bab ii tinjauan pustaka a. turnover intention pada karyawan...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Turnover intention Pada Karyawan
1. Pengertian Turnover intention
Intention (intensi ) merupakan probabilitas atau kemungkinan yang bersifat
subjektif, yaitu perkiraan seseorang mengenai seberapa besar kemungkinannya
untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Anwar dkk, 2005). Chaplin (2004)
berpendapat bahwa intention (intensi) adalah suatu perjuangan guna mencapai
satu tujuan ciri-ciri yang dapat dibedakan dari proses-proses psikologis, yang
mencakup referensi atau kaitannya dengan satu objek. Robbins (2006)
mendefinisikan turnover sebagai pemberhentian pegawai yang bersifat permanen
dari perusahaan baik yang dilakukan oleh pegawai sendiri (secara sukarela)
maupun yang dilakukan perusahaan.
Menurut Harmoto (2002) Turnover intention adalah kadar atau intensitas dari
keinginan untuk keluar dari perusahaan. Keinginan ini akan mendorong terjadinya
turnover karyawan. Good dkk (dalam Fahrudin, 2004) mendefinisikan turnover
intention adalah kecenderungan atau keinginan (intention) seseorang untuk secara
aktual berpindah (turnover) dari suatu organisasi. Menurut Jacobs dan Roodt
(2011) turnover intention adalah intensi atau niat seorang karyawan untuk
meninggalkan atau berhenti dari pekerjaan yang merupakan suatu jenis perilaku
penarikan diri terhadap pekerjaan.
10
Menurut Abelson (dalam Sumarto, 2009) turnover intention adalah sesuatu
gambaran tentang pikiran-pikiran untuk keluar mencari pekerjaan di tempat lain,
serta keinginan meninggalkan organisasi. Tett dan Meyer (dalam Wang dkk,
2010) mendefinisikan turnover intention sebagai kesadaran dalam diri seseorang
untuk meninggalkan satu organisasi yang ada saat ini, atau dengan arti lain bahwa
bahwa seseorang berusaha untuk mencari kesempatan kerja yang baru. Menurut
Mobley dkk, (dalam Halimah, 2016) turnover intention adalah kecenderungan
atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya secara sukarela atau
pindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja yang lain menurut pilihannya
sendiri. Suwandi dan Indriantoro (dalam Utami dan Nur, 2009) mendefinisikan
turnover intention sebagai keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan
mencari alternatif pekerjaan lain.
Pasewark dan Strawser (dalam Utami dan Nur, 2009) mendefinisikan intensi
turnover mengacu pada keinginan karyawan untuk mencari alternative pekerjaan
lain yang belum diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata. Menurut Bluedon
(2001) turnover intention adalah kecenderungan sikap atau tingkat dimana
seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk meninggalkan organisasi atau
mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaannya. Berdasarkan penjelasan
diatas dapat disimpulkan secara garis besar bahwa turnover intention adalah
pikiran dan keinginan karyawan keluar dari perusahaan yang disebabkan oleh
beberapa faktor dan ingin untuk mencari pekerjaan baru.
11
2. Aspek – aspek Turnover intention
Mobley (dalam Schwepker 2001) yang berpendapat bahwa ada tiga aspek
turnover intention yaitu :
a. Pikiran untuk keluar dari perusahaan (Thinking of quiting)
Karyawan memiliki beberapa pikiran untuk berhenti dari pekerjaan pada
perusahaan dan menarik diri dari pekerjaan. Hal lain akan dilakukan karyawan
seperti membanding-bandingkan apa yang diperoleh diperusahaan ini dengan apa
yang diperoleh oleh teman diperusahaan yang lain.
b. Intention untuk mencari pekerjaan lain (Intention ti search)
Karyawan melakukan usaha-usaha seperti melihat-lihat lowongan pekerjaan
melalui berbagai media informasi yang tersedia ataupun menanyakan informasi
lowongan pekerjaan di luar perusahaan tempatnya bekerja.
c. Intention untuk keluar dari perusahaan (intention to quit)
Karyawan mulai menunjukan perilaku-perilaku tertentu yang menunjukan
keinginan untuyk keluar dari perusahaan. Misalnya memiliki niat untuk
mengundurkan diri dan mulai dapat dipastiakn bahwa dirinya akan berhenti dari
perusahaan.
