bab ii tinjauan pustaka, hasil penelitian, …...keadilan sosial dan sila-sila lainnya. teori...

45
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN, DAN PEMBAHASAN 2.1. Tinjauan Pustaka tentang Keadilan Bermartabat Teori Keadilan Bermartabat adalah suatu ilmu hukum (jurisprudence) atau suatu filsafat hukum yang dikembangkan oleh ahli hukum Indonesia. Teori ini bukan teori saduran dari teori-teori yang dikembangkan di Barat, sekalipun teori Keadilan Bermartabat tidak anti terhadap pemikiran Barat, atau pemikiran, filsafat apa pun yang merupakan produk dari pemikiran manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mulia. Menurut teori Keadilan Bermartabat, dalam hal ini sebagai ilmu hukum , cakupan atau scope dari teori Keadilan Bermartabat dapat dilihat dari susunan atau lapisan dalam ilmu hukum. Teori Keadilan Bermartabat sebagai ilmu hukum memiliki suatu skopa atau cakupan yang antara lain; di tempat pertama filsafat hukum atau philosophy of law, kedua teori hukum atau legal theory, ketiga dogmatik hukum atau ilmu hukum positif, keempat hukum dan praktik hukum. Lapisan ilmu dalam teori keadilan bermartabat itu adalah lapisan yang saling terpisahantara satu dengan lapisan lainnya, naming pada prinsipnya lapisan-lapisan ilmu hukum itu merupakan satu kesatuan sistematik, mengendap, hidup dalam satu sistem. Saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, bahu menbahu gotong royong sebagai suatu sistem. Lapisan dalam ilmu

Upload: others

Post on 06-Jul-2020

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN, DAN

PEMBAHASAN

2.1. Tinjauan Pustaka tentang Keadilan Bermartabat

Teori Keadilan Bermartabat adalah suatu ilmu hukum (jurisprudence) atau

suatu filsafat hukum yang dikembangkan oleh ahli hukum Indonesia. Teori ini bukan

teori saduran dari teori-teori yang dikembangkan di Barat, sekalipun teori Keadilan

Bermartabat tidak anti terhadap pemikiran Barat, atau pemikiran, filsafat apa pun

yang merupakan produk dari pemikiran manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Yang Maha Esa yang mulia. Menurut teori Keadilan Bermartabat, dalam hal ini

sebagai ilmu hukum , cakupan atau scope dari teori Keadilan Bermartabat dapat

dilihat dari susunan atau lapisan dalam ilmu hukum.

Teori Keadilan Bermartabat sebagai ilmu hukum memiliki suatu skopa atau

cakupan yang antara lain; di tempat pertama filsafat hukum atau philosophy of law,

kedua teori hukum atau legal theory, ketiga dogmatik hukum atau ilmu hukum positif,

keempat hukum dan praktik hukum. Lapisan ilmu dalam teori keadilan bermartabat

itu adalah lapisan yang saling terpisahantara satu dengan lapisan lainnya, naming

pada prinsipnya lapisan-lapisan ilmu hukum itu merupakan satu kesatuan sistematik,

mengendap, hidup dalam satu sistem. Saling berkaitan antara satu dengan yang

lainnya, bahu menbahu gotong royong sebagai suatu sistem. Lapisan dalam ilmu

14

hukum yang menjadi sumber atau tempat dimana kaidah hukum dan asas-asas hukum

yang saling berkaitan satu dengan lainnya ditemukan.15

Lapisan yang di atas mendikte (the law dictate), menerangi atau memberi pengayaan

terhadap lapisan ilmu hukum di bawahnya. Perspektif sistem memandang fungsi

lapisan ilmu hukum yang berada di tempay kedua adalah mendukung lapisan ilmu

hukum yang berada di tempat yang pertama. Dengan kata lain, lapisan yang pertama

tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan atau topangan lapisan-lapisan di bawahnya.

Di dalam suatu sistem antara komponen atau lapisan yang satu, tidak dapat

dipisahkan dengan komponen atau lapisan ilmu hukum lainnya. Sangat penting

diperhatikan, bahwa dalam teori Keadilan Bermartabat; tidak pula dikehendaki

adanya konflik dalam lapisan-lapisan ilmu hukum itu.16

Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum mengatakan bahwa Sebagai

suatu filsafat, teori keadilan bermartabat menggambarkan tujuan hukum yang ada

didalam setiap sistem hukum, terutama tujuan tujuan hukum dalam sistem hukum

berdasarkan Pancasila. Penekanannya dilakukan terhadap asas kemanusiaan yang

adil dan beradap, yang mendasari konsepsi memanusiakan manusia; disamping

keadilan sosial dan sila-sila lainnya. Teori Keadilan Bermartabat juga menjelaskan

tujuan hukum dalam pengertian keadilan, kepastian, dan kemanfaatan yang ada

didalam setiap asas dan kaidah hukum yang saling berkaitan satu sama lain dalam

sistem tersebut.

15

Teguh Presetyo, Keadilan Bermartatabat Perspektif Teori Hukum, Cet.1, Penerbit Nusa

Media, Bandung, 2015, hal. 1-3. 16

Ibid. hal. 3-4.

15

Keadilan Bermartabat berpendirian bahwa baik keadilan, kemanfaatan, dan

kepastian hukum adalah merupakan satu kesatuan yang berhimpun didalam keadilan.

Menurut Mahadi, filsafat hukum ialah filsafat tentang hukum, falsafah tentang segala

sesuatu di bidang hukum secara mendalam sampai ke akar-akarnya secara sistematis.

Soedjono Dirjosisworo mengemukakan: filsafat hukum adalah pendirian atau

penghayatan kefilsafatan yang dianut orang atau masyarakat atau negara tentang

hakikat ciri-ciri landasan berlakunya hukum.17

Sebagai sebuah teori, maka seharusnya

teori tersebut dipahami dengan kesadaran penuh atau dirasionalisasi bahwa sejatinya

teori itu adalah alat, artinya setiap teori yang dibangun selalu berorientasi kepada nilai

kemanfaatan untuk manusia dan masyarakat. Teori Keadilan Bermartabat bernilai,

seperti nilai yang dimaksud Notonagoro, sebab sekurang-kurangnya teori itu

memiliki kualitas, dapat dimanfaatkan oleh suatu bangsa yang besar wilayah dan

penduduknya. Dimaksudkan dengan berkualitas, juga antara lain bahwa sesuatu itu

dapat dirasakan bermanfaat atau dapat digunakan untuk tujuan yang baik; menjadi

alat pemersatu, memahami, menjelaskan dan memelihara bentuk sistem hukum dari

suatu bangsa yang besar.18

Secara formal-konstitusional, bangsa Indonesia mengakui Pancasila adalah

dasar negara (filsafat negara) Republik Indonesia yang lahir dari perenungan nilai-

nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadalian dan kemudian

dijadikanlah dasar teori Keadilan Bermartabat. Secara potensisal filsafat Pancasila

akan berkembang bersama dinamika budaya; filsafat Pancasila akan berkembang

17

Ibid, hal. 52. 18

Ibid, hal.91-92.

16

secara konsepsional, kaya konsepsional dan kepustakaan secara kuantitas dan kualitas.

Pancasila merupakan suatu falsafah yang bersistem, serta obyektif. Sila-sila Pancasila

kait mengkait secara bulat atau dalam keutuhan. Kebulatan itu menunjukan hakekat,

maknanya sedemikian rupa, sehingga menemukan bangunan filsafat Pancasila jika

substansi hukum memang sesuai dengan isi jiwa bangsa Indonesia turun temurun. Isi

jiwa inilah yang merupakan alat pengukur tentang benar tidaknya suatu kaidah atau

asas hukum itu benar-benar adalah filsafat Pancasila.19

Keadilan Bermartabat merupakan keadilan hukum dalam perspektif pancasila

yang dilandasi oleh sila ke-2 yaitu adil dan beradap sedangkan keadilan ekonomi

dilandasi okeh sila ke-5 yaitu keadilan sosial..20

Keadilan adalah tujuan yang hendak dicapai oleh setiap sistem hukum.

Sementara pihak berpendapat bahwa keadilan yang hendak dicapai adalah keadilan

ekonomi yang bersifat kebendaan. Pandangan ini, ultirateral. Teori keadilan

bermartabat justru sebaliknya, keadilan yang wajib disediakan oleh sistem adalah

keadilan yang berdimensi spiritual, yang berada didalam konsep kemerdekaan itu

sendiri.21

Istilah adil dan beradap sebagaimana yang dimaksud dalam sila ke-2

Pancasila yaitu kemanuisaan yang adil dan beradap. Disini terkandung prinsip

perikemanusian atau internasionalisme dan terlaksananya penjelmaan dari pada

unsur-unsur hakekat manusia, jiwa raga, akal-rasa, kehendak serta sifat kodrat

perseorangan dan makhluk sosial. Semua ini dikarenakan kedudukan kodrat pribadi

19

Ibid, hal.77-79. 20

Ibid, hal.106. 21

Ibid, hal.107.

