analisis_faktor_depsos

38
ANALISIS FAKTOR PEMBENTUK KINERJA PEKERJA SOSIAL DAN HAMBATANNYA Ujang T. Hidayat Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan faktor-faktor pembentuk kinerja pekerja sosial serta faktor-faktor penghambat perolehan angka kredit jabatan pekerja sosial. Responden dalam penelitian ini adalah para pekerja sosial yang bertugas di panti-panti sosial pemerintah di Provinsi Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Hasil analisis faktor terungkap bahwa terdapat empat faktor pembentuk kinerja pekerja sosial, yaitu : 1) faktor “tidak langsung – pengembangan”; 2) faktor “langsung – pelayanan rehabilitatif”; 3) faktor “langsung – pengembangan”, dan; faktor “tidak langsung – penunjang”. Hasil lain dari penelitian ini menunjukkan pula bahwa terdapat tiga faktor yang paling menghambat perolehan angka kredit jabatan pekerja sosial, yaitu : 1) kurangnya pendidikan dan pelatihan bagi pekerja sosial panti; 2) fasilitas kerja seperti ATK, biaya operasional, alat transportasi dan lain-lain kurang memadai; 3) tidak semua bentuk kegiatan pekerja sosial dapat dinilai sebagai angka kredit. Kata kunci : analisis faktor, faktor penghambat, angka kredit, pekerja sosial I. I. PENDAHULUAN Dalam konteks pelayanan sosial yang lebih luas, terdapat beberapa kelemahan internal yang terjadi pada profesi pekerjaan sosial. Soetarso (2000) menjelaskan bahwa beberapa kesalahan tersebut diantaranya adalah orientasi yang berlebihan pada masalah, misalnya dalam bentuk penggunaan

Upload: alparselan

Post on 23-Nov-2015

13 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

11007-10-141431994016

TRANSCRIPT

ANALISIS FAKTOR PEMBENTUK KINERJA PEKERJA SOSIAL DAN HAMBATANNYA

ANALISIS FAKTOR PEMBENTUK KINERJA PEKERJA SOSIAL DAN HAMBATANNYA

Ujang T. Hidayat

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan faktor-faktor pembentuk kinerja pekerja sosial serta faktor-faktor penghambat perolehan angka kredit jabatan pekerja sosial. Responden dalam penelitian ini adalah para pekerja sosial yang bertugas di panti-panti sosial pemerintah di Provinsi Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Tengah.

Hasil analisis faktor terungkap bahwa terdapat empat faktor pembentuk kinerja pekerja sosial, yaitu : 1) faktor tidak langsung pengembangan; 2) faktor langsung pelayanan rehabilitatif; 3) faktor langsung pengembangan, dan; faktor tidak langsung penunjang. Hasil lain dari penelitian ini menunjukkan pula bahwa terdapat tiga faktor yang paling menghambat perolehan angka kredit jabatan pekerja sosial, yaitu : 1) kurangnya pendidikan dan pelatihan bagi pekerja sosial panti; 2) fasilitas kerja seperti ATK, biaya operasional, alat transportasi dan lain-lain kurang memadai; 3) tidak semua bentuk kegiatan pekerja sosial dapat dinilai sebagai angka kredit.

Kata kunci:analisis faktor, faktor penghambat, angka kredit, pekerja sosial

I. I. PENDAHULUAN

Dalam konteks pelayanan sosial yang lebih luas, terdapat beberapa kelemahan internal yang terjadi pada profesi pekerjaan sosial. Soetarso (2000) menjelaskan bahwa beberapa kesalahan tersebut diantaranya adalah orientasi yang berlebihan pada masalah, misalnya dalam bentuk penggunaan istilah identifikasi masalah, analisis atau pengkajian masalah dan pemecahan masalah. Orientasi yang berlebihan terhadap masalah ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) orientasi pelayanan sosial berdasarkan literatur Barat yaitu penanganan lebih bersifat klinis daripada penanganan secara struktural; 2) keterbatasan kemampuan para dosen dan widyaiswara pekerjaan sosial untuk mencermati kondisi objektif Bangsa Indonesia, termasuk dalam hal ini peraturan perundang-undangan, kegiatan, masalah dan kecenderungan dalam pembangunan bidang kesejahteraan sosial; 3) kekurangmampuan mengkaji in-efektivitas karena keterbatasan pengalaman praktis.

Penilaian kinerja pekerja sosial hingga saat ini masih bertumpu pada Kepmenpan Nomor 45/Menpan/1988. Setelah sekian lama menjadi mainstream pengukuran kinerja pekerja sosial maka hampir dapat dipastikan setiap pekerja sosial mengenali seluruh butir kegiatan yang menjadi bidang tugasnya. Secara umum, butir-butir kegiatan menurut Kepmenpan Nomor 45/Menpan/1988 sebagai kriteria kinerja pekerja sosial terbagi ke dalam lima unsur; yaitu : pendidikan; pelayanan kesejahteraan sosial; pembinaan dan pengembangan kesejahteraan sosial; pengembangan profesi pekerjaan sosial; pengabdian masyarakat, dan; pendukung pekerja sosial. Kelima unsur tersebut memuat sebanyak 146 item atau butir kegiatan. Dari sekian banyak butir ini sebetulnya dapat dijadikan dasar untuk mengungkap general factor dan specific factor pembentuk kinerja pekerja sosial.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Dunn-Rankin (1983) yang menyatakan bahwa jika sebuah instrumen memuat sejumlah butir yang besar, maka sangat dimungkinkan instrumen tersebut memiliki lebih dari satu skala unidimensional. Untuk kasus-kasus seperti ini dapat digunakan metode multidimensional, yaitu analisis faktor. Fructher (1954) berpendapat bahwa analisis faktor digunakan untuk memperkecil jumlah kategori dasar yang pada awalnya jumlah tersebut terlalu besar. Artinya, sejumlah besar ukuran dapat dijelaskan dengan variabel yang jumlahnya lebih sedikit.

Dalam psikologi personel, analisis faktor dalam dunia kerja bertujuan untuk menyusun job families, yaitu mengelompokkan beberapa tugas pekerjaan ke dalam faktor-faktor tertentu. Minner (1992) menyebutkan bahwa analisis faktor dalam pengembangan job families dan job analysis bertujuan untuk mengembangkan pemahaman yang sistematis mengenai bagaimana setiap job itu berhubungan satu sama lain, baik dalam arti tugas-tugas yang diperlukan maupun karakteristik pelaksananya.

Analisis faktor dalam penelitian ini bersifat eksploratif, yaitu untuk melihat sejauhmana butir-butir kegiatan terbentuk dalam faktor-faktor tertentu. Dasar yang digunakan untuk penyusunan faktor ini menggunakan kegiatan pekerja sosial sebagaimana tercantum dalam Kepmenpan Nomor 45/Menpan/1988.

