h ,661 s ,661 mxuqdo :$6,$1

97

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

e-ISSN : 2502-5198p-ISSN : 2355-9969

Akreditasi: 780/Akred/P2MI-LIPI/08/2017

jurnal WASIAN

Wahana Informasi Penelitian Kehutanan

Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan Cabang Terhadap Produktivitas Buah Tanaman Kayu Ules (Helicteres isora linn.) di Habitat Alaminya

Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon Pada Hutan Lahan Kering Sekunder di Halmahera Timur

PPengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi Terhadap Daya Kecambah Benih Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)

Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja Pemanenan Daun Kayu Putih di RPH Nglipar, KPH Yogyakarta

PPotensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang bernilai Ekonomi di Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di Desa Cisantana, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat

JURNAL WASIAN Vol. 7 No. 2 Manado, Desember 2020

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANBADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI

BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN MANADO

Page 2: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

JURNAL WASIAN

Alamat Redaksi:Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado

Jalan Raya Adipura, Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara, IndonesiaTelepon: 0431-7242949

E-mail: [email protected]: http://manado.litbang.menlhk.go.id atau http://balithut-manado.org

Wahana Informasi Penelitian KehutananMedia for Information in Forestry Research

Vol. 7 No. 2, Desember 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN: 2355-9969

Page 3: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

i

JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan

VOL. 7 NO. 2, DESEMBER 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI

BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN MANADO

Jurnal WASIAN VOL. 7 No. 2 Hal 73-151 Manado

Desember 2020

ISSN e-ISSN: -2502-5198 p-ISSN: 2355-9969

ISSN

Page 4: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

ii

JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan

VOL. 7 NO. 2, DESEMBER 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969

SUSUNAN REDAKSI

Ketua (Editor in Chief) Ir. Martina A. Langi, M.Sc., Ph.D.

Konservasi dan Restorasi Hutan

Universitas Sam Ratulangi

Anggota (Members) Wawan Nurmawan, S.Hut, M.Si.

Ekologi Hutan, Universitas Sam Ratulangi

Ir. Josephus I. Kalangi, M.S.

Klimatologi, Universitas Sam Ratulangi

Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.

Konservasi Keanekaragaman Hayati

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Manado

Julianus Kinho, S.Hut., M.Sc.

Silvikultur

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Manado

Lis Nurrani, S.Hut., M.Sc.

Ilmu Kayu dan Teknologi Hasil Hutan

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Manado

Margaretta Christita, S.Hut, M.Sc.

Mikrobiologi

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Manado

Anita Mayasari, S.Hut, M.Si.

Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Manado

Ady Suryawan, S.Hut, MIL.

Biologi Konservasi

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Manado

Mitra Bestari (Peer reviewer) Prof. Dr. Ir. Budi Leksono, M.P.

Pemuliaan Tanaman Hutan

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Ir. J.S. Tasirin, M.Sc.F., Ph.D.

Ekologi Konservasi Sumberdaya Hutan

Universitas Sam Ratulangi

Hasnawir, S.Hut., M.Sc., Ph.D.

Konservasi Sumber Daya Hutan

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Makassar

Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.

Konservasi Satwa Liar, Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Hengki Walangitan, M.P.

Sosial Ekonomi Kehutanan

Universitas Sam Ratulangi

Dr. Ir. Mahfudz, M.P.

Silvikultur

Pusat Data Informasi, Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan

Dr. Ir. Terry M. Frans, M.Si.

Entomology Hutan, Universitas Sam Ratulangi

Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc.

Silvikultur dan Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang,

Institut Pertanian Bogor

Fabiola Baby Saroinsong, S.P., M.Si., Ph.D.

Ekologi Lanskap dan Pengelolaan Sumber Daya

Alam, Universitas Sam Ratulangi

Prof. Dr. Ir. Maman Turjaman, DEA

Mikologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si.

Konservasi Sumber Daya Hutan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Dr. Haruni Krisnawati, S.Hut., M.Si.

Biometrika Hutan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Dr. Ir. Ronggo Sadono

Biometrika Hutan

Universitas Gadjah Mada

Rini Pujiarti, S.Hut., M.Agr., Ph.D.

Teknologi Hasil Hutan

Universitas Gadjah Mada

Dr. Ganis Lukmandaru, S.Hut., M.Agr.

Teknologi Hasil Hutan

Universitas Gadjah Mada

Dr. Tatang Tiryana, S.Hut., M.Sc.

Inventarisasi Hutan, Biometrika Hutan, Perencanaan

Pengelolaan Hutan

Institut Pertanian Bogor

Dwiko B. Permadi, S.Hut., M.Sc., Ph.D.

Kebijakan dan Manajemen Hutan

Universitas Gadjah Mada

Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Si.

Kebijakan Kehutanan dan Pemberdayaan Masyarakat,

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi,

Kebijakan, dan Perubahan Iklim

Dr. Iwan Saskiawan

Mikrobiologi

Pusat Penelitian Biologi LIPI

Page 5: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

iii

JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan

VOL. 7 NO. 2, DESEMBER 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969

Penanggung Jawab

Mochlis, S.Hut.T., M.P.

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado

Pimpinan Redaksi Pelaksana (Managing editor)

Lulus Turbianti, S.Hut

Kepala Seksi Data, Informasi dan Kerjasama

Anggota Redaksi Pelaksana (Members)

Hanif Nurul Hidayah, S.Hut.

Rinna Mamonto

Desain Tata Letak (Layout Editor)

Muhammad Farid Fahmi, S.Kom., M.T.

Harwiyadin Kamma

Sekretariat (Secretariat)

Agus Purwanto, S.AB., M.I.L., M.Sc.

Page 6: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi JURNAL WASIAN mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya

kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah naskah yang dimuat pada edisi Vol. 7 No. 2,

Desember 2020:

Prof. Dr. Ir. Budi Leksono, M.P.

(Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan)

Dr. Ir. Hengki Walangitan, M. P.

(Program Studi Kehutanan, Universitas Sam Ratulangi)

Dr. Ir. Ronggo Sadono

(Universitas Gadjah Mada)

Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Si.

(Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan, dan Perubahan Iklim)

Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc.

(Silvikultur dan Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang, Institut Pertanian Bogor)

Dr. Ir. Mahfudz, MP

(Pusat Data dan Informasi KLHK)

Dwiko B. Permadi, S.Hut., M.Sc., Ph.D.

(Universitas Gadjah Mada)

Dr. Haruni Krisnawati, S.Hut., M.Si.

(Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan)

Dr. Iwan Saskiawan

(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Prof. Dr. Ir. Maman Turjaman, DEA

(Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan)

Page 7: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

v

JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan

VOL. 7 NO. 2, DESEMBER 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969

DAFTAR ISI

Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan Cabang Terhadap

Produktivitas Buah Tanaman Kayu Ules (Helicteres isora Linn.) di Habitat Alaminya

The Effect of Tree Shade and Pruning Techniques on Screw Tree (Helicteres isora Linn.)

Fruit Productivity in the Natural Habitat

Dani Pamungkas dan Siswadi ............................................................................................... 73-86

Model Alometrik untuk Estimasi Biomassa Pohon Pada Hutan Lahan Kering

Sekunder di Halmahera Timur

Allometric Models for Estimating Tree Biomass of Dryland Secondary Forest

in East Halmahera

Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin ........................................................ 87-101

Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi Terhadap Daya

Kecambah Benih Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)

Effect of Fruit Maturity and Extraction Treatment on Germination Percentage

of Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq))

Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad Muhammad ........................................ 103-109

Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja Pemanenan

Daun Kayu Putih di RPH Nglipar, KPH Yogyakarta

Socio Demographic Factors and Work Performance of Forest Workers

in Cajuput Leaf Harvesting at RPH Nglipar, KPH Yogyakarta

Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto............................................... 111-120

Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai Ekonomi

di Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

The Potency of Some Wild Edible Mushrooms with Economic Value

in Belitong Island, The Province of Bangka Belitung

Ivan Permana Putra .................................................................................................................. 121-135

Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai

di Desa Cisantana, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat

Conflict Mapping of Gunung Ciremai National Park

in Cisantana Village, Cigugur, Kuningan, West Java

Maria Palmolina dan Eva Fauziyah ......................................................................................... 137-151

Page 8: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

vi

JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan

VOL. 7 NO. 2, DESEMBER 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969

Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya

UDC: 232.412.2

Dani Pamungkas¹ dan Siswadi²

(¹Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup

dan Kehutanan Kupang;2 Balai Penelitian dan

Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Banjarbaru)

Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan Cabang

Terhadap Produktivitas Buah Tanaman Kayu Ules

(Helicteres isora Linn.)

di Habitat Alaminya

Jurnal WASIAN

Vol.7 No.2, Desember 2020, Hal 83 - 86

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

perlakuan teknik pemangkasan di dua kondisi naungan yang

berbeda terhadap produktivitas buah tanaman kayu ules.

Rancangan yang digunakan adalah petak terbagi (split plot

design) dengan dua faktor perlakuan yaitu dua kondisi

naungan (ternaung dan terbuka) sebagai petak utama dan

teknik pemangkasan sebagai sub petak. Hasil penelitian

menunjukkan naungan memiliki peran penting dalam

produksi buah dan teknik pemangkasan cabang berpengaruh

terhadap jumlah tunas dan buah, serta terdapat interaksi antar

perlakuan yang nyata terhadap jumlah buah. Tumbuhan pada

tempat terbuka menghasilkan karakteristik buah yang lebih

baik pada panjang buah (46,94 mm), diameter buah (6,41

mm), berat buah paska panen (0,94 g), berat buah kering oven

(0,89 g) dan kadar air yang lebih rendah (5,57 %)

dibandingkan pada tempat yang ternaung sebesar 44,16 mm;

5,73 mm; 0,87 g; 0,81 g; 6,95 %, berturut-turut untuk panjang

buah, diameter buah, berat buah paska panen, berat buah

kering oven dan kadar air.

.

UDC: 892.9

Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin

(Institut Pertanian Bogor)

Model Alometrik untuk Estimasi Biomassa Pohon Pada

Hutan Lahan Kering Sekunder di Halmahera Timur

Jurnal WASIAN

Vol.7 No.2, Desember 2020, Hal 87 - 101

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model-model

alometrik biomassa pohon jenis campuran di hutan sekunder

Halmahera Timur, Maluku Utara, serta untuk

membandingkan akurasi model-model alometrik lokal

tersebut dengan model-model alometrik lain yang umum

digunakan dalam pendugaan biomassa hutan sekunder.

Pengukuran biomassa pohon dilakukan secara destruktif

terhadap 18 pohon jenis campuran (dengan kisaran

diameter 5,4 – 36,9 cm) di hutan sekunder. Sampel-

sampel dari tiap bagian pohon (batang, cabang, ranting,

dan daun) dianalisis di laboratorium untuk menentukan

biomassa tiap pohon contoh. Model-model alometrik

disusun menggunakan analisis regresi non-linier, yang

kemudian dibandingkan dengan model-model alometrik

lain. Penelitian ini menunjukkan bahwa biomassa pohon

jenis campuran di lokasi penelitian dapat diduga secara

akurat menggunakan model M7 yang menggunakan

peubah diameter, tinggi dan kerapatan kayu. Model

alometrik lokal tersebut lebih akurat dibandingkan

dengan model-model alometrik lain yang umum

digunakan untuk pendugaan biomassa hutan tropis.

Alternatifnya, model M3 yang menggunakan peubah

diameter dan tinggi juga dapat digunakan ketika data

kerapatan kayu tidak tersedia.

UDC: 232.312

Arif Irawan1,3*, Iwanuddin2, Jafred E Halawane3 dan

Fuad Muhammad4

(1Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana,

Universitas Diponegoro; 2Taman Nasional Wakatobi

; 3Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup

dan Kehutanan Manado; 4Departemen Biologi Fakultas

Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro)

Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan

Ekstraksi Terhadap Daya Kecambah Benih Langusei

(Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)

Jurnal WASIAN

Vol.7 No.2, Desember 2020, Hal 103 - 109

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat

kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi yang sesuai

terhadap daya kecambah benih Langusei. Rancangan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah acak lengkap

yang disusun dengan pola faktorial. Faktor pertama

adalah klasifikasi tingkat kemasakan benih yang

dibedakan berdasarkan kategori warna buah: 1) Buah

berwarna oranye-kecokelatan, 2) Buah berwarna oranye-

kemerahan, 3) Buah berwarna merah, dan 4) Buah

berwarna merah-kehitaman, sedangkan faktor kedua

adalah perlakuan ekstraksi buah yang terdiri dari : 1)

Ektraksi dengan perlakuan kering angin selama 24 jam, 2)

Ektraksi dengan perlakuan jemur selama 12 jam, dan 3)

Ektraksi dengan perlakuan rendam air selama 24 jam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemasakan

buah dan perlakuan ekstraksi yang sesuai untuk

menghasilkan daya kecambah benih Langusei yang

optimal adalah pada kondisi buah pra-masak (warna buah

oranye-kecokelatan dan oranye-kemerahan) dengan

perlakuan ektraksi yang digunakan adalah direndam

selama 24 jam.

Page 9: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

vii

UDC: 922.2

Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet

Riyanto

(Universitas Gadjah Mada)

Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja

Pemanenan Daun Kayu Putih di RPH Nglipar, KPH

Yogyakarta

Jurnal WASIAN

Vol.7 No.2, Desember 2020, Hal 111 - 120

Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi kondisi

sosio-demografi pekerja pada pemanenan daun kayu putih

dan menganalisis standar prestasi kerja pemanenan di KPH

Yogyakarta. Survei terhadap 100 sampel pekerja digunakan

untuk mengetahui karakteristik sosial demografi sedangkan

pengamatan mendalam dilakukan terhadap 3 pekerja yang

berbeda karakteristiknya untuk mengetahui prestasi kerja.

Kondisi sosio demografi pekerja pada kegiatan pemanenan

daun kayu putih dilihat dari delapan karakteristik yaitu

umur, jenis kelamin, pendidikan, jumlah tanggungan, mata

pencaharian, dan kepemilikan lahan. Pekerja memiliki usia

rata-rata 58 tahun dan berjenis kelamin laki-laki.Tingkat

pendidikan yang dimiliki pekerja didominasi oleh lulus

Sekolah Dasar (SD) sebesar 64 %. Jumlah tanggungan

setiap rumah tangga pekerja rata-rata 4 orang, dengan mata

pencaharian utama sebagai petani. Rata-rata kepemilikan

lahan pekerja pada kegiatan pemanenan daun kayu putih

seluas 0,17 ha. Prestasi kerja pemanenan orang normal

dalam menyelesaikan pekerjaan pemanenan daun kayu putih

di KPH Yogyakarta adalah sebesar 72,23 kg/jam.

.

UDC: 892.53

Ivan Permana Putra

(Institut Pertanian Bogor)

Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai

Ekonomi di Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka

Belitung

Jurnal WASIAN

Vol.7 No.2, Desember 2019, Hal 121 – 135

Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi awal

terkait taksonomi jamur pangan liar di Pulau Belitong

beserta karakter biologinya. Eksplorasi jamur dilakukan

sebanyak 2 kali pada tahun 2018 – 2019 dengan

opportunistic sampling method. Data pemanfaatan jamur

liar dikoleksi untuk melengkapi deskripsi dari jamur yang

ditemukan. Sejumlah 5 jamur pangan liar bernilai ekonomi

yang dilaporkan pada penelitian ini adalah : Amanita sect.

caesarea (kulat pelandok), Heimioporus sp. (kulat pelawan),

Hygrocybe cf. conica (kulat tiong), Phylloporus sp. (kulat

sukatan), dan Volvariella sp. (kulat sawit). Tiga jenis dari

jamur yang diketahui merupakan jamur pembentuk

ektomikoriza yakni kulat pelandok dengan Schima wallichii,

kulat pelawan dengan Tristaniopsis merguensis, dan kulat

sukatan yang belum diketahui dengan jelas inangnya.

Sementara itu, 2 jamur lainnya merupakan jamur saprofit.

Seluruh jamur tersebut merupakan anggota filum

Basidiomycota yang terbagi ke dalam 2 ordo dan 4 famili.

Heimioporus sp. diketahui merupakan jamur yang

memiliki harga jual yang paling tinggi dibandingkan

dengan 4 jamur lainnya sehingga memiliki prospek yang

baik untuk dilanjutkan ke tahapan kultivasi. Upaya

konservasi tanaman yang menjadi inang jamur pembentuk

ektomikoriza perlu menjadi perhatian penting di Pulau

Belitong.

UDC: 913

Maria Palmolina dan Eva Fauziyah

(Balai Penelitian dan PengembanganTeknologi

Agroforestry)

Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di

Desa Cisantana, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat

Jurnal WASIAN

Vol.7 No.2, Desember 2020, Hal 137 - 151

Tujuan penelitian ini adalah melakukan pemetaan konflik,

menjelaskan gaya para pihak dalam berkonflik dan

mengetahui pilihan-pilihan cara penyelesaiannya.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2017 di

wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yakni

di Desa Cisantana, Kabupaten Kuningan. Pengumpulan

data dilakukan dengan teknik partisipatory rural appraisal

(PRA), wawancara, pengamatan lapangan, dokumentasi,

dan diskusi kelompok terfokus. Metode penelitian yang

digunakan adalah Rapid Land Tenure Assesment (RaTA)

dan Analisis Gaya Bersengketa (AGATA). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa konflik yang dominan

terjadi di TNGC adalah perubahan status hutan yang

berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi masyarakat

sekitar TNGC. Ada 8 (delapan) aktor dominan yang terlibat

yaitu Kelompok Tani Hutan (KTH) Rimba Alam Lestari,

Perhutani, TNGC, Swasta (CV Mustika, Asuransi),

pemerintah desa serta pemerintah daerah (Dinas

Perhubungan dan Dinas Pariwisata). Setiap stakeholder

mempertanyakan aksesibilitas mereka dalam mengelola

bumi perkemahan Palutungan. Masyarakat Desa Cisantana

merasa yang paling dirugikan. Dalam berkonflik, masing-

masing pihak memiliki gaya sengketa yang berbeda. KTH

Rimba Alam Lestari, Perhutani, TNGC dan CV Mustika

memilih gaya sengketa berkompromi. KTH Rimba Alam

Lestari dan TNGC juga menerapkan gaya kolaborasi,

sementara pemerintah daerah memilih gaya menghindar.

Sebaliknya pemerintah desa dan pihak asuransi bergaya

akomodasi. Para stakeholder difasilitasi dan dimediasi

untuk mengusulkan izin pengelolaan Patulungan (parkir),

serta izin pengelolaan Ipukan (pemandu wisata), sehingga

mendapatkan legalitas pengelolaan dan pengakuan. Dalam

hal ini, peran pihak luar yang tidak ada hubungan konflik

sangat diperlukan agar terwujud penyelesaian konflik.

Page 10: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

viii

JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan

VOL. 7 No.2, DECEMBER 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969

The abstract may be reproduced without permission or charge

UDC: 232.412.2

Dani Pamungkas¹ dan Siswadi²

(1Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup

dan Kehutanan Kupang; 2Balai Penelitian dan

Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Banjarbaru)

The Effect of Tree Shade and Pruning Techniques on Screw

Tree (Helicteres isora Linn.) Fruit Productivity in the

Natural Habitat

Jurnal WASIAN

Vol.7 No.2, December 2020, Page 73 - 86

The research aimed for gaining information on the effect of

pruning on screw tree fruit productivity in the natural habitat

under two shade conditions on fruit productivity. Split plot

design was employed with two factors which were two shade

conditions (shaded under trees and open) as a main plot and

the pruning techniques as a sub plot. Pruning techniques had

affected significantly on the number of shoots and fruits, and

there was an interaction between treatments to the number of

fruits. Shade conditions had an important role on fruit

production. Plants grew under open space had better fruit

characteristics on fruit length (46,94 cm), fruit diameter

(6,41 mm), post-harvest fruit weight (0,94 g), oven-dried fruit

weight (0,89 g) and lower water content (5,57 %), compared

to under shaded space 44,16 mm; 5,73 mm; 0,87 g; 0,81 g

and 6,95 %, respectively for fruit length, fruit diameter, post-

harvest fruit weight, oven-dried fruit weight and fruit water

content.

.

UDC: 892.9

Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin

(Institut Pertanian Bogor)

Allometric Models for Estimating Tree Biomass of Dryland

Secondary Forest in East Halmahera

Jurnal Wasian

Vol.7 No.2, December 2020, Page 87 - 101

This study aimed to develop allometric biomass models for

mixed-species trees in a secondary forest of East Halmahera,

North Maluku, and to compare their accuracies with some

other allometric biomass models that commonly used for

estimating biomass of secondary forests. The tree biomass

measurement was conducted by using a destructive sampling

of 18 mixed-species trees (with diameter range of 5,4 – 36,9

cm) in a secondary forest. The samples of each tree

component (stem, branch, twig, and leaf) were analyzed in a

laboratory to determine the biomass of each sample tree.

Allometric models were developed by using a non-linear

regression analysis, which were then compared with other

allometric models. This study revealed that the biomass of

mixed-species trees in the study area could be estimated

accurately using the M7 model that used diameter, height,

and wood density variables. Such local allometric model

was more accurate than other allometric models

commonly used for estimating tropical forest biomass.

Alternatively, the M3 model that used diameter and height

variables could also be used when wood density data was

not available.

UDC: 232.312

Arif Irawan1,3*, Iwanuddin2, Jafred E Halawane3 dan

Fuad Muhammad4

(1Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana,

Universitas Diponegoro; 2Taman Nasional Wakatobi; 3Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup

dan Kehutanan Manado; 4Departemen Biologi Fakultas

Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro)

Effect of Fruit Maturity and Extraction Treatment on

Germination Percentage of Langusei (Ficus minahassae

(Teysm.et.Vr.) Miq))

Jurnal WASIAN

Vol.7 No.2, December 2020, Page 103 - 109

This study aims to determine the level of fruit maturity and

the appropriate extraction treatment for the germination

of Langusei seeds. The experimental design used in this

study was a complete randomization design which is

arranged in a factorial pattern. The first factor is the

classification of the level of seed maturity based on fruit

color categories: 1) Orange-brown fruit, 2) Orange-

reddish fruit, 3) Red fruit, and 4) Red-black fruit, while the

second factor is the fruit extraction treatment which

consists of: 1) Extraction with dry wind treatment for 24

hours, 2) Extraction with drying treatment for 12 hours,

and 3) Extraction with water treatment for 24 hours. The

results showed that the fruit maturity level and the

appropriate extraction treatment to produce optimal

Langusei seed germination were in the (orange-brown

and orange-reddish fruit) (mature fruits prior to ripening)

which was soaked in water for 24 hours.

Page 11: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

ix

UDC: 922.2

Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet

Riyanto

(Universitas Gadjah Mada)

Socio Demographic Factors and Work Performance of

Forest Workers in Cajuput Leaf Harvesting at RPH Nglipar,

KPH Yogyakarta

Jurnal WASIAN

Vol.7 No.2, December 2020, Page 111 - 120

This study aims to identify the socio-demographic conditions

of forest workers in cajuput leaves harvesting and to analyze

the standards performance of harvesting in FMU

Yogyakarta. A survey of 100 samples of workers were used

to determine socio-demographic characteristics, while in-

depth observations were made on 3 workers with different

characteristics to determine work performance. The socio-

demographic conditions of workers in the cajuput leaf

harvesting are seen from eight characteristics, namely age,

gender, education, number of dependents, livelihoods, and

land ownership. Workers have an average age of 58 years

old and are male. The level of education possessed by

workers is dominated by graduating from elementary school

(SD) by 64 %. The average number of dependents per

worker household is 4 people, with the main livelihood being

farmers. The average land ownership of workers in cajuput

leaf harvesting is 0.17 ha. The work performance of

harvesting for normal people in the FMU Yogyakarta is

72.23 kg / hour.

UDC: 892.53

Ivan Permana Putra

(Institut Pertanian Bogor)

The Potency of Some Wild Edible Mushrooms with

Economic Value in Belitong Island, The Province of Bangka

Belitung

Jurnal WASIAN

Vol 7 No.2, December 2020, Page 121 - 135

This research aimed to provide the basic taxonomical

information of wild edible mushroom in Belitong island as

well as the biological characters. Observations were

conducted 2 times in 2018 – 2019 using opportunistic

sampling method. The utilization data of wild edible

mushroom were collected to complete the macrofungi

description in this study. A number of 5 edible wild

mushrooms with th eeconomic value reported in this study

were: Amanita sect. caesarea (kulat pelandok), Heimioporus

sp. (kulat pelawan), Hygrocybe cf. conica (kulat tiong),

Phylloporus sp. (kulat sukatan), and Volvariella sp. (kulat

sawit). Three species of fungi are ectomycorrhizal forming

fungi, namely kulat pelandok with Schima wallichii, kulat

pelawan with Tristaniopsis merguensis, and kulat sukatan

which host is still unclear. Meanwhile the rest are

saprophytic macrofungi. All wild edible mushrooms are

members of the phylum Basidiomycota which are divided

into 2 orders and 4 families. Heimioporus sp. is known to be

the highest selling price mushroom compared to the others,

which indicated the

potential prospect to proceed to the cultivation stage. In

addition, conservation management of plants that are hosts

of ectomycorrhizal fungi need to be an important concern

on Belitong Island.

UDC: 913

Maria Palmolina dan Eva Fauziyah

(Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Agroforestry)

Conflict Mapping of Gunung Ciremai National Park in

Cisantana Village, Cigugur, Kuningan, West Java

Jurnal WASIAN

Vol.7 No.2, December 2020, Page 137 - 151

The purpose of this study is to conflict mapping, explain

conflict style of stakeholder and choices of conflict

resolution. This study was conducted in February 2017 in

Cisantana Village, Kuningan Regency. Data were

collected through participatory rural appraisal;

interviews, field observation, documentation and focus

group discussions. The study method was used Rapid Land

Tenure Assessment (RaTA) and Dispute Style Analysis

(AGATA). The results showed that the dominant conflict in

TNGC was the change of forest status which affected the

economic activities of the community around TNGC, that

involved eight dominant actor. In a conflict, the

stakeholder has a different style of dispute. The

stakeholders was facilitated and mediated to propose a

permit to manage Patulungan (parking management), and

a permit to manage Ipukan (tourism guide). In this case,

the role of outsiders who do not have a conflict relationship

is needed in order to realize conflict resolution.

Page 12: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…

(Dani Pamungkas dan Siswadi)

73

PENGARUH NAUNGAN POHON DAN TEKNIK PEMANGKASAN CABANG TERHADAP

PRODUKTIVITAS BUAH TANAMAN KAYU ULES (Helicteres isora Linn.)

DI HABITAT ALAMINYA

THE EFFECT OF TREE SHADE AND PRUNING TECHNIQUES ON SCREW TREE

(Helicteres isora Linn.) FRUIT PRODUCTIVITY IN THE NATURAL HABITAT

Dani Pamungkas¹* dan Siswadi²

¹Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang

Jl. Alfons Nisnoni No. 7 (Belakang) Airnona, Kota Raja, Kupang, Nusa Tenggara Timur 2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru

Jl. Ahmad Yani, KM. 28, 7, Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan

*Email: [email protected]

Diterima: 8 Januari 2020; Direvisi: 21 Februari 2020; Disetujui: 17 Juli 2020

ABSTRAK

Kayu ules (Helicteres isora Linn.) merupakan salah satu tumbuhan perdu dengan batang utama sejumlah 5 – 15 batang

yang distribusi alaminya dapat dijumpai di kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan

berpotensi sebagai tanaman obat. Buah kayu ules adalah materi utama yang dimanfaatkan sebagai bahan obat

tradisional atau jamu. Hingga saat ini, belum ada informasi produktivitas buah kayu ules di bawah naungan dan

terbuka. Kondisi di lapangan menunjukkan ada perbedaan jumlah produksi bunga dan buah di bawah kedua kondisi

naungan tersebut serta jumlah batang utamanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan teknik

pemangkasan di dua kondisi naungan yang berbeda terhadap produktivitas buah tanaman kayu ules. Rancangan yang

digunakan adalah petak terbagi (split plot design) dengan dua faktor perlakuan yaitu dua kondisi naungan (ternaung

dan terbuka) sebagai petak utama dan teknik pemangkasan sebagai sub petak. Hasil penelitian menunjukkan naungan

memiliki peran penting dalam produksi buah dan teknik pemangkasan cabang berpengaruh terhadap jumlah tunas dan

buah, serta terdapat interaksi antar perlakuan yang nyata terhadap jumlah buah. Tumbuhan pada tempat terbuka

menghasilkan karakteristik buah yang lebih baik pada panjang buah (46,94 mm), diameter buah (6,41 mm), berat buah

paska panen (0,94 g), berat buah kering oven (0,89 g) dan kadar air yang lebih rendah (5,57 %) dibandingkan pada

tempat yang ternaung sebesar 44,16 mm; 5,73 mm; 0,87 g; 0,81 g; 6,95 %, berturut-turut untuk panjang buah, diameter

buah, berat buah paska panen, berat buah kering oven dan kadar air.

Kata kunci: kayu ules, teknik pemangkasan, naungan pohon, kualitas buah

ABSTRACT

Screw tree (Helicteres isora Linn.) is a shrub species with 5 to 15 main stems where the natural distribution can be

found in South Timor Tengah (TTS) regency of East Nusa Tenggara (NTT) province and it is potential as a medicinal

plant. The fruits are the main material harnessed for traditional medicine or jamu. Recently, little is known on fruit

productivity of screw tree under shaded and open area. At the field showed that there were differences on fruit and

flower production under two shade condition and the main stems. The research aimed for gaining information on the

effect of pruning on screw tree fruit productivity in the natural habitat under two shade conditions on fruit

productivity. Split plot design was employed with two factors which were two shade conditions (shaded under trees

and open) as a main plot and the pruning techniques as a sub plot. Pruning techniques had affected significantly on

the number of shoots and fruits, and there was an interaction between treatments to the number of fruits. Shade

conditions had an important role on fruit production. Plants grew under open space had better fruit characteristics on

fruit length (46,94 cm), fruit diameter (6,41 mm), post-harvest fruit weight (0,94 g), oven-dried fruit weight (0,89 g)

and lower water content (5,57 %), compared to under shaded space 44,16 mm; 5,73 mm; 0,87 g; 0,81 g and 6,95 %,

respectively for fruit length, fruit diameter, post-harvest fruit weight, oven-dried fruit weight and fruit water content.

Keywords: kayu ules, pruning technique, tree shade, fruit quality

Page 13: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617

74

PENDAHULUAN

Obat-obatan tradisional atau jamu telah menjadi

budaya dan sebagai salah satu bagian dari

pemanfaatan biodiversitas Indonesia yang memiliki

potensi untuk dikembangkan. Akan tetapi hingga

saat ini pemanfaatannya masih mengalami pasang

surut, di antara penyebabnya adalah belum semua

dokter merekomendasikan jamu dengan alasan tidak

adanya bukti ilmiah (Purwaningsih, 2013). Selain itu,

permasalahan dalam industri obat-obatan tradisional

adalah pemenuhan bahan baku. Sebanyak 42 %

pasokan tanaman obat untuk industri obat tradisional

di Indonesia diperoleh melalui eksploitasi dari

regenerasi alam, sedangkan sisanya dihasilkan dari

budidaya, untuk memenuhi permintaan sekitar 1.000

ton/tahun (Pribadi, 2015). Pemanenan secara terus

menerus tanpa disertai upaya budidaya dapat

menimbulkan resiko kepunahan bagi spesies

tumbuhan obat.

Helicteres isora, yang memiliki nama

perdagangan kayu ules, adalah salah satu tumbuhan

obat yang digunakan sebagai bahan baku jamu di

Indonesia. Tumbuhan ini memiliki nilai penting

karena buah, akar dan kulit batangnya berpotensi

sebagai obat. Penelitian tentang kayu ules telah

berkembang dalam konteks potensi obat yang

diperoleh melalui kulit batang (Jain et al., 2014;

Vikrant & Arya, 2011) dan akarnya (Sharma &

Chaudhary, 2016). Di India buah kayu ules dapat

digunakan untuk menyembuhkan diare, perut

kembung (Kumar & Singh, 2014; Loganayaki et al.,

2013) dan pengobatan diabetes (Chandirasegaran et

al., 2016). Di Indonesia, bagian tanaman kayu ules

yang paling banyak dimanfaatkan adalah buahnya,

dan telah dimanfaatkan sebagai salah satu komponen

jamu komersil dengan merek “Tolak Angin” yang

diproduksi oleh Sidomuncul (Cunningham et al.,

2018). Akan tetapi, potensi tanaman kayu ules di

Nusa Tenggara Timur (NTT) belum termanfaatkan

dengan baik dalam pengertian peningkatan

produktivitas buahnya. Selama ini masyarakat hanya

memanen buahnya tanpa melakukan perlakuan

khusus.

Secara morfologi, tanaman tanaman kayu ules

termasuk dalam perdu dan dapat mencapai tinggi

berkisar antara 2 – 4 m. Buah tanaman memanjang

memiliki lima folikel yang tersusun secara spiral atau

terpuntir, saat muda buahnya berwarna hijau dan saat

tua berwarna coklat (Brink & Escobin, 2003).

Tumbuhan ini memiliki batang utama yang cukup

bervariasi berjumlah 7 – 9 batang dalam satu rumpun,

dan sebaran alaminya dijumpai di Desa Bosen

kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT

(Siswadi et al., 2018).

Budidaya tanaman kayu ules untuk pemanfaatan

buahnya juga telah dilakukan, namun masih sangat

terbatas informasinya seperti penelitian oleh Ferdousi

et al. (2014) tentang perkecambahan biji kayu ules

dan stek batang. Penelitian terbaru oleh Pamungkas et

al. (2019) mengenai budidaya melalui stek batang

menghasilkan rekomendasi bahwa terdapat 6 kelas

diameter yang memiliki potensi untuk sumber stek

batang. Namun demikian, informasi tersebut belum

mencakup topik tentang peningkatan produktivitas

tumbuhan kayu ules yang ada di habitat alaminya.

Upaya peningkatkan produktivitas tanaman kayu ules

pernah dilakukan oleh Siswadi et al. (2018) melalui

penjarangan (thinning) batang dalam satu rumpunnya

dan pemupukan dengan menggunakan NPK untuk

melihat produktivitasnya dalam menghasilkan buah.

Penjarangan berat, yaitu meninggalkan 3 batang

utama dalam satu rumpun, menunjukkan

produktivitas terbaik dibandingkan dengan

penjarangan sedang dan kontrol. Penjarangan

ditujukan untuk mengurangi kompetisi antar batang

dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada seperti

cahaya, air dan nutrisi. Akan tetapi, teknik

peningkatan produktivitas buah pada tanaman kayu

ules perlu dilakukan dengan metode lain agar dapat

dijadikan pembanding dengan metode penjarangan.

Upaya peningkatan produktivitas suatu tanaman

juga dapat dilakukan dengan metode pemangkasan

(pruning). Pada beberapa penelitian, perlakuan

pemangkasan telah mampu meningkatkan

produktivitas serta kualitas buah suatu komoditi

seperti Vitis vinivera (Abdel-Mohsen, 2013), Punica

granatum (Sharma & Singh, 2018), Capsicum

annuum (Sukmawati & Numba, 2018) dan Prunus

persica (Lesičar et al., 2016). Akan tetapi, informasi

mengenai teknik-teknik peningkatan produktivitas

buah kayu ules melalui pemangkasan pada tumbuhan

kayu ules di bawah kondisi naungan pohon dan

terbuka masih sangat terbatas. Terkait keterbatasan

informasi tersebut, penelitian ini dilakukan dengan

tujuan untuk mengetahui pengaruh naungan pohon

dan perbedaan teknik pemangkasan cabang dalam

meningkatkan produktivitas buah kayu ules.

METODE PENELITIAN

Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di plot habitat alami

tumbuhan kayu ules di Dusun Mesak Anen, Desa

Bosen, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor

Page 14: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…

(Dani Pamungkas dan Siswadi)

75

Tengah Selatan (TTS) NTT dengan koordinat lokasi

S 09o 42ʹ 34,1ʺ dan E 124o 18ʹ 03,5ʺ dan elevasi ± 691

m diatas permukaan laut, seperti tersaji pada Gambar

1. Berdasarkan informasi dari masyarakat, lokasi

penelitian merupakan lokasi perladangan masyarakat

yang telah lama ditinggalkan, sehingga pada

umumnya kayu ules tumbuh bersamaan. Di lokasi

ini, tanaman kayu ules tumbuh alami dan

mengelompok dengan luas area ± 0,5 ha.

Sebagian tanaman tumbuh dibawah naungan

pohon dan sebagian lainnya di tempat terbuka.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang telah

dilakukan oleh Umroni et al. (2015), menunjukkan

bahwa pohon yang menaungi tanaman kayu ules

terdiri dari jenis timo (Timosius sericeus), johar

(Cassia siamea), kabesak (Acacia leucophloea),

nanum (Ficus variegate) dan fokko (Gyrocars

(Cassia siamea), kabesak (Acacia leucophloea),

nanum (Ficus variegate) dan fokko (Gyrocarpus

americanus) dengan indeks nilai penting (INP)

masing-masing 49,7 %, 45,16 %, 28,13 %, 16,99 %

dan 11,22 %. Tumbuhan kayu ules yang dijumpai

umumnya memiliki tinggi antara 2 – 4 m dengan

jumlah batang utama diatas permukaan tanah antara 7

– 12 batang, serta telah mengalami fase pembungaan

dan produksi buah, yang telah lama dimanfaatkan

oleh masyarakat untuk dijual.

Suhu udara di lokasi penelitian saat penerapan

perlakuan pada tanaman kayu ules, berkisar antara

29o C – 38o C, dengan kelembaban antara 55 % – 69

%. Penelitian dilakukan dari bulan November 2018

hingga September 2019.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini

berupa gunting stek, kaliper digital, penggaris, label,

plastik klip, spidol permanen, GPS dan lux meter.

Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian

ini berupa tanaman kayu ules yang tumbuh di habitat

alaminya dan buah kayu ules.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua faktor perlakuan

yang dirancang dengan rancangan petak terbagi (split

plot design) dengan petak utama, perlakuan naungan

dan sub petak, perlakuan teknik pemangkasan.

Perlakuan naungan pada tumbuhan kayu ules yang

menjadi sampel adalah tumbuhan yang ternaungi

oleh tajuk pohon yang ada disekitar kayu ules;

Gambar 1. Peta lokasi plot habitat alami tumbuhan kayu ules di Desa Bosen

Page 15: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617

76

sedangkan yang tanpa naungan yaitu tumbuhan kayu

ules yang tumbuh ditempat terbuka. Perlakuan teknik

pemangkasan cabang meliputi 5 teknik; kombinasi

dua faktor perlakuan ini disajikan pada Tabel 1.

Perlakuan naungan merupakan naungan pohon

dominan dari beberapa jenis yang tumbuh pada

lokasi penelitian dengan kerapatan tajuk yang

beragam. Intensitas cahaya diukur di bawah naungan

pohon pada beberapa kondisi kerapatan, begitu juga

pada lokasi tanpa naungan (Tabel 2). Pada lokasi

penelitian, tumbuhan kayu ules merupakan tumbuhan

perdu yang memiliki rumpun dengan jumlah batang

antara 5 – 15 batang. Pada saat musim berbunga dan

berbuah, organ generatif tersebut muncul pada tiap

nodus yang umumnya masih terdapat daun yang

belum gugur. Setiap nodus dapat memiliki jumlah

buah 2 – 4 buah.

Tabel 1. Kombinasi perlakuan antara kondisi naungan dengan teknik pemangkasan

Faktor Perlakuan 1 Faktor Perlakuan 2

1. Terbuka (N0) 1. Kontrol atau tanpa pemangkasan (P0)

2. Pemangkasan semua cabang hingga meninggalkan batang utama (P1)

3. Pemangkasan ujung cabang sepanjang 30 cm (P2)

4. Pemangkasan setengah batang utama (P3)

5. Pemangkasan semua ujung cabang hingga nodus ketiga (P4)

2. Ternaung (N1) 1. Kontrol atau tanpa pemangkasan (P0)

2. Pemangkasan semua cabang hingga meninggalkan batang utama (P1)

3. Pemangkasan ujung cabang sepanjang 30 cm (P2)

4. Pemangkasan setengah batang utama (P3)

5. Pemangkasan semua ujung cabang hingga nodus ketiga (P4)

Tumbuhan yang digunakan dalam penelitian

dipilih secara purposive, kemudian tiap batang

ditandai dengan label yang menunjukkan teknik

pemangkasan. Teknik pemangkasan tersebut

dilakukan pada satu individu yang memiliki batang

utama lebih dari lima batang, sehingga satu individu

kayu ules menerima perlakuan 5 teknik

pemangkasan. Pada lokasi ternaung dipilih 20

tumbuhan kayu ules, dan setiap tumbuhan dilakukan

5 teknik pemangkasan. Pemilihan jumlah dan

perlakuan yang sama juga diterapkan pada tumbuhan

di lokasi terbuka. Total pengamatan sebanyak 200

batang (Gambar 2). Penentuan sampel tumbuhan

pada perlakuan ternaung dilakukan pada kisaran

intensitas cahaya yang telah diukur sebelumnya agar

kisaran intensitas cahaya dibawah naungan dapat

terwakili. Penerapan 5 perlakuan pemangkasan

berbeda pada satu individu yang sama dimaksudkan

agar 5 teknik pemangkasan tersebut diterima oleh

individu dengan umur yang sama.

Gambar 2. Pemangkasan cabang kayu ules (Helicteres isora)

Page 16: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…

(Dani Pamungkas dan Siswadi)

77

Pengamatan Karakter Tanaman dan Analisis

Data

Pengumpulan data

Karakter pengamatan meliputi jumlah bunga,

jumlah tunas, jumlah buah dan dimensi buah.

Pengamatan pada dimensi buah mencakup diameter

buah yang diukur pada ujung, tengah dan pangkal,

panjang buah, berat buah paska panen, berat buah

kering oven dan kadar air buah. Data berat buah

kering oven diperoleh melalui pengeringan buah

yang dilakukan menggunakan oven elektrik

(Memmert) pada suhu 60o C (Depkes, 2008), selama

48 jam. Parameter kadar air buah dihitung menurut

persamaan umum (Yuliah, 2017):

Pengumpulan data dilakukan pada waktu yang

berbeda. Jumlah tunas dan bunga dilakukan pada

bulan Maret 2019, yaitu 4 bulan setelah pemberian

perlakuan pemangkasan cabang pada November

2018. Sedangkan jumlah buah serta pengukuran

dimensinya dilakukan pada bulan September 2019,

yaitu 10 bulan setelah pemberian perlakuan. Untuk

pengumpulan data intensitas cahaya dilakukan

menggunakan 2 buah luxmeter di tujuh titik pada dua

kondisi naungan (di bawah naungan dan terbuka)

dengan waktu yang berurutan sejak pukul 06.00 –

10.00. Sensor lux meter ditempatkan pada titik

pengukuran selama beberapa detik hingga

menunjukkan angka yang konstan.

Analisis data

Data hasil pengamatan pada pemangkasan P3

tidak ikut dianalisis, namun nilai rata-rata tetap

ditampilkan hanya untuk di bawah naungan sebagai

pembanding dengan perlakuan lainnya tanpa

penggunaan notasi huruf. Analisis keragaman

(Analysis of variance/ ANOVA)) digunakan untuk

menguji perbedaan hasil antar perlakuan yang

diterapkan. Apabila terdapat perbedaan yang nyata

dilanjutkan dengan uji berganda DUNCAN

(Duncan’s Multiple Range Test/DMRT). Data

persentase dilakukan transformasi ke Arcsin sebelum

dilakukan analisis statistik. Model linear rancangan

split plot dengan rancangan acak lengkap sebagai

berikut (Bogidarmanti & Darwo, 2019):

Y𝑖𝑗𝑘 = 𝜇 + 𝛼𝑖 + 𝛽𝑗 + 𝛾𝑖𝑘 + (𝛼𝛽)𝑖𝑗 + 𝜀𝑖jk

Keterangan:

Y𝑖𝑗𝑘 : Pengamatan faktor naungan taraf ke-i, faktor

pemangkasan taraf ke-j, dan ulangan ke-k.

𝜇 : Rataan umum.

𝛼𝑖 : Pengaruh utama naungan taraf ke-i.

𝛽𝑗 : Pengaruh utama pemangkasan taraf ke-j.

𝛾𝑖𝑘 : Komponen acak dari faktor naungan.

(𝛼𝛽)𝑖𝑗 : Pengaruh komponen interaksi antara faktor

naungan dan faktor pemangkasan.

𝜀𝑖jk : Galat (pengaruh acak) pada faktor naungan

ke-i, faktor pemangkasan ke-j, dan ulangan

ke-k.

Untuk mengetahui apakah dimensi buah tanaman

kayu ules memiliki korelasi terhadap berat buah,

maka dilakukan analisis korelasi menurut persamaan

berikut (Sumadi & Siahaan, 2011):

Y = a + bX

Keterangan:

Y : Berat buah tanaman kayu ules

X : Dimensi buah (panjang, diameter ujung,

diameter tengah dan diameter pangkal

buah)

a : Konstanta

b : Koefisien regresi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Intensitas Cahaya

Lokasi penelitian tumbuhnya ules secara alami

terbagi menjadi dua yaitu lokasi yang terbuka dan

ternaungi. Intensitas cahaya pada tegakan alami kayu

ules berkisar antara 9,9 % hingga 59,9 %. Hasil

pengambilan data intensitas cahaya tersaji pada Tabel

2.

