osteoathritis
TRANSCRIPT
PENGARUH PERBEDAAN TERAPI LATIHAN OPEN CHAIN EXERCISE
DAN CLOSE CHAIN EXERCISE TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA
PENDERITA OSTEOARTHRITIS LUTUT GRADE II
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2011
BAB I
A. Latar Belakang
Penyakit persendian yang sering terjadi dan tidak dapat disembuhkan, yaitu
osteoartritis (OA), merupakan penyebab utama kecacatan pada golongan lanjut usia.
Walaupun sendi manapun dapat terkena, OA paling sering mengenai sendi lutut,
terutama sisi dalam dari sendi tibiofemoral.
Salah satu sumber stres pada bagian sendi yang rapuh ini adalah saat lutut
melakukan gerakan adduksi (gerakan yang menjauhi garis tengah tubuh). Peningkatan
20% puncak gerakan adduksi lutut dihubungkan dengan peningkatan risiko
progresifitas OA lutut sebanyak 6 kali lipat atau lebih selama > 6 tahun.(wawan,
2008)
Setiap orang pasti pernah mengalami nyeri sendi. Masyarakat awam dan
bahkan beberapa dokter (secara keliru) langsung beranggapan karena disebabkan oleh
rematik atau asam urat.Sebagian lagi berpikir akibat osteoporosis. Namun
kenyataannya penyebab utamanya nyeri sendi (khususnya yang dialami oleh yang
berusia lebih dari 45 tahun) adalah osteoartritis. Penyebab osteoartritis bermacam-
macam. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara osteoarthritis
dengan reaksi alergi, infeksi, dan invasi fungi (mikosis). Riset lain juga menunjukkan
adanya fakto keturunan (genetik) yang terlibat dalam penurunan penyakit ini. Namun
demikian beberapa faktor risiko terjadinya osteoartritis adalah Wanita berusia lebih
dari 45 tahun, Kelebihan berat badan, Aktivitas fisik yang berlebihan, seperti para
olahragawan dan pekerja kasar, Menderita kelemahan otot paha, Pernah mengalami
patah tulang disekitar sendi yang tidak mendapatkan perawatan yang tepat.
(Wikipedia bahasa Indonesia,2010)
Di Indonesia, prevalensi osteoarthtritis mencapai 5% pada usia <40 tahun,
30% pada usia 40-60 tahun, 65% pada usia >61 tahun. Untuk osteoarthtritis lutut
prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita.
Diagnosis osteoarthtritis biasanyua didasarkan pada anamnbesis yaitu riwayat
penyakit, gambaran klinis dari pemeriksaan fisik dan hasil dari pemeriksaan
radiologis. Anamnesis terhadap pasien osteoarthritis lutut umumnya mengungkapkan
keluhan-keluhan yang sudah lama, tetapi berkembang secara perlahan-lahan.
Keluhan-keluhan pasien meliputi nyeri sendi yang merupakan keluhan utama yang
membawa pasien ke dokter, hambatan gerakan sendi, kaku pagi yang timbul setelah
immobilitas, pembesaran sendi, dan perubahan gaya berjalan.
Hambatan gerak yang seringkali sudah ada meskipun secara radiologist masih
berada pada derajat awal dapat diemukan pada pemeriksaan fisik. Selain itu dapat
ditemukan adanya krepitasi, pembengkakan sendi yang sering kali asimetris, nyeri
tekan tulang, dan teraba hangat pada kulit.
Sedangkan gambaran berupa penyempitan celah sendi yang seringkali
asimetris, peningkatan densitas tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada pinggir
sendi dan perubahan struktur anatomi sendi dapat ditemukan pada pemeriksaan
radiologist yang menggunakan pemeriksaan foto polos.
Salah satu penatalaksanan konservatif terhadap osteoarthritis lutut
adalah terapi latihan dengan tujuan memperbaiki kinerja, meningkatkan fungsi,
meningkatkan kekuatan otot lokal dan ketahanan, meningkatkan kemampuan
relaksasi otot secara tepat, meningkatkan kebugaran umum, yang semuanya
berperan dalam kapasitas fungsional. Dengan latihan diharapkan sendi dapat
berfungsi sesuai dengan biomekanismenya sehingga dapat mengatasi nyeri,
kecacatan fisik seperti keterbatasan gerak sendi, atrofi otot, kelemahan otot, pola
jalan yang tidak efisien dengan energi yang besar, perubahan respon pembebanan
sendi, semuanya dapat menghambat atau menurunkan aktivitas pasien. Meskipun
terapi latihan tidak dapat menghentikan proses degenerasi akan tetapi diharapkan
dapat menghambat progresifitasnya, meringankan gejala yang timbul, mencegah
komplilkasi yang terjadi akibat proses degeneratif, yang perlu diperhatikan dalam
pemberian terapi latihan yang penting tidak menyebabkan pembebanan sendi lutut
yang berlebihan akibat Weigh bearing penuh (Jones, 1996).
B. Identifikasi Masalah
1. Banyaknya penderita yang mengeluhkan nyeri dan sakit pada daerah lutut
2. Adanya hambatan gerak yang dapat membatasi gerak penderita
C. Pembatasan Masalah
Dari berbagai masalah yang timbul akibat kaki osteoarthritis maka, penulis dalam
penelitian ini mengambil permasalahan mengenai pengaruh perbedaan terapi
latihan open chain exercise dan close chain exercise terhadap penurunan nyeri
penderita osteoarthritis lutut grade II.
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang ada, berikut ini adalah beberapa masalah yang akan
diteliti:
1. Bagaimanakah pengaruh open chain exercise terhadap penurunan nyeri
penderita osteoarthritis lutut grade II.
2. Bagaimanakah pengaruh close chain exercise terhadap penurunan nyeri
penderita osteoarthritis lutut grade II.
3. Apakah ada perbedaan tingkat efektifitas antara open chain exercise dan close
chain exercise terhadap penurunan nyeri penderita osteoarthritis lutut grade II.
E. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi latihan open chain exercise dan
close chain exercise terhadap penurunan nyeri penderita osteoarthritis lutut grade
II.
F. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:
1. Sebagai langkah untuk mengurangi rasa nyeri dan sakit pada penderita
osteoarthritis
2. Sebagai pengetahuan bagi penderita osteoarthritis untuk melakukan latihan
mandiri.
BAB II
KERANGKA TEORI DAN HIPOTESA
A. Deskripsi Teori
1. Anatomi Fungsional Sendi Lutut
a. Sistem Tulang
Tulang yang membentuk sendi lutut antara lain : os femur, os tibia, os
fibula, dan os patella.
1) Os Femur
Tulang femur merupakan tulang panjang yang bersendi keatas
dengan acetabulum dan ke bawah dengan tulang tibia. Tulang femur
terdiri dari epiphysis proximal, diaphysis, dan epiphysis distalis.
Epiphysis merupakan sepasang bulatan yang disebut condilus
lateralis dan medialis. Di bagian proximal tonjolan tersebut terdapat
bulatan kecil yang disebut epycondilus lateralis dan medialis.
Di lihat dari depan, terdapat dataran sendi–sendi yang melebar
ke lateral yang disebit facies patellaris yang nantinya bersendi dengan
tulang patella. Dan di lihat dari belakang, diantara condylus femoralis
lateralis dan condylus lateralis medialis terdapat cekungan disebut
fossa intercondyloidea yang bagian proximalnya terdapat garis yang
disebut linea intercondyloidea. Sedangkan epiphysis proximal
membentuk bulatan 2/3 bagian bagian bola tersebut disebut caput
femoralis yang mempunyai facies articulair untuk bersendi dengan
acetabulum.
Diaphysis merupakan bagian yang panjang yang disebut
corpus. Penampang melintang merupakan segitiga dengan basis
menghadap ke depan. Diaphysis mempunyai 3 dataran yaitu facies
medialis, facies lateralis, dan fasies anterior (Susilowati, 2002).
