prediksi persalinan preterm
DESCRIPTION
Prediksi Persalinan PretermTRANSCRIPT
Health Technology Assessment Indonesia
Prediksi Persalinan Preterm
[Hasil kajian HTA tahun 2009]
Dipresentasikan pada Konvensi HTA 16 Juni 2010
Dirjen Bina Pelayanan Medik KEMENTRIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
2
PANEL AHLI
1. Dr.med. Damar Prasmusinto, SpOG(K) Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Divisi Fetomaternal, Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM, Jakarta
2. Prof. Dr. Asril Aminullah, SpA (K) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Divisi Perinatologi, Departemen IKA FKUI/RSCM, Jakarta
3. Dr. Ali Sungkar, SpOG (K) Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Divisi Fetomaternal, Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM, Jakarta
4. Dr. Rukmono S, SpOG (K) Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Divisi Fetomaternal, Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UGM/RS. Sardjito DI Yogyakarta
5. Dr. Makmur Sitepu, SpOG (K) Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Divisi Fetomaternal, Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU/RS. Pirngadi Medan
6. Dr. M. Ilhamy, SpOG Subdit Kesehatan Ibu Hamil, Binkesmas, Kementrian Kesehatan RI
7. Laurensia Lawintono, M.Sc, IBCLC Ikatan Bidan indonesia (IBI) RS Saint Carolus, Jakarta
UNIT PENGKAJIAN TEKNOLOGI KESEHATAN
1. Prof. DR. Dr. Eddy Rahardjo, SpAn, KIC Ketua I
2. Dr. Santoso Soeroso, SpA, MARS Ketua II
3. Dr. K Mohammad Akib, SpRad, MARS Anggota
4. Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn Anggota
5. Drg. Anwarul Amin, MARS Anggota
6. Dr. Diar Wahyu Indriarti, MARS Anggota
7. Dr. Ady Thomas
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
3
Anggota
8. Dr. Ririn Fristikasari, M.Kes Anggota
9. Dr. Titiek Resmisari Anggota
10. Dr. Dimas Seto Prasetyo Anggota
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
4
Kajian HTA
PREDIKSI PERSALINAN PRETERM
1. Latar Belakang
Persalinan preterm, terutama yang terjadi sebelum usia gestasi 34 minggu,
menyebabkan ¾ dari keseluruhan mortalitas pada neonatus. Angka kematian bayi
prematur dan sangat prematur (usia gestasi <32 minggu) lebih tinggi 15 dan 75
kali lipat dibandingkan dengan bayi yang lahir aterm. Bayi preterm yang bertahan
hidup akan mengalami morbiditas serius jangka pendek, seperti sindrom distress
pernapasan, displasia bronkopulmoner, perdarahan intraventrikuler, retinopati
akibat prematuritas, dan jangka panjang, seperti gangguan perkembangan dan
gangguan neurologis. Tingkat kelahiran preterm, kelahiran yang terjadi sebelum
lengkap usia gestasi 37 minggu, di Amerika Serikat sekitar 12,3% dari
keseluruhan 4 juta kelahiran setiap tahunnya, dan merupakan tingkat kelahiran
preterm tertinggi di antara negara industri.1
Prematuritas merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas
neonatus. Prematuritas berkaitan dengan morbiditas serta cacat pada anak,dan
hampir seluruh kasus gangguan perkembangan neurologis. Selain itu,
prematuritas dan bayi berat lahir rendah juga berkaitan dengan kelainan kronik
jangka panjang seperti hipertensi dan dislipidemia.1
Diperkirakan 10% dari seluruh bayi baru lahir yang dirawat di neonatal
intensive care unit (NICU) disebabkan oleh prematuritas. Meskipun teknologi dan
perawatan telah mengalami perkembangan pada dekade terakhir ini, insidens
terjadinya komplikasi akut berat pada bayi sangat preterm atau bayi berat lahir
rendah, diikuti risiko untuk terjadinya kondisi medis yang kronik tidak menurun
sejak pertengahan tahun 1990-an.2
Persalinan preterm menyebabkan dampak yang besar dan signifikan
terhadap biaya kesehatan, baik langsung maupun tidak. Dampak langsung
meliputi terkurasnya sumber daya kesehatan, finansial, emosional serta psikologis
orang tua. Dampak tidak langsung yang terjadi adalah beban di masyarakat untuk
perawatan jangka panjang terhadap gejala sisa akibat prematuritas serta
hilangnya mata pencaharian orang tua yang terpaksa berhenti bekerja untuk
merawat anaknya.1
Tingkat morbiditas tersebut dapat dikurangi dengan pencegahan persalinan
preterm, seperti prediksi dini dan akurat, intervensi untuk menghilangkan faktor
risiko serta menunda terjadinya persalinan dengan pemberian tokolitik,
kortikosteroid untuk pematangan paru janin, dan antibiotik profilaksis.1,3
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
5
Untuk itu, pada tahap pertama, Health Technology Assessment melakukan
pengkajian terhadap prediksi persalinan preterm guna memberikan rekomendasi
kepada pemerintah dan pihak rumah sakit serta praktisi kesehatan dan profesi
yang terkait dalam mengambil kebijakan yang efektif dan efisien dalam rangka
menurunkan morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir di Indonesia dengan tetap
mempertimbangkan aspek etikolegal dan sosiokultural.
2. Tujuan Pengkajian
Pengkajian ini bertujuan:
1. Tujuan Umum :
Tersusunnya hasil kajian ilmiah yang mutakhir mengenai prediksi persalinan preterm di Indonesia dalam rangka menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi.
2. Tujuan Khusus :
Tersedianya rekomendasi mengenai kriteria prediksi untuk memprediksi persalinan preterm sesuai tingkat pelayanan di Indonesia.
3. Metode Pengkajian
a. Metode pencarian literatur
Penelusuran artikel dilakukan melalui data dasar elektronik (MedLine,
HighWire Press, Science Direct dan The Cochrane Library). Informasi juga
didapatkan dari beberapa guidelines antara lain yang disusun oleh World Health
Organization (WHO), Badan Pusat Statistik, Centers for Disease Control and
Prevention (CDC).
Kata kunci yang digunakan adalah diagnosis of preterm, preterm birth,
preterm management, preterm predictors.
b. Penggolongan literatur
Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence-based
medicine, ditentukan level of evidence dan tingkat rekomendasi. Level of evidence
dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish
Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh
US Agency for Health Care Policy and Research.
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
6
Tingkat pembuktian (Level of evidence):
Ia. Meta-analysis of randomized controlled trials.
Ib. Minimal satu randomized controlled trials.
IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials.
IIb. Cohort dan Case control studies
IIIa. Cross-sectional studies
IIIb. Case series dan case report
IV. Konsensus dan pendapat ahli
Tingkat rekomendasi :
A. Evidence yang termasuk dalam level Ia atau Ib
B. Evidence yang termasuk dalam level IIa atau Iib
C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb atau IV
4. Tinjauan Pustaka Persalinan Prematur
a. Definisi dan epidemiologi persalinan prematur
Persalinan preterm menurut Creasy dan Herron,4 didefinisikan sebagai
persalinan pada wanita hamil dengan usia gestasi 20 – 36 minggu, dengan
kontraksi uterus empat kali tiap 20 menit atau delapan kali tiap 60 menit
selama enam hari, dan diikuti oleh satu dari beberapa hal berikut: ketuban
pecah dini (premature rupture of membrane, PROM), dilatasi serviks ≥ 2 cm,
penipisan serviks > 50%, atau perubahan dalam hal dilatasi dan penipisan
serviks pada pemeriksaan secara serial. Definisi lain mengenai persalinan
preterm yaitu munculnya kontraksi uterus dengan intensitas dan frekuensi
yang cukup untuk menyebabkan penipisan dan dilatasi serviks sebelum
memasuki usia gestasi yang matang (antara 20 sampai 37 minggu).5
Sedangkan menurut WHO, preterm didefinisikan sebagai usia kehamilan
yang kurang dari 37 minggu lengkap (259 hari) sejak hari pertama haid
terakhir.6
Di Indonesia sendiri angka kejadian persalinan preterm belum dapat
dipastikan jumlahnya namun berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Departemen Kesehatan tahun 2007, proporsi Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) di Indonesia mencapai 11,5%, meskipun angka BBLR tidak
mutlak mewakili angka kejadian persalinan preterm.7
Lima provinsi mempunyai persentase BBLR tertinggi adalah Provinsi
Papua (27,0%), Papua Barat (23,8%), Nusa Tenggara Timur (20,3%),
Sumatera Selatan (19,5%), dan Kalimantan Barat (16,6%). Sedangkan 5
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
7
provinsi dengan persentase BBLR terendah adalah Bali (5,8%), Sulawesi
Barat (7,2%), Jambi (7,5%), Riau (7,6%), dan Sulawesi Utara (7,9%).7
Dari penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Jakarta pada
tahun 1993, didapatkan angka kejadian persalinan preterm 20,4% dan berat
lahir rendah sebesar 9,3%. Selain itu terdapat sejumlah morbiditas yang turut
berperan dalam terjadinya persalinan dan kelahiran preterm, misalnya
anemia, di mana prevalens anemia pada ibu hamil mencapai 51%.8
b. Etiologi dan faktor risiko persalinan prematur
Dalam sebagian besar kasus, etiologi persalinan preterm tidak
terdiagnosis dan umumnya multifaktor. Kurang lebih 30% persalinan preterm
tidak diketahui penyebabnya.9 Sedangkan 70% sisanya, disumbang oleh
beberapa faktor seperti kehamilan ganda (30% kasus),10 infeksi genitalia,
ketuban pecah dini, perdarahan antepartum, inkompetensia serviks, dan
kelainan kongenital uterus (20-25% kasus).11 Sisanya 15-20% sebagai akibat
hipertensi dalam kehamilan, pertumbuhan janin terhambat, kelainan
kongenital dan penyakit-penyakit lain selama kehamilan.12 Seluruh kondisi
klinis yang berkaitan dengan persalinan preterm tersebut dapat digolongkan
menjadi faktor-faktor antara lain sebagai berikut:4
- Faktor maternal:
Status sosial ekonomi yang rendah Riwayat persalinan preterm sebelumnya Usia kurang dari 18 tahun atau lebih dari 40 tahun Berat badan rendah sebelum hamil (Indeks Massa Tubuh - IMT < 19,8
kg/m2)13 Merokok Penyalahgunaan zat adiktif Riwayat abortus pada trimester kedua
- Faktor uterus:
Anomali uterus Trauma
- Infeksi5
Bakterial vaginosis (BV)
Trikomonas vaginalis
Faktor risiko yang paling dominan adalah sosial ekonomi yang rendah
dan riwayat persalinan preterm sebelumnya.
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
8
c. Prediksi persalinan preterm
Terdapat tiga alasan pentingnya dilakukan prediksi terhadap persalinan
preterm. Pertama, dengan menjabarkan faktor-faktor prediktif terhadap
persalinan preterm, mekanisme terjadinya persalinan preterm spontan dapat
diketahui lebih baik. Kedua, prediksi persalinan preterm tersebut berguna
untuk mengidentifikasi kelompok wanita dengan risiko tinggi yang mungkin
membutuhkan pemeriksaan lanjutan dan membutuhkan intervensi. Ketiga,
masih berkaitan dengan alasan kedua, dengan mengidentifikasikan kelompok
wanita dengan risiko persalinan preterm yang rendah, segala macam
pemeriksaan yang membutuhkan biaya dan intervensi yang mungkin
membahayakan dapat dihindari. Hingga saat ini, belum ada satu atau
beberapa kelompok pemeriksaan yang memiliki nilai sensitivitas dan
spesifisitas yang optimal. Prediksi tersebut dibagi menjadi prediksi klinis,
biofisik, dan biologik.14 Sebagian lagi membagi atas prediksi primer dan
sekunder. Prediksi primer artinya prediksi yang dapat diketahui sebelum
kehamilan, sedangkan prediksi sekunder adalah prediksi yang hanya dapat
diketahui setelah kehamilan.15 Prediksi disini belum tentu suatu uji skrining,
karena saat ini belum ada uji skrining yang dilakukan rutin terhadap
persalinan preterm yang terpisah dari proses anamnesis untuk mencari faktor
risiko, seperti riwayat persalinan sebelumnya. Prediksi yang tepat akan
memberikan kesempatan melakukan intervensi yang efektif.1 Dalam kajian ini,
batasan yang digunakan adalah prediksi klinis, biofisik, dan biologik.
1. Prediksi klinis
Prediksi persalinan preterm secara klinis mencakup anamnesis,
pemeriksaan fisis dan skrining infeksi vagina. Dari anamnesis, dokter bisa
mendapatkan data identitas pasien, memperkirakan usia kehamilan saat
datang berdasarkan hari pertama haid terakhir, serta menggali kebiasaan
dan faktor risiko yang berkaitan dengan insidens persalinan preterm yang
mungkin ada pada pasien.5 Dari identitas pula dokter dapat memperkirakan
kondisi sosial ekonomi pasien sebab hampir seluruh penelitian menemukan
bahwa keadaan sosioekonomi yang rendah memiliki kaitan dengan
persalinan preterm.16
Riwayat persalinan preterm sebelumnya merupakan penanda risiko paling
kuat dan paling penting.13,16 Diperkirakan bahwa insidens terjadinya
persalinan preterm selanjutnya setelah satu kali persalinan preterm
meningkat hingga 14,3% dan setelah dua kali persalinan preterm
meningkat hingga 28%.17 Wanita yang mengalami persalinan preterm
memiliki risiko untuk mengalaminya kembali pada kehamilan selanjutnya.
Bahkan terkait dengan penurunan sifat, ibu yang lahir prematur memiliki
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
9
risiko relatif mengalami persalinan preterm sebesar 1,54 kali; lebih besar
dibandingkan laki-laki yang lahir prematur (risiko relatif 1,12).18
Selain itu, kebiasaan merokok juga berkaitan dengan peningkatan kejadian
preterm. Semakin banyak ibu merokok, risiko terjadinya persalinan preterm
makin besar.16
Tabel 1 dan 2 merangkum beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan
preterm dan kemungkinan intervensi terhadap faktor risiko tersebut.
Dari pemeriksaan fisik, pemeriksa bisa memperoleh data klinis pasien
seperti keadaan umum, berat badan dan tinggi badan yang sekaligus
digunakan untuk mengukur IMT, tekanan darah, dan pemeriksaan
obstetrik. IMT yang rendah sebelum hamil (IMT < 19,8 kg/m2) atau
kenaikan berat badan yang kurang pada saat kehamilan meningkatkan
risiko terjadinya persalinan preterm.13,16
Dari pemeriksaan obstetrik, adanya kontraksi dengan intensitas dan
frekuensi yang cukup untuk menyebabkan penipisan dan pematangan
serviks pada usia gestasi 24-37 minggu merupakan suatu penanda
persalinan preterm aktif.5 Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis
persalinan preterm adalah terdapatnya kontraksi yang nyeri, dapat diraba,
berlangsung selama lebih dari 30 detik dan muncul minimal empat kali tiap
20 menit.19 Hanya saja, nilai sensitivitas dan prediksi positifnya rendah
sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat skrining persalinan preterm.
Jika pada usia gestasi 22 - 24 minggu terdapat empat atau lebih kontraksi
tiap jamnya, nilai sensitivitas dan prediksi positif 9% dan 25%. Sementara
bila pada usia gestasi 27 - 28 minggu didapatkan empat atau lebih
kontraksi tiap jamnya, nilai sensitivitas dan prediksi positifnya 28% dan
23%.20
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
10
Tabel 1 Faktor risiko preterm dan kemungkinan intervensi berdasarkan hasil
anamnesis (modifikasi dari Goffinet 2005)16
Faktor Risiko Kaitan dengan persalinan
preterm spontan
Kemungkinan untuk
dilakukan intervensi
Faktor risiko individual, sosial-ekonomi, kebiasaan
Ibu hamil usia muda (< 15-19
tahun)
+ Ya
Lives alone + Tidak
Kekerasan rumah tangga ++ Ya
Status sosioekonomi yang
rendah
++ ?
Stres, depresi ++ Ya
Hard work ++ Ya
Tidak atau hanya sedikit
mendapatkan pelayanan
pranatal
++ Ya
Merokok, memakai kokain + Ya
Alkohol, kafein - -
Berat badan rendah sebelum
hamil
+ Tidak
Kenaikan berat badan selama
kehamilan
- -
Postur pendek + Tidak
Riwayat obstetrik-ginekologik
Riwayat persalinan preterm
atau keguguran saat trimester
kedua
+++ Ya
Riwayat cone biopsy
sebelumnya
+- ?
