bab ii tinjauan pustaka, hasil penelitian, …...keadilan sosial dan sila-sila lainnya. teori...
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN, DAN
PEMBAHASAN
2.1. Tinjauan Pustaka tentang Keadilan Bermartabat
Teori Keadilan Bermartabat adalah suatu ilmu hukum (jurisprudence) atau
suatu filsafat hukum yang dikembangkan oleh ahli hukum Indonesia. Teori ini bukan
teori saduran dari teori-teori yang dikembangkan di Barat, sekalipun teori Keadilan
Bermartabat tidak anti terhadap pemikiran Barat, atau pemikiran, filsafat apa pun
yang merupakan produk dari pemikiran manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa yang mulia. Menurut teori Keadilan Bermartabat, dalam hal ini
sebagai ilmu hukum , cakupan atau scope dari teori Keadilan Bermartabat dapat
dilihat dari susunan atau lapisan dalam ilmu hukum.
Teori Keadilan Bermartabat sebagai ilmu hukum memiliki suatu skopa atau
cakupan yang antara lain; di tempat pertama filsafat hukum atau philosophy of law,
kedua teori hukum atau legal theory, ketiga dogmatik hukum atau ilmu hukum positif,
keempat hukum dan praktik hukum. Lapisan ilmu dalam teori keadilan bermartabat
itu adalah lapisan yang saling terpisahantara satu dengan lapisan lainnya, naming
pada prinsipnya lapisan-lapisan ilmu hukum itu merupakan satu kesatuan sistematik,
mengendap, hidup dalam satu sistem. Saling berkaitan antara satu dengan yang
lainnya, bahu menbahu gotong royong sebagai suatu sistem. Lapisan dalam ilmu
14
hukum yang menjadi sumber atau tempat dimana kaidah hukum dan asas-asas hukum
yang saling berkaitan satu dengan lainnya ditemukan.15
Lapisan yang di atas mendikte (the law dictate), menerangi atau memberi pengayaan
terhadap lapisan ilmu hukum di bawahnya. Perspektif sistem memandang fungsi
lapisan ilmu hukum yang berada di tempay kedua adalah mendukung lapisan ilmu
hukum yang berada di tempat yang pertama. Dengan kata lain, lapisan yang pertama
tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan atau topangan lapisan-lapisan di bawahnya.
Di dalam suatu sistem antara komponen atau lapisan yang satu, tidak dapat
dipisahkan dengan komponen atau lapisan ilmu hukum lainnya. Sangat penting
diperhatikan, bahwa dalam teori Keadilan Bermartabat; tidak pula dikehendaki
adanya konflik dalam lapisan-lapisan ilmu hukum itu.16
Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum mengatakan bahwa Sebagai
suatu filsafat, teori keadilan bermartabat menggambarkan tujuan hukum yang ada
didalam setiap sistem hukum, terutama tujuan tujuan hukum dalam sistem hukum
berdasarkan Pancasila. Penekanannya dilakukan terhadap asas kemanusiaan yang
adil dan beradap, yang mendasari konsepsi memanusiakan manusia; disamping
keadilan sosial dan sila-sila lainnya. Teori Keadilan Bermartabat juga menjelaskan
tujuan hukum dalam pengertian keadilan, kepastian, dan kemanfaatan yang ada
didalam setiap asas dan kaidah hukum yang saling berkaitan satu sama lain dalam
sistem tersebut.
15
Teguh Presetyo, Keadilan Bermartatabat Perspektif Teori Hukum, Cet.1, Penerbit Nusa
Media, Bandung, 2015, hal. 1-3. 16
Ibid. hal. 3-4.
15
Keadilan Bermartabat berpendirian bahwa baik keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum adalah merupakan satu kesatuan yang berhimpun didalam keadilan.
Menurut Mahadi, filsafat hukum ialah filsafat tentang hukum, falsafah tentang segala
sesuatu di bidang hukum secara mendalam sampai ke akar-akarnya secara sistematis.
Soedjono Dirjosisworo mengemukakan: filsafat hukum adalah pendirian atau
penghayatan kefilsafatan yang dianut orang atau masyarakat atau negara tentang
hakikat ciri-ciri landasan berlakunya hukum.17
Sebagai sebuah teori, maka seharusnya
teori tersebut dipahami dengan kesadaran penuh atau dirasionalisasi bahwa sejatinya
teori itu adalah alat, artinya setiap teori yang dibangun selalu berorientasi kepada nilai
kemanfaatan untuk manusia dan masyarakat. Teori Keadilan Bermartabat bernilai,
seperti nilai yang dimaksud Notonagoro, sebab sekurang-kurangnya teori itu
memiliki kualitas, dapat dimanfaatkan oleh suatu bangsa yang besar wilayah dan
penduduknya. Dimaksudkan dengan berkualitas, juga antara lain bahwa sesuatu itu
dapat dirasakan bermanfaat atau dapat digunakan untuk tujuan yang baik; menjadi
alat pemersatu, memahami, menjelaskan dan memelihara bentuk sistem hukum dari
suatu bangsa yang besar.18
Secara formal-konstitusional, bangsa Indonesia mengakui Pancasila adalah
dasar negara (filsafat negara) Republik Indonesia yang lahir dari perenungan nilai-
nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadalian dan kemudian
dijadikanlah dasar teori Keadilan Bermartabat. Secara potensisal filsafat Pancasila
akan berkembang bersama dinamika budaya; filsafat Pancasila akan berkembang
17
Ibid, hal. 52. 18
Ibid, hal.91-92.
16
secara konsepsional, kaya konsepsional dan kepustakaan secara kuantitas dan kualitas.
Pancasila merupakan suatu falsafah yang bersistem, serta obyektif. Sila-sila Pancasila
kait mengkait secara bulat atau dalam keutuhan. Kebulatan itu menunjukan hakekat,
maknanya sedemikian rupa, sehingga menemukan bangunan filsafat Pancasila jika
substansi hukum memang sesuai dengan isi jiwa bangsa Indonesia turun temurun. Isi
jiwa inilah yang merupakan alat pengukur tentang benar tidaknya suatu kaidah atau
asas hukum itu benar-benar adalah filsafat Pancasila.19
Keadilan Bermartabat merupakan keadilan hukum dalam perspektif pancasila
yang dilandasi oleh sila ke-2 yaitu adil dan beradap sedangkan keadilan ekonomi
dilandasi okeh sila ke-5 yaitu keadilan sosial..20
Keadilan adalah tujuan yang hendak dicapai oleh setiap sistem hukum.
Sementara pihak berpendapat bahwa keadilan yang hendak dicapai adalah keadilan
ekonomi yang bersifat kebendaan. Pandangan ini, ultirateral. Teori keadilan
bermartabat justru sebaliknya, keadilan yang wajib disediakan oleh sistem adalah
keadilan yang berdimensi spiritual, yang berada didalam konsep kemerdekaan itu
sendiri.21
Istilah adil dan beradap sebagaimana yang dimaksud dalam sila ke-2
Pancasila yaitu kemanuisaan yang adil dan beradap. Disini terkandung prinsip
perikemanusian atau internasionalisme dan terlaksananya penjelmaan dari pada
unsur-unsur hakekat manusia, jiwa raga, akal-rasa, kehendak serta sifat kodrat
perseorangan dan makhluk sosial. Semua ini dikarenakan kedudukan kodrat pribadi
19
Ibid, hal.77-79. 20
Ibid, hal.106. 21
Ibid, hal.107.
17
diri sendiri dan makhluk Tuhan Yang maha Esa sebagai causa prima, dalam bentuk
penyelanggaraan hidup yang bermartabat setinggi-tingginya.22
Sila ke-2 menegaskan filsafat Pancasila mengenai manusia adalah pribadi
yang memiliki harkat dan martabat yang luhur, yang merupakan bawaan kodratinya
sehingga secara eksplisit Pancasila mengakui paham kemanusiaan.23
Secara tegas
prinsip kemanusiaan mengandung arti adanya penghargaan dan penghormatan
terhadap harkat dan martabat manusia yang luhur tanpa harus membeda-bedakan
antara satu dengan yang lain.24
Landasan oleh sila ke-2 dalam Pancasila, maka keadilan hukum yang dimiliki
bangsa Indonesia adalah keadilan yang memanusiakan manusia. Keadilan
berdasarkan sila ke-2 dalam Pancasila itulah yang disebut sebagai keadilan
bermartabat. Keadilan Bermartabat adalah dimana seseorang secara hukum bersalah
tetapi tetap diperlakukan sebagai manusia. Keadilan Bermartabat yaitu keadialan
yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Keadilan yang bukan saja secara
material melainkan juga secara spiritual, selanjutnya material mengikutinya secara
otomatis. Keadilan Bermartabat menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan dijamin hak-haknya.25
Jaminan kecelakaan kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerja sebagai
Keadilan Bermartabat didasarkan kepada Pancasila sebagai dasar utama, karena hak
asasi manusia pada prinsipnya adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
22
Ibid, hal. 108-109. 23
Muatafa Kama l Pasha, Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis, Filosofis, cet-1, Citra
Karsa Mandiri, Yogyakarta, 2002, hal. 173. 24
Ibid, hal. 171. 25
Ibid.
