang luar biasa untuk seorang peneliti, kualifikasi yang memuaskan bagi Idrus

Page 21: Levodextro

15

untuk mendampingi kepala lab QC, Rami Suyanto. Milan diterima sebagai wakil kepala. Meninggalnya Rami Suyanto, meskipun menyedihkan baginya, memberinya pula kesempatan untuk menaikkan posisi Milan menjadi kepala lab Quality Control. Karena tak ada senior yang lebih berkompeten jadilah Milan orangnya.

Idrus takkan menutupi isi surat itu dan hanya mengonfirmasi pada Milan, seandainya Fuad tidak membesar-besarkannya. Sudah kepalang, Fuad langsung menghubungi kawanan lainnya. Mereka menjadi kawanan hyena yang sedang lapar mereka memburu kijang. Kehilangan besar sebentar lagi akan segera terjadi, pikir Idrus.

Dalam rapat esok harinya, Idrus berusaha meyakinkan bahwa Milan bisa dipercaya sepenuhnya. Tapi itu sama sekali tidak cukup. Dia pun menyadarinya, hubungan Milan dengan Marbun Hermawan, sama sekali bukan hal yang bisa dibanggakan. Mengerikan bahkan.

“Anda ingat bagaimana perusahaan ini hampir hancur oleh Marbun?” tanya Fuad membalikkan pembelaannya untuk Milan. Dia menjadi orang paling vokal untuk segera mengeluarkan Milan.

“Ya, saya tahu itu. Saya yang membongkar kasus itu.” “Dan anak itu belum ada di sini ketika itu terjadi,” ujar dewan direksi

lainnya, “Tepat ketika kita lolos dari masalah itu dan mulai melampauinya lagi, Milan masuk. Marbun Hermawan memang tahu benar apa yang harus dilakukannya! Apalagi kudengar saat masuk Milan ingin sekali masuk bagian riset?!!”

“Belum tentu Milan membocorkan sesuatu!” “Memang, tapi tak ada jaminan Milan tidak memberikan apapun.

Anda sendiri tahu benar kalau tiru-meniru strategi pemasaran adalah hal yang biasa, begitu juga dengan peniruan produk. Kalau pasar segmen pasar diambil, kita tinggal memodifikasi pemasaran dan memasarkannya di segmen yang berbeda. Tapi peniruan produk akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap produk kita. Dari situ kita hanya akan menjadi pengikut pasar, Marbun-lah yang akan selalu menjadi market leader-nya!”

“Hubungannya dengan Marbun sudah jelas,” tukas lainnya yang berjas hitam legam, “Kalau dia bisa datang ke pernikahan saudara Milan

Page 22: Levodextro

16

dan tersenyum begitu lebar dengannya, maka dia bisa masuk ke rumah anak itu kapanpun.”

“Memecatnya tidak akan menyelesaikan masalah.” kata Idrus pasrah. “Dan membiarkannya memungkinkan kita bangkrut lebih parah dari

yang pernah kita alami.” Sergah Rahmat Efendi, dewan direksi lainnya. “Perlihatkan saja foto itu, suruh dia mengundurkan diri!” tukas Fuad “Panggil anak itu!” Idrus Mahardika seakan melorot dari kursinya. Gagang telepon

seakan terlalu berat baginya kali ini.

9 Milan berjalan cepat kembali ke kantornya. Kepalanya akan meledak. Sapaan Milla, gadis cantik dari departemen pemasaran, sama sekali tak diliriknya. Tak ada lengkungan bibir di wajahnya. Tak habis pikir bagaimana jalan pikiran orang tua bangkotan di ruang direksi tadi. Inginnya dia segera sampai ke lab, mencampur sejumlah sulfur dan perklorat untuk meledakkan gedung ini.

Kali ini firasat membuka konfrontasi dengan keinginannya. Biasanya bila dia membayangkan yang terburuk, maka kenyataan yang terjadi malah sebaliknya. Ketika naik ke ruang direksi tadi, dia sudah memperhitungkan ada hal yang tak beres. Sedikit berharap yang terjadi sebaliknya. Tapi kali ini malah benar-benar yang terburuk terjadi padanya.

Dulu, sebelum menjadi kepala lab, Milan menyangka dirinya telah melakukan kesalahan besar. Saat itu dia berinisiatif memberikan tanda tangannya untuk pelepasan produk. Kebetulan Rami Suyanto sakit parah dan dirawat di rumah sakit. Ternyata keputusannya kala itu benar. Dia mendapatkan pujian tak resmi dari Idrus.

