polahi dan pemilu indonesia “sebuah urgensi gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/artikel...
TRANSCRIPT
1
POLAHI DAN PEMILU INDONESIA
“Sebuah Urgensi Gagasan Pengawasan Partisipatif Terhadap Komunitas Suku
Terasing Polahi Untuk Menegakkan Keadilan Pemilu”
Oleh ;
Bawaslu Provinsi Gorontalo
1. Mukaddimah
Sesuai amanat konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 27 Ayat (1) berbunyi
“segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Indonesia sebagai negara
demokrasi yang menegakkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya”, maka esensinya adalah
seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali harus diberikan hak dan kedudukan yang sama
dalam hukum dan pemerintahan lebih khusus dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum sebagai
wujud demokrasi yang dilakananakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil setiap
5 (lima) tahun sekali. Dalam teori demokrasi, salah seorang mantan Presiden Amerika Serikat
Abraham Lincoln pernah mengatakan “democracy is goverment of the people, by the people, and
for the people, artinya bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Berdasarkan pernyataan pendapat tersebut maka jelaslah bahwa dalam negara demokrasi,
rakyatlah yang memiliki kedaulatan.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga yang diberi amanat oleh
negara untuk mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menangani
pelanggaran Pemilu dan menyelesaikan sengketa proses Pemilu sebagaimana diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, maka untuk
mewujudkan komitmen Bawaslu dalam menegakkan keadilan Pemilu, menegakkan persamaan
hak dan kewajiban antara sesama warga Negara Indonesia maka telah dirumuskan gerakan
semangat bersama dengan motto “Bersama Rakyat Awasi Pemilu Bersama Bawaslu Tegakkan
Keadilan Pemilu”. Motto tersebut bukan hanya sekedar ungkapan kata-kata, tetapi sesungguhnya
mengandung makna tanggung jawab dan semangat yang kuat untuk menegakkan nilai-nilai
kejujuran dan keadilan untuk seluruh warga Negara dalam penyelenggaraan Pemilu sebagai wujud
pelaksanaan demokrasi di Indonesia, sebagaimana ketentuan Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 yang berbunyi “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”.
2
Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi di dunia, berdasarkan catatan sejarah
perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah berulang kali menyelenggarakan Pemilu yakni sejak
Pemilu pertama pada tahun 1955-2014 terhitung sudah 11 (sebelas belas) kali menyelenggarakan
Pemilu. Oleh karena itu, sejatinya penyelenggaraan Pemilu tahun 2019 sebagai Pemilu yang ke-
dua belas harus lebih baik dari Pemilu sebelumnya. Hal ini penting untuk menunjukkan adanya
peningkatan kualitas demokrasi yang sesuai dengan harapan masyarakat indonesia dan dunia
internasional. Memang patut disadari bahwa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan
jumlah penduduk terbesar ke-empat di dunia dan keadaan penduduknya sangat heterogen menjadi
tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam mengelolah kehidupan demokrasi yang sesuai dengan
harapan semua pihak pada semua tingkatan Provinsi dan Kabupaten/Kota sampai pada tingkat
Kecamatan dan Desa/Kelurahan.
Gorontalo sebagai salah satu provinsi baru di Indonesia yang secara resmi lahir pada
tanggal 5 Desember Tahun 2000 melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000, dimana pada
awalnya menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara, maka seiring dengan perkembangan zaman
sejak tahun 2000-sekarang, telah memiliki 5 Kabupaten dan 1 Kota yaitu; Kota Gorontalo,
Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Pohuwato dan
Kabupaten Gorontalo Utara. Jumlah penduduk provinsi Gorontalo saat ini baru mencapai
1.166.142 jiwa, dengan jumlah pemilih pada Pemilu Tahun 2019 adalah sebanyak 812.801 Pemilih
tersebar di 77 kecamatan, 729 desa/kelurahan dan 3.364 TPS. Sebagai sebuah daerah yang berada
diantara dua provinsi yakni; Provinsi Sulawesi Utara dengan Provinsi Sulawesi Tengah, maka
Provinsi Gorontalo memiliki beragam budaya dan komunitas termasuk didalamnya adalah
komunitas terasing suku “Polahi” yang tinggal di kawasan hutan belantara dan pegununungan
Boliyohuto Kabupaten Gorontalo.
Tidak banyak masyarakat Gorontalo yang mengetahui keberadaan komunitas Polahi,
karena tempat tinggal mereka di hutan belantara dan pegunungan serta jarang dijumpai dan/atau
dibicarakan apalagi kaitannya dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada). Berangkat dari Motto Bawaslu yakni “Bersama Rakyat Awasi Pemilu Bersama
Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”, maka Bawaslu Provinsi Gorontalo melakukan penelusuran
untuk mengetahui keberadaan suku Polahi tersebut dan partispasinya dalam penyelenggaraan
Pilkada dan Pemilihan Umum Tahun 2019. Penelusuran Bawaslu Provinsi Gorontalo, berawal dari
informasi yang disiarkan oleh salah satu media televisi swasta nasional Trans7 pada tahun 2017,
3
dan melalui jajaran Bawaslu Kabupaten Gorontalo, Panwaslu Kecamatan Asparaga dan Panwaslu
Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo serta Panwas Desa Bina Jaya Kecamatan
Tolangohula. Untuk merumuskan langkah Bawaslu Provinsi Gorontalo mengenai penelusuran
komunitas Polahi tersebut, maka pada bulan Mei Tahun 2018 Bawaslu Provinsi Gorontalo
melaksanakan rapat koordinasi bersama dengan jajaran Bawaslu/Panwaslu Kabupaten/Kota dan
Panwaslu Kecamatan terkait.
Sebagai tindaklanjut dari hasil rapat koordinasi tersebut, maka pada tanggal 10 Juni 2018
Bawaslu provinsi Gorontalo, melaksanakan kegiatan Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Pemilu
bertempat di dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya, Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo,
dengan mengundang 25 orang dari komunitas Polahi melalui juru bicara Sdr. Budin Mole sebagai
mantan Kepala Dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo,
dan salah seorang angota Bawaslu kabupaten Gorontalo Sdr. Kholik Mootalu yang sudah terbiasa
dengan komunitas “Polahi”. Dalam kegiatan sosialisasi tersebut, juga hadir KPU Provinsi
Gorontalo, jajaran Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Kementerian Agama Provinsi
Gorontalo, Pemerintah Kecamatan Tolangohula, Kepolisian Sektor Tolangohula, Pemerintah Desa
Bina Jaya, dan beberapa tokoh masyarakat.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengungkapkan fakta mengenai pemilih
masyarakat adat yang terancam tidak bisa mencoblos atau tidak dapat menggunakan hak suaranya
pada Pemilu Tahun 2019, yakni sebanyak 2,3 juta masyarakat adat hidup di kawasan hutan. Dari
jumlah tersebut, sekitar 720.000 (tujuh ratus dua puluh ribu) jiwa masyarakat adat yang tidak bisa
menggunakan hak pilih karena tidak adanya identitas kependudukan KTP-Elektronik1. Persoalan
lain yang juga ditemui AMAN yakni masih ada sekitar 1 juta masyarakat adat yang buta huruf atau
tunaaksara. Andre Barahamin sebagai Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat
AMAN menyebut aturan soal tuna aksara tidak diatur secara detail, sementara mereka tidak yakin
soal pendamping di bilik suara yang bisa menjamin suara mereka diarahkan dengan benar2. Hal
ini disebabkan oleh karena pada pelaksanaan Pemilu dan Pilkada sebelumnya sudah terjadi
kecurangan terhadap suara masyarakat adat.