Penelitian yang menggunakan analisis faktor dalam bidang pekerjaan sosial memang dapat dikatakan masih sangat terbatas. Walaupun demikian dapat dicatat bahwa Nassar-McMillan & Borders (1999) pernah melakukan penelitian terhadap tenaga-tenaga volunteer yang bekerja pada lembaga-lembaga pelayanan sosial (social agencies) melalui suatu analisis perilaku kerja (work behavior analysis). Analisis faktorial kedua peneliti tersebut menunjukkan bahwa perilaku kerja para volunteer dicirikan oleh tiga faktor, yaitu: 1) interaksi isu-isu spesifik yang dihadapi; 2) tugas-tugas struktural dan administratif; 3) interaksi komunikasi tertentu. Pada sisi lain, penelitian ini bertujuan sama yaitu hendak mengungkap faktor-faktor pembentuk perilaku kerja pekerja sosial dalam konteks pekerjaan sosial di Indonesia. Karena berbagai keterbatasan, penelitian ini hanya menggunakan para pekerja sosial yang bertugas di panti-panti sosial pemerintah sebagai sampel.

Faktor penghambat kinerja pekerja sosial, lebih tepatnya faktor penghambat peroleh angka kredit, turut pula dibahas dalam penelitian ini. Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak dilakukan analisis faktor sebagaimana uraian di atas dalam mengkaji faktor pembentuk kinerja pekerja sosial. Jenis dan kualitas faktor penghambat akan lebih valid jika diungkapkan langsung oleh para pekerja sosial. Setelah proses identifikasi faktor penghambat dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah mengurutkan seluruh faktor penghambat tersebut ke dalam suatu garis kontinum. Dengan demikian, jenis dan kualitas faktor penghambat terintegrasi dalam satu analisis. Metode penskalaan pair comparison dipandang sangat tepat guna melakukan analisis tersebut. Melalui metode penskalaan ini maka subjek tidak secara langsung memberikan bobot atau rating terhadap stimulus melainkan melalui teknik komputasi tertentu guna menjamin objektivitas penilaian faktor penghambat.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan faktor pembentuk kinerja pekerja sosial serta faktor-faktor penghambat perolehan angka kredit jabatan pekerja sosial. Adapun rumusan masalah penelitian adalah:

1. 1. Faktor-faktor apa saja yang dapat diungkap dalam butir-butir kegiatan pekerja sosial?

2. 2. Hal-hal apa saja yang menghambat peroleh angka kredit jabatan pekerja sosial serta bagaimana kualitas hambatan tersebut?

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini dapat dilihat dari sisi praktis yaitu penelitian diharapkan tersedianya informasi mengenai faktor-faktor yang dapat mendorong pekerja sosial mencapai kinerja terbaiknya serta tersedianya informasi mengenai faktor-faktor yang dapat menghambat kinerja pekerja sosial.

II. II. TINJAUAN PUSTAKA

A. A. Tinjauan tentang Analisis Faktor

Kerlinger (1993) menyebutkan bahwa analisis faktor merupakan ratu atau primadona metode analisis sehubungan dengan kekuatan, keluwesan dan kedekatannya dengan hakekat maksud dan tujuan penelitian. Lebih lanjut dikatakan bahwa analisis faktor berfungsi melayani tujuan efisiensi kegiatan ilmiah karena dapat mengurangi kelipatgandaan tes dan pengukuran hingga menjadi jauh lebih sederhana. Suatu faktor merupakan konstrak yang dianggap melandasi tes, skala, butir dan bahkan hampir semua jenis ukuran.

Analisis faktor adalah suatu metode untuk menganalisis sejumlah observasi dipandang dari segi interkorelasinya. Metode ini pada dasarnya digunakan untuk menetapkan apakah variasi-variasi yang nampak dalam observasi yang besar itu didasarkan pada sejumlah kategori dasar yang jumlahnya lebih sedikit dari yang nampak. (Fruchter, 1954; Suryabrata, tt).

Variasi observasi yang muncul tentu saja disebabkan karena adanya konsep variansi. Inilah asumsi pertama dalam analisis faktor. Fruchter (1954) mengemukakan beberapa jenis varians yaitu : common varians, specific varians, dan error varians. Selain itu terdapat pula sifat unik dari sebuah variabel j tertentu. Common varians merupakan suatu varians yang reliabel berkorelasi dengan variabel lain. Specific varians merupakan suatu varians yang dihasilkan dari kesalahan sampling, pengukuran dan kondisi tes yang berada di bawah standar, kondisi psikologis dan perubahan tertentu pada diri individu dan pengaruh lain yang menimbulkan unreliabilitas. Varians ini diasumsikan tidak berkorelasi dengan varians yang reliabel.

Terdapat dua asumsi dasar dalam analisis faktor. Pertama, bahwa serangkaian variabel yang berinterkorelasi mempunyai faktor bersama (common factor). Dengan asumsi ini maka total varians dari variabel dapat dibagi ke dalam tiga sumber pula, yaitu common varians, specific varians, dan error varians. Kedua, korelasi diantara dua variabel j dan k dapat dihitung baik secara langsung dari skor perolehan maupun dari masing-masing muatan faktornya.

Sebagai sebuah metode, analisis faktor mempunyai serangkaian langkah atau tahap. Terdapat empat langkah penting dalam proses tersebut, yaitu matriks interkorelasi, ekstraksi faktor, rotasi dan skoring faktor atau interpretasi (Fructher, 1954; Suryabrata tt).

Interkorelasi antar variabel biasanya dibangun berdasarkan rumus korelasi Pearson. Matriks interkorelasi diperlukan untuk menyajikan berbagai korelasi ke dalam tabulasi silang. Jika korelasinya cukup tinggi, proses analisis faktor dapat dilanjutkan. Varians yang ada dalam korelasi berbagai variabel direduksi sebanyak-banyaknya melalui ekstraksi faktor. Terdapat beberapa metode ekstraksi yaitu maximum likelihood, principal component, unweighted least square, generalized least square, dan principal axis factoring. Dalam penelitian ini ekstraksi dilakukan melalui metode maximum likelihood, yaitu sebuah metode ekstraksi yang menghasilkan estimasi parameter yang sangat menyerupai korelasi yang diamati sepanjang ditarik dari populasi normal.

Langkah selanjutnya adalah melakukan rotasi faktor yang bertujuan untuk mempermudah interpretasi faktor. Ketentuan rotasi faktor adalah tidak mengubah besarnya komunalitas (h2), jumlah rerata variabel setiap faktor dan jumlah hasil kali (product) muatan-muatan faktor dari setiap pasang variabel atau korelasinya. Tiga metode rotasi yang dapat digunakan yaitu varimax, quartimax dan equamax. Dalam penelitian ini rotasi dilakukan dengan metode equamax mengingat metode ini sangat membantu menyederhanakan interpretasi terhadap variabel sekaligus terhadap faktor.

