penerapan asas equality before the law terhadap

208
PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP PEMERIKSAAN ANGGOTA DEWAN TERDUGA TINDAK PIDANA (ANALISA PUT. MK. NO. 76/PUU-XII/2014) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH). Oleh: IRVAN ZIDNIY NIM: 1112048000002 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R OG R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1437 H/2016 M

Upload: others

Post on 18-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

PEMERIKSAAN ANGGOTA DEWAN TERDUGA TINDAK

PIDANA (ANALISA PUT. MK. NO. 76/PUU-XII/2014)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH).

Oleh:

IRVAN ZIDNIY

NIM: 1112048000002

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

P R OG R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1437 H/2016 M

Page 2: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP
Page 3: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP
Page 4: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP
Page 5: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

iv

ABSTRAK

Irvan Zidniy. NIM 1112048000002. PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE

THE LAW TERHADAP PEMERIKSAAN ANGGOTA DEWAN TERDUGA

TINDAK PIDANA (ANALISA PUTUSAN MK.NO. 76/PUU-XII/2014)

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2016 M.

Skripsi ini bertujuan untuk meneliti dan menganalisis tentang kewenangan

mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian Undang-undang Terhadap

Undnag-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan implikasinya

terhadap putusan Mahkamah Kosntitusi yang menambahkan norma baru pada

suatu undang-undang. Penulis meneliti pada pokok permasalahan yakni bahwa

Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menjadi negative legislator akan tetapi

disini Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menajdi positive legislator.

Pasal 245 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,

DPR, DPD dan DPRD menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan

keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan

tindak pidanaharus mendapat persetujuan tertulis dari presiden (berdasarkan

ketetapan Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014.) Ayat (2) dalam hal persetujuan

tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh presiden dalam

waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak dterimanya permohonan, pemanggilan

dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud ayat (1)

dapat dilakukan. Tujuan dari skripsi ini untuk megetahui posisi hukum pemberian

persetujuan tertulis terhadap anggota dewan yang terduga melakukan tindak

pidana di tinjau dari aspek negara hukum.

Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normative dengan

menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statue approach), dan

dikaitkan dengan persamaan hak di depan hukum. Pendekatan perundang-

undangan mengacu kepada undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,

DPR, DPD dan DPRD.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam pasal 245 Undang-undang

No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Mengenai persetujuan

tertulis dari presiden terhadap anggota dewan yang terduga melakukan tindak

pidana tidak sesuai dengan asas persamaan didepan hukum dan idependensi

peradilan ayng bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.

Kata Kunci: Izin Penyidikan, Anggota DPR, Mahkamah Konstitusi.

Page 6: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah Swt, karena berkat rahmat,

nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

PEMERIKSAAN ANGGOTA DEWAN TERDUGA TINDAK PIDANA

(ANALISA PUTUSAN MK.NO. 76/PUU-XII/2014)

Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan serta nabi akhir

zaman yakni, Muhammad Saw, yang telah membawa umat manusia dari zaman

jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini.

Skripsi ini tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu,

penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Asep Saepudin Jahar. MA,. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Asep Syarifuddin Hidayat S.H., M.H., Ketua Program

Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris

Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. J.M. Muslimin, MA., Dosen Pembimbing yang telah

bersedia memberikan saran, kritik, bantuan, dan masukan selama saya

menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas waktu dan

pikiran yang telah diberikan untuk membimbing penulis.

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dam Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, khususnya dosen program studi Ilmu Hukum. Semoga ilmu

Page 7: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

ix

yang diajarkan selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu Hukum, dapat

bermanfaat bagi penulis, baik di dalam kampus, maupun ketika telah

lulus.

5. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, staff

Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan staff

Perpustakaan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan

guna menyelesaikan skripsi ini.

6. Kedua orang tua penulis tercintah dan sangat penulis sayangi Achmad

Luthfi dan Nur Jannah, yang selalu mengirimkan do’a dan

mencurahkan segala pikiran serta kasih sayangnya dalam mendidik

penulis hingga ke perguruan tinggi. Semoga Allah selalu

membahagiakan mereka dunia akhirat.

7. Faradilla Sentiana Amarella yang telah memberikan waktu luangnya

dalam penuulisan skripsi penulis.

8. Seluruh sahabat-sahabat Ilmu Hukum angkatan 2012. Kebesamaan di

kampus telah membuat hubungan hubungan kekeluargaan yang terjalin

dengan baik, dengan sama-sama berjuang dalam menyelesaikan tugas

akhir, semoga Allah meridhoi setiap langkah kita.

9. Seluruh keluarga Besar Ilmu Hukum, khususnya kepada senior-senior

yang telah lebih dulu lulus dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

terutama kepada Muhammad Iqbal S.H, Muhammad Hisyam

Page 8: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

x

Rasfanjani S.H, dan lain-lain yang tidak bisa saya ucapkan satu persatu

namun tidak mengurangi rasa hormat saya.

Harapan Penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada

khususnya dan segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya.

Jakarta, 10 Oktober 2016

Irvan ZIdniy

Page 9: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii

ABSTRAK ........................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR .......................................................................................... v

DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 10

D. Tinjauan Studi terdahulu ......................................................... 11

E. Kerangka Konseptual ............................................................. 13

F. Metode penelitian ................................................................... 13

G. Sistematika penulisan .............................................................. 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NEGARA HUKUM DAN

MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Teori Negara Hukum ............................................................. 19

B. Tinjauan Umum Pembatasan Kekuasaan ............................... 23

C. Tinjauan Umum mengenai DPR ............................................. 35

D. Tinjauan Umum mengenai Mahkamah Konstitusi ................ 39

Page 10: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

ix

BAB III TINJAUAN UMUM PRO-KONTRO TEHADAP IZIN

PRESIDEN BAGI ANGGOTA DEWAN TERDUGA TINDAK

PIDANA.

A. Prinsip Pertanggungjawaban pidana ...................................... 47

B. Prinsip Equality Before The Law ........................................... 54

C. Pro-Konta terhadap putusan MK ........................................... 56

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NO.76/PUU-XII/2014

A. Duduk Perkara ....................................................................... 65

B. Pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi ............................. 71

C. Analisis Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014 ......................... 73

BAB V PENUTUP.

A. Kesimpulan ............................................................................ 81

B. Saran ...................................................................................... 82

Page 11: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

The founding fathers ketika medirikian Negara Indonesia, merumuskan

bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat.) dan bukan sebagai

negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machstaat). Oleh karena itu, hukum

hendaknya dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan

menyelesaikan berbagai persoalan yang menjalankan roda kehidupan masyarakat,

berbangsa dan bernegara yang bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang

aman, tertib, sejahtera dan berkeadilan. Demikianlah penegasan yang terdapat

dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hal ini berarti bahwa negara hukum Indonesia sebagaimana digariskan

adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945 dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin

kedudukan yang sama dan sederajat bagi setiap warga negara dalam hukum dan

pemerintahan, yang mana implementasi dari konsep negara hukum ini tertuang

dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “Segala warga negara

bersamaan kedudukanya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.1

Selain daripada tujuan negara sebagaimana yang dimaksud diatas, negara

hukum yang dibentuk dan dicita-citakan Indonesia setidaknya harus mempunyai

1 Satjipto Rahardjo, Hukum dan masyarakat, (Bandung : Angkasa, 1980 ), h. 117

Page 12: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

2

unsur-unsur dasar sebagai negara hukum. Unsur-unsur tersebut sesuai dengan

pendapat yang diketengahkan oleh A.V Dicey, yaitu :

a. Supremasi hukum (Supremacy of law), maksudnya tidak ada

kesewenangwenang (Absence of power), seseorang boleh dihukum jika

melanggar hukum.2 karena itu Hukum bagi kita merupakan sesuatu yang

bersifat supreme atau yang paling tinggi diantara lembaga-lembaga tinggi

negara yang lainnya.3 Dari konsepsi demikian maka tumbuhlah istilah

„supremasi hukum‟ diamana hukum ditempatkan pada tempat yang

tertinggi diantara dimensi-dimensi kehidupan yang lain, terutama dimensi

politik. Dalam negara hukum, hukumlah yang memegang komando

tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Sesungguhnya, yang memimpin

dalam penyelenggaraan negara adalah negara hukum itu sendiri, sesuai

dengan prinsip “the rule of law, and not man”, yang sejalan dengan

pengertian “nomocratie” yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum,

“nomos”.

b. Kedudukan yang sama dalam hukum (equality before the law). dalam

usaha mencapai tata kehidupan yang adil dan makmur sebagaimana yang

dicitatakan oleh UUD 1945, membuta pemerintah berperan aktif dalam

kehidupan masyarakat. Dalam tata kehidupan yang demikian itu dijamin

persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum. agar terjadinya

2 Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h.81

3 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia Prinsip-prinsip & Implementasi Hukum di

Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011) h. 81.

Page 13: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

3

keserasian, keseimbanagan, dan keselarasan antara kepentingan

perorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum

dalam pembangunan.4

c. Terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang.5

Tujuan hak asasi manusia adalah “mempertahankan hak-hak manusia

dengan sarana kelembagaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang

digunakan oleh aparat negara, dan, pada waktu yang bersamaan,

mendorong perkembangan pribadi manusia yang multidimensional.”6 akan

tampak juga, bahwa pengetian hak asasi manusia tidaklah statis melainkan

dinamis, dan mungkin sekali aka nada banyak perdebatan mengenai

apakah kepentingan-kepentingan tertentu layak untuk digolongkan sebagai

hak dalam arti yang sebenarnya- apapun artinya.7

Sebelum perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia

mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tinggi

negara. Di bawahnya terdapat lima lembaga negara yang berkedudukan sebagai

lembaga tertinggi termasuk DPR. Dalam kedudukannya sebagai lembaga tertinggi

negara, MPR pemegang kekuasaan negara tertinggi (die gezamte staatgewald

liege allein bei der majelis) karena lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh

4 Martima Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU

PTUN 2004, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h.1

5 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 58.

6 I. Szabo, “ Historical Foundation of Human Rights and Subsequent Developmenth”,

terj. A. Hadyana Pudjaatmaka dalam Vasak, Vol. 1, hlm 11.

7 Scoot Davidson, Hak Asasi Manusia, terj. A. Hadyana Pudjaatmaka, dari Human

Rights(Jakarta: PT Pustaka Utama Grafity, 2008) h.9.

Page 14: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

4

rakyat Indonesia. Sementara itu DPR yang merupakan perwakilan lembaga rakyat,

dinyatakan DPR adalah kuat dan senantiasa mengawasi tindakan-tindakan

presiden. Bahkan, jika DPR menganggap bahwa presiden sungguh melanggar

haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD 1945 atau oleh MPR, maka DPR

dapat mengundang MPR untuk menyelengarakan sidang istimewa guna meminta

pertanggung jawaban.8

Setelah amandemen, DPR mengalami perubahan, fungsi legislasi yang

sebelumnya berada di tangan presiden, maka setelah amandemen UUD 1945

fungsi legislasi berpindah ke DPR. Pergeseran pendulum itu dapat dibaca dengan

adanya perubahan secara substansial pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dari presiden

memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR,

menjadi presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.

Akibat dari pergeseran itu, hilangnya dominasi presiden dalam proses

pembentukan undang-undang. Perubahan itu penting artinya karena undang-

undang adalah produk hukum yang paling dominan unruk menerjemahkan

rumusan-rumusan normatif yang terdapat dan UUD 1945.

Dalam tugas dan kewenangan keberadaan DPR sangat dominan, karena

kompleksitas dalam tugas dan wewenangnya tersebut yaitu: (1) DPR mempunyai

kekuasaan membentuk undang-undang; (2) setiap RUU dibahas oleh DPR dan

Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama; (3) jika RUU tidak mendapat

persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR

pada masa itu; (4) Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama

8 Titik TriwulanTutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945, (jakarta: Kencana, 2011), h. 191.

Page 15: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

5

untuk menjadi UU; (5) dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak

disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU itu disetujui, RUU

tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

Dalam melaksakan tugas dan wewenangnya, berdasarkan pasal 20A ayat

(2) UUD 1945 jo. Pasal 27 UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan MPR, DPR,

DPD dan DPRD menyatakan sebagi lembaga perwakilan rakyat DPR memiliki

hak, antara lain:

a. Hak interpelasi.

b. Hak Angket.

c. Hak menyatakan pendapat.

Sementara diluar hak institusi, anggota DPR juga memilki hak,

diantaranya:

a. Mengajukan RUU.

b. Mengajukan pertanyaan.

c. Menyampaikan usul dan pemdapat.

d. Hak imunitas.9

Perubahan pasca amandemen UUD 1945 ini ialah mengenai hak anggota

DPR yang menyatakan bahwa, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan

pertanyaan, menyampaikan usulan dan pendapat, serta hak imunitas.10

Reformasi membawa pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan

ketatanegaraan Indonesia, termasuk terhadap parlemen Indonesia. khususnya

9 Titik TriwulanTutik, Konstruksi Hukum ……..h. 195.

10 Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, . . . . . . . .h. 105-106.

Page 16: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

6

Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR).11

Dibidang legislasi,

mislanya, DPR adalah lembaga tertinggi untuk menyusun Undang-undang. Hal

ini diatur dalam pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yang meyetakan bahwa DPR sangat

penting dalam susunan ketatanegaraan Indonesia. Hasil perubahan UUD

melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama yang lain dalam posisi

setara dengan saling melakukan control (check and balances), mewujudkan

supremasi hukum dan berkeadilan serta menjamin dan melindungi hak. Asasi

manusia. Kesetaraan atau ketersediaan mekanisme saling control ini, merupakan

prinsip dari sebuah negara demokrasi atau negara hukum.12

Sementara itu berkaitan dengan keanggotaan DPR diatur berdasarkan

Pasal 11 Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan

MPR, DPR, dan DPRD menyatakan bahwa susunan DPR terdiri dari anggota

partai politik pemenang pemilu, dang anggota ABRI yang diangkat dengan

keseluruhan jumlah 500 anggota. Pada perkembangan zaman pada tahun 2003

Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, dan DPRD diganti dengan

Undang-Undang No 22 Tahun 2003 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD karena

tidak sesuai lagi engan aspirasi rakyat dan perkembangan ketatanegaraan di

Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut susunan keanggotaan berubah, dalam

pasal 16 menyatakan bahwa DPR terdiri dari anggota partai politik peserta

pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. Sementara pasal 24

mengatakan bahwa Kedudukan DPR merupakan lemba perwakilan rakyat yang

11

Sebastian Salang, dkk, Menghindari Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan, (Jakarta:

Forum Sahabat, 2009), h. 21

12 Titik Triwulan Tutik, Kontruksi tata Negara . . . . . . . . (Jakarta: Kencana 2010), h.1.

Page 17: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

7

berkedudukan sebagai lembaga negara. Undang-Undang No 22 Tahun 2003

kemudian diganti dengan Undang-Udnag No. 22 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga

perwakilan rakyat. Berselang 5 tahun, Undnag-Undang No. 27 Tahun 2009

kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR,

DPR, DPD, DPRD. Namun, beberapa bulan kemudian Undang-Undang No.17

Tahun 2014 diganti dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 2014 tentang MPR,

DPR, DPD, DPRD.

Sisi lain, menguatnya peranan dan wewenang serta kekuasaan legislatif

ternyata tidak otomatis menggambarkan semakin menguatnya peranan rakyat.13

Padahal reformasi pada kelembagaan ini pada dasrnya merupakan harapan rakyat

guna memastikan kepentingan-kepentingan mereka teakomodasi dalam pelbagai

kebijakan negara.14

Hidayat Nurwahid15

mengatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi

(dan selengkapnya disebut MK) anggota DPR adalah orang yang terhorham, oleh

karena itu anggota DPR terlalu mudah untuk di panggil dalam hal permintaan

keterangan untuk penyidikan.ini menimbulkan citra yang buruk di mata publik

terhadap parlemen. Problem ketika anggota DPR dipanggil menjadi saksi atau

pemeriksaan penyidikan suatu kasus yang tetimpanya, menurut Hidayat Nur

13

Paimin Napitupulu, Menuju Pemerintahan Perwakilan, (Bandung: PT Alumni, 2007).

h.ix.

14 Formappi, Lembaga Perwakilan Rakyat: Studi dan Analisi Sebelum dan Sesudah

perubahan UUD NRI 1945, (Jakarta: FORMAPPI, 2005) h.9.

15 Putusan MK NO. 76/PUU-XII/2014.

Page 18: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

8

Wahid hal seperti itu akan menimbulkan opini publik yang buruk terhadap

anggota DPR.16

Pada sisi lain MK merubah Ketetapan UU No. 17 Tahun 2014 yang

awalnya pnenyilidikan yang dilakukan oleh penyidik apabila ada seorang anggota

DPR melakukan tindak pidana harus mendapatkan izin tertulis dari MKD diubah

menjadi izin tertulis dari presiden. Menurut penulis ketaetapan yang dibuat oleh

MK terdapat kejanggalan diantaranya dianggap mengahambat proses peradilan,

padahal salah satu asas dari peradilan yaitu, proses cepat, sederhana dan biaya

ringan. Selain itu menimbulkan ketidakpastian hukum, jia presiden RI tidak

mengelurkan izin tertulis, proses hukum terhadapt anggota legilatif tersebut yang

menjadi tersangka tidak bisa dilanjutkan kembalidan juga tidak ada jangka waktu

permohonan izin tersebut. Selain itu adanya diskriminasi antara warga penduduk

dengan anggota dewan, karena bertentangan dengan prinsip negara hukum. dan

dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh koalisinya. Ini akan menimbulkan

ketegangan dan kegaduhan politik baru. Sebagai pengemban fungsi eksekutif,

pemberlakuan norma ini justru dapat membuat priseden RI menggunakan

wewenangnya tersebut untuk melindungi koalisinya dan menyerang oposisinya.17

Dalam konteks ini kemajuan demokrasi, reformasi kelembagaan parlemen

merupakan bagian penting dari proses konsolidasi demokrasi, dimana institusi-

16

Erdy Nasrul, “ DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan,” Artikel diakses apda 10

November 2014 dari http://m.republika . co.id?berita/nasiuonal/politik/14/08/29/nm2h4q-dpr-

bentuk-mahkamah-kehormatan-dewan.

17 International Corruption Watch, “kejanggalan putusan MK soal pemeriksaan,” artikel

ini diakses http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/09/25/nv8876354-soal

pemeriksaan-dpr-keputusan-mk-timbulkan-kerancuan-hukum

Page 19: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

9

insti\tusi kenegaraan ditatasedemikian rupa sehingga memenuhi indicator

demokrasi.18

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis pada

tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis uraikan pokok-pokok

bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan masalah.

Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka penulis

membatasinya dengan pembahasan mengenai analisa putusan mahkamah

konstitusi mengenai pengajuan judicial review uu No.17 tahun 2014 tentang

pemeriksaan anggota dewan atas izin presiden terduga tindak pidana (putusan No.

76/PUU-XII/2014) ditinjau dari asas negara hukum.

2. Rumusan Masalah

Perumusan masalah adalah langkah untuk mengidentifikasi persoalan yang

diteliti secara jelas, biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan kritis, sistematis dan

representatif untuk mencari jawaban dari persoalan yang ingin dipecahkan. Arti

penting perumusan masalah adalah sebagai pedoman bagi tujuan dan manfaat

penelitian dalam rangka mencapai kualitas penelitian yang optimal. Berdasarkan

hal tersebut, maka rumusan permasalahan yang akan diteliti adalah meliputi:

1. Bagaimana pertimbangan hukum pada putusan Mahakamah Konstitusi

(MK) NO. 76/PUU-XII/2014 dalam judicial review Undang-Undang

18

FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat …….. h.9.

Page 20: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

10

Nomor 17 Tahun 2014 terkait dengan pemeriksaan anggota dewan terduga

tindak pidana?

2. Faktor apa saja yang mempengarungi terhadap putusan hakim Mahkamah

Konstitusi dalam Putusan NO. 76/PUU-XII/2014 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

1. Tujuan Penelitian.

Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dan memahami substansi putusan Mahakamah

Konstitusi (MK) dalam judicial review Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014

b. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa saja yang mempengarungi putusan

hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan NO. 76/PUU-XII/2014

2. Kegunaan Penelitian.

Kegunaan penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu kegunaan

teoritis dan kegunaan praktis.

a. Kegunaan teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan kontribusi dalam menanggapi

masalah hukum, khususnya tentang analisa putusan mahkamah konstitusi

mengenai pengajuan Judicial Review UU No. 17 Tahun 2014 tentang

Pemeriksaan Anggota Dewan atas Izin Presiden Terduga Tindak Pidana (Putusan

No. 76/PUU-XII/2014) ditinjau dari asas negara hukum.

b. Kegunaan Praktis.

Page 21: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

11

Adapun manfaat praktis dari penilitian ini dapat diharapkan menjadi bahan

pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan dan

konsukuensi hukum yang berkaitan dengan analisa putusan mahkamah konstitusi

pengajuan Judicial Review UU No. 17 Tahun 2014 tentang Pemeriksaan Anggota

Dewan atas Izin Presiden Terduga Tindak Pidana (Putusan No. 76/PUU-

XII/2014) ditinjau dari asas negara hukum.

D. Tinjauan Studi Terdahulu.

No Nama penulis/judul

skripsi, jurnal/ tahun

Substansi Perbedaan

dengan penulis.

1 Muhammad Iqbal

Hidayatullah

Skripsi ini membahas

mengenai

Problematika

Pemberian Izin

Penyidikan oleh

Mahkamah

Kehormatan dewa

Terhadap ANggota

DPR yang diduga

melakukan tindak

pidana

Perbedaan dari

skripsi ini

dengan skripsi

penulis adalah

penulis

membahas

mengenai

pemeriksaan

anggota dewan

terduga tindak

pidana (analisa

put. Mk No. 76/

PUU-XXI/2014.

2 Drs. Abu Tamrin, SH. Buku ini membahas Perbedaan

Page 22: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

12

M.Hum

Nur Habibi Ihya, SHI,

MH. Hukum Tata

Negara, 2010

mengenai Hukum

Tata Negara yang

berobyekkan sebuah

negara dan menganut

sistem common law.

skripsi ini

dengan skripsi

penulis adalah

penulis

membahas

mengenai

penerapan asas

equality before

the law terhadap

anggota dewan

terduga korupsi

atas izin

presiden.

2 Drs. Abu Tamrin, SH.

M.Hum

Nur Habibi Ihya, SHI,

MH. Hukum Tata

Negara, 2010

Buku ini membahas

mengenai Hukum

Tata Negara yang

berobyekkan sebuah

negara dan menganut

sistem common law.

Perbedaan

skripsi ini

dengan skripsi

penulis adalah

penulis

membahas

mengenai

penerapan asas

equality before

Page 23: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

13

the law terhadap

anggota dewan

terduga korupsi

atas izin

presiden.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual.

The founding fathers ketika medirikian Negara Indonesia, merumuskan

bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum. (rechstaat) dan bukan sebagai

negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machstaat). Oleh karena itu, hukum

hendaknya dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan

menyelesaikan berbagai persoalan yang menjalankan roda kehidupan masyarakat,

berbangsa dan bernegara yang bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang

aman, tertib, sejahtera dan berkeadilan. Demikianlah penegasan yang terdapat

dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

DPR adalah kepanjangan dari Dewan Perwakilan Rakyat adalah salah satu

lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan

lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta

pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.

F. Metode Penelitian.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu

kegiatan know-how dalam ilmu hukum yang bersifat perspektif, bukan sekedar

know-about. Sebagai kegiatan know-how penilitian hukum dilakukan untuk

Page 24: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

14

memecahkan isu hukum yang dihadapi. Di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk

mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis

masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecehan atas masalah

tersebut.19

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini dan untuk memenuhi

penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis metode Penelitian yuridis

normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-

kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.20

Sedangkan sifat dari penelitian

ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti

mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam

memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru.

2. Pendekatan Penelitian.

Sehubungan dengan penelitian penulis menggunakan jenis penilitian yaitu

penelitian normatif, maka dalam hal teknik pengumpulan data dalam penelitian

normatif, penulis menggunakan beberapa pendekatan, yaitu berupa pendekatan

perundang-undangan(statute approach), pendekatan konseptual (conceptual

approach), dan pendekatan historis (historical approach).

Pendekatan perundang-undangan dimaksudkan untuk memperoleh

kejelasan mengenai ketentuan hukum mengenai pengajuan Judicial Review UU

19 Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet. VIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2013), h. 60

20Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. (Malang:

Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.

Page 25: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

15

No. 17 Tahun 2014 tentang Pemeriksaan Anggota Dewan atas Izin Presiden

Terduga Tindak Pidana (Putusan No. 76/PUU-XII/2014). Sedangkan pendekatan

konseptual dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana konsep dan teori mengenai

pengajuan Judicial Review UU No. 17 Tahun 2014 tentang Pemeriksaan Anggota

Dewan atas Izin Presiden Terduga Tindak Pidana (Putusan No. 76/PUU-

XII/2014) ditinjau dari asas negara hukum.

Sedangkan pendekatan historis dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana

sebenarnya pertimbangan hakim dalam memutuskan judicial review dalam UU

MD3.

3. Sumber Penelitian.

Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber penelitian yang

berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier

yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti, dengan rincian sebagai

berikut:

a. Bahan Hukum Primer.

Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat segala

keterangan-keterangan yang beerkaitan dengan penelitian ini. Sumber-sumber

tersebut berupa UUD 1945, dan Peraturan Perundang-Undangan yang terkait Asas

Negara Hukum. Bahan hukum primer merupakan data yang diperoleh dari bahan

kepustakaan.21

b. Bahan hukum sekunder.

21

Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum,( Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992.), h.51.

Page 26: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

16

Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan

primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang memuat segala

keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, terdiri dari atas

buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de

herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum,

yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik

penelitian skripsi ini. Dalam penulisan skripsi, penulis mengacu kepada buku

pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

c. Bahan Hukum Tersier.

Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum,

encyclopedia, dan lain-lain.22

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data

melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan

penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan

dengan pasar modal, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita

yang penulis peroleh dari internet.

Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier

diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan Metode

Dokumentasi, metode ini dimaksudkan dengan mencari hal-hal atau variabel

22

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian……..h. 296

Page 27: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

17

berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti,

notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.23

5. Metode Pengolahan dan Analisis Data.

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum

sekunder, serta bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa,

sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab

permasalah yang telah dirumuskan.Cara pengolahan bahan hukum dilakukan

secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat

umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan

hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum dengan melakukan

analisis secara kritis dan mendalam Bagaimana kedudukan perkara dalam hal

putusan Mahakamah Konstitusi (MK) dalam judicial review Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 terkait dengan pemeriksaan anggota dewan terduga tindak

pidana dan Apakah putusan MK NO. 76/PUU-XXI/2014 bertentangan dengan

asas negara hukum ?

G. Sistematika Penulisan.

Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan

pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi,

dan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

23 M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatfi ,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2007), h. 201.

Page 28: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

18

Pada bab ini memuat Latar Belakang Masalah, Batasan dan

Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Studi

Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan

Sistematika Penulisan.

BAB II: TINAJUAN UMUM MENGENAI NEGARA HUKUM dan

MAHKAMAH KOSNTITUSI

Menguraikan tentang konsep negara hukum, pembatasan

kekuasaan, Dewan Perwakilan Rakyar dan Menguraikan tentang

Sejarah Mahkamah konstitusi, Kewenangan dan kedudukan

Mahkamah Konstitusi

BAB III: PRO-KONTRA TENTANG IZIN BAGI ANGGOTA DPR

TERDUGA PELAKU TINDAK PIDANA

Menguraikan tentang prisnip pertanggungjawaban pidana, asas

equality before the law, dan pro-kontra mengenai izin presiden

bagi anggota dewan terduga tindak pidana

BAB IV : ANALISIS PUTUSAN MK No. 76/PUU-XII/2014.

Pada bab ini akan membahas mengenai analisis MK No. 76/PUU-

XII/2014 dan akibat hukumnya ditinjau dari negara hukum.

BAB V : PENUTUP

Pada bab penutup ini, berisi kesimpulan serta saran yang berkaitan

denganpermasalahan tersebut yang penulis dapatkan dari hasil

menganalisis Perkara Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014.

Page 29: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

19

BAB II

NEGARA HUKUM DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Tinjauan Tentang Negara Hukum

Istilah negara yang dikenal sekarang mulai timbul pada zaman renaissance

di eropa pada abad ke-15. Pada masa itu telah dipergunakan oleh orang istilah “

Lo Stato” yang berasal dari bahasa italia yang kemudian menjelma menjadi

perkataan “L’Etat” dalam bahasa perancis, “The State” dalam bahasa Inggris,

atau “Der Staat” dalam bahasa jerman, dan “De Staat” dalam bahasa Belanda.1

Negara adalah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan yang

memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu, yang harus ada: pemerintahan yang

berdaulat, wilayah tertentu dan rakyat yang hidup dengan teratur.2

Menurut Aristoteles dalam bukunya politca ia mengatakan bahwa negara

itu merupakan suatu persekutuan yang mempunyai tujuan tertentu. Cara berfikir

yang bersifat analystis dalam bukunya ethica dilanjutkan dalam bukunya politica

untuk dapat menerangkan asal-mula dan perkembangan negara. Negara terjadi

karena penggabungan keluarga –keluarga menjadi kelompok yang lebih besar,

kelompok itu bergabung lagi hingga menjadi desa. Dan desa itu bergabung lagi,

demikian seterusnya hingga timbul negara, yang sifatnya masih merupakan suatu

kota atau polis.

1 C.S.T Kansil, dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia,

(Jakarta: Rineke Citpa, 2000), h.1.

2 C.S.T Kansil dkk, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta: jalan permata, 2010), h. 274.

Page 30: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

20

Desa yang sesuai kodaratnya adalah desa yang bersifat genealogis, yaitu

desa yang berdasarkan kepada keturunan. Dengan demikian menurut Aristoteles

adanya negara itu sudah menurut atau berdasarkan kodrat. Manusia sebagai

anggota keluarga menurut kodratnya tidak dapat dipisahkan oleh negara. Sebab

manusia itu adalah sutau mahkluk sosial atau zoonpoliticon, maka dari itu tidak

bisa dipisahkan dari masyarakat atau negara. 3Maka dari pada itu, Aristoteles

beranggapan bahwa negara sebagai negara hukum yang terdapat sejumlah warga

negara yang ikut serta dalam permusyawaratan negara (ecclesia). Yang dimaksud

dengan negara hukum ialah negara yang berdiri diatas hukum, yang menjamin

keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya

kebahagian hidup warga negara yang baik. Demikian pula dengan hukum yang

sebenarnya dimana peraturan tersebut mencerminkan keadilan bagi pergaulan

hidup antara warga negaranya.4

Secara embrionik, gagasan negara hukum pertama kali dikemukakan oleh

Plato dengan konsep Nomoi. Menurut Plato penyelenggaraan yang baik adalah

yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Ide ini didukung oleh

Aristoteles, yang menuliskan dalam bukunya politica, yang didalamnya terdapat

sabda bahwa negara yang baik adalah negara yang diperintah oleh konstitusi, dan

berkedaulatan hukum.5

3 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1998), h.24-25.

4 Moh. Kusnardi, dan Prof. Dr. Bintan R. Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media

Pratama, 2000), h. 48

5 M. Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tetang Prinsip-Prinsipnya (Jakarta:

Bulan Bintang, 1992), h. 66.

Page 31: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

21

Dalam Kepustakaan Indonesia, Istilah negara Hukum merupakan

terjemahan langsung dari Rechstaat.6. hal ini juga sama dikemukakan oleh

Notohamidjojo. “dengan timbulnya gagasan-gagasan pokok yang dirumuskan

dalam konstitusi-kosntitusi dari abad XI itu maka timbul juga istilah negara

hukum atau Rechstaat”.7

Sumrah dalam kertas kerjanya yang disampaikan pada seminar Hak-hak

Asasi manusia pada tahun 1967, Mengatakan: “ yang telah kita kenal lebih lama

adalah pengertian rechstaat, atau negara hukum atau untuk meminjam kata-kata

dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945, negara berdasarkan atas hukum”.8

Konsep rechstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutism sehingga

sifatnya revolusioner. Hal ini tampak dari isi atau kreteria rechstaat dan kreteria

the rule of law. Konsep rechstaat bertumpu pada atas sistem hukum continental

yang disebut civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu pada sistem

hukum yang disebut comman law, karakteristik civil law adalah administrative,

sedangkan comman law adalah judicial.9 Dalam sejarahnya dikenal dua konsep

yang sangat berpengaruh, yaitu Rechstaat “jerman” dan the rule of law “inggris”.

6 Padmo Wahjoyo, Ilmu Negara Suatu Sistemetik dan Penjelasan 14 Teori Ilmu Negara

dari jellinek, (Jakarta: Melaty Study Group, 1997), h.30.

7 O. Nothohamidjojo, Makna Negara Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970), h.

27.

8 H. Muh. Yamin, Proklamasi dan Kosntitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1982), h.72.

9 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Binia

Ilmu, 1987), h. 92.

Page 32: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

22

Istilah rechstaat mulai terpopuler di eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran

tentang itu sudah lama adanya.10

Negara hukum itu diartikan sebagai negara dimana tindakan pemerintah

maupun rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan

sewenang-wenang dari pihak penguasa dan tindakan rakyat menurut kehendaknya

sendiri. Sebagai unsur-unsur yang klasik yang dipakai dengan negara hukum yaitu

diakuinya adanya hak-hak asasi yang harus dilindungi oleh pihak penguasa dan

sebagai jaminan ialah diadakan pembagian kekuasaan.

Negara hukum ini timbul sebagai reaksi terhadap kekuasaan raja-raja yang

absolut, oleh karena itu tujuan dari hukum mula-mula hendak membebaskan diri

dari campur tangan negara.

Rakyat akan menyelenggarakan kepentingan sendiri, dan didalam

penyelenggaraan itu tindakan perselisihan, maka barulah negara campur tangan.

Lama-kelamaan dirasakan bahwa negara tidak dapat bersifat pasif terus menerus

terutama dalam hal yang berhubungan dengan ketentuan umum.11

Selain itu, konsep negara hukum juga berkaitan dengan istilah Nomocratie

yang berarti penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.

Menurut Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah rechstaat

mencakup empat elemen penting, yaitu:12

10

Dr. Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum,

(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2006), h.75.

11 Moh. Kusnardi, dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara . . . . . . .h.92

12 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta:

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2004), h.122.

Page 33: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

23

1. Perlindungan hak asasi manusia.

2. Pembagian kekuasaan.

3. Pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.

4. Peradilan tata usaha negara.

Adapun A.V.Dicey menyebutkan tiga ciri penting The Rule of Law,

Yaitu:13

1. Supremacy of Law.

2. Equality Before The Law.

3. Due Process Of Law.

Negara hukum materiil mencakup pengertian yang lebih luas termasuk

keadilan didalamnya. Tugas negara tidak hanya ,menjaga ketertiban dengan

melaksanakan hukum, tapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk

keadilan (Welfarestate). Materi konstitusi tentang wewenang dan cara bekerjanya

lembaga-lembaga negara biasanya disebut dengan sistem pemerintahan negara.

Menurut sejarah pembagian kekuasaan negara itu dimulai dari gagasan tentang

pemisahan kekuasaan negara ke dalam berbagai organ agar tidak terpusatnya di

tangan seorang monarki (raja absolut).

B. Tinjauan Umum Pembatasan Kekuasaan

1. fungsi kekuasaan.

Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa inggrisnya disebut

dengan legal state atau state based on the rule of law, dalam bahasa belandanya

13 A. V. Dicey, Introduction to study of the Law of the Constitution, Tenth Edition,

(London: Macmilan Education LTD, 1959.

Page 34: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

24

dan jermannya rechstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam

penyelenggaraan kekuasaan negara. Meskipun kedua istilah rechstaat dan rule of

law itu memiliki latar belakang sejarah dan pengertian yang berbeda, tetapi sama-

sama mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu dilakukan dengan

hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusiolisme modern.oleh

karena itu, konsep negara hukum disebut dengan negara konstitusional atau

constitusional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam konteks

yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan

istilah constitusional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara

demokrasi yang berdasarkan atas hukum.14

Dalam empat ciri klasik negara hukum eropa continental yang biasa

disebut rechstaat, terdapat elemen pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri

pokok negara hukum.15

Ide pembatasan kekuasaan itu dianggap mutlak harus ada,

karena sebelumnya semua fungsi negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan satu

orang, yaitu ditangan raja atau ratu yang memimpin negara secara turun menurun.

Bagaimana kekuasaan negara itu dikelola sepenuhnya tergantung kepada

kehendak pribadi sang raja atau ratu tersebut tanpa adanya kontrol yang jelas

kekuasaan itu tidak menindas atau meniadakan hak-hak dan kebebasan rakyat.

Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan itu tidak

berhenti hanya dengan munculnya gerakan pemisahan antara kekuasaan raja dan

14

Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta, PT Raja

Grafindo Persada, 2009), h.281.

15 Mengenai Rechstaat, lihat dan cermati beberpa tulisan para pakar dalam sri soemantri,

dkk, ketatanegaraan Indonesia dalam kehidupan politik Indonesia: 30 Tahun Kembali ke Undang-

Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harahap, 1993).

Page 35: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

25

kekuasaan pendeta serta pimpinan gereja. Upaya pembatasan dilakukan dengan

mengadakan pola-pola pembatasan didalam pengelolaan internal kekuasaan

negara itu sendiri, yaitu dengan mengadakan pembedaan dan pemisahan

kekuasaan negara kedalam beberapa fungsi yang berbeda-beda. Dalam hubungan

ini, yang dianggap yang paling berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan

pembedaan fungsi-fungsi kekuasaaan itu adalah Montesqiue yang bernama

lengkap yaitu Charles De Secondat, Baron De La brede et de Montesqiue. Dengan

pola pemikirannya yaitu Trias Politicanya16

yaitu cabang kekuasaan legislatif,

cabang kekuasaan eksekutif atau administrasif, dan cabang kekuasaan yudisial.

Menurut Montesqiue, dalam bukunya “L’Esprit des Lois” (1748), yang

mengikuti jalan pemikiran John Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga

cabang, yaitu:

a. Kekuasaan Legisltaif sebagai pembuat Undang-Undang.

b. Kekuasaan Eksekutif sebagai pelaksana undang-undang.

c. Dan kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan yang menghakimi.

Dari klasifikasi Montesqiue inlah dikenal pembagian kekuasaan modern

dalam tiga fungsi, yaitu:

a. Legislatif (The legislative funcition).

b. Eksekutif (the executive or administrative funcition).

c. Dan yudisial (the judicial function).17

16

Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, . . . . . . . h.282.

17

O. Hood Phillips, Paul Jackson, and Patricia Leopold, Constitutional and

Administrative Law, (London: Sweet & Maxwell, 2001) h. 10-11.

Page 36: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

26

Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana itu

tampaknnya mirip. Akan tetapi, dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka

berbeda. John locke mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Baron de

Montesqiue mengutamakan fungsi kekuasaan kehakiman (yudisial). Montesqiue

lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari segi Hak Asasi

Manusia setiap warga negara, sedangkan John Locke lebih melihat dari segi

hubungan ke dalam dan ke luar negara-negara lain. Bagi John Locke, penjelmaan

fungsi defencie baru timbul apabila fungsi diplomacie terbukti gagal. Oleh sebab

itu, yang dianggap penting adalah fungsi federatif, sedangkan fungsi yudisial bagi

John Locke cukup dimasukan ke dalam kategori fungsi eksekutif, yaitu terkait

dengan fungsi pelaksaan hukum.

Kalau kita bandingkan kedua teori tersebut di atas, maka terlihat bahwa

pada teori John Locke tidak ada kekuasaan yudikatif, sebab menurutnya

kekuasaan yudikatif telah tercakup dalam kekuasaan federatif, sedangkan pada

teori montesqiue tidak ada kekuasaan federatif, sebab menurutnya kekuasaan

federatif itu sudah mencakup dalam kekuasaan legislatif, karena hubungan luar

negeri menghasilkan perjanjian atau traktat, dan perjanjian atau traktat ini

merupakan ikatan atau kewajiban bagi yang membuatnya. Jadi merupakan hukum

yang mengikat kedua belah pihak, oleh karena itu kekuasaan federatif dipandang

tidak perlu berdiri terpisah sendiri. Sebaliknya montesqiue selaku mantan hakim

menganggap perlu kekuasaan kehakiman itu terpisah dari yang lain agar dapat

berdiri sendiri secara tegak tanpa adanya pemihakan dari siapapun yang

ditanganinya.