Sebagai lembaga yang bertugas mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu termasuk
didalamnya tahapan sosialisasi kepada masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-
1 Ibid 2 Ibid.,
4
undangan yang berlaku, maka sebagaimana motto Bawaslu yakni “Bersama Rakyat Awasi Pemilu
Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”, Bawaslu Provinsi Gorontalo berkomitmen untuk
memastikan agenda sosialiasi penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019 khususnya di
Provinsi Gorontalo dan Kabupaten/Kota, serta Kecamatan dan Desa/Kelurahan, yang
dilaksanakan oleh Penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU dapat menyentuh seluruh lapisan
masyarakat termasuk komunitas suku terasing “Polahi” meskipun mereka bertempat tinggal di
hutan dan pegunungan yang sulit dijangkau dan sulit untuk ditemui. Hal dimaksudkan agar seluruh
warga negara Indonesia termasuk Polahi di Gorontalo yang telah memenuhi syarat untuk memilih
yakni telah berumur 17 tahun dan/atau sudah pernah menikah dapat berpartisipasi dalam Pemilu
dengan menggunakan hak pilihnya secara baik.
Sejatinya, Pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali sebagaimana amanat
konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945, seluruh warga negara Indonesia yang telah
memenuhi syarat memilih yakni telah berumur 17 tahun dan/atau sudah pernah menikah, termasuk
mereka dari komunitas terasing “Polahi” yang tinggal di hutan dan pegunungan harus diberi
kesempatan yang sama untuk memilih dan/atau dipilih menjadi pemimpin negara dan bangsa baik
sebagai pejabat legislatif (anggota DPR, DPD, dan DPRD) maupun untuk memilih pejabat
eksekutif Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Namun ironisnya, sejak Pemilu pertama
Tahun 1955 hingga tahun 2014 komunitas suku terasing “Polahi” di Gorontalo belum mengenal
Pemilu. Dalam konteks ini, maka kehadiran negara harus mampu memberikan pelayanan yang
sama bagi seluruh warga negara, tak terkecuali kaum-kaum marginal yang disebabkan oleh karena
perbedaan suku, ras, agama dan budaya, walaupun mereka hanya sebagian kecil dari eksistensi
Negara, perhatian Negara harus mampu menyentuh struktur dasar identitas manusia yang memiliki
harkat dan martabat yang sama di depan hukum dan pemerintahan.
Berdasarkan uraian pemikiran di atas, maka Penulis sebagai organ penyelenggara Pemilu
tertarik untuk menulis tentang keberadaan komunitas terasing suku “Polahi” di Gorontalo dan
partisipasinya dalam Pemilu Tahun 2019 yang dikemas dengan judul “POLAHI DAN PEMILU
INDONESIA, Sebuah Urgensi Gagasan Pengawasan Partisipatif Terhadap Komunitas Suku
Terasing “Polahi” Untuk Menegakkan Keadilan Pemilu”. Adapun metode yang digunakan
untuk mengumpulkan fakta dan keterangan dalam tulisan ini menggunanakan motode empirik
melalui wawancara dengan para responden.
5
2. Hasil Penelitian/Pembahasan
Berawal dari informasi yang disiarkan oleh salah satu media televisi swasta nasional
Trans7 pada tahun 2017, dan hasil penelusuran Bawaslu Provinsi Gorontalo melalui jajaran
Panwaslu Kabupaten Gorontalo Sdr. Kholik Mootalu (Anggota/Koordinator Divisi Pengawasan,
Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga), Ketua dan Anggota Panwaslu Kecamatan Asparaga,
Ketua dan Anggota Panwaslu Kecamatan Tolangohula Sdr. Jahja Alijonga (Ketua) dan Sdr.
Samsul Atid (Anggota), Panwas Desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula Sdr. Abdul Gias Ntobuo,
dan melalui kegiatan sosialisasi pengawasan partisipatif yang dilaksanakan Bawaslu Provinsi
Gorontalo pada hari Minggu Tanggal 10 Juni 2018 bertempat di dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya,
Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo, dengan mengundang 25 orang dari komunitas
Polahi melalui juru bicara Sdr. Budin Mole sebagai mantan Kepala Dusun Pilomuluta Desa Bina
Jaya Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo, serta hasil wawancara Penulis dengan para
responden, maka diperoleh fakta dan keterangan mengenai komunitas suku terasing “Polahi” di
Gorontalo yaitu sebagai berikut;
A. Asal Mula Komunitas Suku Terasing “Polahi” di Gorontalo
Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan beberapa responden, maka dapat dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan komunitas Polahi adalah kelompok atau komunitas suku Gorontalo
yang terasing dan tinggal di hutan dan daerah pegunungan sejak zaman penjajahan Belanda di
Gorontalo. Menurut Hasanudin komunitas Polahi adalah mereka yang melarikan diri ke hutan
dan pegunungan yang disebabkan oleh karena mereka tidak ingin disiksa dan menjadi korban para
penjajah Belanda dan kaki tangan para penjajah dan pendudukan Jepang serta para residivis.3
Adanya komunitas Polahi adalah sebagai bukti adanya pembangkangan rakyat atas tindakan para
penjajah, dan para pemimpin yang berselingkuh dengan pihak kolonial. Komunitas Polahi, selain
melarikan diri di hutan belantara dan pegunungan yakni di gunung Tilongkabila dan Boliyohuto
kabupaten Gorontalo, mereka juga menolak untuk membayar upeti dan memberikan hasil alam
pada kolonial Belanda.4
Dari berbagai sumber yang diperoleh Penulis dapat diuraikan bahwa asal mula komunitas
suku “Polahi” adalah diawali pada dua zaman raja besar di Gorontalo masing-masing yaitu; Raja
3 Hasanudin dalam Samsi Pomalingo “ Polahi, Komunitas pedalaman suku Gorontalo” , repository.ung.ac.id Jurnal Dinamika Sosial dan Budaya (1) 2015, hal 1. Diakses 21/9/2019. 4 ibid
6
Eyato pada tahun 1673-1679, hingga Raja Biya pada tahun 1677-16795. Pada masa kekuasaan
kedua Raja tersebut, perlawanan paling sengit terjadi antara suku Polahi dengan pihak kolonial
Belanda. Bagi mereka, lebih baik mengasingkan diri selama-lamanya dari pada harus tunduk pada
kekuasaaan Belanda. Menurut salah seorang akademisi dan budayawan Gorontalo Alim Niode,
menerangkab bahwa latar belakang banyaknya masyarakat lari ke hutan dan menjadi Polahi adalah
karena kekuasaan raja-raja kecil pada masa itu yang sangat otoriter sehingga membuat rakyat
banyak melarikan diri ke hutan dan menjadi Polahi6. Dari sikap mereka tersebut, dalam beberapa
generasi hingga hari ini mereka memilih untuk tetap menjadi warga hutan dan gunung daripada
membaur dengan masyarakat pada umumnya yang menurut mereka masih dikuasai oleh
penjajahan kolonial Belanda. Struktur kehidupan Polahi sangat primitif, khususnya dalam hal
perkawinan. Menurut Feriyanto Madjowa yang dikutip oleh Syamsi Pomalingo, bahwa Polahi
mempunyai tradisi kawin sumbang, kontak dengan pencari rotan, tidur dekat api, takut kematian,
serta rajin bekerja dan bertani7.
Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan sekretaris Desa Bina Jaya
Kecamatan Tolangohula Bapak Tamrin Orasi, mengatakan yang dimaksud dengan kawin
sumbang pada suku Polahi adalah suka menikahi antar sesama keluarganya; anak menikahi
Ibunya, ayah menikahi anaknya, dan sesama saudara saling menikah. Pola perkawinan tersebut
telah menjadi tradisi suku Polahi, yang dikarenakan mereka tidak punya pengetahuan yang cukup
tentang Agama. Lebih lanjut Tamrin Orasi selaku Sekretaris Desa Bina Jaya menyampaikan
bahwa sosialisasi dan pembimbingan dari pemerintah terkait dengan hal tersebut belum pernah
menyentuh masyarakat Polahi. Olehnya, tidak heran jika prilaku mereka dalam hal pernikahan
masih sangat primitif. Namun demikian, salah satu suku Polahi bernama Babuta atau yang disebut
Raja Palowa, memiliki keunggulan tersendiri dimana yang bersangkutan dianggap sebagai
pemimpin/raja di golongan mereka, dan telah menikahi dua wanita kampung di desa yang berbeda.
Babuta yang termasuk pimpinan komunitas suku Polahi di wilayah hutan Boliyohuto kabupaten
Gorontalo, dan dapat berbaur dengan masyarakat desa setempat sekaligus sebagai juru bicara dari
suku Polahi. Sebagai seorang yang dianggap kepala suku/raja Polahi, Babuta ternyata meneruskan
kepemimpinan ayahnya yang telah wafat beberapa tahun silam.
5 Ibid., hal 3. 6 Alim Niode, “Gorontalo Perubahan Nilai-nilai Budaya dan Pranata Sosial” Jakarta : PT Pustaka Indonesia Press, 2007 hal 99. 7 Feriyanto Madjowa dan Samsi Pomalingo, loc.cid, hal 8.
7
Mengenai jumlah komunitas “Polahi” yang tinggal di Pegunungan Boliyohuto Kabupaten
Gorontalo hingga saat ini tidak dapat dipastikan. Namun menurut Budin Mole mantan kepala
Dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula, yang juga sebagai juru bicara Polahi
mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman empirik yang pernah ditemukan oleh warga desa Bina
Jaya Kecmatan Tolangohula yang berprofesi sebagai pencari rotan di kawasan hutan dan
pegunungan Boliyohuta kabupaten Gorontalo, bahwa komunitas Polahi yang tinggal di
pegunungan tersebut terbagi dalam beberapa kelompok yang tidak diketahui jumlahnya, dan
kelompok yang paling jauh berada di dekat perbatasan Provinsi Gorontalo dengan Provinsi
Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong.
Selanjutnya, Syamsi Pomalingo akademisi Universitas Negeri Gorontalo dan Peneliti di
Gorontalo menjelaskan bahwa sesungguhnya yang hadir pada kegiatan sosialisasi Bawaslu
maupun KPU sudah tergolong eks-Polahi, karena mereka sudah membaur dengan masyarakat desa
pada umumnya. Menurutnya, Polahi diklasifikasikan dalam sebutan kelompok 11, kelompok 20,
kelompok 50, dll. Klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah anggota keluarga atau kelompok
mereka. Saat ini, masih ada ratusan polahi yang ada pada kelompok 50, dimana mereka adalah
kelompok yang masih sangat primitif. Belum ada satu peneliti atau instansi negara yang mampu
untuk menemui mereka, oleh karena mereka masih memegang teguh prinsip dasar manusia Polahi
sebagaimana buyut-buyut mereka. Adapun cara untuk memantik mereka agar dapat berbicara
banyak, maka diperlukan minuman keras (cap tikus). Hal ini dia buktikan pada Polahi yang ada di
kawasan pegunungan kabupaten Boalemo.
B. Bahasa, dan Karaktersitik Polahi
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa komunitas suku terasing “Polahi” di Gorontalo
adalah mereka yang tinggal di kawasan hutan belantara dan pegunungan yang sulit ditemui dan
belum beradaptasi dengan masyarakat pada umumnya. Bahasa yang digunakan “Polahi” adalah
bahasa Gorontalo asli yaitu bahasa yang digunakan oleh masyarakat Gorontalo pada zaman dahulu
kala. Orang Gorontalo pada umumnya saat ini tidak bisa mengerti bahasa Polahi, karena dialek
dan maknanya berbeda. Olehnya, jika bertemu dengan komunitas Polahi atau berkunjung ke
tempat mereka maka harus menggunakan juru bicara atau juru bahasa yang mampu menguasai
bahasa Polahi, dan tidak asing bagi mereka karena Polahi tidak mau bertemu dengan orang yang
belum dikenal tanpa ada perantara atau orang yang mengenalkannya sebelumnya. Komunitas
8
Polahi juga terkenal dengan tidak bisa mengucapkan huruf “R”8, dan fenomena tersebut belum
diketahui apa sebabnya.