Intensitas cahaya pada lokasi tumbuh kayu ules

yang terbuka berkisar antara 9.320 lux – 96.800 lux.

Sedangkan pada kondisi ternaung, intensitas cahaya

berkisar antara 1.050 lux – 43.100 lux. Kedua kondisi

ini memiliki kemiripan dengan intensitas cahaya di

bawah tegakan tanaman dengan famili Sapindaceae

di Kebun Raya Purwodadi dengan intensitas

minimum 20.000 lux dan intensitas maksimum

100.000 lux, dengan suhu lingkungan antara

27 – 34 oC dan kelembaban relatif antara 65 – 75 %

(Danarto, 2020). Pohon-pohon di lokasi pengamatan

kayu ules memiliki diameter batang lebih dari 20 cm

dengan tinggi pohon antara 5 – 12 m. Pohon timo

(Timonius sericeus), dan Johar (Cassia siamea)

memiliki tajuk dengan bentuk globular (membulat),

sedangkan kabesak (Acacia leucophloea), nanum

(Ficus variegate) dan fokko (Gyrocarpus

Page 17: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617

78

americanus) memiliki bentuk tajuk menyebar (Booth

1989). Tajuk pohon-pohon tersebut menutupi

tegakan kayu ules sehingga mempengaruhi intersepsi

cahaya matahari yang kemudian berpengaruh

terhadap intensitas cahaya.

Tabel 2. Intensitas cahaya pada kondisi di bawah naungan pohon dan terbuka menggunakan luxmeter

Range Pengukuran Lux

Meter

Kondisi Terbuka

(lux)

Kondisi di Bawah Naungan

(lux)

Intensitas Cahaya

(%)

20.000

20.000

20.000

50.000

50.000

20.000

20.000

1.495 x 10

1.412 x 10

1.279 x 10

955 x 100

968 x 100

1.065 x 10

932 x 10

592 x 10

517 x 10

766 x 10

180 x 100

431 x 100

105 x 10

127 x 10

39,6

36,6

59,9

18,8

44,5

9,9

13,6

Keterangan: Angka pada luxmeter yang dibaca pada kisaran pengukuran 20.000 nilainya x 10 dan 50.000 x 100

Jumlah Tunas, Bunga dan Buah

Hasil analisis keragaman menunjukkan perlakuan

naungan hanya berpengaruh nyata terhadap jumlah

buah (Tabel 3). Teknik pemangkasan mempengaruhi

secara nyata terhadap jumlah tunas dan buah, serta

terdapat interaksi antar perlakuan yang nyata

terhadap jumlah buah.

Tabel 3. Analisis sidik ragam untuk jumlah tunas, bunga dan buah

Sumber Variasi Derajat

Bebas

Jumlah Tunas Jumlah Bunga Jumlah Buah

RK p<0,05 RK p<0,05 RK p<0,05

Petak utama

Naungan 1 6,34ns 0,86 148,37 ns 0,32 1114,13* 0,006

Galat 19 163,53 143,75 117,12

Anak petak

Pemangkasan 4 518,90* 0,001 49,51 ns 0,26 708,83* 0,001

Interaksi 4 45,81 ns 0,62 17,56 ns 0,70 439,97* 0,005

Galat 114 78,88 37,10 95,82

Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 0,05; ns = tidak berbeda nyata pada taraf 0,05.

RK = Rerata kuadrat.

Batang yang tumbuh di tempat terbuka dengan

pemangkasan setengah batang utama (P3), tidak

memberikan hasil pada produksi bunga dan buah

(Tabel 4), hal ini diperkirakan bahwa batang yang

menerima teknik pemangkasan P3 pada tempat

terbuka mengalami pemulihan yang lebih lama dalam

membentuk cabang baru sehingga berimplikasi

terhadap pembentukan bunga dan buah. Teknik

pemangkasan P2 pada kondisi ternaung memiliki

jumlah buah yang lebih banyak (19,11) dibandingkan

dengan teknik lainnya. Sedangkan pada kondisi

intensitas cahaya penuh, teknik pemangkasan P2

menghasilkan jumlah buah yang tidak signifikan

terhadap teknik pemangkasan lainnya.

Faktor naungan, dalam hal ini adalah ketersediaan

cahaya sebagai sumber energi utama untuk

fotosintesis dapat bertindak sebagai faktor pembatas

dalam produksi buah. Pemangkasan cabang kayu ules

di bawah kondisi terbuka mampu meningkatkan

penerimaan cahaya oleh daun kayu ules yang

Gambar 3. Buah muda kayu ules (kiri) dan buah kayu ules matang (kanan)

Page 18: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…

(Dani Pamungkas dan Siswadi)

79

sebelumnya tertutup, dan dimanfaatkan untuk

fotosintesis serta berimplikasi pada meningkatnya

produktifitas buah. Hal ini dapat diakibatkan karena

adanya peningkatan laju fotosintesis oleh daun yang

tersisa setelah pemangkasan. Peningkatan laju

fotosintesis pada jenis perdu seiring dengan

peningkatan intensitas cahaya hingga level yang

optimum juga dilaporkan oleh Xia et al. (2014) pada

tiga jenis perdu Zizipus jujube, Periploca sepium, dan

Securinega suffruticosa. Peningkatan laju fotosintesis

biasanya mengikuti peningkatan konduktansi stomata

(stomatal conductance) yang pada akhirnya

berdampak pada efisiensi penggunaan air (water use

efficiency) (Jutamanee & Onnom, 2016) dan absorpsi

karbondioksida. Sedangkan pada kondisi ternaung,

pemangkasan mungkin hanya memberikan perbedaan

yang kecil dalam hal penetrasi dan tangkapan cahaya

oleh daun kayu ules yang berpengaruh terhadap

produksi buah yang pada akhirnya juga berpengaruh

terhadap kapasitas fotosntesis tanaman kayu ules.

Penelitian oleh Siswadi et al. (2018) pada

tumbuhan kayu ules dengan penerapan penjarangan

berat menunjukkan peningkatan produksi buah

hingga 23 % dibandingkan dengan tumbuhan yang

tidak mendapatkan penjarangan. Selain itu, pola

pembentukan tunas baru setelah pemangkasan juga

ditunjukkan dalam penelitian oleh Hariyadi (2011)

yaitu pada tanaman jarak pagar (Jathropa curcas)

menunjukkan pola yang sama yaitu bahwa

pemangkasan mampu menghasilkan tunas primordia

lateral selama pertumbuhan jarak pagar.

Tabel 4. Nilai rata-rata jumlah tunas, bunga dan buah

Perlakuan Jumlah Tunas Jumlah Bunga Jumlah Buah

Ternaung Terbuka Ternaung Terbuka Ternaung Terbuka

P0 18,94 cd 20,95 d 11,86 a 13,11 a 8,78 ab 15,33 bcd

P1 13,40 bc 10,68 ab 10,50 a 12,33 a 1,33 a 16,60 cd

P2 17,50 cd 19,05 cd 12,19 a 16,00 a 19,11 d 16,00 cd

P3 10,61 ab 5,05 a 17,83 - 6,00 -

P4 18,75 cd 19,50 cd 11,94 a 12,75 a 5,33 a 10,00 abc

Keterangan: Hasil yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α 0,05. Perlakuan

untuk jumlah bunga dan buah tidak dimasukkan dalam analisis statistik sehingga tidak

menggunakan notasi huruf.

Hilangnya tunas apikal karena pemangkasan

menyebabkan dominasi pertumbuhan pada meristem

apikal menjadi terhenti sehingga ada peralihan

pertumbuhan untuk membentuk tunas lateral

(Juwarman et al., 2016). Dominasi tunas apikal juga

dipengaruhi oleh keseimbangan hormon auksin-

sitokinin (Auxin-cytokinin balance); auksin tambahan

yang diberikan pada tunas apikal yang terpotong

dapat menghambat pertumbuhan tunas lateral, namun

sitokinin tambahan yang diberikan secara langsung

pada tunas lateral mampu memacu pertumbuhan

tanaman (Atwell et al., 1999), dengan demikian

auksin memiliki peran sebagai inhibitor tunas lateral

yang menghambat pertumbuhannya (Hartmann et al.,

2010).

Pembentukan bunga tidak dipengaruhi secara

nyata oleh dua variabel kondisi naungan dan teknik

pemangkasan. Namun demikian, perbedaan pola

pembentukan bunga dapat dilihat terutama pada

variabel naungan (Tabel 4), yaitu bahwa pada kondisi

terbuka, tumbuhan kayu ules cenderung

menghasilkan rata-rata jumlah bunga yang lebih

banyak dibandingkan pada kondisi ternaung.

Terhambatnya pembentukan bunga karena intensitas

cahaya yang rendah juga ditunjukkan pada beberapa

jenis tanaman budidaya seperti Plukenetia volubilis

yang merupakan jenis Amazonia (Cai, 2011).

Tanaman jenis ini menunjukkan respon berupa

terhambatnya inisiasi pembentukan bunga dan buah

yang berakibat pada rendahnya massa buah.

Berat Buah Paska panen, Kering Oven dan Kadar

Air Buah

Berdasarkan analisis keragaman pada Tabel 5

menunjukkan bahwa perlakuan kondisi naungan

(ternaung dan terbuka) menjadi faktor terpenting

dalam memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap berat buah paska panen, berat buah kering

oven dan kadar air buah, namun tidak untuk

perlakuan teknik pemangkasan.

Page 19: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617

80

Tabel 5. Analisis sidik ragam untuk berat buah paska panen, berat buah kering oven dan kadar air buah

Sumber Variasi Derajat

bebas

Berat Buah Paska Panen Berat Buah Kering Oven Kadar Air Buah

RK p<0,05 RK p<0,05 RK p<0,05

Petak utama

Naungan 1 0,12* 0,04 0,14* 0,03 33,88* 0,00

Galat 19 0,02 0,02 0,14

Anak petak

Pemangkasan 4 0,05ns 0,09 0,05 ns 0,08 1,03 ns 0,14

Interaksi 4 0,04 ns 0,21 0,03 ns 0,19 0,51 ns 0,43

Galat 114 1,02 0,02 0,54

Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 0,05; ns = tidak berbeda nyata pada taraf 0,05

RK = Rerata kuadrat

Kondisi naungan nyata mempengaruhi berat buah

paska panen dan kering oven hanya pada perlakuan

pemangkasan P0 (kontrol) (tabel 6), namun pola berat

buah kayu ules pada tempat terbuka pada teknik

pemangkasan lainnya cenderung lebih tinggi dari

pada pada tempat ternaung. Kadar air yang

terkandung pada buah kayu ules yang dihasilkan di

tempat terbuka juga lebih rendah dibandingkan

dengan di tempat ternaung, hal ini mengindikasikan

bahwa tumbuhan kayu ules yang tumbuh di tempat

terbuka mampu menghasilkan biomassa buah yang

lebih berat dengan kadar air yang rendah

dibandingkan tumbuhan kayu ules yang tumbuh di

tempat ternaung. Indikasi ini juga tercatat pada

penelitian oleh (Ekawati et al., 2010) yang

menunjukkan bahwa produktivitas tanaman sayuran

lebih tinggi dengan kadar air yang lebih rendah pada

tempat yang terbuka dibandingkan pada tempat

ternaung. Hasil tersebut juga diperkuat dengan hasil

penelitian oleh (Lobos et al., 2013) pada tanaman

Vaccinium corymbosum dimana kadar air buah

semakin menurun seiring meningkatnya intensitas

cahaya. Atwell et al. (1999) mengatakan bahwa

naungan secara umum dapat menurunkan kualitas

buah, sebagai contoh adalah pada tanaman apel

dimana naungan yang meneruskan sinar matahari

hanya sebesar 8 % dapat menurunkan produktivitas

hingga 80 %.

Tingginya kadar air pada buah kayu ules yang

dihasilkan oleh tumbuhan kayu ules di tempat yang

ternaung dapat juga diakibatkan adanya peningkatan

kandungan air melalui xylem menuju buah (Xylem

water contribution to fruit growth). Hal ini dijelaskan

melalui penelitian yang dilakukan oleh Hanssens et

al. (2015) pada tanaman tomat bahwa aliran masuk

xylem (xylem influx) menuju buah tercatat berkisar

30,4 % dibandingkan di bawah kondisi dengan

intensitas cahaya yang tinggi, xylem influx tercatat

sebesar 20,7 %. Hasil penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa xylem influx juga akan

mempengaruhi kualitas buah tomat menjadi rendah

karena kandungan solid total pada buah tomat

menjadi rendah. Pola pada penelitian tersebut dapat

juga dilihat tabel 6, bahwa buah kayu ules yang

tumbuh di bawah naungan cenderung memiliki kadar

air yang lebih tinggi dengan berat kering oven yang

cenderung lebih rendah jika dibandingkan buah kayu

ules yang diproduksi di bawah tempat yang terbuka.

Selain itu, kadar air buah kayu ules yang dihasilkan

di tempat terbuka dengan metode pemangkasan yang

berbeda menunjukkan perbedaan yang tidak

signifikan, yang mungkin dapat diartikan bahwa

kadar air buah kayu ules dari tempat terbuka memiliki

variasi kadar air yang rendah.

Tabel 6. Nilai rata-rata berat buah paska panen, berat buah kering oven dan kadar air

Perlakuan Berat buah paska panen (g) Berat buah kering oven (g) Kadar air (%)

Ternaung Terbuka Ternaung Terbuka Ternaung Terbuka

P0 0,83 ± 0,22 ab 0,99 ± 0,15 c 0,77 ± 0,21 ab 0,96 ± 0,14 c 7,25 ± 1,10 c 5,71 ± 0,51 a

P1 0,88 ± 0,14 abc 0,99 ± 0,19 bc 0,82 ± 0,12 abc 0,94 ± 0,18 bc 6,88 ± 0,44 bc 5,72 ± 0,19 a

P2 0,92 ± 0,17 abc 0,90 ± 0,11 abc 0,86 ± 0,15 abc 0,85 ± 0,10 abc 6 43 ± 0,61 b 5,48 ± 0.56 a

P3 0,95 ± 0,05 - 0,88 ± 0,05 - 6,94 ± 0,20 -

P4 0,80 ± 0,28 a 0,84 ± 0,10 ab 0,74 ± 0,26 a 0,79 ± 0,09 ab 7,08 ± 1,34 bc 5,32 ± 0,47 a

Keterangan: Nilai rata – rata ± SD. Hasil yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang

nyata. Perlakuan P3 tidak dimasukkan dalam analisis statistik sehingga tidak menggunakan notasi

huruf.

Page 20: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…

(Dani Pamungkas dan Siswadi)

81

Naungan pohon dapat mengurangi tingkat radiasi

aktif fotosintesis (photosynthetically active radiation/

PAR) yang dibutuhkan oleh tanaman untuk

kebutuhan fotosintesis. Rendahnya PAR dapat

mengakibatkan laju fotosistesis menjadi rendah yang

berakibat pada produksi buah, hal ini yang

memungkinkan menjadi penyebab rendahnya bobot

buah kayu ules paska panen dan kering oven yang

dihasilkan di tempat ternaung. Pengaruh intensitas

cahaya yang optimum dapat meningkatkan bobot

buah juga dilaporkan oleh Lobos et al. (2013) pada

tanaman Vaccinium corymbosum, tanaman ini

merupakan jenis toleran naungan (shade tolerant),

yaitu masih mampu tumbuh dan memiliki

produktivitas meski dibawah naungan. Dengan

intensitas cahaya sebesar 74 %, V. corymbosum

mampu menghasilkan bobot buah 6,83 kg/tanaman

dibandingkan di bawah intensitas cahaya yang

rendah sebesar 29 % dengan bobot 4,19 kg/tanaman.

Selain itu, buah V. corymbosum juga menunjukkan

kadar air yang lebih rendah pada intensitas cahaya

yang tinggi, yang menunjukkan trend yang sama

pada buah tanaman kayu ules.

Dalam konteks obat tradisional atau jamu, kadar

air merupakan salah satu komponen penting dalam

penentuan standar mutu suatu bahan baku dalam

menghasilkan suatu produk (Nurhayati & Andayani,

2014). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini,

diketahui bahwa buah kayu ules dengan kadar air

rendah adalah yang dihasilkan dari tumbuhan kayu

ules di tempat terbuka. Meskipun demikian, perlu

dilakukan kajian lebih lanjut terkait intensitas cahaya

yang optimal dalam menghasilkan buah kayu ules

dengan kadar air yang lebih baik. Hingga saat ini

belum diketemukan literatur yang membahas tentang

pemanfaatan buah kayu ules sebagai bahan baku

dengan tujuan komersil, kecuali untuk keperluan

penelitian, dimana kayu ules yang digunakan sebagai

sampel diolah dalam bentuk bubuk (Muthukumar et

al., 2012), yang mengindikasikan bahwa sampel

harus dalam keadaan kering agar dapat dimanfaatkan

dan diuji.

Dimensi Buah Kayu Ules

Tabel 7 menunjukkan hasil analisis keragaman

antara perlakuan naungan dan teknik pemangkasan

terhadap dimensi buah kayu ules. Perlakuan naungan

memberikan pengaruh yang nyata terhadap diameter

ujung buah, diameter tengah buah, diameter pangkal

buah dan diameter buah secara keseluruhan.

Sedangkan teknik pemangkasan tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap dimensi buah.

Interaksi antara dua perlakuan menunjukkan

perbedaan yang nyata hanya pada panjang buah.

Hasil analisis keragaman pada Tabel 7 juga

mengindikasikan bahwa faktor naungan memiliki

peran yang penting dalam mempengaruhi kategori

diameter buah kayu ules.

Tabel 7. Analisis sidik ragam untuk dimensi buah kayu ules

Sumber

Variasi

Derajat

Bebas

Panjang Buah Diameter Ujung

Buah

Diameter Tengah

Buah

Diameter Pangkal

Buah

Rerata

Keseluruhan

Diameter Buah

RK p<0,05 RK p<0,05 RK p<0,05 RK p<0,05 RK p<0,05

Petak utama

Naungan 1 135,41ns 0,17 22,99* 0,001 4,39* 0,001 3,05* 0,001 9,86* 0,001

Galat 19 59,19 0,06 0,17 0,11 0,08

Anak petak

Pemangkasan 4 95,84 ns 0,22 0,25 ns 0,28 0,05 ns 0,89 0,10 ns 0,75 0,27 ns 0,40

Interaksi 4 175,68 0,04* 0,45 ns 0,08 0,49 ns 0,13 0,25 ns 0,41 0,41 ns 0,22

Galat 114 62,12 0,19 0,25 0,25 0,27

Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 0,05; ns = tidak berbeda nyata pada taraf 0,05

RK = Rerata kuadrat

Gambar 4 menunjukkan diagram perbandingan

dimensi buah dengan berbagai teknik pemangkasan

pada dua kondisi naungan. Naungan secara nyata

mempengaruhi dimensi buah kayu ules terutama

terhadap diameter buah. Tumbuhan kayu ules di

tempat ternaung memiliki dimensi buah (diameter

ujung, tengah, pangkal dan keseluruhan) yang lebih

rendah dibanding buah yang dihasilkan pada tempat

terbuka. Hal ini mengindikasikan bahwa naungan

mampu berperan sebagai faktor pembatas dalam

penentuan ukuran dimensi buah kayu ules. Hasil

tersebut juga mengindikasikan bahwa tumbuhan kayu

ules dapat dikategorikan sebagai tumbuhan toleran

naungan. Meskipun dengan intensitas cahaya yang

rendah, tumbuhan kayu ules masih mampu tumbuh

dan memproduksi buah meski dengan kualitas yang

Page 21: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617

82

kurang baik. Akan tetapi, belum diketahui secara

pasti apakah intensitas cahaya yang masuk memiliki

pengaruh secara langsung terhadap diameter buah

kayu ules. Pembentukan dan perkembangan buah

dapat terjadi melalui pemanfaatan nutrisi oleh

tumbuhan yang dihasilkan melalui proses

fotosintesis. Menurut Ruan et al., (2012),

pembentukan awal bunga sangat bergantung pada

nutrisi-nutrisi yang tersimpan pada batang dan akar

yang ditransfer melalui xylem, hingga daun-daun

yang muncul dari tunas vegetatif berkembang hingga

memiliki kemampuan fotosintesis. Setelah itu, proses

perkembangan buah memperoleh nutrisi utama dari

ketersediaan fotosintat (photoassimilates) dan nutrisi

lainnya yang dihasilkan melalui proses fotosintesis

yang ditransfer melalui floem.

Kondisi naungan menjadi faktor yang

penting terhadap dimensi buah kayu ules

(Gambar 4), hal ini menunjukkan pola yang

sama terhadap parameter lain yang telah dibahas

sebelumnya. Pola tersebut juga dilaporkan dari

beberapa studi terkait ketersediaan cahaya

terhadap dimensi buah seperti pada Prunus

persica (Lesičar et al., 2016). Intensitas cahaya

yang diterima oleh tumbuhan kayu ules dapat

dimanfaatkan secara baik sebagai sumber energi

untuk memproduksi buah yang berkualitas.

Meskipun demikian, tumbuhan kayu ules yang

tumbuh pada lokasi ternaung tetap mampu

memproduksi buah namun dengan kualitas yang

tidak sebaik di tempat terbuka, hal ini dapat

menunjukkan bahwa tanaman kayu ules masih

mampu tumbuh dengan baik di bawah naungan

dan masih mampu memproduksi buah, sehingga

dapat dikategorikan sebagai tanaman semi

toleran.

Gambar 5 menunjukkan sebuah pola bahwa

panjang buah dan diameter buah keseluruhan hanya

memiliki pengaruh yang rendah terhadap

peningkatan berat massa buah baik pada tempat yang

ternaung maupun tempat yang terbuka, yang

ditunjukkan dengan nilai R2 yang rendah. Pada

tempat terbuka dan ternaung, nilai korelasi

menunjukkan R2 < 0,7 hal ini menunjukkan terdapat

beberapa variabel penting lainnya yang mungkin

mempengaruhi berat buah selain dimensi buahnya.

Sebagai contoh, dalam konteks fotosintesis, Lobos et

al. (2012) menjelaskan bahwa peningkatan intensitas

cahaya memiliki korelasi yang kuat terhadap

parameter laju asimilasi CO2 dan kandungan klorofil

a dan b pada tanaman V. corymbosum, namun

memiliki hubungan yang tidak kuat dengan

konduktansi stomata dan potensi air xylem. Adanya

hubungan yang rendah tersebut, Lobos et al., (2012)

menduga adanya pengaruh lain dari pengairan yang

diberikan sama seperti kontrol sehingga tidak ada

pembeda. Oleh karena itu, di masa mendatang perlu

dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan

variabel penting tersebut yang memiliki potensi

pengaruh terhadap bobot buah tanaman kayu ules

dengan perlakuan yang belum pernah dilakukan

dalam penelitian ini, seperti pengaruh kerapatan

tumbuhan kayu ules di habitat alaminya. Jarak tanam

pernah dilaporkan memiliki pengaruh terhadap

kualitas buah pada jenis Capsicum annum pada

parameter berat buah, volume buah dan

produktivitasnya per tanaman (Aminifard et al.,

2012).

a ab b b

c c c c

b b

b b b a b b

Page 22: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…

(Dani Pamungkas dan Siswadi)

83

a

ab abc bc bc bc a

ab c

c a a ab ab

b b a ab

Gambar 4. Grafik perbandingan dimensi buah kayu ules yang tumbuh di bawah naungan dan tempat terbuka.

Diagram dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Perlakuan P3

tidak dimasukkan dalam analisis statistik sehingga tidak menggunakan notasi huruf

b a ab a

a b ab ab

c c bc bc a a b a

Page 23: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617

84

KESIMPULAN

Kondisi naungan dan teknik pemangkasan cabang

pada tanaman kayu ules mempengaruhi jumlah tunas

dan produksi buah. Tanaman kayu ules yang tumbuh

pada tempat terbuka menghasilkan buah lebih banyak

dengan kadar air buah rendah dan ukuran buah lebih

baik. Dimensi buah terhadap berat buah kayu ules

mempunyai korelasi rendah (R2 < 0,7). Tumbuhan

kayu ules dapat dikategorikan ke dalam jenis semi

toleran, untuk peningkatan kualitas produksi buah di

tempat ternaung pada habitat alaminya, pengurangan

kerapatan kanopi pohon penaung perlu dilakukan

agar sinar matahari dapat dijangkau oleh tumbuhan

kayu ules.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait

tingkat intesitas cahaya yang diperlukan secara

optimum oleh tumbuhan kayu ules di lokasi yang

berbeda sebagai perbandingan dan kerapatan

tumbuhan kayu ules di habitat alaminya. Selain itu,

apabila tumbuhan kayu ules ini akan dikembangkan,

maka kondisi naungan menjadi faktor utama yang

perlu diperhatikan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

International Centre for Research in Agroforestry

(ICRAF) yang telah mendukung kegiatan penelitian.

Terima kasih disampaikan juga kepada Balai

Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup

dan Kehutanan (BPPLHK) Kupang atas dukungan

teknis pada penelitian ini. Secara personal, ucapan

terima kasih juga disampaikan kepada Oktofianus

Tanopo, Lemuel Toto dan Ibrahim Toto yang telah

membantu kegiatan pengambilan data, serta kepada

Aziz Umroni dan Heny Rianawati yang telah

memberikan masukan terkait analisis data.

KONTRIBUSI

Dani Pamungkas dan Siswadi berperan sebagai

kontributor utama dalam artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Mohsen, M. A. (2013). Application of various

pruning treatments for improving productivity and fruit

quality of crimson seedless grapevine. World Journal

of Agricultural Sciences, 9(5), 377–382.

Aminifard, M. H., Aroiee, H., Ameri, A., & Fatemi, H.

(2012). Effect of plant density and nitrogen fertilizer on

growth, yield and fruit quality of sweet pepper

(Capsicum annum L.). African Journal of Agricultural

Reseearch, 7(6). https://doi.org/10.5897/ajar10.505

Atwell, B. J., Kriedemann, P. E., & Turnbull, C. G. N.

(eds.) (1999). Plants in action : adaptation in nature,

performance in cultivation. South Yarra, Victoria:

Macmillan Education Australia.

Bogidarmanti, R., & Darwo. (2019). Application of

silviculture techniques to improve productivity of

binuang bini plant (Octomeles sumatrana Miq.) as an

alternative plant in community forest. The 2nd

International Conference on Tropical Silviculture:

Forest Research and Innovation for Sustainable

Development. IOP Conference Series: Earth and

Environmental Science, (p 1-10).

https://doi.org/10.1088/1755-1315/394/1/012022

Brink, M., & Escobin, R. P. (2003). Plant resources of

South-East Asia. Leiden, The Netherlands: Backhuys

Publishers.

Cai, Z. Q. (2011). Shade delayed flowering and decreased

photosynthesis, growth and yield of Sacha Inchi

(Plukenetia volubilis) plants. Industrial Crops and

Products, 34(1), 1235–1237.

Chandirasegaran, G., Elanchezhiyan, C., Ghosh, K., &

Sethupathy, S. (2016). Determination of antidiabetic

Gambar 5. Grafik korelasi antara diameter buah dan panjang buah terhadap berat buah kering oven kayu

ules pada dua kondisi naungan yang berbeda

Page 24: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…

(Dani Pamungkas dan Siswadi)

85

compounds from Helicteres isora fruits by oral glucose

tolerance test. Journal of Applied Pharmaceutical

Science, 6(02), 172–174.

Cunningham, A. B., Ingram, W., Brinckmann, J. A., &

Nesbitt, M. (2018). Twists, turns and trade: A new look

at the Indian Screw tree (Helicteres isora). Journal of

Ethnopharmacology, 225, 128–135.

Danarto, S. A. (2020). Penaksiran riap biomassa dan riap

karbon pada famili sapindaceae di Kebun Raya

Purwodadi. Jurnal Sylva Lestari, 8(2), 241–254.

Depkes, R. I. (2008). Farmakope Herbal Indonesia.

Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Ekawati, R., Susila, A. D., & Kartika, J. G. (2010).

Pengaruh naungan tegakan pohon terhadap

pertumbuhan dan produktivitas beberapa tanaman

sayuran indigenous. Jurnal Hortikultura Indonesia,

1(1), 46–52.

Ferdousi, A., Rahman, M. O., & Hassan, M. A. (2014).

Seed germination behaviour of six medicinal plants

from Bangladesh. Bangladesh Journal of Plant

Taxonomy, 21(1), 71–76.

Hanssens, J., De Swaef, T., & Steppe, K. (2015). High light

decreases xylem contribution to fruit growth in tomato.

Plant, Cell & Environment, 38(3), 487–498.

https://doi.org/10.1111/pce.12411

Hariyadi, H. (2011). Pengaruh pemangkasan batang dan

cabang primer terhadap laju fotosintesis dan produksi

jarak pagar (Jatropha curcas L.). Indonesian Journal of

Agronomy, 39(3).

Hartmann, H. T., Kester, D. E., Davies, F. T., & Geneve,

R. L. (eds.) (2010). Hartmann & Kester’s Plant

Propagation: Principles and Practices. Prentice Hall.

Jain, A., Sinha, P., & Desai, N. S. (2014). Estimation of

flavonoid, phenol content and antioxidant potential of

indian screw tree (Helicteres isora L.). International

Journal of Pharmaceutical Sciences and Research,

5(4), 1320.

Jutamanee, K., & Onnom, S. (2016). Improving

photosynthetic performance and some fruit quality

traits in mango trees by shading. Photosynthetica,

54(4), 542–550.

Juwarman, J., Astiningrum, M., & Suprapto, A. (2016).

Upaya peningkatan kuantitas daun murbei (Morus

alba) dengan macam pupuk nitrogen dan tinggi

pemangkasan. Vigor: Jurnal Ilmu Pertanian Tropika

dan Subtropika, 1(1), 23–30.

Kumar, N., & Singh, A. K. (2014). Plant profile,

phytochemistry and pharmacology of Avartani

(Helicteres isora Linn.): A review. Asian Pacific

Journal of Tropical Biomedicine, 4, S22–S26.

Lesičar, J., Šindrak, Z., Šic Žlabur, J., Voća, S., &

Skendrović Babojelić, M. (2016). Influence of fruit

thinning and summer pruning on the yield and fruit

quality of peach cultivar 'Royal Gem'. Agriculturae

Conspectus Scientificus, 81(3), 155–159.

Lobos, G. A., Retamales, J. B., Hancock, J. F., Flore, J. A.,

Cobo, N., & Del Pozo, A. (2012). Spectral irradiance,

gas exchange characteristics and leaf traits of

Vaccinium corymbosum L. “Elliott” grown under

photo-selective nets. Environmental and Experimental

Botany, 75, 142–149.

https://doi.org/10.1016/j.envexpbot.2011.09.006

Lobos, G. A., Retamales, J. B., Hancock, J. F., Flore, J. A.,

Romero-Bravo, S., & Del Pozo, A. (2013).

Productivity and fruit quality of Vaccinium

corymbosum cv. Elliott under photo-selective shading

nets. Scientia Horticulturae, 153, 143–149.

Loganayaki, N., Siddhuraju, P., & Manian, S. (2013).

Antioxidant activity and free radical scavenging

capacity of phenolic extracts from Helicteres isora L.

and Ceiba pentandra L. Journal of Food Science and

Technology, 50(4), 687–695.

Muthukumar, T., Christy, A. M. V., Ramya, R.,

Malaisamy, M., Sivaraj, C., Arjun, P., Raaman, N., &

Balasubramanian, K. (2012). Antioxidant and

anticancer activity of Helicteres isora dried fruit

solvent extracts. Journal of Academia Industrial

Research, 1(3), 148–152.

Nurhayati, C., & Andayani, O. (2014). Teknologi mutu

tepung pisang dengan sistem spray drying untuk

biskuit. Jurnal Dinamika Penelitian Industri, 25(1),

31–41.

Pamungkas, D., Siswadi, S., & Manurung, G. E. S. (2019).

Studi propagasi vegetatif tanaman obat kayu ules

(Helicteres isora Linn.) melalui stek batang. Jurnal

Penelitian Kehutanan Faloak, 3(1), 29–42.

Pribadi, E. R. (2015). Pasokan dan permintaan tanaman

obat Indonesia serta arah penelitian dan

pengembangannya. Perspektif, 8(1), 52–64.

Purwaningsih, E. H. (2013). Jamu, obat tradisional asli

Indonesia: pasang surut pemanfaatannya di Indonesia.

EJournal Kedokteran Indonesia, 85–89.

Ruan, Y.-L., Patrick, J. W., Bouzayen, M., Osorio, S., &

Fernie, A. R. (2012). Molecular regulation of seed and

fruit set. Trends in Plant Science, 17(11), 656–665.

https://doi.org/10.1016/j.tplants.2012.06.005

Sharma, D. P., & Singh, N. (2018). Effect of rejuvenation

pruning on the growth, productivity and disease

incidence in declining trees of pomegranate (Punica

granatum L.) cv. Kandhari Kabuli. Journal of Applied

and Natural Science, 10(1), 358–362.

Sharma, V., & Chaudhary, U. (2016). Pharmacognostic and

phytochemical screening of Helicteres isora roots.

Asian Journal Pharmaceutical and Clinical Research,

9(2), 96–101.

Siswadi, Umroni, A., Pamungkas, D., & Manurung, G. E.

S. (2018). Pengaruh pemupukan dan penjarangan

terhadap produktivitas buah kayu ules (Helicteres

isora) di desa Bosen, Timor Tengah Selatan, Nusa

Tenggara Timur. dalam Mindawati, N., Suharti, S.,

Prameswari, D., Kuntadi, Setio, P (eds)Seminar Hasil

Penelitian KANOPPI: Optimalisasi Pengelolaan Hutan

Berbasis Agroforestri Untuk Mendukung Peningkatan

Produktivitas Kayu Dan HHBK, Serta Pendapatan

Petani, 45–54. Bogor: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hutan.

Sukmawati, S., & Numba, S. (2018). Pengaruh

Pemangkasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi

Berbagai Varietas Cabai Merah (Capsicum annuum

L.). AGROTEK, 2(1), 45–53.

Sumadi, A., & Siahaan, H. (2011). Pengaturan kerapatan

tegakan bambang berdasarkan hubungan antara

diameter batang dan tajuk. Jurnal Penelitian Hutan

Page 25: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617

86

Tanaman, 8(5), 259–265.

Umroni, A., Pamungkas, D., Tanopo, O., & Manurung, G.

E. S. (2015). Aspek ekologi kayu ules (Helicteres Isora

L.) sebagai tanaman obat di desa Bosen: penyangga

cagar alam mutis kabupaten Timor Tengah Selatan.

dalam Njurumana, G. N. D., Raharjo, S. A. S., Riwu,

K. M. L., Kurniawan, H. dan Hidayatullah, M. (eds).

Seminar Nasional Biodiversitas Savana Nusa

Tenggara, (p 45–57). Kupang: Balai Penelitian dan

Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kupang.

Vikrant, A., & Arya, M. L. (2011). A review on anti-

inflammatory plant barks. International Journal of

PharmTech Research, 3(2), 899–908.

Xia, J. B., Zhang, G. C., Zhang, S. Y., Sun, J. K., Zhao, Y.

Y., Shao, H. B., & Liu, J. T. (2014). Photosynthetic and

water use characteristics in three natural secondary

shrubs on shell islands, Shandong, China. Plant

Biosystems, 148(1), 109–117.

https://doi.org/10.1080/11263504.2013.878407.

Yuliah, Y., Suryaningsih, S., & Ulfi, K. (2017). Penentuan

kadar air hilang dan volatile matter pada bio-briket dari

campuran arang sekam padi dan batok kelapa. Jurnal

Ilmu dan Inovasi Fisika, 1(1), 51–57.

Page 26: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…

(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)

87

MODEL ALOMETRIK UNTUK ESTIMASI BIOMASSA POHON PADA

HUTAN LAHAN KERING SEKUNDER DI HALMAHERA TIMUR

ALLOMETRIC MODELS FOR ESTIMATING TREE BIOMASS OF DRYLAND SECONDARY

FOREST IN EAST HALMAHERA

Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana* dan Muhdin

Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor (IPB),

Kampus IPB Darmaga, Bogor, 16680, Indonesia

Telp./Fax. (0251) 8621244, *Email: [email protected]

Diterima: 6 Agustus 2020; Direvisi: 1 September 2020; Disetujui: 7 Desember 2020

ABSTRAK

Pendugaan biomassa hutan sekunder diperlukan untuk mendukung pengurangan emisi karbon dioksida melalui

peningkatan cadangan karbon hutan. Umumnya, biomassa hutan diduga secara tidak langsung menggunakan model-

model alometrik biomassa pohon yang disusun berdasarkan pengambilan sampel destruktif dari sejumlah pohon contoh.

Ketersediaan model-model alometrik biomassa untuk hutan sekunder di Indonesia masih terbatas, khususnya untuk

ekosistem hutan sekunder di bagian timur Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model-model alometrik

biomassa pohon jenis campuran di hutan sekunder Halmahera Timur, Maluku Utara, serta untuk membandingkan akurasi

model-model alometrik lokal tersebut dengan model-model alometrik lain yang umum digunakan dalam pendugaan

biomassa hutan sekunder. Pengukuran biomassa pohon dilakukan secara destruktif terhadap 18 pohon jenis campuran

(dengan kisaran diameter 5,4 – 36,9 cm) di hutan sekunder. Sampel-sampel dari tiap bagian pohon (batang, cabang,

ranting, dan daun) dianalisis di laboratorium untuk menentukan biomassa tiap pohon contoh. Model-model alometrik

disusun menggunakan analisis regresi non-linier, yang kemudian dibandingkan dengan model-model alometrik lain.

Penelitian ini menunjukkan bahwa biomassa pohon jenis campuran di lokasi penelitian dapat diduga secara akurat

menggunakan model M7 yang menggunakan peubah diameter, tinggi dan kerapatan kayu. Model alometrik lokal tersebut

lebih akurat dibandingkan dengan model-model alometrik lain yang umum digunakan untuk pendugaan biomassa hutan

tropis. Alternatifnya, model M3 yang menggunakan peubah diameter dan tinggi juga dapat digunakan ketika data

kerapatan kayu tidak tersedia. Model-model alometrik lokal dari penelitian ini dapat memperkaya ketersediaan model-

model alometrik biomassa untuk ekosistem hutan sekunder di bagian timur Indonesia.

Kata kunci: hutan sekunder, jenis campuran, model alometrik, pengambilan sampel destruktif, REDD+

ABSTRACT

Biomass estimation of secondary forests is required to support the emission reduction of carbon dioxide through an

enhancement of forest carbon stocks. Commonly, forest biomass is indirectly estimated using tree biomass allometric

models that are developed based on a destructive sampling of sample trees. The availability of biomass allometric models

for secondary forests in Indonesia is still limited, particularly for secondary forest ecosystems in eastern Indonesia. This

study aimed to develop allometric biomass models for mixed-species trees in a secondary forest of East Halmahera,

North Maluku, and to compare their accuracies with some other allometric biomass models that commonly used for

estimating biomass of secondary forests. The tree biomass measurement was conducted by using a destructive sampling

of 18 mixed-species trees (with diameter range of 5,4 – 36,9 cm) in a secondary forest. The samples of each tree

component (stem, branch, twig, and leaf) were analyzed in a laboratory to determine the biomass of each sample tree.

Allometric models were developed by using a non-linear regression analysis, which were then compared with other

allometric models. This study revealed that the biomass of mixed-species trees in the study area could be estimated

accurately using the M7 model that used diameter, height, and wood density variables. Such local allometric model was

more accurate than other allometric models commonly used for estimating tropical forest biomass. Alternatively, the M3

model that used diameter and height variables could also be used when wood density data was not available. The local

allometric models from this study can enrich the availability of biomass allometric models for secondary forest

ecosystems in eastern Indonesia.

Keywords: allometric model, destructive sampling, mixed-species, REDD+, secondary forest

Page 27: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948

88

PENDAHULUAN

Salah satu tantangan dalam pengelolaan hutan

alam di Indonesia adalah pemulihan ekosistem hutan

sekunder yang luasnya mencapai 37,8 juta ha (31,3 %)

dari total luas kawasan hutan (MoEF, 2018).

Pemulihan ekosistem hutan sekunder tidak hanya

dapat meningkatkan produktivitas hasil kayu,

melainkan juga dapat meningkatkan cadangan karbon

(van Breugel et al., 2011) dalam upaya pengurangan

emisi gas rumah kaca melalui mekanisme Reducing

emissions from Deforestation and forest degradation

and the role of conservation, sustainable management

of forests, and enhancement of forest carbon stocks

(REDD+).

Penerapan mekanisme REDD+ memerlukan data

dan informasi mengenai potensi biomassa dan

cadangan karbon hutan secara akurat pada tingkat

regional dan nasional (Stas et al., 2017). Namun

pengukuran biomassa dan cadangan karbon hutan

secara langsung melalui pengambilan sampel

destruktif (destructive sampling) sulit dilakukan pada

skala luas, karena memerlukan sumberdaya (biaya,

waktu, dan tenaga) yang tinggi serta dapat merusak

tegakan hutannya. Umumnya, pendugaan biomassa

tegakan dilakukan secara tidak langsung

menggunakan model-model alometrik biomassa

pohon. Model alometrik biomassa merupakan model

statistika untuk menduga biomassa pohon berdasarkan

diameter dan/atau tinggi pohon (Ketterings et al., 2001;

Kuyah et al., 2012) serta kerapatan kayu sebagai

peubah penting dalam pendugaan biomassa di hutan

tropis (Chave et al., 2014). Oleh karena itu, untuk

mendukung pendugaan biomassa dan cadangan

karbon yang akurat diperlukan pengembangan model-

model alometrik biomassa untuk berbagai jenis pohon

dan lokasi tempat tumbuh (Basuki et al., 2009).

Model-model alometrik biomassa pohon belum

banyak dikembangkan untuk wilayah timur Indonesia,

yaitu Sulawesi, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara,

dan Papua (Anitha et al., 2015; Krisnawati et al.,

2012). Penggunaan model-model alometrik biomassa

pohon yang dibuat untuk wilayah barat Indonesia

dapat memberikan nilai dugaan biomassa yang kurang

akurat (underestimate atau overestimate) jika

diterapkan pada wilayah bagian timur Indonesia (Stas

et al., 2017). Hal ini disebabkan oleh tingginya

perbedaan keanekaragaman hayati dan karakterisitik

ekosistem hutan antara wilayah barat dan timur

Indonesia, yang ditandai oleh garis Wallace (Anitha et

al., 2015). Oleh karena itu, pendugaan biomassa hutan

di wilayah timur Indonesia memerlukan model-model

alometrik biomassa yang sesuai dengan karakteristik

vegetasi dan tipe ekosistem hutannya. Penggunaan

model-model alometrik biomassa yang spesifik dapat

memberikan nilai dugaan biomassa yang lebih akurat

sesuai dengan kondisi tempat tumbuh atau tipe hutan

(Stas et al., 2017), serta mengurangi ketidakpastian

dalam pendugaan biomassa dan cadangan karbon

hutan (Anitha et al., 2015; Chave et al., 2014).

Pengembangan model-model alometrik biomassa

untuk jenis pohon dan/atau tipe hutan di wilayah timur

Indonesia masih relatif terbatas dalam hal sebaran

lokasi dan cakupan jenis pohonnya. Model-model

alometrik biomassa yang sudah dikembangkan di

Maluku adalah untuk jenis pala (Mardiatmoko et al.,

2016) dan jenis-jenis pohon di hutan karst sekunder

Pulau Seram (Stas et al., 2017). Model-model

alometrik yang tersedia di Papua adalah untuk marga

Instia spp. (Maulana & Pandu, 2011a) dan marga

Pometia spp. (Maulana & Pandu, 2011b). Oleh karena

itu, pengembangan model-model alometrik untuk

wilayah timur Indonesia masih diperlukan karena

beragamnya jenis pohon dan tipe ekosistem hutan.

Salah satu wilayah timur Indonesia yang

memerlukan ketersediaan model-model alometrik

biomassa adalah Halmahera Timur di Maluku Utara,

yang didominasi oleh hutan alam sekunder dengan

beragam jenis pohon. Selain model alometrik

biomassa yang dikembangkan oleh Stas et al. (2017),

belum ada model alometrik lokal untuk pendugaan

biomassa hutan sekunder di Halmahera Timur. Ketika

model alometrik lokal tidak tersedia, alternatifnya

adalah menggunakan model alometrik lokal dari

Ketterings et al. (2001) dan Stas et al. (2017) serta

model alometrik global dari Chave et al. (2014).

Namun model-model alternatif tersebut belum tentu

akurat jika digunakan untuk pendugaan biomassa

hutan sekunder di Halmahera Timur. Oleh karena itu,

penelitian ini bertujuan untuk menyusun model-model

alometrik biomassa pohon jenis campuran di hutan

sekunder Halmahera Timur, Maluku Utara, serta untuk

membandingkan akurasi model-model alometrik lokal

tersebut dengan model-model alometrik lain yang

umum digunakan dalam pendugaan biomassa hutan

sekunder.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di areal hutan lahan kering

sekunder di wilayah kerja IUPHHK-HA PT

Mahakarya Agra Pesona (PT MAP) pada petak G14,

G15, dan H15 (Gambar 1). Secara administrasi, areal

perusahaan hutan ini terletak di Kecamatan Wasile

Utara, Wasile Tengah dan Wasile Timur, Kabupaten

Page 28: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…

(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)

89

Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara. Secara

geografis areal perusahaan ini terletak pada koordinat

bujur antara 128o 09ʹ 54ʺ dan 128o 32ʹ 2,4ʺ BT serta

koordinat lintang antara 1o 12ʹ 57,6ʺ dan 1o 29ʹ 9,6ʺ LS.