Anomali Muller + Tidak
Jumlah paritas - -
Jarak yang pendek di antara
dua kehamilan terakhir
- -
Riwayat keluarga (faktor
genetik)
+ Tidak
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
11
Tabel 2 Faktor risiko preterm dan kemungkinan intervensi, berdasarkan hasil pemeriksaan
fisik (modifikasi dari Goffinet 2005)16
Faktor Risiko Kaitan dengan persalinan
preterm spontan
Kemungkinan untuk
dilakukan intervensi
Tanda bahaya selama surveilans pranatal
IVF + Ya
Kehamilan ganda +++ Ya
Plasenta previa +++ ?
Perdarahan ++ No
Infeksi servikovagina + Ya
Modifikasi/manipulasi serviks ++ Ya
Kontraksi uterus + Ya
Skor risiko ++ Ya
Selain itu, dari pemeriksaan obstetrik juga dapat dilakukan penilaian
serviks dengan menggunakan skor Bishop. Nilai Bishop diperoleh dari
kriteria dalam tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut, skor Bishop didapat dari
penjumlahan skor masing-masing kriteria sesuai hasil pemeriksaan fisik.
Tabel 3. Skor Bishop21
Nilai 0 1 2 3
Dilatasi (cm) Tertutup 1-2 3-4 ≥5
Penipisan (%) 0-30 40-50 60-70 ≥80
Station (rentang -3
hingga +3)
-3 -2 -1,0 +1, +2
Konsistensi Kenyal Sedang Lunak
Arah Ke belakang Aksial Ke depan
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
12
Dengan mengumpulkan faktor risiko-faktor risiko tersebut, dapat dilakukan
penilaian risiko dan pengelompokan terhadap wanita dengan risiko tinggi
mengalami persalinan preterm pada awal kehamilan. Nilai ini diambil dari
riwayat pasien, latar belakang sosial, dan gaya hidup; ada beberapa yang
menambahkan adanya gejala yang dirasakan selama kehamilan. Namun,
nilai prediksinya rendah. Nilai kemungkinan terjadinya preterm dengan
penilaian risiko ini antara 1,3 hingga 8,7 kali lipat. Salah satu alasannya
adalah banyak persalinan preterm justru terjadi pada wanita yang dinilai
tidak memiliki risiko berdasarkan penanda standar. Pada praktiknya,
sensitivitasnya kurang dari 50%, bahkan di bawah 25% dengan nilai
prediksi positif (Positive Predictive Value-PPV) antara 20% dan 40%.
Alhasil, kurang dari setengah dari ibu hamil yang menjalani persalinan
preterm yang berhasil diidentifikasi dan akan terdapat banyak ibu hamil
yang dianggap berisiko tinggi yang akan menjalani sejumlah pemeriksaan
yang mahal dan tidak efektif.16
Pada suatu studi tahun 1996 mengenai perkiraan terjadinya preterm, diteliti
2.929 orang ibu hamil yang diambil dari populasi umum. Setelah
menentukan kriteria apa saja yang terkait dengan preterm, diputuskan
bahwa kriteria yang digunakan untuk memprediksikan persalinan preterm
adalah ras, riwayat persalinan preterm, IMT yang rendah, kontraksi uterus
dalam dua minggu terakhir, perdarahan vagina selama kehamilan, dan skor
Bishop yang tinggi. Sayangnya, kriteria ini pun hanya mampu mendeteksi
sedikit ibu hamil yang akan mengalami persalinan preterm. Sensitivitasnya
24,2% untuk nulipara dan 18,2% untuk multipara, dengan nilai prediksi
positif mencapai 28,6% dan 33,3%.16
Selain berkaitan dengan kehamilan, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan dapat memberikan informasi mengenai kemungkinan adanya
infeksi, khususnya pada vagina. Infeksi pada vagina dipandang penting
sebagai alat untuk memprediksikan terjadinya preterm oleh karena terdapat
sejumlah bukti kuat mengenai peran infeksi sebagai faktor risiko persalinan
preterm yang paling kuat.16 Bukti tersebut antara lain: (1) infeksi intrauterin
atau adanya produk mikroorganisme sistemik pada hewan yang hamil
mencetuskan persalinan preterm, (2) pengobatan antibiotik terhadap infeksi
intrauterin yang asenden dapat mencegah terjadinya prematuritas, (3)
infeksi maternal sistemik seperti pielonefritis dan pneumonia seringkali
berhubungan dengan kejadian persalinan preterm pada manusia, (4)
infeksi intrauterin subklinis berhubungan dengan prematuritas, (5)
pengobatan vaginosis bakterial dan bakteriuria asimtomatik mencegah
prematuritas, dan (6) korioamnionitis akut secara histologis berhubungan
dengan persalinan preterm yang spontan. Penelitian mikrobiologi dan
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
13
histopatologis menunjukkan infeksi berperan pada 25-40% kasus
persalinan preterm.16,22
Infeksi intraamnion bisa terjadi dengan atau tanpa ketuban pecah, yang
kemudian mencetuskan persalinan preterm. Bobbit dan Ledger23 tahun
1977 pertama kali menyatakan bahwa amnionitis yang tidak terdeteksi
berhubungan dengan persalinan preterm. Ini terbukti dari hasil kultur cairan
amnion yang positif pada 7 dari 10 wanita yang mengalami persalinan
preterm tanpa ketuban pecah. Prevalensi infeksi intraamnion lebih tinggi
pada wanita dengan ketuban pecah (27,9%) dibandingkan tanpa ketuban
pecah (16,1%).10,22,24
Mekanisme infeksi intrauterin sehingga menyebabkan terjadinya persalinan
preterm secara singkat disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 1 Mekanisme terjadinya persalinan preterm pada keadaan kolonisasi bakteri
(modifikasi dari Goldenberg 2000) 25
Serviksovaginitis infeksi dapat disebabkan oleh Chlamydia trachomatis,
Neisseria gonorrhoeae, Trichomonas vaginalis, bakterial vaginosis, Herpes
simpleks, dan Human papillomavirus (HPV). Servisitis infeksi bisa
menyebabkan ketuban pecah dini dan persalinan preterm.
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
14
Bakterial vaginosis (BV) adalah infeksi vagina yang ditandai perubahan
flora normal vagina, berkurangnya Lactobacillus menjadikan tumbuhnya
bakteri anaerob disertai perubahan sekresi vagina. BV diperkirakan terjadi
pada 40% wanita, dengan prevalensi berkisar 10-61% dan faktor risiko
paling kuat menyebabkan preterm.9 Data meta analisis menunjukkan BV
meningkatkan risiko preterm 2 kali lipat terutama jika dijumpai pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu, dan infeksi BV secara bermakna
berhubungan dengan kejadian persalinan preterm kurang dari 37 minggu
(OR 2,19; 95% CI).26 Di Indonesia, Riduan dkk27 mendapatkan angka
kejadian persalinan preterm sebanyak 20,5% pada wanita dengan BV saat
kehamilan muda, dan 10,7% bila terjadi pada akhir kehamilan.
Standar diagnosis servikovaginitis adalah gambaran klinis dan pewarnaan
Gram dari swab serviks dan vagina. Lima puluh persen servikovaginitis
akibat BV bersifat asimtomatik, sehingga diperlukan deteksi dini dan
skrining ibu hamil terhadap infeksi ini.28 Penegakan diagnosis
servikovaginitis karena BV berdasarkan kriteria klinis memiliki sensitivitas
62% dan spesifisitas 66%, sementara pewarnaan Gram memiliki
sensitivitas 97% dan spesifisitas 95%.29 Gambaran klinis dapat dinilai
dengan menggunakan kriteria Amsel, yaitu terdapat tiga dari empat tanda
klinis berikut:30
- pH vagina di atas 4,5
- Duh vagina yang homogen, tipis
- Terdapat bau amis dari duh vagina bila ditambahkan kalium
hidroksida 10% (tes amin)
- Terdapat clue cell pada sediaan basah
Pada wanita tanpa gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm sebelum usia gestasi 37 minggu, pemeriksaan BV tunggal dengan
menggunakan kriteria Amsel memiliki positive likelihood ratio 0,87 (interval
kepercayaan 95% 0,48-1,59) sampai 1,62 (interval kepercayaan 95% 0,44-
5,91) dan negative likelihood ratio 0,90 (interval kepercayaan 95% 0,63-
1,29) sampai 1,02 (interval kepercayaan 95% 0,93-1,12).1
Penilaian lain untuk mendiagnosis BV adalah dengan pewarnaan Gram
menggunakan kriteria Spiegel dan Nugent. Kriteria Nugent menggunakan
skoring 0-10 berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopik cairan vagina
dengan pembesaran 1000x menurut jumlah kuantitatif morfologi organisme
yang tampak. Skor Nugent dapat dilihat pada tabel berikut:30
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
15
Tabel 4 Skor Nugent
Nilai Basil Gram positif besar Basil Gram negatif kecil
hingga Gram lainnya
Basil Gram lainnya
0 4+ 0 0
1 3+ 1+ 1+ atau 2+
2 2+ 2+ 3+ atau 4+
3 1+ 3+
4 0 4+
0 = tidak tampak bakteri pada sediaan
1+ = <1 bakteri
2+ = 1 - 4 bakteri
3+ = 5 - 30 bakteri
4+ = > 30 bakteri
Skor total = jumlah dari skor Basil Gram positif besar + skor Basil Gram negatif kecil
hingga Gram lainnya + skor Basil Gram lainnya.
BV didiagnosis bila skor total ≥ 7
Pada wanita tanpa gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm sebelum usia gestasi 37 minggu, pemeriksaan BV tunggal dengan
menggunakan kriteria Nugent memiliki positive likelihood ratio 1,77 (interval
kepercayaan 95% 1,03-3,03) dan negative likelihood ratio 0,80 (interval
kepercayaan 95% 0,69-0,93). Dengan pemeriksaan serial, positive
likelihood rationya 1,38 (interval kepercayaan 95% 0,92-2,07) dan negative
likelihood rationya 0,94 (interval kepercayaan 95% 0,79-1,10).1
Pada wanita dengan gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm sebelum usia gestasi 37 minggu, pemeriksaan BV dengan kriteria
Nugent memiliki positive likelihood ratio 1,28 (interval kepercayaan 95%
0,72-2,20) dan negative likelihood ratio 0,95 (interval kepercayaan 95%
0,86-1,05).1
Kriteria Spiegel juga menggunakan pewarnaan Gram dari duh vagina,
dengan pembesaran 1000x. Kriteria yang digunakan:30
- Basil Gram positif berukuran besar diasumsikan sebagai Lactobacillus
- Basil Gram lainnya yang berukuran lebih kecil diasumsikan sebagai
Gardnerella.
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
16
- Organisme lainnya dikategorikan berdasarkan morfologi masing-
masing
- Jumlah kuantitatifnya dinilai sebagai berikut: 1+ bila < 1 perlapang
pandang, 2+ bila terdapat 1-5 perlapang pandang, 3+ bila terdapat 6-
30 perlapang pandang, dan 4+ bila terdapat > 30 perlapang pandang.
- BV didiagnosis dengan nilai 1 atau 2+ bila terdapat Lactobacillus
(sedikit atau tidak ada) dan nilai >1 atau 2+ bila terdapat morfologi
bakteri yang lain.
Pemeriksaan BV dengan menggunakan kriteria Spiegel memiliki positive
likelihood ratio 1,3 (interval kepercayaan 95% 1,0-1,6) dan negative
likelihood ratio 0,85 (interval kepercayaan 95% 0,73-1,0) dalam
memprediksikan terjadinya persalinan preterm.30
Skrining terhadap infeksi servikovagina yang tanpa gejala, dengan
menggunakan pewarnaan Gram, efektif untuk menurunkan angka kejadian
persalinan preterm.31
Selain infeksi di serviks dan vagina, infeksi di tempat lain juga dapat
memicu terjadinya persalinan preterm. Infeksi periodontal berpotensi
menyebabkan terjadinya persalinan preterm melalui mekanisme tidak
langsung dengan mengaktivasi mediator inflamasi atau invasi bakteri ke
amnion. Penelitian oleh Offenbacher dkk32 tahun 1996 menyimpulkan
bahwa penyakit periodontal pada ibu meningkatkan risiko terjadinya
persalinan preterm sebesar tujuh kali lipat.
Pada wanita tanpa gejala, keakuratan pendeteksian adanya penyakit
periodontal dalam memprediksikan terjadinya persalinan preterm cukup
bervariasi. Positive likelihood rationya 0,38 (interval kepercayaan 95%
0,04-3,33) sampai 5,00 (interval kepercayaan 95% 2,22-11,28) dan
negative likelihood rationya 0,22 (interval kepercayaan 95% 0,09-0,57)
sampai 1,13 (interval kepercayaan 95% 0,90-1,42).1
2. Prediksi biofisik
Prediksi ini dilakukan dengan mengukur parameter fisik pada ibu.
Parameter fisik yang dimaksud adalah panjang serviks. Cara pemeriksaan
serviks antara lain yaitu:
1. Digital dengan jari.
2. Ultrasonografi (USG) transabdominal.
3. USG transperineal.
4. USG transvaginal.
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
17
Pengukuran panjang serviks dapat digunakan untuk memprediksikan
adanya risiko persalinan preterm. Serviks yang pendek memiliki risiko lebih
tinggi mengalami persalinan preterm.33
Pemeriksaan digital dengan jari merupakan cara pemeriksaan yang umum
dilakukan oleh dokter dalam mendiagnosis persalinan preterm namun
bersifat sangat subyektif dalam menilai panjangnya serviks, di samping itu
terjadi perbedaan yang begitu jauh antara satu pemeriksa dengan
pemeriksa yang lain sehingga cara ini mempunyai nilai yang paling rendah
dalam menentukan panjangnya dan pembukaan serviks.34
Penilaian serviks yang lebih baik dapat dilakukan dengan menggunakan
USG. Teknik USG yang dapat dilakukan adalah USG transabdominal,
transperineal dan transvaginal. USG transabdominal memiliki keterbatasan
yaitu ketika dilakukan pemeriksaan, kandung kemih harus dalam keadaan
terisi, namun hal ini dapat menyebabkan pemanjangan serviks sehingga
mengaburkan adanya serviks yang pendek atau bentuk serviks yang
funneling.34
Selain itu, resolusi hasil USG transabdominal dipengaruhi secara signifikan
oleh lapisan lemak perut ibu, terhalangi oleh tubuh janin, serta
membutuhkan transduser dengan frekuensi rendah. USG transperineal
lebih tidak invasif dibandingkan transvagina namun kedua metode tersebut
dapat diterima oleh ibu. Oleh karena resolusi gambar yang dihasilkan USG
transvagina lebih baik, USG transperineal dilakukan hanya pada wanita
dengan risiko persalinan preterm di mana yang tidak mau dilakukan
pemeriksaan vaginal.34
USG transvaginal merupakan cara invasif yang tidak membutuhkan
pengisian kandung kencing sehingga gambaran serviks yang sebenarnya
bisa ditampilkan dengan jelas. Disamping itu USG transvaginal juga dapat
mengukur dengan akurat bila terjadi pembukaan serviks bahkan juga
funneling (pembukaan serviks dari internal os) sehingga tatacara
pengukuran serviks yang sangat dianjurkan adalah secara
transvaginal.34,35,36
Cara pengukuran USG transvaginal: kandung kemih harus dikosongkan
sehingga penekanan terhadap segmen bawah rahim tidak ada,
pengukuran panjang serviks dilakukan dengan penampang sagital dan
jangan dilakukan penekanan pada serviks oleh probe USG sampai bibir
depan dan belakang serviks tampak seimbang selanjutnya dilakukan
pengukuran terjauh dari ostium eksternal ke ostium internal, dan tidak
boleh dilakukan pengukuran pada saat kontraksi rahim. 34,35
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
18
Gambar 2 Pengukuran serviks dengan teknik USG transvagina
(modifikasi dari Novaes et al) 37
Panjang serviks bervariasi sesuai dengan usia kehamilan di mana semakin
tua usia kehamilan, maka ukuran serviks akan semakin memendek untuk
memungkinkan persalinan dimulai.