Mengenai karakteristik Polahi, menurut juru bicara Polahi Sdr. Budin Mole mantan
Kepala Dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya, bahwa komunitas Polahi memiliki karakteristik yang
berbeda dengan masyarakat pada umumnya yakni jika berjalan/bepergian ke suatu tempat selalu
rombongan, bagi laki-laki selalu membawah parang yang diikat dengan tali khusus di pinggang
atau digantung di punggung, dan apabila salah satu kelompok meninggalkan rumah tempat tinggal
misalnya ke pasar atau ada keperluan di tempat lain, maka ada kelompok lain yang bertugas
menjaga tempat tinggal mereka, serta apabila ada diantara anggota keluarga yang meninggal dunia
di tempat tinggal mereka, maka tempat tinggal tersebut akan mereka tinggalkan karena dianggap
membawa sial, dan mereka sangat takut dengan kematian.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Gatara dan Said membagi perubahan social
masyarakat dalam 5 (lima) fase, yaitu sebagai berikut;
a. Fase Primitif, yaitu manusia hidup secara nomaden dan terisolasi dengan lingkungan alam dan
sumber daya makanan yang menentukan kelangsungan hidupnya, fase primitif ini dicirikan oleh
kehidupan manusia dalam kelompok-kelompok kecil (band) dan terpisah dengan kelompok
lainnya sering terjadi peperangan untuk memperebutkan sumber makanan. Pada fase primitive,
masyarakat menerapkan hukum rimba , yakni hukum yang mengedepankan prinsip , “siapa
yang kuat, dia yang berkuasa” artinya, mereka yang dianggap sebagai pemimpin atau penguasa
kelompoknya dianggap sebagai pemimpin atau penguasa kelompoknya. pemimpin ini memiliki
otoritas yang besar. Apapun bisa dilakukan meskipun harus mengorbankan harta dan martabat
anggotanya. Seorang pemimpin atau penguasa dipercaya dapat melindungi para anggotanya
dari gangguan atau ancaman kelompok lainnya. Pada fase ini nampak pada kehidupan suku
Polahi, dimana hidup berkelompok dan berpindah-pindah, dan belum bisa beradaptasi dengan
kelompok masyarakat pada umumnya. Menurut Jahja Alijonga mantan ketua Panwaslu
Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo, peristiwa perkelahian kelompok masyarakat
kampung dengan komunitas Polahi pernah terjadi pada tahun 1980-an yaitu dikenal dengan
peristiwa “Baminya dan Bakara”. Baminya dan Bakara sendiri adalah dua nama jagoan
kampung yang pada saat itu rombongannya bertemu dengan komunitas Polahi di hutan
Boliyohuto. Saat itu suku Polahi menganggap mereka adalah pihak Kolonial sehingga terjadilah
8 Ibid.,hal 8
9
penyerangan kepada sekelompok warga kampung tersebut. Semua warga kampung melarikan
diri ke hutan, tinggal tersisa dua orang yang bertahan, yakni Baminya dan Bakara, kedua orang
tersebut melawan dan hingga saat ini tidak kembali. Peristiwa itu dikenal dengan nama
“Baminya dan Bakara”.
b. Fase bercocok tanam atau agrokultural. Fase ini dilakukan ketika pola pikir masyarakat
berubah, yaitu hidup menetap dengan memaksimallkan sumber daya alam yang ada
dilingkungannya. Keinginan hidup menetap sebetulnya bukan hanya didorong oleh keinginan
ini saja, tetapi ada faktor-faktor eksternal, misalnya lingkungan alam tidak lagi mampu
memberikan dorongan yang maksimal terhadap manusia dan populasi penduduk semakin
bertambah banyak. Mereka yang semula hidup secara berpindah-pindah mulai merasa lelah dan
bosan sehingga memilih untuk menetap dengan memanfaatkan sumber daya alam yang
menurutnya bisa menopang kehidupannya. Pada fase ini budaya berpindah-pindah masih tetap
dilakukan meskipun pada skala waktu yang relatife lebih lama. Berdasarkan sumber yang
diperoleh Penulis, pada fase ini terjadi pada komunitas Polahi dimana kehidupan mereka sangat
tergantung pada sumber daya alam guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Selain
mengkonsumsi bahan makanan yang bersumber langsung dari alam misalnya rotan, dan buah-
buahan dari pepohonan, komunitas Polahi juga membuka lahan dan bertani di pegunungan
dengan menggunakan metode yang sangat sederhana.
c. Fase Tradisional, dijalani masyarakat dengan hidup secara menetap di tempat tertentu yang
dianggap strategis guna memenuhi berbagai kebutuhan kehidupannya, seperti di pinggir sungai
gunung, dataran rendah, lereng dan sebagainya. Pemilihan tempat ini disesuaikan dengan
sumber daya alam dan kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan kondisi alamnya.
Mereka mulai membentuk suatu tatanan kehidupan masyarakat dalam bentuk sejenis desa.
Jumlah populasinya pun semakin bertambah sehingga suatu desa tidak hanya terdiri dari satu
keturunan, tetapi ada beberapa keturunan yang didalamnya dibentuk pola pemerintahan yang
sangat sederhana. Budaya dan tradisi dalam suatu desa mulai tercipta dan berkembang. Pada
fase tradisional ini, masyarakat mulai mengembangkan hukum yang lebih baik ketimbang masa
sebelumnya. Hukum yang berkembang bukan lagi hukum rimba, tetapi ada norma atau aturan
yang disepakati bersama. Penetapan suatu hukum dihasilkan dari kesepakatan seluruh anggota
kelompok masyarakat. Hukum tidak lagi dibuat oleh pemimpin atau penguasa seperti pada
penerapan hukum rimba , melainkan atas kehendak seluruh anggota masyarakat disini,
10
pemimpin atau penguasa hanya sekedar representasi untuk menjalankan amanat dari anggota
masyarakatnya. Mengenai norma atau aturan yang berlaku pada komunitas Polahi, berdasarkan
hasil wawancara Penulis ditemukan bahwa Polahi belum mengenal aturan atau norma-norma
yang ditaati oleh masyarakat pada umumnya misalnya; norma agama, norma adat, norma
kesusilaan dan lain-lain. Polahi belum mengenal agama, mereka hanya mengikuti pola hidup
atau kebiasaan yang diturunkan oleh orangtuanya secara turun temurun. Dalam hal perkawinan,
tidak ada batasan perkawinan antara anak dengan ibunya, ayah dengan anaknya, dan/atau
perkawinan antara saudara sekandung. Namun demikian, Polahi memiliki kebiasaan hidup
berkelompak/bersama, serta membagi hasil yang diperoleh dari alam secara adil dan merata,
misalnya hasil berburu, atau bercocok tanam.
d. Fase transisi, kehidupan desa sudah sangat maju dan isolasi terhadap salah satu kelompok
masyarakat mulai berkurang, penggunaan media informasi hampir merata. Hanya saja secara
geografis kehidupan masyarakat transisi masih berada disekitar pinggiran kota dan hidupnya
pun masih mencirikan kehidupan tradisional. Pola pikir dan system social tradisional silih
berganti digunakan, namun mengalami penyesuaian dengan pola pikir dan system social yang
baru dan inovatif. Dengan kata lain, pada masyarakat transisi terdapat ambigu antara
menjalankan system kehidupan lama dan menyesuaikan dengan system kehidupan baru. Sifat
ambigu ini tercermin dalam pola pikir, sikap, dan perilaku sehari-hari. Pola pikir masyarakat
terlihat masih tradisional dan masih memelihara kekerabatan, namun mulai memperlihatkan
individualis. Ciri yang paling dominan pada fase ini adalah terjadinya proses asimilasi budaya
dan social yang belum tuntas dan terlihat masih canggung dalam semua dimensi kehidupan.
Pada fase ini terlihat beberapa diantara komunitas Polahi mulai mengenal pasar tradisional,
namun masih sangat canggung karena perbedaan bahasa dan belum mampu berhitung dengan
menggunakan mata uang sebagai alat tukar.
e. Fase modern, ditandai dengan adanya peningkatan kualitas perubahan social yang lebih konkret
untuk meninggalkan fase transisi, dimana masyarakat sudah menunjukkan kehidupan
kosmopolitannya dengan ciri yang paling professional, dan pembagian kerja diantara anggota
masyarakat mulai jelas.9 Pada fase ini, belum terlihat dalam kehidupan komunitas Polahi,
9 Gatara dan Said, Sosiologi Politik, konsep dan dinamika perkembangan Kajian, Bandung; Pustaka setia, 2007; Cet I, Hal 55-56
11
karena kehidupan mereka masih sangat primitif dan tradisional, dengan menggatungkan hidup
pada alam yaitu hutan dan pegunungan.