Luas areal kerja PT MAP adalah 36.860 ha dengan

topografi lapangan didominasi kelerengan datar seluas

15.551 ha (42,19 %), kelerengan sedang seluas 11.396

ha (30,92 %), kelerengan landai seluas 7.168 ha

(19,45 %), kelerengan curam seluas 2.670 ha (7,24 %)

dan kelerengan sangat curam seluas 75 ha (0,20 %).

Jenis tanah di PT MAP didominasi oleh Typic

Eutrudepts dan Lithic Eutrudepts yang luasnya

mencapai 24.815 ha (67,32 %) dari keseluruhan total

areal (MAP, 2018). Tipe penutupan lahan di areal PT

MAP adalah hutan bekas tebangan (logged over area),

yang sebagian besar (67,88 %) merupakan ekosistem

hutan alam tropika basah sekunder. Jenis vegetasi

dominan di areal PT MAP adalah mersawa

(Anisoptera sp., 24,5 %), nyatoh (Palaquium sp.,

11 %), dan bintangor (Calophyllum inophyllum, 8,4 %)

(MAP, 2018).

Gambar 1. Sebaran lokasi pengukuran pohon-pohon contoh di areal hutan lahan kering sekunder yang dikelola

oleh IUPHHK-HA PT Mahakarya Agra Pesona, Halmahera Timur

Prosedur Penelitian

Pemilihan pohon contoh

Pemilihan jenis-jenis pohon contoh didasarkan

atas informasi komposisi jenis pohon dari hasil

inventarisasi hutan oleh PT MAP, yang terdiri dari 20

jenis pohon dan 19 famili. Penentuan pohon contoh

dilakukan dengan metode purposive sampling dengan

kriteria: keterwakilan kelas diameter, keterwakilan

jenis-jenis pohon, kemudahan akses jalan, alokasi

tenaga kerja perusahaan, dan ketersediaan biaya.

Jumlah pohon contoh yang digunakan dalam

penelitian ini adalah 18 pohon dengan diameter

berkisar antara 5,4 dan 36,9 cm yang terdiri dari 14

jenis pohon seperti tercantum pada Tabel 1. Jenis-jenis

pohon tersebut mewakili 11 dari 19 famili (58 %) yang

ada di PT MAP. Penggunaan jumlah pohon (n) yang

relatif sedikit dalam penyusunan model-model

alometrik juga dilakukan oleh Brown et al. (1995)

dengan n=8, Ketterings et al. (2001) dengan n=29,

Ebuy et al. (2011) dengan n=12, dan Stas et al. (2017)

dengan n=25.

Page 29: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948

90

Tabel 1. Jenis dan jumlah pohon contoh pada setiap kelas diameter

Jenis pohon Nama lokal Famili Kelas diameter (cm)

5–9 10–19 20–29 30–40

Anisoptera spp. Mersawa Dipterocarpacea 1

Anthocephalus spp. Samama Rubiaceae 1

Calophyllum inophyllum Bintangor Clusiaceae 1 1

Canarium sp. Kenari Burseraceae 1

Diospyros celebica Mologotu Ebenaceae 1

Dracontomelon spp. Buarao Anacardiaceae 1

Eugenia aromaticum Cengkeh hutan Myrtaceae 1

Eugenia sp. Gosale Myrtaceae 2 Koordersiodendron

pinnatum Bugis Anacardiaceae 1

Octomeles sumatrana Binuang Tetramelaceae 1

Palaquium sp. Nyatoh Sapotaceae 1 1

Pometia pinnata Matoa Sapindaceae 1 1

Syzygium sp. Jambu-jambu Myrtaceae 1

Vatica spp. Hiru Dipterocarpacea 1

Jumlah 5 5 4 4

Penebangan dan pengukuran pohon contoh

Pada setiap pohon contoh dilakukan pengukuran

diameter setinggi dada (D), yaitu pada ketinggian 1,3

m di atas permukaan tanah. Pohon-pohon contoh

tersebut kemudian ditebang pada bagian pangkal

sedekat mungkin dengan permukaan tanah. Setelah

pohon rebah dilakukan pengukuran panjang pohon

untuk memperoleh data tinggi total pohon contoh yang

akurat sebagaimana umumnya dilakukan dalam

penelitian-penelitian sebelumnya (Ketterings et al.,

2001; Stas et al., 2017). Selain itu dilakukan

pemisahan fraksi-fraksi batang, cabang, ranting, dan

daun, yang kemudian dikumpulkan secara terpisah

dan ditimbang berat basahnya menggunakan

timbangan gantung yang dipikul oleh dua orang

(Gambar 2).

Dari setiap fraksi pohon contoh yang telah

ditimbang, kemudian dilakukan pengambilan sampel

fraksi-fraksi pohon untuk analisis biomassa di

laboratorium (BSN, 2011). Pada fraksi batang,

pengambilan sampel dilakukan pada pangkal batang

(25 % dari total panjang), tengah batang (50 % dari

total panjang), dan ujung batang (75 % dari total

panjang). Pada ketiga bagian batang tersebut dibuat

piringan (disk) batang setebal 2 – 5 cm (Picard et al.,

2012), dan selanjutnya diambil sampel berbentuk

kubus (masing-masing berukuran 2 x 2 x 2 cm)

sebanyak tiga buah dari setiap piringan sehingga

diperoleh sembilan sampel kubus untuk tiap pohon

contoh. Sampel-sampel kubus tersebut ditimbang

berat basahnya menggunakan timbangan digital.

Selain sampel fraksi batang, dilakukan juga

pengambilan dan penimbangan sampel-sampel fraksi

cabang, ranting, dan daun masing-masing sebanyak

250 gram (BSN, 2011).

Page 30: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…

(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)

91

Gambar 2. Proses pengukuran pohon contoh di lapangan: (a) penebangan dan pembagian batang, (b) pemisahan

sortimen batang, (c) pemisahan fraksi daun, (d) penimbangan fraksi batang, dan

(e) penimbangan fraksi cabang dan ranting

Perhitungan biomassa pohon contoh

Sampel-sampel dari setiap fraksi pohon contoh

dianalisis di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan,

Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, melalui

proses pengeringan menggunakan oven bersuhu 70 ˚C

untuk sampel daun dan bersuhu 105 ˚C untuk sampel

batang, cabang, dan ranting hingga mencapai berat

kering konstan. Sampel-sampel yang sudah

dikeringkan kemudian ditimbang untuk memperoleh

data berat kering sampel setiap fraksi pohon contoh.

Kerapatan kayu (wood density) ditentukan melalui

pengukuran volume sampel-sampel kubus

menggunakan prinsip archimedes, dimana volume

merupakan perbedaan antara permukaan cairan

sebelum dan sesudah pencelupan (Picard et al., 2012;

Puc-Kauil et al., 2020).

Berdasarkan data berat basah total (Bbt, kg), berat

basah sampel (Bbs, g), dan berat kering sampel (Bks, g),

biomassa (B, kg) suatu pohon contoh dihitung sebagai

berikut (Picard et al., 2012):

ks bt

bs

B BB

B

= (1)

Kerapatan kayu (, g/cm3) tiap sampel kubus dari

fraksi batang ditentukan berdasarkan data berat kering

sampel (Bks, g) dan volume kering sampel (Vks, cm3)

dengan rumus (Picard et al., 2012):

ks

ks

B

V = (2)

Nilai-nilai dari sembilan sampel kubus (sebagai

ulangan) dari tiap pohon contoh dihitung nilai rata-

ratanya untuk memperoleh data kerapatan kayu

masing-masing pohon contoh, yang digunakan

sebagai salah satu peubah penduga dalam model

alometrik biomassa.

Penyusunan model alometrik biomassa

Dalam penelitian ini, penyusunan model alometrik

dilakukan untuk jenis pohon campuran karena lebih

cocok digunakan untuk pendugaan cadangan

biomassa hutan alam yang memiliki keragaman jenis

tinggi (Chave et al., 2014; Ketterings et al., 2001) dan

pendugaan biomassa hutan pada skala luas (He et al.,

2018; van Breugel et al., 2011) dibandingkan dengan

model alometrik biomassa untuk jenis pohon tertentu.

Model alometrik biomassa disusun untuk menduga

biomassa pohon (B, kg) berdasarkan peubah-peubah

diameter setinggi dada (D, cm), tinggi total (T, m), dan

kerapatan kayu (, g/cm3) dari tiap pohon contoh.

Adapun model-model alometrik biomassa yang

dianalisis adalah (Chave et al., 2014; Huy et al., 2016;

Kusmana et al., 2018; Picard et al., 2012):

Page 31: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948

92

M1: bB aD= (3a)

( )M2: expB a bD= (3b)

( )2M3: b

B a D T= (3c)

M4: b cB aD T= (3d)

M5: bB a D= (3e)

M6: b cB a D= (3f)

( )2M7: b

B a D T= (3g)

( )( )2M8: exp lnB a D T= + (3h)

Parameter-parameter model regresi (a, b, c) ditentukan

melalui analisis regresi non-linier menggunakan

metode Generalized Non-linear Least Square (GNLS)

yang efektif untuk mereduksi heteroskedastisitas

ragam sisaan model (Pinheiro et al., 2020). Analisis

regresi non-linier dilakukan menggunakan paket

program nlme (Pinheiro et al., 2020) dalam software

R versi 3.6.3 (R Core Team, 2020), karena paket

program tersebut menerapkan metode GNLS untuk

menghitung parameter model alometrik biomassa

(Dutcă et al., 2019; Huy et al., 2016; Tiryana et al.,

2011).

Berdasarkan hasil analisis regresi model-model

non-linier tersebut, selanjutnya dipilih model

alometrik terbaik dengan kriteria: signifikansi

parameter model (P-value <0.05), nilai Root Mean

Square Error (RMSE) minimum, nilai Akaike’s

Information Criterion (AIC) minimum, nilai Bayesian

Information Criterion (BIC) minimum, dan nilai

koefisien determinasi terkoreksi (R2adj) maksimum,

yang dihitung dengan rumus-rumus berikut ini

(Burnham & Anderson, 2002; Chave et al., 2014;

Rawlings et al., 1998; Sanquetta et al., 2018; Sileshi,

2014; Tiryana et al., 2011):

( )2

n

i iiy y

RMSEn p

=−

=−

(4a)

( )2 2 1= − + +AIC logLik p (4b)

( ) ( )2 1 logBIC logLik p n= − + + (4c)

( ) ( )

( ) ( )

2

2 1

2

1

ˆ11 =

=

− −= −

− −

n

i iiadj n

i ii

n y yR

n p y y (4d)

Notasi 𝑦𝑖 dan �̂�𝑖 menyatakan nilai biomassa aktual

dan nilai dugaan biomassa, n menyatakan jumlah

pohon contoh, p menyatakan jumlah parameter model,

dan logLik menyatakan nilai kemungkinan maksimum

dari tiap model.

Perbandingan model alometrik biomassa

Untuk mengetahui keakuratan model alometrik

terbaik dilakukan perbandingan dengan model-model

alometrik lain yang telah dikembangkan untuk

pendugaan biomassa pohon di hutan alam, yaitu:

2,62MK: 0,11B D= (5a)

( )MS: exp 1,927 1,837ln 0,905ln 1,164lnB D T = − + + + (5b)

( )0,976

2MC: 0,0673B D T= (5c)

Model MK merupakan model alometrik lokal yang

dikembangkan oleh Ketterings et al. (2001) untuk

hutan sekunder di Jambi, model MS merupakan model

alometrik lokal yang dikembangkan oleh Stas et al.

(2017) untuk hutan karst sekunder di Pulau Seram, dan

model MC merupakan model alometrik global yang

dikembangkan oleh Chave et al. (2014) untuk hutan-

hutan tropis.

Perbandingan keakuratan model-model alometrik

tersebut dilakukan dengan prosedur validasi silang

(cross-validation), yaitu dengan membandingkan nilai

dugaan biomassa dari model-model alometrik dengan

nilai biomassa pohon-pohon contoh hasil pengukuran

yang digunakan untuk penyusunan model alometrik

dalam penelitian ini. Hal ini lazim dilakukan dalam

penelitian biomassa, misalnya oleh Stas et al. (2017),

karena keterbatasan data pengukuran biomassa pohon

contoh (Sileshi, 2014). Tingkat akurasi model-model

alometrik diukur dengan nilai rata-rata bias (Mean

Error, ME), persen bias (Percentage Error, PE), dan

rata-rata mutlak persen bias (Mean Absolute

Percentage Error, MAPE) yang dihitung dengan

rumus-rumus berikut ini (Huy et al., 2016; Sileshi,

2014; Tiryana et al., 2011):

( )1

ˆn

i i

i

ME y y n=

= − (6a)

( ) ( )1

ˆ100n

i i

i

PE ME y y=

= − (6b)

( )1

ˆ100n

i i i

i

MAPE n y y y=

= − (6c)

Semakin kecil nilai ME, PE, atau MAPE maka tingkat

akurasi suatu model alometrik semakin tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Biomassa

Biomassa total pohon di atas permukaan tanah

(terdiri dari batang, cabang, ranting, dan daun) dari

jenis-jenis campuran di hutan sekunder bervariasi

menurut diameter dan tinggi pohon dengan kisaran

Page 32: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…

(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)

93

4,93 − 939,51 kg/pohon (Gambar 3a dan 3b).

Biomassa memiliki korelasi positif yang erat dengan

diameter (r = 0,89) dan tinggi pohon (r = 0,94), di

mana biomassa pohon semakin meningkat seiring

bertambahnya diameter dan/atau tinggi pohon.

Bahkan, semakin besar diameter pohon maka nilai-

nilai biomassanya pun semakin beragam (Gambar 3a).

Hal serupa dilaporkan oleh Feldpausch et al. (2012) di

mana pohon-pohon besar umumnya memiliki

keragaman biomassa yang tinggi dibandingkan

dengan pohon-pohon kecil. Namun biomassa

berkorelasi negatif (r = -0,41) dengan kerapatan kayu,

dimana biomassa cenderung menurun jika kerapatan

kayu semakin meningkat (Gambar 1c). Korelasi

negatif juga terjadi pada hubungan antara diameter

dan kerapatan kayu, dimana semakin besar diameter

maka kerapatan kayu cenderung semakin menurun

(Gambar 1d). Hal tersebut disebabkan nilai-nilai

diameter pohon terkecil hingga terbesar berasal dari

14 jenis pohon dengan kerapatan kayu berbeda-beda

(Tabel 2). Sebagai contoh, pada kelas diameter terkecil

(5 – 9 cm, Tabel 1) terdapat jenis Diospyros celebica

dengan kerapatan kayu paling tinggi (0,723 g/cm3,

Tabel 2), sedangkan pada kelas diameter terbesar (30

– 40 cm, Tabel 1) terdapat jenis Octomeles sumatrana

dengan kerapatan kayu paling rendah (0,237 g/cm3,

Tabel 2). Pola hubungan negatif antara kerapatan kayu

dan diameter/biomassa pada jenis-jenis pohon

campuran di hutan sekunder juga ditemukan pada data

hasil penelitian Stas et al. (2017). Untuk jenis-jenis

pohon di lokasi penelitian, kerapatan kayu berkisar

antara 0,237 – 0,723 g/cm3 dengan rata-rata 0,459

g/cm3 dan simpangan baku 0,132 g/cm3 (Tabel 2).

Rata-rata kerapatan kayu tersebut hampir sama

dengan rata-rata kerapatan kayu untuk jenis-jenis

pohon hutan sekunder di Panama sebesar 0,496 g/cm3

(van Breugel et al., 2011). Walaupun korelasi antara

kerapatan kayu dan biomassa tidak terlalu erat

dibandingkan dengan korelasi antara diameter/tinggi

dan biomassa, tetapi peubah kerapatan kayu tersebut

potensial digunakan sebagai salah satu peubah bebas

(selain diameter dan tinggi pohon) dalam model

alometrik biomassa pohon jenis campuran (Chave et

al., 2014). Basuki et al. (2009) menunjukkan bahwa

peranan peubah kerapatan kayu bersifat nyata pada

model-model alometrik untuk kelompok jenis

campuran tetapi tidak nyata pada model-model

alometrik untuk tingkat genus.

Gambar 3. Pola hubungan antara (a) diameter dan biomassa, (b) tinggi dan biomassa, (c) kerapatan kayu dan

biomassa, serta (d) diameter dan kerapatan kayu

Page 33: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948

94

Tabel 2. Kerapatan kayu dari jenis-jenis pohon di hutan sekunder

Nama latin Nama lokal Kerapatan kayu (g/cm3)

Anisoptera spp. Mersawa 0,535

Anthocephalus spp. Samama 0,386

Calophyllum inophyllum Bintangor 0,433

Canarium sp. Kenari 0,400

Diospyros celebica Mologotu 0,723

Dracontomelon spp. Buarao 0,353

Eugenia aromaticum Cengkeh hutan 0,348

Eugenia sp. Gosale 0,673

Koordersiodendron pinnatum Bugis 0,345

Octomeles sumatrana Binuang 0,237

Palaquium sp. Nyatoh 0,446

Pometia pinnata Matoa 0,512

Syzygium sp. Jambu-jambu 0,486

Vatica spp. Hiru 0,542

Biomassa tersimpan pada bagian-bagian batang,

cabang, ranting, dan daun dengan proporsi yang

cenderung bervariasi menurut diameter pohonnya

(Gambar 4), karena perbedaan karakteristik

pertumbuhan tiap jenis pohon. Bagian batang

menyimpan paling banyak biomassa, yaitu rata-rata

sebesar 82,8 % (71,8 – 98,0 %), sedangkan sisanya

tersimpan pada cabang sebesar 7,8 % (1,2 – 16,2 %),

ranting sebesar 3,7 % (0 – 9,1 %), dan daun sebesar

5,8 % (0,2 – 22,3 %) (Gambar 4). Proporsi biomassa

batang yang lebih tinggi tersebut disebabkan

sedikitnya percabangan pada pohon-pohon contoh,

sehingga dimensi tajuknya pun relatif kecil. Arsitektur

pohon-pohon contoh seperti itu menyebabkan

proporsi biomassa batang yang lebih besar daripada

komponen lainnya (cabang, ranting, dan daun). Rata-

rata proporsi biomassa batang dari penelitian ini

(82,8 %) lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata

proporsi biomassa batang jenis-jenis pohon di hutan

dipterokarpa Kalimantan Timur sebesar 67 % (Basuki

et al., 2009). Hal ini dimungkinkan karena perbedaan

karakteristik dan arsitektur pohon di lokasi penelitian

dan di hutan dipterokarpa. Dalam penelitian ini,

pohon-pohon contoh umumnya berukuran kecil

(diameter <40 cm) dengan tajuk yang masih

berkembang, sedangkan pohon-pohon contoh dalam

penelitian Basuki et al. (2009) tidak hanya berukuran

kecil melainkan juga berukuran besar (diameter >40

cm) dengan dimensi tajuk yang lebih besar. Perbedaan

proporsi biomassa batang akibat perbedaan arsitektur

pohon juga dilaporkan oleh He et al. (2018), dimana

jenis-jenis pohon dengan tinggi total lebih besar

cenderung memiliki proporsi biomassa batang lebih

besar dibandingkan dengan jenis-jenis pohon dengan

tinggi total lebih kecil. Tingginya biomassa pada

batang dimungkinkan karena hasil fotosintesis

sebagian besar tersimpan pada batang pohon.

Gambar 4. Proporsi biomassa pada batang, cabang,

ranting, dan daun pohon jenis campuran

Model Alometrik Biomassa

Berdasarkan hasil analisis regresi non-linier

diperoleh nilai-nilai koefisien setiap model alometrik

beserta nilai-nilai uji statistiknya seperti tercantum

pada Tabel 3. Pada setiap model (kecuali model M6),

semua koefisien bersifat nyata (P-value <0,05) yang

berarti bahwa peubah-peubah bebas dalam model

(diameter, tinggi, atau kerapatan kayu) mampu

menjelaskan keragaman biomassa pohon dengan baik

(R2adj >85 %). Model alometrik terbaik adalah M7,

karena semua koefisien model bersifat nyata (P-value

<0,05), nilai RMSE terkecil, nilai koefisien

determinasi (R2adj) tertinggi, serta nilai AIC dan BIC

Page 34: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…

(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)

95

relatif kecil. Walaupun AIC dan BIC model M7 bukan

nilai terkecil, tetapi perbedaan nilainya tidak terlalu

jauh (<10) dibandingkan dengan model yang memiliki

AIC dan BIC terkecil (model M8). Burnham &

Anderson (2002) menyatakan bahwa dua model

dikategorikan berbeda secara signifikan apabila

memiliki perbedaan nilai AIC dan/atau BIC ≥10.

Model M7 memenuhi asumsi kenormalan sisaan

karena nilai-nilai sisaan model sebagian besar berada

di sekitar garis lurus (Gambar 5a) dan dipertegas

dengan nilai uji Shapiro-Wilk (P-value = 0,655) yang

menunjukkan bahwa sisaan menyebar normal. Model

M7 juga memenuhi asumsi kehomogenan ragam

sisaan karena nilai-nilai sisaan tersebar acak di sekitar

nilai nol (Gambar 5b).

Tabel 3. Nilai-nilai parameter, simpangan baku, dan uji-uji statistik dari model-model alometrik

Model Parameter SE P-value AIC BIC RMSE R2adj

M1 A 0,122 0,0363 0,0039 180,11 183,67 95,91 0,883

B 2,456 0,1030 0,0000

M2 A 14,971 3,7539 0,0011 201,66 205,23 104,60 0,861

B 0,115 0,0092 0,0000

M3 A 0,077 0,0261 0,0090 175,09 178,66 67,15 0,943

B 0,874 0,0363 0,0000

M4 A 0,079 0,0301 0,0187 176,59 181,04 70,84 0,936

B 1,893 0,2104 0,0000

C 0,716 0,2632 0,0157

M5 A 0,147 0,0465 0,0061 181,68 185,24 78,24 0,922

B 2,672 0,1090 0,0000

M6 A 0,133 0,0369 0,0026 177,31 181,77 80,56 0,917

B 0,479 0,2396 0,0636

C 2,557 0,1074 0,0000

M7 A 0,076 0,0211 0,0021 165,99 169,56 37,11 0,982

B 0,963 0,0322 0,0000

M8 A -2,865 0,0412 0,0000 164,94 167,61 49,34 0,969

Gambar 5. Kenormalan sisaan (a) dan kehomogenan ragam sisaan (b) dari model M7

Model M7 merupakan model alometrik yang

menggunakan tiga peubah bebas, yaitu diameter,

tinggi, dan kerapatan kayu. Hal ini berarti bahwa

untuk memperoleh nilai dugaan yang akurat dari

biomassa pohon jenis-jenis campuran di hutan

sekunder, tidak cukup hanya menggunakan peubah

diameter dan tinggi pohon melainkan juga peubah

kerapatan kayu yang bervariasi antar jenis pohon

sehingga menyebabkan keragaman biomassa

pohonnya (Henry et al., 2010; Ketterings et al., 2001).

Penambahan peubah kerapatan kayu (selain diameter

dan tinggi pohon) untuk meningkatkan akurasi model

Page 35: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948

96

alometrik juga dilakukan oleh Ketterings et al. (2001),

Basuki et al. (2009), Henry et al. (2010), Chave et al.

(2014), Stas et al. (2017), dan Kusmana et al. (2018).

Chave et al. (2014) dan Kuyah et al. (2012)

membuktikan bahwa model alometrik yang

menggunakan peubah kerapatan kayu menghasilkan

nilai dugaan biomassa yang lebih akurat dibandingkan

dengan model alometrik yang tidak menggunakan

peubah kerapatan kayu. Temuan serupa dilaporkan

oleh van Breugel et al. (2011), dimana penambahan

peubah kerapatan kayu pada model alometrik dapat

meningkatkan akurasi pendugaan biomassa pada level

plot contoh di hutan sekunder.

Berbeda dengan model M7 dan M8, model M1 dan

M2 hanya menggunakan peubah diameter.

Dibandingkan dengan model M7, kedua model

tersebut memiliki nilai AIC dan BIC yang lebih besar

dengan perbedaan nilai AIC/BIC ≥10, sehingga kedua

model tersebut dapat dinyatakan berbeda signifikan

dari model M7 (Burnham & Anderson, 2002). Selain

itu, nilai RMSE model M1 dan M2 yang cukup tinggi

(96 – 105 kg) menunjukkan bahwa penyimpangan

nilai dugaan biomassanya cukup besar. Hal ini berarti

bahwa pendugaan biomassa pohon jenis campuran

yang hanya menggunakan peubah diameter kurang

akurat, karena diameter hanya menjelaskan

keragaman biomassa pohon sebesar 86 – 88 % (Tabel

3). Rendahnya akurasi model alometrik yang hanya

menggunakan peubah diameter juga dilaporkan oleh

Puc-Kauil et al. (2020) dalam pendugaan biomassa

hutan tropis sekunder. Walaupun demikian, model M1

dan M2 tersebut lebih praktis digunakan karena hanya

memerlukan data diameter pohon yang relatif mudah

diukur di lapangan. Bahkan sebagian besar (82 %) dari

model-model alometrik biomassa pohon yang telah

dikembangkan di Indonesia hanya menggunakan

peubah diameter pohon, sedangkan sisanya

menggunakan peubah diameter dan tinggi pohon

(Krisnawati et al., 2012).

Sumber keragaman biomassa lainnya disebabkan

oleh keragaman tinggi pohon atau kerapatan kayu. Hal

ini terlihat dari model-model yang menggunakan dua

peubah, yaitu model M3 dan M4 yang menggunakan

peubah diameter dan tinggi serta model M5 dan M6

yang menggunakan peubah diameter dan kerapatan

kayu. Selain diameter, penambahan peubah tinggi

(pada model M3 dan M4) atau kerapatan kayu (pada

model M5 dan M6) mampu menjelaskan keragaman

biomassa pohon sebesar 92 – 94 % (Tabel 3). Namun

penambahan peubah tinggi atau kerapatan kayu

menyebabkan model-model alometrik tersebut kurang

praktis digunakan, karena tinggi pohon dan kerapatan

kayu relatif sulit diukur di lapangan dibandingkan

dengan diameter pohon. Diantara keempat model

dengan dua peubah bebas, model M3 memiliki nilai-

nilai statistik yang lebih baik (yakni nilai-nilai

AIC/BIC dan RMSE terkecil serta R2adj terbesar) dan

tidak berbeda signifikan dari model M7 karena selisih

nilai AIC/BIC <10 (Burnham & Anderson, 2002).

Dengan demikian, model M3 dapat digunakan sebagai

model alternatif untuk pendugaan biomassa selain

model M7. Penggunaan model alometrik yang

menggunakan peubah diameter dan tinggi (seperti

model M3) juga disarankan oleh Rutishauser et al.

(2013) untuk mengurangi ketidakpastian dalam

pendugaan biomassa hutan.

Perbandingan Model-model Alometrik

Dibandingkan dengan model-model alometrik

lainnya (Tabel 4), model M7 merupakan model

alometrik lokal yang paling akurat karena nilai

biasnya paling kecil (PE=0,70 % dan

MAPE=14,96 %), tetapi model M3 relatif kurang

akurat (PE=-1,26 % dan MAPE=20,71 %). Model

alometrik lokal lainnya yang cukup akurat adalah

model MS (PE=1,44 % dan MAPE=25,10 %), karena

model tersebut disusun berdasarkan data pengukuran

biomassa hutan sekunder di Pulau Seram (Stas et al.,

2017) yang kondisi ekosistemnya tidak jauh berbeda

dengan hutan sekunder di Halmahera Timur. Model

M7 dan MS memberikan nilai dugaan biomassa yang

mendekati nilai biomassa aktual pada berbagai

diameter pohon (Gambar 6a dan 6b). Namun model

alometrik lokal MK terbukti tidak akurat (PE=35,97 %

dan MAPE=30,91 %) dan memberikan nilai dugaan

yang lebih besar (overestimate) dibandingkan dengan

nilai biomassa aktual pada berbagai diameter pohon

(Gambar 6c). Hal ini dimungkinkan karena model

tersebut disusun untuk hutan sekunder di Pulau

Sumatera (Ketterings et al., 2001) yang kondisi

ekosistem hutannya berbeda dengan wilayah timur

Indonesia. Stas et al. (2017) juga membuktikan bahwa

model MK tersebut memberikan bias yang tinggi

(57,1 %) jika digunakan untuk menduga biomassa

hutan sekunder di Pulau Seram.

Page 36: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…

(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)

97

Tabel 4. Nilai-nilai rata-rata bias (ME) dan persen bias (PE) dari model-model alometrik biomassa pohon

Model alometrik ME PE (%) MAPE (%)

M7 (Model terbaik dari penelitian ini) 1,75 0,70 14,96

M3 (Model alternatif dari penelitian ini) -3,15 -1,26 20,71

MK (Ketterings et al., 2001) 90,18 35,97 30,91

MC (Chave et al., 2014) 2,97 1,18 14,38

MS (Stas et al., 2017) 3,60 1,44 25,10

Berbeda dengan model-model alometrik lokal

tersebut, model MC merupakan model alometrik

global yang disusun oleh Chave et al. (2014)

berdasarkan data pengukuran biomassa pohon pada

berbagai lokasi dan kondisi ekosistem hutan tropis.

Dari hasil analisis menunjukkan bahwa model MC

lebih akurat (PE=1,18 % dan MAPE=14,38 %)

dibandingkan dengan model alometrik lokal MS dan

MK, dimana nilai dugaan biomassa dari model MC

mendekati nilai biomassa aktual pada berbagai

diameter pohon (Gambar 6d). Stas et al., (2017) juga

membuktikan bahwa model MC dapat memberikan

akurasi pendugaan yang cukup tinggi (bias 7,7 %). Hal

ini menunjukkan bahwa model alometrik global yang

disusun oleh Chave et al. (2014) tersebut mampu

memberikan akurasi yang cukup baik untuk

pendugaan biomassa hutan sekunder di wilayah timur

Indonesia, khususnya di Halmahera Timur dan Pulau

Seram.

Gambar 6. Perbandingan simpangan nilai-nilai dugaan biomassa antara model M7 dan (a) model M3,

(b) model MS, (c) model MK, dan (d) model MC

Penerapan Model Alometrik

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model

M7 merupakan model alometrik lokal yang paling

akurat digunakan untuk pendugaan biomassa hutan

sekunder di Halmahera Timur, khususnya di areal

konsesi PT MAP. Dalam penerapannya, model M7

memerlukan data hasil pengukuran diameter, tinggi,

dan kerapatan kayu. Peubah diameter dan tinggi

pohon lazim diukur dalam kegiatan inventarisasi

hutan untuk pendugaan volume tegakan. Namun

peubah kerapatan kayu tidak lazim diukur dalam

kegiatan inventarisasi hutan karena tidak diperlukan

untuk pendugaan volume tegakan. Selain itu, untuk

memperoleh data kerapatan kayu diperlukan teknik

pengukuran dan analisis sampel kayu di laboratorium

yang tidak umum dilakukan oleh perusahaan-

Page 37: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948

98

perusahaan kehutanan. Alternatifnya, data kerapatan

kayu dapat diperoleh dari hasil-hasil penelitian

(seperti Tabel 2) ataupun pangkalan data (database)

kerapatan kayu seperti DRYAD Global Wood Density

(GWD) (Zanne et al., 2009). Bahkan, Flores dan

Coomes (2011) menyarankan untuk menggunakan

nilai-nilai kerapatan kayu dari pangkalan data GWD

karena jumlah sampelnya lebih besar daripada

pangkalan data lokal yang jumlah sampelnya relatif

sedikit. Untuk jenis-jenis pohon di Indonesia, data

kerapatan kayu dapat diperoleh dari pangkalan data

ICRAF (2020). Akan tetapi, untuk menentukan nilai

kerapatan kayu suatu jenis pohon diperlukan

identifikasi jenis-jenis pohon selama kegiatan

inventarisasi hutan. Hal ini tidak selalu mudah

dilakukan karena keterbatasan pengenal jenis pohon di

lapangan (van Breugel et al., 2011), yang seringkali

hanya mengetahui nama lokal yang cenderung

berbeda-beda antar daerah sehingga menyulitkan

dalam penentuan nama ilmiahnya. Ketika tidak semua

jenis pohon diketahui nilai kerapatan kayunya,

beberapa peneliti (misalnya, Rutishauser et al., 2013;

Stas et al., 2017) menggunakan nilai rata-rata

kerapatan kayu dari jenis, genus, atau marga pohon-

pohon yang diketahui. Penggunaan nilai rata-rata

kerapatan kayu yang tidak spesifik untuk jenis pohon

tertentu kemungkinan dapat menyebabkan bias

pendugaan dari suatu model alometrik yang perlu

diteliti lebih lanjut.

Apabila data kerapatan kayu untuk model M7 sulit

diperoleh, alternatifnya adalah menggunakan model

M3 yang dapat menjelaskan keragaman biomassa

pohon sebesar 94 % melalui peubah diameter dan

tinggi pohon. Walaupun model M3 kurang akurat

dibandingkan dengan model M7, tetapi model M3

lebih praktis digunakan karena tidak memerlukan data

kerapatan kayu melainkan hanya data diameter dan

tinggi pohon yang dapat diperoleh dari kegiatan

inventarisasi hutan. Masalah yang mungkin dihadapi

di lapangan adalah pengukuran tinggi total pohon

yang lebih sulit dibandingkan dengan pengukuran

diameter, terutama di hutan-hutan tropis dengan

kanopi tertutup (Réjou-Méchain, Tanguy, Piponiot,

Chave, & Hérault, 2017). Basuki et al. (2009)

melaporkan bahwa tinggi total pohon lebih sulit

diukur daripada tinggi bebas cabang karena umumnya

pohon-pohon di hutan dipterokarpa bertajuk lebat.

Kesulitan utama dalam pengukuran tinggi pohon

umumnya adalah menentukan titik pengukuran yang

tepat pada bagian atas pohon yang terhalang tajuk

(Hunter, Keller, Vitoria, & Morton, 2013). Namun

pada hutan sekunder, pengukuran tinggi total pohon

relatif lebih mudah dilakukan karena kondisi tegakan

umumnya tidak terlalu rapat, sehingga memungkinkan

pengukur dapat menentukan puncak pohon dengan

tepat. Walaupun demikian, akurasi pengukuran tinggi

pohon sangat tergantung pada keterampilan teknisi

dan jenis alat ukurnya. Pengukuran tinggi pohon di

hutan tropis seharusnya dilakukan oleh teknisi-teknisi

terampil dan berpengalaman agar akurasi datanya

tinggi (Larjavaara & Muller-Landau, 2013).

Penggunaan alat-alat ukur tinggi pohon berbasis

teknologi laser juga memungkinkan pengukuran

tinggi pohon secara cepat dan akurat (Larjavaara &

Muller-Landau, 2013; Rutishauser et al., 2013). Selain

melalui pengukuran di lapangan, tinggi total pohon

dapat juga diperoleh dari model hubungan tinggi dan

diameter pohon yang disusun berdasarkan hasil

pengukuran sejumlah pohon contoh yang mewakili

keragaman kondisi tegakan (Magnussen, Kleinn, &

Fehrmann, 2020; Quentin Molto, Rossi, & Blanc,

2013), seperti yang dikembangkan oleh Feldpausch et

al. (2011) dan Q Molto et al. (2014).

Seperti halnya model-model alometrik lokal pada

umumnya, model M7 atau M3 dari penelitian ini

memiliki beberapa keterbatasan dalam

penggunaannya. Pertama, model-model alometrik

tersebut hanya cocok digunakan untuk menduga

biomassa pohon berdiameter 5 – 37 cm sesuai dengan

rentang diameter pohon contoh yang digunakan dalam

penyusunan modelnya. Oleh karena itu, model-model

alometrik tersebut seharusnya tidak digunakan untuk

pendugaan biomassa pohon berdiameter >37 cm

karena akan menyebabkan bias nilai dugaan

biomassanya (Quentin Molto et al., 2013). Kedua,

model M7 atau M3 hanya cocok digunakan pada hutan

sekunder dengan komposisi jenis pohon seperti di

lokasi penelitian (Tabel 1). Model M7 atau M3 juga

disusun berdasarkan jumlah pohon contoh yang relatif

sedikit, karena keterbatasan sumberdaya (biaya, waktu,

dan tenaga) dan ijin penebangan dari perusahaan,

sehingga kemungkinan belum dapat mewakili

keragaman biomassa pohon pada lokasi lain.

Penggunaan model alometrik lokal pada wilayah lain

yang berbeda kondisi ekosistem hutannya dapat

menyebabkan bias yang tinggi seperti ditunjukkan

oleh model MK (Tabel 4).

Selain menghasilkan model alometrik lokal M7

atau M3, penelitian ini membuktikan juga bahwa

model alometrik global dari Chave et al. (2014) cukup

akurat digunakan untuk pendugaan biomassa pohon di

hutan sekunder (Tabel 4). Hal ini dimungkinkan

karena Chave et al. (2014) menggunakan pohon

contoh yang banyak (n=4004) dan mewakili beragam

Page 38: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…

(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)

99

kondisi vegetasi hutan primer dan sekunder di daerah

tropis, sub-tropis, dan savana. Oleh karena itu, model

alometrik global dari Chave et al. (2014) dapat

menjadi solusi untuk pendugaan biomassa hutan

sekunder ketika dihadapkan pada keterbatasan

sumberdaya (biaya, waktu, dan tenaga) untuk

mengembangkan model-model alometrik lokal.

Namun seperti halnya model M7, dalam penerapannya

model Chave et al. (2014) juga memerlukan data

diameter, tinggi, dan kerapatan kayu.

KESIMPULAN

Model-model alometrik lokal yang dikembangkan

dalam penelitian ini dapat digunakan untuk menduga

biomassa pohon jenis campuran di hutan sekunder

Halmahera Timur. Model M7 dapat digunakan untuk

menduga biomassa pohon secara akurat dengan

menggunakan peubah diameter, tinggi, dan kerapatan

kayu yang bervariasi antar jenis pohon. Jika kerapatan

kayu sulit diperoleh, maka model M3 yang hanya

menggunakan peubah diameter dan tinggi pohon

dapat digunakan walaupun nilai dugaannya kurang

akurat. Model-model alometrik lokal lain (MK dan

MS) cenderung kurang akurat, terutama jika model

alometrik tersebut disusun untuk kondisi ekosistem

hutan yang berbeda. Adapun model alometrik global

(MC), yang disusun berdasarkan data pengukuran

biomassa pohon pada berbagai lokasi dan kondisi

ekosistem hutan tropis, mampu memberikan akurasi

pendugaan biomassa yang cukup baik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT

MAP yang telah memberikan ijin penelitian dan

bantuan teknis selama proses pengumpulan data di

lapangan. Penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada mitra bestari (reviewer) yang telah

memberikan komentar dan saran berharga untuk

perbaikan isi artikel ini.

KONTRIBUSI

Mujahidah Sylviari Zaenal (sebagai penulis

pertama) berperan mengumpulkan data dan menulis

naskah; Tatang Tiryana (penulis korespondensi)

berperan merumuskan ide/topik penelitian,

menganalisis data dan menulis naskah; serta

Mujahidin (penulis anggota) berperan menulis naskah.

Ketiga penulis membaca dan menyetujui naskah akhir

hasil penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anitha, K., Verchot, L. V., Joseph, S., Herold, M., Manuri,

S., & Avitabile, V. (2015). A review of forest and tree

plantation biomass equations in Indonesia. Annals of

Forest Science, 72(8), 981–997.

https://doi.org/10.1007/s13595-015-0507-4

Basuki, T. M., van Laake, P. E., Skidmore, A. K., & Hussin,

Y. A. (2009). Allometric equations for estimating the

above-ground biomass in tropical lowland Dipterocarp

forests. Forest Ecology and Management, 257(8), 1684–

1694. https://doi.org/10.1016/j.foreco.2009.01.027

Brown, I. F., Martinelli, L. A., Thomas, W. W., Moreira, M.

Z., Cid Ferreira, C. A., & Victoria, R. A. (1995).

Uncertainty in the biomass of Amazonian forests: An

example from Rondônia, Brazil. Forest Ecology and

Management, 75(1), 175-189.

https://doi.org/10.1016/0378-1127(94)03512-U

BSN. (2011). SNI 7725: 2011 Penyusunan Persamaan

Alometrik untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan

Berdasar Pengukuran Lapangan (Ground Based Forest

Carbon Accounting). Jakarta: Badan Standarisasi

Indonesia (BSN).

Burnham, K. P., & Anderson, D. R. (2002). Model Selection

and Multimodel Inference: a Practical Information-

Theoretic Approach. New York: Springer-Verlag.

Chave, J., Réjou-Méchain, M., Búrquez, A., Chidumayo, E.,

Colgan, M. S., Delitti, W. B. C., & Vieilledent, G. (2014).

Improved allometric models to estimate the

aboveground biomass of tropical trees. Global Change

Biology, 20(10), 3177–3190.

https://doi.org/10.1111/gcb.12629

Dutcă, I., McRoberts, R. E., Næsset, E., & Blujdea, V. N. B.

(2019). A practical measure for determining if diameter

(D) and height (H) should be combined into D2H in

allometric biomass models. Forestry: An International

Journal of Forest Research, 92(5), 627-634.

https://doi.org/10.1093/forestry/cpz041

Ebuy, J., Lokombe, J., Ponette, Q., Sonwa, D., & Picard, N.

(2011). Allometric equation for predicting aboveground

biomass of three tree species. Journal of Tropical Forest

Science, 23(2), 125–132.

Feldpausch, T. R., Banin, L., Phillips, O. L., Baker, T. R.,

Lewis, S. L., Quesada, C. A., & Lloyd, J. (2011). Height-

diameter allometry of tropical forest trees.

Biogeosciences, 8(5), 1081–1106.

https://doi.org/10.5194/bg-8-1081-2011

Feldpausch, T. R., Lloyd, J., Lewis, S. L., Brienen, R. J. W.,

Gloor, M., Monteagudo Mendoza, A., & Phillips, O. L.

(2012). Tree height integrated into pantropical forest

biomass estimates. Biogeosciences, 9(8), 3381–3403.

https://doi.org/10.5194/bg-9-3381-2012

Flores, O., & Coomes, D. A. (2011). Estimating the wood

density of species for carbon stock assessments.

Methods in Ecology and Evolution, 2(2), 214–220.

https://doi.org/10.1111/j.2041-210X.2010.00068.x

He, H., Zhang, C., Zhao, X., Fousseni, F., Wang, J., Dai, H.,

& Zuo, Q. (2018). Allometric biomass equations for 12

tree species in coniferous and broadleaved mixed forests,

Northeastern China. PLOS ONE, 13(1), e0186226.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.0186226

Henry, M., Besnard, A., Asante, W. A., Eshun, J., Adu-Bredu,

S., Valentini, R., & Saint-André, L. (2010). Wood

density, phytomass variations within and among trees,

and allometric equations in a tropical rainforest of Africa.

Forest Ecology and Management, 260(8), 1375–1388.

https://doi.org/10.1016/j.foreco.2010.07.040

Page 39: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948

100

Hunter, M., Keller, M., Vitoria, D., & Morton, D. (2013).

Tree height and tropical forest biomass estimation.

Biogeosciences, 10(12), 8385–8399.

https://doi.org/10.5194/bg-10-8385-2013

Huy, B., Kralicek, K., Poudel, K. P., Phuong, V. T., Khoa, P.

V., Hung, N. D., & Temesgen, H. (2016). Allometric

equations for estimating tree aboveground biomass in

evergreen broadleaf forests of Viet Nam. Forest Ecology

and Management, 382, 193–205.

https://doi.org/10.1016/j.foreco.2016.10.021

ICRAF. (2020). Tree functional attributes and ecological

database: Wood density. Retrieved November 25,

2020, from World Agroforestry (ICRAF)

http://db.worldagroforestry.org//wd

Ketterings, Q. M., Coe, R., van Noordwijk, M., Ambagau’,

Y., & Palm, C. A. (2001). Reducing uncertainty in the

use of allometric biomass equations for predicting

above-ground tree biomass in mixed secondary forests.

Forest Ecology and Management, 146(1), 199–209.

https://doi.org/10.1016/S0378-1127(00)00460-6

Krisnawati, H., Adinugroho, W. C., & Imanuddin, R. (2012).

Monograf: Model-Model Alometrik untuk Pendugaan

Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan

di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Kusmana, C., Hidayat, T., Tiryana, T., Rusdiana, O., &

Istomo. (2018). Allometric models for above- and

below-ground biomass of Sonneratia spp. Global

Ecology and Conservation, 15, e00417.

https://doi.org/10.1016/j.gecco.2018.e00417

Kuyah, S., Dietz, J., Muthuri, C., Jamnadass, R., Mwangi, P.,

Coe, R., & Neufeldt, H. (2012). Allometric equations for

estimating biomass in agricultural landscapes: I.