Tak lama setelah itu Rami meninggal karena diabetes dan komplikasinya. Milan mengagumi orang tua itu yang mewariskan banyak ilmu berharga dalam hal kepemimpinan di kantor. Orang tua itu juga membangun kepercayaan dirinya sehingga lebih aktif. Rami seolah tahu dia tidak akan hidup terlalu lama lagi. Rami meninggal, dia menggantikannya. Milan memang berharap menjadi kepala lab, tapi cara ini sama sekali tak pernah terlintas di kepalanya.

Page 23: Levodextro

17

Milan menggenggam, agak meremas, foto-foto yang diperlihatkannya tadi. Dia bertekad menemukan orang gila yang sudah menghancurkan karirnya. Dimanapun dia.

“Tolong scan foto-foto ini,” ujarnya pada Lia, “Dan tolong cari tahu kapan foto ini sampai dan darimana...”

Lia terlalu terkejut menerima perintah itu. sebelumnya Milan tidak pernah memberikan perintah dengan nada keras, apalagi menggebrak meja. Lia mengiyakan setelah berhasil mengatasi keterkejutannya.

Esok harinya berita menyebar seperti asap. Entah berapa orang yang memandang Milan dengan pandangan menjijikan –kebanyakan yang sudah bekerja lebih dari tiga tahun– tapi tidak sedikit juga yang memberikan simpatinya. Tentu saja semuanya dilakukan secara diam-diam. Secara resmi, pertemuan Milan dan dewan direksi kemarin tidak ada.

Herdan menemuinya mengetahui desas-desus ini. Milan tidak menolak. Dia mengakui bertemu Marbun Hermawan pada pernikahan Vandy. Tapi jelas, dia tak mau dikatakan sebagai mata-mata perusahaan saingannya itu.

Lia dipersilakan masuk ke kantor ketika Herdan masih di dalam. “File foto sudah ada di sini.” kata Lia serius sambil menyerahkan

sebentuk benda kecil panjang, flashdisk berwarna biru, “Dan surat itu dikirim dua hari lalu, langsung diterima oleh pak Idrus Mahardika.”

“Makasih, darimana surat itu dikirim?” tanya Milan sambil menerima flashdisk tadi. Herdan hanya mengamati.

“Kantor pos tidak mau memberikan informasi detail tapi diketahui surat itu dikirim dari Bandung.”

Tentu saja dari Bandung! Milan tidak terkejut. Pasti salah satu tamu Vandy yang

melakukannya. Tapi memilah salah satu dari seribu undangan bukanlah hal yang mudah. Timbul bilang suatu hil yang mustahal. Bisa siapa saja. Lepas dari gagalnya Lia mendapatkan informasi detail mengenai surat itu, dia menyatakan terima kasihnya.

“Ini amplop yang bos minta.” Ujar Lia.

Page 24: Levodextro

18

Milan sekali lagi menyatakan terima kasihnya sambil menerima amplop putih ukuran sedang. Kemudian dia melipat selembar kertas dan memasukkannya ke dalam amplop.

“Apa itu?” Tanya Herdan “Menurutmu?” seru Milan, “Ini yang mereka minta!” Herdan dan Lia segera tahu bahwa itu adalah surat pengunduran diri. “Terus apa rencanamu?” tanya Herdan lagi saat Milan menuju pintu. Milan berbalik, menghela nafas dan berkata, “Aku akan kembali ke

Bandung dan memburu orang itu!” Milan membuka pintu dan lenyap sekejap.

10 Pertengahan tahun 2006 Idrus Mahardika membuka semua file statistik penjualan di laptopnya. Banyak yang dia tidak mengerti. Angkanya tak masuk akal. Padahal semua tahapan stateginya sudah dilakukan dengan baik. Penjualan sama sekali tidak sesuai dengan harapan.

Dialah pengusul ide pemasaran ini. Selama ini dia dianggap sebagai staf paling cemerlang di antara staf marketing. Idenya membuatnya semakin melambung. Dia memotong jalur distribusi sampai dua jenjang. Harapannya, barang lebih cepat sampai ke konsumen dengan harga yang tidak terlalu mahal. Tapi kenyataan tak tak sesuai harapan. Langkah ini sudah diambil oleh IMHE Food –anak perusahaan IMHE dibidang makanan dan minuman. Sebulan sebelum barang didistribusikan pasar sudah kebanjiran produk dari IMHE Food. Dengan iklan lawan yang mengakar, habislah mereka. Padahal produksi sudah ditingkatkan. Tak mungkin menariknya.

Idrus tahu perusahaan harus segera mengarahkan iklan pada segmen pasar yang lebih spesifik. Tapi Andri Sumarto tak setuju. Atasannya ini lebih memilih melanjutkan strategi pemasaran usulan Idrus. Perdebatan mereka sudah seperti pertempuran di lapangan Bubat.