Penelitian yang dilakukan oleh Salomon dkk38 (2009) terhadap 6.614
wanita hamil usia kehamilan 16 – 36 minggu mendapatkan normogram
panjang serviks sebagai berikut:
Gambar 3 Sebaran nilai panjang serviks menurut usia gestasi
(modifikasi dari Salomon et al)38
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
19
Tabel 5 Panjang serviks (mm) sesuai persentil usia gestasi (modifikasi dari Salomon et al)38
GA
(minggu) L M S
Persentil ke- Cut off 25 mm
1 3 5 10 25 50 75 90 95 97 99 Z-
score
%
dipilih
16 1,531 43,299 0,144 27,0 30,5 32,2 34,9 39,0 43,3 47,4 50,9 53,0 54,3 54,8 -2,58 0,5
17 1,519 42,957 0,150 26,1 29,7 31,5 34,2 38,5 43,0 47,2 50,8 53,0 54,3 54,8 -2,46 0,7
18 1,506 42,628 0,156 25,2 28,9 30,8 33,6 38,0 42,6 47,0 50,8 53,0 54,4 54,8 -2,35 0,9
19 1,496 42,287 0,162 24,2 28,1 30,1 33,0 37,6 24,3 46,8 50,7 52,9 54,4 54,9 -2,24 1,2
20 1,487 41,908 0,169 23,2 27,3 29,3 32,3 37,0 41,9 46,5 50,5 52,9 54,3 54,8 -2,14 1,6
21 1,482 41,480 0,175 22,2 26,4 28,5 31,6 36,5 41,5 46,2 50,3 52,7 54,2 54,7 -2,04 2,1
22 1,480 41,032 0,182 21,1 25,5 27,7 30,9 35,9 41,0 45,9 50,1 52,6 54,1 54,6 -1,93 2,7
23 1,483 40,582 0,189 19,9 24,5 26,8 30,1 35,3 40,6 45,6 49,9 52,4 54,0 54,5 -1,83 3,4
24 1,493 40,033 0,196 18,6 23,4 25,8 29,2 34,6 40,0 45,1 49,6 52,1 53,7 54,3 -1,72 4,2
25 1,501 39,374 0,204 17,1 22,2 24,7 28,3 33,8 39,4 44,6 49,1 51,7 53,3 53,9 -1,61 5,3
26 1,503 38,621 0,212 15,6 21,0 23,5 27,2 32,9 38,6 43,9 48,5 51,1 52,8 53,4 -1,50 6,6
27 1,449 37,841 0,221 14,2 19,8 22,4 26,2 32,0 37,8 43,2 47,9 50,6 52,2 52,8 -1,40 8,1
28 1,412 37,077 0,229 13,0 18,7 21,4 25,2 31,2 37,1 42,6 47,3 50,0 51,7 52,3 -1,30 9,6
29 1,449 36,342 0,238 11,9 17,7 20,4 24,3 30,3 36,3 41,9 46,8 49,5 51,3 51,9 -1,21 11,2
30 1,412 35,628 0,247 10,9 16,8 19,5 23,5 29,5 35,6 41,3 46,3 49,1 50,9 51,5 -1,13 12,9
31 1,369 34,919 0,256 10,1 15,9 18,6 22,6 28,7 34,9 40,7 45,8 48,7 50,5 51,2 -1,05 14,7
32 1,323 34,165 ,0265 9,4 15,1 17,8 21,8 27,9 34,2 40,1 45,2 48,2 50,1 50,8 -0,96 16,8
33 1,275 33,305 0,275 8,8 14,3 17,0 20,9 27,0 33,3 39,3 44,5 47,6 49,5 50,2 -0,87 19,1
34 1,226 32,329 0,285 8,2 13,5 16,1 19,9 26,0 32,3 38,4 43,7 46,8 48,8 49,5 -0,77 22,0
35 1,177 31,309 0,295 7,7 12,7 15,2 19,0 25,0 31,3 37,4 42,8 46,0 48,0 48,7 -0,67 25,1
36 1,128 30,280 0,305 7,2 12,0 14,4 18,1 24,0 30,3 36,4 41,8 45,1 47,1 47,8 -0,56 28,6
Berdasarkan perubahan panjang serviks selama kehamilan maka nilai cut
off untuk persalinan preterm akan berbeda sesuai dengan usia kehamilan.
Penelitian yang dilakukan oleh Conoscenti dkk39 tahun 2003 dengan
melakukan pengukuran panjang serviks pada usia kehamilan 13-15 minggu
untuk menduga persalinan pretem terhadap 2.469 kasus hanya
mendapatkan 1,7% melahirkan < 37 minggu dan hanya 0,2% melahirkan <
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
20
34 minggu sehingga disimpulkan pengukuran panjang serviks pada usia ini
tidak realistis untuk memprediksi persalinan preterm.
Pada pemeriksaan panjang serviks nongravid dengan riwayat persalinan
preterm dibandingkan kelompok kontrol tidak dijumpai perbedaan yang
bermakna sehingga diduga pemendekan serviks pada kehamilan adalah
fenomena yang reversibel yang terjadi hanya selama kehamilan.40
Palacio dkk41 (2007) meneliti nilai cut off panjang serviks terhadap 333
kasus persalinan preterm usia 24 - < 36 minggu dan mengelompokkan ke
dalam 2 kategori yaitu kelompok pertama < 32 minggu (sangat preterm)
dan ≥ 32 minggu (kelompok 2, preterm) dan mendapatkan bila panjang
serviks < 15 mm pada semua kelompok maka kemungkinan besar akan
terjadi persalinan preterm dengan sensitivitas 28,6% dan spesifisitas
96,5%. Sedang bila panjang serviks 25 mm bisa diprediksi risiko terjadinya
persalinan preterm akan sangat rendah.
Pada usia kehamilan < 32 minggu nilai cut off panjang serviks adalah 25
mm dengan sensitivitas 52,9% dan spesifisitas 81,2%.41 Hal yang sama
dilaporkan oleh Health dkk42 (1998) bila panjang serviks < 15 mm pada
kehamilan 23 minggu maka 90% dan 60% akan melahirkan pada usia <28
minggu dan < 32 minggu.
Pada studi systematic review oleh Crane dkk43 (2008) terhadap 322 artikel
yang melibatkan 2.258 wanita mendapatkan nilai cut off < 25 mm yang
diprediksi akan melahirkan < 35 minggu. Pada studi lain yang juga
dilakukan oleh Crane dan Hutchen44 (2008) dengan membandingkan kasus
dengan faktor risiko persalinan preterm dengan tanpa risiko pada usia
kehamilan 24 – 30 minggu dengan batasan usia luran < 35 minggu, didapat
nilai cut off 3 cm.
Suatu studi meta analisis yang dilakukan oleh Sotiriadis dkk45 dari 28
artikel penelitian mendapatkan jika panjang serviks < 15 mm maka 60-
70% akan melahirkan dalam 1 minggu pertama bila usia kehamilan < 34
minggu dengan odd ratio 5,7 dan bila panjang serviks > 15 mm maka
hanya 4% yang melahirkan dalam seminggu.
Panjang serviks umumnya tetap hingga trimester ketiga. Heath dkk46
menemukan bahwa pada usia 23 minggu, panjang rerata serviks adalah 38
mm. Iams dkk33 menemukan panjang serviks rerata pada usia 24 minggu
dan 28 minggu adalah 35 mm dan 34 mm. Jika terjadi funneling serviks,
pengukuran serviks harus mengabaikan bentuk funneling tersebut dan
diukur mulai dari ujung funneling hingga ostium serviks eksterna.34
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
21
Funneling serviks yang dapat ditemukan dengan USG adalah T, Y, V, U,
seperti ditunjukkan dengan gambar 4.
Gambar 4 Contoh funneling serviks47
USG transvagina telah digunakan dalam beberapa tahun terakhir untuk
memantau serviks pada wanita dengan persalinan prematur dan hal ini
dianggap sebagai suatu metode yang mudah dan dapat dipercaya untuk
memantau serviks secara objektif serta diterima oleh sebagian besar
pasien.48
Penelitian Holst dkk48 (2006) menunjukkan bahwa pemeriksaan panjang
serviks dengan menggunakan USG transvagina merupakan suatu metode
sederhana yang aman untuk memprediksikan adanya persalinan preterm.
Nilai ambang yang diusulkan adalah 15 mm. Makin pendek serviks
semakin meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm. USG
transvagina memiliki sensitivitas dan spesifisitas 72% dan 83%, dengan
nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif 78% dan 78%. Risiko relatif
3,6 (Interval kepercayaan 95%; 1,8-7,1). Novaes dkk37 (2008) menemukan
bahwa pengukuran panjang serviks dengan menggunakan USG
transvaginal memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai
prediksi negatif sebesar 90,5%, 98%, 95%, dan 96%. Berghella dkk49
(2009) dalam Cochrane Review menyatakan bahwa pengukuran panjang
serviks dengan menggunakan USG transvagina merupakan prediksi
persalinan preterm terbaik yang pernah diteliti hingga saat ini. Meski begitu,
tidak terdapat bukti yang cukup untuk merekomendasikan skrining rutin
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
22
terhadap ibu hamil dengan atau tanpa gejala persalinan preterm dengan
menggunakan USG transvagina.
Pada wanita yang dicurigai akan mengalami persalinan preterm, USG
transvaginal bisa menjadi prediksi yang baik. Panjang serviks yang > 3 cm
pada usia gestasi 34 minggu memiliki nilai prediksi negatif yang besar. Hal
ini dapat menghindarkan wanita tersebut dari terapi dan pemeriksaan lanjut
yang tidak diperlukan.34
Pada wanita yang asimtomatik, pengukuran panjang serviks dengan USG
transvaginal memberikan nilai prediksi positif yang rendah (35%) dengan
risiko relatif empat kali lipat (bila panjang serviks < 30 mm), enam kali lipat
bila panjang serviks < 26 mm, sembilan kali lipat bila panjang serviks < 22
mm, dan 14 kali bila panjang serviks < 13 mm. Namun bila dilakukan
pengukuran saat usia < 28 minggu, panjang serviks yang ≤ 15 mm memiliki
nilai prediksi positif yang besar.34
Meski terdapat keterbatasan dalam penggunaannya, USG transabdomen
pascaberkemih memberikan hasil yang mendekati hasil metode
transvaginal sehingga dianggap seakurat USG transvaginal. Dengan
dilakukan pada saat pascaberkemih akan menghindari adanya bias berupa
pemanjangan serviks yang terjadi apabila kandung kemih masih berisi urin.
USG transabdomen juga menjadi pilihan pada kondisi bila pemeriksaan
vagina harus dihindari, seperti pada kasus preterm premature rupture of
membrane (PPROM). Secara umum, tidak ada perbedaan yang signifikan
antara pemeriksaan USG transabdominal dengan transvaginal. Rerata
hasil pemeriksaan USG transabdomen adalah 3,57 ± 0,74 cm sementara
rerata hasil pemeriksaan USG transvagina adalah 3,61 ± 0,74 cm (P = .2)
dan tidak dipengaruhi usia gestasi.50
Iams dkk33 (1996) meneliti tentang spesifisitas, sensitivitas, serta nilai
prediksi dari pengukuran panjang serviks yang didapat melalui USG
transvagina, adanya funnelling serviks, serta Skor Bishop untuk
memprediksikan terjadinya persalinan preterm. Hasilnya disajikan dalam
tabel 6.
Tabel 6 Spesifisitas, sensitivitas, nilai prediksi dari pengukuran panjang serviks, funneling
serviks, dan skor Bishop terhadap persalinan preterm sebelum usia 35 minggu (modifikasi
dari Iams et al)33
Variabel Serviks pada usia gestasi 24 minggu Serviks pada usia gestasi 28 minggu
≤20
mm
≤25
mm
≤30
mm Funnelling
serviks
Skor
Bishop ≥6
Skor
Bishop
≥4
≤20
mm
≤25
mm
≤30
mm Funnelling
serviks
Skor
Bishop
≥6
Skor
Bishop
≥4
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
23
Sensitivi
tas (%)
23,0 37,3 54,0 25,4 7,9 27,6 31,3 49,4 69,9 32,5 15,8 42,5
Spesifisi
tas (%)
97,0 92,2 76,3 94,5 99,4 90,9 94,7 86,8 68,5 91,6 97,9 82,5
NPP (%) 25,7 17,8 9,3 17,3 38,5 12,1 16,7 11,3 7,0 11,6 25,6 9,9
NPN (%) 96,5 97,0 97,4 96,6 96,0 96,5 97,6 98,0 98,5 97,6 96,3 96,9
Selain menggunakan USG, panjang serviks juga dapat diukur
menggunakan alat bernama Cervilenz™. Cervilenz™ ditunjukkan dalam
gambar di bawah ini.
Gambar 5 Cervilenz™ 51
Gambar 6 Cara pemakaian Cervilenz™ 51
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
24
Penelitian Burwick dkk52 tahun 2009 mendapatkan bahwa panjang serviks
yang diukur dengan pemeriksaan jari lebih pendek secara signifikan bila
dibandingkan dengan panjang serviks yang diukur dengan menggunakan
Cervilenz™ (2,88 cm ± 0,7 cm dan 3,40 ± 0,67 cm; P 0,001). Rerata
perbedaan absolut 0,89 ± 0,08 cm. Bahkan pada 36% subjek, panjang
serviks yang diukur dengan pemeriksaan jari lebih pendek 1 cm lebih
dibandingkan dengan panjang serviks yang diukur dengan Cervilenz™.
Perbedaan hasil pengukuran itu tetap ditemui meski pada pasien
didapatkan beberapa faktor yang dapat merancukan hasil pemeriksaan
seperti konsistensi serviks yang lunak, riwayat persalinan preterm, dan
multiparitas. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa pengukuran panjang
serviks dengan menggunakan Cervilenz™ dapat menjadi suatu metode
yang obyektif dan mudah untuk mengukur panjang serviks serta metode
skrining yang efektif untuk mengidentifikasi dugaan persalinan preterm
pada pasien dengan serviks yang pendek atau memendek.52
Pengukuran panjang serviks menggunakan Cervilenz™ memiliki
sensitivitas 88%, spesifisitas 92%, dan nilai prediksi negatif 99% dalam
mengidentifikasi wanita dengan serviks yang pendek (< 30 mm) yang
diketahui dengan pemeriksaan USG transvagina.53
Gerak nafas janin
Berkurangnya gerak nafas janin pada pemantauan selama 20 menit
dengan USG real-time pada saat kedatangan diperkirakan dapat
digunakan sebagai prediksi terjadinya persalinan preterm spontan.1
Pada wanita dengan gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm dalam 48 jam setelah pemeriksaan, positive likelihood ratio-nya
16,08 (interval kepercayaan 95% 5,22-49,55) dan negative likelihood ratio-
nya 0,16 (interval kepercayaan 95% 0,05-0,58). Untuk memprediksikan
terjadinya persalinan preterm dalam 7 hari setelah pemeriksaan, positive
likelihood ratio-nya 4,00 (interval kepercayaan 95% 0,73-21,84) dan
negative likelihood ratio-nya 0,67 (interval kepercayaan 95% 0,32-1,38).1
3. Prediksi biologik
Prediksi biologik dilakukan dengan menggunakan biomarker yang
diproduksi pada masa kehamilan, baik dari tubuh ibu maupun bayi.
Biomarker tersebut dapat berasal dari serum, plasma, sekret vagina atau
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
25
serviks termasuk pewarnaan Gram, cairan amnion, urin, dan DNA.54
Biomarker biologik yang dapat digunakan untuk memprediksikan adanya
persalinan preterm adalah fibronektin fetal, Ureaplasma urealyticum,
relaksin, human defensins 2, estriol, Corticotrophin-releasing hormone
(CRH), interleukin-6, alfa fetoprotein, protein reaktif C (C-reactive protein,
CRP), dan Insulin-like Growth Factor Binding Protein-1 (IGFBP-1).
Fibronektin fetal
Fibronektin fetal merupakan suatu glikoprotein matriks ekstraseluler.
Fibronektin fetal dalam cairan biologis diproduksi oleh amniosit dan
sitotrofoblas. Zat ini muncul selama masa gestasi pada semua kehamilan.