2) Os Tibia
Termasuk tulang panjang yang terdiri atas 3 bagian yang terdiri
dari : epiphysis proximal, diaphysis dan epiphysis distalis. Epiphysis
proximal terdiri dari 2 bulatan yang disebut condylus medialis dan
condylus lateralis. Di sebelah atasnya terdapat dataran sendi yang di
sebut facies articularis superior dan tepi atas epycondilus ini
melingkar disebut margo infraglenoidalis. Diaphysis pada penopang
merupakan segitiga dengan basis menghadap ke depan. Ada 3 sisi
yaitu margo anterior, margo medialis dan crista interozea di sebelah
lateral. Sedangkan ke arah medial epiphysis distalis menonjol di sebut
malleolus medialis. Malleolus medialis memiliki 3 dataran sendi yaitu
facies articularis malleolaris (vertical), facies articularis inferior
(horizontal), incisura fibularis (cekung) (Susilowati, 2002).
3) Os Fibula
Merupakan tulang berbentuk kecil dan langsing yang terletak di
sebelah tulang tibia bagian luar. Tulang ini terdiri dari 3 bagian yaitu :
epiphysis proximalis, diaphysis dan epiphysis distalis. Epiphysis
proximal membulat disebut capitulum fibula yang ke proximal
meruncing menjadi apex capitulum fibula. Pada capitulum terdapat dua
dataran yang di sebut facies articularis capituli fibula untuk bersendi
dengan tibia. Diaphysis mempunyai 4 crista yaitu crista lateralis,
crista medialis, crista anterior, dan crista posterior. Epiphysis distalis
ke arah lateral membulat disebut malleolus lateralis.
Hubungan antara tulang – tulang di atas membentuk suatu
sendi yaitu tulang fémur dan patella di sebut articulatio patello
femoralis, hubungan antara tulang tibia dengan fémur disebut
articulatio tibiofemoralis, hubungan antara tulang tibia dengan fibula
disebut articulatio tibiofibularis yang secara keseluruhan dapat
dikatakan sebagai articulatio knee/knee joint atau sendi lutut
(Susilowati, 2002).
4) Os Patella
Tulang patella merupakan tulang berbentuk segitiga dengan
basis menghadap ke proximal dan apex ke arah distal. Dataran muka
berbentuk konvek dan dataran belakang mempunyai dataran sendi yaitu
facies articularis lateralis yang lebar dan facies articularis medialis
yang sempit (Susilowati, 2002).
Gambar 1.1
Tulang pembentuk sendi lutut (Carola, 1990)
13
12
11
1
10
9
8
764
5
2
3
Keterangan Gambar 1.2 :
1. Trochanter major
2. Fossa trochanterica
3. Collum femoris
4. Fovea capitis femoris
5. Caput femoris
6. Collum femoris
7. Linea intertrochanterica
8. Trochanter minor
9. Corpus femoris
10. Tuberculum adductorium
11. Apicondylus medialis
12. Facies patellaris
13. Epicondylus lateralis
Gambar 1.2
Tulang Femur tampak dari depan (Sobotta, 2006)
12
34
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Keterangan Gambar 1.2 :
14. Trochanter major
15. Fossa trochanterica
16. Collum femoris
17. Fovea capitis femoris
18. Caput femoris
19. Collum femoris
20. Linea intertrochanterica
21. Trochanter minor
22. Corpus femoris
23. Tuberculum adductorium
24. Apicondylus medialis
25. Facies patellaris
26. Epicondylus lateralis
Gambar 1.3
Tulang Femur tampak dari belakang (Sobotta, 2006)
14
1
23
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
151617
18
1920
21
Keterangan Gambar 2.3
1. Fovea capitis femoris
2. Caput femoris
3. Trochanter major
4. Tuberculum quadratum
5. Crista intertrochanterica
6. Trochanter tertius
7. Tuberositas glutea
8. Labium laterale
9. Labium mediale
10. Linea supracondylaris lateralis
11. Linea supracondylaris medialis
12. Facies poplitea
13. Epicondylus lateralis
14. Condylus lateralis
15. Fossa intercondylaris
16. Linea intercondylaris
17. Condylus medialis
18. Tuberculum adductorium
Gambar 1.4
Tulang Tibia dan Fibula tampak dari belakang (Sobotta, 2006)
Keterangan Gambar 1.4 :
1. Caput fibulae
2. Corpus fibulae
3. Sulcus maleollaris
4. Corpus tibiae
5. Linea musculusolei
1
2
3
4
5
Gambar 1.5
Permukaan Anterior Patella
Gambar 1.5
Permukaan Posterior Patella
Keterangan gambar 1.5 :
1. Basis patellae
2. Apex Patellae
1
2
2
1
b. Anthrologi
Hubungan antara tulang – tulang pada sendi lutut membentuk 3
persendian yaitu : (1) articulatio patello femorale di bentuk oleh tulang
patella dan fémur, (2) articulatio tibiofemorale di bentuk oleh tulang tibia
dan femur, (3) articulatio tibiofibulare dibentuk oleh tulang tibia dan
fibula.
c. Sistem Capsule Ligamenter
Pada sendi lutut sistem capsule ligamenter berfungsi sebagai
stabilisator sendi – sendi . pada umumnya gerakan sendi lutut sangat
ditentukan oleh bentuk permukaan sendi dan kekuatan dari
ligamentumnya. Adapun ligamen yang memperkuat sendi lutut adalah :
1) Ligamentum Cruciatum Anterior
Berjalan dari depan eminentia intercondyloidea tibia ke
permukaan medial condylus lateralis femur yang berfungsi menahan
hiperekstensi dan menahan bergesernya tibia ke depan.
2) Ligamentum Cruciatum Posterior
Berjalan dari facies lateralis condylus medialis femur menuju
ke fossa intercondyloidea tibia yang berfungsi menahan bergesernya
tibia ke belakang.
3) Ligamentum Collateral Lateral
Berjalan dari epycondilus lateralis ke capitulum fibula yang
berfungsi menahan gerakan varus ke samping luar.
4) Ligamentum Collateral Medial
Berjalan ke epycondilus medialis ke permukaan medial tibia
yang berfungsi menahan gerakan valgus.
5) Ligamentum Popliteum Obliqum
Berasal dari lateralis femur menuju insertio otot
semimembranosus, melekat pada fascia musculus popliteum yang
berfungsi sebagai penguat dari starum fibrosum ligamentum
transversum genu. Membentang pada permukaan anterior meniscus
medialis dan lateralis (Platzer, 1983).
d. Sistem Capsule Sendi
Kapsul sendi terdiri dari 2 lapisan yaitu : (1) stratum fibrosum,
yang merupakan lapisan luar yang bersifat sebagai penutup/selubung.
Berada di sebelah proksimal melekat pada femur, tepat proksimal terhadap
batas – batas articular kedua condylus dan pada fossa intercondylaris di
sebelah belakang. Di sebelah distal melekat pada batas articular tibia. (2)
Stratum synovial, merupakan lapisan dalam yang memproduksi cairan
synovial untuk melicinkan sendi lutut. Kapsul sendi termasuk jaringan
fibrosis yang avaskular sehingga jika cedera sulit untuk proses
penyembuhannya. Stratum synovial melipat balik dari bagian posterior
sendi ke ligamentum cruciatum anterior dan posterior, sehingga menutupi
corpus adiposuminfra patellare (Moore and Agur, 1995).
e. Jaringan Lunak
1) Meniscus
Meniscus sendi lutut adalah meniscus medialis dan lateralis.
Meniscus medialis lebih banyak hubungannya dengan tibia dari pada
meniscus lateralis. Fungsi dari meniscus adalah : (1) penyebaran
pembebanan, (2), peredam kejut, (3) mempermudah gerakan rotasi, (4)
mengurangi gerakan, dan (5) stabilisator setiap ada penekanan akan
diserap oleh meniscus sendi lalu diteruskan ke sebuah sendi (Moore
and Agur, 1995).
2) Bursa
Merupakan kantong yang berisi cairan yang memudahkan
terjadinya gesekan, gerakan, berdinding tipis, dan dibatasi oleh
membrane synovial. Bursa pada sendi yang berguna sebagai absorbser
yaitu bursa supra patellaris, pra patellaris, dan bursa infra patellaris
superficial dan profundus. Gangguan sendi lutut ditentukan oleh
bentuk permukaan sendi dan kekuatan otot serta ligamen (Moore and
Agur, 1995).