Page 37: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

27

1. Pembagian atau pemisahan Kekuasaan.

Sebenarnya, konsep awal mengenai hal ini dapat ditelusuri kembali dalam

tulisan John Locke, Second Treatis of Civil Government yang berpendapat bahwa

kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh

mereka yang menerapknya. Sarjana hukum Prancis Baron de Montesqiue, yang

menulis berdasarkan hasil penelitiannya terhadap sistem konstitusi Inggris,

pemikiran John Locek itu diteruskannya dengan mengembangkan Trias

Politicanya yang membagi kekuasan negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu

legislatif, eksekutif, dan yudikatif.18

pandangna inilah yang menajdi doktrin

separation of power di zaman sesudahnya.

Istilah “pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan

terjemahan dari perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica

atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesqiue, harus dibedakan

dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri

urusan masing-masing.

Yang dianggap pertama kali mencetuskan teori pemisahan kekuasaan ialah

John Locke. Dalam karya tulisnya berjudul Two Treatises of Civil Government

yang diterbitkan pada tahun 1690 ia memisahkan negara dalam tiga kekuasaan,

yaitu:

a. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang.

b. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan yang melaksanakan undang-undang.

18 Michael T. Molan, Constitutional Law: Machinery of Government, 4

th editioan,

(London: Old Bailey Press, 2003), h. 63-64.

Page 38: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

28

c. Kekuasaan federatif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan hubungan luar

negeri dan menyatakan perang dan damai.

Pemishaan kekuasaan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah

agar kekuasaan negara tidak terpusatkan di satu tangan, sebab kekuasaan yang

terpusatkan di satu tangan cenderung membawa akibat disalahgunakan.19

Pendapat Montesqiue tidaklah samadengan kenyataan di inggris,

disebabkan latar belakang negaranya pada waktu itu diperintahkan seacara

absolut. Oleh katrenanya kata Sir Ivor Jennings, ia tidak melihat sama sekali

praktek ketatanegaraan di inggris seperti yang dikemukakan oleh Montesqiue,

House of Lord pada saat ini nmasih merupakan bagian parlemen, dan raja selaku

eksekutif juga mempunyai peran penting dalam legislatif. Dalam karyanya yang

ditulis berjudul The Law and The Constitution, ia membedakan pemisahan

kekuasaan dalam arti material dan pemisahan kekuasaan dalam arti formal.

Pemisahan dalam arti material adalah pemishan kekuasaan yang dipertahankan

secara tegas dalam tugas-tugasnya (fungsi) kenegaraan yang secara

karakteristikmemperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian:

legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan

kekuasaan dalam arti formal adalah apabila pemisahan kekuasaan itu tidak

dipertahankan secara tegas.20

Ismail sunny berpandapat bahwa pemisahan

kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut dengan “pemisahan

19

Azhary, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya,

( Jakarta: UI Press, 1995), h.93.

20 S.I. Jennings, The Law and The Contitution, (London: University of London Press,

1959), h.267.

Page 39: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

29

kekuasaan”, sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan

“pembagian kekuasaan” 21

Menurut pendapat tersebut, Akhirnya Sunny berkesimpulan bahwa

pemisahan kekuasan dalam arti material tidak terdapat dan tidak pernah

dilaksanakan di Indonesia, yang ada dilaksanakan ialah pemisahan kekuasaan

dalam arti formal. Atau dengan perkataan lain, di Indonesia terdapat pembagian

kekuasaan dengan tidak menekankan pada pemisahannya, “bukan

pemisahannya.”22

Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan seperti yang dibayangkan

oleh Montesqiue itu dianggap oleh para ahli sebagai pandangan yang tidak

realistis dan jauh dari kenyataan. Pandangan-pandangannya itu dianggap oleh para

ahli sebagai kekeliruan Montsqiue dalam memahami sistem ketatanegaraan

inggris yang dijadikan objek telaah untuk mencapai kesimpulan mengeai trias

politicanya. Di dalam bukunya L’Esprit des Lois (1748). Tidak ada satu negara

pun yang sungguh-sunggung mencerminkan gambaran Montesqiue tentang

pemisahan kekuasaan. Dengan demikian, struktur dan sistem ketatanegaraan

Inggris yang dijadikan objek penelitian dalam menyelesaikan bukunya itu juga

tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan seperti yang dibayangkan.23

Banyak sekali pro kontra yang timbul di kalangan para sarjana mengenai

pandangan Montesqiue di lapangan ilmu politik dan hukum. Oleh karena itu,

dengan menyadari banyaknya kritik terhadap teori Trias Politica Montesqiue,

21

Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), h.4

22 Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara . . . . . . . h.44

23 Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, . . . . . . . h.286.

Page 40: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

30

para ahli hukum Indonesia sering sekali menarik kesimpulan seakan-akan istilah

pemsihan kekuasaan (Separation of power) yang dipakai oleh Montesqiue itu

sendiripun tidak dapat dipergunakan. Kesimpulan demikian terjadi, karena

penggunaan istilah pemisahan kekuasaan itu biasanya diindentikan dengan teori

Trias Politicanya Montesqiue, dan seolah-olah istilah pemisahan kekuasaan itu

sendiri konsep yang bersifat umum, seperti halnya konsep pembagian kekuasaan

juga dipakai oleh banyak sarjana dengan pengertian-pengertian yang berbeda-

beda satu dengan yang lain.24

Sebagai kandungan atas konsep pemisahan kekuasaan (Separation of

power) para ahli biasa menggunakan pula istilah pembagian kekuasaan sebagai

terjemahan perkataan Division of power atau Distribution of power. Ada pula

sarjana yang justru menggunakan istilah Division of power merupakan bentuk

speciesnya. Bahkan, misalnya Arthur Mass membedakan pengertian pembagian

kekuasaan (Divion of power) tersebut kedalam dua pengertian, yaitu: (i) Capital

Division of power; dan (ii) Territorial division of power, pengertian yang pertama

bersifat fungsional dan sedangkan kedua bersifat kewilayahan dan kedaerahan.

Untuk membatasi pengertian separation of power itu, dalam bukunya

Constitutiona Theory,25

G. Marshall membedakan ciri-ciri doktrin pemisah

kekuasaan (separation of power) itu dalam lima aspek:

1. Differentiation;

2. Legal incompatibility of office holding;

24

Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, . . . . . . . h.287.

25 G. Marshall, Constitutional Theory, (Clarendon: Oxford University Press, 1971),

chapter 5.

Page 41: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

31

3. Isolation, immunity, independence;

4. Check and balances;

5. Coordinate status and lack of accountability.

Pertama, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) itu bersifat

membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial. Legislator

membuat aturan, eksekutor melaksanakannya, sedangkan pengadilan menilai

konflik atau perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan aturan itu dan

menerapkan norma aturan itu untuk menyelesaikan konflik ata perselisihan.

Kedua, doktrin pemishan kekuasaan menghendaki orang yang menduduki jabatan

di lembaga legislatif tidak boleh merangkap jabatan di luar cabang legislatif.

Meskipun demikian, dalam praktik sistem pemerintahan parlemen, hal yang tidak

diterapkan secara konsisten. Para menteri kabinet di inggris justru dipersyaratkan

harus berasal dari mereka yang duduk sebagai anggota parlemen.

Ketiga, doktrin pemisahan kekuasaan juga menentukan bahwa masing-

masing organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap

kegiatan organ yang lain. Dengan demikian, independensi masing-masing cabang

kekuasaan dapat terjamin dengan sebaik-baiknya. Keempat, dalam doktrin

pemisahan kekuasaan itu, yang juga dianggap paling penting adalah adanya

prinsip check and balances, dimana setiap cabang kekuasaan mengendalikan dan

mengawasi kekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Dengan adanya

perimbangan yang lain mengendalikan tersebut, diharapkan tidak terjadi

penyalahgunaan kekuasaan di masing-masing organ yang bersifat independen.

Kemudian yang terakhir, kelima, adalah prinsip koordinasi dan kesederajatan,

Page 42: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

32

yaitu semua organ atau lembaga (tinggi) negara menjalankan fungsi legislatif,

eksekutif dan yudisial mempunyai kedudukan yang sederajat dan mempunyai

hubungan bersifat koordinatif, tidak bersifat subordinatif satu denga yang

lainnya.26

Dalam pengalaman ketatanegaraan Indonesia, istilah “Pemisahan

Kekuasaan” (Separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan

pendapat Montesqiue secara absolut konsep pemisahan kekuasaan tersebut

dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power)

yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide

pemisahan kekuasaan ala trias politica Montesqiue. Dalam siding BPUPKI pada

1945,27

Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut

doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan ala Montesqiue,

melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.

Namun demikian, menurut Jimly Assiddiqie setelah UUD 1945

mengalami emapt kali perubahan, dapat dikatakan bahwa sistem konstitusi kita

menganut doktrin pemisahan kekuasaan itu secara nyata. Beberap bukti mengenai

hal ini antara lain adalah:

1. Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan presiden ke DPR.

Bandingkan saja antara ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum

perubahan dengan pasal 5 ayat (1) dan pasal (20) ayat (1) UUD 1945

26

John Alder and Teter English. (Constitutional and Administratif Law. London:

Macmillan, 1989), h. 56.

27 Lihat risalah siding BPUPKI dalam Saefroedin Bahar, dkk. (Ed.)., Risalah SIdang

BPUPKI-PPKI, (Jakarta: Sekretariatan Negara Republik Indonesia, 1992), h. 137-290 (SIdang

BPUPKI) dan h.292-324 (Sidang PPKI).

Page 43: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

33

setelah perubahan. Kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang

sebelumnya berada di tangan presiden, sekarang beralih ke Dewan

Perwakilan Rakyat.

2. Diadopsikan sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai

produk legislatif ke Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya belum dikenal

adanya mekanisme semacam itu, karena pada pokoknya undang-undang

tidak dapat di ganggu gugat dimana hakim dianggap hanya menerapkan

undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.

3. Diakuinya dimana lembaga kedaulatan rakyat itu tidak hanya terbatas ke

pada MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau

tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat. Presiden,

anggota DPR, anggota DPD sama-sama dipilih secara langsung oleh

rakyat dan arena itu sama-sama merupakan pelaksanaan langsung prinsip

kedaulatan rakyat.

4. Dengan demikian, MPR juga tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi

negara, melainkan merupakan lembaga (tinggi) negara yang sama

derajatnya dengan lembaga-lembaga (tinggi) negara lainnya, seperti

Presiden, DPR, DPD, MK, dan MA.

5. Hubungan-hubungan antar lembaga (tinggi) negara itu bersifat saling

mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsi check and balances.

Dari kelima prinsip tersebut diatas, dapat diketahui bahwa UUD 1945

tidak lagi dapat dikatakan dengan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang

bersifat vertical, tetapi juga tidak menganut paham trias politica Montesqiue yang

Page 44: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

34

memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial secara

mutlak dan tanpa diiringi dengan hubungan saling mengendalikan satu dengan

yang lainnya. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945

pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip

check and balances kalaupun istilah pemisahan kekuasaan (separation of power)

itu hendak dihindari, sebenarnya, kita juga dapat menggunakan istilah pembagian

kekuasaan (division of power) seperti yang digunakan oleh Arthur Mass, yaitu

Capital division of power untuk pengertian yang bersifat horizontal, dan teretorial

division of power untuk pengertian yang bersifat vertikal.

Akan tetapi, perlu dicatat bahwa mengenai kekuasaan itu dipergunakan

oleh pasal 18 ayat (1) uud 1945 untuk pengertian pembagian dalam konteks

pengertian yang bersifat vertikal atau teretorial division of power. Pasal 18 ayat

(1) tersebut berbunyi:

“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi,

dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan

undang-undang”

Artinya, dalam wadah NKRI terdapat provinsi-provinsi yang merupakan

daerah-daerah bagiannya, dan tiap-tiap daerah provinsi terdapat pula kabupaten-

kabupaten dan kota yang merupakan daerah-daerah bagian dan provinsi-provinsi

tersebut. Untuk mengatasi hal itu, maka ketika rancangan perubahan kedua UUD

1945 dibahas pada Tahun 2000, ketentuan pasal 18 ayat (1) UUD 1945 tersebut

tidak sengaja menggunakan istilah “… dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan

Page 45: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

35

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota …” dengan penggunaan istilah

ini, ingin ditegaskan bahwa hubungan antara pusat dan daerah, dan anatar provinsi

dan kabupaten/kota kembali bersifat hierarkis vertikal. Dengan demikian, UUD

1945 secara sadar menggunakan istilah “pembagaian” itu dalam konteks

pengertiannya yang bersifat vertikal sehingga konseppembagian kekuasaan

(division of power) haruslah diartikan sebagai pembagian dalam konteks

pengertian yang bersifat vertikal pula.

Oleh karena itu, untuk pengertian dalam konsep pengertian pembagian

kekuasaan dalam konteks pengertian yang bersifat horizontal atau seperti yang

digunakan oleh Artur Mass dengan Capital division of power, haruslah diartika

sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power), meskipun bukan dalam

pengertian trias polita ala Montesqiue. Dengan perkataan lain, saya menganjurkan

agar tidak perlu ragu-ragu menggunakan istilah pemisahan kekuasaan berdasarkan

prinsip check and balances untuk menyebut sistem yang dianut oleh UUD 1945

pasca perubahan keempat, karena menurut saya pengertian yang bersifat

horizontal seperti yang digunakan oleh Artur Mass dengan Capital division of

power sama halnya dengan pemisahan kekuasaan (separation of power), asalkan

tidak dipahami dalam konteks pengertian trias politica ala Montesqiue.28

C. Tinjaun Umum mengenai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Lembaga legislatif sangat penting karena merupakan mesin yang

mempunyai arti lebih-lebih dalam hubungannya dengan asas demokrasi. Lembaga

28

Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, . . . . . . . h.288-294.

Page 46: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

36

ini pada prinsipnya berwenang menetapkan hukum tertulis yang akan

dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tersebut.

Membicarakan tentang kekuasaan legislatif ini menurut C.F. Strong maka

ada dua pola negara:

a. Hakekatnya sistem pemilihan dalam mana anggota-anggota lower house

duduk di dalamnya.

b. Hakekat pada the second chamber atau upper house.29

Kedudukan legislatif yang dimaksud yaitu DPR (Dewan Perwakilan

Rakyat). Kedudukan DPR RI di masa orde baru kuat karena lembaga tersebut

dipilih rakyat lewat pemilu legislatif. 30

Perubahan pertama terhadap UUD 1945

terjadi pada 19 oktober 1999, dalam sidang umum MPR yang berlangsung pada

tanggal 14-21 oktober 1999. Dalam perubahan ini, terjadi pergeseran kekuasaan

presiden dalam membentuk undang-undang, yang diatur dalam pasal 5, berubah

menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang, dan Dewan

Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20).

Perubahan pasal ini memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang

semula berada di tangan presiden, beralih ke tangan DPR. Rumusan pasal 20

(baru) berbunyi sebagai berikut.31

a. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

29

Abu daud busroh, Intisari Hukum Tatanegara Perbandingan Konstitusi Sembilan

Negara, (Jakarta: Bina Askara, 1987), h.15.

30 Abu Tamrin, dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Jakarta: LEMBAGA

PENELITIAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA, 2010), h. 113

31 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, . . . . . . . . . . .h.167

Page 47: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

37

b. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan

Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

c. Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,

rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan lagi dalam persidangan

Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

d. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui

bersama untuk menjadi undang-undang.

e. Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut

tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan

undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah

menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Sebelum perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia

mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi. Di

bawahnya mendapat lima lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga

tinggi termasuk DPR. Dalam kedudukannya sebagai lembaga negara tertinggi,

MPR pemegang kekuasaan negara tertinggi (die gezamte staatgewald liege

alleinbei der majelis ) karena lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat

Indonesia (vertretungsorgaan des willens des staatsvolkes). Sementara itu, DPR

yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, dinyatakan DPR adalah kuat dan

senantiasa dapat mengawasi tindakan-tindakan presiden. Bahkan, jika DPR

menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah

ditetapkan oleh UUD 1945 atau MPR, maka DPR dapat mengundagng MPR

Page 48: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

38

untuk menyelenggarakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban

presiden.32

Secara umum, dipahami oleh masyarakat bahwa fungsi DPR meliputu

fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi budget. Diantara tiga fungsi itu,

biasanya yang paling menarik perhatian politisi untuk diperbincangkan adalah

tugas sebagai pembuatan undang-undang. Namun, jika ditelaah secara kritis, tugas

pokok yang pertama yaitu sebagai pengambil inisiatif pembuatan undang-undang,

dapat dikatakan telah mengalami kemunduran serius dalam perkembangan akhir-

akhir ini.

Biasanya dalam berbagai konstitusi negara-negara berdaulat diadakan

perumusan mengenai tugas pembuatan undang-undang (legislasi) dan tugas

pelaksanaan undang-undang itu (eksekutif) ke dalam dua kelompok pelembagaan

yang menjalankan peranan yang berbeda. Meskipun demikian sesungguhnya tidak

satupun teks konstitusi maupun praktik dimanapun yang memisahkan cabang-

cabang kekuasaan legislative dan eksekutif itu secara kaku. Baik dalam rumusan

formal apalagi dalam kenyataan praktik, fungsi-fungsi legisatif dan eksekutif

selalu bersifat tumpang tindih.33

Setelah terjadi perubahan, beban tugas dan tanggung jawab DPR menjadi

bertambah berat. Akan tetapi, itulah yang seharusnya dilakukan karena salah satu

32

Titik TriwulanTutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945……..h. 191.

33

Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah

Telaah Perbandingan Konstitus Berbagai Negara, (Jakarta: UI Press, 1996), h.39.

Page 49: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

39

fungsi DPR adalah menjalankan fungsi legislasi, disangping fungsi pengawasan

dan budget.

Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari sebelumnya di

tangan presiden dialihkan kepada DPR merupakan langkah konstitusional untuk

meletakan secara tepat fungsi-fungsi lembaa negara sesuai bidang tugasnya

masing-masing yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang

(kekuasaan legislatif) dan presiden sebagai pelaksana undang-undang (kekuasaan

eksekutif).

D. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi

1. Sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi

Penanaman paham kosntitusi adalah salah satu cara untuk merealisasikan

tujuan nasional dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diuraikan

sebelumnya. Paham konstitusi disebut dengan konstitualisme (Constitualism)

yakni yang berarti faham atau aliran yang menghendaki pembatasan kekuasaan

(limited of power). Dalam kaitannya dengan negara dan pemerintah,

Konstitualisme adalah paham atau aliran yang menghendaki pembatasan

kekuasaan negara (limitation of state power) atau pembatasan kekuasaan

pemerintah (limitation of power of government atau limited government).34

Pembatasan kekuasaan tersebutlah yang dibagi menjadi tiga bagian utama

dalam UUD 1945, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan

yudikatif. Adanya pembatasan kekuasaan negara atau organ-organ negara dengan

cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan

34

Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi “makna dan

aktualitas”, (Jakrata: PT. RajaGrafindo Persada), 2014, h.146.

Page 50: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

40

kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap

kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-

wenang, seperti yang dikatakan oleh Lord Action” Power tend to corrupt, and

absolute power corrupt absolutely”35

Dalam perspektif historis dan yuridis, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan

legislatif mengalami perubahan yang signifikan pasca amandemen UUD 1945,

dimana perubahan sistem ketatanegaraan dari parlementer ke presidensil yang

cukup mempengaruhi kewenangan dua lembaga kekuasaan tersebut. Sedangkan

kekuasaan kehakiman, pasca amandemen UUD 1945 ketiganya telah mengalami

perubahan dari segi substansi dan kelembagaan. Yakni, setelah disahkannya

perubahan ketiga UUD 1945 maka dalam rangka pembentukan MK, MPR

menetapkan MA menjalankan fungsi sementara sebagaimana diatur dalam pasal

III aturan peralihan UUD hasil amandemen keempat. DPR dan pemerintah

kemudian membuat rancangan undang-undang mengenai Mahkamah Konstitusi.

Setelah pembahasan yang mendalam, DPR dan pemerintah menyetujui bersama

UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13

Agustus 2003 dan disahkannya oleh presiden pada hari itu. (Lembaran Negara

Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).36

Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui

Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 mengangkat 9(sembilan) hakim

35

Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi suatu studi Adjudikasi Konstitusional sebagai

mekanisme Penyelesaian sengketa Normatif, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), h. 5.

36 Profil Sejarah Berdurunya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.

Mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh pada 1 September

2015 pukul 12.45 wib.

Page 51: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

41

konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah

jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus 2003.

Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA

ke MK, pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK

sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Undang-

Undang Dasar 1945. Mulai beroperasinya kegiatan MK juga menandai

berakhirnya kewenangan MA dalam melaksanakan kewenangan MK sebagaimana

diamanatkan oleh pasal 3 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.37

Berdasarkan landasan kosntitusional pula, sejarah terbentuknya

Mahkamah Konstitusi diawal dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court)

dalam amandemen Konstitusi yang dilakukan oleh MPR pada Tahun 2001

sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pasal 24 ayat (2), pasal 24C dan pasal

7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ketiga yang disahkan pada 9

November 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan

pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang mucul pada abad ke-20.38

Ditegaskan dalam pasal 24 ayat (1) UUD NKRI 1945 yang menyatakan

bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.39

Dimana

kekuasaan kehakiman yang dimaksud adalah kekuasaan kehakiman yang tidak

37

Sekretariatan Jendral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

Jakarta, 2011.

38 Profil Sejarah Berdurunya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.

Mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh pada 1 September

2015 pukul 12

39 Kedudukan Mahkamah Konstitusi,c.n, http://www.mahkamah konstitusi.go.id

/index.php?page.website.KedudukanMK diunduh pada 1 september 2015 pukul 19.57.

Page 52: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

42

hanya terdiri dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Melainkan terdiri

dari peradilan-peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung.

Terbentuknya MK juga tidak lepas dari perspektif historis, gagasan untuk

mendapatkan lembaga yang dapat menguji undang-undang terhadap UUD 1945

nyatanya telah ada sejak Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

Kemerdekaan, tanggal 15 juni 1945, yakni ketika Yamin menyampaikan usulan

perihal perbandingan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Dibentuknya Mahkamah Agung pada saat itu, menurut Yamin agar

melakukan kekuasaan kehakiman dan menbandingkan undang-undang dengan

Undang-undang Dasar. Dan pendapat Balai Agung disampaikan kepada Presiden,

yang mengabarkan berita itu kepada Dewan Perwakilan, dan melakukan aturan

pembatalan.40

Hadirnya Mahkamah Konstitusi, sebagai tanda bahwa telah lahir lembaga

yang mampu menguji substansi undang-undang, yang sebelumnya tidak

diakomodir pada masa orde baru. Semua produk undang-undang dapat ditinjau

substansinya maupun prosedur pembuatannya. Sehingga hak-hak warga negara

dan demokrasi dapat terlindungi dari kemingkinan potensi negatif pembentukan

undang-undang yang ingin mereduksi bahkan menggerogoti prinsip-prinsip

negara hukum, hak asasi manusia, (Warga Negara) maupun substansi demokras.41

40

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Buku VI tentang

Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah onstitusi RI, 2010, h.17-

18

41 Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan gagasan

Penyempurnaan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), h.1-2

Page 53: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

43

Khusus untuk memelihara kebersesuaian dan ketaatan undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar 1945, UUD 1945 memberi kewenangan dan

tugas itu kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Kosntitusi adalah sebuah

lembaga dalam rumpun kekuasaan kehakiman dengan kewenangan khusus antara

lain untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD bahkan membatalkan

(sebagian) UU yang pembentukannya telah disepakati bersama oleh DPR dan

Presiden. Sebagai lembaga dalam rumpun kekuasaan Yudikatif itu proses kerja

Mahkamah Konstitusi adalah proses sebuah lembaga peradilan.42

Dengan memiliki beberapa perpektif diatas, pada akhirnya MK merupakan

lembaga negara baru buah reformasi ketatanegaraan Republik Indonesia melalui

perubahan (amandemen) UUD NRI 1945 diberikan kewenangan mengadili pada

tingka pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberika oleh Undang-undang Dasar;

3. Memutus pembubaran partai politik;

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan

5. Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran

Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Jika diperhatikan secara seksama, seluruh kewenangan yang diberikan

kepada MK oleh UUD 1945 tersebut berkaitan dengan upaya untuk mencapai

kedua tujuan kembar yakni sebagai upaya untuk mewujudkan Indonesai sebagai

42

Jakop Tobing, Membangun Jalan Demokrasi (kumpulan pemikiran Jacob Tobing

tentang Perubahan UUD 1945), (Jakarta: Konstitusi Press, 2008), h.251.

Page 54: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

44

negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokrasi berdasarkan

hukum.43

Agaknya dua istilah tersebut tidaklah berlebihan jika disandingkan satu

sama lain, bahwa negara hukum dan demokrasi sangatlah berkesinambungan,

karena sulit dibayangkan sebuah negara hukum tanpa demokrasi atau demokrasi

tanpa hukum itu sendiri.

Mahkamah Konstitusi sebagai garda konstitusi adalah bentuk realisasi dari

dua hal tersebut yakni dijalankan demokrasi karena mengedepankan hak-hak

konstitusional warga negara melalui kewenangan yang melekat yakni pengujian

undang-undang terhadap UUD 1945 dan menjunjung tinggi hukum karena

dilaksanakannya kewenangannya berdasarkan amanah UUD 1945 sebagai negara

hukum tertinggi di Indonesia. Hal tersebutlah yang senada dengan apa yang

ditekankan oleh John Norton Moore:

Constitutuons should embody the fundamental compact with the people –

such constitutions should serve as the highest from of law to which all other laws

and governmental actions must conform. As such, constitutions should embody the

fundamental precepts of a democratic society rather than serving to incorporate

ever – changing laws more appropriartely dealt with by statue. Similarly,

governmental structures and actions should seriously conform with constitutional

norms, and constitutions should not be mere ceremonial or aspirational

documents.

43

Mahkamah Konstitusi, Judical Review, dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I Dewa

Gede Palguna, Sekretariat Jendral dan Kepaninteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, h.9

Page 55: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

45

Atas dasar hal tersebut, dapat dikatakan bahwa “negara hukum”

mempengaruhi adalnya kelaziman sebuah konstitusi untuk memuat hak-hak dasar

atau hak asasi manusia (basic right) setiap warga negara yang kemudian

dinyatakan sebagai hak konstitusional. Fungsi utama Mahkamah Konstitusi inlah

yang menjamin bahwa konstitusi benar-benar ditaati dan dilaksanakan dalam

praktik.44

2. Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi.

Kedudukan Mahkaamah Konstitusi berdasarkan Undang-undang Nomor 8

Tahun 2011 Tentang Mahkamah Kosntitusi, yaitu, Mahkamah Konstitusi

merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka dan

mempunyai peranan penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip negara

hukum sesuai kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonseisia Tahun 1945. Mahkamah

Konstitusi Berkedudukan di Ibokota Negara Republik Indonesia.

Susunan Mahkamaha Konstitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu, Mahkamah Konstitusi

mempunyai 9 (Sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan

keputusan presiden. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri dari seorang Ketua

merangkap sebagai anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7

(Tujuh) orang anggota hakim konstitusi. Ketua dipilih dari dan oleh Hakim

Konstitusi untuk masa jabatan selama 2 tahun 6 bulan terhitung sejak tanggal

pengangkatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi terpilih, rapat

44

Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Walfare State Kumpulan Pemikiran I

dewa Gede Palguna, h.75-77

Page 56: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

46

pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim

konstitusi yang tertua usiannya.

3. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi

Kewenangan Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan

dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Memutus sengeta kewenangan lembaga negaa yang kewenangannya

diberikan oleh UUD 1945

3. Memutuskan pembubaran partai politik, dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.45

Kewajiabn Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas

pendapat DPR bahwa presiden dan/wakil presiden diduga:

1. Telah melanggar hukum berupa

a) Penghianatan terhadap negara

b) Korupsi

c) Penyuapan

d) Tindak pidana berat lainnya

2. Atau perbuatan tercela, dan/atau

3. Tidak lagi memenugi syarat sebagai presiden dan/wakil presiden

sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun

1945.

45

Sekretariatan Jendral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

Jakarta, 2011.

Page 57: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

47

BAB III

PRO-KONTRA TENTANG IZIN BAGI ANGGOTA DPR TERDUGA

PELAKU TINDAK PIDANA

A. Prinsip Pertanggungjawaban Pidanaa

a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si

pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya,

masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena

adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana

tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana

dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah

orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara

doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang

yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan

tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga

orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan

suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh

undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta

pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari

sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu

bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.

Page 58: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

48

a. Definisi Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada

pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang

terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang

terjadi atau tidak. Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992)

dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang

objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.1 Secara

subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang

(pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat

untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka

harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.

Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban

pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan

hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-

syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.2Konsep

Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34 memberikan

definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut:

“Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang

ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada

1 Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana

Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, h. 11

2 Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty,

1987. h. 75

Page 59: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

49

seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena

perbuatannya itu.”

Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri

sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini

berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus

dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid)

yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang

berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi

persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.3

Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut

Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan

toerekenbaar.4 Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan

toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban

kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee

keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi

perbuatan yang toerekeningsvatbaar.

Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban

pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan

pemilihan dari berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan

penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari

3 Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan).

4 DR. Andi Hamzah, SH. Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, h.131

Page 60: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

50

berbagai pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan

perkembangan masyarakat

Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita

menyatakan sebagai berikut :

“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban”

dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum

pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy

of Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I …. Use the simple word

“liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally

subjected to the exaction.5 Bertitik tolak pada rumusan tentang

“pertanggungjawaban” atau liability tersebut diatas,

Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap

kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya

keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran

“ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa”

kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebu tidak lagi

dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli” melainkan dari sudut kerugian

atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.

b. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif

Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan

dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin

dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak

5Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama

Jakarta: Yayasan LBH, 1989, h. 79

Page 61: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

51

pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana

unsur “ tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi.

Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang

sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam

lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur

pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari

kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan

dan kealpaan).

1. Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP

tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban

pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan

berupa kesengajaan atau kealpaan.

Namunsayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut o

leh undang-undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan

tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP.

Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal-

pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah

pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau

benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian

terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.

2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP

Page 62: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

52

Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem

pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, Seperti contoh dalam perundang-

undangan dibawah ini :

a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi

b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

d. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan

KUHP dan KUHAP yang bersifat umum,terutama mengenai subjek delik dan

pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara di pengadilan dari masing-

masing undang-undang tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif dalam

menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan

sosial ekonomi Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan. Baik

negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban

pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia,

sebagaimana civil law system lainnya undang-undang justru merumuskan

keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak

dipertanggungjawabkan.6 Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif

dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya

merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.

Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum

pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana

6 Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar Grafika, 1983, hal 260

Page 63: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

53

berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana

merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap

seorang pembuat tindak pidana.

Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif

hukum pidana. Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini

mungkin pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya.

Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak

awal dipahami oleh pembuat.7

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang

itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya

pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu

mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap

pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.

Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan

dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah

melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu

tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam

melakukan tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan mempunyai

kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.

7 Dr. Choerul Huda, SH. MH. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada

Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta:Kencana, 2006 hal. 62-63.

Page 64: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

54

Lalu bagaimana mekanisme yang harus dilakukan dalam menghadapi

anggota DPR ketika ada anggota DPR yang terkena kasus pidana yang

memerlukan klarifikasi? Pasca putusan MK No 76/PUU-XII/2014 MK mengubah

frasa yang tertulis “Persetujuan Tertulis dari MKD menjadi Persetujuan Tertulis

dari Presiden” menurut penulis frasa tersebut bertentangan UUD 1945.

B. Prinsip Equality Before The Law

Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum.

Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu

suatu negara hukum (rechstsaat) dibuktikan dari Ketentuan dalam pembukaan,

Batang tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945. termasuk dalam Pasal

27 ayat ( 1 ) yang menyatakan bahwa : Segala warga Negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.8 Ini merupakan pengakuan dan

jaminan hak kesamaan semua warganegara dalam hukum dan pemerintahan.

Teori dan konsep equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27

ayat ( 1 ) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar

perlindungan bagi warga Negara agar diperlakukan sama dihadapan hukum dan

pemerintahan. Hal ini dimaksud, bahwa semua orang diperlakukan sama di depan

hukum. Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa semua orang

sama di depan hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law

adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah

satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara

8Yasir Arafat. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan perubahannya,

Permata Press. hal 26.

Page 65: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

55

berkembang seperti Indonesia. Kalau dapat disebutkan asas equality before the

law ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara hukum (rechtstaat)

sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum

(gelijkheid van ieder voor de wet).9 Dengan demikian, elemen yang melekat

mengandung makna perlindungan sama di depan hukum (equal justice under the

law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum. Perundang-undangan

Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek

(KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada

30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini

tidak sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum yang memberi

ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum kolonial.

Asas persamaan dihadapan hukum merupakan asas dimana terdapatnya

suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap individu tanpa ada suatu pengecualian.

Asas persamaan dihadapan hukum itu bisa dijadikan sebagai standar untuk

mengafirmasi kelompok-kelompok marjinal atau kelompok minoritas. Namun

disisi lain, karena ketimpangan sumberdaya (kekuasaan, modal dan informasi)

asas tersebut sering didominasi oleh penguasa dan pemodal sebagai tameng untuk

melindungi aset dan kekuasaannya.

Asas equality before the law bergerak dalam payung hukum yang berlaku

umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh di

antara dimensi sosial lain, misalnya terhadap ekonomi dan sosial. Persamaan

“hanya” di hadapan hukum seakan memberikan sinyal di dalamnya, bahwa secara

9 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 20.

Page 66: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

56

sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan

perlakuan “persamaan” antara di dalam wilayah hukum, wilayah sosial dan

wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas equality before the law tergerus di

tengah dinamika sosial dan ekonomi.

Hukum acara pidana tidak mengenal adanya peraturan yang memberikan

perlakuan khusus kepada terdakwa sehingga pengadilan mengadili dengan tidak

membeda-bedakan orang sebagaimana ditentukan Pasal 5 ayat (1) Undang-

undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 jo.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan penjelasan umum angka 3 huruf (a).

Salah satu ciri penting dalam konsep Equality before the Law atau persamaan

dalam hukum selain dari supremasi hukum (Supremacy of Law) dan hak asasi

manusia (Human Rights). Namun disisi lain MK memutuskan Perkara No

76/PUU-XII/2014 yang berakibat tentang adanya pengkhususan untuk penyidakan

bagi anggota dewan yang terduga tindak pidana. Dengan alasan lain putusan

tersebut MK mengakui pentingnya menjaga wibawa dan kehormatan seorang

pejabat. Namun pengkhususan ini tidak boleh samapai pada terhambatnya proses

penegakan hukum. Terkait pengkhususan tersebut menurut Bivitri SUsanti ada

dua pendekatan yang relevan digunakan yaitu, Forum Prevelgiatum dan

Parlementery Previlages.10

C. Perdebatan Tentang Izin Bagi Anggota DPR Terduga Pelaku Tindak Pidana.

Perdebatan soal izin bagi anggota dewan atau DPR yang terduga

melakukan tindak pindana sudah mulai terdengar pada Putusan Mahkamah

10

Bivitri Susanti, Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Konteks Negara Hukum,

(Jakarta: Makalah, 9 Oktober 2014)

Page 67: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

57

Konstitusi No. 73/PUU-IX/2011 yang dimana ada menurut mahkamah “Bahwa

berdasarkan putusan MK No.73/PUU-IX/2011 dengan adanya persyaratan

persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan,

akan memgambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung

mengintervensi sistem penegakan keadilan. Oleh karena itu kekuasaan kehakiman

yang meliputi keseluruhan sistem peradilan pidana, dalam tugas penegakan

hukumnya, aparat penegak hukum berdasarkan hukum harus bebas dari campur

tangan pihak kekuasaan negara, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau

rekomendasi maupun intervensi yang datang dari pihak manapun”11

Dalam putusan tersebut sangatlah jelas sekali bahwa izin bagi anggota

DPR sangat tidak relevan pada saat sekarang. Karena menurtnya akan banyak

pertentangan oleh negara kita baik menurut Konsep negara hukum maupun dari

Undang-Undang Dasar 1945. Dari pada itu pada tahun 2014 seorang Advokat

yang bernama Supriyadi Widodo Eddyono memohonkan pengujian review

kembali Undang-undang No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPD.

Berselang hampir 1 Tahun lamanya MK mengeluarkan putusan berupa Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 yang memutuskan Bahwa

Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus terlebih dahulu harus

mendapatkan izin dari presiden, alasannya adalah karena menurut Mahkamah

memang diperlukan adanya perlakuan yang menjaga harkat dan martabat pejabat

negara dan lembaga negara agar tidak diperlukan secara sembrono dan sewenang-

wenan. Namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-

11

Putusan MK No.73/PUU-IX/2011

Page 68: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

58

prinsip negara hukum dan asas peradilan pidana apalagi terhambatnya proses

hukum.12

Disinilah adanya perdebatan dkalangan aktivis dan akademisi yag

menilai bahwa putusan Mahkamah itu bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Tahun 1945. Penulis akan menjelaskan mengenai Pro-Kontro tetang

putusan MK tersebut.

a. Pro Terhadap Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014

1. Wahiduddin Adams (hakim MK) (di saat berlangsungnya persidangan dan

setelah persidangan)

Argumentasi beliau yaitu “ini bukanlah sesuatu yang baru. Pasalnya

pemberian persetujuan presiden ke pejabat yang sedang mengalami proses hukum

sebenernya sudah diatur dalam sejumlah UU, antara lain UU MK, UU BPK, dan

UU MA. Karena itu, Wahiduddin Adams mengatakan,MK menilai pemberian izin

pemanggilan anggota dewan dari MKD adalah bagian dari alat kelengkapan

dewan dan tidak lagi berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana.

Mahkamah juga berpendapat mahkamah juga berpendapat, pemeberian izin dari

MKD akan sarat kepentingan. Sebab, kata Wahiduddin Adams, anggota MKD

merupakan bagian dari anggota dewan itu sendiri.”

Selain itu. Kata wahiduddin adams, putusan ini sebagai bentuk fungsi dan

upaya membenarkan mekanisme check and balances antara legislatif dan

eksekutif. di sini juga kita tidak membicarakan mengenai persetujuan tertulis dari

presiden terhadap anggota dewan terduda melakukan tindak pidana melaikan juga

bangi anggota DPRD harus mendapatkan izin Mendagri.

12

Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014

Page 69: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

59

2. Arief Hidayat.

Saat ini anggota DPR terlalu mudah dipanggil menjadi saksi dalam

persidangan-persidangan kasus korupsi. Hal ini menurutnya menimbulkan citra

buruk di mata masyarakat, dan mengurangi kepercayaan publik terhadap

parlemen. DPR itu di manapun adalah orang yang terhormat. Daripada itu

mestinya mestinya memang mereka adalah orang yang terhormat.13

b. Kontra Terhadap Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014

1. Jimly Asshiddiqie (mantan ketua MK)

Salah satu prinsip pokok negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dan

tidak memihak (independent and impartial judiciary, yaitu menjalankan tugas

judicialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik oleh

kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk

menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke

dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari

lingkungan kekuasaan eksekutif maupun dari lingkungan kekuasaan legislatif

ataupun dari kalangan lingkungan masyarakat dan media massa. Dalam

menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun kecuali

hanya kebenaran keadilan. .14

2. Supriyadi Widodo Eddyono (Advokat)

Menurutnya bahwa putusan MK itu bertentangngan dengan UUD 1945

13

Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014, h. 26 14

Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014, h.10

Page 70: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

60

a. Pasal tersebut bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan

hukum.

Pasal tersebut bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) “ segala warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Bahwa beliau menilai kepada rujukan putusan MK No. 73/PUU-

IX/2011 yang dimana menuru Mahkamah “ pejabat negara yang menjalankan

tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya memang

berbeda dari dari warga negara lain yang bukan pejabat negara, namun pejabat

negarajuga merupakan warga negara”15

b. Pasal tersebut bertentangan dengan prinsip Non Diskriminasi.