Dari lima fase perkembangan atau perubahan sosial tersebut di atas, komunitas Polahi di
Gorontalo masih termasuk pada fase primitif dan tradisional, dimana mereka masih hidup
berpindah-pindah dalam hutan dan pegunungan, sulit beradaptasi dengan masyarakat pada
umumnya karena masih menganggap sebagai kolonial, serta belum mengenal norma hukum yang
ditaati oleh masyarakat pada umumnya misalnya; norma agama, norma adat, norma kesusilaan dan
lain-lain. Mereka hanya mengikuti pola hidup atau kebiasaan yang diturunkan oleh orangtuanya
secara turun temurun. Dalam hal perkawinan, tidak ada batasan perkawinan antara anak dengan
ibunya, ayah dengan anaknya, dan/atau perkawinan antara saudara sekandung. Namun demikian,
beberapa diantara mereka saat ini, mulai beradaptasi dengan kehidupan masyarakat pada
umumnya, dimana diantara mereka mulai mengikuti sosialisasi-sosialisasi yang dilakukan oleh
pemerintah, mulai mengenal pasar tradisional, serta menikah dengan warga desa. Dengan
demikian maka ini berarti juga telah masuk pada fase transisi, yang mulai mengenal perkembangan
informasi dan pola hidup masyarakat pada umumnya.
C. Polahi Dalam Kehidupan Sehari-hari
Berdasarkan sumber yang diperoleh Penulis, bahwa dalam kehidupan sehari-hari
komunitas terasing “Polahi” di Gorontalo berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya.
Mereka terbagi atas dua kelompok yaitu; kelompok kecil dan kelompok besar10. Dua kelompok
tersebut mempunyai cara bertahan hidup yang berbeda, dimana pada kelompok kecil berkeliaran
kemana-mana dan menggantungkan hidupnya pada hasil alam dalam wilayah yang dia kunjungi,
seperti berburu dan membuka lahan dan mengkonsumsi sagu (Labiya) sebagai bahan makanan
utama bagi mereka. Sementara pada kelompok besar, menetap dalam kurun waktu yang cukup
lama di suatu tempat dan menggantungkan hidupnya pada hasil ladang atau berkebun dengan cara
berpindah-pindah. Aktivitas berburu bagi mereka adalah usaha sampingan ketika mereka ingin
mendapatkan daging untuk dimasak11.
Namun demikian, dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, komunitas “Polahi”
menunjukkan pola hidup yang positif yakni; saling menghargai antar sesama, saling tolong
menolong, dan saling menjaga ketika terjadi permasalahan atau gangguan dari pihak luar. Dalam
10 Ibid., hal 5 11 Ibid., hal 5
12
menguasai ladang untuk menanam, mereka tidak menguasai lahan secara membabi buta dan
individualistik. Selalu saja mereka bercocok tanam secara bersama-sama secara tradisional dan
membagi hasilnya secara adil pula. Dalam konteks ini, salah satu ciri khas komunitas Polahi adalah
hidup berkelompok, diantara mereka saling menjaga jangan sampai terjadi gangguan. Oleh karena
itu, bagi orang baru tidak mudah untuk bertemu langsung dengan Polahi, mereka hanya percaya
dengan orang-orang tertentu yang sudah terbiasa dengan kehidupan mereka. Olehnya bagi
seseorang yang ingin bertemu dengan komunitas Polahi harus melalui perantara dan/atau juru
bicara yang dikenal oleh mereka.
Hal yang menarik dari kehidupan komunitas “Polahi” di Gorontalo adalah pengenalan
mereka terhadap hitungan angka dan nilai mata uang. Mereka baru mengenal hitungan angka dari
angka 1 sampai 10 dengan sebutan 1 (tuweu), 2 (duluo), 3 (totolu), 4 (topato), 5 (limo), 6 (wulomo),
7 (pitu), 8 (walu), 9 (tio), dan 10 (mopulu). Sementara pengenalan mereka terhadap nilai mata uang
hanya Rp. 1.000.-, Rp. 5.000.- Rp. 10.000.-, Rp. 20.000.-, dan Rp. 50.000.-12. Keterbatasan
pemahaman terhadap bahasa dan hitungan nilai mata uang tersebut, menjadikan mereka sangat
canggung berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya, misalnya di pasar tradisional atau
ditempat-tempat umum lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan masyarakat desa Bina Jaya kecamatan
Tolangohula, bahwa “Polahi” yang tinggal di pegunungan Boliyohuto sering ditemukan turun ke
pasar tradisional desa Tamiala dan Tamila Utara kecamatan Tolangohula. Mereka mencari/
berbelanja kebutuhan sehari-hari terutama garam dan alat-alat pertanian seperti parang dan
kampak untuk memotong kayu. Namun mereka kesulitan berkomunikasi karena belum mengerti
bahasa Gorontalo pada umumnya, baru sebagian diantara mereka yang mengenal mata uang
sebagai alat tukar dan belum bisa berhitung.
D. Polahi dan Lingkungannya
Kehidupan komunitas Polahi sangat tergantung pada alam/lingkungan hutan dan
pegunungan. Bagi mereka hutan dan gunung telah menyatu dan menjadi satu kesatuan yang tak
dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Hasil wawancara Penulis dengan Farida Kurnai salah
satu warga desa Bina Jaya yang juga sebagai Kepala Urusan Kesejahteraan Pemerintahan Desa
Bina Jaya Kecamatan Tolangohula, mengatakan bahwa pada tahun 2008 komunitas Polahi diajak
12 Ibid.,hal 8
13
untuk tinggal di desa Bina Jaya, dan oleh pemerintah waktu itu diberikan fasilitas rumah layak
huni (mahayani) sebanyak 9 unit, sertifikat tanah dan KTP. Akan tetapi, mereka hanya bertahan
beberapa waktu saja apalagi ada rekan mereka yang meninggal dunia. Menurut mereka rumah
layak huni ini membawa sial, maka lebih baik kembali dan menyatu dengan alam di hutan daripada
tinggal ditempat yang penuh kesialan” kata mereka.