18
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.26
Salah satu hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia adalah hak
atas jaminan kecelakaan dan pemeliharaan kesehatan pekerja yang terangkum dalam
jaminan sosial. Maka dari itu, sering kali dikemukakan bahwa jaminan sosial
merupakan program yang bersifat universal/umum dan harus diselenggarakan oleh
semua negara.27
Jaminan kecelakaan kerja pemeliharaan kesehatan pekerja sangat
diperlukan karena pada saat bekerja kita tidak tau hal apa yang akan menimpa baik
itu musibah kecelakaan atau pun sakit. Dengan demikian jaminan kecelakaan kerja
dan pemeliharaan kesehatan pekerja termasuk sebagai Keadilan Bermartabat karena
didalamnya terdapat aspek kemanusian seperti yang tertuang pada sila ke-2 yaitu
kemanusian yang adil dan beradap.
a. Peraturan Mengenai Kecelakaan Kerja dan Pemeliharaan
Kesehatan Pekerja
Kecelakaan kerja merupakan resiko yang dihadapi oleh tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan, karena pada umumnya kecelakaan bisa jadi akan
mengakibatkan:28
a. Kematian, yaitu kecelakaan-kecelakaan yang mengakibatkan
penderitanya bisa meninggal dunia.
26
Zaeni Asyahdie, Op.Cit, 2013, hal.21. 27
Ibid. 28
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Cet-3,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 122.
19
b. Cacat atau tidak berfungsinya sebagian dari anggota tubuh tenaga kerja
yang menderita kecelakaan. Cacat ini terdiri dari:
1) Cacat tetap, yaitu kecelakaan-kecelakaan yang mengakibatkan
penderitanya mengalami pembatasan atau gangguan fisik atau
mental yang bersifat tetap.
2) Cacat sementara yaitu kecelakaan-kecelakaan yang
mengakibatkan penderitanya menjadi tidak mampu bekerja
untuk sementara waktu.
Kecelakaan adalah kejadian yang tak terduga dan diharapkan tidak terjadi.
Tak terduga karena dibelakang peristiwa terdebut tidak terdapat unsur kesengajaan,
lebih-lebih dalam bentuk perencanaan. Tidak diharapkan karena peristiwa kecelakaan
disertai dengan kerugian material ataupun penderitaan dari yang paling ringan sampai
yang paling berat, baik bagi pengusaha maupun bagi pekerja/buruh.29
Hubungan antara perlunya keselamatan dan kesehatan kerja diterapkan
dengan kerugian sebagai konsekuensi dari dampak yang terjadi Oleh, karena itu,
keselamatan dan kesehatan kerja, terutama dalam bentuk pengaturan dan program-
program kerja.30
Dari dasar pemikiran tadi terdapat beberapa prinsip yang mendasari
jaminan sosial tenaga kerja terkhusus pada jaminan kecelakaan kerja dan jaminan
pemeliharaan pekerja, prinsip-prinsip tersebut adalah;
Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 86 dan
87). Pasal 86; (1). Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
29
Ibid, hal. 123. 30
Aloysius Uwiyono, Op.Cit, 2014, hal. 81.
20
perlindungan atas: keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan; dan
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
(2). Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas
kerjayang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. (3).
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 87; (1). Setiap
perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. (2). Ketentuan mengenai
penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerjasebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Untuk
pengawasan berdasarkan Undang-undang ini pengusaha harus membayar retribusi
menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan perundangan (Pasal
7). Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan
kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan
sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya [Pasal 8 ayat (1)].
Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada di bawah
pimpinannya, secara berkala pada Dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan
dibenarkan oleh Direktur [Pasal 8 ayat (2)].
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan. Kesehatan kerja
meliputi pclayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja, dan syarat
kesehatan kerja. [Pasal 23 ayat (2)]. Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan
kesehatan kerja. [Pasal 23 ayat (3)].
21
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/Men/1996 tentang Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Setiap perusahaan yang
mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung
potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang
dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan
penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3. [Pasal 3 ayat (1)].
Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan
oleh Pengurus, Pengusaha dan seluruh tenaga kerja sebagai satu kesatuan. [Pasal 3
ayat (2)].31
Prinsip-prinsip tersebut bertujuan untuk melindungi keselamatan
pekerja/buruh guna mewujutkan produktivitas kerja yang optimal, dengan cara
pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya tempat kerja,
promosi kesehatan, pengobatan dan tempat rehabilitasi32
. Dengan demikian,
eksistensi peraturan perundang-undangannya adalah : a). Melindungi pekerja dari
proses kecelakaan kerja. b). Meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh. c).
Agar pekerja/buruh dan orang-orang sekitarnya terjamin keselamatannya. d).
Menjaga agar sumber produksi di pelihara dan dipergunakan secara aman dan
berdaya guna.33
Menurut Iman Sjahputra Tunggal, kecelakaan adalah suatu kejadian yang
tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses yang telah
31
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cet. 4 Edisi Revisi, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2014, hal. 109. 32
Ibid, hal.111. 33
Ibid.
22
diatur dari suatu aktivitas dan dapat menimbulkan kerugian baik korban manusia dan
harta benda.34
Dalam Pasal 1 angka 12 Peraturtan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977
dijelaskan, Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang menimpa tenaga kerja
berhubung dengan hubungan kerja dan penyakit yang timbul karena hubungan kerja
dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Pasal 1 ayat (6) Kecelakaan kerja adalah
kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang
timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam
perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui
jalan yang biasa atau wajar dilalui.
Pengertian yang telah dijabarkan dapat dipahami bahwa PP No. 33 Tahun
1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja dan UU No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja memperluas pengertian tenaga kerja dengan meliputi
penyakit yang terjadi berhubungan dengan hubungan kerja, namun dengan catatan
bahwa kalau penyakit tersebut menyebabkan yang bersangkutan cacat atau meninggal
dunia, maka untuk dapat dianggap sebagai penyakit kecelakaan kerja haruslah
memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah: 35
1. Pekerjaan pekerja/buruh harus mennaggung risiko penyebab penyakit itu;
2. Pekerja/buruh yang bersangkutan berhubungan langsung degan risiko itu;
3. Penyakit tersebut telah berlangsung selama suatu masa tertentu;
4. Tidak adanya kelalaian atau kesengajaan oleh pekerja/buruh sehgingga ia
terkena penyakit itu;
34
Iman Sjahputra Tunggal, Op.Cit, 2013, hal. 240. 35
Zaeni Asyahdie, Op.Cit, 2013, hal. 133.
23
5. Khusus untuk penyakit tertentu, tidak dianggap sebagai penyakit akibat kerja
(kecelakaan kerja) jika pekerja/buruh menderita penyakit tersebut lebih dari 3
tahun sejak dia berhenti bekerja di tempat penyebab penyakit itu.36
PP No. 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kecelakaan Kerja
dan Jaminan Kematian menjabarkan tentang manfaat jaminan kecelakaan kerja.
Pasal 25
(1) Peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja berhak atas
manfaat JKK.
(2) Manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: (a) .pelayanan
kesehatan sesuai kebutuhan medis yang meliputi: 1. pemeriksaan dasar dan
penunjang; 2. perawatan tingkat pertama dan lanjutan; 3. rawat inap kelas I rumah
sakit pemerintah, rumah sakit pemerintah daerah, atau rumah sakit swasta yang setara;
4. perawatan intensif; 5. penunjang diagnostik; 6. pengobatan; 7. pelayanan khusus; 8.
alat kesehatan dan implan; 9. jasa dokter/medis; 10. operasi; 11. transfusi darah;
dan/atau 12. rehabilitasi medik. (b). santunan berupa uang meliputi:1. penggantian
biaya pengangkutan Peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat
kerja, ke rumah sakit dan/ atau kerumahnya, termasuk biaya pertolongan pertama
pada kecelakaan; 2. santunan sementara tidak mampu bekerja; 3. santunan Cacat
sebagian anatomis, Cacat sebagian fungsi, dan Cacat total tetap; 4. santunan kematian
dan biaya pemakaman; 5. santunan berkala yang dibayarkan sekaligus apabila Peserta
meninggal dunia atau Cacat total tetap akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat
36
Ibid.
24
kerja; 6. biaya rehabilitasi berupa penggantian alat bantu (orthose) dan/atau alat
pengganti (prothese); 7. penggantian biaya gigi tiruan; dan/atau 8. beasiswa
pendidikan anak bagi setiap Peserta yang meninggal dunia atau Cacat total tetap
akibat kecelakaan kerja.
(3) Beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 8,
diberikan sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Peserta.
(4) Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sekali oleh
Menteri.
(5) Manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan persentase Cacat
berpedoman pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Pemerintah ini.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan persyaratan memperoleh
manfaat beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
angka 8 diatur dengan Peraturan Menteri.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a diatur dengan Peraturan Menteri berkoordinasi dengan
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kesehatan.
Pasal 26
Hak untuk menuntut manfaat JKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)
menjadi gugur apabila telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak Kecelakaan Kerja
terjadi .