Pasal tersebut bertentangan dengan pasal 28I ayat (2) “setiap orang berhak

bebas dari perlakuan yang bersifat diskrminatif atas dasar apa pun dan berhak

mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”

Pembedaan kemudian penting dikemukakan sebab seandainya suatu

undang-undang mengingkari hak dari semua orang maka pengingkaran demikian

lebih tepat untuk dinilai dalam rangka due process, namun, apabila suatu undang-

undang ternyata meniadakan suatu hak bagi beberapa orang tetapimemberikan hak

demikian kepada orang-orang lainnya maka keadaan tersebu dianggapsebagai

pelanggaran terhadap prinsip equal protection.16

3. Bivitri Susanti (saksi ahli)

15

Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014, h.15.

16 Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014, h. 17

Page 71: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

61

Dalam pandangan ahli bahwa wibawa dan kehormatan sudah tidak layak

lagi dipergunakan dalam koteks negara hukum yang kontemporer, pengkhususan

untuk kelancaran pelaksaan tugas tersebut tetap memerlukan batasan agar tetap

berada dalam koridor negara hukum. dalam hal ini, ahli bersepakat dengan

pendapat mahkamah dalam putusan tersebut untuk membatasi pengkhususan

dengan peradilan pidana. Pengkhususan tersebut tidak boleh sampai berakibat

pada terhambatnya proses hukum. Ada dua prinsip negara hukum yang relevan

dalam kasus ini, pertama, adalah prinsip persamaan dihadapan hukum dan yang

kedua adalah prinsip independensi kekuasaan kehakiman. Jangan sampai prinsip

negara hukum ini tercorengkan oleh putusan Mahkamah nanti.

Pemberian izin tenyata bertentangan dengan prinsip kemandirian,

kekuasaan kehakiman, dan berakibat kepada terhambatnya proses hukum,

sehingga tidak tepat untuk digunakan sebagai bentuk kekhususkan yang

dimaksud.17

4. Komite Hak Asasi Manusia

Hak atas kesetaraan dihadapan pengadilan yang adil adalah sebuah elemen

yang sangat penting bagi perlindungan hak asasi manusia dan merupakan

pengangkat procedural untuk menjamin terjaminya rule of law. Dalam undang-

undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 3 ayat (2)

menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

17

Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014, h. 19-20.

Page 72: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

62

pengakuan hukum yang adil, serta mendapatkan kepastian hukum dan perlakuan

yang sama di hadapan hukum”18

5. Ruhut Sitompul (Anggota Komisi III DPR)

Menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan penyidik

meminta izin terlebih dulu kepada presiden sebelum memeriksa anggota MPR,

DPR, dan DPD. Menurut dia, putusan ini akan menjadi preseden buruk bagi

proses penegakan hukum maupun bagi parlemen. “(Putusan) itu akan membuat

anggota DPR makin sombong,”19

Ruhut mengatakan, MK seharusnya membuat

putusan yang menjunjung asas kesetaraan hukum. Namun, menurut dia, putusan

MK kali ini sangat mengistimewakan anggota Dewan sebagai pejabat negara.

“Ini tidak menjunjung asas equality before the law,” kata politisi Partai

Demokrat ini.

Ia mengaku tak yakin izin dari presiden bisa mudah diterbitkan saat

kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi, atau kejaksaan hendak memeriksa

anggota DPR yang terjerat masalah hukum. Ruhut khawatir, ketentuan baru ini

akan dimanfaatkan oleh orang-orang dekat presiden untuk membantu anggota

DPR lolos dari permasalahan hukum yang menjeratnya.

“Masalahnya bukan pada presiden, tapi para pembantunya ini, apalagi

kalau pembantunya dari partai, ya sudahlah,”

18 Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014, h. 29.

19 Jurnal Hukum yang ditulis oleh Amalia pada Tanggal 25 september 2015 pada pukul

10:36 WIB

Page 73: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

63

MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon atas uji materi Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Dalam amar putusan, hakim konstitusi Arief Hidayat memaparkan bahwa frasa

“persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat

(1) UU MD3 diubah menjadi “persetujuan tertulis dari presiden” sehingga

dimaknai pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR, yang

diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas, harus

mendapat persetujuan presiden.

Pemohon perkara Nomor 76/PUU-XI/2014 adalah Supriyadi Widodo

Eddyono sebagai pemohon I dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan

Peradilan Pidana sebagai pemohon II. Pada kesempatan yang sama, permohonan

dengan nomor perkara 83/PUU-XII/2014 juga mengajukan permohonan yang

sama, yaitu terkait aturan penyidikan anggota DPR pada Pasal 245 UU MD3.

Pemohon permohonan tersebut adalah Febi Yonesta dan Rizal.

“Frasa persetujuan tertulis pada Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2014 tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden,”

kata Arief saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta.

Pasal 245 UU MD3 mengatur tentang perlindungan terhadap anggota DPR

berupa pemberian izin oleh Mahkamah Kehormatan Dewan DPR selama 30 hari

apabila penegak hukum hendak memanggil anggota DPR untuk dimintai

keterangan terkait suatu tindak pidana.Putusan MK ini tidak hanya berlaku bagi

Page 74: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

64

anggota DPR, tetapi juga pada anggota MPR dan DPD. Adapun untuk anggota

DPRD provinsi, izin pemanggilan harus mendapat persetujuan menteri dalam

negeri, sementara pemanggilan anggot DPRD kabupaten/kota harus mendapat izin

gubernur.

Page 75: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

65

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 76/PUU-XII/2014

A. Duduk Perkara

Pada tanggal 5 Agustus 2014 pemohon yang bernama Supriyadi Widodo

Eddyono yang berprofesi sebagai advokat dan beralamat di Jalan Teratai XV Q-

R, RT/RW 003/02, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang disebut

sebagai pemohon I dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana

yang disebut sebagai Pemohon II dalam hal ini memberikan surat kuasanya pada

tanggal 4 Agustus 2014 kepada Ifdhal Kasim S.H., Erasmus A. T. Napitulu S.H

Wahyudi Djafar, S.H., Ruly Novian, S.H., Robert Sidauruk S.H., Adi Candro

Wibowo S.H., dan Alfeus Jebabun S.H., Advokat dan Konsultan Hukum pada

kantor Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang beralamat di jalan

Cempaka Nomor 4 Pasar Minggu, Jakarta Selatan, bertindak untuk dan atas nama

pemberi kuasa. mengajukan permohonan untuk pengujian Undang-Undang No.

17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPD atau yang disebut sebagai Undang-

Undang MD3 terhadap Undang-Undang Negara Republik Indonesai Tahun 1945.

Permohonan yang diterima kepada Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia pada Tanggal 13 Agustus 2014 dengan registrasi perkara

Nomor 76/PUU-XXI/2014. Permohonan tersebut telah diperbaiki dan diterima di

kepaniteraan Mahkamah Kosntitusi Republik Indonesia pada tanggal 10

September 2014.

Pemohon memohonkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan

pengujian pasal 245 Undang-undang tentang MPR, DPR, dan DPD terhadap

Page 76: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

66

Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bunyi selengkapnya

pada pas 245 sebagai berikut ayat (1) pemanggilan dan permintaan keterangan

untuk melakukan penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan

tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah

Kehormatan Dewan ayat (2) Dalam persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama

30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan

permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat dilakukan, ayat (3) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak

berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana: b.

disangka melakukan tindakan pidana kejahatan yang diancam pidana mati atau

pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusian dan

keamanan negara berdasarkan bukti pemulaan yang cukup; atau c. disangka

melakukan tindak pidana khusus.

Menurut pemohon yang domohonkan tersebut bertentangan dengan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut;

pada pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. pada pasal 24 ayat

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, pada pasal

27 ayat (1) segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan intu tidak ada

kecualinya, pada pasal 28D ayat (1) setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama

Page 77: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

67

dihadapan hukum, pada pasal 28I ayat (2) setiap orang berhak bebas dar perlakuan

yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Akibat pemberlakuan pasal 245 ayat (1) tentang MPR, DPR, dan DPD,

menurut pemohon berdasarkan penalaran yang wajar berpotensi akan terjadinya

kerugian yang sebagaimana dikatakan oleh International Coruption Wacth atau

disebut dengan ICW jika ada salah satu dari anggota DPR yang melakukan tindak

pindan maka harus terlebih dahulu izin kepada MKD akan terjadinya pertama,

adanya sifat diskriminatif antara anggota DPR dan Warga Biasa, pada dasarnya

sifat yang diskriminatif bertentang dengan pasal 28I UUD 1945. Kedua, adanya

penghambatan dari kekuasaan peradilan karena proses hukum justru tergantung

kepada izin presiden. Padahal pada putusan MK sebelumnta yaitu Putusan

Mahkamah Kosntitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 disebutkan, syarat persetujuan

tertulis dari presiden untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan akan

menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung

mengintervensi sistem penegakan keadilan padahal pada pasal 24 ayat (1) UUD

1945 jelaslah sangatlah bertentangan. Ketiga, putusan Mahkamah Kosntitusi

menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat proses hukum. hal ini salah

satunya dikarenakan tidak ada batasab jangka waktu permhonan izin tersebut.

Artinya, jika presiden RI tidka mengeluarkan izin tertulis, proses hukum terhadap

anggota legislatif yang sudah menjadi tersangka tidak bisa dilanjutkan kembali.

Keempat, putusan Mahkamah Kosntitusi ini akan menimbulkan ketegangan dan

kegaduhan politik baru. Sebagai pengembang fungsi eksekutif, pemberlakuan

Page 78: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

68

norma ini justru dapat membuat presiden RI menggunakan wewenangannya

tersebut untuk melindungi koalisinya dan menyerang oposisiya.1

Putusan ini banyak sekali kritikan dari kalangan aktivis dan akademisi di

bidang hukum. karena putusan tersebut dianggap suatu kemunduran pada era

kepemimpinan Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi sebenrnya sudah

menghilangkan peran presiden dalam pemerikasaan kepadal daerah. Sehingga

bagi para penegak hukum tidak perlu lagi melakukan perizinan terlebih dahulu

kepada presiden dalam memeriksa anggota dewan. ICJR juga selaku pemohon

dalam gugatan pasal 245 UU MD3 ini menilai putusan Mahkamah Konstitusi bisa

menimbulkan Konflik kepentingan. Dia menilai presiden mempunyai hubungan

dengan DPR sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. “konflik

pemberian izin sangan berpotensi terjadi konflik kepentingan. Terlebih apabila

izin tersebut dapat dimaknai sebagai perlindungan terhadap segala tindakan dari

pejabat negara dalah hal ini adalah anggota DPR dan dalam tahapan peradilan

yang tidak jelas.

Menimbang bahwa setelah Mahkamah Konstitusi memeriksa dengan

seksama permohonan pemohon, keterangan saksi pemohon serta bukti-bukti

surat/tulisan yang diajukan pemohon, kesimpulan pemohon dan keterangan

pemerintah sebagaimana termuat pada bagian duduk perkara Mahkama Konstitusi

berpendapat sebagai berikut: a. Menimbang bahwa Pasal 245 UU MD3

bertentangan dengan prinsip Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman yang

merdeka (Independent of Judiciary).

1 Kompas tanggal 27-09-2015.

Page 79: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

69

Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa

“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Pasal 24 ayat (1) UUD Negara

Republik Indonesia menyatakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan. Berdasarkan hal ini sudah jelas bahwa Kekuasaan

Kehakiman yang meliputi seluruh proses sistem peradilan pidana, dalam tugas

penegakan hukumnya, aparat penegak hukum berdasarkan hukum harus bebas

dari campur tangan pihak kekuasaan negara, dan kebebasan dari paksaan,

direktiva atau rekomendasi maupun intervensi yang dating dari pihak manapun.

Dari UU yang saat ini berlaku di Indonesia, ijin untuk melakukan proses

hukum dating dari lembaga lain diluar pejabat nega (eksekuti: Presiden dan Jaksa

Agung) maupun dalam struktur yang lebih tinggi untuk menjaga prinsip check

and balances yang merupakan salah satu unsur negara hukum, hal ini yang

berbeda dengan anggota DPR dimana ijin harus melalui Mahkaman Kehormatan

Dewan DPR yang bagi pemohon tidak tepat sesuai dengan rezim hukum yang ada.

Berdasarkan alasan tersebut, nyata-nyata ketentuan dalam Pasal 245 UUD

MD3 bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, asas-asas peradilan

pidana dalam kemerdekaan kehakiman, dan secara langsung berpotensi berakibat

pada terhambatnya proses hukum.

b. Menimbang Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan prinsip persamaan

dihadapan hukum.

Bahwa anggota DPR sebagai subjek hukum, terlepas jabatannya sebagai

anggota DPR harus diberlakukan sama di hadapan hukum, bahwa ketentuan

Page 80: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

70

dalam PAsal 245 UU MD3 telah memberikan keistimewaan terhadap anggota

DPR yang sedang menjalani proses hukum tanpa rasionalitas hukum yang tepat.

c. Menimbang Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan Prinsip non

diskriminasi.

Proses peradilan oleh penyidik terhadap anggota dewan yang hanya dapat

dilakukan dengan persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan, merupakan dalam

kelompok pengaturan yang seharusnya tidak mengandung perlakuan berbeda yang

bertentangan dengan prinsip equal protecition sebagaimana yang dijamin oleh

Pasal 27 ayat (1) dan PAsal 28 D ayat (3), UUD 1945 yaitu persamaan atau

kesederajatan di hadapan umum dan pemerintahan.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka Mahkamah

Kosntitusi mengabukan permohona pemohon dalam pengujian pemohon pada

pasal 245 Undang-undang tentang MPR, DPR, dan DPD Tambahan lembaran

Negara Nomor 5568 dan penjelasannya bertentangan dengan Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-

XII/2014 telah menjamin hak-hak individu warga negara Indonesia yang telah

memiliki hak konstitusionalnya yang tertuang dalam pasal 28C ayat (2), pasal

28D (2), pasal 28D ayat (3), dan pasal 29E ayat (1) Undang-undang Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu untuk memajukan dirinya dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif, membangun masyarakat, bangsa dan

negaramnya.

Page 81: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

71

B. Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.

1. Kewenangan Mahkamah.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-undang Daar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011,

salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945.

Karena permohonan para Pemohon mengenai pengujian materiin UU No. 17

Tahun 2014 tentang MD3 terhadapt UUD 1945 maka Mahkamah berwenang

mengadili permohonan a quo.

2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon.

Memperhatikan dalil-dalil permohonan Pemohon I, hal yang dipersoalkan

Pemohon I adalah adanya kerugian Pemohon I sebagai advokat dan pembayar

pajak (tax payer) yang melakukan advokasi, pendampingan, bantuan hukum bagi

kliennya yang berposisi sebagai korban tindak pidana. Menurut Mahkamah,

kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon I tidaklah bersifat spesifik dan

tidak dapat dipastikan akan terjadi, dan juga Pemohon I tidak membuktikan

bahwa dengan dikabulkannya permohonan Pemohon I sebagai kerugian atau

potensi kerugian atas hak konstitusional Pemohon I sebagai advokat tidak lagi

atau tidak akan terjadi. Serta tidak adanya hubungan kausalitas pengujian

konstitusionalistasnya, dan tidak menerangkan pula hubungan kausalitas antara

Undang-undang yang diuji dengan kerugian konstitusional Pemohon I sebagai

advokat. Dengan demikian, menurut Mahkamah Pemohon I tidak memenuhi

Page 82: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

72

syarat serta tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo.

Pemohon II sebagai badan hukum privat yang sangat peduli dengan isu

pembaharuan hukum pidana dan reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia,

yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests

advocacy) yang didalamnya tercakup substansi dalam permohonan a quo,

sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal

standing) sebagai pemohon dalam permohonan a quo.

3. Pokok Permohonan.

Bahwa pokok permohonan Pemohon II adalah mengenai pengujian

konstitusionalitas Pasal 245 UU MD3 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1),

PAsal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Menimbang

bahwa anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum berdasarkan Psal 20

ayat (1) UUD 1945 memegang kekuasaan membentuk Undang-undang. Sebagai

pejabat negara pemegang kekuasaan pembetuk Undang-undang dalam

pelaksanaan kekuaannya masing-masing anggota DPR mempunyai hak

interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan,

menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Pelaksanaan fungsi hak

konstitusional anggota DPR tersebut juga harusdiimbangi dengan adanya

perlindungan hukum yang memadai dan proporsional, sehingga anggota DPR

tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh diskriminasi pada saat menjalankan

fungsi dan kewenangan konstitusionalnya sepanjang dilakukan dengan itikad baik

dan penuh tanggung jawab.

Page 83: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

73

Menurut Mahkamah adanya persyaratan persetujuan tertulis dari

Mahkamah Kehormatan Dewan dalam hal pemanggilan dan permintaan

keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPRbertentangan dengan prinsip

persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan.

Menurut Mahkamah, adanya proses pengaturan persetujuan tertulis dari

Mahkamah Kehormatan Dewan kepada anggota DPR yang sedang dilakukan

penyidikan menurut Mahkamah adalah tidak tepat karena Mahkamah Kehormatan

Dewan meskipun disebut “Mahkamah” sesungguhnya adalah alat kelengkapan

DPR yang merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan langsung

dalam sistem peradilan pidana.

Salah satu bentuk perlindungan hukum yang memadaidan bersifat khusus

bagi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi dan hak konstitusionalnya adalah

dengan diperlukannya persetujuan atau izin tertulis dari presiden dalam hal

anggota DPR tersebut dipanggil dan dimintai keterangan karena diduga

melakukan tindak pidana. Hal ini sebagai salah satu fungi dan upaya penegakan

mekanisme checks and balances antara pemegang kekuasaan legislatif dengan

pemegang kekuasaan eksekutif, sehingga Mahkamah berpendapat bahwa izin

tertulis a quo seharusnya berasalah dari presiden dan bukan dari Mahkamah

Kehormatan Dewan.

C. Analisis Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014 dan Akibat Hukumnya Ditinjau

dari Negara Hukum

Undang-undang tentang MD3 pasca putusan Mahkamah Konstitusi

merupakan kebijakan politik sebagai arah kebijakan hukum (legal policy) yang

Page 84: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

74

harus dijadikan pedoman untuk membangun atau menegakkan sistem hukum yang

diinginkan oleh suatu negara. Tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum akan

dapat dilihat dari derajat kepatuhan yang terwujud di dalam pola perilaku manusia

yang nyata. Jika hukum ditaati maka hal itu merupakan suatu petunjuk bahwa

hukum tersebut penting dan hukum telah berjalan efektif.2 Pembentukan hukum

ini harus dibimbing oleh suatu rasa keadilan dengan prinsip kesamaan (equaty),

yang kemudian melahirkan keadilan distributive dan keadilan korektif (remedial).

Keadilan distributive inilah yang mengacu kepada pembagian barang dan jasa

kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan

perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (Equality Before

the Law) 3

يأمركم أن تؤدوا إن الل الأماوات إلى أهلها وإذا حكمتم بيه الىاس أن تحكمىا بالعدل إن الل

كان سميعا بصيرا ا يعظكم به إن الل وعم

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada

yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di

antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah

memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah

Maha mendengar lagi Maha melihat”. (Q.S. An-nisa: 58 )

Maksud ayat diatas adalah keadilan mengandung pengertian perimbangan

atau keadaan seimbang. Dalam hal ini, menyatakan bahwa keadilan masyarakat

mengharuskan kita untuk memperhatikan dengan pertimbangan yang tepat kepada

perimbangan berbagai keperluan yang ada. Mengenai keadilan, pembentukan

hukum dalam semua peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan desain

2 R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1999), Cetakan Ketiga, h.

51

3 Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.193.

Page 85: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

75

dan tujuan negara yang kemudian melahirkan sebuah sistem hukum. tujuan negara

adalah menegakkan hukum dan menjamin kebebasan warga negaranya. Dalam

pengertian kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan yang merupakan

penjelmaan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan

tertinggi atau kedaulatan.4

Bahwa negara menciptakan hukum berarti manusia dalam kapasitasnya

sebagai organ negara menciptakan hukum sesuai dengan norma-norma legal yang

mengatur penciptaan hukum.5Hukum dilihat dari fungsinya dapat berperan

sebagai alkat untuk mengubah masyarakat (law as a tool of socal engineering).6

Hukum dapat berperan di depan untuk memimpin perubahan dalam

kehidupan masyarakat dengan memperlancar pergaulan masyarakat, mewujudkan

perdamaian dan ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat.

Dlam pelaksanaan untuk pembaharuan dapat berjalan dengan baik, hendaknya

perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti

pemikiran Sociological jurisprudence, yaitu hukum yang baik adalah hukum yang

hidup di masyarakat. Dasar-dasar dari sistem hukum biasanya diletakan di dalam

undang-undang dasar atau konstitusi. Pembentukannya undang-undang

hendaknya dapat melhirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan

bagi semua idividu. Perudnang-undangan itu hendaknya dapat memberikan

4 Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2010)

Cetakan Kesatu, h.132

5 Hals Kelsen, Dasar-dasar Hukum Normatif, (Bandung: Nusa Media, 2009), h. 374.

6 R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, . . . . . . . . . h. 52.

Page 86: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

76

kebahagiaan terbesar bagi masyarakat, agarundang-undang yang dihasilkan nanti

berfaedah atau sesuai dengan daya guna (efektif) 7

Judicial review dan Constitusional review dapat dipandang sebagai salah

satu instrument untuk menjamin ketepatan arah itu atau sebagai pengawal

ketetapan isi dama pembuatan hukum.8 Akan tetapi, undang-undang hanya

mencerminkan kehendak politik DPR yang ditentukan berdasarkan prinsip Rule

by Majority tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan norma keadilan yang

lebih tinggi derajatnya yang terkandung dalam konstitusi.

Implikasi hukum secara substantive dari putusan tersebut adalah mengenai

“izin tertulis dari presiden” dari Mahkamah Konstitusi tentang presentase tiket

keadilan. Permasalahannya yaitu, apakah suatu putusan Mahkamah mampu

mencerminkan keadilan, dalam arti sesuai dengan heterogenitas masyarakat

Indonesia.9 Karena ada yang beranggapan bahwa sekali hakim konstitusi memutus

maka ratusan masyarakat Indonesia harus tunduk dan patuh.10

Atas tindakan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menyebabkan adanya

implikasi teerhadap segi penegakkan hak konstitusional warga negara, implikasi

pada keharusan adanya izin dari presiden untuk memeriksa anggota dewan terkait

pidana umum, dan implikasi terhadap indenpendensi peradilan.

7 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009),

Cetakan Ketiga, h.17.

8 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Pustaka

LP3ES Indonesia, anggota Ikapi, 2006), h.125.

9 Samsul Wahidin, Distribusi Kekuasaan Negara Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2014), h. 200.

10 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Pogresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2010), h. 164.

Page 87: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

77

Mahkamah memutuskan putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 karena

menurut alasan salah satu Hakim Mahkamah Arief Hidayat adalah Mahkamah

Konstitusi menilai persetujuan dari presiden terse.ut penting karena anggota DPR

berbeda dengan masyarakat umumnya, karena memiliki resiko yang sesuai

dengan tugas, pokok, dan fungsinya. Arief menambahkan privilege rights seperti

ini juga terjadi di negara lain .11

Implikasi pada keharusan adanya izin dari presiden untuk memeriksa

anggota dewan terkait pidana umum sebagaimana diketahui, dalam amar putusan

MK bernomor 76/PUU-XII/2014 tersebut seorang penegak hukum diharuskan

meminta izin dari presiden saat hendak memeriksa atau meminta keterangan dari

anggota dewan, sepanjang dalam kerangka pidana umum (KUHP), misalnya

pelecehan seksual, pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya. Sehingga,

menurut Ketua MK Arief Hidayat, pidana yang bersifat khusus seperti Korupsi,

Narkotika dan Psikotropika, dan Terorisme tetap tidak membutuhkan izin dari

presiden.“Kecuali dalam hal Operasi Tangkap Tangan (OTT), terorisme, korupsi,

putusan itu tidak diberlakukan,”12

Namun demikian, Mantan Ketua MK Jimly Assidique menilai bahwa

putusan MK tersebut akan membuat birokrasi pemerintahan tambah rumit. Jimly

menilai hal tersebut akan membuat sistem birokrasi di Indonesia akan menjadi

panjang karena Presiden mesti menyiapkan standar (tata cara prosedur) pemberian

izin agar bisa dieksekusi dengan cepat oleh penegak hukum.“Kita harus

11

Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014.

Page 88: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

78

menghormati putusan pengadilan. Tapi, ini jadi ribet urusannya, menambah

birokrasi politik baru yang tidak perlu,”

Padahal pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011

Makamah berpendapat” dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari presiden

untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan

proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan

keadilan.Memang pada dasarnya perizinan sudah dikenal di beberapa undang-

undang, namun izin untuk melakukan proses hukum datangnya dari lembaga lain

diluar pejabat negara.

Implikasi terhadap indenpendensi peradilan, pada UUD 1945 Pasal 24 ayat

(1) menyatakan sangat jelas bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan

yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan. Menurut Ketua MK Jimly Assidique menilai bahwa salah satu prinsip

pokok negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak

(independent and impartial judiciary, yaitu dalam menjalankan judisianya, hakim

tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga baik karena kepentingan jabatan

(politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).13

Dari beberapa segi implikasi yang telah penulis paparkan, dapat diketahui

beberapa faktor yang memepngaruhi putusan Mahkamah Konstitusi:

Faktor yuridis dan sosiologis, faktor pertimbangan hakim dari landasan

yuridis international, menurut analisa penulis yaitu kembali lagi kepada prinsip

13

Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014.

Page 89: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

79

utama dari konsep negara hukum ialah perlindungan hak asasi manusia yang

tertuang pada UUD 1945, tentu negara memiliki andil untuk membentuk aturan

bagi masyarakatnya. Maka tak lain faktor utama yang mendorong putusan

Mahkamah Konstitusi ialah konstitusi sebagai teks utama dalam pertimbangan

hakim yakni untuk menegakkan hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945.

Kosntitusi sebagai dasar utama karena normnya yang hidup dan berjiwa

sebagaimana menut Montesqiue yang pernah mengemukakan.14

“Hakim-hakim rakyat tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-

undang. Jika teks itu tidak berjiwa dan manusiawi, para hakim tidak boleh

mengubahnya, baik tentang kekuatannya, maupun tentang ketaatannya”

Menilik hak tersebut hal tersbut, maka tindakan Mahkamah adalah

tindakan untuk menjadikan undang-undang berjiwa dan bernyawa kembali sesuai

dengan nilai-nilai dasar dalam UUD 1945.

Faktor sosiologis, pergolakan dinamika yang berkembang di tengah

masyarakat tentu menjadi salah satu landasan atau pertimbangan Mahkamah

dalam memutuskan permohonan judicial review ini. Gelombang pergolakan

politik yang kerap mempengaruhi kualitas dari suatu lemabaga negara adalah hal

yang disoroti. Putusan Mahkamah Konstitusi diputus yakni pada tanggal 22

september 2015. Atas pergolakan yang terjadi tersebut, akhirnya masyarakat

seperti disadarkan bahwa putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah

Konstitusi telah merugikan masyarakat hal ini berdasarkan dengan diskriminasi

14

Achmad Ali, Sosiologis Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta:

Prenada Media Group, 2012), h.41.

Page 90: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

80

warga negara biasa dengan warga negara yang duduk di lembaga pemerintahan

khususnya anggota dewan.

Allah Swt Berfirman:

Artinya: Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan seorang,

kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya, jika kami berbuat

demikian, maka benar-benarlah kami orang-orang yang zalim".(Q.S: Yusuf: 79)

Dari ayat di atas tesebut mengandung bahwa ketika perbuatan sudah

sepatutnya untuk ditahan, dibatasi, dan dicegah, agar sesuatu pengaruhnya dapat

memberikan kemanfaatan dan kemashlahatan bagi seluruh masyarakat. Dan

bahwa setiap tindakan yang dilakukan seharusnya dapat dibatasi dan ditahan

ketika undang-undang sudah dengan jelas memberikan pembagian kekuasaan

antar lembaga negara.

Adapun faktor sosiologis yang telah diuraikan di atas memanglah hal yang

berpengaruh atas putusan Mahkamah oleh karena sosialisasi mengenai

keberlakuan atau tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi adalah hal yang

patut di perhatikan. Jika tindak lanjut belum terpenuhi, setidaknya sosialisasi

putusan tersebut haruslah menyentuh keseluruh lapisan agar tidak terjadi

kontradiksi atar penegak hukum yang akan berhadapan langsung dengan kasus di

lapangan.

Page 91: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

81

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dari bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri

pembahasan dalam skripsi ini, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara

nomor 76/PUU-XII/2014 menurut penulis hanya berdasarkan pertimbangan

mengenai hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin hak

konstitusionalnya dalam UUD 1945 yaitu dalam menjamin hak asasi manusia

yang dimiliki warga negara, tidak berdasarkan pertimbangan mengenai alasan

atau latar belakang pasal 245 ayat (1) yang dianggap bertentangan dengan

UUD 1945. Sehingga dengan adanya putusan tersebut akan lebih

mempertanyakan mengenai keindependensian kekuasaan kehakiman yang

merdeka dan tidak memihak kepada siapapun dan kesetaraan di hadapan

hukum. Seharusnya Mahkamah Kosntitusi memberikan pendapat dalam

putusannya apa yang harus dilakukan oleh pembuat undang-undang dalam

menjadikan anggota dewan untuk tidak membuat tindakan yang melawan

hukum, karena anggota dewan adalah panutan bagi rakyatnya itu sendiri.

2. Mengenai faktor yang mempengaruhi pasca putusan Mahkamah Kosntitusi

Nomor 76/PUU-XII/2014 yakni dalam faktor yurudis dan sosiologis. Faktor

yurudis yaitu bertentangan dengan Negara Hukum. putusan yang telah

dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi telah merugikan masyarakat hal ini

berdasarkan dengan diskriminasi warga negara biasa dengan warga negara

Page 92: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

82

yang duduk di lembaga pemerintahan khususnya anggota dewan. Mengenai

perizinan presiden terhadap anggota dewan terduga tindak pidana harus

dipertanyakan kembali karena adanya putusan 76/PUU-XII/2014. Sehingga

diberikannya kelonggaran hukum bagi anggota dewan yang terduga tindak

pidana.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah di paparkan, melalui penelitian ini,

penulis mengajukan beberapan saran konstruktif sebagai berikut:

1. Seharusnya seluruh kelembagaan negara Indonesia menjunjung tinggi

prinsip check an balances dengan melaksanakan perintah undang-undang

yang memuat kewenangan masing-masing lembaga negara. prinsip

tersebut haruslah dipertegas, dan harus lebih efektif. Agar tidak terjadi

hilangnya penegasan terhadap check and balances antar lembaga negara.

2. Seharusnya Mahkamah Konstitusi lebih mementingkan hak konstitusional

warga negara, ketimbang dengan hak konstitusional anggota dewan.

Karena demikian akan tercapainya keadilan bagi seluruh warga negara.

Page 93: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

83

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Al-Qur’an al-Karim

A Legowo, T. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan

Analisis Sebelum dan Sedudah Perubahan UUD 1945. FORMAPPI:

Jakarta.

_________ dkk. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat Di Indonesia Studi Dan

Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945. FORMAPPI dan

AusAID: Jakarta.

Alder, John, dkk. 1989. Constitutional and Administratif Law. Macmilan:

London.

Ali, Achmad. 2012. Sosiologis Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan,

Prenada Media Group: Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2004. Konstitusi & Konstitualisme Indonesia. Cetakan

Pertama, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat

Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

_________ 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. PT Raja Grafindo

Persada: Jakarta,

_________ 1996. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah

Telaah Perbandingan Konstitus Berbagai Negara. UI Press : Jakarta..

Azhary, 1995. Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang

Unsur-unsurnya. UI Press: Jakarta.

Bisri, Ilhami, 2011. Sistem Hukum Indonesia Prinsip-prinsip & Implementasi

Hukum di Indonesia. Rajawali Press: Jakarta.

Burhan Bungin, M. 2007. Penelitian Kualitatfi. Kencana Prenada Media Group:

Jakarta.

Davidson, Scoot, terj. A. Hadyana Pudjaatmaka, 2008. Hak Asasi Manusia, PT

Pustaka Utama Grafity: Jakarta.

Daud busroh, Abu. 1987. Intisari Hukum Tatanegara Perbandingan Konstitusi

Sembilan Negara. Bina Askara: Jakarta.

FORMAPPI, 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat: Studi dan Analisi Sebelum dan

Sesudah perubahan UUD NRI 1945. FORMAPPI: Jakarta.

Page 94: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

84

Hood Phillips, O, dkk. 2001. Constitutional and Administrative Law, Sweet &

Maxwell: London.

Huda, Ni’matul. 2011. Hukum Tata Negara, Rajawali Press: Jakarta.

________ 2014. Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan gagasan

Penyempurnaan, FH UII Press: Yogyakarta.

Ibrahim, Johnny. 2008. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif.

Bayumedia Publishing: Malang.

Ihza Mahendra, Yusril. 1996. Dinamika Tata Negara Indonesia. Gema Insani

Press: Jakarta

Ishaq, 2009. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika : Jakarta.

Jennings, S. 1959. The Law and The Contitution. University of London Press:

London.

Kansil C.S.T, dkk, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Rineka Cpta:

Jakarta.

________ dkk, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Rineka Cpta:

Jakarta.

Kelsen, Hals, 2009. Dasar-dasar Hukum Normatif. Nusa Media: Bandung.

Kusnardi, Moh, dkk. 2000. Ilmu Negara. Gaya Media Pratama: Jakarta. Alder,

John, dkk. 1989. Constitutional and Administratif Law. Macmilan: London.

M Hadjon, Phillipus. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Binia

Ilmu: Surabaya.

Mahfud MD, Moh, 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi.

Pustaka LP3ES Indonesia: Jakarta.

________ Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. 2011,

PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Mahmud Marzuki, Peter. 2013. Penilitian Hukum, cet. VIII. Kencana Prenada

Media Group. Jakarta.

Manan, Abdul. 2009. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Kencana Prenada Media:

Jakarta.

Page 95: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

85

Manan Bagir, Manan. 2006. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara

Hukum. Gaya Media Pratama: Jakarta.

Manan. Bagir dan Susi Dwi Harijanti.2014. Memahami Konstitusi “makna dan

aktualitas”, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.

Marshall, G, 1971, Constitutional Theory. Oxford University Press: Clarendon.

Mirian, Budiardjo, 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Dian Rakyat: Jakarta.

N Marbun, B, 1992. DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. PT Gramedia

Pustaka Utama: Jakarta.

Napitupulu, Paimin. 2007. Menuju Pemerintahan Perwakilan. PT Alumni:

Bandung.

Nothohamidjojo, O. 1970. Makna Negara Hukum. Badan Penerbit Kristen:

Jakarta.

Otje Salman, R. 1999. Ikhtisar Filsafat Hukum. Armico: Bandung.

Prodjohamidjojo, Martim. 2004. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara

dan UU PTUN. Ghalia Indonesia: Bogor.

Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum dan masyarakat, Angkasa: Bandung.

________ 2010. Penegakan Hukum Pogresif. Penerbit Buku Kompas: Jakarta.

Salang, Sebastian, dkk, 2009. Menghindari Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan.

Forum Sahabat: Jakarta.

Salim, 2010. Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum. Rajawali Press: Jakarta.

Soehino. 1998. Ilmu Negara. Liberty: Yogyakarta.

Soekanto, Soejono. 1992. Pengantar Penelitian Huku., Pustaka Pelajar: Jakarta.

Soemantri Sri, dkk. 1993. Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik

Indonesia: 30 Tahun Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Pustaka

Sinar Harahap: Jakarta.

Sunny, Ismail. 1985. Pembagian Kekuasaan Negara. Aksara Baru: Jakarta.

Syahrizal, Ahmad. 2006. Peradilan Konstitusi suatu studi Adjudikasi

Konstitusional sebagai mekanisme Penyelesaian sengketa Normatif,.

Pradnya Paramita: Jakarta.

Page 96: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

86

T Molan, Michael. 2003. Constitutional Law: Machinery of Government, 4th

editioan, London: Old Bailey Press.

Tahir Azhary, M. 1992. Negara Hukum: Suatu Studi Tetang Prinsip-Prinsipnya,

Bulan Bintang: Jakarta.

Tamrin, Abu. dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, 2010. LEMBAGA

PENELITIAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA: Jakarta.

Tobing Jakop Tobing. 2008. Membangun Jalan Demokrasi, Konstitusi Press:

Jakarta.

Triwulan Tutik, Titik. 2011. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945. Kencana: Jakarta.

V Dicey, A. 1982. dalam, dalam bukunya Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu

Politik. Gramedia: Jakarta.

________ 1959. Introduction to study of the Law of the Constitution. Tenth

Edition. Macmilan Education LTD: London.

Wahjoyo, Padmo. 1997. Ilmu Negara Suatu Sistemetik dan Penjelasan 14 Teori

Ilmu Negara dari jellinek. Melaty Study Group: Jakarta.

Wahidin, Samsul. 2014. Distribusi Kekuasaan Negara Indonesia. Pustaka Pelajar:

. Yogyakarta.

Yamin, Muh. 1982. Proklamasi dan Kosntitusi Republik Indonesia: Ghalia

Indonesia: Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indinesia Tahun 1945

Undang-undang MPR, DPR, dan DPD

Undang-Undang Pembentukan Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Putusan Nomor 73/XII-PUU/2014

Putusan Nomor 76/XII-PUU/2014.

Sumber Internet.

Erdy Nasrul, “ DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan,” Artikel diakses

apda 10 November 2014 dari http://m.republika .

Page 97: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

87

co.id?berita/nasiuonal/politik/14/08/29/nm2h4q-dpr-bentuk-mahkamah-

kehormatan-dewan.

International Corruption Watch, “kejanggalan putusan MK soal pemeriksaan,”

artikel ini diakses

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/09/25/nv8876354-soal

pemeriksaan-dpr-keputusan-mk-timbulkan-kerancuan-hukum.

Kedudukan Mahkamah Konstitusi,c.n, http://www.mahkamah konstitusi.go.id

/index.php?page.website.KedudukanMK diunduh pada 1 september 2015 pukul

19.57.

Profil Sejarah Berdurunya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.

Mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh

pada 1 September 2015 pukul 12.45 wib.

Profil Sejarah Berdurunya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.

Mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh

pada 1 September 2015 pukul 12.45 WIB.

Sumber Jurnal

Mahkamah Konstitusi, Judical Review, dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I

Dewa Gede Palguna, Sekretariat Jendral dan Kepaninteraan Mahkamah

Konstitusi. 2008

Sekretariatan Jendral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

Jakarta, 2011.

Page 98: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

SALINAN

PUTUSAN Nomor 76/PUU-XII/2014

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan

oleh:

1. Nama : Supriyadi Widodo Eddyono

Pekerjaan : Advokat

Alamat : Jalan Teratai XV Q-6, RT/RW 003/002, Tanjung Barat,

Jagakarsa, Jakarta Selatan

Sebagai -------------------------------------------------------------------------------Pemohon I;

2. Nama : Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan

Pidana

Alamat : Jalan Cempaka Nomor 4, Poltangan, Pasar Minggu,

Jakarta Selatan

Sebagai ------------------------------------------------------------------------------ Pemohon II;

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 4 Agustus 2014

memberi kuasa kepada Ifdhal Kasim, S.H., Erasmus A. T. Napitupulu, S.H., Wahyudi Djafar, S.H. , Rully Novian, S.H., Robert Sidauruk, S.H., Adi Condro Bawono, S.H., dan Alfeus Jebabun, S.H., Advokat dan Konsultan Hukum pada

Kantor Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang beralamat di Jalan

Cempaka Nomor 4 Pasar Minggu, Jakarta Selatan, bertindak untuk dan atas nama

pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------------- para Pemohon;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 99: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

2

[1.2] Membaca permohonan para Pemohon;

Mendengar keterangan para Pemohon;

Mendengar keterangan Presiden;

Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;

Mendengar keterangan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

Mendengar keterangan Pihak Terkait Partai Nasional Demokrat;

Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Fahri Hamzah,

Muhammad Nasir Djamil, H. Sa’duddin dan Hadi Mulyadi;

Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;

Mendengar keterangan saksi dan ahli para Pemohon dan Pihak Terkait;

Membaca kesimpulan para Pemohon dan Pihak Terkait Fahri Hamzah,

Muhammad Nasir Djamil, H, Sa’duddin dan Hadi Mulyadi.

