pendahuluan_revisi

6
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Alasan Pengembangan Produk Dewasa ini banyak pasien yang dilaporkan sering mengalami kejang baik karena penyakit turunan maupun karena suatu penyakit yang muncul pada saat dewasa. Penyebab terjadinya kejang antara lain trauma terutama pada kepala, encephalitis (radang otak), obat-obatan, birth trauma (kondisi dimana bayi lahir dengan cara vacuum atau section caesaria), penghentian penggunaan obat depresan secara tiba-tiba, tumor, demam tinggi, hipoglikemia, asidosis, alkalosis, hipokalsemia, dan idiopatik. 1,2 Kejang merupakan manifestasi abnormalitas aliran elektrik pada otak yang meyebabkan perubahan sensorik, motorik, dan tingkah laku. Kejang adalah salah satu gejala yang sering dialami oleh penderita epilepsi. Menurut WHO, epilepsi merupakan gangguan neurologis kronis yang dapat terjadi di segala usia. Epilepsi dikenal sebagai salah satu kondisi tertua di dunia, sekitar 50 juta orang di dunia mengidap epilepsi. 1 Penyakit ini telah lama dikenal dalam masyarakat terbukti dengan adanya istilah-istilah bahasa daerah untuk penyakit ini seperti sawan, ayan, sekalor, dan celengan, tapi pengertian tentang penyakit ini masih kurang bahkan salah, penderita epilepsi sering digolongkan dalam penyakit gila, kutukan, dan turunan sehingga penderita tidak diobati bahkan disembunyikan. Akibatnya banyak penderita epilepsi yang tidak 1 | Page

Upload: florencia-irena

Post on 25-Sep-2015

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

perbandingan phenytoin dengan fosphenytoin

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang dan Alasan Pengembangan Produk

Dewasa ini banyak pasien yang dilaporkan sering mengalami kejang baik karena penyakit turunan maupun karena suatu penyakit yang muncul pada saat dewasa. Penyebab terjadinya kejang antara lain trauma terutama pada kepala, encephalitis (radang otak), obat-obatan, birth trauma (kondisi dimana bayi lahir dengan cara vacuum atau section caesaria), penghentian penggunaan obat depresan secara tiba-tiba, tumor, demam tinggi, hipoglikemia, asidosis, alkalosis, hipokalsemia, dan idiopatik.1,2

Kejang merupakan manifestasi abnormalitas aliran elektrik pada otak yang meyebabkan perubahan sensorik, motorik, dan tingkah laku. Kejang adalah salah satu gejala yang sering dialami oleh penderita epilepsi. Menurut WHO, epilepsi merupakan gangguan neurologis kronis yang dapat terjadi di segala usia. Epilepsi dikenal sebagai salah satu kondisi tertua di dunia, sekitar 50 juta orang di dunia mengidap epilepsi.1 Penyakit ini telah lama dikenal dalam masyarakat terbukti dengan adanya istilah-istilah bahasa daerah untuk penyakit ini seperti sawan, ayan, sekalor, dan celengan, tapi pengertian tentang penyakit ini masih kurang bahkan salah, penderita epilepsi sering digolongkan dalam penyakit gila, kutukan, dan turunan sehingga penderita tidak diobati bahkan disembunyikan. Akibatnya banyak penderita epilepsi yang tidak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan bagi penderita maupun keluarganya.2

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia.3

Di Amerika Serikat, prevalensi epilepsi mencapai sekitar 6,6 per 1.000 penduduk, dengan sekitar 2,5 juta penduduk mengalami kondisi ini dan sampai 28% dari pasien epilepsy membutuhkan pengobatan di departemen emergensi setiap tahunnya.58 Sedangkan di Indonesia sendiri kasus epilepsi terbilang masih cukup tinggi. Rata-rata prevalensi epilepsi aktif sebanyak 8,2 per 1.000 penduduk, sedangkan angka insidensi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Jika jumlah penduduk Indonesia sekitar 230 juta, diperkirakan masih ada 1,8 juta pasien epilepsi yang butuh pengobatan.77

Terapi untuk epilepsi digolongkan menjadi dua, yaitu terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan mengamati faktor-faktor pemicu gejala dan menghindarinya, istirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan epilepsi, latihan pengendalian stress dengan menggunakan terapi pengaturan nafas dan teknik relaksasi lainnya. Sedangkan terapi farmakologis dengan menggunakan Obat Anti Epilepsi (OAE). Terapi farmakologis epilepsi didominasi dengan penggunaan obat antiepilepsi oral jangka panjang. Namun, pemberian obat secara parenteral diperlukan untuk manajemen dari beberapa kondisi dan situasi emergensi.58