Gambar 1.5
Ligamen lutut pandangan anterior (Sobotta ,2006)
Keterangan gambar 1.5:
1. Ligamentum cruciatum posterior
2. Ligamentum cruciatum anterior
3. Ligamentum transvertum genus
4. Ligamentum capitis fibulae
5. Meniscus lateralis
Gambar 1.6
Ligamen pada sendi lutut dilihat dari depan (Sobotta, 2006)
Keterangan gambar 1.6
1. Ligamentum popliteum obliqum
2. Ligamentum collateral tibiae
3. Ligamentum collateral fibulare
4. Ligamentum popliteum arcuatum
f. Sistem Otot
Disini penulis ingin membahas tentang otot-otot yang bekerja pada sendi
lutut termasuk didalamnya pelekatan dan persyarafan serta fungsi dari otot
tersebut.
1) Bagian anterior adalah m.rektus femoris, m.vastus lateralis, m. vastus
medialis, dan m. vastus intermedialis.
2) Bagian posterior adalah m. bicep femoris, m. semitendinosis, m. semi
membranosis, dan m. gastrocnemius.
3) Bagian medial adalah m. sartorius dan m. gracilis.
4) Bagian lateral m. tensorfacialatae.
Tabel 1.1 Otot penggerak sendi lutut (Snell, 1993)
No Nama otot Origo Insertio Innervasi Fungsi
Bagian anterior
1 m. rectus
femoris
SIAI superior
asetabulum
patella n. femoris L
2-4
Extensi
sendi lutut
2 m. vastus
lateralis
Dataran lateral
dan anterior
trochanto mayor
femoris labium
lateral linia
aspera
Lateral os
patella
n. femoris L
2-4
Extensi
sendi lutut
3 m. vastus
medialis
Labium medialis
linea aspera
Setengah
bagian atas
os.
n. femoris L
2-4
Extensi
sendi lutut
4 m. vastus
intermedialis
Dataran anterior
corpus femoris
Tuberositas
tibia
n. femoris L
2-4
Extensi
sendi lutut
Bagian posterior
5 m. bicep femoris Tuber ischiadicum Fibula
bagian
lateral dan
caput brevis,
pada labium
laterale linea
aspera
n. peroneus
communis
Condilus
laterale tibia
Exorotasi
sendi lutut
6 m. semi
tendinosus
Tuber ischiadicum Condylus
medialis
tibia
n. tibialis Flexi dan
endorotasi
sendi lutut
7 m. semi
membranosus
Tuber ischiadicum Condylus
medialis
tibia
n. tibialis Flexi dan
endorotasi
sendi lutut
8 m.
gastrocnemius
Caput medial pada
condylus medialis
femoris
Posterior
calcaneus
n. tibialis S
1-2
Flexi sendi
lutut
Bagian medial
9 m. sartorius SIAS Tuberositas
tibia
n. femoralis
L 2-4
Flexi
external
rotator
sendi lutut
10 m. gracilis Ramus inferior os
pubis dan os
ischcii
Tuberositas
tibia
dibelajang
tendon m.
sartorius
n. femoralis
L 2-4
Flexi
internal
rotator
sendi lutut
Bagian lateral
11 m. tensor
fecialatae
SIAI dan fasialatae Tracus illio
tibialis
m. gluteus
superior
cabang n.
femoralis L
4-5 L 1-2
Flexor
abductor,
internal
rotasi
Gambar 1.9
Otot sendi lutut dilihat dari (a) depan, (b) belakang (Sobotta, 2006)
23
22
21
2019
184
3
2
1
17
16
15
a
13
12
10
11
9
8
7
6
5
b
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1114
13
1415
Keterangan gambar 1.9.(a)
1. Spina iliaka superior anterior
2. M. Tensor fasialatae
3. M. Rectus femoralis
4. M. Vastus lateralis
5. Patella
6. Ligament patella
7. M. Perroneus longus
8. M. Tibialis anterior
9. M. perroneus brevis
10. M. Ekstensor digitorum longus
11. M. Extensor hallucis longus
12. Ligamen crusiatum
13. M. Extensor digitorum komunis longus
14. M. Extensor hallucis brevis
15. M. Soleus
16. M. Tibialis, tendo
17. M. Gastroeknemius
18. M. Vastus medialis
19. M. Sartorius
20. M. Gracillis
21. M. Adduktor longus
22. M. Prektinus
23. M. Illiopsoas
Keterangan gambar 1.9 (b)
1. M. Gluteus medius
2. M. Gluteus maksimus
3. M. Traktus illiotibial tendo
4. M. Semitendinosus
5. M. Bisep femoralis
6. M. Bisep femoralis caput minus
7. M. Gastrocnemius
8. M. Soleus
9. M. Fibularis ( perroneus ) longus
10. M. Fibularis ( perroneus ) brevis
11. M. Tendo calcaneal ( Achilles )
12. M. Tendo bisep femoris
13. M. Traktus illiotibial tendo
14. M. Adduktor magnus
15. M. Bisep femoris
g. Sistem Saraf
1) Sistem saraf tungkai atas
Sistem persarafan tungkai atas berasal dari plexus lumbalis dan
sacralis. Pada otot-otot sekitar tungkai atas di sarafi oleh beberapa
saraf yaitu:
a) Nervus Femoralis
Nervus femoralis merupakan cabang yang terbesar dari
plexus lumbalis. Nervus ini, berasal dari 3 bagian posterior plexus,
yang asalnya dari nervus lumbalis kedua, ketiga, dan keempat.
Nervus ini, muncul dari tepi lateral m. psoas tepat di atas
ligamentum pouparti dan berjalan turun di bawah ligamentum ini,
untuk memasuki trigonum femoralis pada sisi lateral arteri
femoralis. Pada trigonum tersebut, nervus femoralis membagi diri
menjadi cabang-cabang terminalis. Cabang-cabang motorik di atas
ligamentum inguinalis mempersarafi m. sartorius, m. pectineus,
dan m. quadriceps femoris. Cabang-cabang sensorik mencakup
cabang cabang cutaneus femoralis anterior yang menuju
permukaan anterior dan medial paha serta nervus saphenous yang
menuju sisi medial tungkai dan kaki (Chusid, 1983).
b) Nervus Obturatorius
Nervus obturatorius berasal dari plexus lumbalis (L2, L3,
L4), dan muncul pada tepian m. psoas di dalam abdomen. Nervus
ini berjalan ke depan dan ke bawah pada dinding lateral pelvis
untuk mencapai bagian atas foramen obturatorius, dan pada bagian
ini pecah menjadi divisi anterior dan posterior. Divisi anterior
memberi cabang-cabang muscular pada m. gracillis, m. adduktor
brevis, dan m. adduktor longus (Chusid, 1983).
c) Nervus Gluteus Superior dan Inferior
Nervus gluteus superior (L5, S1, dan S2) adalah pelaku
nervus sacralis yang berjalan di atas m. piriformis melalui foramen
ischiadicus mayor ke dalam otot- otot pantat, dimana serabut saraf
ini, menyuplai m. gluteus medius, gluteus minimus, serta m. tensor
facia latae.
Nervus gluteus inferior (L5, S1, dan S2) adalah cabang dari
plexus sacralis yang berjalan dibawah m. piriformis melalui
foramen ischiadicus magnus ke gluteus maksimus (Chusid, 1983).
d) Nervus Ischiadicus
Nervus ischiadicus merupakan serabut saraf yang terbesar
di dalam tubuh. Nervus ischiadicus adalah cabang dari plexus
sacralis (L4, L5, S1, S2, dan S3), saraf ini meninggalkan regio
glutealis dengan berjalan ke bawah melewati foramen ischiadicus
mayor dan turun antara throcantor mayor dan turun diantara
throcantor mayor os. Fémur dan tuberositas ischiadica, sewaktu
turun sampai pertengahan paha saraf ini pada bagian posteriornya
ditutupi oleh tepian m. bíceps femoris dan m. semimembranosus
yang berdekatan. Ia terletak pada aspek posterior m. adduktor
magnus dan pada sepertiga bagian bawah paha. Nervus ischiadicus
berakhir dan bercabang menjadi dua percabangan, yaitu n. tibialis
dan n. peroneus communis pada daerah poplitea. Cabang-
cabangnya pada paha mempersarafi m. Hamstring (meliputi m.
semimembranosus, m. semitendinosus, dan m. bíceps femoris)
(Chusid, 1983).