Metode analisis faktor telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian di dunia industri dan organisasi. Comb & Satter (1949) melakukan studi eksperimental untuk melakukan analisis faktor dalam dunia kerja, khususnya mengenai job families, yang penerapannya pada waktu itu dapat dikatakan masih baru. Penentuan aspek dimensionalitas dalam dunia kerja dan komposisi job families selalu dihadapkan pada persoalan metodologis. Dalam studi tersebut, dibuat job families melalui teknik analisis faktor. Analisis psikologis dalam dunia kerja mengarah pada kesimpulan bahwa job families tidaklah berbentuk perangkat tunggal, melainkan diyakini terdapat serangkaian job families yang dapat dibedakan berdasarkan tujuannya masing-masing.

Minner (1992) menyebutkan bahwa salah satu tujuan utama dalam job analysis adalah untuk mengembangkan pemahaman yang sistematik mengenai bagaimana setiap job berhubungan satu sama lain, baik dalam arti tugas-tugas yang diperlukan maupun karakteristik pelaksananya. Jika beberapa job dikelompokkan dalam satu kelompok maka para pekerja dapat ditempatkan pada posisi dalam satu unit untuk mencapai sejumlah tujuan.

Dengan keunikan model matematis yang mendasari analisis faktor maka sebenarnya hampir semua ukuran dapat dianalisis melalui metode ini. Walaupun demikian, analisis faktor harus berhadapan dengan beberapa kritik, salah satu diantaranya dari Kerlinger (1993) yang menyebutkan beberapa metode analisis faktor, diantaranya: 1) ketidak-ajegan banyaknya faktor yang dapat diekstraksi dari suatu matriks korelasi; 2) terlalu kompleksnya cara merotasikan faktor. Kritik lain muncul sebagai akibat dari kerumitan dan objektivitas analisis faktor.

Rust & Golombok menyatakan bahwa pada tahun 70-an terjadi ketidakpuasan terhadap analisis faktor. Ketidakpuasan ini muncul karena para peneliti harus mempertimbangkan secara mata jika ingin menggunakan metode ini sehubungan dengan besarnya sampel yang harus diambil. Sampel besar sebagai syarat ini kemudian menjadikan tidak praktisnya metode analisis faktor. Kritik lain dikemukakan oleh Kline (1986) dengan menyebutkan dua persoalan yang dihadapi analisis faktor, yaitu persoalan indeterminasi dan persoalan circularity. Persoalan pertama berkaitan dengan terlalu pelitnya (parsimonious) penjelasan yang dihasilkan analisis faktor, walaupun dengan begitu banyak data entry dalam komputasinya. Persoalan kedua berkenaan dengan berputar-putarnya hasil yang hanya sebatas pada ukuran yang dianalisis. Faktor umum g pada analisis faktor hanyalah menjadi output dan bukan komponen input.

B. B. Kinerja Pekerja Sosial

Pekerja sosial dapat diartikan secara luas, yaitu pihak-pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan sosial baik yang berasal dari pemerintahan (birokrasi) maupun dari kalangan masyarakat atau LSM. Pekerja sosial dalam kerangka birokrasi Indonesia merupakan salah satu saluran pembinaan karir PNS melalui jalur jabatan fungsional. Jabatan fungsional ini resmi dalam birokrasi pemerintahan sejak Agustus 1988, tepatnya ketika dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 45/Menpan/1988. Pada pasal 1 Kepmenpan disebutkan bahwa pekerja sosial adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas melaksanakan kegiatan usaha kesejahteraan sosial secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada lingkup Departemen Sosial atau unit pelayanan kesejahteraan sosial pada instansi lain.

Salah satu tugas jabatan fungsional dalam birokrasi pemerintahan, dalam melaksanakan tugasnya pekerja sosial tidak terlepas dari tugas pokok dan fungsi instansi tempat mereka bertugas. Walaupun demikian, secara umum mereka memiliki kesamaan karakteristik tugas yaitu melaksanakan usaha kesejahteraan sosial atau pembangunan bidang kesejahteraan sosial.

Tugas yang diemban pekerja sosial diterjemahkan ke dalam beberapa fungsi yaitu : 1) melaksanakan pencegahan terhadap timbul dan berkembangnya masalah sosial; 2) melaksanakan rehabilitasi yang meliputi memperbaiki dan memulihkan peran-peran sosial yang terganggu; 3) melaksanakan pengembangan kemampuan individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya dan mendayagunakan potensi dan sumber-sumber. Memberikan dukungan terhadap profesi dan sektor-sektor lain guna peningkatan kualitas pelayanan sosial (Depsos RI., 1998).

Kinerja dalam dunia organisasi diartikan sebagai tingkat keberhasilan seorang karyawan dalam melaksanakan atau menyelesaikan pekerjaannya. Kinerja ini mengandung makna beberapa dimensi yaitu dimensi kualitas (quality of work), dimensi kuantitas (quantity of work), dimensi waktu (time at work) dan dimensi kerjasama (corporation with others work). Dalam konteks pelayanan sosial oleh pemerintahan, kinerja pekerja sosial diukur melalui sebuah skala penilaian yang mengacu pada SK Kepmenpan nomor 45/Menpan/1988. Pada Kepmenpan tersebut, kegiatan pekerja sosial terbagi ke dalam dua komponen yaitu unsur utama dan unsur pendukung/penunjang, dengan rincian sebagai berikut.

1. 1. Unsur Utama, dengan sub unsur:

a. Pendidikan (terdiri dari sub unsur pendidikan formal dan diklat kedinasan) b. Unsur pelayanan kesejahteraan sosial (terdiri atas sub unsur penerimaan calon klien; melaksanakan pelayanan bagi penerima pelayanan; melaksanakan resosialisasi; melaksanakan pembinaan dan bimbingan lanjut). c. Unsur pembinaan dan pengembangan kesejahteraan sosial (terdiri atas sub unsur menentukan potensi, sumber kebutuhan dan permasalahan lembaga kesejahteraan sosial; melaksanakan pembinaan terhadap lembaga kesejahteraan sosial kesatuan masyarakat dalam lingkungan atau wilayah tertentu; melaksanakan bimbingan dan pengembangan lanjut; melaksanakan tugas pengembangan kebijakan dan perencanaan kesejahteraan sosial, dan; melaksanakan pengembangan tenaga kesejahteraan sosial). d. Unsur pengembangan profesi pekerjaan sosial (terdiri atas sub unsur melakukan kegiatan/karya ilmiah, dan; membuat/menulis karya tulis di bidang kesejahteraan sosial hasil penggalian sendiri). 2. 2. Unsur Pendukung, dengan sub unsur:

Unsur pengabdian masyarakat dan pendukung pekerja sosial terdiri dari sub unsur pengabdian masyarakat; peran serta dalam kegiatan pendidikan dan latihan; keanggotaan dalam organisasi/panitia; menterjemahkan/menyadur di bidang kesejahteraan sosial; memperoleh penghargaan/tanda jasa atas prestasi kerjanya; menilai pejabat pekerja sosial.