Salah satu kondisi epilepsi tersebut adalah status epileptikus (SE), yang mana merupakan keadaan darurat medis serius yang akrab dengan departemen emergensi, bangsal medis akut, dan unit perawatan intensif. Meskipun tidak ada definisi yang diterima secara universal dari kondisi yang mengancam jiwa tersebut, namun telah disefinisikan dalam sejumlah penelitian, sebagai kejang klinis yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau kejang berulang selama lebih dari 30 menit tanpa intervensi pemulihan kesadaran. Karena merupakan kondisi yang bersifat darurat. Tujuan pengobatan SE adalah untuk menghentikan aktivitas kejang dengan sesegera mungkin dan selanjutnya mencegah kekambuhan kejang. Setelah pasien didiagnosis SE, pemberian yang cepat dari terapi obat parenteral diperlukan untuk mengurangi potensi morbiditas neurologis dan meningkatkan kemungkinan respon terhadap terapi (SE dengan durasi panjang kurang responsive terhadap terapi obat dibandingkan dengan SE dengan durasi yang lebih singkat).58

Phenytoin parenteral merupakan salah satu obat yang umum digunakan untuk pengobatan SE. Walaupun demikian Phenytoin berkaitan dengan kelarutan yang rendah dalam air, yang dapat mempersulit penggunaan dari formulasi parenteral. Phenytoin sodium parenteral diformulasikan dengan 40% propylen glycol dan 10% ethanol dalam larutan air untuk injeksi yang telah disesuaikan pH nya menjadi 12 dengan Sodium hydroxide. Rekomendasi dosis awal untuk Phenytoin intravena adalah 20 mg/kg (melalui sebuah vena besar) yang diberikan pada kecepatan maksimum 50 mg/menit untuk mencapai konsentrasi serum terapeutik 10-20 mg/L. Oleh karena demikian, dibutuhkan sekitar 30 menit untuk mencapai dosis yang diperlukan pada pasien dengan berat badan 70 kg, di mana hal tersebut tidak diinginkan mengingat bahwa tujuan pengobatan SE adalah penghentian segera dari aktivitas kejang. Dosis yang direkomendasikan untuk anak-anak adalah 18 mg/kg yang diinfuskan selama 20 menit (maksimum laju infus adalah 1 mg/kg/menit), yang mana hal tersbut juga kurang tepat. Selain itu, efek samping terkait penggunaan Phenytoin intravena pada SE dapat menjadi sering dan berkaitan dengan kardiovaskular, seperti hipotensi, perpanjangan interval QT, dan cardiac dysrhythmias mungkin terjadi dan merupakan efek langsung dari zat aktif dan eksipien, serta iritasi vena lokal dan nyeri mungkin dapat terjadi. Propylene glycol pada formulasi berkontribusi terhadap hipotensi dan aritmia jantung yang ditunjukkan pada pemberian Phenytoin infus cepat. Salah satu komplikasi lokal yang paling kurang dipahami dan berpotensi serius pada pemberian Phenytoin intravena adalah purple glove syndrome, yang ditandai dengan edema progresif pada tungkai, perubahan warna, dan nyeri. Hanya satu studi sistematis yang melaporkan terjadinya sindrom tersebut, kejadian purple glove syndrome tersebut terjadi pada 5.9% (9 dari 152) pasien yang menerima Phenytoin intravena. Oleh karena itu, khasiat Phenytoin untuk pengobatan kejang akut dan SE ini juga telah ditetapkan, dengan formulasi Phenytoin parenteral, khususnya eksipien dan alkalinitas tinggi, membatasi jumlah pemberian dan mempengaruhi tolerabilitasnya.58

Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, Fosphenytoin parenteral diproduksi pada tahun 1996. Fosphenytoin merupakan prodrug Phenytoin yang dapat larut dalam air dan diubah menjadi senyawa aktif oleh fosfatase non spesifik dalam darah. Dosis Fosphenytoin dinyatakan sebagai setara Phenytoin (75 mg Fosphenytoin dinyatakan sebagai 50 mg setara Phenytoin). Tidak seperti Phenytoin, Fosphenytoin tidak diformulasikan dengan propylene glycol dengan pH 8.6-9, yang menyatakan bahwa Fosphenytoin dapat diinfuskan lebih cepat, sampai dengan 150 mg setara Phenytoin per menit. Sehingga, dosis awal 20 mg/kg setara Phenytoin intravena dapat diberikan pada pasien dengan berat badan 70 kg dalam waktu kurang dari 10 menit. Potensi manfaat dari Fosphenytoin termasuk pencapaian kadar terapeutik darah yang lebih cepat dan penurunan resiko dan kejadian efek samping serius dibandingkan dengan Phenytoin. Selain itu, Fosphenytoin dapat diberikan pada pasien dengan akses pembuluh darah yang sulit (seperti pada anak-anak, lansia, dan penyalahguna obat intravena).58

Kedua obat ini telah disetujui oleh US FDA (Food and Drug Administration) untuk pengobatan SE dan pencegahan atau pengobatan kejang yang telah terjadi selama operasi saraf. Selain kedua indikasi tersebut, Fosphenytoin parenteral juga disetujui oleh US FDA sebagai pengganti terapi jangka pendek Phenytoin oral.

1 | Page

3 | Page