Selain itu, Polahi tidak bisa tinggal di rumah yang berdinding padat/rapat dan beratapkan
seng karena panas. Menurut mereka lebih baik tinggal di hutan karena dingin dari pada tinggal di
rumah yang panas. Anak-anak mereka juga terbiasa dengan lingkungan hutan sehingga tidak mau
diajak bermain dengan anak-anak pada umumnya. Beberapa diantara anak-anak mereka diajak
oleh masyarakat sekitar di desa Bina Jaya untuk disekolahkan dan/atau diajak jalan-jalan ke kota
Gorontalo untuk melihat tempat-tempat yang ramai, namun mereka tetap tidak mau dan mamilih
bersama orang tuanya ke hutan. Oleh karena itu, mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk
bisa merubah kebiasaan hidup Polahi tersebut dari kehidupan yang sangat primitif menjadi maju
dan modern seperti masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan pengalaman empirik sebagian masyarakat desa Bina Jaya Kecamatan
Tolangohula yang berprofesi sebagai pencari rotan di hutan, mengatakan bahwa kawasan hutan
dan pegunungan tempat tinggal Polahi tersebut dapat ditempuh dalam waktu sehari semalam
dengan berjalan kaki. Hingga sekarang bentuk rumah mereka dihiasi dengan daun-daunan dari
pohon lontar atau dalam bahasa Gorontalo dikenal dengan nama “lopou dungilo”. Daun lontar
tersebut digunakan sebagai bahan atap dan dinding rumah. Sementara untuk mematangkan
makanan misalnya umbi-umbian atau dari hasil berburu, mereka menggunakan pelepah pohon
enau sebagai bahan bakar. Pelepah pohon enau dibenturkan dan digesekkan dengan piring batu
dapat menghasilkan api untuk mematangkan makanan13.
Namun demikian, banyak warga desa yang ingin mengetahui pengetahuan Polahi
mengenai obat-obatan dari alam, karena pada kenyataanya mereka tidak mengenal puskemas dan
rumah sakit, tidak mengenal obat-obat kimia, mereka melahirkan di hutan dan merawat anak-
anaknya hingga dewasa tanpa bantuan tenaga medis atau dokter, akan tetapi kelihatannya mereka
sehat-sehat saja. Orang yang sudah lanjut usia, masih tetap kelihatan kuat berjalan jauh dan
mendaki gunung, tidak mengenal rasa lelah meskipun sudah tua. Oleh karena itu, banyak yang
13 Ibid.,hal 7
14
menduga bahwa mereka memiliki pengetahuan mengenai kesehatan yang sumbernya dari alam,
namun belum diketahui oleh masyarakat pada umumnya.
E. Polahi Dalam Pemilu Tahun 2019
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum menyatakan ”Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana
kedaulatan ratkyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya, Pasal 198 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan
Umum menyatakan “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak
memilih. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sebagai upaya untuk mendorong dan memastikan
warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilih pada Pemilu Tahun
2019 terutama terhadap komunitas masyarakat terpencil dan/atau terasing, maka Bawaslu Provinsi
Gorontalo melaksanakan kegiatan Sosialisasi Pengawasan Partisipatif pada hari Minggu Tanggal
10 Juni 2018 bertempat di dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula Kabupaten
Gorontalo, dengan mengundang 25 (dua puluh lima) orang dari komunitas suku terasing “Polahi”
sebagai peserta sosialisasi melalui juru bicara Sdr. Budin Mole sebagai mantan Kepala Dusun
Pilomuluta Desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula.
Sebagai tindaklanjut dari kegiatan sosialisasi tersebut maka pada bulan September 2019,
Tim Penulis Bawaslu Provinsi Gorontalo kembali mendatangi desa Bina Jaya Kecamatan
Tolangohula, untuk mengetahui partisipsasi komunitas Polahi pada pelaksanaan Pemilihan Umum
Tahun 2019. Berdarkan hasil penelusuran Penulis melalui wawancara dengan Sdr. Jahja
Alijonga, sebagai mantan Ketua Panwaslu Kecamatan Tolangohula bahwa pada Pemilu Tahun
2019, partisipasi Pemilih dari komunitas terasing “Polahi” mengalami peningkatan dibanding
dengan Pemilihan sebelumnya yakni sebanyak 7 (tujuh) orang dari 25 orang yang pernah
mengikuti sosialisasi yang menggunakan hak pilihnya.
Lebih lanjut Jahja Alijonga, menjelaskan bahwa Pemilih dari komunitas Polahi tersebut
menggunakan hak pilihnya di TPS 2 Desa Bina Jaya, dan yang menarik perhatian adalah setelah
15
selesai proses Pemilihan di TPS tersebut, tidak ditemukan adanya surat suara yang rusak, keliru
dicoblos atau surat suara tidak sah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah mengetahui
bagaimana cara memilih atau menggunakan hak pilihnya dengan benar di TPS meskipun tidak
didampingi petugas/pendamping. Kesadaran memilih bagi komunitas Polahi sebenarnya sudah
dimulai sejak tahun 2008 yang lalu ketika pemilihan kepala desa. Namun setelah itu, memang
Pemerintah Desa Bina Jaya agak kesulitan dalam menghadirkan mereka, karena prilaku mereka
yang sangat matrealistik, dimana setiap kali diundang oleh pemerintah mereka selalu meminta
uang yang jumlahnya mencapai Rp.100.000,00- (seratus ribu rupiah)/orang, dan apabila tidak
diberikan uang maka mereka tidak akan hadir.
Kebiasaan materialistik tersebut, menjadi tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan
Pemilu kaitannya dengan larangan politik uang dengan “tidak terkecuali”, sebagaimana ketentuan
Pasal 523 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang
menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau
memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”. Hal ini menjadi tantangan
tersendiri antara upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih sebagai warga negara yang
memiliki hak pilih dengan larangan politik uang. Olehnya, hal ini harus menjadi perhatian khusus
dalam rangka penyesuaian atau adaptasi penegakkan hukum sebagaimana ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
F. Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Bawaslu Provinsi Gorontalo Terhadap Komunitas
Suku Terasing “Polahi”.
Pada hari Minggu, tanggal 10 Juni 2018, bertempat di dusun Pilomuluta desa Bina Jaya
kecamatan Tolangohula kabupaten Gorontalo, Bawaslu Provinsi Gorontalo melaksanakan
kegiatan Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Pada Pemilu Tahun 2019 dengan mengundang 25
orang dari komunitas suku Polahi sebagai peserta sosialisasi melalui juru bicara Sdr. Budin Mole
sebagai mantan Kepala Dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya kecamatan Tolangohula, dan anggota
Bawaslu Kabupaten Gorontalo Kordiv Pengawasan/Pencegahan dan Hubungan Antar lembaga
Sdr. Kholik Mootalu. Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut, Ketua dan Anggota
Bawaslu Provinsi Gorontalo; Jaharudin Umar/Kordiv Penindakan Pelanggaran, Rahmad
Mohi/Kordiv Pengawasan/Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga, dan Rauf Ali/Kordiv SDM
16
dan Organisasi, dan Kasubbag PHL Iswan Maksum bersama staf, serta beberapa stake holder
yaitu; KPU Provinsi Gorontalo, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Camat Tolangohula,
Kementerian Agama Provinsi Gorontalo, Kepolisian Sektor Tolangohula, dan Kepala Desa Bina
Jaya, serta beberapa tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan dan tokoh
Pemuda di Kecamatan Tolangohula.