Harnoto (2002) menjelaskan bahwa suatu organisasi harus mengetahui
indikasi-indikasi intensi turnover sebagai berikut :
a. Absensi yang meningkat
Pegawai yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja atau intensi
turnover, sebagian besar akan ditandai dengan absensi kerja yang semakin
12
meningkat. Tingkat tanggung jawab pegawai dalam fase ini akan sangat
berkurang dibandingkan dengan sebelumnya.
b. Mulai malas bekerja
Pegawai yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih malas
bekerja karena orientasi pegawai ini adalah bekerja di tempat lainnya yang di
pandang lebih mampu memenuhi semua keinginan pegawai bersangkutan.
c. Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja
Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering
dilakukan pegawai yang akan melakukan turnover. Pegawai lebih sering
meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam kerja berlangsung, maupun berbagai
bentuk pelanggaran lainnya.
d. Peningkatan protes terhadap atasan
Pegawai yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih sering
melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi
protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain
yang tidak sependapat dengan keinginan pegawai.
e. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya
Biasanya hal ini berlaku untuk pegawai yang karakter positif, pegawai ini
mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika
perilaku positif pegawai ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru
menunjukkan pegawai ini akan melakukan turnover.
Efendi dan Dwijayanti (2013) berpendapat aspek intensi turnover terbagi
menjadi 4 dalam penelitiannya tersebut ia menggabungkan antara aspek intensi
13
dari Azjen dan Fishben (1975) dengan indikasi turnover dari Harnoto (2002)
sebagai berikut :
a. Perilaku (Behavior)
Merupakan perilaku spesifik yang nantinya akan diwujudkan. Dalam konteks
turnover, perilaku spesifik yang akan diwujudkan yaitu bentuk-bentuk perilaku
yang mengarah kearah turnover yaitu sering membolos, tidak maksimal dalam
bekerja, berusaha mencari kerja lain, dan berbuat curang.
b. Sasaran (target)
Sasaran atau target yang merupakan objek yang menjadi sasaran perilaku.
Objek yang menjadi sasaran dari perilaku spesifik dapat di golongkan menjadi
tiga, yaitu orang tertentu/objek tertentu, sekelompok orang atau sekelompok objek
dan orang atau objek pada umumnya, dalam konteks turnover, objek yang
menjadi sasaran yaitu pekerjaan yang lebih baik, atasan, rekan kerja, absen, dan
upah.
c. Situasi (situasion)
Situasi yang dimaksudkan disini adalah situasi yang mendukung untuk
dilakukannya suatu perilaku atau bagaimana dan dimana perilaku itu akan
diwujudkan. Situasi dapat pula diartikan sebagai lokasi terjadinya perilaku. Dalam
konteks turnover, situasi yang menyebabkan turnover yaitu mendapat promosi,
dan masa depan.
14
d. Waktu (time)
Waktu yaitu terjadi perilaku yang meliputi waktu tertentu, dalam satu periode
atau tidak terbatas dalam satu periode yang spesifik. Periode spesifik tersebut
meliputi bulan, hari, tanggal, jam tertentu, dan waktu yang tidak terbatas.
Dari ketiga pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa adanya pikiran
untuk keluar dan mencari lowonga pekerjaan yang baru, ditandai dengan aspek-
aspek intensi turnover menurut Mobley (dalam Schwepker 2001) berpendapat
bahwa tiga aspek intensi turnover adalah adanya pikiran untuk keluar dari
perusahan. Harnoto (2002) berpendapat indikasi-indikasi intensi turnover yaitu
absen yang meningkat, malas bekerja, peningkatan pelanggaran tata tertib,
peningkatan protes terhadap atasan, perilaku positif yang berbeda dari biasanya.
Efendi dan Dwiyanti (2013) berpendapat bahwa aspek intensi turnover adalah
perilaku,sasaran, situasi, dan waktu.
Penulis selanjutnya menempatkan indikasi intensi turnover dari Mobley
(dalam Schwepker 2001) yang terdiri dari adanya pikiran untuk keluar dari
perusahaan, intensi untuk mencari pekerjaan lain, intensi untuk keluar dari
perusahaan. Penulis memilih indikasi intensi turnover dari Mobley (dalam
Schwepker 2001) degan alasan aspek-aspek tersebut menjelaskan unsur-unsur
indikasi turnover secara lengkap, dan mudah difahami, sehingga diharapkan
intensi turnover dapat terungkap dengan lebih detail dan menyeluruh.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Intensi Turnover
Menurut Mobley (dalam Hanafiah, 2014) ada banyak faktor yang membuat
individu memiliki keinginan untuk berpindah. Faktor-faktor tersebut diantaranya
15
adalah kepuasan kerja, komitmen organisasi dari karyawan, kepercayaan terhadap
organisasi, dan job insecurity. Beberapa hal tersebut dapat dijelaskan lebih rinci
sebagai berikut:
a. Kepuasan Kerja
Robbins (dalam Hanafiah, 2014) mendifinisikan kepuasan kerja sebagai sifat
umum individu kepada pekerjaannya, selisoh antara banyaknya ganjaran yang
diterima seorang pekerja dengan banyaknya yang pekerja yakni yang seharusnya
diterima. Kepuasan kerja merujuk pada sikap seseorang terhadap pekerjaannya.