2) Sistem saraf tungkai bawah
a) Nervus Peroneus Communis
Nervus ini merupakan cabang dari segmen bawah (L4, L5,
dan S1, S1). Nervus ini merupakan cabang maupun componen dari
nervus ischiadicus sampai sejauh bagian atas ruang poplitea. Dari
sini, serabut saraf ini memulai perjalanan yang bebas turun
disepanjang garis posterior muscle bíceps femoralis, lalu
menyilang diagonal pada dorsum sendi lutut menuju bagian luar
atas tungkai dekat dengan caput fibula dan berjalan terus ke bawah
diantara m. peroneus longus dan tulang tibia (Chusid, 1983).
b) Nervus Tibialis
Nervus tibialis dibentuk oleh seluruh 5 bagian anterior
plexus sacralis yaitu L4-5, S1-3. nervus tibialis adalah cabang
terminal dari n. ischiadicus yang lebih besar pada sepertiga bawah
pada bagian belakang. Nervus ini naik melalui fossa poplitea dan
berjalan di sebelah dalam m. gastrocnemius dan m. soleus. Ia
terletak pada permukaan posterior m. tibialis posterior, dan bagian
lebih bawah dari tungkai bawah., pada permukaan posterior tibia.
Saraf ini menyerupai perjalanan arteri berjalan di belakang
malleolus medialis, diantara tendo m. fleksor digitorum longus dan
m. flexor hallucis longus. Saraf ini ditutupi oleh retinaculum
flexorum dan bercabang menjadi n. plantaris medialis dan laterales
(Chusid, 1983).
c) Nervus Peroneus Profundus
Nervus ini berjalan di lateral capitulum fibulae menembus
septum intermusculare anterius kemudian membelok ke medial
distal kemudian berjalan diantara m. tibialis anterior dengan m.
extensor digitorum longus dan brevis, serta m. extensor hallucis
menuju spatium introsum pertama. Cabang-cabangnya antara lain :
1) ramus musculares, mensarafi m. tibialis anterior, m. extensor
digitorum longus, dan m. hallucis, 2) ramus articularis, mensarafi
sendi talocrularis, 3) nervus digitalis dorsalis pedis medialis
menuju jari pertama dan kedua (Chusid, 1983).
d) Nervus Peroneus Superficialis
Nervus ini berjalan ke distal ditutupi oleh m. Peroneus
longus, mula-mula di sebelah lateral anteriornya musculusperoneus
brevis yang akhirnya menembus facia cruralis pada pertengahan
tungkai bawah dan di sini pecah menjadi dua bagian nervus
cutaneus dorsalis pedis intermedius cabang baru kemudian untuk
berjalan di luar facia pada dorsum pedis menuju basis keempat
pada nervus cutaneus dorsalis pedis medialis berjalan drastis
diantara facia cruris ke medial menuju dorsum pedis yang akhirnya
bercabang menjadi dua yaitu medial dan lateral.
h. Sistem Pembuluh Darah
Di sini akan dibahas sistem pembuluh darah dari sepanjang tungkai
atas sampai tungkai bawah yaitu : pembuluh darah arteri dan pembuluh
darah vena. Evelyn (1997) menyebutkan sistem pembuluh darah yang
melayani tungkai atas dan tungkai bawaah antara lain :
1) Pembuluh darah arteri
a) Arteri femoralis
Arteri femoralis berjalan melintasi sisi medial paha dan
sepertiga bawah paha, arteri ini berjalan di belakang sendi lutut.
b) Arteri poplitea
Arteri popletia berjalan melalui canalis adduktoris ke fossa
poplitea pada sisi lutut, arteri ini akan bercabang menjadi arteri
tibialis posterior dan arteri tibialis anterior.
c) Arteri tibialis anterior
Arteri tibialis anterior terletak disebelah bagian anterior
otot betis, dan menembus membrana interosea pada tulang tibia
dan berjalan melintasi lekukan pergelangan kaki.
d) Arteri tibialis posterior
Arteri ini berjalan ke bawah di belakang tibia, terletak
disebelah dalam otot tungkai bawah. Arteri ini masuk ke dalam
kaku melalui sebelah belakang malleolus di bawah jaringan
retinakulum pergelangan kaki.
2) Pembuluh darah vena
a) Vena savena magna
Vena ini adalah vena yang paling besar dan paling panjang.
Berawal dari sebelah medial dorsum kaki dan menerima cabang-
cabang vena dari daerah ini. Kemudian berjalan ke atas di sebelah
medial tungkai di belakang lutut untuk muncul kembali kedepan
menembus facia dalam di lubang vena.
b) vena savena parva
Vena ini kecil dan pendek, mulai dari sisi lateral berjalan di
belakang malleolus lateralis dan melalui betis tungkai ke arah lutut
. Cabang-cabang dari kaki dan dari bagian belakang tungkai
diterima dan akhirnya menembus facia didalam daerah poplitea
untuk bergabung dengan vena poplitea.
Gambar 1.10
Pembuluh darah arteri pada sendi lutut (Sobotta, 2006)
1
2
3
4
4
5
6 7
3
Keterangan gambar 1.10
1. Arteri Femoralis
2. Arteri Poplitea
3. Arteri Tibialis anterior
4. Arteri Fibularis
5. Arteri Dorsalis pedis
6. Arteri Metatarsalies dorsales
7. Arteri Plantar medialis
Gambar 1.11
Pembuluh darah vena pada sendi lutut (Sobotta, 2006)
1
2
3
6
5
4
7
8
Keterangan gambar 1.11
1. Vena Femoralis
2. Vena Profunda femoralis
3. Vena Saphena magna
4. Vena Fibularis
5. Vena Dorsalis pedis
6. Vena Metatarsalis dorsalis
7. V ena Plantar medilis
8. Vena Tibialis
2. Biomekanik
Biomekanik adalah ilmu yang mempelajari mekanisme atau gaya yang
bekerja pada otot, tulang dan sendi. Pada tubuh manusia terdapat 3 bidang
gerak yaitu : (1) bidang sagital, ialah bidang ventral yang membagi tubuh
menjadi dua bagian kanan dan kiri. (2) bidang frontal, ialah bidang yang
membagi tubuh menjadi depan dan belakang , (3) bidang horizontal atau
bidang transversal adalah bidang yang membagi tubuh menjadi bagian atas
den bagian bawah (Kapandji, 1990).
Biomekanik di batasi pada komponen-komponen kinematis, di tinjau
dari dari segi gerak secara ostheokinematika dan orthokinematika.
a. Ostheokinematika
Sendi lutut dapat diklasifikasikan dalam sendi ginglymus (hinge
modifiet) karena sendi lutut mempunyai fungsi seperti sebuah sendi pintu.
Luas gerak fleksinya cukup besar. Ostheokinematikanya yang mungkin
terjadi adalah gerakan fleksi, ekstensi, internal rotasi dan eksternal rotasi.
1) Aksis gerakan
Aksis gerakan fleksi dan ekstensi terletak di atas permukaan
sendi yaitu melewati condylus femoralis. Sedangkan aksis gerakan
rotasinya longitudinal pada daerah condylus femoris (Parjoto, 2000).
2) Gerak fleksi
Penggerak gerakan fleksi lutut adalah otot otot hamstring yang
terdiri dari biceps femoris, semi tendinosus, dan semi membranosus.
Selain oleh otot–otot hamstring, gerakan fleksi juga dibantu oleh kerja
otot gastrocnemius, popliteue, dan gracillis.