“Pak, menurut saya ini tak bisa dilanjutkan lagi.” kata Idrus dalam suatu rapat, “Resikonya terlalu besar.”

Page 25: Levodextro

19

“Memangnya siapa yang mengusulkan strategi ini?” kata Andri mendelik, “Anda kan? Sekarang kenapa menyerah?”

“Memang itu usulan awal saya, tapi bukan untuk situasi seperti ini. Kalau sekarang kita meneruskannya sama saja bunuh diri.”

Para anggota rapat setuju dengan pendapat Idrus. Di usianya baru dua puluh tujuh tahun dia memiliki kharisma yang sangat disegani. Wajahnya lonjong dengan kumis tipis yang tajam. Mungkin karena kharismanya, wajahnya terlihat lebih tua dari umurnya, atau justru sebaliknya?

“Kita akan meneruskannya, setidaknya selama satu bulan ke depan!” ujar Andri mengakhiri rapat.

Idrus tak mengerti sedikitpun tentang rencana bunuh diri ini. Sulit sekali menemukan alasan yang tepat untuk meneruskannya sementara masyarakat menganggap mereka mengikuti IMHE Food. Citra perusahaan sebagai pelopor makanan yang berbeda akan terdesak. Mau tak mau Idrus melaporkannya kepada dewan direksi. Respek yang dulu diberikannya sangat besar untuk Andri sekarang mulai memudar. Dia bertekad bergerak sebelum perusahaan ini hancur.

“Jadi anda mencurigai atasan anda sendiri?” tanya Irman Hamid, salah satu dewan direksi.

“Saya rasa begitu. Akal saya tak bisa menerima keputusannya untuk meneruskan strategi ini” Idrus mengatakannya dengan sangat tenang dan terbuka.

“Itu juga sama sekali tidak masuk akal buat kami!” ujar yang lainnya. Idrus melanjutkan, “Anda sekalian bisa saja menghentikannya, tapi

saya rasa ada hal besar dibalik kekacauan ini. Kita harus menemukan sumbernya, atau mungkin dalangnya.”

“Apa yang akan anda lakukan?” “Entahlah, saya masih belum tahu. Tapi jelas saya ingin

menyelidikinya!” “Harap anda lakukan secara diam-diam. Kami tidak mau keadaan

yang parah ini dibumbui ketidakpercayaan pegawai yang lain jika penyelidikan anda sampai tersebar!”

Idrus mengangguk dengan yakin.

Page 26: Levodextro

20

11 Idrus tak menyia-nyiakan waktu. Malam itu juga dia menyusup ke kantor Andri. Beruntung tak ada yang lembur kecuali satpam dan bagian produksi. Dia tak perlu mengkhawatirkan kedua bagian itu. Idrus punya reputasi cukup disegani di kantor. Mereka pasti percaya kalau dia bilang sedang lembur. Toh, tak cuma sekali dua dia lembur. Malah gajinya naik dua kali lipat karena lemburnya.

Kantor mewah Andri Sumarto dinyalakan. Seluruh perabotan kayunya memberi kesan hangat dan nyaman. Idrus tak tahu harus mencari apa, tapi dia yakin ada sesuatu yang bisa digunakan untuk membuktikan konspirasi dibalik hasrat mustahil Andri meneruskan strategi pemasaran yang sudah kadaluarsa itu.

Dia mulai membuka laci, memeriksa lemari. Setiap lembar dokumen tak luput dari pengecekan. Setiap buku dibuka untuk melihat kemungkinan adanya kertas terselip. Ada beberapa selipan kertas pada buku tebal tapi tak berarti apa-apa. Hanya pembatas buku. Selanjutnya pemeriksaan yang dilakukannya mulai tak masuk akal. Di kolong meja. Di bawah karpet. Belakang lemari. Di balik lipatan sofa.

Satu jam. Nihil. Dua jam. Tak ada apapun. Jam ketiga. Menyerah. Dia melihat hasil pekerjaannya. Kertas berserakan di atas meja. Buku

terbuka di lantai. Lemari yang bergeser. Bantal sofa terbang entah kemana. Dia duduk di kursi Andri. Berpikir apalagi yang harus diperiksa. Sudah tak ada celah yang tersisa. Kemungkinan lain harus menggeledah rumah Andri. Tapi itu tak mungkin. Menyadap telepon mustahil dilakukan kecuali ada kerjasama dengan kepolisian. Di luar itu, dia tak punya pengetahuan dibidang elektronik.

Membereskan semua ini bisa semalaman, atau ….