Karyawan dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi menunjukan sikap positif
terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini nampak dari sikap
karyawan terhadap terhadap pekerjaannya dan segala sesuatu didalam lingkungan
tempat ia bekerja. Karyawan dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi biasanya
mempunyai catatan kehadiran, prestasi kerja, serta hubungan kerja yang baik
dengan anggota perusahaan lainnya. Sebaliknya, karyawan dengan tingkat
kepuasan rendah akan menunjukan sikap negatif, baik terhadap pekerjaannya
maupun terhadap lingkungan kerjanya sehingga karyawan akan merasa insecure
dalam dirinya dan merasakan kegelisahan dalam pekerjaannya, pada akhirnya
karyawan akanmemutuskan untuk berhenti atau melakukan turnover intention
(Hanafiah, 2014).
b. Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi sering didefinisikan sebagai sikap yang
mendefisnisikan loyalitas terhadap karyawan pada organisasi dan proses
berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap
16
organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan (Luthans dalam
Kaswan, 2012). Komitmen organisasi yang tinggi dalam karyawan akan tercipta
bila karyawan tersebut yakin terhadap nilai-nilai dan tujuan perusahaan, sehingga
karyawan tersebut akan mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi
tersebut dan berusaha semaksimal mungkin demi tercapainya tujuan organisasi
(Hackett Guinnon, dalam Sopiah, 2008).
c. Kepercayaan Organisasi
Merupakan gambaran dari kemampuan yang diperlihatkan oleh organisasi
untuk memenuhi komitmen organisasi tersebut terhadap karyawan (Steers, 1977).
Ketika karyawan memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap organisasinya
mereka akan peduli terhadap masa depan, keberhasilan perusahaan dan
memahami peran mereka dalam organisasi serta berusaha melakukan yang terbaik
dari peran mereka tersebut (Boe, dalam Zahra dan Mariatin, 2012).
d. Ketidakamanan Kerja (Job insecurity)
Menurut Rowntree (dalam Hanafiah, 2014) ketidakamanan kerja atau dapat
disebut dengan job insecurity dapat didefinisikan sebagai kondisi yang
berhubungan dengan rasa takut seseorang akan kehilangan pekerjaannya atau
prospek akan demosi atau penurunan jabatan serta berbagai ancaman lainnya
terhadap kondisi kerja yang bersosiasi menurunya kesejahteraan secara psikologis
dan menurunya kepuasan kerja. Persepsi job insecurity yang muncul akan diikuti
dengan berbagai dampak negatif baik dalam aspek psikologis maupun
nonpsikologis. Diantara aspek psikologis yang muncul antar lain penurunan
kepuasan kerja dan tidak adanya komitmen dari karyawan. Penurunan kepuasan
17
kerja merupakan sebuah sikap yang ditunjukan oleh setiap individu yang
disebabkan aspek-aspek yang tidak terpenuhi atau tidak seperti yang mereka
harapkan seperti upah, peluang untuk dipromosikan, kondisi kerja, hubungan
dengan atasan, dan hubungan dengan sejawat. Aspek psikologis yang muncul
antara lain penurunan kepuasan kerja dan tidak adanya komitmen dari karyawan.
Konsekuensi yang muncul dari penurunan kepuasan kerja adalah aspek
nonpsikologis berupa perilaku yang diwujudkan oleh karyawan dengan adanya
keinginan untuk keluar atau intensi turnover (Wening, dalam Hanafiah, 2014).
Simamora (1999) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya intensi turnover sebagai berikut:
a. Usia
Maire (dalam Simamora, 1999) mengatakan bahwa pekerja mudah
mempunyai tingkat intensi turnover yang lebih tinggi daripada pekerja yang lebih
tua. Karyawan yang lebih muda lebih tinggi kecenderungan untuk keluar dari
perusahaan. Hal ini disebabkan pekerja yang berusia lebih tua tidak mau
berpindah-pindah tempat kerja karena berbagai alasan seperti tanggung jawab
keluarga, mobilitas yang menurun, energi yang sudah berkurang dan senioritas
yang belum tentu diperoleh di tempat kerja yang baru.
b. Lama Bekerja
Intensi turnover biasanya terjadi pada karyawan dengan masa kerja yang
lebih singkat. Semakin lama seseorang yang bekerja di suatu organisasi maka
keinginan untuk keluar akan semakin kecil karena karyawan tersebut memiliki
18
rasa ketertarikan atau loyalitas terhadap perusahaannya dan merasa akan semakin
sulit untuk pindah ke perusahaan lainnya.