25
Pasal 27
(1) Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang belum mengikutsertakan
Pekerjanya dalam program JKK kepada BPJS Ketenagakerjaan, maka bila terjadi
risiko terhadap Pekerjanya, Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib
membayar hak Pekerja sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan, penetapan jaminan, dan
pembayaran manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Kesehatan kerja termasuk jenis perlindungan sosial karena ketentuan-
ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial kemasyarakatan,
yaitu aturan-aturan yang bermaksud mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap
kekuasaan pengusaha untuk memperlakukan pekerja/buruh semaunya tanpa
memperhatikan norma-norma yang berlaku, dengan tidak memandang
pekerja/buruhnya sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai hak asasi.37
Karena sifatnya yang hendak mengadakan pembatasan, ketentuan-ketentuan
perlindungan sosial dalam UU No. 13 Tahun 2003, Bab X Pasal 68 dan seterusnya itu
bersifat memaksa, bukan mengatur. Sifat memaksanya itu dapat dilihat dari adanya
kata-kata “dilarang”, “tidak boleh”, “harus”, atau “wajib” yang selalu ada dan terlulis
menonjol dalam UU No. 13 Tahun2003. Akibat adanya sifat memaksa dalam
ketentuan pelindungan sosial UU No. 13 Tahun 2003 ini, pembentukan undang-
undang memandang perlu untuk menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan
37
Zaeni Asyhadie, Op.cit, 2013, hal. 85.
26
perlindungan sosial ini merupakan hukum umum (Publiek-rechrelijk) dengan sanksi
pidana. Hal itu disebabkan beberapa alasan yaitu.38
Aturan-aturan yang termuat
didalamnya bukan bermaksud melindungi kepentingan seorang saja, melainkan
bersifat aturan masyarakat. Pekerja/buruh Indonesia umumnya belum mempunyai
pengertian atau kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.
Jadi, jelasnya kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga
pekerja/buruh dari kejadian atau keadan hubungan kerja yang merugikan kesehatan
kesusilaannya dal hal pekerja/buruh melakukan pekerjaannya.39
Pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan
agar pekerja/buruh memperoleh kesehatan yang sempurna baik fisik, mental maupun
sosial sehingga memungkinkan dapat bekerja secara optimal. Oleh karena itu,
program jaminan sosial tenaga kerja juga memprogramkan jaminan pemeliharaan
kesehatan.40
Secara rinci tujuan dari pemeliharaan kesehatan ini dapat dikemukakan
sebagai berikut:41
1). Meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan pekerja/ buruh
yang setinggi-tingginya baik fisik mental maupun sosial sehingga memungkinkan
dapat bekerja secara optimal. 2). Mencegah dan melindungi pekerja/buruh dari
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. 3).
Menyesuaikan pekerja/buruh dengan pekerjaannya. 4). Meningkatkan produktivitas
kerja.
38
Ibid. 39
Ibid. 40
Ibid, hal. 132. 41
Zaeni Asyhadie, Op.cit, 2013, hal. 191.
27
Pada Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 menjelaskan
tentang pengertian pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan
pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan,
dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Upaya pemeliharaan
kesehatan meliputi aspek-aspek promotif (peningkatan), preventif (pencegahan),
kuratif (penyembuhan) dan rehabilitatif (pemulihan) secara tidak terpisah-pisah.
Namun dengan demikian, pemeliharan kesehatan yang telah di selenggarakan oleh PT.
Jamsostek, lebih ditekankan pada aspek kuratif dan rehabilitatif, tanpa mengabaikan
dua aspek lain (Pasal 33 s/d 46 PP No. 14 Tahun 1993).42
Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga
kerja sehingga dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan dan merupakan upaya
kesehatan dibidang kuratif. Oleh karena upaya penyembuhan memerlukan dana yang
tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan kepada perorangan, maka
penanggulangannya dilakukan melalui program jaminan sosial tenaga kerja. Di
samping itu pengusaha tetap berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan
tenaga kerja yang meliputi upaya peningkatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Dengan demikian tercapai derajat kesehatan tenaga kerja yang optimal
sebagai potensi yang produktif dalam hubungan industrial.43
Dengan demikian, diharapkan tercapainya derajat kesehatan pekerja yang
optimal sebagai potensi yang produktif bagi pembangunan. Jaminan pemeliharaan
kesehatan selain untuk pekerja yang bersangkutan juga untuk keluarganya. Jaminan
42
Syaufii Syamsuddin, Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial, Cet.1, Sarana
Bhakti Persada, Jakarta, 2004, hal. 280. 43
Ibid.
28
pemeliharaan kesehatan yang diberikan kepada tenaga kerja adalah untuk
meningkatkan produktivitas, sehingga dapat melaksanakan sebaik-baiknya dan
merupakan upaya kesehatan di bidang pengembangan.44
Berdasarkan ketentuan pasal 16 UU No. 3 Tahun 1992 menyebutkan: Pasal 16
(1) Tenaga kerja, suami atau istri, dan anak berhak memperoleh Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan. (2) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan meliputi: rawat jalan
tingkat pertama; rawat jalan tingkat lanjutan; rawat inap; pemeriksaan kehamilan dan
pertolongan persalinan; penunjang diagnostik; pelayanan khusus; pelayanan gawat
darurat.
Untuk melaksanakan pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan badan
penyelenggara wajib memberikan kepada setiap anggota, yaitu; Kartu pemeliharaan
kesehatan dan keterangan yang diketahui peserta menangani paket pemeliharaan
kesehatan yang di selenggarakan.
Tenaga kerja yang berkeluarga sebagai peserta jamsostek dalam pemeliharaan
kesehatan sebagai pelayanan kesehatan, berdasarkan ketentuan Pasal 38 PP No. 83
Tahun 2000.45
(1) Tenaga kerja atau suami atau istri atau anak dapat memiliki
pelaksana pelayanan kesehatan yang ditunjukkan oleh badan penyelenggara. (2)
Dalam hal tertentu yang ditetapkan oleh meteri, tenaga kerja atau suami atau istri atau
anak dapat memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan diluar pelaksanaan
pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1). (3) Untuk
memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
44
Asri Wijayanti, Op.cit, hal 141. 45
Ibid.
29
(1), tenaga kerja atau suami atau istri atau anak harus menunjukan kartu pemeliharaan
kesehatan.
Program jaminan pemeliharaan kesehatan tidak lain adalah untuk menjaga
kesehatan kerja.46
b. Perkembangan Peraturan Mengenai Kecelakaan Kerja dan
Pemeliharaan Kesehatan Pekerja
Peraturan kecelakaan dan pemeliharaan kesehatan pekerja pada dasarnya telah
termasuk dalam lingkup jaminan sosial tenaga kerja, yang telah diatur pada Pasal 99
ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. UU No. 2 Tahun 1951 tentang pernyataan
berlaku nya UU kecelakaan UU No. 33 tahun 1947 untuh selurah Indonesia dan PP
No. 33 Tahun 1977 tentang asuransi sosial tenaga kerja belum mengatur secara
lengkap jaminan sosial tenaga kerja serta tidak sesuai lagi dengan kebutuhan,
sehingga lahirlah UU No. 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja.47
Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja
dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan
yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang
dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan
meninggal dunia [Pasal 1 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1992]. Akan tepi dalam prosesnya
peraturan-peraturan tersebut mengalami perkembangan termasuk peraturan mengenai
46
Ibid, hal. 142. 47
Koesparmono Irsan dan Armansyah, Hukum Tenaga Kerja Suatu Pengantar, cet. 1, Erlangga,
Jakarta, 2016, hal.201.
30
kecelakaan kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerjayang ada didalamnya, berikut
perkembangan yang terjadi:
International Labour Organitation (ILO). Didalam Konvensi ILO Nomor 102
Tahun 1952 tentang Standar Minimum Jaminan Sosial disebutkan, kegiatan jaminan
sosial sekurang-kurangnya meliputi, perawatan kesehatan, tunjangan sakit, tunjangan
pengangguran, tunjangan hari tua, tunjangan kecelakaan kerja, tunjangan bersalin,
tunjangan keluarga, tunjangan tidak mampu dan tunjangan janda dan yatim puatu.
Tujuan ILO mengeluarkan konvensi mengenai standar jaminan sosial, untuk menjadi
pedoman agar para pekerja/buruh diseluruh dunia dapat menikmati perlindungan
jaminan sosial yang sama48
. Tidak hanya konvensi ILO No. 102 tahun 1952 saja,
tetapi ILO juga mengeluarkan beberapa konvensi lainnya yaitu :49
Konvensi ILO No.
105 Tahun 1952 tentang Perlindungan Kehamilan; Konvensi ILO No. 121 Tahun
1964 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja; Konvensi ILO No. 128 Tahun 1967 tentang
Jaminan Hari Tua, Cacat, dan Ahli Waris; Konvensi ILO No. 130 Tahun 1969
tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan; Konvensi ILO No. 157 Tahun 1982
tentang Pemeliharaan Hak-hak Jaminan Sosial.
Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa termasuk ILO, harus
memberdayakan konvensi-konvensi tersebut dalam suatu peraturan perundang-
undangan. Peraturan perundagan tersebut harus tetap berpegang teguh kepada
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.50
48
Syaufii Syamsuddin, Op.Cit, 2004, hal. 265. 49
Zaeni Asyhadie, Op.Cit, 2013, hal. 48. 50
Ibid.