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan

dengan surat permohonan bertanggal 5 Agustus 2014, yang diterima di

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah)

pada tanggal 5 Agustus 2014 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan

Nomor 175/PAN.MK/2014, dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara

Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2014 dengan Nomor 76/PUU-XII/2014, yang

telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10

September 2014, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:

A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

1. Bahwa amandemen UUD 1945, salah satunya telah menghasilkan perubahan

terhadap Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan,“Kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan

yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;

2. Bahwa selanjutnya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan,

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 100: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

3

Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus

pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

umum”;

3. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, maka MK berwenang melakukan

pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, yang juga didasarkan pada

Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang

menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945”;

4. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi

(the guardian of constitution).Artinya, apabila terdapat Undang-Undang yang

berisi atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi (inconstitutional), maka

Mahkamah Konstitusi dapat menganulirnya dengan membatalkan keberadaan

Undang-Undang tersebut secara menyeluruh atau pun perpasalnya;

5. Bahwa sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang

memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal Undang-

Undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah

Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal Undang-Undang tersebut

merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang

memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu, terhadap pasal-pasal yang memiliki

makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi tafsir dapat pula dimintakan

penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;

6. Bahwa ketentuan Pasal 245 UU MD3 menurut para Pemohon telah

menciptakan suatu ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu,

tidak jelas, dan multi tafsir, serta mengekang pemenuhan hak-hak

konstitusional warga negara, khususnya para Pemohon, sehingga merugikan

hak-hak konstitusional para Pemohon;

7. Bahwa oleh karena itu melalui permohonan ini para Pemohon mengajukan

pengujian Pasal 245 UU MD3 terhadap UUD 1945;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 101: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

4

8. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, karena permohonan pengujian ini

merupakan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, maka

Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili

permohonan pengujian materiil undang-undang ini;

B. Kedudukan Hukum Para Pemohon

9. Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan

permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

1945 merupakan satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif,

yang merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip negara

hukum;

10. Bahwa Mahkamah Konstitusi, berfungsi antara lain sebagai “guardian” dari

“constitutional rights” setiap warga negara Republik Indonesia. Mahkamah

Konstitusi merupakan badan yudisial yang bertugas menjaga hak asasi

manusia sebagai hak konstitusional dan hak hukum setiap warga negara.

Dengan kesadaran inilah Para Pemohon kemudian memutuskan untuk

mengajukan permohonan uji materiil Pasal 245 UU MD3 terhadap UUD 1945;

11. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 3

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman

Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan bahwa:

Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat;

d. lembaga negara.

12. Bahwa di dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8

Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi dinyatakan bahwa ”Yang dimaksud dengan hak konstitusional

adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945”;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 102: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

5

13. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005

dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang hadir berikutnya, Mahkamah

Konstitusi telah menentukan 5 syarat mengenai kerugian konstitusional

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, yakni sebagai

berikut:

a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitutional Pemohon yang

diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan

oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik

dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang

wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau

kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan

pengujian; dan

e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak

akan atau tidak lagi terjadi.

14. Bahwa selain lima syarat untuk menjadi Pemohon dalam perkara pengujian

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang ditentukan di

dalamPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 022/PUU-XII/2014, disebutkan

bahwa “warga masyarakat pembayar pajak (tax payers) dipandang memiliki

kepentingan sesuai dengan Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan adagium “no taxation without

participation” dan sebaliknya “no participation without tax”. Ditegaskan MK

“setiap warga negara pembayar pajak mempunyai hak konstitusional untuk

mempersoalkan setiap Undang-Undang”; Pemohon Perorangan Warga Negara Indonesia 15. Bahwa Pemohon I merupakan individu warga negara Indonesia (Bukti P-3),

yang bekerja sebagai advokat Hak asasi manusia. disamping itu Pemohon I

selama ini juga telah aktif memperjuangkan dan mengadvokasi, khususnya

dalam setiap pengambilan kebijakan negara yang terkait dengan isu sistem

peradilan pidana dan reformasi hukum pidana;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 103: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

6

16. Bahwa sebagai advokat Pemohon I juga melakukan pendampingan dan

bantuan hukum bagi kliennya yang berposisi sebagai korban tindak pidana,

dalam hal ini terkait dengan sistem dan prosedur peradilan pidana khususnya

dalam prosedur penyidikan dan penuntutan tindak pidana. Bahwa dengan

adanya ketentuan pasal a quo berpotensi berakibat pada terhambatnya kerja-

kerja pemohon dalam melakukan advokasi, pendampingan dan bantuan

hukum bagi kliennya yang berposisi sebagai korban tindak pidana untuk

mendapatkan prosedur keadilan dengan cepat. Dengan adanya Pasal a quo

maka potensi advokasi, pendampingan dan bantuan hukum yang dilakukan

oleh Pemohon akan terhambat dan merugikan pembelaan Pemohon I sebagai

advokat, dengan ini maka hak konstitusional pemohon I terutama terkait

dengan prinsip Negara Hukum dan Kekuasaan kehakiman yang merdeka

(Independent of judiciary),prinsip kepastian hukum dan persamaan di depan

hukum.Oleh karena itulah eksistensi pasal a quo nyata-nyata atau setidak-

tidaknya potensial telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon I; 17. Bahwa selain itu, Pemohon I, juga merupakan pembayar pajak (tax payer)

yang dibuktikan dengan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) (vide Bukti P-3). Para Pemohon sebagai tax payer menyatakan kepentingan

konstitusionalnya telah terlanggar dengan adanya ketentuan pasal a quo,

dimana proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum

dalam sistem peradilan pidana, yang salah satu pembiayaannya berasal dari

APBN yang salah satu sumbernya berasal dari pajak yang dibayarkan oleh

warga negara Indonesia berpotensi akan mengalami keterlambatan;

18. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon memiliki kedudukan

hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

Pemohon Badan Hukum Privat 19. Bahwa Pemohon II adalah Pemohon yang merupakan Badan Hukum Privat,

yang memiliki legal standing dan menggunakan haknya untuk mengajukan

permohonan ini dengan menggunakan prosedur organization standing (legal

standing);

20. Bahwa Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai

Pemohon pengujian Undang-Undang karena terdapat keterkaitan sebab akibat

(causal verband) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD Terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 104: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

7

Republik Indonesia Tahun 1945. sehingga menyebabkan hak konstitusional

Pemohon dirugikan; 21. Bahwa doktrin organization standing atau legal standing merupakan sebuah

prosedur beracara yang tidak hanya dikenal dalam doktrin akan tetapi juga

telah dianut dalam berbagai peraturan perundangan di Indonesia, seperti UU

Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan;

22. Bahwa pada praktik peradilan di Indonesia, termasuk dalam proses peradilan di

Mahkamah Konstitusi legal standing telah diterima dan diakui menjadi

mekanisme dalam upaya pencarian keadilan, yang mana dapat dibuktikan

antara lain:

a. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003

tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan;

b. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 060/PUU-II/2004 tentang

Pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap

UUD 1945;

c. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 tentang

Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 2008

tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945;

d. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-X/2012 tentang

Pengujian UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara terhadap

UUD 1945

23. Bahwa organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan publik/umum adalah

organisasi yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam berbagai

peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi, yaitu: a. berbentuk

badan hukum atau yayasan; b. dalam anggaran dasar organisasi yang

bersangkutan menyebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya

organisasi tersebut; b. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran

dasarnya.

24. Bahwa Pemohon II adalah Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga

Swadaya Masyarakat yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 105: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

8

kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang didirikan atas dasar

kepedulian untuk dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas

penyelenggaraan negara, turut berpartisipasi dalam pemberantarasan korupsi,

memajukan perlindungan hak asasi manusia, serta menumbuhkembangkan

partisipasi dan insiatif masyarakatdalam pembangunan;

25. Bahwa Pemohon II yang selama ini concern dalam isu pembaharuan hukum

pidana dan reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia sehingga

keberadaan pasal-pasal a quo telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum

dalam penegakan hukum di Indonesia, sehingga berakibat pada terlanggarnya

hak-hak konstitusional setiap warga negara di Indonesia. Bahwa situasi

tersebut secara faktual atau setidak-tidaknya potensial akan menggagalkan

usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Pemohon II sebagai lembaga yang

memiliki visi pembaharuan hukum pidana Indonesia yang berkeadilan.

Terutama dalam isu reformasi prosedur penyidikan dan penuntutan di

Indonesia. Dengan ini maka hak konstitusional pemohon II terutama terkait

dengan prinsip Negara Hukum dan Kekuasaan kehakiman yang merdeka

(Independent of judiciary),prinsip kepastian hukum dan persamaan di depan

hukum.Oleh karena itulah eksistensi pasal a quo nyata-nyata atau setidak-

tidaknya potensial telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon II; 26. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas keseluruhan Para Pemohon telah

memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian Undang-

Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana ditentukan Pasal 51 huruf c UU

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah

diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maupun Peraturan Mahkamah

Konstitusi dan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan

penjelasan mengenai syarat-syarat untuk menjadi pemohon pengujian Undang-

Undang terhadap UUD 1945. Oleh karenanya, jelas pula keseluruhan Para

Pemohon memiliki hak dan kepentingan hukum mewakili kepentingan publik

untuk mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap UUD 1945;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 106: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

9

C. Pokok Perkara Ruang Lingkup Pasal yang Diuji Ketentuan

Rumusan

Pasal 245 UU MD3

(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan

terhadap anggota DPR yang didugamelakukan tindak pidana

harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah

Kehormatan Dewan.

(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak diberikan olehMahkamah Kehormatan Dewan

paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya

permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk

penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

apabila anggota DPR:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;

b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam

dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau

tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan

keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang

cukup; atau

c. disangka melakukan tindak pidana khusus.

Dasar Konstitusional yang Digunakan Ketentuan UUD 1945

Materi

Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.

Pasal 24 ayat (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pasal 27 ayat (1)

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 107: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

10

Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hokum.

Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas

dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan

yang bersifat diskriminatif itu.

Alasan-alasan Permohonan Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. C.1. Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan prinsip Negara Hukum dan Kekuasaan kehakiman yang merdeka (Independent of judiciary)

27. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa

“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”;

28. Bahwa menurut Jimly Asshiddiqie, Salah satu prinsip pokok negara hukum

adalah adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and

impartial judiciary), yaitu dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak

boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik)

maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan

kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses

pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan

kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan

media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak

kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan;

29. Bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa

Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

30. Bahwa independensi kekuasaan kehakiman yang diamanatkan Pasal 24 ayat

(1) UUD Negara Republik Indonesia juga dimanifestasikan ke dalam Pasal 3

ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, yang menegaskan “Segala campur tangan dalam urusan peradilan

oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.”;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 108: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

11

31. Bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 juncto Putusan

MK Nomor 73/PUU-IX/2011, bahwa tafsir kekuasaan kehakiman meliputi hal-

hal yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan dalam

penyelenggaraan sistem peradilan pidana, sehingga sifat independensi

peradilan meliputi keseluruhan proses sistem peradilan pidanayang dimulai

sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, sampai

penjatuhan dan pelaksanaan hukuman; (bukti P-4) dan (bukti P-5) 32. Bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011, Mahkamah

berpendapat “Dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk

melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses

peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan

keadilan. Mahkamah mempertimbangkan pendapat tertulis dari KPK yang

menyatakan bahwa persyaratan persetujuan tertulis dari Presiden telah

menghambat keseluruhan proses peradilan. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jelas

menjamin bahwa sistem peradilan di Indonesia harus bebas dari intervensi”;

33. Bahwa oleh karena itu, maka Kekuasaan Kehakiman yang meliputi

keseluruhan sistem peradilan pidana, dalam tugas penegakan hukumnya,

aparat penegak hukum berdasarkan hukum harus bebas dari campur tangan

pihak kekuasaan Negara, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau

rekomendasi maupun intervensi yang datang dari pihak manapun;

34. Bahwa dalam putusan aquo mahkamah juga berpendapat “Menurut Mahkamah

memang diperlukan adanya perlakuan yang menjaga harkat dan martabat

pejabat negara dan lembaga negara agar tidak diperlakukan secara sembrono

dan sewenang-wenang. Namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan

dengan prinsip-prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan pidana, apalagi

sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum”; (vide bukti P-5)

35. Bahwa merujuk kembali pandangan mahkamah perlakuan menjaga martabat

pejabat negara tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum

dan asas-asas peradilan pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya

proses hukum, perlu dilihat apa-apa saja dalam pengaturan Pasal 245 UU MD3

yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan asas-asas

peradilan pidana; (vide bukti P-5)

36. Bahwa pemberian ijin kepada proses hukum terhadap pejabat negara memang

telah dikenal di beberapa Undang-Undang:

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 109: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

12

Nomor Pejabat Undang-Undang Keterangan

1. Kepala Daerah UU Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan

Daerah

izin presiden untuk tahap

penyelidikan dan penyidikan suatu

tindak pidana tidak dibutuhkan

kecuali untuk tindakan Penahanan

2. Hakim Mahkamah

Konstitusi

UU Nomor 8 Tahun 2011

Tentang Perubahan Atas

UU Nomor 24 Tahun 2003

Tentang Mahkamah

Konstitusi

Hakim konstitusi hanya dapat dikenai

tindakan kepolisian atas perintah

Jaksa Agung setelah mendapat

persetujuan tertulis dari Presiden

3. Hakim Mahkamah

Agung

UU Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung

juncto UU Nomor 5 Tahun

2004 tentang Perubahan

Atas UU Nomor 14 Tahun

1985 tentang Mahkamah

Agung

Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan

Hakim Anggota Mahkamah Agung

dapat ditangkap atau ditahan hanya

atas perintah Jaksa Agung setelah

mendapat persetujuan Presiden

4. Hakim Pengadilan

UU Nomor 2 Tahun 1986

tentang Peradilan Umum

juncto UU Nomor 8 Tahun

2004 tentang Perubahan

Atas UU Nomor 2 Tahun

1984 tentang Peradilan

Umum; UU Nomor 5 Tahun

1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara juncto

UU Nomor 9 Tahun 2004

tentang Perubahan Atas

UU Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata

Usaha Negara; dan UU

Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama

Penangkapan dan penahanan

terhadap hakim dilakukan atas

perintah Jaksa Agung setelah

mendapatpersetujuan dari Ketua

Mahkamah Agung

5. Pimpinan dan

Anggota Badan

Pemeriksa

UU Nomor 15 Tahun 2006

tentang Badan Pemeriksa

Keuangan

Tindakan kepolisian terhadap

anggota BPK guna pemeriksaan

suatu perkara dilakukan atas perintah

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 110: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

13

Keuangan Jaksa Agung setelah terlebih dahulu

mendapat persetujuan tertulis

Presiden

6. Pimpinan dan

Anggota Dewan

Gubernur Bank

Indonesia

UU Nomor 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia

juncto UU Nomor 3 Tahun

2004 tentang Perubahan

Atas UU Nomor 23 Tahun

1999 tentang Bank

Indonesia

pemanggilan, permintaan keterangan

dan penyidikan terhadap anggota

Dewan Gubernur Bank Indonesia

harus mendapat persetujuan tertulis

dari Presiden

7. Jaksa UU Nomor 16 Tahun 2004

Tentang Kejaksaan

Republik Indonesia

apabila dalam melaksanakan tugas

jaksa diduga melakukan tindak

pidana, maka pemanggilan,

pemeriksaan, penggeledahan,

penangkapan dan penahanan

terhadap jaksa yang bersangkutan

hanya dapat dilakukan atas izin

Jaksa Agung

37. Bahwa dari UU yang saat ini berlaku di Indonesia, ijin untuk melakukan proses

hukum datang dari lembaga lain diluar pejabat negara (eksekutif: Presiden dan

jaksa Agung) maupun dalam struktur yang lebih tinggi untuk menjaga prinsip

check and balances yang merupakan salah satu unsur dari negara hukum, hal

ini yang berbeda dengan anggota DPR dimana ijin harus melalui Mahkamah

Kehormatan Dewan DPR yang bagi pemohon tidak tepat sesuai dengan rezim

hukum yang ada;

38. Bahwa berdasarkan Pasal 119 ayat (2) UU MD3 tujuan dari Mahkamah

Kehormatan Dewan adalah untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan

keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ini menunjukkan

bahwa Dewan Kehormatan Dewan merupakan lembaga etik yang merupakan

alat kelengkapan DPR sendiri yang tidak memiliki hubungan langsung pada

sistem peradilan pidana, sehingga dapat berjalan sendiri-sendiri. Struktur

Mahkamah Kehormatan Dewan juga bukan merupakan struktur yang lebih

tinggi. Selain itu, Mahkamah Kehormatan Dewan diisi pula oleh anggota DPR

sendiri untuk melakukan penyelidikan dan verivikasi atas pengaduan terhadap

anggota dewan, hal ini merupakan bentuk konflik kepentingan dari anggota

dewan dan bertentangan dengan prinsip negara hukum;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 111: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

14

39. Bahwa frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan

terhadap anggota DPR yang didugamelakukan tindak pidana” dalam Pasal 245

UU MD3 menunjukkan bahwa ijin tertulis diberikan pada tahapan penyidikan

kepada anggota DPR yang sudah ditetapkan menjadi tersangka, dimana

berdasarkan KUHAP, penetapan seseorang menjadi tersangka didasarkan

pada adanya 2 alat bukti yang cukup, sehingga pemangilan tersebut didasari

alasan yang kuat untuk melakukan pemanggilan;

40. Bahwa berdasarkan pendapat mahkamah dalam putusan aquo, yang

menyebutkan “Proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah

dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana, meskipun

mungkin mengganggu kinerja kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan

daerah, namun tidak menghalangi yang bersangkutan untuk menjalankankan

tugasnya. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diselidiki dan

disidik masih dapat melaksanakan tugas sehari-hari seperti biasa” sehingga

pemanggilan terhadap pejabat negara termasuk anggota DPR dalam proses

penyidkan terlebih sebagai tersangka tidak akan mengganggu kinerja dari

anggota DPR, sehingga anggota DPR tidak membutuhkan perlindungan yang

berlebih dalam proses penyidikan suatu kasus tindak pidana; (vide bukti P-5)

41. Bahwa berdasarkan pendapat mahkamah dalam putusan a quo, juga

menyebutkan “Persyaratan persetujuan tertulis dari Presiden bagi penyelidikan

dan penyidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah juga menghambat

proses hukum, yang seharusnya sesuai asas yaitu bersifat cepat, sederhana,

dan berbiaya ringan”, bahwa terhadap anggota DPR, persyaratan ijin oleh

Dewan Kehormatan Dewan juga berpotensi menghambat proses hukum, yang

seharusnya sesuai asas yaitu bersifat cepat, sederhana, dan berbiaya ringan

sehingga bertentangan dengan asas peradilan pidana; (vide bukti P-5)

42. Bahwa dengan adanya tenggat waktu 30 hari dalam UU aquo,maka ketentuan

tersebut akan memperlambat proses peradilan karena prosedur birokrasi

perijinan yang bertambah dan rumit, serta akan menambah biaya dari APBN

karena secara otomatis mengikuti rangkaian prosedur yang lebih lama;

43. Bahwa tenggat waktu 30 hari dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3, anggota DPR

yangdiduga melakukan tindak pidana berpeluang melakukan upaya

penghapusan jejaktindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti, seluruh

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 112: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

15

hambatan ini secara jelas dapat disebut sebagai bentuk intervensi yang juga

menghambat proses peradilan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan DPR

44. Bahwa berdasarkan alasan tersebut nyata-nyata ketentuan dalam Pasal 245

UU MD3 bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, asas-asas

peradilan pidana dalam kemerdekaan kehakiman, dan secara langsung

berpotensi berakibat pada terhambatnya proses hukum.”

C.2. Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan prinsip persamaan dihadapan Hukum 45. Bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Segala Warga

Negarabersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya";

46. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum ";

47. Bahwa merujuk pandangan Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 73/PUU-

IX/2011 halaman 73 menyebutkan bahwa, “menurut Mahkamah, pejabat

negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara

yang diembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat

negara, namun pejabat negara juga merupakan warga negara. Sebagai subjek

hukum terlepas dari jabatannya, kepala daerah pun harus diperlakukan sama di

hadapan hukum”; (vide bukti P-5) 48. Bahwa hal yang sama juga dapat dilihat dalamPutusan MK Nomor 49/PUU-

X/2012 halaman 47 mengenai proses penegakan hukum terhadap notaris

tanpa harus meminta persetujuan Majelis Pengawas Daerah, yang

menguraikan bahwa “perlakuan yang berbeda dapat dibenarkan sepanjang

perlakuan itu berkaitan dengan tindakan dalam lingkup kode etik yaitu berkaitan

dengan sikap, tingkah laku, dan perbuatan notaris dalam melaksanakan tugas

yang berhubungan dengan moralitas. Menurut Mahkamah perlakuan yang

berbeda terhadap jabatan notaris tersebut diatur dandiberikan perlindungan

dalam Kode Etik Notaris, sedangkan notaris selaku warga negara dalam proses

penegakan hukum pada semua tahapan harus diberlakukan sama di hadapan

hukum sebagaimana dimaksud dan dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal

28D ayat (3), UUD 1945.”; (bukti P – 6)

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 113: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

16

49. Bahwa anggota DPR sebagai subjek hukum, terlepas jabatannya sebagai

anggota DPR harus diberlakukan sama dihadapan hukum, bahwa ketentuan

dalam Pasal 245 UU MD3 telah memberikan keistimewaan terhadap anggota

DPR yang sedang menjalani proses hukum tanpa rasionalitas hukum yang

tepat;

50. Bahwa dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap dan tindakan

diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya seperti keiistimewaan

proses diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-

tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative

actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu

atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga

mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok

masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju;

51. Bahwa keistimewaan dalam proses peradilan atau affirmative actionsdalam

prinsip kesetaraan harusnya diberikan kepada subjek yang tepat dalam hal

subjek hukum adalahkelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga

masyarakat tertentu, anak atau kelompok rentan, ataupun dalam hal

perlindungan saksi dan korban serta praktik restoratif justice; (vide bukti P-4 dan P-5)

52. Bahwa dalam putusan aquo, Mahkamah berpendapat bahwa “Menurut

Mahkamah memang diperlukan adanya perlakuan yang menjaga harkat dan

martabat pejabat negara dan lembaga negara agar tidak diperlakukan secara

sembrono dan sewenang-wenang. Namun perlakuan demikian tidak boleh

bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan

pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum”; (vide bukti P-4 dan P-5)

53. Bahwa ketentuan dalam Pasal 245 UU MD3 bukanlah keistimewaan untuk

menjaga harkat dan martabat pejabat negara, melainkan bentuk pembedaan

terhadap subjek hukum lainnya. Pembedaan ini juga menjadi hambatan

terhadap korban untuk mencapai keadilan, sesuai dengan adegium Justice

Delayed is Justice Denied, makaterhambatnya proses hukum secara langsung

berpotensi menghambat penagakan hukum untuk mencapat keadilan, terutama

terhadap korban;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 114: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

17

C.3 Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan prinsip non diskriminasi 54. Bahwa Pasal 28I ayat (2) berbunyi: Setiap orang berhak bebas dari perlakuan

yang bersifat diskriminatif atasdasar apa pun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifatdiskriminatifitu;

55. Bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 024/PUU-III/2005 halaman 41 tafsir

persoalan diskriminasi dalam suatu undang-undang dapat dilihat dari persepktif

bagaimana konstitusi merumuskan perlindungan terhadap suatu hak

konstitusional, dalam arti apakah hak tersebut oleh konstitusi perlindungannya

ditempatkan dalam rangka due process ataukan dalam rangka perlindungan

yang sama (equal protection). Pembedaan demikian penting dikemukakan

sebab seandainya suatu undang-undang mengingkari hak dari semua orang

maka pengingkaran demikian lebih tepat untuk dinilai dalam rangka due

process, namun, apabila suatu Undang-Undang ternyata meniadakan suatu

hak bagi beberapa orang tetapi memberikan hak demikian kepada orang-orang

lainya maka keadaan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap

prinsip equal protection. (bukti P - 7) 56. Bahwa proses peradilan oleh penyidik terhadap anggota dewan yang hanya

dapat dilakukan dengan persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan,

merupakan dalam kelompok pengaturan yang seharusnya tidak mengandung

perlakukan berbeda yang bertentangan dengan prinsip equal protecition

sebagaimana yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3), UUD

1945 yaitu persamaan atau kesederajatan di hadapan umum dan

pemerintahan.

57. Pasal 7 The Universal Declaration of HumanRightsberbunyi: "Semua orang

sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa

diskriminasi Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap

bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap

segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini";

58. Pasal 2 ayat (1) ICCPR berbunyi: "Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini

berjanji untuk menghormati danmenjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan

ini bagi semua orang yangberada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah

hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, wama kulit, jenis kelamin,

bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial,

kekayaan, kelahiran atau status Iainnya";

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 115: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

18

59. Pasal 26 ICCPR berbunyi: "Semua orang berkedudukan sama di hadapan

hukum dan berhak atas perlindungan hukumyang sama tanpa diskriminasi

apapun Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan

menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap

diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, wama, jenis kelamin, bahasa,

agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial kekayaan,

kelahiran atau status lain";

60. Bahwa berdasarkan instrumen hukum yang ada, Indonesia telah mengakui

adanya prinsip non diskriminasi terhadap warga negaranya, bahwa

berdasarkan prinsip negara hukum, pengakuan terhadap hak asasi manusia

menjadi suatu hal yang mutlak, dimana hak untuk tidak didiskriminasi dan hak

untuk diperlakukan setara adalah prinsip utama hak asasi manusia;

61. Bahwa Pasal 245 UU MD3 hanya diterapkan untuk anggota DPR, sehingga

terdapat perlakukan yang berbeda untuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang

berhadapan dengan proses hukum. Di mana pihak penyidik harus memperoleh

ijin tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan sebelum melakukan penyidikan

yang diduga dilakukan oleh anggota DPR. Perlakuan berbeda tersebut tidak

diberlakukan untuk WNI Iainnya, pihak penyidik dapat secara langsung

melakukan penyidikan. Hal inilah yang mengakibatkan diskriminasi atas dasar

status jabatan publik, dan bertentangan dengan prinsip non diskriminasi;

D. Petitum Berdasarkan alasan-alasan hukum dan konstitusional di atas, maka para Pemohon

dalam hal ini memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia untuk dapat memutus hal-hal sebagai berikut:

1. Mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang yang

diajukan oleh para Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan ketentuan Pasal 245 UU Nomor 17 tentang MPR, DPR, DPD,

DPRD bertentangan dengan UUD 1945;

3. Menyatakan ketentuan Pasal 245 UU Nomor 17 tentang MPR, DPR, DPD,

DPRD tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang

seadil-adilnya (ex aeque et bono).

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 116: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

19

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon

telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai

dengan bukti P-7, sebagai berikut:

1 Bukti P-1 Fotokopi UU MD 3;

2 Bukti P-2 Fotokopi UUD 1945;

3 Bukti P-3 Fotokopi Identitas para Pemohon;

4 Bukti P-4 Fotokopi Putusan MK Nomor 6-13-20/PUU-VII/2011;

5 Bukti P-5 Fotokopi Putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011;

6 Bukti P-6 Fotokopi Putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012;

7 Bukti P-7 Fotokopi Putusan MK Nomor 024/PUU-III/2005.

Selain itu, Pemohon juga mengajukan tiga orang ahli yaitu Bivitri Susanti, Roichatul Aswidah, S.Ip., M.A. dan Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M, yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal

9 Oktober 2014 dan 29 Oktober 2014 serta memberikan keterangan tertulis yang

diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 4 November 2014, yang

menerangkan sebagai berikut: 1. Bivitri Susanti Bahwa kekhususan dalam menjalani proses hukum untuk pejabat-pejabat publik

tertentu dapat diterima dalam konteks negara hukum karena ada tugas-tugas

yang harus mereka jalankan. Namun Kekhususan tersebut harus dilihat semata-

mata untuk alasan pelaksanaan tugas, bukan untuk alasan lainnya karena itu

konsep-konsep parliamentary privileges dan forum privilegiatum yang

dikembangkan.

Adanya konsep parliamentary privileges dan forum privilegiatum yang

dikembangkan untuk alasan tersebut, ahli tidak sependapat dengan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 73 Tahun 2011 yang mengakui pentingnya

menjaga wibawa dan kehormatan seorang pejabat negara sebagai “lambang

dari kepemimpinan pemerintahan yang memiliki pimpinan tertinggi

pemerintahan, yaitu presiden” dalam memahami pemberian perlakuan khusus

bagi kepala daerah.

Bahwa dalam pandangan ahli argumentasi wibawa dan kehormatan sudah tidak

layak lagi dipergunakan dalam konteks negara hukum yang kontemporer.

Pengkhususan untuk kalancaran pelaksanaan tugas tersebut tetap memerlukan

batasan agar tetap berada dalam koridor negara hukum. Dalam hal ini, ahli

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 117: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

20

bersepakat dengan pendapat Mahkamah dalam putusan tersebut untuk

membatasi pengkhususan dengan asas peradilan pidana. Pengkhususan

tersebut tidak boleh sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum.

Bahwa batasan terhadap pengkhususan juga akan dibahas pada bagian ini

karena batasan itu diperlukan untuk tetap menempatkan pengkhususan anggota

dewan dalam koridor negara hukum.

Bahwa prinsip negara hukum dan lembaga perwakilan. Ada dua prinsip negara

hukum yang relevan dibahas dalam kasus ini, pertama adalah prinsip

persamaan di hadapan hukum dan yang kedua adalah prinsip independensi

kekuasaan kehakiman. Untuk prinsip persamaan di hadapan hukum, sudah

dituangkan dengan jelas dalam konstitusi Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat

(1). Prinsip-prinsip negara hukum, pada dasarnya merupakan hasil refleksi atas

praktik dan pemikiran mengenai bagaimana seharusnya tatanan masyarakat

diatur oleh hukum. Prinsip-prinsip itu merupakan patokan yang sifatnya umum

dan selagi diterapkan ada banyak aspek dalam praktik yang membutuhkan

pemikiran dan rasional yang memadai, salah satunya adalah pengkhususan

dalam proses hukum untuk anggota dewan.

Ada 2 pendekatan yang relevan untuk didiskusikan untuk membahas putusan

ini, pertama adalah prosedur khusus untuk pejabat negara untuk dapat diproses

hukum secara cepat yang lazim dikenal sebagai forum priveligiatum dan kedua

adalah hak-hak khusus legeslatori yang sering kali disebut dengan parlementeri

priveliges. Pertama tentang forum preveligiatum yaitu forum khusus yang

diberikan untuk pejabat negara tertentu agar dapat menjalankan proses hukum

secara cepat sehingga prosesnya hanya ada di satu tingkatan dan langsung

bersifat final dan mengikat, dari segi proses persis dengan yang dilaksanakan

oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk menjamin integritas proses cepat tersebut

forum ini biasanya dilakukan di pengadilan tertinggi Mahkamah Agung dan

proses penyidikan dan penuntutannya pun dilakukan secara khusus, Indonesia

mengenalnya dari masa penjajahan Belanda. Konstitusi Belanda Pasal 119

berbunyi diterjemahkan dalam bahasa Inggris, “Present and former member of

the parliament, minister, and state secretaries shall be tried by supreme court for

offenses committed while in office. Proceeding shall be instituted by royal

decree or by resolution of the second chamber”. Forum ini di Belanda

dilaksanakan sejak 1893 sebenarnya forum ini sudah dibatasi hanya untuk

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 118: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

21

perkara-perkara perdata, di sana di Belanda bukan pidana dan lebih dari 100

tahun yang lalu.

Adanya forum priveligiatum tersebut, ahli tidak menemukan alasan yang

mendalam kecuali bahwa orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi harus

mempunyai sebuah forum khusus. Penelusuran selanjutnya menunjukkan

aspek sejarah, forum ini dimulai diadakan pada sekitar abad ke-15 untuk bisa

membawa pejabat-pejabat dan pengusa periode pada masa itu yang tidak mau

dan sangat sulit untuk dibawa ke pengadilan karena merasa lebih tinggi dari

pengadilan. Forum ini diadakan untuk membuat mereka bersedia masuk ke

ranah pengadilan tapi di sisi lainnya memang ada gunanya untuk publik karena

akhirnya bisa membuat penguasa bertanggung jawab dihadapan hukum. Tentu

saja ini perlu ditelusuri lebih jauh karena ahli tidak dapat berbahasa Belanda,

kalau ditelusuri lebih jauh barang kali bisa ditemukan alasan-alasan lainnya

yang lebih menarik.

Bahwa setelah kemerdekaan aturan tersebut terus diadopsi dan dituangkan

dalam UUD RIS maupun UUDS 1950. Pasal 106 UUD 1950, menyatakan

bahwa presiden, wapres, menteri-menteri, ketua dan wakil ketua, dan anggota

DPR, ketua dan wakil ketua dan anggota Mahkamah Agung, jaksa agung pada

Mahkamah Agung, ketua dan wakil ketua, dan anggota dewan pengawas

keuangan, presiden bank sirkulasi dan juga pegawai-pegawai anggota dan

seterusnya pun sesudah mereka berhenti berhubung dengan kejahatan dan

pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang dan yang

dilakukannya pada masa pekerjaannya kecuali jika ditetapkan lain dengan

Undang-Undang. Dalam melihat UUDS 1950 Supomo tidak menjelaskan dari

mana asal Pasal ini dengan pasti, ia hanya menyatakan bahwa pasal-pasal

UUDS 1950 diambil begitu saja dari konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan

pasal ini diadopsi dari peraturan kolonial yang mengaturnya sebelum

kemerdekaan

Adanya Staatsblad 1967 Nomor 10 yang diubah berkali-kali dan terakhir

Staatsblad 1941 Nomor 31 dan aturan soal forum previligiatum resmi

diberlakukan di Hindia Belanda dengan didasarkan pada penggolongan hukum

eropa timur, timur asing, dan bumi putra. Kemudian oleh penguasa Jepang

diadopsi tanpa penggolongan hukum namun kemudian UUD 1945 tidak memuat

adanya forum ini di dalamnya, forum ini baru diadopsi kembali dengan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 119: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

22

diberlakukannya UUD RIS 1949 yang isinya kemudian diambil sebagai UUDS

1950 yang dikutip di atas.

Berdasarkan ketentuan tersebut tercatat paling tidak menteri negara Sultan

Hamid, Menteri Luar Negeri Ruslan Abdul Ghani, Menteri Kehakiman Djody

Gondokusumo dan beberapa pejabat lainnya pernah diadili dengan mekanisme

forum preveligiatum. Dengan diberlakuanya kembali UUD 1945 pada 1959

forum ini tidak lagi berlaku dan pada 1959 dalam catatan Sebastian Pompe

Mahkamah Agung memutuskan untuk tidak lagi mempunyai jurisdiksi ini, ini

kemudian dikuatkan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-

Undang kekuasaan kehakiman yang dibuat kemudian.

Bahwa yang perlu diperhatikan sesungguhnya prosedur perizinan untuk

pemeriksaan pejabat negara termasuk dalam forum priveligiatum. Konsep forum

istimewa ini tidak hanya mengatur hukum acara di pengadilan tetapi juga proses

hukum secara umum, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Bahwa nampaknya kewajiban izin bagi pejabat negara yang kita anut sekarang

merupakan penggalan dari forum preveligiatum yang sebenarnya sudah tidak

kita miliki lagi. Ini bisa dilihat dari antara lain bagian penjelasan umum Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 1970 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian

Terhadap Anggota-Anggota/Pimpinan MPR Sementara dan DPR Gotong

Royong. Dikatakan intinya, Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengenal

apayang disebut forum priveligiatum sehingga apa yang diatur dalam undang-

undang ini hanyalah mengenai tata cara tindakan kepolisian tersebut yang

dimasukkan pula ke dalamnya mengenai pemanggilan sehubungan tindak

pidana dan meminta keterangan tentang tindak pidana tanpa menyampingkan

hukum acara yang berlaku.

Namun kemudian dalam perjalana selanjutnya, adanya izin sebagai penggalan

dari konsep forum priveligiatum tadi dilestarikan dengan masuknya ketentuan itu

dalam berbagai Undang-Undang, dengan rasional menjaga harkat dan martabat

pejabat negara, pemeriksaan pejabat negara harus dengan izin presiden

sebagai kepala negara meskipun bagian lain dan yang terpenggal yaitu proses

yang khusus beracara dalam forum priveligiatum sudah tidak ada lagi dalam

sistem peradilan Indonesia.

Hal kedua yang relevan untuk dibahas selain forum priveligiatum tadi adalah

konsep parliamentary privileges. Keistimewaan ini dikenal sangat jamak dalam

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 120: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

23

berbagai praktik kenegaraan. Dalam tradisi westminster disebut dengan

parliamentary privileges tapi kemudian juga dalam misalnya di house of

representatives di Amerika Serikat ada juga privileges pada house of

representatives. Intinya ada dua tujuan dari keistimewaan ini. Pertama,

memberikan imunitas bagi anggota lembaga perwakilan agar tidak dapat

dituntut secara perdata. Lagi-lagi perlu ahli garis bawahi di sini, secara perdata

di muka hukum karena apa yang dinyatakannya dalam sidang. Tanpa hak

imunitas, bisa jadi legislator merasa tak bebas mengemukakan pendapat dan

mendorong perbaikan bagi konstituennya karena selalu terancam digugat

secara hukum oleh lawan-lawan politiknya.

Esensi kebebasan berbicara inilah satu-satunya alasan yang membuat legislator

seakan-akan kebal hukum, namun mereka tidak sepenuhnya kebal, merkea

hanya tidak bisa dihukum atas apa yang diucapkannya dalam sidang. Di luar

kapasitasnya sebagai wakil rakyat, legislator tetap warga negara biasa karena

itulah, parliamentary privileges ataupun hak imunitas hanya berlaku untuk

perkara perdata, khususnya untuk soal pencemaran nama baik atau

semacamnya. Kemudian untuk membatasi kebebasan berbicara tersebut,

dibuat pula perangkat aturan sidang mengenai bahasa yang tidak dapat

digunakan di dalam sidang parlemen.

Bahwa kata-kata kasar, makian, dan kebohongan tidak boleh digunakan dalam

sidang-sidang parlemen. Dalam tradisi parlemen Inggris, ini disebut

unparliamentary language. Tujuan pemberian kekhususan itu yang kedua

adalah efektivitas kerja mereka sebagai anggota dewan dan ini saya kira yang

sama pentingnya dengan imunitas tadi. Bentuknya adalah perlindungan bagi

anggota dewan untuk supaya tidak bisa ditahan untuk kasus perdata, lagi-lagi

kasus perdata selama masa sidang. Bila ditahan, mereka juga tidak akan

itahan, mereka tidak akan bisa berpartisipasi dalam sidang. Dengan alasan

yang sama di negara dengan sistem juri, mereka dibebaskan dari kewajiban

mereka menjadi anggota juri dan juga tidak diperkenankan menjadi saksi.

Intinya adalah kegiatan-kegiatan di pengadilan yang bisa membuat mereka tidak

hadir dalam sidang dewan. Perlu dicatat, namun demikian, di luar masa sidang

mereka tetap dapat ditahan untuk kasus perdata dan yang lebih penting, tidak

ada pengecualian sama sekali bagi mereka untuk perkara pidana.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 121: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

24

Adanya persyaratan izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan terlepas sekali lagi

ahli kesampingkan dulu soal batas waktu dan pengecualian, sesungguhnya

merupakan bentuk intervensi kekuasaan kehakiman. Meski izin ini tidak

berkaitan langsung dengan hakim, kekuasaan kehakiman seperti yang

Mahkamah juga sudah akui, juga mencakup proses peradilan secara luas.

Aparat penegak hukum karena itu dalam melaksanakan proses peradilan, mulai

dari penyelidikan sampai adanya putusan pengadilan, tidak boleh mendapatkan

tekanan apapun. Mahkamah Konstitusi pun telah berpendapat mengenai hal ini

dalam Putusan MK Nomor 73 Tahun 2011, di mana Mahkamah berpendapat

dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari presiden untuk melakukan

penyelidikan dan penyidikan akan menghambat percepatan proses peradilan

dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakkan keadilan. Begitu

juga pendapat Mahkamah yang ahli tidak perlu bacakan ulang, tetapi sangat

penting untuk dijadikan rujukan tentu saja, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 73 Tahun 2011, intinya tafsir kekuasaan kehakiman meliputi hal-hal yang

berkaitan dengan penegakkan hukum dan keadilan. Dengan begitu, untuk

prinsip negara hukum dalam hal independensi kekuasaan kehakiman dalam

pandangan ahli, persyaratan izin untuk memeriksa anggota dewan tidak tepat.