Seluruh unsur dan sub unsur dalam Kepmenpan tersebut dirinci lagi ke dalam butir-butir kegiatan yang jumlahnya ada 146 butir. Analisis terhadap butir-butir kegiatan pekerja sosial ini diperlukan untuk mengungkapkan apakah butir-butir tersebut saling berinterkorelasi dan membentuk faktor-faktor tertentu. Metode analisis faktor sangat tepat digunakan untuk menjawab persoalan tersebut.

C. C. Faktor Penghambat Peroleh Angka Kredit

Sejumlah angka kredit yang tidak bisa dicapai oleh seorang pekerja sosial akan mengakibatkan terhambatnya promosi pegawai yang bersangkutan. Bahkan, jika selama enam tahun berturut-turut angka kredit minimal untuk kenaikan pangkat selanjutnya ternyata tidak dapat tercapai maka pekerja sosial tersebut diberhentikan dari jabatan fungsionalnya.

Faktor penghambat dalam psikologi dapat dikaitkan dengan fenomena stress. Stress atau ketidakpuasan kerja berkaitan dengan pembatasan (constraints) dan tuntutan. Pembatasan ini sebenarnya merupakan kekuatan untuk mengendalikan individu dari berbagai perilaku yang ditampilkannya (Robbins, 1988). Indikasi faktor penghambat dapat dilihat dari segi produksi dan kepuasan kerja. Ketidakpuasan di kalangan pekerja dapat mengakibatkan stress.

Jones & Fletcher (1996) menyebutkan bahwa terdapat beberapa sumber stress atau stressor yang dapat menghambat tercapainya kepuasan kerja, bahkan kinerja seseorang, yaitu: 1) beban kerja (terlalu banyak yang dikerjakan atau terlalu sedikit yang dikerjakan); 2) adanya tanggung jawab terhadap orang lain; 3) tanggung jawab terhadap peralatan kerja; 4) tuntutan dari orang lain (mungkin dari atasan atau dari rekan sekerja), 5) konflik peranan; 6) promosi yang terlalu tinggi atau rendah; 7) melulu mengikuti orang lain atau organisasi lain; 8) iklim organisasi yang kurang kondusif; 9) kebijakan kantor yang kurang sesuai; 10) struktur organisasi; 11) perubahan tugas atau susunan organisasi; 12) keputusan penting dari pimpinan, dan; 13) harapan terhadap orang lain atau organisasi lain.

Dalam konteks pelayanan sosial, terdapat dua tema yang menjadi karakteristik faktor penghambat pelaksanaan program, yaitu keterbatasan sumber daya dan ketidakpercayaan stakeholder (Martin & Kettner, 1996). Isu pertama berkaitan dengan terbatasnya anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk program-program pelayanan sosial. Krisis kepercayaan juga muncul dari berbagai stakeholder program, terutama dari para klien, penduduk, panitia anggaran pemerintah dan stakeholder lainnya.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Koentjoro (2001) menyatakan bahwa terdapat dua hambatan utama dalam pekerjaan sosial di Indonesia, yaitu hambatan internal dan hambatan dari stakeholder pekerjaan sosial. Hambatan internal mencakup instansi yang terkait dengan profesi pekerjaan sosial yang cenderung tidak menghargai atau, paling tidak, adanya kesan ambivalensi dalam memberikan penghargaan kepada para pekerja sosial. Hambatan dari stakeholder adalah belum dikenalnya secara lebih luas peran pekerja sosial dalam pembangunan secara makro. Untuk itulah pengelolaan social marketing terhadap peran pekerja sosial ini sangat diperlukan.

Dalam penelitian ini, faktor penghambat peroleh angka kredit jabatan pekerja sosial tidak seluruhnya didasarkan atas pendapat ahli atau hasil studi literatur. Jenis-jenis faktor penghambat diperoleh langsung dari beberapa pekerja sosial melalui proses penjajagan alat ukur penelitian. Informasi mengenai jenis faktor penghambat dihimpun dengan menggunakan kuesioner dengan jawaban terbuka. Artinya, setiap informan boleh menjawab lebih dari satu jenis faktor penghambat tanpa mempertimbangkan kuat-tidaknya faktor tersebut menghambat peroleh angka kredit jabatan pekerja sosial. Jenis faktor penghambat yang diungkap adalah pada pelaksanaan tugas pekerja sosial pada setting pelayanan sosial di panti-panti sosial pemerintah.

Berdasarkan hasil penjajagan melalui kuesioner dan probing melalui diskusi dengan beberapa sumber informasi, diperoleh sepuluh jenis faktor penghambat perolehan angka kredit jabatan pekerja sosial, yaitu: 1) petunjuk pelaksanaan tugas berupa lisan maupun tertulis kurang jelas atau tidak tersedia; 2) fasilitas kerja seperti ATK, biaya operasional, alat transportasi dan lain-lain kurang memadai; 3) terdapat perbedaan penugasan melayani klien sehingga jumlah klien yang dilayani oleh setiap pekerja sosial berbeda; 4) jumlah klien yang dilayani oleh pekerja sosial terlalu sedikit; 5) klien sulit diajak bekerjasama; 6) format laporan tidak baku atau tidak seragam; 7) terjadi tumpang tindih waktu pelayanan terhadap klien dengan kegiatan rutin panti; 8) kurangnya pendidikan dan pelatihan bagi pekerja sosial panti; 9) nilai angka kredit untuk setiap butir kegiatan pekerja sosial tidak proporsional; 10) tidak semua bentuk kegiatan pekerja sosial panti dapat diberikan angka kredit.