Kadarnya paling tinggi ditemukan pada cairan amnion (100 μg/mL) pada
trimester kedua, dan menjadi 30 μg/mL saat aterm. Zat ini terletak di
permukaan antara sisi maternal dan fetal pada membran amnion, di antara
korion dan desidua, dan terkonsentrasi di ruang di antara desidua dan
trofoblas. Fibronektin fetal di sini berperan sebagai perekat antara uterus
dan hasil konsepsi. Konsentrasi fibronektin fetal yang ditemukan di dalam
darah 1/5 dari yang ditemukan dari cairan amnion dan tidak muncul dalam
urin. Pada kondisi normal, glikoprotein ini tetap berada di tempatnya
tersebut, dan hanya sebagian kecil dapat ditemukan pada sekret
servikovagina setelah usia gestasi 22 minggu (kurang dari 50 ng/mL).
Kadar di atas nilai ini (≥ 50 ng/mL) pada atau setelah usia gestasi 22
minggu pada sekret servikovagina berkaitan dengan peningkatan risiko
terjadinya persalinan preterm spontan.55
Pemeriksaan fibronektin fetal digunakan untuk menilai risiko persalinan dan
kelahiran preterm dengan mengukur jumlah kadar fibronektin fetal pada
sekret servikovagina. Pada kenyataannya, fibronektin fetal merupakan
salah satu penanda kelahiran preterm terbaik yang pernah diujicobakan
pada seluruh populasi yang diteliti, termasuk wanita berisiko rendah dan
tinggi tanpa riwayat persalinan preterm, wanita dengan riwayat kelahiran
kembar, serta wanita dengan riwayat persalinan preterm. Secara
keseluruhan, sensitivitas dan spesifisitas uji fibronektin fetal mencapai 56%
dan 84% pada usia gestasi kurang dari 37 minggu; namun hasil tersebut
bervariasi sesuai usia gestasi saat pengumpulan, populasi yang diteliti,
serta prevalensi kelahiran preterm. Nilai prediksi positifnya bervariasi
antara 9% hingga 46%, tergantung insidens persalinan preterm pada
populasi yang sedang diteliti. Tingginya kadar fibronektin fetal (di atas
persentil 90), bahkan pada usia gestasi 13-22 minggu, berkaitan dengan
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
26
peningkatan risiko terjadinya persalinan preterm spontan sebesar dua
hingga tiga kali.55
Penelitian lain oleh Joffe dkk56 (1999) mengenai sensitivitas, spesifisitas,
nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif dari pemeriksaan fibronektin fetal
memberikan hasil sebagai berikut:
Tabel 7 Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif fibronektin
fetal dalam memprediksikan persalinan preterm 7 hari setelah pemeriksaan dan sebelum
usia 37 minggu (modifikasi dari Joffe et al)56
≤ 7 hari setelah
pengambilan sampel
≤ 37 minggu
Sensitivitas (%) 66,7 22,9
Spesifisitas (%) 91,8 94,5
Nilai prediksi positif (%) 9,1 50,0
Nilai prediksi negatif (%) 99,6 83,6
Risiko relatif 20,5 3,0
Risiko relatif 95% interval kepercayaan 1,9 - 216,6 1,8 - 5,1
Dalam suatu meta-analisis mengenai fibronektin fetal, nilai positif pada
wanita dengan gejala-gejala yang mengarah pada persalinan preterm
memberikan positive likelihood ratio sebesar 3,3 (rentang 2,7 hingga 3,9)
dan negative likelihood ratio 0,5 (0,4-0,6) terhadap terjadinya persalinan
preterm.57 Bila seluruh wanita dengan gejala diterapi dengan steroid untuk
pematangan paru pada usia gestasi 31 minggu, dibutuhkan 109 wanita
untuk mencegah satu kasus sindrom distres pernapasan. Di sisi lain, bila
hanya wanita dengan gejala dengan uji fibronektin fetal yang positif saja
yang diterapi, hanya dibutuhkan 17 wanita untuk mencegah satu kasus
sindrom distres pernapasan. Oleh sebab itu, uji fibronektin fetal menjadi
suatu alat diagnostik yang potensial yang dapat membantu pengambilan
keputusan guna tata laksana pasien.54
Bila dilakukan uji fibronektin fetal pada wanita tanpa gejala yang mengarah
kepada persalinan preterm, hasil positif dari uji tersebut memiliki positive
likelihood ratio sebesar 2,9 (rentang 2,5-3,5) dan hasil uji fibronektin fetal
yang negatif memberikan negative likelihood ratio sebesar 0,5 (rentang 0,4-
0,6).57 Studi lain menyimpulkan bahwa penggunaan fibronektin fetal tidak
efektif bila dilakukan terhadap wanita yang asimtomatik oleh karena
rendahnya sensitivitas.54
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
27
Pemeriksaan fibronektin fetal tersedia dalam dilakukan di dalam
laboratorium atau langsung di tempat tidur pasien, dengan kadar
ambangnya 50 ng/mL. Salah satu keterbatasan uji fibronektin fetal adalah
uji tersebut tidak dapat dilakukan pada keadaan berikut: PPROM,
perdarahan, riwayat hubungan seksual dalam 24 jam sebelumnya, dan pre-
eklamsia.54
Kesimpulannya, fibronektin fetal saja bukan merupakan prediksi persalinan
preterm yang ideal. Meskipun begitu, keunggulan fibronektin fetal adalah
tingginya nilai prediksi negatif yang dihasilkan oleh beberapa penelitian
sebelumnya. Dengan demikian, seorang ibu hamil dengan hasil fibronektin
fetal yang negatif menandakan rendahnya risiko terjadinya persalinan
preterm sehingga ibu hamil tersebut tidak membutuhkan perawatan lebih
lanjut pada layanan antenatal.54,56
Interleukin-6 cairan amnion
Interleukin-6 (IL-6) merupakan salah satu mediator kimia yang dihasilkan
sebagai respon terhadap adanya infeksi dan kerusakan jaringan. IL-6 dapat
dihasilkan oleh sel fibroblast, monosit/makrofag, sel endotel, keratinosit,
dan sel stroma endometrium. IL-6 memiliki efek biologis yang luas. IL-6
menimbulkan perubahan status biokimia, fisiologi, dan imunologi dari
pejamu. Perubahan komposisi protein plasma yang dimediasi oleh IL-6
diduga bertujuan untuk mengisolasi cedera sel yang terjadi dan
mengurangi efek sistemik akibat infeksi dan kerusakan jaringan. Protein
plasma fase akut tersebut penting dalam hal infeksi intraamnion. Penelitian
klinis menunjukkan bahwa peningkatan CRP serum maternal seringkali
mendahului manifestasi klinis korioamnionitis dan terjadinya persalinan
preterm pada wanita dengan PPROM. Lebih lanjut lagi, pasien dengan
persalinan preterm dengan peningkatan kadar CRP tidak berespons
terhadap terapi tokolitik dibandingkan pada pasien dengan kadar CRP
yang tidak terdeteksi. Oleh karena IL-6 berperan penting dalam sintesis
CRP, dipikirkan bahwa sitokin ini juga berperan dalam respons pejamu
terhadap infeksi intrauterin.58
Saat ini diketahui bahwa cairan amnion dari wanita yang mengalami
persalinan preterm dan infeksi intraamnion mengandung kadar IL-6 yang
sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa IL-6 berperan dalam respons
pejamu terhadap infeksi intraamnion. Pemeriksaan mikrobiologis
menunjukkan bahwa peningkatan kadar IL-6 pada cairan amnion
ditemukan pada wanita dengan infeksi intraamnion yang disebabkan oleh
berbagai macam organisme, termasuk bakteri Gram negatif dan positif.58
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
28
Perlu ditekankan bahwa persalinan preterm yang berakhir pada kelahiran
preterm dimana tidak ditemukan adanya infeksi berkaitan dengan
peningkatan kadar IL-6 pada cairan amnion, meski lebih kecil jika
dibandingkan pada kondisi terjadi infeksi intraamnion. Penjelasan yang
mungkin adalah, pertama, seorang wanita yang hamil memang telah
mengalami inflamasi uterus yang tidak berkaitan dengan infeksi
intraamnion (contohnya infeksi ekstraamnion); kedua, peningkatan IL-6
berkaitan dengan proses fisiologis terjadinya persalinan; ketiga, infeksi
intraamnion yang terjadi mungkin berhasil lolos dari pemeriksaan
mikrobiologik standar.58
Kadar IL-6 lebih tinggi ditemukan pada wanita dengan persalinan preterm
yang mengalami infeksi intraamnion dibandingkan pada wanita dengan
persalinan preterm tanpa infeksi intraamnion (median = 375 ng/mL, rentang
= 30-5.000 ng/ml vs. median = 1.5 ng/mL, rentang = 0 - 500, P< 0.0001).58
Pada wanita tanpa gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm sebelum usia gestasi 34 minggu, pengukuran IL-6 cairan amnion
memiliki positive likelihood ratio 2,65 (interval kepercayaan 95% 1,37-5,14)
sampai 2,95 (interval kepercayaan 95% 0,96-9,04) dan negative likelihood
ratio 0,84 (interval kepercayaan 95% 0,62-1,13) sampai 0,91 (interval
kepercayaan 95% 0,84-0,98).1
Untuk memprediksikan terjadinya persalinan preterm sebelum usia gestasi
37 minggu, pengukuran IL-6 cairan amnion memiliki positive likelihood ratio
1,91 (interval kepercayaan 95% 0,99-3,67) dan negative likelihood ratio
0,95 (interval kepercayaan 95% 0,90-1,00).1
Pada wanita dengan gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm dalam 7-10 hari setelah pemeriksaan, pengukuran IL-6 cairan
amnion memiliki positive likelihood ratio 2,43 (interval kepercayaan 95%
1,36-4,36) sampai 7,01 (interval kepercayaan 95% 2,75-17,90) dan
negative likelihood ratio 0,17 (interval kepercayaan 95% 0,06-0,49) sampai
0,24 (interval kepercayaan 95% 0,09-0,61).1
Untuk memprediksikan terjadinya persalinan preterm sebelum usia gestasi
34 minggu, pengukuran IL-6 cairan amnion memiliki positive likelihood ratio
7,44 (interval kepercayaan 95% 2,01-27,52) dan negative likelihood ratio
0,14 (interval kepercayaan 95% 0,06-0,36).1
Untuk memprediksikan terjadinya persalinan preterm sebelum usia gestasi
37 minggu, pengukuran IL-6 cairan amnion memiliki positive likelihood ratio
4,92 (interval kepercayaan 95% 1,26 - 19,29) sampai 28,62 (interval
kepercayaan 95% 1,78 - 461,04) dan negative likelihood ratio 0,05 (interval
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
29
kepercayaan 95% 0,003 - 0,76) sampai 0,66 (interval kepercayaan 95%
0,54 - 0,80).1
Interleukin-8 (IL-8)
Sama seperti IL-6, IL-8 merupakan suatu protein yang dihasilkan sebagai
respons terhadap terjadinya inflamasi atau infeksi. IL-8 dapat ditemukan di
cairan amnion, sekret serviks, dan serum ibu. Terdapatnya IL-8 di sekret
servikovagina atau peningkatan kadar IL-8 pada serum ibu diduga dapat
digunakan untuk memprediksikan terjadinya persalinan preterm pada
wanita dengan gejala yang datang dalam kondisi persalinan preterm
terancam.1
Pada wanita tanpa gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm sebelum usia gestasi 34 minggu, pemeriksaan IL-8 serviks
memiliki positive likelihood ratio 2,23 (interval kepercayaan 1,46 - 3,41) dan
negative likelihood ratio 0,69 (interval kepercayaan 95% 0,50 - 0,97). Untuk
memprediksikan terjadinya persalinan preterm sebelum usia gestasi 37
minggu, positive likelihood ratio-nya 1,38 (interval kepercayaan 95% 1,04 -
1,81) sampai 2,75 (interval kepercayaan 95% 1,68 - 4,52) sementara
negative likelihood ratio-nya 0,68 (interval kepercayaan 95% 0,49 - 0,95)
sampai 0,91 (interval kepercayaan 95% 0,82 - 1,01).1
Pada wanita dengan gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm dalam 48 jam setelah pemeriksaan, positive likelihood ratio-nya
36,00 (interval kepercayaan 95% 2,30 - 564,54) dan negative likelihood
ratio-nya 0,10 (interval kepercayaan 95% 0,007 - 1,42). Untuk
memprediksikan terjadinya persalinan preterm 7 hari setelah pemeriksaan,
positive likelihood ratio-nya mulai dari 2,34 (interval kepercayaan 95% 1,42
- 3,84 bila dengan pemeriksaan IL-8 serviks) sampai 28,5 (interval
kepercayaan 95% 1,78 - 456,57 bila dengan pemeriksaan IL-8 cairan
amnion). Sementara negative likelihood ratio-nya mulai dari 0,26 (interval
kepercayaan 95% 0,06 - 1,03 bila dengan pemeriksaan IL-8 cairan
amnion) sampai 0,52 (interval kepercayaan 95% 0,32 - 0,84 bila dengan
pemeriksaan IL-8 serviks).1
Untuk memprediksikan terjadinya persalinan preterm sebelum usia gestasi
37 minggu, positive likelihood ratio-nya 1,4 (interval kepercayaan 95%
0,83-2,35) dan negative likelihood ratio-nya 0,67 (interval kepercayaan
95% 0,30-1,50).1
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
30
Protein reaktif C (C-reactive protein, CRP) Serum
CRP merupakan suatu marker inflamasi yang sensitif yang kadarnya stabil
di dalam serum.59,60 Produksi CRP distimulasi oleh pelepasan mediator
proinflamasi termasuk interleukin-1, interleukin-6, dan tumor necrosis
factor-alpha (TNF-α). Meski seringkali dikaitkan dengan proses radang
akut, CRP juga ditemukan pada keadaan radang kronis.Peningkatan
sitokin inflamasi tersebut pada akhirnya dapat merangsang produksi
prostaglandin sehingga menginduksi terjadinya kontraksi uterus dan
pematangan serviks. Pada akhirnya, proses tersebut berakhir pada
terjadinya persalinan preterm. Konsentrasi sitokin proinflamasi tersebut
ditemukan pada wanita dengan gejala-gejala adanya persalinan preterm
dan secara prospektif berkaitan dengan persalinan preterm.60
Konsentrasi CRP di sirkulasi perifer dikaitkan dengan adanya infeksi
intrauterin. Selain itu, juga ditemukan adanya peningkatan kadar CRP di
cairan amnion pada keadaan infeksi intrauterin. Hvilsom dkk61. pada tahun
2002 merupakan kelompok peneliti pertama yang melaporkan bahwa
peningkatan kadar CRP serum pada kehamilan dini (≥ persentil 85 (7,5
mg/L) vs ≤persentil 85) berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya
persalinan preterm sebesar dua kali lipat (OR=2.0, 95%CI: 1.2 - 3.5). Lebih
lanjut ditemukan bahwa wanita dengan kadar CRP ≥ 7,5 mg/L memiliki
risiko mengalami persalinan preterm sebesar dua kali lipat dibandingkan
wanita dengan kadar CRP< 2,0 mg/L. Terdapat sedikit bukti mengenai
kaitan antara kadar CRP serum maternal dengan risiko terjadinya
persalinan antara usia gestasi 34 dan 36 minggu. Namun peningkatan
kadar CRP berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya persalinan
sebelum usia 34 minggu lengkap.59 Pengukuran kadar CRP memiliki
sensitivitas sebesar 54% dan spesifisitas 81%, dengan nilai prediksi positif
74%, nilai prediksi negatif 64%, dan positive likelihood ratio-nya 2,8.62
Cervikal Insulin-like growth factor binding protein-1
Insulin-like growth factor-binding protein-1 (IGFBP-1), merupakan suatu
protein yang disintesis dan disekresikan oleh hati janin dan orang dewasa
dan merupakan suatu produk utama dari jaringan desidua endometrium.
Fungsi fisiologi dari IGFBP-1 pada kehamilan esensial bagi fungsi
endometrium/desidua dan interaksi endometrium-trofoblas; keduanya
dimulai pada saat praimplantasi. Selain itu, IGF juga berperan dalam
pengaturan pertumbuhan embrionik dan diferensiasi, dan IGFBP-1
mengatur kerja IGF pada janin. Pada sirkulasi maternal, konsentrasi
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
31
IGFBP-1 meningkat pada kehamilan dan merupakan protein utama pada
cairan amnion dari trimester kedua hingga usia gestasi cukup bulan.63
Keadaan fosforilasi IGFBP-1 bervariasi pada masing-masing cairan dan
jaringan tubuh. Pada cairan amnion, bentuk IGFBP-1 yang dominan adalah
bentuk tidak terfosforilasi, meskipun juga terdapat bentuk yang terfosforilasi
(kecuali bentuk yang sangat terfosforilasi). Sumber IGFBP-1 di cairan
amnion tidak diketahui. Bentuk terfosforilasi, khususnya bentuk IGFBP-1
yang sangat terfosforilasi, terutama disekresi oleh sel desidua manusia.63
Bentuk IGFBP-1 yang tidak terfosforilasi dan yang kurang terfosforilasi
pada sampel yang diambil dari serviks dan vagina dapat dideteksi dengan
immunoenzymometric assay. Pendeteksian isoform IGFBP-1 pada cairan
ketuban merupakan cara untuk mendiagnosis adanya ruptur ketuban.