Bahwa menurut Undang-Undang MD3 Mahkamah Kehormatan Dewan

merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan bertugas menjaga

serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga

perwakilan rakyat. Terdiri dari 17 orang, dari berbagai fraksi di DPR, dengan

memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi dan

terkait dengan bentuk kelembagaan Mahkamah Kehormatan Dewan, ada tiga

hal yang ingin ahli soroti. Pertama, mengenai posisi Mahkamah Kehormatan,

kedua, mengenai potensi benturan kepentingan dan ketiga mengenai tujuan

pengaturan.

Bahwa mengenai posisi Mahkamah Kehormatan seperti dibahas di atas,

persyaratan adanya izin pemeriksaan bagi pejabat negara di Indonesia, akarnya

sebenarnya ada pada forum privilegeliatum yang dulu pernah diterapkan di

Indonesia. Rasionalnya adalah untuk menjaga harkat dan martabat pejabat

negara dalam konteks pejabat negara sebagai lambang dari kepemimpinan

pemerintahan yang memiliki pimpinan tertinggi pemerintahan yaitu presiden.

Dengan demikian, kalau memang mau diterapkan yang seharusnya

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 122: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

25

memberikan izin adalah kepala negara atau dalam konteks aparat penegak

hukum, atasan aparat penegak hukum tesrebut sedangkan Mahkamah

Kehormatan Dewan sebenarnya merupakan lembaga etik yang setara dengan

anggota lainnya, yang tidak memiliki hubungan langsung apapun pada sistem

peradilan pidana.

Bahwa adanya tambahan wewenang Mahkamah Kehormatan untuk

memberikan izin pemeriksaan berada di luar tugas sebuah lembaga etik. Kedua,

adanya potensi benturan kepentingan yang sangat besar, tentu saja mengingat

anggotanya yang terdiri dari fraksi-fraksi yang ada. Kerja Badan Kehormatan

DPR, pada periode-periode yang lalu dapat dijadikan rujukan untuk pandangan

ini. Untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan partai

berkuasa, badan kehormatan pada periode-periode yang lalu terlihat ragu dalam

mengambil keputusan. Sementara bagi anggota DPR yang posisinya hanya

sebagai anggota, badan kehormatan dapat mengambil putusan yang signifikan,

bahkan sampai memecatnya dari keanggotaan DPR. Ada sebuah penelitian

yang ahli kutip, dalam makalah singkat ahli berkaitan dengan kasus Anggota

DPR Azidin misalnya, yang dilaporkan ke Badan Kehormatan karena kasus

berkaitan dengan pencaloan pemondokan haji dan catering. Dikatakan dalam

penelitian tersebut, kasus tersebut diputus dalam waktu hanya 6 minggu,

padahal bukti yang dilaporkan terbatas karena hanya berupa kutipan di media

massa. Sementara itu dalam kasus pengaduan Ketua DPR Agung Laksono

terkait dengan safari ramadhan yang dilakukannya, kasusnya dibekukan.

Badan Kehormatan menyatakan tidak ada kasus yang perlu digali lebih jauh

karena buktinya tidak otentik, padahal ada bukti rekaman dari tiga daerah pada

saat safari ramadhan itu dilakukan.

Bahwa meski dalam hal materi muatan alat-alat kelengkapan ke semua dewan

yang diatur dan MPR yang diatur dalam Undang-Undang MD3 mempunyai

kesamaan dalam penamaan, penamaan Mahkamah Kehormatan ini hanya

diberikan untuk DPR sedangkan untuk DPD, MPR, maupun untuk DPRD

terminologi badan kehormatan masih digunakan. Demikian pula, kewajiban

memintakan izin pemeriksaan itu hanya berlaku untuk DPR dan tidak untuk

dewan-dewan lainnya. Kelihatannya, ini terjadi karena Mahkamah Kehormatan

memang mempunyai pemahaman tersendiri.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 123: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

26

Bahwa karena minimnya akses ke dokumen pembahasan, ahli belum

menemukan jawaban pasti mengenai tujuan pembentukan Mahkamah

Kehormatan ini. Namun dari penelusuran pemberitaan di internet dari media

yang cukup mempunyai kredibilitas, terlihat adanya tujuan khusus untuk

memberikan wewenang pemberian izin pemeriksaan anggota DPR kepada

Mahkamah Kehormatan. Perubahan nama badan menjadi Mahkamah ditujukan

untuk menempatkan alat kelengkapan ini sebagai semacam lembaga yang

mempunyai kedudukan yang ditinggikan, misalnya saja Anggota DPR Benny

Harman, pernah mengatakan ketika Undang-Undang MD3 masih dalam tahap

pembahasan, “didiskusikan” didiskusikan tidak hanya anggota DPR saja atau

tokoh-tokoh masyarakat. Kalau rumusan MD3, melakukan pelanggaran sumpah

janjinya yang mengadili adalah BK, tingkatkan otoritasnya supaya lebih

berwibawa, membentuk komite khusus untuk penyelidikan, opini lainnya yang

lebih menjurus yang bisa banyak, tetapi yang ahli kutip hanya dua ini, yang lebih

menjurus diungkapkan oleh Anggota Komisi 1 DPR RI Hidayat Nur Wahid yang

menekankan kehormatan Anggota DPR RI.

Bahwa nampak ada keprihatinan mengenai banyaknya anggota DPR yang

terlibat kasus korupsi. Harian Republika mengutip, Hidayat menyatakan pada

saat itu, “Saat ini anggota DPR terlalu mudah dipanggil menjadi saksi dalam

persidangan-persidangan kasus korupsi. Hal ini menurutnya menimbulkan citra

buruk dimata masyarakat, dan mengurangi kepercayaan publik terhadap

parlemen.” Izinkan ahli mengutipnya dalam tanda kutip penuh, “DPR itu di

manapun adalah orang yang terhormat, mestinya memang mereka adalah

orang yang terhormat. Jadi, di MD3 itu ada ketentuan bahwa nanti Badan

Kehormatan itu nanti akan berganti menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan,

Mahkamah Kehormatan itu yang melaksanakan tugas-tugas Badan

Kehoramatan, sekarang ditambah dengan beberapa hal lain, termasuk kalau

terkait dengan korupsi, terutama terkait dengan korupsi, apalagi tangkap tangan

itu kembali lagi pada hukum KPK.” Ujar Hidayat.

Bahwa bila tujuan pengaturan ini terkonfirmasi, maka sesungguhnya Pasal 245

yang tengah diperiksa ini memang sengaja didesain untuk mempersulit

pemanggilan anggota dewan oleh aparat penegak hukum, dalam pandangan

ahli. Mengenai skema ideal pengkhususan proses hukum bagi anggota dewan,

meskipun ahli paham dalam kesempatan ini ahli tidak perlu menyampaikan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 124: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

27

masukan pembahasan di atas, dalam pandangan ahli tidak akan jelas

maksudnya bila tidak berujung pada skema ideal yang tepat bagi negara hukum

Indonesia.

Bahwa dalam konteks negara hukum anggota dewan mempunyai peran

signifikan. Dalam negara hukum ada aktor-aktor yang mempunyai peran penting

dalam pelaksanaannya, peran aparat penegakan hukum dijaga dengan adanya

prinsip independensi peradilan, darinya diturunkan perangkat aturan mengenai

kode etik dan kode perilaku. Anggota dewan di sisi lainnya berperan sebagai

pembentuk peraturan, pembentuk perangkat hukum. Konteks peran anggota

dewan berbeda dengan adanya konteks kompetisi dalam prosedur politik,

namun dalam tugasnya sebagai pembentuk perangkat hukum sesungguhnya

terkandung suatu bentuk kerentanan, yaitu dalam menyatakan pendapat dalam

sidang dewan sebagai forum publik. Anggota dewan berperan menyuarakan

aspirasi publik, kalau boleh ahli meminjam istilah yang digunakan oleh Daniel

Dhakidae ada kuasa wicara atau power of speech pada diri anggota dewan.

Kuasa wicara ini perlu diberikan proteksi khusus dalam konteks negara hukum

agar bisa digunakan secara maksimal dalam proses pembentukan hukum,

legislator harus merasa bebas dalam melaksanakan kuasa wicaranya. Karena

itu dalam pandangan saya pengkhususan ini dapat dibenarkan dalam konteks

negara hukum sepanjang tetap berada dalam koridor prinsip kemandirian,

kekuasaan kehakiman, ditambah sesuai pendapat Mahkamah Konstitusi

perlakuan khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas-asas peradilan

pidana apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum.

Pemberian izin ternyata bertentangan dengan prinsip kemandirian, kekuasaan

kehakiman, dan berakibat pada terhambatnya proses hukum, sehingga tidak

tepat untuk digunakan sebagai bentuk kekhususan yang dimaksud. Apalagi

rasional proses pemberian izin ini tidak sejalan dengan pemahaman mengenai

negara hukum karena sebenarnya merupakan warisan pengaturan yang sudah

bersifat usang dan tak layak lagi diterapkan, yaitu penjagaan martabat dan

kehormatan pejabat.

Argumen pemberian kekhususan yang lebih dapat diterima dalam konteks

negara hukum dan jamak dipraktikan dalam praktik ketatanegaraan

kontemporer adalah argumen pelaksanaan tugas. Jadi bukan untuk kehormatan

dan martabat pelaksanaan tugas, apalagi dalam konteks penegakan hukum di

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 125: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

28

Indonesia pada saat ini yang masih belum bisa memberikan kepastian waktu

dalam proses peradilan. Selain itu perlu digarisbawahi dalam praktik ada

concern mengenai kriminalisasi terhadap pejabat negara. Dalam konteks politik

dan hukum Indonesia pada saat ini concern itu sangat valid dan telah terbukti

terjadi, misalnya dalam kasus kriminalisasi Pimpinan Komisi Pemberantasan

Korupsi pada 2009 lalu. Untuk itu, skema ideal yang perlu dipertimbangkan

adalah dikembalikannya forum privilegiatum dalam hukum Indonesia. Perlu ada

prosedur yang dipercepat, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan agar

pejabat-pejabat negara tetap dapat menjalankan tugasnya sebagai pejabat

negara tanpa melanggar prinsip kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan

independensi kekuasaan kehakiman.

2. Roichatul Aswidah Bahwa tentang hak atas kesetaraan di hadapan hukum sebagai hak diakui dan

dijamin oleh konstitusi, di mana Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya.

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan ini dapat

kita pandang sebagai salah satu pengejawantahan dari jaminan

nondiskriminasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) konstitusi kita

yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang

bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan

terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Ketentuan-ketentuan tersebut serupa dengan ketentuan dari Kovenan

Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan oleh Indonesia melalui

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, di mana Pasal 14 ayat (1) juga

menjamin hak untuk setara di hadapan hukum. Hal ini juga dipandang sebagai

pengejewantahan prinsip umum kesetaraan, sebagaimana dijamin dalam Pasal

26 Kovenan Hak Sipil dan Politik dan dari risalah persidangan untuk perumusan

ketentuan tersebut, dapat kita ketahui bahwa kesetaraan di hadapan pengadilan

adalah sebuah prinsip umum yang penting dari rule of law.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 126: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

29

Komite Asasi Manusia menegaskan bahwa hak atas kesetaraan di hadapan

pengadilan dan peradilan yang adil adalah sebuah elemen yang sangat penting

bagi perlindungan hak asasi manusia dan merupakan perangkat prosedural

untuk menjamin terjaminnya rule of law. Pasal 14 Kovenan ini bertujuan untuk

menjamin administrative of justice yang layak dan pada akhirnya menjamin

serangkaian hak asasi manusia. Prinsip ini harus dibaca secara bersama

dengan larangan diskriminasi, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 21 Kovenan

Hak Sipil dan Politik. Dalam hal ini, praktik diskriminiatif oleh peradilan,

utamanya atas alasan-alasan, sebagaimana diatur oleh Pasal 21 seperti ras,

jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, atau pandangan lainnya, asal

usul kebangsaan, atau sosial, hak milik, status kelahiran, atau status lainnya

juga dapat merupakan pelanggaran dari Pasal 14 ayat (1) Kovenan Hak Sipil

dan Politik.

Bahwa hak tersebut dijamin juga oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang tersebut

menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan pengakuan hukum yang adil, serta mendapat kepastian

hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Bahwa kaitannya dengan hak atas kesetaraan di hadapan hukum, hak atas

asas pada pengadilan, dan dampaknya bagi pemenuhan hak korban. Hal ini

terkait dengan ketentuan dari Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

tentang MD3 yang dalam hal ini menyatakan bahwa pemanggilan dan

permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga

melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah

Kehormatan Dewan. Ayat (2) menyatakan, “Dalam hal persetujuan tertulis,

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah

Kehormatan Dewan, paling lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan,

pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan, sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.” Ayat (3) nya menyatakan, “Ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR

tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana

kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur

hidup, atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan

negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 127: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

30

tindak pidana khusus.” Pertanyaannya adalah apakah rumusan Pasal 245

Undang-Undang MD3 merupakan bentuk diskriminasi ataupun penyimpangan

terhadap prinsip kesetaraan di hadapan hukum, oleh karena dalam beberapa

hal memberikan imunitas pada anggota parlemen? Dalam hal ini, ahli merujuk

pada ketentuan dan pemaknaan dari Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah

ahli sampaikan bahwa Kovenan tersebut telah disahkan oleh Indonesia melalui

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 14 padaKovenan yang mengatur

kesetaraan di hadapan pengadilan, pada dasarnya meliputi hak atas asas pada

pengadilan, dimana hak ini menjamin tidak tidak ada satu orang pun yang

terkurangi haknya untuk menuntut keadilan.

Bahwa hak tersebut memang tidak bersifat absolut dan dapat dibatasi berdasar

atas pembatasan yang sah,misalnya, pembatasan dalam periode waktu

tertentu, peraturan terkait anak, orang dengan keterbatasan mental, ataupun

imunitas parlemen, serta imunitas dari organisasi internasional. Oleh karena itu,

dapat dinyatakan bahwa kesetaraan di hadapan peradilan memang tetap tidak

terpengaruh, misalnya oleh diplomatic privilege ataupun oleh imunitas parlemen.

Artinya, imunitas ataupun privilege memang masih diperkenankan dan bukan

merupakan penyimpangan dari prinsip kesetaraan di hadapan pengadilan dan

tidak menyimpang dari prinsip diskriminasi. Namun demikian, Komite Hak Asasi

Manusia menyatakan bahwa pembatasan apa pun terkait dengan hak atas

akses pada pengadilan, haruslah tetap berdasarkan atas hukum dan harus sah

berdasar atas alasan yang objektif dan masuk akal. Komite Hak Asasi Manusia

menyatakan bahwa sebuah pelanggaran atas Pasal 14 dari kovenan hak sipil

dan politik apabila pembatasan dilakukan dengan tidak berdasar hukum tidak

diperlukan untuk mencapai tujuan yang sah. Atau jika akses pada individu

kemudian akan mengurangi esensi hakiki dari hak yang dijamin oleh Pasal 14

kovenan hak sipil dan politik.

Pengadilan hak asasi manusia di Eropa menerapkan tes yang serupa, di mana

pembatasan tidak boleh mengurangi esensi hak, serta harus memenuhi asas

proporsionalitas dan diperlukan untuk tujuan yang sah. Imunitas parlemen

memang diperkenankan, akan tetapi sebagai dasar pembatasan hak, harus pula

menjalani tes proporsionalitas dan asas keperluan. Dalam hal ini, hal-hal yang

harus dicermati adalah bahwa dalam sejarahnya, imunitas parlemen lahir

dengan sebuah alasan yang sangat kuat, yaitu untuk membentengi parlemen

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 128: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

31

dari tirani penguasa. Pada abad modern saat ini, di negara-negara demokratis

semakin dipandang bahwa anggota parlemen tidak memiliki ketakutan dari

kekuasaan para raja. Imunitas dan privilege yang diberikan kemudian, justru

dipandang seperti membentengi yang kuat melawan yang lemah daripada yang

sebaliknya. Oleh karena itu, pengadilan hak asasi manusia Eropa mengakui

praktik-praktik di banyak negara yang memberikan imunitas pada parlemen

hanya untuk mencapai tujuan yang sah dalam rangka melindungi kebebasan

berbicara di parlemen, serta menjaga pembagian kekuasaan separation of

power antara legislator dan penegak hukum.

Bahwa kecenderungan yang terjadi, kemudian di banyak negara demokratis

adalah adanya pembatasan lingkup imunitas. Di Perancis izin dari majelis tidak

lagi diperlukan bagi penyidikan kasus pidana sejak Reformasi Konstitusi

Perancis pada Tahun 1995. Demikian juga di Italia, serta di Rumania, sejak

reformasi konstitusi pada 2003, di mana terhadap senator dapat langsung

dilakukan penyidikan pidana, maupun penyidikan untuk tindak pidana atau

untuk tindak yang tidak terkait langsung dengan pendapat, ataupun pemberian

suara dalam rangka pelaksanaan tugas mereka sebagai senator. Inggris juga

hanya menerapkan imunitas pada perkara perdata. Namun untuk tindak pidana,

anggota parlemen diperlakukan sama seperti orang pada umumnya.

Bahwa dampak pengaturan Pasal 245 Undang-Undang MD3 terhadap

pemenuhan hak korban atas keadilan. Pasal 14 Kovenan Hak Sipil dan Politik

menjamin hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya, undue

delay. Hal ini bukan hanya melingkupi hak seseorang untuk diadili dalam waktu

yang masuk akal tanpa penundaan yang tidak semestinya, akan tetapi

sesungguhnya juga untuk menjamin agar hak korban dari kasus terkait hak

mendapatkan keadilannya. Oleh karena itu, penundaan proses penyidikan

kemudian akan melanggar hak korban untuk mendapatkan keadilan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Pasal 245 Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2014 tentang MD3 memuat imunitas parlemen untuk mengikuti proses

hukum dalam ranah pidana yang dapat dipandang sebagai pembatasan

kesetaraan di hadapan hukum, serta hak atas akses pada pengadilan. Imunitas

tersebut walaupun pada umumnya diperkenankan, namun dalam hal ini tidak

memenuhi asas proporsionalitas dan tidak diperlukan untuk mencapai tujuan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 129: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

32

yang sah, imunitas tersebut oleh karena menunda proses yang harus dilakukan

kemudian telah memengaruhi dan melanggar hak korban atas keadilan.

3. Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M A. lzin untuk melakukan pemeriksaan terhadap anggota DPR RI

yang diduga melakukan tindak pidana adalah bentuk lntervensi dalam sistem peradilan pidana

Sistem peradilan pidana sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan, terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah, seperti dikehendaki Pasal 24 UUD 1945. Hal ini berarti kekuasaan

kehakiman yang merdeka itu merupakan norma fundamental atau constitutional

rights oleh karena itu diatur dalam UUD 1945. Dalam rangka melaksanakan

Pasal 245 UUD 1945 tersebut maka kekuasaan eksekutif maupun legislatif

harus dibatasi atau dikurangi untuk menjamin wewenang kekuasaan

kehakiman yang merdeka berdasarkan konstitusi itu. Konkritnya, jangan pernah

ada intervensi dalam bentuk apapun, langsung atau tidak langsung terhadap

kekuasaan kehakiman yang merdeka yang kaedahnya sudah ditentukan dalam

UUD 45.

Apabila kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan pidana

"bercampur-aduk" dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan

seseorang akan berada dalam suatu kekuasaan yang dilakukan secara tidak

berkepastian hukum yang dapat mengaburkan upaya mencari kebenaran dan

merumuskan keadilan sebagai tugas utama peradilan itu sendiri . Di lain pihak,

kalau kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan pidana tersebut bersatu

dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak

semena-mena dan menindas. Peradilan akan menjadi alat kekuasaan

sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah peradilan di Indonesia yakni

Mahkamah Agung disamakan dengan kementerian negara. Dengan demikian,

sistem peradilan pidana yang tidak "bercampur-aduk" dengan kekuasaan lain

tapi melainkan tetap mandiri dan bebas dari intervensi harus senantiasa kapan

dan dimanapun karena pada dasarnya merupakan bagian dari upaya untuk

menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan terhadap

warganegara casu quo para pencari keadilan. lndependensi peradilan itu harus

dimaterialisasikan pada lembaga-lembaga dalam sistem peradilan itu. Menurut

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 130: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

33

Pasal 38 UU Kekuasaan Kehakiman bahwa badan-badan lain yang fungsinya

berkaitan dengan kekuasan kehakiman yang juga harus mandiri dan bebas dari

campur tangan pihak lain, yaitu meliputi: penyelidikan dan penyidikan,

penuntutan, pelaksanaan putusan, pemberian jasa hukum dan penyelesaian

sengketa di luar pengadilan. Jika hal ini tidak terjadi pada lembaga atau

badan-badan itu, maka peranan dari lembaga peradilan akan terdistorsi dan

bahkan inkonsisten dengan konsep dasarnya. Sebagai akibatnya, turunnya

kepercayaan publik kepada lembaga peradilan yang dapat menimbulkan akibat

berantai seperti akan tingginya upaya "main hakim" sendiri dalam masyarakat.

Dengan kata lain, masyarakat akan mencari jalannya sendiri-sendiri.

Montesquieu menegaskan, tidak seorang pun bisa dikatakan bebas jika

kebebasan terpenting tidak ada. Menurutnya kebebasan terpenting itu

ialah independensi lembaga-lembaga dalam sistem peradilan. Dalam

konteks demokrasi, kekuasaan yudikatif yang independen dan iinparsial

serta obyektif memberikan manfaat bagi keseimbangan yang stabil antara

dirinya dengan eksekutif dan legislatif. Kekuasaan yudikatif memastikan hak-

hak dasar warga negara yang rentan dari kemungkinan diabaikan oleh

eksekutif maupun legislatif. Pada saat yang sama lndependensi sistem

peradilan merupakan faktor kunci dari pemberantasan korupsi, menghindari

manipulasi politik dan meningkatkan kepercayaan publik kepada penyelenggara

negara. Dalam prakteknya, lntervensi terhadap independensi peradilan potensial

dapat datang dari eksekutif, legislatif, pemerintah lokal, aparat pemerintah atau

anggota parlemen, elit politik, kekuatan ekonomi, militer, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, secara konkrit, Pasal 3 ayat (2) dan 3 UU No.48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan kehakiman ("UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan

bahwa "Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam ha/ ha/ sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945." Bahkan, setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan

tersebut atau dengan sengaja melakukan intervensi terhadap sistem peradilan

dikriminalisasi yakni dinyatakan dapat dipidana sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Pada praktiknya, prosedur tambahan dalam

sistem peradilan pidana diatur sepanjang hanya mengenai prosedur yang tidak

mengurangi kewenangan dari lembaga dalam peradilan pidana itu dan bukan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 131: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

34

mengenai substansi perkara yang sedang diperiksa atau diadili. Sebagai contoh,

dalam Pasal 26 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat ("UU Advokat") dikenal

Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang bertugas menjaga martabat dan

kehormatan profesi Advokat dengan mengadili setiap pelanggaran kode etik

profesi advokat. Namun demikian, pada saat yang sama, Pasal 26 ayat (3) UU

Advokat telah pula menegaskan bahwa keputusan Dewan Kehormatan Profesi

Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran

terhadap kode etik profesi advokat mengandung unsur pidana. Pada saat yang

sama ada Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia

dengan Perhimpunan Advokat Indonesia No.B/7/11/2012-002/PERADl-

DPN/MoU/ll/2012 tentang Proses Penyidikan Yang Berkaitan Dengan

Pelaksanaan Profesi Advokat. Dalam Pasal 3 Nota kesepahaman tersebut

dinyatakan bahwa proses pemanggilan seorang Advokat dilakukan melalui

organisasi advokat.

Namun demikian, prosedur itu bukan untuk memberikan izin atau tidak atas adanya pemanggilan penyidik atas dugaan suatu tindak pidana. Organisasi Advokat justru harus segera memproses pemanggilan tersebut dan

memberikan hasil pemeriksaan tersebut kepada penyidik paling lambat 14 hari

dan kemudian menghadirkan advokat tersebut kepada penyidik apabila dugaan

tindak pidana itu beralasan. Latar belakang diberlakukannya 'prosedur izin'

sebelum memeriksa pejabat negara ialah dalam rangka melindungi harkat,

martabat dan wibawa pejabat negara dan lembaga negara agar diperlakukan

secara hati-hati, cermat, tidak sembrono dan tidak sewenang-wenang.

Rationya karena pejabat Negara dan Lembaga Negara itu merupakan

personifikasi dari sebuah Negara. Bahkan dalam masa Jalu dikenal forum

prevelegiatum, yang kemudian sudah ditinggalkan.

Dalam catatan sejarah, mengapa hal seperti forum prevelegiatum

ditinggalkan adalah karena sudah tidak sesuai dengan asas-asas dalam sistem

peradilan pidana yang terus berkembang seperti : (i) Asas persamaan di depan

hukum (equality before the law); karena di dalam 'prosedur ijin' terkandung

'perlindungan hukum' bagi pejabat negara yang tidak dimiliki oleh warga negara

biasa, (ii) Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan; karena prosedur

ijin memerlukan waktu yang lama dan melalui birokrasi yang panjang, sehingga

secara tidak langsung membutuhkan waktu dan biaya operasional untuk

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 132: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

35

mengurusnya, (iii) Asas independensi kekuasaan kehakiman; karena 'prosedur

izin' secara tidak Jangsung dapat dijadikan alat intervensi terhadap penanganan

perkara pidana yang dilakukan penegak hukum atau bahkan sebagai

perlindungan terhadap perbuatan pidana yang dilakukan sekaligus. Perlu

menjadi catatan bahwa fourm preve/egiatum yang ideal adalah justru

memberikan kekhususan bagi pejabat negara dengan prosedur peradilan

pidana yang dipercepat, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan, agar

pejabat negara tetap dapat menjalankan tugasnya dengan baik, tanpa

melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum dan tidak mengintervensi

pengadilan dengan menghambat prosedur peradilan. Prosedur pemberian ijin

oleh Mahkamah Kehormatan Dewan dalam melakukan pemeriksaan anggota

DPR justru merupakan salah satu hambatan dalam proses penegakan hukum

karena proses penyidikan menjadi terhambat karena menunggu keluarnya ijin

pemeriksaan. Bahkan, ijin yang diminta dapat tidak diberikan jawaban, yaitu

apakah disetujui atau ditolak, sehingga penanganan perkaranya menjadi tidak

jelas dan terkatung-katung setidaknya selama 30 hari sebagaimana dalam

Pasal 245 ayat (2) UU MD3. Untuk memastikan dampak penundaan selama 30

hari tersebut haruslah menjadi bagian yang diteliti dalam praktik penyidikan

selama ini, namun berdasarkan penalaran yang wajar maka efek terhambatnya

proses penyidikan agak berimplikasi langsung dan masif pada proses peradilan

pidana secara keseluruhan. Penundaan tersebut akan bertentangan dengan

prinsip peradilan pidana, secara langsung bertentangan dengan hak tersangka

sebagaimana dijamin dalam Pasal 50 ayat (1} dan (2} KUHAP.

Lebih lanjut Pasal 9 ayat (3} jo. Pasal 14 Kovenan hak sipil dan politik

mengatur mengenai hak seseorang untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar

dan menjamin hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya.

Sehingga dalam keadaan yang sama penundaan 30 hari justru akan melanggar

hak dari tersangka, selain menghambat kinerja dari aparat penegak hukum.

Sistem peradilan pidana juga tidak hanya mengatur mengenai kepentingan

penegakan hukum dan perlindungan hak dari tersangka, namun secara

bersamaan juga harus melindungi kepentingan korban. Berdasarkan Pasal 14

Kovenan Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,

bukan hanya melingkupi hak seseorang untuk diadili dalam jangka waktu yang

wajar dan menjamin hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 133: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

36

semestinya, akan tetapi dalam konsep tujuan peradilan pidana untuk mencari

keadilan materiil, sesungguhnya juga untuk menjamin kepastian korban

mendapatkan keadilan. Oleh karena itu penundaan proses penyidikan secara

langsung akan menunda, menghambat atau bahkan berpotensi menghilangkan

hak korban untuk mendapatkan keadilan.

B. Mahkamah Kehormatan Dewan adalah lembaga etik, dan tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana

Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai lembaga etik merupakan

instrumen lembaga in casu DPR untuk mengatur dan mengawasi disiplin dan

etika anggota DPR dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Oleh

karena anggota DPR merupakan pelaksana kedaulatan rakyat yang

menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan terhadap eksekutif,

maka agar tidak disalahgunakan kewenangannya, kedudukan sebagai anggota

DPR memerlukan pengawasan oleh Lembaga Etik. Penegakan disiplin dan etika anggota DPR dan penegakan hukum pidana oleh lembaga peradilan pidana adalah merupakan dua hal yang berbeda. Di satu sisi, Majelis

Kehormatan Dewan memeriksa dan mengadili pelanggaran disiplin dan kode

etik oleh anggota DPR. Di sisi lain, keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan

tidak boleh menghilangkan tanggung jawab pidana serta pada saat yang sama

tidak boleh pula mengakibatkan terhambatnya proses pemeriksaan penyidik terhadap anggota DPR, mempengaruhi proses penyidikan terhadap

tersangka lainnya dalam perkara yang melibatkan anggota DPR, sehingga

penyidikannya menjadi lamban bahkan akan tidak berjalan.

Pasal 245 UU MD3 telah menempatkan Mahkamah Kehormatan Dewan

sebagai lembaga yang dapat menunda proses hukum berupa pemanggilan oleh

penyidik, untuk itu perlu mengetahui kelembagaan Mahkamah Kehormatan

Dewan guna melihat relevansinya dengan sistem peradilan pidana. Mahkamah

Kehormatan Dewan merupakan alat kelengkapan DPR. Dari segi struktur

Mahkamah Kehormatan Dewan juga bukan merupakan struktur yang lebih tinggi

dari alat kelengkapan DPR lainnya. Selain itu, Mahkamah Kehormatan Dewan

diisi pula oleh anggota DPR sendiri yang sejajar secara struktur dengan anggota

DPR lainnya. Melihat dari kelembagaan Mahkamah Kehormatan Dewan maka

dapat dipastikan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan bukan merupakan

bagian dari sistem peradilan pidana. Sebab dalam konteks kekuasaan eksekutif

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 134: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

37

dan aparat penegak hukum, terkait kewenangan penyidikan, izin hanya dapat

diberikan oleh pemimpin tertinggi eksekutif yaitu kepala negara ataupun atasan

aparat penegak hukum terkait pemanggilan pejabat negara, dengan catatan

mekanisme izin tersebut dalam hal forum prevelegiatum yang telah disebutkan

sebelumnya.

Dengan alasan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan adalah lembaga

etik, yang mana anggotanya memiliki struktur sejajar dengan anggota DPR

lainnya untuk melakukan penyelidikan dan verivikasi atas pengaduan terhadap

anggota DPR, maka bisa dipastikan akan ada perbenturan kepentingan dan

pemeriksaan yang tidak independen dan bebas, sebab didasarkan atas

pertimbangan subjektif, etis dan politis, bukan atas dasar penegakan hukum.

Memberikan kewenangan bagi Mahkamah Kehormatan Dewan yang merupakan

lembaga etik dan sekaligus tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana

untuk menghambat proses hukum selama 30 hari akan merusak sistem

peradilan pidana itu sendiri. Dengan begitu maka sistem peradilan pidana yang

merupakan alat untuk membuat substansi hukum efektif dalam penegakannya

bila terjadi kasus pidana akan terhambat, dalam skala yang lebih besar akan

tidak terwujud.

C. Menjaga harkat dan martabat manusia agar tidak diperlakukan secara sembrono dan sewenang-wenang dalam sistem peradilan pidana adalah kewajiban dari Negara (penyidik) dan hak setiap warga negara, bukan hanya semata-mata untuk anggota DPR.

Dalam hukum acara pidana, sesuai dengan Pasal 1butir 14 KUHAP,

seseorang hanya dapat ditetapkan sebagai Tersangka atau diduga melakukan

tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (probable cause).

Apabila telah diperoleh bukti permulaan yang cukup serta seseorang ditetapkan

sebagai Tersangka, maka pada dasarnya penyidik dapat melakukan

pemeriksaan Tersangka dengan melakukan pemanggilan yang patut dan sah

sebagaimana diatur dalam Pasal 112 KUHAP tanpa perlu meminta ijin kepada

pihak manapun.

Dalam Peraturan Kapolri No.14 Tahun 2012 tentang Manajemen

Penyidikan Tindak Pidana, telah ditentukan bahwa bukti permulaan adalah alat

bukti berupa laporan polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah dan meyakinkan,

yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 135: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

38

pidana. Oleh karena itu, untuk menghilangkan terjadinya kesewenang-

wenangan penyidik dalam melaksanakan kewenangannya untuk menetapkan

seseorang sebagai Tersangka, penyidik haruslah menerapkan klausula bukti

permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud oleh Hukum Acara Pidana.

Konkritnya, "alat bukti yang sah dan meyakinkan" bermakna kualitatif bukan

kuantitatif, yaitu penyidik telah memperoleh alat bukti yang memenuhi syarat

formil dan materil yang bersumber pada keterangan saksi, keterangan ahli,

surat maupun petunjuk yang menunjukkan bahwa Tersangka benar-benar patut

diduga melakukan tindak pidana.

Terdapatnya batasan dan syarat menjadi dasar agar aparatur negara

tidak sewenang-wenang dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

Kewajiban aparatur negara untuk menjaga harkat dan martabat manusia

sebagai bagian dari hak asasi manusia telah diejahwantahkan dalam KUHAP.

Untuk pertama kali, setelah pemberlakuan Herziene Jndische Reglement {HIR}

sebagai hukum acara di Indonesia, dasar perlindungan hak asasi manusia

dipertimbangkan dalam Undang-Undang, yaitu dalam KUHAP Tahun 1981.

Beberapa catatan seperti hak tersangka dan terdakwa, bantuan hukum, ganti

kerugian sampai dengan pembentukan lembaga baru seperti praperadilan untuk

menjamin hak warga negara dari tindakan sewenang-wenang aparat negara,

tertuang dalam KUHAP. Melacak sejarahnya, khusus praperadilan, muncul dari

semangat untuk memasukkan konsep habeas corpus dalam sistem hukum

acara pidana lndonesia.Konsep ini hadir sebagai mekanisme testing atas sah

tidaknya suatu tindakan penangkapan dan penahanan, karena tindakan tersebut

merupakan 'indruising' terhadap hak-hak dan kebebasan seseorang, sehingga

membutuhkan pengujian dari pengadilan.

Konsep ini menunjukkan bahwa penekanan KUHAP terhadap

perlindungan hak asasi manusia begitu besar. Dalam sudut melihat Pasal 245

UU MD3, menjadi tidak relevan apabila terjadi pengkhususan sedemikian besar

terhadap anggota DPR, sebab konsep perlindungan harkat, martabat dan hak

asasi manusia diatur secara umum dalam KUHAP, tidak semata-mata hanya

untuk anggota DPR, kewajiban perlindungan harkat, martabat dan hak asasi

manusia menjadi melekat dalam setiap proses peradilan pidana begitu diatur

dalam KUHAP Tahun 1981. Dalam pandangan perlindungan anggota DPR,

maka konsep Parliamentary Privileges harus dilihat secara lebih dalam.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 136: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

39

,

Anggota DPR harus dilindungi dalam hal hak berbicara dan mengeluarkan

pendapat, ini merupakan hak imunitas dari anggota DPR untuk melindungi

dirinya, dalam UU MD3, hak tersebut diatur dalam Pasal 244 UU MD3. Menjadi

rancu dan patut dipertanyakan apabila ada konsep perlindungan lain terhadap

anggota DPR agar tidak diperlakukan secara sembrono dan sewenang-

wenang, padahal perlindungan tersebut sudah diatur dalam bentuk hak

imunitas untuk anggota DPR yang khusus telah dijamin dalam Pasal 244 UU

MD3, dan secara umum hak dan jaminan perlindungan tersebut sudah dijamin

dalam KUHAP.

Untuk itu pembedaan terhadap anggota DPR dalam hal jabatan terbatas

diberikan dalam konsep hak imunitas argumen bahwa Pasal 245 UU MD3

dirumuskan khusus untuk menjaga harkat martabat anggota DPR agar tidak

diperlakukan secara sembrono dan sewenang-wenang dalam jabatan, akan

menurunkan derajat kewajiban dari aparat negara untuk melindungi dan

menjamin harkat dan martabat warga negara secara keseluruhan.dalam sistem

peradilan pidana di Indonesia.

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Majelis

Permusyawaratan Rakyat memberi keterangan lisan dalam persidangan tanggal

23 September 2014, sebagai berikut:

a. Bahwa ketika pimpinan MPR memberikan sumbangan pemikiran kepada

Pansus, MPR mengusulkan agar Undang-Undangtersendiri diadakan bukan

disatukan tetapi mengingat Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, MPR yang terdiri atas

anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur

lebih lanjut dengan Undang-Undang;

b. Bahwa yang di usulkan MPR adalah supaya Undang-Undangtersebut tidak

disatukan tetapi diatur dengan Undang-Undangtersendiri. Demikian juga semua

yang ditetapkan diatur dalam Undang-Undangtersendiri.

c. Bahwa usul berikutnya yang diajukan oleh pimpinan MPR adalah tentang

penguatan lembaga MPR dengan memberikan wewenang yang lebih luas,

dalam arti untuk menetapkan atau memperankan tugas MPR sebagai lembaga

dalam memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal

Ika, serta mengusulkan agar ada reformulasi perancangan pembangunan

nasional model GBHN.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 137: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

40

[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan

Perwakilan Rakyat memberi keterangan lisan dalam persidangan tanggal 23

September 2014 dan menyampaikan keterangan tertulis yang diterima di

Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 25 September 2014 sebagai berikut:

A. KETENTUAN UU NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (SELANJUTNYA DISINGKAT UU MD3) YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945

Para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian atasUU

MD3 sebagai berikut:

- Pasal 84 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang

wakit ketua yang dipilih dari dan oleh aggota DPR.

(2) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan

oleh anggota DPR dalam satu paket dan bersifat tetap.

(3) Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam

rapat paripurna DPR.

(4) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1

(satu) orang bakal calon pimppinan DPR.

(5) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara

musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

(6) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada

ayat (5) tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara

dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan

DPR dalam rapat paripurna DPR.

(7) Selama pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum

terbentuk, sidang DPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR

dipimpin oleh pimpinan sementara DPR.

(8) Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7)

berasal dari anggota DPR yang tertua dan termuda dari fraksi yang

berbeda.

(9) Pimpinan DPR ditetapkan dengan keputusan DPR.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 138: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

41

(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR

diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

- Pasal 97 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pimpinan komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat

kolektif dan kolegial.

(2) Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3

(tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota komisi dalam

satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan

prinsip musyawarah untuk mufakat.

(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1

(satu) orang bakal calon pimpinan komisi.

(4) Dalam hal pemilihan pimpinan komisi berdasarkan musyawarah untuk

mufakat tidak tercapai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), keputusan

diambil berdasarkan suara terbanyak.

(5) Pemilihan pimpinan komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilakukan dalam rapat komisi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah

penetapan susunan dan keanggotaan komisi.

(6) Pimpinan komisi ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan komisi

diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

- Pasal 104 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pimpinan Badan Legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang

bersifat kolektif dan kolegial.

(2) Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling

banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota

Badan Legislasi dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan

usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.

(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1

(satu) orang bakal calon pimpinan Badan Legislasi.

(4) Dalam hal pemilihan pimpinan Badan Legislasi berdasarkan

musyawarah untuk mufakat tidak tercapai sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 139: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

42

(5) Pemilihan pimpinan Badan Legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dilakukan dalam rapat Badan Legislasi yang dipimpin oleh pimpinan

DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi.

(6) Pimpinan Badan Legislasi ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Badan

Legislasi diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

- Pasal 109 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang

bersifat kolektif dan kolegial.