Aboveground biomass. Agriculture, Ecosystems &

Environment, 158, 216–224.

https://doi.org/10.1016/j.agee.2012.05.011

Larjavaara, M., & Muller-Landau, H. C. (2013). Measuring

tree height: a quantitative comparison of two common

field methods in a moist tropical forest. Methods in

Ecology and Evolution, 4(9), 793-801.

https://doi.org/10.1111/2041-210X.12071

Magnussen, S., Kleinn, C., & Fehrmann, L. (2020). Wood

volume errors from measured and predicted heights.

European Journal of Forest Research, 139(2), 169–178.

https://doi.org/10.1007/s10342-020-01257-9

MAP. (2018). RKUPHHK-HA dalam Hutan Alam pada

Hutan Produksi Berbasis IHMB Periode Tahun 2018–

2027. Jakarta: MAP (PT Mahakarya Agra Pesona).

Mardiatmoko, G., Kastanya, A., & Hatulesila, J. W. (2016).

Persamaan allometrik pala (Myristica fragrans Houtt)

untuk pendugaan biomassa atas tanah pada lahan

agroforestri guna mendukung program REDD+ di

Maluku. Jurnal Makila, 9(1), 97–107.

Maulana, S. I., & Pandu, J. (2011a). Persamaan-persamaan

allometrik genera Instia sp. untuk pendugaan total

biomassa atas tanah pada kawasan hutan tropis Papua.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 7(4),

275–284.

Maulana, S. I., & Pandu, J. (2011b). Persamaan-persamaan

allometrik untuk pendugaan total biomassa atas tanah

pada genera Pometia di kawasan hutan tropis Papua.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 8(4),

288–298.

MoEF. (2018). The State of Indonesia's Forests 2018.

Jakarta: MoEF (Ministry of Environment and Forestry).

Molto, Q., Hérault, B., Boreux, J.-J., Daullet, M., Rousteau,

A., & Rossi, V. (2014). Predicting tree heights for

biomass estimates in tropical forests – a test from French

Guiana. Biogeosciences, 11(12), 3121–3130.

https://doi.org/10.5194/bg-11-3121-2014

Molto, Q., Rossi, V., & Blanc, L. (2013). Error propagation

in biomass estimation in tropical forests. Methods in

Ecology and Evolution, 4(2), 175–183.

https://doi.org/10.1111/j.2041-210x.2012.00266.x

Picard, N., Saint-André, L., & Henry, M. (2012). Manual for

Building Tree Volume and Biomass Allometric

Equations: from Field Measurement to Prediction.

Rome: FAO/CIRAD.

Pinheiro, J., Bates, D., DebRoy, S., & Sarkar, D. (2020).

nlme: Linear and Nonlinear Mixed Effects Models: R

package version 3.1-148. Retrieved from

https://CRAN.R-project.org/package=nlme

Puc-Kauil, R., Ángeles-Pérez, G., Valdéz-Lazalde, J.,

Reyes-Hernández, V., Dupuy-Rada, J., Schneider, L., . . .

García-Cuevas, X. (2020). Allometric equations to

estimate above-ground biomass of small-diameter

mixed tree species in secondary tropical forests.

[Allometric equations to estimate above-ground

biomass of small-diameter mixed tree species in

secondary tropical forests]. iForest - Biogeosciences and

Forestry, 13(3), 165–174.

https://doi.org/10.3832ifor3167-013

R Core Team. (2020). R: A language and environment for

statistical computing. Vienna, Austria: R Foundation for

Statistical Computing. Retrieved from URL

https://www.R-project.org/

Rawlings, J. O., Pantula, S. G., & Dickey, D. A. (1998).

Applied Regression Analysis: A Research Tool (Second

ed.). New York: Springer.

Réjou-Méchain, M., Tanguy, A., Piponiot, C., Chave, J., &

Hérault, B. (2017). biomass: an r package for estimating

above-ground biomass and its uncertainty in tropical

forests. Methods in Ecology and Evolution, 8(9), 1163–

1167. https://doi.org/10.1111/2041-210x.12753

Rutishauser, E., Noor’an, F., Laumonier, Y., Halperin, J.,

Rufi’ie, Hergoualc’h, K., & Verchot, L. (2013). Generic

allometric models including height best estimate forest

biomass and carbon stocks in Indonesia. Forest Ecology

and Management, 307, 219–225.

https://doi.org/10.1016/j.foreco.2013.07.013

Sanquetta, C. R., Dalla Corte, A. P., Behling, A., de Oliveira

Piva, L. R., Péllico Netto, S., Rodrigues, A. L., &

Sanquetta, M. N. I. (2018). Selection criteria for linear

regression models to estimate individual tree biomasses

in the Atlantic Rain Forest, Brazil. Carbon Balance and

Management, 13(1), 25. https://doi.org/10.1186/s13021-

018-0112-6

Sileshi, G. W. (2014). A critical review of forest biomass

estimation models, common mistakes and corrective

measures. Forest Ecology and Management, 329, 237–

254. https://doi.org/10.1016/j.foreco.2014.06.026

Stas, S. M., Rutishauser, E., Chave, J., Anten, N. P. R., &

Laumonier, Y. (2017). Estimating the aboveground

Page 40: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…

(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)

101

biomass in an old secondary forest on limestone in the

Moluccas, Indonesia: Comparing locally developed

versus existing allometric models. Forest Ecology and

Management, 389, 27–34.

https://doi.org/10.1016/j.foreco.2016.12.010

Tiryana, T., Tatsuhara, S., & Shiraishi, N. (2011). Empirical

models for estimating the stand biomass of teak

plantations in Java, Indonesia. Journal of Forest

Planning, 16(Special_Issue), 177–188.

https://doi.org/10.20659/jfp.16.Special_Issue_177

van Breugel, M., Ransijn, J., Craven, D., Bongers, F., & Hall,

J. S. (2011). Estimating carbon stock in secondary

forests: Decisions and uncertainties associated with

allometric biomass models. Forest Ecology and

Management, 262(8), 1648–1657.

https://doi.org/10.1016/j.foreco.2011.07.018

Zanne, A., Lopez-Gonzalez, G., Coomes, D., Ilic, J., Jansen,

S., Lewis, S., & Chave, J. (2009). Global Wood Density

Database. Retrieved from

https://datadryad.org/stash/dataset/doi:10.5061/dryad.2

34.

Page 41: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi…

(Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad Muhammad)

103

PENGARUH TINGKAT KEMASAKAN BUAH DAN PERLAKUAN EKSTRAKSI

TERHADAP DAYA KECAMBAH BENIH LANGUSEI (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)

EFFECT OF FRUIT MATURITY AND EXTRACTION TREATMENT ON GERMINATION

PERCENTAGE OF LANGUSEI (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq))

Arif Irawan1*, Iwanuddin2, Jafred E Halawane3 dan Fuad Muhammad4

1Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Diponegoro

Jl. Imam Bardjo, S.H. No. 5, Semarang Kode Pos 50241 Tel. (024) 8453635 *E-mail: [email protected] 2Taman Nasional Wakatobi

Jl. Dayanu Iksanuddin No.71 Kota Baubau-Sulawesi Tenggara 93724 3Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado

Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado, Sulawesi Utara 95259

Telp. +62 85100666683 4Departemen Biologi Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro

Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang Semarang Kode Pos 50275

Diterima: 2 September 2020; Direvisi: 9 Oktober 2020; Disetujui: 23 November 2020

ABSTRAK

Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq) merupakan salah satu diantara flora endemik Sulawesi yang

keberadaannya semakin langka. Usaha untuk menjaga keberadaan jenis Ficus minahasae dengan mengetahui

informasi teknik budidaya jenis langusei khususnya mengenai teknik perkecambahan yang sesuai perlu menjadi

perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi yang sesuai

terhadap daya kecambah benih langusei. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah acak lengkap yang

disusun dengan pola faktorial. Faktor pertama adalah klasifikasi tingkat kemasakan benih yang dibedakan berdasarkan

kategori warna buah : 1) Buah berwarna oranye-kecokelatan, 2) Buah berwarna oranye-kemerahan, 3) Buah berwarna

merah, dan 4) Buah berwarna merah-kehitaman, sedangkan faktor kedua adalah perlakuan ekstraksi buah yang terdiri

dari : 1) Ektraksi dengan perlakuan kering angin selama 24 jam, 2) Ektraksi dengan perlakuan jemur selama 12 jam,

dan 3) Ektraksi dengan perlakuan rendam air selama 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemasakan

buah dan perlakuan ekstraksi yang sesuai untuk menghasilkan daya kecambah benih langusei yang optimal adalah

pada kondisi buah pra-masak (warna buah oranye-kecokelatan dan oranye-kemerahan) dengan perlakuan ektraksi yang

digunakan adalah direndam selama 24 jam.

Kata kunci: daya kecambah, ekstraksi, kemasakan buah, langusei

ABSTRACT

Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq) is one of the endemic flora of Sulawesi which existence is increasingly

threatened. Attempts to maintain the existence of Ficus minahassae species by understanding the cultivation techniques

of the langusei species, especially regarding the appropriate germination techniques, need to be addressed. This study

aims to determine the level of fruit maturity and the appropriate extraction treatment for the germination of langusei

seeds. The experimental design used in this study was a complete randomization design which is arranged in a

factorial pattern. The first factor is the classification of the level of seed maturity based on fruit color categories: 1)

Orange-brown fruit, 2) Orange-reddish fruit, 3) Red fruit, and 4) Red-black fruit, while the second factor is the fruit

extraction treatment which consists of: 1) Extraction with dry wind treatment for 24 hours, 2) Extraction with drying

treatment for 12 hours, and 3) Extraction with water treatment for 24 hours. The results showed that the fruit maturity

level and the appropriate extraction treatment to produce optimal langusei seed germination were in the orange-brown

and orange-reddish fruit (mature fruits prior to ripening) which was soaked in water for 24 hours.

Keywords: extraction, ficus, fruit maturity, germination percentage, Langusei.

Page 42: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:103-109 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5397

104

PENDAHULUAN

Pulau Sulawesi merupakan salah satu kawasan

wallaceae yang memiliki arti penting karena di

dalamnya terdapat banyak jenis-jenis flora endemik,

langka serta unik. Langusei (Ficus minahassae

(Teysm.et.Vr.) Miq) merupakan salah satu diantara

flora endemik Sulawesi yang tersebar di Pulau

Sulawesi bagian utara, kepulauan Sangir dan Talaud.

Tanaman ini dapat dijumpai di hutan-hutan primer,

terutama di sepanjang sungai, sampai dengan

ketinggian lokasi 135 dari permukaan laut. Pitopang

et al., (2008) menyatakan bahwa pohon Ficus

minahassae berukuran kecil, batang mengeluarkan

getah warna putih, batangnya sering ditutupi rapat

oleh buah yang panjang dan rapat menyerupai

janggut yang tergantung. Seperti fungsi Ficus pada

umumnya, langusei juga memiliki kemampuan

menyimpan cadangan air pada musim penghujan

dengan baik dan mengeluarkannya pada musim

kemarau secara teratur.

Keberadaan Langusei menjadi penting bagi

Sulawesi Utara karena bersama fauna tarsius telah

dijadikan maskot provinsi ini. Selain itu Mogea

(2002) juga menyampaikan bahwa Ficus minahassae

diketahui merupakan salah satu habitat satwa kuskus,

monyet/yaki, dan buahnya merupakan makanan

satwa hutan. Langusei oleh masyarakat Sulawesi

Utara juga dikenal sebagai salah satu tanaman obat

yang biasa digunakan untuk membantu proses

kehamilan dan bersalin (Kaunang dan Samuel, 2017).

Lebih lanjut diketahui bahwa daun langusei juga

digunakan sebagai antirematik dan dapat

menyembuhkan bisul dan memar (Olowa et al.,

2012).

Berdasarkan hasil penelitian Simbala (2007)

diketahui bahwa langusei merupakan salah satu jenis

tanaman yang semakin langka keberadaannya, hasil

pengamatan yang dilakukan dikawasan Taman

Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBW)

menyatakan bahwa jenis ini sudah semakin sulit

ditemukan (hanya terdapat pada lokasi tertentu

misalnya di Hutan Tumokang dan Hutan G. Kabila).

Yanengga et al. (2015) juga menyatakan bahwa

berdasarkan hasil inventarisasi yang telah dilakukan,

Ficus minahassae berada pada 3 tingkatan jumlah

individu terendah yang ditemukan dari penghitungan

9 (sembilan) jenis Ficus di kawasan Taman Hutan

Raya Gunung Tumpa. Lebih lanjut juga disampaikan

bahwa penyebaran kelompok Ficus berdasarkan

tingkat tumbuh secara umum menunjukkan bahwa

angka tertinggi terdapat pada fase pohon dan tiang,

sedangkan angka terendah pada fase sapihan diikuti

oleh semai. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat

kecenderungan adanya kesulitan jenis Ficus untuk

beregenerasi secara alami. Usaha untuk menjaga

keberadaan jenis Ficus minahassae selayaknya perlu

menjadi perhatian, hal ini berkaitan dengan terus

meningkatnya degradasi lahan dan deforestasi yang

tentunya sangat mempengaruhi keberadaan dan

kelestarian Ficus minahassae. Mengantisipasi

permasalahan tersebut, salah satu tindakan yang

dapat dilakukan adalah mengetahui informasi

budidaya jenis Langusei khususnya mengenai teknik

perkecambahan yang sesuai. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui tingkat kemasakan buah optimal

dan perlakuan ekstraksi yang sesuai terhadap daya

kecambah benih langusei.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Mei

Tahun 2019 di Persemaian Permanen BPDASHL

Tondano Kima Atas yang berada di komplek kantor

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Manado, Provinsi Sulawesi

Utara.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah buah langusei yang berasal dari Desa Kima

Atas, Kecamatan Mapanget, Kota Manado. Peralatan

yang digunakan berupa bak tabur, media pasir, label,

dan alat tulis.

Prosedur Kerja

Buah langusei yang digunakan dalam penelitian

ini adalah buah yang diunduh langsung dari pohon

yang terdapat di sekitar kawasan wisata air terjun

Kima Atas. Buah dipisahkan berdasarkan tingkat

kemasakan dan selanjutnya diekstraksi menggunakan

beberapa perlakuan. Klasifikasi tingkat kemasakan

benih dibedakan berdasarkan kategori warna buah

(oranye-kecokelatan; oranye-kemerahan; merah; dan

merah-kehitaman). Buah tersebut selanjutnya

diekstraksi menggunakan beberapa perlakuan seperti

ekstraksi kering (kering angin dan penjemuran) dan

ekstraksi basah berupa perendaman. Ekstraksi kering

dilakukan dengan mengeringkan buah terlebih dahulu

dengan kondisi kering angin selama 24 jam dan

dijemur di bawah sinar matahari selama 12 jam untuk

menghilangkan air dan kandungan minyak yang

terdapat pada buah. Setelah kondisi kering, buah

disaring untuk memisahkan antara daging buah dan

benih langusei. Sedangkan untuk perlakuan

Page 43: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi…

(Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad Muhammad)

105

perendaman dilakukan dengan merendam buah

dalam air selama 24 jam dan selanjutnya setelah

daging hancur benih dipisahkan menggunakan

saringan kain untuk mendapatkan benihnya. Setiap

perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga) kali dengan

masing-masing ulangan terdiri dari 50 benih. Setiap

ulangan ditabur pada bak plastik dan selanjutnya

dilakukan pengamatan.

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah acak lengkap yang disusun dengan pola

faktorial dengan faktor pertama adalah klasifikasi

tingkat kemasakan benih yang dibedakan

berdasarkan kategori warna buah : 1) Buah berwarna

oranye-kecokelatan, 2) Buah berwarna

oranye-kemerahan, 3) Buah berwarna merah, dan 4)

Buah berwarna merah-kehitaman, sedangkan faktor

kedua adalah perlakuan ekstraksi buah yang terdiri

dari : 1) Ektraksi dengan perlakuan kering angin

selama 24 jam, 2) Ektraksi dengan perlakuan jemur

selama 12 jam, dan 3) Ektraksi dengan perlakuan

rendam air selama 24 jam. Setiap perlakuan diulang

sebanyak 3 (tiga) kali dengan masing-masing

ulangan terdiri dari 50 benih. Setiap ulangan ditabur

pada bak plastik dan selanjutnya dilakukan

pengamatan daya kecambah benihnya dengan rumus:

Keterangan :

∑KN = Jumlah benih yang berkecambah normal

N = Jumlah benih yang ditabur

Analisis Data

Hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis

ragam dan untuk melihat perbedaan signifikansi

dilakukan uji lanjut dengan Duncan’s Multiple Range

Test (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis ragam dapat diketahui

bahwa interaksi perlakuan tingkat kemasakan buah

dan perlakuan ekstraksi memberikan pengaruh yang

nyata terhadap daya berkecambah benih langusei

(Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat

kemasakan buah dan perlakuan awal sebelum benih

Langusei disemai sangat mempengaruhi kemampuan

berkecambah benih langusei tersebut.

Gambar 1. (a) Buah langusei yang masih melekat pada tangkai buah, (b) Perlakuan tingkat kemasakan benih

Langusei berdasarkan warna buah, 1) Buah berwarna oranye-kecokelatan; 2) Buah berwarna

oranye-kemerahan; 3) Buah berwarna merah; dan 4) Buah berwarna merah-kehitaman, (c) Benih

Langusei setelah diektraksi, 1) Benih langusei setelah diektraksi berasal dari buah berwarna

oranye-kecokelatan; 2) Benih langusei setelah diektraksi berasal dari buah berwarna

oranye-kemerahan; 3) Benih langusei setelah diektraksi berasal dari buah berwarna merah; dan 4)

Benih langusei setelah diektraksi berasal dari buah berwarna merah-kehitaman.

(1) (2) (3) (4)

(c) (b) (a)

(1) (2) (3) (4)

(a)

Page 44: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:103-109 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5397

106

Tabel 1. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan tingkat kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi terhadap

daya berkecambah benih langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)

Sumber Variasi Derajat

Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah

Tingkat kemasakan buah 3 6.630,56 2.210,19*

Perlakuan ekstraksi 2 9.908,22 9.908,22*

Interaksi 6 6.715,78 1.119,29*

Galat 24 482,67 20,11

Total 35 23.737,22

Keterangan : * = nyata pada tingkat kepercayaan 95 %

Uji lanjut untuk mengetahui daya kecambah

terbaik dari pengaruh interaksi tingkat kemasakan

buah dan perlakuan ekstraksi benih ditampilkan pada

Tabel 2.

Tabel 2. Uji lanjut pengaruh interkasi tingkat

kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi

terhadap daya kecambah benih langusei

(Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq) No Perlakuan Daya

berkecambah

(%)

1. Oranye-kecokelatan*rendam 82,67 a

2. Oranye-kemerahan*rendam 78,00 ab

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Oranye-kemerahan*kering angin

Oranye-kecokelatan*jemur

Merah*kering angin

Merah*rendam

Merah-kehitaman*kering angin

Oranye-kemerahan*jemur

Oranye-kecokelatan*kering angin

Merah-kehitaman*rendam

72,67 bc

65,33 cd

64,67 d

64,00 d

60,67 d

52,67 e

48,00 e

48,00 e

11.

12.

Merah*jemur

Merah-kehitaman*jemur

2,67 f

0,00 f

Keterangan : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama

dalam suatu kolom menunjukkan tidak

berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa daya

kecambah tertinggi dari interaksi perlakuan tingkat

kemasakan buah dengan perlakuan ekstraksi

dihasilkan dari buah langusei berwarna

oranye-kecokelatan dengan perlakuan ekstraksi

direndam selama 24 jam, walaupun hasil tersebut

secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan

buah langusei berwarna oranye-kemerahan dengan

perlakuan ekstraksi rendam selama 24 jam. Lestari

dan Surahman (2012) menyatakan bahwa tingkat

kemasakan buah berpengaruh nyata terhadap

viabilitas benih. Benih yang telah masak secara

fisiologis biasanya dihasilkan dari buah yang telah

masak secara morfologi. Ningsih (2012) menyatakan

bahwa proses pematangan fisiologis pada buah dan

benih biasanya terjadi secara bersamaan, sehingga

waktu matangnya buah biasanya bersamaan dengan

waktu matangnya benih. Penentuan tingkat

kemasakan buah bervariasi tergantung pada jenisnya

(Wulananggraeni et al., 2016). Tingkat kemasakan

buah (masak fisiologis) penting diketahui guna

menentukan waktu panen buah yang tepat, karena

waktu pemanenan sangat mempengaruhi vigor dan

viabilitas benih (Surahman et al., 2012). Salah satu

kriteria yang sering digunakan dalam menentukan

tingkat kemasakan buah adalah warna kulit buah

(Sutan, 2015). Tingkat warna buah berkaitan erat

dengan proses pemasakan buah atau benihnya

(Yuniarti et al., 2016).

Langusei memiliki karakteristik waktu

kemasakan buah yang tidak seragam, dalam satu

tangkai biasanya terdapat beberapa rumpun buah, dan

setiap rumpun buah tersusun atas beberapa polong

buah yang masih muda hingga buah yang telah tua.

Seymour et al. (2013) menyatakan bahwa tingkat

kemasakan fisiologis pada setiap tanaman bervariasi

bahkan dalam satu pohon juga bervariasi. Tingkat

kemasakan buah langusei dapat dilihat dari Gambar

1. Buah pra-masak ditandai dengan warna kulit buah

oranye-kecoklatan dengan kulit agak keras,

selanjutnya buah berubah menjadi oranye-kemerahan

dengan kulit buah sedikit lunak, kemudian berubah

menjadi warna merah dan terakhir menjadi warna

merah-kehitaman dengan kulit buah yang sangat

lunak. Setyowati dan Fadli (2015) menyatakan

bahwa perubahan warna yang tejadi pada buah

disebabkan peningkatan produksi gula dan kadar air

pada daging buah sehingga buah berubah menjadi

lunak. Lebih lanjut disampaikan bahwa terjadinya

perubahan warna pada buah disebabkan karena

menurunnya kadar klorofil disertai dengan

meningkatnya kadar karotenoid dan antosianin. Sutan

(2015) menambahkan bahwa perubahan warna kulit

juga sejalan dengan terjadinya perubahan sifat fisik

dan kimia yang terjadi pada buah baik kulit maupun

pada daging buah. Perubahan fisik yang dapat dilihat

secara visual adalah perubahan warna, sedangkan

perubahan fisik yang harus dirasakan dengan

menggunakan panca indera diantaranya adalah

kekerasan. Selanjutnya Sutan (2015) juga

menyatakan bahwa faktor kekerasan daging buah

Page 45: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi…

(Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad Muhammad)

107

sangat dipengaruhi oleh tingginya protopektin pada

kulit buah yang tinggi, sedangkan pada kulit buah

yang lunak protopektin sudah terombak menjadi

pektin.

Buah langusei dengan warna oranye-kecokelatan

pada dasarnya masih merupakan buah kategori

pra-masak karena masih memiliki kulit buah sedikit

keras. Berdasarkan hasil ini dapat terlihat bahwa

benih langusei telah memasuki masa masak secara

fisiologis sejak buah pada kondisi pra-masak (warna

oranye-kecokelatan). Masak fisiologis akan

menentukan waktu pengunduhan dan kualitas buah

yang dipanen (Perotti et al., 2014). Pada tingkatan ini,

benih telah memiliki cadangan makanan yang cukup

dan juga pembentukan embrio secara sempurna.

Cadangan makanan dalam benih merupakan bahan

yang akan dihidrolisis selama perkecambahan dan

ditransfer ke poros embrio untuk pertumbuhan semai

(Setyowati dan Fadli, 2015). Buah yang dipanen

tepat waktu atau pada saat masak fisiologis akan

menghasilkan benih yang berkualitas lebih baik

dibandingkan dengan buah yang dipanen pada awal

dan akhir masak fisiologis (Aminah dan Siregar,

2019).

Kondisi masaknya benih sebelum masaknya buah

pada benih Langusei juga terjadi pada benih lain

seperti benih tembesu dan salam. Junaidah et al.

(2014) menyatakan buah tembesu yang muda

(berwarna hijau) memiliki daya vigor yang lebih baik

dibandingkan benih yang berasal dari buah tembesu

yang matang dan tingkat kematangan buah yang

lebih lanjut berpotensi menurunkan kemampuan

benih untuk berkecambah. Sedangkan Setyowati dan

Fadli (2015) menyatakan bahwa untuk keperluan

benih salam (Syzygium polyanthum), buah dapat

dipanen pada tingkat kematangan pra-matang dengan

ciri warna buah hijau kemerahan. Walaupun terdapat

juga benih yang masak fisiologis bersamaan dengan

masaknya buah seperti yng terjadi pada benih kepuh

(Sterculia foetida Linn.) (Sudrajat et al., 2011); dan

jarak pagar (Lestari dan Surahman, 2012). Nilai daya

berkecambah buah Langusei pra-masak yang lebih

baik dibandingkan kondisi buah masak dapat

disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah

perubahan fisiologis tanaman selama proses

pemasakan benih. Beberapa teori umumnya

mengaitkan adanya perubahan kondisi fisiologi

selama proses pemasakan benih yang dapat berbeda

intensitasnya antar jenis tumbuhan, seperti dalam hal

penurunan kadar air, ketersediaan enzim dan aktivitas

metabolisme yang dapat meningkatkan ataupun

menurunkan kemampuan benih untuk berkecambah

(Schmidt, 2000).

Metoda ekstraksi benih dari buah ditentukan oleh

karakteristik dari masing-masing buah (Yuniarti et

al., 2013). Lebih lanjut disampaikan bahwa metoda

ekstraksi benih akan mempengaruhi mutu fisik dan

fisiologis benih yang dihasilkan. Benih langusei

terdapat dalam polong buah yang dilapisi cairan

berminyak yang sulit dipisahkan jika tanpa perlakuan

ekstraksi. Perlakuan ekstaksi rendam air selama 24

jam merupakan perlakuan ekstraksi yang sesuai

untuk benih langusei terutama jika dibandingkan

dengan perlakuan ekstraksi jemur. Perlakuan sejenis

juga sesuai dengan benih Macaranga gigantea

(Susanto et al., 2016) dan Piper aduncum (Susanto et

al., 2018).

Interaksi perlakuan ekstraksi jemur dengan buah

warna merah dan merah-kehitaman memberikan nilai

persen terendah dibandingkan perlakuan interaksi

lainnya. Setyowati (2009) menyatakan bahwa apabila

ditinjau dari kondisi kadar air, biji pra-masak

mempunyai kadar air awal yang lebih tinggi dari

pada biji masak. Yuniarti et al. (2016) menyatakan

bahwa buah trema yang masih belum masak

fisiologis (warna hijau) mempunyai kadar air buah

dan kadar air benih paling tinggi kemudian nilainya

menurun pada warna buah coklat hingga titik nilai

terendah pada buah berwarna hitam. Buah langusei

dengan warna merah dan merah-kehitaman diduga

memiliki kandungan kadar air yang lebih rendah jika

dibandingkan dengan buah berwarna

oranye-kecoklatan dan oranye-kemerahan. Perlakuan

penjemuran yang dilakukan terhadap buah Langusei

berwarna merah dan merah-kehitaman

mengakibatkan benih berada dibawah kadar air kritis

sehingga benih sudah tidak mampu berkecambah.

Benih langusei dapat dikategorikan benih yang

peka terhadap pengeringan sehingga pengeringan

cepat (langsung dibawah sinar matahari) akan

menurunkan daya berkecambah benih dibandingkan

pengeringan secara perlahan (kering angin). Benih

langusei merupakan benih yang membutuhkan kadar

air yang tinggi untuk dapat berkecambah secara

optimal. Benih dengan karakteristik tersebut

merupakan salah sau ciri yang dimiliki benih

reklsitran atau semi rekalsitran, hal ini disebabkan

karena benih dengan kategori tersebut akan

mengalami penurunan daya kecambah apabila terjadi

penurunan kadar air benih. Berjak dan Pammenter

(2013) menyatakan bahwa benih rekalsitran

merupakan benih yang memiliki kadar air tinggi,

hanya dapat disimpan dalam jangka waktu yang

pendek (berkisar dari beberapa hari hingga beberapa

Page 46: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:103-109 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5397

108

bulan, tergantung dari jenisnya), sangat mudah

terhidrasi, tidak tahan dengan pengeringan yang

intensif dan sensitif terhadap suhu rendah. Hasil dari

penelitian benih Langusei yang menunjukan bahwa

daya kecambah dari perlakuan penjemuran yang

lebih rendah pada setiap perlakuan tingkat

kemasakan mengindikasikan penurunan kadar air

benih yang disebabkan perlakuan penjemuran

berpengaruh terhadap daya kecambahnya. Yuniarti et

al. (2016) juga menambahkan bahwa benih

rekalsitran tidak tahan terhadap pengeringan dan

disimpan pada temperatur rendah. Halimursyadah

(2012) juga menjelaskan bahwa secara struktural

kadar air tinggi diperlukan untuk mempertahankan

struktur sel benih rekalsitran. Perlakuan ekstraksi

penjemuran cenderung lebih sesuai untuk

benih-benih ortodok yang tidak mengharuskan kadar

air benih yang tinggi untuk berkecambah. Yuniarti et

al. (2013) menyatakan bahwa metode ekstraksi benih

yang terbaik untuk benih krasikarpa sebagai benih

ortodok yaitu dengan cara pengeringan seed drier

selama 4 jam atau dengan cara penjemuran sinar

matahari selama 3 hari. Sedangkan Arifin et al.

(2018) menyatakan bahwa perlakuan cara ekstraksi

kering dengan penjemuran selama dua hari untuk

menghilangkan daging buah yang menempel pada

biji jabon merah menghasilkan daya berkecambah

yang rendah yaitu 27,25 %. Lebih lanjut disampaikan

bahwa hal tersebut disebabkan oleh rendahnya kadar

air yang terkandung dalam benih jabon merah yang

diekstraksi dengan cara penjemuran selama dua hari.

Jabon merah diketahui juga merupakan salah satu

jenis benih yang tergolong benih rekalsitran atau

semirekalsitran (Yudohartono, 2013). Surahman et

al. (2012) menyatakan bahwa metode pengeringan

seringkali merupakan faktor yang sangat kritis pada

tahap pengolahan benih, karena memberikan resiko

yang tinggi terhadap kemunduran benih. Pendugaan

karakterisik benih Ficus minahassae yang dihasilkan

dalam penelitian ini juga sejalan dengan yang

disampaikan oleh (Effendi, 2012) mengenai

karakteristik benih sejenis yaitu benih nyawai (Ficus

variegata Blume) yang tidak dapat disimpan lama

atau tergolong jenis semi rekalsitran.

KESIMPULAN

Tingkat kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi

yang sesuai untuk menghasilkan daya kecambah

benih langusei yang optimal adalah pada kondisi

buah pra-masak (warna buah oranye-kecokelatan dan

oranye-kemerahan) dengan perlakuan ektraksi yang

digunakan adalah direndam selama 24 jam.

SARAN

Perlu dilakukan uji coba lebih lanjut untuk

mengetahui kandungan kadar air dan daya simpan

optimal benih langusei.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada

Kepala BP2LHK Manado, Mochlis, S.Hut.T, MP,

Manajer Persemaian Permanen BPDASHL Tondano

Kima Atas, Prayitno, S.Hut serta petugas persemaian

Eky Kaeng dan Opa (Agustinus Pangeke).

KONTRIBUSI

Arif Irawan berperan sebagai kontributor utama,

serta Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad

Muhammad berperan sebagai kontributor anggota

dalam artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, A., & Siregar, N. (2019). Pengaruh waktu

pengunduhan dan warna kulit buah terhadap daya

berkecambah dan pertumbuhan bibit mindi (Melia

azedarach Linn). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan,

7(1), 21-30.

Arifin, Wardah, & Irmasari. (2018). Uji mutu benih jabon

merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil)

pada berbagai cara ekstraksi benih. Jurnal Warta

Rimba, 6(1), 32-38.

Berjak, P., & Pammenter, N. W. (2013). Implications of the

lack of desiccation tolerance in recalcitrant seeds.

Frontiers in Plant Science, 4, 1–9.

Effendi, R. (2012). Kajian keberhasilan pertumbuhan

tanaman nyawai (Ficus variegata Blume) di KHDTK

Cikampek, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan

Tanaman, 9(2), 95 – 104.

Halimursyadah. (2012). Pengaruh kondisi simpan terhadap

viabilitas dan vigor benih Avicennia marina

(Forsk.)Vierh. pada beberapa periode simpan. Jurnal

Agrotropika, 17(2), 43-51.

Junaidah, Sofyan, A., & Nasrun. (2014). Pengaruh tingkat

kemasakan buah terhadap potensi dan perkecambahan

benih tembesu (Fagraea fragrans Roxb.). Galam,

VII(1), 1-7.

Kaunang, E, N, S., & Semuel, M, Y. (2017). Botanical and

phytochemical constituents of several medicinal plants

from mount Klabat North Minahasa. Journal of

Medicinal Plants Studies, 5(2), 29-35.

Lestari, Y, K., & Surahman, M. (2012). Perkecambahan

benih pada berbagai tingkat kemasakanbuah beberpa

aksesi jarak pagar. Jurnal Agrivigor, 9(2), 122-134.

Mogea, J, P. (2002). Preliminary studi on the palm flora of

the Lore Lindu National Park, Central Sulawesi,

Indonesia. Biotropia, 18, 1-20.

Ningsih, E, T. (2012). Pengaruh Tingkat Kematangan Buah

Terhadap Daya Berkecambah Benih. Skripsi tidak

diterbitkan, Politeknik Negeri Lampung.

Olowa, L, F., Torres, M, A, J., Aranico, E, C., & Demayo,

C, G. (2012). Medicinal plants used by the higaonon

tribe of rogongon, Iligan City, Mindanao, Philippines.

Page 47: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi…

(Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad Muhammad)

109

Advances in Environmental Biology, 6(4), 1442-1449.

Perotti, V, E., Moreno, A., & Podesta, F. (2014).

Physiological aspect of fruit ripening. Mitochondrion,

17, 1–6.

Pitopang, R., Khaeruddin, I, Tjoa, A., Burhanuddin, I, F.

(2008). Pengenalan Jenis-Jenis Pohon yang Umum di

Sulawesi. Palu (ID): UNTAD Press.

Schmidt, L. (2000). Pedoman Penanganan Benih Tanaman

Hutan tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal

Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen

Kehutanan.

Setyowati, N. (2009). The effect of seed maturity,

temperature and storage period on vigor of Picrasma

javanica Bl. seedling. Biodiversitas, 10(1), 50–53.

Setyowati, N., & Fadli, A. (2015). Penentuan tingkat

kematangan buah salam (Syzgium polyanthum

(WIGHT) WALPERS) sebagai benih dengan uji

kecambah dan vigor biji. Widyariset, 1(1), 31–40.

Seymour, G, B., Ostergaard, L., Chapman N, H., Knapp, S.,

& Martin, C. (2013). Fruit development and ripening.

Annu. Rev. Plant Biol. 64, 219–241.

Simbala, H, E, I. (2007). Keanekaragaman Kloristik dan

Pemanfaatannya sebagai Tanaman Obat di Kawasan

Konservasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Disertasi tidak diterbitkan, IPB, Bogor.

Sudrajat, D, J., Nurhasybi, & Syamsuwida, D. (2011).

Teknologi untuk memperbaiki perkecambahan benih

kepuh (Sterculia foetida Linn.). Jurnal Penelitian

Hutan Tanaman, 8(5), 301-314.

Surahman,M., Murniati,E., & Nisya, F, N. (2012).

Pengaruh tingkat kemasakan buah, metode ekstraksi

buah, metode pengeringan, jenis kemasan, dan lama

penyimpanan pada mutu benih jarak pagar (Jatropha

curcas). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 18(2), 73-78.

Susanto, D., Ruchiyat, D., Sutisna, M., & Amirta, R.

(2016). Flowering, fruiting, seed germination and

seedling growth of Macaranga gigantea. Biodiversitas,

17(1), 192-199.

Susanto, D., Sudrajat., Suwinarti, W., & Amirta, R. (2018).

Seed germination and cutting growth of Piper aduncum.

Earth and Enviromental Science, 144, 1-7.

Sutan, S, M. (2015). Karakteristik sifat fisik-kimia buah

manggis pada beberapa umur panen. Jurnal Teknologi

Pertanian Andalas, 19(2), 7-44

Wulananggraeni, R., Damanhuri., & Purnamaningsih, S, L.

(2016). Pengaruh perbedaan tingkat kemasakan buah

pada 3 genotip mentimun (Cucumis sativus L.)

terhadap kualitas benih. Jurnal Produksi Tanaman, 4(5),

332-341.

Yanengga, A., Langi, M, A., Kainde, R, P., & Nurmawan,

W. (2015). Penyebaran Ficus spp. di hutan Gunung

Tumpa, Provinsi Sulawesi Utara. Cocos, 6(3), 1-8.

Yudohartono, T, P. (2013). Potensi dan penanganan benih

jabon merah (Anthocephalus Macrophyllus Roxb.) dari

provenan Sulawesi Utara. Tekno Hutan Tanaman,.6(1),

21–27.

Yuniarti, N., Kurniaty, R., Danu, & Siregar, N. (2016).

Mutu fisik, fisiologis, dan kandungan biokimia benih

trema (Trema orientalis linn. blume) berdasaran tingkat

kemasakan buah. Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan,

4(2), 53-65.

Yuniarti, N., Megawati, & Leksono, B. (2013). Pengaruh

metode ekstraksi dan ukuran benih terhadap mutu

fisik-fisiologis benih Acacia crassicarpa. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 10(3), 129 – 137.

Yuniarti, N., Nurhasybi, & Darwo. (2016). Karakteristik

benih kayu bawang (Azadirachta excelsa

(Jack)Jacobs).terhadap tingkat pengeringan dan ruang

penyimpanan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 13(2),

105–112.

Page 48: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja…

(Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto)

111

KARAKTERISTIK SOSIO DEMOGRAFI DAN PRODUKTIVITAS PEKERJA

PEMANENAN DAUN KAYU PUTIH DI RPH NGLIPAR, KPH YOGYAKARTA

SOCIO DEMOGRAPHIC FACTORS AND WORK PERFORMANCE OF FOREST

WORKERS IN CAJUPUT LEAF HARVESTING AT RPH NGLIPAR, KPH YOGYAKARTA

Ratih Madya Septiana*, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto

Departemen Manajemen hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada

Jl. Agro No. 1 Bulaksumur, Sleman 55281; *Email: [email protected]

Diterima: 4 November 2019; Direvisi: 20 Februari 2020; Disetujui: 11 Desember 2020

ABSTRAK

Kegiatan pemanenan kayu putih merupakan aktivitas teknis kehutanan pada pengusahaan hasil hutan non kayu.

Produktivitas pemanenan daun kayu putih sangat dipengaruhi oleh aspek kapasitas sumber daya manusia maupun aspek

biofisik. Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi kondisi sosio-demografi pekerja pada pemanenan daun kayu

putih dan menganalisis standar prestasi kerja pemanenan di KPH Yogyakarta. Survei terhadap 100 sampel pekerja

digunakan untuk mengetahui karakteristik sosial demografi sedangkan pengamatan mendalam dilakukan terhadap 3

pekerja yang berbeda karakteristiknya untuk mengetahui prestasi kerja. Kondisi sosio demografi pekerja pada kegiatan

pemanenan daun kayu putih dilihat dari delapan karakteristik yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, jumlah tanggungan,

mata pencaharian, dan kepemilikan lahan. Pekerja memiliki usia rata-rata 58 tahun dan berjenis kelamin laki-laki.

Tingkat pendidikan yang dimiliki pekerja didominasi oleh lulus Sekolah Dasar (SD) sebesar 64 %. Jumlah tanggungan

setiap rumah tangga pekerja rata-rata 4 orang, dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Rata-rata kepemilikan

lahan pekerja pada kegiatan pemanenan daun kayu putih seluas 0,17 ha. Prestasi kerja pemanenan orang normal dalam

menyelesaikan pekerjaan pemanenan daun kayu putih di KPH Yogyakarta adalah sebesar 72,23 kg/jam.

Kata kunci : sosio-demografi, pemanenan, kayu putih

ABSTRACT

Cajuput leaf harvesting is a technical forest activity of non-timber forest products. The productivity of cajuput leaf

harvesting is strongly influenced by aspects of human resource capacity and biophysical aspects. This study aims to

identify the socio-demographic conditions of forest workers in cajuput leaves harvesting and to analyze the standards

performance of harvesting in FMU Yogyakarta. A survey of 100 samples of workers were used to determine socio-

demographic characteristics, while in-depth observations were made on 3 workers with different characteristics to

determine work performance. The socio-demographic conditions of workers in the cajuput leaf harvesting are seen from

eight characteristics, namely age, gender, education, number of dependents, livelihoods, and land ownership. Workers

have an average age of 58 years old and are male. The level of education possessed by workers is dominated by

graduating from elementary school (SD) by 64 %. The average number of dependents per worker household is 4 people,

with the main livelihood being farmers. The average land ownership of workers in cajuput leaf harvesting is 0.17 ha.

The work performance of harvesting for normal people in the FMU Yogyakarta is 72.23 kg / hour.

Keywords: socio demographic, harvesting, forest

PENDAHULUAN

Kayu putih (Melaleuca cajuput) merupakan salah

satu tanaman hutan serbaguna yang daun dan

rantingnya dapat diolah menjadi minyak kayu putih.

Kandungan cineol di dalamnya diakui sebagai bahan

obat tradisional tingkat dua. Cineol memiliki banyak

khasiat, antara lain memberikan efek mukolitik

(mengencerkan dahak), melegakan pernafasan, anti

inflamasi dan menurunkan kerusakan kasus paru

obstruktif kronis dengan baik seperti pada kasus

pasien dengan asma dan rhinosinusitis (Agustina &

Suharmiati, 2017; Sudradjat, 2020).

Produksi minyak kayu putih di Indonesia pada

tahun 2014 sebesar 450 – 500 ton/tahun (BPS, 2017),

Page 49: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:111-120 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5532

112

sedangkan produksi minyak kayu putih dunia

mencapai 6.000 ton/tahun (Kementrian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan RI, 2019). Produksi minyak

kayu putih di Provinsi Maluku dan Papua masing-

masing mencapai 21 ton/tahun, sedangkan di Jawa

mencapai 300 ton/tahun (BPS, 2017). Indonesia

merupakan salah satu pengimpor terbesar minyak

kayu putih di dunia, mengingat kebutuhan domestik

minyak kayu putih adalah 1.500 ton/tahun, masih

belum dapat dicukupi dari produksi dalam negeri.

Salah satu daerah hutan penghasil minyak kayu

putih di Jawa adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan

(KPH) Yogyakarta. Luas hutan kayu putih yang

dipanen daunnya diperkirakan 3.600 ha dengan

produksi daun sebanyak 4.163 ton/tahun atau 1,16 ton

per ha/tahun. Produksi minyak kayu putih yang

dihasilkan adalah sebanyak 39.323 liter/tahun dengan

rendemen sebesar 1 % (Dinas Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,

2019). Minyak kayu putih memberikan kontribusi

pendapatan asli daerah (PAD) yang tiap tahun terus

meningkat sejalan dengan peningkatan produksi dan

harga pasar minyak kayu putih. Pada tahun 2004

kontribusi pada PAD Yogyakarta sebesar Rp 3,5

milyar, meningkat menjadi Rp 9,8 milyar pada tahun

2019 (DLHK, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa

potensi kayu putih yang tinggi selama ini telah

menjadi komoditas utama dari usaha yang dilakukan

KPH Yogyakarta. Sebagai komoditas utama dari KPH

Yogyakarta kualitas dan kuantitas produk kayu putih

menjadi sangat penting. Hal ini sangat berhubungan

dengan kegiatan pemanenan daun kayu putih,

terutama sumberdaya manusia pekerjanya.

Pemanenan daun kayu putih merupakan salah satu

elemen penting dalam teknis produksi hasil hutan

minyak kayu putih. Dalam pelaksanaannya, kegiatan

ini harus mampu mengintegrasikan antara aspek

biofisik dan aspek sumberdaya manusia. Kedua aspek

tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang harus

dipertimbangkan, agar kegiatan pengelolaan hutan

yang dilakukan mampu mengakomodir kepentingan

ekologi, kepentingan ekonomi, dan kepentingan sosial

budaya. Sumberdaya manusia yang secara langsung

terlibat dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih

adalah para pekerja. Menurut Blumberg & Pringle

(1982) kemampuan melaksanakan kerja mengacu

pada kemampuan kognitif seorang pekerja sehingga

terkait dengan tingkat pengetahun pekerja, keahlian,

kecerdasan, serta kondisi fisik seperti umur, kondisi

keseshatan, ketahanan, stamina dan kemampuan

motoris.

Salah satu masalah yang muncul dalam kegiatan

pemanenan daun kayu putih adalah rendahnya kualitas

sumber daya manusia pemetik daun kayu putih yang

berakibat pada rendahnya produktivitas dan juga

rendemen minyak kayu putih yang dihasilkan.