Pemeriksaan dengan uji cepat menggunakan strip akan memberikan hasil
positif bila kadarnya di atas 25 - 50 µg/L. Kerusakan jaringan pada segmen
bawah uterus, oleh karena kontraksi uterus atau karena proteolisis yang
diinduksi oleh infeksi, dapat menyebabkan bocornya produk koriodesidua
seperti fibronektin dan IGFBP-1 ke serviks. Keberadaan protein ini pada
sekret servikovaginal bisa menjadi petanda persalinan preterm dan
persalinan cukup bulan. Hal yang mendukung hipotesis ini adalah bahwa
peningkatan kadar IGFBP-1 di sekret serviks dapat memprediksikan
pematangan serviks pada kondisi term (cukup bulan). Kadar 10 µg/L
dijadikan kadar ambang antara hasil positif dan negatif. Bila kadarnya
melebihi 100 - 200 µg/L, akan memberikan hasil positif palsu adanya
PROM. Pada wanita yang mengalami persalinan preterm, peningkatan
kadar IGFBP-1 terfosforilasi dapat memprediksikan peningkatan morbiditas
akibat infeksi puerperal dan neonatal. Sebagai marker adanya infeksi
intrauterin, bentuk IGFBP-1 terfosforilasi dapat memperkirakan infeksi pada
kehamilan lebih spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan fibronektin
fetal, oleh karena urin dan cairan semen hanya mengandung sedikit
IGFBP-1.63
Non-phosphorylated insulin-like growth factor binding protein-1 (npIGFBP-
1) ditemukan pada kadar 100 - 1000 kali lebih tinggi pada cairan ketuban
dibandingkan di serum dan ketika biomarker ini meluap hingga ke serviks,
hal ini dapat digunakan untuk menguji adanya PPROM. Peningkatan kadar
IGFBP-1 terfosforilasi pada getah serviks dapat digunakan sebagai prediksi
persalinan preterm (positive likelihood ratio 6, sensitivitas 78%, positif palsu
13%). Pada wanita tanpa gejala preterm, biomarker ini tidak terlalu kuat
dalam memprediksikan adanya persalinan preterm.54 Pada penelitian lain,
pada keadaan dimana ruptur membran prematur sulit didiagnosis secara
klinis, pemeriksaan IGFBP-1 pada sekret serviks dan vagina menggunakan
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
32
uji cepat dipstick memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan
nilai prediksi negatif berturut-turut sebesar 100%, 92%, 84%, dan 100%.64
Pada wanita tanpa gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm sebelum usia gestasi 37 minggu, pemeriksaan IGFBP-1 memiliki
positive likelihood ratio 4,17 (interval kepercayaan 95% 2,44-7,13) dan
negative likelihood ratio 0,21 (interval kepercayaan 95% 0,08-0,51).1
Pada wanita dengan gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm dalam 48 jam setelah pemeriksaan, positive likelihood ratio-nya
2,53 (interval kepercayaan 95% 1,17 - 5,48) dan negative likelihood ratio-
nya 0,32 (interval kepercayaan 95% 0,15 - 0,66). Untuk memprediksikan
terjadinya persalinan preterm dalam 7 hari setelah pemeriksaan, positive
likelihood ratio-nya 3,29 (interval kepercayaan 95% 2,24 – 4,83) dan
negative likelihood ratio-nya 0,20 (interval kepercayaan 95% 0,10 – 0,41).
Untuk memprediksikan terjadinya persalinan preterm sebelum usia gestasi
34 minggu, positive likelihood ratio-nya 2,96 (interval kepercayaan 95%
2,02 – 4,33) dan negative likelihood ratio-nya 0,22 (interval kepercayaan
95% 0,08 – 0,64). Untuk memprediksikan terjadinya persalinan preterm
sebelum usia gestasi 37 minggu, positive likelihood ratio-nya 4,26 (interval
kepercayaan 95% 2,54 – 7,17) dan negative likelihood ratio-nya 0,28
(interval kepercayaan 95% 0,20 – 0,38).1
Matrix metalloproteinase-9
Matrix metalloproteinase merupakan kelompok enzim yang bekerja dengan
mendegradasi komponen matriks ekstraseluler. Kolagenase interstisial
(matrix metalloproteinase-1) dapat membelah kolagen tipe I, II, dan III.
Gelatinase (matrix metalloproteinase-2 dan -9) mampu menguraikan lebih
lanjut fragmen kolagen yang telah terdenaturasi oleh kolagenase
interstisial. Enzim gelatinase juga mampu menguraikan berbagai macam
komponen membran basal dan proteoglikan. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa matrix metalloproteinase dan inhibitor alaminya
diproduksi oleh amnion, korion, dan desidua serta berperan penting dalam
mempertahankan dan mendegradasi matriks ekstraseluler dari amniokorion
dan serviks. Beberapa matrix metalloproteinase (matrix metalloproteinase-
1 dan -2) dihasilkan dalam jumlah yang relatif tetap selama kehamilan
namun produksi enzim yang lain (matrix metalloproteinase-3 dan -9)
meningkat selama proses persalinan. Korioamnionitis menginduksi
munculnya dan pelepasan dari matrix metalloproteinase-9 dari membran.65
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
33
Dari dua enzim gelatinase, matrix metalloproteinase-9 diketahui berkaitan
sangat spesifik dengan adanya infeksi intra-amnion. Fortunato dkk66 (1997)
menemukan kadar matrix metalloproteinase-2 pada wanita hamil yang
tidak dalam persalinan dan wanita dengan infeksi intra-amnion. Namun
matrix metalloproteinase-9 hanya ditemukan pada wanita dengan infeksi
intra-amnion. Penelitian lain menemukan bahwa terdapat peningkatan
kadar enzim ini di dalam cairan amnion pada wanita dengan PPROM. Tu
dkk.67 (1998) menemukan bahwa kadar matrix metalloproteinase-9 plasma
meningkat tiga kali lipat pada wanita dengan ruptur membran spontan atau
persalinan spontan, meski tidak meningkat secara signifikan dalam waktu 1
minggu menjelang persalinan. Penemuan-penemuan ini menunjukkan
bahwa peningkatan matrix metalloproteinase-9 dapat digunakan untuk
memperkirakan terjadinya persalinan preterm atau adanya ruptur membran
pada wanita dengan tanda dan gejala adanya persalinan preterm, apapun
hasil kultur cairan amnionnya. Hasil yang negatif tidak cukup kuat untuk
menyingkirkan kemungkinan terjadinya persalinan yang akan terjadi.65
Pada penelitian Locksmith dkk65 (1999), nilai median kadar matrix
metalloproteinase-9 dari cairan amnion wanita yang terbukti mengalami
infeksi intra-amnion dari hasil kultur adalah sebesar 557 ng/mL, lebih besar
secara signifikan dibandingkan wanita yang hasil kultur cairan amnionnya
negatif (0 ng/mL). Pengukuran enzim ini secara tepat memprediksikan
ada/tidaknya infeksi intra-amnion pada 41 dari 44 subjek (akurasi 93%, p <
0,001). Enam dari 44 subjek tersebut mengalami infeksi intra-amnion yang
dibuktikan melalui hasil kultur yang positif (prevalens 14%, interval
kepercayaan 95% 4 - 24). Pada lima dari enam subjek tersebut, kadar
enzim matrix metalloproteinase-9 dapat dideteksi di dalam cairan amnion
dengan pemeriksaan ELISA kuantitatif (sensitivitas 83%, interval
kepercayaan 95% 53 - 99). Dari 38 subjek yang hasil kultur cairan
amnionnya negatif, 36 di antaranya tidak didapati adanya enzim tersebut
(spesifisitas 95%, interval kepercayaan 95% 88 - 99). Dari tujuh subjek
yang matrix metalloproteinase-9 dideteksi melalui pemeriksaan ELISA, lima
di antaranya memiliki hasil kultur cairan amnion positif (nilai prediksi positif
71%, interval kepercayaan 95% 37 - 99). Dari 37 subjek yang tidak
dideteksi adanya matrix metalloproteinase-9, 36 di antaranya memiliki hasil
kultur negatif (nilai prediksi negatif 97%, interval kepercayaan 95% 92 - 99).
Alfa fetoprotein (AFP) serum
Kadar alfa fetoprotein (AFP) pada serum ibu pada paruh pertama
kehamilan sejak tiga dekade lalu dikaitkan dengan terjadinya prematuritas.
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
34
Namun penggunaannya sebagai marker serum untuk memprediksikan
terjadinya persalinan preterm belum pernah dievaluasi meskipun sering
digunakan untuk uji skrining terhadap neural tube defect pada janin dan
sebagai bagian dari skrining untuk mendeteksi adanya trisomi 21.1
Pada wanita tanpa gejala, untuk memprediksikan terjadinya pesalinan
preterm sebelum usia gestasi 34 minggu, pemeriksaan AFP memiliki
positive likelihood ratio mulai dari 3,03 (interval kepercayaan 95% 2,30 -
4,01) sampai 4,99 (interval kepercayaan 95% 3,97 - 6,28) dan negative
likelihood ratio mulai dari 0,14 (interval kepercayaan 95% 0,02 - 0,91)
sampai 0,95 (interval kepercayaan 95% 0,94 - 0,97).1
Human beta defensins 2
Defensins merupakan peptida antimikroba yang diklasifikasikan menjadi
tiga golongan utama, yaitu alfa (α), beta (β), dan theta (θ). Beta defensins
termasuk di dalamnya yaitu human beta defensins (HBD) 1, 2, 3, dan 4.
HBD-2 merupakan peptida yang tersusun atas 41 asam amino yang
muncul pada lesi kulit psoriatik dan diekspresikan pada kulit, mukosa
mulut, epitel trachea, dan sel epitel tubulus ginjal. HBD-2 memiliki aktivitas
antimikroba yang poten terhadap bakteri Gram negatif dan sedikit efek
antimikroba terhadap bakteri Gram positif. Selain itu, HBD-2 mampu
menghambat proliferasi spesies Candida pada percobaan in vitro.68
Tidak diketahui sumber HBD-2 di cairan amnion. Diduga, HBD-2 di cairan
amnion berasal dari kulit dan sel epitel saluran pernafasan janin karena
jaringan tersebut dapat mengekspresikan mRNA HBD-2. Selain itu, korion
dan plasenta juga dapat menjadi sumber dari HBD-2 di cairan amnion.68
Soto dkk68 (2007) menemukan bahwa dalam kasus invasi mikroba di cairan
amnion dan inflamasi intrauteri pada wanita dengan persalinan preterm,
didapatkan konsentrasi HBD-2 yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa
peptida ini merupakan bagian dari sistem pertahanan terhadap invasi
mikroba di cairan amnion.
Ureaplasma urealyticum
Ureaplasma urealyticum dilaporkan memiliki implikasi berupa gangguan
pada proses kehamilan, yaitu korioamnionitis dan persalinan preterm. U.
urealyticum paling sering diisolasi dari cairan amnion pada pasien dengan
persalinan preterm dan PPROM dan secara umum diperkirakan bahwa
kolonisasi intra-amnion oleh U.urealyticum berkaitan dengan peningkatan
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
35
risiko terjadinya persalinan preterm. Meskipun begitu, pentingnya
kolonisasi U. urealyticum di vagina atau serviks pada kasus persalinan
preterm masih kontroversial.69
Permasalahan dalam pemeriksaan U.urealyticum adalah dalam hal
diagnostik laboratorium. U.urealyticum tidak bisa dideteksi dengan metode
kultur aerob/anaerob yang biasa. Oleh karena itu, untuk mendeteksi
adanya organisme secara objektif, dilakukan pemeriksaan polymerase
chain reaction (PCR). Dengan PCR, hasilnya dapat diperoleh dalam satu
hari sementara dengan metode kultur, dibutuhkan lebih dari dua hari. Untuk
pengambilan sampel, dilakukan pengambilan swab serviks.69
Untuk memprediksikan terjadinya persalinan preterm pada wanita dengan
gejala, kombinasi antara metode deteksi invasi mikroba (termasuk U.
urealyticum) dan PCR untuk U. urealyticum memiliki positive likelihood ratio
13, sensitivitas 21% dan positif palsu 2%. Hasil yang serupa dari penelitian
di Swedia menunjukkan positive likelihood ratio-nya 7, dengan sensitivitas
35% dan positif palsu 5% untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm sebelum usia 34 minggu).54 Gerber dkk70 dalam penelitiannya
menemukan bahwa pemeriksaan PCR terhadap U. urealyticum dari cairan
amnion pada wanita tanpa gejala memiliki positive likelihood ratio 10,
sensitivitas 88% dan positif palsu 9%.
Servikovaginal human chorionic gonadotrophin (hCG)
β-HCG ditemukan pada cairan amnion, darah ibu, dan urin dengan kadar
2.000 - 70.000 mIU/mL. Selain itu, β-HCG disekresikan oleh kelenjar
serviks. Pengukuran kadar hormon ini di atas hasil ambang 45mIU/mL
dapat memprediksikan adanya persalinan preterm sebab pada penelitian
Abasalizadeh dkk71 (2007), diketahui bahwa kadar hormon ini ditemukan
lebih rendah pada wanita yang melahirkan normal pada usia gestasi cukup
bulan. Risiko relatif terjadinya persalinan preterm pada wanita dengan
kadar hormon ini di vagina > 45 mIU/mL adalah 4,5 (interval kepercayaan
95% 1,98 - 10,1). Bila menggunakan kadar ambang sebesar 30 mIU/mL,
sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediksi negatif berturut-turut adalah
45,5%; 83%; dan 95%. Sedangkan bila menggunakan kadar ambang
sebesar 45 mIU/mL, nilai sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediksi
negatifnya sebesar 45,5%; 91,2%; dan 95,4%.
Penelitian oleh Adhikari dkk72 (2009) mengenai peran pengukuran β-HCG
servikovaginal untuk memprediksikan adanya persalinan preterm pada
wanita tanpa gejala dan memiliki risiki persalinan preterm yang tinggi
menunjukkan bahwa untuk memprediksikan terjadinya persalinan pada
usia gestasi < 37 minggu, HCG servikovaginal > 4,75 mIU/mL memiliki
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
36
sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif
berturut-turut adalah 70%; 61,81%; 40%; dan 85%. Sementara untuk
memprediksikan terjadinya persalinan pada usia gestasi < 34 minggu,
kadar HCG servikovaginal > 14 mIU/mL memiliki sensitivitas, spesifisitas,
nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif berturut-turut sebesar 83,3%;
85,5%; 33,3%; dan 98,3%.
Corticotrophin-releasing hormone (CRH)
CRH disintesis dan disekresikan oleh plasenta, dan kadar CRH plasma
meningkat secara progresif baik pada sirkulasi maternal maupun fetal.