Lingkup gerak sendi pada gerakan fleksi berkisar antara 13–
140 derajat. Gerakan fleksi dibatasi oleh kontaknya otot–otot pada
jaringan lunak pada tumit dan bagian posterior paha. Yang berperan
sebagai fiksator dalam gerakan fleksor lutut adalah kontraksi otot– otot
iliocostalis dan quadratus lumborus serta berat paha dan pinggul
(Parjoto, 2000).
3) Gerak ekstensi
Penggeraknya adalah otot–otot quadriceps yang terdiri dari 4
otot yaitu: rectus femoris, vastus medialis, vastus lateralis, dan vastus
intermedius. Lingkup gerak ekstensi yaitu 5–10 derajat hiperekstensi
atau 0 derajat. Gerakan ekstensi dibatasi oleh ketegangan kapsul,
ketegangan ligamentum, dan ’’twisting’’ ligamen. Yang bertindak
sebagai fiksator dalam gerakan ekstensi lutut adalah kontraksi dari
otot–otot perut bagian depan serta berat dari paha dan panggul
(Parjoto, 2000).
4) Gerakan Rotasi Internal
Karena permukaan sendi lutut ’’incongruen’’ dalam berbagai
posisi kecuali pada saat ekstensi penuh dan karena sifat meniscus yang
semi mobil, maka sendi lutut dapat bergerak rotasi dalam bidang
transversal. Gerakan rotasi sendi lutut dapat dilakukan dengan mudah
baik secara aktif maupun pasif saat sendi lutut dalam posisi fleksi.
Gerakan rotasi internal terjadi sewaktu gerakan awal fleksi
(15–20˚) yaitu rotasi internal tibia terhadap femur. Penggeraknya
adalah otot popliteus, otot gracillis dibantu oleh otot hamstring bagian
dalam (Parjoto, 2000).
5) Gerakan Rotasi Eksternal
Gerakan ini terjadi saat gerakan ekstensi mendekati akhir
gerakan (15–20˚) yaitu tibia terhadap femur. Penggeraknya adalah otot
biceps femoris dan tensor facialata (Parjoto, 2000).
b. Orthokinematika
Pada permukaan penggerak sendi lutut, yang sering terjadi meliputi
gerak sliding dan rolling, maka di sini berlakulah hukum konkaf konvek.
Hukum ini menyatakan bahwa ’’jika permukaan sendi cembung (konvek)
bergerak pada sendi yang cekung (konkaf), maka gerakan sliding dan
rolling saling berlawanan, dan jika permukaan sendi cekung (konkaf)
bergerak pada permukaan sendi cembung (konvek), maka gerakan slidding
dan rolling searah. Orthokinematika yang mungkin terjadi adalah gerakan
fleksi – hiperekstensi, eksorotasi – endorotasi, dan adduksi – abduksi.
Gambar 2.12
Gerakan rolling dari os femur terhadap os tibia (Kapandji, 1987)
1) Fleksi – hiperekstensi
Pada komponen gerakan fleksi akan terjadi gerakan roll pada
femur terhadap tulang tibia. Karena bentuk condylus femoris yang
konvek, maka terjadi gerakan roll ke ventral dengan translasi tulang
tibia ke dorsal. Sedangkan pada komponen gerakan ekstensi, terjadi
gerakan tulang tibia ke arah ventral.
2) Eksorotasi – endorotasi
Pada gerakan eksorotasi dan endorotasi dengan posisi lutut
maksimum 90 derajat, maka akan terjadi gerakan memutar.
3) Adduksi – abduksi
Pada gerakan adduksi akan terjadi gerakan tibia roll dan slide
ke radial, sedangkan pada gerakan abduksi akan terjadi roll dan slide
tibia ke lateral sedikit ke proksimal (Tajuid, 2000).
c. End Feel
Sejumlah gerakan pasif yang disebabkan dari struktur persendian
dengan pemeriksaan. Beberapa sendi memiliki struktur, sehingga capsule
menjadi terbatas pada akhir dari gerakan, dimana gerakan lainnya
terbentuk sehingga ligamen membatasi akhir dari gerakan sendi,
keterbatasan normal lainnya termasuk gerakan otot pasif, aproksimasi
jaringan lunak dan kontak permukaan sendi (Norkin, 1995) .
End feel dari sendi lutut yaitu (1) pada gerakan fleksi biasanya
end feel lunak, karena kontak otot betis bagian posterior dan otot pantat
antara kaki dan pantat. End feel bisa menjadi keras karena adanya
ketegangan otot vastus medialis, vastus lateralis, dan vastus intermedius.
(2) Pada gerakan ekstensi, end feel terasa keras karena adanya ketegangan
di daerah capsule sendi bagian posterior, ligamen oblique,popliteal
arcuate, ligamen collateral, ligamen cruciatum anterior dan posterior
(Norkin, 1995) .
3. Osteoarthritis (OA)
a. Definisi
Osteoarthritis (OA) atau disebut juga dengan penyakit degeneratif
adalah suatu kelainan pada cartilago (tulang rawan sendi) yang ditandai
dengan perubahan klinis, histologi, dan radiologi. Penyakit ini bersifat
asimetris, tidak meradang dan tidak ada komponen sistemik (Parjoto,
2000).
Osteoarthritis (OA) merupakan suatu kelainan pada sendi yang
bersifat non inflamasi, tidak simetris, dengan perubahan patologi dan pada
tulang rawan subchondral serta terjadi ketidakstabilan sendi, sehingga
fungsi sendi berkurang (Ismiati, 2000).
Menurut American Rheumatism Association (ARA), OA
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu osteoarthritis primer disebabkan oleh
idiopatik namun bisa juga karena herediter, OA ini adalah jenis yang
paling sering ditemukan. Yang kedua yaitu osteoarthritis sekunder
penyebabnya adalah (1) kelainan pertumbuhan tulang sejak lahir, (2)
penyakit metabolik, (3) trauma, (4) peradangan, (5) faktor endokrin.
(Low, 2000).
Beberapa faktor pemicu terjadinya OA meliputi
1) Usia
Cartilago sebagai bantalan penahan tekanan semakin tua akan
semakin kurang elastisitasnya (Sidharta, 1984). Prevalensi radiologik
OA sendi lutut akan meningkat sesuai dengan umur. Pada umur di
bawah 45 tahun jarang didapatkan gambaran radiologik yang berat.
Pada usia tua gambaran radiologik OA sendi lutut yang berat mencapai
20 persen (Isbagio, 1995).
2) Jenis Kelamin
Pada umumnya laki–laki dan wanita sama–sama bisa terkena
OA sendi lutut tetapi setelah umur 45 tahun lebih banyak pada wanita
(Moll, 1984).
3) Kegemukan atau Obesitas
Menurut Maquet (1995), pada keadaan normal, berat badan
akan melalui medial sendi lutut dan akan diimbangi dengan otot – otot
paha bagian lateral sehingga resultan gaya akan melewati bagian
tengah sendi lutut. Pada obesitas, resultan gaya akan bergeser ke
medial sehingga beban gaya yang diterima sendi lutut tidak seimbang.
Pada keadaan yang berat dapat timbul perubahan bentuk sendi menjadi
varus yang akan menggeser resultan gaya ke medial. Kelebihan berat
badan 20 persen atau lebih dari berat badan normal akan menempatkan
orang tersebut pada resiko OA sendi lutut (Merdikoputro, 2006). Untuk
menentukan kegemukan tersebut dapat dicari dengan menggunakan
rumus BMI (Body Mass Indeks) yaitu BMI = Berat Badan (Kg)/Tinggi
Badan (m)².
4) Faktor hormonal/metabolisme
Perubahan degeneratif pada sendi lutut banyak ditemukan pada
penderita diabetes mellitus (Hudaya, 2002).
5) Faktor Genetik
Faktor genetik menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya OA sendi lutut karena diperkirakan ada hubungannya
dengan defek pembentukan serabut collagen, defek pembentukan
proteoglikan atau hiperaktivitas chondrocyte, yang kesemuanya
mempermudah timbulnya OA sendi lutut (Hudaya, 2002).