(2) Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling

banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota

Badan Anggaran dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan

usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.

(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1

(satu) orang bakal calon pimpinan Badan Anggaran.

(4) Dalam hal pemilihan pimpinan Badan Anggaran berdasarkan

musyawarah untuk mufakat tidak tercapai sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

(5) Pemilihan pimpinan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dilakukan dalam rapat Badan Anggaran yang dipimpin oleh pimpinan

DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran.

(6) Pimpinan Badan Anggaran ditetapkan dengan keputusan pimpinan

DPR.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Badan

Anggaran diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

- Pasal 121 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan satu kesatuan

pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.

(2) Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas 1 (satu) orang

ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan

oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dalam satu paket yang

bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip

musyawarah untuk mufakat.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 140: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

43

(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1

(satu) orang bakal calon pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan.

(4) Dalam hal pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan

berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), keputusan diambil berdasarkan suara

terbanyak.

(5) Pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Mahkamah Kehormatan

Dewan yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan

dan keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan.

(6) Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan ditetapkan dengan keputusan

pimpinan DPR.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan

Mahkamah Kehormatan Dewan diatur dalam peraturan DPR tentang

tata tertib.

- Pasal 152 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat

kolektif dan kolegial.

(2) Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3

(tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT dalam

satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan

prinsip musyawarah untuk mufakat.

(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1

(satu) orang bakal calon pimpinan BURT.

(4) Dalam hal pemilihan pimpinan BURT berdasarkan musyawarah untuk

mufakat tidak tercapai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), keputusan

diambil berdasarkan suara terbanyak.

(5) Pemilihan pimpinan BURT sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilakukan dalam rapat BURT yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah

penetapan susunan dan keanggotaan BURT.

(6) Pimpinan BURT ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan BURT

diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 141: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

44

terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 20

ayat (1), Pasal 22E ayat (3), Pasal 28D dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UU MD3

Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak

konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial

menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya

Pasal a quo UU MD3 dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan dalam

permohonan yang pada pokoknya sebagai berikut:

1) bahwa ketentuan Pasal 84 UU a quo tentang mekanisme pemilihan

pimpinan dan wakil pimpinan DPR yang dilakukan dari dan oleh anggota

telah merugikan atau berpotensi merugikan kepentingan dan/atau hak

konstitusional para Pemohon karena dengan adanya ketentuan hukum ini

menimbulkan akibat hukum menghilangkan hak konstitusional Pemohon I

sebagai partai pemenang dalam Pemilihan Umum Calon Anggota DPR,

DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2014 dan Pemohon II

serta Pemohon III untuk menjadi Ketua DPR RI; bertentangan dengan Pasal

28D UUD Tahun 1945 yang menjamin pengakuan dan jaminan hukum;

2) bahwa dengan diberlakukannya Pasal 84 UU a quo secara mutatits-

mutandis juga berlaku potensi kerugian bagi hak-hak konstitusional para

Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal

115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU a quo, yaitu untuk pimpinan Komisi,

Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan

dan BURT tidak lagi diberikan kepada partai politik sesuai dengan

perolehan kursi secara proporsional, melainkan dipilih langsung dari dan

oleh anggota DPR (vide Permohonan hal. 23, angka III.2.2), sehingga

menimbulkan ketidakadilan dan merugikan kepentingan dan/atau hak

konstitusional bagi Pemohon I (DPP PDI Perjuangan), Pemohon II dan

Pemohon III atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil, memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna

mencapai persamaan dan keadilan, perlindungan, pemajuan, penegakan

dan pemenuhan HAM, dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara dalam naungan negara hukum;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 142: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

45

3) bahwa dalam penyusunan UU MD3, para Pemohon beranggapan telah

terjadi kesalahan prosedur pembuatan Undang-Undang sebagaimana

dimaksud dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan DPR Nomor 1 tentang Tata

Tertib, khususnya terkait asas keterbukaan, disebabkan materi final muatan

pasal-pasal a quo tidak berasal dari Naskah Akademik yang diajukan di

awal pembahasan DPR dan disampaikan kepada Pemerintah, dimana

Pemerintah pun tidak mengajukan usulan perubahan muatan sebagaimana

telah dirumuskan dalam Naskah Akademik RUU MD3 dari pihak DPR,

sehingga merugikan atau berpotensi merugikan kepentingan dan/atau hak

konstitusional para Pemohon karena UU MD3 yang dihasilkan kemudian

menghilangkan hak konstitusional Pemohon II dan Pemohon III untuk dapat

terpilih menjadi ketua DPR dan ketua DPRD;

C. KETERANGAN DPR

Terhadap dalil-dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam

Permohonan a quo, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:

Tentang Kedudukan Hukum (legal standing). Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam Perkara

Nomor 73/PUU-XII/2014, DPR berpendapat sebagai berikut:

a. Bahwa Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 telah menentukan bahwa Anggota

DPR dipilih melalui pemilihan umum. Bahwa peserta pemilihan umum

untuk memilih anggota DPR adalah partai politik sebagaimana termaktub

dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Bahwa anggota partai politik yang

terpilih dikelompokkan dalam fraksi-fraksi di DPR. Pemohon I yaitu Ketua

Umum DPP PDI Perjuangan, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan

Pemohon V sebagai anggota partai PDI Perjuangan telah terwakili di

dalam fraksi di DPR, sedangkan Sekretaris DPP PDI Perjuangan

berstatus sebagai anggota DPR mempunyai hak konstitusional

berdasarkan Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Selain

hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan

pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas”.

Begitu pula hak konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat untuk

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 143: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

46

melaksanakan fungsinya, baik legislasi, anggaran, dan pengawasan,

tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,

“Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-

pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat

mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”

Sementara Pasal 21 UUD 1945 juga telah memberikan hak kepada

Anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan Undang-Undang yang

selengkapnya menyatakan, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak

mengajukan usul rancangan undang-undang.”;

b. Bahwa berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, maka

para Pemohon sebagai partai politik yang telah terwakili dalam Fraksi PDI

Perjuangan dan anggota DPR dari F-PDI Perjuangan selaku Pemohon

menjadi bagian yang penting ketika pembuatan Undang-Undang a quo.

Oleh karenanya, DPR berpendapat tidak ditemukan adanya tindakan

diskriminasi terhadap diri Pemohon, selaku partai politik dan anggota

DPR ketika Undang-Undang a quo dibentuk, sehingga tidak tepat ketika

setelah menjadi Undang-Undang justru dipersoalkan

konstitusionalitasnya yang berarti mempersoalkan tindakan fraksi dan

anggotanya sendiri di hadapan sidang Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian, para Pemohon dalam perkara 73/PUU-XII/2014 tidak

memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena sebagai partai politik telah

diwakili oleh fraksi dan anggotanya. Hal ini sesuai dengan pertimbangan

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 151/PUU-VII/2009

dalam halaman 84-85.

2. Tentang Pengujian atas UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Terhadap permohonan pengujianPasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal

109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 sebagaimana dalil-dalil para

Pemohon dalam permohonan a quo DPR menyampaikan pandangan sebagai

berikut:

a. Tentang Pengujian Formil (1) Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil UU

MD3 dengan dalil proses penyusunan UU MD3 telah melanggar

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 144: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

47

ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (UU P3) dan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun

2009 tentang Tata Tertib (Tata Tertib) (vide Permohonan angka 1, hal.

13);

(2) Bahwa pengujian formil Undang-Undang adalah pengujian Undang-

Undang yang dianggap dalam pembentukannya tidak memenuhi

ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 (vide

Pasal 57 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi);

(3) Bahwa pembentukan Undang-Undang secara formil diatur Pasal 20

UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional

kepada DPR untuk membentuk undang-undang, dan setiap rancangan

Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan

persetujuan bersama. Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara

pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 22A UUD 1945,

diatur dengan undang-undang, maka dibentuklah UU P3;

(4) Bahwa berdasarkan Pasal 20, Pasal 22A UUD 1945, secara formil

pembentukan undang-undang dapat dilihat dari 2 (dua) hal. Pertama,

lembaga negara yang berwenang dalam proses pembentukan, yaitu

DPR dan Presiden. Kedua, mengenai proses pembahasan RUU yang

dijabarkan dalam Bab VII tentang Pembahasan dan Pengesahan RUU

Pasal 66 dan Pasal 67 UU P3, yang menyatakan:

a. Pasal 66 UU P3 juncto Pasal 148 UU 27 Tahun 2009

“Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2

(dua) tingkat pembicaraan”.

b. Pasal 67 UU P3 juncto Pasal 149 UU 27 Tahun 2009

“Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66

terdiri atas:

1. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan

komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau

rapat Panitia Khusus; dan

2. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.”

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 145: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

48

Tingkat pembicaraan dalam pembahasan RUU oleh DPR dan

Presiden, berdasarkan Pasal 152 UU 27 Tahun 2009 diatur dengan

Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.

(5) Bahwa terkait Pembicaraan Tingkat I, dinyatakan dalam Pasal 150 UU

27 Tahun 2009 juncto Pasal 136 ayat (1) Tata Tertib yang berbunyi

sebagai berikut:

“Pembicaraan Tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:

a. pengantar musyawarah;

b. pembahasan daftar inventarisasi masalah;

c. penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir; dan

d. pengambilan keputusan.”

Dalam Pasal 138 ayat (1) Tata Tertib dinyatakan pula

Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat kerja, rapat panitia kerja,

rapat tim perumus/tim kecil, dan/atau rapat tim sinkronisasi.

(6) Bahwa pembahasan RUU MD3 telah melalui proses yang dimulai dari

penugasan Badan Musyawarah kepada Panitia Khusus pada tanggal

23 Januari 2014. Berdasarkan penugasan Badan Musyawarah, Panitia

Khusus RUU MD3 dibentuk pada tanggal 28 Januari 2014 dan telah

melakukan rangkaian pembahasan RUU MD3 dalam Pembicaraan

Tingkat I yang meliputi rapat kerja dengan pemerintah, rapat dengar

pendapat (RDP), rapat dengar pendapat umum (RDPU), rapat panitia

kerja, dan rapat tim perumus dan tim sinkronisasi. Rangkaian tahapan

pembahasan RUU MD3 tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

Nomor Kegiatan Periode Waktu

1. Rapat Paripurna DPR RI 24 Oktober 2013

2. Rapat Badan Musyawarah 23 Januari 2014

3. Pembentukan Pansus 28 Januari 2014

4. Rapat Kerja 4 Maret – 14 Mei 2014

dan 12 Juni 2014

5. Rapat Dengar Pendapat (RDP) 19 Mei – 4 Juni 2014

6. Rapat Dengar Pendapat Umum

(RDPU) 20 Mei – 2 Juni 2014

7. Rapat Panitia Kerja 12 Juni – 7 Juli 2014

8. Rapat Tim Perumus 2 – 4 Juli 2014

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 146: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

49

9. Rapat Tim Sinkronisasi 4 – 6 Juli 2014

10. Raker Pansus 7 Juli 2014

Keseluruhan proses sebagaimana dimaksud dalam tabel di atas telah

diketahui oleh para Pemohon dan dinyatakan pula dalam

permohonannya (vide: Permohonan angka III.1 hal. 13-22);

(7) bahwa dalam proses pembahasan RUU baik dalam Pembicaraan

Tingkat I maupun Pembicaraan Tingkat II, Pemohon menghadiri dan

mengikuti proses pembahasan RUU MD3 sebagaimana dapat dilihat

dalam daftar hadir rapat dan risalah rapat pembahasan RUU MD3

terlampir;

(8) Bahwa terkait dengan munculnya ketentuan mengenai mekanisme

pemilihan Pimpinan DPR dalam pembahasan yang dipermasalahkan

secara formil oleh para Pemohon, dapat dijelaskan bahwa dalam

Raker Pansus Pembicaraan Tingkat I pada tanggal 7 Juli 2014,

substansi tersebut telah disepakati dengan beberapa alternatif

rumusan untuk diambil keputusan dalam Pembicaraan Tingkat II dalam

Rapat Paripurna tanggal 8 Juli 2014. Terkait mekanisme penambahan

substansi tersebut, sebenarnya telah disepakati pada Raker 12 Juni

2014 yang menyepakati mekanisme pembahasan utama adalah

berdasarkan DIM namun tidak menutup kemungkinan adanya usulan

baru di luar DIM yang berasal dari hasil RDP, RDPU, Rapat Konsultasi

maupun wacana yang berkembang di pansus;

(9) Bahwa hasil Pembicaraan Tingkat I atas pembahasan RUU dilanjutkan

pada Pembicaraan Tingkat II untuk mengambil keputusan dalam rapat

paripurna yang didahului salah satunya dengan pernyataan

persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota, apabila

persetujuan tidak tercapai secara musyawarah untuk mufakat,

pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak (vide

Pasal 151 UU 27 Tahun 2009 juncto Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2)

Tata Tertib);

(10) Bahwa suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150

ayat (2) Tata Tertib adalah sah apabila diambil dalam rapat yang

dihadiri oleh anggota dan unsur fraksi, dan disetujui oleh lebih dari

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 147: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

50

separuh jumlah anggota yang hadir (vide Pasal 277 ayat (1) Tata

Tertib);

(11) Bahwa ketentuan mengenai mekanisme pemilihan Pimpinan DPR

telah disetujui dalam Pembicaraan Tingkat II DPR melalui

pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak. Oleh

karenanya, proses pembahasan RUU MD3 telah memenuhi syarat

formil sebagaimana diatur dalam Pasal 20, dan Pasal 22A UUD

1945, UU 27 Tahun 2009, UU 12 Tahun 2011 dan Tata Tertib;

(12) Berdasarkan uraian di atas, DPR berpendapat bahwa UU MD3

secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945.

b. Tentang Pengujian Materiil Sebelum kami menyampaikan keterangan terhadap pengujian materiil

di atas beberapa pasal yang dimohonkan Pemohon, perkenankan kami

menyampaikan secara ringkas berkaitan dengan prinsip demokrasi, hak

memilih dan dipilih, independensi lembaga, perbandingan pengisian

pimpinan lembaga negara, dan tata cara pengisian Pimpinan DPR dan

pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya sejak DPR dibentuk sampai

dengan DPR periode 2009-2014.

(1) Bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang telah diakui dan

dipraktikkan sejak lama. Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki hak

dan kedudukan sebagai penentu dalam penyelenggaraan

pemerintahan, suara rakyat adalah suara Tuhan “Vox Populei Vox

Dei”. Rakyat memilih para wakilnya untuk menyelenggarakan

pemerintahan. Demokrasi melahirkan sistem perwakilan yang menjadi

latar belakang munculnya ide lembaga perwakilan atau lembaga

parlemen. Parlemen mewakili suara mayoritas rakyat dan sebagai

tempat bagi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan

penyelenggaraan pemerintahan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh

C. F Strong bahwa, “A system of government in which the majority if

the grown members of a political community participate through a

method of a representation which secures that the government is

ultimately responsible for its action to that majority.” Konsep negara

demokrasi di Indonesia dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2)

yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 148: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

51

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Indonesia juga

menganut konsep negara hukum, sehingga demokrasi di Indonesia

dibatasi oleh hukum (nomokrasi),sebagaimana dinyatakan dalam

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945bahwa “Negara Indonesia adalah negara

hukum.” Selanjutnya, pemilihan merupakan mekanisme pelaksanaan

kedaulatan rakyat. Dalam Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 diatur “Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum” juncto

Pasal 22E ayat (2) “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

Selanjutnya pemilihan umum menghasilkan besaran perolehan

suara“majority”. Pada negara yang menganut sistem dwi partai, partai

yang memperoleh mayoritas suara dinyatakan sebagai partai

pemenang pemilu dan menguasai parlemen (majority rule). Berbeda

dengan negara yang menganut sistem multi partai, untuk memperoleh

suara mayoritas yang melebihi50% sulit untuk dicapai, terhadap hal

seperti ini koalisi antar beberapa partai merupakan opsi politik untuk

mencapai majority rule. Terciptanya koalisi membuka ruang kompromi

dan kompetisi antara berbagai partai politik di parlemen, termasuk

dalam hal pemilihan pimpinan.

(2) Bahwa hak memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional yang

harus dilaksanakan untuk memberikan kesempatan yang sama dalam

hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1)

serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, yang juga secara

spesifik dimuat dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “Setiap warga negara

berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan

persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.” Hak memilih juga tercantum dalam

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah

diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political

Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 149: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

52

Berdasarkan prinsip hak asasi manusia, hak memilih dan dipilih

melekat pada setiap individu termasuk pada diri setiap anggota

lembaga perwakilan, meskipun mereka sudah menjadi anggota

lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat, sehingga setiap anggota

lembaga perwakilan memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih

sebagai pimpinan meskipun berasal dari partai minoritas di parlemen.

(3) Bahwa lembaga perwakilan sebagai lembaga negara yang dibentuk

berdasarkan konstitusi memiliki independensi untuk mengaturdan

mengurus kelembagaannya (independent and self-regulatory bodies),

serta menentukan berbagai mekanisme di lembaga tersebut. Salah

satu contohnya adalah dalam hal mengatur mekanisme pemilihan

pimpinan.

(4) Bahwa pengisian pimpinan secara independen yang dipilih “dari dan

oleh anggota”,juga dilakukan oleh lembaga negara lainnya, seperti

pemilihan pimpinan MPR, DPD, BPK, MA, dan bahkanpimpinan MK

sendiri dipilih dari dan oleh anggota MK. Sejak DPR dibentuk sampai

dengan September 2009, pimpinan DPR selalu dipilih dari dan oleh

anggota DPR. Penetapan pimpinan DPR yang berasal dari anggota

partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sampai

dengan kelima di DPRhanya pada DPR periode 2009 – 2014 saja.

Oleh karenanya, pemilihan pimpinan berdasarkan perolehan suara

terbanyak bukan merupakan konvensi ketatanegaraan.

Terhadap pokok-pokok permohonan pengujian ketentuan Pasal 84,

Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU

MD3,DPR memberikan keterangan sebagai berikut:

(1) Bahwa para Pemohon dalam permohonannya menghendaki agar

pimpinan DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik

dengan perolehan kursi terbanyak di DPR, sebagaimana yang diatur

pada Pasal 82 UU Nomor 27 Tahun 2009, sehingga Pemohon sebagai

pemenang Pemilu Legislatif DPR, DPD, DPRD Provinsi dan

Kabupaten/Kota Tahun 2014 merasa berhak menjadi Ketua DPR RI.

Akan tetapi, ketentuan tersebut diubah dengan Pasal 84 UU MD3;

(2) Bahwa para Pemohon beranggapan sudah menjadi hal yang umum

untuk mengadopsi konvensi partai politik pemenang pemilu legislatif

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 150: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

53

menjadi Ketua Parlemen, sebagaimana yang dilaksanakan di Amerika

Serikat. Terhadap anggapan para Pemohon tersebut, dapat dijelaskan

bahwa justru pola kepemimpinan di Kongres Amerika Serikat dikuasai

oleh partai pemenang pemilu atau partai mayoritas. Thomas Jefferson,

Charles de Montesquieu, Alexis de Tocqueville, dan Alexander

Hamilton dalam berbagai tulisan mengkritik sistem demokrasi

perwakilan di parlemen Amerika yang dikuasai oleh partai mayoritas

sebagai suatu tirani legislatif (legislative tyranny), dimana partai

mayoritas sering memiliki agenda pribadi terselubung, serta

mengabaikan suara dari partai minoritas dan suara rakyatitu sendiri.

Tirani mayoritas juga dialami oleh Yunani ketika demokrasi perwakilan

yang dijalankan tidak disertai dengan pembatasan, sehingga

mengurangi esensi demokrasi.

(3) Bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis harus

menerapkan prinsip check and balances. Apabila pemerintah dan

parlemen berasal dari satu partai politik yang sama, prinsip check and

balances menjadi kurang efektif dalam pemerintahan, serta akan

terjadi pemusatan kekuatan partai politik.

(4) Bahwa ketentuan Pasal 84 UU MD3 mengatur pemilihanpimpinan dari

dan oleh anggota DPR, merupakan pilihan kebijakan untuk

menegakkan prinsip demokrasi di parlemen. Model yang diadopsi oleh

UU MD3 ini telah sesuai dengan konsep kedaulatan rakyat yang

mengakui hak anggota lembaga perwakilan untuk tetap memiliki hak

memilih dan dipilih di dalam lembaga perwakilan (DPR), sebagaimana

telah diatur dalam Pasal 80 huruf d UU MD3. Ketentuan dalam pasal a

quo sekaligus memberikan perlindungan terhadap hak dan

kepentingan partai minoritas. Meskipun demikian, pengisian pimpinan

DPR melalui pemilihan tetap memberikan ruang musyawarah untuk

mufakat yang merupakan ciri demokrasi Indonesia.

(5) Bahwa sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan

perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004, hak

memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate) dijamin

oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional.

Pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 151: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

54

dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga

negara. Dalam menentukan pimpinan di DPR pun tidak diperlukan

pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan hak bagi

setiap anggota untuk memilih dan dipilih. Pemilihan pimpinan DPR

secara demokratis menjamin kualitas sesuai dengan yang diinginkan

oleh para anggota DPR, bukan keinginan fraksi semata yang akhirnya

memperlemah citra DPR di mata publik.

(6) Bahwa diaturnya tata cara pengisian pimpinan DPR UU MD3 melalui

mekanisme dipilih dari dan oleh anggota, tidak merugikan hak para

Pemohon sebagai partai politik yang memperoleh suara dan kursi

terbanyak pada pemilu legislatif tahun 2014, karena Pemohon tetap

memiliki kesempatan untuk dipilih menjadi pimpinan DPR.

(7) Bahwa sebagai lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan

sebagai lembaga negara, DPR memiliki hak untuk mengatur dan

mengurus dirinya sendiri menurut konstitusi.Pengisian pimpinan DPR

merupakan pilihan kebijakan untuk memberikan pengakuan dan

menegakkan independensi secara kelembagaan.

(8) Bahwa praktik pengisian pimpinan lembaga negara secara independen

juga diberlakukan pada lembaga negara lainnya berdasarkan UUD

1945. Selanjutnya, perkenankan kami menyampaikan beberapa tata

cara pengisian pimpinan lembaga negara:

No Lembaga Negara

Dasar Hukum Tata Cara Pengisian Pimpinan

1 MPR Pasal 15 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR

2 DPD Pasal 260 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Pimpinan DPD dipilih dari dan oleh anggota DPD.

3 BPK Pasal 15 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK

Ketua dan Wakil Ketua BPK dipilih dari dan oleh anggota BPK

4 MA Pasal 24A ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 8 ayat 7 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU

Ketua dan Wakil Ketua MA dipilih dari dan oleh hakim agung.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 152: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

55

Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA

5 MK Pasal 24C ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK

Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh hakim konstitusi

6 KY Pasal 7 UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

Pimpinan Komisi Yudisial dipilih dari dan oleh anggota Komisi Yudisial

(9) Penetapan Ketua DPR berasal dari anggota partai politik yang

memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR, bukan merupakan

konvensi ketatanegaraan karena sejak DPR berdiri sampai dengan

September 2009, Ketua DPR selalu dipilih dari dan oleh anggota DPR,

hanya pada DPR periode 2009 – 2014 saja, Ketua DPR ditetapkan

dari anggota partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di

DPR. Demikian juga dengan pimpinan AKD lainnya, penetapan Ketua

AKD berasal dari anggota partai politik yang memperoleh kursi

terbanyak pertama di DPR juga bukan merupakan konvensi

ketatanegaraan. Berikut diuraikan tata cara pengisian Pimpinan DPR

dan Pimpinan AKD lainnya sejak DPR berdiri sampai dengan DPR

periode 2009 - 2014:

Periode Keanggotaan

DPR

Dasar Hukum Tata Cara Pengisian Pimpinan DPR dan/atau Pimpinan AKD Lainnya

Periode Komite Nasional Pusat (KNP) dan Badan Pekerja KNP

Peraturan Tata Tertib KNP (Disahkan dalam rapat Badan Pekerja KNP tanggal 1 Desember 1949)

---

Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Tata Tertib Badan Pekerja KNP (Disahkan dalam rapat Badan Pekerja tanggal 10 Juni 1947)

• Ketua Badan Pekerja ialah Komite Nasional Pusat.

• Wakil Ketua I dan Wakil Ketua II dipilih oleh Badan Pekerja di antara anggota-anggotanya

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 153: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

56

Periode DPR dan Senat RIS

Pasal 9 s. d. Pasal 26 Peraturan Tata Tertib Senat RIS

Ketua dan Wakil Ketua Senat dipilih dari dan oleh anggota Senat

Periode DPR Sementara (16 Agustus 1950 – 25 Maret 1956)

• Pasal 5 s. d. Pasal 17, Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (3) Keputusan DPR Sementara Nomor 30/K/1950 tentang Peraturan Tata Tertib DPRS

• Ketua dan Wakil-Wakil Ketua dipilih dari dan oleh anggota DPRS

• Pimpinan AKD lainnya (Seksi-Seksi dan Bahagian-Bahagian) dipilih dari dan oleh anggotanya

Periode DPR hasil Pemilu Tahun 1955, 26 Maret 1956 – 22 Juli 1959)

Pasal 2 s. d. Pasal Pasal 13 Keputusan DPR Nomor 8/DPR-45/59 tentang Peraturan Tata Tertib DPR (TLN Tahun 1959 Nomor1897)

• Ketua dan Wakil-Wakil Ketua dipilih dari dan oleh anggota DPR

• Pimpinan AKD (Badan Perlengkapan DPR ditetapkan oleh AKD (Badan Perlengkapan DPR) yang bersangkutan.

Periode DPR hasil Pemilu 1955, Berlandaskan UUD 1945, 22 Juli 1959 – 29 Juli 1960)

Pasal 2 dan Pasal 12 Peraturan Presiden RI Nomor 14 Tahun 1960 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat (TLN Tahun 1960 Nomor 1897)

• Pimpinan DPR diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

• Pimpinan AKD (Badan Perlengkapan DPR) ditetapkan oleh AKD (Badan Perlengkapan DPR) yang bersangkutan.

Periode DPRGR, Orde Lama, 24 Juni 1960 – 15 Nopember 1965)

Pasal 2, Pasal 12, dan Pasal 15 Peraturan Presiden RI Nomor 28 Tahun 1960 tentang Peraturan Tata Tertib DPRGR (LN Nomor 176 Tahun 1960)

• Pimpinan DPR diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

• Pimpinan AKD (Badan Perlengkapan DPR) diangkat oleh pimpinan DPR

• Pasal 3, Pasal 11, Pasal 14 dan Pasal 17, Peraturan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Tata Tertib DPRGR (LN Nomor 91 Tahun 1964, TLN Tahun 1964 Nomor 2684)

• Pimpinan DPRGR diangkat dan diberhentikan oleh Presiden/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi

• Pimpinan AKD (Badan Perlengkapan DPRGR) diangkat oleh pimpinan DPRGR

Periode DPRGR Minus PKI, 15 November 1965 – 19 November 1966)

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 1966 tentang Peraturan Tata Tertib DPRGR (LN Nomor 91 Tahun 1964, TLN Tahun 1964 Nomor 2684

---

Pasal 5, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 27 Keputusan

• Ketua dan Wakil - Wakil Ketua DPRGR dipilih dari

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 154: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

57

DPRGR Nomor 31/DPR-GR/IV/65-66 tentang Peraturan Tata Tertib DPRGR

dan oleh anggota • Pimpinan AKD (Badan

Perlengkapan DPRGR) ditetapkan oleh pimpinan DPRGR dengan memperhatikan pertimbangan kelompok-kelompok

Pasal 1 Keputusan DPRGR Nomor 30/DPR-GR/IV/65-66 tanggal 17 Mei 1966 tentang Peraturan Tata Tertib Pemilihan Pimpinan DPR

Pimpinan DPR dipilih oleh dan dari anggota DPRGR

Periode DPRGR dalam zaman Orde Baru, 19 November 1966 – 28 Oktober 1971)

Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan MPRS dan DPRGR Menjelang Pemilihan Umum

Ketua dan para Wakil Ketua DPR-GR dipilih oleh dan dari anggota

Pasal 27 dan Pasal 30 Keputusan DPRGR Nomor 10/DPR-GR/III/1967-1968 tentang Peraturan Tata Tertib DPRGR

Pimpinan Badan Kelengkapan DPRGR ditetapkan oleh pimpinan DPRGR

Periode DPR hasil Pemilu Tahun 1971, 28 Oktober 1971 – 30 September 1977

Pasal 16 UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD

Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR

Pasal 35, Pasal 43, dan Pasal 45 Keputusan DPR Nomor 7/DPR-RI/III/71-72 tanggal 8 Januari 1972

• Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR

• Pimpinan Panitia Rumah Tangga ditetapkan oleh Badan Musyawarah

• Pimpinan komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi

Periode DPR hasil Pemilihan Umum 1977, tanggal 1 Oktober 1977 – 30 September 1982

UU Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD

Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR

Pasal 44, Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan DPR RI Nomor 17/DPR-RI/IV/77-78 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI sebagaimana telah diubah dengan Keputusan DPR RI Nomor 14/DPR-RI/IV/78-79 tentang Penyempurnaan Tata Tertib DPR RI

• Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR

• Pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan oleh anggota AKD yang bersangkutan

Periode DPR RI hasil Pemilu

UU Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan UU

Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 155: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

58

Tahun 1982, dilantik dan diambil sumpahnya tanggal 1 Oktober 1982

Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD

Pasal 46, Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan DPR RI Nomor 10/DPR-RI/III/82-83 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI

• Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota

• Pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan oleh anggota AKD yang bersangkutan

Periode DPR RI hasil Pemilu 23 April 1987 (DPR Periode 1987 – 1992)

UU Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 1969 Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Sebagaimana Telah Diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 1975

Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR

Periode DPR RI hasil Pemilu 9 Juni 1992 (DPR Periode 1992 – 1997)

UU Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 1969 Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Sebagaimana Telah Diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 1975

Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR

Periode DPR RI hasil Pemilu 29 Mei 1997 (DPR Periode 1997 – 1999)

UU Nomor 5 Tahun 1995 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir dengan UU Nomor 2 Tahun 1985

Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR

Pasal 46, Pasal 58 ayat (2), Pasal 63 ayat (2), dan Pasal 67 ayat (2) Keputusan DPR RI Nomor 9/DPR-RI/I/1997-1998 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI

• Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR

• Pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan oleh anggota AKD yang bersangkutan

Periode DPR RI hasil Pemilu 1999 (DPR Periode 1999 – 2004)

Pasal 17 UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD

Pemilihan

Pasal 24, Pasal 36, Pasal 41, Pasal 45, Pasal 49, dan Pasal 53 Keputusan DPR Nomor 16/DPR RI/1999-2000 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI

• Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR

• Pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan oleh anggota AKD yang bersangkutan

Periode DPR RI hasil Pemilu 2004 (DPR Periode

Pasal 21 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan

Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh Anggota DPR

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 156: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

59

2004 – 2009) MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 23, Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI

• Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR

• Pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan oleh anggota AKD yang bersangkutan

Periode DPR RI hasil Pemilu 2009 (DPR Periode 2009 – 2014)

Pasal 82 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Pimpinan DPR berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR

Pasal 95, Pasal 101, Pasal 106, Pasal 119, Pasal 125, dan Pasal 132 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan oleh anggota AKD yang bersangkutan

(10) Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka DPR berpendapat ketentuan

Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan

Pasal 152 UU MD3 sebagaimana dimaksudkan dalam permohonan

a quo adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Demikian Keterangan DPR untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Hakim

Mahkamah Konstitusi yang mulia untuk memeriksa, memutus dan mengadili

perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menolak permohonan para Pemohon atau setidaknya menyatakan

Permohonan para Pemohon tidak dapat diterima;

2. Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;

3. Menyatakan Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121,

dan Pasal 152 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014

Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan

dengan UUD 1945;

4. Menyatakan Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121,

dan Pasal 152 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014

Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetap mempunyai

kekuatan hukum mengikat.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 157: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

60

[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden

memberi keterangan lisan dalam persidangan tanggal 23 September 2014,

sebagai berikut:

1. Bahwa Pemerintah mengapresiasi dan menghargai usaha-usaha yang

dilakukan oleh masyarakat termasuk juga oleh Para Pemohon untuk

mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang MD3. Tentunya

kesemuanya adalah satu tujuannya adalah dalam rangka menjaga dan

memperbaiki demokrasi dan sistem ketatanegaraan agar dapat berjalan sesuai

dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

yang menurut Pemerintah hal ini adalah tepat diajukan ke Mahkamah

Konstitusi untuk mendapatkan putusan dan menjadi jalan keluar yang terbaik; 2. Bahwa terkait dengan permohonan pengujian Pasal 84 Undang-Undang MD3

yang pada intinya mengatur tentang tata cara pemilihan pimpinan DPR, yaitu

bahwa calon pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang

wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang

bersifat tetap.Adapun calon pimpinan dapat disampaikan dalam rapat

paripurna oleh masing-masing fraksi yang selanjutnya dipilih secara

musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan oleh ketua atau keputusan DPR. 3. Bahwa pascaperubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami banyak perubahan

termasuk kelembagaan pemusyawaratan perwakilan, yaitu MPR, DPR, dan

DPD, dan DPRD. Perubahan dimaksud adalah dalam rangka untuk

mewujudkan lembaga pemusyawaratan perwakilan yang lebih demokratis,

efektif, dan akuntabel. 4. Bahwa pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan DPR adalah bagian dari

anggota MPR sehingga dapat dimungkinkan adanya proses pemilihan dengan

suara terbanyak jika penyelesaian melalui musyawarah mufakat tidak tercapai.

Hal ini dimaksudkan agar terwujudnya pimpinan lembaga permusyawaratan

yang lebih demokratis dengan mengedepankan proses musyawarah mufakat

dan suara terbanyak. Hal tersebut, merupakan suatu proses yang sesuai

dengan nilai-nilai demokratis dalam pola pemilihan yang melibatkan seluruh

unsur fraksi yang ada di dalam DPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 158: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

61

5. Bahwa dengan adanya ketentuan yang menjadi objek permohonan a quo,

maka tidak menutup kemungkinan bahwa partai politik yang memperoleh

suara terbanyak dapat mengajukan calonnya untuk menjadi pimpinan DPR. 6. Bahwa terhadap beberapa Pasal yang dimohonkan pengujian terkait dengan

keterwakilan perempuan, menurut perimbangan anggota di tiap-tiap partai,

yaitu sebagaimana tercantum di dalam Ketentuan Pasal 97, Pasal 104, Pasal

109, kemudian Pasal 115, Pasal 125, dan Pasal 152 yang terkait dengan alat

kelengkapan DPR dan keterwakilan perempuan, maka menurut Pemerintah

hal tersebut merupakan salah satu langkah perbaikan demokrasi penataan

kelembagaan negara yang berbasis kepada kedaulatan anggota dalam

rekrutmen pimpinan secara proporsional. Meskipun dalam ketentuan a quo

tidak menyebutkan adanya klausal keterwakilan perempuan, namun bukan

berarti membatasi peran serta perempuan untuk duduk sebagai unsur

pimpinan di dalam lembaga negara tersebut. Justru ketentuan tersebut

menurut Pemerintah telah memberikan keleluasaan seluas-luasnya agar

perempuan dapat berkiprah lebih jauh dan lebih menentukan pada lembaga-

lembaga negara tersebut. 7. Bahwa terkait dengan ketentuan Pasal 245 Undang-Undang MD3 yang

mengatur tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota DPR yang

diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari

Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan bagian dari pelaksanaan asas

praduga tak bersalah, dan persamaan kedudukan hukum, berkesamaan

kedudukan di muka hukum dalam rangka menjaga wibawa hukum.

Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk tidak menghalang-halangi proses

penegakan hukum dalam rangka melakukan penyelidikan dan penyidikan,

namun lebih kepada persyaratan administratif untuk meyakinkan bahwa

dugaan pidana terhadap anggota DPR telah memiliki bukti atau basis yuridis

yang kuat. 8. Bahwa dalam ketentuan Pasal 245 juga telah memberikan jalan keluar, yaitu

apabila dalam kurun waktu 30 hari persetujuan tertulis tidak diberikan, maka

proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilaksanakan tanpa persetujuan

tertulis dari Dewan Kehormatan Dewan, dan ketentuan ini menurut Pemerintah

telah memberikan kepastian hukum bagi aparat penegak hukum

melaksanakan tugasnya.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 159: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

62

9. Bahwa berdasarkan seluruh penjelasan tersebut di atas, Pemerintah

memohon Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus

permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3

untuk memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, ex aequo et

bono

[2.6] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait

Fahri Hamzah, Muhammad Nasir Djamil, S.Ag., Dr.H.Sa’duddin, M.M., dan Hadi Mulyadi memberi keterangan lisan dan tertulis dalam persidangan tanggal 23

September 2014, sebagai berikut:

I. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) 1. Bahwa Pihak Terkait adalah perseorangan warga negara Republik

Indonesia yang merupakan Calon Legislatif DPR RI dari Partai Keadilan

Sejahtera yang ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI terpilih

periode 2014-2019;

2. Bahwa dengan adanya pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perkara Nomor73/PUU-

XII/2014, sangat berkaitan dengan para Pihak Terkait dalam kapasitasnya

sebagai anggota DPR RI terpilih periode 2014-2019;

3. Bahwa di dalam permohonan yang diajukan oleh para Pemohon, pokok

permohonan dan petitum yang dimohonkan secara jelas dan nyata-nyata

akan sangat merugikan hak konstitusional dan kepentingan PIHAK

TERKAIT sebagai anggota DPR RI Terpilih periode 2014-2019;

4. Bahwa Pihak Terkait adalah anggota DPR RI Terpilih Periode 2014-2019

yang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan

untuk memilih dan dipilih menjadi pimpinan DPR sesuai dengan amanah

Pasal 27 UUD 1945 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya”

5. Bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005

tentang Pedoman Beracara dalam Perkara PengujianUndang-

Undangberdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) “Pihak Terkait yang

dimaksud Pasal 13 ayat (1) huruf g adalah pihak yang berkepentingan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 160: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

63

langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan.dan ayat (2)

“Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak

dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan.”

6. Bahwa dengan diajukannya pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perkara Nomor 73/PUU-

XII/2014 oleh para Pemohon, Pihak Terkait berkepentingan langsung yang

hak dan kewenangannya terpengaruh dengan pokok permohonan.

7. Atas dasar alasan-alasan sebagaimana diuraikan diatas, secara jelas dan

nyata Pihak Terkait akan dirugikan hak-hak dan kepentingannya apabila

Permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan para Pemohon

diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi tanpa kehadiran dan

mendengarkan keterangan Pihak Terkait;

8. Bahwa oleh karenanya untuk membela hak-hak konstitusional dan

kepentingan hukum, maka Pihak Terkait mempunyai kedudukan hukum

atau legal standing untuk mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait

dan menyampaikan keterangan dalam pemeriksaan perkara aquo,

sehingga beralasan hukum bagi Ketua Mahkamah Konstitusi untuk

memeriksa dan mengadili perkara a quo serta menerima dan

mempertimbangkan Keterangan yang kami sampaikan.

II. EKSEPSI II.1 PERMOHONAN PARA PEMOHON PREMATURE Bahwa terkait dengan Permohonan yang diajukanPemohon, Pihak Terkait

mengajukan eksepsi mengenai Permohonan para Pemohon Premature,

dengan dasar-dasar dan alasan-alasan sebagai berikut:

9. Bahwa Pemohon telah salah dalam menafsirkan batas tenggang waktu

pengajuan uji formil terhadap diundangkannya Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 sebagaimana pada Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-

VII/2009 tertanggal 30 Desember 2009. Pemohon tidak mencermati makna

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 di maksud yang

secara tegas menyatakan “Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam

pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk

memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 161: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

64

secara formil. Pertimbngan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat

karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil.

Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara

sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahuui

dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan

dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu

dapat diketahui lebih cepat statusnya apakah telah dibuat secara sah atau

tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang

batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh

lima hari setelah Undang-Undang dimut dalam Lembaran Negara sebagai

waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-

Undang”.Atau dengan kata lain Uji formil dapat diajukan permohonannya

dalam tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah RUU disahkan

menjadi Undang-Undang dan dimasukkan dalam LembaranNegara;

10. Bahwa Pemohon telah salah dalam menetapkan tanggal 8 Juli 2014

adalah sebagai tanggal pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2014, bahwa dalam dalil perbaikan permohonan para Pemohon tertanggal

29 agustus 2014 halaman 12 menyatakan “Bahwa UU 17/2014 disahkan

pada tanggal 8 Juli 2014 dan diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014,

sementara pengajuan permohonan a quo pada tanggal 24 Juli 2014, maka

permohonan uji formil atas Pasal 84 UU 17/2014 masih dalam tenggang

waktu sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-

VII/2009 tertanggal 30 Desember 2009” .