Selama trimester kedua dan ketiga pada kehamilan yang normal, CRH
mudah sekali dideteksi di peredaran darah ibu dan peningkatan kadar CRH
diduga memiliki peran penting dalam menentukan waktu terjadinya
persalinan yang cukup bulan.73
CRH-binding protein (CRH-BP) berfungsi sebagai regulator dari CRH yang
ada di sirkulasi dengan membatasi konsentrasi CRH yang bebas dan akitf
secara biologic. CRH-BP terdapat di dalam sirkulasi wanita, baik ketika
hamil maupun tidak hamil. CRH-BP dapat bertindak sebagai pelindung
terhadap peningkatan kadar CRH bebas secara perlahan, dan
kemungkinan adanya persalinan dan kelahiran sebelum term. Pada usia
gestasi mencapai 34 minggu dan saat mendekati proses persalinan, kadar
CRH total meningkat dan konsentrasi CRH-BP menurun, sehingga akan
meningkatkan jumlah CRH yang bebas di dalam darah dan pada akhirnya
akan menstimulasi terjadinya proses persalinan.73
Kadar total CRH di dalam plasma meningkat selama trimester kedua pada
wanita dengan persalinan preterm. Hal yang sama juga terjadi pada
keadaan infeksi bakteri, pre-eklamsia, pertumbuhan janin terganggu, dan
stress psikososial, yang semua hal tersebut berkaitan dengan peningkatan
kadar CRH plasma total serta terjadinya persalinan preterm. Meningkatnya
kadar CRH pada wanita dengan persalinan preterm dapat menjadi indikator
adanya distres maternal - fetal.73
Pada wanita tanpa gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm pada usia gestasi sebelum 34 minggu, positive likelihood ratio-nya
3,36 (interval kepercayaan 95% 2,30 - 4,92) dan negative likelihood ratio-
nya 0,35 (interval kepercayaan 95% 0,13 - 0,91). Untuk memprediksikan
terjadinya persalinan preterm pada usia gestasi sebelum 37 minggu,
positive likelihood ratio-nya berada dalam rentang antara 1,43 (interval
kepercayaan 95% 0,86 - 2,36) hingga 25,74 (interval kepercayaan 95%
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
37
5,248 - 122,07) dan negative likelihood ratio-nya antara 0,81 (interval
kepercayaan 95% 0,68 - 0,97) sampai 0,89 (interval kepercayaan 95% 0,74
- 1,08).1
Pada wanita dengan gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm 10 hari setelah pemeriksaan, positive likelihood ratio-nya 3,12
(interval kepercayaan 95% 1,42 - 6,84) dan negative likelihood ratio-nya
0,63 (interval kepercayaan 95% 0,38 - 1,05). Untuk memprediksikan
terjadinya persalinan preterm sebelum usia gestasi 37 minggu, positive
likelihood ratio-nya 3,12 (interval kepercayaan 95% 1,42 - 6,84) dan
negative likelihood ratio-nya 0,68 (interval kepercayaan 95% 0,51 - 0,91).1
Serum relaksin
Relaksin merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh korpus
luteum dan diketahui berfungsi untuk melunakkan serta mematangkan
serviks. Keadaan hiper-relaksinemia diketahui berkaitan dengan persalinan
preterm. Oleh karena itu, pengukuran kadar relaksin serum maternal dapat
memprediksikan persalinan preterm yang berakhir pada kelahiran preterm.1
Pada wanita hamil tanpa gejala, untuk memprediksikan adanya persalinan
preterm pada usia gestasi 34 minggu, pengukuran serum relaksin memiliki
positive likelihood ratio sebesar 1,6 (Interval kepercayaan 95% 1,24 - 2,06)
dan negative likelihood ratio sebesar 0,84 (Interval kepercayaan 95% 0,74 -
0,95). Untuk memprediksikan adanya persalinan preterm pada usia gestasi
37 minggu, pemeriksaan serum relaksin memiliki positive likelihood ratio
1,21 (interval kepercayaan 95% 0,73 - 2,10) dan negative likelihood ratio
0,74 (interval kepercayaan 95% 0,29 - 1,95).1
Pada wanita hamil dengan gejala, untuk memprediksikan adanya
persalinan preterm sebelum usia 34 minggu, pemeriksaan relaksin serum
memiliki positive likelihood ratio sebesar 1,48 (interval kepercayaan 95%
0,26 - 8,31) dan negative likelihood ratio sebesar 0,861 (interval
kepercayaan 95% 0,38 - 1,96). Untuk memprediksikan persalinan preterm
sebelum usia gestasi 37 minggu, nilai positive likelihood ratio-nya 0,80
(interval kepercayaan 95% 0,19 - 3,31) dan negative likelihood ratio-nya
1,07 (interval kepercayaan 95% 0,72 - 1,57).1
Estriol
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
38
Estriol diproduksi baik oleh tubuh ibu maupun janin selama masa
kehamilan. Terdapat lonjakan kadar estriol di tubuh ibu pada beberapa
minggu sebelum terjadinya persalinan preterm. Pengukuran kadar estriol
serum maupun saliva dapat digunakan untuk memprediksikan terjadinya
persalinan preterm.1
Pada wanita tanpa gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm sebelum usia gestasi 37 minggu, pengukuran estriol saliva tunggal
memiliki positive likelihood ratio 2,55 (interval kepercayaan 95% 1,73 -
3,77) dan negative likelihood ratio 0,56 (interval kepercayaan 95% 0,35 -
0,89). Bila dilakukan pengulangan tes, positive likelihood ratio-nya 5,46
(interval kepercayaan 95% 3,18 - 9,40) dan negative likelihood ratio-nya
0,61 (interval kepercayaan 95% 0,43 - 0,88). Jika dilakukan pengukuran
estriol serum, positive likelihood ratio-nya 0,76 (interval kepercayaan 95%
0,58 - 1,00) sampai 2,17 (interval kepercayaan 95% 1,33 - 3,53) dan
negative likelihood ratio 0,77 (interval kepercayaan 95% 0,60 - 0,99)
sampai 1,02 (interval kepercayaan 95% 1,00 - 1,04).1
Pada wanita dengan gejala, untuk memprediksikan terjadinya persalinan
preterm sebelum usia gestasi 37 minggu, pengukuran estriol saliva
memiliki positive likelihood ratio 2,31 (interval kepercayaan 95% 1,64 -
3,24) dan negative likelihood ratio 0,40 (interval kepercayaan 95% 0,20 -
0,79).1
5. Diskusi
a. Jenis-jenis prediksi persalinan preterm Keseluruhan pembahasan mengenai prediksi preterm diringkas dalam
tabel di bawah ini:
Tabel 8 Sensitivitas, spesifisitas, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio, NPP, dan
NPN alat prediksi preterm secara klinis
Hal yang dinilai Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)
Positive likelihood
ratio
Negative likelihood ratio
NPP
(%)
NPN (%)
Pewarnaan Gram
97 95
Gejala klinis infeksi
62 66
Skoring faktor risiko
< 25-50 20-40
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
39
Kontraksi uterus 9
(22-24 minggu)
25
(22-24 minggu)
28
(27-28 minggu)
23
(27-28 minggu)
Skrining infeksi vagina
Skoring Nugent 1,77 (asimtomatik, <37 minggu,
tunggal)
0,80 (asimtomatik, <37 minggu,
tunggal)
1,38 (asimtomatik, <37 minggu,
serial)
0,94 (asimtomatik, <37 minggu,
serial)
1,28 (simtomatik, <37 minggu)
0,95 (simtomatik, <37 minggu)
Kriteria Spiegel 1,3 0,85
Kriteria Amsel 0,87 - 1,62 (asimtomatik, <37 minggu)
0,90 - 1,02 (asimtomatik, <37 minggu)
Infeksi periodontal
0,38 - 5,00 0,22 -1,13
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
40
Tabel 9 Sensitivitas, spesifisitas, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio, NPP, dan
NPN alat prediksi preterm dengan parameter biofisik
Hal yang dinilai Sensitivitas (%)
Spesifisitas (%)
Positive likelihood ratio
Negative likelihood ratio
NPP
(%)
NPN
(%)
USG serviks transvaginal
90,5 98 95 96
Cervilenz™ 88 92 99
Panjang serviks <25 mm
52,9
(<32 minggu)
81,2
(<32 minggu)
Nilai Bishop ≥ 4 42,5
(diukur pada usia 28 minggu)
82,5
(diukur pada usia 28 minggu)
9,9
(diukur pada usia 28 minggu)
96,9
(diukur pada usia 28 minggu)
27,6
(diukur pada usia 24 minggu)
90,9
(diukur pada usia 24 minggu)
12,1
(diukur pada usia 24 minggu)
96,5
(diukur pada usia 24 minggu)
Nilai Bishop ≥ 6 15,8
(diukur pada usia 28 minggu)
97,9
(diukur pada usia 28 minggu)
25,6
(diukur pada usia 28 minggu)
96,3
(diukur pada usia 28 minggu)
7,9
(diukur pada usia 24 minggu)
99,4
(diukur pada usia 24 minggu)
38,5
(diukur pada usia 24 minggu)
96,0
(diukur pada usia 24 minggu)
USG serviks transabdominal
USG serviks transperineal
Gerak nafas janin
16,08
(simtomatik, 48 jam setelah pemeriksaan)
0,16 (simtomatik,
48 jam setelah pemeriksaan)
4,00
(7 hari setelah pemeriksaan)
0,67
(7 hari setelah pemeriksaan)
Tabel 10 Sensitivitas, spesifisitas, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio, NPP, dan
NPN alat prediksi biologik
Biomarker Sensitivitas (%) Spesifisitas (%) Positive likelihood
ratio
Negative likelihood
ratio
NPP
(%)
NPN
(%)
IGFBP-1 100
(dipstick)
92
(dipstick)
84
(dipstick)
100
(dipstick)
4,17 (asimtomatik, <37 minggu)
0,21 (asimtomatik, <37 minggu)
Matrix metalloproteinase-9
83 95 71 97
HCG servikovaginal
83,3 (asimtomatik, <34 minggu, >14 mIU/mL)
85,5 (asimtomatik, <34 minggu, >14 mIU/mL)
33,3 (asimtomatik, <34 minggu, >14 mIU/mL)
98,3 (asimtomatik, <34 minggu, >14 mIU/mL)
70
(asimtomatik,
61,8 (asimtomatik,
>4,75 mIU/mL;
40
(asimtomatik,
85 (asimtomatik, >4,75 mIU/mL
Bersambung
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
41
>4,75 mIU/mL; < 37 minggu)
<37 minggu) >4,75 mIU/mL <37 minggu)
<37 minggu)
45,5
(≥30 mIU/mL); 45,5
(≥45 mIU/mL)
83
(≥30 mIU/mL): 91,2
(≥45 mIU/mL)
95
(≥30mIU/mL); 95,4
(≥45 mIU/mL)
Fibronektin fetal 22,9
(≤37 minggu)
94,5
(≤37 minggu)
50,0
(≤37 minggu)
83,6
(≤37 minggu)
66,7
(≤ 7 hari setelah pemeriksaan
91,8
(≤ 7 hari setelah pemeriksaan
9,1
(≤ 7 hari setelah pemeriksaan
99,6
(≤ 7 hari setelah
pemeriksaan
3,3 (simtomatik)
0,5 (simtomatik)
2,9 (asimtomatik)
0,5 (asimtomatik)
CRP 54 81 2,8 74 64
Interleukin-6 cairan amnion
2,65 - 2,95 (asimtomatik, <34 minggu)
0,84 - 0,91 (asimtomatik, <34 minggu)
1,91 (asimtomatik, <37 minggu)
0,95 (asimtomatik, <37 minggu)
2,43 -7,01 (simtomatik,
7-10 hari setelah
pemeriksaan)
0,17 - 0,24 (simtomatik,
7-10 hari setelah
pemeriksaan)
7,44 (simtomatik, <34 minggu)
0,14 (simtomatik, <34 minggu)
4,92 - 28,62 (simtomatik, <37 minggu)
0,05 - 0,66 (simtomatik, <37 minggu)
Interleukin-8 serviks 2,23 (asimtomatik, <34 minggu)
0,69 (asimtomatik, <34 minggu)
1,38 - 2,75 (asimtomatik, <37 minggu)
0,68 - 0,91 (asimtomatik, <37 minggu)
Serum relaksin 1,6 (asimtomatik, <34 minggu);
0,84 (asimtomatik, <34 minggu);
1,21 (asimtomatik, <37 minggu)
0,74 (asimtomatik, <37 minggu)
1,48 (simtomatik, <34 minggu)
0,861 (simtomatik, <34 minggu)
0,80 (simtomatik, <37 minggu)
1,07 (simtomatik, <37 minggu)
Estriol (saliva) 2,55 (asimtomatik, <37 minggu)
0,56 (asimtomatik, <37 minggu)
2,31 (simtomatik, <37 minggu)
0,40 (simtomatik, <37 minggu)
Estriol (serum) 0,76-2,17 (asimtomatik, <37 minggu)
0,77-1,02 (asimtomatik, <37 minggu)
CRH 3,36 0,35
Bersambung
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
42
(asimtomatik, <34 minggu)
(asimtomatik, <34 minggu)
1,43 - 25,74 (asimtomatik, <37 minggu)
0,81 - 0,89 (asimtomatik, <37 minggu)
3,12 (simtomatik,
10 hari setelah
pemeriksaan)
0,63 (simtomatik,
10 hari setelah
pemeriksaan)
3,12 (simtomatik, <37 minggu)
0,68 (simtomatik, <37 minggu)
AFP serum 3,03 - 4,99 (asimtomatik, <34 minggu)
0,14 - 0,95 (asimtomatik, <34 minggu)
U. urealyticum cairan amnion
21
(simtomatik, kombinasi
dengan deteksi mikroba lain)
13 (simtomatik, kombinasi
dengan deteksi
mikroba lain)
35
(simtomatik, Swedia, < 34
minggu)
7
(simtomatik, Swedia, < 34
minggu)
88
(asimtomatik)
10 (asimtomatik)
b. Analisis ekonomi Telah disebutkan sebelumnya bahwa prematuritas merupakan penyebab
utama mortalitas dan morbiditas neonatus. Prematuritas berkaitan dengan
morbiditas serta cacat pada anak,dan hampir seluruh kasus gangguan
perkembangan neurologis. Selain itu, prematuritas dan bayi berat lahir
rendah juga berkaitan dengan kelainan kronik jangka panjang seperti
hipertensi dan dislipidemia. Tingkat kelahiran preterm, kelahiran yang
terjadi sebelum lengkap usia gestasi 37 minggu, di Amerika Serikat sekitar
12,3% dari keseluruhan 4 juta kelahiran setiap tahunnya, dan merupakan
tingkat kelahiran preterm tertinggi di antara negara industri.1 Dalam kajian
ini, konversi mata uang menggunakan kurs US$1 senilai Rp 9.500 dan
UK£1 senilai Rp 15.000 (per Februari 2010).
Pada tahun 2001, di Amerika Serikat diketahui terdapat 384.200 bayi baru
lahir yang didiagnosis sebagai bayi prematur/BBLR. Biaya perawatan bayi
prematur/BBLR di rumah sakit secara keseluruhan mencapai US$ 5,8
miliar (sekitar Rp 55,100 triliun), mewakili 47% dari biaya perawatan
seluruh bayi baru lahir dan mencakup 27% dari keseluruhan perawatan
inap kasus pediatri. Bayi prematur/BBLR rata-rata membutuhkan biaya
perawatan sekitar US$ 15.100 (sekitar Rp 143.450.000) dan lama
perawatan 12,9 hari sementara bayi baru lahir tanpa komplikasi
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
43
membutuhkan biaya US$ 600 (sekitar Rp 5.700.000) dan lama perawatan
1,9 hari.2
Biaya perawatan akan semakin membengkak pada bayi baru lahir sangat
prematur (usia gestasi < 28 minggu/berat lahir < 1.000 g), yaitu sekitar US$
65.600 (sekitar Rp 623.200.000) dan pada bayi dengan komplikasi saluran
pernafasan spesifik. Meskipun begitu, 2/3 dari jumlah keseluruhan biaya
perawatan bayi preterm/BBLR merupakan biaya perawatan untuk bayi
yang tidak terlalu preterm.2
Bayi preterm maupun BBLR membutuhkan perawatan di dalam inkubator
dalam perawatannya di rumah sakit. Di negara berkembang, biaya untuk
perawatan bayi BBLR (berat 1.000 gram) dengan menggunakan inkubator
adalah sebesar US$ 800 (sekitar Rp 7.600.000) per hari. Di Bogota, biaya
untuk perawatan bayi BBLR (berat 1.000 gram) dengan menggunakan
inkubator adalah sebesar US$ 89 (sekitar Rp 845.500) per hari.74
Tidak hanya pada saat lahir saja, bayi preterm tentunya akan mengalami
komplikasi jangka panjang. Komplikasi tersebut dapat berupa gangguan
perkembangan dan neurologis, disabilitas motorik dan sensorik, kesulitan
dalam belajar, serta masalah sosial.2,75
Penelitian di Inggris dan Wales menunjukkan pengeluaran untuk bayi
preterm di sektor publik pada tahun 2006 mencapai UK£2,946 miliar (US$
4,567 miliar atau Rp 44,190 triliun) dan terdapat hubungan perbandingan
terbalik antara usia gestasi dengan peningkatan biaya yang dibutuhkan.