Page 27: Levodextro

21

12 Malam tahun baru 2010 Milan menyerah. Tadinya dia bersikeras memilih tidur selama setahun untuk menghabiskan tahun baru. Tapi Vandy juga tak kalah kerasnya mengajak. Ditambah bujukan mama. Sepertinya ikut dengan Vandy bukan ide buruk, pikirnya.

Mama memang senang dia kembali ke Bandung. Bukan berarti senang karena Milan dipecat dari pekerjaannya, hanya senang isi rumah lengkap kembali. Milan sangat mengerti harapan mama. Dia bersabar untuk tidak buru-buru mencari pekerjaan di luar Bandung.

Milan bukannya tidak mendapatkan tawaran kerja lagi. Teman papa yang menawarinya pekerjaan di bagian administrasi ITB. Dia menolaknya, bukan karena gajinya yang memang lebih rendah dari Surabaya, tapi dia masih merasa syok atas semua yang terjadi padanya. Lagipula dia tak mau bekerja di bagian administrasi.

Malam tahun baru ini sangat cerah. Bintang-bintang bersinar berebutan memperlihatkan cahayanya. Tapi tak ada yang menandingi sinar bulan yang kebetulan sedang cemerlang. Kalau saja manusia serigala itu memang ada, pasti di suatu tempat dia sedang mengamuk akibat transformasi menyakitkan dari spesies homo sapiens menjadi sejenis Lycos. Gerimis yang menyiram kota berhenti pukul lima. Jalanan lembab. Dinginnya menggigit.

Tuan rumah acara ini adalah Marbun Hermawan. Salah satu villanya di Lembang direlakan menjadi ajang tahunan ini. Bandung itu kota dalam cekungan. Konon Bandung merupakan dasar dari telaga purba berukuran raksasa. Tak pelak, mau ke kota manapun, orang Bandung harus mendaki gunung.

Vilanya sendiri tak jauh dari pasar Lembang. Sedikit ke arah barat laut, villa Marbun berdiri sendirian. Tata kota sudah dianggap barang kuno, cuma pantas masuk museum. Asal punya uang, izin bisa ditelikung. Mudah saja.

Milan belum pernah melihat langsung rumah semegah ini. Jarak antar gerbang dan pintu depan hampir mencapai 300 meter. Jalanannya

Page 28: Levodextro

22

dikelilingi deretan pohon berdaun jarum yang tidak terlalu tinggi namun terlihat nyaman dan menyejukkan.

“Aku belum pernah membayangkan punya rumah kayak gini!” kata Milan saat mobil yang disetir Vandy berhenti.

Vandy tersenyum, begitupun Meina. Milan tak berharap mereka menanggapinya, tapi Vandy menimpalinya,

“Kamu akan mengharapkannya kalau sudah menikah!” ujar Vandy sambil merangkul Meina.

Kemesraan Vandy dan istrinya menyiratkan tanya. Terlalu dangkal bila hanya berargumen banyak pasangan bahagia yang akhirnya cerai. Terlalu dangkal juga bila disebutkan pernikahan menghambat karir. Banyak yang berhasil dan sukses. Tak jarang prasangka menjadi bumerang baginya karena kenyataan menunjukkan sebaliknya. Milan memang masih tak bisa memutuskan kapan masa lajangnya akan dihabisi. Memikirkan kapan baginya memang kurang relevan, toh calonnya juga masih belum terbayang.

Apa pernikahan memang seindah itu?!! Di dalam rumah dia disambut ramah. Vandy memperkenalkannya

seperti sedang memperkenalkan orang yang menyedihkan. Ditendang dari perusahaannya karena sebab yang tak jelas. Banyak yang berempati padanya. Maklum, masa krisis global ini dunia industri memang rentan ambruk. Kalau tak pintar-pintar mencari siasat bisa ikut tergilas derasnya roda ekonomi.

Milan merasa semua empati itu omong kosong. Tapi apa boleh buat, dia hanya tamu. Dia memutuskan berempati pada teman-teman Vandy yang berempati padanya. Cukup membuatnya nyaman dengan perasaan itu –kalau tak boleh disebut konyol.

Momen ini membuatnya mengenang masa lalu. Kapan terakhir kali berkumpul bersama teman-teman? Benar di Surabaya ada Herdan dan teman-teman baru. Tapi rasanya berbeda bila mengenang teman-teman seperjuangan. Dunia kerja dan sekolah tentu jauh berbeda. Tuntutannya berbeda. Dan sejujurnya, Milan lebih menyukai kebersamaan dengan teman sekolah.