III. III. METODE PENELITIAN

Analisis faktor dalam penelitian ini dioperasionalisasikan sebagai suatu metode yang terdiri atas tahap pembuatan matriks interkorelasi, ekstraksi faktor, rotasi, serta skoring faktor dan interpretasi dengan tujuan untuk mengungkap faktor-faktor pembentuk kinerja atau angka kredit jabatan pekerja sosial. Faktor penghambat peroleh angka kredit jabatan pekerja sosial tidak dianalisis faktor walaupun dalam term tersebut terdapat phrase faktor. Untuk faktor penghambat dianalisis dengan menggunakan metode penskalaan pair-comparisons, dengan tujuan membuat rating atau nilai skala pada setiap faktor penghambat dan menempatkannya di sepanjang kontinum pengukuran. Subjek penelitian sebanyak 100 orang PNS yang tengah atau pernah menjabat sebagai pekerja sosial dan bekerja di panti sosial pemerintah di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Metode penelitian adalah deskriptif yaitu mengungkapkan faktor-faktor pembentuk dan penghambat kinerja pekerja sosial. Data penelitian dikumpulkan melalui dua angket, yaitu angket penilaian terhadap butir kegiatan sebagaimana tercantum dalam Kepmenpan Nomor 45/Menpan/1988, dan angket penilaian faktor penghambat. Uji validitas dilakukan melalui profesional judgment delapan orang pakar dalam pekerjaan sosial. Dari 147 butir kegiatan, 9 butir diantaranya gugur sehingga terdapat 137 butir yang disajikan dalam alat ukur. Dari seluruh butir yang valid, kemudian dikelompokkan berdasarkan job families yakni butir-butir yang memiliki kesamaan kegiatan, dan diperoleh 42 ukuran atau butir kegiatan komposit. Reliabilitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan koefisien alpha, dan diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,992. Dengan demikian alat ukur dapat dipercaya sebagai alat pengumpul data.

Angket faktor penghambat dikenakan uji validitas yang sama yaitu melalui professional judgment, dan dari sepuluh faktor penghambat, satu diantaranya dinyatakan gugur. Butir gugur adalah jumlah klien yang dilayani oleh setiap pekerja sosial terlalu sedikit. Komentar atas butir tersebut adalah bahwa untuk konteks panti sosial, proporsi jumlah klien cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah pekerja sosial. Bahkan, pada beberapa panti, jumlah klien cenderung terus meningkat, walaupun masih tetap dibatasi oleh kapasitas daya tampung masing-masing panti.

Untuk mengungkapkan faktor pembentuk kinerja pekerja sosial digunakan metode analisis faktor, sedangkan untuk memberi bobot faktor penghambat digunakan metode penskalaan pair comparisons. Analisis faktor dalam penelitian ini menggunakan metode ekstraksi maximum likelihood dan metode rotasi equamax. Sebelum pengolahan data analisis faktor, beberapa butir yang memiliki job families dikompositkan terlebih dahulu, sehingga dari 137 butir valid menjadi 42 butir komposit. Proses komputasi analisis faktor dilakukan dengan bantuan software SPSS Versi 6.00.

Analisis faktor penghambat dilakukan dengan metode penskalaan pair comparisons, yaitu setiap jenis faktor penghambat diperbandingkan satu persatu. Jumlah butir mengikuti ketentuan n (n-1), sehingga dalam alat ukur terdapat 36 pasang faktor penghambat. Hasil akhir dari proses penskalaan ini adalah untuk mengetahui kualitas faktor penghambat yang diletakkan pada skala kontinum. Sebelum dilakukan komputasi penskalaan faktor penghambat, terlebih dahulu jawaban responden dianalisis dengan statistik yang terkait dengan metode ini, yaitu konsistensi internal, the coefficient of agreement, dan koefisien konsistensi, dengan tujuan untuk mengetahui profil data.

Konsistensi internal yang digunakan adalah formulasi dari Mosteler (Guildford, 1954; Edwards, 1957), yaitu:

dengan derajat bebas df sebagai berikut:

Pada persamaan tersebut, N adalah jumlah penilaian untuk setiap pasangan stimulus; ( adalah arcsin(p (p adalah proporsi observasi); ( adalah arcsin(p (p adalah proporsi ekspektasi); dan n adalah jumlah stimulus.

Koefisien konsistensi adalah ukuran konsisten atau tidaknya seorang responden memberikan penilaian terhadap seluruh faktor penghambat. Rumus yang digunakan adalah circular triad dari ( (zeta) dari Kendall (Edwards, 1957). Mengingat jumlah stimulus yang ganjil (yaitu sembilan faktor penghambat) maka digunakan rumus:

Proses komputasi penskalaan faktor penghambat peroleh angka kredit jabatan pekerja sosial dilakukan dengan bantuan spreadsheet Microsoft Excel.

IV. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. A. Analisis Faktor Pembentuk Kinerja Pekerja Sosial

Analisis faktor pada penelitian ini dilakukan terhadap 42 ukuran yang memuat job families beberapa kegiatan pekerja sosial. Pada pelaksanaannya, teknik ekstraksi faktor dilakukan dengan menggunakan maximum likelihood (ML), sedangkan rotasi dilakukan dengan teknik equamax.

Hasil komputasi menunjukkan terdapat empat faktor pembentuk kinerja pekerja sosial yang terungkap dari seluruh ukuran yang diuji. Keempat faktor tersebut adalah:

1. 1. Faktor pertama, mengungkap 61,2 persen dan terdiri dari 12 butir yaitu:

a. a. Menyusun analisis kebijakan sosial tentang struktur permasalahan, perkiraan masalah dan rumusan alternatif kebijakan serta rekomendasi.

b. b. Menyusun buku tentang program pembangunan di bidang kesejahteraan sosial.

c. c. Menyusun buku tentang sistem monitoring dan evaluasi.

d. d. Menemukan teknologi tepat guna.

e. e. Menyusun pengembangan metode dan kurikulum pendidikan dan pelatihan pekerja sosial di suatu lembaga pendidikan.

f. f. Karya ilmiah hasil penelitian survey dan atau evaluasi bidang usaha kesejahteraan sosial yang dipublikasikan.

g. g. Karya tulis berupa tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri dalam bidang usaha kesejahteraan sosial yang dipublikasikan.

h. h. Tulisan/makalah dalam bentuk buku yang merupakan tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri dalam bidang usaha kesejahteraan sosial yang tidak dipublikasikan.

i. i. Menyampaikan prasaran berupa tinjauan, gagasan atau ulasan ilmiah dalam pertemuan ilmiah.

j. j. Membuat/menulis karya tulis bi bidang kesejahteraan sosial hasil penggalian sendiri dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh penerbit yang diakui oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

k. k. Terjemahan/saduran dalam bidang kesejahteraan sosial.

l. l. Memperoleh penghargaan/tanda jasa atas prestasi kerjanya.