Artinya, semakin preterm suatu bayi dilahirkan, makin tinggi pula biaya
yang dibutuhkan untuk proses tumbuh kembangnya. Bila dibandingkan
dengan bayi cukup bulan, peningkatan biaya yang dibutuhkan oleh bayi
preterm agar bisa tumbuh hingga usia 18 tahun diperkirakan sebesar
UK£22.885 (US$35.471 atau sekitar Rp 343.275.000). Untuk bayi very
preterm (28-31 minggu), peningkatan biaya yang dibutuhkan lebih tinggi,
yaitu sekitar UK£61.781 (US$95.760 atau sekitar Rp 926.715.000) dan
untuk extremely preterm (< 28 minggu) dibutuhkan UK£94.740
(US$146.847 atau sekitar Rp 1.421.100.000).75
Komponen biaya tersebut meliputi:75
1. Perawatan inap di rumah sakit
2. Perawatan jalan
3. Perawatan kesehatan dan sosial
4. Edukasi
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
44
Penelitian oleh US Institute of Medicine tahun 2005 menunjukkan beban
ekonomi keseluruhan setiap tahunnya akibat kelahiran preterm mencapai
US$ 26,2 miliar (sekitar Rp 248,900 triliun) atau US$ 51.600 (sekitar Rp
490.200.000) untuk tiap bayi preterm yang lahir. Dua pertiga dari jumlah
tersebut merupakan biaya untuk pelayanan medis, mencapai US$ 16,9
miliar (sekitar Rp 160,550 triliun). Biaya persalinan mencapai US$ 1,9
miliar (sekitar Rp 18,050 triliun) atau US$ 3.800 (sekitar Rp 36.100.000)
perbayi prematur. Intervensi dini terhadap bayi prematur mencapai US$
611 juta (sekitar Rp 5,8045 miliar) atau sekitar US$ 1.200 (sekitar Rp
11.400.000) untuk tiap bayi prematur). Pendidikan khusus yang berkaitan
dengan disabilitas terutama cerebral palsy, retardasi mendal, gangguan
penglihatan dan pendengaran menambah beban US$ 1,1 miliar (sekitar Rp
10,450 triliun) atau US$ 2.200 (sekitar Rp 20.900.000) perbayi prematur.
Hilangnya produktivitas kerja berkaitan dengan disabilitas tersebut
berkontribusi sebesar US$ 5,7 miliar (sekitar Rp 54,150 triliun) atau US$
11.200 (sekitar Rp 106.400.000) perbayi prematur.14
Penelitian Petrou dkk76 (2006) tentang beban ekonomi akibat kelahiran
bayi extremely preterm selama periode 12 bulan setelah lahir dalam tabel
di bawah ini:
Tabel 11 Estimasi biaya akibat persalinan preterm (modifikasi dari Petrou et al)76
No Komponen biaya Biaya yang dikeluarkan
(UK£) (Rp)
1. Biaya rawat inap di rumah sakit 605 9.075.000
2. Biaya rawat jalan 255 3.825.000
3. Biaya layanan sosial dan komunitas
422 6.330.000
4. Biaya obat 10 150.000
5. Biaya pendidikan 7.620 114.300.000
6. Pengeluaran tambahan keluarga 573 8.595.000
7. Biaya tidak langsung 56 840.000
Total 9.541 143.115.000
Tabel 12 Rerata kebutuhan biaya perawatan setiap tahunnya (modifikasi dari National
Academy Press)14
Usia
gestasi
(minggu)
Rerata kebutuhan biaya perawatan/pengobatan tahunan (dolar AS)
Tahun pertama Tahun kedua Tahun ketiga-empat Tahun kelima-ketujuh
Rawat RawaTotal
Rawa RawaTotal
Rawa RawaTotal
Rawat Rawat Total
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
45
inap t jalan t inap t jalan t inap t jalan inap jalan
< 28 181.11
1
9.356 190.46
7
2.893 9.279 12.17
2
691 4.254 4.944 123 995 1.119
28-31 85.171 9.614 94.785 3.519 4.196 7.715 766 1.767 2.534 76 414 490
32-36 10.855 2.766 13.621 344 1.392 1.736 123 690 814 66 557 643
37-40
(term)
1.895 1.430 3.325 266 1.062 1.328 129 532 661 64 407 471
Kebutuhan biaya perawatan pertahunnya, sesuai usia gestasi, baik untuk
rawat inap maupun rawat jalan disajikan dalam tabel 12. Biaya akibat
tingkat morbiditas tersebut dapat dikurangi dengan pencegahan persalinan
preterm, seperti prediksi dini dan akurat, intervensi untuk menghilangkan
faktor risiko serta menunda terjadinya persalinan dengan pemberian
tokolitik, kortikosteroid untuk pematangan paru janin, dan antibiotik
profilaksis.1,3
Sayangnya, semua hasil penelitian mengenai prediksi preterm, baik secara
klinis atau dengan menggunakan parameter fisik dan biologik, hanya dapat
memprediksikan terjadinya persalinan preterm tujuh hari setelah
pemeriksaan hingga maksimal sebelum usia gestasi 37 minggu. Artinya,
dengan metode prediksi bagaimana pun, persalinan yang terjadi tetap
preterm. Namun, dengan telah diprediksikannya suatu persalinan preterm,
dokter dapat langsung melakukan intervensi dan tata laksana secara dini
sehingga bayi prematur yang dilahirkan lebih baik.
Intervensi yang dapat dilakukan pada ibu hamil yang telah diprediksikan
akan mengalami persalinan preterm adalah dengan menunda terjadinya
persalinan selama mungkin sehingga dimungkinkan untuk dilakukan
intervensi untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas neonatal. Antibiotik
juga dapat diberikan untuk mencegah infeksi neonatal. Pemberian steroid
antenatal mengurangi morbiditas neonatal seperti distres pernafasan,
perdarahan intraventrikel, enterokolitis nekrotikans, dan duktus arteriosus
paten.3
Gilbert dkk77 (2003) meneliti tentang kuantifikasi persalinan preterm ditinjau
dari sisi usia kelahiran dan berat lahir. Hasilnya adalah kejadian sindrom
distres pernafasan, kebutuhan bantuan ventilasi, lama rawat dan biaya
rawat perkasus berkurang secara eksponensial terhadap peningkatan usia
gestasi dan berat lahir. Contohnya, untuk bayi yang lahir pada usia gestasi
25 minggu, biaya rerata perkasus adalah US$202.700 (sekitar Rp
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
46
1.925.650.000) sementara untuk bayi yang lahir pada usia gestasi 36
minggu dan 38 minggu, rerata biaya perkasus adalah US$2.600 (Rp
24.700.000) dan US$1.100 (sekitar Rp 10.450.000). Lebih lengkapnya
dapat dilihat dalam tabel 13.
Tabel 13 Biaya perawatan bayi dan ibu sesuai usia gestasi (modifikasi dari Gilbert et al)77
Usia
gestasi
(minggu
)
Jumlah
kasus
Lama rawat
neonatal (hari)
Biaya rawat
neonatal
RD
S
(%)
Venti
-lasi
(%)
SC
(%)
Nonnor-
mal
DRG
(%)
Lama rawat ibu
(hari) Biaya rawat ibu
Rerata Media
n
Perkasu
s (dalam
US$
ribuan)
Total
(dala
m
US$
juta)
Rerat
a Median
Perkasus
(dalam
US$
ribuan)*
Total
(dalam
US$
ribuan)
*
25 192 92,0 87 202,7 38,9 82,3 89,6 43,2 97,9 6,3 5 7,5 1.441
26 251 75,9 75 146,6 36,8 70,9 81,7 49,4 100,0 6,9 5 7,8 1.958
27 328 66,8 66 119,6 39,2 69,8 71,3 47,3 99,7 7,0 4 8,1 2.648
28 402 52,3 51 86,2 34,7 58,5 62,2 50,7 97,3 7,4 4 9,5 3.835
29 585 39,5 40 62,6 36,6 48,7 45,8 41,9 93,2 6,1 4 6,9 4.007
30 797 30,4 29 46,4 37,0 38,4 41,2 43,0 88,6 6,1 3 7,2 5.713
31 1.194 21,5 18 29,8 35,5 31,2 27,3 39,1 81,7 5,2 3 6,2 7.461
32 1.921 14,8 9 18,9 36,3 18,3 16,0 33,9 72,8 4,4 3 5,2 9.936
33 3.172 9,0 3 11,0 34,7 13,0 9,5 29,6 63,6 4,0 2 4,5 14.389
34 5.788 5,9 2 7,2 41,4 7,4 6,3 24,6 57,0 3,3 2 3,8 22.082
35 9.898 3,9 2 4,2 41,1 4,5 3,6 23,8 51,3 3,2 2 3,4 34.075
36 16.609 2,8 1 2,6 42,8 2,3 2,3 22,1 42,2 2,5 2 3,1 51.259
37 34.477 2,2 1 1,7 52,8 1,2 1,3 21,2 29,7 2,1 2 2,7 93.048
38 71.610 1,8 1 1,1 81,7 0,6 0,7 20,4 23,6 1,9 2 2,5 175.91
6
RDS: respiratory distress syndrome
SC: section caesarian delivery
DRG: diagnosis-related group
*)meliputi perawatan prenatal, persalinan dan kemungkinan perawatan di unit lain hingga
ibu dibolehkan pulang
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
47
Tujuan dari penatalaksanaan persalinan preterm dengan modalitas apapun
adalah mendapatkan perpanjangan usia gestasi yang aman sehingga janin
akan mendapatkan manfaat dari pemberian kortikosteroid dan
bertambahnya usia gestasi. Keberhasilan terapi bukan dengan mencapai
usia cukup bulan namun mampu mengetahui siapa yang benar-benar
dalam risiko, apakah janin atau ibunya, serta mampu menatalaksana
hingga mencapai usia gestasi yang aman, kapan pun itu. Manfaat lain dari
intervensi ini adalah berkurangnya biaya perawatan, baik pada saat di
NICU maupun pada saat jangka panjang. Biaya untuk intervensi awal untuk
mencegah terjadinya persalinan preterm lebih rendah dibandingkan biaya
perawatan di NICU dan perawatan jangka panjang lainnya. Oleh karena itu,
evaluasi mengenai efektivitas intervensi terhadap persalinan preterm bukan
pada lamanya usia gestasi yang didapatkan tapi hari atau minggu usia
gestasi yang dicapai dan berkurangnya morbiditas dan mortalitas serta
biaya perawatan.78
Dengan ditundanya persalinan preterm hingga menunggu usia gestasi
yang aman untuk dilahirkan, meskipun belum mencapai 37 minggu
lengkap, dan dengan dilakukannya pematangan paru, diharapkan
morbiditas dan mortalitas neonatal semakin berkurang sehingga biaya dan
lama perawatan di rumah sakit juga lebih berkurang bila dibandingkan
dengan bayi yang dilahirkan preterm.
Tabel 14 Kebutuhan biaya prediksi preterm yang direkomendasikan
No Prediksi Biaya (Rp) Sensitivitas (%)
Spesifisitas (%)
Nilai Prediksi Positif (%)
Nilai Prediksi Negatif (%)
1. IGFBP-1 200.000 100 92 84 100
2.
Skrining infeksi vagina (termasuk deteksi infeksi dengan pewarnaan Gram)
50.000 97 95
3. USG transvaginal
60.000 – 100.000
90,5 98 95 96
4. Fibronektin fetal 850.000
66,7
(≤ 7 hari setelah
pemeriksaan)
91,8
(≤ 7 hari setelah
pemeriksaan)
9,1
(≤ 7 hari setelah
pemeriksaan)
99,6
(≤ 7 hari setelah
pemeriksaan)
5. Skoring faktor risiko
50.000 < 25-50 20-40
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
48
Tabel 15 Kebutuhan biaya prediksi preterm yang lainnya yang dapat digunakan
No Prediksi Preterm Harga Sensitivitas (%)
Spesifisitas (%)
Nilai Prediksi Positif (%)
Nilai Prediksi Negatif (%)
1. Highly Sensitive
CRP 150.000
54 81 74 64
2. Interleukin-8 serviks
120.000-160.000
(data tidak ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
3. Interleukin-6 amnion
120.000-160.000
(data tidak ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
3. Matrix metalloprotease-9
120.000-160.000 83 95 71 97
4. Relaksin serum 130.000-170.000
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
5. Estriol (saliva) 81.000-100.000
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
6. Estriol (serum) 70.000-90.000
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
7. CRH 120.000-160.000
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
8. HCG servikovagina
130.000-170.000
83,3 (asimtomatik, <34 minggu, >14 mIU/mL)
85,5 (asimtomatik, <34 minggu, >14 mIU/mL)
33,3 (asimtomatik, <34 minggu, >14 mIU/mL
98,3 (asimtomatik, <34 minggu, >14 mIU/mL)
9. AFP 175.000 (data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
(data tidak
ditemukan)
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
49
6. Rekomendasi
No Rekomendasi HTA Tingkat
rekomendasi
dan Level of
Evidence
No
Refe-
rensi
1. Persalinan preterm perlu diprediksi dan ditatalaksana untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas neonatal akibat kelahiran preterm. Persalinan preterm dapat
diprediksikan melalui pemeriksaan klinis, pengukuran biofisik, dan pendeteksian
biomarker preterm. Prediksi persalinan preterm perlu dilakukan pada setiap wanita
dengan gejala dan tanda persalinan preterm sesuai kriteria diagnosis.
A
(Ia)
1,3
2. Riwayat persalinan preterm sebelumnya merupakan penanda risiko paling kuat
secara klinis. Riwayat persalinan sebelumnya tersebut dapat digunakan sebagai
skrining terhadap persalinan preterm.
A
(Ib)
13,16,
17
3. Pemeriksaan Gram memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik (97% dan 95%)
dalam mendeteksi adanya infeksi servikovagina pada masa kehamilan sehingga
memungkinkan dilakukan skrining dan intervensi terhadap infeksi servikovagina
untuk mencegah terjadinya persalinan preterm.
A
(Ib)
9,29,
31
4. Bila tidak memungkinkan dilakukan pewarnaan Gram, penilaian klinis adanya
infeksi servikovaginal dapat memprediksikan terjadinya persalinan preterm
C 29
5. USG serviks secara transvaginal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik
(90,5% dan 98%) dalam memprediksikan persalinan preterm. Namun tidak terdapat
bukti yang cukup untuk merekomendasikan skrining rutin terhadap ibu hamil
dengan atau tanpa gejala persalinan preterm dengan menggunakan USG
transvagina.
A
(Ia)
37,48,
49
6. Fibronektin fetal (saja) bukan merupakan prediksi persalinan preterm yang ideal
dan tidak direkomendasikan digunakan dalam praktik oleh karena mahal serta
sensitivitas dan nilai prediksi positif yang rendah. Namun nilai prediksi negatif fFN
yang tinggi dapat menyingkirkan kemungkinan persalinan preterm.
A
(Ia)
54,55,
56
7. Pemeriksaan IGFBP-1 dipstick memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
(100% dan 92%) dalam memprediksikan persalinan preterm
B
(IIb)
63,64
8. Semakin preterm suatu bayi dilahirkan, makin tinggi pula biaya yang dibutuhkan
untuk proses tumbuh kembangnya sehingga penundaan persalinan preterm
(misalnya dengan pemberian tokolitik) dan intervensi terhadap janin (seperti
pematangan paru) akan mengurangi morbiditas akibat lahir terlalu preterm.
B
(IIb)
14,75,
76
9. Biaya dan lama perawatan bayi preterm yang dilahirkan dari persalinan preterm
yang ditunda hingga maksimal 37 minggu lebih sedikit dan singkat dibandingkan
bayi prematur yang dilahirkan dari persalinan preterm yang tidak dilakukan
intervensi.
B
(IIb)
77
10. Persalinan preterm yang terprediksi secara tepat memberikan kesempatan
dilakukannya intervensi untuk menunda terjadinya persalinan dan mematangkan
janin untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas bayi preterm.