Pertumbuhan ekonomi di desa sekitar hutan yang

lambat menyebabkan banyak generasi muda lebih

memilih mencari pekerjaan di kota besar. Hal ini

berdampak pada ketersediaan tenaga kerja di sektor

kehutanan. Sedangkan bagi masyarakat sekitar hutan

yang tidak memiliki pendidikan formal dan tidak

memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup,

lebih memilih tetap tinggal di desa dan mencari mata

pencaharian berbasis sumberdaya alam yang ada. Hal

ini berdampak pada standar pekerja yang dibutuhkan

tidak dapat dipenuhi, karena ketersediaan tenaga kerja

yang terbatas, termasuk keterampilan yang dimiliki.

Karakteristik sosio demografi para pekerja dalam

kegiatan pemanenan daun kayu putih akan sangat

mempengaruhi produktivitas dan kualitas minyak

kayu putih yang dipanen (Bjerkan, 2011).

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengindentifikasi

kondisi sosio-demografi pekerja pada pemanenan

daun kayu putih dan 2) menganalisis standard prestasi

kerja pemanenan daun kayu putih di KPH Yogyakarta.

Beberapa penelitian tentang sosio demografi dalam

pengelolaan hutan sudah dilakukan, akan tetapi belum

berfokus pada pekerja, terutama pekerja di kegiatan

pemanenan daun kayu putih (Leão et.al.,2017;

Nakajima et.al., 2017). Penelitian diharapkan

memberikan pertimbangan dalam menyusun

kebijakan penataan sumberdaya manusia, dan

membuat strategi yang tepat dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan RPH

Nglipar, BDH Karangmojo, KPH Yogyakarta yang

terletak di Kabupaten Gunungkidul. Lokasi penelitian

merupakan hutan negara yang memiliki fungsi

produksi dengan jenis tanaman kayu putih. Lokasi ini

dipilih karena memiliki potensi tanaman kayu putih

yang terluas di KPH Yogyakarta. Pengumpulan data

dilakukan pada bulan April sampai dengan Oktober

2016.

Page 50: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja…

(Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto)

113

Gambar 1.Peta lokasi penelitian Sumber : (BPS Provinsi DIY, 2017)

Metode dasar yang digunakan untuk menjawab

tujuan yang pertama adalah metode survei. Qomariah,

(2017) mengatakan bahwa metode survei merupakan

metode yang menggunakan tipe pendekatan penelitian

pada populasi yang besar. Salah satu keuntungan

utama dari penelitian survei adalah memungkinkan

pembuatan generalisasi untuk populasi yang besar.

Pada metode survei, akan digambarkan karakteristik

sosio-demografi pekerja kegiatan pemanenan daun

kayu putih dengan memilih responden yang mewakili.

Responden yang dipilih merupakan pekerja dalam

kegiatan pemanenan daun kayu putih dengan jumlah

yang mewakili populasi pekerja di RPH Nglipar.

Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 100

orang dari total 500 pekerja di RPH Nglipar atau

intensitas sampling sebesar 20 %. Kegiatan survey ini

dilakukan dengan wawancara langsung responden

dengan instrumen kuesioner yang terstruktur. Analisis

data dilakukan dengan menyajikan deskripsi statistik

tentang kondisi sosio-demografi responden.

Sedangkan metode yang digunakan dalam

menjawab tujuan kedua adalah pengamatan standar

prestasi kerja menggunakan metode Time Study.

Untuk pengamatan ini dipilih tiga pekerja pemetik

daun yang mewakili kondisi yang berbeda,

berdasarkan umur dan jarak rumah dari tempat kerja.

Ketiganya melakukan pekerjaan terkait elemen-

elemen kegiatan pemanenan daun kayu putih sehingga

diperoleh prestasi kerja pemanenan daun kayu putih

dengan satuan kg daun/hari orang kerja (kg/HOK).

Dalam penelitian ini 1 HOK = 7 jam kerja.

Pengukuran elemen-elemen pekerjaan dilakukan

dengan mencatat waktu yang diperlukan untuk

melakukan kegiatan sebagai berikut: menuju lokasi

dari tempat tinggal, pembuatan tali dari bambu untuk

mengikat daun, pemotongan daun termasuk ranting

yang berdiameter kecil, pengikatan daun, dan

pelangsiran daun menuju pinggir jalan. Selain itu

dilakukan wawancara mendalam dengan key informan

dari KPH Yogyakarta untuk memperoleh gambaran

tentang strandar pekerja yang dibutuhkan, proses

rekruitmen dan sistem kerja yang digunakan. Data

yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara

deskriptif dan sistematis. Data tersebut kemudian

diinterpretasi yang terkait dengan kegiatan pemanenan

daun kayu putih.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Sosio-Demografi Pemetik Daun

Kayu Putih

Umur pekerja

Umur merupakan salah satu variabel sosio-

demografi yang berpengaruh terhadap produktivitas

seorang pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Pada

umumnya, tenaga kerja yang berumur tua mempunyai

tenaga fisik yang lemah dan terbatas, sebaliknya

tenaga kerja yang berumur muda mempunyai

kemampuan fisik yang kuat (Kozová et al., 2018;

Lokasi : Penelitian RPH

Nglipar

Page 51: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:111-120 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5532

114

Wilmsen, 2015). Di dalam analisis sosio-demografi,

struktur umur penduduk dibedakan menjadi tiga

kelompok, yaitu:

a. Kelompok umur muda, dibawah 15 tahun

b. Kelompok umur produktif, usia 15 – 64 tahun

c. Kelompok umur tua, mulai usia 65 tahun ke atas.

Struktur umur penduduk dikatakan muda apabila

proporsi penduduk umur muda sebanyak 40 % atau

lebih sementara kelompok umur tua kurang atau sama

dengan 5 %. Sebaliknya suatu struktur umur penduduk

dikatakan tua apabila kelompok umur mudanya

sebanyak 30 % atau kurang sementara kelompok umur

tuanya lebih besar atau sama dengan 10 %. Dari hasil

penelitian ini diketahui struktur umur responden

pekerja dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih

disajikan dalam tabel sebutkan nomor Tabel 1. Pekerja

pemanenan daun kayu putih di RPH Nglipar termasuk

dalam struktur umur tua.

Distribusi umur pekerja didominasi oleh kelompok

umur produktif, yaitu 15 sampai 64 tahun dengan rata

-rata umur responden 58 tahun. Secara fisik,

kemampuan seseorang untuk bekerja dapat diukur

dengan usia. Artinya, orang yang bekerja dalam usia

kerja dapat dikatakan sebagai tenaga kerja atau man

power (Markowski-Lindsay et al., 2016). Kondisi

umur yang masih produktif akan memberikan

kemungkinan yang lebih besar kepada seseorang

untuk bekerja dengan baik dan maksimal (Arora-

Jonsson, 2004).

Tabel 1. Distribusi umur pekerja pemanenan daun kayu putih di RPH Nglipar Umur (Tahun) Jumlah Pekerja (Orang) Persentase (%)

< 15 0 0

15 – 64 68 68

> 65 32 32

Jumlah 100 100

Dengan mayoritas pekerja berusia produktif maka

mengindikasikan bahwa secara fisik responden

memiliki kemungkinan lebih besar untuk

menghasilkan pendapatan maksimal. Selain itu

seseorang pada usia produktif akan lebih termotivasi

untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan

keluarga mereka, sebab tuntutan menanggung anak

usia sekolah menjadi motivasi utama mereka dalam

melaksanakan pekerjaannya.

Jenis Kelamin

Jumlah responden laki-laki yang bekerja sebagai

pekerja dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih

adalah 84 %. Sisanya sebanyak 16 % merupakan

perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa pekerja

pemanenan daun kayu putih lebih didominasi oleh

kaum laki-laki dibandingkan dengan kaum

perempuan. Andersen et al., (2014) menyatakan

bahwa tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria

dan wanita dalam kemampuan memecahkan masalah,

ketrampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi,

sosiabilitas atau kemampuan belajar. Di sisi lain ada

pakar yang menyatakan adanya perbedaan jenis

kelamin dapat mempengaruhi tingkat produktivitas

seseorang (Agarwal, 2015; Arora-Jonsson, 2004;

Nyantakyi-Frimpong, 2017). Secara umum, tingkat

produktivitas laki-laki lebih tinggi dari perempuan.

Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

dimiliki oleh perempuan seperti fisik yang kurang

kuat, dalam bekerja cenderung menggunakan

perasaan atau faktor biologis seperti harus cuti ketika

melahirkan. Namun dalam keadaan tertentu terkadang

produktivitas perempuan lebih tinggi dibanding laki-

laki, misalnya pekerjaan yang membutuhkan

ketelitian dan kesabaran. Dalam pekerjaan yang

membutuhkan proses produksi perempuan biasanya

lebih teliti dan sabar. Kegiatan pemanenan daun kayu

putih, ketelitian dan kesabaran tidak terlalu

dibutuhkan, karena semua bagian yang dipanen akan

dimanfaatkan.

Tingkat Pendidikan

Tabel 2 menunjukan bahwa sebagian besar

responden yang merupakan pekerja dalam kegiatan

pemanenan daun kayu putih memiliki tingkat

pendidikan yang cukup rendah. Umumnya responden

dalam penelitian ini adalah responden dengan jenjang

pendidikan dasar terutama Sekolah Dasar (SD).

Sebanyak 64 % responden berpendidikan SD, 16 %

tidak sekolah, 15 % berpendidikan SMP, 4 % SMA,

dan 1 % hingga mencapai Perguruan Tinggi. Hasil

penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk menjadi

pekerja dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih

tidak harus memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.

Pekerjaan pemetik daun kayu putih merupakan

pekerjaan sektor informal yang umumnya dilakukan

oleh mereka yang pendidikanya rendah (Lind-Riehl et

al., 2015; Weiss et al., 2012). Pekerjaan sektor

informal biasanya menghasilkan pendapatan yang

rendah, tetapi bukan berarti produktivitasnya juga

rendah. Yang penting dalam kegiatan pemetikan daun

Page 52: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja…

(Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto)

115

kayu putih adalah pengetahuan dan pengalaman kerja

dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih.

Tabel 2. Distribusi tingkat pendidikan pekerja pemanenan daun kayu putih di RPH Nglipar

Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)

Tidak Sekolah 16 16

Tamat SD 64 64

Tamat SMP 15 15

Tamat SMA 4 4

Perguruan Tinggi 1 1

Jumlah 100 100

Pengetahuan mengenai cara memungut atau

memanen daun kayu putih tidak didapatkan dalam

kegiatan belajar mengajar atau pendidikan secara

formal seperti di sekolah maupun di perguruan tinggi.

Pengetahuan tersebut diperoleh secara informal

melalui petugas di RPH Nglipar yang membawahi

pekerja pemanenan daun kayu putih, yaitu seorang

Mandor. Pekerja yang tergabung dalam kelompok tani

mendapatkan pelatihan tentang kegiatan pemanenan

daun kayu putih dan mendapatkan sertifikat dari hasil

pelatihan tersebut.

Lamanya seseorang bekerja pada pekerjaan yang

sama atau sejenisnya akan mengakibatkan lebih

banyak tahu dan terampil dalam melaksanakan tugas-

tugasnya, sehingga produktivitas meningkat. Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian Özden et al. 2011 yang

mengatakan bahwa pengalaman kerja juga diduga

memiliki pengaruh nyata terhadap produktivitas

pekerja. Bahwa semakin lama seorang pekerja bekerja

dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih maka

orang tersebut tentu semakin lihai dalam melakukan

kegiatan pemungutan daun. Pekerja yang telah

berpengalaman akan lebih mengerti tentang kondisi

lahan kayu putih yang dimiliki sehingga tentu

produktivitasnya akan lebih tinggi dibanding dengan

pekerja yang baru.

Jumlah tanggungan keluarga

Jumlah tanggungan responden yang bekerja dalam

kegiatan pemanenan daun kayu putih di RPH Nglipar

disajikan pada Tabel 3. Tabel tresebut menunjukkan

jumlah tanggungan keluarga pemetik daun kayu putih

umumnya antara 4 – 6 orang per rumah tangga.

Menurut Permadi et al. (2018) apabila terdapat kurang

dari 4 orang jumlah anggota keluarga maka

dikategorikan sebagai keluarga kecil, 4 – 6 orang

dikategorikan keluarga sedang dan lebih dari 6 orang

dikatakan keluarga besar.

Tabel 3.Jumlah tanggungan pekerja pemanenan daun kayu putih di RPH Nglipar

Jumlah Tanggungan (Jiwa) Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 – 3 48 48

4 – 6 47 47

> 6 5 5

Jumlah 100 100

Semakin banyak jumlah tanggungan seorang

pekerja pemanenan maka akan semakin besar tingkat

ketergantungan pekerja tersebut terhadap hutan.

Seorang pekerja yang memiliki tanggungan akan

merasa bahwa pekerjaan mereka akan sangat berharga

dan menjadi sangat penting, karena penghasilan yang

diperoleh dari pekerjaan tersebut akan digunakan

untuk menghidupi anggota keluarga yang menjadi

tanggungan mereka. Jumlah anggota keluarga akan

menentukan tingkat curahan jam kerja dan hasil yang

dikerjakan (Mutenje et al., 2011; Stanislovaitis et al.,

2015). Besarnya jumlah tanggungan akan

mempengaruhi keputusan seseorang untuk

menentukan berapa lama dia akan bekerja hal ini

disebabkan semakin banyak anggota keluarga yang

menjadi tanggungannya maka akan semakin banyak

pula kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya.

Lamanya waktu bekerja dapat meningkatkan

pendapatan keluarga sehingga dapat meningkatkan

taraf hidup dan kesejahteraan anggota keluarga. Hal

ini terbukti bahwa dari hasil penelitian diketahui

pekerja dengan jumlah tanggungan keluarga yang

lebih banyak memiliki pekerjaan sampingan sebagai

buruh tani maupun buruh non tani.

Mata pencaharian

Seluruh responden dalam kegiatan pemanenan

daun kayu putih di RPH Nglipar mencurahkan

sebagian besar waktunya untuk menjadi petani

sebagai pekerjaan pokoknya. Untuk memenuhi

kebutuhan sehari-harinya mereka mengusahakan

Page 53: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:111-120 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5532

116

tanaman pangan bukan hanya lahan milik di desa

tetapi juga tumpangsari di lahan hutan negara yang

ditanami kayu putih. Namun demikian, terdapat 46 %

responden yang mempunyai pekerjaan sampingan

ketika pendapatan menjadi petani tersebut kurang

mencukupi kebutuhan. Responden dengan pekerjaan

sampingan terbanyak yaitu sebagai buruh non tani

seperti buruh bangunan, buruh proyek, dan lain-lain.

Sejalan dengan penelitian Fujiwara et al. (2017) dan

Thoms (2008) yang mengatakan bahwa para petani

dapat memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan.

Pekerjaan-pekerjaan tersebut tentu memiliki status

masing-masing baik terhadap tenaga kerja laki-laki

maupun perempuan. Sebuah pekerjaan dijalani

seseorang bertujuan untuk memperbaiki keadaan

perekonomian orang tersebut.

Tabel 4. Pekerjaan sampingan pekerja pemanenan daun kayu putih di RPH Nglipar

Pekerjaan Sampingan Jumlah (Orang) Persentase (%)

Buruh Tani 12 12

Buruh Non-Tani 25 25

Pedagang 5 5

PNS 0 0

Pensiunan 1 1

TNI / Polri 0 0

Wiraswasta 0 0

IRT 0 0

Jasa 3 3

Jumlah 46 46

Luas Lahan Kelola

Sebagian besar pendapatan rumah tangga pekerja

dalam kegiatan pemanenan daun di RPH Nglipar

maupun masyarakat pedesaan berasal dari kegiatan

usaha tani yang membutuhkan lahan sebagai faktor

produksi utama. Luas kepemilikan lahan

mencerminkan tingkat kesejahteraan seseorang,

karena hal tersebut akan menentukan besarnya

pendapatan rumah tangganya (Smith & Hudson,

2017). Karena mahalnya harga lahan maka lahan yang

dimiliki oleh pekerja pada umumnya berasal dari

warisan keluarga meskipun ada beberapa pekerja yang

memiliki lahan dengan cara membeli.

Menurut Butler et al. (2014), luas lahan pertanian

adalah jumlah tanah sawah, tegalan dan pekarangan

yang diusahakan selama 1 tahun dan dihitung dalam

satuan hektar. Luas lahan pertanian digolongkan

dalam 4 kelompok yaitu:

a. Sangat sempit : < 0,25 ha

b. Sempit : 0,25 – 0,49 ha

c. Sedang : 0,50 – 1,00 ha

d. Luas : > 1,0 ha

Para pekerja mengelola dua jenis lahan, yaitu lahan

milik yang ada di desa dan lahan hutan negara dengan

tumpangsari tanaman kayu putih. Rata-rata luas lahan

milik para pekerja adalah 0,17 ha yang dimanfaatkan

untuk sawah tadah hujan dan pekarangan. Sedang di

kawasan hutan negara, selain tanaman pokok kayu

putih, pekerja juga memanfaatkan untuk menanam

ketela, kacang dan kedelai. Sebanyak 81 orang (81 %)

responden memiliki total luas lahan kurang dari 0,25

ha dengan rata-rata total luas lahan seluruh responden

tersebut adalah 0,11 ha. Sebanyak 15 orang (15 %)

responden memiliki total luas lahan berkisar antara

0,25 hingga 0,49 ha dengan rata-rata total luas lahan

0,38 ha. Kemudian diketahui 4 orang (4 %) responden

memiliki total luas lahan pada kisaran antara 0,5

hingga 0,99 ha dengan rata-rata total luas lahan 0,62

ha. Tidak ditemukan satupun responden yang

memiliki total luas lahan kepemilikan > 1 ha. Seluruh

responden mempunyai lahan garapan di kawasan

hutan. Rata-rata luas lahan hutan negara yang dikelola

adalah 0,35 ha. Dengan demikian total rata-rata lahan

yang diusahakan responden seluas 0,52 ha.

Page 54: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja…

(Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto)

117

Tabel 5. Luas lahan kelola pekerja di RPH Nglipar

Status Lahan Responden (orang) Total (Ha) Rata-Rata (ha) Persentase (%)

Lahan Milik 100 17,44 0,17 33

• < 0,25 Ha 81 - - 81

• 0,25 – 0,49 Ha 15 - - 15

• 0,50 – 0,99 Ha 4 - - 4

Lahan Hutan Negara 100 34,92 0,35 67

Jumlah 52,36 0,52 100

Prestasi Pekerja Pemanenan Daun Kayu Putih

Untuk mengetahui prestasi kerja pemanenan daun

kayu putih dilakukan pengamatan, pengukuran dan

penghitungan prestasi kerja pemanenan dari tiga orang

pekerja. Mereka berada pada usia produktif yang

semuanya laki-laki dan berada pada tiga lingkungan

biofisik kerja yang berbeda. Responden 1 dan 3 sudah

bekerja memanen daun kayu putih lebih dari 10 tahun,

sedangkan responden 2 baru terlibat dalam

pemanenan daun kayu putih selama 2 tahun.

Responden 1 dan 3 melakukan pemanenan daun kayu

putih pada tegakan lama, atau tegakan yang setiap

tahun sudah dipanen. Sedangkan responden 2

melakukan pemanenan daun kayu putih pada tegakan

yang pertama kali dipanen. Pemilihan lokasi senada

dengan yang disampaikan oleh Hedge, (2016) bahwa

lokasi kerja sangat berdampak pada prestasi kerja

seorang pekerja.

Responden pertama melakukan pemanenan di

Tegakan petak 30 dengan kelerengan 16 % yang

masuk dalam kriteria agak curam berdasarkan

Pedoman Penyusunan Pola Rehabilitasi Lahan dan

Konservasi Tanah, 1986. Jarak langsir paling jauh

yang ditempuh adalah 32 meter. Suhu pada petak

tersebut adalah 36 ºC. Responden kedua melakukan

pungutan daun di tegakan yang pertama kali dipanen.

Tegakan ini memiliki umur 4 tahun. Tegakan muda ini

memiliki tinggi 4 meter. Pada tegakan ini, kegiatan

pemungutan daun tidak bisa dilakukan secara

langsung, akan tetapi pohon kayu putih harus ditebang

terlebih dahulu menggunakan gergaji. Pemanenan

dilakukan dengan meninggalkan tonggak setinggi 110

cm di atas tanah. Hal ini dilakukan agar pemanenan

tahun berikutnya dapat dilakukan dengan lebih

mudah. Tegakan ini terdapat di petak 30 dengan

kelerengan -1 %. Jarak langsir paling jauh yang

ditempuh adalah 32 meter. Suhu pada petak tersebut

adalah 38 ºC. Responden ketiga melakukan pungutan

daun di tegakan tua, pada petak 41 dengan kelerengan

14 %. Jarak langsir paling jauh yang ditempuh adalah

54 meter. Suhu pada petak tersebut dapat mencapai 45

ºC. Temperature menjadi salah satu faktor lingkungan

yang fundamental mempengaruhi prestasi kerja

(Moses, 2016).

Tabel 6. Hasil pengamatan prestasi kerja pemanenan daun kayu putih

Karakteristik Pekerja Pengamatan 1 Pengamatan 2 Pengamatan 3

Umur (tahun) 57 25 63

Pengalaman kerja (tahun) >10 2 >10

Karakteristik biofisik lingkungan pekerjaan

No Petak 30 30 41

Umur tegakan saat dipanen Tua Muda Tua

Kondisi kelerengan Agak curam (16%) Agak curam (16%) 14%

Suhu (0C) 36 38 45

Jarak langsir (m) 32 32 54

Hasil Pengukuran

Waktu Total (menit) 8,4 12,35 8,52

Volume (Kg) 15 15 15

Berdasarkan total waktu elemen kerja pemanenan

daun kayu putih, diperoleh waktu rata-rata yang

diperoleh responden 1 sebesar 8,4 menit, responden 2

sebesar 12,35 menit dan responden 3 sebesar 8,52

menit. Responden kedua memiliki waktu rata-rata

yang lebih besar karena responden dua melakukan

pemanenan daun kayu putih pada tegakan muda yang

memerlukan waktu untuk kegiatan penebangan pohon

kayu putih. Elemen kerja menuju lokasi paling lama

adalah responden 3 karena jarak rumah menuju lokasi

yang sangatlah jauh.

Setelah mengetahui nilai waktu rata-rata (WR)

maka dapat menghitung nilai waktu normal yang

dibutuhkan. Untuk mengetahui besarnya waktu yang

dibutuhkan oleh orang normal, harus diketahui nilai

rating factor dari setiap responden. Rating factor

(performance rating/speed rating) diaplikasikan

untuk menormalkan waktu kerja yang diperoleh dari

pengukuran kerja akibat kecepatan kerja seorang

Page 55: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:111-120 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5532

118

pekerja yang berubah-ubah. Rating factor pada

penelitian ini menggunakan standar Westinghouse.

Westinghouse rating system mempertimbangkan

empat faktor dalam mengevaluasi produktivitas

pekerja, yaitu: skill (keahlian), effort (usaha),

condition (kondisi lingkungan kerja) dan consistency

(konsistensi) (Cevikcan & Kilic, 2016).

Tabel 7 menunjukkan bahwa dilihat dari keahlian,

ketiga responden termasuk dalam keahlian B1 dan B2

yang berarti ahli (excellent). Hal ini dilihat dari nilai

keahlian yang dimiliki lebih tinggi dibandingkan

orang normal, yaitu 0,08 dan 0,11. Responden 1 dan

responden 3 lebih ahli sebesar 11 % diatas orang

normal, sedangkan responden 2 memiliki keahlian 8

% lebih tinggi dibanding orang normal. Walapun

begitu tingkat keahlian responden 2 lebih rendah

sebesar 3 % dibanding responden 1 dan 3. Hal ini

menunjukan responden 1 dan 3 jauh lebih

berpengalaman dibandingkan responden 2 dalam

pemanenan daun kayu putih. Usaha dari ketiga

responden dalam pada kategori yang sama di level B1

(excellent), tetapi lebih tinggi 10 % dibanding usaha

yang dilakukan oleh orang pada umumnya.

Tabel 7. Nilai Rating Factor pada responden

Aspek

Responden 1 Responden 2 Responden 3

Kode sistem

Westinghouse Nilai

Kode sistem

Westinghouse Nilai

Kode sistem

Westinghouse Nilai

Keahlian B1 0,11 B2 0,08 B1 0,11

Usaha B1 0,1 B1 0,1 B1 0,1

Kondisi D 0 C 0,02 D 0

Konsistensi E -0,02 C 0,01 E -0,02

Total 0,19 0,21 0,19

Kondisi lokasi kerja terbaik pada areal yang

dipanen oleh responden 2, dengan topografi datar,

suhu tidak terlalu tinggi dan jarak dari rumah menuju

lokasi lebih dekat. Kondisi ini dapat dilihat dari kode

C, yang berarti bahwa lingkungan kerja responden 2

termasuk kategori bagus (good). Konsistensi pekerja

dalam pemanenan daun kayu putih paling tinggi

adalah responden 2, yang termasuk dalam level C

(good) atau lebih besar 1 % diatas orang normal.

Sedangkan responden 1 dan 3 memiliki konsistensi

kerja yang lebih rendah dibandingkan orang normal

karena sebesar 2 % karena memiliki nilai (-). Level

konsistensi responden 1 dan 3 termasuk kategori

cukup (fair). Konsistensi yang dinilai tidak hanya pada

responden tetapi juga tegakan yang mempengaruhi.

Tegakan yang ada memiliki keragaman yang tinggi,

bahkan pada petak yang sama dan umur yang sama.

Tegakan kayu putih memiliki kerapatan tinggi dengan

ranting kecil, ada yang memiliki kerapatan tinggi

dengan ranting yang besar dan ada yang memiliki

kerapatan rendah. Pada tegakan dengan kerapatan

tinggi dan terdiri dari ranting kecil maka pemungutan

daun lebih cepat dan mudah. Sebaliknya pada tegakan

dengan kerapatan tinggi dan ranting besar maka

responden harus memangkas rating yang besar

terlebih dahulu untuk memanen daunnya. Hal ini

menyebabkan waktu pemungutan daun kayu putih

menjadi lebih lama tetapi responden mendapatkan

hasil sampingan kayu bakar. Pada tegakan kerapatan

sedikit, akan lebih cepat, tetapi hasil yang diperoleh

juga sedikit. Hal inilah yang menyebabkan konsistensi

yang diperoleh responden 1 dan 3 dibawah rata-rata

orang normal. Nilai rating factor pada setiap

responden dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 8. Prestasi kerja responden dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih

Nilai Responden 1 Responden 2 Responden 3

Waktu Rata-rata(menit) 8,40 12,35 8,52

Waktu normal (menit) 10,00 14,94 10,14

Waktu standar (menit) 14,00 20,91 14,19

Volume pekerjaan (Kg) 15,00 15,00 15,00

Prestasi Kerja standard (kg/jam) 64,27 43,04 63,42

Prestasi kerja standard (Kg/ hari) 449,89 301,28 443,94

Page 56: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja…

(Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto)

119

Nilai waktu normal yang diperoleh untuk reponden

1 sebesar 10 menit, responden 2 sebesar 14,94 menit,

dan responden 3 sebesar 10,14 menit. Responden 2

memiliki nilai waktu normal paling tinggi karena nilai

waktu rata-rata yang tinggi. Untuk menghitung waktu

standar yang ada memerlukan nilai allowance. Pada

kondisi lingkungan kerja yang dipandang ekstrem,

FAO menyarankan untuk memberikan tambahan

waktu (allowance) yang lebih besar, disarankan untuk

memberikan allowance 20 – 40 % dari konsumsi

waktu normal. Penggunaan nilai allowance sesuai

dengan FAO karena nilai allowance yang ada secara

aktual terlalu tinggi, sehingga terlalu membebani nilai

waktu standar. Hal ini terjadi karena pekerjaan yang

berat sehingga responden sering beristirahat atau

istirahat dalam waktu yang lama. Berdasarkan hasil

perhitungan nilai waktu standar responden 1 adalah 14

menit, responden 2 adalah 20,91 menit dan responden

3 adalah 14,19 menit.

Nilai prestasi kerja standar diperoleh dari waktu

standar dan volume pekerjaan. Volume pekerjaan ini

setiap responden adalah 15 kg. Volume pekerjaan ini

merupakan berat rata-rata yang dihasilkan oleh

responden. Hasil yang diperoleh adalah responden 1

sebesar 65,27 kg/jam, responden 2 sebesar 43,04

kg/jam dan responden 3 sebesar 63,42 kg/jam. Nilai

prestasi kerja standar yang terbesar pada responden 1

dan terendah pada responden 2. Waktu standard yang

dibutuhkan orang normal dalam menyelesaikan

pekerjaannya sebesar 15 kg, yaitu 12,46 menit.

Sehingga prestasi kerja standar orang normal dalam

menyelesaikan pekerjaan pemanenan daun kayu putih

di KPH Yogyakarta adalaha sebesar 66,83 kg/jam atau

467,81 kg/hari.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa

kondisi sosio demografi pekerja pada kegiatan

pemanenan daun kayu putih memiliki usia rata-rata 58

tahun, berjenis kelamin laki-laki, memiliki tingkat

pendidikan minimal lulus Sekolah Dasar (SD) sebesar

64 % dan memiliki jumlah tanggungan rata-rata 4

orang. Rata-rata kepemilikan lahan pekerja pada

kegiatan pemanenan daun kayu putih seluas 0,17 ha.

Prestasi kerja standar orang normal dalam

menyelesaikan pekerjaan pemanenan daun kayu putih

di KPH Yogyakarta adalah sebesar 66,83 kg/jam atau

467,81/hari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Balai

KPH Yogyakarta yang telah bersedia menjadi lokasi

penelitian dan membantu dalam proses pengambilan

data.

KONTRIBUSI

Ratih Madya Septiana berperan sebagai

kontributor utama, serta Nunuk Supriyanto dan Slamet

Riyanto berperan sebagai kontributor anggota dalam

artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, B. (2015). The power of numbers in gender

dynamics: illustrations from community forestry groups.

Journal of Peasant Studies, 42(1).

https://doi.org/10.1080/03066150.2014.936007.

Agustina, Z. A., & Suharmiati, S. (2017). Pemanfaatan

Minyak Kayu Putih (Melaleuca leucadendra Linn)

sebagai Alternatif Pencegahan Kasus Infeksi Saluran

Pernafasan Akut di Pulau Buru. Jurnal Kefarmasian

Indonesia, 7(2).

https://doi.org/10.22435/jki.v7i2.5654.120-126.

Andersen, H.-E., Reutebuch, S. E., McGaughey, R. J.,

d’Oliveira, M. V. N., & Keller, M. (2014). Monitoring

selective logging in western Amazonia with repeat lidar

flights. Remote Sensing of Environment, 151, 157–165.

https://doi.org/10.1016/j.rse.2013.08.049.

Arora-Jonsson, S. (2004). Relational dynamics and

strategies: Men and women in a forest community in

Sweden. Agriculture and Human Values, 21(4), 355–

365. https://doi.org/10.1007/s10460-003-1222-6

Bjerkan, A. M. (2011). Health, environment, safety culture

and climate – analysing the relationships to occupational

accidents. Journal of Risk Research, Volume 13(445–

477).

Blumberg, M; Pringle, C. D. (1982). The missing

Opportunity in Organizational Research: Some

Implications for a Theory of Work Performance.

Academy of Managemen Review, 7(4), 560–569.

BPS Provinsi DIY. (2017). Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta Dalam Angka 2017.

Butler, B. J., Markowski-Lindsay, M., Snyder, S.,

Catanzaro, P., Kittredge, D. B., Andrejczyk, K.,

Dickinson, B. J., Eryilmaz, D., Hewes, J. H., Randler,

P., Tadle, D., & Kilgore, M. A. (2014). Effectiveness of

Landowner Assistance Activities: An Examination of

the USDA Forest Service’s Forest Stewardship

Program. Journal of Forestry, 112(2).

https://doi.org/10.5849/jof.13-066.

Cevikcan, E., & Kilic, H. S. (2016). Tempo rating approach

using fuzzy rule based system and westinghouse method

for the assessment of normal time. International Journal

of Industrial Engineering : Theory Applications and

Practice, 23(1).

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta. (2019). Laporan Kinerja Instansi

Pemerintah, 2(3).

https://doi.org/10.24912/jmts.v2i3.7886.

Page 57: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:111-120 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5532

120

Fujiwara, T., Awang, S. A., Widayanti, W. T., Septiana, R.

M., Hyakumura, K., & Sato, N. (2017). Socioeconomic

Conditions Affecting Smallholder Timber Management

in Gunungkidul District, Yogyakarta Special Region,

Indonesia. Small-Scale Forestry.

https://doi.org/10.1007/s11842-017-9374-1

Hedge, A. (2016). Ergonomic Workplace Design for Health,

Wellness, and Productivity. In Ergonomic Workplace

Design for Health, Wellness, and Productivity.

https://doi.org/10.1201/9781315374000.

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. (2019).

KLHK Dorong Pengembangan Usaha Minyak Kayu

Putih Di Lahan Perhutani.

https://www.menlhk.go.id/site/single_post/2253.

Kozová, M., Dobšinská, Z., Pauditšová, E., Tomčíková, I.,

& Rakytová, I. (2018). Network and participatory

governance in urban forestry: An assessment of

examples from selected Slovakian cities. Forest Policy

and Economics, 89, 31–41.

https://doi.org/10.1016/j.forpol.2016.09.016.

Leão, T.C.C., Lobo, D., & Scotson, L. (2017). Economic

and Biological Conditions Influence the Sustainability

of Harvest of Wild Animals and Plants in Developing

Countries. Ecological Economics, 140, 14–21.

Lind-Riehl, J., Jeltema, S., Morrison, M., Shirkey, G.,

Mayer, A. L., Rouleau, M., & Winkler, R. (2015).

Family legacies and community networks shape private

forest management in the western Upper Peninsula of

Michigan (USA). Land Use Policy, 45.

https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2015.01.005.

Markowski-Lindsay, M., Catanzaro, P., Milman, A., &

Kittredge, D. (2016). Understanding Family Forest Land

Future Ownership and Use: Exploring Conservation

Bequest Motivations. Small-Scale Forestry, 15(2).

https://doi.org/10.1007/s11842-015-9320-z.

Moses, G. L. (2016). Fundamental aspects of temperature

classification. EI Electrical Insulation Conference

Materials and Application, EIC 1962.

https://doi.org/10.1109/EIC.1962.7456051.

Mutenje, M. J., Ortmann, G. F., & Ferrer, S. R. D. (2011).

Management of non-timber forestry products extraction:

Local institutions, ecological knowledge and market

structure in South-Eastern Zimbabwe. Ecological

Economics, 70, 454–461.

https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2010.09.036.

Nakajima, T., Shiraishi, N., Kanomata, H., & Matsumoto,

M. (2017). A method to maximise forest profitability

through optimal rotation period selection under various

economic, site and silvicultural conditions. New Zealand

Journal of Forestry Science, 47(1).

Nyantakyi-Frimpong, H. (2017). Agricultural

diversification and dietary diversity: A feminist political

ecology of the everyday experiences of landless and

smallholder households in northern Ghana. Geoforum,

86. https://doi.org/10.1016/j.geoforum.2017.09.003.

Özden, S, Nayir, I., Göl, C., Ediş, S., & Yilmaz, H. (2011).

Health problems and conditions of the forestry workers

in Turkey. African Journal of Agricultural Research,

6(27), 5884–5890.

https://doi.org/10.5897/AJAR11.505.

Permadi, D. B., Burton, M., Pandit, R., Race, D., Ma, C.,

Mendham, D., & Hardiyanto, E. B. (2018). Socio-

economic factors affecting the rate of adoption of acacia

plantations by smallholders in Indonesia. Land Use

Policy, 76, 215–223.

https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2018.04.054.

Qomariah, L. N. (2017). Metode Penelitian Survey. In

Progress in Physical Geography (Vol. 14, Issue 7).

Pustaka LPJES.

Smith, H.E., & Hudson, M.. (2017). Livelihood

diversification : The role of charcoal production in

Southern Malawi. Energy for Sustainable Developmen,

36, 22–36.

Stanislovaitis, A., Brukas, V., & Mozgeris, G. (2015). Forest

owner is more than her goal: a qualitative typology of

Lithuanian owners. Scandinavian Journal of Forest

Research, 30(5).

https://doi.org/10.1080/02827581.2014.998706.

Sudradjat, S. E. (2020). Minyak Kayu Putih, Obat Alami

dengan Banyak Khasiat: Tinjauan Sistematik. Jurnal

Kedokteran Meditek, 26(2).

https://doi.org/10.36452/jkdoktmeditek.v26i2.1843.

Thoms, C. A. (2008). Community control of resources and

the challenge of improving local livelihoods: A critical

examination of community forestry in Nepal. Geoforum,

39(3), 1452–1465.

https://doi.org/10.1016/j.geoforum.2008.01.006.

Weiss, G., Gudurić, I., & Wolfslehner, B. (2012). Review of

forest owners’ organizations in selected Eastern

European countries. www.fao.org/forestry.

Wilmsen C, B. D. (2015). Working in the shadows: Safety

and health in forestry services in southern Oregon.

Journal of Forestry, 113(3), 315–324.

Page 58: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…

(Ivan Permana Putra)

121

POTENSI BEBERAPA JAMUR PANGAN LIAR YANG BERNILAI EKONOMI

DI PULAU BELITONG, PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

THE POTENCY OF SOME WILD EDIBLE MUSHROOMS WITH ECONOMIC VALUE

IN BELITONG ISLAND, THE PROVINCE OF BANGKA BELITUNG

Ivan Permana Putra

Divisi Mikologi, Departemen Biologi, Institut Pertanian Bogor

Gedung Biologi, Jalan Agatis, Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Indonesia, 16680

E-mail : [email protected]

Diterima: 22 Oktober 2020; Direvisi: 29 Oktober 2020; Disetujui: 25 Desember 2020

ABSTRAK

Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu tempat eksotik dengan keragaman hayati

yang belum terinventarisasi dengan optimal. Salah satu plasma nutfah yang belum terdata dengan baik di Pulau

Belitong adalah ragam jamur dan potensi pemanfaatannya. Jamur merupakan produk kehutanan non kayu yang sering

dicari oleh penduduk lokal Pulau Belitong saat merambah untuk dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Selain

dikonsumsi, jamur-jamur liar tersebut juga diperjual belikan, sehingga merupakan salah satu komoditas musiman yang

penting bagi masyarakat setempat. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi awal terkait taksonomi jamur

pangan liar di Pulau Belitong beserta karakter biologinya. Eksplorasi jamur dilakukan sebanyak 2 kali pada tahun 2018

– 2019 dengan opportunistic sampling method. Data pemanfaatan jamur liar dikoleksi untuk melengkapi deskripsi dari

jamur yang ditemukan. Sejumlah 5 jamur pangan liar bernilai ekonomi yang dilaporkan pada penelitian ini adalah :

Amanita sect. caesarea (kulat pelandok), Heimioporus sp. (kulat pelawan), Hygrocybe cf. conica (kulat tiong),

Phylloporus sp. (kulat sukatan), dan Volvariella sp. (kulat sawit). Tiga jenis dari jamur yang diketahui merupakan

jamur pembentuk ektomikoriza yakni kulat pelandok dengan Schima wallichii, kulat pelawan dengan Tristaniopsis

merguensis, dan kulat sukatan yang belum diketahui dengan jelas inangnya. Sementara itu, 2 jamur lainnya merupakan

jamur saprofit. Seluruh jamur tersebut merupakan anggota filum Basidiomycota yang terbagi ke dalam 2 ordo dan 4

famili. Heimioporus sp. diketahui merupakan jamur yang memiliki harga jual yang paling tinggi dibandingkan dengan

4 jamur lainnya sehingga memiliki prospek yang baik untuk dilanjutkan ke tahapan kultivasi. Upaya konservasi

tanaman yang menjadi inang jamur pembentuk ektomikoriza perlu menjadi perhatian penting di Pulau Belitong.

Kata kunci: jamur pangan liar, ekonomi, Belitong, keberlanjutan

ABSTRACT

Belitong Island, The Province of Bangka Belitung is one of the exotic places with the biodiversity which has not been

optimally inventoried. One of the potential germplasm that has not been recorded properly on Belitong Island is the

mushrooms diversity and their potential uses. Mushroom are known as non-timber forestry product that is often sought

after by local ethnic of Belitong Island and used as food. Apart from being consumed, these wild mushrooms are also

traded, so they are one of the important seasonal commodities for the local community. This research aimed to provide

the basic taxonomical information of wild edible mushroom in Belitong island as well as the biological characters.

Observations were conducted 2 times in 2018 – 2019 using opportunistic sampling method. The utilization data of wild

edible mushroom were collected to complete the macrofungi description in this study. A number of 5 edible wild

mushrooms with th economic value reported in this study were: Amanita sect. caesarea (kulat pelandok), Heimioporus

sp. (kulat pelawan), Hygrocybe cf. conica (kulat tiong), Phylloporus sp. (kulat sukatan) and Volvariella sp. (kulat

sawit). Three species of fungi are ectomycorrhizal forming fungi, namely kulat pelandok with Schima wallichii, kulat

pelawan with Tristaniopsis merguensis, and kulat sukatan which host is still unclear. Meanwhile the rest are

saprophytic macrofungi. All wild edible mushrooms are members of the phylum Basidiomycota which are divided into

2 orders and 4 families. Heimioporus sp. is known to be the highest selling price mushroom compared to the others,

which indicated the potential prospect to proceed to the cultivation stage. In addition, conservation management of

plants that are hosts of ectomycorrhizal fungi need to be an important concern on Belitong Island.

Keywords : wild edible mushroom, economic, Belitong, sustainability

Page 59: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109

122

PENDAHULUAN

Jamur merupakan organisme non fotosintetik dan

memiliki daerah jelajah yang luas sehingga mampu

tersebar pada berbagai macam tipe habitat mulai dari

daerah alami ataupun tempat yang bersinggungan

dengan kegiatan antropogenik (Putra, et al., 2017;

2018; 2019a; 2019b). Data mengenai keragaman

jamur masih terus diperbaharui hingga saat ini. Dari

total estimasi keseluruhan 1.500.000 jamur yang ada

di dunia (Blackwell, 2011), sampai saat ini diketahui

sebanyak 70.000 – 140.000 jamur yang telah

didokumentasikan (Hawksworth, 2001; Blackwell,

2011). Berdasarkan informasi jumlah jamur yang

telah diketahui tersebut, diperkirakan sebanyak 2000

jenis jamur merupakan kelompok yang aman untuk

dikonsumsi dan 700 diantaranya juga digunakan

sebagai agen terapi medis (Lima et al., 2012).

Informasi pemanfaatan jamur liar yang dapat

dikonsumsi tersebut umumnya juga bersumber dari

pengetahuan lokal jamur (etnomikologi) dari

berbagai masyarakat lokal di seluruh dunia.

Di Indonesia, sebagain besar jamur pangan liar

(JPL) merupakan kelompok yang tumbuh liar baik di

hutan ataupun di sekitaran pemukiman (Putra 2020a;

2020b; 2020c; Putra & Khafazallah, 2020). Namun

penelitian mengenai keragaman dan pemanfaatan

jamur liar masih belum dilakukan dengan optimal

karena hingga saat ini belum ditemukan adanya

daftar lengkap spesies jamur-jamur asal Indonesia.

Laporan terkait eksplorasi dan upaya kultivasi JPL

termasuk kelompok ektomikoriza sebagian besar

masih berasal dari negara empat musim. Yun & Hall

(2004) melaporkan bahwa beberapa jamur

ektomikoriza populer yang bisa dimakan di seluruh

dunia adalah Tuber melanosporum, Tuber magnatum,

Tricholoma matsutake, Boletus edulis, Cantharellus

cibarius, dan Amanita caesarea. Jamur pembentuk

ektomikoriza tersebut memiliki hubungan erat

dengan inangnya baik dalam proses pembentukan

simbiosis, manajemen nutrisi dan unsur hara hingga

pembentukan tubuh buah jamur (Putra 2020d).

Berbagai macam tanaman diketahui mampu

bersimbiosis dengan jamur pembentuk ektomikoriza

diantaranya kelompok, Fagaceae, Myrtaceae,

Fabaceae, Dipterocarpaceae dan Pinaceae (Neves et

al., 2012; Montoya et al., 2019). Jamur pangan liar

diketahui memiliki hubungan erat yang lama dengan

manusia dengan kontribusi dampak biologis serta

ekonomis, serta merupakan salah satu sumber nutrisi

yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di berbagai

belahan dunia (Das, 2010; Osarenkhoe et al., 2014;

Semwal et al., 2014; Lazo et al., 2015;

Alvarez-Farias et al., 2016). Jamur ini telah beberapa

kali dilaporkan memiliki kandungan tinggi protein,

mineral, vitamin, serat (Murugkar & Subbulakshmi,

2005; Ergon et al., 2012; Bakir et al., 2018) dan

rendah akan kalori serta lemak sehingga baik untuk

kesehatan (Lima et al., 2012; Wang et al., 2014).