Terakhir kali dia berkumpul dengan teman-temannya sekitar tujuh bulan yang lalu. Setelah lebaran. Memang momen yang cocok. Beberapa

Page 29: Levodextro

23

teman yang sedang melanjutkan sekolah di Jerman dan Belanda kembali ke Tanah Air. Teman yang bekerja di luar pulau mudik sejenak. Pertemuan yang penuh emosi. Mungkin agak mirip dengan malam ini, hanya beda momen saja.

Suasana pesta jadi sepi seketika. Milan ikut menoleh ke arah yang sama. Sang tuan rumah datang dengan senyum khasnya. Semua pegawainya berebut bersalaman. Marbun datang bersama istrinya yang segera bergabung dengan para pegawai perempuan.

Belum dua minggu aku keluar, sekarang aku ada di sarang mantan musuh lengkap dengan pemimpinnya. Lengkaplah pembenaran orang-orang tua bangkotan itu!

Sebagai nonpegawai dia menempatkan diri paling akhir untuk menyambutnya. Sepertinya Marbun punya persediaan senyum di gudangnya. Milan menyalaminya. Marbun memeluknya. Dia bertanya-tanya apakah Marbun sudah tahu ceritanya yang sudah ditendang dari pekerjaannya.

“Gimana pekerjaanmu?” tanya Marbun ketika pegawai-pegawainya yang lain sudah mulai menyebar lagi, meneruskan pesta.

Jadi dia belum tahu... Milan menghela nafas. Berusaha sekuat tenaga agar emosinya tidak

membludak. Beberapa minggu ini dia melatih agar aliran emosinya tidak menguasai kepalanya. Bila tidak berusaha meredam emosinya, mungkin sekarang dia sedang menambahkan ammonium nitrat pada roket rakitannya sendiri untuk meledakkan gedung kantor lamanya. Dia belajar menguasainya. Kali ini sudah cukup bisa menguasainya.

“Dipecat, Pak!” Senyum Marbun pudar dari wajahnya. Lirikannya penuh tanya, “Ada masalah?” tanya Marbun enteng. “Bukan dipecat, Pak!” seru Vandy dari sisi lain Marbun, “Dia dipaksa

mengundurkan diri cuma gara-gara foto dipernikahan saya.” Vandy meneruskan dengan nada berapi-api.

“Memangnya fotonya kenapa?” tanya Marbun mulai serius. “Karena fotonya ada saya dan bapak sedang mengobrol ...” Milan

tidak bisa menyetop perkataan itu. Sedikitnya dalam hati Milan

Page 30: Levodextro

24

menganggap bahwa Marbun turut andil dalam pengunduran dirinya, meskipun dia selalu berusaha menepisnya.

Senyum sudah benar-benar hilang dari wajah mereka bertiga. “Perusahaan kamu apa namanya?” “Bintang Food.”

13 Pertengahan tahun 2006 Marbun Hermawan muda merupakan representasi dari hasrat, obsesi dan tulang punggung kerja keras. Iri hati pada mahasiswa membulatkan tekadnya untuk menjadi lebih hebat daripada para pengecap bangku kuliah itu. Dia bertekad akan jadi sarjana tanpa titel.

Segala pekerjaan dikecapnya. Tukang Koran. Tukang semir. Satpam. Supir. Sampai akhirnya posisi di sebuah kedai bakso cukup nyaman. Pemiliknya baik dan melihat kebaikannya. Dia dijodohkan dengan putri bandar bakso. Benih cinta sebenarnya sudah lahir ketika dia selalu menjadi orang pertama yang datang. Siti Asilah, putri Bandar bakso itu pun tertarik pada kerja kerasnya. Pernikahannya adalah titik balik dalam hidupnya.

Kepercayaan mertuanya dibayar lunas dengan ide-ide briliannya. Kala itu perusahaan baksonya maju pesat dengan omset penjualan meningkat lebih dari sepuluh kali lipat hanya dalam waktu setahun. Tak ada yang bisa menghentikannya.

Sayap pun direntangkan. Bila awalnya hanya membuat bakso, dia mulai memproduksi mienya sendiri. Hal itu ternyata berbuah sukses, karena dengan begitu mengurangi ongkos produksi. Selain itu, mie hasil produksinya dijual ke pengecer lain. Dia mengembangkan ‘kerajaan bisnis’-nya sampai ke luar kota. Hari ini IMHE bukanlah perusahaan penghasil bakso biasa, tapi menjadi sebuah perusahaan bertaraf internasional yang bergerak diberbagai bidang, mulai dari tekstil sampai memiliki lisensi untuk memproduksi suku cadang kendaraan bermotor.