6) Aktivitas Kerja
Pekerja yang banyak membebani sendi lutut, misalnya para
pekerja yang banyak berjalan, berdiri lama, naik turun tangga,
memanggul beban dan jongkok lama akan mempunyai resiko terserang
OA sendi lutut lebih banyak dari pada pekerja yang tidak banyak
membebani lutut (Isbagio, 1995).
7) Trauma
Trauma berat pada sendi lutut di usia dini akan memicu
munculnya OA sendi lutut lebih cepat. Pemakaian sepatu yang terlalu
tinggi, sempit, berat, dan alas sepatu (sol) yang keras dan kurang lentur
dalam waktu yang lama juga akan memicu timbulnya OA sendi lutut
(Isbagio, 1995).
b. Etiologi dan Patofisiologi
Penyebab pasti OA belum di ketahui sampai saat ini, yang sudah di
ketahui barulah faktor-faktor resikonya. Faktor resiko ini dapat di
golongkan menjadi 2 kelompok yaitu yang tidak dapat di rubah dan yang
mungkin di rubah. Faktor resiko yang tidak dapat di rubah meliputi jenis
kelamin, usia, genetik dan ras. Penderita yang usia di bawah 50 tahun
sebagian besar adalah pria, sedangkan di atas usia 50 tahun mayoritas
adalah wanita. Komponen herediter di temukan pada 40-50% penderita
yaitu berupa defek genetik dari gen kolagen tipe II. OA sendi lutut lebih
banyak di derita oleh penduduk Asia khususnya pada wanita cina, bila di
bandingkan di Amerika Utara. Faktor resiko yang mungkon di rubah
meliputi cidera, obesitas, dan aktivitas berlebihan (overuse). Cidera
merupakan faktor resiko yang sangat penting, robeknya meniscus dan
ligamen krusiatum meningkatkan resiko OA 5-10 kali. Obesitas sudah
lama di ketahui sebagai faktor resiko OA. Peningkatan indeks massa tubuh
(IMT) sekitar 10 kg meningkatkan terjadinya OA sendi lutut sebesar 30%.
Sedangkan IMT >30 kg memiliki resiko 20 kali lipat menimbulkan OA
sendi lutut bilateral. Aktivitas berlebihan sangat erat kaitannya dengan
cidera lutut, aktivitas jongkok, melompat/mendaki yang berulang-ulang
meningkatkan resiko OA sendi lutut sampai 30%
(www.mja.com).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahap awal
perkembangan OA, kartilago artikularis menjadi lebih tebal di bandingkan
dengan normalnya, selanjutnya permukaan sendi akan menipis dan terjadi
pelunakan kartilago hingga terjadi disrupsidan pembentukan retakan.
Retakan pada permukaan sendi ini kemudian akan berkembang menjadi
ulcer yang menembus jauh ke dalam tulang. Meskipun ada proses
perbaikan kartilago namun hasilnya sangat minim dan tidak mampu
mengatasi pembebanan mekanik yang terjadi. Pembebanan pada sendi
menyebabkan kartilago menjadi hiposeluler atau berkurangnya kondrosit
yang sangat penting bagi pemeliharaan kartilago. Akibatnya proses
kerusakan kartilago semakin parah (Yasmin et al, 2007).
Proses degenerasi tersebut menyebabkan kartilago berubah menjadi
tipis dan kasar. Perubahan ini berdampak pada penurunan kemampuan
penyerapan pembebanan sehinga pembebanan yang di terima sendi akan
langsung di teruskan ke tulang. Pembebanan pada tulang yang berlabihan
akan di respon dengan peningkatan ke padatan pada ujung-ujung tulang.
Reaksi lebih lanjut akan terjadi formasi osteofit pada ujung tulang
(www.arthritis.ca, 2007).
Rasa nyeri pada OA di sebabkan oleh proses inflamasi yang terjadi
di dalam sendi. Inflamasi ini dapat berasal dari robekan kartilago yang
masuk ke dalam persendian atau akibat iritasi jaringan sinovial oleh
osteofit. Proses inflamasi ini akan menghasilkan kimiawi pemicu nyeri
yang akan mengaktivasi nosiseptor sendi. Selain itu, inflamasi akan
menimbulkan pembengkakan sehingga meningkatkan tekanan
intraartikuler. Peningkatan tekanan intraartikuler ini berperan dalam
aktivasi nosiseptorsendi.
Menurut Parjoto (2000), pada OA sendi lutut terdapat proses
degradasi, reparasi dan inflamasi yang terjadi dalam jaringan ikat, lapisan
rawan, sinovium dan tulang subkhondral. Pada saat aktif salah satu proses
dapat dominan atau beberapa proses terjadi bersama dalam tingkat
intensitas yang berbeda. Perubahan yang terjadi adalah sebagai berikut:
1) Sendi normal
Pada sendi yang normal, terdapat tulang rawan sendi
(cartilage) yang sehat, terminyaki oleh cairan sinovial, bantalan sendi
(bursa), sehingga sendi mudah digerakkan.
2) Degradasi tulang rawan
Degradasi timbul akibat dari ketidakseimbangan antara
regenerasi dengan degenerasi rawan sendi, melalui beberapa tahap
yaitu fibrilasi perlunakan, perpecahan dan pengelupasan lapisan tulang
rawan sendi. Proses ini dapat berlangsung cepat atau lambat, yang
cepat waktu 10–15 tahun, sedangkan yang lambat 20–30 tahun.
Akhirnya permukaan sendi tidak mempunyai lapisan tulang rawan
sendi.
3) Osteofit
Merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk memperbesar
permukaan tulang dibagian bawah tulang rawan sendi yang telah rusak.
Bersama timbulnya dengan degenerasi tulang rawan, timbul
regenerasi, berupa pembentukan osteofit di tulang subkhondral.
Dengan menambah luas permukaan tulang di bawahnya diharapkan
distribusi beban yang ditanggung persendian tersebut dapat merata.
4) Sklerosis subchondral
Pada tulang subkhondral terjadi reparasi berupa sklerosis
(pemadatan atau penguatan tulang, tepat di bawah lapisan tulang rawan
yang mulai rusak).
5) Sinovitis
Sinovitis adalah inflamasi dari sinovium dan terjadi akibat
proses sekunder degenerasi dan fragmentasi. Matrik rawan sendi yang
putus terdiri dari kondrosit yang menyimpan proteoglycan yang
bersifat immunogenik dan dapat mengaktivasi leukosit. Sinovitis dapat
meningkatkan cairan sendi. Cairan sendi lutut mengandung
bermacam-macam enzim akan tertekan ke dalam celah-celah tulang
rawan. Ini mempercepat proses pengerusakan tulang rawan. Pada tahap
lanjut terjadi tekanan tinggi dari cairan sendi terhadap permukaan
sendi yang tidak mempunyai rawan sendi. Sehingga cairan ini akan di
desak ke dalam celah-celah subkhondral dan akan menimbulkan
kantong yang disebut kista subkhondral (Parjoto, 2000).
c. Tandan dan Gejala
Tanda dan gejala yang muncul bila sudah terjadi manifes pada OA
lutut sebagai berikut :
1) Nyeri
Nyeri merupakan keluhan utama yang menyebabkan orang
mencari pengobatan. Beberapa penyebab langsung nyeri adalah
sinovium, osteofit, kapsul sendi dan ligament periartikular
direnggangkan oleh efusi, spasme otot dan persepsi nyeri individual
(Tulaar, 2006). Nyeri muncul pada saat sendi lutut digerakkan dan
sedikit berkurang setelah istirahat. Apabila penyakitnya bertambah
buruk, maka nyeri dapat timbul meskipun dalam keadaan istirahat.
Nyeri biasanya meningkat pada musim hujan/musim dingin
(Merdikoputro, 2006).
2) Kekakuan sendi
Kekakuan sendi biasanya muncul pada pagi hari atau setelah
periode inaktif dan hilang setelah 15-30 menit (Isbagio, 2005).
3) Keterbatasan LGS
Keterbatasan LGS diakibatkan adanya nyeri dan muscle
spasme. Keterbatasan LGS biasanya bersifat pola kapsuler, gerak
fleksi lebih terbatas dari pada gerak ekstensi (Purbo Kuntono, 2005).