17

diri sendiri dan makhluk Tuhan Yang maha Esa sebagai causa prima, dalam bentuk

penyelanggaraan hidup yang bermartabat setinggi-tingginya.22

Sila ke-2 menegaskan filsafat Pancasila mengenai manusia adalah pribadi

yang memiliki harkat dan martabat yang luhur, yang merupakan bawaan kodratinya

sehingga secara eksplisit Pancasila mengakui paham kemanusiaan.23

Secara tegas

prinsip kemanusiaan mengandung arti adanya penghargaan dan penghormatan

terhadap harkat dan martabat manusia yang luhur tanpa harus membeda-bedakan

antara satu dengan yang lain.24

Landasan oleh sila ke-2 dalam Pancasila, maka keadilan hukum yang dimiliki

bangsa Indonesia adalah keadilan yang memanusiakan manusia. Keadilan

berdasarkan sila ke-2 dalam Pancasila itulah yang disebut sebagai keadilan

bermartabat. Keadilan Bermartabat adalah dimana seseorang secara hukum bersalah

tetapi tetap diperlakukan sebagai manusia. Keadilan Bermartabat yaitu keadialan

yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Keadilan yang bukan saja secara

material melainkan juga secara spiritual, selanjutnya material mengikutinya secara

otomatis. Keadilan Bermartabat menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan

Tuhan dijamin hak-haknya.25

Jaminan kecelakaan kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerja sebagai

Keadilan Bermartabat didasarkan kepada Pancasila sebagai dasar utama, karena hak

asasi manusia pada prinsipnya adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

22

Ibid, hal. 108-109. 23

Muatafa Kama l Pasha, Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis, Filosofis, cet-1, Citra

Karsa Mandiri, Yogyakarta, 2002, hal. 173. 24

Ibid, hal. 171. 25

Ibid.

18

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

anugrah-Nya yang wajib dihormati demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia.26

Salah satu hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia adalah hak

atas jaminan kecelakaan dan pemeliharaan kesehatan pekerja yang terangkum dalam

jaminan sosial. Maka dari itu, sering kali dikemukakan bahwa jaminan sosial

merupakan program yang bersifat universal/umum dan harus diselenggarakan oleh

semua negara.27

Jaminan kecelakaan kerja pemeliharaan kesehatan pekerja sangat

diperlukan karena pada saat bekerja kita tidak tau hal apa yang akan menimpa baik

itu musibah kecelakaan atau pun sakit. Dengan demikian jaminan kecelakaan kerja

dan pemeliharaan kesehatan pekerja termasuk sebagai Keadilan Bermartabat karena

didalamnya terdapat aspek kemanusian seperti yang tertuang pada sila ke-2 yaitu

kemanusian yang adil dan beradap.

a. Peraturan Mengenai Kecelakaan Kerja dan Pemeliharaan

Kesehatan Pekerja

Kecelakaan kerja merupakan resiko yang dihadapi oleh tenaga kerja yang

melakukan pekerjaan, karena pada umumnya kecelakaan bisa jadi akan

mengakibatkan:28

a. Kematian, yaitu kecelakaan-kecelakaan yang mengakibatkan

penderitanya bisa meninggal dunia.

26

Zaeni Asyahdie, Op.Cit, 2013, hal.21. 27

Ibid. 28

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Cet-3,

Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 122.

19

b. Cacat atau tidak berfungsinya sebagian dari anggota tubuh tenaga kerja

yang menderita kecelakaan. Cacat ini terdiri dari:

1) Cacat tetap, yaitu kecelakaan-kecelakaan yang mengakibatkan

penderitanya mengalami pembatasan atau gangguan fisik atau

mental yang bersifat tetap.

2) Cacat sementara yaitu kecelakaan-kecelakaan yang

mengakibatkan penderitanya menjadi tidak mampu bekerja

untuk sementara waktu.

Kecelakaan adalah kejadian yang tak terduga dan diharapkan tidak terjadi.

Tak terduga karena dibelakang peristiwa terdebut tidak terdapat unsur kesengajaan,

lebih-lebih dalam bentuk perencanaan. Tidak diharapkan karena peristiwa kecelakaan

disertai dengan kerugian material ataupun penderitaan dari yang paling ringan sampai

yang paling berat, baik bagi pengusaha maupun bagi pekerja/buruh.29

Hubungan antara perlunya keselamatan dan kesehatan kerja diterapkan

dengan kerugian sebagai konsekuensi dari dampak yang terjadi Oleh, karena itu,

keselamatan dan kesehatan kerja, terutama dalam bentuk pengaturan dan program-

program kerja.30

Dari dasar pemikiran tadi terdapat beberapa prinsip yang mendasari

jaminan sosial tenaga kerja terkhusus pada jaminan kecelakaan kerja dan jaminan

pemeliharaan pekerja, prinsip-prinsip tersebut adalah;

Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 86 dan

87). Pasal 86; (1). Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh

29

Ibid, hal. 123. 30

Aloysius Uwiyono, Op.Cit, 2014, hal. 81.

20

perlindungan atas: keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan; dan

perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

(2). Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas

kerjayang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. (3).

Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai

dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 87; (1). Setiap

perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja

yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. (2). Ketentuan mengenai

penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerjasebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Untuk

pengawasan berdasarkan Undang-undang ini pengusaha harus membayar retribusi

menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan perundangan (Pasal

7). Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan

kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan

sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya [Pasal 8 ayat (1)].

Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada di bawah

pimpinannya, secara berkala pada Dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan

dibenarkan oleh Direktur [Pasal 8 ayat (2)].

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan. Kesehatan kerja

meliputi pclayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja, dan syarat

kesehatan kerja. [Pasal 23 ayat (2)]. Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan

kesehatan kerja. [Pasal 23 ayat (3)].

21

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/Men/1996 tentang Sistem

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Setiap perusahaan yang

mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung

potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang

dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan

penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3. [Pasal 3 ayat (1)].

Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan

oleh Pengurus, Pengusaha dan seluruh tenaga kerja sebagai satu kesatuan. [Pasal 3

ayat (2)].31

Prinsip-prinsip tersebut bertujuan untuk melindungi keselamatan

pekerja/buruh guna mewujutkan produktivitas kerja yang optimal, dengan cara

pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya tempat kerja,

promosi kesehatan, pengobatan dan tempat rehabilitasi32

. Dengan demikian,

eksistensi peraturan perundang-undangannya adalah : a). Melindungi pekerja dari

proses kecelakaan kerja. b). Meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh. c).

Agar pekerja/buruh dan orang-orang sekitarnya terjamin keselamatannya. d).

Menjaga agar sumber produksi di pelihara dan dipergunakan secara aman dan

berdaya guna.33

Menurut Iman Sjahputra Tunggal, kecelakaan adalah suatu kejadian yang

tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses yang telah

31

Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cet. 4 Edisi Revisi, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2014, hal. 109. 32

Ibid, hal.111. 33

Ibid.

22

diatur dari suatu aktivitas dan dapat menimbulkan kerugian baik korban manusia dan

harta benda.34

Dalam Pasal 1 angka 12 Peraturtan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977

dijelaskan, Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang menimpa tenaga kerja

berhubung dengan hubungan kerja dan penyakit yang timbul karena hubungan kerja

dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Pasal 1 ayat (6) Kecelakaan kerja adalah

kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang

timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam

perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui

jalan yang biasa atau wajar dilalui.

Pengertian yang telah dijabarkan dapat dipahami bahwa PP No. 33 Tahun

1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja dan UU No. 3 Tahun 1992 tentang

Jaminan Sosial Tenaga Kerja memperluas pengertian tenaga kerja dengan meliputi

penyakit yang terjadi berhubungan dengan hubungan kerja, namun dengan catatan

bahwa kalau penyakit tersebut menyebabkan yang bersangkutan cacat atau meninggal

dunia, maka untuk dapat dianggap sebagai penyakit kecelakaan kerja haruslah

memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah: 35

1. Pekerjaan pekerja/buruh harus mennaggung risiko penyebab penyakit itu;

2. Pekerja/buruh yang bersangkutan berhubungan langsung degan risiko itu;

3. Penyakit tersebut telah berlangsung selama suatu masa tertentu;

4. Tidak adanya kelalaian atau kesengajaan oleh pekerja/buruh sehgingga ia

terkena penyakit itu;

34

Iman Sjahputra Tunggal, Op.Cit, 2013, hal. 240. 35

Zaeni Asyahdie, Op.Cit, 2013, hal. 133.

23

5. Khusus untuk penyakit tertentu, tidak dianggap sebagai penyakit akibat kerja

(kecelakaan kerja) jika pekerja/buruh menderita penyakit tersebut lebih dari 3

tahun sejak dia berhenti bekerja di tempat penyebab penyakit itu.36

PP No. 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kecelakaan Kerja

dan Jaminan Kematian menjabarkan tentang manfaat jaminan kecelakaan kerja.

Pasal 25

(1) Peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja berhak atas

manfaat JKK.

(2) Manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: (a) .pelayanan

kesehatan sesuai kebutuhan medis yang meliputi: 1. pemeriksaan dasar dan

penunjang; 2. perawatan tingkat pertama dan lanjutan; 3. rawat inap kelas I rumah

sakit pemerintah, rumah sakit pemerintah daerah, atau rumah sakit swasta yang setara;

4. perawatan intensif; 5. penunjang diagnostik; 6. pengobatan; 7. pelayanan khusus; 8.

alat kesehatan dan implan; 9. jasa dokter/medis; 10. operasi; 11. transfusi darah;

dan/atau 12. rehabilitasi medik. (b). santunan berupa uang meliputi:1. penggantian

biaya pengangkutan Peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat

kerja, ke rumah sakit dan/ atau kerumahnya, termasuk biaya pertolongan pertama

pada kecelakaan; 2. santunan sementara tidak mampu bekerja; 3. santunan Cacat

sebagian anatomis, Cacat sebagian fungsi, dan Cacat total tetap; 4. santunan kematian

dan biaya pemakaman; 5. santunan berkala yang dibayarkan sekaligus apabila Peserta

meninggal dunia atau Cacat total tetap akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat

36

Ibid.