Kegiatan sosialiasi tersebut diawali dengan sambutan Ketua Bawaslu Provinsi Gorontalo
Bpk. Jaharudin Umar, yang pada pokoknya menyampaikan bahwa kegiatan Sosialisasi
Pengawasan Partisipastif yang dilakukan oleh Bawaslu Provinsi Gorontalo dengan mengundang
komunitas Polahi di desa Bina Jaya ini bermula dari informasi yang diperoleh Bawaslu mengenai
suku Polahi yang katanya terasing, sulit ditemui dan tidak memiliki Kartu Identitas Kependudukan
(KTP-Elektronik), yang menjadi syarat bagi setiap warga negara untuk dapat menggunakan hak
pilih pada Pemilu Tahun 2019. Oleh karena itu, sebagai upaya Bawaslu untuk memastikan
keterpenuhan syarat memilih bagi warga negara Indonesia yang berumur 17 tahun atau sudah
pernah menikah, serta dalam rangka mewujdukan data pemilih yang akurat sebagaimana ketentuan
peratuan perundang-undangan, maka pada kegiatan ini Bawaslu Provinsi Gorontalo menggandeng
pemangku kepentingan/stake holder yaitu; KPU Provinsi Gorontalo, Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil, Kementerian Agama Provinsi Gorontalo, Pemerintah Kecamatan Toalngohula dan
Pemerintah Desa Bina Jaya. Kegiatan ini penting, karena sesuai amanat Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Bawaslu bertugas memastikan penyelenggaraan Pemilu
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dimana salah satu persoalan penting hari ini
adalah kepemilikan KTP-Elektronik bagi warga negara yang telah berumur 17 tahun atau sudah
pernah menikah, dimana hal tersebut menjadi syarat mutlak bagi setiap pemilih untuk dapat
menggunakan hak suaranya di TPS termasuk komunitas Polahi.
Selain itu, sebagaimana panduan dari Bawaslu Republik Indonesia dalam rangka
Pengawasan Partisipatif pada Pemilu Tahun 2019 maka dibentuk forum warga yang bertujuan
untuk menjamin hak dan kewajiban warga negara dalam pelaksanaan Pemilihan Umum, termasuk
komunitas terasing Polahi. Forum warga ini dapat menjadi ajang pemersatu bagi masyarakat dan
diharapkan mampu mengakomodir kepentingan politik warga negara yang khususnya yang
memiliki hak pilih serta untuk mempermudah sosialisasi khas kultural dengan masyarakat yang
dapat melibatkan akademinsi atau pihak lain yang konsen terhadap persoalan Pemilu. Forum
Warga tersebut menjadi simbol Pengawasan Partisipatif yang dilakukan oleh Bawaslu dengan
17
melibatkan seluruh elemen masyarakat, dan yang lebih penting adalah keberadaan Polahi yang
terdeteksi ada di desa Bina Jaya, desa Tamaila dan Tamaila utara kecamatan Tolangohula ini akan
mampu diarahkan dalam forum warga tersebut.
Kholik Mootalu/Anggota Panwaslu Kabupaten Gorontalo yang juga sebagai juru bicara
menyampaikan kepada Polahi bahwa maksud dan tujuan dari kegiatan ini agar warga masyarakat
dari komunitas Suku Polahi yang juga sebagai rakyat Gorontalo dapat bersama-sama berperan
berpartisipasi pada Pemilihan Umum yakni ikut memilih pada hari rabu tanggal 17 April 2019.
Hal tersebut ditanggapi positif oleh warga Polahi dengan menyatakan bersedia untuk memilih
sesuai jadwal pelaksanaan Pemilu pada hari Rabu tanggal 17 April 2019. Selanjutnya, Kholik
Mootalu juga memberikan kesempatan kepada perwakilan Kemenag Provinsi Gorontalo Bapak
Sabara Karim Ngou, yang menyampaikan bahwa suku Polahi ini tidak ketahui agamanya dan
mereka belum mengenal agama, sehingga pada kesemapatan tersebut Kemenag Provinsi
Gorontalo memandu suku Polahi untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat “Asyhadu Alla Ilaha
Ilallah, wa Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah” sebanyak 2 kali yang diikuti oleh warga
Polahi. Selanjutnya kesempatan yang sama juga di berikan kepada Camat Tolanguhula, yang
dalam sambutannya menyampaikan terima kasih kepada Bawaslu Gorontalo yang telah
memberikan perhatian serius kepada suku Polahi dalam bentuk kegiatan sosialisasi. Sama halnya
dengan Kepala Desa Bina Jaya dalam sambutannya menyampaikan bahwa dengan adanya Polahi
di Desa Bina Jaya desa ini sering di undang oleh pemerintah Pusat ke Jakarta karena satu-satunya
desa yang memiliki suku terisolir/terasing.
Sebagai upaya untuk mensosialisasikan ketentuan penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019
kepada masyarakat termasuk kepada suku terasing Polahi, maka Bawaslu Provinsi Gorontalo juga
menyampaikan beberapa ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 198 Ayat (1) yang berbunyi “Warga Negara
Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin
atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih”; dan ketentuan Pasal 199 yang berbunyi
“Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih
kecuali yang ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Ketentuan tersebut penting untuk
disampaikan kepada masyarakat, sebagai upaya memberi edukasi dan mendorong warga negara
untuk berpartisipasi dalam Pemilu khususnya Polahi sebagai komunitas suku terasing yang masih
sangat awam dengan Pemilu.
18
Selain itu, Bawaslu Provinsi Gorontalo juga menyampaikan ketentuan-ketentuan
sebagaimana datur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pengawasan
Pemutakhiran Data dan Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Pemilihan Umum, Pasal 8 Ayat (1).
Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota melakukan pengawasan penyusunan daftar
Pemilih menggunakan hasil analisis DP4 dari Bawaslu dan formulir Model A-KPU; Ayat (2).
Dalam melakukan pengawasan penyusunan daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).
Bawaslu Kabupaten/Kota memastikan penyusunan daftar Pemilih dilakukan dengan membagi
Pemilih untuk tiap TPS paling banyak 300 (tiga ratus) orang dengan memperhatikan; (a). tidak
menggabungkan kelurahan/desa atau sebutan lain; (b). memudahkan Pemilih; (c). hal berkenaan
dengan aspek geografis; dan (d). jarak dan waktu tempuh menuju TPS dengan memerhatikan
tenggang waktu pemungutan suara. Ayat (3). Dalam hal ditemukan penyusunan daftar Pemilih di
TPS tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Bawaslu
Kabupaten/Kota menyampaikan rekomendasi perbaikan; Ayat (4) Bawaslu Kabupaten/Kota
memastikan penyampaian daftar Pemilih kepada Pantarlih melalui PPK dan PPS dalam bentuk
hardcopy dan softcopy.
3. Kesimpulan
a. Polahi adalah kelompok suku Gorontalo yang terasing dan tinggal di daerah pegunungan dan
hutan sejak zaman penjajahan kolonial Belanda di Gorontalo. Menurut Hasanudin,
komunitas Polahi adalah mereka yang melarikan diri ke hutan dan pegunungan yang
disebabkan oleh karena mereka tidak ingin disiksa dan menjadi korban para penjajah
Belanda dan kaki tangannya penjajah pada pendudukan Jepang serta para residivis.