4) Krepitasi
Krepitasi adalah bunyi yang mendesas apabila sendi
digerakkan, hal ini disebabkan oleh permukaan sendi yang kasar dan
serpihan-serpihan dari kartilago karena degenerasi (Purbo Kuntono,
2005).
5) Kelemahan otot dan atrofi otot sekitar sendi lutut
Pasien OA mengalami kelemahan otot akibat tidak aktif, karena
otot dapat kehilangan 30 persen massa dalam seminggu, serta 5 persen
kekuatan dalam sehari apabila istirahat total (Tulaar, 2006).
6) Bengkak
Pembengkakaan kadang-kadang ditemukan pada OA sendi lutut
karena adanya pengumpulan cairan dalam ruang sendi, pada keadaan
lanjut dapat ditemukan deformitas sendi lutut (Isbagio, 1995).
7) Deformitas
OA sendi lutut yang berat akan menyebabkan destruksi
kartilago, tulang dan jaringan. Deformitas varus terjadi bila adanya
kerusakan pada kompartemen medial dan kendornya ligamentum, serta
variasi subluksasi karena perpindahan titik tumpu pada lutut atau
diakibatkan oleh pembatasan adanya osteofit yang besar (Purbo
Kuntono, 2005).
8) Instabilitas sendi lutut
Instabilitas sendi disebabkan oleh berkurangnya kekuatan otot
sekitar sendi lutut mencapai sepertiga dari otot normal dan juga oleh
kendornya ligamen sekitar lutut (Purbo Kuntono, 2005).
d. Gambaran Klinis Osteoathritis
Secara klinis, Osteoarthritis dibagi dalam 3 tingkatan, yaitu
1) Sub Clinical Osteoarthritis
Tidak ditemukan gejala atau tanda klinis. Hanya secara
patologis dapat ditemukan:
1) Pada tulang rawan sendi : peningkatan jumlah air, bulla atau
blister, dan fibrilasi serabut – serabut jaringan ikat collagen
2) Pada tulang subchondral : terjadi sclerosis
2) Manifest Osteoarthritis
a) Timbul keluhan nyeri pada saat bergerak dan rasa kaku pada
permulaan gerak
b) Terjadi kerusakan sendi yang lebih luas.
c) Tampak penyempitan ruang sendi dan sclerosis tulang subchondral
3) Decomposed Osteoarthritis
a) Di sebut juga surgical state
b) Timbul rasa nyeri pada saat istirahat dan keterbatasan lingkup
gerak sendi
c) Terjadi akibat penyakit yang telah menjadi progresif dan seluruh
tulang rawan sendi rusak. Tulang subchondral menjadi sangat
sclerotik, pembentukan osteofit hebat, capsule sendi menjadi
kendor, sehingga tampak deformitas yang jelas (Hudaya, 1996).
e. Diagnosis Osteoarthritis
Diagnosis osteoarthritis menurut American College of
Rheumatologi (2000) di tentukan berdasarkan kriteria berikut ini: (a) nyeri
sendi yang berulang hampir setiap hari, (b) gambaran osteofit dalam
pemeriksaan radiologis, (c) analisis cairan sendi positif osteoarthritis, (d)
usia 40 tahun atau lebih, (e) kaku sendi di pagi hari selam kurang lebih 30
menit, (f) krepitasi dalam gerakan sendi. Diagnosis di tegakkan bila di
temukan kriteria (a) dan (b) atau (a,c,e,f) atau (a,d,e,f) (Merdikoputro,
2006).
4. Nyeri
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal
yang di sebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan sangat
bersifat individual. Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan
untuk melindungi diri. Setiap individu pernah mengalami nyeri dalam
tingkatan tertentu. Walaupun nyeri merupakan salah satu dari gejala yang
paling sering terjadi dibidang medis tetapi merupakan hal yang paling sedikit
dipahami. Individu yang merasakan nyeri merasa tertekan atau menderita dan
mencari upaya untuk menghilangkan nyeri. Nyeri dapat merupakan faktor
utama yang menghambat kemampuan dan keinginan individu untuk pulih dari
suatu penyakit.
a. Definisi
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2007).
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi
yang disebabkan oleh stimulasi tertentu (Mahon, 1994).
Menurut The International Association For the Study of Pain
(IASP). Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
nyaman, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensi
merusak jaringan. Definisi tersebut merupakan pengalaman subyektif dan
bersifat individual. Dengan dasar ini dapat dipahami bahwa kesamaan
penyebab tidak secara otomatis menimbulkan perasaan nyeri yang sama
(Meliana, 2004).
Nyeri sendi pada osteoarthritis sering dikeluhkan sebagai nyeri
dalam, terlokalisasi di sendi yang terkena. Biasanya nyeri pada
osteoarthritis diperberat oleh perkembangan penyakit nyeri tersebut
menjadi menetap karena kartilago sendi tidak memiliki persyarafan, nyeri
sendi pada osteoarthtritis berasal dari struktur lain. Nyeri bisa disebabkan
oleh peregangan syaraf di periosteum yang menutupi osteofit dan bisa juga
berasal dari fraktur di tulang subkondral atau hipertensi medularis yang
disebabkan oleh gangguan aliran darah akibat penebalan trabekula
subkondral. Kejang otot dan instabilitas sendi menyebabkan peregangan
kapsul sendi juga dapat merupakan sumber nyeri (Brandt, 2000).
b. Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus
kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga
nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang
bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda
inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
1) Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30
m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat
hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
2) Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang
timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.Reseptor nyeri
jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul
pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi
sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi
(www.qittun.blogspot.com/2008/10/ konsep-dasar nyeri.html).
c. Teori Nyeri
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana
nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal
berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul,
namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri,
2007).
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan
bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme
pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa
impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls
dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan
tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut
kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A
dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi
impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat
mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang
melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan
berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.
Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat
menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan
menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari
serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut
dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri
dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang
memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen,
seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal
dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan
menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan
pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter,
2005).
d. Pengukuran Derajat atau Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon
fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan
tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu
sendiri (Tamsuri, 2007).
Nyeri dapat diukur dengan berbagai skala antara lain skala VAS,
VDS, Skala 5 tingkat, skala intensitas nyeri deskritif, skala intensitas nyeri
numerik dan skala nyeri menurut bourbanis.
Dalam penelitian ini penulis melakukan pemeriksaan derajat atau
intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri menurut bourbanis yaitu:
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan
baik.
4-6 : Nyeri sedang : secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat : pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
5. Terapi Latihan
Terapi Latihan adalah modalitas yang di gunakan untuk
mengembalikan dan meningkatkan kapasitas muskuloskeletal atau
kardiopulmuner dengan memanfaatkan gerakan anggota tubuh (Kisner, 2003).
Aplikasi terapi latihan untuk penderita osteoarthritis seharusnya di
mulai dengan latihan yang dapat meningkatkan kapasitas fungsional, baru
kemudian mengarah ke kebugaran fisik sehingga penderita dapat beraktivitas
tanpa keluhan nyeri dan tidak mudah lelah. Di awali dengan latihan
fleksibilitas untuk mencegah kontraktur sendi kemudian di lanjutkan dengan
latihan penguatan yang fokus pada gerak fungsional untuk meningkatkan daya
tahan dan kecepatan kontraksi otot, serta dapat di lanjutkan dengan latihan
aerobik (Sisto & Malangga, 2006).
Yang perlu diketahui pada terapi ostearthritis lutut adalah latihan yang
tidak menyebabkan pembebanan yang berlebihan pada sendi lutut akibat
weight bearing penuh. Dimana posisi aman untuk melakukan terapi latihan
yaitu posisi duduk. Posisi duduk dapat dikatakan posisi istirahat sendi lutut,
karena secara biomekanik tekanan garis weight bearing dari pusat caput femur
tidak melalui pusat lutut sehingga beban yang ditimbulkan pada lutut minimal
dan tidak menyebabkan nyeri (Kusumawati, 2003).Salah satu jenis terapi
latihan adalah closed and open kinetic chain.