24

kerja; 6. biaya rehabilitasi berupa penggantian alat bantu (orthose) dan/atau alat

pengganti (prothese); 7. penggantian biaya gigi tiruan; dan/atau 8. beasiswa

pendidikan anak bagi setiap Peserta yang meninggal dunia atau Cacat total tetap

akibat kecelakaan kerja.

(3) Beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 8,

diberikan sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Peserta.

(4) Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sekali oleh

Menteri.

(5) Manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan persentase Cacat

berpedoman pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari

Peraturan Pemerintah ini.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan persyaratan memperoleh

manfaat beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b

angka 8 diatur dengan Peraturan Menteri.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) huruf a diatur dengan Peraturan Menteri berkoordinasi dengan

kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kesehatan.

Pasal 26

Hak untuk menuntut manfaat JKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)

menjadi gugur apabila telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak Kecelakaan Kerja

terjadi .

25

Pasal 27

(1) Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang belum mengikutsertakan

Pekerjanya dalam program JKK kepada BPJS Ketenagakerjaan, maka bila terjadi

risiko terhadap Pekerjanya, Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib

membayar hak Pekerja sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan, penetapan jaminan, dan

pembayaran manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam

Peraturan Menteri.

Kesehatan kerja termasuk jenis perlindungan sosial karena ketentuan-

ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial kemasyarakatan,

yaitu aturan-aturan yang bermaksud mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap

kekuasaan pengusaha untuk memperlakukan pekerja/buruh semaunya tanpa

memperhatikan norma-norma yang berlaku, dengan tidak memandang

pekerja/buruhnya sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai hak asasi.37

Karena sifatnya yang hendak mengadakan pembatasan, ketentuan-ketentuan

perlindungan sosial dalam UU No. 13 Tahun 2003, Bab X Pasal 68 dan seterusnya itu

bersifat memaksa, bukan mengatur. Sifat memaksanya itu dapat dilihat dari adanya

kata-kata “dilarang”, “tidak boleh”, “harus”, atau “wajib” yang selalu ada dan terlulis

menonjol dalam UU No. 13 Tahun2003. Akibat adanya sifat memaksa dalam

ketentuan pelindungan sosial UU No. 13 Tahun 2003 ini, pembentukan undang-

undang memandang perlu untuk menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan

37

Zaeni Asyhadie, Op.cit, 2013, hal. 85.

26

perlindungan sosial ini merupakan hukum umum (Publiek-rechrelijk) dengan sanksi

pidana. Hal itu disebabkan beberapa alasan yaitu.38

Aturan-aturan yang termuat

didalamnya bukan bermaksud melindungi kepentingan seorang saja, melainkan

bersifat aturan masyarakat. Pekerja/buruh Indonesia umumnya belum mempunyai

pengertian atau kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.

Jadi, jelasnya kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga

pekerja/buruh dari kejadian atau keadan hubungan kerja yang merugikan kesehatan

kesusilaannya dal hal pekerja/buruh melakukan pekerjaannya.39

Pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan

agar pekerja/buruh memperoleh kesehatan yang sempurna baik fisik, mental maupun

sosial sehingga memungkinkan dapat bekerja secara optimal. Oleh karena itu,

program jaminan sosial tenaga kerja juga memprogramkan jaminan pemeliharaan

kesehatan.40

Secara rinci tujuan dari pemeliharaan kesehatan ini dapat dikemukakan

sebagai berikut:41

1). Meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan pekerja/ buruh

yang setinggi-tingginya baik fisik mental maupun sosial sehingga memungkinkan

dapat bekerja secara optimal. 2). Mencegah dan melindungi pekerja/buruh dari

gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. 3).

Menyesuaikan pekerja/buruh dengan pekerjaannya. 4). Meningkatkan produktivitas

kerja.

38

Ibid. 39

Ibid. 40

Ibid, hal. 132. 41

Zaeni Asyhadie, Op.cit, 2013, hal. 191.

27

Pada Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 menjelaskan

tentang pengertian pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan

pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan,

dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Upaya pemeliharaan

kesehatan meliputi aspek-aspek promotif (peningkatan), preventif (pencegahan),

kuratif (penyembuhan) dan rehabilitatif (pemulihan) secara tidak terpisah-pisah.

Namun dengan demikian, pemeliharan kesehatan yang telah di selenggarakan oleh PT.

Jamsostek, lebih ditekankan pada aspek kuratif dan rehabilitatif, tanpa mengabaikan

dua aspek lain (Pasal 33 s/d 46 PP No. 14 Tahun 1993).42

Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga

kerja sehingga dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan dan merupakan upaya

kesehatan dibidang kuratif. Oleh karena upaya penyembuhan memerlukan dana yang

tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan kepada perorangan, maka

penanggulangannya dilakukan melalui program jaminan sosial tenaga kerja. Di

samping itu pengusaha tetap berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan

tenaga kerja yang meliputi upaya peningkatan promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif. Dengan demikian tercapai derajat kesehatan tenaga kerja yang optimal

sebagai potensi yang produktif dalam hubungan industrial.43

Dengan demikian, diharapkan tercapainya derajat kesehatan pekerja yang

optimal sebagai potensi yang produktif bagi pembangunan. Jaminan pemeliharaan

kesehatan selain untuk pekerja yang bersangkutan juga untuk keluarganya. Jaminan

42

Syaufii Syamsuddin, Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial, Cet.1, Sarana

Bhakti Persada, Jakarta, 2004, hal. 280. 43

Ibid.

28

pemeliharaan kesehatan yang diberikan kepada tenaga kerja adalah untuk

meningkatkan produktivitas, sehingga dapat melaksanakan sebaik-baiknya dan

merupakan upaya kesehatan di bidang pengembangan.44

Berdasarkan ketentuan pasal 16 UU No. 3 Tahun 1992 menyebutkan: Pasal 16

(1) Tenaga kerja, suami atau istri, dan anak berhak memperoleh Jaminan

Pemeliharaan Kesehatan. (2) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan meliputi: rawat jalan

tingkat pertama; rawat jalan tingkat lanjutan; rawat inap; pemeriksaan kehamilan dan

pertolongan persalinan; penunjang diagnostik; pelayanan khusus; pelayanan gawat

darurat.

Untuk melaksanakan pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan badan

penyelenggara wajib memberikan kepada setiap anggota, yaitu; Kartu pemeliharaan

kesehatan dan keterangan yang diketahui peserta menangani paket pemeliharaan

kesehatan yang di selenggarakan.

Tenaga kerja yang berkeluarga sebagai peserta jamsostek dalam pemeliharaan

kesehatan sebagai pelayanan kesehatan, berdasarkan ketentuan Pasal 38 PP No. 83

Tahun 2000.45

(1) Tenaga kerja atau suami atau istri atau anak dapat memiliki

pelaksana pelayanan kesehatan yang ditunjukkan oleh badan penyelenggara. (2)

Dalam hal tertentu yang ditetapkan oleh meteri, tenaga kerja atau suami atau istri atau

anak dapat memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan diluar pelaksanaan

pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1). (3) Untuk

memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat

44

Asri Wijayanti, Op.cit, hal 141. 45

Ibid.

29

(1), tenaga kerja atau suami atau istri atau anak harus menunjukan kartu pemeliharaan

kesehatan.

Program jaminan pemeliharaan kesehatan tidak lain adalah untuk menjaga

kesehatan kerja.46

b. Perkembangan Peraturan Mengenai Kecelakaan Kerja dan

Pemeliharaan Kesehatan Pekerja

Peraturan kecelakaan dan pemeliharaan kesehatan pekerja pada dasarnya telah

termasuk dalam lingkup jaminan sosial tenaga kerja, yang telah diatur pada Pasal 99

ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk

memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. UU No. 2 Tahun 1951 tentang pernyataan

berlaku nya UU kecelakaan UU No. 33 tahun 1947 untuh selurah Indonesia dan PP

No. 33 Tahun 1977 tentang asuransi sosial tenaga kerja belum mengatur secara

lengkap jaminan sosial tenaga kerja serta tidak sesuai lagi dengan kebutuhan,

sehingga lahirlah UU No. 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja.47

Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja

dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan

yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang

dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan

meninggal dunia [Pasal 1 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1992]. Akan tepi dalam prosesnya

peraturan-peraturan tersebut mengalami perkembangan termasuk peraturan mengenai

46

Ibid, hal. 142. 47

Koesparmono Irsan dan Armansyah, Hukum Tenaga Kerja Suatu Pengantar, cet. 1, Erlangga,

Jakarta, 2016, hal.201.

30

kecelakaan kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerjayang ada didalamnya, berikut

perkembangan yang terjadi:

International Labour Organitation (ILO). Didalam Konvensi ILO Nomor 102

Tahun 1952 tentang Standar Minimum Jaminan Sosial disebutkan, kegiatan jaminan

sosial sekurang-kurangnya meliputi, perawatan kesehatan, tunjangan sakit, tunjangan

pengangguran, tunjangan hari tua, tunjangan kecelakaan kerja, tunjangan bersalin,

tunjangan keluarga, tunjangan tidak mampu dan tunjangan janda dan yatim puatu.

Tujuan ILO mengeluarkan konvensi mengenai standar jaminan sosial, untuk menjadi

pedoman agar para pekerja/buruh diseluruh dunia dapat menikmati perlindungan

jaminan sosial yang sama48

. Tidak hanya konvensi ILO No. 102 tahun 1952 saja,

tetapi ILO juga mengeluarkan beberapa konvensi lainnya yaitu :49

Konvensi ILO No.