31
KUH Perdata Pasal 1602r dan 1602w KUHPerdata, berisi pengaturan
mengenai penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia, namun kepesertaannya masih
bersifat sukarela. Ditentukan, bahwa dengan undang-undang dapat diatur mengenai
kewajiban mengganti rugi dalam hal pekerja mengalami kecelakaan kerja. Kegiatan
dapat dilakukan dengan perjumpaan hutang atas upah kerja. Boleh dilakukan
pemotongan upah untuk keperluan program dana jaminan sosial (DJS), sepanjang
DJS itu memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang.51
Tahun 1926 dikeluarkan Koninklijk Besluit Nomor 33 Tahun 1926 Stbl. 335
dan Stbl No. 377 tahun 1926 tentang Persyaratan Pembentukan Dana Jaminan Sosial.
Tujuan pembentukan dana adalah untuk menyelenggarakan program pensiun dan
pertanggungan jiwa bagi pekerja dengan sistem pembayaran iuran yang diperhitungan
dari upah pekerja. Dari ketentuan-ketentuan itulah dapat diketahui bahwa
penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia telah mulai dirintis sejak lama, dimulai
dengan kepersertaan yang bersifat sukarela, diawali dengan program pensiun,
jaminan hari tua, dan kecelakaan kerja.52
Dimulai dari UU No. 33 Tahun 1947 jo. UU No. 2 Tahun 1951, PMP No. 48
Tahun 1952 jo. PMP No. 8 Tahun 1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha
penyelenggaran kesehatan buruh, PMP NO. 15 tahun 1957 tentang pembentukan
yayasan sosial buruh, PMP No. 5 Tahun 1964 tentang Yayasan Dana Jaminan Sosial
(YDJS).53
51
Syaufii Syamsuddin, Loc.Cit. 52
Ibid. 53
Abdul Khakim, Op.Cit, hal. 116.
32
Penyelenggaraan jaminan sosial yang telah dimulai sejak tahun 1964 pada
tahun 1967 disempurnakan menjadi Permenaker No. 3 tahun 1967 dan No. 4 Tahun
1967. Penyelenggara pertanggungan adalah Dana Jaminan Sosial (DJS), yang
didirikanberdasarkan suatu akte notaris. Kepesertaannya pun bersifat sukarela.
Pengusaha dapat mempertanggungkan pekerjaan dengan persetujuan pekerja yang
bersangkutan. Kemudian diberlakukan pula program perlindungan tersebut, terhadap
pekerja bebas (selfemployed) dengan hak dan kewajiban yang hampir sama dengan
pekerja pada umumnya.
Perbedaannya hanya pada besar penerimaan santunan yang diterima54
. Pada
tahun 1969 diberlakukannya Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tetang Ketentuan-
Ketentuan Pokok mengenai tenaga kerja (Pasal 10 dan Pasal 15). Pasal 10,
Pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup: Norma keselamatan kerja;
Norma kesehatan kerja dan hygiene perusahaan; Norma-kerja; Pemberian ganti
kerugian, perawatan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan kerja. Pasal 15 Pemerintah
mengatur penyelenggaraan pertanggungan sosial dan bantuan sosial bagi tenaga kerja
dan keluarganya.
Sehingga dalam kedua Pasal ini dapat di simpulkan bahwa tenaga kerja yang
mendapat kecelakaan atau menderita penyakit akibat pekerjaan berhak atas ganti
kerugian perawatan dan rehabilitasi. Dalam hal seorang tenaga kerja meninggal dunia
akibat kecelakaan atau penyakit akibat pekerjaan maka ahli warisnya berhak
menerima ganti kerugian.55
54
Syaufii Syamsuddin, Op.Cit, 2004, hal. 271. 55
Koesparmono Irsan dan Armansyah, Op.Cit, 2016, hal. 202.
33
Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan
hukum, bentuk perlindungan, maupun cara penyelenggaraan, pada 26 November
1977 di keluarkanlah Peraturan pemerintah (PP) No. 33 Tahun 1977 tentang Asuransi
Sosial Tenaga Kerja (ASTEK), sebagai pelaksanaan UU No. 14 Tahun 1969,
khususnya Pasal 10 dan Pasal 15. Penyelenggaraan ASTEK pada dasarnya mencakup
ruang lingkup dan tujuan ang luas sehingga mencakup konsekuensi pembiayaan yang
luas, dan pada hakikatnya pembiayaan pembiayaan program tersebut akan merupakan
beban masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraannya
perlu penahapan-penahapan dengan memperhatikan kemampuan masyarakat yang
berkaitan langsung dengan kebutuhan tenaga kerja. Oleh karena itu, dalam
penyelenggaraannya perlu penahapan-penahapan dengan memperhatikan kemampuan
masyarakat yang berkaitan langsung dengan kebutuhan tenaga kerja akan jaminan
sosial.56
Kemudian tepat pada tanggal 17 Februari 1993 diterbitkanlah Undang-
Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK),
yang kemudian diikuti dengan peraturan pelaksanaannya, yaitu PP No. 14 Tahun
1993 tentan Penyelenggaraan JAMSOSTEK. Dengan berlakunya PP No. 14 Tahun
1993 ini, PP No. 33 Tahun 1977 dinyatakan dalam Pasal 54 tidak berlaku57
. PP No.
14 Tahun 1993 ini kemiduan diubah dengan PP No. 79 Tahun 1998 (perubahan
keempat) jo. PP No. 76 Tahun 2007 (perubahan kelima) yang pada intinya hanya
56
Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan Indonesia,Cet.1, RajaGrafindo Pesada,
Jakarta, 1995. hal. 236. 57
Ibid.
34
mengubah besarnya santunan kematian, biaya pemakaman, dan besarnya biaya
(maksimum) pengobatan dan perawatan58
.
Berturut-turut melaksanakan lebih lanjut Undang-Undang No. 3 Tahun 1992
kemudian dikeluarkan:59
1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-05/MEN/1993 tantang Petunjuk
Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Bantuan dan
Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang kemudian diperbarui dengan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-12/MEN/VI/2007
tentang Petinjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran,
Pembayaran Bantuan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
2. Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena
Hubungan Kerja.
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER. 04/MEN/1998 tentang
Pengangkatan, Pemberhetian, dan Kerja Dokter Penasihat.
Dari latar belakang keluarnya PP N.o 33 Tahun 1977 dengan UU No. 3 tahun
1992, dapat diasumsikan bahwa antara Program PP No. 33 Tahun 1977 dengan UU
No. 3 Tahun 1992 adalah sama. Hanya dalam penyebutan istilah masing-masing
program tersebut yang berbeda, besaran iuran, dan masing-masing jaminannya.60
Kemudian, akhir tahun 2004, pemerintah juga menerbitkan UU No. 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ( SJSN). Selanjutnya pada tahun 2011,
ditetapkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
58
Zaeni Asyahdie, Op.Cit, 2013, hal. 77. 59
Ibid. 60
Ibid.
35
Munculnya UU SJSN ini juga dipicu oleh UUD 1945 dan perubahannya tahun 2002
dalam Pasal 5 ayat (1); Pasal 20; Pasal 28H ayat (1), (2), dan (3); serta pasal 34 ayat
(1) dan (2) mengamanatkan untuk mengembangkan SJSN. Pengesahan dan
pengundangan UU SJSN telah melampaui proses panjang, dari tahun 2000 hingga
tanggal 19 Oktober 2004.61
Diawali dengan upaya penyusunan konsep Undang-Undang Jaminan Sosial
oleh kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat melalui keputusan Menko
Kesra dan Taskin No. 25-KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000
tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan SJSN. Sejalan dengan pernyataan
presiden, DPA RI melalui Pertimbanga DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11
Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dalam rangka mewujutkan masyarakat sejahtera.62
Dalam laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara
pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR-RI
Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR RI yang menugaskan
Presiden RI untuk membentuk SJSN dalam rangka memberikan perlindungan sosial
yang lebih menyeluruh dan terpadu.63
Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 5 ayat (10 dan Pasal 52 Undang-Undang
No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, maka di bentuklah Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) yang merupakan Transformasi keempat BUMN, yaitu PT Jamsostek
(Pesero), PT Askes (Persero), PT Taspen ( Persero), PT Asabri (Persero) melalui UU
61
Abdul Khakim, Loc.Cit. 62
Ibid, Hal.117. 63
Ibid.
36
No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6
UU No. 24 Tahun 2011 di nyatakan bahwa BPJS dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1. BPJS Kesehtan, menyelenggarakan jaminan kesehatan.64
2. BPJS Ketenagakerjaan, menyelenggarakan menyelenggarakan program
jaminan kecelakaan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, terdapat beberapa keunikan:
Pertama, menetapkan sebgaia badan hukum publik yang bertanggung jawab
kepada Presiden (Pasal 7). Sehingga bukan lagi berstatus sebagi badan hukum
privat melain kan berbentuk BUMN.
Kedua, menetapkan tenaga kerja asing yang bekerja paling singkat 6 bulan
wajib menjadi peserta jaminan sosial (Pasal 14).
Dimana sebelumnya keikutsertaan tenaga kerja asing dalam program Jamsostek
sempat terjadi Tarik ulur kepentingan yaitu:
a) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
KEP.67/MEN/IV/2004, tenaga kerja asing wajib menjadi peserta Program
Jamsostek.
b) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
PER.02/MEN/XII/2004, tenaga kerja asing tidak wajib menjadi peserta
Program Jamsostek, drngan syarat telah memiliki perlindungan Jamsostek
sejenis di Negara asalnya.