Ambisi besar membawanya kepada kesadaran bahwa usaha apapun pantas dilakukan jika itu bisa mengembangkan perusahaannya. ‘Usaha apapun’ adalah termasuk business espionage. Dia memasukkan Andri

Page 31: Levodextro

25

Sumarto ke Bintang Food dua tahun lalu. Dia memasukkan Andri karena tidak melihat jalan lain untuk merebut kembali pasar yang hilang dari genggamannya.

Ketika itu persaingan pasar memang ketat sejak munculnya Bintang Food. Entah seperti kerasukan setan darimana BF perlahan menggerogoti pasar IMHE. Padahal BF baru lahir tahun 2001. Dalam dua tahun BF menguasai sepertiga pasar.

Andri Sumarto ditugaskan sebagai mata dan kepalanya di BF. Apapun pergerakannya dia harus tahu sedetil mungkin. Akhirnya setelah sekian lama, Marbun mencuri ide pemasaran BF. Dia memerintahkan bagian pemasaran bergerak cepat mengisi pasar. Semua jalur pemasaran ditutup. IMHE menang dimana-mana. BF hanya mengikuti saja, atau kesannya seperti itu.

Dia mulai mengambil alih kembali. Suatu hari dia mendapatkan kunjungan tiba-tiba dari Andri Sumarto.

Datang dari Surabaya langsung ke Bandung, lalu mengejarnya ke Jakarta bukanlah perjalanan yang bisa dilakukan dengan maksud sepele. Setelah rapat selesai, dia menerima Andri di ruangannya.

“Jauh-jauh datang dari Surabaya, saya harap anda membawa berita baik, atau tidak?” kata Marbun tenang tapi penuh tekanan.

“Ruangan sa ... saya berantakan,” ujar Andri tak sabar. Marbun tak mengerti masalah orang ini. Otot di keningnya berkedut.

Hampir saja dia menyemprotnya dengan kalimat yang tidak sopan. Tapi dia berhasil menguasai diri. Setelah mengambil nafas panjang, dia berkata,

“Anda datang ke Jakarta hanya untuk membicarakan itu? Ada barang yang rusak dan anda ingin saya menggantinya? Atau apa?”

Raut wajah Andri menegang. Jawaban bosnya itu tidak sesuai harapannya. Andri memang seharusnya merasa tertekan. Marbun memang sedang menekannya.

“Bukan itu, saya merasa sudah ada yang mencium rencana kita.” Marbun mengangkat wajahnya. Kedutannya semakin hebat.

Kerutannya semakin menjadi lipatan yang ditekan oleh gerakan tektonik aliran darah di bawah kulitnya. Tak ada senyum yang melengkung. Bibirnya panas. Di ruangan itu serasa ada turbulensi hawa panas yang tak terkondensasi.

Page 32: Levodextro

26

“Jadi anda hanya menyampaikan kebodohan anda?” tanya Marbun seketika, “Dan membenarkan teori mereka dengan datang ke sini?”

“Bodoh kalau saya meneruskan strategi pemasaran yang dilancarkan oleh BF. Idrus Mahardika sudah mengendus kebodohan itu. Saya rasa dia yang melakukannya!”

Posisi Andri terjepit. Marbun tak mau berkompromi dengan kebodohannya ini. Sementara Idrus, ah nama itu terasa menyejukkan. Secara personal Marbun belum pernah bertemu. Tapi dia merasa bertemu dirinya sendiri saat muda dulu.

“Idrus Mahardika yang itu?” tanya Marbun dengan penuh ketertarikan.

“Ya, dia yang mengusulkan strategi pemas...” Marbun mengangkat tangannya. Pesan diterima, Andri berhenti

berbicara. “Orang jenius,” kata Marbun, “Kamu bisa membuat dia berpihak

pada kita?” Mata Andri sepertinya akan jatuh saja. Dentuman ketegangan

mencelos dengan pertanyaan konyolnya ini. Matanya mencari-cari seolah jawaban pertanyaan itu berlarian ke seluruh ruangan.

“Keadaan sedang gawat. Dan anda meminta Idrus berpihak pada kita?” tanya Andri menunjukkan ketidakpercayaannya, “Itu mustahil, Idrus tak bisa dibeli!”

“Aku bisa meminta apapun. Ingat kontrak kerja kita?!! Kalau sampai ketahuan, anda bekerja sendiri.”

“Anda lupa dengan semua kontribusi saya untuk perusahaan ini?” teriak Andri memanas sekaligus ketakutan.

“Saya tidak lupa, itulah sebabnya bayaran anda dua kali lebih tinggi daripada manajer pemasaran di perusahaan ini. Dan anda tidak perlu berteriak kepada saya!”