c. Tingkat Pendidikan dan Intelegensi
Tingkat pendidikan berpengaruh pada dorongan untuk melakukan intensi
turnover. Hal ini dikarenakan pendidikan dikaitkan dengan tingkat intelegensi
seseorang. Seseorang yang mempunyai tingkat intelegensi tidak terlalu tinggi
akan memandang tugas yang sulit sebagai tekanan dan menjadi sumber
kecemasan yang membuatnya gelisah dan merasa tidak nyaman, sehingga hal
tersebut dapat menimbulkan intensi turnover pada karyawan tersebut.
d. Keikatan terhadap perusahaan
Karyawan yang memiliki rasa keterikatan yang kuat terhadap perusahaan
tempatnya bekerja maka mempunyai perasaan memiliki rasa aman, tujuan, dan
arti hidup serta gambaran diri yang positif. Akibat dari semuanya itu adalah
menurunya dorongan karyawan untuk berpindah atau keluar dari perusahaan.
e. Organisasi
Termasuk di dalamnya adalah tipe budaya organisasi, besar kecilnya minat
kerja, sistem penggajian, jenis dan bobot pekerjaan, pengawasan dalam bekerja
dan kondisi lingkungan kerja. Keadaan organisasi yang tidak sesuai harapan
karyawan akan memunculkan intensi turnover.
f. Kepuasan kerja
Tingkat turnover dipengaruhi oleh kepuasan kerja seseorang. Mereka
menemukan bahwa semakin tidak puas seseorang terhadap pekerjaanya akan
semakin kuat untuk berkeinginan keluar dari perusahaan dan pada akhirnya
19
melakukan intensi turnover. Ketidakpuasan penyebab seseorang berkeinginan
untuk keluar dari perusahaan dikarenakan ketidakpuasan terhadap perusahaan,
kondisi kerja, mutu, pengawasan, penghargaan, gaji, promosi, dan hubungan
interpersonal.
Wanous (1980) menyatakan ada 2 faktor yang mempengaruhi timbulnya
intensi turnover, dijelaskan lebih detail sebagai berikut:
1. Individual Differences
a. Gender
Dari segi gender ditemukan bahwa wanita lebih cenderung untuk melakukan
turnover dibandingkan dengan pria. Hasil penelitian Kinnuen (1999) menunjukan
bahwa pegawai pria cenderung menjadi lebih khawatir kehilangan pekerjaan
dibandingkan dengan pegawai wanita.
b. Race
Parson (dalam Mobley, 1982) menyatakan bahwa karyawan perusahaan yang
berkulit hitam lebih banyak mengalami turnover dibandingkan yang berkulity
putih.
c. Age
Karyawan yang muda memiliki kemungkinan yang tinggi untuk
meninggalkan perusahaan. Hal ini dikarenakan karyawan yang lebih muda
mungkin mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan
pekerjaan yang baru yang memiliki tanggung jawab kekeluargaan yang lebih
kecil, sehingga dengan demikian lebih mempermudah mobilitas pekerjaan.
20
d. Education
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Parson (dalam Mobley, 1986)
individu yang berpendidikan tinggi cenderung untuk melakukan turnover
dibandingkan individu yang berpendidikan rendah.
2. Organization Characteristic
a. Pay level
Turnover berada pada tingkat tertinggi didalam industri-industri yang
menggaji karyawannya lebih rendah. Armknecht dan Early (dalam Mobley, 1986)
menyatakan faktor penting dalam menentukan berbagai variasi antar industri
dalam hal turnover adalah tingkat pendapatan yang ada dalam industri tersebut.
b. Existence of training program
Dengan adanya program training maka diharapkan kemampuan yang dimiliki
oleh karyawan akan semakin meningkat dengan demikian karyawan akan
diberikan kesempatan untuk mengembangkan karir ini akan menurunkan
keinginan karyawan untuk keluar dari organisasi tersebut.
c. Length of training program
Salah satu strategi untuk mensosialisasikan budaya perusahaan kepada
karyawan adalah melalui training. Melalui lamanya jangka waktu pengadaan
training diharapkan karyawan akan semakin memahami dan menerima budaya
dari perusahaan. Dengan kata lain karyawan akan merasa puas terhadap
keberadaan perusahaan, dan untuk meninggalkan perusahaan pun akan semakin
kecil.
21
Zaffane (1994) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi intensi
turnover antara lain adalah faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal
tersebut meliputi pasar tenaga kerja, sedangkan faktor internal meliputi kondisi
ruang kerja, upah, ketrampilan kerja, dan supervise, serta karakteristik personal
dari karyawan yang meliputi intelegensi, sikap, masa lalu, jenis kelamin, minat,
umur, dan lama bekerja, serta reaksi individu terhadap pekerjaannya.