A
(Ia)
1,3, 78
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
50
DAFTAR PUSTAKA
1 Honest H, Forbes CA, Duree KH, Norman G, Duffy SB, Tsourapas A, et al. Screening to
prevent spontaneous preterm birth: systematic reviews of accuracy and effectiveness
literature with economic modeling. Health Technology Assessment 2009 Vol.13 No 43. UK
2 Russel RB, Green NS, Steiner CA, Howse JL, Poschman K, Dias T, et al. Cost of
hospitalization for preterm and low birth weight infant in United States. Pediatrics Vol 120 No
1. Juli 2007
3 Iams JD, Romero R, Culhane JF, Goldenberg RL. Primary, secondary, and tertiary
interventions to reduce the morbidity and mortality of preterm birth.Lancet 2008;341:164-75.
4 Von Der Pool BA. Preterm Labor: Diagnosis and treatment. Am Fam Phys.Mei 1998
5 Ross MG, Eden RE. Preterm Labor.Article. Juli 2009.Diunduh dari www.emedicine.com
6 Danelian P, Hall M. The epidemiology of preterm labour and delivery.In: Norman J, Greer I,
editors. Preterm Labour: Managing risk in clinical practice. Cambridge University Press.
USA.2005
7 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar 2007. Jakarta 2008.
8 Departemen Kesehatan RI, 2001. Rencana Strategis Nasional Making Pregnancy Safer di
Indonesia 2001-2010, Jakarta.
9 Guaschino S, De Seta F, Piccoli M, Maso G, Alberico S. Aetiology of preterm labour:
bacterial vaginosis. Br J Obstet Gynecol. 2006;113 Suppl 3:46-51.
10 Mercer BM, Goldenberg RL, Meis PJ, Moawad AH, Shellhaas C, Das A, et al. The
Preterm Prediction Study: prediction of preterm premature rupture of membranes through
clinical findings and ancillary testing. The National Institute of Child Health and Human
Development Maternal-Fetal Medicine Units Network. Am J Obstet Gynecol
2000;183(3):738-45
11 Dizon-Townson DS. Preterm labour and delivery: a genetic predisposition. Paediatr
Perinat Epidemiol 2001;15 Suppl 2:57-62
12 Papatsonis DNM. Prepregnancy counseling: preterm birth. International Congress Series
2005;1279:251-270
13 Goldenberg RL, Iams JD, Mercer BM, Meis PJ, Moawad AH, Copper RL, et al. Preterm
prediction study: the value of new vs standard risk factor in predicting early and all
spontaneous preterm labor. Am J Public Health. February 1998;88: 233-8
14 Institute of Medicine. Preterm birth: causes, consequences, and prevention. National
Academy of Sciences.Washington DC: National Academic Press: Washington DC. 2007.
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
51
15 Leitich H. Secondary predictors of preterm labour. Br J Obstet Gynecol. 2005; 112: Supp
1. pp 48-50
16 Goffinet F. Primary predictors of preterm labour. Br J Obstet Gynecol 2005;112 Suppl
1:38-47.
17 Chandraharan E, Arulkumaran S. Recent advances in management of preterm labor. J
Obstet Gynecol India Vol. 55, No. 2 : March/April 2005 Pg 118- 124
18 Wilcox JA, Skjaerven R, Lie RT. Familial pattern of preterm delivery: maternal and fetal
contribution. Am J Epidemiol 2008;167:474–479
19 Di Renzo GC, Roura LC, et al. Guidelines for the management of spontaneous preterm
labour. Archives of perinatal medicine 13 (4) 2007.p 29-35.
20 Iams JD, Newman RB, Thom EA, Goldenberg RL, Mueller-Huebach E, Moawad A, et al.
Frequency of uterine contractions and the risk of spontaneous preterm delivery. N Engl J
Med 2002;346:250-5
21 Newman RB, Goldenberg RL, Iams JD, Meis PJ, Mercer BM, Moawad AH, et al. Preterm
prediction study: comparison of the cervical score and Bishop score for prediction of
spontaneous preterm delivery. American College of Obstetricians and Gynecologists, Vol.
112 No 3. September 2008
22 Pararas MV, Skevaki CL, Kafetzis DA. Preterm birth due to maternal infection: Causative
pathogens and modes of prevention. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 2006;25(9):562-9.
23 Bobitt JR, Ledger WJ. Unrecognized amnionitis and prematurity: a preliminary report. J
Reprod Med 1977;19(1):8-12.
24 Karat C, Madhivanan P, Krupp K, Poornima S, Jayanthi NV, Suguna JS, et al. The clinical
and microbiological correlates of premature rupture of membranes. Indian J Med Microbiol
2006;24(4):283-5
25 Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine infection and preterm delivery.
NEJM Vol 342 No 20.May 2000.p 1500-7.
26 Leitich H, Kiss H. Asymptomatic bacterial vaginosis and intermediate flora as risk factors
for adverse pregnancy outcome. Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol 2007;21(3):375-90
27 Riduan JM, Hillier SL, Utomo B, Wiknjosastro G, Linnan M, Kandun N. Bacterial vaginosis
and prematurity in Indonesia: association in early and late pregnancy. Am J Obstet Gynecol
1993;169(1):175-8
28 Spiegel CA, Amsel R, Holmes KK. Diagnosis of bacterial vaginosis by direct gram stain of
vaginal fluid. J Clin Microbiol 1983;18(1):170-7
29 Wang J. Bacterial vaginosis. Prim Care Update Ob Gyns 2000;7(5):181-185
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
52
30 Br J Obstet Gynecol Review. The accuracy of various tests for bacterial vaginosis in
predicting preterm: a systematic review. Br J Obstet Gynaecol 2004 Vol 111. P 409-22.
31 Kiss H, Petricevic L, Husslein P. Prospective randomized controlled clinical trial of an
infection screening programme to reduce the rate of preterm delivery. BMJ Agustus 2004.
32 Offenbacher S, Katz V, Fertick G, Collins J, Maynor G, McKaig R (1996). Periodontal
infection as a possible risk factor for preterm low birth weight. J Periodontol 67:1103-1113.
33 Iams JD, Goldenberg RL, Meis PJ, Mercer BM, Moawad A, Das A, et al. The length of
cervix and the risk of spontaneous premature delivery. NEJM February 1996 Vol 334 No 9.
P 567-72.
34 Van den Hof M, Crane J. Ultrasound cervical assessment in predicting preterm birth.
SOGC Clinical guidelines No 102 May 2001.
35 Gamze C, Çigdem S, Senol K, Filiz A. Evaluation of the length of the cervix by
transvaginal and transabdominal ultrasonography in the second trimester. J Obstet Gynecol
India Vol. 55, No. 4 : July/August 2005
36 Kore SJ 1, Parikh MP 2, Lakhotia S 2, Kulkarni V 3, Ambiye VR. Prediction of risk of
preterm delivery by cervical assessment by transvaginal ultrasonography . J Obstet Gynecol
India Vol. 59, No. 2 : March/April 2009
37 Novaes CEF, Koch HA, Montenegro CAB, Filho JFR. Preterm labor diagnosis by
sonographic measurement of the uterine cervical length. Radiol Bras. 2009
Set/Out;42(5):295–298
38 Salomon L J, Diaz-Garcia C, Bernard JP , Ville Y. Reference range for cervical length
throughout pregnancy non-parametric LMS-based model applied to a large sample.
Ultrasound Obstet Gynecol 2009; 33: 459–464
39 Conocenti G, Meir YJ, D;Ottavio G, Rustico MA, Pinzano R, Fischer-Tamaro L, Stampalija
T, Natale R, Maso G, Mandruzzato G. Does cervical length at 13-15 weeks gestation predict
preterm delivery in an selected population? Ultrasound Obstet Gynecol 2003; 21: 128 – 134
40 Pardo J, Yogev Y, Ben-Haroush A, Peled Y, Kaplan B, Hod M. Cervical length evaluation
by transvaginal sonography in nongravid women with a history of preterm delivery.
Ultrasound Obstet Gynecol 2003; 21: 464–466
41 Palacio M, Sanin-blair J, S’Anchez M, Crispi F, G’omez O, Carreras E, Coll O, Cararach
V, Gratac E . The use of a variable cut-off value of cervical length in women admitted for
preterm labor before and after 32 weeks. Ultrasound Obstet Gynecol 2007; 29: 421–426
42 Health V.C. F., Southall TR, Souka, AP , Elisseouand A , Nicolaides KH. Cervical length
at 23 weeksof gestation: prediction of spontaneous preterm delivery. Ultrasound Obstet
Gynecol 1998;12:312–317
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
53
43 Crane JMG , Hutchens D. Use of transvaginal ultrasonography to predict preterm birth in
women with a history of preterm birth. Ultrasound Obstet Gynecol 2008; 32: 640–645
44 Crane JMG, Hutchen D. Transvaginal sonographic measurement of cervical length to
predict preterm birth in asymptomatic women at increased risk: a systematic review.
Ultrasound Obstet Gynecol 2008; 31: 579 – 587
45 Sotiriadis A, Papatheodorou S, Kavvadias A , Makrydimas G. Transvaginal cervical
length measurement for prediction of preterm birth in women with threatened preterm labor:
a meta-analysis. Ultrasound Obstet Gynecol 2010; 35:54–64
46 Heath VC, Southall TR, Souka AP, Elisseou A, Nicolaides KH. Cervical length at 23 weeks
of gestation: prediction of spontaneous preterm delivery. Ultrasound Obstet Gynecol
1998;12:312-7.
47 Quintero JC, Jeanty P. Cervical incompetence. www.thefetus.net.
48 Holst RM, Jacobsson B, Hagberg H, Wennerholm UB. Cervical length in women in
preterm labour with intact membranes: relationship to intra-amniotic inflammation/microbial
invasion, cervical inflammation and preterm delivery. Ultrasound Obstet Gynecol 2006; 28:
768–774. Abstract
49 Berghella V, Baxter JK, Hendrix NW. Cervical assessment by ultrasound for preventing
preterm delivery (Review). Cochrane Collaboration.2009.
50 Saul LL, Kurtzman JT, Hagemann C, Ghamsary M, Wing DA. Is transabdominal
sonography of the cervix after voiding a reliable method of cervical length assessment? J
Ultrasound Med 2008; 27:1305–1311.
51 CerviLenz. Diunduh dari www.cervilenz.com
52 Burwick RM, Lee GT, Bennedict JL, Gross MG, Kjos SL. Blinded comparison of cervical
portio length measurements by digital examination vs Cervilenz. Am J Obstet Gynecol May
2009. e37-9.
53 Ross MG. Preventing preterm labour: progesterone and cervical length assessment.
Diunduh dari http://www.femalepatient.com/html/arc/sig/view/articles/034_03_038.asp.
Diakses 20 Januari 2010.
54 Vogel I, Thorsen P, Curry A, Sandager P, Uldbjerg N. Biomarkers for the prediction of
preterm delivery. Acta Obstet Gynecol Scand 2005; 84: 516–525
55 Berghella V, Hayes E, Visintine J, Baxter JK Fetal fibronectin testing for reducing the risk
of preterm birth (Review).The Cochrane Collaboration. 2008.p 3 - 6
56 Joffe GM, Jacques D, Bemis-Heys R, Burton R, Skram B, Shelburne P. Impact of the fetal
fibronectin assay on admission for preterm labor. Am J Obstet Gynecol 1999;180:581-6.
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
54
57 Honest H, Bachmann LM, Gupta JK, Kleijnen J, Khan SK. Accuracy of cervicovaginal fetal
fibronectin test in predicting risk of spontaneous preterm birth: systematic review. BMJ
2002;325: 301.
58 Romero R, Avila C, Santhanam U, Sehgal PB. Amniotic fluid interleukin 6 in preterm
labour: association with infection. J Clin Invest Vol 85 May 1990. p 1392-1400.
59 Lohsoonthorn V, Qiu C, Williams MA. Maternal serum c-reactive protein concentration in
early pregnancy and subsequent risk of preterm delivery. Clin Biochem. 2007 March ; 40(5-
6): 330–335
60 Pitiphat W, Gillman MW, Joshipura KJ, Williams PL, Douglass CW, Rich-Edwards JW.
Plasma c-reactive protein in early pregnancy and preterm delivery. Am J Epidemiol
2005;162:1108–1113
61 Hvilsom GB, Thorsen P, Jeune B, Bakketeig LS. C-reactive protein: a serological marker
for preterm delivery? Acta Obstet Gynecol Scand 2002;81(5):424–9. [PubMed: 12027816]
62 Vogel I, Grove J, Thorsen P, Moestrup SK, Uldbjerg N, Moller HJ. Preterm delivery
predicted by soluble CD163 and CRP in women with symptoms of preterm delivery. Br J
Obstet Gynecol Juni 2005 Vol 112. P 737-42.
63 Kekki M. Prediction and prevention of spontaneous preterm birth and peripartum infection
by screening for cervical insulin-like growth factor-binding protein-1 and bacterial vaginosis
in pregnancy. Disertasi. University of Helsinki Finland. September 2002.
64 Akercan F, Cirpan T, Kazandi M, Terek MC, Mgoyi L, Ozkinay E. The value of the insulin-
like growth factor binding protein-1 in the cervical-vaginal secretion detected by
immunochromatographic dipstick test in the prediction of delivery in women with clinically
unconfirmed preterm premature rupture of membrane. European Journal of Obstetrics and
Gynecology and Reproductive Biology Vol 121. 2005. p 159-63.
65 Locksmith GJ, Clark P, Duff P, Schultz GS. Amniotic fluid matrix metalloproteinase-9
levels in women with preterm labour and suspected intra-amniotic infection. Obstetric &
Gynecology Vol 94 No 1.Juli 1999.
66 Fortunato SJ, Menon R, Lombardi SJ. Collagenolytic enzymes (gelatinases) and their
inhibitors in human amniochorionic membrane. Am J Obstet Gynecol 1997;177:731– 41.
67 Tu FF, Goldenberg RL, Tamura T, Drews M, Zucker SJ, Voss HF. Prenatal matrix
metalloproteinase-9 levels to predict spontaneous preterm birth. Obstet Gynecol
1998;92:446 –9.
68 Soto E, Espinoza J, Nien JK, Kusanovic JP, Erez O, Richani K, et al. Human β-defensin-2:
A natural antimicrobial peptide present in amniotic fluid participates in the host response to
microbial invasion of the amniotic cavity. The Journal of Maternal-Fetal and Neonatal
Medicine, January 2007; 20(1): 15–22.
HTA Indonesia_2010_Prediksi Persalinan Preterm
55
69 Mitsunari M, Yoshida S, Deura I, Horie S, Tsukihara S, Harada T, et al. Cervical
Ureaplasma urealyticum colonization might be associated with increased incidence of
preterm delivery in pregnant women without prophlogistic microorganisms on routine
examination. J. Obstet. Gynaecol. Res. Vol. 31, No. 1: 16–21, February 2005
70 Gerber S, Vial Y, Hohfeld P, Witkin SS. Detection of Ureaplasma urealyticum in Second-
Trimester Amniotic Fluid by Polymerase Chain Reaction Correlates with Subsequent
Preterm Labor and Delivery. The Journal of Infectious Diseases 2003; 187:518–21
71 Abasalizadeh S, Abasalizadeh F, Sahaf F. Cervicovaginal β-HCG test in prediction of
spontaneous preterm delivery among normal pregnant women. Res J Biol Sci 2(6).2007.p
630-3.
72 Adhikari K, Bagga R, Suri , Arora S, Masih S. Cervicovaginal HCG and cervical length for
prediction of preterm delivery in asymptomatic women at high risk for preterm delivery. Arch
Gynecol Obstet. 2009 Oct;280(4):565-72
73 Erickson K, Thorsen P, Chrousos G, Grigoriadis DE, Khongsaly O, McGregor J, et al.
Preterm birth: associatied neuroendocrine, medical, and behavioral risk factors. J Clin
Endocrinol Metab 86: 2544–2552. 2001.
74 Kangaroo Mother Care. Diunduh dari http://www.bndes.gov.br/english/
studies/KangarooMother.pdf. 2008.
75 Mangham LJ, Petrou S, Doyle LW, Draper ES, Marlow N. The cost of preterm birth
throughout childhood in England and Wales. Pediatrics. 2009; Vol 123 No 2. p e312-27.
76 Petrou S, Henderson J, Bracewell M, Hockley C, Wolke D, Marlow N. Pushing the
boundaries of viability: the economic impact of extreme preterm birth. Early Human
Development (2006) 82, 77—84.
77 Gilbert WM, Nesbitt TS, Danielsen B. The cost of prematurity: quantification by gestational
age and birth weight. Obstet Gynecol 2003;102:488 –92.
78 Hole JW, Tressler TB. Management of preterm labor. JAOA Vol. 101 No. 2. February
2001.