Kelompok Polahi adalah bukti pembangkangan rakyat atas tindakan para penjajah, dan para
pemimpin yang berselingkuh dengan pihak kolonial. Mereka melarikan diri ke-hutan dan
pegunungan yakni gunung Tilongkabila dan Boliyohuto, karena mereka juga menolak untuk
membayar upeti dan memberikan hasil alam pada pihak kolonial;
b. Jumlah Polahi di Gorontalo tidak diketahui secara pasti. Menurut Budin Mole bahwa jumlah
Polahi yang tinggal di pegunungan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo tidak dapat dipastikan,
namun berdasarkan pengalaman empirik yang pernah ditemukan oleh warga desa Bina Jaya
yang mencari rotan di hutan, bahwa komunitas Polahi tersebut terbagi dalam beberapa
kelompok, dan kelompok yang paling jauh berada di dekat perbatasan Provinsi Gorontalo
dengan Provinsi Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong, sebagian diantara
19
mereka sudah menggunakan pakaian dari kain dan bisa ditemui/ komunikasi, namun
sebagian masih menggunakan daun-daunan sebagai penutup badan serta tidak mau bertemu
dengan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, Syamsi Pomalingo mengatakan bahwa,
Polahi diklasifikasikan dalam sebutan kelompok 11, kelompok 20, kelompok 50, dll.
Klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah anggota keluarga atau kelompok mereka. Saat
ini, masih ada ratusan polahi yang ada pada kelompok 50, dimana mereka adalah kelompok
yang masih sangat primitif. Belum ada satu peneliti atau instansi negara yang mampu untuk
menemui mereka, oleh karena mereka masih memegang teguh prinsip dasar manusia Polahi
sebagaimana buyut-buyut mereka;
c. Perhatian pemerintah terhadap komunitas Polahi sudah pernah ada. Menurut Farida Kurnai
sebagai Kepala Urusan Kesejahteraan Pemerintahan Desa Bina Jaya Kecamatan
Tolangohula, bahwa pada tahun 2008 komunitas Polahi diajak untuk tinggal di desa Bina
Jaya, dan oleh pemerintah waktu itu diberikan fasilitas rumah layak huni (mahayani)
sebanyak 9 unit, sertifikat tanah dan KTP. Akan tetapi, mereka hanya bertahan beberapa
waktu saja karena ada rekan mereka yang meninggal dunia. Menurut mereka rumah layak
huni ini membawa sial, olehnya lebih baik kembali dan menyatu dengan alam di hutan
daripada tinggal ditempat yang penuh kesialan”;
d. Sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan Pemilu dengan memastikan keterpenuhan syarat
memilih bagi warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih khususunya komunitas suku
terasing “Polahi” di Gorontalo, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Pemilihan Umum, Pasal 198 Ayat (1) yang menyatakan “Warga Negara
Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah
kawin atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih”, maka Bawaslu Provinsi
Gorontalo telah melaksanakan kegiatan Sosialisasi Pengawasan Partisipatif di desa Bina
Jaya kecamatan Tolangohula dengan menghadirkan 25 orang komunitas suku terasing
Polahi sebagai peserta sosialisasi. Dalam kegiatan tersebut juga dibahas pembentukan Forum
Warga, sebagai upaya untuk mengakomodir pemenuhan hak dan kewajiban warga negara
dalam Pemilu Tahun 2019;
e. Partisipasi Polahi pada Pemilu Tahun 2019 mengalami peningkatan, yakni sebanyak 7 orang
yang memilih di TPS 2 desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula. Namun demikian, menurut
Jahja Alijonga terdapat tantangan tersendiri dalam upaya peningkatan partisipasi pemilih
20
Polahi dengan pencegahan dan penanganan politik uang sebagaimana ketentuan Pasal 523
ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menyatakan
“Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak
pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Permasalahannya adalah komunitas Polahi apabila diundang harus diberikan uang, jika tidak
diberikan uang maka mereka tidak mau hadir. Terkait dengan hal ini maka diperlukan
perhatian khusus dalam rangka penyesuaian atau adaptasi terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4. Saran
a. Oleh karena partisipasi Polahi di Gorontalo dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada masih
sangat rendah, yang disebabkan mereka masih tinggal di hutan dan pegunungan, maka
diperlukan perhatian khusus dari semua pihak baik Pemerintah/Pemerintah Daerah
maupun Penyelenggara Pemilu agar keterjangkauan pelayanan dalam rangka peningkatan
partisipasi pemilih kedepan dapat ditingkatkan;
b. Untuk memenegakkan keadilan Pemilu bagi seluruh warga Negara Indonesia khususnya
terhadap komunitas suku terasing Polahi di Gorontalo sesuai amanat konstitusi UUD
Tahun 1945, ketentuan peraturan perundang-undangan Pemilu, dan Motto Bawaslu
“Bersama Rakyat Awasi Pemilu Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”, maka
diperlukan adanya sosialisasi dan pendidikan khusus bagi pemilih Polahi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
c. Terkait dengan pencegahan dan penanganan politik uang dalam Pemilu dan Pilkada,
sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, maka terhadap komunitas Polahi
di Gorontalo yang cenderung materialistik, dimana apabila diundang harus diberikan uang,
maka harus ada perlakuan khusus dalam rangka peningkatan pemahaman dan penyesuaian/
adaptasi terhadap norma hukum yang berlaku.
21
Daftar Pustaka
a. Buku:
Niode, Alim. 2007 “Gorontalo Perubahan Nilai-nilai Budaya dan Pranata Sosial” Jakarta : PT
Pustaka Indonesia Press;
Budiman, Hikmat. 2009 “Hak Minoritas , Ethos, Demos dan batas-batas
Multikulturalisme”The Interaksi Fondation : Jakarta Selatan.
Gatara dan Said. 2002 “Sosiologi Politik, konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian”,
Bandung; Pustaka setia;
Wantu, Satro, dkk. 2012 “Dinamika Elit Politik Lokal Gorontalo, Transformasi Demokrasi
Lokal”, Jakarta; Pustaka Indonesia Press dan Fisip Universitas Ichsan Gorontalo;
Wirutmo, Paulus dan dkk. 2005 “Desentralisasi dan Otonomi Daerah”, Jakarta ; Yayasan Obor
Indonesia dan LIPI Press.
b. Internet :
Masyarakat Adat, Pemilu dan Demokrasi Lokal, https://rumahpemilu.org/masyarakat-adat-
pemilu-dan-demokrasi-lokal/ diakses 23/9/2019.
c. Jurnal :
Pomalingo, Syamsi. 2015 “Polahi, Komunitas pedalaman suku Gorontalo” ,
repository.ung.ac.id . Jurnal Dinamika Sosial dan Budaya.
Madjowa, Feriyanto, dan Samsi Pomalingo, “Kearifan Lokal Masyarakat Polahi Gorontalo“
Kearifan Lokal Masyarakat Polahi Gorontalo, Jurnal Polahi, https://www.academia.edu/
5564476/Jurnal_Polahi