Karena potensinya ini, JPL merupakan salah satu

sumber daya alam yang seringkali dicari oleh

masyarakat lokal ketika merambah dan menjadi

bagian dari kehidupan sehari-hari oleh berbagai etnis

di Indonesia (Al ulya et al., 2017; Khastini et al.,

2018; Khastini et al., 2019; Putra & Khafazallah,

2020). Informasi tersebut secara kolektif menjadi

pengetahuan tradisional yang diwariskan selama

bergenerasi dan merupakan salah satu sumber

referensi yang perlu diinventarisasi dan diwariskan

ke generasi mendatang. Upaya pencatatan dan

koleksi informasi jamur perlu dilakukan secara lebih

masif terutama pada tempat-tempat yang belum

banyak ditemukan laporannya.

Pulau Belitong merupakan salah satu wilayah

yang belum memiliki data inventarisasi jamur yang

baik. Salah satu laporan ilmiah mengenai jamur asal

Pulau belitong dilaporkan oleh Putra (2020b) namun

tidak mencakup JPL yang diperjual belikan oleh

masyarakat. Selain itu, Putra & Khafazallah (2020)

juga melaporkan potensi singkat dari jamur pelawan

asal Belitong yang memiliki nilai ekonomi tinggi,

namun dengan data yang sangat minim. Desa Kelubi

merupakan bagian dari Kecamatan Manggar di Pulau

Belitong yang didominasi oleh suku melayu dan

merupakan salah satu pemasok JPL untuk pengumpul

jamur. Hingga saat ini, laporan ilmiah mengenai

identitas taksonomi JPL di Pulau Belitong masih

sangat terbatas. Sehingga perlu dilakukan

inventarisasi dan karakterisasi jamur guna

merumuskan langkah yang tepat untuk konservasi

dan upaya pemanfaatan lebih lanjut. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk menyediakan informasi

taksonomi JPL di Pulau Belitong beserta karakter

biologinya.

METODE PENELITIAN

Pengumpulan data dilakukan pada tahun 2018

(Oktober) dan 2019 (Juni) di Desa Kelubi (Gambar

1), Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur

(Beltim), Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

dengan melibatkan beberapa masyarakat lokal dan

mengikuti musim pencarian jamur. Eksplorasi jamur

dilakukan dengan opportunistic sampling method

merujuk pada penjelasan O’Dell et al. (2004).

Pencatatan jenis tumbuhan dominan dilakukan pada

Page 60: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…

(Ivan Permana Putra)

123

kelompok jamur pembentuk ektomikoriza dan

saprofit. Kondisi agroklimat di lokasi penelitian saat

ekplorasi mendukung perkembangan dan

pembentukan tubuh buah jamur. Curah hujan di

Pulau Belitung cenderung meningkat setiap tahunnya

yakni rata-rata 3000 mm/tahun (Narulita &

Marganingrum, 2017), dengan kelembapan relatif

76 % dan suhu udara 27 °C di lokasi penelitian.

Tubuh buah jamur diobservasi langsung di lapangan

atau dibungkus dengan amplop karton untuk

karakterisasi lebih lanjut jika diperlukan. Deskripsi

jamur dilakukan dengan menggunakan karakter

makroskopik dengan merujuk pada penjelasan Putra

et al. (2018) dengan modifikasi. Parameter

makroskopik pada berbagai fase tumbuh (jika ada)

yang dicatat meliputi : cara tumbuh, bentuk tubuh

buah, hygrophanous (perubahan tingkat kebasahan),

warna tudung (cap ) ketika tubuh buah muda dan tua,

diameter cap, bentuk atas dan bawah pada cap,

permukaan cap, tepian cap, margin (tepian) cap,

tingkat kebasahan, tipe himenofor (lamela, pori,

gerigi) meliputi : cara menempel pada tangkai (stipe),

jarak antar baris, dan margin. Karakter lain yang

diobservasi adalah bentuk stipe, warna stipe (ketika

muda dan tua), permukaan stipe, posisi penempelan

pada cap, tipe penempelan stipe pada substrat,

penampang stipe, keberadaan rhizomorph, tudung

parsial, tudung universal, tekstur tubuh buah, bau,

rasa serta informasi penggunaannya sebagai bahan

pangan (dikonsumsi atau tidak) melalui diskusi

dengan masyarakat setempat untuk mendapatkan

informasi mengenai pemanfaatan jamur yang

ditemukan. Jamur diidentifikasi hingga ke tingkat

genus dan spesies (jika memungkinkan) dengan

karakteristik makroskopis menggunakan beberapa

acuan identifikasi diantaranya Arora (1986), Rokuya

et al. (2011), Desjardin et al. (2016), dan Putra &

Khafazallah (2020). Pemberian nama hingga ke level

spesies diberikan penanda cf (confer) yang merujuk

kepada karakter terdekat jamur yang diidentifikasi

pada identitas taksonomi tertentu dan mengikuti

aturan indexfungorum. Informasi terkait potensi

ekonomi, beberapa dokumentasi, dan harga jual

jamur didapatkan dari masyarakat lokal dan media

sosial yang dimanfaatkan untuk transaksi JPL.

Gambar 1. Desa Kelubi, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur, Pulau Belitong

(Sumber : diolah dari googlemaps 2020)

Page 61: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109

124

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejumlah 5 jenis JPL yang bernilai ekonomi

berhasil diidentifikasi dan dipertelakan pada tulisan

ini. Seluruh jamur tersebut merupakan anggota dari

filum Basidiomycota yang terbagi ke dalam 2 ordo

dan 4 famili (Tabel 1). Jamur-jamur tersebut adalah:

Amanita sect. caesarea (kulat pelandok),

Heimioporus sp. (kulat pelawan), Hygrocybe cf.

conica (kulat tiong), Phylloporus sp. (kulat sukatan),

dan Volvariella sp. (kulat sawit). Seluruh jamur

(kecuali kulat sawit) ditemukan pada hutan kerangas

yang merupakan tipe hutan dominan di Pulau

Belitong (Tabel 3). Sebagian besar jamur yang

ditemukan pada penelitian ini tumbuh di dekat

tumbuhan dari famili Myrtaceae. Oktavia (2012)

melaporkan bahwa kelompok ini mendominasi

vegetasi hutan kerangas di Belitong karena

kemampuan adaptasinya yang baik pada daerah yang

memiliki pH rendah dan miskin hara. Jamur-jamur

yang ditemukan pada penelitian ini merupakan JPL

yang diperjual belikan (Tabel 2) dan dicari oleh

masyarakat lokal pada musim hujan di Pulau

Belitong. Seluruh jamur tersebut dijual secara

langsung, melalui berbagai media sosial, dan juga di

pasar tradisional.

Tabel 1. Posisi taksonomi beberapa JPL bernilai ekonomi di Pulau Belitong

Tabel 2. Informasi beberapa JPL bernilai ekonomi di Pulau Belitong

Tabel 3. Data vegetasi dominan pada lokasi tumbuh jamur

Sebagian besar jamur tersebut merupakan

kelompok pembentuk ektomikoriza dan sisanya

adalah saprofit. Penelitian sebelumnya telah

membuktikan bahwa mikobion pembentuk

ektomikoriza diketahui memiliki peranan penting

terhadap tumbuhan inangnya terutama untuk

Filum Kelas Ordo Famili Spesies

Basidiomycota Agaricomycetes Agaricales Agaricacease Amanita sect. caesarea

Hygrophoraceae Hygrocybe cf. conica

Pluteaceae Volvariella sp.

Boletales Boletaceae Heimioporus sp.

Phylloporus sp.

Nama lokal Spesies Bagian/fase tubuh buah yang dimakan Harga (Rupiah)

Kulat pelandok Amanita sect. caesarea

Semua bagian, semua fase tubuh

buah, namun fase muda lebih disukai Basah : 30.000 - 35.000/Kg

Kulat tiong Hygrocybe cf. conica

Semua bagian, fase dewasa tubuh

buah Basah : 15.000 - 20.000/Kg

Kulat sawit Volvariella sp. Semua bagian, fase telur lebih disukai Basah : 15.000 - 20.000/Kg

Kulat pelawan Heimioporus sp. Semua bagian, semua fase tubuh buah

Basah : 200.000 - 500.000/Kg

Kering : 1 - 4 juta /Kg

Kulat sukatan Phylloporus sp. Semua bagian, semua fase tubuh buah Kering : 400.000 - 500.000/Kg

Nama lokal Nama Ilmiah Famili Jenis jamur Gaya hidup jamur

Seruk Schima wallichii Theaceae Kulat pelandok Ektomikoriza

Pelawan

Tristaniopsis

merguensis Myrtaceae Kulat pelawan, kulat sukatan

Ektomikoriza

Batang sawit Elaeis guineensis Arecaceae Kulat sawit Saprofit

Betor Calophyllum spp. Clusiaceae Kulat pelandok Ektomikoriza

Samak

Syzygium

lepidocarpa Kurz. Myrtaceae Kulat pelandok

Ektomikoriza

Gelam

Malaleuca

leucadendron L. Myrtaceae Kulat pelandok

Ektomikoriza

Keremunting

Rhodomyrtus

tomentosa Myrtaceae Kulat pelandok

Ektomikoriza

Karet Hevea brasiliensis Euphorbiaceae Kulat tiong

Masih belum jelas

Page 62: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…

(Ivan Permana Putra)

125

mensuplai air dan hara mineral yang tidak tersedia

bebas pada kondisi tanah tertentu (Brundrett, 2004).

Sebaliknya, sebagai kompensasi atas simbiosis yang

saling menguntungkan, jamur sebagai organisme

heterotrof mendapatkan karbon sekitar 8 – 17 % dari

hasil fotosintesis tumbuhan inangnya (Hobbie &

Hobbie 2006). Tumbuhan juga berkontribusi dalam

menciptakan iklim makro yang memiliki peranan

penting dalam proses pembentukan tubuh buah jamur

baik ektomikoriza ataupun saprofit. Hingga saat ini,

seluruh jamur yang ditemukan pada penelitian ini

belum dibudidayakan oleh masyarakat Belitong,

sehingga masih bergantung pada ketersediaannya di

alam. Masing-masing jamur pada tulisan ini memiliki

karakteristik yang berbeda-beda. Laporan ini

merupakan tulisan pertama mengenai keragaman JPL

bernilai ekonomi di Pulau Belitong. Berikut

merupakan jamur yang dipertelakan beserta

informasi terkait lainnya.

Amanita sect. caesarea

Jamur ini dikenal sebagai ‘kulat pelandok’ dan

tumbuh berkelompok pada lantai hutan di dekat

sistem perakaran Schima wallichii atau yang dikenal

sebagai ‘batang seruk’ oleh masyarakat

lokal Belitong (Gambar 2A;C) dan juga di sekitaran

tanaman kehutanan lainnya (Tabel 3). Jamur ini

memiliki bentuk tubuh buah berupa tudung,

berlamela, dan bertangkai. Tudung berwarna putih

pada bagian tepi dengan kuning kecoklatan yang

lebih dominan pada fase tubuh buah muda (Gambar

2A;B;D;F) dan berwarna putih dominan dengan

menyisakan sedikit warna putih pada bagian tengah

saat dewasa (Gambar 2C). Tudung berbentuk

setengah mangkuk terbalik pada saat muda dan

melebar saat dewasa (rata) dengan bagian tengah

yang memiliki tonjolan (umbo) (Gambar 2C). Tepian

tudung rata dengan margin sedikit bergelombang.

Tipe himenofor jamur ini berupa lamela yang

berwarna putih (Gambar 2B;D) yang merupakan

salah satu karakter utama dari kelompok ini, lamela

bebas/tidak menempel pada tangkai, jarak antar baris

medium, dan margin rata (entire). Tangkai berbentuk

silindris berwarna putih, dilengkapi cincin pada

bagian atas (superior) (Gambar 2F), permukaan halus,

memiliki volva dengan tipe kaus kaki (Gambar 2F),

dan menempel ke tudung pada posisi tengah. Tekstur

tubuh buahnya berdaging tanpa bau yang khas. Jamur

ini umumnya hanya dijual basah dan dibungkus

dengan plastik dengan berbagai ukuran berat

(Gambar 2E). Jamur ini umumnya dimanfaatkan

sebagai bahan pangan (Gambar 7A;B) oleh

masyarakat lokal dengan jenis masakan khas

Belitong.

Gambar 2. Amanita sect. caesarea (kulat pelandok) pangan liar Pulau Belitong. A: Tubuh buah muda.

B: Cincin pada posisi atas (panah). C: Tubuh buah dewasa dengan tudung yang telah merekah

(bar : 1 cm). D: Tubuh buah yang telah dicuci dan siap dimasak. E: Jamur yang siap untuk dijual.

F: Volva dengan bentuk kaus kaki.

Page 63: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109

126

Genus Amanita memiliki keragaman yang tinggi

terutama di daerah tropis seperti Indonesia, Malaysia,

Thailand, India, Singapura, dan bagian selatan

Tiongkok (Li & Cai, 2014; Thongbai et al., 2016;

Tang et al., 2017). Saat merambah, jamur ini

biasanya ditemukan oleh masyarakat lokal di

Belitong di lantai hutan di sekitaran berbagai macam

tanaman, diantaranya adalah Schima wallichii atau

dalam bahasa lokal disebut sebagai ‘batang seruk’.

Amanita diketahui merupakan kelompok jamur

pembentuk ektomikoriza dengan berbagai macam

tanaman kehutanan. Hingga saat ini tercatat sebanyak

11 spesies, subspesies, dan varietas dari A. caesarea

di seluruh dunia

(http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp,

diakses pada 01 Agustus 2020). Observasi lebih

lanjut dengan menggunakan karakter mikroskopik

dan pendekatan molekuler diperlukan untuk

mengkonfirmasi identitas yang lengkap terkait

taksonomi ‘kulat pelawan’ sehingga secara temporer

ditempatkan pada ‘sect’ caesarea pada tulisan ini. Di

Indonesia, laporan genus Amanita yang

komprehensif dan dilengkapi dengan kunci

identifikasi hanya pernah dilaporkan oleh Boedjin

pada tahun 1951, namun tidak ditemukan data

mengenai deskripsi A. caesarea. Hampir sebagian

besar genus Amanita merupakan jamur yang beracun

dan tersebar di seluruh belahan dunia (Lima et al.,

2012), dengan sedikit bagian dari kelompok ini yang

bisa dikonsumsi (Boa, 2004). Sehingga diperlukan

pengetahuan, ketelitian, dan pengalaman yang baik

untuk merambah jamur ini. Masyarakat lokal di

Belitong umumnya membedakan jenis jamur ini dari

kelompok jamur lain yang terlihat mirip dan beracun

adalah mengamati keberadaan volva yang sangat

besar pada bagian basal dari ‘kulat pelandok’.

Tripathy et al. (2014) melaporkan bahwa A. caesarea

merupakan salah satu JPL yang banyak dikonsumsi

di daerah Odisha (India) karena kandungan nutrisi

dan antioksidannya yang tinggi.

Hygrocybe cf. conica

Jamur ini disebut sebagai ‘kulat tiong’ oleh

masyarakat Belitong dan tumbuh secara soliter

(Gambar 3A) atau berkelompok pada lantai hutan

kerangas dan di sekitar pohon karet dengan gaya

hidup saprofit. Jamur ini memiliki tubuh buah berupa

tudung, berlamela, dan memiliki tangkai. Tudung

berwarna oranye kecoklatan hingga merah cerah dan

memudar seiring perkembangannya (Gambar 3A;2B).

Tudung berbentuk payung meninggi (conic) pada

saat muda dan melebar saat dewasa (hampir rata)

dengan gurat halus berupa lingkaran benang halus

pada seluruh tepian tudung (Gambar 3B). Tudung

memiliki eksudat berupa gel sehingga terlihat licin

dan mengkilap sebelum dikoleksi. Tepian tudung rata

dengan margin sedikit bergelombang. Tipe himenofor

jamur ini berupa lamela dan berwarna oranye pucat

hingga kecoklatan (Gambar 3B), lamela bebas/tidak

menempel pada tangkai, jarak antar baris medium,

dan margin rata (entire). Tangkai berbentuk silindris

dengan bentuk sedikit melebar, berwarna coklat

hingga oranye pada bagian atas dan putih ke arah

basal, tanpa dilengkapi cincin, permukaan halus

hingga sedikit kasar, tanpa volva, dan menempel ke

tudung pada posisi tengah (Gambar 3B;C). Tekstur

tubuh buah berdaging tanpa bau yang khas. Jamur ini

hanya dijual pada kondisi segar dan dibungkus

dengan dengan berbagai ukuran berat (Gambar 3D).

Jamur ini dikonsumsi (Gambar 7C) oleh masyarakat

lokal dengan olahan jenis masakan tertentu.

Genus Hygrocybe memiliki persebaran yang luas

dan bisa ditemukan di banyak kontinen dengan iklim

dan vegetasi yang beragam (Halbwachs et al., 2013;

Silva-Filho et al., 2019). Cara hidup dari jamur ini

hingga saat ini masih belum bisa dijelaskan dengan

baik. Beberapa peneliti sebelumnya melaporkan

bahwa Hygrocybe hidup sebagai saprofit, namun

Seitzman et al. (2011) juga menemukan beberapa

jenis Hygrocybe yang memiliki gaya hidup biotrof

dan membentuk ektomikoriza. Jamur ini umumnya

ditemukan oleh masyarakat lokal di Belitong tumbuh

pada serasah di lantai hutan yang kering ataupun

pada daerah yang berlumut. Seitzman et al. (2011)

mengasumsikan bahwa lumut merupakan salah satu

inang dari Hygrocybe dalam membentuk simbiosis

ektomikoriza, namun hal tersebut masih perlu

dibuktikan lebih lanjut. Hingga saat ini tercatat

sebanyak 23 spesies, subspesies, dan varietas dari

Hygrocybe conica di seluruh dunia

(http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp,

diakses pada 01 Agustus 2020). Di Indonesia,

Hygrocybe telah dilaporkan sebelumnya dari Taman

Nasional Ujung Kulon (Putra et al,. 2017) dan

Kalimantan Tengah (Putra & Khafazallah, 2020).

Sama halnya seperti masyarakat lokal Belitong,

masyarakat adat di Tamiang Layang, Kalimantan

Tengah juga mengkonsumsi Hygrocybe conica dan

menyebutkan sebagai ‘kulat siung’ (Putra &

Khafazallah, 2020). El et al. (2014) melaporkan

bahwa H. conica merupakan jenis JPL yang memiliki

kandungan antioksidan yang tinggi sehingga

dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan campuran

obat oleh beberapa suku lokal di Malaysia.

Page 64: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…

(Ivan Permana Putra)

127

Heimioporus sp.

Jamur ini dikenal sebagai ‘kulat pelawan’

(diambil dari nama tumbuhan inangnya) dan tumbuh

berkelompok pada lantai hutan di dekat sistem

perakaran pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis).

Jamur ini memiliki bentuk tubuh buah berupa tudung,

berpori, dan bertangkai. Jamur ini merupakan

kelompok Agarics (istilah non taksonomi untuk

jamur berdaging) yang berpori (Bolet). Tudung

berwarna merah hingga merah keunguan dengan

permukaan sedikit berserabut (Gambar 4A;C).

Tudung berbentuk setengah mangkuk terbalik pada

semua fase tubuh buah. Tepian tudung rata dengan

margin sedikit bergelombang. Tipe himenofor jamur

ini berupa pori yang berwarna kuning cerah (Gambar

4B), pori berdaging dengan pola perlekatan yang bisa

dilepas. Tangkai berbentuk silindris berwarna sama

dengan permukaan tudung, memiliki benang fibril

berwarna hitam, tanpa cincin pada dan volva, dan

menempel ke tudung pada posisi tengah (Gambar

4B). Tekstur tubuh buah berdaging dengan bau yang

khas seperti langu. Jamur ini umumnya dimanfaatkan

sebagai bahan pangan (Gambar 7D) oleh masyarakat

lokal dengan jenis masakan khas Belitong. Jamur ini

juga dijual dalam keadaan basah dan kering (Gambar

4B; D) dengan harga yang sangat mahal (Tabel 2).

Hal ini dikarenakan rasa dan aroma dari jamur ini

yang sangat khas dan belum bisa dibudidayakan

hingga saat ini.

Genus Heimioporus tersebar mulai daerah

subtropis hingga tropis seperti Amerika, Australia,

Belize, Tiongkok, Jepang, Malaysia, Indonesia,

Papua Nugini dan beberapa tempat lainnya (Halling

et al., 2015; Zeng et al., 2018). Di Indonesia, laporan

mengenai keberadaan jamur ini hanya berasal dari

Bangka Belitung, walaupun dimungkinkan juga

tumbuh pada daerah lain yang memiliki distribusi

pohon pelawan seperti Pulau Kalimantan. Karena

gaya hidupnya berupa ektomikoriza yang obligat

terhadap tanaman pelawan, maka hingga saat ini

kulat pelawan belum bisa dibudidayakan. Hal ini

mengindikasikan perlunya konservasi hutan pelawan

di Pulau Belitong untuk menjaga kelestarian baik

tumbuhan pelawan dan juga ‘kulat pelawan’. Jamur

ini merupakan salah satu jenis favorit yang dicari

oleh masyarakat lokal di Pulau Belitong saat

merambah. Rich (2011) melaporkan bahwa jamur ini

mengandung protein tinggi, rendah lemak, mineral,

serat pangan, biotin, dan vitamin C. Hingga saat ini

tercatat sebanyak 23 spesies, subspesies, dan varietas

dari genus Heimioporus di seluruh dunia

(http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp,

Gambar 3. Hygrocybe cf. conica (kulat tiong) pangan liar di Pulau Belitong (Bar : 1 cm). A: Tubuh buah muda

dengan warna merah cerah (Bar : 1 cm). B: Tubuh buah dewasa dengan tudung yang telah merekah

dan warna merah pada tudung memudar. C: Pengemasan jamur untuk dijual. D: Jamur yang siap

dijual.

Page 65: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109

128

diakses pada 01 Agustus 2020). Tasuruni (2012)

mencoba mengidentifikasi jamur pelawan dengan

menggunakan karakter morfologi dan molekuler

(ITS), namun hanya berkerabat dekat/satu klade

dengan H. retrisporus (tingkat homologi dan

kekerabatan rendah) sehingga nampaknya diperlukan

gen tambahan untuk menganalisis identitas

taksonominya hingga ke level spesies yang akurat.

Hal ini menyebabkan identitas terkini kulat pelawan

yang digunakan hanya sampai level genus yakni

Heimioporus sp. Eksplorasi dan identifikasi yang

diikuti dengan analisis filogenetik dengan kombinasi

berberapa gen memiliki peluang besar untuk

menemukan spesies-spesies baru dari Heimioporus

terutama di daerah tropis (Zeng et al., 2018).

Phylloporus sp.

Jamur ini dikenal sebagai ‘kulat sukatan’ dan

tumbuh berkelompok pada serasah (Gambar 5A) di

dekat kulat pelawan (Tabel 3). Jamur ini memiliki

bentuk tubuh buah berupa tudung, berpori, dan

bertangkai. Tudung berwarna coklat gelap dengan

bintik-bintik menyerupai sisik, bagian atas berbentuk

hampir rata dengan tepian sedikit terangkat, dan

menunjukkan ciri dari kelompok Boletales, namun

berbeda pada bentuk himenofornya. Permukaan

tudung sedikit kasar dengan tepian dan margin

tudung rata. Jamur ini memiliki tipe himenofor

berupa lamela (Gambar 5A) dengan tipe penempelan

adnate (menempel dengan jarak yang sempit).

Tangkai berbentuk silinder dengan ukuran yang

konsisten hingga ke bagian basalnya (Gambar 5B).

Tangkai berwarna coklat krem, tanpa cincin,

permukaan sedikit bertepung, menempel ke tudung

pada posisi tengah, tipe penempelan pada substrat

berupa basal tomentum (bagian bawah tangkai

langsung menempel pada substrat dengan miselium

yang lebih sedikit daripada rhizomorph), dan tidak

berongga (padat). Jamur ini dimanfaatkan sebagai

bahan pangan (Gambar 7E) oleh masyarakat lokal

dengan jenis masakan khas Belitong. Jamur ini hanya

dijual dalam keadaan kering (Gambar 5C;D).

Spesies dari Phylloporus diketahui merupakan

jamur pembentuk ektomikoriza dengan berbagai

tanaman kehutanan seperti kelompok Fabaceae,

Dipterocarpaceae, Fagaceae, Myrtaceae, dan

Pinaceae (Neves et al., 2012; Montoya et al., 2019).

Jamur ini seringkali ditemukan oleh masyarakat lokal

di Belitong tumbuh di dekat Heimioporus sp., namun

observasi lebih lanjut diperlukan apakah kedua jamur

ini bersimbiosis dengan Tristaniopsis merguensis.

Neves et al. (2012) melaporkan bahwa banyak dari

spesies Phylloporus yang dideskripsikan berasal dari

Malaysia dan Australia. Hingga saat ini tercatat

sebanyak 125 spesies, subspesies, dan varietas dari

genus Phylloporus di seluruh dunia

(http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp,

diakses pada 01 Agustus 2020). Di Indonesia,

Gambar 4. Heimioporus sp. (kulat pelawan) pangan liar di Pulau Belitong (Bar : 1 cm). A: Bagian atas tudung.

B: Himenofor yang berwarna kuning. C: Gurat pada bagian atas tudung dan permukaan tangkai.

D: Tubuh buah jamur yang telah dikeringkan.

Page 66: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…

(Ivan Permana Putra)

129

sebelumnya telah dilaporkan beberapa spesies

Phylloporus yakni P. pumilus dan P. bogoriensis

(Neves et al., 2012; Montoya et al., 2019). Sebagian

besar spesies dari kelompok Boletaceae merupakan

jamur yang bernilai ekonomi penting dan digunakan

sebagai bahan pangan atau obat (De Silva et al., 2012)

dan juga mampu mengakumulasi berbagai macam

mineral dan besi (Dimitrijevic et al., 2015). Namun

hingga saat ini belum ditemukan laporan terkait

analisis kandungan nutrisi dan bahan bioaktif dari

genus Phylloporus.

Volvariella sp.

Jamur ini memiliki nama lokal ‘kulat sawit’ dan

tumbuh berkelompok pada bekas bonggol ataupun

batang sawit yang telah mati. Jamur ini memiliki

bentuk tubuh buah berupa tudung, berlamela, dan

bertangkai. Tudung berwarna hitam pada bagian

tengah dengan warna coklat pudar pada bagian

tepinya (Gambar 6A). Tudung berbentuk setengah

mangkuk terbalik pada saat muda dan merekah

hingga hampir rata saat dewasa. Tepian tudung rata

dengan margin sedikit bergelombang. Tipe himenofor

jamur ini berupa lamela yang berwarna coklat merah

muda (Gambar 6B), lamela bebas/tidak menempel

pada tangkai, jarak antar baris medium, dan margin

rata. Tangkai berbentuk silindris berwarna krem,

permukaan halus, tanpa cincin pada, memiliki volva

Gambar 5. Phyllophorus sp. (kulat sukatan) pangan liar di Pulau Belitong. A: Himenofor berupa lamela

dengan warna kuning tua (A-B Dok : Oktan DN). B: Permukaan atas tudung. C: Proses

pengeringan tubuh buah jamur (Bar : 1 cm). D: Tubuh buah yang telah kering dan siap untuk

dijual.

Page 67: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109

130

yang merupakan salah satu karakter dari jamur ini,

dan tangkai menempel ke tudung pada posisi tengah.

Tekstur tubuh buah berdaging tanpa bau yang khas.

Jamur ini umumnya dimanfaatkan sebagai bahan

pangan oleh masyarakat lokal dengan jenis masakan

khas Belitong. Jamur ini umumnya dijual dalam

keadaan basah (Gambar 6C) atau tubuh buah yang

sudah direbus atau dalam bahasa lokal ‘dicelor’

(Gambar 6B). Fase tubuh buah yang dikonsumsi

umumnya pada kondisi muda di mana tudung belum

merekah sempurna.

Volvariella merupakan jamur yang memiliki

persebaran luas dari daerah tropis hingga subtropis di

seluruh dunia. Jamur ini merupakan salah satu dari 5

jamur yang paling banyak dibudidayakan (Chang &

Miles, 2004). Volvariella umumnya tumbuh liar pada

sekam padi, bonggol sawit, dan batang tanaman sawit

(Apetorgbor et al., 2015). Masyarakat lokal di

Belitong umumnya merambah jamur ini di sekitar

perkebunan sawit selama sepanjang tahun karena

kelompok jamur ini memiliki gaya hidup saprofit,

sehingga tidak bergantung kepada inang tumbuhan

tertentu. Jenis lain dari jamur ini juga dilaporkan

tumbuh di pohon sagu dan merupakan jamur

endemik dari Papua dan telah dikultivasi (Abbas et

al., 2012; 2013). Volvariella diketahui memiliki

kandungan nutrisi yang tinggi seperti protein, mineral,

asam folat, dan antioksidan (Sadli et al., 2018; Sudha

et al., 2019). Hingga saat ini tercatat sebanyak 142

spesies, subspesies, dan varietas dari genus

Volvariella di seluruh dunia

(http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp,

diakses pada 01 Agustus 2020). Putra & Khafazallah

(2020) melaporkan bahwa banyak etnis/suku di

Indonesia yang memanfaatkan jamur liar ini sebagai

bahan pangan sehari-hari.

Valuasi biomassa jamur liar JPL dari hutan/satuan

luas hutan perlu dilakukan untuk mengetahui nilai

rupiah yang bisa didapatkan oleh masyarakat di

sekitar kawasan hutan Pulau Belitong. Hal ini

merupakan salah satu alternatif penggerak roda

ekonomi masyarakat lokal di Belitong. Namun upaya

pemanfaatan jamur liar di alam juga perlu diimbangi

dengan kebijakan pelestarian hutan dan jenis-jenis

tanaman yang ada, supaya produksi tubuh jamur

secara alami dapat terjaga dan berkelanjutan.

Tindakan pemantauan terhadap biomassa jamur yang

dipanen juga perlu dilakukan secara periodik untuk

Gambar 6. Volvariella sp. (kulat sawit) pangan liar di Pulau Belitong. A: Tubuh buah muda dengan tudung

yang belum merekah. B: Tubuh buah jamur yang telah direbus. C: Jamur yang dijual tanpa direbus

terlebih dahulu.

Page 68: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…

(Ivan Permana Putra)

131

mengetahui kapasitas produksi dari alam. Dari aspek

pasca panennya, hingga saat ini, hanya jamur

‘pelawan’ dan jamur ‘sukatan’ yang telah dilakukan

pengawetan sederhana oleh masyarakat ataupun

pengumpul jamur dengan cara dikeringkan sinar

matahari. Metode ini tentunya masih memiliki

kekurangan, sehingga peran instansi pemerintahan

terkait sangat diperlukan untuk diseminasi teknik

preservasi yang lebih efektif dan efisien seperti

pengeringan dengan oven dan vakum. Hal ini

tentunya diharapkan akan membuat kualitas tubuh

buah jamur kering tetap terjaga dan dengan jangka

waktu simpan yang lebih lama. Sementara itu, untuk

jamur lainnya yang dijual segar, masyarakat lokal

menjualnya secara langsung ataupun melalui media

sosial. Jika tidak terjual, umumnya jamur tersebut

dikonsumsi oleh mereka sendiri. Upaya

pendampingan preservasi jamur dan pengolahannya

menjadi bentuk produk sekunder belum begitu

populer dilakukan di Pulau Belitong. Dengan adanya

diversifikasi produk, diharapkan nilai ekonomi jamur

yang diperoleh tetap terjaga ataupun bertambah

ketika dijual. Bentuk kegiatan yang memungkinkan

salah satunya adalah usaha mikro kecil dan

menengah yang memiliki potensi besar karena Pulau

Belitong juga merupakan salah satu destinasi wisata

populer di Indonesia.

Selain bergantung kepada ketersediaan jamur di

alam, pendekatan lainnya yang dapat dilakukan

adalah dengan penelitian lebih lanjut terhadap

seluruh jamur yang dilaporkan pada tulisan ini,

terutama kaitannya terhadap peluang kultivasinya di

masa mendatang. Beberapa jamur yang memiliki cara

hidup ektomikoriza merupakan simbion yang obligat

terhadap inang tumbuhannya (tidak bisa

dibudidayakan), namun beberapa lainnya merupakan

mikobion fakultatif sehingga berpeluang untuk

dibudidayakan (Kumla et al., 2012). Sementara itu,

jamur yang bersifat saprofit umumnya mudah

dibudidayakan namun tetap diperlukan uji awal

terkait optimasi media tumbuhnya. Hingga saat ini

belum ditemukan adanya laporan upaya kultivasi

jamur-jamur yang dilaporkan pada penelitian ini di

Pulau Belitong. Kolaborasi antara peneliti,

pemerintah setempat, dan masyarakat diperlukan

untuk mewujudkan hal tersebut. Jika jamur-jamur

tersebut berhasil dibudidayakan, tentunya hal ini

akan membuat ketersediannya stabil sepanjang tahun

sehingga terjadi keseimbangan antara ketersediaan

dan permintaan pasar. Beberapa pengumpul jamur

menginformasikan bahwa jamur pelawan juga dijual

ke luar Pulau Belitong, seperti Jakarta. Namun,

observasi lebih lanjut terkait karakteristik jamur juga

perlu dilakukan terkait tubuh buah yang diproduksi

dari alam dan hasil budidayanya. Hal ini perlu

dilakukan untuk menjamin kualitas jamur yang sama

dengan tubuh buahnya di alam.

Upaya konservasi tanaman yang merupakan

inang dari jamur ektomikoriza, seperti pohon

pelawan perlu mendapatkan perhatian khusus untuk

menjaga keberlangsungan hidup dari jamur-jamur

tersebut di Pulau Belitong. Tanaman pelawan hingga

saat ini hanya dilaporkan persebarannya di

Kepulauan Bangka-Belitung (Babel) dan memiliki

peranan penting dalam aspek etnobiologi masyarakat

lokal di daerah tersebut (Akbarini, 2016). Dari

beberapa wilayah yang ada di Babel, hanya

Kabupaten Bangka Tengah yang telah diketahui

mencanangkan program konservasi pohon pelawan

guna keberlanjutan dan pemanfaatannya (Akbarini,

2016). Jamur pembentuk ektomikoriza telah

diketahui memiliki peranan penting dalam membantu

tumbuhan inangnya untuk mencari hara dan nutrisi

lebih baik karena daya jelajahnya yang luas dengan

ukuran hifa yang jauh lebih kecil dibandingkan akar

paling kecil dari tanaman (Boroujeni &

Hemmatinezhad, 2015). Hal ini juga diperkuat

dengan kondisi tanah di Pulau Belitong yang

cenderung memiliki pH rendah (Oktavia et al., 2014)

sehingga beberapa unsur hara penting yang

dibutuhkan oleh tanaman tidak tersedia dengan bebas

di tanah. Helbert et al., (2019) melaporkan bahwa

pohon pelawan (Tristaniopsis spp.) yang

mendominasi hutan sekunder di Pulau Bangka

merupakan fitobion utama dari berbagai jenis jamur

pembentuk ektomikoriza (56 jenis jamur dari famili

Thelephoraceae, Russulaceae, dan Clavulinaceae)

dan belum pernah dilaporkan sebelumnya.

Jamur-jamur tersebut berpeluang besar untuk

dideskripsikan sebagai spesies baru dan menambah

catatan diversitas jamur di Indonesia. Selain itu,

mereka juga berasumsi bahwa tumbuhan ini juga

merupakan tempat ‘berlindung sementara’ (bunker)

bagi fungi ektomikoriza saat terjadi kerusakan hutan

ataupun kondisi yang tidak menguntungkan. Karena

konsekuensinya sebagai organisme heterotrof, jamur

pembentuk ektomikoriza menggantungkan kebutuhan

karbonnya dari pasokan hasil fotosintesis tumbuhan.

Hal inilah yang menjadikan simbiosis mutualistik

antara keduanya perlu dijaga dengan baik supaya

tidak terjadi eksploitasi tubuh buah jamur yang

berlebihan sebagai akibat nilai komersial yang

dimilikinya. Salah satu ren kegiatan konservasi

terkini yang banyak dilakukan adalah melalui

Page 69: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109

132

kegiatan ekowisata. Saat ini kegiatan ekowisata di

Pulau Belitong telah dilakukan terutama sejak

dibentuknya geopark, namun masih terfokus kepada

hewan tarsius. Konsep ekowisata JPL pembentuk

ektomikoriza dengan tanaman inangnya ataupun

jamur saprofit di Pulau Belitong tentunya juga

merupakan salah satu potensi daya tarik wisatawan di

masa mendatang.

KESIMPULAN

Sebanyak 5 JPL bernilai ekonomi asal Pulau

Belitong dilaporkan pada penelitian ini yakni :

Amanita sect. caesarea (kulat pelandok),

Heimioporus sp. (kulat pelawan), Hygrocybe cf.

conica (kulat tiong), Phylloporus sp. (kulat sukatan),

dan Volvariella sp. (kulat sawit). Heimioporus sp.

diketahui merupakan jamur yang memiliki harga jual

yang paling tinggi dibandingkan dengan jamur

lainnya. Tiga jenis dari jamur yang dilaporkan

merupakan jamur pembentuk ektomikoriza (kulat

pelandok, kulat pelawan, dan kulat sukatan) dan 2

lainnya merupakan jamur yang hidup secara saprofit.

Seluruh jamur tersebut merupakan anggota filum

Basidiomycota yang terbagi ke dalam 2 ordo dan 4

famili. Jamur-jamur tersebut berpotensi untuk

dikembangkan lebih lanjut dalam tahap kultivasi dan

analisis nutrisinya di masa mendatang. Upaya

konservasi tanaman yang menjadi inang jamur

pembentuk ektomikoriza dan vegetasi hutan pada

ekosistem tumbuh jamur saprofit perlu menjadi

perhatian penting di Pulau Belitong.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada

pengelola Kemantauan Keppak dan seluruh

masyarakat lokal Belitong yang telah membantu

penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, B., Listyorini, F.H. & Martanto, E.A. (2012).

Karakteristik Jamur Sagu (Volvariella sp.) Endemik

Papua. Jurnal Natur Indonesia, 13(2), 168-173.

http://dx.doi.org/10.31258/jnat.13.2.168-173.

Abbas, B., Listyorini, F. H., Martanto, E. A., & Renwarin,

Y. (2013). Pertumbuhan Jaringan Stipe dari Jamur

Sagu (Volvariella sp.) Endemik Papua dalam Kultur in

vitro. Jurnal Natur Indonesia, 14(3), 184-190.

http://dx.doi.org/10.31258/jnat.14.3.184-190.

Akbarini, D. (2016). Pohon Pelawan (Tristaniopsis

merguensis): Spesies Kunci Keberlanjutan Hutan

Taman Keanekaragaman Hayati Namang – Bangka

Tengah. Al-Kauniyah: Jurnal Biologi, 9(1),66-73.

http://dx.doi.org/10.15408/kauniyah.v9i1.3500.

Al ulya, A.N., Leksono, S.M. & Khastini, R.O. (2017).

Biodiversitas dan potensi jamur Basidomycota di

Kawasan Kasepuhan Cisungsang, Kabupaten Lebak,

Banten. Al-Kauniyah: Jurnal Biologi, 10(1),9-16.

http://dx.doi.org/10.15408/kauniyah.v10i1.4513.

Álvarez-Farias, Z., Diaz-Godinez, G., Teller-Tellez, M.,

Villegas, E., & Acosta-Urdapilleta M.L. (2016).

Ethnomycological knowledge of wild edible

mushrooms in Tlayacapan, Morelos. Mycosphere,

7(10), 1491–1499.

http://dx.doi.org/10.5943/mycosphere/si/3b/1.

Apetorgbor, A. K., Apetorgbor, M. M., & Derkyi, N. S. A.

(2015). Comparative Studies on Growth and Yield of

Oil Palm Mushroom, Volvariella Volvacea (Bull. Ex.

Fr.) Sing. on Different Substrates. Greener Journal of

Gambar 7. Olahan masakan JPL oleh masyarakat lokal Pulau Belitong. A: Gulai (gangan) kering kulat

‘pelandok’ (Dok : Renita). B: Tumis terasi (belacan) kulat ‘pelandok’. C: Tumis kering kulat

‘tiong’ (Dok: Venica). D: Gulai kulat pelawan (Dok: Ramadani). E: Gulai kering kulat ‘sukatan’

Page 70: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…

(Ivan Permana Putra)

133

Agricultural Sciences, 5(5), 177–189.

http://dx.doi.org/10.15580/gjas.2015.5.071115091.

Arora, D. (1986). Mushrooms Demystified. USA: Teen

Speed Press.

Bakır, T. kan, Boufars, M., Karadeniz, M., & Ünal, S.

(2018). Amino acid composition and antioxidant

properties of five edible mushroom species from

Kastamonu, Turkey. African Journal of Traditional,

Complementary and Alternative Medicines, 15(2),

80-87. http://dx.doi.org/10.21010/ajtcamv15i2.10.

Blackwell, M. (2011). The Fungi: 1, 2, 3 … 5.1 million

species? American Journal of Botany, 98(3), 426-438.

http://dx.doi.org/10.3732/ajb.1000298.

Boa, E. (2004). Wild Edible Fungi: A Global Overview of

Their Use and Importance to People. Rome : FAO.

Boedijn, K.B.(1951): Notes on Indonesian

Fungi. Sydowia, 5: 317 - 327.

Boroujeni, D. S., & Hemmatinezhad, B. (2015). Review of

Application and Importance of Ectomycorrhiza Fungi

and their Role in the Stability of Ecosystems.

Biosciences Biotechnology Research Asia, 12(1),

153-158. doi:10.13005/bbra/1646.

Brundrett, M. (2004). Diversity and classification of

mycorrhizal associations. Biological Reviews, 79(3):

473-495.

http://dx.doi.org/10.1017/s1464793103006316.

Chang, S.T & Miles, P. (2004). Cultivation techniques. In:

Chang, S.T.,Miles, P. (Eds.), Mushroom, Cultivation,

Nutritional Value andMedicinal Effect and

Environmental Impact. NewYork: CRS Press.

Das, K. (2010). Diversity and conservation of wild

mushrooms in Sikkim with special reference to

Barsey Rhododendron Sanctuary. NeBio, 1: 1-13.

De Silva, D. D., Rapior, S., Fons, F., Bahkali, A. H., &

Hyde, K. D. (2012). Medicinal mushrooms in

supportive cancer therapies: an approach to

anti-cancer effects and putative mechanisms of action.

Fungal Diversity, 55(1), 1–35.

http://dx.doi.org/10.1007/s13225-012-0151-3.

Desjardin, D. E., Wood, M., & Stevens, F. A.

(2016). California mushrooms: The comprehensive

identification guide. Portland: Timber Press.

Dimitrijevic, M. V., Mitic, V. D., Cvetkovic, J. S.,

Stankov Jovanovic, V. P., Mutic, J. J., & Nikolic

Mandic, S. D. (2015). Update on element content

profiles in eleven wild edible mushrooms from family

Boletaceae. European Food Research and

Technology, 242(1), 1-10.

http://dx.doi.org/10.1007/s00217-015-2512-0.

EL, C., Sia, C.M., Khoo, H.,E., Chang, S.,K., & Yim,

H.S. (2014). Antioxidative properties of an extract of

Hygrocybe conica, a wild edible mushroom.

Malaysian Journal of Nutrition, 20. 101-111.

Ergon, P.G., Ergonul, B., Kalyoncu, F., & Akata, I.

(2012). Fatty Acid Compositions of Five Wild Edible

Mushroom Species Collected from Turkey.

International Journal of Pharmacology, 8(5),

463–466. http://dx.doi.org/10.3923/ijp.2012.463.466.

Halbwachs, H., Karasch, P. & Griffith, G. (2013). The

diverse habitats of Hygrocybe – peeking into an

enigmatic lifestyle. Mycosphere, 4(4), 773–792.

http://dx.doi.org/10.5943/mycosphere/4/4/14.

Halling, R. E., Fechner, N., Nuhn, M., Osmundson, T.,

Soytong, K., Arora, D., & Hibbett, D. (2015).

Evolutionary relationships of Heimioporus and

Boletellus (Boletales), with an emphasis on Australian

taxa including new species and new combinations in

Aureoboletus, Hemileccinum and Xerocomus.

Australian Systematic Botany, 28(1), 1.

http://dx.doi.org/10.1071/sb14049.

Hawksworth, D.L. (2001). The magnitude of fungal

diversity: the 1.5 million species estimate revisited.

Mycological Research, 105(12),1422–1432.

http://dx.doi.org/10.1017/s0953756201004725.

Helbert, Turjaman, M., & Nara, K. (2019).

Ectomycorrhizal fungal communities of secondary

tropical forests dominated by Tristaniopsis in Bangka

Island, Indonesia. PLOS ONE, 14(9).

http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0221998.

Hobbie, J.E., & Hobbie, E.A. (2006). 15N in symbiotic

fungi and plants estimates nitrogen and carbon flux

rates in arctic tundra. Ecology, 87: 816-822.

doi:10.1890/0012-9658(2006)87[816:NISFAP]2.0.

CO;2

Khastini, R.O., Wahyuni, I. & Saraswati, I. (2018).

Ethnomycology of Bracket Fungi in Baduy Tribe

Indonesia. Biosaintifika: Journal of Biology &

Biology Education, 10(2), 424–432.

http://dx.doi.org/10.15294/biosaintifika.v10i2.14082.

Khastini, R. O., Wahyuni, I., Lista, L., & Saraswati, I.