2. 2. Faktor kedua, mengungkap 12,9 persen dan terdiri dari 15 butir yaitu:

a. a. Melaksanakan kontak pendahuluan, orientasi, penjajagan penyandang masalah atau identifikasi masalah.

b. b. Mengadakan pendekatan, motivasi serta seleksi calon penerima pelayanan atau menyusun/menjelaskan isi kontak pelayanan.

c. c. Melaksanakan kontak pendahuluan, orientasi, penjajagan penyandang masalah atau identifikasi masalah dan pendekatan, motivasi serta seleksi calon penerima pelayanan atau menyusun/menjelaskan isi kontak pelayanan kepada masyarakat terasing.

d. d. Menentukan dan mempersiapkan jenis dan sistem pelayanan bagi calon penerima pelayanan di lembaga dan di luar lembaga serta lingkungan pondok sosial.

e. e. Mempersiapkan dan melaksanakan rujukan (referal) bagi penyandang masalah yang tidak dapat dilayani dan menerima rujukan dari sumber pelayanan lain.

f. f. Melaksanakan monitoring, supervisi, evaluasi program dan pembuatan laporan tentang pelaksanaan setiap kegiatan.

g. g. Membuat penelaahan masalah dan pengungkapan masalah serta motivasi terhadap penerima pelayanan.

h. h. Melaksanakan bimbingan fisik dan mental.

i. i. Melaksanakan bimbingan sosial.

j. j. Melaksanakan bimbingan ketrampilan.

k. k. Mempersiapkan data dan melakukan bimbingan sosial ketrampilan terhadap lembaga sasaran dan masyarakat lingkungannya.

l. l. Memonitor, supervisi, mengevaluasi dan membuat analisis perkembangan setiap pelaksanaan kegiatan serta menyusun laporan.

m. m. Menyusun rencana kerja pembinaan lanjut, mempersiapkan dan melaksanakan bimbingan bantuan pengembangan bagi lembaga sasaran atau masyarakat.

n. n. Membimbing dan melatih pekerja sosial di bawahnya.

o. o. Pengabdian masyarakat.

3. 3. Faktor ketiga, mengungkap 2,1 persen dan terdiri dari 10 butir kegiatan yaitu:

a. a. Melaksanakan bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat, bimbingan sosial hidup bermasyarakat.

b. b. Mempersiapkan dan melaksanakan bantuan sosial/sarana kerja kepada penerima pelayanan yang akan disalurkan ke lingkungan sosial.

c. c. Melaksanakan bimbingan, pembinaan/pengembangan bantuan stimulan, pengelolaan usaha/kerja.

d. d. Melaksanakan pendekatan, penyuluhan, bimbingan dan bantuan pengembangan.

e. e. Mempersiapkan dan melaksanakan terminasi.

f. f. Menentukan potensi, sumber kebutuhan dan permasalahan lembaga kesejahteraan sosial.

g. g. Melaksanakan pembinaan terhadap lembaga kesejahteraan sosial kesatuan masyarakat dalam lingkungan/wilayah tertentu.

h. h. Mempersiapkan data dan melakukan bimbingan sosial ketrampilan terhadap penerima pelayanan dan lingkungan sosial.

i. i. Mempersiapkan dan melaksanakan bantuan stimulasi/sarana kerja serta cara pemanfaatannya.

j. j. Mempersiapkan dan melaksanakan terminasi.

4. 4. Faktor keempat, mengungkap 1,6 persen dan terdiri dari 5 butir kegiatan, yaitu:

a. a. Peran serta dalam kegiatan pendidikan dan latihan.

b. b. Menjadi pengurus aktif dalam organisasi profesi.

c. c. Menjadi pengurus dalam panitia/tim/penugasan khusus di bidang kesejahteraan sosial.

d. d. Menjadi pengurus dalam panitia/tim/usaha sendiri dalam kegiatan kemasyarakatan/pengabdian kemanusiaan dan lain-lain.

e. e. Duduk sebagai anggota Tim Penilai Jabatan Pekerja Sosial.

B. B. Faktor Penghambat Perolehan Angka Kredit

Pada bagian terdahulu telah ditegaskan bahwa faktor penghambat peroleh angka kredit jabatan pekerja sosial tidak dilakukan melalui analisis faktor, walaupun dalam phrase tersebut terkandung term faktor. Analisis faktor penghambat ini dilakukan melalui metode penskalaan pair comparisons. Sebelum analisis dilakukan, perlu diselidiki terlebih dahulu karakteristik data melalui deteksi circular triad atau koefisien konsistensi.

Koefisien konsistensi yang diukur melalui circular triad dalam penskalaan pair comparisons merupakan ukuran konsisten atau tidaknya seorang responden memberikan penilaiannya. Hadirnya circular triad ini akan menurunkan validitas skala yang dihasilkan. Oleh karena ini individu yang teridentifikasi melakukan circular triad sebaiknya dikeluarkan dari analisis (Edwards, 1957).

Hasil pengujian terhadap 100 subjek penilai menunjukkan besarnya circular triad antara 1 hingga 25 dengan harga ( berkisar antara 0,167 hingga 0,967. Uji signifikansi dengan menggunakan statistik (2 dengan db sebesar 20,160 dan nC3 sebesar 84, menghasilkan harga (2 antara 14,560 hingga 52,960 dengan peluang galat p antara 0,000 hingga 0,801. Dari angka-angka tersebut dapat diidentifikasi bahwa lima orang subjek penilai telah melakukan inkonsistensi berupa circular triad. Ke-lima subjek tersebut empat merupakan pekerja sosial yang bertugas di NVRC Cibinong dan satu orang pekerja sosial daerah. Dengan demikian, dari 100 subjek penilai, hanya 95 orang yang selanjutnya tetap diikutsertakan dalam analisis.

Selanjutnya, faktor penghambat perolehan angka kredit jabatan pekerja sosial disusun berdasarkan metode pair comparisons. Hasil komputasi penskalaan dikenakan transformasi linier untuk membuat rentang kontinum dari 0 hingga 10 dengan persamaan linier :

Y = 0,913 X + 5,361

Nilai skala faktor penghambat peroleh angka kredit jabatan pekerja sosial dalam rentang skala 0 hingga 10 adalah:

1. 1. Kurangnya pendidikan dan latihan bagi pekerja sosial panti (10,000).

2. 2. Fasilitas kerja seperti ATK, biaya operasional, alat transportasi dan lain-lain kurang memadai (9,286).

3. 3. Tidak semua bentuk kegiatan pekerja sosial (9,246).

4. 4. Nilai angka kredit untuk setiap butir kegiatan pekerja sosial tidak proporsional (7,015).

5. 5. Format laporan tidak baku atau tidak seragam (5,977).

6. 6. Terdapat perbedaan penugasan melayani klien sehingga jumlah klien yang dilayani setiap pekerja sosial berbeda (3,229).

7. 7. Petunjuk pelaksanaan tugas berupa lisan maupun pedoman/panduan tertulis kurang jelas atau kurang tersedia (2,367).

8. 8. Klien sulit diajak bekerjasama (1,038).

9. 9. Terjadi tumpang tindih waktu pelayanan terhadap klien dengan kegiatan rutin panti (0,000).