Ketiga, bahwa per tanggal 1 Januari 2014:
64
Ibid.
37
a) PT Askes (Persero) berubah menjadi BPJS kesehatan, dan beroperasi
sama per tanggal 1 Januari 2014 [Pasal 60 ayat (1) UU No. 24 Tahun
2011]
b) PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan,
tetapi beroperasi paling lambat mulai tanggal 1 Juli 2015 (Pasal 64 UU
No. 24 Tahun 2011).65
Perkembangan peraturan jaminan sosial diikuti oleh peraturan kecelakaan
kerja dan pemeliharan kesehatan pekerja. Karena didalam peraturan jaminan sosial
terutama jaminan tenaga kerja terpadat pula peraturan-peraturan yang mengatur
tentang kecelakaan kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerja.
2.2. Temuan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Pemeliharaan Kesehatan
Pekerja sebagai Keadilan Bermartabat
Di atas telah dikemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan perspektif
Keadilan Bermartabat adalah bahwa kalau orang mau mencari hukumnya, dalam hal
ini termasuk hukum yang megnatur mengenai jaminan kecelakaan kerja dan
pemeliharaan kesehatan pekerja, maka hukumnya itu harus dicari di dalam Voksgeist
atau jiwa bangsa Indonesia. Jiwa bangsa itu memanifestasikan diri atau menjadi dapat
dilihat secara konkret dalam peraturan perudnang-undangan yang telah diuraikan di
atas, dan juga dalam putusan pengadilan. Putusan pengadilan itu dalam ilmu
penemuan hukum menurut teori Keadilan Bermartabat adalah merupakan temuan.
65
Ibid, hal. 118.
38
Oleh karena itu dalam sub-judul di atas dikemukakan temuan. Putusan No. 108
PK/Pdt. Sus/2010.
Sebagai temuan, penentuan pegnaturan tentang jaminan kecelakaan kerja dan
pemeliharaan ditentukan berdasarkan asas Demi keadilan berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa. Atas dasar itu, Majelis Hakim memeriksa perkara perselisihan
hubungan industrial dalam peninjauan kembali telah memutuskan sebagai berikut
dlam perkara: Pihak PT Surabaya Coil Center (PT SCC), berkedudukan di Jalan Raya
Margomulyo No. 34, Surabaya., dalam hal ini memberi kuasa kepada Susanto,SH., &
Associates, para advokat berkantor di Jalan Mrgomulyo No. 34, Surabaya.
Berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 15 Maret 2010; pemohon peninjauan kembali
dahulu pemohon kasasi/tergugat.
Melawan Biauw Tjuan, bertempat tinggal di Jalan Kepatihan RT 002 RW 008
Desa Kepatihan, mengganti gersik., dalam hal ini memberi kuasa kepada :Jiston
Sitinjak, dan Apriady, SH., Para pengurus pada Dewan Pusat Serikat Buruh
Perjuangan Sejahtera Indonesia berkantor di Jalan Simorejosari, B/IX/47
RT05/RW16, Kelurahan Simomulyo, Surabaya berdasarkan surat kuasa khusus
tanggal 8 april 2009.
Setelah membaca surat-surat yang berkenaan dengan perkara tersebut,
Mahkamah Agung memberikan pertimbagnan, yang dalam hal ini dapat pula dilihat
sebagai temuan yang berkenaan dengan perlindungan hukum dalam hal pekerja
mengalami kecelakaan kerja dan pemeloiharaan kesehatan sebagai berikut dan
digambarkan di bawah ini.
39
Surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang pemohon peninjauan kembali
dahulu sebagai pemohon kasasi/tergugat telah mengajukan permohonan peninjauan
kembali terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor: 912 K/pdt. Sus/2008 yang
berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan termohon Peninjauan kembali,
dahulu sebagai termohon kasasi/penggugat dengan posita sebagai berikut: Penggugat
telah bekerja di perusahaan tergugat sejak tanggal 17 Oktober 1987 atau 20 tahun
lebih akan tetapi kurang dari 21 tahun dengan upah terakhir Rp. 2.758.580,- dengan
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Tergugat semenjak tahun 1987 telah di pekerjakan Tergugat di beberapa
perusahaan Tergugat yang bergerak dibidang Distributor Baja, mulai dari PT Baja
Mas Inti (BMI) dan pada tahun 2000 PT Baja Mas Inti (BMI) berganti nama menjadi
PT Surabaya Habin Centri (SHS) dan pada tahun 2002 PT Surabaya Habin Centri
(SHS) berganti nama menjadi PT Surabaya Baja Propil Center (SBPC) yang
beralamatkan di Jalan Margomulyo I Kav. 1 No. 1, Surabaya sampai saat ini masih
berjalan dan khusus pergudangan, dan dan sampai akhir tahun 2007 penggugat
pekerjakan di bagian gudang tersebut, akan tetapi pada awal januari 2008 penggugat
di mutasi kebagian produksi ke PT Surabaya Coil Center (SCC) yang beralamatkan di
Jalan Mrgomulyo No. 34, Surabaya milik tergugat .
Pada tanggal 20 Februari 2008 penggugta mengalami kecelakaan kerja di
perusahaan tergugat tempat penggugat bekerja yang mengakibatkan salah satu ujung
jari kelingking bagian kiri terputus, yang menyebabkan penggugat tidak dapat bekerja
kurang lebih 10 hari lamanya, sedangkan biaya pengobatan ditanggung oleh
40
penggugat sendiri karena penggugat tidak di ikutsertakan tergugat menjadi peserta
program jamsostek, yang menyebabkan penggugat yang harus memikul beban berat.
Pada tanggal 3 Maret 2008 penggugat masuk kerja, setelah luka jari tangan
penggugat mulai sembuh, akan tetapi dilarang oleh tergugat, dan tergugat
menyatakan bahwa penggugat sudah tua dan tidak dapat bekerja baik lagi, makanya
terjadi kecelakaan kerja, karena penggugat sudah lamban dan tidak mampu lagi
bekerja, dan sebaiknya harus diberhentikan dan tergugat menyuruh penggugat untuk
pulang saja, karena, sudah tidak diperbolehkan lagi bekerja, maka penggugat pulang
dengan rasakecewa dan sedih, karena kecelakaan dalam pekerjaan membuat sebagian
ujung jari kelingking disertai kehilangan pekerjaan satu-satunya yang menjadi sember
keuangan untuk menghidupi penggugat dan keluarganya.
Pada tanggal 5 Maret 2008 penggugat dipanggil tergugat ke perusahaan
melalui kepala personalia Sdr. Andi Widodo S, untuk membicarakan tentang
pemutusan hubungan kerja, dengan menyuruh penggugat untuk menandatangani surat
tersebut yang telah mencantumkan uang pesangon sejumlah Rp. 87.157.040. akan
tetapi uang yang akan diterima penggugat hanya sebesar Rp. 22.500.000. selebihnya
untuk melunasi utang pinjaman dan cicilan rumah penggugat, dan penggugat tidak
dapat menerima alasan tersebut, karena cicilan rumah yang dimaksud bukanlah dari
tergugat melainkan dari gaji penggugat sendiri setiap bulannya untuk membayar
cicilan rumah di maksud karena rumah tersebut adalah rumah yang dibeli penggugat
sendiri, sedangkan uang pinjaman sebesar Rp. 5.000.000,- pada awal tahun 2006
untuk biaya berobat keluarga Penggugat (isteri) memang benar, yang masih tersisa
Rp 3.276.500 , itupun dulunya bukan merupakan pin jaman melainkan bantuan dari
41
Tergugat, akan tetapi akhir-akhirnya menjadi pinjaman yang harus dicicil dan itu pun
Penggugat tidak keberatan dan terbukti sudah dicicil Penggugat sebagian.
Karena Penggugat sudah tidak dipekerjakan lagi alias telah diberhentikan
tanpa kesalahan, maka segala hal yang berhubungan dengan utang pinjaman
Penggugat diperusahaan, menjadi tanggung jawab Tergugat, karena pemutusan
hubungan kerja bukan kemauan Penggugat, melainkan kehendak Tergugat sendiri
dengan alasan yang dibuat-buat, apalagi uang pinjaman tersebut merupakan tanggung
jawab Tergugat. Seandainya Penggugat diikut sertakan menjadi peserta Jamsostek
maka biaya pengobatan isteri Penggugat menjadi tanggung jawab Jamsostek
termasuk biaya pengobatan keluarga yang sakit selama ini maupun biaya pengobatan
Penggugat sendiri sewaktu mengalami kecelakaan karena pada bulan Februari 2008
yang membuat terpuruknya ekonomi Penggugat mengakibatkan keluarga menderita.