(2019). Inventory and utilization of macrofungi

species for food in Cikartawana inner Baduy Banten.

Biodidaktika, Jurnal Biologi dan pembelajarannya,

14(1), 7-13.

http://dx.doi.org/10.30870/biodidaktika.v14i1.4838.

Kumla, J., Bussaban, B., Suwannarach, N., Lumyong, S.,

& Danell, E. (2012). Basidiome formation of an

edible wild, putatively ectomycorrhizal fungus,

Phlebopus portentosus without host plant. Mycologia,

104(3), 597–603. http://dx.doi.org/10.3852/11-074.

Lazo, C., Kalaw, S.P., & De Leon, A.M. (2015).

Ethnomycological Survey of Macrofungi Utilized by

Gaddang Communities in Nueva Vizcaya,

Philippines. Current Research in Environmental &

Applied Mycology, 5(3), 256–262.

http://dx.doi.org/10.5943/cream/5/3/8.

Li, F., & Cai, Q. (2014). Amanita heishidingensis, a new

species of Amanita sect. Lepidella from China.

Mycological Progress, 13(4).

http://dx.doi.org/10.1007/s11557-014-1008-9.

Lima, A.D., Costa F.R., Carvalho, G., Novaes, M.R, &

Percário, S. (2012). Poisonous mushrooms: a review

of the most common intoxications. Nutricion

Hospitalaria. 27(2):402-408.

DOI:10.1590/s0212-16112012000200009.

Montoya, L., Garay-Serrano, E. & Bandala, V.M. (2019).

Two new species of Phylloporus (Fungi, Boletales)

from tropical Quercus forests in eastern Mexico.

MycoKeys, 51, 107–123.

http://dx.doi.org/10.3897/mycokeys.51.33529.

Murugkar, D. & Subbulakshmi, G. (2005). Nutritional

value of edible wild mushrooms collected from the

Khasi hills of Meghalaya. Food Chemistry, 89(4),

599-603.

Page 71: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109

134

http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2004.03.042.

Narulita, I., & Marganingrum, D. (2017). Analisis Curah

Hujan, Perubahan Tutupan Lahan, dan Penyusunan

Kurva IDF untuk Analisis Peluang Banjir: Studi

Kasus Das Cerucuk, Pulau Belitung. Jurnal

Lingkungan dan Bencana Geologi, 8(2), 57-69.

DOI: http://dx.doi.org/10.34126/jlbg.v8i2.

Neves, M. A., Binder, M., Halling, R., Hibbett, D., &

Soytong, K. (2012). The phylogeny of selected

Phylloporus species, inferred from NUC-LSU and

ITS sequences, and descriptions of new species from

the Old World. Fungal Diversity, 55(1), 109–123.

http://dx.doi.org/10.1007/s13225-012-0154-0.

O'Dell, T., Lodge, D.J., Mueller, G.M. (2004).

Approaches to sampling macrofungi. (In): G. M.

Mueller, G. Bills, M. S. Foster (eds) Biodiversity of

Fungi: Inventory and Monitoring Methods. San Diego:

Elsevier Academic Press. 163-168.

Oktavia, D. (2012). Komposisi Vegetasi Dan Potensi

Tumbuhan Obat Di Hutan Kerangas Kabupaten

Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Skripsi tidak diterbitkan, IPB, Bogor.

Oktavia, D., Setiadi, Y., & Hilwan, I. (2014). Sifat fisika

dan kimia tanah di hutan kerangas dan lahan pasca

tambang timah Kabupaten Belitung Timur. Jurnal

Silvikultur Tropika, 5(3),149-154.

Osarenkhoe, O. O., John, O. A., & Theophilus, D. A.

(2014). Ethnomycological Conspectus of West

African Mushrooms: An Awareness Document.

Advances in Microbiology, 4(1), 39–54.

http://dx.doi.org/10.4236/aim.2014.41008.

Putra, I.P., Mardiyah, E., Amalia, N.S., & Mountara, A.

(2017). Ragam jamur asal serasah dan tanah di Taman

Nasional Ujung Kulon Indonesia. Jurnal Sumberdaya

Hayati, 3(1), 1-7.

Putra, I.P., Sitompul, R., & Chalisya, N. (2018). Ragam

Dan Potensi Jamur Makro Asal Taman Wisata

Mekarsari Jawa Barat. Al-Kauniyah: Jurnal Biologi,

11(2),133–150.

http://dx.doi.org/10.15408/kauniyah.v11i2.6729.

Putra, I.P., Nasrullah, M.A., & Dinindaputri, T.A.

(2019a). Study on Diversity and Potency of Some

Macro Mushroom at Gunung Gede Pangrango

National Park. Buletin Plasma Nutfah, 25(2), 1-14.

http://dx.doi.org/10.21082/blpn.v25n2.2019.p1-14.

Putra, I.P., Amelya, M.P., Nugara, N.H., & Zamia, H.Z.

(2019b). Notes of Some Macroscopic Fungi at IPB

University Campus Forest: Diversity and Potency.

Biota, 12(2), 57-71.

https://doi.org/10.20414/jb.v12i2.192.

Putra,I.P.(2020a). Record On Macroscopic Fungi At IPB

University Campus Forest : Description And Potential

Utilization. IJOSE, 4(1):1-11.

Putra, I.P. (2020b). Catatan Beberapa Jamur Makro di

Pulau Belitong : Deskripsi dan Potensinya.

Bioeduscience, 4(1),

11–20.https://doi.org/10.29405/j.bes/4111-204416.

Putra, I.P. (2020c). Kasus keracunan Inocybe sp. di

Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Biologi Di Era

Pandemi Covid 19. Jurusan Biologi, Fakultas Sains

dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN)

Alauddin Makassar. 6(1), 148-153.

DOI: https://doi.org/10.24252/psb.v6i1.15727

Putra, IP. (2020d). Politik Simbiosis Fungi dan Tumbuhan.

Pro-life, 7(2), 144-156.

Putra, I.P., & Hafazallah, K. (2020). Catatan Komunitas

Pemburu Jamur Indonesia : Kolaborasi Lintas

Profesi dan Generasi Mengenai Etnomikologi

Jamur-Jamur Indonesia. Sukabumi: Haura

Publishing.

Rich, R. (2011). Kajian terhadap Jamur Pangan Pelawan

(Boletus sp.) khas Indonesia sebagai sumber potensial

pangan fungsional. Skripsi tidak diterbitkan, IPB,

Bogor.

Rokuya, I., Yoshio, O., & Tsugia, H. (2011). Fungi of

Japan. Japan: Yama-Kei Publishers.

Sadli. (2018). Phytochemical screening of Volvariella

Volvacea (straw mushroom) extract from Aceh’s local

cultivation. Jurnal Natural, 18(1), 32–37.

http://dx.doi.org/10.24815/jn.v18i1.9228.

Seitzman, B. H., Ouimette, A., Mixon, R. L., Hobbie, E.

A., & Hibbett, D. S. (2011). Conservation of

biotrophy in Hygrophoraceae inferred from combined

stable isotope and phylogenetic analyses. Mycologia,

103(2), 280–290. http://dx.doi.org/10.3852/10-195.

Semwal, K.C., Stephenson, S.L., Bhatt, V.K., & Bhatt,

R.P. (2014). Edible mushrooms of the North western

Himalaya, India: a study of indigenous knowledge,

distribution and diversity. Mycosphere, 5(3),440–461.

http://dx.doi.org/10.5943/mycosphere/5/3/7.

Silva-Filho, A.G.S., Bottke, C.C., Baseia, I.G., Cortez,

V.G., & Wartchow, F. (2019). Morphological

description and new records of Hygrocybe conica var.

conica and H. nigrescens var. brevispora

(Hygrophoraceae) in Brazil. Hoehnea, 46(3),

e012019. https://doi.org/10.1590/2236-8906-01/2019.

Sudha, A., Geetha, P. & Rajesh, M. (2019). Antioxidant

Properties of Paddy Straw Mushroom [Volvariella

volvacea (Bull. ex Fr.)] Sing. International Journal of

Current Microbiology and Applied Sciences, 8(02),

3031–3036.

http://dx.doi.org/10.20546/ijcmas.2019.802.355.

Tang, L.-P., Lee, S.-S., Zeng, N.-K., Cai, Q., Zhang, P., &

Yang, Z. L. (2017). Notes on Amanita section

caesareae from Malaysia. Mycologia, 1–11.

http://dx.doi.org/10.1080/00275514.2017.1394789.

Tasuruni, D. (2012). Analisis Morfologi dan Sekuen ITS

rDNA Jamur Edible Ektomikoriza Pelawan dan

Struktur Ektomikorizanya. Tesis tidak diterbitkan,

IPB, Bogor.

Thongbai, B., Tulloss, R., Miller, S., Hyde, K., Chen, J.,

Zhao, R., & Raspé, O. (2016). A new species and four

new records of Amanita (Amanitaceae;

Basidiomycota) from Northern Thailand. Phytotaxa,

286(4), 211–231.

doi:http://dx.doi.org/10.11646/phytotaxa.286.4.1

Tripathy, S.S, Rajoriya, A., & Gupta, N. (2014). Nutritive

properties and antioxidative activity of Amanita

caesarea and A. loosii wild edible mushrooms from

Odisha. International Journal of Innovative Drug

Discovery, 4(3):124-129.

Wang, X.-M., Zhang, J., Wu, L.-H., Zhao, Y.-L., Li, T.,

Li, J.-Q., & Liu, H.-G.(2014). A mini-review of

chemical composition and nutritional value of edible

Page 72: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…

(Ivan Permana Putra)

135

wild-grown mushroom from China. Food Chemistry,

151,279-285.

http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2013.11.062

Yun, W., & Hall, I. R. (2004). Edible ectomycorrhizal

mushrooms: challenges and achievements. Canadian

Journal of Botany, 82(8), 1063–1073.

http://dx.doi.org/10.1139/b04-051.

Zeng, N.-K., Chai, H., Liang, Z.-Q., Tang, L.-P., Xue, R.,

& Yang, Z. L. (2018). The genus Heimioporus in

China. Mycologia, 110(6), 1110–1126.

http://dx.doi.org/10.1080/00275514.2018.1512303.

Page 73: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…

(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)

137

PEMETAAN KONFLIK TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI DI DESA CISANTANA,

CIGUGUR, KUNINGAN, JAWA BARAT

CONFLICT MAPPING OF GUNUNG CIREMAI NATIONAL PARK IN CISANTANA VILLAGE,

CIGUGUR, KUNINGAN, WEST JAVA

Maria Palmolina dan Eva Fauziyah*

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry

Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis 46201

Telp. (0265) 771352; Fax. (0265) 775866; *Email: [email protected]

Diterima: 29 Juli 2019; Direvisi: 14 Februari 2020; Disetujui: 28 Desember 2020

ABSTRAK

Pengetahuan mengenai konflik dan gaya para pihak yang berkonflik sangat diperlukan, guna mendapatkan solusi yang

efektif dan efisien dalam upaya penyelesaiannya. Tujuan penelitian ini adalah melakukan pemetaan konflik,

menjelaskan gaya para pihak dalam berkonflik dan mengetahui pilihan-pilihan cara penyelesaiannya. Penelitian ini

dilakukan pada bulan Februari 2017 di wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yakni di Desa Cisantana,

Kabupaten Kuningan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik partisipatory rural appraisal (PRA), wawancara,

pengamatan lapangan, dokumentasi, dan diskusi kelompok terfokus. Metode penelitian yang digunakan adalah Rapid

Land Tenure Assesment (RaTA) dan Analisis Gaya Bersengketa (AGATA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

konflik yang dominan terjadi di TNGC adalah perubahan status hutan yang berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi

masyarakat sekitar TNGC. Ada 8 (delapan) aktor dominan yang terlibat yaitu Kelompok Tani Hutan (KTH) Rimba

Alam Lestari, Perhutani, TNGC, Swasta (CV Mustika, Asuransi), pemerintah desa serta pemerintah daerah (Dinas

Perhubungan dan Dinas Pariwisata). Setiap stakeholder mempertanyakan aksesibilitas mereka dalam mengelola bumi

perkemahan Palutungan. Masyarakat Desa Cisantana merasa yang paling dirugikan. Dalam berkonflik, masing-masing

pihak memiliki gaya sengketa yang berbeda. KTH Rimba Alam Lestari, Perhutani, TNGC dan CV Mustika memilih

gaya sengketa berkompromi. KTH Rimba Alam Lestari dan TNGC juga menerapkan gaya kolaborasi, sementara

pemerintah daerah memilih gaya menghindar. Sebaliknya pemerintah desa dan pihak asuransi bergaya akomodasi.

Para stakeholder difasilitasi dan dimediasi untuk mengusulkan izin pengelolaan Patulungan (parkir), serta izin

pengelolaan Ipukan (pemandu wisata), sehingga mendapatkan legalitas pengelolaan dan pengakuan. Dalam hal ini,

peran pihak luar yang tidak ada hubungan konflik sangat diperlukan agar terwujud penyelesaian konflik.

Kata kunci: gaya konflik, masyarakat, pemetaan, stakeholder, Gunung Ciremai

ABSTRACT

The purpose of this study is to conflict mapping, explain conflict style of stakeholder and choices of conflict

resolution. This study was conducted in February 2017 in Cisantana Village, Kuningan Regency. Data were collected

through participatory rural appraisal; interviews, field observation, documentation and focus group discussions. The

study method was used Rapid Land Tenure Assessment (RaTA) and Dispute Style Analysis (AGATA). The results

showed that the dominant conflict in TNGC was the change of forest status which affected the economic activities of

the community around TNGC, that involved eight dominant actor. In a conflict, the stakeholder has a different style of

dispute. The stakeholders was facilitated and mediated to propose a permit to manage Patulungan (parking

management), and a permit to manage Ipukan (tourism guide). In this case, the role of outsiders who do not have a

conflict relationship is needed in order to realize conflict resolution.

Keywords: conflict style,community, mapping, stakeholder, Ciremai Mountain

PENDAHULUAN

Konflik adalah sesuatu yang biasa ada dalam

kehidupan masyarakat. Selama masyarakat masih

memiliki kepentingan, keinginan, dan cita-cita,

konflik senantiasa “mengikuti”. Oleh karenanya

kemungkinan terjadi benturan-benturan kepentingan

antara individu dengan kelompok, atau kelompok

dengan kelompok niscaya terjadi dalam masyarakat.

Awang (2007) berpendapat pemikiran “siapa yang

menangani kekuasaan, dialah yang memegang

pengetahuan (knowledge is power)” merupakan awal

munculnya konflik; awalnya knowledge itu netral,

tetapi kemudian menjadi keberpihakan, tergantung

pada kemampuan menggunakan knowledge tersebut.

Page 74: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393

138

Sementara, Harun & Dwiprabowo (2014)

berpendapat bahwa konflik merupakan respon atas

isu tertentu dalam mempertahankan dan

meningkatkan kepentingan individu atau kelompok.

Konflik merupakan suatu hubungan sosial yang

dimaknai sebagai keinginan untuk memaksakan

kehendaknya pada pihak lain. Namun demikian,

konflik juga bisa menjembatani suatu persoalan

menjadi solusi bersama, sebagaimana yang

dijelaskan oleh Muspawi (2014) bahwa manajemen

konflik tidak hanya merugikan pihak yang berkonflik

melainkan mendatangkan hikmah dan manfaat bagi

yang bersangkutan.

Pada umumnya masyarakat masih memegang

teguh adat lokal serta sadar akan pentingnya budaya

lokal dalam menjaga dan menjamin keutuhan

masyarakat, sehingga model penyelesaian konflik

idealnya disesuaikan dengan kondisi wilayah dan

budaya setempat. Untuk itu keterbukaan dan

keseriusan dalam mengurai akar permasalahan

konflik dan komunikasi yang baik, jujur dan dapat

dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan

juga merupakan salah satu cara penanganan konflik

(Sriyanto, 2007). Hal ini senada dengan pendapat

dari Astri (2012) yaitu dalam menentukan langkah

penyelesaian konflik di suatu daerah hendaknya

mencermati dan menganalisis paradigma lokal dan

obyektifitas agar berada didalam bingkai kondisi,

nilai dan tatanan kehidupan masyarakat setempat.

Sebagaimana hasil penelitian dari Zainuddin (2016)

yang menemukan perbedaan sumber konflik di dua

daerah sehingga berbeda dalam penyelesaian

konfliknya. Penyelesaian konflik antar organisasi

masyarakat di kota Medan yang disebabkan oleh

faktor ekonomi dan persinggungan perasaan

dilakukan dengan menekankan aspek hubungan,

sementara di kota Surakarta disebabkan oleh ideologi

keagamaan penyelesaian konfliknya dilakukan

dengan menekankan pada aspek nilai.

Gaya berkonflik yang umumnya diterapkan oleh

para pihak yang berkonflik diantaranya adalah gaya

menghindar (avoiding), gaya mengakomodasi

(accommodating), gaya kompromi (compromising)

gaya kompetisi (competing) serta gaya kolaborasi

(collaborating) (Pasya & Sirait, 2011). Gaya

menghindar pada umumnya efektif digunakan pada

situasi dan kondisi yang teramat rumit dan tidak

memungkinkan adanya upaya penyelesaian yang

dapat dilakukan, serta tidak mengharapkan adanya

sengketa. Gaya menghindar diantaranya ditunjukkan

dengan mengubah topik penyebab sengketa,

menghindari diskusi tentang sengketa, tidak ingin

membangun komitmen, dan/atau berprilaku tidak

jelas. Gaya mengakomodasi pada umumnya efektif

digunakan pada situasi dan kondisi dimana peluang

untuk mewujudkan kepentingan berada di posisi

rendah, yang ditunjukkan dengan mendahulukan

kepentingan pihak lain (lawannya). Gaya kompromi

pada umumnya efektif digunakan pada situasi dan

kondisi dimana para pihak merasa tujuan akhir bukan

merupakan bagian terpenting, sementara diperlukan

jalan keluar meskipun enggan untuk bekerja sama.

Pada gaya kompromi masing-masing pihak yang

berkonflik saling memberi dan satu sama lain tidak

ada yang merasa menang maupun kalah, dengan

tujuan menghindari kerusakan hubungan dan tatanan

sosial. Gaya kompetisi adalah kebalikan dari gaya

kompromi, efektif digunakan pada situasi dan kondisi

membutuhkan keputusan yang cepat, sementara

jumlah keputusan terbatas bahkan hanya tersedia satu

keputusan. Gaya kompetisi diantaranya terlihat dari

gaya pihak berkonflik yang agresif, egois, menekan

pihak lain, dan berprilaku non kooperatif. Sementara

itu gaya kolaborasi umumnya efektif pada situasi dan

kondisi dimana pihak-pihak yang berkonflik

memiliki keseimbangan kekuatan (power balance)

dan memiliki ketersediaan waktu dan energi yang

cukup untuk mewujudkan penyelesaian konflik

secara terpadu. Gaya kolaborasi ditunjukkan dengan

saling peduli terhadap masing-masing kepentingan

pihak, terjalin komunikasi yang empatik, saling

menghargai dan berusaha memuaskan satu sama lain.

Lahan merupakan sumber utama bagi banyak

sektor, sehingga alokasi lahan melibatkan persaingan

dan perebutan kekuasaan (Hogl et al., 2016; Sahide

et al., 2016). Sementara itu, Awang (2007)

menerangkan bahwa konflik sumberdaya hutan

merupakan satu hubungan antara dua atau lebih

pihak-pihak yang tidak sepaham baik ditandai

dengan kekerasan atau tidak, didasarkan pada

perbedaan-perbedaan yang nyata dan yang dirasakan

dalam hal pengetahuan, peraturan, kepentingan dan

pemanfaatan, sehingga sering menimbulkan

kerusakan. Maka dalam konflik sumberdaya alam,

sebenarnya semua pihak menang kecuali hutan itu

sendiri. Menurut Bonsu, Dhubháin, & O’Connor

(2019) konflik terkait hutan secara inheren mengikuti

dimensi subtantif, prosedural dan hubungan dari

situasi konflik sumber daya alam, dimana substansi

dari sebagian besar konflik berpusat pada pandangan

yang berbeda dari para pemangku kepentingan

tentang peran hutan dan pada konflik yang saling

Page 75: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…

(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)

139

bertentangan yang ditempatkan oleh tumpang tindih

bidang kebijakan.

Munculnya konflik lahan sebenarnya memberikan

dampak positif dan negatif dalam prospek

pembangunan kawasan hutan selanjutnya. Yasmi

(2009) menjelaskan bahwa konflik kehutanan

memberikan dampak negatif, seperti mempercepat

deforestasi, hubungan yang buruk, dan menimbulkan

resiko sosial yang tinggi. Sementara itu dampak

positif dari konflik kehutanan yaitu menciptakan

peluang berpartisipasi dalam pengelolaan hutan,

memungkinkan negosiasi dan merangsang

pembelajaran untuk semua pihak yang bersengketa.

Konflik kehutanan memerlukan penanganan yang

efektif, agar dapat memunculkan dampak positif

yaitu adanya peluang untuk menggerakkan segala

sesuatu yang menjadikan pengelolaan hutan

berkembang. Oleh karena itu diperlukan fasilitasi dan

manajemen konflik yang tepat untuk mencegah

eskalasi konflik.

Salah satu penyebab konflik dan tantangan dalam

reformasi kepemilikan lahan di Indonesia di

antaranya adalah banyak kepentingan dengan minat

yang berbeda (Maryudi et al., 2016; Riggs et al.,

2016). Isu konflik sektor kehutanan hingga 10 tahun

terakhir juga masih marak, salah satu konflik yang

pernah dikaji adalah konflik di Taman Nasional

Gunung Halimun-Salak (TNGHS) yang dikaji oleh

Marina & Dharmawan (2011) bahwa penyebab

konflik disebabkan oleh empat sumber perbedaan,

yaitu perbedaan persepsi, kepentingan, tata nilai, dan

akuan hak kepemilikan, untuk itu diperlukan proses

mediasi dan mediator untuk mengakomodasi

keinginan pihak-pihak yang berkonflik. Kemudian

dilanjutkan oleh Hakim, Murtilaksono & Rusdiana

(2016) bahwa dalam penyelesaian konflik di TNGHS

terdapat 3 (tiga) agenda yang harus dilakukan secara

bertahap dimana satu sama lain saling berhubungan,

yakni agenda tenurial dan lingkungan, agenda

pembangunan wilayah terhadap kebijakan

penggunaan lahan dan fisik tutupan lahan, serta

agenda mitigasi yang merupakan konsekuensi

terhadap apapun yang diputuskan atau disepakati

pada kedua agenda sebelumnya. Konflik yang sering

terjadi di Kawasan Taman Nasional Bantimurung

antara pemerintah dan masyarakat adalah konflik

mengenai tata batas kawasan dan konflik yang terkait

dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan hutan

(Kadir et al., 2013). Selain konflik dengan

masyarakat, seiring dengan adanya otonomi daerah

konflik juga muncul antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah dalam pengelolaannya seperti

yang terjadi di Taman Nasional Kerinci Seblat,

belum lagi ada tekanan dari dunia internasional

(Bank Dunia dan IMF) dan juga Lembaga atau NGO

internasional (Kausar, 2010).

Konflik sumberdaya alam juga terjadi di wilayah

TNGC yang terletak di Kabupaten Kuningan dan

Majalengka, tetapi sejauh ini belum ada studi yang

menganalisis atau memetakan konflik di TNGC.

Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah

melakukan pemetaan konflik, menjelaskan gaya para

pihak dalam berkonflik serta mengetahui pilihan-

pilihan cara penyelesaian konflik yang dapat

dilakukan. Pengetahuan mengenai gaya para pihak

yang berkonflik ini sangat diperlukan, guna mencari

solusi yang efektif dam efisien dalam penyelesaian

konflik nantinya.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2017 di

wilayah TNGC, tepatnya di Desa Cisantana,

Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Provinsi

Jawa Barat. Secara geografis, TNGC terletak pada

koordinat 1080 28ʹ 0ʺ BT – 1080 21ʹ 3ʺ BT dan 60 50ʹ

25ʺ LS – 60 58ʹ 26ʺ LS. Berdasarkan wilayah

administrasi pemerintahan, kawasan TNGC termasuk

ke dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Kuningan

(bagian timur) dan Kabupaten Majalengka (bagian

barat) dengan luas ± 15.518,23 ha. Kawasan TNGC

memiliki toporafi yang bergelombang, berbukit, dan

bergunung membentuk kerucut dengan ketinggian

mencapai 3.078 mdpl.

Page 76: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393

140

Gambar 1. Peta lokasi Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik

partisipatory rural appraisal (PRA), yakni dengan

melakukan wawancara, observasi/pengamatan, studi

dokumentasi, dan diskusi kelompok terfokus/focus

group discussion (FGD) (Gamin, 2017). PRA

merupakan salah satu teknis pengumpulan data yang

umumnya digunakan dalam perencanaan

pembangunan bersama masyarakat. Dalam penelitian

ini, PRA bermanfaat sebagai metode perencanaan

penyelesaian konflik dengan melibatkan masyarakat

dan pemangku kepentingan dalam mencari

solusi/penyelesaian konflik (Gamin, 2017).

Penentuan informan awal dengan purposive

sampling, selanjutnya informan ditentukan dengan

teknik snowball sampling, yaitu untuk menentukan

informan berikutnya berdasarkan informasi informan

sebelumnya. Informan yang terjaring dalam

penelitian ini sebanyak 21 (dua puluh satu) orang.

Penelusuran informan berhenti pada informan ke-21

(dua puluh satu), setelah data yang terkumpul jenuh

(jawaban informan berulang kembali/sama dengan

informan sebelumnya) (Sugiyono, 2010). Keabsahan

data dilakukan dengan trianggulasi sumber dan

teknik, yaitu mengecek data ke sumber data lainnya,

data hasil wawancara dicek dengan hasil observasi

dan dokumentasi (Sugiyono, 2010). Data yang

diambil terdiri dari sejarah perubahan fungsi kawasan

dan pengelolaan hutan TNGC oleh negara dan

masyarakat, persepsi masyarakat dan pengelola

TNGC, serta aktor konflik dan gaya sengketa para

pihak.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah

penilaian sistem penguasaaan tanah secara

cepat/Rapid Land Tenure Assesment (RaTA). RaTA

digunakan untuk memotret masalah tenurial secara

lebih jelas, baik akar masalah maupun pihak-pihak

yang terlibat, serta mengakomodir kemajemukan

klaim dari berbagai pihak dan alasan klaim (Gamin,

2017).

Langkah kerja yang dianjurkan Gamin (2017): (1)

Mempelajari seluruh data dan menyusun deskripsi

kasus; (2) Mengidentifikasi peristiwa apa saja yang

membangun kasus tersebut; (3) Menyusun seluruh

peristiwa secara kronologis; (4) Mempelajari masing-

masing peristiwa, kemudian menuangkan ke dalam

deskripsi peristiwa; (5) Mengidentifikasi orang/pihak

yang terlibat dalam setiap peristiwa, dengan

melengkapi identitas setiap orang/pihak tersebut; (6)

Melengkapi dengan melekatkan dokumen pendukung

pada setiap peristiwa dan/atau orang (peta, salinan

dokumen, surat keterangan, photo dan seterusnya).

Analisis Data

Selanjutnya data yang telah diidentifikasi,

dianalisis dengan AGATA. Analisis ini digunakan

untuk mengetahui sikap atau posisi seseorang atau

pihak baik perorangan maupun kelompok atau

organisasi dalam menghadapi sengketa (Gamin,

Kartodihardjo, Kolopaking, & Boer, 2014). Dalam

penelitian ini, respon para pihak dalam berkonflik

(gaya aktor berkonflik) ditabulasi secara kualitatif,

kemudian dipetakan model gaya penyelesaian

Page 77: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…

(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)

141

konfliknya seperti terlihat pada Gambar 2. Peta gaya

bersengketa para pihak inilah yang akan menjadi

dasar dalam penyelesaian konflik.

Gambar 2. Gaya Sengketa pihak berkonflik

Sumber : Pasya & Sirait, 2011

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Konflik

TNGC merupakan salah satu hutan negara yang

memiliki keanekaragaman hayati dengan

karakteristik dominan ekosistem hutan hujan

pegunungan di Pulau Jawa. TNGC ditunjuk

berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik

Indonesia Nomor 424/Menhut-II/2004 tanggal 19

Oktober 2004, dengan luas 15.518,23 ha. Sebelum

ditetapkan sebagai taman nasional, kawasan hutan

Gunung Ciremai merupakan hutan produksi dan

hutan lindung yang telah mengalami deforestasi dan

degradasi. Deforestasi dan degradasi tersebut

mengakibatkan menurunnya fungsi ekosistem seperti

fungsi ekologi sebagai habitat satwa, fungsi lindung

sistem hidrologi, dan fungsi sosial ekonomi bagi

masyarakat. Dalam upaya pemulihan kembali fungsi-

fungsi ekosistem terdegradasi tersebut, diperlukan

kegiatan restorasi di TNGC (Gunawan dan

Subiandono, 2013). Perubahan status kawasan hutan

lindung menjadi taman nasional menyebabkan sistem

pengelolaan kawasan juga berubah. Upaya penetapan

ini seringkali ditentang oleh masyarakat sekitar

kawasan karena dianggap mengganggu kepentingan

dan hajat hidup masyarakat lokal, karena

pemanfaatan kawasan pada hutan lindung bisa

dilakukan di semua kawasan, sementara pada taman

nasional hanya dapat dilakukan di zona pemanfaatan

(Alviya, 2006). Kondisi inilah yang seringkali

menimbulkan konflik. Konflik perlu dimaknai

sebagai suatu jalan atau sarana menuju perubahan

masyarakat, untuk itu harus diakui keberadaannya,

dikelola, dan diubah menjadi suatu kekuatan bagi

perubahan positif. Awang (2007) berpendapat bahwa

dalam tata kelola sumberdaya alam (dalam hal ini

hutan) terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan

seperti: (1) mengelola konflik, yakni lebih

memperjelas masalah-masalah tenurial, jangan

dihapus tetapi dikelola/dibangun solusinya; (2)

Membuat kejelasan kepastian hukum; zonasi, resort,

komoditas, pembebasan lahan, dan seterusnya; (3)

Membuat perencanaan partisipatif dan pemanfaatan

yang berkeadilan; (4) Membangun dan memerkuat

kelembagaan baru; (5) membangun program nasional

pemberdayaan masyarakat (PNPM) Desa

Konservasi; (6) Memastikan kebijakan harus sesuai

dengan penerapan di lapangan; serta (7) selalu

melakukan monitoring, dan evaluasi. Pasya & Sirait

(2011) menjelaskan juga bahwa informasi yang

penting mencakup sejarah terjadinya sengketa, akar

perbedaan kepentingan yang membuat beberapa

pihak bersengketa, serta gaya para pihak menghadapi

sengketa (conflict style) diperlukan guna

penyelenggaraan penyelesaian sengketa yang efektif.

Desa Cisantana terbentuk pada tahun 1950. Pada

tahun tersebut, kawasan hutan Gunung Ciremai

Kompetisi

(Competing)

Kompromi

(compromising)

Menghindar

(avoiding)

Mengakomodasi

(accommodating)

Kolaborasi

(Collaborating)

Kerjasama (Cooperativeness)

Ketegasan

(Assertivenes)

Page 78: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393

142

ditetapkan sebagai kawasan hutan tutupan atau hutan

lindung. Pada mulanya masyarakat desa tidak

mempermasalahkannya, namun ketika terjadi

peristiwa DI/TII yang menyebabkan kebakaran besar

di desa, masyarakat kehilangan lahan garapannya.

Hal tersebut menyebabkan masyarakat memasuki

hutan untuk menggarap lahan guna memenuhi hajat

hidupnya. Walaupun tidak memiliki

sertifikat/pengakuan tanah secara tertulis, masyarakat

lokal memahami bagaimana bentuk tradisional

pengelolaan sumberdaya hutan mereka. Dengan

prinsip-prinsip pengelolaan yang arif dan

berkelanjutan, mereka mampu berdikari atas

penghidupan mereka. Namun demikian, prilaku

masyarakat desa tidak dapat didukung oleh

pemerintah, maka dalam kurun waktu yang tak lama

kemudian, akses masyarakat terhadap lahan dan

hutan pun dibatasi.

Pada tahun 1978, hutan Gunung Ciremai

ditetapkan sebagai hutan produksi yang

pengelolaannya diserahkan pada Perhutani.

Perubahan fungsi kawasan dari hutan lindung ke

hutan produksi membawa dampak yang nyata

terhadap perubahan ekologi kawasan Gunung

Ciremai dimana yang semula vegetasi hutan alam,

berubah menjadi vegetasi dengan tujuan produksi

yang mayoritas ditanami pohon pinus. Dalam upaya

melibatkan masyarakat desa agar tidak terjadi

konflik, Perhutani mengembangkan beberapa

program seperti kegiatan tumpang sari berupa

tanaman sayuran dan beberapa tanaman perkebunan

disela-sela tegakan hutan pinus.

Kemudian, pada tahun 2003, sebagian kelompok

hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani

dialihfungsikan sebagai kawasan hutan lindung

melalui SK Menteri Kehutanan Nomor: 195/Kpts-

II/2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang Penunjukan

Sebagian Kelompok Hutan Produksi. Maksud

pengalihfungsian tersebut adalah untuk

mengembalikan fungsi ekologis Gunung Ciremai

akibat kegiatan produksi. Setahun kemudian,

pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri

Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19

Oktober 2004 tentang perubahan fungsi kelompok

hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai

seluas + 15.500 hektar yang terletak di Kabupaten

Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat.

Perubahan status kawasan tentunya

mengakibatkan terjadinya pengalihan pengelolaan

kembali yaitu dari Perhutani kepada TNGC. Hal ini

berdampak pada aksesibilitas masyarakat Desa

Cisantana yang sebelumnya dapat menggarap lahan

di wilayah hutan produksi, menjadi tidak dapat

menggarap lahan dengan leluasa di dalam hutan,

karena berdasarkan aturan, pemanfaatan kawasan

pada taman nasional hanya dapat dilakukan di zona

pemanfaatan saja. Disinilah dimulainya konflik

antara masyarakat desa dengan pengelola TNGC.

Pihak TNGC kemudian melakukan upaya untuk

menyelesaikan konflik dengan memberi bantuan bibit

domba kepada masyarakat desa, sebagai kompensasi

karena petani tidak dapat melakukan kegiatan bertani

secara intensif di dalam kawasan TNGC. Tidak

berhenti disitu saja, pada tahun 2007, masyarakat

desa bersama-sama dengan pengelola TNGC

melakukan survai untuk mencari wilayah yang dapat

dijadikan wisata alam. Dari hasil survei ditemukan

air terjun di daerah Ipukan yang kemudian dibangun

wana wisata Ipukan oleh pengelola TNGC bersama

masyarakat.

Pada tahun 2012, masyarakat desa tidak

membuka lahan lagi di kawasan TNGC. Mereka

beralih mata pencaharian, dari petani menjadi

pemberi jasa (guide) wisata. Mereka menata

kehidupan ekonominya dengan mencari alternatif

selain menggarap lahan diantaranya dalam

pengelolaan potensi alam berupa air terjun dan wisata

alam, seperti bumi perkemahan (buper), jalur

pendakian gunung, dan lainnya. Setahun kemudian,

pembukaan wana wisata Ipukan sebagai bentuk

kemitraan masyarakat Desa Cisantana dan TNGC

dilakukan. Masyarakat resmi bermitra dengan

pengelola TNGC dalam mengelola wana wisata di

blok Ipukan, dan sebagai bentuk keseriusan

masyarakat mengelola lahan, maka dibentuklah

Kelompok Tani Hutan (KTH) Rimba Alam Lestari.

Kawasan TNGC juga memiliki potensi wisata dan

masyarakat menginginkan dapat dilibatkan

mengelola wisata tersebut. Sejak tahun 2016 dengan

pengaturan resort tematik dari pihak TNGC kegiatan

pengelolaan wisata sudah dilakukan.

Page 79: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…

(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)

143

Tabel 1. Sejarah perubahan fungsi kawasan dan pengelolaan hutan TNGC No Tahun Peristiwa

1 Era Kolonial Belanda Kawasan hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai kawasan hutan tutupan atau hutan

lindung

2 1950 Pembentukan Desa Cisantana

3 1960 Terjadi peristiwa DI/TII; terjadi kebakaran besar di desa

4 1978 Kawasan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai hutan produksi yang pengelolaannya

diserahkan kepada Perhutani.

Perhutani mengembangkan beberapa program yang melibatkan masyarakat dalam

pengelolaan hutan, salah satu programnya adalah kegiatan tumpang sari berupa tanaman

sayuran di bawah tegakan hutan pinus.

Masyarakat sekitar kawasan hutan diberi kewenangan oleh Perhutani untuk mengolah

lahan di sela-sela pohon pinus dengan tanaman sayuran ataupun perkebunan.

5 1985-1988 Mayarakat desa mulai menggarap lahan milik Perhutani dengan menanam sayuran dan

pinus (bibit dari Perhutani), dengan jangka waktu 3 tahun. Masing-masing KK diberi

lahan seluas 0,3 ha.

6 2003 Sebagian kelompok hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani dialihfungsikan sebagai

kawasan hutan lindung melalui SK Menteri Kehutanan Nomor: 195/Kpts-II/2003 tanggal

4 Juli 2003 tentang Penunjukkan sebagian kelompok hutan produksi, dengan tujuan

untuk mengembalikan fungsi ekologis Gunung Ciremai.

7

2004 TNGC ditunjuk sebagai taman nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.

424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi kelompok hutan

lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas + 15.500 ha yang terletak di

Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat.

Terjadi pengalihan pengelolaan dari Perhutani kepada Taman Nasional Gunung Ciremai.

Direktorat Jenderal PHKA menunjuk BKSDA Jawa Barat II dengan surat SK Dirjen

PHKA No. SK 140/IV/Set-3/2004 tentang Penunjukan BKSDA Jabar II selaku Pengelola

TN Gunung Ciremai. Dilakukan sosialiasi tentang Undang-Undang No. 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Petani meminta waktu

3 tahun untuk menggarap lahan.

CV Mustika mengadakan survai untuk mengelola wisata Ipukan dengan izin TNGC.

8 2007 Masyarakat Desa Cisantana melakukan survei air terjun Ipukan.

9 2008 Pihak TNGC melakukan permberdayaan masyarakat Desa Cisantana dengan pemberian

domba sebanyak 20 ekor.

10 2009 TNGC mengeluarkan kebijakan petani tidak boleh melakukan pertanian intensif di

kawasan TNGC.

11 2010 TNGC dan masyarakat membuat kesepakatan tidak lagi beraktivitas pertanian di dalam

kawasan. Akhir tahun TNGC mengadakan operasi gabungan.

12 2011 Lahan yang masih digarap masyarakat hanya tersisa 2 ha, masyarakat tidak boleh

menanam lagi tetapi TNGC masih memperbolehkan memanen tanaman MPTS.

13 2012 Zonasi TNGC telah dilaksanakan dan disahkan melalui Keputusan Direktur Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.171/IV-SET/2012 tanggal 28

September 2012 tentang Zonasi Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan

dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan keputusan tersebut TNGC

memiliki zonasi seluas +- 15.500 ha yang terdiri dari : Zona Inti (5.799,04 Ha), Zona

Rimba (1.496,33 Ha), Zona Pemanfaatan (324,14 ha), Zona Rehabilitasi (7.646,35 ha),

Zona Religi, Budaya dan Sejarah (16,69 ha) serta Zona Khusus (12,00 ha).

14 2012 Masyarakat tidak ada lagi yang menggarap lahan di dalam kawasan.

15 2013 Pembukaan wana wisata Ipukan sebagai bentuk kemitraan dan TNGC.

16 2014 Kawasan TNGC ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

SK.3684/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 8 Mei 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan

TNGC seluas 14.841,30 ha di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi

Jawa Barat, dimana tercantum bahwa dalam beberapa hal masih terdapat hak-hak pihak

ketiga yang sah dalam penetapan kawasan hutan ini dikeluarkan dari kawasan hutan

sesuai peraturan perundangan.

KTH Rimba Alam Lestari melibatkan masyarakat Desa Cisantana untuk mengelola

wisata Ipukan.

17

2016

Dikeluarkan keputusan Kepala Balai TNGC Nomor SK.74/BTNGC/2016 tanggal 27

April 2016 tentang Pembentukan Nama Resort, Kedudukan, Tugas dan Fungsi Resort

Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai, pengelolaan kawasan khususnya pada

resort wilayah berubah menjadi resort tematik menjadi 3 Resort, yaitu: Resort

Perlindungan dan Pengamanan Hutan, resort Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem,

dan Resort Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam

Page 80: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393

144

No Tahun Peristiwa

Pengelolaan wisata oleh KTH. KTH memperoleh omzet 3000 tiket per bulan, harga per

tiket Rp 15.000,- dengan rincian: ( PNBP : Rp 5.000,- , asuransi : Rp 500,-, kas desa

: Rp 1.500,- dan pengelola : Rp 8.000,-)

Sumber: Data primer, 2017

Perbedaan Persepsi Masyarakat dan Pemerintah

dalam Pengelolaan TNGC

Konflik tenurial di TNGC juga tak terlepas dari

persepsi masyarakat dan pemerintah. Umumnya

persepsi yang dimiliki individu/suatu kelompok

berbeda dengan individu/kelompok lainnya karena

pengaruh berbagai faktor, seperti pengalaman, latar

belakang, lingkungan tempat tinggal, motivasi, dan

lainnya (Satriani, Golar & Ihsan, 2013). Dalam

mengelola kawasan konservasi pemerintah seringkali

menghadapi perbedaan persepsi, kepentingan, tata

nilai dan akuan hak dengan masyarakat

(Purwawangsa, 2017). Hakim, Aldianoveri, Bangsa,

& Guntoro (2018) dalam kajiannya mengenai konflik

tenurial di Cagar Biosfer Bromo Jawa Timur,

menjelaskan bahwa terdapat beberapa aspek yang

melatar belakangi terjadinya konflik, antara lain

adalah tuntutan ekonomi, tumpang tindih kebijakan,

pemahaman yang salah akan status tanah, mis-

informasi dan komunikasi, disharmonisasi hubungan

komponen masyarakat, penegakan hukum, dan

kualitas pendidikan masyarakat.

Pada Tabel 2 terlihat bahwa terdapat perbedaan

persepsi antara masyarakat dan pemerintah yang

mengelola TNGC dalam menginterpretasikan TNGC.

Persepsi tersebut meliputi status lahan, pengelolaan

lahan, Buper Ipukan dan juga mengenai aksesibilitas

ekonomi dari TNGC. Masing-masing pihak bertindak

sesuai dengan persepsinya, sementara persepsi

diantara pihak tersebut bisa jadi berlawanan,

sehingga menimbulkan konflik tenurial. Untuk itu

diperlukan pemahaman persepsi pada masing-masing

pihak dalam penyelesaian konflik.

Terkait dengan status lahan dan pengelolaan,

masyarakat merasa berhak turut mengelola hutan

dalam kawasan TNGC, sekalipun mereka

mengetahui bahwa TNGC adalah lahan milik negara.

Mereka merasa sebagai warga negara Indonesia yang

telah lama bermukim di wilayah tersebut, berhak

pula mencari rejeki dari hutan. Masyarakat petani

pernah mendapat izin kelola lahan seluas 0,3

ha/petani. Program ini dimulai sejak tahun 1960-an

dengan tumpangsari, berlanjut dengan

pengembangan prosperity approach di dalam

kawasan hutan melalui Perhutanan Sosial tahun 1984

dan di luar kawasan hutan melalui Pembangunan

Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT) pada

tahun 1994, hingga penerapan Pengelolaan Hutan

Bersama/Berbasis Masyarakat (PHBM) dari tahun

2001 hingga kini. Ketika masyarakat desa mendapat

izin kelola lahan, mereka merasa mendapatkan

peluang untuk semakin memperluas akses

pengelolaan lahan di dalam kawasan hutan, sehingga

membuka lahan lagi ke dalam hutan. Terlebih

masyarakat juga merasa sudah banyak mengeluarkan

biaya dan tenaga untuk mengelola lahan di TNGC.

Hal ini memberikan dampak kerusakan hutan,

dimana lahan hutan semakin terbuka. Sementara itu,

pemerintah merasa memiliki kewajiban dan hak

mengelola kawasan TNGC termasuk mengatur

aksesibilitas masyarakat sekitar kawasan agar terjaga

kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam lainnya.

Dalam upaya melaksanakan kewajibannya,

pemerintah melakukan beberapa kali perubahan

peruntukan kawasan Gunung Ciremai.

Terkait dengan pengelolaan buper Ipukan juga

ada perbedaan persepsi dimana masyarakat merasa

berhak mengelola karena secara adminitratif

lokasinya berada di Desa Cisantana, namun menurut

pengelola TNGC buper ini sudah masuk ke dalam

zona pemanfaatan. Masyarakat juga ingin turut serta

dalam pemanfaatan potensi jasa lingkungan dan

wisata, namun pihak TNGC menginginkan adanya

aturan main yang tidak bertentangan dengan

perundangan yang sudah ditetapkan.