Faktanya Undang-Undanga quo dimaksud disahkan pada tanggal 5

Agustus 2014 sebagaimana tertulis dalam halaman terakhir naskah

Undang–Undang Nomor 17 Tahun 2014. Tanggal 8 Juli 2014 adalah

tanggal persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden terhadap RUU

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD 3). Hal mana

sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, yaitu: “Setiap

rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan

Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama’;

11. Bahwa permohonan Pemohon didaftarkan pada tanggal 25 Juli 2014

yang kemudian diregister dalam perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 atau

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 162: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

65

ketika UU Nomor 17 Tahun 2014 masih dalam bentuk Rancangan

Undang-Undang karena belum disahkan dan belum dimasukan dalam

Lembaran Negara. Bahkan, meskipun perbaikan permohonan Para

Pemohon tertanggal 29 Agustus 2014 namun secara formal yuridis masih

belum masuk jangka waktu diajukannya permohonan judicial review

Undang-Undang a quo.

12. Bahwa Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baru disahkan dan

diundangkan masuk dalam lembaran Negara Republik Indonesia pada

tanggal 5 Agustus 2014 dan dimasukkan dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, maka terbukti permohonan

aquo premature karena Undang-Undang yang diajukan masih berupa

Rancangan Undang-Undang (RUU) dan cukup beralasan hukum bagi

Mahkamah menyatakan Permohonan a quo tidak dapat diterima

(nietontvankelijk verklaard);

II.2 PEMOHON TIDAK MEMPUNYAI LEGAL STANDING Bahwa terkait dengan Permohonan yang diajukan Pemohon, Pihak Terkait

mengajukan eksepsi bahwa Pemohon tidak mempunyai legal standing untuk

mengajukan permohonan dengan dasar-dasar dan alasan-alasan sebagai

berikut:

13. Bahwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(selanjutnya disebut UU MK), menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak

yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan

oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 163: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

66

Dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang MK dinyatakan

bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang

diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini berarti bahwa adanya

hak–hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 yang termasuk “Hak

konstitusional”. Oleh karena itu menurut Undang-Undang MK, agar

seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai pihak Pemohon yang

memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian

Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus

menjelaskan dan membuktikan:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan penjelasan Undang-Undang MK

yang dianggapnya telah dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-

Undang yang dimohonkan pengujiannya;

b. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon sebagai

akibat dari berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya

14. Bahwa Mahkamah konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan

tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu

Undang Undang berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK sebagaimana

tertuang dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan 010/PUU-

III/2005 yaitu sebagai berikut:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang

diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya pemohon tersebut

dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang

yang dimohonkan pengujiannya;

c. kerugian konstitusional pemohon yang dimaksud bersifat spesifik

(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut

penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (casual verband) antara kerugian dan

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 164: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

67

Apabila kelima syarat tersebut di atas tidak dipenuhi oleh Pemohon maka

pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing)

sebagai pihak Pemohon;

15. Bahwa berdasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang

MK serta persyaratannya menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005, Pihak Terkait

berpendapat bahwa tidak ada kerugian konstitusional para Pemohon atau

kerugian yang bersifat potensial akan terjadi dengan berlakunya Pasal

84Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, dengan penjelasan sebagai

berikut:

a. Bahwa dalam permohonan a quo Pemohon tidak menjelaskan secara

konkrit hak-hak konstitusionalnya yang dirugikan sebagai akibat

berlakunya Pasal 84Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

b. Bahwa dalil para Pemohon yang mendalilkan bahwa dengan berlakunya

Pasal tersebut berpotensi merugikan para Pemohon untuk menjadi

pimpinan DPR dan pimpinan kelengkapan DPR dimana hak menjadi

pimpinan DPR dan Pimpinan Kelengkapan DPR menjadi hilang sangat

berlebihan dan tidak berdasar;

c. Bahwa Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 justru

mengakomodir hak – hak setiap anggota DPR untuk menjadi Calon

Pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR sebagaimana yang

diamanahkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yaitu “segala warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan

itu dengan tidak ada kecualinya”

d. Bahwa setiap anggota DPR RI berhak dan mempunyai kedudukan yang

sama untuk menjadi bakal calon pimpinan DPR, dengan demikian dalil

tersebut hanyalah asumsi para Pemohon, sesungguhnya para

Pemohon sama sekali tidak mengalami kerugian konstitusional seperti

yang didalilkan;

16. Bahwa dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon justru akan

mengakibatkan adanya kerugian hak dan kewenangan konstitusional bagi

Pihak Terkait selaku anggota DPR RI Terpilih Periode 2014-2019 karena

tidak dapat dicalonkan untuk menjadi pimpinan DPR, jelas hal ini

melanggar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 165: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

68

17. Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (2), Pasal

22E ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang

dijadikan dasar oleh para Pemohon untuk mendalilkan adanya kerugian

konstitusional para Pemohon adalah tidak terbukti karena pada dasarnya

prinsip prinsip yang terkandung dalam Pasal-Pasal UUD 1945 a quo sudah

masuk dalam Pasal-Pasal dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 yang

dianggap merugikan oleh Para Pemohon, yaitu Pasal 84, UU Nomor 17

Tahun 2014. Oleh karenanya sudah jelas dan dapat dipastikan tidak ada

kerugian konstitusional yang spesifik (khusus) dan aktual yang dialami

para Pemohon;

18. Bahwa berdasarkan uraian tersebut Pihak Terkait berpendapat bahwa

sesungguhnya tidak sedikitpun terdapat hak konstitusional para Pemohon

yang dirugikan, ataupun sama sekali berpotensi menimbulkan kerugian

konstitusional terhadap para Pemohon;

19. Bahwa oleh karena tidak sedikitpun hak dan kewenangan para Pemohon

yang dirugikan maupun adanya potensi kerugian dengan berlakunya

Pasal-Pasal a quo maka sudah sepatutnya Majelis Hakim Mahkamah

Konstitusi Yang Mulia menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat

diterima (niet ontvankelijk verklaard);

20. Bahwa Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), Pihak

Terkait berpendapat Pemohon I sebagai Partai Politik telah menempatkan

kader-kadernya sebagai sebagai wakilnya dengan menjadi anggota DPR,

Fraksi PDIP, yang memiliki kewenangan untuk membuat Undang-Undanga

quo, dengan kata lain Partai Politik yang menempatkan kadernya sebagai

anggota DPR tentulah menjadi bagian dari pembuatan Undang-Undang

dalam hal ini termasuk sebagai bagian Lembaga DPR;

21. Bahwa yang memegang sebagai kekuasaan membentuk Udang-Undang

berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 adalah DPR sebagai Institusi

atau lembaga sehingga sungguh janggal jika Undang-Undang yang dibuat

oleh DPR dan menjadi kekuasaan DPR untuk membentuknya masih dapat

diuji konstitusionallitasnya oleh DPR sendiri yang telah ikut membahas

dalam proses pembentukan Undang-Undanga quo;

22. Bahwa oleh karenanya Pemohon I tidak tepat sebagai pihak yang

mengajukan permohonan pengajuan Undang-Undanga quo karena

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 166: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

69

substansi persoalan dalam permohonan a quo adalah persoalan legislative

review, apalagi berkaitan dengan pengaturan yang bersifat open legal

policy, yang kewenangannya dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan

Rakyat itu sendiri. Sehingga menurut Pihak Terkait alangkah tepatnya jika

Pemohon I melalui wakilnya di DPR melakukan usul untuk melakukan

perubahan Undang-Undang tersebut, in casu ketentuan yang dimohonkan

uji oleh Pemohon (vide Putusan Mahkamah Nomor 20/PUU-VI/2007).

III. KETERANGAN PIHAK TERKAIT Bahwa Pihak Terkait menolak dengan tegas dalil-dalil permohonan Pemohon,

kecuali terhadap hal-hal yang diakui kebenarannya dalam keterangan ini;

Bahwa eksepsi Pihak Terkait adalah merupakan satu kesatuan dengan

keterangan Pihak Terkait, selanjutnya terhadap dalil-dalil Para Pemohondalam

pokok permohonan, perkenankan Pihak Terkait menyampaikan bantahan

dalam Keterangan Pihak Terkait sebagai berikut:

23. Bahwa para Pemohon dalam permohonan pada pokoknya mengemukakan

bahwa ketentuan Pasal 84 UU Nomor 17 Tahun 2014 bertentangan

dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22E ayat

(3), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

24. Bahwa dalam permohonan pemohon halaman 10, telah menjadikan Pasal

82 UU Nomor 27 Tahun 2009 sebagai rujukan tentang PDIP sebagai

partai politik yang memperoleh suara terbanyak di DPR serta merta

menjadi Ketua DPR RI sementara dengan diberlakukannya ketentuan

Pasal 84 ayat (1) UU Nomor 17 Tahiun 2014 permohonannya Pemohon

menyimpulkan bahwa hak untuk menjadi Ketua DPR bagi anggota DPR

dari PDI Perjuangan hilang setelah disahkannya Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2014;

25. Bahwa seharusnya Pemohon menyandingkan juga dengan ketentuan

Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, pada tahun-tahun sebelumnya yaitu dari tahun 1999 dan Tahun

2003.Sebagaimana dimaksud Pasal 17 UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang

Susduk MPR, DPR dan DPRD, Pasal 21 UU Nomor 22 Tahun 2003

tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD, dan Pasal 82 UU Nomor 27

Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 167: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

70

Faktanya Partai pemenang Pemilu pada tahun 1999 adalah PDI

Perjuangan, namun dalam mekanisme pemilihan ketua DPR RI

berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1999 dipilih

berdasarkan usulan fraksi yang mencerminkan fraksi-fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah anggota fraksi sehingga terpilihlah

Ketua DPR RI periode 1999-2004 adalah Ir. Akbar Tanjung dari Fraksi Partai GOLKAR yang bukan pemenang Pemilu. Demikian juga Pada Tahun 2004Partai Pemenang Pemilu adalah Partai

Golkar dengan mekanisme pemilihan ketua berdasarkan Pasal 21 ayat (1)

dipilih dari dan oleh Anggota DPR dalam Sidang Paripurna DPR terpilihlah

Ketua DPR RI periode 2004-2009 adalah Dr. H.R. Agung Laksono dari Fraksi Partai GOLKAR. Dengan demikian walaupun tidak disebutkan bahwa yang berhak menjadi

Pimpinan DPR maupun Pimpinan kelengkapan DPR dipilih dari partai

politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR pada

faktanya tidak menghilangkan hak dan kewenangan dari partai politik

pemenang pemilu untuk menjadi pimpinan DPR;

26. Bahwadengan demikian dalil Para Pemohon yang menyatakan hak dan

kewenangan konstitusinya hilang atau dirugikan karena berlakunya Pasal 84 UU Nomor 17 Tahun 2014 dan bertentangan dengan UUD 1945hanyalah asumsi dan tidak beralasan menurut hukum;

27. Bahwa materi muatan ketentuan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 apabila dihapuskan dalam hal ini kembali kepada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 justru bertentangan dengan

UUD 1945 karenamenimbulkan ketidakadilan bagi Pihak Terkait sebagai

warga negara Indonesia memiliki hak-hak yang dijamin konstitusi berupa

hak-hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, memperoleh kesempatan

dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan,

perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia,

dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam

naungan negara hukum termasuk didalamnya menjadi calon pimpinan

dewan dan pimpinan kelengkapan dewan sebagaimana dimaksud Pasal 1

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 168: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

71

ayat (2) dan ayat (3), Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat

(1) UUD 1945;

28. Bahwa dengan mekanisme pemilihan pimpinan DPR sebagaimana diatur

dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 maka pemilihan

pimpinan DPR menjadi lebih demokratis dan mempunyai prinsip

pengakuan hak yang sama bagi setiap anggota DPR RI untuk memilih dan

dipilih;

ALASAN FORMIL 29. Dalil Pemohon Terkait bahwa uji formil Undang-UndangNomor 17 Tahun

2014 masih dapat dilakukan karena pembuatan Undang-Undanga quo

belum melampaui waktu 45 hari sebagaimana ditentukan Mahkamah

dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 tertanggal 30 Desember

2009.(Dalil Pemohon Angka III.1, Hal. 23-25);

Bahwa Mahkamah dalam pertimbangan hukum sebagaimana dimuat

dalam paragraph “3.34” Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009, yaitu:

[3.34] Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan

a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu

atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil.

Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik

dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-

Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana

ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan

dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD

1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih

cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak,

sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal

sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima)

hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai

waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-

Undang;

30. Bahwa Pemohontelah salah dalam menafsirkan batas tenggang waktu

pengajuan uji formil terhadap diundangkannya Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014, sebagaimana pada Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-

VII/2009 tertanggal 30 Desember 2009. Pemohon tidak mencermati makna

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 169: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

72

putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-VII/2009 di maksud yang secara tegas

menyatakan bahwa tenggang waktu pengujian formil terhadap Undang-

Undang adalah 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat

dalam Lembaran Negara. Atau dengan kata lain Uji formil dapat diajukan

permohonannya dalam tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah

RUU disahkan menjadi Undang-Undang dan di masukan dalam lembaran

negara;

31. Bahwa Pemohon telah salah dalam menetapkan tanggal 8 Juli 2014

adalah sebagai tanggal pengesahan Undang-UndangNomor 17 Tahun

2014. Faktanya UU Nomor17 Tahun 2014 disahkan pada tanggal 5

Agustus 2014 sebagaimana tertulis dalam halaman terakhir

naskahUndang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan diundangkan pada

tanggal 5 agustus 2014 dan dimasukkan dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182;

32. Bahwa Tanggal 8 Juli 2014 adalah tanggal persetujuan bersama oleh DPR

dan Presiden terhadap RUU MD3. Hal mana sebagaimana tertuang

dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, yaitu:

“Setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat

dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”

33. Bahwa oleh karena permohonan Pemohon didaftarkan pada tanggal 25 Juli

2014 yang kemudian diregister dalam perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 atau

ketika UUNomor17 Tahun 2014 masih dalam bentuk RUU dan belum

dimasukan dalam Lembaran Negara, maka terbukti permohonan a quo

premature karena diajukan sebelum disahkan menjadi Undang-Undang dan

cukup beralasan hukum bagi Mahkamah menyatakan Permohonan aquo

tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

34. Bahwa dalilpermohonan Pemohon terkait denganpembentukan Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011, terutama asas “keterbukaan,”

disebabkan materi final muatan Pasal 84Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tidak berasal dari “Naskah Akademik” yang diajukan di awal

pembahasan DPR dan disampaikan kepada Pemerintah, dimana

Pemerintah pun tidak mengajukan usulan perubahan materi muatan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 170: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

73

sebagaimana telah dirumuskan dalam Naskah Amademik RUU MD3 dari

pihak DPR.(Dalil Pemohon Hal. 24). Maka, Pihak Terkait berpendapat

Bahwa dalam Penjelasan Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 12

tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 52341; Lampiran

IUndang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan Teknik penyusunan naskah akademik Rancangan

Undang-Undang,Rancangan peraturan daerah provinsi, dan rancangan

peraturan daerah Kabupaten/Kota

Disebutkan Pada Bab I Huruf (C) bahwa: “Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai

dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas,

tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:

1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan

berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi

permasalahan tersebut.

2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan

pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan

Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan

dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis

pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.

4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup

pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan

Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.

Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.”

Kata “Acuan atau referensi” menunjukan bahwa Naskah Akademik hanya

menjadi acuan atau referensi saja dalam menyusun rancangan suatu

Undang-Undangsehingga ada tidaknya naskah akademik tidak

menentukan sah atau tidaknya Undang-Undang yang sudah disahkan.

35. Bahwa terkait dengan [ermohonan Pemohon tentang pengujian formil atas

Pasal84Undang-Undang 17 Nomor 2014 dilakukan dengan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 171: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

74

mempertimbangkan prosedur pembentukan peraturan perundang-

undangan sebagaimana diatur dalam UU 12/2011, menurut Pihak Terkait

Pemohon telah keliru dalam memahami mengenai doktrin dan asas-asas

pengujian formil (toetsingsrecht). Dalam pengujian formil atas suatu

Undang-Undang, maka objek pengujiannya adalah proses pembentukan

Undang-Undang dalam arti suatu Undang-Undang dan bukan ketentuan

dalam Undang-Undang secara parsial apakah telah sesuai atau tidak

dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya

sebagai pelaksana perintah konstitusi yang berkaitan dengan: a. lembaga

pembentuknya berwenang atau tidak; b. prosedur pembentukannya sesuai

atau tidak dengan UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagimana

yang telah diuraikan di atas. Hal ini berarti yang dinilai adalah keseluruhan

ketentuan Undang-Undang yang merupakan isi atau materi muatan suatu

Undang-Undang. Suatu ketentuan dapat dikatakan sebagai norma yang

mengikat ketika norma;norma tersebut dibuat dalam bentuk tertentu dan

diputuskan oleh lembaga yang diberikan kewenangan oleh konstitusi serta

telah mendapatkan legitimasi baik administrasi maupun publik

(pengesahan dalam lembaran negara). Hal ini berarti peraturan

perundang-undangan sebagai keputusan tertulis yang dikeluarkan

pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan

tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum dimana aturan

tingkah laku tersebut berisi ketentuan-ketentuan tentang hak, kewajiban,

fungsi, status dan suatu tatanan;

36. Bahwa oleh karena objectumlitis Pemohon tidak sesuai dengan doktrin

dan asas pengujian formil yaitu Pasal 84 yang merupakan bagian dari

ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Karena objectumlitis

pengujian formil adalah terhadap prosedur pembentukan suatu Undang-

Undang dalam hal ini prosedur pembentukan Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014. Dengan demikian, objek permohonan Pemohon Perkara

Nomor 73/PUU-XII/2014 tidak berdasar hukum dan tidak memiliki alasan

yang dibenarkan hukum atau obscuur libel, dan oleh karena itu

permohonan pengujian formil Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014 harus ditolak.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 172: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

75

ALASAN MATERIL BahwaPihak Terkait menolak dalil Para Pemohon a quo untuk keseluruhannya dengan alasan sebagai berikut:

37. Bahwa perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mengubah

paradigma ketatanegaraan adalah pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945,

sedangkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 merupakan penegasan secara

eksplisit tentang dianutnya prinsip Negara hukum. Pada Pasal 1 ayat (2)

UUD 1945 dinyatakan bahwa: ”Kedaulatan di tangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Penegasan ini

menunjukkan bahwa demokrasi sebagai paradigma tidak berdiri sendiri,

tetapi paradigma demokrasi yang dibangun harus dikawal bahkan harus

didasarkan pada nilai hukum, sehingga produk demokrasi dapat dikontrol

secara normatif oleh paradigma hukum. Hal ini berarti paradigma

demokrasi berbanding lurus dengan paradigma hukum dan inilah

paradigma negara demokrasi berdasar atas hukum atau negara hukum

yang demokratis. Paradigma ini berimplikasi pada kelembagaan negara,

model kekuasaan negara, prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and

balances, serta kontrol normatif yang pelaksanaannya dilakukan oleh

lembaga peradilan. Oleh karena itu paradigma tersebut mengubah

paradigma supremasi parlemen menjadi paradigma supremasi hukum

(Negara, pemerintah dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum).

Prinsip supremasi hukum bermakna bahwa semua kebijakan publik,

lembaga-lembaga publik dan pemilihan pejabat-pejabat publik harus

didasarkan pada aturan hukum. Prinsip ini maka the rule of law dalam

kehidupan berbangsa dan bernagara menjadi unsur landasan tata tertib

kehidupan, sehingga pemerintahan dijalankan berdasarkan atas hukum

dan tidak oleh manusia. Perhatian publik terhadap dunia hukum semakin

meningkat bersamaan dengan atmosfir keterbukaan yang dinikmati oleh

bangsa Indonesia sejak memasuki masa reformasi. Pertanyaan dan

perdebatan kritis mengemuka dan menyentuh hingga persoalan-persoalan

mendasar. Keterbukaan dan perdebatan publik semakin lama semakin

menunjukkan bahwa hukum dan penegakan hukum di Indonesia perlu

perubahan mendasar, tidak saja dalam praktiknya melainkan juga pada

tataran konstruksi ilmu hukum dan pemaknaan terhadap hukum. Meskipun

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 173: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

76

UUD 1945 telah berubah, namun pemahaman atas hukum dan cara

berhukum, terutama akademisi, legislator, penegak hukum, belum banyak

mengalami perubahan. Oleh karena itu hukum di Indonesia saat ini masih

memiliki watak konservatif. Kondisi hukum dan penegakan hukum di atas

telah melahirkan cara berhukum yang kehilangan sukma moral dan

keadilan. Hukum berbelok menjadi semata-mata urusan formal-prosedural.

Nilai-nilai etika, moral, dan rasa keadilan seringkali diabaikan. Jika ditarik

ke permasalahan yang mendasar, masih terdapat ambiguitas konsepsi

negara hukum yang dianut, antara rechtsstaat yang mengedepankan

kepastian hukum dan konsepsi the rule of law yang menekankan pada

rasa keadilan;

38. Bahwa Penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis tercermin dalam

’recruitment’ kepala pemerintahan, dan anggota perwakilan

(DPR/DPD/DPRD) serta cara pengambilan keputusan yang berkaitan

dengan kepentingan publik oleh lembaga yang diberikan kewenangan dan

tugas untuk kepentingan itu. Persoalannya adalah bagaimana proses

politik justru tidak mencederai demokrasi itu sendiri. Artinya produk politik

yang digodok di lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat

menghasilkan produk kebijakan yang mampu mendorong partisipasi dalam

perwujudan kesejahteraan bersama. Agar menghasilkan produk kebijakan

yang memiliki kaulitas tinggi dan pemihakan yang jelas terhadap

kesejahteraan bersama, maka diperlukan pemikiran, konsep yang

teknokratis yang dapat diukur dan diuji keberhasilannya. Prinsip demokrasi

tercermin dalam aspek ’legitimasi’ dan prinsip teknokrasi tercermin dalam

aspek ’kompetensi’ Keseimbangan antara prinsip ’legitimasi’ dan prinsip

’kompetensi’ akan mengasilkan kebijakan publik yang diterima oleh

masyarakat dan sekaligus mempercepat terhadap perwujudan indikator

kesejahteraan bersama. Dalam perspektif ini, maka proses ’recruitment’

harus didasarkan pada prinsip demokrasi yang dipandu oleh prinsip hukum

(legal), dan akan menghasilkan pemimpin yang diterima oleh sebagaian

besar masyarakat (legitimate) karenakesalehan intelektual, moral dan

berkeinerja tinggi (competence). Oleh karena itu, Pemilu memiliki posisi

yang strategis dalam membangun demokrasi yang bermartabat, maka

penyelenggaraannya harus mengacu pada prinsip mandiri; jujur; adil;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 174: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

77

kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum;

keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi; dan

efektifitas. Jika proses ’recruitment’ untuk mengisi jabatan publik, dan cara

pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik

dilakukan melalui proses demokrasi yang bermartabat dan berkeadilan,

maka hasilnya bukan saja kepastian, tetapi didalamnya terangkum

keadilan dan kemanfaatan dalam kerangka memajukan kesejahteraan

bersama;

39. Bahwa dalam prinsip demokrasi, tidak menganut kesetaraan formal

melainkan kesetaraan substantif. Kesetaraan substantif memutar ulang

konsep keadilan lama dari Aristoteles: “yang sama diperlakukan sama,

yang tidak sama diperlakukan lain”.Demos adalah konsep yang berpagar.

Kesetaran hanya berlaku pada demos sebagai yang terbatas. Demos

diukur berdasarkan partisipasinya terhadap substansi politik

yangsamadalam arti yang tidak berbagi substansi politik yang sama adalah

non-demos, sehingga boleh diperlakukan tidak sama. Demokrasi berkerja

dengan gagasan homogenitas, bukan heterogenitas. Prinsip homogenitas

mengkaitkan dengan gagasan kesetaraan atau kesamaan kedudukan

dalam hukum (equality befor the law), sehingga subyek hukum disebut

Pihak dan bukan subordinat dengan mengedepankan

kepentinganbersama (individu) dan kepentingan umum (kolektif). Oleh

karena itu dalam tataran konsolidasi demokrasi, maka demokrasi

merupakan “the only game in town” (satu-satunya aturan yang berlaku).

Keyakinanakan demokrasi tersebut bahkan tetap terpelihara dalam situasi

politik dan ekonomi yang sangat buruk sekalipun, sehingga mayoritas

rakyat tetap meyakini perubahan politik harus tetap dilakukan berdasarkan

parameter-parameter yang terdapat dalam prosedur demokrasi. Untuk

melancarkan konsolidasi demokrasi tersebut, terdapat beberapa agenda:

1) Memperluas akses warga Negara terhadap sistem peradilan dan

membangun suatu rule of law yang sesungguhnya; 2) Mengendalikan

perkembangbiakan korupsi politik yang dapat meningkatkan sinisme dan

pengasingan dari proses politik; 3) Penguatan pembuatan hukum dan

kekuasaan investigatif badan legislatif sehingga menjadi badan yang

professional dan independen;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 175: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

78

40. Bahwasalah satu prinsip demokrasi yang paling penting adalah majority

rule, artinya kedaulatan suara mayoritas, sebagai penentu suara

demokrasi itu. Dalam demokrasi, suara mayoritas adalah merupakan suatu

syarat bagi terbentuknya sistem politik yang mencerminkan demokrasi.

Oleh karena itu menurut Abu Daud Busroh (1994; 57) bahwa prinsip

mayoritas (Majority Principle) paling sedikit terdiri dari tiga tipe: (1)

mayoritas absolut (absollut majority), yaitu setengah jumlah anggota

ditambah satu atau 50 plus satu; (2) mayoritas biasa (simple majority),

yaitu apabila keputusan di setujui oleh sebanyak-banyaknya suara

sehingga tampak perbedaan antara mayoritas dan minoritas; (3) mayoritas

bersyarat (qualified majority) yang menetapkan keputusan berdasarkan

perhitungan tertentu, sehingga 3/4 atau 2/3 suara. Berdasarkan hal

tersebut norma yang termaktub dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2014 tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi

konstitusional yang berlaku secara universal, yakni prinsip-prinsip

kedaulatan rakyat sesuai dengan amanah ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2

UUD 1945 dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945;

41. Bahwa Pasal 19 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Susunan Dewan Perwakilan

Rakyat diatur dengan Undang-Undang”. Jadi Konstitusi tidak menentukan

bagaimana cara pengisian Pimpinan DPR, oleh karena itu mekanisme

pemilihan ketua dan wakil ketua DPR merupakan open legal policy, yang

merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya.

Hal ini dikarenakan untuk mewujudkan dan memaksimalkan DPR dalam

melaksankan fungsi sebagai pengawasan, anggaran, pembentuk Undang-

Undang dibolehkan memilih mekanisme apa yang buat untuk

menentukan/memilih ketua dan wakil ketua DPR serta pimpinan

kelengkapan DPR. Norma yang terkandung dalam Pasal 84Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2014 dimaksud menganut absolute majority

system sebagaimana telah pula dipraktekkan dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia. Sistem ini jauh lebih demokratis dan legitimate

dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya yang menggunakan

simple majority system yang mengatur Pimpinan DPR ialah anggota DPR

yang berasal partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 176: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

79

DPR. Dengan mekanisme apapun, Siapa pun dan dari partai apa pun yang

mengisi Ketua dan Wakil Ketua DPR haruslah memiliki komitmen untuk

mewujudkan dan memaksimalkan fungsi DPR demi terwujudnya cita-cita

negara menuju masyarakat adil dan makmur;

42. Bahwa partai pemenang pemilu/kursi terbanyak otomatis menjadi ketua

DPR biasanya terdapat pada sistem dua partai seperti di Amerika, karena

pemenang Pemilu dapat dipastikan sebagai pemenang secara absolute

majority, sedangkan sistem demokrasi yang menganut multi partai

pengisian Pimpinan DPR melalui musyawarah mufakat dan suara

terbanyak menjadi rasional karena merupakan wujud kedaulatan rakyat.

Justru kurang legitimate apabila Ketua DPR dan kelengkapannya dipimpin

oleh partai pemenang Pemilu yang hanya 18,95% jumlah kursi DPR.

Ketua dan Wakil Ketua DPR adalah simbol dari kekuasaan legislatif yang

mengontrol eksekutif untuk mewujudkan aspirasi dan memastikan

kedaulatan rakyat tidak dinegasikan, maka pemilihan melalui musyawarah

mufakat dan pemilihan menjadi niscaya dan penting. Hal ini sebagai upaya

melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan prinsip saling

mengimbangi checks and balances;

43. Bahwa setiap anggota DPR memiliki kedudukan yang sama dihadapan

hukum dan pemerintahan untuk memilih dan dipilih menjadi pimpinan DPR

sesuai amanatPasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa,

“segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;

44. Bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut di atas, maka norma

yang termaktub dalam Pasal 84 Undang-UndangNomor 17 Tahun

2014tidak bertentangan dengan UUD 1945; 45. Bahwa dengan demikian dalil pemohon adalah tidak benar dan harus

dikesampingkan oleh Mahkamah karena dasar filosofis lahirnya Undang-

UndangNomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD

berangkat dari pemikiran bahwa penentuan pimpinan DPR yang mengaju

pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 didasarkan pada peraih

suara terbanyak (pemenang pemilu) justru tidak relevan dan sangat tidak

demokratis karena merugikan partai-partai peserta pemilu yang

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 177: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

80

memperoleh suara/kursi kecil diparlemen sehingga partai-partai kecil tidak

memiliki kesempatan untuk menduduki pimpinan DPR RI.

46. Bahwa sebaliknya lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 justru

memberikan rasa keadilan dan persamaan hak bagi setiap anggota DPR

RI sebagaimana dijamin oleh konstitusi kita (UUD 1945) sehingga dapat

memberikan kesempatan kepada setiap Partai Peserta Pemilu yang lolos

parliamentary tresshold untuk mencalonkan setiap anggotanya sebagai

pimpinan DPR RI, karena syarat penentuan pimpinan DPR dipilih dari dan

oleh anggota DPR bukan didasarkan pada partai politik peraih suara

terbanyak.

IV. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yuridis di atas, dengan ini perkenankan kami

memohon agar Majelis Hakim berkenan memutus dengan amar sebagai berikut:

DALAM EKSEPSI

- Menerima eksepsi Pihak Terkait untuk seluruhnya

- Menyatakanpermohonan Pemohon tidak dapat diterima.

DALAM POKOK PERMOHONAN

- Menolakpermohonan Pemohon untuk seluruhnya.

- Menyatakan ketentuan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan dengan UUD 1945.

- Menyatakan ketentuan Pasal 84Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.

Atau:

Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-

adilnya (ex aequo et bono).

[2.7] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait

Partai Nasional Demokrat memberi keterangan lisan dan tertulis dalam

persidangan tanggal 23 September 2014, sebagai berikut:

I. Legal Standing Sebagai Pihak Terkait

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 178: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

81

1. Bahwa Pihak Terkait (Partai NasDem) adalah Partai Politik peserta

Pemilihan Umum 2014 yang telah mengikuti pelaksanaan pemilihan umum

2014.

2. Bahwa hasil Pemilu 2014 telah menempatkan Pihak Terkait sebagai partai

yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari suara sah nasional

dan berhak menempatkan wakil-wakil rakyat terpilih dalam Fraksi Partai

NasDem untuk DPR RI periode 2014-2019.

3. Bahwa karena Pihak Terkait adalah Partai Politik yang memiliki Fraksi di

DPR RI maka UU Nomor 17/2014 tentang MD3 yang sedang diuji oleh

Mahkamah akan mengatur keberadaan Fraksi Partai NasDem dan

anggota-anggota terpilih DPR RI dari Partai NasDem (Pihak Terkait).

4. Bahwa UU Nomor 17/2014 tentang MD3 dibahas DPR RI Periode 2009-

2014 dan disahkan pada tanggal 8 Juli 2014, setelah perolehan suara

Pemilu Legislatif 2014 diketahui secara nasional dan ditetapkan oleh

Komisi Pemilihan Umum (KPU).

5. Bahwa ketika pembahasan dan pengesahan UU Nomor 17/2014 tentang

MD3, Pihak Terkait belum terlibat karena belum memiliki fraksi dan

anggota di DPR.

6. Bahwa menurut Pihak Terkait terdapat permasalahan konstitusionalitas

dalam hal formil maupun materil atas UU Nomor 17/2014 tentang MD3

yang akan diuraikan lebih lanjut dalam Pokok-Pokok Keterangan Pihak

Terkait; di samping itu, pengesahan UU MD3 yang dilakukan setelah

perolehan suara Pemilu Legislatif ditetapkan serta adanya beberapa pasal

dalam UU MD3 yang langsung berlaku bagi seluruh fraksi dan anggota

DPR RI termasuk Partai NasDem segera setalah pelantikan anggota

Dewan, menjadikan Pihak Terkait memiliki kepentingan hukum terhadap

UU Nomor 17/2014 tentang MD3 yang sedang diuji Mahkamah ini.

7. Karena Pihak Terkait memiliki kepentingan hukum secara langsung

sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 14

ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang

Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, maka

dengan ini Partai NasDem memiliki kedudukan hukum sebagai Pihak

Terkait untuk didengar keterangannya, menghadirkan saksi dan ahli,

sebagaimana dimaksud Pasal 41 ayat (4) huruf f dan Pasal 42A ayat (1)

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 179: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

82

UU Nomor24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana

telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

II. POKOK-POKOK KETERANGAN PIHAK TERKAIT A. Tentang Pengujian Formil UU MD3 8. Bahwa Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 yang diajukan Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) menguji prosedur pembentukan

Undang-Undang a quo atau menguji secara formil Undang-Undang a quo

terhadap UUD 1945.

9. Terhadap pengujian formil tersebut Pihak Terkait menerangkan hal-hal

sebagai berikut:

a. Bahwa kekuasaan DPR untuk membentuk Undang-Undang yang

diberikan oleh Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 tetaplah harus berpegang

teguh pada prinsip negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal

1 ayat (3) UUD 1945.

b. Bahwa UU Nomor 17/2014 tentang MD3 adalah Undang-Undang yang

mengatur kewenangan, kelembagaan, tugas pokok dan fungsi DPR RI

sebagai lembaga legislatif. Karena itu, DPR RI ketika membahas,

memutuskan dan menetapkan Undang-Undang yang mengatur dirinya

sendiri harus berpedoman teguh pada prinsip-prinsip hukum universal

sehingga tidak terjadi benturan kepentingan (conflict of interest).

c. Bahwa sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan membentuk

Undang-Undang, DPR RI tidak dapat menghindari dirinya untuk

membuat Undang-Undang yang terkait dengan kelembagaan,

kewenangan, tugas pokok dan fungsi DPR, sama seperti Mahkamah

Konstitusi yang tidak dapat menghindari dirinya untuk memeriksa

pengujian Undang-Undang terkait Mahkamah Konstitusi. Untuk

menghindari conflict of interest dan tetap menjaga asas nemo judex

indoneus in propria (tidak seorangpun dapat menjadi hakim dalam

perkaranya sendiri) dalam memutuskan norma pada Undang-

Undangaquo ini penting untuk ditelusuri dan dipastikan apakah

badan/lembaga yang memutus terkait aturan/ketentuan tentang dirinya

sendiri tersebut telah melakukannya sesuai dengan prinsip-prinsip

hukum, menjaga imparsialitas, mengesampingkan kepentingan dirinya

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 180: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

83

dan menempatkan kepentingan publik serta amanat konstitusi di atas

kepentingan diri atau kelompoknya.

d. Secara khusus, Pihak Terkait menyampaikan posisi hukumnya terkait

dengan munculnya perubahan Pasal 82 UU Nomor 27 Tahun 2009

Tentang MD3 (UU lama) yang kemudian menjadi Pasal 84 UU Nomor

17/2014 tentang MD3 secara tiba-tiba tanpa melalui prosedur dan

tanpa proses yang sesuai dengan hukum, konvensi-konvensi

penyusunan dan pembahasan Undang-Undang yang selama ini

berlaku di DPR, serta asas-asas hukum dalam pembentukan Undang-

Undang.

e. Usulan mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR yang kemudian

dituangkan menjadi Pasal 84 dalam UU Nomor 17/2014 tentang MD3

tersebut muncul di masa-masa akhir pembahasan Undang-Undang

a quo dimana sebelumnya tidak pernah muncul dan tidak pernah

menjadi point pembahasan. Yang patut digarisbawahi adalah

ketentuan mengenai pemilihan pimpinan DPR ini baru mulai muncul di

dalam Daftar Isian Masalah (DIM) yang baru yang mengubah DIM

137A pada tanggal 30 Juni 2014 (sebagaimana dalil Pemohon perkara

Nomor 73/PUU-XII/2014), yakni setelah komposisi perolehan suara

secara nasional (9 Mei 2014) dan perolehan kursi DPR RI (14 Mei

2014) ditetapkan oleh KPU.

f. Bahwa dalam hal tata cara pemilihan pimpinan DPR RI, sebelum UU

Nomor 17/2014 tentang MD3 ditetapkan, UU MD3 yang lama yakni UU

Nomor 27 Tahun 2009 mengatur ketentuan tersebut dalam Pasal 82

sebagai berikut:

(1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR.

(2) Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.

(3) Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima.

(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak dalam pemilihan umum.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 181: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

84

(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara sama, ketua dan wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara.

Tata cara pemilihan pimpinan DPR RI di atas telah dipergunakan untuk memilih pimpinan DPR RI periode 2009-2014. Dengan UU yang baru, Pasal 84 UU Nomor 17/2014 tentang MD3 mengubah ketentuan lama di atas menjadi: (1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat)

orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. (2) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari

dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap. (3) Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan

dalam rapat paripurna DPR. (4) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat

mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan DPR. (5) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih

secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

(6) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR.

(7) Selama pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang DPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR.

(8) Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota DPR yang tertua dan termuda dari fraksi yang berbeda.

(9) Pimpinan DPR ditetapkan dengan keputusan DPR. (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan

DPR diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Ketentuan Pasal 84 UU Nomor 17/2014 Tentang MD3 telah dijalankan

pada DPR RI periode 2009-2014 tanpa ada masalah dan tidak

terdapat suatu kebutuhan untuk diubah. Namun tiba-tiba ketentuan

baru yang tertuang menjadi Pasal 84 UU 17/2014 tersebut

dimunculkan dan diputuskan setelah hasil pemilu legislatif ditetapkan

dan setelah adanya kesepakatan “koalisi” antar partai. Sehingga,

Fraksi-Fraksi di DPR dapat melakukan kalkulasi terlebih dahulu untuk

membawa kepentingannya masing-masing sebelum menetapkan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 182: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

85

adanya ketentuan baru yang mengatur tata cara pemilihan pimpinan

DPR RI.

g. Suatu perubahan norma Undang-Undang dari yang telah berjalan

kemudian digantikan dengan norma baru, harus didasarkan pada

suatu kebutuhan atas perubahan tersebut. Untuk mengkaji dan menilai

adanya kebutuhan ini diperlukan suatu evaluasi terhadap penerapan

norma yang selama ini berjalan apakah sudah berjalan baik atau

terdapat kekurangan atau menimbulkan kerugian-kerugian sehingga

perlu diubah. Apabila tidak ada penilaian yang didasarkan pada

evaluasi melainkan hanya didasarkan pada kepentingan politik

kekuasaan kelompok tertentu, maka syarat perubahan norma Undang-

Undang menjadi tidak terpenuhi.

h. Menurut pendapat Pihak Terkait, tidak dibenarkan adanya suatu norma

Undang-Undang yang dibuat didasarkan pada kepentingan diri sendiri,

kepentingan politik kekuasaan tertentu atau kepentingan kelompok

semata. Norma Undang-Undang harus memuat kepentingan publik

dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Menjadi preseden

buruk apabila norma Undang-Undang dibuat hanya didasarkan pada

kepentingan sesaat, sehingga setiap kepentingan jangka pendek

tertentu muncul maka dibuatlah norma Undang-Undangnya. Dalam hal

inilah peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga nilai-nilai konstitusi

(the guardian of the constitution) dibutuhkan untuk menjaga tegaknya

negara hukum di Indonesia.

i. Oleh karena itu, Pihak Terkait menyatakan bahwa pembentukan UU

Nomor 17/2014 tentang MD3, khususnya dalam hal pembahasan dan

penetapan Pasal 84, melanggar konstitusi secara formil.