Bahwa oleh karena pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat tanpa
dasar hukum dan merupakan pelanggaran hukum Undang-undang Ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 153 ayat 1 huruf J karena telah jelas-jelas
Penggugat mengalami kecelakaan kerja ditempat kerjanya, maka Penggugat tidak
dapat menerima pemutusan hubungan kerja tanpa uang pesangon sebagaimana diatur
didalam Pasal 164 ayat (3) yang menyatakan Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap Pekerja/ Buruh karena perusahaan tutup bukan karena
mengalami kerugian dua tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa
(forcemajeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan Pekerja/
Buruh berhak atas uang pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang
penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
42
sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) akan tetapi Tergugat tidak melaksanakan
sebagaimana dimaksud pasal tersebut di atas. Justru Tergugat melakukan perbuatan
yang tidak terpuji yang menyuruh menandatangani surat seolah-olah Penggugat telah
menerima uang pesangon sebesar Rp 87.157.040 , - akan tetapi terealisasi hanya
menerima Rp 22.500.000.
Penggugat tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja yang dilakukan
Tergugat secara sepihak, maka pada tangga l 14 April 2008 Penggugat melaporkan
pemutusan hubungan kerja tersebut ke Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya dan telah
memilih mediator untuk dapat menjembatani pemutusan hubungan kerja tersebut
untuk dapat menyelesaikannya dan telah pula memanggil para pihak, akan tetapi
penyelesaian melalui mediator Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya tidak berhasil dan
Mediator Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya telah pula mengeluarkan Anjuran
Pemutusan Hubungan Kerja tanggal 6 Juni 2006 Nomor: 69/PHK/VI /2008 agar
Pengusaha PT SCC membayar hak-hak Penggugat Sdr. Biauw Tjuan sebagai berikut:
1. Uang pesangon sebesar Rp 85.540.000, - sesuai dengan surat perusahaan tertanggal
3 Maret 2008; 2. Agar perusahaan membayar upah pekerja selama tidak dipekerjakan
sejak bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2008=5 x Rp 2758.580,= 13,792,900 ,
- dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp 99.332.900.
Masih ada kekeliruan tentang hak-hak Penggugat yang tidak dimasukkan
dalam Anjuran Mediator Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya yaitu hak-hak pekerja
yang telah ditentukan Undang-undang Ketenagakerjaan dari Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Undang- Undang No. 3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yaitu jaminan kesehatan 8% dari
43
upah pekerja tiap bulan bagi yang sudah berkeluarga dan jaminan hari tua 3,70% dari
upah pekerja tiap bulan dan jaminan kecelakaan sebagaimana diatur di dalam Pasal
12 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 yaitu pada lampiran II Tabel II,
yaitu uang santunan 1,5 x upah apabila ruas pertama jari lain tangan kiri hilang, yang
menjadi kewajiban Tergugat akibat tidak dimasukkannya Penggugat menjadi peserta
Program Jamsostek, yang menjadi hak Penggugat. Namun demikian Penggugat dapat
menerima anjuran Mediator Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya tersebut, akan tetapi
Tergugat menolaknya walaupun telah mencantumkan uang pesangon tersebut dalam
surat pemutusan hubungan kerja yang dikeluarkan Tergugat pada 3 Maret 2008.
Akibat pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat tanpa prosedur
hukum yang berlaku, mengakibatkan Penggugat kehilangan pekerjaan dan
penghasilan, sedangkan untuk biaya pengobatannya sendiri akibat kecelakaan kerja
yang dialaminya pada 20 Februari 2008 yang lalu, harus utang sana sini yang
menambah penderitaan Penggugat dan keluarganya, yang seharusnya biaya
pengobatan atas kecelakaan kerja tersebut adalah tanggung jawab Tergugat
berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 Undang- Undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Kecelakaan Kerja , akan tetapi Tergugat tidak mau melaksanakannya.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat tidak manusiawi dan
merupakan kesewenangan sehingga merupakan melanggar hukum Undang- undang
Ketenagakerjaan, karena bertentangan dengan maksud Pasal 151 dan Pasal 155 ayat
(3) yang menyatakan Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan
dimaksud pada Pasal 2 berupa skorsing kepada pekerja/ buruh yang sedang dalam
proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-
44
hak Iainnya yang biasa diterima pekerja/buruh, karena Pemutusan Hubungan Kerja
merupakan kewenangan PPHI, dan Pemutusan Hubungan Kerja hanya sah apabila
telah mendapat penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial berdasarkan Pasal 151 ayat (3) Undang- Undang No. 13 Tahun 2003. Oleh
karena itu, Penggugat cukup beralasan untuk mengajukan gugatan pemutusan
hubungan kerja terhadap Tergugat ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Surabaya, berdasarkan Pasal 169 ayat (1) huruf (d) serta ayat 2
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan pekerja/buruh dapat
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial dalam hal Pengusaha tidak melakukan kewajiban
yang telah di janjikan kepada pekerja/buruh. Sedangkan dalam ayat (2) dikatakan,
pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pekerja/buruh
berhak mendapat uang pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang
penghargaan masa kerja, 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
Selain uang pesangon sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 169 ayat (2)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 juga Tergugat berkewajiban membayar hak
Penggugat dari Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, oleh karena di dalam Pasal 3
ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 menyatakan, setiap tenaga kerja berhak
atas jaminan sosial tenaga kerja, sedangkan dalam Pasal 4 ayat (1) dikatakan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan
oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam
hubungan kerja sesuai dengan ketentuan undang-undang ini, sedangkan sanksi hukum
45
bagi perusahaan yang tidak melaksanakan sebagaimana dimaksud Pasal 4 tersebut
diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 yang merupakan
perbuatan tindak pidana pelanggaran.
Bahwa akibat Tergugat tidak mengikut sertakan Penggugat menjadi peserta
Program Jamsostek, maka Tergugat berkewajiban membayar hak-hak Penggugat,
sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun
1992 tentang Program Jamsostek, yang menyatakan apabila Pengusaha dalam
menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar
sehingga mengakibatkan ada tenaga kerja yang tidak terdaftar sebagai peserta
program jaminan sosial tenaga kerja, maka Pengusaha wajib memberikan hak-hak
tenaga kerja sesuai ketentuan Undang- undang ini.
Pasal 9 ayat (1) huruf d dan ayat (2) serta ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 14 Tahun 1993 telah mengatur kewajiban Pengusaha sebagai berikut: 1.
Jaminan pemel iha raan kesehatan sebesar 6% dar i upah sebulan bagi tenaga kerja
yang berkeluarga; 2. Jaminan kecelakaan kerja sepenuhnya ditanggung oleh
Pengusaha; 3. Jaminan Hari Tua 3,70% dari upah sebulan yang ditanggung oleh
Pengusaha. Bahwa tabel presentase santunan tunjangan cacat tetap sebagian dan cacat
Iainnya telah diatur didalam lampiran 11 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993
tangga l 27 Februari 1993 apabila kehilangan ruas pertama jari lain tangan kiri, maka
akan dibayar tunjangan 1,5 kali upah.
Akibat perbuatan Tergugat melakukan pemutusan hubungan kerja akibat
kecelakaan kerja yang dialami Penggugat, sewaktu melakukan pekerjaan, yang
seharusnya Tergugat tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja karena
46
dilindungi oleh undang-undang, dan perbuatan tersebut merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang Ketenagakerjaan. oleh karenanya, Penggugat berhak
mendapatkan hak-haknya sebagaimana telah ditentukan oleh undang-undang yang
berlaku dengan perincian: Uang pesangon 2 x 9 x Rp 2.758.580 = Rp 49.654.440,
Uang penghargaan masa kerja 7 x Rp 2.758.580 = Rp 19.310.060, Uang penggantian
hak 15% x 68.964.500 = Rp10.344.675, Upah proses sejak bulan Maret 2008 sampai
putusan Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya 7 x 2.758.580 = Rp 19.310.060,
total = Rp98.619.235
Hak-hak Penggugat dari Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
kewajiban Tergugat adalah; 1. Jaminan pemeiharaan kesehatan 6% kali upah sebulan,
akan tetapi karena biaya pengobatan isteri Penggugat pada Tahun 2006 sebesar Rp
5.000.000 adalah dari Perusahaan Tergugat yang masih tersisa Rp 3.276.500, maka
Penggugat hanya meminta 3% x Rp. 2.758,580, - x (240 bulan) = Rp 19.861.776,
Jaminan hari tua 3,70% x Rp 2.758.580 x (240 bulan) = Rp 24.496.190, Tunjangan
kecelakaan atas kehilangan sebagian ruas pertama jari tangan kiri 1,5 x Rp 2.758.580
= Rp 4.137.870, total = Rp 48.495.836.
Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan Tergugat tanpa terlebih
dahulu meminta Penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, batal demi hukum, sebagaimana dimaksud Pasal 155 ayat (1) Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003. Maka Penggugat cukup beralasan dan berdasarkan
hukum untuk mengajukan permohonan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Surabaya guna mendapatkan kepastian hukum agar dapat
47
memperoleh hak-hak Penggugat sebagaimana yang telah diatur oleh Undang- undang
yang berlaku.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas Penggugat mohon kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya supaya memberikan putusan
sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya; 2. Menghukum
Tergugat untuk membayar hak- hak Penggugat, uang pesangon 2 x 9 x Rp 2.758.580
= Rp 49.654.440, uang penghargaan masa ker ja 7 x Rp 2.758.580 = Rp 9.310.060,
uang penggant i an hak 15 % x 68.964.500 = Rp 10.344.675, upah proses sejak bulan
Maret 2008 7 x 2.758.580 = Rp 19.310.060, Jaminan Kesehatan 3% x Rp 2.758.580 x
20 tahun (240 bulan) = Rp 19.861.776, tunjangan kecelakaan 1,5 x Rp 2.758.580 =
Rp 19.861.776, Jaminan Hari Tua 3,70% x Rp 2.758.580 x (240 bulan) Rp 4.137.870
= Rp 24.496.190, total = Rp 147.115.071; 3. Menghukum Tergugat untuk membayar
biaya yang timbul dalam perkara ini Atau memberikan putusan yang seadil-adilnya.