Hasil penskalaan tersebut tidak bermakna apapun apabila tidak tercapainya derajat kesepakatan atau kecocokan diantara para penilai. Derajat kesepakatan atau kecocokan dari 95 subjek penilai terhadap penilaian yang diberikan dapat diuji melalui the coefficient of agreement. Hasil uji menunjukkan harga u sebesar 0,212, (2 sebesar 808 dengan df sebesar 37 dan peluang galat p sebesar 0,000. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat kesepakatan atau kecocokan yang sangat signifikan diantara para pekerja sosial yang memberikan penilaian terhadap alat ukur faktor penghambat perolehan angka kredit jabatan pekerja sosial.

C. C. Pembahasan

Analisis faktor dilakukan terhadap 42 butir atau ukuran kegiatan pekerja sosial. Sebagian besar butir atau ukuran dalam analisis faktor ini merupakan komposit dari beberapa butir kegiatan sebagaimana tercantum dalam Kepmenpan nomor 45/Menpan/1988. Pengelompokkan butir pada dasarnya merupakan salah satu upaya melakukan job analysis, paling tidak pada tahap awal. Sejalan dengan pendapat Minner (1992) maka dapat dikatakan bahwa salah satu tujuan utama dalam program job analysis adalah untuk mengembangkan pemahaman yang sistematik mengenai bagaimana setiap job itu berhubungan satu sama lain, dalam arti tugas-tugas yang diperlukan maupun karakteristik pelaksananya.

Analisis faktor dengan metode maximum likelihood dan rotasi dengan metode equamax berhasil mereduksi 42 butir atau ukuran menjadi lebih sederhana yaitu empat faktor. Faktor pertama memuat 12 butir dengan muatan faktor antara 0,552 hingga 0,890; faktor kedua mencakup 15 butir dengan muatan faktor antara 0,438 hingga 0,876; faktor ketiga memuat 10 butir dengan muatan faktor antara 0,533 hingga 0,748, dan; faktor keempat memuat 5 butir dengan muatan faktor antara 0,608 hingga 0,780.

Faktor pertama memiliki pola umum yaitu butir-butir kegiatan yang dilakukan tidak secara langsung berhubungan dengan klien, dan butir-butir tersebut lebih bersifat pengembangan. Contoh butir untuk faktor ini diantaranya adalah analisis kebijakan sosial, menyusun buku, menyusun pengembangan metode dan kurikulum diklat, membuat karya ilmiah, makalah dan membuat terjemahan atau saduran. Melihat pola seperti ini maka faktor pertama diberi nama sebagai faktor tidak langsung pengembangan.

Faktor kedua mencakup butir-butir kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan klien, dan bersifat pelayanan rehabilitatif. Butir dimaksud seperti: kontak pendahuluan; orientasi dan penjajagan; pendekatan dan motivasi serta seleksi; penanganan masyarakat terasing; rujukan (referal); monitoring, supervisi, evaluasi program dan laporan; penelaahan masalah; bimbingan fisik dan mental, hingga pembinaan lanjut. Faktor kedua ini selanjutnya dinamakan sebagai faktor langsung pelayanan rehabilitatif.

Faktor ketiga mencakup butir-butir kegiatan yang berkaitan langsung dengan klien, dan sifatnya lebih kepada pengembangan mutu pribadi klien. Dalam praktek pekerjaan sosial dikenal terminologi pelayanan dan pengembangan. Pelayanan mengacu kepada bimbingan dan bantuan terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), sedangkan pengembangan lebih diarahkan bagi penanganan atau pemberdayaan sumber/potensi kesejahteraan sosial (PSKS). Penyandang masalah atau PMKS lebih sering dianalogkan sebagai client system, sedangkan PSKS dianalogkan sebagai resources system. Contoh butir untuk faktor ketiga ini adalah: bimbingan kesiapan peran serta masyarakat, bimbingan sosial hidup bermasyarakat; bantuan sosial/sarana kerja kepada penerima pelayanan yang akan disalurkan ke lingkungan sosial; menentukan sumber/potensi, sumber kebutuhan dan permasalahan lembaga kesejahteraan sosial. Faktor ketiga ini dinamakan sebagai faktor langsung pengembangan.

Faktor keempat memiliki komponen butir yang paling sedikit daripada faktor lainnya. Faktor ini bercirikan kegiatan yang tidak secara langsung berhubungan dengan klien, dan bersifat penunjang kegiatan pekerja sosial. Butir-butir pada faktor ini diantaranya: peran serta dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan; aktivitas dalam organisasi profesi dan tim dalam bidang kesejahteraan sosial maupun non kesejahteraan sosial, dan; duduk sebagai anggota tim penilai jabatan pekerja sosial. Faktor keempat ini diberi nama tidak langsung penunjang.

Faktor pembentuk kinerja dan faktor penghambat perolehan angka kredit merupakan dua hal yang berbeda, walaupun keduanya tidak memiliki kekuatan negasi. Faktor penghambat perolehan angka kredit jabatan pekerja sosial pada dasarnya dapat diartikan sebagai faktor yang aktual atau potensial menghambat pencapaian kinerja pekerja sosial. Dengan kata lain, berhasil tidaknya kinerja seorang pekerja sosial dapat diukur dari seberapa besar jumlah angka kredit yang berhasil dikumpulkannya. Hasil penskalaan melalui metode pair comparisons diperoleh tiga faktor yang paling menghambat, yakni : 1) kurangnya pendidikan dan latihan bagi pekerja sosial panti; 2) fasilitas kerja seperti ATK, biaya operasional, alat transportasi dan lain-lain kurang memadai; 3) tidak semua bentuk kegiatan pekerja sosial.

Pendidikan dan latihan bagi para pekerja sosial, khususnya pekerja sosial panti, dipandang kurang mencukupi kebutuhan enrichment pengetahuan dan ketrampilan responden, apalagi jika dikaitkan dengan lamanya responden menduduki jabatan pekerja sosial yang rata-rata baru 4,14 tahun. Lebih dari separoh responden memiliki masa kerja dalam jabatannya kurang dari lima tahun. Faktor lain yang mendukung pentingnya pendidikan dan latihan pegawai ini adalah tingkat pendidikan responden yang sebagian besar berlatar belakang SLTA. Walaupun demikian, faktor umur dan lamanya responden menjadi PNS sedikit banyak dapat membantu peningkatan pemahaman, pengetahuan dan kemampuan dalam memberikan pelayanan kepada klien.

Kerjasama dengan Perguruan Tinggi nampaknya merupakan peluang untuk meningkatkan enrichment para pekerja sosial. Selama ini panti-panti sosial dalam hubungannya dengan perguruan tinggi cenderung hanya dijadikan tempat praktek para mahasiswa. Reformasi pendidikan pekerjaan sosial di beberapa negara mengarah pada pemberdayaan petugas panti (http://www.uncp.edu/sw/fieldexp. html). Artinya, perlu diupayakan terjadinya hubungan yang timbal balik yang saling menguntungkan dan sinergis antara panti sosial dengan perguruan tinggi.