Suasana menegang. Hembusan angin dingin dari pendingin ruangan tak mampu mencairkannya. Hawanya seperti sedang bersandar pada tembok neraka. Panas dan kering.

Pintu dibuka dengan paksa menimbulkan suara buk keras. Marbun dan Andri langsung menujukan perhatiannya ke arah pintu masuk.

Page 33: Levodextro

27

Seorang pria berperawakan tinggi kurus berdiri di sana dipegangi oleh sekretarisnya.

“Maaf pak, dia memaksa masuk.” Kata Ina, umurnya tak lebih dari 30 tahun, “Saya sudah memanggil security.” Lanjutnya buru-buru.

Marbun memberikan isyarat agar Ina keluar. Sekretarisnya menuruti perintah, dia menutup pintu mewah itu dengan sempurna.

14 Idrus membeku. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Padahal tadi rasanya ingin sekali dia muntah kata-kata. Tapi sekarang semuanya tertahan. Aura Marbun yang menahannya.

Rencana dadakannya berhasil dengan baik. Andri yang melihat kantornya berantakan panik seketika. Dia histeris. Padahal Idrus tak menemukan apapun, hanya mengesankan dia menemukan sesuatu yang penting. Andri tak membiarkan OB membereskan kantornya.

Seharian kemarin tatapannya menyiratkan pesan. Akulah pelakunya, itu yang ingin ditegaskan di depan Andri. Tampaknya Andri menerima pesan itu sejelas telepon GSM antar kota besar. Andri pulang cepat. Idrus menguntitnya ke Bandung sampai Jakarta.

“Selamat datang, pak ...” sahut Marbun. Idrus mendekat. Terus menatap Andri yang merengut ketakutan

seperti anak kecil yang ketahuan memecahkan vas bunga. “Idrus Mahardika.” Katanya memperkenalkan diri, “Dan saya yakin

anda adalah Marbun Hermawan yang luar biasa itu. Luar biasa bagi orang lain, tapi bagi saya anda sama menjijikannya dengan kotoran kuda yang diinjak kudanya sendiri!”

“Tentu saja, orang jenius seperti anda akan membuat orang hebat terlihat seperti kotoran kuda.” potong Marbun tapi dengan suara yang tenang. Ketenangan orang tua itu seperti laut tenang di tengah badai.

“Business espionage yang anda lakukan benar-benar menjijikkan!” teriak Idrus. Sekarang dia sudah berada di titik dimana apapun bisa dilakukannya.

Marbun tersenyum dan berkata, “Business espionage itu tidak diharamkan di dunia bisnis ...”

Page 34: Levodextro

28

“Tentu saja, tapi bukan memakai ide yang kuusulkan kepada perusahaanku!”

“Bagaimana kalau anda menjadi pegawai perusahaan ini agar ide jenius anda bisa dipakai oleh perusahaan ini secara legal?”

Idrus tak habis pikir. Ditawari pekerjaan oleh musuhnya. Seperti tuan rumah yang bernegosiasi dengan pencuri di rumahnya sendiri.

“Anda benar-benar menjijikkan!” teriak Idrus, “Dimana etika bisnis yang pernah anda bicarakan dengan bangga dalam seminar lima tahun yang lalu itu!”

Marbun tersentak. Tentu saja dia memang harus seperti itu, menurut Idrus. Lima tahun yang lalu Idrus adalah orang yang pesimis terhadap studinya. Marbun menjadi orang yang memberi inspirasi padanya. Kala itu Marbun antusias menjelaskan etika bisnis yang begitu sopan. Membuat orang segan padanya. Membuat orang menaruh kepercayaan. Idrus tertular semangatnya.

Marbun bertingkah seperti baru teringat sesuatu. Matanya celingukan, lalu menerawang. Berusaha mengingat, tampaknya. Kerutan di wajahnya bukan lagi kerutan marah, tapi penasaran.

“Anda...?” gumam Marbun. “Itu adalah seminar terakhirku sebelum sidang akhir!” ujar Idrus

segera, “Anda boleh tidak percaya, tapi beberapa pengalaman yang anda ceritakan dalam seminar itu menyelamatkanku dari pertanyaan penguji.

“Jika dulu aku begitu mengagumi prestasi anda, sekarang aku menantang anda untuk berhadapan denganku satu lawan satu. Pasar akan menentukan siapa pemenangnya!” lanjut Idrus.

Marbun terduduk tanpa berkata dan mengedipkan mata. Dua satpam bertampang seram membuka pintu dan meminta izin masuk. Idrus menyadarinya dan segera berkata,

“Andri, surat pemecatan anda akan sampai besok pagi!” Idrus menepis tangan kedua satpam itu. Dia keluar dengan wajah

sedingin es yang tak pernah dia lakoni seumur hidupnya. Kedua satpam itu mengikutinya sampai keluar gedung.