Page 81: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…

(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)

145

Tabel 2. Persepsi masyarakat dan pengelola TNGC

No Persepsi tentang Masyarakat TNGC

1 Status lahan TNGC adalah lahan milik

negara

Kawasan Gunung Ciremai merupakan kawasan

hutan negara termasuk lahan yang masuk

wilayah administrasi Desa Cisantana

Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa

Barat

2 Pengelolaan lahan di

TNGC

Masyarakat merasa berhak

mengakses dan mengelola

lahan TNGC meskipun sudah

ada perubahan

Negara berhak mengelola kawasan TNGC

dengan melakukan beberapa kali perubahan

peruntukan dalam rangka menjaga kelestarian

hayati dan ketersediaan air

3 Buper Ipukan Secara adminitratif berada di

Desa Cisantana Kecamatan

Cigugur Kabupaten Kuningan

Jawa Barat, sehingga

masyarakat merasa berhak pula

mengelolanya

Lokasinya sudah masuk dalam zona

pemanfaatan, yang dalam pengelolaannya

diatur kembali sesuai dengan peraturan

perundang- undangan

4 Aksesibilitas peluang

ekonomi lainnya di TNGC

Masyarakat mendapat peluang

dalam bidang pemanfaatan jasa

lingkungan dan wisata alam

Pemanfaatan potensi jasa lingkungan dan

wisata alam tetap harus mempertimbangkan

keputusan pemerintah (pihak TNGC)

Sumber: Data primer, 2017

Perbedaan persepsi masyarakat Desa Cisantana

dan pemerintah selaku pengelola TNGC menjadi

sumber konflik yang terjadi di TNGC. Hal ini sejalan

dengan yang dijelaskan oleh Adiwibowo &

Pandjaitan (2012) bahwa umumnya terjadinya

konflik yang melibatkan antara masyarakat dengan

pemerintah dan/atau perusahaan disebabkan oleh

perspektif yang berbeda dalam memandang sumber

daya alam. Disatu sisi masyarakat berada di posisi

lemah yang menuntut mereka dapat bertahan hidup

dengan bergantung pada sumberdaya alam, yang

menurut mereka berlimpah dan berharap dapat

berperan aktif dalam pengelolaan sumberdaya

tersebut. Masyarakat memandang sumberdaya alam

di wilayah TNGC sebagai komoditi ekonomi dan

mengabaikan fungsinya sebagai daya dukung

lingkungan. Menurut Nurrani & Tabba (2013)

masyarakat yang memiliki persepsi tidak baik sampai

dengan persepsi sedang terkait kelestarian

sumberdaya alam biasanya karena memandang hutan

sebagai sumber penghidupan dari sisi ekonomi

sehingga pemanfaatan sebesar-besarnya demi

peningkatan penghasilan tanpa memikirkan

keberlangsungannya.

Pemanfaatan lahan di wilayah TNGC dengan

tanaman pertanian berakibat menurunkan fungsi daya

dukung lingkungan dan rusaknya keseimbangan

keseluruhan ekosistem hutan, dan akhirnya akan

berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat luas

terutama terkait dengan persediaan air. Sementara

pemerintah melihat wilayah Gunung Ciremai sebagai

wilayah konservasi dan tangkapan air terbesar di

Jawa Barat harus dikelola dengan bijak. Melihat

persepsi yang berbeda pada masing-masing pihak,

maka diperlukan upaya pemecahan masalah yang

memberikan “win-win solution” bagi kedua belah

pihak dan atau pihak-pihak lainnya yang

berkepentingan. Seperti yang terjadi pada kasus

konflik lahan antara masyarakat dan TNI AD di

Setrojenar Kecamatan Buluspesantren Kabupaten

Kebumen atas kepemilikan lahan. Penyelesaian

dilakukan melalui pendekatan aspek legalitas, aspek

sosial dan aspek ekonomi. Aspek legalitas

resolusinya adalah melalui putusan hakim secara

legal, dari aspek sosial dilakukan melalui rekonsiliasi

dan mediasi antara TNI dan masyarakat, sementara

dari aspek ekonomi memberikan ganti rugi lahan

pertanian agar masyarakat tetap bisa bertani dan

kepentingan TNI untuk keamanan tetap terwujud

(Negara et al., 2019). Demikian pula dengan konflik

yang terjadi di TNGC, berbagai upaya penyelesaian

konflik pun dilakukan.

Obyek Konflik

Obyek yang menjadi konflik antara pengelola

TNGC dengan masyarakat Desa Cisantana yang

terkoordinir dalam KTH Rimba Alam Lestari terletak

di zona pemanfaatan (eks PHBM), tepatnya di Bukit

Ipukan. Areal tersebut termasuk pada wilayah

administrasi Desa Cisantana Kecamatan Cigugur

Kabupaten Kuningan.

Page 82: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393

146

Luas wilayah Bukit Ipukan yang dikelola oleh

KTH Rimba Alam Lestari adalah + 6 ha. Secara

administrasi, di sebelah Utara, Bukit Ipukan

berbatasan dengan TNGC, di sebelah Timur

berbatasan dengan lembah Citenggirang TNGC, di

sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun

Palutungan, dan di sebelah Barat dengan zona

rehabilitasi TNGC. Potensi wisata di blok Ipukan

adalah bumi perkemahan, air terjun, pertemuan satwa

liar, obyek penelitian pemandangan landscape, dan

lain-lain. Bukit Ipukan berada di Zona Pemanfaatan,

maka dapat dikatakan bahwa kemungkinan tidak

akan menimbulkan konflik baru. Namun, kini sedang

dilakukan pembukaan objek baru di Ipukan yaitu air

terjun Cipayung yang lokasinya berada dalam Zona

Rehabilitasi. Perlu disadari hal ini merupakan bibit

konflik yang kemungkinan dikemudian hari dapat

menjadi konflik. Sementara itu menurut Awang

(2007) suatu konflik dalam tata kelola sumberdaya

alam, jangan diabaikan melainkan dikelola/dibangun

solusinya. Selanjutnya harus dipastikan bahwa

kebijakan yang diputuskan harus sesuai dengan

penerapan di lapangan serta selalu melakukan

monitoring dan evaluasi.

Aktor Konflik dan Gaya Sengketa Para Pihak

Jaya & Hatma (2011) menjelaskan bahwa dalam

resolusi konflik perlu dilakukan pemetaan terhadap

semua aktor yang terlibat dalam konflik, yang

selanjutnya dideskripsikan posisi serta peran masing-

masing aktor dalam hubungan/jaringan antar aktor

tersebut. Kemudian langkah berikutnya menentukan

siapa yang menjadi aktor kunci dan aktor pendukung.

Gunawan & Subiandono (2013) mengidentifikasi

ada 13 pemangku kepentingan dalam pengelolaan

TNGC yang meliputi Balai TNGC, BAPPEDA,

Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Perhutani, Dinas

Pekerjaan Umum, Dinas Perikanan, PDAM

(Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon dan Kota

Cirebon), Badan Pengelola Lingkungan Hidup

Daerah, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan,

Masyarakat Desa yang berbatasan dengan TNGC,

Swasta (Pengguna air dan Pengusaha jasa wisata)

serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Para

pemangku ini memiliki peran dan kepentingan yang

berbeda-beda. Sementara terkait dengan Objek dan

Daya Tarik Taman Wisata Alam (ODTWA) di Zona

Pemanfatan TNGC diidentifikasi terdapat 15 pihak

yang terlibat seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Identifikasi para pihak dalam konflik ODTWA TNGC No Nama Pihak Peran / Kepentingan Terhadap Obyek Tuntutan Keterangan

1 Perhutani Menjaga kawasan hutan lindung Terwujud hutan

lindung lestari

tidak terpenuhi

2 TNGC Menjaga kawasan hutan konservasi Menjangkau seluruh

kawasan

belum terpenuhi

(SDM kurang,

Kawasan luas)

3 KTH Rimba Alam

Lestari

Mengelola ODTWA di zona pemanfaatan

seluas 6 ha

Akses untuk mencari

rejeki

Belum terpenuhi

secara optimal

4 Pemerintah Desa Memberikan dukungan kepada masyarakat

untuk mengelola ODTWA Ipukan

Mendapatkan

pemasukan guna

pembangunan desa

Belum terpenuhi

secara optimal

5 PDAM Pemanfaatan air di blok Ipukan Pemanfaatan

sumberdaya air

Terpenuhi

6 PPGC Mengelola pendakian Gunung Ciremai Akses untuk mencari

rejeki

Belum terpenuhi

secara optimal

7 Asuransi Memperolah pendapatan dari tiket Income untuk

perusahan

Belum terpenuhi

8 Dinas Pariwisata Berkepentingan ingin mengembangkan

daerah wisata di Kab. Kuningan

Menambah PAD Belum terpenuhi

9 Dinas Perhubungan Berkepentingan Ingin mendapatkan income

dari retribusi parkir

Menambah PAD Belum terpenuhi

10 KPA Cirebon Berperan mempromosikan ODTWA Ipukan

melalui media sosial dan dari mulut ke mulut

Pemasaran tersebar

luas

Belum terpenuhi

11 CV Mustika Berperan mengelola ODTWA lainnya di

kawasan zona pemanfaatan TNGC

Income untuk

perusahan

Belum terpenuhi

12 Tri Pusaka Berperan mengelola ODTWA lainnya di

kawasan zona pemanfaatan TNGC

Income untuk

perusahan

Belum terpenuhi

13 PD Aneka Usaha Berperan mengelola ODTWA lainnya di

kawasan zona pemanfaatan TNGC

Income untuk

perusahan

Belum terpenuhi

14 Pertamina Berkepentingan ingin bekerja sama

mengidentifikasi herpetofauna

Income untuk

perusahan

Belum terpenuhi

15 Pengendali Berperan sebagai mediator antara masyarakat Terjalin komunikasi Belum terpenuhi

Page 83: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…

(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)

147

No Nama Pihak Peran / Kepentingan Terhadap Obyek Tuntutan Keterangan

Ekosistem Hutan Dusun Palutungan Desa Cisantana dengan

pihak TNGC

yang baik secara optimal

Sumber: Data primer, 2017

Berikut peta konflik yang terjadi di TNGC (Gambar 3). Tampak hubungan pada masing-masing pihak yang

berkepentingan terhadap TNGC.

Gambar 3. Peta konflik pada zona pemanfaatan TNGC

Pemetaan Gaya Bersengketa

Sampai saat penelitian dilakukan, masyarakat

sekitar TNGC mengakui dan menerima bahwa

keberadaan TNGC sebagai hutan negara dan

Perhutani yang mewakili negara untuk mengelola

hutan. Kondisi ini merupakan suatu faktor

pendukung dalam penyelesaian konflik yang ada,

sebagaimana juga dijelaskan oleh Ambarwati,

Sasongko, & Therik (2018) bahwa pengakuan

masyarakat terhadap wilayah hutan menjadi faktor

pendukung dalam mencari upaya penyelesaian

konflik dan diajak bekerjasama dalam pengelolaan

hutan. Penyelesaian konflik memerlukan informasi

pola/gaya sengketa masing-masing aktor konflik.

Ada beberapa model dalam manajemen konflik

seperti integrasi, kepatuhan/kewajiban, kompromi,

dominasi, dan gaya menghindar. Gaya manajemen

konflik secara integrasi dinilai akan lebih baik dalam

memperbaiki hubungan pihak-pihak yang berkonflik.

Walaupun selain melihat pihak yang terlibat

pemilihan manajemen konflik juga sangat tergantung

pada tingkatan konflik itu sendiri (Lu & Wang,

2017). Pasya & Sirait (2011) menjelaskan bahwa

terdapat 5 macam gaya bersengketa para pihak, yaitu

menghindar, mengakomodasi, kompromi, kompetisi,

dan kolaborasi . Lebih lanjut Pasya & Sirait (2011)

menerangkan bahwa dasar AGATA adalah

keseimbangan antara ketegasan (assertiveness)

versus kerjasama (cooperativeness). Pada

assertiveness, yang dilihat adalah semakin tinggi

(ditandai dengan sikap agresif, egois, menekan pihak

KTH Rimba

Alam Lestari

TNGC

Dinas

Pariwisata

Dinas

Perhubungan

KPA Cirebon

PDAM

Perhutani

CV Mustika

PD Aneka Usaha

Tri Pusaka

PPGC

Pertamina

Keterangan:

: netral

: berhubungan

: berkonflik

A

B C

D

A:

Isu konflik:

perubahan

fungsi hutan;

Solusi: Izin

Buper

Palutungan

B:

Isu konflik: dobel

pengelola Buper

Palutungan.

Solusi: KTH kelola

parkir

C:

Isu konflik:

1. perubahan

fungsi hutan

2. obyek

wisata baru di

ipukan yang

berada di

zona

rehabilitasi;

Solusi:

1. Izin kelola

Ipukan

2. belum ada;

revisi zonasi

D:

Isu konflik:

aturan retribusi

Solusi:

belum ada;

lakukan

komunikasi

untuk

mengeluarkan

aturan tertulis

dengan

memperhatikan

kepentingan

kedua belah

pihak

Pemdes

Asuransi

E

E:

Isu konflik: Izin KTH perorangan

(bersifat lemah secara hukum)

Solusi: belum ada;

dibadanhukumkan dalam bentuk

Koperasi

Page 84: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393

148

lain, dan berprilaku non kooperatif) atau semakin

rendahnya sikap mementingkan diri/kelompok

sendiri tanpa melanggar hak pihak lain (ditandai

dengan sikap mengubah topik penyebab sengketa,

menghindari diskusi tentang sengketa, tidak ingin

membangun komitmen, dan/atau berprilaku tidak

jelas). Sementara pada cooperativeness yang dilihat

adalah semakin tinggi (ditandai dengan sikap saling

peduli terhadap masing-masing kepentingan pihak,

terjalin komunikasi yang empatik, saling menghargai

dan berusaha memuaskan satu sama lain).

Gambar 4. Gaya sengketa pihak berkonflik di TNGC, diadopsi dari Pasya & Sirait ( 2011)

Pada Gambar 4 terlihat bahwa pihak TNGC dan

KTH Rimba alam Lestari memilih untuk bergaya

kolaborasi, yaitu dicirikan dengan adanya saling

memperhatikan kepentingan antar pihak,

komunikasinya empati, dan berusaha saling

memuaskan satu sama lain, dengan tidak diburu

waktu (tersedia waktu dan energi yang cukup untuk

menangani konflik terpadu). Selain itu juga bergaya

kompromi dengan pihak Perhutani dan CV Mustika

yang dicirikan dengan adanya tindakan bersama

dalam mengambil jalan tengah saling memberi walau

sebenarnya para pihak enggan bekerjasama namun

pada saat yang bersamaan diperlukan segera jalan

keluar. Sementara itu, pihak Dinas Pariwisata dan

Dinas Perhubungan bergaya sengketa menghindar,

yaitu dicirikan dengan tidak mau membicarakan

topik sengketa yang ada dan lebih memilih berprilaku

tidak jelas. Pemerintah Desa tampak lebih banyak

mengakomodir kepentingan masyarakat Desa

Cisantana (KTH Rimba Alam Lestari). Demikian

pula dengan pihak Asuransi yang berkepentingan

mengakomodir kegiatan pengelolaan Ipukan melalui

tiket pengunjung.

Mekanisme Penyelesaian Konflik

Pasya dan Sirait (2011) menjelaskan bahwa

bilamana terdapat gaya pihak yang menunjukkan

gaya-gaya kompromi, akomodasi dan kolaborasi,

maka modal sosial yang dimiliki oleh pesengketa

setidaknya cukup untuk memulai mediasi. Apabila

gayanya adalah kompetitif (bersaing) dan/atau

agitatif (menyerang), maka perlu membangun

kepercayaan timbal balik (mutual trust) semua pihak

yang bersengketa. Selain itu diperlukan juga

meyakinkan para pihak bahwa manfaat bersama yang

diperoleh melalui perundingan. Sementara, bila gaya

para pihak adalah menghindar, maka perlu

melakukan intensifikasi sengketa secara konstruktif,

yakni dalam kesempatan terpisah ada pihak yang

mengajak semua pihak untuk mau dan bersedia

menyampaikan pendapatnya atas

ketidaksepahaman/perbedaan yang dimiliki. Selain

itu, berupaya meyakinkan para pihak bahwa

perbedaan tersebut harus saling diutarakan dalam

suatu kesempatan bersama yang kondusif sehingga

semua pihak mau hadir dan bertemu.

Kompetisi: -

Kolaborasi:

- TNGC

- KTH

Mengakomodasi:

- Pemdes

- Asuransi

Menghindar:

- Dinas Pariwisata

- Dinas Perhubungan

Kompromi:

- Perhutani

- TNGC

- KTH

- CV Mustika

Kerjasama

Ketegasan

Page 85: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…

(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)

149

Gambar 5. Hasil kajian alur pegambilan keputusan penyelesaian konflik di TNGC, diadopsi dari Pasya & Sirait ( 2011)

Berdasarkan gaya bersengketa para pihak yang

terkait dengan konflik tenurial yang terjadi di

kawasan TNGC (Gambar 5), maka dengan gaya

akomodasinya, pemerintah desa mengadakan

pertemuan antara perhutani, pengelola TNGC, CV

Mustika, serta pesanggem dari Desa Cisantana yang

masing-masing bergaya sengketa kolaborasi dan

kompromi. Hasil pertemuan tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Isu konflik dalam hal ini adalah perubahan status

yang menyebabkan terjadinya pertentangan atau

konflik tenurial antara petani penggarap

(pesanggem) dengan pengelola TNGC.

Perubahan status Gunung Ciremai yang terjadi

beberapa kali, memberikan ruang transisi kepada

masyarakat setempat, dimana pada saat Gunung

Ciremai masih sebagai hutan produksi, Perhutani

sebagai pengelola membuat kebijakan memberi

peluang kepada masyarakat setempat untuk

berpartisipasi dalam beberapa kegiatan

pengelolaan hutan. Diantaranya dengan program

prosperity approach di dalam kawasan hutan

tahun 1984 dan di luar kawasan hutan melalui

PMDHT pada tahun 1994, hingga penerapan

program PHBM. Masyarakat

penggarap/pesanggem meminta tenggang waktu

selama 3 (tiga) tahun untuk menggarap lahan

2. Pihak TNGC memberikan peluang kepada

masyarakat setempat untuk mengelola Buper

Palutungan. Namun, karena kemudian diserahkan

pada pihak swasta (CV Mustika) maka kedua

belah pihak berkompromi agar KTH

diperbolehkan mengelola parkir di Buper

Palutungan. Sebagai gantinya, pihak TNGC

Kompetisi/Agitasi:

Masyarakat Desa Cisantana

dengan TNGC perihal perubahan

status hutan terkait dengan

aksesibilitas masayarakat Desa

Konstruktif

Destruktif

Mediasi

Arbitrasi

Litigasi

Pemetaan partisipatif Penguatan status lahan

Penegakan hukum

Melakukan upaya De-

eskalasi: membangun

mutual trust

Kolaborasi

-TNGC

-KTH (dulu

Pesanggem)

Akomodasi -Pemerintah Desa

-Asuransi

Kompromi -Perhutani

-TNGC

-KTH (dulu Pesanggem)

-CV. Mustika

Upaya penyadaran

konflik

Menghindar

-Dinas Pariwisata -Dinas Perhubungan

Negosiasi

Fasilitasi

-aturan restribusi

-revisi zonasi

-izin kelola dalam

kelembagaan

koperasi

Izin Buper

Palutungan

KTH kelola parkir

Izin kelola Ipukan

-Perhutani -TNGC

-CV Mustika

-KTH (dulu Pesanggem)

Page 86: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393

150

memberikan lokasi wisata Ipukan untuk dikelola

oleh KTH.

3. Pihak TNGC bersedia memberikan retribusi

parkir kepada pemerintah daerah (dalam hal ini

Dinas Pariwisata dan Dinas Perhubungan) dengan

syarat pemerintah daerah turut berkontribusi

memfasilitasi ruang parkir di luar kawasan.

Dalam hal ini pihak pemda mengambil gaya

sengketa menghindar; belum bereaksi/belum

memberikan aturan yang pasti perihal retribusi

parkir di kawasan wisata alam TNGC.

4. Pembukaan objek wisata baru di Ipukan (air

terjun Cipayung yang berada di zona rehabilitasi)

harus mendapatkan perhatian khusus dan segera

ditangani agar kedepan tidak menimbulkan

konflik. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan

melakukan revisi terhadap zonasi yang sudah ada.

5. Izin kelola pada KTH masih bersifat perorangan,

sehingga sifatnya secara hukum lemah. Untuk itu

KTH perlu dilegalkan dalam bentuk koperasi dan

dapat bersinergi dengan pemdes dalam

pengembangannya.

KESIMPULAN

Konflik yang dominan terjadi di TNGC adalah

berakar pada perubahan status fungsi hutan dari

produksi ke fungsi lindung dan kemudian fungsi

konservasi, yang berakibat pada perubahan pihak

yang berwenang melakukan pengelolaan kawasan

hutan. Sejarah panjang pengelolaan hutan di kawasan

tersebut pada akhirnya berdampak terhadap kegiatan

perekonomian masyarakat sekitar TNGC. Beberapa

aktor dominan yang terlibat adalah masyarakat petani

Desa Cisantana (KTH), pemerintah desa, Perhutani,

TNGC, CV Mustika, Swasta dan Pemerintah Daerah

(Dinas Perhubungan dan Dinas Pariwisata). Masing-

masing pihak mempersoalkan aksesibilitas mereka

dalam mengelola buper Palutungan. Masyarakat

petani merasa yang paling dirugikan karena tidak

diberi kesempatan bertanam lagi di lahan TNGC dan

tidak dilibatkan dalam pengelolaan B

uper. Sementara CV Mustika memiliki izin secara

sah oleh pemerintah untuk mengelola buper. Selain

itu, pemerintah desa juga merasa berhak menerima

pemasukan dari buper, karena lokasi buper berada

dalam administrasi desanya.

Dalam berkonflik, masing-masing pihak memiliki

gaya sengketa yang berbeda. Dengan gaya

akomodasinya, pemerintah desa mengadakan

pertemuan antara Perhutani, pengelola TNGC, CV

Mustika, dan pesanggem dari Desa Cisantana yang

masing-masing bergaya sengketa kolaborasi dan

kompromi. Masing-masing pihak tersebut, difasilitasi

dan dimediasi untuk mengusulkan (1) izin kelola

Patulungan di bagian kelola parkir, serta (2) izin

Kelola Ipukan, sebagai guide pariwisata, sehingga

mendapatkan legalitas pengelolaan sekaligus

pengakuan. Dalam hal ini, peran pihak luar yang

tidak ada hubungan konflik seperti Badan

Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA),

LSM lingkungan atau pihak akademisi sangat

diperlukan agar terwujud penyelesaian konflik. Bagi

pihak yang bergaya sengketa menghindar, perlu

melakukan komunikasi intensif antara kedua belah

pihak agar menyadari adanya konflik dan/atau

merubah gaya sengketanya menjadi berkompromi.

Selain itu konflik yang belum muncul ke permukaan,

seperti lokasi wisata baru yang terletak di zonasi

rehabilitasi dan izin KTH yang bersifat individu,

hendaknya segera ditangani, agar dikemudian hari

tidak muncul menjadi konflik besar.

Perlu disampaikan pula, bahwa paper ini

memiliki kelemahan, yakni belum detil menjelaskan

cara pengukuran penempatan aktor dalam kuadran

gaya berkonflik. Untuk itu diharapkan, ada kajian

lebih lanjut untuk memvalidasi metode analisis gaya

berkonflik menjadi lebih terukur.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Balai

Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Agroforestry dan Balai Pendidikan dan Pelatihan

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kadipaten atas

bantuan sarana dan prasarananya, serta staf TNGC

dan masyarakat Desa Cisantana yang telah bersedia

berpartisipasi dalam penelitian.

KONTRIBUSI

Maria Palmolina dan Eva Fauziyah berperan

sebagai kontributor utama dalam artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwibowo, S., Pandjaitan, N.. Zainuddin, S., & Soetarto,

E., (2012) Kontestasi dan konflik memperebutkan emas

di Poboya. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(2),

145–159.

Alviya, I. (2006). Penetapan hutan lindung Gunung

Ciremai menjadi taman nasional dan dampaknya bagi

masyarakat sekitar kawasan. Jurnal Analisis Kebijakan

Kehutanan, 3(2), 87–94.

Astri, H. (2012). Penyelesaian konflik sosial melalui

penguatan kearifan lokal. Jurnal Aspirasi, 2(2), 151–

162.

Awang, S. A. (2007). Politik Kehutanan Masyarakat.

Yogyakarta: Center for Critical Social Studies (CCSC).

Page 87: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…

(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)

151

Bonsu, N. O., Dhubháin, Á. N., & O’Connor, D. (2019).

Understanding forest resource conflicts in Ireland: A

case study approach. Land Use Policy, 80, 287–297.

Endah Ambarwati, M., Sasongko, G., & M.A Therik, W.

(2018). Model dinamika konflik tenurial pada kawasan

huta (Case in BKPH Tanggung KPH Semarang).

Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(2), 112-120

Gamin, G., Kartodihardjo, H., Kolopaking, L. M., & Boer,

R. (2014). Menyelesaikan konflik penguasaan kawasan

hutan melalui pendekatan gaya sengketa para pihak di

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lakitan. Jurnal Analisis

Kebijakan Kehutanan, 11(1), 71–90.

Gamin. (2017). Bahan Ajar Pemetaan Konflik Tenurial:

Rapid Land Tenure Assesment (RaTA). Kadipaten:

Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Gunawan, H., & Subiandono, E. (2013). Kondisi biofisik

dan sosial ekonomi dalam konteks restorasi ekosistem

Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Jurnal

Rehabilitasi Hutan, 1(1),17–37.

Hakim, L., Aldianoveri, I., Bangsa, I. K., & Guntoro, D. A.

(2018). Peran dan dampak konflik tenurial bagi

pemgelolaan keanekaragaman hayati di kawasan Cagar

Biosfer di Jawa Timur. Jurnal Hutan Tropis, 6(1), 43–

51.

Hakim, N., Murtilaksono, K., & Rusdiana, O. (2016).

Konflik penggunaan lahan di Taman Nasional Gunung

Halimun Salak Kabupaten Lebak. Sodality: Jurnal

Sosiologi Pedesaan, 4(2), 128–138.

Harun, M. K., & Dwiprabowo, H. (2014). Model resolusi

konflik di Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi

Model Banjar. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi

Kehutanan, 11(4), 265–280.

Hogl, K., Kleinschmit, D., & Rayner, J. (2016). Achieving

policy integration across fragmanted policy domains.

Forest Agricultur Climate dan Energy, 34, 299–414.

Jaya, I., & Hatma, P. (2011). Resolusi konflik dalam kerja

pengembangan masyarakat. Jurnal Dakwah UIN Sunan

Kalijaga, 12(1), 1–16.

Kadir, A., Nurhaedah, M., & Purwanti, R. (2013). Konflik

pada kawasan Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung Provinsi Sulawesi Selatan dan upaya

penyelesaiannya. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi

Kehutanan, 10(3), 186–198.

Kausar. (2010). Konflik kepentingan dibalik konservasi di

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Provinsi

Jambi. Indonesian Journal of Agricultural Economics (

IJAE ), 2(1), 132–149.

Lu, W., & Wang, J. (2017). The influence of conflict

management styles on relationship quality: The

moderating effect of the level of task conflict.

International Journal of Project Management, 35,

1483–1494.

Marina, I., & Dharmawan, H. (2011). Analisis konflik

sumberdaya hutan di kawasan konservasi. Sodality:

Jurnal Transdisiplin, Sosiologi, Komunikasi, dan

Ekologi Manusia, 05(01), 90–96.

Maryudi, A., Citraningtyas, E. R., Purwanto, R. H.,

Sadono, R., Suryanto, P., Riyanto, S., & Siswoko, B.

D. (2016). The emerging power of peasant farmers in

the tenurial conflicts over the uses of state forestland in

Central Java, Indonesia. Forest Policy and Economics,

67, 70–75.

Muspawi, M. (2014). Manajemen konflik (upaya

penyelesaian konflik dalam organisasi). Jurnal

Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora, 16(2),

41–46.

Negara, Y. C., Tippe, S., & Wahyudi, B. (2019). Resolusi

konflik lahan di Kecamatan Buluspesantren Kabupaten

Kebumen. Jurnal Damai dan Resolusi Konflik, 5(1),

59–86.

Nurrani, L., & Tabba, S. (2013). Persepsi dan tingkat

ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam

Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Provinsi

Maluku Utara. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi

Kehutanan, 10(1), 61–73.

Pasya, G., & Sirait, M. T. (2011). Analisa Gaya

Bersengketa (AGATA): Panduan Ringkas untuk

Membantu Memilih bentuk Penyelesaian Sengketa

Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor: The Samdhana

Institute.

Purwawangsa, H. (2017). Instrumen kebijakan untuk

mengatasi konflik di kawasan hutan konservasi. Jurnal

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, 4(1),

28–47.

Riggs, R. A., Sayer, J., Margules, C., Boedhihartono, A.

K., Langston, J. D., & Sutanto, H. (2016). Forest tenure

and conflict in Indonesia: Contested rights in Rempek

Village, Lombok. Land Use Policy, 57, 241–249.

Sahide, M. A. K., Maryudi, A., Supratman, S., & Giessen,

L. (2016). Is Indonesia utilising its international

partners? The driving forces behind forest management

units. Forest Policy and Economics, 69, 9–20.

Satriani, S., Golar, G., & Ihsan, M. (2013). Persepsi dan

sikap masyarakat terhadap penerapan program

pemberdayaan di sekitar Sub Daerah Aliran Sungai

Miu (kasus Program SCBFWM di Desa Simoro

Kecamatan Gumbasa Kabupaten Sigi). Jurnal Warta

Rimba, 1(1), 1–10.

Sriyanto, A. (2007). Penyelesaian konflik berbasis budaya

lokal. Ibda: Jurnal Studi Islam dan Budaya, 5(2), 286–

301.

Sugiyono. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif.

Bandung: Alfabeta.

Yasmi, Y., Guernier, J., and C.J.P. (2009). Positive and

negatif aspects of forestry conflict: Lessons from a

decentralized forest management in Indonesia.

International Forestry Review, 11(1), 98-110

Zainuddin, D. (2016). Analisis penanganan konflik antar

organisasi kemasyarakatan di Sumatera Utara (Medan)

dan Jawa Tengah (Surakarta). Jurnal Hak Asasi

Manusia, 7(1), 11–20.

Page 88: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198

E ISSN: 2355-9969

DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393

152

,

Page 89: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

ISI VOLUME 7

Nomor 1

Muhammad Abdul Qirom dan Acep Akbar

Model Volume Kelompok Jenis Pohon Pada Hutan Rawa Gambut

di IUPHHK PT. Tingang Karya Mandiri, Kalimantan Tengah

The Volume Model of Tree Species Group in Peat Swamp Forest

at Logging Concession Area of Tingang Karya Mandiri, Central Kalimantan 1

Agung Wahyu Nugroho dan Heru Dwi Riyanto

Studi Intensitas Cahaya di Sempadan Sungai Hutan Produksi Jati

KHDTK Cemoro Modang

Study of Light Intensity in Riparian Zone of Teak Production Forest

in KHDTK Cemoro Modang 15

Baharinawati W. Hastanti dan Freddy J. Hutapea

Analisis Tingkat Kerentanan Terhadap Banjir Bandang Berdasarkan

Faktor-Faktor Sosial Ekonomi dan Kelembagaan di Wasior,

Teluk Wondama, Papua Barat

Analysis of Vulnerability Levels to The Flash Flood Based

on Social Economic and Institutional Factors in Wasior, Teluk Wondama, West Papua 25

Fajar Lestari dan Beny Rahmanto

Toksisitas Ekstrak Bahan Nabati Dalam Pengendalian Hama

Achatina fulica (Ferussac, 1821) Pada Tanaman Nyawai (Ficus variegata (Blume))

The Plants Extract Toxicity Againts Achatina fulica (Ferussac, 1821)

in Nyawai Ficus variegata (Blume) 39

Tri Sulistyati Widyaningsih, Eva Fauziyah, dan Devy Priambodo Kuswantoro

Pengolahan dan Nilai Tambah Bambu di Tasikmalaya, Jawa Barat

Processing and Added Value of Bamboo in Tasikmalaya, West Java 51

Naning Yuniarti

Teknik Invigorasi Pada Benih Nyamplung(Calophyllum inophyllum L.)

Selama Penyimpanan

The Invigoration Techniques of Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Seeds

During The Storage 65

Page 90: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Nomor 2

Dani Pamungkas dan Siswadi

Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan Cabang Terhadap

Produktivitas Buah Tanaman Kayu Ules (Helicteres isora Linn.) di Habitat Alaminya

The Effect of Tree Shade and Pruning Techniques on Screw Tree (Helicteres isora Linn.)

Fruit Productivity in the Natural Habitat 73

Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin

Model Alometrik untuk Estimasi Biomassa Pohon Pada Hutan Lahan Kering

Sekunder di Halmahera Timur

Allometric Models for Estimating Tree Biomass of Dryland Secondary Forest

in East Halmahera 87

Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad Muhammad

Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi Terhadap Daya

Kecambah Benih Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)

Effect of Fruit Maturity and Extraction Treatment on Germination Percentage

of Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq) 103

Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto

Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja Pemanenan

Daun Kayu Putih di RPH Nglipar, KPH Yogyakarta

Socio Demographic Factors and Work Performance of Forest Workers

in Cajuput Leaf Harvesting at RPH Nglipar, KPH Yogyakarta 111

Ivan Permana Putra

Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai Ekonomi

di Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

The Potency of Some Wild Edible Mushrooms with Economic Value

in Belitong Island, The Province of Bangka Belitung 121

Maria Palmolina dan Eva Fauziyah

Teknik Invigorasi Pada Benih Nyamplung(Calophyllum inophyllum L.)

Selama Penyimpanan

The Invigoration Techniques of Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Seeds

During The Storage 137

Page 91: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

INDEKS PENULIS VOLUME 7

A

Akbar, Acep 1

F

Fauziyah, Eva 51, 137

H

Halawane, Jafred E 103

Hastanti, Baharina W. 25

Hutapea, Freddy J. 25

I

Irawan, Arif 103

Iwanuddin 103

K

Kuswantoto, Devy Priambodo 51

L

Lestari, Fajar 39

M

Muhammad, Fuad 103

Muhdin 87

N

Nugroho, Agung Wahyu 15

P

Palmolina, Maria 137

Pamungkas, Dani 78

Putra, Ivan Permana 121

Q

Qirom, Muhammad Abdul 1

R

Rahmanto, Benny 39

Riyanto, Heru Dwi 15

Riyanto, Slamet 111

S

Septiana, Ratih Madya 111

Siswadi 78

Supriyanto, Nunuk 111

T

Tiryana, Tantang 87

W

Widyaningsih, Tri Sulistyati 51

Y

Yuniarti, Nanin 65

Z

Zainal, Mijahidh Sylviari 87

Page 92: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

INDEKS KATA KUNCI VOLUME 7

A

Achatina fulica (Ferussac, 1821) 39

Akurasi 1

Anyaman 51

B

Bahan nabati 39

Bambu 51

Banjir bandang 25

Belitong 121

Benih 63

C

Cahaya 15

Calophyllum inophyllum L 63

D

Daya kecambah 103

E

Ekonomi 25,121

Ekstraksi 103

G

Gaya konflik 137

Gunung Ciremai 137

H

Hutan sekunder 87

Hutan produksi jati 15

I

Invirogasi 63

J

Jamur pangan liar 121

Jenis campuran 87

K

Kayu 1

Kayu Putih 111

Kayu ules 73

Keberlanjutan 121

Kelembagaan 25

Kemasakan buah 103

Kerentanan 25

Konsentrasi 39

L

Kualitas buah 73

Langusei 103

M

Masyarakat 137

Model alometrik 87

N

Naungan pohon 73

Nilai tambah 51

Non anyaman 51

Non-linear 1

Nyamplung 63

P

Pemanenan 111

Pemetaan 137

Pengambilan sampel destruktif 87

Pengolahan 51

R

REDD+ 87

Rekalsitran

S

Sempadan sungai 15

Sosial 25

Sosio demografi 111

T

Teknik pemangkasan 73

Toksisitas 39

V

Viabilitas 63

Page 93: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan

VOL. 7 NO. 2, Desember 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969

Pedoman Penulisan

1. Jurnal Wasian adalah publikasi ilmiah resmi dari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Manado. Jurnal ini menerbitkan tulisan dari hasil penelitian bidang kehutanan.

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf Times New Roman, font ukuran 12 dan jarak 1,5 spasi

pada kertas A4, minimal 10 halaman dan maksimal 16 halaman. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong

3 cm. Tidak menggunakan fasilitas page break.

3. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris); nama penulis (tanpa

gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa

inggris dan 250 kata dalam bahasa indonesia) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci (4-5

kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan

penelitian; metode; hasil penelitian dan pembahasan; kesimpulan; saran; ucapan terima kasih; daftar pustaka

(hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).

JUDUL (ringkas dan lugas; maksimal 12 kata, hindari kata "analisis", "studi", "pengaruh")

Penulis l1 dan Penulis 22 1Nama instansi/lembaga Penulis 1

Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis 2Nama instansi/lembaga Penulis 2

Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis

(jika nama instansi penulis 1 dan 2 sama, cukup ditulis satu saja)

E-mail penulis 1 dan 2:

Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4- 5 kata/frasa

Abstract: Abstract in english (max. 200 words) Keywords: 4 - 5 words/phrase

PENDAHULUAN

Pendahuluan berisi keterbaruan, justifikasi ilmiah, kontribusi terhadap perkembangan IPTEK,

kepentingan/manfaat dari penelitian, dan diakhiri dengan rumusan masalah dan atau hipotesis serta tujuan

penelitian.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian berisi waktu penelitian, lokasi penelitian dan metode yang digunakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil harus menjawab permasalahan dan tujuan penelitian, serta merupakan hasil analisis di wilayah penelitian

yang relevan dengan tema sentral kajian. Pembahasan ditulis dengan ringkas dan fokus pada interpretasi dari

hasil yang diperoleh dan bukan merupakan pengulangan dari bagian hasil

Subbab

……….

KESIMPULAN

Kesimpulan adalah intisari pembahasan yang menjawab permasalahan/tujuan penelitian, ditulis singkat dan jelas.

Kesimpulan bukan tulisan ulang dari pembahasan dan juga bukan ringkasan

SARAN

Page 94: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR PUSTAKA

Jumlah minimal pustaka acuan sesuai PerKa LlPl No. 04lE|2012 tentang Pedoman Karya Tulis llmiah, jumlah

minimal pustaka acuan untuk artikel hasil penelitian adalah 10 pustaka, sedangkan untuk artikel review sejumlah

25 pustaka. Sedapat mungkin pustaka-pustaka yang dijadikan rujukan adalah pustaka yang diterbitkan 10 tahun

terakhir (80 %) dan diutamakan lebih banyak dari pustaka primer (80%). Pustaka acuan dengan kategori primer

adalah artikel-artikel yang dipublikasikan pada berkala ilmiah, baik di jurnal nasional maupun internasional.

Sumber pustaka dituliskan dengan mengikuti tatacara (style) yang dikeluarkan oleh APA (American

Psychological Association)

4. Abstrak ditulis satu paragraf sebelum isi naskah. Abstrak dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa

inggris. Abstrak tidak memuat uraian matematis, dan mencakup esensi utuh penelitian, metode dan pentingnya

temuan dan saran atau kontribusi penelitian.

5. Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) sebagai lampiran dicantumkan pada halaman

sesudah teks. Sedangkan tabel atau gambar baik di dalam naskah maupun bukan harus diberi nomor urut.

a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel sedangkan judul gambar

diletakkan di bawah gambar.

b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar.

c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis bagian paling bawah tabel

sedangkan untuk garis-garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan.

d. Tabel atau gambar bisa diedit dan dalam tampilan berwarna yang representatif.

e. Ukuran resolusi gambar minimal 300 dpi

Contoh Penyajian Tabel:

Tabel 1. Matriks SMORPH

Bentuk lereng Sudut kelerengan (%)

A

(0-15 %)

B

(15-25 %)

C

(25-45 %)

D

(45-65 %)

E

(>65 %)

Cembung Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang

Datar Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi

Cekung Rendah Sedang Tinggi Tinggi Tinggi

Keterangan :

Kerentanan Longsor Rendah = Stable (stabil)

Kerentanan Longsor Sedang = Caution (waspada)

Kerentanan Longsor Tinggi = Unstable (tidak stabil)

6. Cara penulisan ramus, Persamaan-persamaan yang digunakan disusun pada baris terpisah dan menggunakan

fasilitas FORMULA pada Microsoft Word Contoh :

𝐵𝑛 = 𝑉𝑛 × 𝐵𝐽𝑛

7. Perujukan sumber acuan di dalam teks (body text) dengan menggunakan nama akhir dan tahun.

Kemudian bila merujuk pada halaman tertentu, penyebutan halaman setelah penyebutan tahun dengan dipisah

titik dua. Untuk rujukan tiga penulis atau lebih menyebutkan nama akhir penulis pertama diikuti dengan et al.

Untuk karya terjemahan dilakukan dengan cara menyebutkan nama pengarang aslinya.

Contoh :

• Buiter (2007:459) berpendapat bahwa...

• Fatimah & Daryono (1997) menunjukkan adanya...

• Rauste et al. (2006) menyimpulkan bahwa...

• Tingkat keberhasilan perbanyakan jati dengan kultur jaringan ……… (Suhartati dan Nursamsi, 2007)

• Maya (2009) berpendapat bahwa...

8. Setiap kutipan harus diikuti sumbernya dan dicantumkan juga dalam daftar

pustaka. Contoh:

Di dalam paragraf isi (Body Text) ada kutipan:

Yunandar (2011) berpendapat bahwa...

Maka sumber kutipan tersebut wajib dicantumkan/disebutkan di dalam daftar pustaka:

Page 95: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

Yunandar. (2011). Pemetaan kondisi karang tepi (fringging reef) dan kualitas air pantai angsana

Kalimantan Selatan. Jurnal Bumi Lestari, 11(1),50-57.

9. Daftar pustaka ditulis berurut secara alphabet dari penulis dengan urutan penulisan sebagai berikut :

a. Format rujukan dari buku: Nama pengarang. Tahun. Judul buku. Edisi. Kota penerbit. Nama penerbit.

Jika penulis sebagai editor tunggal, ditulis (ed.) di belakang namanya. Ditulis (eds.) jika editornya lebih

dari satu orang.

Nei, M. (1987). Moleculer Evolutionary Genetics. New York: Columbia University Press.

Tjitrosoepomo, G. (1994). Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

b. Format rujukan dari artikel dalam buku ditulis: Nama pengarang. tahun. Judul tulisan/karangan. dalam

Nama editor, Judul buku (halaman). Kota penerbit: Nama penerbit.

Loeb, R. E. (2009). Biogeography of invasive plant species in Urban Park Forests, dalam Kohli, R.

K., S. Jose, Singh, H. P., Batish D. R. (eds.), Invasive Plants and Forest Ecosystems (p. 105-132).

United States of America: CRC Press.

c. Format rujukan dari artikel dalam Prosiding ditulis: Nama pengarang. tahun. Judul tulisan/karangan.

dalam nama editor, nama pertemuan (halaman). Kota penerbit. Nama penerbit.

Kusmana, C., Asrinata, S. P., & Djamhuri, E. (2013). The effect of submersion and fruit treatment to

seed germination and Initial Growth of Bintaro (Cerbera Manghas Linn) Seedling. dalam Langi, M.,

Tasirin, J. S., Walangitan, H., dan Masson, G. (eds), International Conference

“Forest And Biodiversity” (p.03-16). Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado.

d. Format rujukan dari artikel dalam jurnal: Nama pengarang. Tahun. Judul tulisan/karangan. Nama jurnal,

Volume (nomor), halaman

Pitopang, R., & Gradstein, R. (2004). Herbarium Celebense (CEB) dan peranannya dalam menunjang

penelitian taksonomi tumbuhan di Sulawesi. Jurnal Biodiversitas, 5(1), 36-41.

e. Format rujukan dari Thesis/Desertasi: Nama pengarang. Tahun. Judul. Nama Universitas, Kota.

Rosi, A. G. 2014. Implementasi Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Pada Unit KPH

Produksi Model Poigar. Thesis tidak diterbitkan, UGM, Yogyakarta.

Pengiriman Artikel

1. Artikel yang dikirim berupa softcopy ke ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JWAS

2. Penulis yang menyerahkan artikelnya harus menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak melanggar hak cipta,

belum dipublikasikan atau telah diterima untuk dipublikasi oleh jurnal lainnya dengan cara mengisi blanko

Klirens Etik yang dapat diperoleh dari website di atas.

3. Pengajuan naskah oleh penulis yang berasal dari luar instansi/institusi (bukan perorangan) di luar Balai

Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado sebaiknya disertai dengan surat

pengantar dari instansi/institusinya.

4. Kepastian naskah dimuat atau tidak, akan diberitahukan secara tertulis. Artikel yang tidak dimuat tidak akan

dikembalikan.

Alamat Jurnal Wasian:

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado

Jalan Raya Adipura, Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Kota Manado 95259, Provinsi Sulawesi Utara,

Indonesia

Telp. (0431) 7242949

e-mail: [email protected]

Page 96: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1
Page 97: H ,661 S ,661 MXUQDO :$6,$1

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANBADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI

BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN MANADO