105 Tahun 1952 tentang Perlindungan Kehamilan; Konvensi ILO No. 121 Tahun

1964 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja; Konvensi ILO No. 128 Tahun 1967 tentang

Jaminan Hari Tua, Cacat, dan Ahli Waris; Konvensi ILO No. 130 Tahun 1969

tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan; Konvensi ILO No. 157 Tahun 1982

tentang Pemeliharaan Hak-hak Jaminan Sosial.

Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa termasuk ILO, harus

memberdayakan konvensi-konvensi tersebut dalam suatu peraturan perundang-

undangan. Peraturan perundagan tersebut harus tetap berpegang teguh kepada

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.50

48

Syaufii Syamsuddin, Op.Cit, 2004, hal. 265. 49

Zaeni Asyhadie, Op.Cit, 2013, hal. 48. 50

Ibid.

31

KUH Perdata Pasal 1602r dan 1602w KUHPerdata, berisi pengaturan

mengenai penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia, namun kepesertaannya masih

bersifat sukarela. Ditentukan, bahwa dengan undang-undang dapat diatur mengenai

kewajiban mengganti rugi dalam hal pekerja mengalami kecelakaan kerja. Kegiatan

dapat dilakukan dengan perjumpaan hutang atas upah kerja. Boleh dilakukan

pemotongan upah untuk keperluan program dana jaminan sosial (DJS), sepanjang

DJS itu memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang.51

Tahun 1926 dikeluarkan Koninklijk Besluit Nomor 33 Tahun 1926 Stbl. 335

dan Stbl No. 377 tahun 1926 tentang Persyaratan Pembentukan Dana Jaminan Sosial.

Tujuan pembentukan dana adalah untuk menyelenggarakan program pensiun dan

pertanggungan jiwa bagi pekerja dengan sistem pembayaran iuran yang diperhitungan

dari upah pekerja. Dari ketentuan-ketentuan itulah dapat diketahui bahwa

penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia telah mulai dirintis sejak lama, dimulai

dengan kepersertaan yang bersifat sukarela, diawali dengan program pensiun,

jaminan hari tua, dan kecelakaan kerja.52

Dimulai dari UU No. 33 Tahun 1947 jo. UU No. 2 Tahun 1951, PMP No. 48

Tahun 1952 jo. PMP No. 8 Tahun 1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha

penyelenggaran kesehatan buruh, PMP NO. 15 tahun 1957 tentang pembentukan

yayasan sosial buruh, PMP No. 5 Tahun 1964 tentang Yayasan Dana Jaminan Sosial

(YDJS).53

51

Syaufii Syamsuddin, Loc.Cit. 52

Ibid. 53

Abdul Khakim, Op.Cit, hal. 116.

32

Penyelenggaraan jaminan sosial yang telah dimulai sejak tahun 1964 pada

tahun 1967 disempurnakan menjadi Permenaker No. 3 tahun 1967 dan No. 4 Tahun

1967. Penyelenggara pertanggungan adalah Dana Jaminan Sosial (DJS), yang

didirikanberdasarkan suatu akte notaris. Kepesertaannya pun bersifat sukarela.

Pengusaha dapat mempertanggungkan pekerjaan dengan persetujuan pekerja yang

bersangkutan. Kemudian diberlakukan pula program perlindungan tersebut, terhadap

pekerja bebas (selfemployed) dengan hak dan kewajiban yang hampir sama dengan

pekerja pada umumnya.

Perbedaannya hanya pada besar penerimaan santunan yang diterima54

. Pada

tahun 1969 diberlakukannya Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tetang Ketentuan-

Ketentuan Pokok mengenai tenaga kerja (Pasal 10 dan Pasal 15). Pasal 10,

Pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup: Norma keselamatan kerja;

Norma kesehatan kerja dan hygiene perusahaan; Norma-kerja; Pemberian ganti

kerugian, perawatan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan kerja. Pasal 15 Pemerintah

mengatur penyelenggaraan pertanggungan sosial dan bantuan sosial bagi tenaga kerja

dan keluarganya.

Sehingga dalam kedua Pasal ini dapat di simpulkan bahwa tenaga kerja yang

mendapat kecelakaan atau menderita penyakit akibat pekerjaan berhak atas ganti

kerugian perawatan dan rehabilitasi. Dalam hal seorang tenaga kerja meninggal dunia

akibat kecelakaan atau penyakit akibat pekerjaan maka ahli warisnya berhak

menerima ganti kerugian.55

54

Syaufii Syamsuddin, Op.Cit, 2004, hal. 271. 55

Koesparmono Irsan dan Armansyah, Op.Cit, 2016, hal. 202.

33

Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan

hukum, bentuk perlindungan, maupun cara penyelenggaraan, pada 26 November

1977 di keluarkanlah Peraturan pemerintah (PP) No. 33 Tahun 1977 tentang Asuransi

Sosial Tenaga Kerja (ASTEK), sebagai pelaksanaan UU No. 14 Tahun 1969,

khususnya Pasal 10 dan Pasal 15. Penyelenggaraan ASTEK pada dasarnya mencakup

ruang lingkup dan tujuan ang luas sehingga mencakup konsekuensi pembiayaan yang

luas, dan pada hakikatnya pembiayaan pembiayaan program tersebut akan merupakan

beban masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraannya

perlu penahapan-penahapan dengan memperhatikan kemampuan masyarakat yang

berkaitan langsung dengan kebutuhan tenaga kerja. Oleh karena itu, dalam

penyelenggaraannya perlu penahapan-penahapan dengan memperhatikan kemampuan

masyarakat yang berkaitan langsung dengan kebutuhan tenaga kerja akan jaminan

sosial.56

Kemudian tepat pada tanggal 17 Februari 1993 diterbitkanlah Undang-

Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK),

yang kemudian diikuti dengan peraturan pelaksanaannya, yaitu PP No. 14 Tahun

1993 tentan Penyelenggaraan JAMSOSTEK. Dengan berlakunya PP No. 14 Tahun

1993 ini, PP No. 33 Tahun 1977 dinyatakan dalam Pasal 54 tidak berlaku57

. PP No.

14 Tahun 1993 ini kemiduan diubah dengan PP No. 79 Tahun 1998 (perubahan

keempat) jo. PP No. 76 Tahun 2007 (perubahan kelima) yang pada intinya hanya

56

Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan Indonesia,Cet.1, RajaGrafindo Pesada,

Jakarta, 1995. hal. 236. 57

Ibid.

34

mengubah besarnya santunan kematian, biaya pemakaman, dan besarnya biaya

(maksimum) pengobatan dan perawatan58

.

Berturut-turut melaksanakan lebih lanjut Undang-Undang No. 3 Tahun 1992

kemudian dikeluarkan:59

1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-05/MEN/1993 tantang Petunjuk

Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Bantuan dan

Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang kemudian diperbarui dengan

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-12/MEN/VI/2007

tentang Petinjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran,

Pembayaran Bantuan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

2. Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena

Hubungan Kerja.

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER. 04/MEN/1998 tentang

Pengangkatan, Pemberhetian, dan Kerja Dokter Penasihat.

Dari latar belakang keluarnya PP N.o 33 Tahun 1977 dengan UU No. 3 tahun

1992, dapat diasumsikan bahwa antara Program PP No. 33 Tahun 1977 dengan UU

No. 3 Tahun 1992 adalah sama. Hanya dalam penyebutan istilah masing-masing

program tersebut yang berbeda, besaran iuran, dan masing-masing jaminannya.60

Kemudian, akhir tahun 2004, pemerintah juga menerbitkan UU No. 40 Tahun

2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ( SJSN). Selanjutnya pada tahun 2011,

ditetapkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

58

Zaeni Asyahdie, Op.Cit, 2013, hal. 77. 59

Ibid. 60

Ibid.

35

Munculnya UU SJSN ini juga dipicu oleh UUD 1945 dan perubahannya tahun 2002

dalam Pasal 5 ayat (1); Pasal 20; Pasal 28H ayat (1), (2), dan (3); serta pasal 34 ayat

(1) dan (2) mengamanatkan untuk mengembangkan SJSN. Pengesahan dan

pengundangan UU SJSN telah melampaui proses panjang, dari tahun 2000 hingga

tanggal 19 Oktober 2004.61

Diawali dengan upaya penyusunan konsep Undang-Undang Jaminan Sosial

oleh kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat melalui keputusan Menko

Kesra dan Taskin No. 25-KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000

tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan SJSN. Sejalan dengan pernyataan

presiden, DPA RI melalui Pertimbanga DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11

Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial dalam rangka mewujutkan masyarakat sejahtera.62

Dalam laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara

pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR-RI

Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR RI yang menugaskan

Presiden RI untuk membentuk SJSN dalam rangka memberikan perlindungan sosial

yang lebih menyeluruh dan terpadu.63

Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 5 ayat (10 dan Pasal 52 Undang-Undang

No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, maka di bentuklah Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial (BPJS) yang merupakan Transformasi keempat BUMN, yaitu PT Jamsostek

(Pesero), PT Askes (Persero), PT Taspen ( Persero), PT Asabri (Persero) melalui UU

61

Abdul Khakim, Loc.Cit. 62

Ibid, Hal.117. 63

Ibid.

36

No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6

UU No. 24 Tahun 2011 di nyatakan bahwa BPJS dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:

1. BPJS Kesehtan, menyelenggarakan jaminan kesehatan.64

2. BPJS Ketenagakerjaan, menyelenggarakan menyelenggarakan program

jaminan kecelakaan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

Dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, terdapat beberapa keunikan:

Pertama, menetapkan sebgaia badan hukum publik yang bertanggung jawab

kepada Presiden (Pasal 7). Sehingga bukan lagi berstatus sebagi badan hukum

privat melain kan berbentuk BUMN.