Berdasarkan penjelasan faktor-faktor dari Mobley (2000), Simmora (1999),
Wanaous (1980) dan Zaffane (1994) diketahui bahwa semua faktor-faktor di atas
intensi turnover dipengaruhi ileh faktor internal dan eksternal yang dimiliki oleh
karyawan. Mobley (2000) berpendapat bahwa faktor intensi turnover dipengaruhi
oleh kepuasan kerja, komitmen organisasi dari karyawan, kepercayaan terhadap
organisasi, dan job insecurity. Simmora (1999) berpendapat bahwa faktor yang
mempengaruhi intensi turnover adalah usia, lama bekerja, tingkat pendidikan dan
intelegensi, kaitan terhadap perusahaan, organisasi, dan kepuasan kerja. Wanaous
(1980) berpendapat bahwa faktor intensi turnover terletak pada faktor individual
dan faktor karakter organisasi. Zaffane, (1994) berpendapat bahwa faktor intensi
turnover adalah faktor eksternal dan faktor internal, faktor eksternal meliputi
pasar tenaga kerja, sedangkan faktor internal meliputi kondisi ruang kerja, upah,
ketrampilan kerja, dan supervise, serta karakteristik personal dari karyawan.
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa job
insecurity merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan munculnya
intensi turnover pada karyawan seperti yang telah dijelaskan pada faktor-faktor
diatas. Melihat dari hasil penelitian Satiningsih dan Beta (2013) yang menunjukan
22
bahwa kepuasan kerja dan budaya organisasi hanya menyumbang pengaruh
sebesar 29,1% sedangkan sisanya 70,9% disebabkan oleh variabel yang lain yang
tidak diukur. Berdasarkan keterangan diatas peneliti memutuskan untuk
meletakan fokus penelitian pada kondisi psikologis yang di alami karyawan dalam
bentuk job insecurity.
B. Job insecurity
1. Pengertian Job insecurity
Menurut Greenlagh dan Rosenblatt (dalam Hanafiah, 2014) job insecurity
merupakan ketidakberdayaan yang dirasakan karyawan untuk mempertahankan
kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang mengancam. Menurut
Rowntree (2014) ketidaksamaan kerja atau dapat disebut dengan job insecurity
dapat didefinisikan sebagai kondisi yang berhubungan dengan rasa takut
seseorang akan kehilangan pekerjaannya atau prospek akan demosi atau
penurunan jabatan serta berbagai ancaman lainnya terhadap kondisi kerja yang
bersosiasi menurunnya kesejahteraan secara psikologis dan menurunnya kepuasan
kerja. Menurut Gabriela dan Ratnawati (2011) Job insecurity merupakan suatu
tingkat dimana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak
berdaya untuk melakukan apa pun terhadap situasi tersebut.
Mizar (dalam Devi dan Sudiba, 2015) mengartikan job insecurity sebagai
kondisi psikologis seseorang (karyawan) yang menunjukan rasa bingung atau
merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah-ubah (perceived
impermanance). Menurut Saylor (2004) Job insecurity juga diartikan sebagai
perasaan tegang, gelisah, khawatir, stres, dan merasa tidak pasti dalam kaitannya
23
dengan sifat dan keberadaan pekerjaan selanjutnya yang dirasakan pada pekerja.
Ketakutan yang berlebih menciptakan keinginan untuk selalu bekerja lebih keras
untuk menghindari resiko terjadinya ketidakamanan dalam bekerja (job
insecurity) seseorang. Menurut De Witte dkk (dalam Safaria, 2011) Job insecurity
berkaitan dengan persepsi dan kekhawatiran individu tentang adanya potensi
kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba.
Sedangkan Harley dkk (dalam Safaria, 2011) mendefinisikan job
insecurity sebagai adanya kesenjangan antara tingkatan rasa aman yang dialami
individu saat ini dengan tingkattan rasa aman yang dinginkan individu. Safaria
(2011) mendefinisikan job insecurity adalah keseluruhan kekhawatiran atau tidak
aman tentang eksistensi keberlangsungan pekerjaannya di masa depan yang
berkaitan dengan kestabilan pekerjaan, perkembangan karir, dan penururunan
penghasilan yang menyebabkan keadaan distres, cemas, dan tidak aman.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa job insecurity
adalah kondisi psikologis yang dirasakan oleh karyawan seperti halnya merasa
terancam, kebingungan, dan merasa tidak aman terhadap keberlangsungan
pekerjaan dimasa depan.