Terhadap gugatan tersebut Tergugat mengajukan eksepsi yang pada pokoknya
atas dalil-dalil sebagai berikut: Gugatan yang diajukan kepada PT SCC yang
beralamat di Jalan Margomulyo 34, Surabaya adalah salah alamat (error in persona),
mestinya yang benar adalah gugatan Penggugat di tujukan kepada perusahaan PT
Baja Mas Inti, beralamat di Jalan Margomulyo I Kav. 1 No. 1, Surabaya.
Penggugat sejak tahun 1987 sampai tahun 2000 adalah sebagai Pekerja/Buruh
dari Perusahaan PT Baja Mas Inti, sekarang telah bubar bukan Pekerja/Buruh dari
Perusahaan PT SCC. Penggugat sebagai Pekerja/Buruh di Perusahaan Tergugat yaitu
PT SCC sejak awal bulan Januari 2008, dibagian produksi, Penggugat masih berstatu
sebagai Pekerja/Buruh: Masa Percobaan; Dengan gaji upah yang telah disepakati
48
sebesar dua juta dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah dibayar setiap bulan bukan
sebesar Rp 2.758.580.
Amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Surabaya No. 124/G/ 2008.Sby tanggal 10 September 2008 adalah sebagai berikut;
Dalam Eksepsi, Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya. Dalam Pokok Perkara,
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; 2. Menyatakan hubungan kerja
antara Penggugat dengan Tergugat putus sejak putusan dalam perkara ini diucapkan
yaitu sejak tangga l 10 September 2008; 3. Menghukum Tergugat untuk membayar
hak-hak Penggugat secara tunai dan sekaligus, dengan perincian sebagai berikut:
Uang Pesangon: 2 x 9 x Rp 2.275.000 = Rp 40.950.000, Uang Penghargaan Masa
Kerja: 7 x Rp 2.275.000 = Rp 15.925.000, Uang Penggantian Hak: 15 % x Rp
56.875.000 = Rp 8.531.250, upah proses: 6 x Rp 2.275.000 = Rp 13.650.000,
Santunan Cacat: 1,5% x 60 x Rp 2.275.000 = Rp 2.047.500, TOTAL = Rp
70.103.750; 4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya; 5.
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar nihil.
Amar putusan Mahkamah Agung RI No. 912 K/ Pdt .Sus/ 2008 tanggal 15
April 2009 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT Surabaya Ciol Center (SCC)
yang dalam perkara ini diwakili oleh kuasanya Susanto, dkk tersebut.
Sesudah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut i.c. putusan
Mahkamah Agung RI No. 912 K/Pdt .Sus/ 2008 tanggal 15 April 2009 diberitahukan
kepada Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi pada tanggal 25
Januari 2010. Kemudian terhadapnya oleh para Pemohon Peninjauan Kembali
49
(dengan perantaraan kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 15 Maret 2010)
diajukan permohonan Peninjauan Kembali secara lisan di Kepaniteraan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya tersebut pada tanggal 19
Maret 2010 permohonan mana disertai dengan memori yang memuat alasan-alasan
permohonannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Surabaya tersebut pada tanggal 19 Maret 2010 itu juga.
Tentang permohonan peninjauan kembali telah diberitahukan kepada pihak
lawan dengan seksama pada tanggal 24 Maret 2010 kemudian terhadapnya oleh pihak
lawan telah diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya tersebut pada tanggal 20 April 2010.
Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 295, 296, 297 Undang-undang No. 37 Tahun
2004 permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya yang diajukan
dalam tenggang waktu dan dengan cara-cara yang ditentukan Undang-undang, formil
dapat diterima.
Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan- alasan Peninjauan
Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut Gugatan Penggugat/dahulu Termohon
Kasasi/sekarang Termohon Peninjauan Kembali, adalah salah alamat, tidak tepat/
keliru (error in persona) melakukan gugatan terhadap Pengusaha Condro Harsono.
Mestinya yang benar menurut hukum adalah, gugatan ditujukan terhadap:
Perusahaan (Perseroan Terbatas)/Perseroan bukan ditujukan terhadap: Perseorangan
(pribadi orangnya) (yang bernama Condro Harsono). Karena Perseroan Terbatas/
Perseroan (PT) adalah Badan Hukum, yang berarti perseroan merupakan subyek
50
hukum dimana Perseroan sebagai sebuah badan hukum yang dapat dibebani Hak dan
Kewajiban, seperti halnya manusia pada umumnya
Lagi pula sekarang Direkturnya perusahaan PT Surabaya Coil Center yaitu
adalah Andi Widodo Sasmito, bukan seseorang yang bernama Condro Harsono
(sesuai bukti Tergugat T-1 (semula dahulu Tergugat/ Pemohon Kasasi) Dalam
persidangan pihak Penggugat/ Termohon Kasasi/ Termohon Peninjauan Kembali,
tidak dapat membuktikan (baik secara tertulis maupun secara bukti autentik) bahwa:
Condro Harsono, sebagai Pemilik Perusahaan (sebagai pemegang Saham perusahaan).
Termohon Peninjauan Kembali Termohon Kasasi/Penggugat, tidak dapat
membuktikan/ tidak mempunyai izin mutasi (secara tertulis) dan hanya mulai bekerja
di perusahaan Pemohon Peninjauan Kembali (PT SCC) sejak Januari 2008, dibagian
(sesuai bukti Tergugat T-3, (dahulu Tergugat/ Pemohon Kasasi ); Bahwa PT SCC
(Pemohon PK/ Pemohon Kasasi/ dahulu Tergugat) adalah perusahaan yang berbeda,
dengan perusahaan PT Baja Mas Inti, masing-masing berdiri sendiri-sendiri Badan
Hukumnya Berbeda, sehingga mempunyai kewajiban/hak/serta tanggung jawab
sendiri-sendiri. Gugatan Penggugat/Termohon Kasasi/Termohon Peninjauan Kembali
(Termohon PK) adalah: Kurang lengkap/tidak sempurna/kabur (obscuur libel) karena
tidak mengikut sertakan (secara tanggung renteng menggugat) perusahaan dimana
Penggugat/Termohon Kasasi/Termohon PK, pada waktu itu dipekerjakan, yang
sekarang diakui sendiri masih aktif berdiri (tidak bubar) sampai sekarang yaitu
perusahaan: PT Surabaya Baja Profil Center (PT SBPC) tidak ikut digugat secara
tanggung renteng, mestinya juga harus ikut digugat secara tanggung renteng.
(teliti/lihat: gugatan tertangga l 24 Juni 2008, terdaftar dalam register perkara No.
51
124/G/2008/PHI.Sby) pada halaman: 1, poin No. 2; Yaitu berbunyi “PT Surabaya
Baja Profil Center (SBPC) yang beralamat di Jalan Margomulyo I Kav. 1, Surabaya,
sampai saat ini masih berjalan dan khusus pergudangan”.
Terhadap alasan-alasan Peninjauan Kembali tersebut, Mahkamah Agung
berpendapat, alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Juris
tidak melakukan kekeliruan atau kekhilafan yang nyata. Juga novum yang diajukan
oleh Pemohon Peninjauan Kembali tidak menentukan dan telah dipertimbangkan
sebelumnya oleh Judex Facti, dengan demikian alasan-alasan dari Pemohon
Peninjauan Kembali tersebut tidak termasuk dalam salah satu alasan Permohonan
Peninjauan Kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 huruf (b) Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang
No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka permohonan
Peninjauan Kembali yang diajukan oleh PT SCC tersebut adalah tidaklah beralasan,
sehingga harus di tolak.
Karena nilai gugatan dalam perkara ini di bawah Rp 150.000.000, maka
pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya perkara dan berdasarkan Pasal 58
Undang- Undang No. 2 Tahun 2004 biaya perkara dibebankan kepada Negara;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang
telah diubah dan di tambah dengan Undang- undang No. 5 Tahun 2004 dan
perubahan kedua dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan.
52
Atas dasar itu maka amar putusan kemudian menjadi penolakan terhadap
permohonan peninjauan kembali dari : PT Surabaya Coil Center (PT SCC) tersebut.
Majelis Hakim kemudian membebankan biaya perkara kepada Negara. Demikianlah
putusan, yang dalam hal ini disebut dalam sub-judul penelitian di atas sebagai temuan
yang diberikan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Jum’at
tanggal 10 Desember 2010 oleh Prof. Rehngena Purba, Hakim Agung yang
ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis H. Buyung Marizal ,
dan Dwi Tjahyo S, Hakim- Hakim Agung sebagai Anggota dan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis tersebut dengan
dihadiri oleh H. Buyung Marizal, dan Dwi Tjahyo S, Hakim- Hakim Anggota dan
Susilowati, SH, Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak .
Mengingat dalam perspektif teori Keadilan Bermartabat dikatakan bahwa
hukumnya itu dapat ditemukan dalam jiwa bangsa, dalam hal ini dalam peraturan
perudnang-udnangan, maka dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Pasal 86 ayat (1)
mengatakan, Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
atas : a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan; c. perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Kaitannya dengan pasal 83 ayat (1) huruf (c) pemberian jaminan kecelakaan
dan pemeliharaan kesehatan pekerja harus sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama. Hal itu terlihat dalam putusan sebagai temuan yang
telah digambarkan sebagai hasil penelitian di atas, yaitu putusan No. 108 PK/Pdt.
Sus/2010 dapat dilihat bahwa dalam perkara Biauw Tjuan (penggugat) meminta hak-
haknya terhadap perusahaan PT SCC (tergugat).
53
Biauw Tjuan menuntut hak jaminan kecelakaan kerja yang penggugat alami
serta pemeliharaan kesehatan pekerja dan juga besaran jumlah uang pesangon yang
seharusnya penggugat terima. penggugat mengalami kecelakaan kerja hingga
mengalami cacat fisik permanen dan menyebabkan diberhentikan secara sepihak oleh
tergugat. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan pasal 153 ayat (1) huruf J pekerja/buruh
dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan
kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya
belum dapat dipastikan, dalam hal ini pihak tergugat melakukan pemutusan hubungan
kerja tanpa berdasarkan hukum yang telah ada dengan alasan penggugat sudah dan
tidak dapat bekerja dengan baik lagi.
Kemudian pada saat mengalami kecelakaan kerja penggugat membayar
sendiri biaya pengobatannya dan ketika istrinya sakit pun penggugat harus meminjam
uang kepada tergugat untuk membiayai pengobatan istrinya, karena dari pihak
tergugat tidak mendaftarkan penggugat menjadi peserta program jamsostek.
Sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja; (1). Pengusaha wajib memiliki daftar tenaga
kerja beserta keluarganya, daftar upah beserta perubahanperubahan, dan daftar
kecelakaan kerja di perusahaan atau bagian perusahaan yang berdiri sendiri. (2).
Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha wajib
menyampaikan dataketenagakerjaan dan data perusahaan yang berhubungan dengan
penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara.
(3). Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan ada tenaga kerja yang tidak
54
terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial tenaga kerja, maka pengusaha wajib
memberikan hak-hak tenaga kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
Dari putusan tersebut dapat dikatakan bahwa jaminan sosial dan pemeliharaan
kesehatan pekerja sebagai keadilan bermartabat karena dalam prosesnya Mahkamah
Agung berpendapat bahwa judex juris tidak melakukan kekeliruan atau kekilafan
yang nyata, serta novum yang diajukan oleh pemohon peninjauan kembali (yang
menjadi tergugat) tidak menentukan dan dipertimbangkan sebelumnya oleh judex
facti. Sehingga alasan-alasan dari pemohon peninjauan kembali tidak termasuk dalam
salah satu alasan permohonan peninjauan kembali seperti yang dimaksud dalam
Pasal 67 huruf b UU No. 14 tahun 1985, apabila setelah perkara diputus, ditemukan
surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak
dapat ditemukan; sehingga permohonan peninjauan kembali PT.SCC harus ditolak.
Karena dalam keadialan bermartabat suatu putusan yang diberikan oleh hakim tidak
boleh melupakan manfaat dan tujuan yang berdasarkan nilai-nilai pancasila sila ke
dua.
2.3. Analisis Jaminan Kecelakaan Kerja dan Pemeliharaan Kesehatan
Pekerja dalam Perspektif Teori Keadilan Bermartabat
Jaminan kecelakaan kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerja adalah suatu
program pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja, yang dimana telah diatur sesuai
ketentuan dan norma-norma yang ada dan bukan hanya untuk kepentingan seorang
saja, melain kan untuk kepentingan masyarakat luas yang memerlukannya.
55
Jaminan kecelakaan meliputi perlindungan-perlindungan yang bertujuan untuk
menjamin keselamatan para pekerja atas peristiwa-peristiwa yang tidak terduga dan
tanpa ada unsur kesengajaan dari para pekerja yang mengalami kecelakaan yang
berhubungan dengan hubungan pekerjaan mereka diperusahaan tersebut. Sedangkan
pemeliharaan kesehatan pekerja pada umumnya meliputi pemeliharaan atau menaikan
derajat kesehatan para pekerja, dengan mengatur pemberian obat-obatan, merawat
tenaga kerja yang sakit dan mencegah gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh
lingkunan kerja, sehingga dapat meningkatkan kinerja para pekerja dengan lebih
optimal.
Putusan sebagai temuan di atas, yaitu putusan No. 108 PK/Pdt. Sus/2010,
yang dalam teori Keadilan Bermartabat dilihat sebagai jiwa bangsa (Volksgeist)
tersebut memperlihatkan pentingnya jaminan kecelakaan kerja dan pemeliharaan
kesehatan pekerja. Karena dalam Pasal 86 UU No. 13 Tahun 2003 telah dijabarkan
bahwa setiap pekerja berhak memperoleh perlidungan. Disamping itu juga dapat
memberi manfaat terhadap kedua belah pihak yaitu bagi pihak perusahaan
memberikan jaminan kecelakaan kerja dapat meningkatkan produktivitas karena
telam memberi perlindungan keselamatan terhadap para pekerja yang mengalami
kecelakaan kerja. Lalu pemeliharaan kesehatan pekerja mengurangi resiko kerugian
secara ekonomis salah satunya menanggu biaya pengobatan pekerja yang sedang
sakit apabila tidak di daftarkan menjadi peserta jamsostek atau sekaran menjadi BPJS
ketenagakerjaan. Maka dari itulah program jaminan sosial tenaga kerja terutama
jaminan kecelakaan kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerja bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja merupakan suatu hal yang menjadi
56
prioritas dalam memberikan perlindungan pada saat tenaga kerja kehilangan sebagian
atua seluruh penghasilannya sebagai akibat atas terjadinya risiko-risiko yang tidak
terduga seperti kecelakaan, sakit, hamil, dan meninggal dunia.
Kemudian mamfaat bagi pekerja sendiri yaitu memperoleh perlindungan yang
semestinya mereka dapatkan, seperti ketika sedang mengalami kecelakaan hingga
mengalami cacat permanen maka dari pihak perusahaan selain membayar semua
pengobatannya perusahaan memberikan uang santunan, selain itu jika pihak
perusahaan mendaftarkar pekerja tersebut menjadi peserta BPJS ketenagakerjaan dan
BPJS sosial bukan hanya pekerja tersebut yang mendapatkan pemeliharaan kesehatan
pekerja tetapi anak dan istrinya pun juga mendapatkan jaminan kesehatan yang sama.
Menurut perspektif Keadilan Bermartabat jaminan kecelakaan kerja dan
pemeliharaan kesehatan pekerja merupakan program yang dibuat sesuai dengan
peraturan perundangan dimana peraturan perundangan tersebut harus tetap berpegang
teguh kepada Pancasila sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Kaitannya
dengan hal ini keadian bermartabat adalah keadilan hukum dalam perspektif
Pancasila yang berlandaskan sila ke-2 yaitu adil dan beradap dengan memperlakunan
secara adil selayaknya manusia yang sesuai harkat dan martabatnya. Karena pada
prinsipnya hak asasi manusia adalah perangkat hak yang melekat pada hakikat setipa
manusia, dan salah satu hak yang melekat pada diri setiap orang yaitu hak atas
perlindungan atau jaminan.
Jaminan kecelakaan kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerja perspektif teori
Keadilan Bermartabat itu berdasarkan Pancasila sila ke-2 yaitu kemanusiaan yang
adil dan beradap. Yang dimaksutkan adalah jaminan kecelakaan kerja dan
57
pemeliharaan kesehatan pekerja dilihat dari segi kemanfaatannya terhadap pekerja
ataupun perusahaan serta tujuan untuk memberikan perlindungan secara manusiawi
dengan melihat harkat dan martabat tanpa mengurangi kemanfaatan dan tujuannya.
dengan berdasarkan nilai-nilai Pancasila itulah maka tujuan dari jamnian kecelakaan
kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerja dapat memberi manfaat bagi para tenaga
kerja, karena dengan begitu bararti antara pengusaha dan pekerja saling
mencerminkan iktikad baik untuk melaksanakan suatu hubungan kerja dengan
berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Dampak terwujudnya dari hal tersebut maka antara pengusaha dan pekerja
saling memiliki kegairahan dalam bekerja sehingga dengan demikian akan
tercapainya peningkatan produktivitas perusahaan dan keharmonisan di dalam
lingkungan kerja, karena jika konsep Teori Keadialan Bermartabat dapat dilakukan
dengan baik maka pekerja dan pengusaha bisa bersama-sama menyatu sebagai satu
kesatuan dan saling bergotong royong, bekerja keras dalam suasana kekeluargaan
mewujudkan msi perusahaan yang pada akhirnya berpengaruh juga bagi
kesejahteraan para pekerja.