Kedua, menetapkan tenaga kerja asing yang bekerja paling singkat 6 bulan

wajib menjadi peserta jaminan sosial (Pasal 14).

Dimana sebelumnya keikutsertaan tenaga kerja asing dalam program Jamsostek

sempat terjadi Tarik ulur kepentingan yaitu:

a) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.

KEP.67/MEN/IV/2004, tenaga kerja asing wajib menjadi peserta Program

Jamsostek.

b) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.

PER.02/MEN/XII/2004, tenaga kerja asing tidak wajib menjadi peserta

Program Jamsostek, drngan syarat telah memiliki perlindungan Jamsostek

sejenis di Negara asalnya.

Ketiga, bahwa per tanggal 1 Januari 2014:

64

Ibid.

37

a) PT Askes (Persero) berubah menjadi BPJS kesehatan, dan beroperasi

sama per tanggal 1 Januari 2014 [Pasal 60 ayat (1) UU No. 24 Tahun

2011]

b) PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan,

tetapi beroperasi paling lambat mulai tanggal 1 Juli 2015 (Pasal 64 UU

No. 24 Tahun 2011).65

Perkembangan peraturan jaminan sosial diikuti oleh peraturan kecelakaan

kerja dan pemeliharan kesehatan pekerja. Karena didalam peraturan jaminan sosial

terutama jaminan tenaga kerja terpadat pula peraturan-peraturan yang mengatur

tentang kecelakaan kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerja.

2.2. Temuan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Pemeliharaan Kesehatan

Pekerja sebagai Keadilan Bermartabat

Di atas telah dikemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan perspektif

Keadilan Bermartabat adalah bahwa kalau orang mau mencari hukumnya, dalam hal

ini termasuk hukum yang megnatur mengenai jaminan kecelakaan kerja dan

pemeliharaan kesehatan pekerja, maka hukumnya itu harus dicari di dalam Voksgeist

atau jiwa bangsa Indonesia. Jiwa bangsa itu memanifestasikan diri atau menjadi dapat

dilihat secara konkret dalam peraturan perudnang-undangan yang telah diuraikan di

atas, dan juga dalam putusan pengadilan. Putusan pengadilan itu dalam ilmu

penemuan hukum menurut teori Keadilan Bermartabat adalah merupakan temuan.

65

Ibid, hal. 118.

38

Oleh karena itu dalam sub-judul di atas dikemukakan temuan. Putusan No. 108

PK/Pdt. Sus/2010.

Sebagai temuan, penentuan pegnaturan tentang jaminan kecelakaan kerja dan

pemeliharaan ditentukan berdasarkan asas Demi keadilan berdasarkan ketuhanan

Yang Maha Esa. Atas dasar itu, Majelis Hakim memeriksa perkara perselisihan

hubungan industrial dalam peninjauan kembali telah memutuskan sebagai berikut

dlam perkara: Pihak PT Surabaya Coil Center (PT SCC), berkedudukan di Jalan Raya

Margomulyo No. 34, Surabaya., dalam hal ini memberi kuasa kepada Susanto,SH., &

Associates, para advokat berkantor di Jalan Mrgomulyo No. 34, Surabaya.

Berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 15 Maret 2010; pemohon peninjauan kembali

dahulu pemohon kasasi/tergugat.

Melawan Biauw Tjuan, bertempat tinggal di Jalan Kepatihan RT 002 RW 008

Desa Kepatihan, mengganti gersik., dalam hal ini memberi kuasa kepada :Jiston

Sitinjak, dan Apriady, SH., Para pengurus pada Dewan Pusat Serikat Buruh

Perjuangan Sejahtera Indonesia berkantor di Jalan Simorejosari, B/IX/47

RT05/RW16, Kelurahan Simomulyo, Surabaya berdasarkan surat kuasa khusus

tanggal 8 april 2009.

Setelah membaca surat-surat yang berkenaan dengan perkara tersebut,

Mahkamah Agung memberikan pertimbagnan, yang dalam hal ini dapat pula dilihat

sebagai temuan yang berkenaan dengan perlindungan hukum dalam hal pekerja

mengalami kecelakaan kerja dan pemeloiharaan kesehatan sebagai berikut dan

digambarkan di bawah ini.

39

Surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang pemohon peninjauan kembali

dahulu sebagai pemohon kasasi/tergugat telah mengajukan permohonan peninjauan

kembali terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor: 912 K/pdt. Sus/2008 yang

berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan termohon Peninjauan kembali,

dahulu sebagai termohon kasasi/penggugat dengan posita sebagai berikut: Penggugat

telah bekerja di perusahaan tergugat sejak tanggal 17 Oktober 1987 atau 20 tahun

lebih akan tetapi kurang dari 21 tahun dengan upah terakhir Rp. 2.758.580,- dengan

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Tergugat semenjak tahun 1987 telah di pekerjakan Tergugat di beberapa

perusahaan Tergugat yang bergerak dibidang Distributor Baja, mulai dari PT Baja

Mas Inti (BMI) dan pada tahun 2000 PT Baja Mas Inti (BMI) berganti nama menjadi

PT Surabaya Habin Centri (SHS) dan pada tahun 2002 PT Surabaya Habin Centri

(SHS) berganti nama menjadi PT Surabaya Baja Propil Center (SBPC) yang

beralamatkan di Jalan Margomulyo I Kav. 1 No. 1, Surabaya sampai saat ini masih

berjalan dan khusus pergudangan, dan dan sampai akhir tahun 2007 penggugat

pekerjakan di bagian gudang tersebut, akan tetapi pada awal januari 2008 penggugat

di mutasi kebagian produksi ke PT Surabaya Coil Center (SCC) yang beralamatkan di

Jalan Mrgomulyo No. 34, Surabaya milik tergugat .

Pada tanggal 20 Februari 2008 penggugta mengalami kecelakaan kerja di

perusahaan tergugat tempat penggugat bekerja yang mengakibatkan salah satu ujung

jari kelingking bagian kiri terputus, yang menyebabkan penggugat tidak dapat bekerja

kurang lebih 10 hari lamanya, sedangkan biaya pengobatan ditanggung oleh

40

penggugat sendiri karena penggugat tidak di ikutsertakan tergugat menjadi peserta

program jamsostek, yang menyebabkan penggugat yang harus memikul beban berat.

Pada tanggal 3 Maret 2008 penggugat masuk kerja, setelah luka jari tangan

penggugat mulai sembuh, akan tetapi dilarang oleh tergugat, dan tergugat

menyatakan bahwa penggugat sudah tua dan tidak dapat bekerja baik lagi, makanya

terjadi kecelakaan kerja, karena penggugat sudah lamban dan tidak mampu lagi

bekerja, dan sebaiknya harus diberhentikan dan tergugat menyuruh penggugat untuk

pulang saja, karena, sudah tidak diperbolehkan lagi bekerja, maka penggugat pulang

dengan rasakecewa dan sedih, karena kecelakaan dalam pekerjaan membuat sebagian

ujung jari kelingking disertai kehilangan pekerjaan satu-satunya yang menjadi sember

keuangan untuk menghidupi penggugat dan keluarganya.

Pada tanggal 5 Maret 2008 penggugat dipanggil tergugat ke perusahaan

melalui kepala personalia Sdr. Andi Widodo S, untuk membicarakan tentang

pemutusan hubungan kerja, dengan menyuruh penggugat untuk menandatangani surat

tersebut yang telah mencantumkan uang pesangon sejumlah Rp. 87.157.040. akan

tetapi uang yang akan diterima penggugat hanya sebesar Rp. 22.500.000. selebihnya

untuk melunasi utang pinjaman dan cicilan rumah penggugat, dan penggugat tidak

dapat menerima alasan tersebut, karena cicilan rumah yang dimaksud bukanlah dari

tergugat melainkan dari gaji penggugat sendiri setiap bulannya untuk membayar

cicilan rumah di maksud karena rumah tersebut adalah rumah yang dibeli penggugat

sendiri, sedangkan uang pinjaman sebesar Rp. 5.000.000,- pada awal tahun 2006

untuk biaya berobat keluarga Penggugat (isteri) memang benar, yang masih tersisa

Rp 3.276.500 , itupun dulunya bukan merupakan pin jaman melainkan bantuan dari

41

Tergugat, akan tetapi akhir-akhirnya menjadi pinjaman yang harus dicicil dan itu pun

Penggugat tidak keberatan dan terbukti sudah dicicil Penggugat sebagian.

Karena Penggugat sudah tidak dipekerjakan lagi alias telah diberhentikan

tanpa kesalahan, maka segala hal yang berhubungan dengan utang pinjaman

Penggugat diperusahaan, menjadi tanggung jawab Tergugat, karena pemutusan

hubungan kerja bukan kemauan Penggugat, melainkan kehendak Tergugat sendiri

dengan alasan yang dibuat-buat, apalagi uang pinjaman tersebut merupakan tanggung

jawab Tergugat. Seandainya Penggugat diikut sertakan menjadi peserta Jamsostek

maka biaya pengobatan isteri Penggugat menjadi tanggung jawab Jamsostek

termasuk biaya pengobatan keluarga yang sakit selama ini maupun biaya pengobatan

Penggugat sendiri sewaktu mengalami kecelakaan karena pada bulan Februari 2008

yang membuat terpuruknya ekonomi Penggugat mengakibatkan keluarga menderita.