2. Aspek-aspek Job insecurity
Greenlagh dan Rosenblatt (dalam Hanafiah, 2014) konstruk Job insecurity
bersifat multi dimensional yang terdiri dari lima komponen yaitu:
24
a. Arti penting pekerjaan bagi individu
Seberapa pentingnya aspek kerja tersebut bagi individu memperngaruhi
tingkat insecure atau rasa tidak aman misalnya kesempatan untuk promosi dan
kebebasan jadwal pekerjaan.
b. Tingkat ancaman yang dirasakan pada pekerjaan
Komponen ini berisikan tingkat ancaman yang mempengaruhi pekerjaannya
secara menyeluruh seperti promosi, kenaikan upah, atau mempertahankan upah
yang ada. Kondisi iniakan dirasakan oleh individu yang terancam kehilangan
aspek pekerjaan tersebut akan merasakan perasaan gelisah dan merasa tidak
berdaya yang mengakibatkan pekerja akan mengalami job insecurity yang lebih
tinggi dibandingkan dengan karyawan yang tidak merasa terancam.
c. Kepentingan yang dirasakan individu mengenai potensi setiap peristiwa
Komponen ini berisikan tingkat kepentingan yang dirasakan individu
menegnai potensi setiap peristiwa negative tersebut. Misalnya dipecat atau
diberhentikan dalam jangka waktu dekat.
d. Kemungkinan munculnya peristiwa yang negatif
Komponen ini berisikan tingkat ancaman kemungkinan terjadi peristiwa-
peristiwa yang secara negatif mempengaruhi keseluruhan kerja individu, misalnya
dipecat atau dipindahkan ke kantor cabang yang lain.
e. Ketidakberdayaan yang dirasakan individu
Ketidakberdayaan yang dirasakan individu membawa akibat pada cara
individu tersebut menghadapi ancaman yang dirasakan. Jika individu menerima
ancaman pada aspek kerja atau kejadian kerja maka mereka akan menghadapi
25
ancaman tersebut sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Ketidakberdayaan
individu yang rendah menandakan bahwa individu merasa mampu menghadapi
ancaman didalam organisasi, dan tidak mengalami kegelisahan meskipun tetap
ada ancaman pada aspek kerja.
Ashford dkk (dalam Hanafiah, 2014) dalam mengembangkan indikator job
insecurity menjadi:
a. Keparahan ancaman (severity of threat)
Keparahan ancaman meliputi seberapa besar individu mempersepsikan
adanya ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan dan ancaman terhadap
pekerjaan secara keseluruhan.
1) Ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan
Dapat dijelaskan bahwa ancaman terhadap aspek-aspek pekerjaan seperti
kemungkinan mendapat promosi, mempertahankan tingkat upah yang diterima
sekarang atau memperoleh kenaikan upah. Individu yang menilai bahwa salah
satu aspek tertentu yang terancam akan lebih gelisah dan tidak berdaya. Seberapa
besar kemungkinan yang dirasakan karyawan terhadap perubahan (kejadian
negatif) yang mengancam bagian-bagian dari aspek pekerjaan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa aspek ini adalah
kemungkinan perubahan negative pada bagian-bagian aspek kerja.
2) Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan
Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan merupakan persepsi
seseorang mengenai adanya kejadian-kejadian negatif yang dapat mempengaruhi
pekerjaannya , seperti diberhentikan untuk sementara waktu. Ancaman tersebut
26
dapat diketahui melalui seberapa penting dan seberapa mungkin kejadian-kejadian
negatif tersebut depersepsikan akan mempengaruhi pekerjaanya secara
keseluruhan.
b. Ketidakberdayaan (powerlessness)
Ketidakberdayaan menunjukan ketidakmampuan seseorang untuk mencegah
munculnya ancaman yang berpengaruh terhadap aspek-aspek pekerjaan dan
pekerjaan secara keseluruhan. Semakin individu merasa tidak berdaya semakin
tinggi tingkat job insecurity.
Ruvio dan Rosenblatt (dalam Hanafiah, 2014) kemudian memperjelas kembali
kedua dimensi tersebut, yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang
Yang dimaksud dengan perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang
ialah misalnya seseorang dipindahkan keposisi yang lebih rendah dalam
organisasi, dipindahkan kepekerjaan lain dengan level yang sama dalam
organisasi atau diberhentikan sementara. Pada sisi lain kehilangan pekerjaan
mungkin dapat terjadi secara atau seseorang mungkin dipecat atau dipaksa
pensiun lebih awal.
b. Perasaan terancam terhadap tampilan kerja
Misalnya perubahan organisasional yang menyebabkan seseorang kesulitan
untuk mengalami kemajuan dalam organisasi, mempertahankan gaji ataupun
meningkatkan pendapatan. Hal ini mungkin berpengaruh terhadap posisi
seseorang dalam perusahaan, kebebasan untuk mengatur pekerjaan, penampilan
kerja, dan signifikanpekerjaan. Ancaman terhadap tampilan kerja mungkin juga
27
berperan dalam kesulitan mengakses sumber-sumber yang sebelumnya siap
dipakai.
c. Ketidakberdayaan (powerlesnes)
Job insecurity mungkin berperan dalam perasaan seseorang terhadap
kurangnya kontrol atau ketidakmampuan untuk mengendalikan kejadian-kejadian
di lingkungan tempat seseorang bekerja.