Page 35: Levodextro

29

15 Malam tahun baru 2010 Marbun pucat mendengar nama itu. Bintang Food. Sudah lama dia ingin melupakan keteledorannya. Kelemahannya karena tergoda kekayaan yang lebih besar. Padahal sejak muda uang bukanlah prioritas baginya. Tapi uang memang menggoda, bukan?

Hening sejenak sampai muncul teriakan. “Satu menit lagi!” Semuanya bersorak. Milan dan Marbun masih terdiam. Marbun merasa bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi pada

Milan. Sejak kejadian tiga tahun lalu, ‘Marbun Hermawan’ yang asli kembali ke tubuhnya. Pertanyaan Idrus Mahardika benar-benar menyeret hatinya kembali. Semangat yang dipakainya untuk membangun kerajaan bisnisnya kembali dalam keadaan terluka.

Kala itu Marbun langsung menghentikan pemasaran yang didasarkan ide Idrus Mahardika. Beberapa bulan setelahnya BF mengejutkannya dengan perlawanan yang luar biasa dalam merebut pasar. Rupanya BF benar-benar berjuang merebut sebanyak mungkin pasar untuk membalas perbuatannya. Dia tahu Idrus Mahardika berada dibalik semuanya. Kabar yang diterimanya kala itu bahwa Idrus langsung menempati posisi Andri Sumarto yang kosong. Sejak itulah persaingan rebut-merebut pasar dilakukan secara sehat.

Sekarang, Milan, tanpa tahu apa yang terjadi sebelumnya telah menerima akibat perbuatan yang ingin sekali dilupakannya. Marbun yang ‘sekarang’ merasa bersimpati kepada anak muda ini. Dia memandang Milan dalam-dalam dan berkata,

“Apa kamu mau bekerja di IMHE?”

16 Pertanyaan besar. Bahkan untuk dirinya yang memiliki segala

kualifikasi untuk bekerja, itu masih menjadi pertanyaan besar. Apalagi bagi ratusan ribu sarjana lain yang lulus tanpa memiliki kualifikasi memuaskan. Banyak yang mengatakan, sarjana saja banyak yang

Page 36: Levodextro

30

menganggur. Mungkin yang bilang tidak mengerti, bekerja bukan urusan gelar, tapi kemampuan.

Bagi Milan situasinya serba sulit. Menerimanya praktis mengiyakan segala tuduhan. Sekaligus membuat keraguan Idrus atas tindakan pemecatannya jadi sia-sia. Tapi dia merasa pantas mendapatkannya. Dia tidak melakukan apapun. Sama sekali tak ada kesalahan yang dibuatnya. Bahkan merekalah yang harus menerima akibatnya. Konsekuensi karena telah menendangnya. Sebuah keputusan akan mengubah orientasi hidupnya. Balas dendam.

Seluruh kejadian itu terlintas dibenaknya ketika semua berteriak, “Sepuluh...” Menolaknya berarti melewatkan kesempatan besar. “Sembilan...” BF sudah perusahaan bertaraf internasional, “Delapan...” Tapi jelas bahwa... “Tujuh...” IMHE adalah perusahaan yang lebih besar, “Enam...” Lebih dipercaya oleh masyarakat, “Lima...” Dunia internasional juga mengakui kejumawaannya. “Empat...” Kesempatan ini tidak akan datang dua kali! “Tiga...” Lagipula aku ingin membalas semuanya! “Dua...” Aku akan melakukannya! “Satu...” ucap Milan berbarengan dengan yang lainnya. Sorakan memecah malam. Lengkingan terompet membahana mengisi

taman belakang itu. Masing-masing orang bersalaman mengucapkan Selamat Tahun Baru, tak sedikit yang saling berpelukan. Dan Milan sedang dalam keputusan besar.

“Ya, saya akan bekerja untuk anda!” teriak Milan untuk mengimbangi sorakan dan lengkingan terompet.

Itu keputusan pertamanya tahun ini. Keputusan yang mungkin akan mengubah hidupnya. Keputusan yang membawanya pada sebuah jalur cerita yang tak pernah dibayangkannya. Keputusan yang akan membawanya hidup, kembali.

Marbun menunggu jawabannya. Dia tak ikut menghitung mundur. Bahkan belum bersalaman dengan siapapun. Dia tersenyum.

“Tidak, anda akan bekerja bersama saya.” Marbun dan Milan bersalaman. Saling memberi selamat dan

berpelukan.