Bahwa oleh karena pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat tanpa

dasar hukum dan merupakan pelanggaran hukum Undang-undang Ketenagakerjaan

sebagaimana dimaksud pada Pasal 153 ayat 1 huruf J karena telah jelas-jelas

Penggugat mengalami kecelakaan kerja ditempat kerjanya, maka Penggugat tidak

dapat menerima pemutusan hubungan kerja tanpa uang pesangon sebagaimana diatur

didalam Pasal 164 ayat (3) yang menyatakan Pengusaha dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja terhadap Pekerja/ Buruh karena perusahaan tutup bukan karena

mengalami kerugian dua tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa

(forcemajeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan Pekerja/

Buruh berhak atas uang pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang

penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak

42

sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) akan tetapi Tergugat tidak melaksanakan

sebagaimana dimaksud pasal tersebut di atas. Justru Tergugat melakukan perbuatan

yang tidak terpuji yang menyuruh menandatangani surat seolah-olah Penggugat telah

menerima uang pesangon sebesar Rp 87.157.040 , - akan tetapi terealisasi hanya

menerima Rp 22.500.000.

Penggugat tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja yang dilakukan

Tergugat secara sepihak, maka pada tangga l 14 April 2008 Penggugat melaporkan

pemutusan hubungan kerja tersebut ke Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya dan telah

memilih mediator untuk dapat menjembatani pemutusan hubungan kerja tersebut

untuk dapat menyelesaikannya dan telah pula memanggil para pihak, akan tetapi

penyelesaian melalui mediator Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya tidak berhasil dan

Mediator Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya telah pula mengeluarkan Anjuran

Pemutusan Hubungan Kerja tanggal 6 Juni 2006 Nomor: 69/PHK/VI /2008 agar

Pengusaha PT SCC membayar hak-hak Penggugat Sdr. Biauw Tjuan sebagai berikut:

1. Uang pesangon sebesar Rp 85.540.000, - sesuai dengan surat perusahaan tertanggal

3 Maret 2008; 2. Agar perusahaan membayar upah pekerja selama tidak dipekerjakan

sejak bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2008=5 x Rp 2758.580,= 13,792,900 ,

- dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp 99.332.900.

Masih ada kekeliruan tentang hak-hak Penggugat yang tidak dimasukkan

dalam Anjuran Mediator Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya yaitu hak-hak pekerja

yang telah ditentukan Undang-undang Ketenagakerjaan dari Program Jaminan Sosial

Tenaga Kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Undang- Undang No. 3

Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yaitu jaminan kesehatan 8% dari

43

upah pekerja tiap bulan bagi yang sudah berkeluarga dan jaminan hari tua 3,70% dari

upah pekerja tiap bulan dan jaminan kecelakaan sebagaimana diatur di dalam Pasal

12 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 yaitu pada lampiran II Tabel II,

yaitu uang santunan 1,5 x upah apabila ruas pertama jari lain tangan kiri hilang, yang

menjadi kewajiban Tergugat akibat tidak dimasukkannya Penggugat menjadi peserta

Program Jamsostek, yang menjadi hak Penggugat. Namun demikian Penggugat dapat

menerima anjuran Mediator Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya tersebut, akan tetapi

Tergugat menolaknya walaupun telah mencantumkan uang pesangon tersebut dalam

surat pemutusan hubungan kerja yang dikeluarkan Tergugat pada 3 Maret 2008.

Akibat pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat tanpa prosedur

hukum yang berlaku, mengakibatkan Penggugat kehilangan pekerjaan dan

penghasilan, sedangkan untuk biaya pengobatannya sendiri akibat kecelakaan kerja

yang dialaminya pada 20 Februari 2008 yang lalu, harus utang sana sini yang

menambah penderitaan Penggugat dan keluarganya, yang seharusnya biaya

pengobatan atas kecelakaan kerja tersebut adalah tanggung jawab Tergugat

berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 Undang- Undang No. 3 Tahun 1992 tentang

Jaminan Kecelakaan Kerja , akan tetapi Tergugat tidak mau melaksanakannya.

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat tidak manusiawi dan

merupakan kesewenangan sehingga merupakan melanggar hukum Undang- undang

Ketenagakerjaan, karena bertentangan dengan maksud Pasal 151 dan Pasal 155 ayat

(3) yang menyatakan Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan

dimaksud pada Pasal 2 berupa skorsing kepada pekerja/ buruh yang sedang dalam

proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-

44

hak Iainnya yang biasa diterima pekerja/buruh, karena Pemutusan Hubungan Kerja

merupakan kewenangan PPHI, dan Pemutusan Hubungan Kerja hanya sah apabila

telah mendapat penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial berdasarkan Pasal 151 ayat (3) Undang- Undang No. 13 Tahun 2003. Oleh

karena itu, Penggugat cukup beralasan untuk mengajukan gugatan pemutusan

hubungan kerja terhadap Tergugat ke Pengadilan Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri Surabaya, berdasarkan Pasal 169 ayat (1) huruf (d) serta ayat 2

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan pekerja/buruh dapat

mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada Lembaga Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial dalam hal Pengusaha tidak melakukan kewajiban

yang telah di janjikan kepada pekerja/buruh. Sedangkan dalam ayat (2) dikatakan,

pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pekerja/buruh

berhak mendapat uang pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang

penghargaan masa kerja, 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian

hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

Selain uang pesangon sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 169 ayat (2)

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 juga Tergugat berkewajiban membayar hak

Penggugat dari Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, oleh karena di dalam Pasal 3

ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 menyatakan, setiap tenaga kerja berhak

atas jaminan sosial tenaga kerja, sedangkan dalam Pasal 4 ayat (1) dikatakan Program

Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan

oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam

hubungan kerja sesuai dengan ketentuan undang-undang ini, sedangkan sanksi hukum

45

bagi perusahaan yang tidak melaksanakan sebagaimana dimaksud Pasal 4 tersebut

diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 yang merupakan

perbuatan tindak pidana pelanggaran.

Bahwa akibat Tergugat tidak mengikut sertakan Penggugat menjadi peserta

Program Jamsostek, maka Tergugat berkewajiban membayar hak-hak Penggugat,

sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun

1992 tentang Program Jamsostek, yang menyatakan apabila Pengusaha dalam

menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar

sehingga mengakibatkan ada tenaga kerja yang tidak terdaftar sebagai peserta

program jaminan sosial tenaga kerja, maka Pengusaha wajib memberikan hak-hak

tenaga kerja sesuai ketentuan Undang- undang ini.

Pasal 9 ayat (1) huruf d dan ayat (2) serta ayat (3) Peraturan Pemerintah

Nomor 14 Tahun 1993 telah mengatur kewajiban Pengusaha sebagai berikut: 1.

Jaminan pemel iha raan kesehatan sebesar 6% dar i upah sebulan bagi tenaga kerja

yang berkeluarga; 2. Jaminan kecelakaan kerja sepenuhnya ditanggung oleh

Pengusaha; 3. Jaminan Hari Tua 3,70% dari upah sebulan yang ditanggung oleh

Pengusaha. Bahwa tabel presentase santunan tunjangan cacat tetap sebagian dan cacat

Iainnya telah diatur didalam lampiran 11 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993

tangga l 27 Februari 1993 apabila kehilangan ruas pertama jari lain tangan kiri, maka

akan dibayar tunjangan 1,5 kali upah.

Akibat perbuatan Tergugat melakukan pemutusan hubungan kerja akibat

kecelakaan kerja yang dialami Penggugat, sewaktu melakukan pekerjaan, yang

seharusnya Tergugat tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja karena

46

dilindungi oleh undang-undang, dan perbuatan tersebut merupakan pelanggaran

terhadap undang-undang Ketenagakerjaan. oleh karenanya, Penggugat berhak

mendapatkan hak-haknya sebagaimana telah ditentukan oleh undang-undang yang

berlaku dengan perincian: Uang pesangon 2 x 9 x Rp 2.758.580 = Rp 49.654.440,

Uang penghargaan masa kerja 7 x Rp 2.758.580 = Rp 19.310.060, Uang penggantian

hak 15% x 68.964.500 = Rp10.344.675, Upah proses sejak bulan Maret 2008 sampai

putusan Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya 7 x 2.758.580 = Rp 19.310.060,

total = Rp98.619.235

Hak-hak Penggugat dari Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai

kewajiban Tergugat adalah; 1. Jaminan pemeiharaan kesehatan 6% kali upah sebulan,

akan tetapi karena biaya pengobatan isteri Penggugat pada Tahun 2006 sebesar Rp

5.000.000 adalah dari Perusahaan Tergugat yang masih tersisa Rp 3.276.500, maka

Penggugat hanya meminta 3% x Rp. 2.758,580, - x (240 bulan) = Rp 19.861.776,

Jaminan hari tua 3,70% x Rp 2.758.580 x (240 bulan) = Rp 24.496.190, Tunjangan

kecelakaan atas kehilangan sebagian ruas pertama jari tangan kiri 1,5 x Rp 2.758.580

= Rp 4.137.870, total = Rp 48.495.836.

Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan Tergugat tanpa terlebih

dahulu meminta Penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial, batal demi hukum, sebagaimana dimaksud Pasal 155 ayat (1) Undang-

Undang No. 13 Tahun 2003. Maka Penggugat cukup beralasan dan berdasarkan

hukum untuk mengajukan permohonan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial

pada Pengadilan Negeri Surabaya guna mendapatkan kepastian hukum agar dapat

47

memperoleh hak-hak Penggugat sebagaimana yang telah diatur oleh Undang- undang

yang berlaku.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas Penggugat mohon kepada Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya supaya memberikan putusan

sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya; 2. Menghukum

Tergugat untuk membayar hak- hak Penggugat, uang pesangon 2 x 9 x Rp 2.758.580

= Rp 49.654.440, uang penghargaan masa ker ja 7 x Rp 2.758.580 = Rp 9.310.060,

uang penggant i an hak 15 % x 68.964.500 = Rp 10.344.675, upah proses sejak bulan

Maret 2008 7 x 2.758.580 = Rp 19.310.060, Jaminan Kesehatan 3% x Rp 2.758.580 x

20 tahun (240 bulan) = Rp 19.861.776, tunjangan kecelakaan 1,5 x Rp 2.758.580 =

Rp 19.861.776, Jaminan Hari Tua 3,70% x Rp 2.758.580 x (240 bulan) Rp 4.137.870

= Rp 24.496.190, total = Rp 147.115.071; 3. Menghukum Tergugat untuk membayar

biaya yang timbul dalam perkara ini Atau memberikan putusan yang seadil-adilnya.

Terhadap gugatan tersebut Tergugat mengajukan eksepsi yang pada pokoknya

atas dalil-dalil sebagai berikut: Gugatan yang diajukan kepada PT SCC yang

beralamat di Jalan Margomulyo 34, Surabaya adalah salah alamat (error in persona),

mestinya yang benar adalah gugatan Penggugat di tujukan kepada perusahaan PT

Baja Mas Inti, beralamat di Jalan Margomulyo I Kav. 1 No. 1, Surabaya.

Penggugat sejak tahun 1987 sampai tahun 2000 adalah sebagai Pekerja/Buruh

dari Perusahaan PT Baja Mas Inti, sekarang telah bubar bukan Pekerja/Buruh dari

Perusahaan PT SCC. Penggugat sebagai Pekerja/Buruh di Perusahaan Tergugat yaitu

PT SCC sejak awal bulan Januari 2008, dibagian produksi, Penggugat masih berstatu

sebagai Pekerja/Buruh: Masa Percobaan; Dengan gaji upah yang telah disepakati

48

sebesar dua juta dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah dibayar setiap bulan bukan

sebesar Rp 2.758.580.

Amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

Surabaya No. 124/G/ 2008.Sby tanggal 10 September 2008 adalah sebagai berikut;

Dalam Eksepsi, Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya. Dalam Pokok Perkara,

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; 2. Menyatakan hubungan kerja

antara Penggugat dengan Tergugat putus sejak putusan dalam perkara ini diucapkan

yaitu sejak tangga l 10 September 2008; 3. Menghukum Tergugat untuk membayar

hak-hak Penggugat secara tunai dan sekaligus, dengan perincian sebagai berikut:

Uang Pesangon: 2 x 9 x Rp 2.275.000 = Rp 40.950.000, Uang Penghargaan Masa

Kerja: 7 x Rp 2.275.000 = Rp 15.925.000, Uang Penggantian Hak: 15 % x Rp

56.875.000 = Rp 8.531.250, upah proses: 6 x Rp 2.275.000 = Rp 13.650.000,

Santunan Cacat: 1,5% x 60 x Rp 2.275.000 = Rp 2.047.500, TOTAL = Rp

70.103.750; 4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya; 5.

Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar nihil.

Amar putusan Mahkamah Agung RI No. 912 K/ Pdt .Sus/ 2008 tanggal 15

April 2009 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT Surabaya Ciol Center (SCC)

yang dalam perkara ini diwakili oleh kuasanya Susanto, dkk tersebut.

Sesudah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut i.c. putusan

Mahkamah Agung RI No. 912 K/Pdt .Sus/ 2008 tanggal 15 April 2009 diberitahukan

kepada Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi pada tanggal 25

Januari 2010. Kemudian terhadapnya oleh para Pemohon Peninjauan Kembali

49

(dengan perantaraan kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 15 Maret 2010)

diajukan permohonan Peninjauan Kembali secara lisan di Kepaniteraan Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya tersebut pada tanggal 19

Maret 2010 permohonan mana disertai dengan memori yang memuat alasan-alasan

permohonannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri Surabaya tersebut pada tanggal 19 Maret 2010 itu juga.

Tentang permohonan peninjauan kembali telah diberitahukan kepada pihak

lawan dengan seksama pada tanggal 24 Maret 2010 kemudian terhadapnya oleh pihak

lawan telah diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan

Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya tersebut pada tanggal 20 April 2010.

Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 295, 296, 297 Undang-undang No. 37 Tahun

2004 permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya yang diajukan

dalam tenggang waktu dan dengan cara-cara yang ditentukan Undang-undang, formil

dapat diterima.

Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan- alasan Peninjauan

Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut Gugatan Penggugat/dahulu Termohon

Kasasi/sekarang Termohon Peninjauan Kembali, adalah salah alamat, tidak tepat/

keliru (error in persona) melakukan gugatan terhadap Pengusaha Condro Harsono.

Mestinya yang benar menurut hukum adalah, gugatan ditujukan terhadap:

Perusahaan (Perseroan Terbatas)/Perseroan bukan ditujukan terhadap: Perseorangan

(pribadi orangnya) (yang bernama Condro Harsono). Karena Perseroan Terbatas/

Perseroan (PT) adalah Badan Hukum, yang berarti perseroan merupakan subyek

50

hukum dimana Perseroan sebagai sebuah badan hukum yang dapat dibebani Hak dan

Kewajiban, seperti halnya manusia pada umumnya

Lagi pula sekarang Direkturnya perusahaan PT Surabaya Coil Center yaitu

adalah Andi Widodo Sasmito, bukan seseorang yang bernama Condro Harsono

(sesuai bukti Tergugat T-1 (semula dahulu Tergugat/ Pemohon Kasasi) Dalam

persidangan pihak Penggugat/ Termohon Kasasi/ Termohon Peninjauan Kembali,

tidak dapat membuktikan (baik secara tertulis maupun secara bukti autentik) bahwa:

Condro Harsono, sebagai Pemilik Perusahaan (sebagai pemegang Saham perusahaan).

Termohon Peninjauan Kembali Termohon Kasasi/Penggugat, tidak dapat

membuktikan/ tidak mempunyai izin mutasi (secara tertulis) dan hanya mulai bekerja

di perusahaan Pemohon Peninjauan Kembali (PT SCC) sejak Januari 2008, dibagian

(sesuai bukti Tergugat T-3, (dahulu Tergugat/ Pemohon Kasasi ); Bahwa PT SCC

(Pemohon PK/ Pemohon Kasasi/ dahulu Tergugat) adalah perusahaan yang berbeda,

dengan perusahaan PT Baja Mas Inti, masing-masing berdiri sendiri-sendiri Badan

Hukumnya Berbeda, sehingga mempunyai kewajiban/hak/serta tanggung jawab

sendiri-sendiri. Gugatan Penggugat/Termohon Kasasi/Termohon Peninjauan Kembali

(Termohon PK) adalah: Kurang lengkap/tidak sempurna/kabur (obscuur libel) karena

tidak mengikut sertakan (secara tanggung renteng menggugat) perusahaan dimana

Penggugat/Termohon Kasasi/Termohon PK, pada waktu itu dipekerjakan, yang

sekarang diakui sendiri masih aktif berdiri (tidak bubar) sampai sekarang yaitu

perusahaan: PT Surabaya Baja Profil Center (PT SBPC) tidak ikut digugat secara

tanggung renteng, mestinya juga harus ikut digugat secara tanggung renteng.

(teliti/lihat: gugatan tertangga l 24 Juni 2008, terdaftar dalam register perkara No.

51

124/G/2008/PHI.Sby) pada halaman: 1, poin No. 2; Yaitu berbunyi “PT Surabaya

Baja Profil Center (SBPC) yang beralamat di Jalan Margomulyo I Kav. 1, Surabaya,

sampai saat ini masih berjalan dan khusus pergudangan”.

Terhadap alasan-alasan Peninjauan Kembali tersebut, Mahkamah Agung

berpendapat, alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Juris

tidak melakukan kekeliruan atau kekhilafan yang nyata. Juga novum yang diajukan

oleh Pemohon Peninjauan Kembali tidak menentukan dan telah dipertimbangkan

sebelumnya oleh Judex Facti, dengan demikian alasan-alasan dari Pemohon

Peninjauan Kembali tersebut tidak termasuk dalam salah satu alasan Permohonan

Peninjauan Kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 huruf (b) Undang-

Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang

No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka permohonan

Peninjauan Kembali yang diajukan oleh PT SCC tersebut adalah tidaklah beralasan,

sehingga harus di tolak.

Karena nilai gugatan dalam perkara ini di bawah Rp 150.000.000, maka

pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya perkara dan berdasarkan Pasal 58

Undang- Undang No. 2 Tahun 2004 biaya perkara dibebankan kepada Negara;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Undang-

Undang No. 4 Tahun 2004, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang

telah diubah dan di tambah dengan Undang- undang No. 5 Tahun 2004 dan

perubahan kedua dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan

perundang-undangan lain yang bersangkutan.

52

Atas dasar itu maka amar putusan kemudian menjadi penolakan terhadap

permohonan peninjauan kembali dari : PT Surabaya Coil Center (PT SCC) tersebut.

Majelis Hakim kemudian membebankan biaya perkara kepada Negara. Demikianlah

putusan, yang dalam hal ini disebut dalam sub-judul penelitian di atas sebagai temuan

yang diberikan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Jum’at

tanggal 10 Desember 2010 oleh Prof. Rehngena Purba, Hakim Agung yang

ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis H. Buyung Marizal ,

dan Dwi Tjahyo S, Hakim- Hakim Agung sebagai Anggota dan diucapkan dalam

sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis tersebut dengan

dihadiri oleh H. Buyung Marizal, dan Dwi Tjahyo S, Hakim- Hakim Anggota dan

Susilowati, SH, Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak .

Mengingat dalam perspektif teori Keadilan Bermartabat dikatakan bahwa

hukumnya itu dapat ditemukan dalam jiwa bangsa, dalam hal ini dalam peraturan

perudnang-udnangan, maka dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Pasal 86 ayat (1)

mengatakan, Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan

atas : a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan; c. perlakuan

yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Kaitannya dengan pasal 83 ayat (1) huruf (c) pemberian jaminan kecelakaan

dan pemeliharaan kesehatan pekerja harus sesuai dengan harkat dan martabat

manusia serta nilai-nilai agama. Hal itu terlihat dalam putusan sebagai temuan yang

telah digambarkan sebagai hasil penelitian di atas, yaitu putusan No. 108 PK/Pdt.

Sus/2010 dapat dilihat bahwa dalam perkara Biauw Tjuan (penggugat) meminta hak-

haknya terhadap perusahaan PT SCC (tergugat).

53

Biauw Tjuan menuntut hak jaminan kecelakaan kerja yang penggugat alami

serta pemeliharaan kesehatan pekerja dan juga besaran jumlah uang pesangon yang

seharusnya penggugat terima. penggugat mengalami kecelakaan kerja hingga

mengalami cacat fisik permanen dan menyebabkan diberhentikan secara sepihak oleh

tergugat. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan pasal 153 ayat (1) huruf J pekerja/buruh

dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan

kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya

belum dapat dipastikan, dalam hal ini pihak tergugat melakukan pemutusan hubungan

kerja tanpa berdasarkan hukum yang telah ada dengan alasan penggugat sudah dan

tidak dapat bekerja dengan baik lagi.

Kemudian pada saat mengalami kecelakaan kerja penggugat membayar

sendiri biaya pengobatannya dan ketika istrinya sakit pun penggugat harus meminjam

uang kepada tergugat untuk membiayai pengobatan istrinya, karena dari pihak

tergugat tidak mendaftarkan penggugat menjadi peserta program jamsostek.

Sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 3 Tahun 1992

tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja; (1). Pengusaha wajib memiliki daftar tenaga

kerja beserta keluarganya, daftar upah beserta perubahanperubahan, dan daftar

kecelakaan kerja di perusahaan atau bagian perusahaan yang berdiri sendiri. (2).

Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha wajib

menyampaikan dataketenagakerjaan dan data perusahaan yang berhubungan dengan

penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara.

(3). Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat

(2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan ada tenaga kerja yang tidak

54

terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial tenaga kerja, maka pengusaha wajib

memberikan hak-hak tenaga kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.

Dari putusan tersebut dapat dikatakan bahwa jaminan sosial dan pemeliharaan

kesehatan pekerja sebagai keadilan bermartabat karena dalam prosesnya Mahkamah

Agung berpendapat bahwa judex juris tidak melakukan kekeliruan atau kekilafan

yang nyata, serta novum yang diajukan oleh pemohon peninjauan kembali (yang

menjadi tergugat) tidak menentukan dan dipertimbangkan sebelumnya oleh judex

facti. Sehingga alasan-alasan dari pemohon peninjauan kembali tidak termasuk dalam

salah satu alasan permohonan peninjauan kembali seperti yang dimaksud dalam

Pasal 67 huruf b UU No. 14 tahun 1985, apabila setelah perkara diputus, ditemukan

surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak

dapat ditemukan; sehingga permohonan peninjauan kembali PT.SCC harus ditolak.

Karena dalam keadialan bermartabat suatu putusan yang diberikan oleh hakim tidak

boleh melupakan manfaat dan tujuan yang berdasarkan nilai-nilai pancasila sila ke

dua.

2.3. Analisis Jaminan Kecelakaan Kerja dan Pemeliharaan Kesehatan

Pekerja dalam Perspektif Teori Keadilan Bermartabat

Jaminan kecelakaan kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerja adalah suatu

program pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja, yang dimana telah diatur sesuai

ketentuan dan norma-norma yang ada dan bukan hanya untuk kepentingan seorang

saja, melain kan untuk kepentingan masyarakat luas yang memerlukannya.

55

Jaminan kecelakaan meliputi perlindungan-perlindungan yang bertujuan untuk

menjamin keselamatan para pekerja atas peristiwa-peristiwa yang tidak terduga dan

tanpa ada unsur kesengajaan dari para pekerja yang mengalami kecelakaan yang

berhubungan dengan hubungan pekerjaan mereka diperusahaan tersebut. Sedangkan

pemeliharaan kesehatan pekerja pada umumnya meliputi pemeliharaan atau menaikan

derajat kesehatan para pekerja, dengan mengatur pemberian obat-obatan, merawat

tenaga kerja yang sakit dan mencegah gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh

lingkunan kerja, sehingga dapat meningkatkan kinerja para pekerja dengan lebih

optimal.

Putusan sebagai temuan di atas, yaitu putusan No. 108 PK/Pdt. Sus/2010,

yang dalam teori Keadilan Bermartabat dilihat sebagai jiwa bangsa (Volksgeist)

tersebut memperlihatkan pentingnya jaminan kecelakaan kerja dan pemeliharaan

kesehatan pekerja. Karena dalam Pasal 86 UU No. 13 Tahun 2003 telah dijabarkan

bahwa setiap pekerja berhak memperoleh perlidungan. Disamping itu juga dapat

memberi manfaat terhadap kedua belah pihak yaitu bagi pihak perusahaan

memberikan jaminan kecelakaan kerja dapat meningkatkan produktivitas karena

telam memberi perlindungan keselamatan terhadap para pekerja yang mengalami

kecelakaan kerja. Lalu pemeliharaan kesehatan pekerja mengurangi resiko kerugian

secara ekonomis salah satunya menanggu biaya pengobatan pekerja yang sedang

sakit apabila tidak di daftarkan menjadi peserta jamsostek atau sekaran menjadi BPJS

ketenagakerjaan. Maka dari itulah program jaminan sosial tenaga kerja terutama

jaminan kecelakaan kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerja bagi tenaga kerja yang

melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja merupakan suatu hal yang menjadi

56

prioritas dalam memberikan perlindungan pada saat tenaga kerja kehilangan sebagian

atua seluruh penghasilannya sebagai akibat atas terjadinya risiko-risiko yang tidak

terduga seperti kecelakaan, sakit, hamil, dan meninggal dunia.

Kemudian mamfaat bagi pekerja sendiri yaitu memperoleh perlindungan yang

semestinya mereka dapatkan, seperti ketika sedang mengalami kecelakaan hingga

mengalami cacat permanen maka dari pihak perusahaan selain membayar semua

pengobatannya perusahaan memberikan uang santunan, selain itu jika pihak

perusahaan mendaftarkar pekerja tersebut menjadi peserta BPJS ketenagakerjaan dan

BPJS sosial bukan hanya pekerja tersebut yang mendapatkan pemeliharaan kesehatan

pekerja tetapi anak dan istrinya pun juga mendapatkan jaminan kesehatan yang sama.

Menurut perspektif Keadilan Bermartabat jaminan kecelakaan kerja dan

pemeliharaan kesehatan pekerja merupakan program yang dibuat sesuai dengan

peraturan perundangan dimana peraturan perundangan tersebut harus tetap berpegang

teguh kepada Pancasila sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Kaitannya

dengan hal ini keadian bermartabat adalah keadilan hukum dalam perspektif

Pancasila yang berlandaskan sila ke-2 yaitu adil dan beradap dengan memperlakunan

secara adil selayaknya manusia yang sesuai harkat dan martabatnya. Karena pada

prinsipnya hak asasi manusia adalah perangkat hak yang melekat pada hakikat setipa

manusia, dan salah satu hak yang melekat pada diri setiap orang yaitu hak atas

perlindungan atau jaminan.

Jaminan kecelakaan kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerja perspektif teori

Keadilan Bermartabat itu berdasarkan Pancasila sila ke-2 yaitu kemanusiaan yang

adil dan beradap. Yang dimaksutkan adalah jaminan kecelakaan kerja dan

57

pemeliharaan kesehatan pekerja dilihat dari segi kemanfaatannya terhadap pekerja

ataupun perusahaan serta tujuan untuk memberikan perlindungan secara manusiawi

dengan melihat harkat dan martabat tanpa mengurangi kemanfaatan dan tujuannya.

dengan berdasarkan nilai-nilai Pancasila itulah maka tujuan dari jamnian kecelakaan

kerja dan pemeliharaan kesehatan pekerja dapat memberi manfaat bagi para tenaga

kerja, karena dengan begitu bararti antara pengusaha dan pekerja saling

mencerminkan iktikad baik untuk melaksanakan suatu hubungan kerja dengan

berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Dampak terwujudnya dari hal tersebut maka antara pengusaha dan pekerja

saling memiliki kegairahan dalam bekerja sehingga dengan demikian akan

tercapainya peningkatan produktivitas perusahaan dan keharmonisan di dalam

lingkungan kerja, karena jika konsep Teori Keadialan Bermartabat dapat dilakukan

dengan baik maka pekerja dan pengusaha bisa bersama-sama menyatu sebagai satu

kesatuan dan saling bergotong royong, bekerja keras dalam suasana kekeluargaan

mewujudkan msi perusahaan yang pada akhirnya berpengaruh juga bagi

kesejahteraan para pekerja.