Dari ketiga pendapat tokoh diatas dapat dimpulkan bahwa rasa ketidakamanan
kerja dan job insecurity ditandai dengan adanya aspek-aspek job insecurity
menurut Greenlagh dan Rosenblatt (dalam Hanafiah, 2014) job insecurity terdiri
dari lima komponen yang terdiri dari arti penting pekerjaan bagi individu, tingkat
ancaman yang dirasakan pada pekerjaan, kepentingan yang dirasakan individu
mengenai potensi setiap peristiwa, kemungkinan munculnya peristiwa yang
negatif, ketidakberdayaan yang dirasakan individu. Ashford dkk (dalam Hanafiah,
2014) mengembangkan job insecurity menjadi dua indikator yaitu yang pertama
keparahan ancaman yang terdiri dari, ancaman terhadap aspek-aspek dalam
pekerjaan, dan ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan, serta kedua
ketidakberdayaan (powerlesnes). Rovio dan Rosenblatt (dalam Hanafiah, 2014)
kemudian memperjelas kembali kedua dimensi tersebut menjadi perasaan
terancam pada total pekerjaan seseorang, perasaan terancam terhadap tampilan
kerja, ketidakberdayaan.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti selanjutnya akan menggunakan aspek-
aspek job insecurity yang dikemukakan Ashford dkk (dalam Hanafiah, 2014)
yaitu indikator pertama keparahan ancaman yang terbagi menjadi dua yaitu
28
ancaman pada aspek-aspek dalam pekerjaan seperti kemungkinan mendapatkan
promosi, mempertahankan tingkat upah atau memperoleh kenaikan upah. Yang
kedua ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan seperti mendapatkan
skorsing atau diberhentikan untuk sementara waktu. Indikator kedua adalah
ketidakberdayaan seperti mutasi jabatan atau pemindahan tempat kerja namun
tetap diperusahaan yang sama. Aspek yang diungkapkan oleh Ashford dkk (dalam
Hanafiah, 2014) dinilai lebih lengkap untuk mencakup aspek dari job insecurity
dan mampu mengungkap aspek job insecurity secara mendalam.
C. Hubungan Antara Job insecurity dengan Turnover intention Pada
Karyawan
Job insecurity merupakan ketidakberdayaan yang dirasakan karyawan untuk
mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang
mengancam. Selain itu, pekerja yang bereaksi terhadap ketidakamanan kerja akan
berdampak pada efektivitas organisasi (Greenhalgh dan Rosenblatt dalam
Hanafiah, 2014). Sebuah perusahaan yang tidak mampu mengelola efektivitas dan
kebijakan organisasi dengan baik dapat berdampak buruk terhadap sikap kerja
karyawan sehingga dimungkinkan terjadi permasalahan di perusahaan yang salah
satunya adalah perilaku karyawan untuk berhenti atau berpindah yang disebut
turnover.
Pasewark dan Strawser (1996) berpendapat bahwa faktor penentu lain yang
dapat menyebabkan intensi turnover pada karyawan yaitu job insecurity, faktor-
faktor kerja yang kurang mendukung pun dapat menimbulkan job insecurity bagi
karyawan yang kemudian berujung pada intensi turnover sebagai konsekuensi
29
akhir. Menurut Mobley dkk, (dalam Halimah, 2016) intensi turnover mengacu
pada niat karyawan mencari alternatif pekerjaan lain dan belum terwujud dalam
perilaku nyata. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa intensi turnover karyawan
merupakan sinyal awal terjadinya turnover dalam perusahaan. Individu
mengalami tekanan job insecurity memiliki alasan rasional untuk mencari
alternatif pekerjaan lain yang dapat mendukung kelanjutan dan memberikan rasa
aman bagi individu tersebut (Greenhalgh dan Rosenblatt, dalam Hanafiah, 2014).
Dilihat dari hasil penelitian sebelumnya Prastiti (dalam Sudibia dan Devi,
2015) mengungkapkan bahwa job insecurity memiliki pengaruh positif terhadap
intensi turnover. Menurut Sverke, dkk (dalam Hanafiah, 2014) dalam
penelitiannya menemukan beberapa dampak pada karyawan dan organisasi dalam
jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Untuk jangka panjangnya sendiri
akan berdampak terhadap kesehatan fisik, kesehatan mental, perfoma kerja, dan
intensi turnover. Ashford dkk (dalam Hanafiah, 2014) menyatakan bahwa job
insecurity merupakan perasaan tegang, gelisah, khawatir, stres, dan merasa tidak
pasti dalam kaitannya dengan sifat dan keberadaan pekerjaan selanjutnya yang
dirasakan karyawan, dan perasaan tersebutdapat menyebabkan efek terhadap
intensi turnover pada karyawan. Joeslen dan Walquist (dalam Hanafiah, 2014)
menyatakan bahwa job insecurity merupakan pemahaman individual pekerja
sebagai tahap pertama dalam proses kehilangan pekerjaan, dimana pekerja yang
mengalami tekanan berlebih atas pekerjaannya cenderung untuk mencari alternatif
pekerjaan lain.