B. Tentang Pengujian Materil Pasal 84 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3

10. Bahwa selanjutnya Pihak Terkait akan memberikan keterangan

sehubungan dengan pengujian Pasal 84 Pemohon perkara Nomor

73/PUU-XII/2014.

11. Bahwa terhadap pengujianPasal 84 UU Nomor 17/2014 tentang MD3,

Pihak Terkait menyampaikan sikap dan pandangan sebagai berikut:

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 183: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

86

a. Bahwa seluruh keterangan Pihak Terkait pada bagian tentang

Pengujian Formil di atas menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan

keterangan Pihak Terkait tentang Pengujian Materil dan secara mutatis

mutandis menjadi bagian keterangan Pihak Terkait dalam pengujian

materil.

b. Bahwa Pihak Terkait pada prinsipnya menyadari bahwa permasalahan

mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR memang merupakan

pillihan kebijakan hukum yang dapat ditentukan pembuat Undang-

Undang. Namun demikian, kebijakan hukum tersebut harus

memperhatikan dua aspek dalam konstitusi yakni prinsip negara hukum

yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan prinsip

persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan

sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 serta prinsip

kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan

hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

c. Bahwa diubahnya ketentuan mengenai tata cara pemilihan pimpinan

DPR dari ketentuan lama menjadi ketentuan baru dalam UU Nomor

17/2014 tidak didasari atas kepentingan hukum melainkan kepentingan

politik sesaat dan kepentingan kelompok tertentu. Akibatnya, secara

materil norma Undang-Undang yang dibuat tidak berdasarkan hukum

melainkan berdasar politik kepentingan semata.

Norma Undang-Undang tetap harus memiliki dasar legalitas dari segi

hukum, tidak boleh norma Undang-Undang dipandang sebagai alat

politik untuk mendapatkan keuntungan tertentu bagi kelompok tertentu.

Norma Undang-Undang yang muatannya mengandung hanya unsur

politik kekuasaan semata tanpa memperhatikan prinsip hukum untuk

kemanfaatan publik menjadikan norma tersebut bertentangan dengan

prinsip negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) UUD

1945.

Bahwa kepentingan politik kekuasaan ini muncul karena norma baru

yang menggantikan norma lama tidak didasarkan pada kebutuhan

hukum. Norma baru dalam Pasal 84 UU Nomor 17/2014 dibuat karena

adanya kebutuhan politik kekuasaan. Terlebih lagi tidak ada alasan bagi

pembuat Undang-Undang untuk mengganti norma yang baru satu kali

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 184: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

87

dilaksanakan pada saat pemilihan Pimpinan DPR RI Tahun 2009

menjadi norma baru, tanpa adanya evaluasi terhadap penerapan Pasal

lama tersebut.

d. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan yang lama yakni Pasal 82 UU

Nomor 27 Tahun 2009, pimpinan DPR ditentukan berdasarkan urutan

perolehan kursi terbanyak di DPR. Sehingga jika pada tahun 2014 ini

masih digunakan ketentuan yang lama maka partai pemenang pemilu

yakni PDI Perjuangan selaku Pemohon perkara Nomor 73/PUU-

XII/2014 berhak menjadi Ketua DPR. Namun karena ketentuan lama

tersebut diubah dengan Pasal 84 UU Nomor 17/2014 yang dimunculkan

dan ditetapkan setelah diketahui hasil pemilu dan setelah adanya

kesepakatan “koalisi” membuat hak Pemohon menjadi terhalangi oleh

sebab politik bukan semata oleh sebab hukum. Adalah hal yang wajar

dalam suatu negara demokratis bahwa partai politik pemenang Pemilu

menjadi Ketua DPR. Terhalanginya hak Pemohon karena sebab politik

kekuasaan ini membuat hak Pemohon untuk mendapatkan jaminan

persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan

sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 serta kepastian

hukum yang adil dan jaminan persamaan di hadapan hukum

sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjadi

terhalangi.

e. Meskipun menurut hitung-hitungan politik, bagi Pihak Terkait justru

ketentuan baru mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR dalam

Pasal 84 UU Nomor 17/2014 justru membuka peluang bagi Pihak

Terkait, Partai NasDem untuk menjadi salah satu pimpinan dan

sebaliknya ketentuan yang lama menutup peluang Pihak Terkait, namun

bagi Pihak Terkait menjalankan fungsi legislasi yang berpedoman pada

prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi jauh lebih penting untuk dijaga

demi tegaknya negara hukum yang demokratis.

f. Berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Pihak Terkait, alasan

Pemohon yang menyatakan Pasal 84 UU Nomor 17/2014 tentang MD3

bertentangan dengan konstitusi, beralasan hukum.

12. Bahwa terhadap ketentuan Pasal 84 UU Nomor 17/2014 yang dimintakan

dibatalkan oleh para Pemohon, Pihak Terkait berpendapat bahwa pasal-

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 185: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

88

pasal tersebut inkonstitusional dan harus dinayatakan tidak memiliki

kekuatan hukum mengikat. Terhadap pasal-pasal lain yang diajukan para

Pemohon, terutama yang memuat permohonan bagi Mahkamah untuk

memberikan makna konstitusi dengan konstisusional bersyarat ataupun

inkonstitusional bersyarat, Pihak Terkait memberikan pendapat terbatas

sebagaimana diuraikan di atas dan menyerahkan sepenuhnya penilaian

kepada Mahkamah Konstitusi.

III. PETITUM Berdasarkan hal-hal tersebut di atas mohon Majelis Mahkamah Konstitusi

berkenan memutus perkara yang sedang diperiksa yang diajukan para

Pemohon dengan Putusan sebagai berikut:

Dalam Pengujian Formil 1. Mengabulkan Permohonan Uji Formil yang diajukan oleh Pemohon Perkara

Nomor 73/PUU-XII/2014 untuk sebagian.

2. Menyatakan Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sepanjang

untuk Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tidak memenuhi ketentuan

pembentukan Undang-Undang berdasarkan UUD 1945

3. Menyatakan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak memiliki

kekuatan hukum mengikat

4. Menyatakan berlakunya Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

5. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Dalam Pengujian Materil 1. Mengabulkan Permohonan Uji Materil yang diajukan Pemohon Perkara

Nomor 73/PUU-XII/2014 untuk seluruhnya.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 186: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

89

2. Menyatakan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan

dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat

3. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Atau, apabila majelis hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon

Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.8] Menimbang bahwa Pemohon dan Pihak Terkait telah menyampaikan

kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 5

November 2014 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya;

[2.9] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,

segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara

persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan

putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

Kewenangan Mahkamah

[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945),

Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,

selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili

pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji

Undang-Undang terhadap UUD 1945;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 187: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

90

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon mengenai

pengujian materiil Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2014 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5568, selanjutnya disebut UU MD3) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah

berwenang mengadili permohonan a quo;

Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat

bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap

UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan

pengujian, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang

mempunyai kepentingan sama;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD

1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat

(1) UU MK;

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD

1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan

pengujian;

[3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-

III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal

20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 188: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

91

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh

UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat

spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran

yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband)antara kerugian dimaksud

dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak

akan atau tidak lagi terjadi;

[3.5] Menimbang bahwa Pemohon I adalah perseorangan warga negara

Indonesia dan berprofesi sebagai advokat di bidang hak asasi manusia dan

pembayar pajak (tax payer) yang juga melakukan pendampingan dan bantuan

hukum bagi kliennya yang berposisi sebagai korban tindak pidana. Menurut

Pemohon I dengan adanya ketentuan pasal a quo berpotensi berakibat pada

terhambatnya kerja Pemohon I dalam melakukan advokasi, pendampingan, dan

bantuan hukum bagi kliennya yang berposisi sebagai korban tindak pidana untuk

mendapatkan prosedur keadilan dengan cepat. Dengan adanya pasal a quo maka

potensi advokasi, pendampingan, dan bantuan hukum yang dilakukan oleh

Pemohon I akan terhambat dan merugikan pembelaan yang dilakukan oleh

Pemohon I sebagai advokat;

Bahwa Pemohon II sebagai badan hukum privat yang concern dalam isu

pembaharuan hukum pidana dan reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia

sebagaimana ditegaskan dalam AD/ART organisasinya beranggapan bahwa

keberadaan pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam

penegakan hukum di Indonesia yang berakibat pada terlanggarnya hak-hak

konstitusional setiap warga negara di Indonesia. Menurut Pemohon II situasi

tersebut secara faktual atau setidak-tidaknya potensial akan menggagalkan usaha

dan kegiatan yang dilakukan oleh Pemohon II sebagai lembaga yang memiliki visi

pembaharuan hukum pidana Indonesia yang berkeadilan. Menurut Pemohon II,

pasal a quo merugikan hak-hak konstitusional Pemohon II yang dijamin oleh UUD

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 189: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

92

1945 khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat

(1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, karena memuat norma hukum yang

menimbulkan perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum,

dan perlakuan diskriminatif;

[3.6] Menimbang bahwa memperhatikan dalil-dalil permohonan Pemohon I,

hal yang dipersoalkan Pemohon I adalah adanya kerugian Pemohon I sebagai

advokat dan pembayar pajak (tax payer) yang melakukan advokasi,

pendampingan, dan bantuan hukum bagi kliennya yang berposisi sebagai korban

tindak pidana;

Menurut Mahkamah, kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon I

tidaklah bersifat spesifik dan tidak dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon I

juga tidak membuktikan bahwa dengan dikabulkannya permohonan Pemohon I

kerugian atau potensi kerugian atas hak konstitusional Pemohon I sebagai

Advokat tidak lagi atau tidak akan terjadi. Pemohon I tidak mendalilkan bentuk

kerugian dari haknya yang dilindungi oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal

27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang dirugikan

secara spesifik oleh pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya,

dan tidak menerangkan pula hubungan kausalitas antara Undang-Undang yang

diuji dengan kerugian konstitusional Pemohon I yang berprofesi sebagai Advokat

sesuai dengan yang disyaratkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, serta putusan-putusan selanjutnya;

Menimbang bahwa Pemohon I juga menyatakan dirinya sebagai warga

masyarakat pembayar pajak (tax payers), sehingga Pemohon I berpandangan

memiliki kepentingan konstitusional yang telah terlanggar dengan adanya

ketentuan pasal a quo, dimana dalam menjalankan profesinya pada sistem

peradilan pidana sumber pembiayaannya, antara lain, berasal dari APBN yang

salah satu sumbernya berasal dari pajak yang dibayarkan oleh warga negara

Indonesia berpotensi akan mengalami keterlambatan;

Bahwa meskipun dalam praktik Mahkamah sejak tahun 2003 perseorangan

warga negara Indonesia, terutama pembayar pajak (tax payer), dianggap memiliki

kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian, baik

formil maupun materiil suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana

putusan Mahkamah dalam permohonan Nomor 003/PUU-I/2003, bertanggal 29

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 190: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

93

Oktober 2004, yang kemudian dipertegas dalam putusan Nomor 27/PUU-V/2009,

tanggal 16 Juni 2010, namun dalam kaitan dengan permohonan a quo in casu

Pemohon I, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I sebagai pembayar pajak

(tax payer) yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya

pasal a quo tidak memiliki legal standing, karena tidak memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Suku kata “nya” dalam

anak kalimat “...yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya”

yang tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang a quo, mengandung arti

bahwa kerugian konstitusional itu harus bersifat spesifik dan merupakan kerugian

aktual atau potensial yang mempunyai kaitan yang jelas dengan berlakunya

Undang-Undang tersebut. Dalam hal ini kerugian yang dialami oleh Pemohon I

tidak spesifik dan tidak jelas kaitannya dengan berlakunya Undang-Undang

tersebut, karena kerugian tersebut bersifat umum yang dialami oleh semua

pembayar pajak, sementara itu kaitan antara pajak yang dibayar oleh Pemohon I

dengan Pasal 245 UU MD3 tidak menunjukkan kaitan yang cukup (sufficient).

Lagipula kerugian yang mungkin dialami oleh Pemohon I bukanlah kerugian

konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK.

Dengan demikian, menurut Mahkamah Pemohon I tidak memenuhi syarat

sebagaimana pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan putusan-putusan selanjutnya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Pemohon I tidak

mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan

a quo;

[3.7] Menimbang bahwa Pemohon II sebagai badan hukum privat yang sangat

peduli dalam isu pembaharuan hukum pidana dan reformasi sistem peradilan

pidana di Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam AD/ART Pemohon II yang

bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy)

yang di dalamnya tercakup substansi dalam permohonan a quo, sehingga

Mahkamah berpendapat Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing)

sebagai Pemohon dalam permohonan a quo;

[3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili

permohonan a quo serta Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing)

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 191: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

94

untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan

mempertimbangkan pokok permohonan;

Pokok Permohonan

Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon II adalah mengenai pengujian

konstitusionalitas Pasal 245 yang menyatakan,

(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota

DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan

tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari

terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan

keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila

anggota DPR:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;

b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana

mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan

terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan

yang cukup; atau

c. disangka melakukan tindak pidana khusus.

UU MD3 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D

ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:

Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Pasal 24 ayat (1): “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya”.

Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 192: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

95

Pasal 28I ayat (2): “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap

perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

[3.9] Menimbang bahwa Pemohon II memohon pengujian konstitusionalitas

Pasal 245 UU MD3 terhadap UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya

sebagai berikut:

1) Bahwa pemberian izin terhadap pejabat negara dalam menghadapi proses

hukum memang telah diatur dalam beberapa Undang-Undang:

NO PEJABAT UNDANG-UNDANG KETERANGAN

1. Kepala Daerah UU No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah

izin presiden untuk tahap penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana tidak dibutuhkan kecuali untuk tindakan Penahanan

2. Hakim Mahkamah Konstitusi

UU No. 8 Th 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Hakim konstitusi hanya dapat dikenai tindakan kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden

3. Hakim Mahkamah Agung

UU No. 14 Th 1985 tentang Mahkamah Agung jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden

4. Hakim Pengadilan UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 1984 tentang Peradilan Umum; UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; dan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Penangkapan dan penahanan terhadap hakim dilakukan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan dari Ketua Mahkamah Agung

5. Pimpinan dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan

UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan

Tindakan kepolisian terhadap anggota BPK guna pemeriksaan suatu perkara dilakukan atas perintah Jaksa Agung setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis Presiden

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 193: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

96

6. Pimpinan dan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia

UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia jo. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

pemanggilan, permintaan keterangan dan penyidikan terhadap anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden

7. Jaksa UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

apabila dalam melaksanakan tugas jaksa diduga melakukan tindak pidana, maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung

2) Bahwa dari Undang-Undang yang saat ini berlaku di Indonesia, izin untuk

melakukan proses hukum datang dari lembaga lain di luar pejabat negara

(eksekutif: Presiden dan Jaksa Agung) maupun dalam struktur yang lebih

tinggi untuk menjaga prinsip check and balances yang merupakan salah satu

unsur dari negara hukum, hal ini yang berbeda dengan anggota DPR dimana

izin harus melalui Mahkamah Kehormatan Dewan DPR yang bagi Pemohon

tidak tepat sesuai dengan rezim hukum yang ada;

3) Bahwa berdasarkan Pasal 119 ayat (2) UU MD3 tujuan dari Mahkamah

Kehormatan Dewan adalah untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan

keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ini menunjukkan

bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai alat kelengkapan DPR

merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan langsung dengan

sistem peradilan pidana, sehingga dapat berjalan sendiri-sendiri. Struktur

Mahkamah Kehormatan Dewan juga bukan merupakan struktur yang lebih

tinggi dari Dewan sendiri. Selain itu, Mahkamah Kehormatan Dewan diisi pula

oleh anggota DPR sendiri untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi atas

pengaduan terhadap anggota dewan, hal ini merupakan bentuk konflik

kepentingan dari anggota dewan dan bertentangan dengan prinsip negara

hukum;

4) Bahwa frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan

terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana” dalam Pasal

245 UU MD3 menunjukkan bahwa izin tertulis diberikan pada tahapan

penyidikan kepada anggota DPR yang sudah ditetapkan menjadi tersangka,

dimana berdasarkan KUHAP, penetapan seseorang menjadi tersangka

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 194: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

97

didasarkan pada adanya 2 (dua) alat bukti yang cukup, sehingga pemanggilan

tersebut didasari alasan yang kuat untuk melakukan pemanggilan;

5) Bahwa tenggat waktu 30 hari dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3, anggota DPR

yang diduga melakukan tindak pidana berpeluang melakukan upaya

penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti, seluruh

hambatan ini secara jelas dapat disebut sebagai bentuk intervensi yang juga

menghambat proses peradilan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan;

6) Bahwa anggota DPR sebagai subjek hukum, terlepas dari jabatannya sebagai

anggota DPR harus diberlakukan sama di hadapan hukum, bahwa ketentuan

dalam Pasal 245 UU MD3 telah memberikan keistimewaan terhadap anggota

DPR yang sedang menjalani proses hukum tanpa rasionalitas hukum yang

tepat;

7) Bahwa dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap dan tindakan

diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya seperti keistimewaan

proses diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-

tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative

actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu

atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga

mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok

masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju;

8) Bahwa keistimewaan dalam proses peradilan atau affirmative actions dalam

prinsip kesetaraan harusnya diberikan kepada subjek yang tepat dalam hal

subjek hukum adalah kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga

masyarakat tertentu, anak atau kelompok rentan, ataupun dalam hal

perlindungan saksi dan korban serta praktik restorative justice;

9) Bahwa proses peradilan oleh penyidik terhadap anggota dewan yang hanya

dapat dilakukan dengan persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan,

merupakan kelompok pengaturan yang seharusnya tidak mengandung

perlakukan berbeda yang bertentangan dengan prinsip equal protection

sebagaimana yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD

1945 yaitu persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum dan

pemerintahan.

10) Bahwa berdasarkan instrumen hukum yang ada, Indonesia telah mengakui

adanya prinsip non-diskriminasi terhadap warga negaranya, bahwa

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 195: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

98

berdasarkan prinsip negara hukum, pengakuan terhadap hak asasi manusia

menjadi suatu hal yang mutlak, dimana hak untuk tidak didiskriminasi dan hak

untuk diperlakukan setara adalah prinsip utama hak asasi manusia;

11) Bahwa Pasal 245 UU MD3 hanya diterapkan untuk anggota DPR, sehingga

terdapat perlakukan yang berbeda untuk warga negara Indonesia (WNI) yang

berhadapan dengan proses hukum dimana pihak penyidik harus memperoleh

izin tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan sebelum melakukan

penyidikan yang diduga dilakukan oleh anggota DPR. Perlakuan berbeda

tersebut tidak diterapkan untuk WNI Iainnya, pihak penyidik dapat secara

langsung melakukan penyidikan. Hal inilah yang mengakibatkan diskriminasi

atas dasar status jabatan publik dan bertentangan dengan prinsip non-

diskriminasi;

[3.10] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon II telah

mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan

bukti P-7, ahli yaitu Bivitri Susanti dan Roichatul Aswidah yang telah didengar

keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 9 Oktober 2014 dan

29 Oktober 2014, serta keterangan tertulis dari ahli Luhut MP Pangaribuan yang

diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 4 November 2014, yang masing-

masing pada pokoknya menerangkan pasal yang dimohonkan pengujian

bertentangan dengan UUD 1945. Keterangan selengkapnya termuat dalam bagian

Duduk Perkara;

[3.11] Menimbang terhadap permohonan Pemohon II, Pemerintah memberikan

keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 23 September 2014 yang pada

pokoknya menerangkan pasal yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan

dengan UUD 1945. Keterangan selengkapnya termuat dalam bagian Duduk

Perkara;

[3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon II, Majelis

Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan

keterangan lisan pada tanggal 23 September 2014, yang pada pokoknya

menerangkan pasal yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD

1945. Keterangan selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 196: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

99

[3.13] Menimbang terhadap permohonan Pemohon II, Pihak Terkait Partai

Nasional Demokrat dan Pihak Terkait Fahri Hamzah, Muhammad Nasir Djamil,

S.Ag., Dr.H.Sa’duddin, M.M., dan Hadi Mulyadi telah memberikan keterangan

dalam persidangan pada tanggal 23 September 2014, yang keterangan

selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara;

[3.14] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut

permohonan a quo, Mahkamah akan terlebih dahulu menguraikan tentang proses

penyidikan yang telah dipertimbangkan dalam putusan Mahkamah Nomor 73/PUU-

IX/2011, bertanggal 26 September 2012, sebagai berikut:

[3.20] Menimbang bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-

IX/2011 bertanggal 8 Februari 2012, Mahkamah berpendapat bahwa proses

penyelidikan dilakukan dalam rangka menentukan ada atau tidak adanya suatu

tindak pidana dalam kasus tertentu dan untuk mencari bukti-bukti awal untuk

menentukan siapa pelaku tindak pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 5

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3209 selanjutnya KUHAP), bahwa “Penyelidikan adalah

serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa

yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya

dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”;

Dalam tahap penyelidikan pula, seseorang belum tentu mengetahui bahwa dirinya

sedang dalam proses penyelidikan, dan proses penyelidikan tidak memiliki

tenggang waktu, sehingga tidak diketahui kapan masa penyelidikan akan berakhir.

Permohonan persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan

terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dapat membuka

kerahasiaan proses penyelidikan itu sendiri. Dalam tahapan penyelidikan belum

ada kepastian seseorang akan disidik atau tidak disidik, belum dilakukan pencarian

dan pengumpulan bukti, namun hanya pengumpulan informasi. Dengan demikian

terhadap proses penyelidikan, seseorang tidak akan dikurangi dan dibatasi gerak

dan aktivitasnya, kecuali jika dilakukan penangkapan. Kepala daerah dan/atau

wakil kepala daerah yang diselidiki tetap dapat memimpin pemerintahan daerah;

Persetujuan tertulis dari Presiden yang disyaratkan dalam proses penyelidikan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 197: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

100

kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal

36ayat (1) UU Pemda menurut Mahkamah akan menghambat proses penyelidikan,

karena Presiden diberi waktu 60 hari untuk mengeluarkan persetujuan tersebut.

Dalam tenggang waktu itu, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang

diduga melakukan tindak pidana berpeluang melakukan upaya penghapusan jejak

tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti. Bahkan penyelidikan yang

dirahasiakan dapat diketahui oleh yang bersangkutan;

[3.21] Menimbang bahwa dalam putusan Mahkamah Nomor 40/PUU-IX/2011

bertanggal 8 Februari 2012, Mahkamah berpendapat dalam tahap penyidikan,

penyidik melakukan pencarian dan pengumpulan bukti, hal ini sebagaimana diatur

dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP yang menyatakan bahwa “Penyidikan merupakan

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat

terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Di

dalam proses penyidikan, KUHAP mengatur bahwa yang dilakukan adalah

memeriksa tersangka, maupun saksi-saksi yang terkait. Terhadap tersangka dan

saksi akan dipanggil untuk dimintai keterangan oleh penyidik, tidak ada

pembatasan ruang dan gerak yang membatasi kebebasan orang yang

bersangkutan, kecuali dianggap perlu untuk kepentingan penyidikan. Menurut

KUHAP, untuk keperluan penyidikan, penyidik dapat melakukan tindakan

penangkapan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan, pemeriksaan

surat dan penahanan. Dua tindakan yang menurut Mahkamah akan membatasi

gerak tersangka adalah penangkapan dan penahanan. Namun KUHAP

menegaskan bahwa penahanan dilakukan untuk kepentingan penyidikan dengan

syarat yang ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu dilakukan terhadap

seseorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana

berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan

kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau

menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Demikian halnya

dengan penangkapan yang oleh KUHAP ditegaskan bahwa untuk melakukannya

hanya untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, dengan syarat

sebagaimana diatur dalam Pasal 17 KUHAP yaitu terhadap seorang yang diduga

keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Tanpa

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 198: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

101

memenuhi syarat tersebut, maka penahanan dan penangkapan tidak dapat

dilakukan;

Dengan demikian, menurut Mahkamah tidak ada pembatasan gerak bagi

tersangka yang sedang disidik, kecuali terhadapnya dilakukan tindakan

penangkapan ataupun penahanan. Dalam proses penyidikan, kepala daerah

dan/atau wakil kepala daerah tetap dapat menjalankan tugasnya, dan tidak ada

kekosongan jabatan yang perlu digantikan;

Selain itu, terkait dengan persetujuan tertulis dan batasan waktu

persetujuan tertulis dalam hal dilakukan penyidikan, Mahkamah perlu mengutip

pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Nomor 73/PUU-IX/2011,

bertanggal 26 September 2012, sebagai berikut:

“[3.23] Menimbang bahwa salah satu prinsip yang dianut oleh Indonesia sebagai

negara hukum adalah adanya persamaan di hadapan hukum, sebagaimana

dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, bahwa ‘Setiap warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’; Dengan adanya syarat

persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan,

akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung

mengintervensi sistem penegakan keadilan. Mahkamah mempertimbangkan

pendapat tertulis dari KPK yang menyatakan bahwa persyaratan persetujuan

tertulis dari Presiden telah menghambat keseluruhan proses peradilan. Pasal 24

ayat (1) UUD 1945 jelas menjamin bahwa system peradilan di Indonesia harus

bebas dari intervensi;

Persyaratan persetujuan tertulis dari Presiden bagi penyelidikan dan penyidikan

kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah juga menghambat proses hukum,

yang seharusnya sesuai asas yaitu bersifat cepat, sederhana, dan berbiaya ringan;

Proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala

daerah yang diduga melakukan tindak pidana, meskipun mungkin mengganggu

kinerja kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan daerah, namun tidak

menghalangi yang bersangkutan untuk menjalankankan tugasnya. Kepala daerah

dan/atau wakil kepala daerah yang diselidiki dan disidik masih dapat

melaksanakan tugas sehari-hari seperti biasa;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 199: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

102

Menurut Mahkamah, persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikan

terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah atau pejabat manapun tidak

memiliki rasionalitas hukum yang cukup, dan akan memperlakukan warga negara

secara berbeda di hadapan hukum. Terhadap adagium yang menyatakan bahwa

terhadap sesuatu yang berbeda seharusnya diperlakukan berbeda, dan terhadap

sesuatu yang sama harus diperlakukan sama, menurut Mahkamah, pejabat negara

dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang

diembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara,

namun pejabat negara juga merupakan warga negara. Sebagai subjek hukum,

terlepas dari jabatannya, kepala daerah pun harus diperlakukan sama di hadapan

hukum;

Oleh karena itu persetujuan tertulis dari Presiden tidak boleh menjadi hambatan

bagi proses penyelidikan dan penyidikan kepala daerah yang bersangkutan,

karena esensi dari persetujuan tertulis Presiden hanyalah agar Presiden sebagai

pimpinan dari para kepala daerah mengetahui bahwa pimpinan dari suatu daerah

akan mengalami proses hukum yang membatasi ruang geraknya, sehingga yang

bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas pemerintahan dengan baik, dan akan

berakibat pada terjadinya kekosongan pimpinan daerah. Berdasarkan hal itu

Presiden melalui Menteri Dalam Negeri segera dapat mengambil langkah-langkah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

[3.24] Menimbang bahwa tindakan hukum yang akan mengganggu dan

menghambat pelaksanaan tugas menjalankan pemerintahan daerah adalah jika

kepala daerah ditahan, apapun bentuk penahanannya, akan membuat yang

bersangkutan kehilangan kebebasannya, sehingga penahanan terhadap seorang

kepala daerah akan membatasi gerak dan aktivitas yang bersangkutan bukan

hanya sebagai kepala daerah, tetapi juga sebagai seorang warga negara,

sebagaimana dialami pula oleh warga negara lain yang ditahan;

Penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah akan

menghambat roda pemerintahan daerah karena kepala daerah merupakan

pimpinan administratif tertinggi pemerintahan di daerah. Untuk itu masih diperlukan

adanya persetujuan tertulis dari Presiden terhadap tindakan penahanan yang

dikenakan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Menurut

Mahkamah yang memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden hanya tindakan

penahanan. Dengan demikian maka tindakan penyidikan dapat dilakukan oleh

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 200: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

103

penyidik tanpa harus memperoleh persetujuan tertulis dari Presiden. Namun

demikian, tindakan penahanan yang dilakukan untuk kepentingan penyidikan

sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (3) UU Pemda tetap memerlukan

persetujuan tertulis dari Presiden. Dalam rangka proses hukum yang lebih efektif

dan efisien yang menjamin kepastian hukum maka Mahkamah memandang perlu

untuk memberi batas waktu persetujuan dari Presiden dalam waktu yang lebih

singkat;

[3.25] Menimbang bahwa Mahkamah pada sisi lain juga memahami pentingnya

menjaga wibawa dan kehormatan seorang pejabat negara, dalam hal ini kepala

daerah dan/atau wakil kepala daerah. Proses penyelidikan dan penyidikan yang

diikuti dengan tindakan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala

daerah dalam Undang-Undang ini dimaksudkan untuk memberi perlakukan khusus

terhadap pejabat negara, dalam hal ini kepala daerah dan/atau wakil kepala

daerah. Hal ini karena kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagai

pejabat negara merupakan lambang dari kepemimpinan pemerintahan yang

memiliki pimpinan tertinggi pemerintahan yaitu Presiden. Perlakuan khusus

dilakukan hanya untuk menjaga harkat dan martabat pejabat negara yang

bersangkutan, sehingga dibutuhkan sikap kehati-hatian dari penegak hukum dalam

melakukan tindakan hukum bagi para pejabat negara;

Menurut Mahkamah memang diperlukan adanya perlakuan yang menjaga harkat

dan martabat pejabat negara dan lembaga negara agar tidak diperlakukan secara

sembrono dan sewenang-wenang. Namun perlakuan demikian tidak boleh

bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan

pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum;

[3.26] Menimbang bahwa terdapat Pasal-Pasal dan Undang-Undang yang terkait

dengan persetujuan tertulis atas penyelidikan, penyidikan, dan penahanan

terhadap anggota DPRD provinsi yang memerlukan persetujuan dari Menteri

Dalam Negeri atas nama Presiden dan anggota DPRD kabupaten/kota yang

memerlukan persetujuan dari Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri

sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU a quo dan Pasal 340 Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD maka menurut

Mahkamah pembentuk Undang-Undang perlu melakukan penyesuaian-

penyesuaian;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 201: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

104

[3.27] Menimbang bahwa terhadap ketentuan Pasal 36 ayat (4) UU Pemda yang

mengecualikan syarat persetujuan tertulis dari Presiden atas tindak pidana

kejahatan yang tertangkap tangan, tindak pidana kejahatan yang diancam dengan

pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, menurut

Mahkamah, pengecualian demikian masih diperlukan terhadap penyidikan yang

dilanjutkan dengan penahanan, karena kejahatan tertangkap tangan adalah

kejahatan yang telah terang benderang dan didukung oleh bukti yang cukup,

sehingga proses penyidikan dapat segera dilanjutkan pada tahap selanjutnya. Jika

harus menungggu persetujuan tertulis Presiden, dikhawatirkan tersangka akan

menghilangkan barang bukti dan jejak kejahatan yang dilakukannya;

Terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana

kejahatan terhadap keamanan negara, tidak lagi memerlukan persetujuan tertulis

dari Presiden untuk melakukan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan,

karena kejahatan tersebut adalah kejahatan berat yang jika harus menunggu

persetujuan tertulis, akan berpotensi membahayakan nyawa orang lain, atau

berpotensi membahayakan keamanan negara;

Oleh karena Pasal 36 ayat (5) UU Pemda mengatur batas waktu dua kali 24 jam

untuk melapor kepada Presiden setelah dilakukan tindakan penahanan atas tindak

pidana kejahatan tertangkap tangan, tindak pidana kejahatan yang diancam

pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, menurut

Mahkamah kentuan batas waktu tersebut tetap diperlukan dan tetap harus melekat

dengan Pasal 36 ayat (4) UU Pemda”.

[3.15] Menimbang bahwa hal penting yang menjadi penilaian Mahkamah

dalam permohonan a quo adalah, apakah Pasal 245 Undang-Undang a quo

bertentangan dengan prinsip judicial independent, prinsip equality before the law,

dan prinsip non-diskriminasi, yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat

(1), Pasal 28D ayat(1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

[3.16] Menimbang bahwa anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum

berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memegang kekuasaan membentuk

Undang-Undang. Sebagai pejabat negara pemegang kekuasaan pembentuk

Undang-Undang dalam pelaksanaan kekuasaannya masing-masing anggota DPR

mempunyai hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 202: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

105

mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas

sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945. Pelaksanaan fungsi dan hak

konstitusional anggota DPR tersebut juga harus diimbangi dengan adanya

perlindungan hukum yang memadai dan proporsional, sehingga anggota DPR

tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh dikriminalisasi pada saat dan/atau

dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan konstitusonalnya sepanjang

dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

[3.17] Menimbang bahwa menurut Mahkamah adanya persyaratan

persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan dalam hal pemanggilan

dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR bertentangan

dengan prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan.

Proses penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana,

sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, meskipun dapat

mengganggu kinerja anggota DPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya,

namun tidak menghalangi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugasnya.

Anggota DPR yang diselidiki dan/atau disidik masih tetap dapat melaksanakan

tugasnya sehari-hari. Adanya adagium yang menyatakan bahwa terhadap sesuatu

yang berbeda seharusnya diperlakukan berbeda dan terhadap sesuatu yang sama

harus diperlakukan sama, menurut Mahkamah, pejabat negara dalam menjalankan

tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya memang

berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara, karena dalam rangka

menjalankan fungsi dan haknya, pejabat negara memiliki risiko yang berbeda

dengan warga negara lainnya. Namun demikian, adanya pembedaan itu harus

berdasarkan prinsip logika hukum yang wajar dan proporsional yang secara

eksplisit dimuat dalam Undang-Undang serta tidak diartikan sebagai pemberian

keistimewaan yang berlebihan. Meskipun memang diperlukan adanya perlakuan

yang berbeda untuk menjaga independensi dan imparsialitas lembaga negara dan

pejabat negara, namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan

prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan pidana, apalagi sampai berakibat

pada terhambatnya proses hukum.

[3.18] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, adanya proses pengaturan

persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan kepada anggota DPR

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 203: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

106

yang sedang dilakukan penyidikan menurut Mahkamah adalah tidak tepat karena

Mahkamah Kehormatan Dewan meskipun disebut “Mahkamah” sesungguhnya

adalah alat kelengkapan DPR yang merupakan lembaga etik yang tidak memiliki

hubungan langsung dalam sistem peradilan pidana. Proses pengisian anggota

Mahkamah Kehormatan Dewan yang bersifat dari dan oleh anggota DPR akan

menimbulkan konflik kepentingan. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, proses

persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang kepadanya akan dilakukan

penyidikan maka persetujuan tertulis tersebut haruslah dikeluarkan oleh Presiden

dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan bukan oleh Mahkamah

Kehormatan Dewan.

[3.19] Menimbang bahwa salah satu bentuk perlindungan hukum yang

memadai dan bersifat khusus bagi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi dan

hak konstitusionalnya adalah dengan diperlukannya persetujuan atau izin tertulis

dari Presiden dalam hal anggota DPR tersebut dipanggil dan dimintai keterangan

karena diduga melakukan tindak pidana. Hal ini penting sebagai salah satu fungsi

dan upaya menegakkan mekanisme checks and balances antara pemegang

kekuasaan legislatif dengan pemegang kekuasaaan eksekutif sehingga Mahkamah

berpendapat bahwa izin tertulis a quo seharusnya berasal dari Presiden dan bukan

berasal dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Dengan adanya persyaratan izin atau persetujuan tertulis dari Presiden

dalam hal anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam konteks adanya

dugaan tindak pidana diharapkan, di satu pihak, tetap dapat melaksanakan fungsi

dan kewenangannya sebagai anggota DPR, di lain pihak, tetap menjamin adanya

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum

sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Namun demikian, tindakan penyidikan yang

dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 245 Undang-Undang a quo yang

memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden tersebut harus diterbitkan dalam

waktu yang singkat. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mewujudkan proses

hukum yang berkeadilan, efektif, dan efisien, serta menjamin adanya kepastian

hukum. Pemberian persetujuan secara tertulis dari Presiden kepada pejabat

negara yang sedang menghadapi proses hukum, khususnya penyidikan terhadap

pejabat negara, telah diatur di beberapa Undang-Undang, antara lain, UU MK, UU

BPK, dan UU MA, sehingga hal demikian bukan merupakan sesuatu yang baru.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 204: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

107

Berdasarkan pertimbangan tersebut, permohonan pengujian

konstitusionalitas Pasal 245 UU MD3 beralasan menurut hukum untuk sebagian

dan harus dimaknai sebagaimana akan disebutkan dalam amar putusan di bawah;

[3.20] Menimbang bahwa terkait dengan proses penyidikan yang diatur dalam

Undang-Undang a quo memang hanya dikhususkan untuk anggota DPR

sedangkan untuk anggota MPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

tidak diatur dalam bagian atau paragraf secara khusus. Hal ini berbeda dengan UU

Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) dimana ketentuan mengenai proses

penyidikan diatur secara khusus bukan hanya untuk anggota DPR tetapi juga

untuk semua anggota MPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD

dan DPRD, ketentuan mengenai penyidikan terhadap anggota MPR diatur dalam

Bab II, Bagian Kesebelas, Penyidikan, Pasal 66. Penyidikan terhadap anggota

DPR diatur dalam Bagian Keenam Belas, Penyidikan, Pasal 220. Penyidikan

terhadap anggota DPD diatur dalam Bagian Keempat Belas, Penyidikan, Pasal

289. Penyidikan terhadap anggota DPRD provinsi diatur dalam Bagian Kelima

Belas, Penyidikan, Pasal 340, dan penyidikan terhadap anggota DPRD

kabupaten/kota diatur dalam Bagian Kelima Belas, Penyidikan, Pasal 391.

Dengan demikian menurut Mahkamah perihal pengaturan proses

penyidikan khususnya terkait dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari

Presiden juga harus diberlakukan untuk anggota MPR dan anggota DPD,

sedangkan untuk anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota

pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota

DPRD provinsi yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapat

persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri dan untuk anggota DPRD

kabupaten/kota harus mendapat persetujuan tertulis dari Gubernur.

[3.21] Menimbang bahwa adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden bagi

anggota DPR dalam proses penyidikan sebagaimana telah diuraikan Mahkamah di

atas juga berlaku terhadap Pasal 224 ayat (5) Undang-Undanga quo sehingga

Pasal 224 ayat (5) juga harus dimaknai sebagaimana akan disebutkan dalam amar

putusan di bawah;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 205: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

108

[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang

diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon II beralasan

menurut hukum untuk sebagian;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di

atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo;

[4.4] Permohonan Pemohon II beralasan menurut hukum untuk sebagian;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

1. Permohonan Pemohon I tidak dapat diterima;

2. Mengabulkan permohonan Pemohon II untuk sebagian:

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 206: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

109

2.1. Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam

Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;

2.2. Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam

Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis

dari Presiden”;

2.3. Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya

menjadi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan

terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus

mendapat persetujuan tertulis dari Presiden”;

2.4. Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam

Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 207: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

110

2.5. Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam

Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis

dari Presiden”;

2.6. Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya

menjadi,“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR

yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan

tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat

(4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”.

3. Menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan

Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota, Arief

Hidayat, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Patrialis Akbar,

Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, dan Aswanto, masing-masing sebagai

Anggota, pada hari Kamis, tanggal dua puluh, bulan November, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi

terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh dua, bulan September, tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pukul 14.02 WIB, oleh

delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota,

Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar,

Suhartoyo, I Dewa Gede Palguna, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing

sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Hani Adhani sebagai Panitera

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 208: PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP

111

Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Presiden atau yang

mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Arief Hidayat

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd.

Anwar Usman

ttd.

Wahiduddin Adams

ttd.

Maria Farida Indrati

ttd.

Patrialis Akbar

ttd.

Suhartoyo

ttd.

I Dewa Gede Palguna

ttd.

Manahan M.P Sitompul

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Hani Adhani

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]