Closed and open kinetic chain
Latihan Rehabilitasi dapat diklasifikasikan ke dalam rantai kinetik
tertutup (Close Kinetik Chain) dan kinetik rantai terbuka (Open Kinetik
Chain) latihan. Latihan di Close Kinetik Chain dimodelkan sebagai
tertutup hubungan mana gerakan di satu sendi secara bersamaan
menghasilkan gerakan pada sendi lainnya dari ekstremitas tersebut.
Latihan di Open Kinetik Chain mengisolasi salah satu link dari kinetik
rantai dan segmen distal bebas untuk berpindah.
Open chain exercise dapat di lakukan pada posisi duduk atau tidur
dengan melakukan gerakan fleksi dan ekstensi sendi lutut melawan beban
(manual atau alat). Karena latihan beban pada penderita osteoarthritis
berpotensi menimbulkan nyeri maka peningkatan berat beban di berikan
secara bertahap sesuai toleransi penderita.
Closed chain exercise di lakukan pada posisi berdiri, latihan ini
harus di lakukan dengan hati-hati karena sendi lutut menyangga berat
badan. Untuk mengurangi pembebanan sendi maka latihan dilakukan pada
posisi semi fleksi sendi lutut. Jenis latihannya antara lain adalah Quads
dan wall sits. Teknik latihan ini mempunyai manfaat tambahan yaitu untuk
melatih propioseptil sendi yang sering juga mengalami gangguan pada
penderita osteoarthritis sendi lutut.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Fisioterapi Rawat Jalan RS Kustati
Surakarta, dari bulan Februari sampai Mei 2011.
B. Jenis Penelitian
1. Pendekatan
Penelitian dilakukan dengan pendekatan studi kasus.
2. Jenis
Jenis penelitian adalah quasi eksperimental dengan two group pre & post test
with control design .
3. Design Penelitian
Pre test Perlakuan Post test
Kelompok 1: 01 X1 03
Kelompok 2: 02 X2 04
Keterangan:
01: Nyeri sebelum mendapatkan intervensi yang di ukur dengan menggunakan
skala nyeri menurut bourbanis (pre test) pada kelompok intervensi open
kinetik chain exercise.
02: Nyeri sebelum mendapatka intervensi yang di ukur dengan menggunakan
skala nyeri menurut bourbanis (pre test) pada kelompok intervensi close
kinetik chain exercise.
X1: Intervensi open kinetik chain exercise.
X2: Intervensi close kinetik chain exercise.
03: Rasa nyeri sesudah mendapatkan intervensi open kinetik chain exercise
yang di ukur dengan menggunakan skala nyeri menurut bourbanis (post
test).
04: Rasa nyeri sesudah mendapatkan intervensi close kinetik chain exercise
yang di ukur dengan menggunakan skala nyeri menurut bourbanis (post
test).
C. Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua penderita OA lutut yang
mendapatkan tindakan terapi latihan di Rumah Sakit
2. Sampel
Sampel penelitian di ambil secara purposive sampling dari populasi
pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan dan kriteria eksklusi.
Kriteria inklusi meliputi pasien yang bersedia menjadi obyek
penelitian, berusia 45-70 tahun (menurut setiyabudi 2006, insiden OA
meningkat pada usia 35-80 tahun), tanpa komplikasi penyakit degeneratif
lainnya, tidak menunjukkan tanda-tanda aktualitas tinggi, memenuhi kriteria
diagnosis menurut American College of Rheumatologi, mendapatkan 6 kali
intervensi (perlakuan 2 kali perminggunya).
Kriteria eksklusi meliputi pasien menolak menjadi subyek penelitian,
menderita komplikasi penyakit degeneratif lain, menunjukkan tanda-tanda
inflamasi aktualitas tinggi, hanya mengikuti satu sesi terapi dalam seminggu,
tidak menyelesaikan 6 kali intervensi.
D. Instrument Penelitian
1. Variabel
Dalam penelitian ini, terapi latihan di masukkan sebagai variabel bebas
(independent) sedangkan nyeri akibat osteoarthritis sebagai variabel terikat
(dependent).
2. Defenisi Konseptual
a. Nyeri
Nyeri di definisikan sebagai rasa sakit, sama dengan dolor (latin) atau
algia (Ramali dan Pamoentjak, 2000).
b. Osteoarthritis
Osteoarthritis adalah suatu penyakit sendi degeneratif terutama terjadi
pada orang berusia lanjut dan di tandai dengan degenerasi progresif
kartilago artikularis, perubahan membrana sinovial serta hipertrofi tulang
pada tepinya (osteofit) ( cigp, 2006).
c. Terapi Latihan
Terapi latihan adalah modalitas fisioterapi yang di gunakan untuk
mengembalikan dan meningkatkan kapasitas muskuloskeletal atau
kardiopulmoner dengan memanfaatkan gerakan anggota tubuh (Kisner,
2003).
3. Definisi Operasional
a. Nyeri akibat osteoarthritis sendi lutut adalah rasa sakit yang di alami
penderita osteoarthritis sendi lutut saat bergerak atau setelah istirahat
beberapa waktu, yang di ukur dengan menggunakan skala menurut
bourbanis.
b. Terapi latihan yang di berikan adalah latihan isotonik melawan tahanan
dengan tekhnik open chain dan close chain sesuai dengan toleransi
penderita.Latihan peregangan di lakukan dengan mengulur otot sampai
panjang maksimal kemudian di pertahankan selama 30 detik (Deyle et al,
2000; Sadovsky, 2003; Sito & Malangga 2006). Penderita di minta
mengulangi latihan tersebut di rumah sebagai home program sekali sehari.
4. Prosedur Pengukuran
Pengukuran nyeri dengan menggunakan skala nyeri menurut bourbanis
di lakukan dengan membuat garis lurus sepanjang 10 cm dan pada garis
tersebut di berikan angka 0-10 pada setiap cmnya dengan keterangan (0) tidak
nyeri, (1-3) nyeri ringan, (4-6) nyeri sedang, (7-9) nyeri berat terkontrol, (10)
nyeri berat tidak terkontrol. Pasien di minta menunjuk angka pada garis
tersebut untuk menunjukkan tingkat nyeri yang di rasakan oleh pasien.
Pengukuran di lakukan sebelum terapi pertama dan setelah terapi ke enam.
Gambar skala nyeri menurut Bourbanis
(www.qittun.blogspot.com/2008/10/ konsep-dasar nyeri.html).
E. Teknik Analisa Data
Data hasil penelitian berupa nilai nyeri dalam skala nyeri menurut
bourbanis di analisa menggunakan program SPSS 11.5 untuk mengetahui
pengaruh terapi latihan open kinetik chain dan close kinetik chain terhadap
penurunan nyeri penderita osteoarthritis sendi lutut grade II.
Hipotesis statistik untuk kelompok open kinetik chain exercise adalah (H0)
tidak ada pengaruh open kinetik chain exercise dalam mengurangi nyeri
osteoarthritis grade II dan (H1) ada pengaruh open kinetik chain exercise dalam
mengurangi nyeri osteoarthritis sendi lutut grade II.
Hipotesis statistic untuk kelompok close kinetik chain exercise adalah (H0)
tidak ada pengaruh close kinetic chain exercise dalam mengurangi nyeri
osteoarthritis sendi lutut grade II dan (H1) ada pengaruh close kinetik chain
exercise dalam mengurangi nyeri osteoarthritis sendi lutut grade II.
Hipotesis statik untuk mengetahui perbedaan kedua perlakuan adalah (H0)
tidak ada perbedaan pengaruh antara open kinetik chain exercise dengan close
kinetik chain exercise dalam mengurangi nyeri osteoarthritis sendi lutut grade II
dan (H1) ada perbedaan pengaruh antara Open kinetik chain exercise dengan close
kinetic chain exercise dalam mengurangi nyeri penderita osteoarthritis sendi lutut
grade II.
Pengambilan keputusan di ambil berdasarkan nilai probabilitas dengan
tingkat signifikansi 95% jika probabilitas >0,05 maka H0 diterima dan jika nilai
probabilitas <0,05 maka H0 ditolak.