30
Dalam penelitian Adrinirina (2015) karyawan di Royal hotel`lounge
cenderung ingin memelihara karirnya untuk jangka waktu yang panjang, mereka
juga percaya bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan mampu memenuhi tujuan
hidupnya, selain itu lingkungan kerja yang kondusif membuat mereka betah
bekerja sehingga job insecurity yang ada akan diabaikan. Penelitian Sedibia dan
Devi (2015) dari hasil penelitiannya tentang job insecurity dan intensi turnover
menunjukan bahwa memiliki pengaruh positif yang hal ini berarti semakin tinggi
job insecurity akan menyebabkan tingginya tingkat intensi turnover.
Hanafiah (2014) berpendapat bahwa karyawan yang mengalami job insecurity
yang makin meningkat karena ketidakstabilan terhadap status kepegawaian
mereka dan tingkat pendapatan yang makin tidak bisa diramalkan, akibatnya
intensi turnover cenderung meningkat. Elman (2002) menyatakan pada akhirnya
job insecurity akan menimbulkan krisis identitas seorang karyawan yang
mengalaminya, penurunan taraf kehidupan ekonomi, dan memicu tingginya
angka pengangguran. Job insecurity juga dapat menurunkan tingkat
kesejahteraan psikologis karyawan bahkan anggota keluarganya. Job insecurity
juga akan membawa dampak bagi kondisi perekonomian keluarga yang salah
satu anggota keluarganya mengalami job insecurity sebab kondisi tersebut
berarti kehilangan sumber mata pencaharian sehingga menimbulkan stres dan
konflik dalam keluarga (Burchell, dkk, 1999). Kesulitan dalam membangun
kontak sosial dan memperoleh dukungan sosial, serta kehilangan kesempatan
untuk memperoleh kesempatan promosi kerja dan pengembangan karier
(Nolan, 2005).
31
Ashford dkk (dalam Hanafiah, 2014) mendefinisikan job insecurity terdiri
dari dua indikator yaitu : (1) keparahan ancaman, seperti ancaman pada aspek-
aspek dalam pekerjaan meliputi kemungkinan mendapatkan promosi,
mempertahankan tingkat upah atau memperoleh kenaikan upah. Yang kedua
ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan seperti mendapatkan skorsing
atau diberhentikan untuk sementara waktu. (2) ketidakberdayaan seperti mutasi
jabatan atau pemindahan tempat kerja namun tetap diperusahaan yang sama.
Indikator keparahan ancaman meliputi seberapa besar individu mempersepsikan
adanya ancaman keseluruhan. Perasaan tidak aman akan membawa dampak pada
job attitudes karyawan, penurunan komitmen, bahkan keinginan untuk turnover
yang semakin besar (Andrinrina, 2015).
Indikator ke dua yaitu ketidakberdayaan, ketidakberdayaan yang dirasakan
individu membawa akibat pada cara individu tersebut menghadapi ancaman yang
dirasakan didalam lingkungan kerja. Ketidakberdayaan yang rendah menandakan
bahwa individu merasa mampu menghadapi ancaman didalam organisasi, dan
tidak mengalami kegelisahan meskipun tetap ada ancaman pada aspek kerja
(Greenhalgh dan Rosenblatt, dalam Hanafiah, 2014). Ashford dkk (dalam
Hanafiah, 2014) berpendapat bahwa semakin tinggi keberdayaan yang dirasakan
oleh karyawan yang akan berdampak pada intensi turnover.
Berdasarkan pemaparan diatas peneliti menduga bahwa job insecurity
berhubungan dengan intensi turnover pada karyawan. Maka disimpulkan bahwa
job insecurity memiliki peran terhadap munculnya intensi turnover karyawan.
Karyawan yang mengalami job insecurity yang tinggi akan cenderung lebih tinggi
32
munculnya intensi turnover dibandingkan dengan karyawan yang rendah tingkat
job insecurity nya.
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu
terdapat hubungan positif antara job insecurity dengan intensi turnover pada
karyawan. Hal ini berarti semakin tinggi job insecurity yang dialami oleh
karyawan maka cenderung tinggi intensi turnover pada karyawan, sebaliknya
semakin rendah job insecurity yang dialami oleh karyawan maka cenderung
rendah intensi turnover pada karyawan.