Fasilitas kerja berupa alat tulis kantor, biaya operasional dan transportasi dipandang responden kurang memadai. Hal ini tentu berkaitan dengan trend dalam dunia pelayanan sosial, yakni kian terbatasnya anggaran pemerintah, sedangkan jumlah kelompok sasaran cenderung terus meningkat (Martin & Kettner, 1996).

Faktor ketiga yang dipandang paling menghambat perolehan angka kredit jabatan pekerja sosial adalah berkaitan dengan bentuk kegiatan dan angka kredit yang diberikan untuk kegiatan tertentu. Secara formal responden adalah pekerja sosial yang bertugas di panti sosial, sehingga sulit baginya mengumpulkan angka kredit di luar panti. Sebesar apapun kegiatan praktek pekerjaan sosial dilakukan di luar panti, akan tetapi tidak dapat diakui sebagai angka kredit. Kenyataan ini disebabkan karena distorsi dalam terminologi praktek pekerja sosial di Indonesia. Selama ini pekerja sosial cenderung dipilah-pilah, petugas pelayanan bagi klien di panti dan petugas pengembangan bagi pekerja sosial yang bertugas di masyarakat. Padahal, kedua terminologi itu seharusnya melekat dengan pelaksanaan tugas pekerja sosial sehari-hari, mengingat pelayanan dan pengembangan hanyalah dua dari sekian fungsi yang diemban setiap pekerja sosial.

V. V. KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil analisis faktor dalam penelitian ini berhasil mengungkap empat faktor pembentuk kinerja pekerja sosial, yaitu : 1) faktor tidak langsung pengembangan; 2) faktor langsung pelayanan rehabilitatif; 3) faktor langsung pengembangan, dan; faktor tidak langsung penunjang.

Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa terdapat tiga faktor yang paling menghambat peroleh angka kredit jabatan pekerja sosial, yaitu: 1) kurangnya pendidikan dan pelatihan bagi pekerja sosial panti; 2) fasilitas kerja seperti ATK, biaya operasional, alat transportasi dan lain-lain kurang memadai; 3) tidak semua bentuk kegiatan pekerja sosial dapat dinilai sebagai angka kredit.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut disampaikan saran kepada para pekerja sosial untuk lebih memperhatikan butir-butir kegiatan yang tidak langsung berhubungan dengan klien dan bersifat pengembangan. Butir-butir ini terbukti mampu mengungkap 62 persen kinerja pekerja sosial. Walaupun demikian, butir kegiatan lain masih tetap harus dilaksanakan mengingat praktek pekerjaan sosial sebagai sebuah proses tidak terbentuk hanya dari satu faktor saja.

Pendidikan dan latihan bagi para pekerja sosial khususnya yang bertugas di panti sosial masih menjadi permasalahan utama dalam pembinaan profesi pekerjaan sosial. Jenis diklat yang dapat diselenggarakan bukan hanya terbatas pada materi yang berkaitan dengan pelayanan langsung kepada klien, akan tetapi dapat pula materi yang sifatnya kegiatan pengembangan profesi pekerjaan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Depsos RI., 1998. Panduan Pekerja Sosial di Lingkungan Departemen Sosial RI. Jakarta : Tim Penyusun Buku Panduan Kerja bagi Pekerja Sosial Kecamatan dan Pekerja Sosial Panti di Lingkungan Departemen Sosial RI.

Dunn-Rankin, P. 1983. Scaling Methods. London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher

Edwards, A.L. 1957. Techniques of Attitude Scale Construction. New York : Appleton Century Crofts Inc.

Fructher, B. 1954. Introduction to Factor Analysis. New York Toronto: D. Van Nostrand Company Inc.

Guilford, J.P. 1954. Psychometric Methods. Tokyo: McGraw Hill Book Company Inc. & Kogakusha Company Ltd.

http://www.uncp.edu/sw/fieldexp. html. The Field Experience Handbook 1999-2000. Revised Edition, Updated by Angela D. Todd, MSW. Copyright : UNCP Social Work Program

Jones, F. & Fletcher, B. 1996. Job Control and Health. Handbook of Work and Health Psychology. Edited by Schabraq et.al. Singapore: John Willey and Sons Ltd.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 45/Menpan/1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pekerja Sosial

Kerlinger, F.N.1993. Asas-Asas Penelitian Behavioral. (Edisi Ketiga. Alih Bahasa Landung R. Simatupang). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kline, P. 1986. A Handbook of Test Construction; Introduction to Psychometric Design. New York: Methuen & Co.

Koentjoro. 2001. Pekerja Sosial: Moralitas dan Profesionalisme. Makalah pada Diklat Akselerasi Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial dan Pemantapan bagi Pejabat Fungsional Pekerja Sosial. BDPTS Yogyakarta: 2 Mei 2001

Martin, L.L & Kettner, P.M. 1996. Measuring Performance of Human Service Programs. Sage London-New Delhi: Publication International Educational and Professional Publisher. Thousand Oaks

Minner, J.B. 1992. Organizational Behavior; Performance and Productivity. New York: Random House Inc.

Nassar-McMillan, S. & Borders, L.D. 1999. A Work Behavior of Volunteers in Social Service Agencies. Journal of Social Service Research, 24: 761-776

Robbins, S.P. 1988. Organizational Behavior; Concepts, Controversies, Application. New Jersey, Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc.

Soetarso. 2000. Pekerja Sosial di Indonesia. Jurnal Diklat Pegnasos, 4 : 11-14

Suryabrata, tanpa tahun. Psikometri. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

BIODATA

Ujang Taofik Hidayat, lahir di Majalengka 7 Juli 1969, menyelesaikan SD hingga SLTA di Jatiwangi Kabupaten Majalengka Jawa Barat. Tahun 1993 meraih Sarjana S1 di STKS Bandung, dan pada tahun 2002 menyelesaikan S2 Psikologi dengan minat utama atau konsentrasi Psikometri (pengukuran/ statistika psikologi) pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Riwayat pekerjaan penulis diawali sebagai Pekerja Sosial Kecamatan (PSK) pendamping IDT di pedalaman Papua tahun 1994 dan selanjutnya pada tahun 1997 menjadi Pekerja Sosial Kecamatan (PSK) Wamena Kabupaten Jayawijaya di propinsi yang sama. Saat ini menjadi staf PUSDATIN KESOS Departemen Sosial. Area of interest yang telah dan tengah diperdalam hingga saat ini diantaranya dalam bidang pengukuran dan evaluasi program pembelajaran (kediklatan), pengembangan masyarakat, pemberdayaan penyandang cacat, kajian komunitas adat terpencil, dan kajian sosial psikologis praktek pekerjaan sosial. Alamat : [email protected] atau [email protected].